Beranda blog Halaman 311

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 12-15

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 12-15 diturunkan untuk peringatan kepada orang kafir Quraisy yang senantiasa membujuk kaumnya yang beriman agar kembali ke jalan nenek moyangnya. Selain itu Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 12-15 ini menjadi pembuka kisah Nabi yang diawali dari Nabi Nuh.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 9-11


Ayat 12

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 12-15 khususnya pada ayat 12 ini Menurut Mujahid, ayat ini diturunkan untuk mengungkapkan usaha-usaha orang Quraisy membujuk kaumnya yang telah beriman dengan mengatakan, “Kami dan kamu tidak akan dibangkitkan kembali. Oleh karena itu, ikutilah langkah-langkah kami. Andaikata kamu berdosa lantaran pekerjaan ini, kamilah yang memikul dosa itu.”

Berkaitan dengan hal ini, Allah memperingatkan orang-orang beriman bahwa orang-orang kafir itu berdusta. Sebab pada hari Kiamat, tidak ada seorang pun diperkenankan memikul dosa orang lain. Allah menegaskan:

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى ۗوَاِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ اِلٰى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَّلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۗ

Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang dibebani berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul bebannya itu, tidak akan dipikulkan sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fathir/35: 18)

Dan firman Allah:

يُبَصَّرُوْنَهُمْۗ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِيْ مِنْ عَذَابِ يَوْمِىِٕذٍۢ بِبَنِيْهِۙ

Sedang mereka saling melihat. Pada hari itu, orang yang berdosa ingin sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab dengan anak-anaknya. (al-Ma‘arij/70: 11)

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan kembali bahwa mereka itu adalah orang-orang yang bohong. Imam az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa di antara mereka yang mengajak rekan-rekannya berbuat dosa itu terdapat juga orang-orang yang mengaku beragama Islam. Mereka menjanjikan untuk menanggung siksaannya sehingga orang-orang bodoh dan lemah imannya tergoda dengan bujukan dan rayuan halus itu.

Ayat 13

Terhadap ajakan dan bujukan orang-orang kafir itu, Allah menegaskan bahwa tidak ada gunanya bagi diri mereka rayuan-rayuan tersebut. Bujukan tersebut disampaikan dalam usaha mengajak orang lain kepada kekafiran dan kesesatan yang harus mereka tanggung dosanya dan orang yang melakukan karena bujukannya.

Namun orang yang melakukannya sendiri tidak akan berkurang dosanya sekalipun yang mengajaknya lebih dahulu dilipatgandakan siksaannya. Pada ayat ini ditegaskan kembali:

لِيَحْمِلُوْٓا اَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِ ۙوَمِنْ اَوْزَارِ الَّذِيْنَ يُضِلُّوْنَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَزِرُوْنَ ࣖ   ;

(Ucapan mereka) menyebabkan mereka pada hari Kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan sebagian dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan). Ingatlah, alangkah buruknya (dosa) yang mereka pikul itu. (an-Nahl/16: 25)

Dalam sebuah hadis  yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنِ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا (رواه مسلم عن ابى هريرة)

Siapa yang mengajak seseorang kepada petunjuk (Tuhan), ia akan memperoleh pahala sebanyak yang diperoleh oleh orang yang mengamalkan petunjuk itu tanpa dikurangi sedikit pun pahalanya (sampai Kiamat), dan siapa yang mendorong seseorang kepada kesesatan, baginya dosa sebanyak dosa orang yang mengikuti kesesatan itu (sampai hari Kiamat) tanpa dikurangi sedikit pun dosanya. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah).

Pada akhir ayat ini, Allah menegaskan bahwa di hari kemudian kelak mereka akan dimintai pertanggungjawabannya tentang kebohongan yang mereka perbuat di dunia. Kepadanya ditanyakan pertanyaan-pertanyaan dengan nada menghina tentang orang-orang yang telah mereka tipu dengan kebohongannya, sehingga mereka menjadi tersesat.


Baca Juga: Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran


Ayat 14

Kisah para nabi itu dimulai dengan menceritakan riwayat perjuangan Nabi Nuh. Beliau adalah bapak para nabi. Ia berdakwah menyeru kaumnya supaya beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan mempercayai kerasulannya selama sembilan ratus lima puluh tahun. Namun demikian, ia tidak pernah merasa bosan mengajak mereka, baik siang maupun malam.

Kadang-kadang dengan suara yang lemah lembut, tetapi sering juga dengan suara keras menyampaikan ancaman Allah terhadap kekafiran mereka. Akan tetapi usaha beliau tidak kunjung berhasil. Hanya segelintir saja di antara mereka yang mau beriman. Selebihnya menolak dan mendustakan beliau.

Oleh karena itu, Allah menyiksa mereka. Dikirimlah siksaan yang disebut “Topan Nabi Nuh”, yakni berupa banjir yang menenggelamkan mereka semua. Tidak seorang pun yang selamat dari siksaan Allah itu kecuali orang yang beriman yang ikut dalam bahtera Nuh.

Al-Hakim meriwayatkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: بَعَثَ اللهُ نُوْحًا َوهُوَ ابْنُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً وَلَبِثَ  فِى قَوْمِهِ اَلْفَ سَنَةٍ إِلاَّ خَمْسِيْنَ عَامًا يَدْعُوهُمْ اِلَى اللهِ وَعَاشَ بَعْدَ الطَّوْفَانِ سِتِّيْنَ سَنَةً حَتَّى كَثُرَ النَّاسُ وَفَشَوْا (رواه الحاكم)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ia berkata, “Allah mengutus Nabi Nuh ketika usia 40 tahun dan berdakwah pada kaumnya selama 950 tahun menyeru mereka untuk mengikuti agama Allah dan Nabi Nuh hidup setelah banjir (topan) selama 60 tahun, sehingga jumlah manusia menjadi banyak dan tersebar. (Riwayat al-Hakim);

Ayat 15

Allah menyelamatkan Nuh dan para pengikutnya dengan sebuah perahu yang telah dibuatnya. Adanya bahtera Nabi Nuh menjadi contoh dan pengajaran bagi orang sesudahnya, karena ia terdampar masih dalam keadaan utuh di sebuah bukit yang bernama Bukit Judi.

Perahu Nabi Nuh sampai beberapa lama masih dapat disaksikan oleh orang yang berkunjung ke sana dalam keadaan utuh. Hal ini menyadarkan orang kepada nikmat Allah yang diturunkan-Nya kepada orang beriman dengan menyelamatkan mereka dari bahaya banjir. Hal demikian dinyatakan dalam ayat lain yang berbunyi:

اِنَّا لَمَّا طَغَا الْمَاۤءُ حَمَلْنٰكُمْ فِى الْجَارِيَةِۙ  ١١  لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَّتَعِيَهَآ اُذُنٌ وَّاعِيَةٌ   ١٢

Sesungguhnya ketika air naik (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal. Agar Kami jadikan (peristiwa itu) sebagai peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar. (al-Haqqah/69: 11-12)

Pelajaran yang dapat dipetik dari kisah di atas ialah bahwa para rasul sesudah Nuh tidak perlu merasa sedih karena keingkaran kaumnya menerima kebenaran wahyu yang dibawanya. Siksaan dan halangan dari kaum kafir dan musyrik yang tidak senang kepada Islam merupakan peringatan bagi orang yang beriman bahwa sekalipun orang-orang musyrik itu menyiksa dan menyakiti mereka di dunia, namun pada akhirnya semuanya akan kembali juga kepada Tuhan.

Orang-orang musyrik itu kembali dengan menemui malapetaka dan kesengsaraan dalam neraka yang menyala-nyala, sedang orang beriman dan sabar dalam menghadapi penderitaan itu kembali ke tempat yang mulia dengan penuh pertolongan Allah.

Demikianlah pelajaran dari kisah Nabi Nuh. Orang kafir yang selama ini menyakiti Nuh dan kaumnya pada akhirnya ditenggelamkan Tuhan dengan banjir, tetapi orang beriman bersama Nuh selamat, berlayar di atas kapal.

