Beranda blog Halaman 267

Tafsir Surah Fathir Ayat 1-2

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Surah Fathir adalah surah Makkiyah yang terdiri dari 45 ayat, nama lain dari surah ini yaitu surah al-Mala’ikah. Adapun Tafsir Surah Fathir Ayat 1-2 diawali keterangan bahwa pujian dan syukur hendaklah ditujukan kepada Allah yang telah menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk makhluk-makhluk yang tinggal di dua tempat tersebut.

Maka, rahmat Allah menyelimuti siapapun, tidak ada yang bisa mengatur rahmat-Nya. Hak mutlak Allah-lah yang menentukan apakah rahmat tersebut diturunkan atau di tahan, begitupun sebaliknya terhadap bencana. Sebab Dialah Sang Maha Penguasa, maka tugas kita adalah beribadah kepada-Nya, dan bertawakkal atas apa yang ia timpakan kepada kita, jika itu Rahmat, syukurilah. Jika itu ternyata bencana, maka sabarlah. Apapun bentuknya, tetap kita memuji kebesaran Allah.

Ayat 1

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa puji dan syukur hanyalah  bagi-Nya, yang telah menciptakan langit dan bumi serta apa yang ada di antara keduanya dengan ciptaan yang amat indah dan ajaib, ciptaan yang belum ada sebelumnya, dan telah diatur-Nya dengan tertib dan lengkap serta sempurna.

Dia juga yang telah menugaskan malaikat menyampaikan wahyu kepada para nabi-Nya, untuk menyampaikan berbagai macam urusan. Malaikat itu adalah sejenis makhluk yang mempunyai sayap yang beraneka ragam, ada yang dua, tiga, atau empat bahkan ada yang lebih dari itu.

Malaikat bertugas untuk menyampaikan segala perintah dan larangan Allah kepada para nabi-Nya. Allah berkuasa menambah sayap para malaikat lebih banyak lagi menurut kehendak-Nya, sesuai dengan keperluan. Tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi-Nya, karena Allah itu Mahakuasa atas segala sesuatu. Di dalam suatu hadis diterangkan bahwa:

اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى جِبْرِيْلَ لَيْلَةَ اْلاِسْرَاءِ فِى صُوْرَتِهِ لَهُ سِتُّمِائَةِ جَنَاحٍ بَيْنَ كُلِّ جَنَاحَيْنِ كَمَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. (رواه مسلم عن ابن مسعود)

Sesungguhnya Nabi Muhammad saw melihat Malaikat Jibril pada malam isr±’ dalam bentuk aslinya, dia mempunyai enam ratus sayap, antara dua sayapnya seperti sepanjang mata memandang ke timur dan barat. (Riwayat Muslim dari Ibnu Mas’ud)


Baca Juga : Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT


Ayat 2

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa pemberian atau penahanan suatu rahmat termasuk dalam kekuasaan-Nya. Apabila Dia menganugerahkan suatu rahmat kepada manusia, tidak seorang pun dapat menahan dan menghalangi-Nya.

Begitu pula sebaliknya, apabila Dia menahan dan menutup sesuatu rahmat dan belum diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, maka tiada seorang pun bisa membuka dan memberikannya, karena semua urusan di tangan-Nya.

Dia Maha Perkasa berbuat menurut kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, kita harus selalu menghadap Allah melalui ibadah untuk mencapai cita-cita kita, dan senantiasa dengan bertawakal kepada-Nya, begitu pula di dalam usaha mencapai tujuan dan maksud yang diridai-Nya. Sejalan dengan ini, Allah berfirman:

وَاِنْ يَّمْسَسْكَ اللّٰهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهٗ ٓاِلَّا هُوَ ۚوَاِنْ يُّرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَاۤدَّ لِفَضْلِهٖۗ

Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.  (Yunus/10: 107)

Dan dalam sebuah hadis disebutkan sebagai berikut:

عَنِ الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ اَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ كَانَ اِذَا انْصَرَفَ مِنَ الصَّلاَةِ قَالَ لاَاِلَهَ اِلاَّالله ُوَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ اَللَّهُمَّ لاَ مَانِعَ لِمَا اَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَيَنْفَعُ ذَاالْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ (رواه احمد والشيخان)

Dari al-Mugirah bin Syu’bah bahwa ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw apabila selesai salat mengucapkan, “Tiada tuhan melainkan Allah. Dia Esa tiada ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya kerajaan dan bagi-Nya segala puji. Dia kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah Tuhanku, tidak ada seorang pencegah pun terhadap sesuatu yang Engkau berikan dan tak ada seorang pemberi terhadap sesuatu yang Engkau cegah, tidak bermanfaat kejayaan seseorang dalam menghadapi siksaan Engkau.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 3-5


Mengenal Istilah Mad Wajib Muttashil dan Mad Jaiz Munfashil

0
mad wajib muttashil
mad wajib muttashil dan mad jaiz munfashil

Dalam membaca Al-Quran, seorang qari’ tidak bisa serta merta memanjang-manjangkan suatu huruf ataupun bacaan tertentu. Ada aturan yang harus dipatuhi oleh seorang pembaca Al-Quran. Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan mengenai istilah dan aturan Mad Asli. Artikel ini akan menjelaskan bagian Mad Far’i yaitu Mad Wajib Muttashil dan Mad Jaiz Munfashil mulai dari istilah dan aturan membacanya serta contohnya dalam Al-Quran.

Mad Wajib Muttashil

Syaikh Athiyyah Qabil dalam kitab Ghayatu al-Murid Fi ‘Ilmi Tajwid mendefinisikan bahwa Mad Wajib Muttashil adalah

وَاَنْ يَقَعَ بَعْدَ حَرْفِ الْمَدِّ هَمْزٌ مُتَّصِلٌ بِهِ فِى كَلِمَةٍ وَاحِدَةٍ

“adanya hamzah setelah huruf mad yang muttashil (bersambung) dalam satu kata”

Baca Juga: Ilmu Tajwid: Mengenal Hukum Mad Asli (Mad Thobi’i)

Syaikh Sulaiman al-Jamzuri dalam kitabnya Tuhfatul Athfal berkata:

فَوَاجِبٌ اِنْ جَاءَ هَمْزٌ بَعْدَ مَدْ * فِى كَلِمَةٍ وَذَا بِمُتَّصِلْ يُعَدْ

Apabila ada mad thobi’i atau mad asli bertemu dengan hamzah dalam satu kalimat. Maka ukuran panjang membacanya 4 sampai 5 harakat. Contoh:

-وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْ ۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌ – ٤٩

-قَالَ اِنَّهٗ يَقُوْلُ اِنَّهَا بَقَرَةٌ صَفْرَاۤءُ فَاقِعٌ لَّوْنُهَا تَسُرُّ النّٰظِرِيْنَ – ٦٩

Dinamakan wajib karena semua qurra’ secara ijma’ mewajibkan penambahan bacaan panjang dari mad asli, tidak ada yang membaca qashar satu alif. Karena bertemunya huruf mad dengan hamzah dalam satu kalimat itu betul-betul membekas.

Kalau tidak ditambahkan panjangnya, maka akan hilang terlipat. Karena huruf mad itu huruf yang samar dan hamzah itu huruf yang keras dan kuat. Selain juga demi menjelaskan bacaan hamzah, karena sifat huruf hamzah yang sukar dilafadzkan. Maka cara membacanya dipanjangkan dan akhirnya jangan disyiddahkan ke hamzah (membacanya hamzah jangan terlalu di tekankan).

Tentang ukuran menambahkan panjang berbeda-beda, bacaan Imam ‘Ashim sampai 2 atau 2 setengah alif. Lainnya ada yang lebih panjang dan ada yang lebih pendek menurut perincian masing-masing.

