Tafsir Surah Saba’ Ayat 41-42 diawali dengan bantahan para Malaikat terhadap anggapan orang kafir sebelumnya. Malaikat bukanlah Tuhan, justru sebaliknya, mereka adalah makhluk yang selalu taat kepada Allah Swt. Begitupun, ada diantara mereka yang menyembah Jin atau Setan, dan meyakini bahwa makhluk tersebut – selain Allah – mampu menentukan kehidupan mereka.
Maka dari itu, dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 41-42 juga ditegaskan bahwa Allah Swt berjanji akan menghakimi semua makhluk, baik yang menyembah-Nya ataupun selain-Nya. Baik keduanya, tidak akan bisa berbuat apa-apa, tidak bisa saling menguntungkan, atau merugikan yang lainnya.
Ayat 41
Para malaikat itu menjawab bahwa mereka tidak pernah meminta demikian, bahkan mereka menyucikan Allah dari adanya sembahan-sembahan selain-Nya. Mereka sendiri mempertuhankan Allah dan memohon perlindungan dari-Nya, sehingga bagaimana mungkin mereka meminta manusia untuk menyembahnya.
Mereka menjelaskan bahwa yang selalu menyesatkan manusia adalah jin atau setan. Dengan demikian, manusia sesungguhnya keliru ketika menyangka bahwa mereka menyembah malaikat, karena yang mereka sembah adalah jin atau setan.
Sebagian besar manusia yang menyembah jin atau setan itu benar-benar percaya bahwa jin atau setan itulah yang menentukan kehidupan manusia sehingga mempertuhankannya.
Di dalam ayat lain diterangkan bahwa di antara yang ditanya Allah apakah ia pernah meminta manusia untuk menyembahnya adalah Nabi Isa a.s. Beliau pun mengingkarinya seraya menegaskan bahwa ia justru meminta mereka untuk menyembah Allah, sebagaimana diungkapkan ayat berikut:
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?” (Isa) menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (al-Ma’idah/5: 116-117)
Pada hari Mahsyar itu Allah menyatakan bahwa baik yang menyembah selain Allah maupun yang disembah tidak akan bisa berbuat apa-apa, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan yang lain.
Orang-orang kafir yang menyembah selain Allah itu tidak akan memperoleh pertolongan dari yang mereka sembah, karena yang disembah itu memang tidak mampu berbuat apa-apa.
Orang yang menyembah itu juga tidak akan bisa menyalahkan yang disembah, karena yang disembah itu tidak pernah meminta mereka menyembahnya.
Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa siapa pun tidak akan bisa menolong siapa pun, termasuk keluarga atau teman dekat, sebagaimana firman Allah
Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 34-37).
Juga firman-Nya:
وَلَا يَسْـَٔلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًاۚ
Dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya. (al-Ma’arij/70: 10)
Mereka akan diseret dan dijebloskan ke dalam neraka dan tambah dihinakan lagi dengan kata-kata, “Rasakan azab neraka yang dulu kalian tidak percayai!” Kata-kata itu berarti bahwa mereka disalahkan karena tidak percaya adanya neraka pada waktu di dunia, yang akan membuat mereka lebih tersiksa. Kata-kata itu juga berarti bahwa azab neraka itu adalah dahsyat.
Demikianlah balasan bagi orang-orang yang tidak mengindahkan ajakan Rasulullah saw. Penyampaian peristiwa itu di dalam Al-Qur’an bertujuan agar para pemimpin kafir Mekah, dan siapa saja sesudahnya, untuk beriman sehingga peristiwa itu nanti tidak menimpa mereka.
Utang adalah amanat atau titipan. Utang adalah barang dalam bentuk uang atau lainnya yang dititipkan oleh seseorang (pemberi utang) kepada orang lain (yang diberi utang). Wajib bagi orang yang berutang untuk membayar utang apabila sudah sampai waktu yang dijanjikan untuk dikembalikan.
Utang itu adalah amanat yang harus dijaga hingga waktu pengembalian. Jika seseorang memiliki utang dari orang lain, maka dia harus membayar utang itu secara utuh kepada yang memberi utang. Jika seseorang sudah membayar utang, maka dipandang orang yang amanah (jujur). Jika dia tidak menjaga amanat itu dan tidak mengembalikannya, maka dia sudah khianat.
Penjelasan tentang utang sebagai amanat itu, disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an maupun oleh Rasulullah di dalam hadisnya. Penjelasan terkait hal itu disebutkan oleh Allah di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 58:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Allah memerintahkan manusia untuk menjaga amanat, menunaikannya dan mengembalikan amanat itu kepada yang memberi amanat. Orang yang berutang adalah orang yang diberi amanat oleh orang yang memberi amanat (yang memberi utang) untuk menjaga hartanya. Jika sudah sampai waktu pengembaliannya, maka dia harus mengembalikannya kepada yang memberi amanat atau yang memberi utang.
Orang yang tidak amanat adalah orang yang tidak memiliki iman. Kata Rasulullah saw.:
لاَ إِيْمَانَ لِمَنْ لاَ أَمَانَةَ لَهُ
”Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah.”
Maksudnya adalah tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Orang yang jujur adalah orang yang menjaga amanat, yang menjaga titipan, dan orang yang mengembalikan amanat. Orang yang jujur adalah yang mengembalikan titipan, dan membayar utang.
Orang yang tidak menjaga titipan, tidak menjaga amanat, dan tidak mengembalikan utangnya adalah orang yang tidak memiliki iman. Maukah Anda dicap oleh Allah dan Rasulullah sebagai orang yang tidak memiliki iman hanya gara-gara karena Anda tidak menjaga amanat, tidak menjaga titipan dan tidak membayar utangmu?
Orang yang tidak beriman, akan dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka di akhirat nanti. Jangan pernah tidak membayar utang, karena orang yang tidak membayar tempatnya di dalam neraka.
Orang yang tidak membayar utang adalah orang yang tidak menepati janji. Orang yang tidak menepati janji adalah munafik. Ini merupakan salah satu ciri dari tiga ciri orang munafik. Rasulullah menyatakan:
“Tanda orang munafik ada tiga, yaitu 1) apabila dia berbicara, dia dusta, 2) apabila dia berjanji, dia ingkari (tidak menepati janji), dan 3) apabila diberi amanat (diberi kepercayaan), dia khianati.”
Kalau seseorang sudah memiliki salah satu dari tiga ciri di atas, maka dia sudah termasuk orang munafik. Kalau dia berbicara bohong, dia munafik. Kalau dia berjanji dan tidak menepati janjinya, maka dia sudah munafik. Kalau dia tidak menjaga amanat, tidak menjaga titipan, atau dia diberi amanat untuk melakukan sesuatu, lalu dia khianati, tidak menjaga amanat itu, maka dia sudah munafik.
Orang-orang munafik di akhirat nanti dimasukkan ke dalam neraka. Hal ini dinyatakan oleh Allah Swt di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 138. Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,
Allah Swt menyatakan di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 140: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam.”
Bahwa orang-orang munafik dan orang-orang kafir (di akhirat nanti) akan dikumpukan oleh Allah di dalam nereka.
Allah menyatakan di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 145. Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.
Bahwa “Orang-orang munafik ditempatkan pada tingkatan yang paling bawah dari api nereka.
Allah menyatakan di dalam QS. Al-Taubah [9]: 68. Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah melaknati mereka, dan bagi mereka azab yang kekal.
Bahwa orang-orang yang munafik, baik laki-laki maupun perempuan kekal di dalam neraka.
Rasulullah tidak akan melakukan salat mayat bagi orang-orang yang sudah mati sebelum utangnya dilunasi atau dijamin dilunasi. Hal ini dinyatakan dalam berbagai hadis Rasulullah. Di antaranya:
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang meninggal dunia, sedang dia masih memiliki utang, maka kelak di hari kemudian nanti akan diambil semua kebajikannya untuk membayar utangnya.
