Beranda blog Halaman 312

Tafsir Surah Maryam ayat 95-98

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 95-98 menjelaskan bahwa ketika hari kiamat orang kafir akan datang menghadap Allah untuk menerima perhitungan dari perbuatan mereka semasa hidup. Selain itu di penutup Tafsir Surah Maryam ayat 95-98 ini dijelaskan bahwa Alquran diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab agar memudahkan Nabi Muhammad berdakwah kepada kaumnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 88-94


Ayat 95

Pada hari Kiamat orang kafir datang menghadap kehadirat Allah untuk menerima perhitungan dan putusan mengenai perbuatan mereka masing-masing seorang diri tidak ditemani oleh orang yang paling dekat sekalipun seperti anak atau istrinya.

Demikianlah ketentuan yang telah ditetapkan Allah bagi setiap hamba-Nya pada hari itu, tiada seorang pun yang dapat lolos dari pengadilan-Nya, setiap orang pasti menghadapi peristiwa yang hebat dan dahsyat itu dengan perasaan harap-harap cemas, apakah ia akan termasuk dalam golongan orang-orang yang celaka yang akan digiring ke neraka dalam keadaan hina dina atau termasuk golongan orang yang berbahagia yang akan dipersilakan masuk ke dalam surga dengan terhormat dan mulia.

Ayat 96

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah akan menanamkan rasa kasih sayang dalam hati sesama hamba-hamba-Nya yang mukmin, bertakwa dan tetap mengerjakan amal saleh. Ini berarti bahwa setiap orang yang benar-benar beriman dan selalu mengerjakan perbuatan yang baik pasti akan mendapat tempat yang baik dalam hati setiap muslim.

Walaupun orang yang beriman itu tidak pernah berusaha menarik hati orang lain namun orang itu pasti tertarik kepadanya, karena tertanamnya rasa simpati dan kasih sayang kepada orang mukmin itu bukan hanya berupa mulut manis dan tutur kata yang baik tetapi karena Allah sendiri yang menanamkan rasa kasih sayang itu ke dalam dada hamba-hamba-Nya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

اِذَا اَحَبَّ الله ُتَعَالَى عَبْدًا يَقُوْلُ لِجِبْرِيْلَ اِنِّى قَدْ اَحْبَبْتُ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ فَيُنَادَى فِى السَّمَاءِ ثُمَّ تَنَزَّلُ لَهُ الْمَحَبَّةُ فِى اْلاَرْضِ (رواه البخاري ومسلم والترمذى)

Sesungguhnya Allah bila mengasihi seorang hamba-Nya. Dia panggil Malaikat Jibril lalu Dia berkata kepadanya, “Sesungguhnya Aku mengasihi si fulan maka hendaknya engkau mengasihi dia pula.” Maka diserukanlah (hal itu) di langit kemudian turunlah kepadanya kasih sayang di bumi. (Riwayat al-Bukhāri, Muslim dan at-Tirmidzi)

Mengenai ayat ini Ibnu Mardawaih dan ad-Dailami meriwayatkan dari al-Barā` ia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ali Karramallahu wajhah:

قُلِ اللَّهُمَّ اجْعَلْ لِى عِنْدَكَ عَهْدًا، وَاجْعَلْ لِى فِى صُدُوْرِ الْمُؤْمِنِيْنَ وُدًّا

Katakanlah, “Ya Allah berikanlah kepadaku janji Engkau (agar aku diselamatkan di akhirat nanti) dan tanamkanlah dalam hati orang-orang yang beriman rasa cinta kepadaku.” Maka turunlah ayat ini. (Riwayat Ibnu Mardawaih dan ad-Dailami)

Memang apabila kita perhatikan kehidupan manusia dalam masyarakat akan terbukti kebenaran ayat ini. Setiap orang yang benar-benar beriman, benar-benar ikhlas dalam amal baiknya, benar-benar bekerja untuk kepentingan masyarakatnya tidak mengharapkan uang, pangkat atau kedudukan, dan semata-mata mengharapkan keridaan Ilahi, pastilah orang itu dicintai masyarakatnya walaupun dia sendiri tidak berusaha ke arah itu.

Bila ada orang yang benci atau marah kepadanya pastilah orang yang marah itu orang yang tidak baik niatnya, tidak berakhlak mulia dan tergoda oleh tipu daya setan dan Iblis.

Ayat 97-98

Allah menerangkan bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, bahasa yang dipakai oleh Nabi Muhammad dan kaumnya gunanya adalah agar mudah bagi Nabi untuk menyampaikan isi dan maksudnya dan mudah pula dipahami oleh kaumnya, karena kepada merekalah pertama kali seruan Islam disampaikan kemudian baru kepada manusia seluruhnya dari  berbagai jenis suku dan bahasanya.

Al-Qur’an yang berisi peringatan dan kabar gembira, perintah dan larangan, bertujuan memberi hidayah kepada manusia agar bertakwa kepada Allah yaitu beriman kepada-Nya tanpa mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun dan menaati perintahNya, menghentikan larangan-Nya dan selalu mencari keridaan-Nya. Orang-orang yang demikian sifatnya akan dikaruniai Allah kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Adapun orang-orang yang ingkar kepada-Nya dan mendustakan Rasul-Nya, mereka akan menerima balasan yang setimpal atas keingkaran dan kedurhakaannya itu baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Keingkaran umat-umat yang dahulu mendapat balasan di dunia ini dengan menghancurkan dan membinasakan mereka dengan berbagai macam siksa, ada yang berupa gempa yang dahsyat, angin topan, suara keras yang mengguntur dan lain sebagainya, seperti yang ditimpakan kepada kaum `Ād, Tsamud dan kaum Nabi Nuh.

Sedangkan bagi umat Muhammad siksaan di dunia ini tidaklah berupa penghancuran dan pembinasaan tetapi dengan menurunkan cobaan dan malapetaka, dengan harapan mereka akan sadar dan insaf lalu kembali kepada kebenaran. Pembalasan di akhirat ialah dengan melimpahkan karunia-Nya kepada orang-orang mukmin yang bertakwa dengan memasukkan mereka ke dalam surga Jannatun Na’im yang penuh nikmat dan kesenangan serta mendapat kasih sayang dan keridaan-Nya.

Bagi orang-orang yang ingkar dan kafir disediakan azab yang pedih yaitu neraka. Sebagai bukti kebenaran ancaman-Nya. Allah menerangkan bahwa telah banyak umat-umat dahulu yang durhaka yang dimusnahkan dan bekas-bekas peninggalan mereka ada yang masih dapat dilihat dan disaksikan sampai sekarang dan ada pula yang tidak ada bekasnya sama sekali.

Tetapi yang jelas umat-umat itu telah hancur binasa tiada seorang pun yang tersisa sampai masa kini yang ada hanya beritanya yang dihikayatkan orang secara turun temurun. Berita tentang mereka diceritakan dalam Al-Qur’an dengan jelas, maka kita wajib meyakininya karena sumbernya adalah wahyu Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran


Menyingkap Relasi Makna Kata Khalifah dan Khilafah dalam Al-Qur’an

0
Kata Khalifah
Kata Khalifah dan Khilafah dalam al-Quran

Dari ribuan bahkan jutaan kata dalam Al-Qur’an, salah satu yang perlu kita kaji adalah kandungan makna pada kata khalifah dan khilafah. Secara sekilas, dua istilah ini memang memiliki derivasi kata yang berbeda. Dalam pelafalan dan maknanya pun terdapat sedikit perbedaan. Namun jika kita telisik lebih lanjut, dua kata ini pada hakikatnya memiliki relasi yang cukup erat, hingga sulit untuk dapat dipisahkan. Lantas, seberapa erat hubungan dua istilah ini?

Kata khalifah memiliki kata dasar yang terdiri atas tiga huruf, yaitu .خ, ل, ف Kata ini disebutkan di dalam Al-Qur’an sebanyak 127 kali dengan berbagai ragam bentuk, makna, serta derivasinya masing-masing (Rahim, 2012, hal. 22). Dalam bentuk tunggal, kata khalifah disebutkan sebanyak dua kali dalam Al-Qur’an, sebagaimana pada Q.S. al-Baqarah [2]: 30.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوٓا۟ أَتَجْعَلُ فِيهَا مَن يُفْسِدُ فِيهَاوَيَسْفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّىٓ أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.

Baca Juga: Makna Khalifah dan Tugasnya Menurut Para Mufasir

Quraish Shihab yang mengutip dari pendapat Muhammad Baqir al-Sadar menjelaskan bahwa khalifah yang terdapat pada ayat tersebut mengandung tiga unsur yang saling berkaitan, ditambah satu unsur eksternal yang mampu menelisik lebih jauh makna khalifah dalam perspektif Al-Qur’an.