Mad Jaiz Munfashil

Syaikh kamil al Adib dalam kitab Hidayat al-Mustafid fi Ahkami Al-Tajwid menerangkan pengertian Mad Jaiz Munfashil yaitu

هُوَ اَنْ يَأْتِى حَرْفُ الْمَدِّ أَخِرَ الْكَلِمَةِ الْاُوْلى وَهَمْزَةُ الْقَطْعِ فِى اَوَّلِ الْكَلِمَةِ

“apabila ada huruf mad asli pada satu kata bertemu dengan hamzah dikata yang lainnya.” Contoh:

-وَالَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِمَآ اُنْزِلَ اِلَيْكَ وَمَآ اُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ

وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ࣖ – ٧

Dinamakan munfashil (terpisah) karena antara huruf mad dan hamzah sudah beda kalimatnya. Dinamakan jaiz karena bisa hilang sebabnya menambahi panjang seperti jika waqof pada kalimah yang pertama. Kalau  hilang sebabnya maka tidak menambahi panjangnya lagi.

Dengan ini maka para qurra’ berbeda pendapat, ada yang mewajibkan terbaca qashar karena huruf mad bertemu dengan hamzah yang sudah beda kalimat itu tidak bisa memberi bekas (bukan bernama mad jaiz lagi). Ada juga yang mewajibkan dibaca panjang seperti mad wajib muttashil karena sama-sama bertemunya hamzah walaupun sudah beda kalimat tetapi tetap membekas.

Ada juga yang berpendapat bahwa mad ini dapat dibaca dua model sekaligus, yaitu dibaca pendek (qashar) dan dibaca panjang sama dengan mad wajib.

Demikianlah, dan semua itu mutawattir dan muttashil dari nabi Saw.

Baca Juga: Kitab Yanbu’a: Pembelajaran Metode Tajwid Secara Praktis

Dalam buku tajwid Al-Muqaddimah Jazariyyah karangan KH. Maftuh Basthul Birri beliau berpendapat bahwa Menurut riwayat Hafs dari Imam ‘Ashim juga punya wajah dua dengan beda metode:

Pertama, dibaca panjang, menurut thariqnya imam ‘Ubaid ibni Shabbah yang diterangkan dalam kitab nadzam Asy-Syatibiyyah (yang namanya hirzul amaniy), dan ini bacaan yang paling umum dimana saja.

Kedua dibaca qashr satu alif. Pendapat ini menurut thariqnya Imam ‘Amr Ibni Sabbah yang diterangkan menurut kitab nadzam Thayyibatun Nasr. Ini masyhur dan sah kedua-duanya walaupun di Indonesia yang satu alif ini agak asing karena bawaan dari guru-guru kita yang panjang.

Maka anda boleh memilih asalkan membacanya yang pasti dan rapi satu alif-satu alif semua dimanapun berada, atau sama dengan mad wajib panjang semua. Jangan dicampur ada yang pendek ada yang panjang. Mungkin anda tidak biasa kalau tidak dengan guru, maka lakukanlah menurut yang lebih biasa. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Saba’ Ayat 51-54

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 51-54 mejelaskan tentang keadaan orang kafir ketakutan dihadapan Allah Swt. Ketika itu, kesalahan mereka terekam dengan baik, mereka tidak bisa mengelak dari persidangan itu,pun tidak bisa kabur dan kembali menebus kesalahan mereka. Sebab, pintu taubat sudah tertutup total, sama seperti yang dialami oleh umat-umat terdahulu. Seandainya mereka semasa hidup mau belajar dari masa lalu, niscaya mereka tidak akan mengalami siksa dan penyesalan yang mendalam.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 48-50


Ayat 51

Pada ayat ini dijelaskan bahwa andaikata Rasulullah menyaksikan bagaimana orang-orang kafir itu nanti ketakutan di depan Allah, maka beliau akan menyaksikan peristiwa yang hebat sekali.

Pada waktu itu, orang-orang kafir itu dihadapkan kepada siksa Allah. Tempat melarikan diri tidak ada, begitu juga kemungkinan adanya pertolongan, atau tempat untuk berlindung.

Oleh karena itu, gemparlah mereka dalam ketakutan yang luar biasa. Pada waktu itulah mereka dibekuk dengan mudah tanpa berkutik karena sudah terpojok di Padang Mahsyar yang menyesakkan.

Ayat 52

Pada waktu itulah mereka bertobat dengan mengikrarkan iman mereka kepada Allah, para rasul-Nya, dan Al-Qur’an. Mereka mengikrarkan iman yang tulus sekali karena semua bukti yang tadinya mereka ragukan telah nyata dan telah terbukti. Ikrar iman seperti itu dilukiskan dalam ayat lain:

وَلَوْ تَرٰىٓ اِذِ الْمُجْرِمُوْنَ نَاكِسُوْا رُءُوْسِهِمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۗ رَبَّنَآ اَبْصَرْنَا وَسَمِعْنَا فَارْجِعْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا اِنَّا مُوْقِنُوْنَ

Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata), “Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan. Sungguh, kami adalah orang-orang yang yakin.” (as-Sajdah/32: 12)

Mengikrarkan iman untuk bertobat pada waktu itu tidak mungkin lagi mencapai maksud yang diharapkan, karena mereka sudah berada di tempat yang sangat jauh yaitu akhirat.

Di tempat yang sangat jauh seperti itu tidak mungkin lagi mencari keselamatan. Tempat mencari keselamatan dengan beriman dan beramal saleh adalah di dunia, tetapi masa itu sudah berlalu dan mereka tidak mungkin lagi dikembalikan ke sana. Oleh karena itu, tobat dan ikrar iman mereka itu tidak berguna dan tidak mungkin diterima.


Baca Juga : Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan


Ayat 53

Dijelaskan lebih lanjut bahwa mereka tidak mungkin lagi mencari keselamatan di tempat yang jauh itu karena semasa hidup di dunia mereka ingkar sekali. Mereka tidak mau mengimani Allah, para rasul-Nya, Al-Qur’an, dan hari kemudian.

Sebab mereka tidak mau beriman adalah karena mereka melontarkan dugaan-dugaan yang tidak beralasan sama sekali. Mereka menyangka yang lain dari Allah sebagai Tuhan, menuduh Nabi Muhammad saw. penyair, dukun, penyihir, gila, dan sebagainya, menyatakan Al-Qur’an dongeng, mimpi, atau sihir, dan menyangka bohong adanya hari kemudian beserta surga dan neraka.

Semua itu mereka nyatakan tanpa dasar pengetahuan, tetapi hanya berdasarkan dugaan. Dugaan itu diibaratkan orang yang melempar sesuatu yang tidak jelas secara serampangan dari tempat yang jauh. Ia tidak tahu apakah lemparan itu mengenai sasaran atau tidak.

Dalam al-Kahf/18: 22 tindakan itu dilukiskan dengan ungkapan: rajman bil-gaib, yaitu membidik sesuatu yang tidak jelas secara serampangan atau menerka-nerka sesuatu tanpa dasar sama sekali.

Ayat 54

Pada ayat ini dijelaskan bahwa antara orang itu dengan harapannya untuk bertobat dan terlepas dari siksa terganjal total, tidak mungkin terjadi sama sekali, seakan-akan di antara keduanya telah terbangun tembok tebal yang besar.

Dambaan itu sama halnya dengan apa yang diharapkan umat-umat sebelum mereka. Umat-umat itu semenjak awal selalu membangkang dan baru beriman ketika bencana sebagai hukuman sudah di depan mata.

