Beranda blog Halaman 270

Dasar Hukum dan Syarat-Syarat Penyembelihan Hewan Kurban

0
Hewan Kurban
Hewan Kurban

Kata “kurban” pada hakikatnya berasal dari bahasa Arab, yaitu “qurban” (قربان), yang berarti “dekat”, “mendekatkan diri”. Istilah ini selalu kita gunakan dalam kaitan dengan kegiatan penyembelihan hewan pada hari Raya Idul Adha. Hari Raya Idul Adha itu sendiri pada hakikatnya berarti “Hari raya di mana seseorang harus kembali untuk melakukan kurban dengan memotong hewan kurban”. Istilah “qurban” sendiri dalam istilah Arabnya jarang digunakan, dan istilah yang paling umum digunakan untuk itu ialah “adha” (أضحى) atau “udhiyah” (أضحية).

Kata “qurban” atau “udhiyah” itu berarti “nama bagi sesuatu yang disembelih atau dikurbankan pada hari Raya Idul Adha. Menurut istilah ulama fikih, “kurban” yaitu penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt. pada waktu tertentu. Atau dengan perkataan lain bahwa “kurban” adalah nikmat atau rezeki yang dikurbankan untuk mendekatkan diri kepada Allah pada hari-hari kurban.

Kurban, sebagaimana zakat dan shalat dua hari raya, mulai diperintahkan pada tahun kedua hijrah. Perintah itu berdasarkan ayat Al-Qur’an, hadis Rasulullah, dan ijma’ ulama.

Dasar Perintah Kurban

Dasarnya di dalam Al-Qur’an ialah ayat 2 Surat Al-Kautsar, 108 yang berbunyi: فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (lalu lakukanlah salat dan berkurbanlah).

Dasar lainnya di dalam hadis ialah hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah:

((مَا عَمِلَ ابْنُ آدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبَّ إِلَى اللهِ تَعَالَى مِنْ إِرَاقَةِ الدَّمِ، إِنَّهَا لَتَأْتِيْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِقُرُوْنِهَا وَأَظْلاَفِهَا وَأَشْعَارِهَا وَإِنَّ الدَّمَ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ بِمَكَانٍ قَبْلَ أَنْ يَقَعَ عَلَى الأَرْضِ، فَطَيِّبُوْا بِهَا نَفْسًا)) رواه الحاكم وابن ماجه والترمذي.

Tidak ada suatu pekerjaan yang paling disukai oleh Allah untuk dikerjakan pada hari nahar (idul adha) selain daripada mengalirkan darah hewan (menyembelih hewan kurban), karena hewan kurban itu pada hari kiamat nanti akan datang dengan tanduknya, kukunya, dan bulu-bulunya. Sesungguhnya darah sembelihan itu langsung diterima oleh Allah swt., sebelum darah itu sampai di tanah. Karena itu, harumkanlah setiap jiwa dengan sembelihan itu”.

Baca Juga: Memaknai Hari Raya Kurban: Membaca Kembali Surah Al-Kautsar Ayat 2

Hewan yang dikurbankan itu akan datang di hari kiamat nanti dengan segala sifat yang dimilikinya saat disembelih, karena itulah maka hewan sembelihan itu haruslah yang lengkap sifat-sifatnya.

Para ulama sepakat bahwa berkurban adalah pekerjaan yang sangat disukai Allah dan sangat dianjurkan di dalam agama.

Di dalam ibadah kurban terdapat beberapa hikmah penting. Di antaranya ialah a) sebagai tanda syukur atas nikmat Allah swt. yang tak terbilang jumlahnya, b) sebagai tanda syukur atas umur panjang yang diberikan Tuhan setiap tahun, dan c) untuk menjauhkan diri dari segala kejahatan.

Hukum Melakukan Kurban

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum melakukan kurban. Abu Hanifah dan kawan-kawannya menyatakan bahwa hukum berkurban itu wajib setiap tahun bagi orang-orang muqim. Abu Yusuf menyatakan sunat mu’akkad. Pandangannya ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berkurban, lalu ia tidak berkurban, maka ia tidak boleh mendekati tempat salat kami”.

Ulama selain Hanafi berpendapat bahwa berkurban hukumnya sunnat mu’akkad (bukan wajib). Makruh hukum meninggalkannya bagi yang mampu. Menurut Syafi’i, sunnat aini sekali seumur hidup, dan sunat kifayah bagi satu keluarga. Dasar pandangan mereka ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah: “Sesungguhnya Rasulullah bersabda: Apabila engkau sudah melihat bulan sabit Zulhijjah, dan engkau ingin melakukan kurban, maka kurbanlah”.

Sehubungan dengan syarat kurban, ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu yarat wajib atau sunahnya dan syarat sahnya. Satu-satunya syarat bagi yang akan berkurban adalah mampu melakukan kurban. Bagi yang tidak mampu tidak disyaratkan.

Mampu, menurut Hanafiyah, ialah seseorang yang memiliki harta yang nilainya sama dengan nisab zakat, atau seseorang yang memiliki harta yang lebih daripada sandang, pangan, dan pakaian.

Mampu, menurut Malikiyah, ialah seseorang yang memiliki harta, (senilai hewan kurban) lebih daripada kebutuhan pokoknya pada tahun itu. Jika dia mampu berutang, ia harus berutang.

Mampu, menurut Syafi’iyyah, ialah seseorang yang memiliki harta (senilai hewan kurban) lebih daripada yang ia butuhkan dan keluarganya pada hari Idul Adha dan hari-hari tasyriq.

Mampu, menurut Hanbali, ialah seseorang yang kemungkinan besar dapat memperoleh harta senilai harga hewan kurban itu, meski dengan berutang, dengan catatan bahwa dia diperkirakan mampu membayar utangnya.

Syarat Sah Hewan Kurban

Syarat-syarat sahnya hewan kurban itu adalah sebagai berikut: a) Hewan yang disembelih itu harus sempurna dan lengkap sifat-sifatnya dan sehat. b) Hewan harus disembelih pada waktu-waktu tertentu. Menurut Hanafiyah: penyembelihan hewan kurban dilakukan pada malam hari (selama dua malam), yaitu malam tanggal 11 (malam kedua) dan 12 Zulhijjah (malam ketiga), tidak boleh pada malam Hari Raya Idul Adha dan malam ke-14. c) Malikiyah menambahkan dua syarat lagi, yaitu 1) yang sembelih haruslah muslim, dan 2) harga 1 hewan sembelihan itu bukanlah harga patungan.

Baca Juga: Nabi Muhammad Saw Gemar Berkurban Setiap Tahun

Syarat-syarat bagi orang yang diperintahkan untuk berkurban. Mereka yang diperintahkan berkurban ialah a) muslim (bukan kafir), b) orang merdeka (bukan budak) , c) balig (bukan di bawah umur), d) berakal (waras), e) muqim (tinggal, bukan musafir), dan f) mampu.

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai sembelihan kurban bagi seseorang yang belum baligh. Abu Hanifah berpendapat, wajib hukumnya berkurban. Malikiyah, sunat berkurban, sedangkan Syafi’iyyah dan Hanbali, tidak sunat.

