Beranda blog Halaman 392

Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25

0
tafsir surah al insyiqaq
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25 ini menuturkan tentang golongan kedua, yaitu orang-orang yang tidak beruntung, setelah sebelumnya sempat disinggung mengenai golongan yang mendapatkan hisab yang mudah dan ringan.


Baca juga: Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 1-9


Dalam Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25 ini dikatakan bahwa golongan kedua tersebut adalah orang-orang yang berprilaku buruk ketika di dunia. Salah satunya adalah mendustakan ayat-ayat Allah dan utusan Allah Swt.

Ayat 10-12

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa golongan kedua adalah mereka yang banyak mengerjakan perbuatan maksiat, durhaka, dan tidak diridai Allah. Mereka akan menerima catatan perbuatan mereka dengan tangan kiri, dan dari belakang, kemudian mereka dimasukkan ke dalam neraka.

وَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِشِمَالِهٖ ەۙ فَيَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ لَمْ اُوْتَ كِتٰبِيَهْۚ  ٢٥  وَلَمْ اَدْرِ مَا حِسَابِيَهْۚ  ٢٦  يٰلَيْتَهَا كَانَتِ الْقَاضِيَةَۚ  ٢٧  مَآ اَغْنٰى عَنِّيْ مَالِيَهْۚ   ٢٨  هَلَكَ عَنِّيْ سُلْطٰنِيَهْۚ  ٢٩

Dan adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kirinya, maka dia berkata, “Alangkah baiknya jika kitabku (ini) tidak diberikan kepadaku. Sehingga aku tidak mengetahui bagaimana perhitunganku. Wahai, kiranya (kematian) itulah yang menyudahi segala sesuatu. Hartaku sama sekali tidak berguna bagiku. Kekuasaanku telah hilang dariku.” (al-Haqqah/69: 25-29)

Ayat 13-14

Dalam ayat-ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ada dua hal yang menjadi sebab mengapa mereka menerima catatan amalnya dengan tangan kiri, yaitu: pertama, mereka berbuat sekehendak hatinya, mengerjakan kejahatan dan kemaksiatan dengan tidak memikirkan akibat buruk yang akan menimpa mereka di akhirat kelak.

Kedua, mereka menyangka bahwa mereka tidak akan kembali kepada Tuhannya dan tidak akan dibangkitkan kembali untuk dihisab dan menerima hasil perbuatan mereka di dunia.

Ayat 15

Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa mereka sesungguhnya akan kembali kepada-Nya dan akan menerima hasil perbuatan mereka di dunia. Orang yang saleh dan patuh mengerjakan perintah-Nya akan dimasukkan ke dalam surga, sedang orang yang durhaka dan banyak berbuat maksiat akan dimasukkan ke dalam neraka.

Ayat 16-19

Dalam ayat-ayat ini, Allah bersumpah dengan cahaya merah pada waktu senja, dengan malam dan apa-apa yang diselubunginya dan dengan bulan apabila jadi purnama bahwa sesungguhnya manusia melalui tahap demi tahap dalam kehidupan, dari setetes air mani sampai dilahirkan.

Kemudian melalui masa kanak-kanak, remaja dan dewasa sampai tua. Kemudian dari hidup sampai mati, lalu dibangkitkan kembali, hidup kembali di surga atau neraka setelah melalui ujian dan perhitungan yang sangat teliti.

Ayat 20

Dalam ayat ini, Allah mencela sikap dan perbuatan mereka, “Mengapa mereka masih tidak mau beriman, sedangkan bukti telah nyata menunjukkan adanya hari kebangkitan itu?” Firman Allah:

زَعَمَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنْ لَّنْ يُّبْعَثُوْاۗ قُلْ بَلٰى وَرَبِّيْ لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْۗ وَذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌ   ٧

Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kamu kerjakan.” Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. (at-Tagabun/64: 7)

Ayat 21-22

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa mereka tidak mau mengakui bahwa Alquran itu kalam Ilahi yang harus dimuliakan dan dipatuhi serta tidak mengakui bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw utusan Allah.