Keempat unsur tersebut di antaranya meliputi manusia yang pada ayat ini disebut khalifah, alam raya yang disebut ardh, hubungan manusia dengan manusia lainnya dan alam seisinya, serta satu unsur eksternal yang didefinisikan dengan kata إِنِّيْ جَاعِلٌ/إِنَّا جَعَلْنَاكَ خَلِيْفَةً yang menunjukkan dalang dari penugasan ini, yaitu Allah Swt.

Bentuk tunggal yang kedua terdapat pada Q.S. as-Shad [38]: 26. Pada ayat ini khalifah dimaknai sebagai الْبَدْلُ مِمَّنْ مَضَى atau pengganti dari umat terdahulu.

يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلْنَٰكَ خَلِيفَةً فِى ٱلْأَرْضِ فَٱحْكُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ

Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Di samping itu, ada pula yang berbentuk jamak seperti kata khalaif yang disebutkan empat kali pada Q.S. al-An’am [6]: 165, Q.S. Yunus [10]: 14 dan 73, serta Q.S. Fathir [35]: 39. Sedangkan dalam bentuk khulafa disebutkan tiga kali, yaitu pada Q.S. al-A’raf [7]: 69 dan 74, serta Q.S. an-Naml [27]: 62 (Ilyas, 2016, hal. 170-176).

Pada awalnya, kata khalifah diartikan sebagai pengganti atau yang muncul setelah siapa yang ada sebelumnya. Adapun Al-Qur’an yang menggunakan dua term jamak yaitu khulafa dan khalaif, awalnya bermakna belakang. Namun, kerap pula diartikan sebagai pengganti-pengganti. Di samping itu, Quraish Shihab juga memaknai kata khalifah pada Q.S. al-Baqarah [2]: 30 sebagai khalifah Allah. Meskipun pada dasarnya bermakna pengganti, namun tidak bisa serta merta diartikan sebagai pengganti Allah, melainkan orang yang diutus Allah menjadi pelaksana di muka bumi (Lisnawati, 2015, hal. 51).

Dengan ini dapat dipahami bahwa khalifah merupakan sebuah kewenangan yang dikaruniai Allah kepada makhluk-Nya yaitu seluruh umat manusia (Adam dan anak cucunya) untuk menjalankan tugas di muka bumi yang terhampar luas ini. Kendati demikian, manusia yang diberi kewenangan tersebut harus tetap berpegang teguh pada ketentuan yang ditetapkan oleh sang pemberi wewenang, yaitu Allah Swt (Pamalingan, 2016, hal. 14-15).

Kemudian terkait dengan kata khilafah juga berasal dari kata khalafa yaitu bentuk masdar dari fi’il madhi tersebut (PS., 2018, hal. 21). Adapun menurut Ibn Faris, kata ini dapat mencakup tiga makna, yaitu datangnya sesuatu sesudah sesuatu lain untuk menggantikannya, dan bermakna belakang, serta perubahan. Dalam Al-Qur’an, derivasi kata khilafah adalah khalifah, khulafa, istakhlafa, khalafa, khilfah, khalaif, khalf, khilaf, serta mustakhlafin.

Dari berbagai derivasi tersebut menunjukkan bahwa Al-Qur’an memaknai khilafah sebagai khilafat Allah (proses pergantian Allah) oleh manusia di muka bumi untuk mengatur dunia seisinya serta menegakkan hukum-hukum Allah. Secara global, terminologi Al-Qur’an terkait khilafah terfokus pada makna proses regenerasi kekuasaan dari yang sebelumnya kepada setelahnya dalam mengelola dan mengendalikan dunia (Abdurrahman, 2018, hal. 27, 29-31).

Dalam gramatika bahasa Arab, kata khilafah menjadi bentuk kata benda verbal yang menunjukkan adanya subjek ataupun eksekutor aktif yang kerap disebut khalifah. Dengan ini, khilafah mengisyaratkan pada rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang khalifah. Sehingga, tidak akan ada sebuah khilafah tanpa seorang khalifah yang memimpinnya. Ganai mengemukakan bahwa secara literal khilafah bermakna penggantian terhadap pendahulu, baik individual maupun kelompok.

Adapun secara teknis, khilafah merupakan lembaga pemerintahan Islam yang berasaskan Al-Qur’an dan Sunnah. Khilafah sendiri menjadi media dalam penegakan agama dan perkembangan syariat (Sudrajat, 2009, hal. 2). Istilah khilafah ini muncul tepatnya pada saat khalifah Abu Bakar terpilih menjadi pemimpin menggantikan Nabi, yaitu sehari setelah wafatnya Rasulullah yang kemudian dilanjutkan oleh Umar, Usman, dan Ali, atau kerap disebut al-Khulafa ar-Rasyidin (Zain, 2019, hal. 49).

Selain itu, Ibnu Khaldun juga mengemukakan bahwa khilafah ialah memerintah rakyat berdasarkan pada hukum syariat untuk mewujudkan kebaikan hidup dunia dan akhirat. Maka pada hakikatnya, khilafah merupakan pergantian penyusun hukum syariat tersebut (sahib asy-syara’) guna memelihara agama dan percaturan politik dunia (PS., 2018, hal. 21)

Baca Juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Melalui berbagai penjelasan tersebut, maka dapat ditarik benang merah bahwa khalifah berdasarkan sudut pandang Al-Qur’an adalah sebuah wewenang yang dilimpahkan Allah kepada seluruh umat manusia untuk melakukan tugas otonom dalam mengendalikan dan mengontrol segala bentuk percaturan di muka bumi yang tentunya harus berlandaskan pada ketetapan yang telah diatur oleh sang Maha Pengatur, Allah Swt.

Sedangkan khilafah sendiri menjadi bagian tak terpisahkan dari khalifah tersebut, yaitu sebagai badan struktural yang terorganisir untuk menjalankan segala bentuk kewenangan yang telah dilimpahkan tersebut dengan berbagai aspek aturan dan ketetapan yang harus dipenuhi, demi terwujudnya kehidupan umat manusia dan dunia yang lebih baik lagi. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Maryam ayat 88-94

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 88-94 menegaskan bahwa anggapan bahwa Allah mempunyai anak merupakan sebuah kebohongan yang sangat besar. Bahkan dalam Tafsir Surah Maryam ayat 88-94 dijelaskan bahwa gunung-gunung berguncang sebab pernyataan tersebut karena ungkapan itu merupakan penghinaan dahsyat terhadap sang Maha Pencipta.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 83-87


Ayat 88-89

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa orang-orang yang mengatakan bahwa Allah mempunyai anak baik mereka itu dari kaum musyrik Mekah, orang Yahudi, orang Nasrani maupun penganut agama lain, adalah orang-orang yang sesat karena telah mengucapkan ucapan yang sangat tidak menyenangkan dan telah mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah.

Perkataan itu sangat mungkar, tidak dapat diterima oleh akal dan sangat bertentangan dengan sifat-sifat Allah Yang Maha Esa, Maha Pencipta, Mahakuasa dan Mahaperkasa. Allah sangat murka terhadap mereka karena kelancangan mulut mereka merendahkan martabat Yang Mahatinggi seakan-akan Allah disamakan dengan manusia dan makhluk-makhluk-Nya yang lain yang membutuhkan keturunan yang akan melanjutkan kelangsungan eksistensinya di kemudian hari dan yang akan menolong membantunya di kala ia telah menjadi lemah tak berdaya.

Padahal Dia-lah Yang Hidup Kekal, senantiasa berdiri sendiri tidak memerlukan pertolongan atau bantuan dari selain-Nya, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

اَللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُۗ

Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus-mengurus (makhluk-Nya). (Āli ‘Imrān/3: 2)

Allah mencela mereka dengan keras dan mengatakan bahwa mereka dengan ucapan seperti itu telah mengatakan sesuatu yang sangat mungkar sekali, ucapan yang tidak sepatutnya keluar dari mulut makhluk-Nya yang diciptakan-Nya sendiri, makhluknya yang telah dianugerahi-Nya akal dan pikiran agar dia dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil.

Ayat 90-91

Bila bumi, langit dan gunung-gunung dapat mendengar dan memahami ucapan orang-orang kafir itu, meskipun ia tidak diberi akal dan pikiran oleh Allah, maka langit, bumi dan gunung-gunung yang besar itu akan terguncang dengan dahsyatnya karena terkejut dan mungkin akan menjadi hancur lebur, karena tidak dapat menerima ucapan yang sangat berat tanggung jawabnya, dan sangat menghina serta merendahkan martabat Penciptanya. Untunglah bumi langit dan gunung-gunung itu tidak dapat mendengar apalagi memahami ucapan orang-orang kafir yang sangat keliru itu.

Ini adalah bantahan yang sangat keras terhadap orang-orang kafir itu, bila mereka menggunakan akal yang dianugerahkan Allah kepada mereka, tentulah mereka tidak akan mengucapkan kata-kata seperti itu.