Tafsir Surah Saba’ Ayat 11-13

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 11-13 berbicara tentang kemukjizatan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Diantara mukjizat Nabi Daud adalah mampu melunakkan besi, mukjizat tersebut dipilih Allah sesuai dengan kondisi masyarakat tersebut yang banyak berprofesi sebagai pandai besi. Namun jelas, baju besi dari Daud jauh berbeda dan lebih bagus dari baju besi kaumnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 9-10


Selanjutnya, Tafsir Surah Saba’ Ayat 11-13 juga megisahkan tentang mukjizat Nabi Sulaiman, diantaranya adalah mampu berinteraksi dengan segala makhluk, seperti; angin, hewan, jin, dll. Diceritakan dalam ayat ini, bagaimana Allah memerintahkan angin dan jin untuk tunduk pada Sulaiman, membantu apa saja yang menjadi kebutuhannya, termasuk membangun istana.

Ayat 11

Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi Daud supaya membuat baju besi istimewa dari bahan besi yang lunak bukan seperti baju yang dikenal pada masa itu. Biasanya baju besi pada masa itu dibuat dari kepingan-kepingan besi yang tipis disusun seperti baju, tetapi baju besi itu sangat mengganggu pemakainya selain menimbulkan panas pada badan dan membatasi gerak.

Tetapi, baju besi yang dibuat Daud, karena besinya telah menjadi lunak, jauh berbeda dengan baju besi biasa. Baju besi itu dibuat seperti gulungan-gulungan rantai yang disusun rapi sehingga baju besi itu mengikuti gerak badan.

Dengan demikian, pemakainya dapat bergerak dengan bebas tanpa merasakan gangguan apa pun. Dengan baju besi yang lunak itu, Daud dapat membuat alat senjata yang baru untuk mempertahankan kerajaannya dari serangan musuh.

Kemudian untuk mensyukuri karunia yang diberikan-Nya, Allah memerintahkan pula supaya Daud dan kaumnya selalu mengerjakan amal saleh dan mempergunakan segala nikmat yang dikaruniakan Allah itu untuk mencapai keridaan-Nya. Dia selalu melihat dan mengetahui apa yang dikerjakan oleh hamba-Nya.


Baca Juga : Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat


Ayat 12

Pada ayat ini diterangkan bahwa Allah menundukkan angin untuk Nabi Sulaiman sehingga dapat membawanya ke tempat-tempat yang diingininya dengan cepat sekali. Dalam waktu setengah hari saja angin dapat membawanya ke tempat yang jaraknya sebulan perjalanan, baik perjalanan itu pada waktu pagi sampai zuhur maupun pada waktu siang mulai dari zuhur sampai terbenamnya matahari.

Qat±dah dalam menafsirkan ayat ini menyatakan, “Angin dapat membawa Sulaiman dari pagi sampai tergelincirnya matahari sejauh sebulan perjalanan dan dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya sejauh sebulan perjalanan pula.

Dalam hal ini, al-Hasan al-Bashri berkata, “Sulaiman pernah berangkat dengan mengendarai angin, dari Damaskus ke Istakhr lalu dia turun di sana untuk makan siang, kemudian dia berangkat lagi ke Kabul untuk bermalam di sana. Padahal jarak antara Damaskus dan Istakhr adalah sebulan perjalanan bagi orang yang berjalan cepat dan jarak antara Istakhr dan Kabul adalah sebulan perjalanan pula.

Karunia lainnya yang diberikan Allah kepada Sulaiman ialah melunakkan tembaga seperti lilin sehingga mudah dibentuk menurut keinginan orang yang mengolahnya. Hal ini sama dengan karunia yang diberikan kepada Nabi Daud yaitu melunakkan besi.

Di antara karunia itu pula ialah menundukkan jin untuk bekerja membuat apa saja yang diingini Sulaiman. Jin-jin itu selalu taat dan patuh mengikuti perintahnya, karena mereka diancam oleh Allah dengan azab yang pedih apabila tidak memenuhi perintah Sulaiman.

Ayat 13

Oleh sebab itu, mereka dengan giat sekali melaksanakan apa yang diperintahkan Sulaiman, seperti membangun tempat-tempat beribadah, arca-arca yang indah yang terbuat dari kayu, tembaga, kaca, dan batu pualam, serta belanga-belanga besar untuk memasak makanan yang cukup untuk berpuluh-puluh orang.

Karena besar dan luasnya, bejana-bejana itu kelihatan seperti kolam-kolam air. Mereka juga membuatkan untuk Sulaiman periuk yang besar pula yang karena besarnya tidak dapat diangkat dan dipindahkan.

Karena jin mempunyai kekuatan yang dahsyat, dengan mudah mereka membuat semua yang dikehendaki Sulaiman seperti membangun istana yang megah dan mewah, serta menggali selokan-selokan untuk irigasi sehingga kerajaan Sulaiman menjadi masyhur sebagai suatu kerajaan besar dan paling makmur, tidak ada suatu kerajaan pun di waktu itu yang dapat menandinginya.

Hal ini ialah sebagai realisasi dari doanya yang dikabulkan Tuhan seperti tersebut dalam firman-Nya.

قَالَ رَبِّ اغْفِرْ لِيْ وَهَبْ لِيْ مُلْكًا لَّا يَنْۢبَغِيْ لِاَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِيْۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابُ  ٣٥  فَسَخَّرْنَا لَهُ الرِّيْحَ تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖ رُخَاۤءً حَيْثُ اَصَابَۙ  ٣٦  وَالشَّيٰطِيْنَ كُلَّ بَنَّاۤءٍ وَّغَوَّاصٍۙ  ٣٧

Dia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki oleh siapa pun setelahku. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Pemberi.” Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya, dan (Kami tundukkan pula kepadanya) setan-setan, semuanya ahli bangunan dan penyelam. (Shad/38: 35-37)

Kemudian Allah memerintahkan kepada Sulaiman sebagai keluarga Daud supaya bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah kepadanya. Mensyukuri nikmat Allah itu bukanlah sekadar mengucapkan, tetapi harus diiringi dengan amal saleh dan mempergunakan nikmat itu untuk hal-hal yang diridai-Nya.

Diriwayatkan oleh at-Tirmizi bahwa Nabi Muhammad naik ke atas mimbar lalu membaca ayat ini. Lalu beliau bersabda, “Ada tiga sifat bila dipunyai oleh seseorang berarti dia telah diberi karunia seperti karunia yang diberikan kepada keluarga Daud.” Kami bertanya kepada beliau, “Sifat-sifat apakah itu?” Rasulullah menjawab, “Pertama: Berlaku adil, baik dalam keadaan marah maupun dalam keadaan senang.

Kedua: Selalu hidup sederhana baik di waktu miskin maupun kaya. Ketiga: Selalu takut kepada Allah baik di waktu sendirian maupun di hadapan orang banyak.

Allah mengiringi perintah-Nya supaya Sulaiman bersyukur atas nikmat yang diterimanya dengan menjelaskan bahwa sedikit sekali di antara hamba-hamba-Nya yang benar-benar bersyukur kepada-Nya. Bagaimana seorang hamba bersyukur kepada Tuhannya dapat dilihat dari cara bersyukur Nabi saw kepada Allah.