Tentu saja tobat dan iman pada waktu sudah terpaksa seperti itu tidak diterima, sebagaimana dinyatakan dalam ayat lain:

فَلَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَاۗ قَالُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَحْدَهٗ وَكَفَرْنَا بِمَا كُنَّا بِهٖ مُشْرِكِيْنَ  ٨٤  فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ اِيْمَانُهُمْ لَمَّا رَاَوْا بَأْسَنَا ۗسُنَّتَ اللّٰهِ الَّتِيْ قَدْ خَلَتْ فِيْ عِبَادِهِۚ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكٰفِرُوْنَ ࣖ   ٨٥

Maka ketika mereka melihat azab Kami, mereka berkata, “Kami hanya beriman kepada Allah saja dan kami ingkar kepada sembahan-sembahan yang telah kami persekutukan dengan Allah.” Maka iman mereka ketika mereka telah melihat azab Kami tidak berguna lagi bagi mereka. Itulah ketentuan Allah yang telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan ketika itu rugilah orang-orang kafir. (al-Mu’min/40: 84-85)

Mereka tidak beriman di dunia karena selalu sangsi mengenai kebenaran Al-Qur’an dan ragu untuk menerima kebenarannya. Padahal, Al-Qur’an tidak perlu diragukan lagi oleh manusia, karena merupakan wahyu Allah, disampaikan oleh Jibril, diterima Nabi Muhammad, dan isinya benar. Keraguan hanya akan menghasilkan kekafiran, dan kekafiran hanya akan membuahkan kesengsaraan di akhirat.

(Tafsir Kemenag)

Tren Tik Tok “Welcome to Indonesia” dan Nilai Nasionalisme Religius dalam Al-Qur’an

0
Tren Tik-Tok “Welcome to Indonesia” dan Nilai Nasionalisme Religius dalam Al-Qur’an
Aplikasi Tik-Tok

Baru-baru ini, media sosial Tik-Tok diramaikan dengan tren konten “Welcome to Indonesia”. Tren ini berisikan ulah pengguna Tik-Tok yang mengkritik dan menyindir keadaan Indonesia saat ini. Dilansir dari kompasiana.com, tren “Welcome to Indonesia” banyak mengandung konten yang mengungkapkan keburukan Indonesia.

Bahkan, beberapa konten yang lain ada juga yang menjelekkan kinerja pemerintah terhadap penanggulangan Covid-19 dan juga menyindir beberapa selebriti tanah air. Sangat disayangkan trend Tik-Tok ini menjadi sebuah sindiran yang menjelekkan nama bangsa sendiri. Meskipun ada pula konten kreator lain yang justru bersikap sebaliknya.

Kritik terhadap kinerja pemerintah atau keadaan negara adalah hal yang boleh-boleh saja dilakukan. Namun alangkah lebih baik jika memberikan kritik disertai dengan solusi yang pantas untuk perbaikan kedepan. Sebab jika tidak, kritik yang dilontarkan seakan terkesan hujatan dan wujud ketidakbanggaan dengan negara sendiri.

Meski tujuannya adalah kebaikan, namun jika dibuat meme atau tren musik Tik-Tok seperti “Welcome to Indonesia” hanya akan menunjukkan kepada orang asing bahwa rakyat Indonesia sendiri menghina negaranya. Sangat disayangkan jika fenomena ini terus berlanjut dan menjadi suatu kebiasaan lumrah bagi setiap orang.

Terlebih media sosial menjadi media yang gencar dalam menyebarkan pesan atau konten-konten secara cepat kepada khalayak banyak. Maka dikhawatirkan virus-virus kejelekan ini akan terus dipropagandakan. Padahal sejatinya, konten-konten yang perlu digaungkan adalah terkait dengan inovasi-inovasi untuk kemajuan Indonesia kedepan. Sehingga dapat menyumbangkan solusi, bukan membongkar aib sendiri.

Al-Qur’an sesungguhnya telah menitipkan pesan melalui teladan Nabi Ibrahim yang menunjukkan kecintaannya terhadap Kota Mekkah. Hal ini diabadikan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 126 sebagai berikut:

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا بَلَدًا آمِنًا وَارْزُقْ أَهْلَهُ مِنَ الثَّمَرَاتِ مَنْ آمَنَ مِنْهُم بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُ قَلِيلًا ثُمَّ أَضْطَرُّهُ إِلَىٰ عَذَابِ النَّارِ ۖ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

Terjemah: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, Jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.” Allah berfirman: “Dan kepada orang yang kafirpun aku beri kesenangan sementara, kemudian aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. Al-Baqarah [2]: 126).

Baca juga: Body Shaming, Repetisi Histori al-Hujurat Ayat 11 Sebagai Budaya Jahiliyah Modern

Tafsir QS. Al-Baqarah [2]: 126

Dalam kaidah Ushul Fiqih, ayat di atas merupakan bentuk dari الأمر للدعاء (ungkapan doa dalam bentuk perintah) yang ditujukan kepada Allah Swt. Kata ‘jadikanlah’ atau ‘berilah’ lebih tepat digolongkan sebagai doa, meskipun termasuk dalam pembahasan al-amru atau bentuk-bentuk kata perintah. Maka keseluruhan isi ayat ini pun merupakan sebuah harapan dan permohonan Nabi Ibrahim kepada Allah Swt (Djalil, 2010: 51).

Imam Al-Qurthubi (2008: 278-279) menjelaskan bahwa kata بلدا أمنا dalam ayat tersebut berarti “negeri yang aman sentosa”, yaitu kota Mekkah. Dalam ayat ini Nabi Ibrahim berdoa agar kota Mekkah ketika itu menjadi negeri yang aman dan makmur untuk keturunannya maupun yang lain. Nabi Ibrahim juga memohon rezeki dari buah-buahan untuk penduduknya yang beriman.

Ibnu Katsir (2004: 260) juga menjelaskan bahwa firman Allah yang memberitahukan mengenai Ibrahim yang berdoa, “Ya Rabbku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa.” Artinya, aman dari rasa takut. Maksudnya penduduk Kota Mekkah tidak perlu merasa takut akan sesuatu, dan Allah pun telah memenuhi hal itu.

Shihab (2009: 385-386) menambahkan penjelasan ayat tersebut bahwa ayat ini bukan hanya mengajarkan agar berdoa untuk keamanan dan kesejahteraan kota Mekkah, tetapi juga mengandung isyarat tentang perlunya setiap muslim berdoa untuk keselamatan wilayahnya agar memperoleh rezeki yang melimpah. Karena rasa aman dan limpahan rezeki yang cukup merupakan syarat utama bagi kemakmuran suatu wilayah.

Melalui ayat tersebut Nabi Ibrahim mengajarkan kita untuk mencintai negeri sendiri dengan selalu mengharapkan kebaikan untuknya. Maka nilai-nilai nasionalisme ini hendaknya disandingakan dengan nilai religius sebagai media untuk mencapainya, sebagaimana Nabi Ibrahim yang mewujudkan kecintaannya melalui doa kepada Allah.

Teladan ini pula yang semestinya dapat diterapkan oleh masyarakat kita untuk memupuk kecintaan terhadap negeri sendiri melalui hal-hal yang positif. Wujud rasa cinta ditampilkan melalui kebanggaan terhadap negeri sendiri dengan menampilkan potensi-potensi terbaik yang kita miliki.

Selain itu, kecintaan terhadap negeri juga dapat diwujudkan melalui sikap religius dengan mengharapkan dan mendoakan keadaan negeri menjadi lebih baik dan terhindar dari segala ancaman. Langkah konkretnya bisa dilakukan dengan memfilter budaya-budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam dan berupaya menggantinya dengan hal-hal yang sesuai.

Baca juga: Meneladani Rasa Cinta Tanah Air dari Nabi Muhammad SAW. dan Nabi Ibrahim AS.