Ayat 92

Allah dalam ayat ini membantah dengan firman-Nya, “Tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah memungut anak.” Demikianlah jawaban Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang terhadap ucapan hamba-Nya yang sangat dimurkai-Nya itu. Dia tidak membentak dan menghukum mereka secara langsung, tetapi menjawabnya dengan kata-kata yang seharusnya dipikirkan dalam-dalam agar mereka kembali kepada kebenaran dan mensucikan Tuhannya dari segala sifat yang bertentangan dengan keesaan dan keagungan-Nya.

Ayat 93

Pada ayat ini Allah menegaskan pula bahwa semua yang ada di langit dan di bumi baik malaikat, jin, maupun manusia, semuanya akan datang menghadap kehadirat Allah (Tuhannya) pada hari kiamat sebagai hamba, patuh dan tunduk kepada semua putusan dan hukuman yang diputuskan-Nya bagi masing-masing makhluk-Nya.

Tiada seorang pun yang dapat menyangkal putusan-Nya pada waktu itu karena putusan itu adalah putusan yang adil. Ada yang berhak menerima azab dan siksaan sesuai dengan kedurhakaan dan kejahatan yang dilakukan, ada pula yang berhak menerima ganjaran dan pahala sesuai dengan ketakwaan dan amal kebaikan yang diusahakan.

Ayat 94

Kemudian Allah menjelaskan bahwa semua amal dan takwa mereka itu telah tercatat dalam kitab yang amat teliti dan terperinci tidak seorang pun terluput dalam catatan itu, semua amal perbuatan mereka baik yang kecil maupun yang besar. Semua ucapan mereka yang nyata dan tersembunyi telah ditulis dan diperhitungkan secermat-cermatnya dan mereka semua menunggu balasan apa yang akan diterimanya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 94-98


Tafsir Surah Maryam ayat 83-87

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 83-87 ini menceritakan bahwa Allah melarang Nabi Muhammad bersedih dan marah kepada orang kafir kelak di akhirat orang kafir tersebut akan digiring ke neraka. Selain itu Tafsir Surah Maryam ayat 83-87 juga menjelaskan bahwa kelak di akhirat Syafaat akan dimiliki oleh para nabi, ulama dan para syuhada sesuai dengan amal dan bakti mereka masing-masing.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam Ayat 78-82


Ayat 83

Pada ayat ini Allah memperingatkan Nabi Muhammad bahwa Dia telah melepaskan setan dan memberi kesempatan kepadanya untuk menipu, membujuk serta memperdayakan manusia yang terkena bujuk rayu setan itu termasuk orang-orang kafir Mekah sehingga Mereka akan tetap dalam kesesatan dan tidak akan kembali ke jalan yang benar bagaimanapun Muhammad mengajak dan menyeru mereka.

Hal ini dijelaskan Allah sebagai penawar hati Nabi Muhammad yang berduka karena dia telah bersungguh-sungguh dan dengan sepenuh hati memberikan petunjuk dan peringatan kepada mereka, tetapi mereka tetap juga ingkar dan tidak mau beriman.

Ayat 84

Pada Tafsir Surah Maryam ayat 83-87 ayat ini Allah melarang Nabi Muhammad merasa sedih dan marah kepada orang kafir dan meminta supaya azab kepada mereka disegerakan karena saat untuk menimpakan azab itu sudah dekat, hanya tinggal menghitung-hitung harinya saja.

Di dunia mereka akan menerima balasan dengan kekalahan mereka dalam Perang Badar dan di akhirat walaupun dalam pikiran kita masih jauh tetapi bagi Allah hari itu adalah dekat. Karena satu hari di akhirat dalam perhitungan Allah bukanlah 24 jam seperti perhitungan kita, mungkin seribu tahun atau mungkin lebih, sebagai tersebut dalam firman-Nya:

وَيَسْتَعْجِلُوْنَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُّخْلِفَ اللّٰهُ وَعْدَهٗۗ وَاِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَاَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ

Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.(al-Hajj/22: 47)

Ayat 85

Pada hari itu Allah mengumpulkan orang-orang yang bertakwa untuk menghadap kehadirat-Nya sebagai rombongan yang dimuliakan karena iman dan amal mereka di dunia. Mereka dibawa dengan kendaraan yang bagus dan indah sebagai tamu yang dihormati.

Ali bin Abi Tālib mengatakan bahwa rombongan itu bukanlah rombongan biasa yang berjalan kaki atau digiring tetapi dibawa dengan kendaraan yang belum pernah dilihat keindahannya oleh manusia, di atasnya ada tempat duduk dari emas dan tali lesnya bertahtakan permata zamrud sehingga sampailah mereka di muka pintu surga.

Ayat 86

Sebaliknya orang durhaka yang tetap ingkar dan kafir digiring ke neraka. Dalam perjalanan ke neraka itu mereka menderita berbagai macam penderitaan yang tidak terperikan seperti haus dan lapar karena panasnya udara padang mahsyar. Mereka digiring seperti hewan-hewan yang hina dina yang tidak berdaya bukan ke tempat yang teduh atau ke mata air yang jernih untuk melepaskan haus dan dahaga tetapi ke neraka yang amat panas.

Ayat 87

Orang kafir tidak akan memperoleh syafaat dari siapa pun untuk menolong mereka atau meringankan penderitaan yang mereka alami. Karena yang berhak menerima syafaat pada hari itu hanyalah orang-orang yang telah dijanjikan Allah akan mendapat syafaat yaitu orang-orang mukmin yang di masa hidupnya di dunia telah mempersiapkan diri untuk mendapat syafaat dengan amal ibadahnya dan perjuangannya menegakkan kalimah Allah.

Syafaat pada hari itu hanya dimiliki oleh para nabi, ulama dan para syuhada sesuai dengan amal dan bakti mereka masing-masing. Di antara amal ibadat yang menjadikan seseorang berhak memperoleh syafaat itu ialah memelihara salat lima waktu dengan sebaik-baiknya.

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ جَاءَ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَدْ حَافَظَ عَلَى وُضُوْئِهَا وَمَوَاقِيتِهَا وَرُكُوْعِهَا وَسُجُوْدِهَا لمَ يَنْتَقِصْ مِنْهَا شَيْئًا جَاءَ وَلَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ اَنْ لاَيُعَذِّبَهُ، وَمَنْ جَاءَ قَدْ اِنْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا فَلَيْسَ لَهُ عِنْدَ اللهِ عَهْدٌ اِنْ شَاءَ رَحِمَهُ وَاِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ. (رواه اَلطَّبَرَانِى فِى اْلاَوْسَطِ عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ)

Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang datang pada hari kiamat membawa salatnya yang lima waktu dengan sempurna yaitu disempurnakan wudunya dipeliharanya waktunya, ruku` dan sujudnya, tidak pernah ditinggalkannya barang sekalipun maka Allah berjanji tidak akan menyiksanya. Tetapi orang yang pernah meninggalkan salatnya, tidak akan memperoleh janji Allah itu. Terserahlah kepada Tuhan apakah Dia akan memberinya rahmat atau menimpakan azab kepadanya.”(Diriwayatkan oleh ath-Tabrāni dalam kitab “al-Ausath” dari Abu Hurairah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 88-94


Surat Yusuf Ayat 23-25: Seruan Kisah Pemuda (Nabi Yusuf) Ketika Keluar dari Zona Nyaman

0
Surat Yusuf Ayat 23-25: Seruan Kisah Pemuda (Nabi Yusuf)
Surat Yusuf Ayat 23-25: Seruan Kisah Pemuda (Nabi Yusuf)

Salah satu dari kisah pemuda di dalam al-Quran adalah Kisah dari nabi Yusuf. Kisah ini digolongkan sebagai sebaik-baik kisah (ahsanu al-Qasas). Menurut ulama tafsir karena hanya kisah nabi Yusuf yang diurai secara tuntas oleh Al-Qur’an  dan selesai dalam satu surat.

Kisah tentang pemuda di dalam Al-Qur’an memang tersebar di berbagai ayat. Jika dilihat dalam tematik, tema pemuda di dalam Al-Qur’an dapat dilacak melalui term fata. Pada kitab Mu’jam al-Mufarros term fata ini ternyata terulang sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an. Uniknya, seluruh term tersebut merujuk kepada kisah para nabi yang membawa risalah untuk perubahan umat manusia yang lebih baik.

