Beranda blog Halaman 313

Tafsir Surah Maryam ayat 64-69

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 64-69 menegaskan tentang wahyu yang terlambat turun oleh sebab itu Jibril menjelaskan sekaligus menghibur Nabi Muhammad yang khawatir dilupakan oleh Allah bahwa tidak mungkin Allah lalai dan lupa sedangkan ia yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tafsir Surah Maryam ayat 64-69 ini juga mengisahkan tentang orang-orang yang tidak percaya akan kebangkitan setelah kematian. Selengkapnya Baca Tafsir Surah Maryam ayat 64-69…….


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 61-63, Tentang Gambaran Surga


Ayat 64

Pada ayat ini Jibril menegaskan kepada Nabi Muhammad bahwa para malaikat tidak akan dapat turun membawa wahyu kepada rasul-rasul kecuali bila mereka telah mendapat perintah dari Allah sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya, sesuai dengan kepentingan hamba-Nya, baik mengenai urusan duniawi maupun mengenai urusan akhirat.

Dialah yang memiliki semua yang ada di hadapan dan di belakang kita dan yang ada di antara keduanya, Dialah yang mengurus dan mengaturnya. Karena itu Dia pulalah yang lebih mengetahui tentang yang baik dan yang tidak baik bagi makhluk-Nya. Dialah yang menetapkan kapan para malaikat akan turun kepada rasul-Nya untuk membawa wahyu, dan untuk berapa lama Dia membiarkan malaikat tidak turun kepada mereka sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya.

Jadi kalau malaikat terlambat menurunkan wahyu kepada Rasul, bukanlah itu karena Allah telah meninggalkan Rasul, murka atau Dia telah lupa kepadanya. Mustahil Allah bersifat lalai dan lupa.

Ayat 65

Bagaimana mungkin Tuhan akan bersifat lalai dan lupa padahal Dialah yang memiliki dan mengurus serta mengendalikan semua yang ada di langit dan di bumi dan semua yang ada di antara keduanya. Allah Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana sekali-kali tidak akan lalai atau lupa mengurus dan mengatur semua makhluk-Nya.

Oleh sebab itu jangan sampai Rasul menyangka bahwa Allah telah murka kepadanya dengan terlambatnya wahyu. Semua itu berlaku sesuai dengan kehendak dan kebijaksanaan-Nya. Rasul diperintahkan untuk menunggu dengan sabar dan terus beribadah kepada-Nya walau apapun ocehan yang diucapkan oleh kaum musyrik itu.

Sesungguhnya Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa tidak ada sesuatu yang dapat menyamai-Nya karena itu kepada-Nyalah manusia harus berserah diri, patuh dan taat mengerjakan perintah-Nya.

Ayat 66-67

Al-Wāhidi meriwayatkan bahwa ayat ini diturunkan dalam kasus Ubay bin Khalaf. Dia mengambil sepotong tulang yang telah hampir remuk dan dihancurkannya dengan tangan seperti tepung, kemudian ditebarkannya ke angin kencang, maka bertebaranlah tulang itu.

Kemudian dia berkata, “Ada orang mengatakan bahwa kita akan dibangkitkan sesudah kita mati dan sesudah kita menjadi seperti tulang ini.” Apakah mungkin apabila saya telah mati akan dibangkitkan dan dihidupkan kembali? Pertanyaan seperti itu terdapat pula pada ayat-ayat yang lain:

وَكَانُوْا يَقُوْلُوْنَ ەۙ اَىِٕذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَّعِظَامًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَۙ

Dan mereka berkata, “Apabila kami sudah mati, menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?”(al-Wāqi’ah/56: 47)

Dan firman-Nya:

وَقَالُوْٓا ءَاِذَا كُنَّا عِظَامًا وَّرُفَاتًا ءَاِنَّا لَمَبْعُوْثُوْنَ خَلْقًا جَدِيْدًا

Dan mereka berkata, “Apabila kami telah menjadi tulang-belulang dan benda-benda yang hancur, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?” (al-Isrā`/17: 49)

Demikian pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh orang yang dangkal pikirannya dan tidak mau memikirkan secara mendalam kekuasaan Allah, karena mata hati mereka telah ditutupi oleh kesesatan dan kesenangan hidup dunia, sehingga tidak tampak lagi bagi mereka cahaya kebenaran yang terang benderang.

Oleh sebab itu Allah menolak pertanyaan-pertanyaan mereka. Apakah manusia yang berpikiran seperti itu tidak pernah tahu bahwa Allah telah menciptakannya dari tiada. Apakah ada yang dapat menciptakan sesuatu dari tiada, dapat pula menciptakannya dari sesuatu yang ada walaupun berupa tulang belulang atau benda-benda yang hancur. Ini adalah suatu pemikiran yang aneh yang tidak akan timbul kecuali dari orang-orang yang hatinya telah diselubungi oleh keingkaran dan tidak mau memikirkan persoalan dengan teliti dan mendalam. Pada ayat lain Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَعْلٰى فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (ar-Rum/30: 27)

Dan firman-Nya:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ   ٧٨  قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ  ٧٩

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, ”Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah (Muhammad), ”Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yāsin/36: 78-79)

Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfirman:

كَذَّبَنِى ابْنُ اٰدَمَ وَلمَ ْيَكُنْ لَهُ اَنْ يُكَذِّبَنِى وَاٰذَانِى ابْنُ اٰدَمَ وَلمَ ْيَكُنْ لَهُ اَنْ يُؤْذِيَنِى اَمَّا تَكْذِيْبُهُ ِايَّايَ فَقَوْلُهُ لَنْ يُعِيْدَنِى كَمَا بَدَأَنِى وَلَيْسَ اَوَّلُ الْخَلْقِ بِأَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْ اٰخِرِهِ وَأَمَّا اَذَاهُ اِيَّايَ فَقَوْلُهُ اِنَّ ِليْ وَلَدًا وَاَنَا اْلاَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِيْ لمَ ْيَلِدْ وَلمَ ْيُوْلَدْ وَلمَ ْيَكُنْ لَهُ كُفُوًا اَحَدٌ.(رواه البخارى عن ابى هريرة )

“Anak Adam telah mendustakan-Ku sedang dia tidak berhak mendusta-kan-Ku. Anak Adam telah menyakiti-Ku sedang dia tidak berhak menya-kiti-Ku. Adapun pendustaannya terhadap-Ku ialah ucapannya bahwa Aku tidak akan menghidupkannya kembali sebagaimana Aku telah menciptakannya pertama kali. Menciptakannya pertama kali tidaklah lebih mudah bagi-Ku dari menciptakan kemudian (maksudnya sama mudah).

Adapun yang menyakiti-Ku ialah ucapannya: Sesungguhnya Aku mempunyai anak, sedang Aku adalah Tuhan Yang Maha Esa Yang tergantung kepada-Ku segala sesuatu, yang tidak beranak dan tidak pula dilahirkan dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Aku.” (Riwayat al-Bukhāri dari Abu Hurairah)

Ayat 68-69

Karena itu Allah mengancam manusia semacam itu dengan bersumpah bahwa Dia akan mengumpulkan mereka di padang mahsyar bersama-sama dengan setan yang mereka anggap sebagai pemimpin mereka. Mereka akan melihat dan mengalami bagaimana dahsyat dan hebatnya suasana ketika itu, sehingga tidak ada yang dipikirkan oleh seseorang kecuali keselamatan dirinya sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧

Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 34-37)

Dalam suasana yang amat gawat dan kritis itulah mereka digiring ke neraka dalam keadaan berlutut dan hina tidak dapat berdiri lagi karena pengalaman yang amat pahit dan penderitaan yang tak terperikan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 70-72


Tafsir Surah Maryam ayat 61-63

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 61-63 menjelaskan keindahan suasana di dalam surga yang dijanjikan Allah bagi orang yang bertaubat dan bertakwa. Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 61-63 dijelaskan bahwa di dalam surga tidak ada perkataan yang tidak bermanfaat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 59-60


Ayat 61

Ayat ini menerangkan bahwa surga yang dijanjikan Allah akan menjadi tempat kediaman bagi orang yang bertobat dan bertakwa itu, ialah surga `Adn. Meskipun surga yang dijanjikan tidak dapat dilihat oleh manusia di dunia ini, karena masih bersifat gaib dan kapan manusia itu pasti masuk ke dalamnya tidak pula dapat diketahui dengan pasti karena semua itu hanya diketahui oleh Allah.