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ كَانَ يَقُوْمُ مِنَ اللَّيْلِ حَتىَّ تَفَطَّرَ قَدَمَاهُ فَقُلْتُ لَهُ اَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غَفَرَ اللهُ لَكَ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ اَفَلاَ اَكُوْنُ عَبْدًا شَكُوْرًا (رواه مسلم)

Dari ‘Āisyah bahwa Rasulullah salat di malam hari sampai kedua telapak kakinya bengkak, maka aku (‘Aisyah), berkata kepadanya, “Mengapa engkau berbuat seperti ini padahal Allah telah mengampuni dosamu yang sekarang dan dosamu yang akan datang?” Rasulullah menjawab, “Bukankah aku ini seorang hamba yang bersyukur?” (Riwayat Muslim)

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 14-15


 

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 25-28

0
Tafsir Surah Al Jinn
Tafsir Surah Al Jinn

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 25-28 menjelaskan tentang janji Allah akan datangnya hari kiamat, dan terdapat pula hadis tentang hari kiamat yang mana orang mukmin tidak akan gembira mendengarnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Jinn ayat 21-24


Ayat 25

Ayat ini dan ayat-ayat sesudahnya adalah jawaban atas pertanyaan, “Bilakah datangnya hari yang dijanjikan itu kepada kami.” Allah menyuruh Nabi-Nya agar menyampaikan kepada manusia bahwa hari Kiamat itu pasti akan tiba, tidak ada keraguan padanya. Akan tetapi, tidak ada yang mengetahui kapan waktunya tiba, apakah dalam waktu dekat ataukah masih dalam jangka waktu yang panjang.

Nabi saw pernah ditanya Jibril tentang hari Kiamat ketika berhadapan dengan Nabi saw dalam rupa seorang Badui, tetapi beliau tidak menjawabnya. Antara lain Jibril bertanya, “Hai Muhammad! Kabarkan kepadaku tentang hari Kiamat itu.” Beliau menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Kemudian orang Badui itu bertanya lagi dengan suara keras, “Hai Muhammad! Bilakah tibanya hari Kiamat itu?” Nabi menjawab, “Jangan khawatir, ia pasti datang, tetapi apa yang telah engkau sediakan untuk menghadapinya?” Badui menjawab, “Saya tidak banyak mengerjakan salat atau puasa, tetapi saya cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” Lalu Nabi saw bersabda, “Maka engkau bersama orang-orang yang engkau cintai.” Anas berkata, “Orang-orang mukmin tidak gembira terhadap sesuatu sebagaimana gembira mereka mendengar hadis ini.”

Ayat 26

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia mengetahui semua yang gaib, tidak terlihat, dan tidak diketahui oleh hamba-Nya. Semua yang gaib yang tidak dapat diketahui kecuali oleh Allah, dapat diketahui oleh para rasul yang diridai oleh-Nya dan Dia akan memperlihatkan kepada mereka sekadar apa yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman:

وَلَا يُحِيْطُوْنَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهٖٓ اِلَّا بِمَا شَاۤءَ

Dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. (al-Baqarah/2: 255)

Ayat ini menunjukkan bahwa pekerjaan tukang tenung, ahli nujum, dan tukang sihir semuanya itu salah karena mereka tidak termasuk orang-orang yang diridai Allah, bahkan mereka termasuk yang dibenci-Nya. Ayat ini juga menerangkan bahwa orang-orang yang mengaku bahwa bintang itu dapat menunjukkan siapa yang akan hidup dan siapa pula yang akan mati, adalah orang-orang yang telah kafir dan mengingkari Al-Qur’an.

Fakhruddin ar-Razi berkata, “Yang dimaksud dengan tidak dapat menyaksikan yang gaib adalah gaib yang khusus yaitu tentang waktu tibanya hari Kiamat.”

Ayat 27

Selanjutnya Allah mengungkapkan bahwa para rasul yang memperoleh keridaan-Nya sehingga dapat menyaksikan alam gaib, dijaga oleh malaikat Hafadzah dengan penjagaan yang sangat ketat. Dengan penjagaan itu, godaan setan, jin, dan para pengacau lainnya tidak sampai kepada mereka, sehingga para rasul itu dapat menyampaikan wahyu-wahyu Allah menurut aslinya. Mereka juga dijaga dari rongrongan setan-setan manusia sehingga mereka selamat dari bahaya dan kemudaratan manusia.

Adh-dahhak berkata, “Allah tidak mengutus seorang rasul kecuali baginya telah disiapkan pengawal-pengawal dari malaikat untuk menjaganya dari setan-setan yang datang dalam bentuk rupa malaikat. Bila setan-setan itu datang, maka pengawalnya mengingatkannya agar hati-hati karena yang datang itu setan, dan bila yang menemui rasul itu malaikat, maka pengawal berkata, “Ini adalah utusan Tuhanmu.”

Pengawal-pengawal itu adalah malaikat yang bertugas menjaga kekuatan lahir dan batin para rasul dan untuk memelihara mereka dari bisikan-bisikan setan.

Ayat 28

Dalam penutup Tafsir Surah Al-Jinn ayat 25-28 khususnya ayat ini, Allah menerangkan tujuan dari penjagaan yang sangat rapi itu, yaitu agar para rasul itu dapat menjalankan tugas dengan sempurna dan agar wahyu-wahyu yang disampaikan kepada mereka terpelihara dengan baik. Penjagaan itu juga bertujuan agar dapat dibuktikan dengan pasti bahwa para rasul itu telah menyampaikan risalah Tuhan mereka kepada manusia dengan sebaik-baiknya. Allah berfirman:

وَلَيَعْلَمَنَّ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَيَعْلَمَنَّ الْمُنٰفِقِيْنَ   ١١

Dan Allah pasti mengetahui orang-orang yang beriman dan Dia pasti mengetahui orang-orang yang munafik.  (al-’Ankabut/29: 11)

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa ilmu-Nya meliputi apa yang diketahui oleh malaikat-malaikat pengawas, apa yang telah ada, dan yang akan ada satu persatu. Dia mengetahui segala sesuatu secara sempurna, tidak ada persamaan. Malaikat itu adalah perantara yang menyampaikan ilmu-ilmu-Nya kepada para rasul.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Muzzammil ayat 1


 

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 21-24

0
Tafsir Surah Al Jinn
Tafsir Surah Al Jinn

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 21-24 dijelaskan bahwa Rasulullah sebagai manusia yang paling mulia di sisi Allah juga tidak bisa melindungi dirinya sendiri apalagi orang lain. Oleh sebab itu Tafsir Surah Al-Jinn ayat 21-24 ini Allah juga menghibur Rasulullah bahwa kelak mereka yang mendustai perkara jin akan mendapat siksa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Jinn ayat 17-20


Ayat 21

Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak dapat bertindak lain dalam persoalan tersebut, tidak sanggup memberi petunjuk, dan mendatangkan kebahagiaan atau kebajikan bagi mereka. Allah memerintahkan Nabi saw untuk menyampaikan kepada orang-orang kafir bahwa ia tidak dapat memberi suatu kemudaratan kepada mereka, baik dalam urusan agama maupun urusan dunia, dan tidak dapat pula memberi manfaat kepada mereka. Hanya Allah yang dapat berbuat demikian seluruhnya. Allah memiliki segala sesuatu dan Dialah yang Mahakuasa atas segala sesuatu.

Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk bertawakal kepada Allah karena Dialah yang akan memberi pahala atas tindakannya yang baik. Dia pulalah yang akan memberi balasan kepada orang-orang kafir atas tindakan-tindakan buruk yang mereka lakukan. Hal ini berarti pula bahwa Nabi saw tidak akan meninggalkan dakwah walaupun orang-orang kafir terus menentang.

Ayat 22-23

Dalam Tafsir Surah Al-Jinn ayat 21-24 khususnya 2 ayat-ayat ini, Allah menyatakan bahwa Nabi Muhammad tidak sanggup melindungi dirinya sebagaimana ia tidak sanggup pula melindungi orang lain. Oleh sebab itu, Allah menyuruh Nabi-Nya untuk mengatakan bahwa tidak ada seorang pun di antara makhluk Allah yang sanggup melindunginya dari kemudaratan bila Allah menghendakinya. Tidak ada yang dapat membantunya dan tidak ada tempat berlindung selain kepada Allah. Bila Nabi saw terus menjalankan risalah dan menaati-Nya, Allah pasti akan melindunginya. Maksudnya, tidak ada yang akan membela Nabi saw dari ancaman-ancaman Allah bila ia tidak menjalankan risalah-Nya. Nabi hanya bertugas untuk menyampaikan risalah dan peringatan Allah sebagaimana firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ مِنْ رَّبِّكَ ۗوَاِنْ لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسٰلَتَهٗ ۗوَاللّٰهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ

Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. (al-Ma’idah/5: 67)

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa barang siapa yang berani durhaka terhadap suatu perintah atau larangan-Nya serta mendustai Rasul-Nya maka baginya telah disediakan neraka yang akan ditempatinya untuk selama-lamanya. Ia tidak akan sanggup menghindarkan diri dari neraka itu.

Ayat 24

Allah lalu menghibur dan menenteramkan Nabi Muhammad serta mengejek orang-orang kafir karena kekurang perhatian mereka terhadap jin, sedangkan mereka mengaku sebagai cerdik pandai, dan juga karena kecerobohan mereka mendustakan dan mengejek sesuatu. Akan tetapi di samping itu, mereka cepat mengakui kebenaran jin serta mengharap petunjuk darinya. Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang kafir senantiasa menghina dan mengejek orang-orang mukmin sehingga mereka melihat dengan mata kepala sendiri siksa-siksa yang dijanjikan kepada mereka. Ketika itu, barulah mereka sadar siapakah sebenarnya yang hina, apakah orang-orang mukmin yang mentauhidkan Allah ataukah orang-orang musyrik yang tidak mempunyai pembantu dan penolong?

حَتّٰىٓ اِذَا رَاَوْا مَا يُوْعَدُوْنَ اِمَّا الْعَذَابَ وَاِمَّا السَّاعَةَ ۗفَسَيَعْلَمُوْنَ مَنْ هُوَ شَرٌّ مَّكَانًا وَّاَضْعَفُ جُنْدًا

… sehingga apabila mereka telah melihat apa yang diancamkan kepada mereka, baik azab maupun Kiamat, maka mereka akan mengetahui siapa yang lebih jelek kedudukannya dan lebih lemah bala tentaranya. (Maryam/19: 75)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Jinn ayat 25-28


 

Tafsir Ahkam: Hukum Istinja’ Sebelum Shalat

0
Hukum Istinja’ Sebelum Shalat
Hukum Istinja’ Sebelum Shalat

Redaksi Al-Qur’an yang menyinggung tentang kewajiban sebelum salat secara umum, yakni hanya menjelaskan sebelum shalat hendaknya berwudu. Dengan begitu, timbulah adanya perdebatan tentang teknis berwudhu, akan tetapi, ternyata juga memancing perdebatan lain. Yakni tentang kewajiban bercebok sebelum salat atau tentang bagaimana hukum istinja’ sebelum shalat.

Apakah setelah selesai kencing atau buang air besar, kemudian hendak mengerjakan shalat perlu beristinjak terlebih dahulu?, sementara najis tidak melebar ke bagian lain terutama tempat keluarnya kencing atau kotoran, benarkah kita harus bercebok terlebih dahulu kemudian berwudhu? Atau langsung saja berwudhu? sebab tidak ada perintah bercebok di dalam Al-Qur’an. Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan pakar hukum fikih.

Baca juga: Catatan Kritis Mun’im Sirry terhadap Sumber tentang Kanonisasi Al-Qur’an

Bercebok Sebelum Shalat

Ulama’ mengulas hukum bercebok sebelum shalat tatkala mengulas firman Allah yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).

Imam al-Qurthubi menjelaskan, berdasar ayat ini sebagian ulama menyatakan bahwa mensucikan diri dari najis sebelum shalat hukumnya tidak wajib. Sebab Allah hanya menjelaskan bahwa sebelum shalat hendaknya berwudhu, dan tidak menyinggung perihal istinja’. Andai membersihkan diri dari najis hukumnya wajib, tentu sebelum wudhu dijelaskan terlebih dahulu perihal istinja’ (bercebok).

Ulama’ yang meyakini bahwa menghilangkan najis sebelum salat hukumnya tidak wajib adalah Imam Abu Hanifah dan Imam Malik berdasar riwayat Imam Asyhab. Sedangkan Imam Ibn Wahb meriwayatkan dari Imam Malik menyatakan bahwa menghilangkan najis hukumnya wajib entah itu dalam keadaan ingat atau lupa. Pendapat ini juga diyakini oleh Imam Syafi’i. Sementara Imam Ibn Qasim meyakini bahwa kewajiban menghilangkan najis menjadi gugur sebab lupa (Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an/6/100).

Imam Ar-Razi memberikan penjelasan agak berbeda. Ia menuturkan, Imam As-Syafi’i meyakini bahwa istinja’ (bercebok) hukumnya wajib. Dan bisa dilakukan baik menggunakan air atau batu. Sedang Abu Hanifah meyakini bahwa istinja’ hukumnya tidak wajib. Ia beralasan sebab dalam Al-Qur’an dijelaskan setelah membuang hajat hendaknya berwudhu. Andai istinja’ wajib, tentu dijelaskan bahwa setelah membuang hajat hendaknya istinja’ terlebih dahulu baru berwudhu (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/494).

Baca juga: Mengenal Terjemahan Tematik Berbasis Kata Kunci dalam “Kamus Pintar Al-Qur’an” Karya Muhammad Chirzin

Pendapat Abu Hanifah yang menyatakan tidak wajib menghilangkan najis, tidaklah hendak menyatakan bahwa meski kencing atau kotoran manusia mengenai bagian tubuh lain, hukum shalat tetap sah. Sebab Abu Hanifah memberi batasan bahwa tempat yang tidak wajib disucikan adalah seukuran dirham baghli atau kira-kira seukuran telapak kaki keledai pada tempat keluarnya najis tersebut.

Imam al-jashshash menjelaskan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa istinja’ tidak wajib, memberi catatan bahwa najis yang keluar tidak sampai mengenai bagian lain selain tempat keluarnya. Sedang Ibn ‘Arabi menjelaskan, Abu Hanifah sedang ingin membedakan antara najis sedikit dengan najis banyak. Najis sedikit tidaklah wajib untuk dihilangkan (Ahkamul Qur’an Lil Jashshash/5/357 dan Ahkamul Qur’an Lil Ibn ‘Arabi/4/428).

