Beranda blog Halaman 269

Tafsir Surah Saba’ Ayat 28-30

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 28-30 menerangkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh umat manusia untuk membawa risalah ilahi. Akan tetapi, hal ini ditentang oleh kaum musyrik ketika itu, mereka tidak mempercayai Muhammad adalah seorang Nabi yang membawa kabar gembira maupun peringatan dari Allah Swt. Justru, mereka mengejek apa yang nabi sampaikan kepada mereka, dengan ejekan yang menghina.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 25-27


Tafsir Surah Saba’ Ayat 28-30 juga menjelaskan bahwa, sebab keingkaran mereka, Allah menjanjikan kepada bahwa perbuatan mereka akan dipertanggungjawabkan kelak, dan Allah juga menjamin bahwa hari kiamat dan hari pembalsan itu benar-benar ada serta akan terjadi.

Ayat 28

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada seluruh manusia. Ia bertugas sebagai pembawa berita gembira bagi orang yang mempercayai dan mengamalkan risalah yang dibawanya dan sekaligus pembawa peringatan kepada orang yang mengingkari atau menolak ajaran-ajarannya.

Nabi Muhammad adalah nabi penutup, tidak ada lagi nabi dan rasul diutus Allah sesudahnya. Dengan demikian, pastilah risalah yang dibawanya itu berlaku untuk seluruh manusia sampai kiamat. Sebagai risalah yang terakhir, maka di dalamnya tercantum peraturan-peraturan dan syariat hukum-hukum yang layak dan baik untuk dijalankan di setiap tempat dan masa.

Risalah yang dibawa Nabi Muhammad bersumber dari Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui. Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dan segala apa yang ada pada keduanya. Dialah yang mengatur segala apa yang ada pada keduanya.

Dialah yang mengatur semuanya itu dengan peraturan yang amat teliti sehingga semuanya berjalan dengan baik dan harmonis. Allah yang demikian besar kekuasaan-Nya tidak mungkin akan menurunkan suatu risalah yang mencakup seluruh umat manusia kalau peraturan dan syariat itu tidak mencakup seluruh kepentingan manusia pada setiap masa.

Dengan demikian, pastilah risalahnya itu risalah yang baik untuk diterapkan kepada siapa dan umat yang mana pun di dunia ini. Banyak ayat di dalam Al-Qur’an yang menegaskan bahwa Muhammad diutus kepada manusia seluruhnya.

تَبٰرَكَ الَّذِيْ نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلٰى عَبْدِهٖ لِيَكُوْنَ لِلْعٰلَمِيْنَ نَذِيْرًا ۙ

Mahasuci Allah yang telah menurunkan al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia). (al-Furqan/25: 1)

Dan firman-Nya:

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا ۨالَّذِيْ لَهٗ مُلْكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهِ النَّبِيِّ الْاُمِّيِّ الَّذِيْ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَكَلِمٰتِهٖ وَاتَّبِعُوْهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya). Ikutilah dia, agar kamu mendapat petunjuk.”(al-A’raf/7: 158)

Hal ini tidak diketahui oleh semua orang bahkan kebanyakan manusia menolak dan menantangnya. Di antara penantang-penantang itu adalah kaum Muhammad sendiri yaitu orang-orang kafir Mekah.

وَمَآ اَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِيْنَ

Dan kebanyakan manusia tidak akan beriman walaupun engkau sangat menginginkannya. (Yusuf/12: 103)


Baca Juga : Tafsir Surah Yusuf Ayat 15: Optimislah, Kabar Gembira Akan Segera Datang dari Allah


Ayat 29

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa kaum musyrik menentang Nabi Muhammad sebagai pembawa berita gembira bagi orang mukmin dan pemberi peringatan bagi kaum yang ingkar.

Nabi Muhammad menerangkan kepada mereka bahwa keadilan Allah bukan hanya berlaku di dunia saja, tetapi mencakup keadilan di akhirat. Semua perbuatan manusia akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Mereka mengolok-olok ucapan Nabi saw dan mengatakan bahwa hari Kiamat tidak mungkin terjadi dan tidak mungkin akan terjadi.

Mereka berkata kepadanya dengan nada mengejek, “Kalau benar kiamat yang dijanjikan Tuhanmu itu benar akan terjadi, maka terangkanlah kepada kami kapan akan terjadi.” Bahkan pada ayat lain diterangkan bahwa mereka menantang Nabi Muhammad supaya kedatangan hari Kiamat itu disegerakan saja, sebagaimana disebut dalam firman Allah:

يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِهَاۚ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مُشْفِقُوْنَ مِنْهَاۙ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهَا الْحَقُّ ۗ اَلَآ اِنَّ الَّذِيْنَ يُمَارُوْنَ فِى السَّاعَةِ لَفِيْ ضَلٰلٍۢ بَعِيْدٍ

Orang-orang yang tidak percaya adanya hari kiamat meminta agar hari itu segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang terjadinya kiamat itu benar-benar telah tersesat jauh. (asy-Syura/42: 18)

Ejekan dan tantangan mereka itu menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang tugas Nabi Muhammad sebagai rasul, dan mereka tidak mengetahui batas-batas tugasnya. Rasul itu hanya seorang manusia yang ditugaskan Allah menyampaikan risalah. Dia bukan orang yang berkuasa dan mempunyai ilmu seperti Tuhannya. Ilmu dan kekuasaannya terbatas pada apa yang diberikan Allah kepadanya.

Kalau ditanyakan kepadanya tentang hal-hal yang gaib, dia tentu tidak akan dapat menjelaskannya kecuali bila Allah telah memberitahukan kepadanya. Kalau diminta kepadanya agar diturunkan azab atau disegerakan datangnya hari Kiamat, maka hal itu berada di luar kemampuannya.

Ayat 30

Sebagai jawaban atas keingkaran dan tantangan kaum musyrik itu, Allah menyuruh Nabi Muhammad menegaskan kepada mereka bahwa hari Kiamat itu pasti terjadi pada waktu yang telah ditentukan Allah. Bila waktunya sudah tiba, kiamat itu tidak dapat diundurkan atau dimajukan walau sesaat pun.

Oleh sebab itu, mereka harus berhati-hati, selalu waspada, dan bersiap-siap dengan iman dan amal saleh. Jika waktu kiamat sudah datang, tidak ada kesempatan lagi bagi seseorang untuk bertobat dan dia akan menyesal kelak bila melihat azab yang disediakan bagi orang yang ingkar.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 31-32


Tafsir Surah Saba’ Ayat 25-27

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Melanjutkan pembahasans sebelumnya, Tafsir Surah Saba’ Ayat 25-27 menegaskan ucapan Nabi Muhammad kepada kaum musyrik, bahwa masing-masing orang akan bertanggung jawab atas segala perbuatannya, baik Mukmin ataupun Kafir. Nabi juga menyampaikan kepada mereka bahwa kelak Allah akan mengumpulkan semua manusia untuk dimintai pertanggungjawaban. Nabi kembali bertanya kepada mereka perihal berhala, benarkah berhala itu dapat bermanfaat untuk mereka dan alasan mengapa mereka menyembah patung tersebut? Berikut jawaban mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 23-24


Ayat 25

Pada ayat ini, Nabi Muhammad disuruh mengatakan kepada mereka bahwa masing-masing bertanggung jawab penuh atas segala perbuatannya. Kaum musyrik tidak bertanggung jawab atas perbuatan kaum Muslimin yang salah, demikian pula sebaliknya, kaum Muslimin pun tidak bertanggung jawab atas segala perbuatan kaum musyrik.

Sebagian mufasir mengatakan bahwa orang-orang musyrik pernah menuduh Nabi saw dan orang-orang mukmin bahwa mereka telah berdosa besar karena murtad dan mengkhianati agama nenek moyang mereka. Sebagai jawaban atas tuduhan itu, dikemukakan bahwa kaum Muslimin memang bertanggung jawab atas segala dosa dan kesalahan mereka.

Demikian pula kaum musyrikin bertanggung jawab pula sepenuhnya atas segala perbuatan mereka yang baik ataupun yang jahat. Pada ayat lain, Allah menyuruh Nabi mengucapkan kata-kata yang senada dengan ini, seperti firman-Nya

وَاِنْ كَذَّبُوْكَ فَقُلْ لِّيْ عَمَلِيْ وَلَكُمْ عَمَلُكُمْۚ اَنْتُمْ بَرِيْۤـُٔوْنَ مِمَّآ اَعْمَلُ وَاَنَا۠ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تَعْمَلُوْنَ 

Dan jika mereka (tetap) mendustakanmu (Muhammad), maka katakanlah, “Bagiku pekerjaanku dan bagimu pekerjaanmu. Kamu tidak bertanggung jawab terhadap apa yang aku kerjakan dan aku pun tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Yunus/10: 41)

Ayat 26

Kemudian Nabi diperintahkan untuk mengatakan kepada kaum musyrikin itu, “Allah akan mengumpulkan kita semua pada hari Kiamat dan di sanalah Dia akan memberi keputusan terhadap kita dan perbuatan kita dengan seadil-adilnya. Di sana akan jelas siapa di antara kita yang sesat dan siapa yang menempuh jalan yang lurus, siapa di antara kita yang salah dan siapa yang benar.”