Tetapi bagi orang yang beriman dan yakin akan terjadinya hari kebangkitan dan hisab, hal itu tidak diragukan sedikit pun karena itu adalah janji Allah Yang Mahasempurna, Mahaadil dan Maha Bijaksana. Pastilah janji itu akan dipenuhi-Nya dan akan dilaksanakan-Nya.

Ayat 62

Allah menerangkan pula bahwa di dalam surga tidak akan terjadi pertengkaran, tidak akan terdengar kata-kata yang tidak berguna seperti yang terjadi di dunia di mana manusia untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan keluarga dan kelompoknya selalu berselisih, bertengkar, dakwah mendakwah dan tuduh-menuduh yang tiada akhirnya, mengakibatkan mereka kehilangan ketenteraman dan kesejahteraan.

Bahkan mereka diliputi kecemasan dan kekhawatiran. Lain halnya dengan surga karena manusia telah memasuki dunia yang lain, semua keinginan dapat dicapai dan dinikmati, tidak ada lagi permusuhan atau adu kekuatan antara sesama mereka untuk mencapai sesuatu, maka yang terdengar hanya ucapan salam (selamat sejahtera), baik ucapan itu datang dari malaikat atau dari sesama mereka.

Semuanya merasa aman dan tenteram karena pada setiap pagi dan petang mereka diberi rezeki oleh Tuhan mereka, rezeki yang tidak dapat dibayangkan dalam pikiran seseorang bagaimana nikmat dan lezat cita rasanya. Allah melukiskan nikmat yang disediakan bagi penghuni surga, sebagaimana disebut dalam Hadis Qudsi:

اَعْدَدْتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَالاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَرٍ (رواه البخاري ومسلم عن ابى هريرة)

Aku sediakan untuk hamba-hamba-Ku yang saleh nikmat-nikmat yang belum pernah di lihat oleh mata, yang belum pernah di dengar oleh telinga dan tidak dapat dibayangkan dalam lintasan hati manusia. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ayat 63

Demikianlah suasana di dalam surga aman dan tenteram, suasana bahagia dan sejahtera. Penghuninya merasa lega dan puas dengan nikmat dan karunia yang dilimpahkan Tuhan kepada mereka, dan Allah pun rida terhadap mereka karena mereka di dunia selalu patuh dan taat kepada-Nya, sabar dalam menghadapi cobaan-Nya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قَالَ اللّٰهُ هٰذَا يَوْمُ يَنْفَعُ الصّٰدِقِيْنَ صِدْقُهُمْ ۗ لَهُمْ جَنّٰتٌ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗرَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ

Allah berfirman, ”Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari kebenarannya. Mereka memperoleh surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Itulah kemenangan yang agung.” (al-Mā`idah/5: 119)

Demikian keadaan dan sifat surga yang akan diwariskan-Nya kepada hamba-Nya yang benar-benar beriman dan selalu bertakwa kepada-Nya sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

اَلْاَخِلَّاۤءُ يَوْمَىِٕذٍۢ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ اِلَّا الْمُتَّقِيْنَ ۗ ࣖ  ٦٧  يٰعِبَادِ لَاخَوْفٌ عَلَيْكُمُ الْيَوْمَ وَلَآ اَنْتُمْ تَحْزَنُوْنَۚ   ٦٨  اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِاٰيٰتِنَا وَكَانُوْا مُسْلِمِيْنَۚ   ٦٩  اُدْخُلُوا الْجَنَّةَ اَنْتُمْ وَاَزْوَاجُكُمْ تُحْبَرُوْنَ   ٧٠  يُطَافُ عَلَيْهِمْ بِصِحَافٍ مِّنْ ذَهَبٍ وَّاَكْوَابٍ ۚوَفِيْهَا مَا تَشْتَهِيْهِ الْاَنْفُسُ وَتَلَذُّ الْاَعْيُنُ ۚوَاَنْتُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَۚ   ٧١  وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ   ٧٢  لَكُمْ فِيْهَا فَاكِهَةٌ كَثِيْرَةٌ مِّنْهَا تَأْكُلُوْنَ  ٧٣ 

Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka yang bertakwa. ”Wahai hamba-hamba-Ku! Tidak ada ketakutan bagimu pada hari itu dan tidak pula kamu bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami dan mereka berserah diri. Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan pasanganmu akan digembirakan.” Kepada mereka diedarkan piring-piring dan gelas-gelas dari emas, dan di dalam surga itu terdapat apa yang diingini oleh hati dan segala yang sedap (dipandang) mata. Dan kamu kekal di dalamnya. Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan. Di dalam surga itu terdapat banyak buah-buahan untukmu yang sebagiannya kamu makan. (az-Zukhruf/43: 63-73)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 64-69


 

Tafsir Surah Maryam ayat 59-60

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 59-60 menerangkan bahwa banyak orang-orang yang ketika para Nabi dan Rasul yang diutus wafat mereka kembali menyimpang. Allah maha Pengampun lagi Maha Pemaaf hal ini Allah sampaikan dalam Tafsir Surah Maryam ayat 59-60 bahwasanya siapun yang memohon ampun dan bertaubat Allah akan mengampuninya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 56-58


Ayat 59

Pada Tafsir Surah Maryam ayat 59-60 khususnya ayat ini Allah menerangkan bahwa banyak di antara orang-orang datang kemudian sesudah meninggalnya para nabi dan rasul yang disebutkan pada ayat-ayat yang lalu, menyimpang dari jalan yang lurus, meninggalkan ajaran yang dibawa para rasul sebelumnya sehingga mereka tidak lagi mengerjakan salat dan selalu memperturutkan kehendak hawa nafsu dan dengan terang-terangan melanggar larangan Allah seperti meminum minuman keras, berjudi, berzina, dan mengadakan persaksian palsu.

Mereka ini diancam oleh Allah dengan ancaman yang keras, kepada mereka akan ditimpakan kecelakaan dan kerugian baik di dunia maupun di akhirat. Sehubungan dengan ayat ini Abu Sa’id al-Khudri meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:

يَكُوْنُ خَلْفٌ مِنْ بَعْدِ سِتِّيْنَ سَنَةً اَضَاعُوا الصَّلاَةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثُمَّ يَكُوْنُ خَلْفٌ يَقْرَؤُنَ الْقُرْاٰنَ لاَيَعْدُوْ تَرَاقِيَهُمْ وَيقْرَأُ الْقُرْاٰنَ ثَلاَثَةٌ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ وَفَاجِرٌ (رواه احمد وابن حبان والحاكم)

“Akan datang suatu generasi sesudah enam puluh tahun, mereka melalaikan salat dan memperturutkan hawa nafsu, maka orang-orang ini akan menemui kecelakaan dan kerugian. Kemudian datang lagi suatu generasi, mereka membaca Al-Qur’an tetapi hanya di kerongkongan (mulut) saja (tidak masuk ke hati) dan semua membaca Al-Qur’an, orang mukmin, orang munafik dan orang-orang jahat dan fasik (tidak dapat lagi dibedakan mana orang mukmin sejati dan mana orang yang berpura-pura beriman).” (Riwayat Ahmad, Ibnu hibbān dan al-Hākim)

Kemudian Rasulullah membaca ayat ini  (sebagaimana tersebut di atas).