Baca juga: Rahasia Huruf Jer Lam dan Fii Dalam Penafsiran Golongan Mustahiq Zakat: Surah At-Taubah Ayat 60

Kisah Nabi Yusuf merupakan kisah teladan bagi para pemuda saat ini, karena dibalik ketangguhan Nabi Yusuf menjaga kesucian cinta juga terdapat seruan agar pemuda berusaha keluar dari zona nyaman. Kisah seruan keluar dari zona nyaman bagi para pemuda dapat ditemukan pada Q.S Yusuf Ayat 23-25 yang penulis bagi menjadi tiga kronologi:

  1.  Kronologi I : Nabi Yusuf ketika digoda

وَرَٰوَدَتْهُ ٱلَّتِى هُوَ فِى بَيْتِهَا عَن نَّفْسِهِۦ وَغَلَّقَتِ ٱلْأَبْوَٰبَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ ٱللَّهِ ۖ إِنَّهُۥ رَبِّىٓ أَحْسَنَ مَثْوَاىَ ۖ إِنَّهُۥ لَا يُفْلِحُ ٱلظَّٰلِمُونَ

“23. Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: “Marilah ke sini.” Yusuf berkata: “Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik.” Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung. (Q.S Yusuf Ayat 23)

Nabi Yusuf digoda oleh seorang wanita yang bernama Zalikha binti Tamlikha, istri dari seorang penguasa di Mesir yang menurut Perjanjian Lama bernama Potifar. (Abi al-Fadl Syihanbuddin al-Sayyid Mahmud Alusi, Ruhu al-Ma’ani: Fi Tafsir al-Quran al-’Azim Wa Al-Sab’ Al-Masani) Kronologi godaan tersebut tergambar di frasa rawadathu yang secara umum artinya menggoda.

Dalam kitabnya Lisanu al-‘Arab, Ibnu Manzur menjelaskan bahwa kata ini bukan sekedar menggoda, tapi juga mencoba segala upaya melumpuhkan lawan, sebagaimana penjelasan Ar-Razi dalam kitabnya Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib mengenai kronologi godaan tersebut terjadi, bahwa Zalikha melakukan gerakan tubuh yang erotis serta menggunakan bahasa yang memancing bihari.

Usaha untuk menundukkan nabi Yusuf  tidak berhenti di sana, melainkan juga berusaha menutup semua pintu yang dapat terlihat oleh orang. Al-Razi mengatakan bahwa alasan menutup semua pintu adalah agar nabi Yusuf tidak datang kecuali ke tempat yang telah dipersiapkan oleh wanita itu, juga untuk menghilangkan jejak karena dia tahu bahwa yang dilakukanya adalah perbuatan haram dan merasa sangat ketakutan (Muhammad ar-Razi Fakhruddin, Tafsir al-Kabir)

Kata waradathu pada ayat di atas juga mengandung makna ‘upaya berulang-ulang’. Pengulangan ini terjadi karena langkah pertama ditolak sehingga diulangi lagi, demikian seterusnya. Tapi, semua ajakan itu ditolak Nabi Yusuf dengan mengatakan Ma’za Allah (Aku memohon perlindungan Allah dari godaan dan rayuanmu) (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jil. 6)

Baca juga: Makna Lafadz Imra’ah dan Zaujah dalam Al-Quran

Selain itu, para ulama juga berbeda pendapat tentang berapa umur nabi Yusuf pada saat digoda. Menurut Sayyid Quthub sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, bahwa saat itu nabi Yusuf berumur 25 tahun, sedangkan al-Lusi dalam kitabnya Ruhu al-Ma’ani menetapkan usia nabi Yusuf pada saat itu antara 30 sampai 40 tahun. Secara garis besar perbedaan pendapat tersebut sepakat bahwa pada saat itu nabi Yusuf telah memasuki masa dewasa, namun berbeda dalam menentukan usia nabi Yusuf.

  1. Kronologi II: Nabi Yusuf Hampir Terpancing

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِۦ ۖ وَهَمَّ بِهَا لَوْلَآ أَن رَّءَا بُرْهَٰنَ رَبِّهِۦ ۚ كَذَٰلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ ٱلسُّوٓءَ وَٱلْفَحْشَآءَ ۚ إِنَّهُۥ مِنْ عِبَادِنَا ٱلْمُخْلَصِينَ

24.Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andai kata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih. (Q.s Yusuf ayat 24)

Teks ayat di atas menjelaskan bahwa Zalikha dan Nabi Yusuf sama-sama bermaksud melakukah hal tersebut. Akan tetapi, para ulama memberikan banyak komentar mengenai ayat ini, antara lain: Sayyid Qutbuh berkomentar sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab bahwa wanita itu hendak melakukan suatu perbuatan nyata, sedangkan nabi Yusuf berkehendak dalam bentuk kehendak hati. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jil 6)

Pendapat lain juga mengatakan bahwa wanita itu  bermaksud melakukan perbuata keji dan nabi Yusuf pun bermaksud serupa, seandainya ia tidak melihat burhana rabbihi (petunjuk dari Tuhannya) maka ia benar-benar akan melakukannya, pendapat ini ini dikemukakan oleh Zamakhsyari dalam tafsirnya al-Kasyaf.

Baca juga: Berikut ini Ciri Orang-Orang yang Sabar dalam Al-Quran

Pada dasarnya ‘keinginan nabi Yusuf’ justru menujukkan sisi ke-ma’suman-nya  sebagai seorang  nabi. Karena walau pun Nabi Yusuf ingin melakukannya, tapi ia terpelihara dari perbuatan tersebut, ini juga menegaskan bahwa nabi Yusuf adalah pria normal yang memiliki hasrat biologis, pendapat ini dipegang oleh Asy-Sya’rawi dalam kitabnya Khawatir al-Sya’rawi Haul Al-Qur’an al-Karim.

  1. Kronologi III: Nabi Yusuf Berusaha Keluar dari Zona Nyaman

وَٱسْتَبَقَا ٱلْبَابَ وَقَدَّتْ قَمِيصَهُۥ مِن دُبُرٍ وَأَلْفَيَا سَيِّدَهَا لَدَا ٱلْبَابِ ۚ قَالَتْ مَا جَزَآءُ مَنْ أَرَادَ بِأَهْلِكَ سُوٓءًا إِلَّآ أَن يُسْجَنَ أَوْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“25. Dan keduanya berlomba-lomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang hingga koyak dan Kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu. wanita itu berkata: “Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (Q.S usuf ayat 25)

Kronologi I dan II mendeskripsikan bahwa nabi Yusuf berada pada zona nyaman, yaitu nabi Yusuf bisa saja menerima ajakan Zalikha tanpa merasa khawatir ketahuan, karena dia adalah istri penguasa yang sangat terhormat dan jika pun ketahuan dia dapat menutupinya karena suaminya adalah seorang penguasa, ditambah lagi dia telah menutup semua pintu dan celah yang artinya peluang untuk diketahui orang sangat kecil.

Akan tetapi, nabi Yusuf memilih untuk lari dari cengkraman Zalikha dengan berlari menuju salah satu pintu. Secara etimologi istabaqa adalah mendahului, penambahan huruf sin dan ta pada awal kalimat berarti ada penambahan makna. Ibn Manzur menjelaskan bahwa istabaqa adalah gerakan yang sangat cepat seperti menyembur untuk mendahului lawannya.

Kata ini mendeskripsikan bahwa nabi Yusuf dan Zalikha berusaha saling mendahuhui menuju pintu, namun baju nabi Yusuf  yang koyak di bagian belakang menjadi bukti bahwa nabi Yusuf-lah yang berusaha mendahului Zalikha. (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jil 6) Kronologi tersebut menjelaskan kepada kita bahwa nabi Yusuf berusaha melakukan perlawanan dan berusaha keluar dari zona nyaman tersebut. Sikap inilah yang harus diteladani oleh para pemuda. Wallahu ‘Alam

Tafsir Surah Maryam ayat 77-82

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 77-82 ini diceritakan bahwa orang-orang kafir yang sombong dan angkuh tersebut mengatakan bahwa kelak di akhirat mereka akn dianugerahi harta serta anak yang banyak, hal ini dalam Tafsir Surah Maryam ayat 77-82 disebutkan bahwa Allah sangat murka dengan sikap orang kafir tersebut sehingga kelak di akhirat mereka akan mendapat balasannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 73-76 Tentang Ciri-ciri Orang Kafir


Ayat 77

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw supaya memperhatikan bagaimana sombong dan angkuhnya orang kafir itu yang berani mengatakan bahwa di akhirat nanti mereka akan dianugerahi harta dan anak yang banyak.

Meskipun ucapan itu seakan-akan menunjukkan bahwa mereka mempercayai hari kebangkitan tetapi sebenarnya mereka tidak percaya sama sekali akan adanya hari kebangkitan.

Ucapan seperti itu hanya sebagai cemoohan dan olok-olok terhadap kepercayaan orang mukmin dengan pengertian bahwa jika benar-benar Khabab bin Arat percaya akan hari kebangkitan biarlah utangnya itu dibayar pada hari kebangkitan. Sekarang dia tidak mau membayarnya karena Khabbab beriman dengan Muhammad.

Cemoohan itu ditambah lagi dengan mengatakan bahwa dia akan kaya dan banyak anak nanti di akhirat. Alangkah beraninya dia mengada-adakan sesuatu yang tidak diketahuinya sama sekali, sedang dia sendiri mengingkari hal-hal yang gaib.