Kesabaran Nuh berdakwah dalam masa yang lama itu hendaknya dijadikan pelajaran bagi setiap juru dakwah. Bahkan, seharusnya kita yang lebih besar memiliki rasa kesabaran dari Nuh, sebab umur dan usia kita berdakwah tidaklah sepanjang usia Nabi Nuh.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 16-20


Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an: Riwayat, Ilmu Qira’ah dan Tajwid

0
Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an
Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an

Pada salah satu tulisan yang berjudul Menjawab Kritik Ignaz Goldziher atas Relasi Qira’ah dan Rasm, penulis sempat menyinggung istilah sunnah muttaba‘ah dalam akar tradisi qira’ah Al-Qur’an. Istilah ini merujuk dari counter ‘Abd al-Fattah Isma‘il Syalabiy dalam Rasm al-Mushaf al-‘Utsmaniy terhadap kritik historis Ignaz Goldziher atas ketidakserasian dan ketidakseragaman Al-Qur’an dalam narasi-narasinya.

Berkaitan dengan istilah sunnah muttaba‘ah ini, sudahkah pembaca mengetahui dan memahaminya? Jika belum, mari kita kaji bersama-sama.

Selain pada ulasan Syalabiy dalam Rasm al-Mushaf al-‘Utsmaniy, pembaca akan banyak menjumpai istilah sunnah muttaba‘ah atau redaksi lain yang semakna ketika menelaah misalnya, Munjid al-Muqri’in karya Ibn al-Jazariy, Al-Itqan karya Al-Suyuthiy, Manahil al-‘Irfan karya Al-Zarqaniy, atau karya ilmu Al-Qur’an lain seperti Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an karya Manna‘ Khalil al-Qaththan. Oleh para ulama dan pakar Al-Qur’an, redaksi-redaksi semacam ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menjelaskan arti penting sebuah riwayat dalam bacaan Al-Qur’an.

Baca juga: Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

Kisah Terjadinya Konsep Sunnah Muttaba’ah

Kemudian untuk konsep sunnah muttaba‘ah sendiri dapat ditelusuri dari cerita-cerita penisbatan bacaan Al-Qur’an para sahabat dan tabi‘in. Seperti diantaranya riwayat Mas‘ud bin Yazid al-Kindiy,

كَانَ ابْنُ مَسْعُودٍ يُقْرِئُ رَجُلًا فَقَرَأَ الرَّجُلُ: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} مُرْسَلَةً فَقَالَ ابْنُ مَسْعُودٍ: مَا هَكَذَا أَقْرَأَنِيهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: كَيْفَ أَقْرَأَكَهَا يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ؟ فَقَالَ: أَقْرَأَنِيهَا: {إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ} فَمَدَّ

“Ibn Mas‘ud pernah membacakan (mengajarkan Al-Qur’an) kepada seseorang, kemudian seseorang tadi membaca “Inama al-shadaqat li al-fuqara’ wa al-masakin” dengan bacaan irsal pada kata “al-fuqara”. Ibn Mas‘ud lantas menegurnya, “Tidak demikian Rasulullah Saw. membacakannya untukku.” Seseorang tadi kemudian bertanya, “Lalu seperti apa?” Ibn Mas‘ud menjawab, “Rasulullah Saw. membacakannya untukku dengan madd”

Atas riwayat Al-Kindiy ini, Muhsin Salim dalam Pengembangan Pembelajaran Ilmu Tajwid di Lembaga Pendidikan Islam Indonesia (Evaluasi dan Gagasan) mengungkapkan bahwa baik bacaan irsal atau madd pada kata li al-fuqara’, sebenarnya tidak memberikan pengaruh pada perbedaan arti. Namun sekali lagi, karena qira’ah adalah bagian dari sunnah muttaba‘ah, maka seorang murid harus mengikuti cara yang diajarkan oleh gurunya.

Mengapa riwayat menjadi sangat penting dalam qira’ah? Karena dalam qira’ah, siapa saja dituntut untuk sedapat mungkin menghadirkan kualitas bacaan yang sama sebagaimana Rasulullah Saw. dulu melakukannya.

Baca juga: Penjelasan Mufasir Terkait Sujud Kepada Selain Allah dalam Al-Quran

Istilah menghadirkan kembali qira’ah Rasulullah Saw. sejatinya adalah sebuah esensi dari aktifitas pembacaan Al-Qur’an. Sehingga dalam beberapa warning yang diberikan para ulama dan pakar, manakala seseorang tidak mampu memenuhi kualifikasi ini, ia tergolong mendustakan Rasulullah Saw. dan neraka adalah tempat baginya. Berikut Hadis riwayat dari Imam Bukhori:

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta terhadapku maka hendaklah ia persiapkan tempatnya di neraka.” (HR. Bukhari)

Namun demikian, para ulama dan pakar Al-Qur’an memahami bahwa berpegang pada riwayat semata mungkin dirasa sulit bagi beberapa kalangan. Apalagi mereka yang bukan Arabic native speaker. Maka kemudian, esensi dari qira’ah Rasulullah Saw. ini diejawantahkan dalam beberapa disiplin ilmu yang kemudian dikenal dengan ilmu qira’ah dan ilmu tajwid. Dan karena keduanya mampu merepresentasikan kembali kualitas qira’ah Rasulullah, maka mempelajari dan mengaplikasikan keduanya adalah wajib.

Pengejawantahan konsep sunnah muttaba‘ah ini juga menjelaskan tentang kedekatan hubungan yang dimiliki antara ilmu qira’ah dan tajwid. Untuk perbedaan qira’iah dan tajwid sudah tertulis pada tulisan Zainal Abidin dalam judul Qiraat dan Tajwid Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?, tulisan tersebut dijelaskan bahwa qira’ah fokus pada pengucapan lafaz, kalimat dan dialek. Sementara tajwid lebih kepada kesesuaian huruf-huruf Al-Qur’an dengan makhraj dan sifah-nya, untuk perbedaan-perbedaan lainnya sudah disebutkan pada tulisan tersebut.

Baca juga: Surah an-Nisa [4] Ayat 31: Perintah Menjauhi Dosa Besar

Sehingga, tidak mudah untuk benar-benar memberikan Al-Qur’an hak-haknya sebagaimana mestinya. Tetapi bukan tidak mungkin untuk melakukannya. Jika demikian, lantas langkah apa yang harus ditempuh selain menguasai disiplin ilmu qira’ah dan tajwid? InsyaAllah akan diulas dalam part selanjutnya. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Usamah Al-Azhari: Peringatan Keras Memahami Al-Quran Tanpa Ilmu

0
Usamah Al-Azhari_peringatan keras memahami Al-Quran tanpa ilmu
Usamah Al-Azhari_peringatan keras memahami Al-Quran tanpa ilmu

Etika sangat dibutuhkan dalam segala hal, termasuk ketika berinteraksi dengan Al-Quran, dalam menaruh, membaca dan memahami firman-firman Allah di dalamnya. Munculnya fenomena ekstremisme di tengah masyarakat sebabnya adalah dangkalnya pemahaman kelompok tertentu terhadap teks-teks agama, bahkan memahami Al-Quran tanpa ilmu. Hal ini sangat tercela, dan telah mendapat peringatan keras bagi pelakunya sebagaimana dijelaskan Usamah Al-Azhari dalam kitabnya yang berjudul Al-Fam al-Munir.

Al-Quran al-Karim mempunyai kemuliaan dan kehormatan yang tinggi. Ia merupakan wahyu  Allah swt yang di dalamnya tedapat hidayah bagi hamba-hamba-Nya dan pentujuk bagi makhluk-Nya. Allah menurunkannya dengan bahasa Arab yang jelas, dan yang dapat memahaminya hanyalah orang yang mengerti bahasa Arab dan menguasai cabang-cabang keilmuannya.

Baca Juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya

Memahami Al-Quran Tanpa Ilmu Menyalahi Etika Belajar Al-Quran

Al-Quran diturunkan untuk menjadi pedoman manusia dalam  kebaikan, kemuliaan, serta mengajak untuk berakhlak luhur dan jalan yang lurus. Allah swt. telah memerintahkan kepada kita agar beretika dalam memahami Al-Quran dan isthinbat hukum di dalamnya. Disebutkan di dalam (QS. an-Nisa’ 4: 83):

وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَه مِنْهُمْ

Artinya: “… (padahal) apabila mereka menyerahkan kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tntulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”.