‘Uqbah bin `Āmir meriwayatkan pula bahwa aku mendengar Rasulullah bersabda:

سَيَهْلِكُ اُمَّتِى اَهْلُ الْكِتَابِ وَاَهْلُ الَّلبَنِ قُلْتُ يَارَسُوْلَ اللهِ مَااَهْلُ الْكِتَابِ قَالَ قَوْمٌ يَتَعَلَّمُوْنَ الْكِتَابَ يُجَادِلُوْنَ بِهِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُلْتُ وَمَا اَهْلُ اللَّبَنِ قَالَ قَوْمٌ يَتَّبِعُوْنَ الشَّهَوَاتِ وَيُضِيْعُوْنَ الصَّلَوَاتِ. (رواه احمد والحاكم عن عقبة بن عامر الجهنى)

“Akan rusak binasalah sebahagian dari umatku yaitu “Ahlul Kitab” dan “Ahlullaban”. Aku bertanya, “Siapakah “Ahlul Kitab” wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka ialah orang-orang yang mempelajari Al-Qur’an untuk berdebat dengan orang-orang mukmin.” “Lalu siapa pula “Ahlullaban” itu?” Rasulullah menjawab, “Mereka ialah orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu dan meninggalkan salat.” (Riwayat Ahmad dan al-hākim dari ‘Uqbah bin ‘Āmir al-Juhhani)

Demikian nasib orang-orang yang melalaikan salat dan memperturutkan hawa nafsu dan menyia-nyiakannya, mereka pasti merugi meskipun yang mereka derita tidak dapat dilihat dengan mata dan pasti akan menerima balasan yang setimpal di akhirat kelak. Di sini tampak dengan jelas bahwa salat yang telah menjadi syariat semenjak Nabi Ibrahim adalah amat penting sekali dan tidak boleh disia-siakan apalagi ditinggalkan. Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

اَلصَّلاَةُ عِمَادُ الدِّيْنِ فَمَنْ اَقَامَهَا فَقَدْ اَقَامَ الدِّيْنَ وَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ هَدَمَ الدِّيْنَ (رواه البيهقى عن عمر رضي الله عنه)

“Salat itu adalah tiang agama. Barangsiapa yang mendirikannya maka ia telah menegakkan agama, dan barangsiapa yang meninggalkannya maka ia telah meruntuhkan agama.” (Riwayat al-Baihaqi dari Umar r.a.)

Ayat 60

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa orang tersebut pada ayat 59 bila mereka bertobat dan kembali mengerjakan amal yang saleh maka Allah akan mengampuni dosa mereka dan akan dimasukkan ke dalam surga dan mereka tidak akan dirugikan sedikitpun. Demikianlah ketetapan Allah Yang Mahaadil, Maha Pemurah dan Maha Penyayang.

Meskipun seseorang telah berlarut-larut terjerumus ke dalam jurang kemaksiatan karena tertipu dan teperdaya dengan kelezatan duniawi yang fana, tetapi bila mereka insaf dan kembali ke jalan yang benar dan bertobat kepada Allah sebenar-benar tobat Allah akan menerima tobat mereka dengan ketentuan dan syarat-syarat yang diterangkan pada ayat-ayat lain.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 61-63


 

Tafsir Surah Maryam ayat 56-58

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 56-58 mengisahkan tentang Nabi Idris yang menurut sebagian riwayat merupakan nenek Nabi Nuh namun riwayat yang masyhur mengatakan bahwa ia adalah bapak Nabi Nuh. Dijelaskan dalam Tafsir Surah Maryam ayat 56-58 ini bahwa Nabi Idris merupakan Rasul pertama yag diutus Allah sesudah Adam.


Baca Sebelumnya: Kisah Nabi Ismail dalam Tafsir Surah Maryam ayat 54-55


Ayat 56-57

Pada kedua ayat ini Nabi Muhammad diperintahkan supaya menerangkan pula sekelumit berita tentang Nabi Idris. Menurut sementara riwayat mengatakan bahwa Nabi Idris adalah nenek Nabi Nuh a.s. Menurut riwayat yang termasyhur ia adalah nenek bapak Nabi Nuh. Ia adalah orang yang pertama menyelidiki ilmu bintang-bintang dan ilmu hisab, sebagai salah satu mukjizat yang diberikan Allah kepadanya.

Ia adalah rasul pertama yang diutus Allah sesudah Adam a.s., dan diturunkan kepadanya kitab yang terdiri atas tiga puluh lembar. Ia dianggap pula sebagai orang yang mula-mula menciptakan timbangan dan takaran, pena untuk menulis, pakaian berjahit sebagai ganti pakaian kulit binatang dan senjata untuk berperang.

Allah menerangkan pada ayat ini posisi yang tinggi bagi Nabi Idris karena  ia adalah seorang yang beriman membenarkan kekuasaan dan keesaan Allah dan diangkat-Nya menjadi nabi dan meninggikan derajatnya ke tingkat yang paling tinggi, baik di dunia maupun di akhirat.

Adapun di dunia ialah dengan diterimanya risalah yang dibawanya oleh kaumnya dan keharuman namanya di kalangan umat manusia. Hal ini sama dengan karunia Allah kepada Nabi Muhammad seperti tersebut dalam firman Allah:

وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَكَۗ

“Dan Kami tinggikan sebutan (nama)mu bagimu.” (asy-Syarh/94: 4)

Di akhirat nanti ia ditempatkan di surga pada tempat yang paling tinggi dan mulia, tempat para nabi dan para shiddiqin seperti tersebut dalam ayat:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ فَاُولٰۤىِٕكَ مَعَ الَّذِيْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ مِّنَ النَّبِيّٖنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاۤءِ وَالصّٰلِحِيْنَ ۚ وَحَسُنَ اُولٰۤىِٕكَ رَفِيْقًا

Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (an-Nisā`/4: 69).;

Ayat 58

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa para nabi dan rasul yang telah disebutkan namanya pada ayat-ayat yang lalu mereka itulah orang-orang yang telah diberi karunia dan nikmat oleh Allah dengan meninggikan derajat mereka dan mengharumkan nama mereka di kalangan umat manusia.

Pada umumnya semua nabi dan rasul mendapat karunia seperti itu semenjak dari Nabi Adam bapak pertama sampai kepada Nabi Nuh bapak kedua, sampai kepada Nabi Ibrahim dan anak cucunya termasuk Ishak, Yakub, Ismail, Musa, Harun, Zakaria, Isa dan semua orang pilihan-Nya, semuanya mempunyai  sifat yang jarang dimiliki oleh orang lain yaitu apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Allah mereka segera  menjatuhkan diri (tersungkur) untuk sujud dan menangis serta merendahkan diri karena mengingat kebesaran Allah.

Mereka adalah manusia yang penuh takwa, sangat tajam pendengaran dan perasaan mereka bila mendengar nama Allah dan bergetar hati mereka bila dibacakan ayat-ayat-Nya tidak memiliki kata-kata yang akan mereka ucapkan untuk melukiskan apa yang terasa dalam hati sehingga meneteskan air mata di pipi mereka dan tersungkur bersujud kehadirat Allah Yang Mahabesar, Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Penyayang.

Demikianlah sifat yang dimiliki oleh para nabi dan rasul itu dan wajarlah bila Allah memberikan kepada mereka karunia dan nikmat yang besar. Hal ini disebutkan pula dalam firman Allah:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (an-Anfāl/8: 2)

Rasulullah saw, bersabda:

اُتْلُوا الْقُراٰنَ وَابْكُوْا, فَاِنْ لمَ ْتَبْكُوْا فَتَبَاكُوْا (رواه ابن ماجه)

Bacalah Al-Quran dan menangislah, jika kamu tidak bisa menangis, berusahalah  menangis. (Riwayat Ibnu Mājah)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 59-60


Tafsir Surah Maryam ayat 54-55

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 54-55 ini mengisahkan tentang Nabi Ismail yang merupakan nenek moyang bangsa Arab. Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 54-55 dijelaskan bahw Nabi Ismail merupakan orang yang setia, jujur, sabar dan tabah hal ini harus menjadi contoh dan tauladan bagi umat sekarang.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 51-53


Ayat 54

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw supaya menceritakan tentang Ismail nenek moyang bangsa Arab yang diangkat Allah menjadi nabi dan rasul agar dapat menjadi contoh teladan bagi mereka pada sifat-sifatnya, kesetiaan dan kejujurannya ketabahan dan kesabarannya dalam menjalankan perintah Tuhannya dan ketaatan serta kepatuhannya.

Salah satu di antara sifat yang sangat menonjol ialah menepati janji. Menepati janji adalah sifat yang dipunyai oleh setiap rasul dan nabi, tetapi sifat ini pada diri Ismail sangat menonjol sehingga Allah menjadikan sifat ini sebagai keistimewaan Ismail.

Di antara janji-janji yang ditepatinya walaupun janji itu membahayakan jiwanya ialah kesediaannya disembelih sebagai kurban untuk melaksanakan perintah Allah kepada ayahnya Ibrahim yang diterimanya dengan perantaraan ar-ru’yah ash-shadiqah (mimpi yang benar) yang senilai dengan wahyu.