Semua perbuatan hamba-Nya akan ditimbang dengan neraca keadilan. Perbuatan buruk akan dibalas dengan balasan yang setimpal dan perbuatan baik akan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda. Hal ini disebut pula dengan jelas pada ayat lain, yaitu

وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يَوْمَىِٕذٍ يَّتَفَرَّقُوْنَ ١٤ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَهُمْ فِيْ رَوْضَةٍ يُّحْبَرُوْنَ  ١٥  وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَكَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا وَلِقَاۤئِ الْاٰخِرَةِ فَاُولٰۤىِٕكَ فِى الْعَذَابِ مُحْضَرُوْنَ  ١٦

Dan pada hari (ketika) terjadi Kiamat, pada hari itu manusia terpecah-pecah (dalam kelompok). Maka adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.  Dan adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami serta (mendustakan) pertemuan hari akhirat, maka mereka tetap berada di dalam azab (neraka). (ar-Rum/30: 14-16).

Di sanalah nanti Allah memberikan keputusan, tidak ada yang dapat membantah karena semua keputusan itu berdasarkan fakta-fakta yang nyata yang tidak dapat disangkal lagi. Allah Maha Mengetahui kapan vonis itu akan dijatuhkan-Nya, tidak ada seorang hamba pun yang dapat mengetahui, karena Dialah yang Maha Pemberi Keputusan dan Maha Mengetahui.


Baca Juga : 3 Dosa Besar Yang Wajib Dihindari Jika Ingin Menjadi Mukmin Sejati


Ayat 27

Allah lalu memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menanyakan kepada orang-orang musyrik itu, siapakah dan apakah sebenarnya berhala-berhala yang mereka persekutukan dengan Allah.

Mereka diminta untuk menerangkan kepadanya siapa berhala-berhala itu, bagaimana sifat-sifatnya, nilai dan mutunya, serta kedudukannya. Mengapa mereka dijadikan sembahan, apakah memang dia berhak disembah?

 Pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan kepada mereka itu sebagai tantangan dan pernyataan bahwa mereka tidak mempergunakan akal mereka karena menyembah sesuatu yang tidak ada nilainya, benda mati yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri. Sekali-kali tidak mungkin dan tidak masuk akal mempersekutukan benda mati dengan Allah Yang Mahaperkasa dan Maha Mengetahui.

 

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 28-30


 

Tafsir Surah Saba’ Ayat 23-24

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 23-24 menegaskan bahwa berhala yang mereka sembah tidak lain hanyalah patung biasa, ia tidak dapat menolong mereka dari kesulitan, maupun memberi manfaat. Nabi pun bertanya kepada mereka, lalu siapakah yang memberi mereka rezeki baik dari langit maupun bumi? Berikut jawaban dari kaum musyrik.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 21-22


Ayat 23

Di akhirat berhala itu tidak dapat menolong mereka dari kesulitan. Juga tidak mungkin memberi syafaat karena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat memberi syafaat, kecuali dengan izin Allah.

Apakah mungkin Allah akan mengizinkan berhala-berhala yang menjadi sebab bagi kesesatan hamba-Nya untuk memberi syafaat? Syafaat tidak akan diberikan Allah kecuali kepada para nabi, malaikat, dan hamba-Nya yang dianggap berhak untuk diberi syafaat. Firman Allah:

 مَنْ ذَا الَّذِيْ يَشْفَعُ عِنْدَهٗٓ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ

Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. (al-Baqarah/2: 255)

وَكَمْ مِّنْ مَّلَكٍ فِى السَّمٰوٰتِ لَا تُغْنِيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اَنْ يَّأْذَنَ اللّٰهُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَرْضٰى 

Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridai.  (an-Najm/53: 26)

Pada hari itu, hamba-hamba Allah menunggu dengan perasaan gelisah dan tidak sabar, siapakah di antara mereka yang akan diizinkan-Nya untuk memberi syafaat dan yang akan mendapat syafaat.

Ketika itu, mereka berdiam semuanya karena ketakutan telah hilang dari hati mereka dan Allah akan memberi ketetapan-Nya. Mereka menunggu sambil berharap-harap dan bertanya-tanya antara sesama mereka apa yang difirmankan Tuhan.

Semua menjawab, “Yang difirmankan Allah ialah perkataan yang benar yaitu syafaat-Nya akan diberikan kepada siapa yang diridai-Nya karena Dia Mahatinggi dan Mahabesar.” Pada waktu itu, sadarlah orang-orang kafir bahwa mereka tidak akan mendapat syafaat dan tahulah mereka nasib apa yang harus mereka alami.


Baca Juga : Inilah Lima Fadilah Membaca Al-Qur’an Menurut Hadis-Hadis Sahih


Ayat 24

Pada ayat ini, Allah dengan perantaraan Nabi Muhammad menanyakan kepada kaum musyrik, siapakah yang memberi mereka rezeki dari langit dan bumi dengan menurunkan hujan, dan dengan air hujan itu bumi menjadi subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan untuk menjadi makanan bagi mereka dan binatang ternak. Mereka tentu tidak dapat menjawabnya.

Walaupun mereka ingin mengatakan Allah, jawaban yang sesuai dengan hati nurani mereka, tetapi mereka menjawabnya berhala-berhala, jawaban yang sebetulnya bertentangan dengan hati nurani mereka yang membenarkan seruan Nabi Muhammad.

Oleh sebab itu, mereka terdiam, tidak dapat memberikan jawaban apa pun. Demikianlah Allah memerintahkan kepada Muhammad bahwa yang memberi rezeki baik dari langit maupun bumi hanyalah Allah. Pertanyaan semacam ini disebut pula pada ayat lain yaitu

قُلْ مَنْ رَّبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۗقُلْ اَفَاتَّخَذْتُمْ مِّنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَاۤءَ لَا يَمْلِكُوْنَ لِاَنْفُسِهِمْ نَفْعًا وَّلَا ضَرًّاۗ

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah Tuhan langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Katakanlah, “Pantaskah kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?” (ar-Ra’d/13: 16)

Allah lalu menyuruh Nabi Muhammad mengatakan kepada mereka setelah tidak dapat menjawab pertanyaan di atas, “Kami atau kamu pasti berada dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.”

Inilah suatu cara berdiskusi yang amat halus dan tajam. Nabi tidak mengatakan bahwa kaum musyrik itulah yang sesat dan dirinya yang benar, tetapi dia menyatakan salah satu di antara keduanya pasti ada yang mengikuti jalan yang benar dan ada yang mengikuti jalan yang sesat.

Ucapan ini pasti menarik lawan untuk berpikir siapa sebenarnya yang mendapat petunjuk dan siapa yang sesat, dan menghindari cara-cara yang keras karena akan mendatangkan jawaban yang keras pula. Kalau Nabi saw mengatakan dengan tegas bahwa merekalah yang sesat, tentu mereka akan menjawab dengan tegas bahwa Nabilah yang sesat.

 

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 25-26


 

Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Al-Quran

0
Ayat-Ayat Palsu Musailamah Al-Kadzdzab
Ayat-Ayat Palsu Musailamah Al-Kadzdzab

Sejak 14 abad yang lalu, Al-Quran telah memproklamirkan dirinya sebagai kitab suci yang mengakhiri suratan langit. Sekaligus menyatakan Nabi Muhammad adalah pembawa risalah terakhir itu, yang tidak mungkin akan ada lagi utusan setelahnya. Al-Quran seakan telah meramalkan, manusia yang keras kepala akan menolaknya, menganggap ia buatan Muhammad dan merupakan dongeng-dongeng belaka.

Tantangan Al-Quran

Banyak yang menolak dan  tidak percaya terhadap datangnya Al-Quran. Seakan dari awal telah mengetahui hal tersebut, Al-Quran sudah menyiapkan jawaban dan argumen balik kepada siapapun yang mengingkarinya. Al-Quran dengan senang hati menantang siapa saja yang enggan percaya padanya, dengan berbagai tantangan yang sesuai dengan kemampuan manusia saat itu, demi meyakinkan manusia bahwa dia dan pembawanya (Nabi Muhammad) benar-benar kitab dan utusan Tuhan kepada penghuni persada bumi.