Sedang Mazhab Syafi’iyah mewajibkan bercebok berdasar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas bahwa Nabi bersabda:

« يُعَذَّبَانِ ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيرٍ » ، ثُمَّ قَالَ « بَلَى ، كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ ، وَكَانَ الآخَرُ يَمْشِى بِالنَّمِيمَةِ »

“Ada dua orang diadzab, dan keduanya tidak diazab sebab permasalahan besar”. Beliau lalu meneruskan: “Ya, salah satu dari keduanya tidak menjaga diri dari kencingnya, sedang yang lain melakukan adu domba” (HR. Bukhari-Muslim).

Hadis ini menunjukkan kewajiban istinja’ atau bercebok. Sebab andai tidak wajib, tentu tidak diadzab (Tafsir Munir/6/113).

Baca juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa titik perbedaan pendapat mengenai kewajiban menghilangkan najis sebelum salat, adalah pada najis yang ada di tempat keluarnya kencing atau kotoran pada kemaluan atau dubur. Untuk selain keduanya, tetap wajib mensucikan diri dari najis. Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 17-20

0
Tafsir Surah Al Jinn
Tafsir Surah Al Jinn

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 17-20 Allah menegaskan bahwa siapapun yang menyekutukan Allah, maka dia akan mendapat azab yang paling dahsyat dan tidak ada siapapun yang dapat terlepas darinya. 


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Jinn ayat 10-16


Ayat 17

Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa mereka diberi kelapangan hidup untuk menguji dan mengamati siapa di antara mereka yang mensyukuri nikmat-Nya dan siapa pula yang mengingkarinya. Bagi yang mensyukurinya, Allah menyediakan balasan yang paling sempurna, dan bagi mereka yang mengingkari, Allah memberikan kesempatan dan mengundurkan siksa-Nya. Kemudian barulah Allah menjatuhkan azab-Nya. Dalam ayat yang lain, Allah berfirman:

وَاُمْلِيْ لَهُمْۗ اِنَّ كَيْدِيْ مَتِيْنٌ   ٤٥

Dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.  (al-Qalam/68: 45)

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa barang siapa yang berpaling dari Al-Qur’an dan petunjuk-Nya, tanpa mengikuti perintah-perintah-Nya serta tidak pula menjauhi larangan-larangan-Nya, Allah akan menyiksanya dengan azab yang paling dahsyat dan ia tidak dapat melepaskan diri daripada-Nya.

Ayat 18

Dalam ayat ini, Allah menyatakan bahwa masjid-masjid itu adalah milik-Nya. Oleh sebab itu, seyogyanya tidak ada penyembahan di dalamnya selain kepada-Nya dan tidak pula mempersekutukan-Nya.

Qatadah berkata, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani bila masuk ke gereja dan tempat-tempat peribadatan, mereka mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan lainnya. Lalu Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar mengesakan-Nya dan mengabdi kepada-Nya dengan penuh khusyu.

Al-Hasan al-Bashri berkata, “Yang dimaksud dengan masjid-masjid adalah semua tempat sujud di bumi, baik yang telah disediakan untuk sujud maupun tidak, karena bumi seluruhnya adalah tempat sujud bagi umat Nabi Muhammad.” Pengertian semacam ini adalah masjid dalam arti lugawi atau bahasa, sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i dari Jabir:

جُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا. (رواه البخاري ومسلم والنسائي)

Telah dijadikan bumi ini seluruhnya bagiku sebagai tempat sujud dan menyucikan. (Riwayat al-Bukhari, Muslim, dan an-Nasa’i)

Masjid bukan hanya untuk salat saja, melainkan untuk berbagai kegiatan ibadah-ibadah lainnya.

Ayat 19

Dalam Tafsir Surah Al-Jinn ayat 17-20 khususnya ayat 19 ini, dijelaskan bahwa ketika Nabi Muhammad menyembah Allah, maka jin-jin yang menyaksikannya menjadi heran dan tercengang melihat cara Nabi dan para sahabat menyembah-Nya. Keheranan itu juga dikarenakan bacaan Al-Qur’an yang belum pernah mereka dengar. Lebih-lebih lagi ketika melihat para sahabat sebagai makmum mengikuti Nabi Muhammad salat dalam keadaan berdiri, rukuk, dan sujud.

Al-Hasan dan Qatadah berkata, “Ketika hamba Allah menyiarkan risalah dengan memanggil untuk mentauhidkan Allah, berbeda dengan ibadah orang-orang musyrik kepada berhala-berhala mereka, maka hampir orang-orang kafir yang menentang dan memusuhi Nabi Muhammad, bersatu padu dan bantu-membantu dalam memusuhi-Nya.

Ayat 20

Dalam ayat ini, Allah menyuruh Nabi Muhammad agar mengatakan kepada orang-orang yang memusuhinya bahwa beliau hanya menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apa pun. Hal yang demikian itu bukanlah suatu yang luar biasa dan bukan pula suatu yang harus dibenci, sehingga mereka beramai-ramai memusuhinya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Jinn ayat 21-24


 

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 10-16

0
Tafsir Surah Al Jinn
Tafsir Surah Al Jinn

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 10-16 ini mengulas lebih lanjut mengenai jin yang beriman dan jin yang kafir. Sama halnya dengan manusia, Jin yang beriman akan mengagungkan Allah ketika mendengar Alquran.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Jinn ayat 8-9


Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah menambah lagi keterangan jin tentang keyakinan mereka bahwa langit itu dijaga karena salah satu dari dua hal:

  1. karena Allah akan menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi secara tiba-tiba.
  2. karena dia akan mengutus seorang rasul yang akan membimbing umat manusia dan memperbaiki keadaan mereka.

Seolah-olah jin itu berkata, “Apakah karena Allah akan menurunkan siksa atas penduduk bumi maka kita dilarang mencuri berita, dan merajam siapa yang berani mencuri berita tersebut dengan panah-panah api, atau karena Allah menghendaki memberi petunjuk kepada manusia dengan mengirim seorang rasul yang akan membimbing mereka ke jalan yang lurus?”

Ayat 11

Dalam keterangan selanjutnya, Allah menyatakan bahwa di antara jin-jin itu ada yang Islam, mengerjakan amal saleh, dan taat kepada Allah, tetapi ada pula yang sebaliknya, yaitu tidak beriman dan ingkar kepada perintah Allah. Jin-jin itu juga mempunyai kemauan bermacam-macam dan pendapat yang berbeda-beda, sehingga di antara mereka ada yang beriman, ada yang fasik, dan ada pula yang kafir, seperti halnya manusia.

Ayat 12

Jin-jin itu juga menjelaskan bahwa mereka yakin tidak akan terlepas dari genggaman Allah, di mana pun mereka berada di dunia ini, dan juga tidak dapat melepaskan diri. Allah Maha Menguasai jin-jin itu di mana saja mereka berada dan tidak ada jalan untuk melarikan diri daripada-Nya.