Kata Rasulullah di dalam hadisnya: “Orang-orang berjuang di jalan Allah, dalam keadaan ikhlas, sabar, dan tidak meninggalkan medan perang, jika terbunuh di jalan Allah itu, maka dia akan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga, kecuali kalau dia meninggalkan utang. Orang yang meninggal dalam keadaan berutang, tidak akan dimasukkan ke dalam surga, akan dimasukkan ke dalam nereka, dan dia dihukum (disiksa) dengan azab (siksaan) yang amat pedih akibat utangnya itu.”
Hadis tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud, sebagai berikut: Dari Abdullah bin Abu Qatadah, dari ayahnya, dia berkata: Ada salah seorang sahabat yang berdiri, lalu bertanya kepada Rasulullah: “Bagaimana pendapat Rasulullah, jika aku terbunuh di jalan Allah (di medan perang untuk menegakkan agama Allah), di mana saya akan ditempatkan di akhirat nanti?
Lalu Rasulullah menjawab: “Jika engkau terbunuh di jalan Allah, dan engkau dalam keadaan sabar, ikhlas, yang mengharap hanya keridaan Allah, tidak lari dari medan perang, maka engkau akan dimasukkan ke dalam surga.” Kemudian beliau diam sejenak, dan kami melihat Rasulullah sedang menerima wahyu, kemudian beliau bnertanya: “Mana orang yang bertanya tadi?” Dia menjawab: “Ini, saya, ya Rasulullah.” Nabi berkata: “Kecuali, jika dia yang meninggal di jalan Allah, meninggalkan utang. Dia akan disiksa dengan utangnya itu. (Artinya: Dia disiksa di dalam neraka). HR. Abu Dawud.
Hadis ini menyatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah dalam keadaan sabar dan ikhlas akan dimasukkan Allah ke dalam surga. Ini kalau dia tidak meninggalkan utang. Kalau dia meninggalkan utang yang belum terbayar, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka. Wallahu A’lam.
Secara umum Tafsir Surah Saba’ Ayat 38-40 menjelaskan tentang orang yang tidak beriman yang selalu berusaha mengganggu dakwah Islam. Allah juga menyinggung kembali tentang rezeki, jika sebelumnya berbicara tentang sifat dari rezeki disesuaikan dengan kebijaksanaa seseorang.
Kali ini dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 38-40, bahwa rezeki sudah ditentukan oleh Allah swt, maka, mereka yang mendapatakan kelebihan hendaklah menggunakan rezeki tersebut dnegan sebaiknya. Kelak dihadapan Allah rezeki tersebut segala akan dimintau pertanggung jawaban, termasuk sesembahan yang dilakukan oleh orang- orang Kafir, karena sebagian dari mereka ada yang menyembah Malaikat, menganggapnya sebagai sumber rezeki.
Ayat 38
Selanjutnya Allah menjelaskan tentang orang-orang yang tidak beriman. Mereka itu berusaha melemahkan ayat-ayat Allah. Yang dimaksud adalah bahwa mereka selalu berusaha menggagalkan misi Islam sehingga manusia tidak mengenal, meyakini, dan melaksanakan ajaran-ajaran Islam dengan baik. Mereka itu akan dimasukkan ke dalam neraka dan diazab dengan dahsyat, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain:
(yaitu) mereka yang menghalangi dari jalan Allah dan menghendaki agar jalan itu bengkok. Dan mereka itulah orang yang tidak percaya adanya hari akhirat. Mereka tidak mampu menghalangi (siksaan Allah) di bumi, dan tidak akan ada bagi mereka penolong selain Allah. Azab itu dilipatgandakan kepada mereka. Mereka tidak mampu mendengar (kebenaran) dan tidak dapat melihat(nya). (Hud/11: 19-20)
Ayat 39
Dalam ayat ini ditegaskan sekali lagi bahwa Allah-lah yang melapangkan rezeki atau membatasinya. Berbeda dengan ayat 36, dalam ayat ini ditegaskan bahwa yang dilapangkan rezekinya atau dibatasi-Nya adalah rezeki hamba-hamba-Nya. Berarti bahwa seorang hamba Allah akan menerima ketentuan rezekinya apakah dilapangkan atau dibatasi oleh Allah.
Dengan demikian ayat ini membantah sekali lagi bahwa kelapangan rezeki itu adalah tanda Allah sayang dan keterbatasannya menandakan Allah benci. Seorang hamba Allah akan sabar bila rezekinya terbatas.
Seorang hamba Allah, bila rezekinya lebih akan memperhatikan orang lain yang kekurangan. Ia tidak akan termasuk pendusta agama atau hari kemudian, sebagaimana dinyatakan ayat berikut
Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak mendorong memberi makan orang miskin. (al-Ma’un/107: 1-3)
Membantu orang lain, berdasarkan ayat ini, justru akan mengekalkan kekayaan itu, bukan menghabiskannya. Membantu orang lain tidak akan membuat kita miskin, bahkan sebaliknya karena bantuan itu berarti memberdayakan orang banyak.
Keberdayaan orang banyak akan mem-buahkan kemakmuran, sebaliknya eksploitasi masyarakat akan membuat masyarakat itu melarat. Rasulullah menginformasikan bahwa orang yang membantu orang lain didoakan oleh malaikat pertambahan rezekinya, dan orang yang kikir didoakan oleh malaikat kehilangan harta bendanya:
مَا مِنْ يَوْمٍ يُصْبِحُ الْعِبَادُ إِلاَّ مَلَكَانِ يَنْزِلاَنِ فَيَقُوْلُ اَحَدُهُمَا اَللّهُمَّ اَعْطِ مُنْفِقًا خَلَفًا. وَيَقُوْلُ الْاٰخَرُ: اَللّهُمَّ اَعْطِ مُمْسِكًا تَلَفًا. (رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة)
Pada setiap pagi ada dua malaikat yang turun kepada hamba Allah, yang satu berdoa, “Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang berinfak.” Dan yang satu lagi berdoa pula, “Ya Allah, musnahkanlah harta orang yang tidak mau berinfak.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
Ayat 40
Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa pada hari Kiamat nanti semua manusia dikumpulkan di hadapan Allah untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka.
Pada saat itu, orang-orang kafir yang menyembah selain Allah akan dipertemukan dengan sembahan-sembahan mereka di dunia. Kepada yang disembah, Allah bertanya apakah mereka dulu pernah meminta manusia untuk menyembahnya. Di antara yang ditanya itu adalah malaikat, karena sewaktu di dunia ada manusia yang menyembah mereka.
Manusia ada yang memandang para malaikat itu sebagai anak-anak perempuan Allah, yang karena sifat keibuannya, akan selalu menyayangi anak-anaknya sekalipun bersalah. Karena itulah mereka menyembahnya. Allah berfirman:
Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban. Dan mereka berkata, “Sekiranya (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai ilmu sedikit pun tentang itu. Tidak lain mereka hanyalah menduga-duga belaka. (az-Zukhruf/43: 19-20)
Malaikat dengan para penyembahnya itu dipertemukan bukan karena Allah tidak tahu peristiwa yang sebenarnya, tetapi untuk memperlihatkan sendiri kepada penyembah-penyembah itu bahwa mereka salah.
Tafsir Surah Saba’ Ayat 36-37 menegaskan kepada pemuka orang Kafir bahwa yang memberika rezeki kepada mereka adalah Allah Swt. Sedangkan kemewahan yang mereka punya, nantinya akan ditanya bagaimana memperoleh harta tersebut. Sebab, sejatinya, rezeki yang lapang disesuaikan dengan kebijaksanaan orang tersebut.
Tafsir Surah Saba’ Ayat 36-37 juga menerangkan bahwa kasih sayang Allah tidak diukur atas banyaknya harta, akan tetapi dilihat dari seberapa besar ketaatan dan amal kebajikan yang ia lakukan di dunia. Untuk itu, jika memiliki harta yang banyak, maka jadikanlah ahrta tersebut sebagai sarana untuk mendapatkan kasih sayang Allah, yakni menggunakan dan menyuplai harta tersebut dengan benar.