Al-Quran memulai tantangannya dengan mengajak siapapun untuk membuat satu kitab utuh (Q.S. al-Qashash [28]: 49-50). Kemudian membuat sepuluh surah saja (Q.S. Hud [11]: 13). Namun kenyataanya tidak seorang pun yang menyanggupi tantangan itu.

Tak sampai disana, Al-Quran mempermudah lagi tantangannya, untuk membuat satu surah tandingan (Q.S. al-Baqarah [2]: 23). Hingga pada akhirnya, karena telah mengetahui tidak akan ada yang mampu, Al-Quran menyatakan “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan)  Al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (Q.S. al-Isra’ [17]: 88)

Baca Juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Nabi-Nabi Palsu

Sejarah mencatat, dimasa Nabi dan setelahnya telah banyak dijumpai orang-orang yang berani mengaku nabi dan menerima wahyu Tuhan. Sederet nama-nama nabi palsu itu masih tercatat rapi dibuku-buku Tarikh Islam.

Moenawar Chalil dalam buku Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad-nya, mencatat empat nama nabi palsu, dimasa Nabi dan awal pemerintahan khalifah Abu Bakar. Dua diantaranya telah Nabi ramalkan, dari takwil mimpi yang beliau alami. Yaitu Aswad al-Ansi dan Musailamah Al-Kadzdzab. Sementara dua lainnya adalah Sajaah dan Thulailah bin khuwailid al-Asadi. (Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad [3] 246).

Baca Juga: Keindahan Bahasa Al-Qur’an dan Kemunculan Metode Tafsir Sastrawi

Mengenal Musailamah Al-Kadzdzab

Musailamah adalah seorang lelaki dari Bani Hanafi. Lahir di kota Yamamah. Namanya sendiri adalah Harun bin Habib al-Hanafi. Sebagian riwayat mengatakan, Musailamah juga biasa dipanggil Abu Tsumamah. Pada tahun kesepuluh Hijriah, ia bersama rombongannya berangkat ke kota madinah hendak bertemu Nabi. Mereka semua pun bertemu dengan Nabi dan langsung memeluk Islam.

Namun, setelah kembali dari Madinah, Musailamah kembali kafir (murtad) dan mulai mendakwakan dirinya sebagai utusan Allah, layaknya Nabi Muhammad. Musailamah terbilang pandai berbicara dan memiliki kekuasaan yang kuat, karena memang dikala itu Musailamah sedang berkuasa di kota Yamamah, sehingga tidak heran kemudian banyak orang yang terpedaya dan tergelabuhi oleh sihirnya.

Karena mengetahui ajakannya yang semakin hari semakin membuahkan hasil, Musailamah Al-Kadzdzab kemudian percaya akan mampu mengalahkan Nabi Muhammad dengan syair-syair dan kekuasaan yang dia miliki. Ia pun sempat berkirim surat kepada Nabi Muhammad untuk menantang beliau bahwa dirinya juga seorang utusan.

Musailamah menulis “Dari Musailamah, utusan Allah kepada Muhammad utusan Allah. kesejahteraan semoga dilimpahkan atas Tuan. Aku telah bersekutu dalam urusan kenabian dengan Tuan dan bagi kami separuh tanah dan bagi Quraisy separuh tanah. Tetapi kaum Quraisy adalah kaum yang melampaui batas.”

Untuk menanggapi suratan yang tidak senonoh itu, Nabi saw. kemudian mengirimkan surat balasan “Dengan nama Allah, maha pengasih lagi penyayang. Dari Muhammad utusan Allah, kepada Musailamah Si pendus (Al-Kadzdzab). Kesejahteraan semoga dilimpahkan atas orang yang mengikuti petunjuk yang benar. Bahwasanya bumi ini milik Allah, Dia akan berikan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”

Balasan itu ternyata tidak digubris oleh Musailamah. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, ia terus melancarkan propaganda sesatnya. Keonaran yang dibuat Musailamah itu membuat Khalifah Abu Bakar As-Shidiq resah. Beliau kemudian menurunkan pasukan untuk menumpas Musailamah dalam perang Yamamah. Akhirnya, Musailamah Al-Kadzdzab berhasil dibunuh oleh Wahsyi dalam perang tersebut. Sementara istrinya yang dahulu sempat mendukung Musailamah bertaubat dan kembali memeluk Islam.

Baca Juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

Ayat-Ayat Palsu Musailamah

Dalam kitab-kitab Tarikh, wahyu palsu yang dibuat oleh Musailamah masih dapat ditemukan. Terdapat puluhan ayat yang sengaja dibuatnya untuk menandingi Al-Quran. Tapi sayang sekali, sebagai seorang penyair, redaksi dan kandungan ayat buatannya itu sangat mempermalukan dirinya.

Hal itu karena, pemilihan kata-kata yang kotor dan jorok, sangat tidak menarik didengar, dan tidak mampu membuat gaya bahasa sendiri. Dan dapat dipastikan semua ayat-ayat palsunya, mencoba nyontoh gaya dan susunan bahasa Al-Quran, tapi tetap tidak sama dan tidak bisa, seperti mengikuti surah Al-Fil, al-Kaustar, Al-Nasr dan surah-surah pendek lainnya. (Mawaahib al-Laduniyah [2] 245) (Syarh as-Syifa’ [1] 554).

Diantara wahyu-wahyu palsu Musailamah itu sebagai berikut.

أَلَمْ تَرَ إِلَى ربِّك كَيْفَ فَعَلَ بِالْحُبْلَى؟ أَخْرَجَ مِنْهَا نَسَمَةً تَسْعَى، مِنْ بَيْنِ صِفَاقٍ وَحَشَا.

Tidakkah kamu melihat, betapa Tuhanmu membuat perempuan mengandung? Ia mengeluarkan darinya jiwa yang berjalan. Keluarnya diantara kulit perut sebelah bawah dan kulit bawah sebelah atas.”

 إِنَّ اللَّهَ خلق للنساء أَفْرَاجَا، وَجَعَلَ الرِّجَالَ لَهُنَّ أَزْوَاجًا، فَنُولِجُ فِيهِنَّ قُعْسًا إِيلَاجًا، ثُمَّ نُخْرِجُهَا إِذَا نَشَاءُ إِخْرَاجًا، فَيُنْتِجْنَ لَنَا سِخَالًا  إِنتاجاًا.

“Sesungguhnya Allah telah menciptakan perempuan berpuak-puak. Dan menciptakan laki-laki sebagai pasangan mereka. Maka kami memasukkan (kedalam kemaluan) mereka sambil berkedik dengan benar-benar memasukkan. Kemudian kami keluarkan di saat yang kami kehendaki. Lalu berbuahlah mereka untuk kami beberapa buah.”

Demikianlah sajak-sajak dan ayat-ayat lucu karangan Musailamah yang dia katakan sebagai wahyu Tuhan. Bagi yang mempelajari ilmu bahasa Arab terutama ilmu Balaghah, akan merasakan rendah dan kasarnya bahasa dan makna ayat-ayat palsu Musailamah tersebut. Waallah a’lam bis shawab.

Tafsir Surah An-Nur Ayat 58-59: Etika Anak Ketika Ingin Masuk Kamar Orang Tua

0
Tafsir Surah An-Nur Ayat 58-59: Etika Anak Ketika Ingin Masuk Kamar Orang Tua
Etika Anak Ketika Ingin Masuk Kamar Orang Tua

Perkembangan anak ditentukan oleh pendidikan yang didapat dari lingkungan sekitarnya. Segala sesuatu yang didengar dan dilihat oleh anak biasanya akan membekas dan bahkan menjadi contoh untuknya. Termasuk dalam hal ini adalah perilaku atau kebiasaan orang tuanya. Jika dicontohkan sesuatu yang baik, besar kemungkinan sikap anak juga menjadi baik, begitu pula sebaliknya.

Peran orang tua dalam keluarga sangat dibutuhkan untuk memberikan anak pengaruh yang baik dalam tahap perkembangannya. Salah satunya yang terkait dengan pendidikan akhlak atau cara berperilaku. Melalui pendidikan akhlak, anak diajarkan tentang berbagai etika berperilaku yang harus ia jalankan dan yang harus ia tinggalkan.

Pendidikan akhlak yang terpenting adalah mengenai sikap anak itu sendiri terhadap orang tuanya. Di antaranya mengajarkan anak untuk meminta izin ketika akan memasuki ruangan pribadi orang tuanya. Hal ini juga merupakan bagian dari sex education yang mencegah anak untuk melihat hal-hal yang dikhawatirkan atau tidak pantas.