Baca Juga: 3 Klasifikasi Rezeki dalam Al-Quran


Ayat 13

Dijelaskan juga bahwa ketika jin-jin itu mendengar Al-Qur’an yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, mereka langsung beriman kepadanya serta mengakui bahwa Al-Qur’an itu dari Allah.

Menurut Qatadah, ayat ini memiliki pengertian bahwa barang siapa beriman kepada Allah dan membenarkan apa yang dibawa oleh para rasul, tidak ada kekhawatiran baginya tentang pengurangan pahala kebajikannya dan tidak ada pula dosa orang lain yang harus dipertanggungjawabkannya. Ia akan menerima pahala amal baik sepenuhnya tanpa pengurangan sedikit pun.

Ayat 14

Dalam Tafsir Surah Al-Jinn ayat 10-16 khususnya ayat ini, dijelaskan bahwa di antara jin-jin itu ada yang beriman menaati Allah, khusyuk dan ikhlas, serta beramal saleh. Ada pula di antara mereka yang berpaling dari ajaran yang benar. Oleh karena itu, barang siapa yang beriman kepada Allah dan menaati-Nya, sesungguhnya dia telah menempuh jalan yang akan menyampaikannya kepada kebahagiaan. Hal itu juga berarti bahwa ia telah melakukan sesuatu yang menyelamatkannya dari siksa neraka.

Ayat 15

Jin-jin yang beriman itu mencela jin yang kafir, dengan penegasan mereka sendiri, bahwa jin yang berpaling dari ketentuan-ketentuan Islam akan dijadikan bahan bakar neraka dan disiksa di dalamnya, sebagaimana manusia yang kafir. Mereka juga menyatakan bahwa barang siapa yang taat (Islam), maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.

Semua yang dijelaskan dalam ayat-ayat yang telah lalu adalah pernyataan jin yang diungkapkan Allah. Berikut ini, Allah meneruskan kembali wahyu-wahyu-Nya yang disampaikan kepada Rasulullah saw.

Ayat 16

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa siapa saja di antara manusia atau jin yang tetap berpegang dan menjalankan ketentuan-ketentuan Islam, Allah akan melapangkan rezekinya serta memudahkan semua urusan dunia mereka.

Dalam rangka melapangkan rezeki, Allah mengungkapkannya dengan kata “air yang segar”, karena air itu adalah sumber kehidupan. Banyak air berarti kebahagiaan yang luas. Firman Allah:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ

Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.  (al-A’raf/7: 96)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Jinn ayat 17-19


 

Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?

0
Apa itu tahadduts bi an-ni'mah?
Apa itu tahadduts bi an-ni'mah?

Sebagai bentuk syukur terhadap nikmat dan anugerah yang Allah berikan kepada hambaNya yaitu anjuran untuk menceritakan berita baik tersebut. Hal ini biasa kita kenal dengan istilah ‘tahadduts bi an-ni’mah’. Sebuah istilah yang umum dipakai oleh seseorang untuk menceritakan nikmat yang telah diterima dengan agar dapat diambil hikmah bagi setiap orang yang mendengarnya.

Baca Juga: Tafsir Surat Ad Duha Ayat 7-11

Lalu, apa itu sebenarnya tahadduts bi an-ni’mah ?

Dalam Tafsir Mujahid disampaikan tentang definisi tahadduts bi an-ni’mah dari Sayyidina Husain bin Ali Ra:

هُوَ الْعَمَلُ الصَّالِحُ  يَعْمَلُهُ الرَّجُلُ فَيُحَدِّثُهُ بِهِ إِخْوَانَهُ مِنْ أَهْلِ ثِقَاتِهِ لِيَسْتَنَّ بِهِ وَيَعْمَلُ مِثْلَهُ

“(Tahadduts bin ni’mah) adalah sebuah amal perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang, kemudian ia menceritakannya terhadap seseorang yang dipercayainya dengan tujuan agar mereka mampu meniru dan melakukan hal serupa.”

Apabila dirunut dari dasar teologisnya, istilah tahadduts bi an-ni’mah berasal dari salah satu Firman Allah Swt. dalam Al-Quran yang berbunyi:

وأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu sebutkan”. (QS. adh-Dhuha: 11)

Kyai Thaifur Ali Wafa al-Madury -mufassir Nusantara- dalam kitab tafsirnya yang berjudul Firdaus an-Na’im, menafsirkan ayat tersebut dengan,

لِأنّ التَّحَدُّثَ بِالنِّعْمَة هُوَ شُكْرُهَا

“Hal tersebut karena tahadduts bi an-ni’mah merupakan ekspresi dari rasa mensyukuri nikmat”.

وَالتَّحَدُّث بِالنِّعْمةِ جائزٌ لِغَيْرِهِ صلى الله عليه وسلم إذا قَصَدَ بِهَ الشُّكْرُ وَأَنْ يَقْتَدِيَ بِهِ غَيْرُهُ وأَمَنَ عَلَى نَفْسِهِ الْغَرُورُ وَالْكِبرُ

Lebih jauh, beliau memaparkan bahwasanya tahadduts bi an-ni’mah -meskipun konteks perintah pada ayat tersebut diperuntukkan untuk Nabi Muhammad Saw- juga diperbolehkan untuk dilakukan oleh selain Nabi Muhammad Saw. Namun, dengan memenuhi beberapa syarat:

1). Apabila bertujuan untuk bersyukur

2). Apabila bertujuan agar ditiru oleh orang lain.

3). Apabila selamat dari rasa sombong.

Beliau juga mengutip perkataan Sayyidina Hasan bin Ali Ra,

قال الحسن بن علي رضي الله عنهما إذا عَملتَ خيرا فحدِّثْ به إِخْوانَكَ لِيَقْتَدُوا بِكَ

“Apabila kamu melakukan suatu kebaikan, maka ceritakanlah kebaikan tersebut kepada kawanmu, agar mereka meniru perbuatanmu tersebut”. (Kyai Thaifur Ali Wafa al-Madury, Firdaus an-Na’im, Juz. 6, Hal. 409).

Senada dengan penafsiran Kyai Thaifur Ali Wafa diatas, Syekh al-Qurthuby dalam kitab tafsirnya menafsirkan ayat tersebut dengan,

الرابعة قوله تعالى وَأَمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ  أي أَنْشُرْ مَا أَنْعَمَ اللهُ عليك بِالشُّكرِ والثَّنَاءِ وَالتَّحَدُّث بِنِعَمِ الله وَالإِعْتِرَافُ بِها شُكْرٌ

“Publikasikanlah nikmat Allah Swt yang telah Ia berikan kepadamu dengan cara bersyukur kepada-Nya, memuji-Nya, dan menceritakannya (ber tahadduts bi an-ni’mah). Hal tersebut karena mengakui akan nikmat yang telah diberikan-Nya merupakan wujud ungkapan mensyukurinya”.

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Bagaimanakah cara ber tahadduts bi an-ni’mah?