Ayat 78

Oleh sebab itu maka pada ayat ini Allah mengecamnya dengan mengatakan, “Apakah dia mengetahui hal-hal yang gaib ataukah dia telah berjanji dengan Allah bahwa Dia akan memberinya rezeki dan anak yang banyak?”

Kedua kemungkinan itu amat jauh sekali, karena tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui yang gaib apalagi yang berhubungan dengan hari akhirat. Dan tidak mungkin pula dia berjanji dengan Tuhan bahwa dia akan diberi rezeki yang banyak di akhirat sedangkan dia sendiri mengingkari hari itu dan mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala. Tempat orang seperti ini adalah neraka dan siksaan yang akan ditimpakan kepadanya tentu berat sekali.

Ayat 79-80

Pada ayat ini Allah mengancam mereka dengan ancaman yang keras karena kelancangannya menisbahkan sesuatu terhadap Allah tanpa ilmu dan tanpa dasar yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional.

Allah akan mengambil semua harta mereka sebagai balasan yang setimpal dengan keingkaran dan kedurhakaannya dan menyiksanya dengan siksaan yang tiada putus-putusnya.

Allah akan mengambil semua harta dan anak-anaknya yang ditinggalkannya ketika dia mati sehingga di akhirat nanti dia datang menghadap Allah sendirian, tidak ada yang akan membela dan menolongnya. Memang pada hari itu tak ada sesuatu pun yang dapat menolong manusia kecuali iman dan amal perbuatannya sesuai dengan firman Allah:

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ ۙ    ٨٨  اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ ۗ   ٨٩

(yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak  tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. (asy- Syu`arā/26: 88-89)

وَعُرِضُوْا عَلٰى رَبِّكَ صَفًّاۗ  لَقَدْ جِئْتُمُوْنَا كَمَا خَلَقْنٰكُمْ اَوَّلَ مَرَّةٍۢ  ۖبَلْ زَعَمْتُمْ اَلَّنْ نَّجْعَلَ لَكُمْ مَّوْعِدًا

Dan mereka akan dibawa ke hadapan Tuhanmu dengan berbaris. (Allah berfirman), “Sesungguhnya kamu datang kepada Kami, sebagaimana Kami menciptakan kamu pada pertama kali; bahkan kamu menganggap bahwa Kami tidak akan menetapkan bagi kamu waktu (berbangkit untuk memenuhi) perjanjian.” (al-Kahf/18: 48) ;

Ayat 81

Pada ayat ini Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad saw bahwa maksud dan tujuan dari orang-orang musyrik menyembah berhala dan sembahan-sembahan lainnya, ialah agar berhala-berhala dan sembahansembahan itu dapat menolong mereka, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Mereka mempersembahkan berbagai macam barang dan uang kepada berhala-berhala itu dengan harapan agar berhala-berhala itu dapat mengabulkan permintaan mereka, diberi restu dan diberkahi dalam kehidupan, usaha dan pekerjaan, dan agar mereka tetap berbahagia mulia dan terhormat.

Di kalangan mereka seakan-akan berhala itulah yang paling berkuasa, berhak melimpahkan rahmat dan nikmat, berhak menimpakan siksa dan kesengsaraan. Di akhirat nanti (menurut paham mereka) berhala-berhala itu akan dapat memintakan syafaat bagi mereka dan akan menolong mereka bila mereka menghadapi kesulitan atau mengalami penderitaan.

Ayat 82

Tafsir Surah Maryam ayat 78-82 khususnya dalam Ayat ini menolak paham yang salah itu terutama mengenai kemampuan berhala itu memberi pertolongan di akhirat. Berhala-berhala dan sembahan-sembahan itu sekali-kali tidak akan dapat menolong mereka bahkan mereka akan mengingkari di hadapan Allah bahwa mereka disembah oleh orang-orang musyrik itu sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:

وَاِذَا رَاَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا شُرَكَاۤءَهُمْ قَالُوْا رَبَّنَا هٰٓؤُلَاۤءِ شُرَكَاۤؤُنَا الَّذِيْنَ كُنَّا نَدْعُوْا مِنْ دُوْنِكَۚ فَاَلْقَوْا اِلَيْهِمُ الْقَوْلَ اِنَّكُمْ لَكٰذِبُوْنَۚ

Dan apabila orang yang mempersekutukan (Allah) melihat sekutu-sekutu mereka, mereka berkata, ”Ya Tuhan kami, mereka inilah sekutu-sekutu kami yang dahulu kami sembah selain Engkau.” Lalu sekutu mereka menyatakan kepada mereka, “Kamu benar-benar pendusta.” (an-Nahl/16: 86)

Dan firman-Nya:

اِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا وَرَاَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْاَسْبَابُ  ١٦٦  وَقَالَ الَّذِيْنَ اتَّبَعُوْا لَوْ اَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّاَ مِنْهُمْ ۗ كَمَا تَبَرَّءُوْا مِنَّا ۗ كَذٰلِكَ يُرِيْهِمُ اللّٰهُ اَعْمَالَهُمْ حَسَرٰتٍ عَلَيْهِمْ ۗ وَمَا هُمْ بِخَارِجِيْنَ مِنَ النَّارِ ࣖ  ١٦٧

(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti berlepas tangan dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat azab, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus. Dan orang-orang yang mengikuti berkata, ”Sekiranya kami mendapat kesempatan (kembali ke dunia), tentu kami akan berlepas tangan dari mereka, sebagaimana mereka berlepas tangan dari kami.”

Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatan mereka yang menjadi penyesalan mereka. Dan mereka tidak akan keluar dari api neraka. (al-Baqarah/2: 166-167)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 83-87


Menjawab Anggapan Inkonsistensi Kaidah Pengulangan Isim dalam Penafsiran Bag. 1

0
Kaidah pengulangan isim dalam penafsiran
Kaidah pengulangan isim dalam penafsiran

Dalam Bahasa Arab pengulangan isim (kata benda) punya arti tersendiri. Setidaknya dikenal empat macam kaidah. Tetapi, tahukah anda ada sebagian ulama yang menganggap penerapan kaidah-kaidah tersebut mengandung inkonsistensi saat digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an? Tulisan ini, sedikit akan membahas terkait topik tersebut.

Menurut Syekh Abdullah Al-‘Asymawi dalam Syarah Al-‘Asymawi ‘Ala Matn Al-Ajurumiyah Fi Qowaid Al-Arobiyah (13) kaidah pengulangan isim ini adalah kaidah aghlabiyah (kaidah yang cakupannya tidak menyeluruh terhadap semua permasalahan). Sehingga memang tidak menutup celah adanya anggapan seperti itu. Namun, bagi sebagian ulama ada yang mencoba menjawab terkait permasalahan ini, seperti dalam Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an, walaupun berupa jawaban singkat.

Oleh karena itu, penulis mencoba mencari tambahan jawaban atas anggapan inkonsistensi tersebut dengan melihat hasil interpretasi atau penafsiran para mufasir yang tertuang dalam lembaran kutubut tafsir karya mereka, sebagai salah satu usaha dalam mengembangkan kajian Ulumul Qur’an yang mungkin dianggap “sudah final” pembahasannya oleh sebagian orang.

Baca juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

Gambaran Batasan Pengulangan Isim

Sebelum masuk pembahasan, ada beberapa pertanyaan terkait tema ini. Diantaranya, bagaimana gambaran suatu isim itu dianggap terulangi? Haruskah bersambung dalam satu ayat atau boleh terpisah?

Syekh Bahaudin As-Subki (w. 773) dalam ‘Arus Al-Afroh Fi Syarh Talkhis Al-Miftah (I/212-213) telah menjelaskan bahwa mengulangi isim dua kali itu maksudnya pengulangan dalam satu pembicaraan (kalam), atau dua pembicaraan yang antara keduanya masih ada hubungan, seperti di’athofkan pada lainnya, punya hubungan dhohir, atau kesesuaian yang jelas.

Anggapan Inkonsistensi Kaidah Pertama

فَإِنْ كَانَا مَعْرِفَتَيْنِ فَالثَّانِيْ هُوَ الْأَوَّلُ غَالِبًا

Jika kedua isim tersebut ma’rifat, maka umumnya isim yang kedua maksudnya sama dengan isim yang pertama

Kaidah ini ditentang oleh sebagian ulama dengan mengajukan beberapa ayat, seperti yang termuat dalam ‘Arusul Afroh (I/20), yaitu QS. Al-Baqorah [2]:178 yang terdapat kata الْحُرُّ بِالْحُرِّ dan QS. Al-Insan [76]:1-2 yang terdapat kata الْإِنْسَان.

Sekilas terlihat kata Al-Hurr kedua itu bukanlah yang pertama, karena orang yang diqishah dengan orang yang menyebabkan diqishah itu beda. Begitu juga kata Al-Insan pertama maksudnya Adam dan yang kedua maksudnya anak cucunya. Mungkin bisa saja benar seperti itu. Toh, mengingat kaidah ini hanya kaidah aghlabiyah. Namun, bukan berarti tidak ada jawaban atas anggapan ini.