Penutup

Sampai di sini, jelaslah bahwa rasa nasionalisme amat penting untuk dihadirkan. Kritik terhadap hal-hal yang diangap tidak sesuai merupakan keharusan, tetapi harus disampaikan dengan bijak dan disertai dengan solusi yang relevan. Hal ini dilakukan agar kritik tidak terkesan seperti aib yang dikoar-koarkan. Wallahu A’lam.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Tafsir Surah Saba’ Ayat 48-50

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 48-50 menerangkan tentang beberapa perintah Allah kepada Nabi Muhammad Saw. Perintah pertama yaitu, Allah meminta Nabi Muhammad agar menanamkan wahyu kepada kau kafir, sebab wahyu yang disampaikan oleh seorang nabi pasti benar. Selanjutnya Allah meminta nabi agar menyampaikan kepada orang kafir bahwa kebenaran telah datang dan  kebatilan tidak akan pernah kembali.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 46-47


Terakhir dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 48-50 Allah meminta Nabi untuk mengaskan kepada orang kafir bahwa, jika yang disampaikan oleh dirinya benar maka itu berasal dari Allah, namun jika ada kesalahan, maka itu sebab dirinya sendiri.

Ayat 48

Selanjutnya Nabi Muhammad diminta oleh Allah menegaskan kepada kaum kafir bahwa Allah selalu melontarkan kebenaran, yaitu menanamkan wahyu-Nya, ke dalam hati para rasul-Nya. Hal itu juga sebagaimana difirmankan-Nya dalam ayat lain:

رَفِيْعُ الدَّرَجٰتِ ذُو الْعَرْشِۚ يُلْقِى الرُّوْحَ مِنْ اَمْرِهٖ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖ لِيُنْذِرَ يَوْمَ التَّلَاقِۙ

(Dialah) Yang Mahatinggi derajat-Nya, yang memiliki ‘Arsy, yang menurunkan wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, agar memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari Kiamat). (al-Mu’min/40: 15)

Rasul-rasul itu adalah orang-orang yang dipilih Allah. Ia Maha Mengetahui siapa yang pantas untuk dipilih-Nya. Dengan demikian, manusia tidak berwenang mempersoalkannya, sebagaimana difirmankan-Nya:

وَاِذَا جَاۤءَتْهُمْ اٰيَةٌ قَالُوْا لَنْ نُّؤْمِنَ حَتّٰى نُؤْتٰى مِثْلَ مَآ اُوْتِيَ رُسُلُ اللّٰهِ ۘ اَللّٰهُ اَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسٰلَتَهٗۗ سَيُصِيْبُ الَّذِيْنَ اَجْرَمُوْا صَغَارٌ عِنْدَ اللّٰهِ وَعَذَابٌ شَدِيْدٌۢ بِمَا كَانُوْا يَمْكُرُوْنَ

Dan apabila datang suatu ayat kepada mereka, mereka berkata, “Kami tidak akan percaya (beriman) sebelum diberikan kepada kami seperti apa yang diberikan kepada rasul-rasul Allah.” Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. Orang-orang yang berdosa, nanti akan ditimpa kehinaan di sisi Allah dan azab yang keras karena tipu daya yang mereka lakukan. (al-An’am/6: 124)

Karena wahyu itu dari Allah dan yang menerimanya adalah orang-orang yang terpilih, maka rasul-rasul itu pasti pula benar. Begitu juga ajaran-ajaran yang disampaikannya, sehingga manusia tidak selayaknya membantahnya.

Ayat 49

Allah selanjutnya meminta Nabi Muhammad menegaskan kepada kaum kafir itu bahwa kebenaran telah datang dan kebatilan tidak akan kembali. Maksud kebenaran di sini adalah Islam, sedangkan kebatilan adalah kekafiran.

Kebenaran apabila sudah datang maka kebatilan itu akan dihancurkannya sampai lumat, sebagaimana firman Allah:

بَلْ نَقْذِفُ بِالْحَقِّ عَلَى الْبَاطِلِ فَيَدْمَغُهٗ فَاِذَا هُوَ زَاهِقٌۗ وَلَكُمُ الْوَيْلُ مِمَّا تَصِفُوْنَ

Sebenarnya Kami melemparkan yang hak (kebenaran) kepada yang batil (tidak benar) lalu yang hak itu menghancurkannya, maka seketika itu (yang batil) lenyap. Dan celaka kamu karena kamu menyifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak pantas bagi-Nya) (al-Anbiya’/21: 18)

Dengan demikian kebatilan akan sirna bila datang kebenaran, dan kebenaran itu akan menang Firman Allah:

وَقُلْ جَاۤءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ  ۖاِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا

Dan katakanlah, “Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sungguh, yang batil itu pasti lenyap. (al-Isra’/17: 81)

Kemenangan kebenaran akan membuat kebatilan tidak akan muncul lagi, baik dalam bentuk baru atau bentuk semula. Kembali dalam bentuk baru yaitu matinya kebatilan yang lama digantikan kebatilan lainnya.

Kembali dalam bentuk semula, yaitu hidupnya kembali kebatilan yang sudah mati itu. Contoh kemenangan kebenaran itu adalah penguasaan kota Mekah dimana Nabi Muhammad memasuki Masjidil Haram dan menghancurleburkan berhala-berhala yang ditempatkan kaum kafir Mekah di sekeliling dan di dalam Ka’bah. Sebuah hadis menginformasikan hal itu:

ِانَّهُ لَمَّا دَخَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اَلْمَسْجِدَ الْحَرَامَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَوَجَدَ اْلاَصْنَامَ مَنْصُوْبَةً حَوْلَ الْكَعْبَةِ جَعَلَ يَطْعَنُ الصَّنَمَ مِنْهَا بِسِيَةِ قَوْسِهِ وَيَقْرَأُ: وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ  اِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوْقًا. وَيَقْرَأُ اْلاَيَةَ التَّالِيَةَ: قُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ اْلبَاطِلُ وَمَا يُعِيْدُ. (رواه البخاري ومسلم)

Ketika Rasulullah memasuki Masjidil Haram pada hari penaklukan Mekah dan menemukan banyak berhala terpancang di sekeliling Ka’bah, beliau menusuk satu berhala di antara berhala-berhala itu dengan ujung panahnya dan membaca, “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu sesuatu yang pasti lenyap,” dan seterusnya membaca ayat 49 ini. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Setelah pengislaman kota Mekah, suku-suku di seluruh Jazirah Arab menyatakan keislaman mereka satu demi satu. Kemudian Islam terus berkembang ke seluruh dunia, dan akan terus berjaya sampai hari Kiamat.

Dengan demikian, kemenangan kebenaran dan kehancuran kebatilan hanya terwujud dengan perjuangan, sebagaimana Nabi Muhammad, para sahabat, dan para pemimpin sesudah mereka berjuang. Di akhirat nanti, Islam itu pasti benar dan kekafiran itu pasti salah.


Baca Juga: Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud


Ayat 50

Terakhir, Allah memerintahkan Nabi saw menyampaikan kepada kaum kafir bahwa seandainya ia salah, maka kesalahan itu dari dirinya sendiri. Tetapi bila ia benar, maka kebenaran itu diperolehnya dari Allah.

Ayat ini memperlihatkan tanggung jawab yang besar dari Nabi Muhammad. Beliau bertanggung jawab atas seluruh isi dakwah yang beliau sampaikan.

Bila ia salah dalam ajaran-ajaran yang disampaikannya, maka ia akan mempertanggungjawabkan sendiri kesalahan itu, tidak akan membawa-bawa umatnya.

Tetapi tidak mungkin apa yang beliau sampaikan itu salah, karena semuanya dari Allah, tidak ada yang beliau tambah-tambah atau kurangi. Oleh karena itu, tanggung jawab beliau itu adalah untuk menunjukkan bahwa yang beliau sampaikan itu sangat benar. Dengan demikian, orang-orang kafir itu tidak perlu meragukannya dan seyogyanya beriman.

Bila manusia beriman, maka Allah mendengarnya. Bila mereka menyembah-Nya, Ia mengetahui dan akan menerimanya. Bila hamba-Nya berdoa, maka doanya itu akan dikabulkan-Nya. Hal itu karena Ia Maha Mendengar, Ia juga sangat dekat dengan manusia.