Tatkala Ibrahim membicarakan dengan Ismail tentang perintah Allah untuk menyembelihnya, Ismail dengan tegas menyatakan bahwa dia bersedia disembelih demi untuk mentaati perintah Allah dan dia akan tabah dan sabar menghadapi maut bagaimana pun pedih dan sakitnya. Hal ini tersebut dalam ayat:

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ  ١٠٢

Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ”Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (Ismail) menjawab, ”Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (ash-Shāffāt/37: 102)

Itulah janji Ismail kepada bapaknya Ibrahim. Janji itu benar-benar ditepati oleh Ismail dan dia menyerahkan dirinya kepada bapaknya yang telah siap dengan pisau yang tajam untuk menyembelihnya.

Ibrahim pun walau dengan perasaan sangat iba dan kasihan merebahkan Ismail untuk memudahkan penyembelihan dan pisau pun telah ditujukan ke lehernya. Ketika itu Allah memanggil Ibrahim dan mengganti Ismail dengan seekor biri-biri yang besar dan gemuk. Hal ini diceritakan Allah dalam firman-Nya:

فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ   ١٠٣  وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ  ١٠٤  قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ  ١٠٥  اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ  ١٠٦  وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ  ١٠٧

Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pipi(nya), (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.”  Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.  Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (ash-Shāffāt/37: 103-107)

Di samping sifat yang menonjol itu Ismail diangkat Allah menjadi nabi dan rasul kepada kabilah Jurhum yang menetap di Mekah bersama ibunya. Sebagai rasul, Ismail ditugaskan Allah menyampaikan risalah yaitu risalah yang pernah disampaikan oleh ayahnya Nabi Ibrahim kepada kabilah Jurhum itu.

Memang sebelum Nabi Muhammad diutus sebagai rasul terdapat di kalangan bangsa Arab orang-orang yang menganut paham tauhid dan besar kemungkinan paham tauhid yang dianut mereka adalah paham yang dibawa dan disampaikan oleh Ismail kepada kaumnya.

Ayat 55

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa Ismail selalu menyuruh keluarganya tetap mengerjakan salat dan menunaikan zakat, karena salat dan zakat itu telah disyariatkan semenjak Nabi Ibrahim. Risalah yang disampaikan oleh Nabi Ismail adalah risalah yang dibawa oleh bapaknya Ibrahim.

Meskipun yang diterangkan di sini hanya mengenai keluarganya tetapi perintah itu mencakup seluruh kaumnya karena rasul itu diutus bukan untuk keluarga semata tetapi diutus untuk semua umatnya. Nabi Muhammad sendiri pada mulanya hanya disuruh menyampaikan ajaran Islam kepada keluarganya dan kemudian baru diperintahkan mengajak seluruh manusia mengikuti ajaran yang dibawanya. Hal ini terdapat dalam firman Allah:

وَاَنْذِرْ عَشِيْرَتَكَ الْاَقْرَبِيْنَ ۙ

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat,(asy- Syu`arā`/26: 214)

Dan firman-Nya:

وَأْمُرْ اَهْلَكَ بِالصَّلٰوةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَاۗ

Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar dalam mengerjakannya. (Tāhā/20: 132)

Kemudian Allah menerangkan bahwa Ismail itu adalah orang yang diridai Allah karena dia tidak pernah lalai menaati perintah Tuhannya, dan selalu melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 56-58


Rahasia Huruf Jer Lam dan Fii Dalam Penafsiran Golongan Mustahiq Zakat: Surah At-Taubah Ayat 60

0
Rahasia Huruf Jer Lam dan Fii Dalam Penafsiran Golongan Mustahiq Zakat
Rahasia Huruf Jer Lam dan Fii Dalam Penafsiran Golongan Mustahiq Zakat

Bagi umat islam selain puasa ada ibadah lagi yang tidak kalah pentingnya, yaitu zakat. Zakat diwajibkan bagi yang telah memenuhi syarat-syaratnya. Zakat diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq zakat). Siapa sajakah mereka?

Allah SWT telah menetapkan siapa saja yang berhak untuk menerima zakat dalam Al-Qur’an surah at-Taubah [9] ayat 60, sebagai berikut:

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (muallaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha bijaksana.”

Ayat ini walaupun menggunakan kata shodaqat yang mencakup shodaqah wajib (zakat) dan shodaqoh sunnah, akan tetapi para ulama sepakat bahwa pembahasan ini berkaitan dengan shodaqoh wajib (zakat), bukan shodaqoh sunnah. Jadi orang yang berhak menerima zakat itu hanya terkhusus pada delapan golongan ini saja.

Baca juga: Makna Lafadz Imra’ah dan Zaujah dalam Al-Quran

Lalu, apakah penggunaan zakat itu secara muthlaq diserahkan kepada mustahiq zakat atau ada aturan penggunaannya? Tulisan ini akan mencoba mengulas pertanyaan tadi dengan mengungkapkan rahasia penggunaan huruf jer sebagaimana yang telah diungkap oleh para ulama.

Isyarat Penggunaan Zakat dalam Huruf Jer Lam dan Fii

Pemilihan diksi dalam Al-Qur’an tentu punya maksud dan keindahan yang tersimpan. Melihat ayat di atas, ada hal yang menarik untuk dikupas lebih dalam, yaitu penggunaan huruf lam dan fii. Syekh Nawawi Al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid (I/455) mengatakan sebagai berikut:

وَيُصْرَفُ مَالُ الزَّكَاةِ إِلَى الْأَصْنَافِ الْأَرْبَعَةِ الْأول حَتَّى يَتَصَرَّفُوْا فِيْهِ كَمَا شَاءُوْا وَفِيْ الْأَرْبَعَةِ الْأَخِيْرَةِ لَا يُصْرَفُ الْمَالُ إِلَيْهِمْ بَلْ يُصْرَفُ إِلَى جِهَاتِ الْحَاجَاتِ الْمُعْتَبَرَةِ فِيْ الصِّفَاتِ الَّتِيْ لِأَجْلِهَا اسْتَحَقُّوْا سَهْمَ الزَّكَاةِ

Zakat ditasarufkan atau diberikan kepada empat kelompok yang pertama, sehingga mereka menggunakan harta zakat tersebut sebagaimana yang mereka inginkan. Adapun empat kelompok yang terakhir, bagian zakat tersebut tidak digunakan sesuai keinginan mereka. Tetapi, digunakan sesuai tujuan kebutuhan yang dianggap dalam sifat yang menjadikan mereka berhak mendapatkan bagian zakat.

Dalam kitab Hasyiyah Al-Bajuri Ala Ibnu Qasim Al-Ghazi (I/282), Syekh Ibrahim Al-Bajuri (w. 1276 H) mengupas dengan sangat indah terhadap ayat ini. Beliau mengatakan dalam ayat yang mulia ini disandarkannya pada empat kelompok yang pertama dengan menggunakan huruf jer lam lil milki dan pada empat kelompok yang terakhir dengan menggunakan huruf jer fii dhorfiyyah, karena mengisyaratkan bagi empat kelompok yang pertama ketika mereka menerima zakat maka status kepemilikannya mutlak.

Baca juga: Berikut ini Ciri Orang-Orang yang Sabar dalam Al-Quran

Syekh Wahbah dalam Tafsir Al-Munir (V/613) juga mengomentari penggunaan huruf jer lam dan fii, beliau mengatakan:

وَالعُدُوْلُ عَنِ اللَّامِ إِلَى فِيْ لِلدَّلَالَةِ عَلَى أَنَّ الْاِسْتِحْقَاقَ لِلْجِهَةِ، لَا لِلرِّقَابِ

Perpindahan dari penggunaan huruf lam ke fii menunjukkan bahwa hak mendapatkan zakat itu adalah untuk tujuannya (jihah), bukan untuk para budak itu sendiri.

Masih menurut Syekh Ibrahim Al-Bajuri, empat kelompok yang terakhir terbatasi penggunaannya sesuai dengan sebab mereka menerima zakatnya. Jika bagian zakatnya digunakan tidak sesuai dengan tujuan atau setelah digunakan masih tersisa, maka bagian zakatnya diminta kembali.