Baca Juga: Mengenal Istilah Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Quran

Jawaban Atas Anggapan

Imam Suyuthi dalam Al-Itqon-nya telah menjawab, bahwa Al yang terdapat pada kata Al-Hurr dan Al-Insan di atas itu merupakan Al lil Jinsi (Al untuk menunjukkan jenis). Dengan demikian, kata tersebut seakan bermakna seperti halnya nakirah (umum).

Terlebih penafsiran ini sesuai dengan kaidah ilmu nahwu yang menyebutkan bahwa diantara ciri-ciri Al Jinsiyah itu Al-nya bisa diganti dengan kata Kull (semua/seluruh/setiap). Sehingga kata Al-Hurr diartikan dengan setiap orang merdeka dan kata Al-Insan dengan setiap manusia.

Senada dengan pernyataan di atas, Imam Ar-Razi dalam masterpiece-nya, Mafatih Al-Ghoib (V/53-54) juga berkata bahwa alif lam pada kata Al-Hurr itu berfaidah umum. Beliau melanjutkan penjelasannya:

 فَقَوْلُهُ الْحُرُّ بِالْحُرِّ يُفِيدُ أَنْ يُقْتَلَ كُلُّ حُرٍّ بِالْحُرِّ

Maka Firman-Nya: الْحُرُّ بِالْحُرِّ itu memberikan faidah bahwa setiap orang merdeka dibunuh sebab membunuh setiap budak

Lebih lanjut, Ibnu Asyur dalam At-Tahrir Wa At-Tanwir (XXIX/372) mengomentari bahwa Al-nya kata Al-Insan pada QS. Al-Insan [76]:1-2 itu merupakan Al lil jinsi, beliau berkata:

وَتَعْرِيفُ الْإِنْسانِ لِلِاسْتِغْرَاقِ مِثْلُ قَوْلِهِ: إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا الْآيَة، أَيْ هَلْ أَتَى عَلَى كُلِّ إِنْسَانٍ حِينٌ كَانَ فِيهِ مَعْدُومًا

Pema’rifatan dalam kata Al-Insan berfaidah istighroq (menghabiskan atau menyeluruh), seperti Firmannya: “Sungguh, semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman…” dst. Maksudnya, bukankah pernah ada waktu dimana tak ada seorangpun manusia pada waktu itu?

Sudah maklum dalam ilmu nahwu, bahwa Al Mu’arrifah ada 2 macam, Al ‘Ahdiyyah dan Al Jinsiyyah. Kemudian Al ‘Ahdiyyah sendiri terbagi menjadi 3, yaitu lil ‘ahdi adz-dzikri, lil ‘ahdi adz-dzihni dan lil ‘ahdi al-hudhuri. Begitu juga Al Jinsiyyah terbagi menjadi 3, yaitu li istighraq al-afrod, li istighraq ash-shifat, dan li bayan al-haqiqat.

Begitu juga Imam Ar-Razi dalam Mafatihul Ghoib (XXX/235) menyebutkan para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Al-Insan yang disebutkan pada ayat ini. Sekelompok ulama ahli tafsir menghendaki Nabi Adam Alaihissalam. Sedangkan sebagian yang lain adalah anak keturunannya.

Bagi kelompok pertama mereka menganggap bahwa Allah SWT telah menyebutkan penciptaan Adam di ayat ini (QS. Al-Insan [76]:1). Kemudian mengiringinya dengan menyebutkan anak keturunannya dalam Firman-Nya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya” (QS. Al-Insan [76]:2).

Sedangkan menurut pendapat kedua yang menafsirkan anak keturunan Adam, berdalil dengan Firman-Nya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani”. Maka kata Al-Insan dalam dua tempat tersebut menurut mereka maksudnya adalah satu, yaitu anak keturunannya. Syekh Ali Ash-Shobuni tampaknya lebih condong ke pendapat yang kedua ini, sebagaimana dalam Shofwah At-Tafasir (III/491)nya.

Baca Juga: Makna-Makna Sighat Amar (Perintah) dalam Al-Quran (Bagian 2)

Diantara ayat yang dalam kitab ‘Arus Al-Afroh juga dijadikan salah satu contoh bantahan terhadap kaidah pertama adalah QS. Al-Ankabut [29]:47 sebagai berikut:

وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يُؤْمِنُونَ بِه

Dan demikian pulalah Kami menurunkan Al-Kitab kepadamu maka orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab mereka beriman kepadanya

Sekilas tentu kata Al-Kitab pertama adalah Al-Qur’an dan Al-Kitab kedua adalah Taurat atau Injil. Mungkin memang bisa juga ditafsirkan seperti itu. Namun, penulis melihat ada celah untuk menjawab anggapan tersebut, seperti dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan:

فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتابَ يُؤْمِنُونَ بِهِ أَيِ الَّذِينَ أَخَذُوهُ فَتَلَوْهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ مِنْ أَحْبَارِهِم الْعُلَمَاءِ الْأَذْكِيَاءِ، كَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ وَسَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ وَأَشْبَاهِهِمَا

Maka orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-Kitab mereka beriman kepadanya. Maksudnya, orang-orang yang mengambil Al-Kitab, lalu membacanya dengan bacaan yang sebenarnya dari para ilmuwan, yaitu para ulama yang cerdas-cerdas, seperti Abdullah Ibnu Salam, Salman Al-Farisi dan yang sama dengan mereka berdua.

Ayat sebelumnya, Allah sekilas telah menyinggung mengenai Ahli kitab dan kitab-kitab terdahulu. Sehingga menurut penulis, tak mengapa kalau kata Al-Kitab kedua langsung ditafsirkan dengan “mereka yang diberikan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan mengambilnya, lalu mereka membacanya dengan seksama tentu akan beriman kepada Al-Kitab tersebut (Al-Qur’an)”.

Bahkan dengan penafsiran di atas, cakupan maknanya menjadi lebih luas. Tidak terkhusus dengan orang-orang yang diberi Taurat atau Injil saja, akan tetapi mencakup siapa saja yang mau mengambil Al-Qur’an, membacanya dengan benar, dan merenungi kandungan isinya dia pasti akan mengimani kebenarannya, kecuali mereka yang kafir dan dzolim.

Sekaligus penafsiran ini bisa menjadi salah satu jawaban bahwa sebetulnya ayat ini terbebas dari anggapan inkonsistensi kaidah pertama ini. Begitupun kaidah-kaidah selainnya juga terbebas dari anggapan tersebut. Ingin tahu jawabannya? Nantikan tulisan berikutnya.

Wallahu Ta’ala A’lam.

Tafsir Surah Maryam ayat 73-76

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 73-76 menerangkan ciri-ciri orang kafir adalah apabila dibacakan ayat Alquran ia akan menentang serta mencemooh ayat-ayat Alquran. Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 73-76 ini Allah menghibur Nabi Muhammad dengan memerintahkan Nabi untuk menceritakan kisah kaum ‘Ad dan Tsamud yang karena kedurhakaannya mereka dilenyapkan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 70-72


Ayat 73

Pada ayat ini Allah menerangkan sikap orang-orang kafir itu bila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Al-Qur’an yang nyata kebenarannya dan tidak dapat disangkal lagi, ucapan yang keluar dari mulut mereka untuk menentang kebenaran ayat-ayat itu adalah cemoohan dan olok-olok.

Mereka mengatakan kepada orang mukmin siapa di antara kita yang paling senang hidupnya, paling tenang pikirannya, paling bagus rumahnya, paling tinggi kedudukannya dan paling banyak jumlahnya. Bagaimana kami yang jauh lebih tinggi dan lebih mulia dari kamu semua, akan berada dalam kebatilan dan menempuh jalan yang sesat. Hal ini adalah sesuatu yang mustahil.

Maka kami menganggap kamulah yang berada dalam kesesatan karena golongan kamu selain lemah, sengsara dan sedikit jumlahnya, kamu hanya dapat berkumpul dengan sembunyi-sembunyi membicarakan hal ihwalnya di tempat-tempat yang tersisih dan sepi seperti Darul Arqam dan sebagainya.

Tidak mungkin agama yang kamu anut itu agama yang benar dan tidak mungkin ayat-ayat Al-Qur’an itu baik dan berguna. Karena kalau demikian halnya tentu kamilah yang lebih dahulu beriman dan mempercayainya. Hanya itulah alasan dan keterangan yang dapat dikemukakan oleh orang kafir kepada orang mukmin dan keterangan mereka seperti ini terdapat pula pada ayat yang lain:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُوْنَآ اِلَيْهِۗ وَاِذْ لَمْ يَهْتَدُوْا بِهٖ فَسَيَقُوْلُوْنَ هٰذَآ اِفْكٌ قَدِيْمٌ

Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, ”Sekiranya Al-Qur’an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata, ”Ini adalah dusta yang lama.”  (al-Ahqāf/46: 11)

Ayat 74

Allah menolak cemoohan orang-orang kafir itu dengan menjelaskan bahwa Dia di masa yang lalu telah banyak membinasakan beberapa kaum karena kedurhakaan mereka, seperti kaum `Ād dan Tsamud padahal mereka itu lebih kaya dan lebih mewah dari kaum kafir Mekah dan negeri mereka pun adalah negeri yang subur, dan mempunyai panorama yang indah.