Sebagaimana dijelaskan Usamah Al-Azhari, pada ayat tersebut Allah swt menjadikan pemahaman terhadap Al-Quran, penafsiran, analisa dan istinbath hukum-hukum yang terkandung di dalamnya terikat oleh metode yang berlaku dan beberapa bidang keilmuan tertentu. Yang mana demikian merupakan tugas dan tanggungjawab para ulama yang sudah mempunyai kapabilitas keilmuan.

Maka bagi siapapun yang tidak berilmu tidaklah pantas  berbicara tentang kandungan Al-Quran. Rasulullah saw. telah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:

عن ابن عَبَّاسٍ، رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “‏مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ‏”‏‏.‏

“barang siapa yang berbicara tentang Al-Quran tanpa ilmu, maka hendaknya bersiaplah menyediakan tempat di Neraka”. (HR. At-Tirmidzi).

Baca Juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran

Secara hukum, Imam An-Nawawi yang mendapat julukan sebagai Muharrir Madzhab syafi’i  dalam kitabnya At-Tibyan fiy Adabi Hamalatil Qur’an (190)  menegaskan haramnya menafsiri Al-Quran tanpa ilmu. Dasar hukum ini diambil dari konsensus  para ulama (Ijma’).

Memahami kandungan makna-makna di dalam Al-Quran merupakan pekerjaan yang memerlukan kejelian dan mempunyai posisi yang sangat terhormat, karena seseorang yang sibuk memahami kandungan Al-Quran berarti ia sedang meneliti apa yang menjadi kehendak Allah dari firman-firmanNya. Sehingga dalam memahaminya dibutuhkan ilmu-ilmu alat yang jeli-detail sebagai media untuk dapat membantu memahaminya.

Termasuk rumpun ilmu pengetahuan terpenting dalam hal ini adalah Ilm Ushul  Fiqh, Ulum al-Balaghah, Ilm Ushul Tafsir dan ilmu-ilmu penting lainya seperti yang diulas Prof. Hasan Hasan Hitou dalam karya Usul Fiqhnya. (Al-Wajiz, Hasan Hitou, 346). As-Suyuthi dalam Al-Itqan-nya pun menjelaskan hal ini.

Az-Zarqani dalam Manahil Al-Irfan juga menyetujui hal ini, namun ia tampak lebih ‘manusiawi’ dengan menambah catatan bahwa menafsirkan dan memahami Al-Quran itu dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing seseorang. Namun tetap diingat, memahami Al-Quran tanpa ilmu sangat berbeda dengan memahami Al-Quran –dengan ilmu- sesuai kadar keilmuannya.

Maka dari itu, dahulu para ulama begitu mengagungkan pembicaraan tentang Al-Quran dan penafsirannya. Sehingga Ubaidillah bin Umar pun berkata: “sungguh kami menjumpai para ahli fiqih Madinah dan mereka betul-betul menganggap pembahasan tentang penafsiran Al-Quran adalah suatu perkara yang besar”.  (Jamiul Bayan, At-Thabari 1/79).

Baca Juga: Simak Ini untuk Belajar Memaklumi Perbedaan Tafsir Al-Quran!

Menurut Usamah Al-Azhari, sikap terbaik bagi kita terhadap Al-Quran adalah berusaha semaksimal mungkin untuk memuliakannya, termasuk dengan menjelaskan makna-makna luhur yang terkandung di dalamnya. Sehingga Al-Quran dapat menjadi pedoman hidup bagi siapapun dan orang-orang dapat terhindar dari penafsiran Al-Quran yang bersifat instan dan menyesatkan. Yakni sebagaimana kelompok-kelompok radikal yang menafsiri Al-Quran hanya demi untuk menopang pemikiran dan memenuhi hawa nafsu mereka belaka.

Hasilnya bisa ditebak, produk mereka yang memahami Al-Quran tanpa ilmu adalah pemahaman-pemahaman yang aneh dan sesat. Al-Quran yang membawa misi kasih sayang bagi seluruh semesta akan terasa kebalikannya, yaitu menebarkan permusuhan, pertikaian bahkan pembunuhan. Alasan inilah yang dikawatirkan oleh para ulama.

Wallahu A’lam

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 9-11

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 9-11 khususnya ayat 10 berkaitan dengan ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah di mana pada mulanya ia telah masuk Islam kemudian berhijrah ke Medinah, namun ia mendapat siksaan hingga akhirnya ia kembali menjadi murtad. Dijelaskan dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 9-11 ini bahwa siksaan Allah tidak dapat dihindari sedangkan siksaan manusia karena keimanan merupakan ujian bagi orang beriman. Akhirnya di dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 9-11 ini dikisahkan kembali bahwa ‘Ayyasy kembali beriman.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 7-8


Ayat 9

Kemudian ditegaskan kembali kedudukan orang-orang yang beriman dan berbuat baik serta orang yang senantiasa menyucikan jiwanya. Mereka akan dimasukkan dalam kelompok orang-orang saleh, dan ditempatkan dalam surga “Jannatun na‘im”.

Allah memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang saleh sebagai ganjaran yang dianugerahkan kepada siapa saja yang memilih untuk mengindahkan perintah Allah dan rasul-Nya daripada perintah orang tua yang bersifat kedurhakaan.

Keengganan anak mengikuti perintah orang tuanya pasti mengakibatkan kekeruhan hubungan antara kedua pihak. Untuk itu, Allah menjanjikan kepada sang anak bahwa ia akan diberi ganti yang lebih baik, yaitu akan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang saleh.

Ash-Salihin di sini maksudnya adalah kelompok orang-orang yang sangat berbakti kepada Allah dan yang bergabung dengan kelompok para nabi dan lain-lain, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah dalam Surah an-Nisa’/4: 69:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pencinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (an-Nisa’/4: 69)

Ayat 10

Menurut riwayat, ayat-ayat ini diturunkan berkaitan dengan peristiwa yang terjadi pada seseorang yang bernama ‘Ayyasy bin Abi Rabi‘ah di mana pada mulanya ia telah masuk Islam kemudian berhijrah ke Medinah. Akan tetapi, karena keislamannya itu, ia mengalami berbagai macam siksaan.

Karena tidak tahan lagi, ia kembali murtad dan kembali menjadi musyrik. Orang yang menyiksanya adalah tokoh kafir Quraisy bernama Abu Jahal dan al-Harits. Keduanya adalah pamannya sendiri (adik kandung ibunya). Akhirnya ‘Ayyasy masuk Islam kembali dan menjadi muslim yang baik.

Ayat ini menerangkan keadaan seseorang yang mengaku beriman kepada Allah dan mengikrarkan dengan lidah tentang keesaan-Nya. Akan tetapi, bila ia difitnah atau disiksa oleh orang musyrik yang tidak senang dengan keislamannya, ia menganggap bahwa fitnah yang berupa cobaan dan siksaan dari orang lain itu sama saja dengan azab dari Tuhan di akhirat. Oleh karena itu, daripada mengalami siksaan terus-menerus, lebih baik ia kembali lagi kepada agama berhala (murtad).

Sebenarnya kalau ia sungguh-sungguh beriman, tentu ia bersabar atas cobaan tersebut, dan menenteramkan hatinya dengan keimanan yang ber-sarang dalam dadanya. Namun demikian, cobaan tersebut justru memalingkan hatinya dari beriman kepada Allah, sebagaimana azab Allah memalingkan seseorang dari kekafirannya.

Ia menyangka siksaan dari manusia tidak dapat dihindarkan, sedang azab Allah di akhirat bisa saja dihindari. Dalam ayat lain disebutkan lagi:

;وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ِۨاطْمَئَنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ِۨانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ

Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata. (al-Hajj/22: 11)

Jika pertolongan Allah didatangkan kepada orang-orang mukmin yang sedang berjuang, maka golongan yang masih ragu-ragu dengan kebenaran Islam itu pura-pura menjadi sahabat yang baik dan mengatakan, “Kami selalu bersamamu sebagai saudara-saudara seagama, dan kami akan menolongmu dalam menghadapi musuh.”