Ibnu Asyur dalam tafsirnya At-Tahrir Wa At-Tanwir (10/236-237) juga mengungkap rahasia penggunaan huruf jer fii dalam ayat tersebut, beliau berkata:

وَلَمْ يُجَرَّ بِاللَّامِ لِئَلَّا يُتَوَهَّمَ أَنَّ الرِّقَابَ تُدْفَعُ إِلَيْهِمْ أَمْوَالُ الصَّدَقَاتِ، وَلَكِنْ تُبْذَلُ تِلْكَ الْأَمْوَالُ فِيْ عِتْقِ الرِّقَابِ بِشِرَاءٍ أَوْ إِعَانَةٍ عَلَى نُجُومِ كِتَابَةٍ، أَوْ فِدَاءِ أَسْرَى مُسْلِمِيْنَ، لِأَنَّ الْأَسْرَى عَبِيْدٌ لِمَنْ أَسَرُوْهُمْ

Tidak dijerkan dengan lam supaya tidak menimbulkan salah paham bahwa diserahkan harta zakat kepada para budak. Tetapi, harta zakat tadi diserahkan untuk memerdekakan budak dengan membelinya atau menolong pelunasan cicilan akad kitabah, atau membebaskan tawanan orang-orang islam, karena para tawanan itu merupakan budak milik tuannya.

Lebih lanjut, Syekh Ibrahim Al-Bajuri menjelaskan adanya pengulangan huruf jer fii dalam lafadz fi sabilillah wabnissabil itu mengisyaratkan bahwa penggunaan bagian zakat dari budak dan ghorim digunakan untuk orang lain, sedangkan kedua kelompok lainnya yaitu sabilillah dan ibnu sabil digunakan untuk dirinya sendiri.

Selain itu Syekh Wahbah dalam tafsirnya tersebut (V/614) juga mengungkap rahasia lain. Beliau berkata:

وَالسِّرُّ فِيْ التَّعْبِيْرِ بِاللَّامِ الْمُفِيْدَةِ لِلْمِلْكِ فِيْ سِتَّةِ أَصْنَافٍ وَهُمْ الْفُقَرَاءُ وَالْمَسَاكِيْنُ وَالْعَامِلُوْنَ عَلَيْهَا، وَالْمُؤَلَّفَةُ قُلُوْبُهُمْ، وَالْغَارِمُوْنَ، وَابْنُ السَّبِيْلِ أَنَّ أَصْحَابَهَا أَشْخَاصٌ يَمْلِكُوْنَ. وَأَمَّا التَّعْبِيْرُ بِفِيْ فِيْ صِنْفَيْنِ وَهُمَا: فِيْ الرِّقَابِ، وَفِيْ سَبِيْلِ اللهِ فَلِأَنَّ الْمُرَادَ الْجِهَةُ أَو الْأَوْصَافُ وَالْمَصَالِحُ الْعَامَّةُ لِلْمُسْلِمِيْنَ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ الْأَشْخَاصَ

Rahasia dalam ungkapan menggunakan huruf lam yang menunjukkan arti milik dalam enam golongan (orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, para muallaf, orang-orang yang berhutang dan ibnus sabil) itu karena mereka adalah orang-orang yang mempunyai hak milik. Sedangkan penggunaan huruf fii untuk dua golongan yang lain (yaitu budak dan sabilillah) karena yang dimaksud adalah tujuan (jihah) atau sifat-sifat dan kemaslahatan umum bagi umat islam, dan maksudnya bukan beberapa sosok orang.

Baca juga: Makna Lafadz Imra’ah dan Zaujah dalam Al-Quran

Keindahan bahasa Al-Qur’an memang tidak tertandingi. Pemilihan huruf jer yang digunakan dan pengulangan huruf fii dalam ayat ini juga mempunyai makna tersendiri. Mungkin masih banyak rahasia-rahasia lain yang telah diungkap oleh para mufasir dan perlu untuk kita kaji. Sekian. Wallahu Ta’ala A’lam.

Tafsir Surah Maryam ayat 51-53

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 51-53 mengisahkan tentang Nabi Musa ketika berdakwah kepada kaumnya yang musyrik.  Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 51-53 ini juga dijelaskan bahwa Allah mendekatkan Nabi Musa untuk berbicara kepada-Nya dan diantara rahmat Allah kepada Nabi Musa adalah dengan mengangkat Harun menjadi Nabi sebagaimana doanya kepada Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 41-50


Ayat 51

Pada Tafsir Surah Maryam ayat 51-53 khususnya ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar menerangkan kepada kaum musyrik kisah mengenai Nabi Musa a.s. dan keutamaan sifat-sifatnya agar Nabi sendiri beserta kaumnya dapat mengetahui bagaimana Allah menghargai dan memuliakannya.

Keistimewaan-keistimewaan Nabi Musa a.s. itu di antaranya adalah dia orang yang dipilih Allah dan diikhlaskan-Nya untuk semata-mata menyampaikan dakwah agama tauhid seperti dakwahnya kepada Firaun beserta kaumnya, sebagaimana tersebut pada ayat ini:

قَالَ يٰمُوْسٰٓى اِنِّى اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسٰلٰتِيْ وَبِكَلَامِيْ ۖفَخُذْ مَآ اٰتَيْتُكَ وَكُنْ مِّنَ الشّٰكِرِيْنَ

(Allah) berfirman, ”Wahai Musa! Sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) engkau dari manusia yang lain (pada masamu) untuk membawa risalah-Ku dan firman-Ku, sebab itu berpegangteguhlah kepada apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.” (al-Arāf/7: 144)

Allah mengangkatnya sebagai rasul di samping menjadi nabi. Perbedaan antara rasul dan nabi ialah rasul yang mempunyai risalah yang harus disampaikan kepada manusia dan diturunkan kepadanya kitab yang mengandung akidah, hukum-hukum dan sebagainya, sedang nabi adalah orang yang mendapat wahyu dari Allah tentang agama yang benar dan memberitahukan hal itu kepada manusia tetapi tidak mempunyai risalah yang harus disampaikan kepada manusia dan tidak pula diturunkan kitab kepadanya.

Di kalangan Bani Israil banyak nabi yang tugas mereka hanya memelihara dan menyampaikan syariat yang dibawa Nabi Musa yang tersebut dalam kitab Taurat, seperti Yusa`, Ilyas dan lainnya.

Ayat 52

Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 51-53 khususnya ayat ini dijelaskan bagaimana Allah memanggil Musa a.s. dan berbicara langsung dengannya di sebelah kanan bukit Tur, yaitu sebuah bukit yang terletak di semenanjung Sinai. Ketika itu Musa sedang menuju ke Mesir dari Madyan untuk menyampaikan dakwahnya kepada Firaun.

Di bukit Tursina itulah Musa diberitahukan oleh Allah bahwa dia telah diangkat menjadi rasul dan menjanjikan kepadanya bahwa dia akan menang dalam menghadapi Firaun yang zalim yang mendakwahkan dirinya sebagai Tuhan. Tuhan juga menjanjikan kepadanya akan menurunkan rahmat kepada keluarga Bani Israil dengan menurunkan kitab Taurat.

Allah menerangkan pula bahwa Dia telah mendekatkan Musa kepada-Nya di waktu berbicara itu dengan arti memuliakannya dan memilihnya sebagai Rasul-Nya seakan-akan Musa di waktu itu dekat kepada Tuhan sebagaimana dekatnya seorang raja di waktu berbicara dengan menterinya. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana caranya Tuhan berbicara langsung dengan Musa.

Apakah Musa benar-benar mendengar suara ataukah Musa hanya merasa bahwa dia telah berada di alam rohani yang tinggi seakan-akan mendengar wahyu Ilahi. Kita tidak dapat mengetahui bagaimana kejadian yang sebenarnya, semua itu harus kita serahkan kepada Allah Yang Mahakuasa. Kewajiban kita sebagai orang mukmin hanya mempercayainya, karena hal itu dikisahkan di dalam Al-Qur’an.