Ayat 36
Pada ayat ini, Allah meminta Nabi Muhammad menegaskan kepada pemuka-pemuka kafir Mekah bahwa yang melapangkan rezeki seseorang dan membatasi rezeki adalah Allah. Hal itu untuk menolak pandangan orang kafir di atas bahwa keberuntungan hidup di dunia adalah tanda kesayangan Allah dan kesengsaraan adalah tanda kebencian-Nya.
Allah melapangkan atau membatasi rezeki seseorang sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Allah melapangkan rezeki seseorang mungkin karena dipercayai-Nya sehingga mampu mengeluarkan sebagian kekayaannya untuk mereka yang berkekurangan, sebagaimana dinyatakan ayat:
Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir, kecuali orang-orang yang melaksanakan salat, mereka yang tetap setia melaksanakan salatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta, (al-Ma’arij/70: 19-25).
Bagi mereka yang kafir, harta yang melimpah dan keturunan yang banyak dan berhasil justru untuk dijadikan Allah sebagai alasan untuk menghukum mereka. Penyebabnya adalah karena cara memperoleh dan menggunakan kekayaan serta pendidikan keturunan itu tidak sesuai dengan ketentuan Allah, sebagaimana dinyatakan ayat:;
Maka janganlah harta dan anak-anak mereka membuatmu kagum. Sesungguhnya maksud Allah dengan itu adalah untuk menyiksa mereka dalam kehidupan dunia dan kelak akan mati dalam keadaan kafir. (at-Taubah/9: 55)
Sebaliknya, Allah pulalah yang membatasi rezeki seseorang. Bagi yang beriman berkurangnya harta benda, anggota keluarga, dan makanan adalah untuk menguji kesabaran mereka. Bila mereka sabar, Allah akan membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman-Nya
Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (al-Baqarah/2: 155)
Bagi yang tidak kuat imannya, kesengsaraan hidup membuatnya tidak berhenti menyesali nasib, dan akhirnya membawanya kepada kekafiran
Manusia tidak jemu memohon kebaikan, dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapannya. (Fushilat/41: 49)
Jelaslah bahwa baik kesenangan maupun kesusahan hidup adalah ujian dari Allah. Kesenangan hidup bukanlah tolok ukur bahwa Allah menyayangi, dan kesempitan hidup bukan pula tolok ukur bahwa Allah membenci.
Bisa berarti sebaliknya, bahwa kesenangan hidup diberikan Allah sebagai ujian sehingga orang itu semakin terperosok dalam keingkaran. Kesempitan hidup adalah jalan untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat bila orang itu tabah menerimanya. Ketentuan itulah yang tidak diketahui atau tidak dipahami oleh banyak orang, termasuk oleh pemuka kaum kafir Mekah.
Pada ayat ini ditegaskan kepada pemuka kafir Mekah bahwa bukan harta benda dan keturunan yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Allah dan memperoleh kasih sayang-Nya, tetapi iman dan amal saleh.
Harta benda dan keturunan itu hanya bermanfaat bila menambah kuat iman dan memperbanyak amal. Oleh karena itu, harta benda harus diperoleh dengan benar dan dipergunakan dengan benar pula. Keturunan harus dididik dengan baik sehingga menjadi keturunan yang baik pula.
Dengan demikian, sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memperoleh kasih sayang-Nya adalah harta yang diperoleh dan digunakan dengan benar, dan keturunan yang dididik dengan baik yang akan melestarikan dan melanjutkan iman dan amal salehnya.
Dalam ayat lain, Allah memang meminta orang yang beriman agar mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan caranya adalah dengan amal saleh
Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. (al-Ma’idah/5: 35)
Hanya orang-orang yang beriman dan banyak amal salehnya yang akan diberi balasan pahala yang berlipat ganda oleh Allah. Dalam ayat-ayat lain disebutkan bahwa pelipatgandaan itu minimal sepuluh kali (al-An’am/6: 160), dan ada yang tujuh ratus kali lipat (al-Baqarah/2: 261).
Mereka yang diberi surga itu merasa aman, yaitu bebas dari ancaman neraka. Lebih dari itu, mereka puas dan bahagia karena Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya. Allah berfirman
Allah berfirman, “Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (al-Ma’idah/5: 119)
Kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an merupakan salah satu kitab induk dalam bidang kajian ilmu Al-Qur’an. Kitab ini dinilai sebagai rujukan utama dikarenakan kepopulerannya dan seringkali dipandang sebagai kitab yang otoritatif (mu’tabar). Akibatnya, mayoritas kajian terhadap kitab tersebut hanya bersifat apresiatif, dan sedikit sekali yang menggunakan pendekatan kritis dalam mengkaji kitab tersebut. Untuk mengisi kekosongan tersebut, maka melalui artikel ini penulis ingin menyampaikan sebuah kritik konstruktif dari seorang muhaddits asal Maroko yaitu Sayyid Abdullah al-Ghumari.
Secara nasab, nama Sayyid Abdullah al-Ghumari adalah Abdullah ibn Muhammad ibn Shiddiq ibn Ahmad al-Ghumari. Baik nasab dari ayah maupun ibunya, kedunya merupakan nasab orang-orang mulia. Melalui nasab ayahnya yaitu Sayyid Muhammd ibn Shiddiq al-Ghumari itu bersambung hingga Rasulullah. Sedangkan Nasab dari ibunya, yaitu Fatimah al-Zahra bersambung hingga Ibnu Ajibah al-Hasani, seorang ulama besar pengarang kitab al-Bahr al-Madid fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, dan Iqadh al-Humam fi Syarh al-Hikam.
Dalam kitab ‘Abdullah ibn al-Shiddiq al-Ghumari: al-Hafidz al-Naqid karya Faruq Jamadah, dijelaskan bahwa Sayyid Abdullah al-Ghumari dilahirkan pada akhir bulan Jumadil Akhir tahun 1328 H/1910 M di kota Tangier, Maroko. Sejak kecil, melalui tarbiyah ayahnya, pada usia 5 tahun, Sayyid Abdullah al-Ghumari sudah mulai menghafal Al-Qur’an melalui riwayat Imam Warsy di al-Kuttab al-Qur’ani. Tidak hanya Al-Qur’an, ia juga menghafalkan beberapa madzumah dan mutun kitab seperti Maurud al-Dham’an, Matn al-Arba’in al-Nawawiyah, al-Jurumiyah, Alfiyah ibn Malik, Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam dan Mukhtashar al-Syaikh Khalil ibn Ishaq (fikih maliki).
Setelah itu, Sayyid Abdullah al-Ghumari kemudian melanjutkan rihlah ilmiahnya ke kota Fez, tepatnya di Universitas al-Qarawiyyin. Selama di tempat tersebut, ia belajar ragam keilmuan Islam, mulai dari Nahwu, Fikih, Hadis, Tafsir, Ushul Fikih, dan Mantiq kepada para masyayikh al-Qarawiyyin, seperti Sayyid al-Habib al-Muhaji, al-Muhaddits Muhammad ibn Ja’far al-Kattani, al-Faqih Abi al-Tsana’ al-Shanhaji, al-Allamah al-Husain al-Iraqi, dan masih banyak ulama lainya.
Tidak berhenti disitu, pada tahun 1929 M, Sayyid Abdullah al-Ghumari dengan ditemani saudara-saudaranya yaitu Sayyid Ahmad al-Ghumari, dan Sayyid Zamzami al-Ghumari melanjutkan perjalanan intelektualnya ke Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Selama di al-Azhar, ia berguru kepada beberapa masyayikh al-Azhar, seperti Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Mahmud Zahid al-Kautsari, Syaikh Yusuf al-Dijwi, Syaikh Muhammad al-Khadr al-Tunisi, Syaikh Muhammad Bakhit al-Muti’i, Sayyid Ahmad Rafi’ al-Thathawi, dan Syaikh Abd al-Majid al-Labban.