Apa yang mereka ucapkan itu tidak lain hanyalah sekadar ucapan mulut mereka saja. Sebab mereka telah berdusta dengan apa yang telah mereka dakwakan. Keterangan ayat lain menegaskan:

ۨالَّذِيْنَ يَتَرَبَّصُوْنَ بِكُمْۗ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّٰهِ قَالُوْٓا اَلَمْ نَكُنْ مَّعَكُمْ ۖ وَاِنْ كَانَ لِلْكٰفِرِيْنَ نَصِيْبٌ قَالُوْٓا اَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُمْ مِّنَ الْمُؤْمِنِيْنَ ۗ فَاللّٰهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَلَنْ يَّجْعَلَ اللّٰهُ لِلْكٰفِرِيْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ سَبِيْلًا ࣖ

(yaitu) orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu. Apabila kamu mendapat kemenangan dari Allah mereka berkata, “Bukankah kami (turut berperang) bersama kamu?” Dan jika orang kafir mendapat bagian, mereka berkata, “Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang mukmin?” Maka Allah akan memberi keputusan di antara kamu pada hari Kiamat. Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman. (an-Nisa’/4: 141)

Ayat 11

Allah memperingatkan sikap orang-orang yang demikian dan menegaskan bahwa Dia mengetahui segala sesuatu yang tergores dalam hati mereka. Tidak ada sedikit pun yang tersembunyi.

Ringkasnya orang-orang munafik tersebut telah diketahui Allah bagaimana hati mereka yang sebenarnya sekalipun mereka senantiasa menyatakan imannya. Allah tidak mungkin dapat mereka tipu dengan cara demikian.

Fitnah dalam bentuk cobaan dan siksaan tersebut tidak lain hanyalah untuk menyisihkan orang-orang yang beriman, siapa yang sungguh-sungguh murni keyakinannya dan siapa pula yang berjiwa munafik (hipokrit).

Orang yang betul-betul beriman akan menaati Allah dalam segala keadaan dan situasi. Mereka yang tabah dan sabar menghadapi penderitaan akan memperoleh kemenangan dan pahala yang setimpal dari Allah.

Sebaliknya, orang munafik kembali akan mendurhakai-Nya bila sedang ditimpa cobaan atau ketika merasakan beban dan kewajiban yang dipikulkan sangat memberatkan, sehingga hati mereka tidak tahan mengerjakannya. Keterangan selanjutnya dapat dilihat pada ayat 12 surah ini, dan pada ayat:

مَا كَانَ اللّٰهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلٰى مَآ اَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتّٰى يَمِيْزَ الْخَبِيْثَ مِنَ الطَّيِّبِ ۗ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلٰكِنَّ اللّٰهَ يَجْتَبِيْ مِنْ رُّسُلِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ ۖ فَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖ ۚ وَاِنْ تُؤْمِنُوْا وَتَتَّقُوْا فَلَكُمْ اَجْرٌ عَظِيْمٌ

Allah tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik. Allah tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, tetapi Allah memilih siapa yang Dia kehendaki di antara rasul-rasul-Nya. Oleh karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Jika kamu beriman dan bertakwa, maka kamu akan mendapat pahala yang besar.(Ali ‘Imran/3:179)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 12-15


Misykat Al-Anwar: Tafsir Ayat Cahaya dalam Perspektif Al-Ghazali

0
Misykat Al-Anwar
Misykat Al-Anwar, Tafsir Ayat Cahaya Menurut Al-Ghazali

Cahaya bagi al-Ghazali mempunyai makna tersendiri yang lebih esoterik. Istilah yang ada dalam Q.S. al-Nur [24]: 35 dipahami sebagai daya-daya jiwa yang dimiliki manusia seperti indera (hissi), akal (‘aql), imajinasi, daya berfikir (burhan), dan intuisi (‘irfan). Menurut al-Ghazali, melalui daya-daya ini Allah swt membimbing manusia menuju “Cahaya Yang Hakiki”.

Lantas, bagaimana pemaknaan al-Ghazali terhadap term cahaya dalam Q.S. al-Nur [24]: 35 dan mengapa al-Ghazali mempunyai pemaknaan tersendiri yang esoterik ketimbang mufassir lainnya. Simak pembahasannya di bawah ini.

Misykat Al-Anwar

اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌۗ اَلْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍۙ يَّكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْۤءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُۗ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ

Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Nur [24]: 35)

Baca Juga: Inilah Tiga Istilah Cahaya dalam Al-Quran

Sebelum masuk lebih dalam penafsiran al-Ghazali, ada baiknya kita mengulas sedikit Misykat al-Anwar fi Tauhid al-Jabbar yang menjadi rujukan dalam penafsiran ayat di atas. Karya ini merupakan karya paling metafisis di mana al-Ghazali menuangkan penafsirannya yang paling esoterik, filosofis dan bahkan radikal sebagaimana disampaikan Salahuddin dalam Tafsir Ayat Cahaya.

Al-Ghazali, melalui Misykat-nya, telah merintis teori filosofis iluminasionis (nadhariyyah al-falsafiyyah al-‘isyraqiyyah) sebelum al-Suhrawardi. Meski al-Suhrawardi, Syekh al-Isyraqi ini mengembangkan mazhab ini dalam bentuk yang lebih sempurna, namun tidak dapat dipungkiri al-Ghazali telah menginspirasinya.

Tak kalah menterengnya dengan maha karyanya, Ihya, Misykat al-Anwar dipakai sebagai entry point oleh mayoritas sufi untuk mengembangkan aliran teosofi dalam Islam, terutama Suhrawardi al-Maqtul dalam mengorkestrasikan teori-teori cahayanya melalui hikmah al-isyraq-nya. Hal ini dituturkan Annemarie Schimmel dalam Mystical Dimension of Islam.

Cahaya Menurut Al-Ghazali

Al-Ghazali melalui Misykat al-Anwarnya membagi penafsiran ayat di atas dalam lima klaster term, yaitu misykat, misbah, zujajah, syajarah mubarakah, zaitun, dan nur ‘ala nur. Cahaya, demikian kata al-Ghazali, memiliki beberapa gradasi dan istilah yang di mana tingkatan cahaya tersebut menggambarkan daya-daya potensi yang dimiliki manusia untuk sampai kepada “Cahaya Yang Hakiki”. Berikut ulasan lebih lengkap keenam term cahaya tersebut di bawah ini.

Nur

Jika merujuk pada pembahasan yang lalu, nur bermakna cahaya yang indah (light of beauty) seperti yang dibahasakan Abdullah Yusuf Ali dalam Holy Quran: Text, Translation, and Commentary. Al-Ghazali dalam Misykat al-Anwar menuturkan bahwa ungkapan Allahu nur al-samawat wal ardhi ialah,

مثيله ذلك بالمشكاة والزجاجة والمصباح والزيت والشجرة، مع قوله عليه السلام إن لله سبعين حجابا من نور وظلمة وأنه لو كشفها لأحرقت سبحات وجهه كل من أدركه بصره

“Adalah perumpamaan dengan misykat, al-zujajah, al-mishbah, al-zait dan al-syajarah, sebagaimana disabdakan ‘alaihi al-salam, “Sesungguhnya Allah swt memiliki tujuh puluh hijab baik yang terang maupun yang gelap, andaikan Dia membuka hijab itu tentu siapapun yang melihatnya akan terbakar”.

Artinya bahwa Allah lah satu-satunya yang bisa disebut cahaya (nur) dalam arti yang hakikatnya, Allah adalah unik dan tidak ada yang serupa dengan-Nya (mukhalafah lil hawadits). Adapun cahaya-cahay yang lain dapat disebut secara majazi (kiasan). Cahaya selain Alllah adalah pinjama (ista’ara), dan karena itu bukan wujud pada diri-Nya, melainkan wujud karena yang lain.

Misykat

Istilah kedua, yaitu misykat. Para ulama ahli takwil berbeda pendapat mendefinisikan misykat. Ada yang berkata misykat adalah al-zujajah, dan ada pula yang mengatakan suatu lubang yang tidak tembus (kullu kuwwatin la munfidzu laha) seperti yang disampaikan al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan. Al-Ghazali menafsirkan misykat dengan daya-daya inderawi (al-ruhh al-hissi), karena jika ditilik lebih jauh maka akan didapati cahaya yang keluar dari berbagai lubang, seperti dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, dan lain-lain.