Ayat 53

Di antara rahmat Allah kepada Musa ialah Allah telah mengabulkan permintaannya agar Harun saudara seibu diangkat pula menjadi nabi untuk membantunya dalam menyampaikan risalah Tuhannya sebagai tersebut dalam ayat:

وَاجْعَلْ لِّيْ وَزِيْرًا مِّنْ اَهْلِيْ ۙ  ٢٩  هٰرُوْنَ اَخِى ۙ  ٣٠  اشْدُدْ بِهٖٓ اَزْرِيْ ۙ  ٣١  وَاَشْرِكْهُ فِيْٓ اَمْرِيْ ۙ  ٣٢

Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku. (Tāhā/20: 29-30-31-32)

Dan dalam ayat:

وَاَخِيْ هٰرُوْنُ هُوَ اَفْصَحُ مِنِّيْ لِسَانًا فَاَرْسِلْهُ مَعِيَ رِدْءًا يُّصَدِّقُنِيْٓ  ۖاِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يُّكَذِّبُوْنِ

Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku takut mereka akan mendustakanku.” (al-Qashash/28: 34)

Sebagai karunia dan rahmat dari Allah kepada Musa Allah mem-perkenankan permintaan Musa itu seperti tersebut dalam ayat:

قَالَ قَدْ اُوْتِيْتَ سُؤْلَكَ يٰمُوْسٰى

Dia (Allah) berfirman, ”Sungguh, telah diperkenankan permintaanmu, wahai Musa! (Tāhā/20: 36)

Mengenai permohonan Nabi Musa a.s. untuk Nabi Harun ini sebagian Ulama salaf (terdahulu) di antaranya Ibnu Jarir ath-Tabari mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang dapat memberikan syafaat kepada orang lain lebih besar dari syafaat yang diberikan kepada Harun dengan perantaraan Nabi Musa.” Menurut riwayat Ibnu Abbas, Harun di waktu itu lebih tua dari Musa sekitar 4 tahun.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 54-55


Tafsir Surah Maryam ayat 41-50

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 41-50 ini mengisahkan tentang Nabi Ibrahim yang dianggap oleh kaum musyrik sebagai bapak bangsa Arab. Dalam Tafsir Surah Maryam ayat 41-50 ini diceritakan bagaimana Nabi Ibrahim berdakwah kepada ayahnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 38-40


Ayat 41

Pada Tafsir Surah Maryam ayat 41-50 ayat-ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah agar ia menerangkan kepada kaum musyrik Mekah kisah Nabi Ibrahim yang mereka anggap sebagai bapak bangsa Arab. Mereka sendiri menganggap diri mereka anak cucunya dan mendakwahkan bahwa mereka adalah pengikutpengikut agamanya. Padahal Nabi Ibrahim adalah seorang mukmin seorang kekasih Allah dan seorang Nabi penyembah Tuhan Yang Maha Esa bukan seorang musyrik penyembah berhala.

Allah memerintahkan kepada Muhammad agar dia menceritakan kepada mereka ketika Nabi Ibrahim melarang kaumnya menyembah berhala dan mengatakan kepada bapaknya sebagai berikut, “Mengapa engkau menyembah berhala-berhala yang tidak dapat mendengar pujian penyembahnya ketika disembah, tidak dapat melihat bagaimana khusyuknya engkau menyembahnya, tidak dapat menolong orang yang menyembahnya dan memberikan manfaat barang sedikit pun dan tidak dapat menolak bahaya bila si penyembah itu meminta tolong kepadanya.”

Dengan kata-kata yang lemah lembut dan dapat diterima akal Nabi Ibrahim menyeru bapaknya kepada tauhid dan meninggalkan penyembahan berhala benda mati yang tidak berdaya. Sedangkan manusia saja yang dapat mendengar dan melihat serta dapat memberikan pertolongan, tidaklah patut disembah, apalagi benda mati yang kita buat sendiri, bila kita hendak merusaknya atau menghancurkannya dia tidak berdaya apa-apa untuk mempertahankan dirinya.

Benda yang demikian halnya yang tidak mungkin memberikan manfaat atau pertolongan kepada manusia, tidaklah patut menjadi sembahan manusia. Hal ini sesuai dengan perumpamaan yang dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوْا لَهٗ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَنْ يَّخْلُقُوْا ذُبَابًا وَّلَوِ اجْتَمَعُوْا لَهٗ ۗوَاِنْ يَّسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْـًٔا لَّا يَسْتَنْقِذُوْهُ مِنْهُۗ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوْبُ

“Wahai manusia! Telah dibuat suatu perumpamaan. Maka dengarkanlah! Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak akan dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Sama lemahnya yang menyembah dan yang disembah.” (al-Hajj/22: 73)

Ayat 43

Selanjutnya Nabi Ibrahim a.s. mengatakan kepada bapaknya bahwa dia telah diberi ilmu oleh Allah yang belum diketahui oleh bapaknya. Dengan ilmu itu Ibrahim dapat memimpin manusia kepada jalan yang lurus dan membebaskannya dari perbuatan yang merendahkan derajatnya seraya membawanya kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Meskipun ia adalah anaknya dan jauh lebih muda tetapi Allah telah menurunkan rahmat-Nya kepada Ibrahim dengan memberikan ilmu itu. Ibrahim sangat ingin agar bapaknya mengikutinya, dengan demikian ia dapat membawa ayahnya ke jalan yang lurus.

Ayat 44-45

Wahai bapakku, janganlah engkau mengikuti ajaran setan yang membawamu kepada menyembah berhala, karena setan itu selalu memperdayakan manusia agar ia tersesat dari jalan yang benar. Sesungguhnya setan itu adalah makhluk yang durhaka kepada Tuhannya makhluk yang sangat sombong dan takabur, karena itu Allah melaknatinya dan menjauhkannya dari rahmat-Nya.

Karena setan itu telah dimurkai oleh Allah dia bertekad akan selalu berusaha menyesatkan manusia. Janganlah bapak termasuk golongan orang-orang yang terkena tipu daya setan dan masuk ke dalam perangkapnya. Aku khawatir sekiranya bapak tetap mengikuti ajarannya bapak akan ditimpa kemurkaan Allah seperti kemurkaan yang telah menimpa setan itu dan tentulah bapak akan termasuk golongannya.

Ayat 46

Bapak Nabi Ibrahim menolak ajakan anaknya yang diucapkan dengan nada lemah lembut itu dengan kata-kata yang keras dan tajam yang menampakkan keingkaran dan kemarahan yang amat sangat.

Bapaknya berkata, “Apakah engkau membenci berhala-berhala yang aku sembah, yang aku muliakan dan yang aku agungkan hai Ibrahim? Apakah engkau tidak menyadari kesalahan pengertianmu? Bukankah berhala-berhala yang aku sembah itu sembahan semua kaummu? Bukankah tuhan-tuhan yang aku muliakan itu sembahan nenek moyangmu sejak dahulu kala? Apakah engkau telah gila atau kemasukan setan dengan dakwahmu bahwa engkau telah mendapat ilmu dari Tuhan sesungguhnya? Jika engkau tidak menghentikan seruanmu itu, aku akan melemparimu dengan batu sampai mati, atau pergilah engkau dari sisiku bahkan dari negeri ini dan tidak usah kembali lagi.”

Mendengar bantahan dan jawaban yang amat keras itu hancur luluhlah hati Ibrahim karena dia sangat sayang dan santun kepada bapaknya dan sangat menginginkan agar dia bebas dari kesesatan menyembah berhala dan menerima petunjuk ke jalan yang benar, serta mau beriman kepada Allah Yang Maha Esa dan Mahakuasa.

Dia ingin agar dengan beriman itu bapaknya akan mendapat karunia dan rahmat dari Tuhannya. Tetapi apa yang akan dilakukan dan dikatakannya, sedang bapaknya sudah kalap dan mengusirnya dari rumah dan kampung halamannya bahkan tidak menginginkan kembalinya seakan-akan dia bukan anaknya lagi.

Ayat 47

Tak ada jawaban dari Ibrahim terhadap bentakan-bentakan bapaknya yang kasar itu kecuali mengucapkan, “selamat sejahtera atasmu.” Aku berdoa agar bapak selalu berada dalam sehat dan afiat.

Aku tidak akan membalas kata-kata yang kasar itu dengan kasar pula karena engkau adalah bapakku yang kucintai. Aku tidak akan melakukan sesuatu pun yang merugikan atau mencelakakan bapak, biarlah aku pergi dari negeri ini meninggalkan bapak, meninggalkan rumah dan kampung halaman.