Jadi kekayaan, kemewahan panduduk dan keindahan suatu negeri bukanlah acuan untuk menilai suatu kaum bahwa ia adalah di pihak yang benar dan menjadi kesayangan Allah. Yang menjadi ukuran ialah keimanan kepada Allah serta ketaatan dan kepatuhan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

Kalau benar kekayaan dan kemewahan itu yang menjadi ukuran, tentulah mereka tidak dibinasakan Allah. Sebenarnya ayat ini adalah suatu ancaman dari Allah terhadap kaum musyrik Mekah, kalau mereka tidak juga sadar dan insaf dan tetap membangkang tidak mustahil mereka akan dihancurkan pula seperti umat-umat terdahulu.

Ayat 75

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya menjawab cemoohan dan olok-olok kaum musyrik yang membanggakan kekayaannya itu dengan mengatakan bahwa orang-orang yang sesat dari kaumnya tidak akan dibinasakan oleh Allah saat ini, karena rahmat dan kasih sayangnya dan karena di kalangan mereka berada Nabi Muhammad serta orang-orang yang beriman. Hal ini tersebut pada firman-Nya:

وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُعَذِّبَهُمْ وَاَنْتَ فِيْهِمْۚ وَمَا كَانَ اللّٰهُ مُعَذِّبَهُمْ وَهُمْ يَسْتَغْفِرُوْنَ

Tetapi Allah tidak akan menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidaklah (pula) Allah akan menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan. (al-Anfāl/8: 33)

Allah akan membiarkan mereka dan menangguhkan serta memberi kesempatan kepada mereka untuk berlarut-larut dalam kekafiran dan kedurhakaan sampai tiba saatnya mereka akan melihat sendiri siksaan Allah di dunia dengan kekalahan total yang dialami mereka (seperti Perang Badar dan terusirnya kaum musyrik Mekah) dan di akhirat mereka akan melihat siapa sebenarnya yang lebih mulia, mendapat rahmat dan karunia Allah dan siapa yang akan mendapat siksaan yang menghinakan sehingga begitu hina dan begitu rendahlah kedudukan mereka.

Ayat 76

Sebagai hiburan bagi kaum Muslimin yang dihina dan dicemoohkan itu, karena memang mereka tidak berdaya menjawab tantangan kaum musyrik yang menyombongkan kekayaannya. Allah menjanjikan akan memberi mereka tambahan petunjuk di samping petunjuk-petunjuk yang telah mereka terima. Dengan petunjuk-petunjuk itu mereka akan lebih bertakwa dan lebih bahagia.

Biarkanlah orang-orang kafir itu berbangga-bangga dengan kekayaan dan kedudukan dan selalu berada dalam keangkuhan dan kesombongan. Biarkanlah mereka berlarut-larut dalam kesesatan dan kedurhakaan.

Pada suatu saat Allah akan menimpakan siksa-Nya yang keras kepada mereka. Di waktu itulah nanti mereka akan sadar bahwa mereka telah melakukan kesalahan yang besar dan menyesal dengan amat sangat, tetapi penyesalan itu tidak akan menolong mereka sedikit pun, karena ibarat nasi sudah menjadi bubur, sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tidak berguna.

Dalam menghadapi kesombongan kaum musyrik itu hendaklah kaum Muslimin sabar dan tabah, selalu mengamalkan petunjuk-petunjuk Allah, taat dan patuh kepada perintah-Nya. Dengan demikian hati mereka akan lapang, pikiran mereka akan tenang, amal baik mereka akan bertambah. Mereka senantiasa akan berada dalam lindungan rahmat dan kasih sayang-Nya. Allah akan menyediakan bagi mereka pahala yang berlipat ganda.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 78-82


 

Tafsir Surah Maryam ayat 70-72

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 70-72 menerangkan bahwa ketika berada di akhirat orang-orang kafir akan dikumpulkan secara berkelompok sesuai tingkat kedurhakaan mereka semasa hidup. Tafsir Surah Maryam ayat 70-72 menjelaskan pula ketika berada di akhirat semua manusia akan dibawa ke dekat neraka dan akan menyeberangi neraka tersebut. Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 70-72 ini dijelaskan bahwa orang-orang yang bertakwa akan selamat dari siksaan neraka dan orang bertakwa itu berbeda dengan orang beriman.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 64-69


Ayat 70

Orang-orang kafir itu dikumpulkan secara berkelompok-kelompok sesuai dengan tingkat kedurhakaan mereka, lalu Allah menyisihkan yang paling ingkar, paling sombong dan durhaka dan paling banyak menyesatkan manusia di muka bumi dari masing-masing kelompok itu untuk dilemparkan lebih dahulu ke dalam neraka.

Bagi Allah Yang Mahatahu Mahaluas Ilmu-Nya tidaklah sulit menentukan orang-orang yang seperti itu karena semua amal perbuatannya di dunia telah tercatat di dalam buku masing-masing, seperti tersebut dalam firman-Nya:

يَوْمَىِٕذٍ تُعْرَضُوْنَ لَا تَخْفٰى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ

Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tidak ada sesuatupun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah). (al-Hāqqah/69: 18)

Mereka akan dibelenggu, dilemparkan ke neraka dan dalam neraka pun mereka akan dirantai seperti tersebut dalam firman-Nya:

خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُۙ  ٣٠  ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُۙ  ٣١  ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُۗ  ٣٢

(Allah berfirman), ”Tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.  Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. (al-hāqqah/69: 30-32)

Sesudah itu barulah tiba giliran yang lain untuk dilemparkan pula ke neraka sesuai dengan tingkat kekufuran dan kedurhakaannya.

Ayat 7 1

Kemudian Allah mengarahkan firman-Nya kepada manusia seluruhnya dan menerangkan bahwa semua orang akan dibawa ke tempat di mana neraka berada. Mereka didekatkan ke neraka itu dan berdiri di sekelilingnya. Hal ini sudah menjadi ketetapan-Nya yang tidak dapat diubah lagi dan harus terlaksana.

فَفِى صَحِيْحِ مُسْلِم  عَنْ اَبِى سَعِيْدِ اَلْخُدْرِيّ : (… ثُمَّ يُضْرَبُ الْجِسْرُ عَلَى جَهَنَّمَ, وَتَحِلُّ الشَّفَاعَةُ فَيَقُوْلُوْنَ: اَللَّهُمَّ سَلَّمَ سَلَّمَ قِيْلَ: يَارَسُوْلَ الله، وَمَا الْجِسْرُ، قَالَ دَحَضٌ, مَزَلَّةٌ فِيْهِ خَطَاطِيْفُ وَكَلاَلِيْبُ وَحَسَكٌ تَكُوْنُ بِنَجْدٍ فِيْهَا شُوَيْكَةٌ يُقَالُ فِيْهَا: اَلسَّعْدَانُ، فَيَمِرُّ الْمُؤْمِنُوْنَ كَطَرْفِ الْعَيْنِ وَكَالْبَرَقِ وَكَالرِّيْحِ وَكَالطَّيْرِ وَكَأَجَاوِيْدِ الْخَيْلِ وَالرِّكَابِ فَنَاجٍ مُسَلَّمٌ وَمَخْدُوْشٌ مُرْسَلٌ وَمَكْدُوْسٌ فِى نَارِ جَهَنَّمَ)

Dalam hadis Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy diterangkan (… kemudian dipancangkan jembatan di atas Jahanam, dan syafaat diperbolehkan, mereka berkata ya Allah selamatkan kami-selamatkan kami, Rasulullah ditanya, apakah jembatan itu? Rasulullah menjawab, “tempat berpijak yang licin ada alat penyambar dan pecantol, dan duri (seperti) yang ada di Najd, yang memiliki duri kecil  yang diberi nama as-Sa’dān. Ada orang mukmin yang berjalan sekejap mata seperti kilat, angin, burung yang terbang, kuda pacuan dan seperti orang yang berkendaraan, maka ada yang selamat, tertangkap dan lolos, ada pula yang terlempar ke dalam neraka jahannam.”)

Ayat 72

Ayat ini menegaskan bahwa Allah dikala itu melepaskan orang-orang yang bertakwa dari siksaan neraka dan membiarkan orang-orang kafir jatuh ke dalamnya dalam keadaan berlutut.