Setelah hampir 40 tahun berada di Mesir, pada tahun 1970, Sayyid Abdullah al-Ghumari kembali ke Maroko dan mengajar di Zawiyah al-Shiddiqiyah. Sebagai seorang ulama besar yang menjadi pakar di bidang ilmu hadis, tentu ia menjadi rujukan para pelajar ilmu keislaman dari berbagai dunia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ulama besar pada masanya yang menjadi murid-muridnya, seperti Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki, Syaikh Abd al-Fattah Abu Ghuddah, Syaikh Muhammad ‘Awwamah, Syaikh Ali Jum’ah, Syaikh Shalih al-Ja’fari, Syaikh Muhammad Ali al-Murad, dan masih banyak lainya
Guru dari para ulama besar ini wafat pada usia 85 tahun, bertepatan dengan hari kamis tanggal 19 Sya’ban 1413 H/11 Februari 1993 M di Tangier, Maroko. Jasad Sayyid Abdullah al-Ghumari dikebumikan di Zawiyah al-Shiddiqiyah, berdampingan dengan makam ayahnya.
Selama hidupnya, kritikus Al-Itqan ini memiliki banyak karya tulisan dalam berbagai ragam bentuk fan keilmuan Islam, salah satunya adalah tentang kajian ulum al-Qur’an. Dalam bidang ulum al-Qur’an, al-Ghumari menulis 7 kitab, yaitu al-Ihsan fi Ta’qib al-Itqan, Bida’ al-Tafasir, Bayan al-Shahih al-Aqawil fi Tafsir Ayah Bani Israil, Taudhih al-Bayan li Wushul Tsawab al-Qur’an, Dzauq al-Halawah bi Bayan Imtina’ Naskh al-Tilawah, al-Ru’ya fi al-Qur’an wa al-Sunnah, dan Minhah al-Ra’uf al-Mu’thi bi Bayan Dla’f Wuquf al-Syaikh al-Habthi.
karya al-Ghumari yang mengkritik Al-Itqan-nya As-Suyuthi
Kritik Sayyid Abdullah al-Ghumari
Dalam mengkritik kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Jalaluddin al-Suyuthi (w. 1505 M), al-Ghumari menyampaikan kritiknya dengan menulis sebuah kitab yang berjudul al-Ihsan fi Ta’qib al-Itqan. Kitab al-Ihsan fi Ta’qib al-Itqan ini dicetak oleh penerbit Maktabah al-Qahirah, Mesir. Dalam cetakan tersebut, kitab ini tersusun sebanyak 63 halaman, mulai dari sampul buku, mukaddimah, isi pembahasan hingga daftar isi.
Secara umum, karena Sayyid Abdullah al-Ghumari merupakan seorang pakar hadis (muhaddits), maka pendekatan yang digunakan untuk mengkritik kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an adalah pendekatan ilmu hadis. Sehingga kritik yang disampaikan tidak jauh dari pembahasan shahih tidaknya sebuah riwayat yang dikutip oleh Imam al-Suyuthi. Oleh karena itu, dalam karya ini, kritik yang diberikan lebih berkutat pada aspek kritik sanad dan kritik matan dari sebuah riwayat.
Kemudian, terkait latar belakang mengapa Sayyid Abdullah al-Ghumari menulis kritik ini, tidak lain dikarenakan memang ada beberapa riwayat yang bermasalah dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, namun Imam al-Suyuthi lupa untuk memberikan peringatan atau keterangan atas riwayat yang bermasalah tersebut. Selain itu, dalam mukaddimahnya, al-Ghumari juga menyampaikan bahwa banyak ditemukan dari kalangan orientalis yang sengaja menggunakan riwayat-riwayat yang bermasalah tersebut untuk mengkritik Al-Qur’an.
Dari total 80 subab pembahasan yang terdapat dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, Sayyid Abdullah al-Ghumari hanya memberikan kritik terhadap 18 subab pembahasan, sebagaimana rincian berikut: (1) Ma’rifah al-Makki wa al-Madani [bab 1]; (2) Ma’rifah al-Hadhari wa al-Safari [bab 2]; (3) Ma’rifah Sabab al-Nuzul [bab 9]; (4) ma Nazala Mufarraqan wa ma Nazala Jam’an [bab 13]; (5) ma Unzila minhu ‘ala Ba’d al-Anbiya’ [bab 15]; (6) fi Kaifiyah Inzalihi [bab 16]; (7) fi Ma’rifah Asma’ihi wa Asma’ Suwarihi [bab 17]; (8) fi Jam’ihi wa Tartibihi [bab 18]; (9) fi ‘Adad Suwarihi wa Ayatihi [bab 19]; (10) fi Ma’rifah Huffadzihi wa Ruwwatihi [bab 20]; (11) fi Adab Tilawatihi [bab 35]; (12) fi Ma’rifah al-Wujuh wa al-Nadha’ir [bab 39]; (13) fi Naskhihi wa Mansukhihi [bab 47]; (14) fi Wujuh Mukhathabatihi [bab 51]; (15) fi Kinayatihi [bab 54]; (16) fi al-’Ilm al-Mustanbathah min al-Qur’an al-Karim [bab 65]; (17) fi ma Waqa’a fi al-Qur’an [bab 69] dan (18) fi Thabaqat al-Mufassirin [bab 80].
“Dari Ikrimah, berkata: usai pembaiatan Abu Bakar, Ali ibn Abi Thalib duduk di rumahnya (tidak ikut hadir dalam pembai’atan), kemudian dikatakan kepada Abu Bakar: Ali tidak suka untuk berbai’at padamu. Maka Abu Bakar mengutus seseorang kepadanya, kemudian Abu Bakar bertanya: Apakah engkau benci untuk berbai’at kepadaku? Ali berkata: Tidak, demi Allah. Kemudian Abu Bakar bertanya: Apa yang membuatmu tidak bisa hadir? Ali menjawab: Aku melihat kitab Allah (Al-Qur’an) telah ditambahi, maka aku bertekad dalam hati untuk tidak mengenakan selendangku kecuali untuk sholat, hinga aku dapat menghimpun kitab Allah tersebut.”
Sayyid Abdullah al-Ghumari menyatakan bahwa riwayat tesebut munqathi (terputus) dan tidak shahih. Hal ini dikarenakan Ikrimah belum pernah bertemu dengan Ali ibn Abi Thalib. Selain itu, al-Ghumari juga menilai ucapan Ali ibn Abi Thalib terkait adanya penambahan terhadap Al-Qur’an itu tidak masuk akal. Hal ini dikarenakan pembai’atan Abu Bakar tersebut dilakukan hanya berselang dua hari pasca wafatnya Nabi Muhammad. Padahal di era saat ini, setelah 14 abad lamanya, Al-Qur’an masih otentik, tidak ada penambahan maupun pengurangan sedikit pun.
Kemudian, Sayyid Abdullah al-Ghumari juga mengkritik pembahasan bab Ma’rifah al-Hadhari wa al-Safari. Dalam memberikan contoh ayat yang turun pada saat Rasulullah sedang bepergian (al-Safari), al-Suyuthi mencantumkan QS. al-Rum [30]: 1-5. Namun, al-Suyuthi mengutip pendapat al-Tirmidzi yang menyatakan bahwa kata ghulibat al-rum (غُلِبَتِ الرُّوْمُ) pada ayat kedua, dibaca ghalabat al-rum (غَلَبَتِ الرُّوْمُ) dengan cara mengfathahkan huruf lam. Menurut al-Ghumari, pendapat al-Tirmidzi tersebut merupakan qira’at yang syadzah dan menyalahi qira’at mutawatirah. Secara hukum, qira’at syadzah ini tidak diperbolehkan dibaca ketika shalat.