Aku meminta kepada Tuhan agar bapak diampuni-Nya dan selalu berada dalam naungan rahmat-Nya, mendapat petunjuk kepada jalan yang lurus yang membawa kepada kebaikan dan kebahagiaan. Memang Nabi Ibrahim a.s. telah mendoakannya sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

وَاغْفِرْ لِاَبِيْٓ اِنَّهٗ كَانَ مِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ۙ

“Dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat,” (Asy-Syu’arā/26: 86)

Nabi Ibrahim a.s. yakin bahwa Tuhan akan mengabulkan doanya karena biasanya di masa lalu doanya selalu dikabulkannya. Nabi Ibrahim berdoa untuk bapaknya karena dia telah menjanjikan kepadanya akan beriman sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗٓ اَنَّهٗ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّاَ مِنْهُۗ اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ

Adapun permohonan ampunan Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya. Maka ketika jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri darinya. Sungguh, Ibrahim itu seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun. (at-Taubah/9: 114)

Ayat 48

Selanjutnya Ibrahim berkata kepada bapaknya, “Aku akan pergi meninggalkanmu, meninggalkan kaummu, meninggalkan berhala-berhala yang kamu sembah. Aku akan pergi dari sini agar aku bebas beribadat kepada Tuhanku yang akan menolongku dan melepaskan aku dari bahaya yang menimpaku, karena semua petunjuk dan nasehatku kamu tolak mentah- mentah bahkan mengancamku dengan ancaman yang mengerikan. Aku akan menyembah dan berdoa hanya kepada Tuhanku saja dan sekali-kali aku tidak akan menyembah selain Dia.”

Menurut riwayat, Ibrahim hijrah ke negeri Syam dan di sana dia menikah dengan Siti Sarah. Ia berharap dengan berdoa dan menyembah Tuhan, ia tidak akan menjadi orang yang kecewa seperti ayahnya yang selalu menyembah  dan berdoa kepada berhala-berhala itu, tetapi ternyata berhala-berhala itu tidak dapat berbuat sesuatu apapun apalagi akan melaksanakan apa yang diminta kepadanya.

Ayat 49

Setelah Nabi Ibrahim a.s. meninggalkan negerinya Ur Kildan (Irak) dan menetap di negeri Syam, dikaruniai Tuhan kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Allah mengaruniakan kepadanya anak-anak dan cucu-cucu yang sebahagian dari mereka diangkat Allah menjadi nabi di kalangan Bani Israil.

Allah mengaruniakan kepadanya Ishak, dan Ishak ini pun mendapat anak bernama Yakub yang menggantikan kedudukannya sebagai Nabi. Adapun anak pertamanya Ismail yang ditinggalkannya di sekitar Ka`bah diangkat pula menjadi Nabi yang telah meninggikan dan menyemarakkan syiar agama di sana.

Demikianlah balasan Tuhan kepada Nabi Ibrahim yang bersedia meninggalkan bapaknya, kaumnya dan tanah airnya demi untuk keselamatan akidahnya dan menyebarkan agama tauhid yang diperintahkan Allah kepadanya.

Allah tidak mengabaikan dan tidak menyia-nyiakan bahkan mengganti kesedihan meninggalkan keluarga dan tanah airnya dengan kebahagiaan keluarga dan bertanah air yang baru dan menerima ajaran dan petunjuknya serta memberikan kepadanya anak cucu yang baik-baik yang sebahagiannya menjadi penegak agama Allah bahkan banyak pula yang menjadi nabi.

Ayat 50

Pada Tafsir Surah Maryam ayat 41-50 khususnya ayat ini Allah menerangkan bahwa hampir semua anak-anak Nabi Ibrahim dan cucu-cucunya diangkat-Nya menjadi nabi dan dilimpahkan kepada mereka rahmat dan karunia-Nya serta memberkahi hidup mereka dengan kesenangan dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat nanti.

Mereka semuanya meninggalkan nama yang baik dan mengharumkan serta meninggikan nama Nabi Ibrahim sehingga diakui kemuliaan dan ketinggiannya oleh semua pihak baik dari kalangan umat Yahudi umat Nasrani maupun kaum musyrik sendiri. Ini adalah fakta yang nyata bagi terkabulnya doa Nabi Ibrahim seperti tersebut pada ayat:

وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۙ

Dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. (asy-Syu`arā`/26: 84)

Wajarlah bila Allah mengangkat derajat dan menamakan dia “Khalilullāh” (kesayangan-Nya) seperti tersebut dalam ayat:

وَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya). (an-Nisā`/4: 125)

Dan menjadikan bekas telapak kakinya di waktu membangun Ka`bah tempat yang diberkahi, dan disunatkan salat di sana seperti tersebut dalam ayat:

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ

“Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul dan tempat yang aman bagi manusia. Dan jadikanlah maqam Ibrahim  itu tempat salat.” (al-Baqarah/2: 125)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Maryam ayat 51-53


Makna Lafadz Imra’ah dan Zaujah dalam Al-Quran

0
makna lafadz imra'ah dan zaujah
makna lafadz imra'ah dan zaujah

Al-Qur’an telah menyebutkan bahwa makna istri terkadang menggunakan lafadz imra’ah maupun zaujah. Apakah lafadz imra’ah dan zaujah itu berbeda? Bagaimana perbedaan di antara keduanya? Mari kita analisis perbedaan kedua lafadz tersebut.

Pertama, imra’ah. Dalam kitab Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur, kata imra’ah diartikan perempuan, yang menunjukkan perempuan dewasa. Selain itu, dalam Al-Qur’an ada yang menggunakan imra’ah bermakna istri yang tidak seideologi dan tidak ada kecocokan dalam pemikiran, seperti istri Nabi Nuh, Nabi Luth, dan Fir’aun. Sebagaimana pemaknaan imra’ah dalam QS. At-Tahrim [66]: 10

 …..ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَاَتَ نُوْحٍ وَّامْرَاَتَ لُوْطٍۗ

Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth...

Pada QS. At-Tahrim [66]: 10 makna istri tidak menggunakan lafadz zaujah, tetapi menggunakan lafadz imra’ah. Di dalam kitab Tafsir Muyassar dijelaskan bahwa Allah memberikan perumpamaan bagi orang-orang kafir kepada Allah dan Rasulnya, seperti istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth.

Baca Juga: Mengenal Terma-Terma Perempuan dalam Al-Quran

Kedua istri tersebut adalah dua istri bagi hamba yang saleh (istri nabi). Tetapi, mereka mengkhianati suaminya dengan menghalang-halangi dari jalan Allah dan malah istri Nabi Nuh dan Luth menolong orang-orang kafir dari golongan mereka. Sehingga kedudukan mereka sebagai istri nabi tidak ada manfaatnya dan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka bersama orang-orang kafir dan fasik.

Dengan demikian, kita mengetahui bahwa Nabi Nuh dan Nabi Luth berbeda keimanan dengan istrinya. Istri Nabi Nuh dan Nabi Luth tidak beriman kepada Allah SWT.. Sedangkan Nabi Nuh dan Nabi Luth beriman kepada Allah SWT..

Selain itu, firman Allah SWT. dalam QS. Al-Qasas [28]: 9

وَقَالَتِ امْرَاَتُ فِرْعَوْنَ قُرَّتُ عَيْنٍ لِّيْ وَلَكَۗ

“Dan istri Fir’aun berkata, “(Dia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu…”

Dalam QS. Al-Qasas [28]: 9, pemaknaan istri juga menggunakan lafadz imra’ah. Dalam kitab Ma’alim al-Tanzil karya Al-Baghawi diceritakan bahwa Ketika Fir’aun dikalahkan Nabi Musa, istrinya itu beriman dan ketika Fir’aun mengetahui istrinya beriman, maka kedua tangan dan kaki istrinya dipasak dengan 4 pasak dan dijemur di bawah terik panas matahari.

Baca Juga: Kriteria Perempuan Salihah dalam Surah At-Tahrim Ayat 11-12

Tapi, kenapa dalam pemaknaan istri pada Nabi Zakaria dan istrinya menggunakan lafadz imra’ah? Kenapa tidak menggunakan zaujah? Yang notabene antara Nabi Zakaria dan istrinya telah sama-sama beriman, sepemikiran, dan seideologi. Mengapa demikian?

Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Maryam [19]: 5

وَكَانَتِ امْرَاَتِيْ عَاقِرًا

“…padahal istriku (istri Nabi Zakaria) seorang yang mandul…”

Dalam Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Shihab bahwa Nabi Zakaria sangat khawatir terhadap kerabatnya yang tidak dapat menangani urusan agama dengan baik, setelah nantinya Nabi Zakaria meninggal dunia.  Kemudian Nabi Zakaria berdoa seraya berharap kepada Allah SWT., mengadu dengan-Nya supaya dianugerahi keturunan. Setelah itu, Allah mengabulkan harapan dan dianugerahi seorang anak yaitu Nabi Yahya.

Dengan demikian, mengapa istri Nabi Zakaria menggunakan lafadz imra’ah padahal keduanya sama-sama beriman kepada Allah SWT. adalah karena adanya masalah kemandulan (belum mempunyai keturunan/ dianugerahi anak oleh Allah SWT.).