Bagaimana dekatnya Allah dengan manusia sehingga Ia mendengar bisikan hatinya dalam bentuk iman atau kafir dan mengabulkan doa orang yang berdoa, dilukiskan ayat berikut:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهٖ نَفْسُهٗ ۖوَنَحْنُ اَقْرَبُ اِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.  (Qaf/50: 16)

Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran. (al-Baqarah/2:186)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 51-54


Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga

0
Makna Tersirat dari Pelanggaran Nabi Adam dan Hawa Makan Buah Khuldi di Surga
Ilustrasi Buah Khuldi

Al-Quran beberapa kali menceritakan kisah Nabi Adam dan Hawa yang tinggal di surga. Sebagian terdapat pada QS al-Baqarah, yaitu ayat 30 hingga ayat 37 mengenai rencana Allah menjadikan manusia sebagai khalifah dan diakhiri dengan diturunkannya Nabi Adam dan Hawa ke bumi. Penyebabnya adalah Nabi Adam dan Hawa melanggar ketentuan Allah untuk tidak mendekati buah khuldi.

Kisah ini juga diceritakan dalam QS. al-A’raf 20-22. Meskipun menceritakan hal serupa, Al-Quran punya maksud tertentu dalam menceritakannya secara berulang. Dengan penceritaan yang berbeda, terdapat hikmah-hikmah baru di dalamnya. Pada tiga ayat tersebut, diceritakan bahwa ketika Nabi Adam dan Hawa mencicipi buah khuldi, terbukalah aurat Nabi Adam dan Hawa. Lantas bagaimana hubungan antara makan buah khuldi dengan terbukanya aurat? Berikut ayat dan penafsiran mengenainya:

فَوَسْوَسَ لَهُمَا الشَّيْطَانُ لِيُبْدِيَ لَهُمَا مَا وُورِيَ عَنْهُمَا مِن سَوْآتِهِمَا وَقَالَ مَا نَهَاكُمَا رَبُّكُمَا عَنْ هَٰذِهِ الشَّجَرَةِ إِلَّا أَن تَكُونَا مَلَكَيْنِ أَوْ تَكُونَا مِنَ الْخَالِدِينَ (20)

وَقَاسَمَهُمَا إِنِّي لَكُمَا لَمِنَ النَّاصِحِينَ (21) فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ ۚ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِن وَرَقِ الْجَنَّةِ ۖ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ

.(22) أَنْهَكُمَا عَن تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُل لَّكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka berdua agar menampakkan aurat mereka (yang selama ini) tertutup. Dan (setan) berkata, ‘Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga). Dia (setan) bersumpah kepada keduanya, ‘Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu. Dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya. Ketika mereka mencicipi (buah) pohon itu, tampaklah oleh mereka auratnya, maka mulailah mereka menutupinya dengan daun-daun surga. Tuhan menyeru mereka, ’Bukankah Aku telah melarang kamu dari pohon itu dan Aku telah mengatakan bahwa sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (QS. al-A’raf [7]: 20-22).

Baca juga: Tafsir al-Azhar: Nabi Adam, Benarkah dari Surga Diturunkan di Sumatera (Pulau Swarna Dwipa)?

Tafsir surah al-A’raf ayat 20-22

Al-Asfihani dalam al-Mufradāt fi Ghārib al-Qur’ān (hal. 869) menjelaskan bahwa yang dimaksud al-waswasah (bisikan) adalah bersitan buruk dalam hati, yakni suara-suara yang dipermanis dan bisikan yang samar.

Mengenai tafsir ayat tersebut, Ali al-Shabuni dalam Safwah al-Tafāsir (hal. 374) memberi penjelasan bahwa setan membisikkan kepada Nabi Adam dan Hawa dengan suara yang samar untuk memperdaya keduanya, agar memakan buah dari pohon yang dilarang, sehingga akan tampak aurat keduanya yang selama ini tertutup. Setan membisiki Nabi Adam dan Hawa bahwa alasan Tuhan melarang memakan buah dari pohon ini adalah karena Tuhan tidak ingin Nabi Adam dan Hawa menjadi malaikat atau orang yang kekal selamanya di surga. Bahkan setan bersumpah atas nama Allah mengenai hal ini, sehingga bisa menipu keduanya.

Al-Tabari menambahkan, berdasarkan riwayat dari Qatadah (Jāmi’ al-Bayān, juz 12, hal. 351), setan menguatkan lagi sumpahnya dengan perkataannya “Sesungguhnya aku diciptakan sebelum kalian berdua dan aku lebih tahu daripada kalian berdua. Ikutilah nasihatku, maka kalian akan mendapat petunjuk.” Karena bisikan disertai sumpah yang mengatasnamakan Allah itulah, setan berhasil melakukan tipu daya terhadap Nabi Adam dan Hawa.

Al-Qurthubi berkomentar dengan menyitir riwayat dari Ibnu Abbas bahwa setan berhasil menipu Nabi Adam dan Hawa dengan sumpahnya. Nabi Adam menyangka bahwa tidak ada makhluk pun yang bersumpah atas nama Allah padahal dia berbohong. (Tafsir al-Qurthubi, juz 7, hal. 180). Ini menunjukkan bahwa setan akan melakukan segala cara untuk melakukan tipu daya terhadap manusia. Bahkan dengan mengatasnamakan Allah untuk memperkuat kebohongannya.

Maka ketika Nabi Adam dan Hawa mencicipi buah khuldi, terbukalah aurat masing-masing dari keduanya yang membuat mereka malu. Kemudian Nabi Adam dan Hawa mengambil dedauanan dan dengan segera menempelkan daun-daun untuk mereka gunakan menutupi aurat. Wahb bin Munabbah berkata bahwa pakaian Nabi Adam dan Hawa adalah sebuah cahaya yang menutupi kemaluan keduanya, di mana satu sama lain tidak dapat saling melihat aurat masing-masing (Jāmi’ al-Bayān, juz 12, hal. 355).

Setelah kejadian tersebut, Allah berseru kepada Nabi Adam dan Hawa sebagai bentuk peringatan dan teguran, “Bukankan aku telah memperingatkan kalian mengenai pohon itu dan memberitahukan kalian untuk memusuhi setan yang terkutuk?” Diriwayatkan bahwa Allah berfirman, “Bukankah telah dibebaskan memilih bagimu seluruh dedaunan di dalam surga ini daripada hanya satu pohon tersebut?” Nabi Adam menjawab, “Demi kemuliaan Engkau, benar. Tetapi aku sama sekali tidak menyangka akan ada makhluk Engkau yang bersumpah atas nama-Mu padahal dia berbohong”. Lalu Allah berfirman “Maka demi kemuliaanku, aku benar-benar akan menurunkanmu ke bumi kemudian kamu tidak akan hidup kecuali dengan bekerja keras.”

Menurut Abu Bakar al-Jazā’iri dalam kitabnya Aisar al-Tafāsīr, kisah tersebut mempunyai poin-poin penting, yang umumnya dilihat dari segi hukum: 1) senjata iblis yang digunakan untuk memerangi anak keturunan Nabi Adam tidak lain adalah dengan bisikan-bisikan dan memperindah sesuatu yang buruk. 2) ketetapan mengenai permusuhan setan terhadap manusia. 3) sebuah larangan menunjukkan pada keharaman kecuali terdapat qarinah yang menunjukkan kemakruhan hal tersebut. 4) kewajiban menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan adalah sama. dan 5) kebolehan bersumpah dengan nama Allah, hanya untuk sesuatu yang benar.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Adam Memakan Buah dan Bencana dari Kerusakan Alam

Penutup

Berdasarkan penafsiran beberapa ulama di atas, kita dapat menyoroti setidaknya dua poin penting dari QS. al-A’raf [7]: 20-22 sebagai berikut: Pertama, usaha setan dengan menggunakan segala cara untuk melakukan tipu daya kepada Nabi Adam dan anak keturunannya hingga hari kiamat. Oleh karena itu, hendaknya kita menjadikan setan sebagai sebenar-benarnya musuh dengan tidak mempercayai apa pun yang dibisikannya, bahkan ketika bersumpah dengan nama Allah sekalipun.