Contoh terakhir, dalam subab pembahasan ma Nazala Mufarraqan wa ma Nazala Jam’an, al-Ghumari mengkritik riwayat dari Ibnu Mas’ud tentang proses turunya QS. al-Mursalat secara sekaligus, sebagaimana berikut:
“Dalam kitab al-Mustadrak, dari Ibnu Mas’ud, berkata: Kami pernah bersama Nabi saw. di sebuah gua, maka turunlah (ayat) kepadanya: wa al-mursalat ‘urfa. Maka aku mendengarkan surat ini secara langsung dari Nabi, dan sesungguhnya mulutnya basah dengan surat tersebut. Maka saya tidak mengetahui dengan ayat manakah surat ini diakhiri: fa bi ayyi hadits ba’dahu yu’minun (al-Mursalat: 50) atau wa idza qila lahum irka’u la yarka’un (al-Mursalat: 48)”
Menurut al-Ghumari, kalimat fala adri bi ayyiha khatama merupakan sebuah kalimat tambahan yang munkar. Hal ini dikarenakan dalam Shahih al-Bukhari riwayat Ibnu Mas’ud tidak ada tambahan kalimat tersebut. Dan akhir QS. al-Mursalat yang benar adalah ayat ke-50 bukan ayat ke-48. Selain itu, al-Ghumari juga mengkritik uraian al-Suyuthi yang menyatakan bahwa QS. al-An’am itu diturunkan secara sekaligus (jam’an). Padahal riwayat yang dijadikan landasan oleh al-Suyuthi adalah riwayat yang dha’if (lemah). Sehingga, yang benar adalah QS. al-An’am itu diturunkan secara berangsur-angsur (mufarraqan) sebagaimana mayoritas surah-surah Al-Qur’an lainya.
Hal yang demikianlah yang membuat al-Ghumari menilai bahwa Imam al-Suyuthi dalam hal ini perlu diberikan kritik, dikarenakan telah mengutip dan menampilkan sebuah riwayat yang bermasalah, tanpa adanya keterangan/peringatan atas pengutipan riwayat bermasalah tersebut. Wallahu A’lam
Hukum Berkumur dan Menyedot Air Ke Hidung dalam Wudhu
Umumnya pengikut mazhab syafi’i menganggap prilaku berkumur serta menyedot air ke hidung sebagai salah satu kesunnahan dalam wudhu. Mereka beranggapan bahwa dua kesunnahan tersebut tidaklah berhubungan dengan kewajiban dalam wudhu sebagaimana membasuh wajah serta tangan.
Padahal keduanya memiliki keterkaitan dengan membasuh wajah. Dan sebab keterkaitan itu, sebagaian ulama’ sampai menyatakan bahwa berkumur dan menyedot air ke hidung saat wudhu, hukumnya adalah wajib. Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan pakar hukum fikih.
Perdebatan ulama’ tentang hukum berkumur dan menyedot air ke hidung, sehingga ada yang menyatakan keduanya hukumnya sunnah dan ada yang menyatakan keduanya wajib, bermuara pada kewajiban dalam membasuh wajah. Apakah bagian dalam hidung serta mulut termasuk wajah yang wajib dibasuh?
Para ulama’ membahas hukum berkumur dan menyedot air ke hidung tatkala mengulas tafsir firman Allah yang berbuyi:
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).
Imam Ibn Katsir menjelaskan, cukup banyak riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad tamadhmadha (berkumur) sertaistingsyaq(menyedot air ke hidung). Sebagian riwayat tersebut terdapat dalam kitab hadis sahih, dan sebagian di selainnya. Ulama’ berbeda pendapat tentang hukum keduanya. Ada yang mewajibkan keduanya dalam wudhu serta mandi besar, ada yang menghukumi keduanya Sunnah dalam wudhu serta mandi besar, dan ada yang membedakan hukum keduanya pada saat wudhu serta mandi besar (Tafsir Ibn Katsir/3/48).
Imam Ar-Razi menjelaskan bahwa Imam Syafi’i meyakini bahwa berkumur dan menyedot air ke hidung dalam wudhu hukumnya sunnah. Sedang Imam Ahmad dan Ishaq meyakini bahwa keduanya wajib dalam wudhu (Tafsir Mafatihul Ghaib/3/107).
Imam Al-Qurthubi mengungkapkan, bahwa berkumur dan menyedot air ke hidung ketika wudhu hukumnya wajib tidak hanya Imam Ahmad dan Ishaq, tapi juga Ibn Abi Laila, Hammad ibn Sulaiman, sebagian pengikut Imam Dawud, dan juga diriwayatkan dari Imam Az-Zuhri dan Atha. Namun Imam Al-Qurthubi juga menjelaskan, secara umum para ahli fikih menyatakan bahwa keduanya dalam wudhu hukumnya sunnah.
Sumber perbedaan pendapat di antaranya ada pada permasalahan, apakah bagian dalam hidung dan mulut termasuk bagian wajah yang wajib dibasuh? Imam Syafi’i dan yang sependapat dengannya menyatakan bahwa keduanya bukan bagian wajah yang wajib dibasuh. Sebab, yang dimaksud wajah adalah yang tampak saat berhadap-hadapan dengan orang lain. Mewajibkan keduanya sama saja mewajibkan sesuatu di luar yang sudah ditentukan oleh Al-Qur’an (Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an/6/84).
Imam Ahmad meyakini bahwa keduanya termasuk bagian dari wajah yang wajib di basuh. Selain itu, dalam berbagai riwayat dijelaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah meninggalkan berkumur dan menyedot air ke hidung. Imam Ahmad mewajibkan berkumur dan menyedot air ke hidung dan menganggap keduanya bagian dari membasuh wajah, sehingga tidak mewajibkan tartib di antara keduanya (Tafsir Munir/5/82 dan Al-Mausuah Al-Fiqhiyah/2/3859).
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dari perdebatan mengenai kewajiban berkumur dan menyedot air ke hidung adalah, kuatnya dasar yang dipakai masing-masing pihak. Meski Imam Al-Qurthubi mengungkapkan bahwa secara umum ahli fikih menganggap keduanya sunnah, tapi sepatutnya kita lebih berhati-hati dengan tidak mengabaikan berkumur dan menyedot air ke hidung meski meyakini bahwa keduanya sunnah. Sehingga bagi ulama’ yang memandang keduanya wajib, wudhu kita juga dianggap sah. Wallahu a’lam bish showab [].
Lafadz Ishlah dalam Al-Quran: Sembilan Cara Merawat Bumi
Telah dijelaskan dalam artikel sebelumnya hukum merawat bumi adalah wajib. Pada kesempatan kali ini akan diuraikan secara lanjut terkait dengan realisasi lafadz ishlah (إصْلاَح) dalam al-Quran yang difahami sebagai cara atau langkah untuk merawat bumi. Realisasi lafaz ishlah merupakan perwujudan dari tafsir kata ishlah, dengan tujuan utama membangun cara-cara merawat bumi dan membentuk perspektif bahwa al-Quran tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga aplikatif.
Lafaz ishlah menunjukan pada pembaruan ekosistem bumi baik skala mikro (kecil) mencakup keluarga atau skala makro (besar) yaitu eksternal keluarga, meliputi sektor kehidupan masyarakat, di antaranya ekonomi, budaya, agama, dan sosial. Lalu, bagaimana cara yang harus ditempuh untuk merawat bumi? Berikut langkah-langkahnya.
Akidah atau keyakinan menjadi dasar kuat lahirnya suatu tindakan yang secara doktrin Islam baik, bahkan secara adat. Akidah yang benar itulah yang membentuk kesadaran manusia dari mana, dimana, dan akan kemana. Karenanya, memperbaiki akidah juga visi pertama dakwah Rasulallah SAW ketika di Mekah. Akidah yang diartikan sebagai ikatan atau perjanjian tidak hanya berserah dan bertekad bertauhid kepada Allah, lebih dari itu dengan akidah manusia harus mengikuti apa yang diperintahkan-Nya, termasuk menjaga bumi.