Misalnya saja ketika anak memasuki kamar, orang tuanya sedang melakukan hubungan suami-istri atau sedang tidak menggunakan busana, maka akan memunculkan kebingungan bagi sang anak. Dilansir dari https://www.klikdokter.com, memang belum ada penelitian yang mengatakan bahwa anak yang melihat orang tua berhubungan seks akan memiliki gangguan mental.

Namun hal itu tetap akan memberi pengaruh sesuai dengan usia anak. Ketika usia anak 2 sampai 3 tahun mungkin belum mengerti, tetapi ketika anak yang sudah berusia remaja atau usia sekolah, besar kemungkinan anak akan meniru atau penasaran ingin merasakan hal serupa.

Dampak inilah yang semestinya dikhawatirkan oleh setiap orang tua. Pentingnya membiasakan anak untuk meminta izin ketika memasuki ruangan pribadi menjadi suatu keharusan yang dijalankan. Perintah ini sebagaimana termaktub dalam QS. An-Nur ayat 58-59 sebagai berikut.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلٰثَ مَرّٰتٍۗ مِنْ قَبْلِ صَلٰوةِ الْفَجْرِ وَحِيْنَ تَضَعُوْنَ ثِيَابَكُمْ مِّنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْۢ بَعْدِ صَلٰوةِ الْعِشَاۤءِۗ ثَلٰثُ عَوْرٰتٍ لَّكُمْۗ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌۢ بَعْدَهُنَّۗ طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلٰى بَعْضٍۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمُ الْاٰيٰتِۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ وَاِذَا بَلَغَ الْاَطْفَالُ مِنْكُمُ الْحُلُمَ فَلْيَسْتَأْذِنُوْا كَمَا اسْتَأْذَنَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Terjemah: “Wahai orang-orang yang beriman! Hendaklah hamba sahaya (laki-laki dan perempuan) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig (dewasa) di antara kamu, meminta izin kepada kamu pada tiga kali (kesempatan) yaitu, sebelum salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari, dan setelah salat Isya. (Itulah) tiga aurat (waktu) bagi kamu. Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi mereka selain dari (tiga waktu) itu; mereka keluar masuk melayani kamu, sebagian kamu atas sebagian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat itu kepadamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. Dan apabila anak-anakmu telah sampai umur dewasa, maka hendaklah mereka (juga) meminta izin, seperti orang-orang yang lebih dewasa meminta izin. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat-Nya kepadamu. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. An-Nur [24]: 58-59).

Baca juga: Surah An-Nur [24] Ayat 27: Anjuran Mengucap Salam Ketika Bertamu

Tafsir QS. An-Nur ayat 58-59

Quraish Shihab (2009: 609) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa An-Nur Ayat 58-59 ini turun ketika Nabi saw. memerintahkan seorang anak bernama Mudlij Ibn ‘Amir agar memanggil Umar bin Khattab. Hal itu terjadi pada siang hari saat Umar sedang beristirahat. Sang anak masuk tanpa izin, sehingga ia mendapati Umar dalam keadaan yang tidak beliau senangi.

al-Qurthubi (2009: 757-758) menjelaskan bahwa ayat di atas menjelaskan tentang waktu-waktu yang diharuskan meminta izin bagi seorang anak ketika memasuki ruangan pribadi orang tuanya. Setidaknya anak meminta izin dalam tiga waktu; Pertama, sebelum salat Subuh, karena ketika itu adalah waktu bangun tidur yang dikhawatirkan pakaian sehari-hari belum dipakai. Kedua waktu Zuhur, sebab ketika itu orang-orang menanggalkan pakaiannya bersama suami atau istrinya. Ketiga, setelah salat Isya, sebab waktu tersebut adalah waktu untuk tidur atau beristirahat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Ibnu Katsir (2004: 82-83) mengutip riwayat al-Auza’i dari Yahya bin Abi Katsir. Ia mengatakan bahwa: “Apabila seorang anak masih balita, ia harus meminta izin kepada kedua orang tuanya (bila ingin masuk menemui keduanya dalam kamar) pada tiga waktu tersebut. Apabila telah mencapai usia baligh, ia harus meminta izin pada setiap waktu.

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 11-14: Waspadai Firasat Buruk Orang Tua terhadap Anaknya!

Ibrah Ayat Sebagai Basis Sex Education

An-Nur Ayat 58-59 mengarahkan manusia pada norma sosial dalam lingkungan keluarga. Hal ini bertujuan untuk mendidik anak agar memahami privasi orang tuanya. Orang tua menghindari terlihatnya perbuatan yang dianggap rahasia dan tidak pantas untuk diperlihatkan kepada anak.

Sebab betapa besarnya suatu bahaya, jika secara tiba-tiba anak memasuki ruangan pribadi orang tuanya yang sedang melakukan hubungan seksual, lalu keluar dan menceritakan apa yang dilihatnya kepada orang lain. Bukan hanya itu, anak bisa saja akan semakin bingung dan selalu teringat dengan pemandangan yang telah dilihatnya bahkan anak dapat menirukannya. Hal inilah yang menjadi sebab pentingnya bagi orang tua untuk mengajarkan anak meminta izin pada waktu-waktu tertentu.

Langkah-langkah Membiasakan Anak Meminta Izin

Sementara langkah yang dapat dilakukan oleh orang tua untuk membiasakan anaknya meminta izin adalah dengan membiasakan anak mematuhi peraturan. Pertama, orang tua hendaknya selalu membuat peraturan dan menyampaikannya kepada anak. Meski anak belum mengerti, setidaknya orang tua dapat membimbing dan mencontohkan.

Misalnya ketika orang tua menggunakan sesuatu milik anaknya, maka harus meminta izin terlebih dahulu, begitu pula ketika memasuki kamarnya. Hal ini akan menjadi pelajaran bagi sang anak dan ia akan mengikuti kebiasaan orang tuanya.

Kedua, jika anak tersebut masih kecil maka orang tua dapat mengajarkan anak untuk memahami simbol atau warna pada ruangan atau benda yang tidak boleh digunakan tanpa izin.  Misalnya dengan memberikan kertas warna merah di depan pintu kamar orang tua, maka sang anak akan mengerti bahwa pintu tersebut tidak boleh dibuka tanpa seizin orang tuanya. Ketika kebiasaan-kebiasaan ini terus dilakukan, anak akan selalu ingat dan patuh tanpa harus mengetahui alasannya. Wallahu A’lam.

Baca juga: Surat Al-Isra’ [17] Ayat 23: Perintah Berbakti Kepada Kedua Orang Tua

Tafsir Surah Saba’ Ayat 21-22

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Melanjutkan tafsir sebelumnya, Tafsir Surah Saba’ Ayat 21-22 membicarakan tentang penentangan Allah atas sangkaan iblis, bahwa ia telah menyesatkan manusia. Bagi Allah, Iblis tidak memiliki kekuasaan untuk itu, adapun tipu daya yang dilakukan oleh Iblis adalah bentuk ujian Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan tidak berpengaruh pada keimanan seorang hamba, sama sekali.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 19-20


Tafsir Surah Saba’ Ayat 21-22 juga menceritakan tentang perintah Allah kepada Muhammad Saw. agar menantang kaum musyrik Makkah, apakah mereka bisa memberikan bukti nyata manfaat dari berhala yang mereka sembah? Apakah berhala yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri dapat menolong mereka? Jika tidak, bagaimana mungkin mereka menyembah sesuatu yang tidak bergeming sama sekali?

Ayat 21

Allah menolak dan membatalkan persangkaan Iblis yang tidak benar itu. Allah menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan sedikit pun bagi setan terhadap manusia untuk menyesatkan mereka, sehingga mereka durhaka kepada-Nya.

Tipu daya setan itu hanyalah sebagai ujian dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya, apakah mereka mau teperdaya oleh bujukan setan ataukah mereka menolaknya sama sekali sehingga tidak mempengaruhi sedikit pun pada keimanan dan ketakwaan mereka.

Hasan al-Bashri berpendapat bahwa setan itu tidak pernah memukul manusia dengan tongkat dan tidak pernah memaksa mereka untuk melakukan sesuatu. Tindakan setan hanya sekadar melakukan tipu daya, membujuk dengan angan-angan kosong, lalu manusia menerimanya.

Tipu daya setan itu hanya seperti itu, tidak ubahnya seperti bakteri-bakteri yang menyerang manusia di musim tersebarnya wabah penyakit. Barang siapa tidak memiliki ketahanan yang kuat dalam tubuhnya untuk menahan serangan penyakit itu, ia menjadi korbannya.