Menurutnya, tamsil (perumpamaan) yang relevan dengan daya spiritual di dunia ini adalah misykat. Sebab daya ini mampu menangkap apa yang dipancarkan oleh panca indera (hissi) dan karena inilah manusia mampu mengetahui sesuatu.

Misbah

Istilah ketiga, yaitu misbah. Al-Tabari memaknai misbah dengan cahaya iman dan Al-Quran yang bersemayam dalam dada manusia (al-quran wal iman al-ladzi ja’ala fi shadrihi). Namun, al-Ghazali dalam Misykat-nya mengumpamakannya dengan al-ruh al-‘aqli (daya rasional). Melalui daya ini, ilmu pengetahuan dan pengetahuan ilahi dapat terjangkau.

Perumpamaan daya al-misbah dengan ‘aqliah menemukan relevansinya karena dapat menyemaikan cahayanya yang terang ke seantero dunia, sebagaimana cahaya matahari menyinari seluruh dunia sehingga ia disebut al-siraj al-munir (lampu-lampu yang memberi cahaya).

Zujajah

Zujajah bermakna kaca, artinya memiliki daya yang oleh al-Ghazali disebut al-ruh al-khayali (daya imaginasi). Daya imajinasi bak seperti kaca. Karena daya ini masih mempunyai keterkaitan dengan atau yang berasal dari, misalnya materi dunia yang memiliki ruang, waktu, ukuran dan jaraknya sendiri.

Daya ini juga perlu dipoles, dimurnikan, ditempa sehingga setara degan makna-makna atau titik-titik rasional yang mengarah pada cahaya mereka. Imajinasi yang sampai pada tataran ini tidak akan menghalangi cahaya al-misbah (daya rasional), justru semakin mempertajam daya ini sampai kepada-Nya.

Syajarah Mubarakah (Pohon yang diberkati)

Dalam Misykat al-Anwar, al-Ghazali menyamakannya dengan jiwa reflektif (al-ruh al-fikri), seperti pohon. Jiwa ini diawali dari sebatang akar, lalu muncul batang, kemudian cabang, dan ranting-ranting lalu bercabang seterusnya sehingga cabang-cabang ilmu rasional menjadi tumpah ruah seakan tak habisnya dikaji.

Namun ada satu cabang yang disebut syajarah mubarakah, yaitu zaitun. Bagi al-Ghazali, pohon zaitun memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu buahnya mampu diolah menjadi minyak zaitun yang dapat dijadikan minyak bagi lampu. Adapun mubarakah (yang diberkati) adalah sebab masyarakat Arab kerapkali menambatkan hewan peliharaannya di bawah pohon yang lebat akan buahnya maka mereka menyebutnya mubarakah (yang diberkati)).

Adapun redaksi la syarqiyyatan wa la gharbiyyatan (tidak di Timur dan juga Barat), al-Ghazali memaknainya dengan pemikiran-pemikiran murni rasional tidak bisa dijustifikasi benar tepat salahnya hanya dengan satu aspek atau satu sudut pandang, karena ia tidak memiliki “arah” yang tepat. Karena itu tidak pantas jika disebut Timur atau Barat, itu sungguh tidak tepat.

Zaitun

Terakhir, al-Ghazali menyebut cahaya dengan zaitun. Zaitun ini sangat istimewa ia akan menyala meskipun tidak disentuh api (yakadu zaituha yudhi’u walau lam tamsashu nar).  Zaitun juga merujuk, kata al-Ghazali, pada daya nubuwwah (kenabian), artinya meskipun nabi dibenci, dicekal ketika berdakwah bahkan mendapat siksaaan, ia tetap berperan sebagai lentera di tengah kegelapan sekalipun tidak ada yang menjunjungnya. Karena Allah telah menakdirkannya sebagai penerang (lampu).

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 35: Allah Sang Maha Cahaya

Begitu kokohnya keimanan mereka sehingga di antara para wali, menurut al-Ghazali ada yang cahayanya bersinar sedemikian terang sehingga bisa terlepas dari bantuan materi. Namun, jika “minyak” zaitun itu disulut api, maka inilah yang disebut dalam ayat di atas “nur ‘ala nur” (cahaya di atas cahaya).

Penutup

Dari penafsiran al-Ghazali di atas tampak jelas bahwa Allah akan membimbing manusia dengan cahaya-Nya siapapun yang dikehendaki-Nya. Bimbingan itu tidak hanya berupa agama saja, melainkan daya-daya yang dimiliki manusia seperti indera, akal, imajinasi, daya berfikir, daya reflektif dan intuisi. Kesemuanya itu adalah wasilah (perantara) untuk sampai kepada “Cahaya Yang Hakiki” yaitu Allah swt.

Mulyadhi Kartanegara dalam bukunya, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam mengatakan bahwa daya-daya yang disampaikan al-Ghazali sejatinya merupakan tool atau sumber-sumber pengetahuan (epistemologi) dalam Islam. Karenanya, jika ingin sampai kepada Allah (wushul ilallah), maka kita sebagai manusia harus mampu mengoptimalkan daya-daya tersebut dengan sebaik-baiknya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 7-8

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 7-8 merupakan perintah Allah untuk berbuat baik kepada kedua orangtua. Dalam Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 7-8 ini dijelaskan bahwa berkata “ah” saja kepada kedua orangtua sudah termasuk dosa apalagi berbuat yang lebih dari itu.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6


Ayat 7

Kemudian Allah menjelaskan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dengan keimanan yang benar walaupun diuji dengan berbagai cobaan, ia tidak berbalik kepada kekafiran (murtad).

Begitu juga ketika mengalami penderitaan dalam berhadapan dengan orang-orang musyrik, dia tetap mengerjakan segala kewajibannya, menjauhi segala larangan, mempertinggi ketakwaan, menolong orang yang sedang kesusahan, membela orang teraniaya, mempertahankan dan membela negara dari serangan musuh, dan bekerja sama satu sama lain.

Mereka itu mendapat ganjaran dari Allah berupa ampunan dari semua dosa dan kesalahan mereka yang telah lalu. Semua itu merupakan sebab pelipatgandaan pahala yang diberikan Allah menjadi sepuluh kali lipat.

Allah berfirman:

مَنْ جَاۤءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهٗ عَشْرُ اَمْثَالِهَا ۚوَمَنْ جَاۤءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزٰٓى اِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya. Dan barang siapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya. Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi). (al-An‘am/6: 160)

Ayat 8

Allah memerintahkan manusia berbuat baik kepada orang tua (ibu bapak). Jalan berbuat baik itu ialah dengan memberi nafkah (belanja), memelihara, dan menghormati keduanya dengan penuh kasih sayang, kecuali apabila keduanya mengajak kepada perbuatan syirik. Jadi, batas berbuat baik itu ialah sepanjang hal-hal yang diperintahkan tidak menyangkut kepada perbuatan yang mengandung unsur syirik.

Dalam ayat lain disebutkan pula:

وَقَضٰى رَبُّكَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسٰنًاۗ اِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ اَحَدُهُمَآ اَوْ كِلٰهُمَا فَلَا تَقُلْ لَّهُمَآ اُفٍّ وَّلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيْمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. (al-Isra’/17: 23) ;

Keterangan yang hampir sama maksudnya diperoleh pula dalam ayat:

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ  قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.” (al-Ahqaf/46: 15)

Untuk memperoleh pengertian yang menyeluruh dari arti yang didapat pada ayat di atas, bisa diperhatikan keterangan Allah dalam ayat di bawah ini:

 وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْن وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ  ١٤  وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ  ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ  ١٥

Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian hanya kepada-Ku tempat kembalimu, maka akan Aku beritahukan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman/31: 14-15)

Mengenai larangan taat kepada makhluk dalam berbuat maksiat disebutkan dalam hadis sahih, yakni:

لَاطَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِى مَعْصِيَةِ الخَالِقِ (رواه أحمد عن عليّ بن أبي طالب)

Tidak boleh taat kepada makhluk (manusia) dalam mendurhakai Tuhan (Khaliq). (Riwayat Ahmad dari Ali bin Abi Thalib)

Maksud perkataan “sesuatu yang tidak engkau ketahui” dalam ayat tersebut ialah tidak adanya pengetahuan tentang soal-soal ketuhanan atau ilahiyah. Dengan kata lain tidak dibenarkan taat mengikuti seseorang, sepanjang tidak diketahui tentang soal yang diikuti itu.