Syekh al-Qurthuby dalam menafsirkan ayat tersebut juga memaparkan riwayat tentang contoh bagaimana cara ber tahadduts bi an-ni’mah,

وعن عمرو بن ميمون قال إذا لَقِيَ الرَّجُلُ مِنْ إِخْوَانِهِ مَن يَثقُ بِه يقول له رَزَقَنِي اللّهُ مِن الصَّلَاةِ الْبَارِحَة كذا وكذا  وَكَانَ أبو فراس عبد الله بن غالب إذَا أَصْبَحَ يقول لَقَدْ رَزَقَنِي اللّهُ البارِحَةَ كذا وقرأتُ كذا وصَلَّيْتُ كذا وَذَكَرْتُ الله كذا وَفَعَلْتَ كذا فقلنا له يا أبا فراس إِنّ مِثْلَكَ لَا يقول هذا قال يقول الله تعالى وَأمّا بِنِعْمَةِ رَبّكَ فَحَدّثْ  وتقولون أَنْتُم لَا تَحدّثْ بنعمة الله

Berdasar riwayat ini, dijelaskan bahwa meneritakan rizki yang diterima seseorang itu tidak semua orang meganggapnya biak, namun hal tersebut boleh-boleh saja dengan bersandar pada ayat 11 surah Ad-Duha. Adapun mengenai caranya, sebagaimana terlihat dalam riwayat di atas, menceritakan itu hendaknya tetap dengan kerendahan hati seperti yang terlihat di atas, tetap dengan menyebut nama Allah Swt.

Lebih jelas lagi, menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin, bahwasanya dalam menerapkan tahaduts bin ni’mah tidaklah diharuskan menceritakannya secara langsung dengan kata-kata. Bahasa tubuh dan perilaku yang mampu menunjukkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah Swt serta berpotensi menggugah dan memotivasi orang lain untuk melakukan kebaikan juga dapat dikategorikan sebagai perilaku tahadduts bi an-ni’mah, semisal dengan melakukan sedekah secara terang-terangan. Sedekah dengan terang-terangan dapat dikategorikan tahadduts bin ni’mah apabila ada tujuan menunjukkan rasa syukur atas nikmat dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal serupa. (al-Ghazaly, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, Juz. 1, Hal. 228).

Baca Juga: Tafsir Surah Yunus Ayat 12: Bersabar Saat Bahaya dan Bersyukur Kala Bahagia

Lalu, apa perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ ?

Kalau riya’ definisinya adalah memperlihatkan (memamerkan) ibadah supaya dilihat manusia, untuk kemudian agar dipuji manusia.

والرياء بكسر الراء والمد ومثناة تَحْتِيَةُ إِظْهَارِ الْعِبَادةِ لِيَرَاها النَّاُس فَيَحْمَدُوْهُ

Jadi, inti perbedaan antara tahadduts bi an-ni’mah dengan riya’ itu terletak pada niat kita ketika menceritakan amal baik yang kita lakukan, ingin dipuji manusia atau ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt ?. Apabila ingin dipuji manusia, maka termasuk riya’, kalau ingin bersyukur pada Allah Swt dan ingin ditambah nikmatnya oleh Allah Swt, maka termasuk tahaduts bin ni’mah.

Oleh karena itu, Syekh Wahbah az-Zuhaily dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Munir -saat menafsirkan ayat tersebut- beliau memperingatkan agar ketika kita menceritakan nikmat tersebut malah dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah dan ujub, maka lebih baik tidak perlu diceritakan saja nikmat tersebut (ditutupi saja).

قال العلماء المحققون  التَّحْدِيْثُ بِنِعَمِ الله تعالى جَائِزٌ مُطْلَقًا بَلْ مَنْدُوبٌ اِلَيْه إِذَا كَانَ الْغَرَضُ أَنْ يَقْتَدِيَ به غَيْرُهُ أوْ أنْ يُشَيِّعَ شُكْرَ رَبّه بِلِسانِه وَإِذَا لَمْ يَأمَنْ على نفسه الْفِتْنَةُ وَالْإعْجَابُ فَالسِّتْرُ أَفْضَلُ

Walhasil, dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya Allah Swt memerintahkan kita -apabila mendapatkan berbagai macam nikmat dari-Nya- agar ber tahadduts bi an-ni’mah (menceritakan nikmat), yang tentunya dengan memperhatikan syarat yang telah disebutkan dan agar orang yang mendengarnya tergerak hatinya untuk meniru perbuatan baik yang telah kita lakukan. Akhir kata, mari bercerita tentang nikmat hari ini! Wallahu a’lam

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 8-9

0
Tafsir Surah Al Jinn
Tafsir Surah Al Jinn

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 8-9 dikisahkan bahwa ketika Allah menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad, panah api disediakan diseluruh penjuru langit untuk menjaga dari jin-jin yang berusaha mencuri berita.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-Jinn ayat 1-7


Ayat 8

Pada ayat ini, Allah menambah lagi pernyataan jin ketika Dia mengutus Nabi Muhammad dan menurunkan Al-Qur’an kepadanya serta menjaga beliau dari jin-jin itu. Langit ketika itu dijaga dengan ketat, dan panah-panah api disediakan di seluruh penjuru langit untuk mencegah jin-jin mendekatinya guna mencuri berita-berita yang dapat didengar, sebagaimana yang sering mereka lakukan.

Telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, dan ath-Thabrani dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata:

كَانَ الْجِنُّ يَصْعَدُوْنَ إِِلَى السَّمَاءِ يَسْتَمِعُوْنَ الْوَحْيَ فَإِذَا سَِمعُوا الْكَلِمَةَ زَادُوْ فِيْهَا تِسْعًا. فَأَمَّا الْكَلِمَةُ فَتَكُوْنُ حَقًّا وَأَمَّا مَا زَادُوْهُ فَيَكُوْنُ بَاطِلاً. فَلَمَّا بُعِثَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُِنعُوْا مَقَاعِدَ هُمْ. فَذَ كَرُوْا ذَلِكَ ِلإِبْلِيْسَ وَلَمْ تَكُنِ النُّجُوْمُ يُرْمٰى بِهَا قَبْلَ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ  إِبْلِيْسُ مَا هَذَا إِلاّ َمِنْ أَمْرٍ قَدْ حَدَثَ فِى اْلأَرْضِ، فَبَعَثَ جُنُوْدَهُ فَوَجَدُوْا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيِْه وَسَلَمَ قَاِئمًا يُصَلِّي بَيْنَ جَبَلَيْنِ اَرَاهُ قَالَ بِمَكَّةَ فَلَقَوْهُ فَأَخْبَرُوْهُ فَقَالَ هَذَا الْحَدَثُ الَّذِيْ حَدَثَ فِى اْلاَرْضِ. (رواه الترمذي والطبراني)

Dahulu jin-jin itu dapat naik ke langit untuk mendengar wahyu. Ketika mereka mendengar suatu kata lalu mereka tambah dengan sembilan kata lainnya. Ucapan (yang mereka dengar) adalah benar tetapi tambahan-tambahan mereka semuanya bohong. Ketika Nabi saw diutus menjadi rasul, mereka dilarang menduduki tempat-tempat tersebut. Lalu mereka sampaikan larangan tersebut kepada Iblis; sedangkan ketika itu bintang-bintang belum dipakai untuk memanah jin-jin itu. Lalu iblis berkata kepada mereka, “Larangan itu disebabkan suatu kejadian di muka bumi,” lalu Iblis mengirim tentara-tentaranya untuk menyelidiki kejadian tersebut. Mereka mendapatkan Nabi saw yang sedang mengerjakan salat di antara dua gunung di Mekah, lalu mereka menemui Iblis dan menyampaikan penemuan mereka itu kepadanya, lalu Iblis berkata, “Inilah kejadian yang terjadi di permukaan bumi.” (Riwayat at-Tirmidzi dan ath-Thabrani)