Tetapi, penyakit itu tidak akan dapat menguasai orang yang di dalam tubuhnya terdapat unsur-unsur ketahanan yang kuat. Ia akan tetap sehat walafiat meskipun telah banyak orang yang jatuh sakit atau meninggal karenanya. Bila ada orang yang terperosok masuk perangkap setan maka janganlah ia menyalahkan orang lain, yang salah dan lemah dalam hal ini adalah dirinya sendiri.

Oleh sebab itu, setiap manusia harus membentengi dirinya dengan iman yang kuat dengan takwa dan selalu beramal saleh.

Firman Allah:;وَمَا كَانَ لِيَ عَلَيْكُمْ مِّنْ سُلْطٰنٍ اِلَّآ اَنْ دَعَوْتُكُمْ فَاسْتَجَبْتُمْ لِيْ ۚفَلَا تَلُوْمُوْنِيْ وَلُوْمُوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ مَآ اَنَا۠ بِمُصْرِخِكُمْ وَمَآ اَنْتُمْ بِمُصْرِخِيَّۗ اِنِّيْ كَفَرْتُ بِمَآ اَشْرَكْتُمُوْنِ مِنْ قَبْلُ ۗاِنَّ الظّٰلِمِيْنَ لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ

Tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekedar) aku menyeru kamu lalu kamu mematuhi seruanku, oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku tidak dapat menolongmu, dan kamu pun tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu.” Sungguh, orang yang zalim akan mendapat siksaan yang pedih. (Ibrahim/14: 22).

Allah lalu menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa Dia mencatat segala perbuatan manusia, tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sebesar ©arrah pun. Ia akan memperhitungkan perbuatan manusia dengan seadil-adilnya dan tidak ada seorang pun yang dirugikan dalam hal ini, bahkan Dia akan membalas perbuatan yang baik dengan pahala yang berlipat ganda.


Baca Juga : Tafsir Surah Ali ‘Imran Ayat 54: Belajar Mewaspadai Makar dari Kisah Nabi Isa


Ayat 22

Pada ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya menantang kaum musyrikin Mekah, kalau berhala-berhala dan sembahan mereka benar-benar mempunyai kekuasaan walaupun sedikit, cobalah mereka buktikan hal itu dengan memberikan contoh tentang apa yang telah diciptakan atau yang mereka miliki.

Apakah berhala itu dapat memberikan pertolongan kepada mereka atau menolak bahaya yang mengancam mereka. Tentu saja mereka tidak dapat memberikan bukti-bukti seperti itu, karena tidak mungkin benda mati yang mereka buat dengan tangan mereka sendiri akan dapat membuat sesuatu atau dapat menolong serta menolak kemudaratan dari mereka.

Oleh sebab itu, Allah menegaskan bahwa berhala-berhala itu tidak memiliki kekuasaan sedikit pun (walau sebesar ©arrah sekalipun) terhadap langit, bumi, dan apa yang terdapat dalam keduanya, dan tidak ada kemampuan sama sekali untuk menolong mereka.

Bagaimanakah mereka sampai menyembahnya kalau mereka mempergunakan akal pikiran mereka. Dalam ayat lain, Allah menegaskan pula hal ini dengan firman-Nya.

وَالَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖ مَا يَمْلِكُوْنَ مِنْ قِطْمِيْرٍۗ

Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. (Fathir/35: 13)

Mereka tidak memiliki apa pun secara sendiri atau secara berserikat dengan yang lain dan tidak ada suatu apa pun yang bekerja sama dengan mereka dalam menciptakan atau memiliki sesuatu. Hal ini adalah fakta yang kita lihat di dunia.

 

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 23-24


Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 4): Ujian Maryam dan Kelahiran Isa yang di Luar Nalar

0
Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 4): Ujian Maryam dan Kelahiran Isa yang Menakjubkan
Sayyiduna Isa

Apabila kita hidup semasa dengan Siti Maryam, pastinya akan muncul rasa takjub dan kagum dengan sosok perempuan satu ini. Bagaimana tidak, sebab ialah satu-satunya perempuan yang diperbolehkan Allah untuk menjadi di Masjid al-Muqaddas. Sebelum-sebelumnya tidak pernah kejadian seperti itu. Selain juga karena melihat berbagai tingkah laku mulia dan budi pekerti luhur Maryam yang senantiasa menjaga kesucian dirinya. Putri semata wayang ‘Imran ini seakan-akan adalah sosok perempuan tanpa cela dan dosa.

Wanita Pilihan dan Ujian Allah

Hanya saja Allah ingin menguji hamba-Nya yang satu ini, sebab makin saleh tingkat spiritual seorang hamba, makin besar juga ujian yang akan diberikan padanya. Tujuannya tidak lain untuk mengangkat derajat si hamba sendiri. Ujian Maryam dalam hal ini adalah uji kepasrahan, episode ini dikisahkan pada tiga ayat berikut,

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاءِ الْعَالَمِينَ (42) يَامَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ (43)

“Dan (ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan memilihmu di atas segala perempuan di seluruh alam. Wahai Maryam! Taatilah Tuhanmu, sujud, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (Q.S. Ali ‘Imran (3): 42-43).

Jika kita amati ayat pertama, di sana terdapat pengulangan kata ishthafaki, Allah memilihmu. Yang pertama secara mutlak, sedangkan yang kedua dibarengi dengan frasa memilihmu di atas segala perempuan di seluruh alam. Kira-kira apa alasan adanya pengulangan tersebut?

Abu Hayyan menyebutkan banyak pendapat. Ada yang mengatakan bahwa pengulangan itu hanya sebagai penguat (taukid). Ada juga yang menyebut bahwa frasa ishthafaki kedua adalah sebagai penjelasan seperti apa ishthafaki yang pertama; seperti apa Maryam dipilih. Penjelasan terbaik, menurut beliau, adalah apa yang diterangkan oleh Az-Zamakhsyariy, pengarang kitab Tafsir al-Kasyaf,

“Allah telah memilihmu (Maryam) tatkala Ia menerimamu sebagai nazar ibumu, merawatmu, menganugerahimu karamah kebaikan, menyucikanmu serta menghindarkanmu dari perilaku kotor dan tercela dan dari tuduhan keji umat Yahudi bahwa kau telah berzina. Lalu ia memilihmu lagi di atas perempuan-perempuan alam semesta karena Ia telah memberikanmu Isa yang terlahir tanpa seorang ayah dan hal tersebut tidak akan pernah dialami oleh perempuan manapun selain kamu.” Penafsiran serupa juga didukung oleh al-Razi dan Ibnu Asyur. (Al-Kasyaf, juz 1 hal 362).

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 42: Meneladani Kebersihan dan Kesucian Diri Siti Maryam

Kabar Kelahiran Isa

إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ

(Ingatlah), ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah menyampaikan kabar gembira kepadamu tentang sebuah kalimat (firman) dari-Nya (yaitu seorang putra), namanya Al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (Q.S. Ali ‘Imran (3): 45).

Berbeda dengan ayat Ali Imran di atas, dalam surah Maryam dapat kita jumpai lebih detail cerita Maryam. Hal ini dapat kita rujuk pada ayat 16-33 darinya. Secara singkat ceritanya begini,

Saat sedang berasyik-masyuk di mihrab, tiba-tiba seorang laki-laki rupawan menghampiri Maryam. Melihat itu Maryam merasa terganggu. Ada rasa khawatir kalau-kalau terdapat niat buruk dari laki-laki tersebut. Kata Maryam, “Aku memohon perlindungan pada Allah darimu jika engkau orang bertakwa.”

Sang laki-laki menjawab, “Tenanglah, sesungguhnya aku adalah utusan Tuhanmu untuk memberitahukan kabar gembira atas akan lahirnya seorang putra darimu,” ternyata ia adalah Malaikat Jibril.

Telak saja Maryam kaget dan merasa bingung. Apa tanggapan orang jika kemudian ia tiba-tiba hamil dan melahirkan seorang putra, padahal ia tidak pernah menikah sebelumnya? “Bagaimana bisa aku memiliki seorang anak sedangkan belum pernah ada laki-laki yang menyentuhku dan aku bukanlah seorang pezina!” Begitu tanya Maryam.

Kegusaran ini memang hal yang wajar. Sebagai hamba yang selalu berusaha menjaga kesucian dirinya, tentu masyarakat sekitar akan sangsi melihat ia tiba-tiba hamil tanpa pernah menikah.