Kedua, pelanggaran Nabi Adam dan Hawa yaitu mencicipi buah khuldi menyebabkan terbukanya aurat keduanya. Ini adalah makna denotasi. Sedangkan makna konotasi dari hal tersebut adalah ketika manusia melanggar larangan Allah yang disimbolkan dengan pelanggaran yang dilakukan Nabi Adam dan Hawa ketika mencicipi buah khuldi. Sebuah pelanggaran menyebabkan manusia merasa malu kepada Allah. Kemudian dengan segala upaya, ia berusaha menutupi kesalahan itu dengan memohon ampun kepada Allah yang ini disimbolkan dengan Nabi Adam dan Hawa yang menutupi auratnya dengan daun-daun surga. Wallahu a’lam bissawab

Baca juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Balaghah Al-Qur’an: Majaz Isti’arah dan Penggunaannya dalam Al-Qur’an

0
Balaghah Al-Qur’an: Majaz Isti’arah dan Penggunaannya dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an

Saat Nabi Muhammad diutus, bangsa Arab begitu menyukai sastra, mereka bersya’ir, berpuisi, dan merangkai kata-kata dengan susunan yang indah, hingga melombakannya. Yang menang, karya sastranya akan dipajang di dinding Ka’bah. Dengan keadaan yang seperti itulah Al-Qur’an diturunkan.

Ulama mengatakan Al-Qur’an adalah kitab sastra terbesar. Sampai detik ini tidak ada seorangpun yang mampu menandingi keindahan bahasa, susunan kata hingga kandungan maknanya. Artikel ini akan mencoba mengenalkan salah satu aspek keindahan bahasa Al-Qur’an, yaitu majaz isti’arah secara ringkas.

Definisi Isti’arah

Kata isti’arah secara bahasa berasal dari kata ista’ara-yasta’iru-isti’arah yang berarti meminjam sesuatu. Adapun secara istilah, Sayyid Ahmad al-Hasyimi dalam kitab Jawahir al-Balagah (hal. 258) menyebutkan,

وفي اصطلاح البيانيين: هي استعمال اللفظ في غير ما وضع له لعلاقة المشابهة بين المعنى المنقول عنه والمعنى المستعمل فيه, مع قرينة صارفة عن إرادة المعنى الأصلي.

Menurut para ulama sastra, isti’arah adalah menggunakan lafaz tidak sesuai dengan penggunaan asalnya karena adanya ‘alaqah musyabahah (hubungan keserupaan) antara makna yang dinukil dengan makna yang digunakan didalamnya, disertai adanya indikator yang menghalangi dari penggunaan makna asalnya (pertama) tersebut.

Dari definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa majaz isti’arah itu merupakan majaz yang ‘alaqah (hubungan) antara dua makna kata adalah musyabahah (serupa) dan diharuskan adanya qarinah (indikator) yang melatarbelakangi pengalihan makna tersebut. Dalam bahasa Indonesia, majaz isti’arah terkadang dianggap sepadan dengan majas metafora.

Baca juga: I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah

Tujuan penggunaan Isti’arah

Ada beberapa faidah penggunaan majas isti’arah dalam berbahasa, di antaranya adalah sebagai berikut,

  1. Untuk memperindah ungkapan ketika berkata-kata, sehingga menarik perhatian lawan bicara dengan ungkapan-ungkapan yang indah tersebut
  2. Memancing lawan bicara untuk berpikir terkait makna ungkapan tersebut.
  3. Serta terkadang menggunakan isti’arah itu bisa menekankan makna dengan lebih kuat dari yang dimaksud oleh pembicara.

Misalnya menggunakan kata ‘singa’ sebagai ganti ‘orang yang berani’. Itu memberikan makna yang lebih kuat kepada para pendengar dan juga lebih menarik daripada jika diungkapkan secara apa adanya. Ungkapan bahwa ‘Soekarno adalah singa podium’ itu lebih kuat dan lebih menarik perhatian pembaca/pendengar daripada sekadar kalimat ‘Soekarno itu jago berpidato’.

Rukun Isti’arah

Dari sedikit penjelasan dan contoh di atas, dapat dilihat kalau penggunaan majaz isti’arah itu memiliki tiga unsur penyusun,

  1. musta’ar minhu, yakni kata yang dipinjam darinya atau disebut juga musyabbah bih (sesuatu yang digunakan untuk menyerupakan).
  2. musta’ar lahu, yaitu kata yang dipinjam untuknya, disebut juga musyabbah atau (sesuatu yang diserupakan).
  3. musta’ar, adalah makna yang dipindahkan. Lebih jelasnya akan dijelaskan bersama dengan contohnya dalam Al-Qur’an setelah ini.

Dalam kitab al-Fawa’id al-Ghiyathiyyah fi ‘Ulum al-Balaghah (157), dijelaskan bahwa isti’arah itu terjadi dengan penghapusan suatu kata dalam satu kalimat, ini nantinya terbagi menjadi dua macam. Jika yang disebutkan adalah musyabbah bih dan musyabbah-nya dihapus maka ia disebut isti’arah tashrihiyyah. Adapun jika yang dihapus adalah musyabbah bih dan musyabbah-nya disebutkan maka disebut isti’arah makniyyah.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Contoh Penggunaan Isti’arah dalam Al-Qur’an

Ada beberapa ayat yang menggunakan majaz isti’arah dalam ungkapannya. Beberapa di antaranya adalah apa yang terdapat pada firman Allah QS. Ibrahim [14]: 1 berikut,

…كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ…

“…(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang benderang…”

Pada ayat di atas Allah ‘meminjam’ kata al-zhulumat (kegelapan) dan al-nur (cahaya) untuk mewakili makna kesesatan dan keimanan. Hal ini bisa dipahami karena jika dibaca secara tekstual, bagaimana mungkin sebuah kitab bisa mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya? Sedangkan buku tidak bisa menghasilkan cahaya. Ini adalah qarinah (indikasi) bahwa makna yang diinginkan pada ayat ini adalah makna majas bukan makna hakiki.

Maka sebagaimana disebutkan oleh al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir (7/217) bahwa ayat ini memiliki kandungan balagah, yakni majas isti’arah. Maksudnya, kitab (Al-Qur’an) itu membimbing manusia agar keluar dari gelapnya kesesatan dan kekufuran menuju cahaya petunjuk serta keimanan.

Di sini kata al-nur dan al-zhulumat dipakai untuk menggantikan kata iman dan kekufuran. Sehingga dua kata ini disebut sebagai musta’ar minhu atau musyabbah bih. Kata al-nur dipadankan dengan petunjuk dan keimanan, karena petunjuk dan keimanan itu seakan-akan memberikan cahaya bagi umat manusia, sehingga mampu melihat dunia dan mampu memilah mana yang baik dan mana yang benar.