Memperbaiki akidah dapat dilakukan dengan memperkuat akidah kepada Allah, menjauhi perbuatan menyekutukan-Nya, dan tidak melakukan perbuatan bidah akidah; yaitu sesuatu yang tidak diajarkan oleh Rasulallah sehingga merusak pada akidah.
Setelah masalah akidah selesai dan berangsur memperbaiki, secara otomatis sesorang akan memerhatikan pada prilakunya. Setidaknya ada pertanyaan dalam hatinya, apakah prilaku ini sesuai dengan akidah, atau belum? Hal ini dikarenakan akidah sedikit banyaknya mempengaruhi atas baik dan tidaknya prilaku seseorang. Perilaku ini dipengaruhi oleh nilai, adat, etika, dan sikap.
Prilaku yang berhubungan dengan merawat bumi sedikitnya memiliki dua komponen, yaitu 1) prilaku terhadap manusia, yang harus dilakukan dengan pendekatan kemanusiaan. Prilaku ini tidak terlalu memperdulikan agama, ras, dan etnis mana, yang terpenting adalah melihat kesamaan sebagai manusia dalam hak dan kewajibannya.
2) rilaku terhadap sesama makhluk hidup. Poin ini menegaskan bahwa aktivitas di dunia ini dipandang sebagai bentuk interaksi semua makhluk yang mengharuskan berprilaku baik. Poin ini lebih umum daripada sebelumnya, karena prilaku ini memandang semua yang ada di bumi adalah makhluk Allah; sehingga kita harus saling menjaga.
Ketiga, Akhlak
Pada poin ini manusia hidup di muka bumi harus berdasarkan nilai-nilai agama yang dianut. Berakhlak merupakan anjuran bahkan keharusan dalam kehidupan beragama. Harus diyakini pula bahwa setiap agama memiliki aturan dan undang-undang untuk mengatur pengikutnya supaya berakhlak baik dan benar. Oleh sebab itu, barometer baik tidaknya manusia dalam konteks ini ditentukan oleh nilai-nilai agama.
Sebagaimana Nabi diutus untuk menyempurnakan akhlak umat manusia, lantas misi tersebut harus direalisasikan oleh umatnya. Salah satu akhlak mulia terhadap bumi dapat dilakukan dengan tidak menebang pohon sembarang. Karena pohon juga memiliki hak hidup dan menghidupi. Kalau memang dirasa penting untuk ditebang, maka orang tersebut harus menanam kembali.
Keempat, Sistem Sosial
Al-Quran telah menggariskan misalnya dalam surah al-Hujurat ayat 11-12, bahwa sistem sosial manusia dibangun atas kesamaan derajat, tidak berdasarkan ras, suku, bangsa, bahkan agama. Artinya, setiap manusia pasti membutuhkan orang lain, karena manusia disebut makhluk sosial. Memperbaiki sistem sosial sebagai upaya menjaga bumi harus dimulai dari kesadaran individu, kelompok, dan institusi.
Misalnya, dalam merawat bumi antara indvidu (minimal dua orang) harus bersinergi dengan kelompok atau komunitasnya, kemudian ditopang oleh institusi dengan tujuan yang sama merawat dan menjaga bumi. Kesamaan dan kesesuain tujuan menjadi kunci dalam sistem sosial ini.
Tidak diragukan lagi al-Quran yang notabene bersifat normatif, lebih dari itu al-Quran telah membangun peradaban dan kultur yang baik. Seperti dalam Q.S Al-‘Alaq [96]: 1-5 secara tersirat akan melahirkan peradaban yang bernuansa analitik progresif. Apapun bentuknya terutama terkait dengan menjaga bumi, membaca situasi dan keadaan bumi merupakan salah satu cara untuk menjaga bumi.
Hal tersebut senada dengan semangat al-Quran bahwa manusia harus terus membangun peradaban melalui membaca, terutama membaca fenomena bumi. Penghijauan dan kealamian keadaan bumi merupakan dua poin dari hasil membaca bumi saat ini. Jadi, memperbaiki peradaban dan kultur konteks ini adalah dengan cara membaca kehidupan dan situasi bumi saat ini.
Keenam, Infrastruktur
Infrastruktur tidak hanya diartikan sebagai bentuk fisik saja, melainkan mencakup non-fisikal. Pembangunan dengan tujuan keadilan sosial merupakan semangat adanya proyeksi infrastruktur. Perbaikan infrastruktur setidaknya harus terintegrasi pada tiga sektor, yaitu ekonomi yang kaitanya dengan pemanfaaatan material setelah selesainya infrastruktur. Sosial berikaitan dengan keadilan bagi masyarakat. Lingkungan dengan semangat menjaga keutuhannya.
Perihal dengan lingkungan, infrastruktur dalam konteks fisik misalnya pembangunan jalan dan jembatan tetap harus memperhatikan lingkungan sekitar. Sehingga memperbaiki infrastruktur tidak menjadi boomerang, alih-alih memperlancar mobilitis masyarakat, malah akan menjadi batu sandungan bagi masyarakaat jangka panjang.
Ketujuh, Pertanian
Sistem pertanian yang perlu ditekankan sebagai upaya menjaga lingkungan adalah meyakini bahwa Allah telah memberikan air hujan dan saluran air (irigasi) untuk menumbuhi tumbuh-tumbuhan. Sebagimana dalam Q.S al-Nahl ayat 10-11, Allah menurunkan air dari langit memiliki dua fungsi, yaitu untuk diminum dan menumbuhkan tanaman.
Secara sederhana, perbaikan sistem pertanian dimulai dari membangun irigasi dan saluran air yang baik, sehingga tanaman khsusnya pertanian tidak kekurangan air. Hal itu juga bumi akan terjaga dan lebih indah.
Berdasarkan bahan bakunya, industri memiliki beberapa pembagian di antaranya industri yang bahan bakunya diambil dari alam sekitar, dari tempat lain selain alam sekitar, dan berbentuk jasa yang akan dijual kepada konsumen.
Dari beberapa pembagian industri tersebut yang terkoneksi dengan alam adalah bagian pertama dan kedua. Sebab, sistem industri tersebut tergantung pada alam, misalnya perkebunan, perhutanan, pertamabangan, dan lain-lain. Sumber-sumber tersebut tetap tidak boleh merusak alam. Cara yang dapat dilakukan dengan membangun sistem industri ramah lingkungan.
Kesembilan, Perdagangan
Sistem perdagangan ideal telah diatur oleh Islam dengan aturan yang lengkap. Prinsip tersebut tentunya perlu diamini oleh semua pelaku usaha. Prinsip tersebut di antaranya saling memberikan manfaat dengan menghindari prilaku penipuan yang akan merugikan salah satu pihak.
Dalam konteks ini sistem perdagangan yang mengindikasikan pada perusakan lingkungan harus diminimalisir. Cara tersebut dapat ditempuh dengan memperkuat elemen pembentukan perdagangan yang baik. Menurut IMF (Insights and Analysis on Economics & Finance) elemen itu mencakup; 1) lebih banyak perdagangan jasa, 2) lebih produktif, 3) lebih inklusif, dan 4) lebih banyak kerja sama internasional. Wallahu A’lam.
Tafsir Surah Saba’ Ayat 34-35 menjelaskan siklus tantangan yang dihadapi oleh para Nabi dan Rasul, bahwa mereka pasti akan mendapat perlawanan dari pemuka suatu kaum dari negeri tersebut. Karena sudah berkausa dan mapan, mereka menilai bahwa Tuhan telah merahmati mereka, buktinya mereka hidup dengan kemewahan, dan bisa melakukan apa saja. Allah tidak lantas mengazab mereka, namun membiarkan mereka terbuai akan nikmat dunia, dan menjamin bahwa kelak perbuatan mereka akan mendapat balasan yang setimpat dan nyata.