Di sini terdapat salah satu hikmah urutan ayat-ayat Ali ‘Imran (42-45). Terhitung dua kali Malaikat Jibril memanggil Maryam (ya maryam) -Panggilan pertama dalam ayat 42, dan panggilan kedua pada ayat 45-. Seruan pertama berisikan kabar gembira penyucian Maryam. Adapun seruan kedua menginformasikan kabar gembira akan kelahiran Isa as.

Abu Hayyan menyebut bahwa alasan penyampaian kabar gembira terlebih dahulu adalah sebagai pembukaan (muqaddimah) kabar kelahiran Isa as. Tujuannya sebagai penegasan bahwa kelahiran Isa, selain sebagai ujian, juga adalah sebuah rahmat untuk Maryam. Penegasan ini penting sebab jika tidak demikian akan muncul dalam benak Maryam persangkaan bahwa Tuhan sedang mengutuk dan menghinakan dirinya sebab kelahiran anak tanpa keberadaan seorang ayah. (al-Bahr al-Muhith, juz 2 hal 480).

Baca juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit

Masa Kehamilan Maryam

Pada masa-masa kehamilan, Maryam mengasingkan dirinya di suatu tempat terpencil di daerah timur (Bethlehem, Palestina) di bawah naungan pohon kurma. Walaupun pernah diyakinkan Malaikat Jibril bahwa kehamilan ini adalah karunia Allah, pengasingan dirinya dan bayang-bayang stigma masyarakat yang masih membayang membuatnya bersedih kembali. (Q.S. Maryam (19): 23).

Kembali Malaikat Jibril datang menghibur Maryam. Kata Jibril, “Jangan kau bersedih hati, Allah telah mengalirkan satu mata air segar di sisimu dan  nikmatilah buah kurma dari pohon ini. Tinggal kau goyangkan saja dahannya niscaya akan berguguran kurma-kurma masak yang lezat.”

“Bagaimana jika seseorang lewat dan menanyakan alasan pengasinganku di sini?” Maryam menanyakan kekhawatiran lainnya.

“Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapapun pada hari ini.” (Q.S. Maryam (19): 26).

Baca juga: Surah Maryam [19] Ayat 26: Kisah Maryam Berpuasa Bicara

Pelajaran Penting bagi Manusia

Orang pertama yang menyadari kehamilan Maryam adalah sosok terdekatnya, yakni bocah laki-laki bernama Yusuf, ia juga merupakan khadam al-Muqaddas. Melihat perut Maryam layaknya ibu hamil, Yusuf akhirnya menyadari bahwa Maryam sedang hamil. Yusuf lalu menanyakan sebab kehamilan Maryam dengan ungkapan metaforis berikut,

“Apakah mungkin tumbuh tanaman tanpa ada biji benih sebelumnya?”

Maryam lalu menjawab, “Iya, mungkin saja.”

Yusuf kebingungan, bagaimana bisa demikian, sebab yang ia ketahui tanaman hanya dapat tumbuh dari biji tanaman. Lalu kata Maryam,

“Allah Swt. pertama kali menciptakan biji tanaman tidak berasal dari tumbuhan yang telah masak, dan Ia menciptakan tumbuhan pertama dengan tanpa biji sebelumnya. Boleh jadi engkau telah berpikiran bahwa Allah tidak mampu menciptakan tanaman dari tanpa sebuah biji, bukankah jika demikian Allah bukan Dzat Yang Maha Mampu?” Maryam menjelaskan panjang lebar.

Yusuf menjadi paham dan menyadari kesalahan persepsinya, “Aku berlindung pada Allah dari pemahaman salah seperti itu. Engkau memang benar dan telah berkata dengan cahaya hikmah.” (Ruh al-Ma’aniy, juz 2 hal 159).

Maka, selang beberapa bulan Maryam melahirkan Isa, sang kalimat Allah. Di dalam al-Quran, Allah menyebut bahwa kisah kelahiran Isa tanpa ayah ini bertujuan sebagai pelajaran bagi manusia. Firman-Nya,

قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِنَّا وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا

“(Jibril) berkata, “Demikianlah yang terjadi. Tuhanmu berkata, “Hal itu adalah mudah bagiku. Itu aku tujukan sebagai ayat untuk manusia dan rahmat dariku. Dan keputusanku pasti terlaksana.” (Q.S. Maryam (19): 21).

Dalam kaitannya dengan sains (naturalisme), pelajaran terbesar yang dapat kita ambil dari kisah ini adalah bahwa apa yang terjadi di alam semesta mutlak berada di bawah aturan dan wewenang Allah. Apa yang dikenal sebagai hukum alam atau hukum fisika, dalam Islam disebut sebagai sunnatullah, aturan-aturan Allah. Hukum alam tidak bersifat determinis. Fenomena alam tak lain adalah manifestasi-Nya (tajalli). (Mantiq: Catatan Ngaji Logika al-Ghazali, hal 200).

Oleh karenanya, istilah yang tepat bukan hukum alam (laws of nature) melainkan keteraturan alam (regularities of nature). Di sebagian besar kasus alam bergerak secara regular, tapi kadang ia bertingkah secara irregular-tidak biasa, sesuai kehendak-Nya, sebagaimana dibuktikan oleh kisah-kisah di luar nalar (khariq al-‘adah) yang terjadi pada kehamilan Hannah, Iiysa’ binta Faqudza atau pada kehamilan Maryam ini. Wa Allahu a’lamu.

Baca juga: Kisah Keluarga ‘Imran (Bag. 2): Nabi Zakariya dan Pengasuhan atas Maryam

Tafsir Surah Saba’ Ayat 19-20

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Sebelumnya, diceritakan bahwa kaum Saba’ yang selamat dari bencana kemudian melakukan perjalan ke Makkah dan Syam. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan Tafsir Surah Saba’ Ayat 19-20, ketika mereka sudah mendapatkan kemudahan, jusru meminta disepanjang perjalanan agar tidak ada tempat singgah, ini menunjukkan watak kesombongan mereka, yang tanpa mereka sadari sikap tersebut justru menganiaya diri mereka sendiri.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 16-18


Allah pun mengabulkan permintaan mereka, dan akhirnya mereka terpencar sebagai suatu kaum, hingga kini tidak ada jejak tentang kaum ini. Sampai-sampai Iblis mengira bahwa Allah telah membinasakan kaum Saba’ dan negerinya, dan membuat Iblis bangga bahwa ia telah menjerumuskan manusia lagi.

Ayat 19

Oleh karena itu, mereka meminta kepada Allah supaya di sepanjang perjalanan antara suatu negeri dengan negeri lain tidak ada tempat singgah untuk beristirahat, sehingga perjalanan harus dilanjutkan walaupun akan menderita berbagai macam kesulitan.

Beginilah watak mereka dan watak orang-orang sombong, sudah mendapat kemudahan, justru mereka menginginkan kesulitan dan penderitaan. Tidak ubahnya seperti Bani Israil yang telah diberi Allah makanan yang baik yaitu Manna dan Salwa, lalu mereka meminta makanan biasa, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نَّصْبِرَ عَلٰى طَعَامٍ وَّاحِدٍ فَادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُخْرِجْ لَنَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ مِنْۢ بَقْلِهَا وَقِثَّاۤىِٕهَا وَفُوْمِهَا وَعَدَسِهَا وَبَصَلِهَا ۗ قَالَ اَتَسْتَبْدِلُوْنَ الَّذِيْ هُوَ اَدْنٰى بِالَّذِيْ هُوَ خَيْرٌ ۗ اِهْبِطُوْا مِصْرًا فَاِنَّ لَكُمْ مَّا سَاَلْتُمْ ۗ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ وَبَاۤءُوْ بِغَضَبٍ مِّنَ اللّٰهِ

Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Wahai Musa! Kami tidak tahan hanya (makan) dengan satu macam makanan saja, maka mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia memberi kami apa yang ditumbuhkan bumi, seperti: sayur-mayur, mentimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah.” Dia (Musa) menjawab, “Apakah kamu meminta sesuatu yang buruk sebagai ganti dari sesuatu yang baik? Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” Kemudian mereka ditimpa kenistaan dan kemiskinan, dan mereka (kembali) mendapat kemurkaan dari Allah. (al-Baqarah/2: 61)

Sebenarnya dengan permintaan itu, kaum Saba’ telah menganiaya diri sendiri dan tidak puas dengan karunia yang dianugerahkan Allah kepada mereka. Mereka telah lupa bahwa Allah menghancurkan negeri mereka yang subur dan makmur tiada lain karena mereka tidak mau beriman dan bersyukur atas karunia Allah.