Sebaliknya kegelapan digunakan untuk mewakili kesesatan dan kekufuran, karena keduanya membuat manusia menjadi buta terhadap dunia dan kebenaran, sehingga ia tidak tahu ke mana seharusnya berjalan dan sekadar mengikuti hawa nafsunya saja. Dari sini dapat dipahami bahwa musyabbah atau musta’ar lahu-nya adalah iman dan kesesatan yang tidak disebutkan sehingga tergolong susunan kalimat isti’arah tashrihiyyah. Wallahu a’lam.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 1: Al-Quran sebagai penerang dari kegelapan

Tafsir Surah Saba’ Ayat 45-47

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Pada tasfir sebelumnya telah diterangkan tuduhan kaum kafir kepada Islam, dan lansung di counter oleh Allah pada ayat setelahnya. Adapun Tafsir Surah Saba’ Ayat 45-47 adalah flashback terhadap kisah umat masa lalu yang juga sering menuduh hal yang serupa, termasuk menolak ayat-ayat Ilahi, yang berakhir dengan azab dari-Nya. Seharusnya, kaum kafir Mekah belajar dari peristiwa itu, dan hendaknya mendekatkan diri kepada Allah bukan malah meniru perilaku umat terdahulu.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 43-44


Ayat 45

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa umat-umat terdahulu, seperti kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Samud, dan lain-lain yang karena kekafiran mereka telah dimusnahkan Allah dan tinggal hanya puing-puing atau nama-nama. Mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan menganggap rasul-rasul-Nya bohong, padahal mereka lebih perkasa dan lebih hebat kemampuan dan kebudayaan mereka.

Kafir Mekah tidak sampai berkekuatan sepersepuluh dari umat-umat itu, lalu apakah mereka akan membangkang dan menyombongkan diri pula? Tidak takutkah mereka terhadap murka Allah, mengingat umat-umat terdahulu yang lebih perkasa saja sudah dimusnahkan Allah?

Seharusnya mereka mengambil pelajaran dari sejarah masa lampau itu, karena mereka mengenal betul daerah-daerah bekas umat-umat terdahulu itu, sebab mereka melewatinya siang atau malam dalam perjalanan dagang mereka pada musim panas atau musim dingin, sebagaimana firman Allah:

وَاِنَّكُمْ لَتَمُرُّوْنَ عَلَيْهِمْ مُّصْبِحِيْنَۙ  ١٣٧  وَبِالَّيْلِۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْن  ١٣٨

Dan sesungguhnya kamu (penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka pada waktu pagi, dan pada waktu malam. Maka mengapa kamu tidak mengerti? (as-Shaffat/37: 137-138);

Ayat 46

Pada ayat ini, Allah meminta Nabi Muhammad agar mengajak kaum kafir untuk melakukan satu hal saja, yaitu benar-benar berupaya mendekatkan diri kepada Allah untuk mencari kebenaran.

Mendekatkan diri untuk mencari kebenaran dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama dengan orang lain supaya dapat bertukar pikiran. Setelah itu, mereka diminta untuk merenungkan kebenaran ajaran-ajaran dalam Al-Qur’an, secara tenang, objektif, dan tulus tanpa dipengaruhi hawa nafsu atau kedengkian.

Setelah mereka renungkan secara objektif, masih jugakah mereka akan menuduh bahwa yang menyampaikan kebenaran itu, yaitu Nabi Muhammad, tidak benar? Bukankah ajaran Al-Qur’an itu amat benar?

Bila benar, pembawa ajaran itu juga benar. Seharusnya mereka sampai kepada kesimpulan bahwa beliau sejatinya adalah seorang yang tulus. Ia hanya ingin mengingatkan dan memperingatkan manusia agar tidak sesat di dunia dan merugi nanti di akhirat.

Beliau hanya ingin agar manusia beriman dan menjadi manusia yang baik, agar di dunia bahagia dan di akhirat terhindar dari neraka. Oleh karena itu, mereka seharusnya berterima kasih kepadanya, dan tidak menuduhnya yang bukan-bukan.

Fungsi beliau sebagai pemberi peringatan ini juga disampaikan beliau dalam sebuah hadis:

فَاِنِّيْ نَذِيْرٌ لَكُمْ بَيْنَ يَدَيْ عَذَابٍ شَدِيْدٍ. (رواه البخاري عن ابن عباس)

Sesungguhnya aku ini pemberi peringatan bagimu sekalian sebelum menghadapi azab yang keras. (Riwayat al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas)


Baca Juga : Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger


Ayat 47

Nabi Muhammad selanjutnya diminta oleh Allah untuk menegaskan kepada kaum kafir bahwa beliau tidak mengharapkan pamrih apa-apa dari pekerjaannya menyampaikan dakwah. Kalaupun ada pamrihnya, maka keinginannya hanyalah agar mereka beriman. Dengan beriman, maka keuntungannya akan kembali kepada mereka juga, tidak kepadanya.

Ia sendiri hanya mengharapkan pahala dari Allah atas pekerjaannya, bukan keuntungan duniawi. Pahala itu ia harapkan diterimanya nanti di akhirat, tidak di dunia sekarang ini.

Lalu apa lagi alasan mereka tidak menerima seruannya? Bila mereka tidak juga mau beriman, maka mereka perlu mengetahui bahwa Allah menyaksikan segala sesuatu sehingga tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya, baik yang nyata, seperti perbuatan-perbuatan jahat, maupun yang gaib, seperti kekafiran.

Oleh karena itu, bagi yang beriman dan berbuat baik akan dibalasi-Nya dengan surga, dan yang kafir dan berbuat jahat akan diganjari-Nya dengan neraka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 48-50


Tafsir Surah Saba’ Ayat 43-44

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 43-44 diawali dengan dua tuduhan kaum kafir Mekah terhadap Islam, ringkasnya mereka menuduh Muhammad bukanlah seorang Nabi, dan menuduh al-Quran bukanlah wahyu melainkan buatan Muhammad dan pengikutnya. Tuduhan ini lansung dibantah oleh Allah, bahwa klaim menunjukkan batasan mereka, karena tidak punya alasan membenarkan agama yang dibawa nenek moyang mereka lagi. Selengkapnya akan dijelaskan berikut ini.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 41-42


Ayat 43

Pada ayat ini dijelaskan dua tuduhan lebih lanjut pemuka kaum kafir Mekah terhadap Islam. Pertama, menuduh Nabi Muhammad hanyalah seorang manusia biasa yang menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka dengan maksud menghalangi mereka menjalankan agama syirik yang diwarisi dari nenek moyang mereka.

Maksudnya, Nabi Muhammad saw hanya manusia biasa, bukan malaikat, dan tidak memiliki keistimewaan berupa kekayaan, dan sebagainya. Tujuan Nabi Muhammad hanyalah menjauhkan mereka dari agama nenek moyang mereka. Dengan demikian, mereka memandang agama nenek moyang mereka itu lebih baik daripada agama yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Kedua, mereka menuduh Al-Qur’an sebagai suatu kebohongan yang dibuat-buat. Al-Qur’an itu hanyalah buatan Muhammad saw, bukan wahyu dari Allah swt, dan isinya tidak benar.

Di sisi lain, mereka melihat kenyataan bahwa banyak manusia yang tertarik pada Al-Qur’an. Mereka sendiri pun ketika membaca atau dibacakan ayat-ayat Al-Qur’an juga merasa tertarik.

Ketika melihat kandungan Al-Qur’an, mereka yakin bahwa itu tidak mungkin buatan Muhammad karena ia tidak belajar kepada siapa pun dan tidak bisa pula tulis baca. Mereka menjadi sadar bahwa tuduhan mereka terhadap Al-Qur’an itu salah.