Oleh sebab itu, tidak boleh mencontoh sesuatu yang sudah jelas kekeliruannya. Selanjutnya dikatakan semua manusia akan kembali kepada Allah pada hari Kiamat, baik yang kafir maupun yang mukmin, baik yang berbuat baik kepada orang tuanya maupun yang durhaka. Semua amal yang dikerjakan di dunia, akan dibalas oleh Allah, yang berbuat baik dibalas dengan kebaikan, dan yang berbuat jahat dibalas dengan kejahatan pula.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 9-11


Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6 Allah mempertanyakan apakah masih ada golongan manusia yang berprasangka perbuatan jahatnya dapat melemahkan Allah? Sedangkan kelak di akhirat mereka akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya. Selain itu Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6 juga mengulas konsep jihad. Selengkapnya Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6……..


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 1-3


Ayat 4

Seterusnya Allah memperingatkan, apakah masih ada segolongan manusia yang berprasangka bahwa orang-orang yang masih mengerjakan perbuatan jahat itu akan sanggup melemahkan Allah, sehingga Dia tidak kuasa mendatangkan balasan yang sebanding dengan perbuatannya. Apakah belum berlaku lagi ketetapan Tuhan bagi orang-orang zalim sebelumnya, di mana mereka telah disiksa dengan siksaan yang setimpal dengan kesalahan mereka?

Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini turun sebagai kecaman kepada sejumlah tokoh musyrikin Mekah yang menganggap bahwa apa saja yang mereka kerjakan, tidak ada yang sanggup membalasnya. Mereka itu adalah al-Walid bin al-Mugirah, Abu Jahal, al-Aswad, al-’Ash bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, al-Walid bin ‘Utbah, ‘Utbah bin Abi Mu’aith, Hanzalah bin Abu Sufyan, dan al-’Ash bin Wa’il.

Sesungguhnya pikiran yang demikian adalah keliru dan tidak benar. Allah tidak menjadikan sesuatu itu sia-sia. Dia menguji dan mendidik manusia dengan berbagai macam pengajaran, dengan maksud agar mereka memperoleh nur Ilahi yang terang benderang.

Ayat 5

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6 khususnya pada Ayat ini menjelaskan bahwa orang yang sangat menginginkan untuk bertemu dengan Allah dan memperoleh balasan amal dari-Nya di hari Kiamat, sepatutnya beramal dan menjauhi segala larangan yang mungkin menimbulkan kemurkaan-Nya. Sebab balasan untuk amal seseorang pasti akan datang.

Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui niat dan amal seseorang. Oleh karena itu, ayat ini merupakan peringatan agar setiap orang senantiasa berniat untuk mencapai apa yang diinginkannya, yakni keridaan Allah dan menanamkan rasa takut dalam hati sanubarinya akan azab dan siksa-Nya.

Maksud “menemui Allah” dalam ayat ini ialah “memperoleh nikmat dalam surga sebagai balasan amal perbuatan baik”, di mana puncak dari kenikmatan itu adalah dengan melihat Zat Allah itu sendiri. Sementara itu Ibnu ‘Abbas menafsirkan dengan arti “hari Kebangkitan dan hari Perhitungan”.

Yang jelas makna yang terkandung dalam ayat ini mendorong seseorang untuk mempersiapkan diri dengan mengerjakan perbuatan baik sebanyak mungkin dan menjauhi sama sekali larangan-larangan Allah. Dengan demikian, mereka memperoleh kebahagiaan yang abadi di akhirat kelak.

Jumhur ulama tafsir menafsirkan liqa’ullah dengan maut (kematian) yang sudah pasti datangnya. Namun dalam kata di atas terkandung pula arti janji Allah berupa balasan bagi amal baik dan siksaan untuk perbuatan jahat. Baik mati atau janji Allah, keduanya pasti akan datang.


Baca Juga: Bom Bunuh Diri Bukan Jihad! Inilah Makna Jihad Dalam Al-Qur’an


Ayat 6

Allah menjelaskan bahwa seseorang yang sungguh-sungguh berjuang (berjihad), yang merupakan salah satu aspek dari ungkapan kerinduan menemui Allah, pada hakikatnya perjuangan itu untuk dirinya sendiri, bukan untuk Allah. Jihad berarti memerangi musuh dan melawan nafsu sendiri. Bisa juga berarti mengerahkan segala upaya untuk Allah dan bukan hanya bermakna perang.

Orang yang akan memperoleh hasil dari perjuangannya adalah orang yang menyandarkan niatnya untuk memperoleh balasan dari Allah, Tuhan semesta alam. Allah tidak memerlukan apakah mereka akan berjuang untuk dirinya sendiri atau tidak berjuang sama sekali, sebab Dia Maha Kaya dari sekalian ciptaan-Nya. Dialah Yang Menguasai sekalian alam ini dan berbuat menurut kehendaknya sendiri.

Inti dari jihad adalah sabar, baik jihad dalam memerangi musuh maupun jihad dalam mengendalikan nafsu. Orang yang sabar dalam berjihad berarti tahan dalam menghadapi cobaan dan tetap berpegang teguh kepada kebenaran yang telah diyakininya. Selain itu, ia juga berusaha mengatasi rintangan-rintangan dalam menegakkan kebenaran itu. Dalam ayat-ayat lain, Allah menegaskan bahwa faedah amaliah seseorang itu betul-betul untuk kepentingan dirinya.

Sebagaimana firman Allah:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا ۗوَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيْدِ  ۔

Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba(-Nya). (Fushshilat/41: 46)

Dan firman Allah:

اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَا

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri. (al-Isra’/17: 7)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 7-8


Penjelasan Mufasir Terkait Sujud Kepada Selain Allah dalam Al-Quran

0
Sujud Kepada Selain Allah
Sujud Kepada Selain Allah

Salah satu hukum yang disinggung para ahli tafsir di dalam kitab mereka adalah, mengenai hukum sujud kepada selain Allah. Hal ini berkenaan salah satunya dengan adanya kisah sujudnya para malaikat kepada beberapa nabi Allah di dalam Al-Qur’an. Lalu bagaimana sebenarnya hukum sujud kepada selain Allah? Dan bagaimana para ahli tafsir memandang prilaku sujud malaikat kepada nabi Allah yang notabene manusia? Berikut penjelasannya.

Sujud Kepada Nabi Adam Dan Nabi Yusuf

Imam Al-Jashshash di dalam kitab Ahkamul Qur’an karangannya memuat sebuah bab khusus tentang hukum sujud kepada selain Allah. Ia mengaitkan hukum ini kepada firman Allah yang berbunyi (Ahkamul Qur’an/1/69):

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

(Ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka, mereka pun sujud, kecuali Iblis. Ia menolaknya dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan kafir (QS. Al-Baqarah [2] :34)

Dan firman Allah yang berbunyi:

وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ وَقَالَ يٰٓاَبَتِ هٰذَا تَأْوِيْلُ رُءْيَايَ مِنْ قَبْلُ ۖقَدْ جَعَلَهَا رَبِّيْ حَقًّاۗ

Dia (Yusuf) menaikkan kedua ibu bapaknya ke atas singgasana. Mereka tunduk bersujud kepadanya (Yusuf). Dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku, inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Sungguh, Tuhanku telah menjadikannya kenyataan (QS. Yusuf [12] :100).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Melaksanakan Rukuk dan Sujud dalam Shalat

Di dalam dua ayat di atas ada praktik sujud kepada selain Allah; yakni kepada Nabi Adam dan Nabi Yusuf. Menurut para pakar tafsir, sujud tersebut bukanlah sujud sebagai bentuk penyembahan kepada selain Allah. Imam Ar-Razi menyatakan bahwa yang pasti sujud tersebut bukanlah sebagai bentuk menyembah pada selain Allah. Sebab ulama’ telah sepakat bahwa sujud sebagai bentuk penyembahan kepada selain Allah, hukumnya kufur. Dan tidak mungkin Al-Qur’an memerintahkan kepada kekufuran (Mafatihul Ghaib/1/493).