Oleh sebab itu, Allah memenuhi perminta-an mereka dengan meniadakan tempat singgah dalam perjalanan mereka, sehingga mereka kesulitan melakukan perdagangan, dan kehidupan mereka menjadi susah.

Mereka harus hijrah ke negeri lain meninggalkan negeri mereka dan berpencar-pencar ke sana kemari. Kabilah Jafnah bin Amr terpaksa tinggal di negeri Syam, Aus dan Khazraj di Medinah, dan Azad (Uman) tinggal di Oman.

Demikian pula kabilah-kabilah yang lain. Hilanglah wujud mereka sebagai suatu umat yang dahulunya sangat masyhur sebagai suatu umat yang mulia yang mempunyai peradaban dan kebudayaan yang tinggi.

Yang tinggal hanya cerita-cerita yang diriwayatkan dari mulut ke mulut dan kemasyhuran mereka hanya menjadi bahan penghibur, dibicarakan pada waktu mereka berjaga di malam hari.

Sesungguhnya yang dialami kaum Saba’ ini patut menjadi pelajaran bagi setiap orang yang sabar dan tahu bersyukur atas setiap nikmat yang diterimanya dari Allah. Setiap hamba harus bersyukur kepada Allah atas segala nikmat-Nya dan bersabar menerima cobaan-Nya. Bahkan ia harus bersyukur kepada Allah walaupun mendapat cobaan dari-Nya.

Diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqas bahwa Rasulullah bersabda:

عَجِبْتُ مِنْ قَضَاءِ اللهِ تَعَالَى لِلْمُؤْمِنِ اِنْ اَصَابَهُ خَيْرٌ حَمِدَ رَبَّهُ وَشَكَرَ وَاِنْ اَصَابَتْهُ مُصِيْبَةٌ حَمِدَ رَبَّهُ وَصَبَرَ  يُؤْجَرُ الْمُؤْمِنُ فِى كُلِّ شَيْءٍ حَتىَّ اللُقْمَةَ يَرْفَعُهَا اِلَى اِمْرَاَتِهِ. (رواه احمد)

Aku mengagumi ketetapan Allah untuk seorang mukmin. Bila ia mendapat kebaikan ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Bila ia ditimpa musibah ia memuji dan bersyukur kepada-Nya. Orang mukmin mendapat pahala dalam segala hal walaupun hanya sesuap makanan yang ia berikan untuk istrinya. (Riwayat Aاmad)


Baca Juga : Genealogi Kajian Tafsir di Kawasan Yaman: Masa Nabi dan Sahabat (1)


Ayat 20

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa Iblis menyangka kaum Saba’ yang telah dibinasakan Allah beserta negeri mereka telah mengikutinya dan dengan penuh kepatuhan melaksanakan tipu dayanya.

Ia menyangka mereka telah mendurhakai Allah dan tidak bersyukur atas segala nikmat yang dikaruniakan kepada mereka, kecuali sebagian orang yang beriman yang tetap imannya dan tidak menerima tipu daya itu.

Dengan demikian, Iblis menyangka bahwa dia dapat menguasai manusia dan membawa mereka ke jalan kesesatan, sebagaimana diikrarkan di hadapan Allah. Hal ini tersebut dalam firman-Nya:

قَالَ فَبِعِزَّتِكَ لَاُغْوِيَنَّهُمْ اَجْمَعِيْنَۙ  ٨٢  اِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِيْنَ  ٨٣

(Iblis) menjawab, “Demi kemuliaan-Mu, pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang terpilih di antara mereka.” (Sad/38: 82-83)

 

 (Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 21-22

Tafsir Surah Saba’ Ayat 16-18

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 16-18 menceritakan bagaimana bentuk siksa yang Allah turunkan kepada kaum yang ingkar, yakni kaum Saba’. Kebanggaan mereka terhadap bendungan Ma’arib, seketika diruntuhkan oleh Allah dengan membobol bendungan tersebut dan menimbulkan bencana yang hebat. Negeri mereka dilanda banjir besar yang merubuhkan apa saja yang menghambar arusnya. Allah menujukkan kepada mereka kekuasaan-Nya dan membuat mereka tak berdaya, kesombongan mereka hanyalah omong kosong semata.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 14-15


Diceritakan pula dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 16-18 kalau diantara mereka yang selamat melakukan perjalanan hijrah dari negeri yang hancur tersebut menuju negeri yang subur, yakni Syam dan Makkah, mereka memulai kehidupan baru di dua negeri tersebut, baik berdagang ataupun bercocok tanam.

Ayat 16

Mereka menolak dan berpaling dari seruan Allah, bahkan meng-halangi orang-orang yang insaf beriman kepada-Nya. Allah lalu menimpakan siksaan kepada mereka dengan membobolkan Bendungan Ma’rib dan terjadilah malapetaka yang hebat.

Negeri mereka dilanda banjir yang deras, dan menghanyutkan semua yang menghalangi arusnya. Kebun-kebun yang berada di kiri dan kanan negeri itu menjadi musnah, dan semua binatang ternak mereka hanyut. Korban manusia pun tidak terhitung banyaknya, sehingga hanya sedikit orang yang masih hidup. Hanya beberapa kelompok kecil dari mereka yang selamat dari malapetaka yang dahsyat itu.

Mereka yang selamat ini pun tidak dapat tinggal dengan senang di tempat mereka semula. Sebagian dari mereka lalu hijrah ke tempat lain yang subur karena tidak ada lagi kebun-kebun yang bisa mereka tanami dengan baik dan tidak banyak lagi binatang-binatang ternak yang akan mereka pelihara.

Tanah-tanah yang dahulu subur telah menjadi tandus karena semua air yang tersimpan di dalam bendungan telah tumpah ke padang pasir yang dapat menelan air berapa pun banyaknya. Yang tumbuh di bekas kebun-kebun mereka hanya tumbuhan yang tidak banyak gunanya, buahnya pun pahit. Bila mereka ingin bercocok tanam yang mereka harapkan hanya air hujan yang turun dari langit saja.


Baca Juga : Surat al-Mumtahanah Ayat 8: Al-Quran Ketika Menyikapi Pluralitas Beragama di Indonesia


Ayat 17

Demikianlah sunatullah telah berlaku terhadap kaum Saba’ sebagaimana yang berlaku bagi umat-umat yang sombong dan durhaka sebelumnya, tidak mau menerima kebenaran, serta selalu menolak dan membangkang terhadap ajaran Allah yang dibawa oleh para rasul-Nya. Demikianlah Allah menimpakan azab dan malapetaka kepada kaum kafir yang mengingkari dan tidak bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan kepada mereka.

Ayat 18

Kaum Saba’ yang masih tinggal di negerinya, walaupun mengalami kesulitan hidup karena negeri mereka telah menjadi lekang dan tandus, mengadakan perjalanan untuk berdagang dari suatu negeri ke negeri yang lain, terutama ke negeri-negeri yang agak besar, seperti Mekah dan Syam di utara dan barat laut.

Negeri-negeri tersebut pada waktu itu termasuk negeri yang makmur yang menjadi pusat perdagangan. Perjalanan di antara negeri-negeri itu mudah dan aman karena adanya kampung-kampung tempat singgah para musafir bila kemalaman dan kehabisan bekal atau merasa letih.

Mereka dapat bertahan hidup dan dapat pula bercocok tanam sekadarnya pada waktu musim hujan. Mereka juga memelihara binatang ternak ketika di sana masih banyak padang rumput. Ini adalah suatu nikmat dari Allah kepada mereka walaupun tidak sebesar nikmat yang dianugerahkan-Nya ketika Bendungan Ma’rib belum hancur dan musnah.

Allah menyuruh mereka mempergunakan nikmat itu dengan sebaik-baiknya dan berjalan dengan membawa barang dagangan di antara negeri-negeri dengan aman, walaupun jarak yang ditempuh mereka kadang-kadang amat jauh. Mereka dapat singgah di kampung-kampung yang ada di sekitar kota-kota besar itu bila merasa lelah. Bila mereka kemalaman mereka dapat berhenti di kampung yang terdekat dan demikianlah seterusnya.

 

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 19-20


Tafsir Surah Saba’ Ayat 14-15

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 14-15 menerangkan bahwa betapa pun besarnya kekuasaan Nabi Sulaiman hingga bisa mempekerjakan jin sesuai keinginannya, namun, begitu ajalnya tiba maka tidak akan ada yang dapat menunda. Maka ketika Allah telah menetapkan kematian atas Nabi Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya yang dijadikan sandaran ketika dia wafat.