Kenyataan itu menghendaki mereka untuk mencari alasan lain. Akhirnya, mereka menuduh Al-Qur’an adalah sihir, dan karena pengaruhnya yang luar biasa, mereka menganggap sihirnya itu luar biasa hebatnya. Begitulah sifat orang kafir, ketika mereka tidak mampu lagi membantah kebenaran Al-Qur’an, mereka mencercanya dan mencari-cari alasan lain yang tak masuk akal, sebagaimana Allah berfirman

;وَاِذَا رَاَوْا اٰيَةً يَّسْتَسْخِرُوْنَۖ   ١٤  وَقَالُوْٓا اِنْ هٰذَآ اِلَّا سِحْرٌ مُّبِيْنٌ ۚ   ١٥

Dan apabila mereka melihat suatu tanda (kebesaran) Allah, mereka memperolok-olokkan. Dan mereka berkata, “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata. (as-Shaffat/37: 14-15)

Firman-Nya juga:

وَاِنْ يَّرَوْا اٰيَةً يُّعْرِضُوْا وَيَقُوْلُوْا سِحْرٌ مُّسْتَمِرٌّ

Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.”  (al-Qamar/54: 2)


Baca Juga : Kemukjizatan pada Irama Al-Quran dalam Kajian Subhi Al-Shalih


Ayat 44

Allah membantah tuduhan kaum kafir Mekah itu dengan dua alasan. Pertama, agama syirik dari nenek moyang mereka itu tidaklah berdasar suatu kitab suci dari Allah; dan kedua, agama itu tidak diajarkan oleh nabi-Nya. Agama yang benar haruslah mempunyai kitab suci sebagai landasan ajaran, karena pikiran manusia tidak terjamin kebenarannya. Allah berfirman:

اَمْ اٰتَيْنٰهُمْ كِتٰبًا مِّنْ قَبْلِهٖ فَهُمْ بِهٖ مُسْتَمْسِكُوْنَ

Atau apakah pernah Kami berikan sebuah kitab kepada mereka sebelumnya, lalu mereka berpegang (pada kitab itu)? (az-Zukhruf/43: 21)

Di samping kitab suci, agama harus mempunyai seorang nabi yang diutus Allah untuk menerima dan mengajarkan isi kitab suci itu. Allah berfirman:

اَمْ اَنْزَلْنَا عَلَيْهِمْ سُلْطٰنًا فَهُوَ يَتَكَلَّمُ بِمَا كَانُوْا بِهٖ يُشْرِكُوْنَ

Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, yang menjelaskan (membenarkan) apa yang (selalu) mereka persekutukan dengan Tuhan?  (ar-Rum/30: 35)

Agama syirik nenek moyang kaum kafir Mekah itu tidak mempunyai dasar kitab suci dan tidak diajarkan seorang nabi dari Allah. Oleh karena itu, agama tersebut salah, dan mereka tidak patut mengikuti agama yang salah itu.

Agama yang benar adalah Islam karena berdasarkan wahyu dari Allah yaitu Al-Qur’an dan disampaikan oleh seorang nabi yaitu Muhammad saw. Mereka seyogyanya menerima agama yang dibawa Nabi Muhammad tersebut.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 45-47


Tafsir Surah Saba’ Ayat 41-42

0
Tafsir Surah Saba'
Tafsir Surah Saba'

Tafsir Surah Saba’ Ayat 41-42 diawali dengan bantahan para Malaikat terhadap anggapan orang kafir sebelumnya. Malaikat bukanlah Tuhan, justru sebaliknya, mereka adalah makhluk yang selalu taat kepada Allah Swt. Begitupun, ada diantara mereka yang menyembah Jin atau Setan, dan meyakini bahwa makhluk tersebut – selain Allah – mampu menentukan kehidupan mereka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Saba’ Ayat 38-40


Maka dari itu, dalam Tafsir Surah Saba’ Ayat 41-42 juga ditegaskan bahwa Allah Swt berjanji akan menghakimi semua makhluk, baik yang menyembah-Nya ataupun selain-Nya. Baik keduanya, tidak akan bisa berbuat apa-apa, tidak bisa saling menguntungkan, atau merugikan yang lainnya.

Ayat 41

Para malaikat itu menjawab bahwa mereka tidak pernah meminta demikian, bahkan mereka menyucikan Allah dari adanya sembahan-sembahan selain-Nya. Mereka sendiri mempertuhankan Allah dan memohon perlindungan dari-Nya, sehingga bagaimana mungkin mereka meminta manusia untuk menyembahnya.

Mereka menjelaskan bahwa yang selalu menyesatkan manusia adalah jin atau setan. Dengan demikian, manusia sesungguhnya keliru ketika menyangka bahwa mereka menyembah malaikat, karena yang mereka sembah adalah jin atau setan.

Sebagian besar manusia yang menyembah jin atau setan itu benar-benar percaya bahwa jin atau setan itulah yang menentukan kehidupan manusia sehingga mempertuhankannya.

 Di dalam ayat lain diterangkan bahwa di antara yang ditanya Allah apakah ia pernah meminta manusia untuk menyembahnya adalah Nabi Isa a.s. Beliau pun mengingkarinya seraya menegaskan bahwa ia justru meminta mereka untuk menyembah Allah, sebagaimana diungkapkan ayat berikut:

وَاِذْ قَالَ اللّٰهُ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَاَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوْنِيْ وَاُمِّيَ اِلٰهَيْنِ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗقَالَ سُبْحٰنَكَ مَا يَكُوْنُ لِيْٓ اَنْ اَقُوْلَ مَا لَيْسَ لِيْ بِحَقٍّ ۗاِنْ كُنْتُ قُلْتُهٗ فَقَدْ عَلِمْتَهٗ ۗتَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِيْ وَلَآ اَعْلَمُ مَا فِيْ نَفْسِكَ ۗاِنَّكَ اَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبِ  ١١٦  مَا قُلْتُ لَهُمْ اِلَّا مَآ اَمَرْتَنِيْ بِهٖٓ اَنِ اعْبُدُوا اللّٰهَ رَبِّيْ وَرَبَّكُمْ ۚوَكُنْتُ عَلَيْهِمْ شَهِيْدًا مَّا دُمْتُ فِيْهِمْ ۚ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِيْ كُنْتَ اَنْتَ الرَّقِيْبَ عَلَيْهِمْ ۗوَاَنْتَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ   ١١٧

Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, “Wahai Isa putra Maryam! Engkaukah yang mengatakan kepada orang-orang, jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan selain Allah?” (Isa) menjawab, “Mahasuci Engkau, tidak patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada-Mu. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengetahui segala yang gaib.” Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (yaitu), “Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu,” dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku berada di tengah-tengah mereka. Maka setelah Engkau mewafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka. Dan Engkaulah Yang Maha Menyaksikan atas segala sesuatu. (al-Ma’idah/5: 116-117)


Baca Juga : Penjelasan Mufasir Terkait Sujud Kepada Selain Allah dalam Al-Quran


Ayat 42

Pada hari Mahsyar itu Allah menyatakan bahwa baik yang menyembah selain Allah maupun yang disembah tidak akan bisa berbuat apa-apa, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan yang lain.

Orang-orang kafir yang menyembah selain Allah itu tidak akan memperoleh pertolongan dari yang mereka sembah, karena yang disembah itu memang tidak mampu berbuat apa-apa.

Orang yang menyembah itu juga tidak akan bisa menyalahkan yang disembah, karena yang disembah itu tidak pernah meminta mereka menyembahnya.

Dalam Al-Qur’an dinyatakan bahwa siapa pun tidak akan bisa menolong siapa pun, termasuk keluarga atau teman dekat, sebagaimana firman Allah

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧

Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 34-37).

Juga firman-Nya:

وَلَا يَسْـَٔلُ حَمِيْمٌ حَمِيْمًاۚ

Dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya. (al-Ma’arij/70: 10)

Mereka akan diseret dan dijebloskan ke dalam neraka dan tambah dihinakan lagi dengan kata-kata, “Rasakan azab neraka yang dulu kalian tidak percayai!” Kata-kata itu berarti bahwa mereka disalahkan karena tidak percaya adanya neraka pada waktu di dunia, yang akan membuat mereka lebih tersiksa. Kata-kata itu juga berarti bahwa azab neraka itu adalah dahsyat.

Demikianlah balasan bagi orang-orang yang tidak mengindahkan ajakan Rasulullah saw. Penyampaian peristiwa itu di dalam Al-Qur’an bertujuan agar para pemimpin kafir Mekah, dan siapa saja sesudahnya, untuk beriman sehingga peristiwa itu nanti tidak menimpa mereka.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 43-44