Para pakar hukum fikih menyatakan hal serupa. Mereka menyatakan bahwa sujud kepada matahari, berhala dan hal lain yang berupa makhluk Allah, dapat menyebabkan pelakunya menjadi kufur atau keluar dari agama Islam. Hukum ini muncul bila si pelaku adalah orang yang berakal, baligh, dan tidak dipaksa. Entah apakah ia melakukan hal itu dengan sengaja atau hanya bercanda saja. Namun apabila sujud tersebut dilakukan kepada manusia dan tidak ada tujuan penyembahan di dalamnya, maka ulama’ berbeda pendapat dalam menanggapinya (Mausu’ah Al-Fiqhiyah/2/8515).

Prilaku Sujud Kepada Selain Allah

Menanggapi prilaku sujud ini, para ahli tafsir diantaranya Ibn Katsir menyatakan bahwa sujud kepada Allah untuk tujuan sebagai penghormatan pernah disyariatkan pada zaman nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad. Namun di dalam syariat Nabi Muhammad, hukum tersebut telah dirubah. Sujud kepada makhluk termasuk kepada Nabi Muhammad sendiri hukumnya tidak diperbolehkan (Tafsir Ibn Katsir/1/212).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Hal ini berdasarkan sebuah hadis dari Anas yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad bersabda:

لَا يَصْلُح لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُد لِبَشَرٍ , وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُد لِبَشَرٍ لَأَمَرْت الْمَرْأَة أَنْ تَسْجُد لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَم حَقّه عَلَيْهَا

Tidaklah sepatutnya seorang manusia bersujud kepada manusia yang lain. Andai saja manusia patut kepada manusia yang lain, pastilah aku akan memerintahkan seorang perempuan bersujud kepada suaminya sebab besarnya hak suami atas si perempuan (HR. Imam Ahmad dan An-Nasa’i).

Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan tentang dua hal. Pertama, apakah bersujud kepada selain Allah membuat pelakunya menjadi kufur? Kedua, bolehkan sujud kepada selain Allah? Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah, sujud kepada selain Allah dapat membuat pelakunya menjadi kufur bila dilakukan dengan tujuan menyembah. Sedang praktik sujudnya sendiri tidak diperbolehkan sekarang dan pernah diperbolehkan di masa sebelum Nabi Muhammad. Wallahu a’lam bish showab.

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 1-3

0
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67
Tafsir Surah Al-'Ankabut 66-67

Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 1-3 menjelaskan bahwa setiap orang beriman haruslah diuji terlebih dahulu seperti ujian kehilangan anggota keluarga, sakit, hijrah dan lain sebagainya. Selain itu Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 1-3 ini juga menjelaskan bahwa Semakin tinggi tingkat kesabaran seseorang maka makin tinggi pula kemenangan dan pengajaran yang akan diperoleh.


Baca Juga: Berikut ini Ciri Orang-Orang yang Sabar dalam Al-Quran


Ayat 1

Alif Lam Mim, lihat tafsir mengenai huruf-huruf hijaiyah pada awal Surah al-Baqarah

Ayat 2

Pada Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 1-3 khususnya ayat ini, Allah bertanya kepada manusia yang telah mengaku beriman dengan mengucapkan kalimat syahadat bahwa apakah mereka akan dibiarkan begitu saja mengakui keimanan tersebut tanpa lebih dahulu diuji?

Tidak, malah setiap orang beriman harus diuji lebih dahulu, sehingga dapat diketahui sampai di manakah mereka sabar dan tahan menerima ujian tersebut. Ujian yang mesti mereka tempuh itu bermacam-macam.

Umpamanya perintah berhijrah (meninggalkan kampung halaman demi menyelamatkan iman dan keyakinan), berjihad di jalan Allah, mengendalikan syahwat, mengerjakan tugas-tugas dalam rangka taat kepada Allah, dan bermacam-macam musibah seperti kehilangan anggota keluarga, dan hawa panas yang kering yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan mati kekeringan.

Semua cobaan itu dimaksudkan untuk menguji siapakah di antara mereka yang sungguh-sungguh beriman dengan ikhlas dan siapa pula yang berjiwa munafik. Juga bertujuan untuk mengetahui apakah mereka termasuk orang yang kokoh pendiriannya atau orang yang masih bimbang dan ragu sehingga iman mereka masih rapuh.

Maksud ayat ini dapat dilihat dalam ayat lain, yakni:

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تُتْرَكُوْا وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَلَمْ يَتَّخِذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلَا رَسُوْلِهٖ وَلَا الْمُؤْمِنِيْنَ وَلِيْجَةً ۗوَاللّٰهُ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ࣖ

Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), padahal Allah belum mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak mengambil teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (at-Taubah/9: 16)

Dari paparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa setiap orang yang mengaku beriman tidak akan mencapai hakikat iman yang sebenarnya sebelum ia menempuh berbagai macam ujian. Ujian itu bisa berupa kewajiban seperti kewajiban dalam memanfaatkan harta benda, hijrah, jihad di jalan Allah, membayar zakat kepada fakir miskin, menolong orang yang sedang mengalami kesusahan dan kesulitan, dan bisa juga berupa musibah.

Ayat 3

Orang-orang yang beriman dan berpegang teguh dengan keimanannya akan menghadapi berbagai macam penderitaan dan kesulitan. Mereka sabar dan tabah menahan penderitaan itu. Umpamanya Bani Israil yang beriman, telah diuji Allah dengan berbagai macam siksaan yang dijatuhkan Fir’aun kepadanya.

Umat Nabi Isa yang beriman juga tidak luput dari azab dan kesengsaraan. Semuanya menjadi contoh dan pelajaran bagi umat beragama Islam ini. Dalam sebuah hadis Nabi saw dijelaskan:

عَنْ خَبَّابِ بْنِ اْلأَرَتِّ قَالَ شَكَوْنَا ِالَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً لَهُ فِى ظِلِّ الْكَعْبَةِ، فَقُلْنَا اَلاَ تَسْتَنْصِرُنَا؟ َالاَ تَدْعُو لَنَا؟ فَقَالَ: قََدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ يُؤْخَذُ الرَّجُلُ فَيُحْفَرُ لَهُ فِى اْلاَرْضِ فَيُجْعَلُ فِيْهَا فَيُجَاءُ بِالْمِنْشَارِ فَيُوْضَعُ عَلَى رَأْسِهِ فَيُجْعَلُ نِصْفَيْنِ وَيُمْشَطُ بِأَمْشَاطِ الْحَدِيْدِ مَا دُوْنَ لَحْمِهِ وَعَظْمِهِ فَمَا يَصُدُّهُ ذَلِكَ عَنْ دِيْنِهِ وَاللهِ لَيَتِمَّنَّ هَذَا اْلاَمْرُ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءِ اِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخَافُ اِلاَّ اللهَ وَ الذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ (رواه البخاري)

Diriwayatkan oleh Khabbab bin al-Aratt bahwa ia berkata, “Kami mengadukan kepada Rasulullah yang dalam keadaan tidur beralaskan sorbannya di sisi Ka’bah, kami mengatakan (bahwa kami menderita berbagai macam siksaan berat dari kaum musyrikin). Apakah kamu tidak akan menolong kami wahai Rasulullah, dengan cara engkau berdoa untuk keselamatan kami dari siksaan tersebut? Rasulullah menjawab, “Orang-orang sebelum kamu juga mengalami hal seperti ini, bahkan lebih hebat lagi. Seseorang yang karena keimanannya yang membaja kepada Tuhan ia dihukum, dan digali lubang khusus untuknya. Diletakkan gergaji di atas kepalanya. Kemudian gergaji itu diturunkan perlahan-lahan, sehingga tubuh orang tersebut terbelah dua. Ada pula yang badannya disisir dengan sisir besi runcing yang sudah dipanaskan. Namun mereka tidak mau mundur dari keyakinan agamanya. Demi Allah, agama ini pasti akan kutegakkan jua, sehingga amanlah musafir yang sedang dalam perjalanan dari Sana’ ke Hadramaut. Mereka tidak takut kecuali hanya kepada Allah, walaupun serigala-serigala mengelilingi binatang ternaknya. Tetapi kamu terlalu ingin cepat berhasil.” (Riwayat al-Bukhari)