Baca Juga: Menelisik Jin dalam Al-Quran, Makhluk yang Juga Dibebani Syariat


Ayat 9

Dalam Tafsir Surah Al-Jinn ayat 8-9 khususnya ayat ini kembali dijelaskan tentang keterangan jin bahwa mereka menduduki tempat-tempat tersebut tanpa ada penjaga dan panah-panah api. Mereka lalu diusir dari sana sehingga tidak dapat mencuri atau mendengar Al-Qur’an sedikit pun untuk disampaikan kepada ahli-ahli nujum dan tukang-tukang tenung yang akan mencampuradukkan yang benar dengan yang batil. Yang demikian itu disebabkan kasih sayang Allah kepada hamba-Nya dan sebagai penjagaan terhadap kitab-Nya, Al-Qur’an. Maka barang siapa yang ingin mencuri berita-berita tersebut sejak itu dia akan diburu dengan panah-panah api yang akan menusuk dan membinasakannya.

Kita harus beriman kepada apa yang diberitakan oleh Al-Qur’an mengenai jin yang mencuri berita-berita yang dapat didengarkan, kemudian mereka dilarang sesudah pengutusan Nabi Muhammad, walaupun kita tidak tahu bagaimana cara mereka mencuri, cara bagaimana penjagaan, berapa banyak para penjaga. Kita juga tidak tahu apa yang dimaksud dengan panah-panah api yang mengintip mereka, sedangkan jin itu juga berasal dari api, maka bagaimana cara mereka dapat ditembusi oleh panah-panah api itu.

Di antara mufassir ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “tempat-tempat untuk mencuri berita” adalah tempat-tempat yang dipergunakan oleh jin di dalam dada manusia untuk menggoda mereka dan menghalangi mereka mengikuti jalan yang benar. Sedangkan yang dimaksud dengan “penjaga” adalah dalil-dalil akli (akal/rasio) yang dijadikan Allah sebagai petunjuk bagi hamba-hamba-Nya, dan yang dimaksud dengan “panah-panah api” adalah bukti-bukti alamiah yang tersebar dalam tubuh masing-masing dan di seluruh penjuru alam.

Dengan demikian, maksud ayat tersebut adalah sesungguhnya Al-Qur’an yang mengandung bukti-bukti

 dan alamiah adalah penjaga agama dari kemasukan hal-hal syubhat yang dilontarkan oleh setan, sebagai alat untuk menggoda dan membimbangkan orang-orang yang dapat digodanya. Juga untuk mempengaruhi jiwa-jiwa orang yang sesat agar mereka tidak menghiraukan agama dan menolak petunjuk-petunjuknya. Maka barang siapa yang ingin mempengaruhi jiwa-jiwa orang yang beriman dengan keragu-raguan dan pikiran yang bukan-bukan, maka ia akan berhadapan dengan bukti-bukti yang dapat memusnahkan keragu-raguan itu dari akar-akarnya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Jinn ayat 10-16


 

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 1-7

0
Tafsir Surah Al Jinn
Tafsir Surah Al Jinn

Tafsir Surah Al-Jinn ayat 1-7 berupa penjelasan tentang Jin yang beriman kepada Allah sekaligus dengan ciri-cirinya.


Baca Juga: Menelisik Jin dalam Al-Quran, Makhluk yang Juga Dibebani Syariat


Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyampaikan kepada para sahabat tentang jin yang beriman kepada Allah. Keimanan jin itu mengandung arti:

  1. bahwa Nabi Muhammad adalah rasul bagi umat manusia dan juga bagi jin, sebagaimana juga diungkapkan dalam ayat yang lain.
  2. bahwa jin mendengar dan mengerti bahasa manusia, sebagaimana juga dinyatakan dalam ayat-ayat lain.
  3. bahwa jin juga akan dihisab sebagaimana halnya manusia.
  4. bahwa adanya jin yang juga yang berdakwah kepada kaumnya.
  5. agar orang-orang Quraisy mengetahui bahwa jin saja ketika mendengar Al-Qur’an mengakui kemukjizatannya dan beriman kepadanya.

Berdasarkan pengertian ayat ini, dipahami bahwa Nabi Muhammad mengetahui bahwa jin mendengar bacaan beliau dengan perantaraan wahyu, bukan dengan menyaksikan dengan mata beliau sendiri.

Ayat 2

Sebagaimana di ayat pertama, dalam ayat kedua ini Allah menyatakan bahwa jin telah mendengar Al-Qur’an yang membuat mereka takjub karena  memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu mereka beriman. Mereka bertekad tidak akan mempersekutukan Allah dengan apa pun. Apa yang mereka dengar dan sikap mereka setelah itu juga disampaikan kepada kaum mereka, sebagaimana disebutkan juga dalam ayat lain:

فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا اِلٰى قَوْمِهِمْ مُّنْذِرِيْنَ

Maka ketika telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. (al-Ahqaf/46: 29)

Ayat 3

Dalam ayat ini, diterangkan bahwa sebagaimana mereka menghindarkan diri dari mempersekutukan Allah, para jin itu juga menyucikan-Nya dari mempunyai istri atau anak. Mempunyai teman istri dan anak hanyalah keperluan manusia, sebagaimana firman Allah:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (ar-Rum/30: 21)

Ayat 4

Dalam ayat ini, diungkapkan bahwa di antara jin-jin itu ada yang mengucapkan perkataan yang jauh dari kebenaran, yaitu bahwa Allah mempunyai anak dan teman wanita.

Ayat 5

Dalam Tafsir Surah Al-Jinn ayat 1-7 khususnya ayat 5 ini diterangkan bahwa jin itu menyatakan tidak pantas bila ada jin maupun manusia yang berani mengatakan Allah beranak dan mempunyai istri.

Ayat 6

Jin itu juga mengatakan bahwa banyak di antara manusia yang berlindung dan memohon kepada jin. Hal itu mengakibatkan manusia dikuasai oleh jin, dan dibawa untuk berbuat kejahatan sehingga mereka durhaka dan berdosa. Firman Allah:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًاۚ يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِّنَ الْاِنْسِ

Dan (ingatlah) pada hari ketika Dia mengumpulkan mereka semua (dan Allah berfirman), “Wahai golongan jin! Kamu telah banyak (menyesatkan) manusia….” (al-An’am/6: 128)

Ayat 7

Selanjutnya diterangkannya bahwa jin yang tidak beriman itu mengira sebagaimana perkiraan manusia, bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasul pun kepada makhluk-Nya untuk mengajak mereka kepada tauhid dan iman kepada-Nya dan hari kiamat.  Selanjutnya diterangkannya bahwa jin yang tidak beriman itu mengira sebagaimana perkiraan manusia, bahwa Allah tidak akan mengutus seorang rasul pun kepada makhluk-Nya untuk mengajak mereka kepada tauhid dan iman kepada-Nya dan hari kiamat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Al-Jinn 8-9