Allah menerangkan bahwa yang dilepaskan dari siksaan neraka itu ialah orang-orang yang bertakwa bukan orang-orang yang beriman saja, karena orang-orang yang beriman saja belum tentu termasuk orang-orang yang bertakwa, karena banyak di antara orang-orang yang beriman melanggar perintah Allah dan mengerjakan larangannya.

Apabila dosanya lebih banyak dari amal kebaikannya maka ia akan disiksa lebih dahulu dalam neraka sesuai dengan dosa yang diperbuatnya kemudian barulah dikeluarkan dari neraka setelah menerima siksaan yang sepadan dengan dosanya, lalu dimasukan ke surga.

Adapun orang-orang yang amal kebaikannya lebih banyak dari dosanya, maka dia dimasukkan ke dalam surga setelah dosa-dosanya itu diampuni oleh Allah dengan rahmat dan kasih sayang-Nya. Hal yang demikian tersebut dalam firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ  ٦  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ  ٧  وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا هِيَهْۗ  ١٠  نَارٌ حَامِيَةٌ ࣖ  ١١

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (al-Qāri’ah/101: 6-11)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 73-76


Ulumul Quran: Mengenal Konsep Manthuq dan Mafhum

0
Manthuq dan Mafhum
Manthuq dan Mafhum

Artikel ini akan membahas dengan ringkas dua kaidah kebahasaan untuk memahami Al-Quran, yaitu apa yang diistilahkan oleh para ulama dengan manthuq dan mafhum. Apa itu? Apa saja macam-macamnya? Simak ulasannya berikut.

Urgensi Bahasa Arab untuk Menafsirkan Al-Quran

Allah menurunkan Al-Quran kepada nabi Muhammad dan sekalian umat manusia dalam bahasa Arab, maka untuk memahami isi kandungannya seorang pengkaji Al-Quran perlu kiranya menguasai bahasa Arab. Dalam hal ini Imam Malik pernah mengatakan,

لا أوتى برجل غير عالم بلغة العرب يفسر القرآن إلا جعلته نكالا

Tidaklah diberikan kepada seseorang yang tidak menguasai bahasa Arab, kemudian ia menafsirkan Al-Quran, melainkan pasti aku akan menghukumnya”.

Bahasa adalah rumah ilmu, jika kita tidak menguasai bahasa Al-Quran bagaimana mungkin akan bisa menafsirkannya?

Definisi Manthuq dan Mafhum

Al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an mendefinisikan manthuq sebagai berikut,

المنطوق: ما دل عليه اللفظ في محل النطق

manthuq adalah apa (makna) yang ditunjukkan oleh lafaz, sesuai dengan ucapannyat’. Yakni sesuai dengan kandungan makna lafal tersebut.

Kebalikannya adalah mafhum yakni apa (makna) yang ditunjukkan oleh lafal, namun tidak secara langsung melalui kata-kata tersebut dengan kata lain makna yang tersirat.

المفهوم: ما دل عليه اللفظ لا في محل النطق

Makna yang ditunjukkan oleh lafaz, namun tidak langsung sama dengan arti kandungan lafaz tersebut’.

Kalau disederhanakan, manthuq adalah makna tersurat yang bisa dipahami dari ayat-ayat dalam Al-Quran, sedangkan mafhum adalah sebaliknya yakni makna tersirat dari ayat-ayat Al-Quran.

Macam-Macam Manthuq

Dalam kitab yang sama, al-Suyuthi mengklasifikasikan ada tiga jenis manthuq berdasarkan tingkat kepastian maknanya,

Pertama, beliau menyebutnya al-nash. Yakni manthuq yang menunjukkan satu makna tertentu secara pasti, tanpa ada kemungkinan sama sekali untuk mena’wilkannya. Misalnya dalam firman Allah Qs. Al-Bqarah [2]: 196,

…فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ …

“…Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna…”.

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Penyifatan kata kamilah (sempurna) kepada kata ‘asyrah (sepuluh) itu menegaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah agar seseorang melakukan puasa selama sepuluh hari, bukan sepuluh yang lain secara majaz. Jadi ayat ini tidak membuka kemungkinan untuk adanya makna lain selain kewajiban untuk berpuasa sepuluh hari bagi yang bersangkutan.

Kedua, disebut al-Zhahir. Yaitu manthuq yang membuka kemungkinan untuk adanya ambiguitas makna, namun diantaranya ada makna yang lebih unggul daripada makna-makna yang lain. Misalnya pada kata al-baghi pada Qs. Al-Baqarah [2]: 173,

…فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ…

…Namun barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas…

Kata al-baghy sendiri secara bahasa memiliki beberapa makna seperti menginginkan, zalim, jahil dan aniaya. Namun pada konteks ayat ini makna menginginkan dan zalim lebih kuat daripada makna-maknanya yang lain.

Ketiga, dinamakan ta’wil. Yakni ketika suatu lafal memiliki beberapa makna, ada yang kuat dan ada yang lemah, namun yang dipilih adalah makna yang marjuh (lemah) karena didukung oleh dalil dan alasan tertentu. Misalnya kata janah pada Qs. Al-Isra’ [17]: 24 berikut,

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ…

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan…”.

Kata janah disini mustahil dimaknai sesuai makna literalnya, karena pada kenyataannya tidak ada manusia yang bersayap, sehingga harus dita’wil. Secara bahasa kata janah berarti sayap, dimana pada ayat ini kata sayap merupakan ungkapan metaforis untuk menunjukkan keindahan bahasa Al-Quran dan menegaskan bahwa setinggi apapun posisi seseorang, ia tetap harus rendah diri dihadapan kedua orang tuanya.

Macam-Macam Mafhum

al-Qattan dalam Mabahith fi ‘Ulum al-Qur’an (244-246), sebagaimana al-Suyuthi mengklasifikasikan mafhum menjadi dua jenis, yaitu.

Pertama, Mafhum muwafaqah. Yaitu makna tersirat yang hukumnya sama atau sesuai dengan manthuq-nya. Jenis ini terbagi lagi menjadi dua macam,

  1. fahwa al-khitab, yakni ketika makna yang dipahami itu lebih harus diambil hukumnya daripada manthuq. Misalnya pada Qs. Al-Isra [17]: 23,

…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ…

“…maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’…”

Dilalah manthuq pada ayat diatas adalah sekedar larangan untuk berkata ah atau yang semisalnya kepada kedua orang tua, karena bisa menyakiti hati keduanya. Maka dari itu mafhum-nya semua hal yang bisa menyakiti hati kedua orang tua seperti mencaci maki, memukul dan lain sebagainya tentu lebih terlarang daripada sekedar gerutuanah’.

  1. lahn al-khitab, yaitu apabila hukum mafhum sama dengan hukum manthuq-nya. Seperti terdapat pada Qs. Al-Nisa [4]: 10,

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا…

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim…”.

Dari ayat diatas dapat dipahami mafhum-nya bahwa membakar harta anak yatim, menyia-nyiakan atau menghilangkannya dengan cara apapun hukumnya sama haramnya dengan memakan harta anak yatim secara zalim.

Kedua, Mafhum mukhalafah. Yakni jika mafhum atau makna tersirat itu berkebalikan dengan manthuq. Mafhum jenis ini terbagi menjadi empat macam, sebagai berikut.

  1. Mafhum Sifat, misalnya pada firman Allah Qs. Al-Hujurat [49]: 6,

…إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا…

…jika datang kepada kalian orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti…”.

Manthuq-nya adalah perintah untuk melakukan tabayyun pada tiap berita yang dibawa oleh orang fasiq. Lalu mafhum mukhalafah-nya, jika si pembawa berita bukan seorang yang punya sifat fasiq, maka tak wajib tabayyun. Ini oleh sebagian muhaddith dijadikan dalil bolehnya menerima khabar ahad dari perawi yang adil.

  1. Mafhum Syarth, seperti pada Qs. Al-Thalaq [65]: 6 berikut,

…وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ…

…Dan jika mereka (istri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka melahirkan…”.

Baca Juga: Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran

Mafhum mukhalafah-nya, jika istri yang ditalak tersebut tidak hamil, maka tidak wajib memberikannya nafkah terebut -karena syaratnya adalah jika ditalak dalam keadaan hamil-.

  1. Mafhum Ghayah, contohnya pada Qs. Al-Baqarah [2]: 230,

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ…

kemudian jika sang suami mentalaknya (sesudah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain…”.

Mafhum mukhalafah-nya, jika si perempuan telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai lagi, maka perempuan itu halal lagi untuk suaminya yang pertama.

  1. Mafhum Hashr, misalnya terdapat pada Qs. Taha [20]: 98,

إِنَّمَا إِلَٰهُكُمُ اللَّهُ…

Sesungguhnya Tuhanmu hanyalah Allah…”. Pemahaman terbaliknya, segala sesuatu selain Allah bukanlah tuhan yang berhak disembah.

Demikianlah penjelasan tentang Manthuq dan Mafhum sebagaimana diterangkan para ulama ahli Bahasa dan Ulumul Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.