Setelah Allah mengabulkan permintaan Nabi Zakaria, maka pemaknaan istri dalam tidak lagi menggunakan lafadz imra’ah, tetapi menggunakan lafadz zaujah. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Al-Anbiya’ [21]: 90

فَاسْتَجَبْنَا لَهٗ ۖوَوَهَبْنَا لَهٗ يَحْيٰى وَاَصْلَحْنَا لَهٗ زَوْجَهٗۗ

“Maka Kami kabulkan (doa)nya, dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya, dan Kami jadikan istrinya (dapat mengandung)…”

Dari beberapa ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa penggunaan lafadz imra’ah dalam Al-Qur’an dimaknai sebagai istri yang tidak sepemikiran, seiman, dan seidelogi. Selain itu, imra’ah dimaknai sebagai istri yang mandul (tidak memiliki keturunan) meskipun memiliki kecocokan dalam agama maupun seiman.

Baca Juga: Inilah Beberapa Perempuan yang Disinggung dalam Al-Quran

Kedua, zaujah. Menurut Raghib Al-Ishfahani dengan karyanya, Mufradat fi Gharib Al-Qur’an penggunaan lafadz zaujah bermakna dua hal yang sama-sama berpasangan, misalnya pria dan wanita. Sehingga penggunaan lafadz zaujah dalam Al-Qur’an diartikan sebagai perempuan yang menjadi istri (pasangan hidup) dan memiliki ideologi, keimanan, dan pemikiran yang sama.

Selain itu, timbul adanya rasa cinta kasih dan keharmonisan di dalam hubungannya dan istri tersebut dapat memberikan keturunan (anak), seperti istri Nabi Muhammad saw.. Sebagaimana firman Allah SWT. dalam QS. Al-Ahzab [33]: 59

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ قُل لِّأَزْوَٰجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin…”

Selain itu, terdapat juga pada firman Allah SWT. dalam QS. Al-Baqarah [2]: 35

وَقُلْنَا يٰٓاٰدَمُ اسْكُنْ اَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ

“Dan Kami berfirman, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga…”

Menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa Allah memberikan kehormatan yang dianugerahkan kepada Adam, sesudah memerintahkan kepada para malaikat bersujud kepadanya, lalu mereka bersujud kecuali iblis. Allah mempersilahkan Adam dan istrinya untuk bertempat tinggal di surga dan boleh makan apa saja dengan leluasa sesuai yang dia kehendaki. Sehingga pada ayat ini, dalam Al-Qur’an menggunakan lafadz zaujah. Karena Nabi Adam dan istrinya termasuk sebagai orang yang sama-sama beriman dan memiliki kecocokan dalam pemikiran.

Wallahu a’lam bishowab.

Tafsir Surah Maryam ayat 38-40

0
Tafsir Surah Maryam
Tafsir Surah Maryam

Tafsir Surah Maryam ayat 38-40 ditujukan kepada Nabi Muhammad untuk menceritakan bagaimana nasib orang-orang kafir pada hari akhir nanti. Tafsir Surah Maryam ayat 38-40 juga menjelaskan bahwa di hari kiamat kelak orang-orang yang tidak mengimani Allah dan Rasulnya akan menyesal dan penyesalan mereka akan menjadi sia-sia. Pada akhir Tafsir Surah Maryam ayat 38-40 ini Allah menghibur Nabi Muhammad.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Maryam ayat 34-37


Ayat 38

Pada hari kiamat nanti orang-orang kafir itu karena memikirkan nasib mereka yang malang telinganya menjadi sangat peka dan penglihatannya sangat tajam apa saja yang terjadi segera menjadi perhatian mereka. Maka Allah lalu berfirman, “Alangkah pekanya telinga mereka dan alangkah tajamnya penglihatan mereka di kala mereka menghadap Kami.

Padahal mereka di dunia seakan-akan tuli tidak dapat mendengarkan petunjuk yang di bawa Nabi, dan seakan-akan buta tidak dapat melihat kebenaran dan mukjizat yang diberikan kepada para rasul. Mereka tidak melihat atau merasakan kekuasaan Allah yang tampak dengan nyata di alam semesta.”

Seandainya mereka semasa di dunia mempergunakan pendengaran dan penglihatan seperti keadaan mereka di akhirat itu tentulah mereka tidak akan tetap dalam kekafiran, mereka akan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Tetapi tidak ada gunanya lagi telinga yang peka dan mata yang tajam pada waktu itu, karena nasib mereka sudah ditentukan dan pastilah mereka masuk neraka.

Mereka pada waktu itu merasa sangat menyesal dan berangan-angan agar mereka dapat dikembalikan ke dunia untuk memperbaiki kesalahan dan kedurhakaan mereka, tetapi apa hendak dikata nasi telah menjadi bubur. Angan-angan kosong itu tidak akan terkabul karena mereka akan dibelenggu, dirantai, dan dimasukkan ke neraka sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

خُذُوْهُ فَغُلُّوْهُۙ  ٣٠  ثُمَّ الْجَحِيْمَ صَلُّوْهُۙ  ٣١  ثُمَّ فِيْ سِلْسِلَةٍ ذَرْعُهَا سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا فَاسْلُكُوْهُۗ  ٣٢  اِنَّهٗ كَانَ لَا يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ الْعَظِيْمِۙ  ٣٣

(Allah berfirman), “Tangkaplah dia lalu belenggulah tangannya ke lehernya.” Kemudian masukkanlah dia ke dalam api neraka yang menyala-nyala.  Kemudian belitlah dia dengan rantai yang panjangnya tujuh puluh hasta. Sesungguhnya dialah orang yang tidak beriman kepada Allah Yang Mahabesar.  (al-Hāqqah/69: 30-33)

Demikianlah nasib mereka di akhirat nanti karena mereka adalah orang-orang yang benar-benar telah sesat dari jalan yang lurus.

Ayat 39

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw agar dia memberi peringatan kepada manusia khususnya kaum musyrik Mekah tentang hari Kiamat mereka mati dalam keadaan kafir, orang-orang kafir akan menyesali diri mereka karena tidak mau beriman dan selalu berusaha menegakkan yang batil semasa hidup di dunia.

Para mukmin dibawa ke surga dan orang-orang kafir digiring ke neraka. Kepada kedua golongan ini diberitahukan bahwa masing-masing mereka tidak akan keluar selama-lamanya dari tempat yang telah disediakan bagi mereka, dan mereka tidak akan mengalami kematian selama-lamanya.

Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Abu Sa`id, Rasulullah saw bersabda, “Pada waktu itu dibawalah “kematian” berbentuk seekor biri-biri yang bagus rupanya, lalu datang orang yang menyerukan, Hai penghuni surga! Lalu mereka tertegun memperhatikan. Maka penyeru itu bertanya, “Tahukah kamu apa ini?” Mereka menjawab, Ya, itu adalah “Kematian.” Semua mereka melihatnya.

Kemudian penyeru yang lain berseru pula. Hai penghuni neraka! Tahukah kamu apakah ini? Mereka menjawab, ya! Itu adalah “kematian.” Mereka melihatnya pula. Maka “kematian” yang berbentuk biri-biri itu di-sembelihkan di antara surga dan neraka, lalu penyeru itu berkata, “Hai penghuni surga kamu kekal di dalam surga dan kamu tidak akan mengalami kematian lagi. Hai penghuni neraka, kamu kekal di dalam neraka dan tidak akan mengalami kematian lagi.” Kemudian Rasulullah membacakan ayat ini. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Ketika itu sadarlah orang-orang kafir akan keteledoran mereka dan mereka menyesal mengapa mereka di dunia dahulu mengingkari hari ke-bangkitan, mengapa mereka tidak mau memikirkan ajakan dan petunjuk ke jalan yang benar, tetapi sesalan itu tidak berguna lagi.

Ayat 40

Pada ayat ini Allah menghibur Nabi Muhammad, meminta Nabi untuk tidak bersedih hati karena kaum musyrik tidak mau beriman dan selalu mendustakannya. Karena mereka kelak akan kembali kepada Allah dan akan dibalas kekafiran mereka dengan balasan yang setimpal karena Kamilah Yang Mahakuasa. Kamilah yang mewarisi bumi dan segala isinya pada hari Kiamat nanti.

(Tafsir Kemenag)


Baca Selanjutnya: Tafsir Surah Maryam ayat 41-50