Pada ayat ini ditegaskan bahwa tidak ada seorang nabi pun yang dikirim Allah ke suatu negeri yang tidak mendapat perlawanan dari pemuka-pemuka kaumnya. Mereka biasanya adalah kaum elite yang menguasai kehidupan politik dan ekonomi negeri itu. Mereka sudah mapan dan hidup mewah, dan berfoya-foya. Dengan kedatangan nabi-nabi, mereka merasa kemapanan hidup mereka terusik oleh ajaran-ajaran yang dibawa para nabi itu.
Agama tidak membenarkan yang berkuasa menzalimi yang lemah, sedangkan kemapanan mereka dipertahankan dengan jalan menekan golongan lemah. Agama meminta manusia agar mengindahkan kehalalan dan keharaman dalam mencari rezeki dan memanfaatkan kekayaan, sedangkan kekayaan mereka diperoleh dengan cara apa saja, legal atau ilegal, dan kekayaan itu mereka gunakan untuk berfoya-foya.
Agama tidak membolehkan melanggar aturan-aturan agama, sedangkan kehidupan mereka tanpa mengindahkan norma-norma itu. Oleh karena itu, mereka menentang nabi-nabi dan dengan lantang menyatakan, “Kami menentang apa yang kalian ajarkan!” Ucapan itu menegaskan pula kesombongan mereka, dan selanjutnya mendorong mereka bertindak semena-mena (fusuq) di bumi ini.
Bila manusia sudah berbuat semena-mena, maka itu menjadi alasan bagi Allah untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya, yaitu memusnahkan mereka. Firman Allah:
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah), tetapi bila mereka melakukan kedurhakaan di dalam (negeri) itu, maka sepantasnya berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman Kami), kemudian Kami binasakan sama sekali (negeri itu). (al-Isra’/17:16)
Golongan berkuasa yang zalim, sombong, dan semena-mena itu membanggakan kekayaan dan keturunan mereka. Mereka berkata, “Kami kaya raya dan keturunan kami banyak, kami tidak akan terkena azab (tersentuh hukum).” Dengan kekayaan, mereka merasa dapat membeli apa saja. Dengan keturunan dan pendukung, mereka beranggapan bahwa kekuasaan mereka terhadap yang lemah dapat terus dipertahankan dari generasi ke generasi.
Mereka juga merasa disayangi oleh Allah sehingga di akhirat nanti tidak akan dihukum karena dosa-dosa mereka. Tolok ukur yang mereka pakai adalah kesenangan hidup di dunia. Kesenangan hidup, menurut pandangan mereka, menunjukkan bahwa mereka disayangi, sedangkan kesengsaraan hidup menandakan mereka dibenci Allah.
Semua anggapan mereka itu tidaklah benar. Pemberian harta yang melimpah dan anak-anak yang berhasil bagi orang kafir tidak merupakan petunjuk bahwa Allah menyayangi mereka, tetapi sebaliknya, sebagaimana dinyatakan ayat berikut:
Apakah mereka mengira bahwa Kami memberikan harta dan anak-anak kepada mereka itu (berarti bahwa), Kami segera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? (Tidak), tetapi mereka tidak menyadarinya. (al-Mu’minun/23: 55-56).
Walaupun begitu, azab tidak segera dijatuhkan kepada orang-orang kafir di dunia ini karena Allah masih memberi penangguhan kepada mereka. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada mereka agar bertobat, sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah:
Dan kalau Allah menghukum manusia karena kezalimannya, niscaya tidak akan ada yang ditinggalkan-Nya (di bumi) dari makhluk yang melata sekalipun, tetapi Allah menangguhkan mereka sampai waktu yang sudah di-tentukan. Maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun. (an-Nahl/16: 61)
Dalam ayat lain diterangkan bahwa harta dan anak-anak menjadi ujian bagi manusia, apakah ia tetap beriman dan bersyukur ataukah ingkar. Allah berfirman
Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar. (at-Tagabun/64: 15)
Sesungguhnya harta bagi orang kafir tidak akan bisa membuat mereka abadi di dunia, tetapi sebaliknya akan menyebabkan mereka dilemparkan ke dalam neraka, sebagaimana firman Allah:
يَحْسَبُ اَنَّ مَالَهٗٓ اَخْلَدَهٗۚ
Dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. (al-Humazah/104: 3)
Surah Ash-Shaffat Ayat 96, Apakah Allah swt mengatur seluruh tindakan manusia?
Di tengah umat Islam – khususnya antara aliran Asy’ariyah dan Muktazilah – sering terjadi perbedaan pendapat berkenaan apakah Allah swt mengatur seluruh tindakan manusia atau tidak? Perdebatan ini biasanya berujung pada anggapan bahwa segala tindakan manusia telah “diskenario” oleh Allah swt atau sebaliknya manusia “bebas-mandiri” dalam bertindak atau di tengah-tengah keduanya (Studi Ilmu Kalam).
Pertanyaan apakah Allah swt mengatur seluruh tindakan manusia memang cukup sulit untuk dijawab. Jika jawabannya terlalu condong pada kenyataan bahwa Allah swt Maha Penentu takdir seluruh makhluk, maka yang mungkin terjadi adalah hilangnya eksistensi manusia dan penyandaran tindakan keburukan kepada-Nya. Di sisi lain, jawaban yang menekankan pada kemandirian manusia membuat peran Allah ternegasikan.
Salah satu sumber atau akar perdebatan “apakah Allah swt mengatur seluruh tindakan manusia atau tidak?” adalah penafsiran terhadap surah as-Saffat [37] ayat 96. Secara literal ayat ini memang berbicara mengenai totalitas peran Allah dalam kehidupan manusia, mulai dari menciptakan mereka hingga apa yang mereka perbuat (tindakan). Namun, ayat tersebut mesti dipahami dalam konteks yang proporsional.
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As-Saffat [37] ayat 96).
Hal pertama yang harus dipahami berkenaan surah as-Saffat [37] ayat 96 adalah ia merupakan bagian dari perkataan Nabi Ibrahim saat mengkritik tajam kaumnya yang membuat berhala dan menyembahnya. Ia berkata, “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu buat itu? Padahal Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat itu. Sungguh ini adalah suatu kebodohan yang luar biasa! (Tafsir al-Misbah)
Imam al-Thabari menyebutkan dalam kitabnya, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, surah as-Saffat [37] ayat 96 setidaknya mengandung dua makna, yaitu: Pertama, jika huruf ma sebelum kata ta’malun dianggap sebagai ma masdar, maka makna ayat ini adalah Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan tindakan kalian. Dalam konteks ini dipahami bahwa Allah swt mengatur segala tindakan manusia.
Kedua, jika huruf ma sebelum kata ta’malun berarti alladzi atau “yang”, maka makna surah as-Saffat [37] ayat 96 adalah Allah-lah yang telah menciptakan kalian dan yang kalian buat itu. Maksudnya, Allah swt telah menciptakan manusia dan berbagai sumber daya yang dapat digunakan manusia untuk membuat sesuatu, termasuk berhala. Dengan kata lain, ayat ini merupakan sindiran kepada penyembah berhala atas keburukan logika berpikir mereka.
Menurut al-Thabari, makna kedua inilah yang paling akurat (in sya Allah). Imam Qatadah pernah berkata, makna surah as-Saffat [37] ayat 96 ialah Allah-lah yang telah menciptakan kalian dan yang kalian buat dengan tangan kalian itu (berhala). Dengan demikian, ayat ini tidak pada tataran menegaskan tentang kenyataan bahwa Allah swt mengatur seluruh tindakan manusia secara mutlak.
Hal senada juga disampaikan oleh Quraish Shihab. Menurutnya, surah as-Saffat [37] ayat 96 tidak terfokus pada doktrin teologi tertentu, baik Jabariyah (fatalisme) ataupun Qadariyah. Ayat ini pada hakikatnya berisi tentang kecaman nabi Ibrahim kepada kaumnya karena menyekutukan Allah, padahal Dia adalah Pencipta segala sesuatu, baik secara langsung ataupun melalui pelimpahan daya kepada manusia.