Tafsir Surah Saba’ Ayat 14-15 juga menceritakan reaksi jin ketika melihat jenazah Nabi Sulaiman jatuh tersungkur, jin menyadari bahwa ia telah wafat. Ini adalah bukti lain bahwa, jin tidak mengetahui hal gaib,sebagaimana anggapan sebagian orang. Sekiranya mereka mengetahui – wafatnya Nabi Sulaiman – tentu mereka akan berhenti mengerjakan pekerjaan berat demi Nabi Sulaiman yang mereka kira masih hidup dan mengawasi mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 11-13


Disaat yang sama, Tafsir Surah Saba’ Ayat 14-15 juga memberikan pesan tentang anugerah Allah yang besar kepada hamba-Nya yang taat dan bersyukur dengan mengerjakan amal saleh, antara lain Nabi Daud dan Sulaiman. Sebaliknya, Kaum Saba’, karena mereka mengingkari nikmat Allah, Allah pun menghukum mereka.

Ayat 14

Ayat ini menerangkan bahwa ketika ajalnya telah dekat, Nabi Sulaiman duduk di atas singgasananya bertelekan pada tongkatnya. Pada waktu itulah Sulaiman meninggal dunia dan tidak seorang pun yang tahu bahwa dia sudah meninggal baik para pengawalnya, penghuni istana, maupun jin-jin yang selalu bekerja keras melaksanakan perintahnya.

Dia jatuh tersungkur karena tongkatnya dimakan rayap, sehingga tidak dapat menahan berat tubuhnya. Ketika itu, barulah orang sadar bahwa Sulaiman sudah meninggal, demikian pula jin-jin yang tetap bekerja keras melaksanakan perintahnya.

Pada waktu itulah mereka mengakui kelemahan diri mereka, karena tidak dapat mengetahui bahwa Sulaiman telah meninggal. Kalau mereka tahu bahwa Sulaiman telah meninggal, tentulah mereka tidak akan tetap bekerja keras, karena mereka hanya diperintahkan Allah patuh kepada Nabi Sulaiman saja, tidak kepada pembesar-pembesar di istananya.

Allah tidak menerangkan dalam ayat ini berapa lama Sulaiman bertelekan di atas tongkatnya sampai ia jatuh tersungkur.

Sebagian mufassir mengatakan bahwa Nabi Sulaiman bertelekan pada tongkatnya sampai ia mati selama satu tahun. Mereka mengatakan bahwa Nabi Daud telah mulai membangun Baitul Makdis tetapi tidak dapat menyelesaikan pembangunannya.

Ketika sudah dekat ajalnya, ia berwasiat kepada Nabi Sulaiman agar menyelesaikan pembangunannya. Nabi Sulaiman memerintahkan jin yang tunduk di bawah kekuasaannya supaya menyelesaikan bangunan itu. Tatkala Sulaiman merasa ajalnya sudah dekat, dia ingin menyembunyikan kematiannya kepada jin-jin yang bekerja keras menyelesaikan pekerjaannya.

Lalu Nabi Sulaiman bertelekan di atas tongkatnya agar kalau ia mati, orang akan menyangka ia masih hidup karena masih duduk bertelekan di atas tongkatnya. Akhirnya tongkatnya itu dimakan rayap dan patah. Pada waktu itu, barulah diketahui bahwa Nabi Sulaiman telah meninggal.

Mereka ingin mengetahui berapa lama Sulaiman bertelekan pada tongkat itu setelah ia meninggal, dengan mengambil sisanya. Setelah mereka perhitungkan, ternyata rayap itu dalam sehari semalam hanya memakan sebagian kecil saja dari tongkat itu, sehingga dibutuhkan waktu satu tahun untuk dapat merusaknya.

Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa Sulaiman bertelekan pada tongkatnya sampai ia meninggal. Memang tongkat itu telah lama dimakan rayap tanpa diketahui oleh Sulaiman.

Pada waktu Sulaiman bertelekan di atas tongkat ketika ajalnya tiba, tongkat itu sudah lapuk juga. Tidak mungkin seorang raja akan dibiarkan saja oleh keluarga dan pengawalnya tanpa makan dan minum, tanpa menanyakan kepadanya hal-hal penting yang harus dimintakan pendapatnya.

 Mana yang benar di antara kedua pendapat ini tidak dapat kita ketahui. Dalam kisah-kisah para nabi banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia karena mereka diberi mukjizat oleh Allah.

Kalau Nabi Sulaiman bertelekan hanya sebentar saja lalu roboh tersungkur, tentu para jin tidak akan menyesal demikian hebatnya karena mereka telah telanjur bekerja menyelesaikan Baitul Makdis.


Baca Juga : Kisah Nabi Sulaiman Dalam Al-Quran: Kepribadiannya Sebelum Menjadi Raja


Ayat 15

Di sebelah selatan negeri Yaman berdiam suatu kaum bernama Saba’. Mereka menempati suatu daerah yang amat subur sehingga mereka hidup makmur dan telah mencapai kebudayaan yang tinggi. Mereka dapat menguasai air hujan yang turun lebat pada musim tertentu dengan membangun sebuah bendungan raksasa yang dapat menyimpan air untuk musim kemarau.

Bendungan itu boleh dikatakan bendungan alami karena terletak di antara dua buah bukit dan di ujungnya didirikan bangunan yang tinggi untuk mencegah air mengalir sia-sia ke padang pasir. Mereka membuat pintu-pintu air yang bila dibuka dapat mengalirkan air ke daerah yang mereka kehendaki. Bendungan ini terkenal dengan Bendungan Ma’rib atau Bendungan al-‘Arim.

Banyak di antara ahli sejarah dan peneliti di barat meragukan tentang adanya Bendungan Ma’rib ini. Akhirnya seorang peneliti dari Perancis datang sendiri ke selatan Yaman untuk menyelidiki sisa-sisa bendungan itu pada tahun 1843.

Dia dapat membuktikan adanya bendungan itu dengan menemukan bekas-bekasnya, lalu memotret dan mengirimkan gambar-gambarnya ke suatu majalah di Perancis. Para peneliti lainnya menemukan pula beberapa batu tulis di antara reruntuhan bendungan itu. Dengan demikian, mereka bertambah yakin bahwa dahulu kala di sebelah selatan Yaman telah berdiri sebuah kerajaan yang maju, makmur, dan tinggi kebudayaannya.

Pada ayat ini, Allah menerangkan sekelumit tentang kaum Saba’ yang mendiami daerah sebelah selatan Yaman itu. Mereka menempati sebuah lembah yang luas dan subur berkat pengairan yang teratur dari Bendungan Ma’rib.

Di kiri dan kanan daerah mereka terbentang kebun-kebun yang amat luas dan subur yang menghasilkan bahan makanan dan buah-buahan yang melimpah ruah.

Kaum Saba’ pada mulanya menyembah matahari, namun setelah pimpinan kerajaan dipegang Ratu Balqis, mereka menjadi kaum yang beriman dengan mengikuti ajaran yang dibawa Nabi Sulaiman. Hal ini diceritakan dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيْدٍ فَقَالَ اَحَطْتُّ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهٖ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَاٍ ۢبِنَبَاٍ يَّقِيْنٍ   ٢٢  اِنِّيْ وَجَدْتُّ امْرَاَةً تَمْلِكُهُمْ وَاُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَّلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ    ٢٣  وَجَدْتُّهَا وَقَوْمَهَا يَسْجُدُوْنَ لِلشَّمْسِ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَزَيَّنَ لَهُمُ الشَّيْطٰنُ اَعْمَالَهُمْ فَصَدَّهُمْ عَنِ السَّبِيْلِ فَهُمْ لَا يَهْتَدُوْنَۙ    ٢٤

Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-hud), lalu ia berkata, “Aku telah mengetahui sesuatu yang belum engkau ketahui. Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ membawa suatu berita yang meyakinkan. Sungguh, kudapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta memiliki singgasana yang besar. Aku (burung Hud) dapati dia dan kaumnya menyembah matahari, bukan kepada Allah; dan setan telah menjadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan (buruk) mereka, sehingga menghalangi mereka dari jalan (Allah), maka mereka tidak mendapat petunjuk. (an-Naml/27: 22-24)

Tetapi, lama-kelamaan kaum Saba’ menjadi sombong dan lupa bahwa kemakmuran yang mereka miliki adalah anugerah dari Yang Mahakuasa dan Maha Pemurah. Allah dengan perantaraan rasul-Nya memerintahkan agar mereka mensyukuri-Nya atas segala nikmat dan karunia yang dilimpahkan kepada mereka.

Negeri mereka menjadi subur dan makmur berkat karunia Allah Yang Maha Pengampun, melindungi mereka dari segala macam bahaya dan malapetaka.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 16-18