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوْعَكُ فَوَضَعْتُ يَدِيْ عَلَيْهِ، فَوَجَدْتُ حَرَّهُ بَيْنَ يَدَيَّ فَوْقَ اللِّحَافِ فَقُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ مَا أَشَدَّهَا عَلَيْكَ قَالَ: إِنَّا كَذَلِكَ يُضَعَّفُ لَنَا الْبَلاَءُ وَيُضَعَّفُ لَنَا اْلاَجْرُ قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً؟ قَالَ: اْلاَنْبِيَاءُ، قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ الصَّالِحُوْنَ (رواه ابن ماجه)

Diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa dia berkata, “Saya memasuki rumah Rasulullah dan menjumpai beliau sedang tidak enak badan (demam). Saya meletakkan tangan di atas selimut beliau. Maka saya dapati rasa panas di atas selimut beliau. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, alangkah hebatnya panas ini. Rasulullah menjawab, ‘Ya memang begitu. Kita sedang ditimpa cobaan yang berlipat ganda datangnya, tetapi pahalanya pun berlipat ganda diberikan Allah kepada kita. Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat penderitaan yang dialaminya? Beliau menjawab, ‘Nabi-nabi. Saya bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, lalu siapa lagi? ‘Orang-orang yang saleh,jawab beliau.” (Riwayat Ibnu Majah)

Keterangan Rasulullah demikian diperkuat oleh ayat yang berbunyi:

وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قَاتَلَۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar. (Ali ‘Imran/3: 146)

Dengan beraneka ragam penderitaan itulah, Allah mengetahui siapakah yang betul-betul sempurna keimanannya, dan siapa pula yang menutupi kepalsuannya dengan sikap beriman. Allah akan membalas masing-masing mereka itu dengan apa yang pantas baginya.

Ringkasnya, Allah melarang manusia berprasangka bahwa ia diciptakan dengan percuma begitu saja. Justru Allah akan menguji setiap manusia, untuk menentukan siapakah yang paling tinggi derajatnya di sisi Allah. Derajat tersebut tidak mungkin diperoleh kecuali dengan menempuh ujian yang berat.

Hidup ini memang penuh dengan perjuangan, baik kita enggan atau senang menghadapinya. Semakin tinggi tingkat kesabaran, makin tinggi pula kemenangan dan pengajaran yang akan diperoleh. Itulah sunah Allah yang berlaku bagi umat dahulu dan sekarang.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-‘Ankabut ayat 4-6


Surah an-Nisa [4] Ayat 31: Perintah Menjauhi Dosa Besar

0
Perintah Menjauhi Dosa Besar
Perintah Menjauhi Dosa Besar dalam al-Quran

Dalam ajaran Islam, terdapat dua istilah familier, yakni dosa dan pahala. Yang pertama merupakan balasan bagi perbuatan maksiat, sedangkan yang kedua merupakan ganjaran bagi ketaatan. Menurut Al-Qur’an, dosa terbagi dua; yaitu dosa besar (kabair) dan dosa kecil. Dari kedua dosa tersebut, Al-Qur’an banyak menegaskan perintah menjauhi dosa besar.

Menurut Abu Thalib al-Makki dalam kitabnya Qut al-Qulub, Al-Qur’an menyebutkan istilah dosa besar – termasuk kabair (dosa besar) –dalam 17 bentuk dan itu semua tersebar di berbagai surah. Mayoritas ayat-ayat tersebut berisi tentang perintah menjauhi dosa besar bagi orang-orang yang beriman, karena menjauhi dosa besar adalah salah satu kunci meraih ampunan.

Baca Juga: Tafsir Surah Hud Ayat 114: Perbuatan yang Dapat Menghapus Dosa

Allah swt berfirman dalam surah an-Nisa [4] ayat 31 yang berbunyi:

اِنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا ٣١

Artinya: “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS. An-Nisa [4]: 31).

Secara umum, surah an-Nisa [4] ayat 31 berisi tentang perintah menjauhi dosa besar. Di sana diinformasikan bahwa Allah akan mengampuni kesalahan kecil manusia jika mereka menjauhi dosa-dosa besar dan ia akan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya. Dengan demikian, selama seseorang tidak melakukan dosa besar dan tidak pula melakukan maksiat, ia akan diampuni oleh Allah swt.

Menurut Quraish Shihab, surah an-Nisa [4] ayat 31 berbicara tentang dampak positif menjauhi dosa besar seperti memakan harta milik orang lain secara batil, pembunuhan, dan tindakan aniaya. Siapa yang mampu menjauhi semua larangan Allah swt dan rasul disertai dengan ketulusan beragama, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan kecil yang ia lakukan dan memberinya ganjaran surga.

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa dosa-dosa manusia terbagi menjadi dua, yakni dosa kecil dan dosa besar. Para ulama berbeda mengenai pengertian kedua jenis dosa ini. Salah satu sahabat Nabi Saw, Ibnu Mas’ud – sebagaimana disebut dalam riwayat al-Bazzar – mengatakan dosa besar yang dimaksud pada ayat ini terdapat pada surah an-Nisa [4] ayat pertama hingga ayat 30 (Tafsir al-Misbah [2]: 415).

Imam adz-Dzahabi, penulis kitab al-Kaba’ir (dosa-dosa besar), mendefinisikan dosa besar sebagai semua larangan Allah Swt dan Rasulullah Saw yang tercantum di dalam Al-Qur’an dan hadis, serta atsar dari para salaf al-Salih. Sedangkan dosa kecil menurut ‘Izzudin bin ‘Abd al-Salam ialah perbuatan yang mafsadat­-nya lebih kecil ketimbang dosa besar (Qawaid Al-Ahkam Fi Mashalih al-Anam).

Sebagai catatan, kendati mudarat dosa kecil lebih rendah dibandingkan dosa besar, namun bukan berarti seorang mukmin bisa menganggapnya enteng. Sebab, setiap dosa, baik kecil ataupun besar, tetap harus dipertanggungjawabkan oleh pelakunya di akhirat kelak jika ia tidak bertobat nasuha. Dengan demikian, tidak benar jika seseorang hanya menjauhi dosa besar dan malah melaksanakan dosa kecil.

Syekh Ibrahim al-Aqshara’i menyebutkan dalam Ihkam al-Hikam, “Tidak ada yang namanya dosa besar dan dosa kecil jika dihadapkan pada pengadilan Allah Swt. Sebab, setiap orang akan mempertanggungjawabkan setiap dosanya dan mendapatkan balasan sesuai dosa tersebut.” Artinya, seseorang seharusnya berusaha menghindari segala perbuatan dosa sebaik mungkin, tanpa meremehkan apakah itu dosa kecil atau dosa besar.

Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, surah an-Nisa [4] ayat 31 adalah perintah menjauhi dosa besar bagi setiap muslim. Jika mereka mampu melaksanakannya, maka Dia akan mengampuni seluruh dosa dan kesalahan mereka serta memasukkan mereka ke dalam surga yang berisi berbagai kenikmatan. Ini semua merupakan bentuk kemudahan dan kebaikan Allah swt kepada hamba-hambanya yang beriman.

Dosa-dosa besar yang dimaksud pada surah an-Nisa [4] ayat 31 adalah meninggalkan kewajiban sebagai seorang muslim seperti shalat lima waktu, shalat Jumat dan puasa di bulan Ramadhan. Nabi Muhammad saw bersabda, “Shalat lima waktu, shalat Jumat, dan puasa Ramadhan dapat menggugurkan atau menghapus dosa-dosa kecil yang terjadi sela-selanya selama seseorang menjauhi dosa besar.”

Baca Juga: Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki

Sedangkan Syekh Nawawi al-Bantani menerangkan dalam Marah Labid, makna surah an-Nisa [4] ayat 31 adalah, “jika kalian menjauhi dosa besar yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya, kami akan mengampuni kesalahan-kesalahan kalian, yakni dosa kecil yang terjadi di antara Jumat dan di antara Ramadhan, dan kami juga akan memasukkan kalian ke dalam surga, sebuah tempat nan mulia.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa – melalui surah an-Nisa [4] ayat 31 – Allah swt memerintahkan manusia menjauhi dosa besar. Mereka yang mampu melaksanakan perintah tersebut akan diampuni dosanya dan dimasukkan ke dalam surga-Nya. Sebagai catatan, orang yang dimaksud dalam ayat ini adalah mereka yang tulus beragama, bukan mereka yang picik dan suka mencari celah. Wallahu a’lam.