Sedangkan Abu Manshur al-Maturidi menyebutkan, surah as-Saffat [37] ayat 96 berisi tentang dalil bahwa Allah swt mengatur segala tindakan manusia. Bagi pengikut Asy’ariyah, melalui ayat ini Allah ingin menegaskan bahwa diri-Nya telah menciptakan manusia dan setiap perbuatan manusia. Tidak ada satu perbuatan manusia pun yang lepas dari pengaturan-Nya (Tafsir al-Maturidi).
Pendapat Abu Manshur al-Maturidi di atas dikuatkan oleh Imam al-Tsa’labi. Ia menerangkan dalam al-Kasyf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an surah as-Saffat [37] ayat 96 adalah dalil yang menunjukkan bahwa tindakan atau perbuatan makhluk merupakan ciptaan Allah swt. Ia juga menyebutkan secara eksplisit ayat ini membatalkan paham aliran Qadariyah dan Jabariyah.
Di sisi lain, pemilik al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Gawamid al-Tanzil, yakni Abu al-Qasim Mahmud al-Zamakhsyari, penganut paham Muktazilah, menerangkan bahwa pandangan yang disampaikan oleh al-Maturidi dan kawan-kawan berkenaan surah as-Saffat [37] ayat 96 telah merusak nazm Al-Qur’an. Makna yang benar adalah Allah-lah yang telah menciptakan kalian dan yang kalian buat dengan tangan kalian itu (berhala).
Berdasarkan penjelasan di atas, penulis lebih condong kepada keterangan yang menyebut bahwa makna surah as-Saffat [37] ayat 96 Padahal Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat itu. Ada dua alasan kenapa makna ini lebih penulis kedepankan, yakni: Pertama, sesuai dengan nazm Al-Qur’an. Karena kedudukan kalimat ma ta’malun serupa dengan kedudukan kalimat ma tanhitun pada ayat sebelumnya (ayat 95).
Kedua, makna ini lebih proporsional dan cocok jika dihubungkan dengan konteks kritik tajam Nabi Ibrahim kepada kaumnya yang menyembah berhala. Ayat ini seakan berkata, “Oh alangkah celakanya kalian wahai kaumku. Kalian semua menyembah berhala yang telah kalian buat dengan tangan sendiri. Padahal Allah lah yang menciptakan kalian dan apa yang kalian buat itu, yakni kayu atau batu yang menjadi bahan dasar pembuatan berhala.”
Kendati penulis menegaskan bahwa makna ayat ini adalah Padahal Allah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat itu, namun bukan berarti ini menegasikan kenyataan Allah swt mengatur seluruh tindakan manusia. Tidak ada sesuatu pun yang keluar dari kendali atau pengaturan-Nya. Namun di sisi lain, manusia tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, karena Dia telah menganugerahkan mereka kebebasan memilih (freewill). Wallahu a’lam.
Tafsir Surah Saba’ Ayat 31-32 menjelaskan bahwa apapun bukti yang diajukan kepada orang Kafir niscaya mereka tidak akan percaya, bebal, dan fanatik pada keyakinannya sendiri, mereka menganggap Nabi-lah yang salah karena ikut campur dalam urusan mereka.
Barulah kelak di akhirat mereka menyesal, namun tidak bisa berbuat apa-apa, mereka kemudian berdebat dengan para pendahulu yang mereka anggap sebagai biang kesalahan kesesatan mereka. Namun, Allah tidak lagi mendengar keluhan tersebut, bagi Allah kedudukan semua manusia sama, yang berbeda hanya amal kebajikan ketika hidup di dunia-lah yang menjadi penolong mereka.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bagaimana mendalamnya ke-ingkaran orang-orang musyrik terhadap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan agama samawi lainnya yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Mereka menyatakan tekad tidak akan beriman kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya.
Bagi orang-orang yang bertekad seperti ini tidak ada suatu dalil atau bukti pun yang dapat mereka terima, walaupun bukti itu kuat, nyata, dan dapat diterima oleh akal yang sehat atau pikiran yang jernih.
Hati mereka telah dipenuhi dengan fanatisme yang keras sehingga semua yang bertentangan dengan paham mereka adalah salah, sesat, dan sama sekali tidak dapat diterima. Pernah kaum musyrikin Mekah bertanya kepada Ahli Kitab tentang bagaimana ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad saw dan apakah hal itu disebutkan dalam kitab mereka.
Sebagian Ahli Kitab menerangkan ciri-ciri dan sifat-sifat Muhammad saw. Mereka juga mengatakan bahwa mungkin Muhammad saw itu memang seorang rasul utusan Tuhan. Bagi orang yang hatinya bersih dan tidak dikotori oleh kesombongan dan fanatik buta, jawaban ini akan menginsafkan mereka dan menjadikan mereka berpikir.
Tetapi, jawaban itu membuat mereka menjadi marah dan menolak mentah-mentah keterangan para Ahli Kitab itu dan tidak mau memercayainya. Memang batin mereka telah ditutup untuk menerima kebenaran sebagaimana disebut dalam firman Allah:
Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (al-Baqarah/2: 7)
Oleh karena tidak ada bukti yang dapat menginsafkan mereka, dan yang patut dikemukakan kepada mereka ialah ancaman yang keras, maka pada ayat-ayat ini diceritakan bagaimana keadaan orang-orang kafir itu dan para pemimpin mereka di akhirat nanti ketika berdiri di hadapan Allah.
Pada waktu itu, orang-orang kafir itu sadar bahwa mereka telah sesat. Mereka menoleh kepada pemimpin mereka dan berkata, “Kalau tidak karena tindakanmu terhadap kami di dunia, tentu kami tidak akan mengalami hal seperti ini. Kami tentu telah beriman kepada Muhammad saw dan termasuk hamba Allah yang diridai-Nya.”
Ucapan dan tuduhan ini dijawab oleh para pemimpin yang telah menjerumuskan mereka karena hendak melepaskan diri dari tanggung jawab. Para pemimpin itu berkata, “Apakah kami pernah menghalangi kamu mengikuti petunjuk? Kami tidak pernah memaksa kamu supaya mengikuti kemauan kami dan mengikuti jalan yang kami tempuh.
Kami tidak pernah menghalangi kamu mengikuti ajaran yang dibawa oleh rasul Allah. Hanya kamu sendirilah dengan kemauan kamu sendiri pula yang menolak ajaran itu, dan turut mendustakannya. Kalau kamu telah sesat disebabkan tindakan kamu, janganlah kami dibawa-bawa untuk mempertanggungjawabkan perbuatanmu itu. Kamu sebenarnya termasuk orang-orang sesat.”
Kalau jawaban para pemimpin itu diucapkan pada waktu mereka masih di dunia, para pengikutnya pasti akan diam, karena pengaruhnya yang besar terhadap mereka. Tetapi, lain halnya di akhirat. Kedudukan manusia di hadapan Allah semua sama, tidak ada bawahan dan pimpinan, dan tidak ada kaum feodal atau kaum jelata.
Ayat 33
Oleh sebab itu, para pengikut itu tidak puas mendengar jawaban para pemimpinnya dan melanjutkan dakwaan bahwa para pemimpin itu selalu membujuk dan menipu mereka siang dan malam, serta memerintahkan supaya ingkar kepada Allah dan mempersekutukan-Nya dengan yang lain. Tetapi, semuanya telah telanjur dan tidak ada waktu lagi untuk kembali kepada kebenaran atau untuk bertobat.
Semuanya, baik para pemimpin maupun pengikutnya, telah mengetahui akan mendapat balasan yang setimpal atas keingkaran dan kedurhakaan mereka. Mereka merasa sangat menyesal ketika melihat azab yang akan ditimpakan kepada mereka, tetapi penyesalan itu tidak berguna lagi. Mereka dimasukkan ke neraka dalam keadaan terbelenggu. Memang siksaan itulah yang layak ditimpakan karena sikap dan perbuatan mereka selama di dunia.