Baca juga: Kajian Semantik Kata Membaca dan Konteksnya dalam Al-Quran


Ayat 23-24

Dalam ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan sebab mereka tidak mau mengakuinya, yaitu:

  1. Mereka dengki kepada Nabi Muhammad atas kelebihan yang telah dikaruniakan Allah kepadanya.
  2. Mereka takut kehilangan pengaruh dan kedudukan sebagai pemimpin bangsanya.
  3. Mereka tidak mau mengganti kepercayaan yang telah dianut oleh nenek moyang mereka dengan kepercayaan yang lain. Allah mengetahui apa yang mereka sembunyikan dalam hati mereka. Oleh karena itu, Allah mengejek mereka dengan kata-kata, “Berilah kabar gembira kepada mereka dengan azab yang pedih di hari Kiamat nanti.”

Ayat 25

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, percaya kepada Alquran, serta mengerjakan ajarannya dengan sebaik-baiknya, akan mendapat ganjaran dari Allah yang tidak ada putus-putusnya, abadi selama-lamanya.


Baca setelahnya: Surah Al Buruj Ayat 11-22


(Tafsir Kemenag)

Pola Asuh Anak Ala Istri Imran: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 35-37

0
Pola Asuh Anak Ala Istri Imran dalam Surat Ali-Imran Ayat 35-37
Pola Asuh Anak Ala Istri Imran dalam Surat Ali-Imran Ayat 35-37

Keluarga merupakan kehidupan pertama (alam syahadah) bagi seorang anak dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk mendapatkan pengetahuan, memiliki sikap dan pengembangan keterampilan dalam menjalani kehidupan. Peran orang tua dalam menanamkan karakter kepada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh anak yang diterapkan dari orangtua untuk anak.

Al-Qur’an sebagai kitab pedoman umat manusia telah menyuguhkan beberapa kisah antara orang tua dan anak, seperti kisah Ibrahim dan anaknya Ismail, Ya’qub dan anaknya Yusuf, Luqman dan putranya. Kisah-kisah tersebut telah melahirkan berbagai bentuk pola asuh yang sangat menakjubkan. Pada tulisan ini kita akan membahas pola asuh yang diterapkan istri Imran terhadap Maryam, sehingga dia menjadi wanita pilihan karena sifat-sifatnya dan kelebihan khusus yang tidak akan didapati oleh wanita seluruh dunia.

Kisah istri Imran dalam mendidik Maryam terdapat dalam QS. al-Imran [3]: 35-37

اِذۡ قَالَتِ امۡرَاَتُ عِمۡرٰنَ رَبِّ اِنِّىۡ نَذَرۡتُ لَـكَ مَا فِىۡ بَطۡنِىۡ مُحَرَّرًا فَتَقَبَّلۡ مِنِّىۡ ۚ اِنَّكَ اَنۡتَ السَّمِيۡعُ الۡعَلِيۡمُ​‏ ﴿3:35﴾ فَلَمَّا وَضَعَتۡهَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّىۡ وَضَعۡتُهَاۤ اُنۡثٰىؕ وَاللّٰهُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡؕ وَ لَيۡسَ الذَّكَرُ كَالۡاُنۡثٰى​​ۚ وَاِنِّىۡ سَمَّيۡتُهَا مَرۡيَمَ وَاِنِّىۡۤ اُعِيۡذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيۡطٰنِ الرَّجِيۡمِ‏  ﴿3:36﴾ فَتَقَبَّلَهَا رَبُّهَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّاَنۡۢبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّكَفَّلَهَا زَكَرِيَّا ​ؕ كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيۡهَا زَكَرِيَّا الۡمِحۡرَابَۙ وَجَدَ عِنۡدَهَا رِزۡقًا ​ۚ​ قَالَ يٰمَرۡيَمُ اَنّٰى لَـكِ هٰذَا ؕ​ قَالَتۡ هُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰهِ​ؕ اِنَّ اللّٰهَ يَرۡزُقُ مَنۡ يَّشَآءُ بِغَيۡرِ حِسَابٍ‏ ﴿3:37

35. (ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”.

36. Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai Dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.”

37. Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah”. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”

Baca juga: Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa

Ayat di atas mengisahkan tentang istri Imran ketika sedang mengandung. Uniknya, Al-Qur’an tidak menyebut nama istri Imran secara langsung, melainkan dengan laqab. Dalam tafsir Al-Misbah juz ke-15 Quraish Shihab menjelaskan bahwa apabila Al-Qur’an mengungkap seseorang dengan nama aslinya, itu mengisyaratkan bahwa kisah tersebut tidak akan terulang kembali, seperti kisah Isa bin Maryam dan Adam.

Akan tetapi, jika Al-Qur’an mengungkap seseorang melalui gelarnya seperti Fir’aun, abu Lahab, istri Imran, dan sebagainya, hal itu mengisyaratkan bahwa kisah serupa akan terulang di lain waktu. Maka, kaidah tersebut mengisyaratkan bahwa kisah istri Imran dalam mendidik anaknya, dapat terulang kembali.

Tafsir Surat al-Imran Ayat 35-37

Teks ayat 35 menjelaskan bahwa sejak mengandung, istri Imran telah bernazar. Raghib Al-Asfahani mengatakan bahwa nazar adalah kewajiban-kewajiban yang diwajibkan terhadap diri sendiri bukan kerena tuntutan syariat, seperti puasa yang dilakukan Maryam yang tidak berbicara dengan manusia. Dan makna nazar menurut Ibnu Manzur dalam kitabnya lisanul Al-‘Arab adalah nahbu (ratapan dan tangisan).

Penjelasan tersebut mendeskripsikan bahwa selama mengandung, istri Imran melakukan hal-hal yang tidak wajibkan Allah (sunah) serta berdoa sambil menangis dan meratap. Menurut Quraish Shihab itu adalah bentuk mendekatkan diri kepada Allah agar Allah berkenan mengabulkan permintaannya, yaitu menjadikan janin yang dikandungnya muharran: anak yang terbebas dari segala ikatan, maksudnya ketundukan mutlak hanya kepada Allah, tidak terganggu oleh apa dan siapa pun dalam mengabdi kepada-Nya.

Baca juga: Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media

Pola asuh yang tergambar dari penjelasan tersebut adalah selama mengandung seorang ibu dituntut untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mulai mencita-citakan masa depan buah hati sejak dalam kandungan.

Memberi Nama yang Bagus, Berharap Memiliki Akhlak yang Bagus

Selanjutnya, ayat 36 menjelaskan tentang istri Imran yang telah melahirkan anak perempuan yang diberi nama Maryam, wa inni sammaituha maryama. Maryam bermakna seorang pengabdi, Zamakhsayari dalam kitabnya yakni al-Kasyaf menjelaskan bahwa pemberian nama Maryam bukan tanpa maksud. Hal ini karena istri Imran pada awalnya sangat menginginkan anak laki-laki agar dapat menjadi pengabdi Baitu al-Maqdis karena keadaan sosial pada saat itu hanya laki-laki yang boleh mengabdi di sana.

Walaupun istri Imran melahirkan anak perempuan, hal itu tidak menyurutkan tekadnya untuk menjadikan Maryam sebagai ‘pengabdi’ melalui namanya. Penjelasan tersebut mendeskripsikan bahwa pola asuh yang dilakukan istri Imran adalah memberi nama kepada anak sesuai dengan harapan yang diinginkan.

Sebagaimana penjelasan Ibnu Qayyim dalam kitabnya Maudud bi Ahkami al-Maulud, bahwa secara umum akhlak, perilaku dan perbuatan buruk mengarah kepada nama-nama yang buruk juga dan perilaku yang bagus mengarah pada nama-nama yang bagus.

Ketulusan dan keikhlasan yang sempurna dalam bernazar serta keridhaan hati dalam menerima ketentuan Allah membuahkan hasil, Allah mengabulkan nazar Istri Imran, sehingga apa yang dimohonkan dikabulkan oleh Allah secara bertahap dari waktu ke waktu, sebagaimana dipahami dari kata taqabbala. Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah juga mendidik Maryam dengan pendidikan yang baik, dengan memilih seorang pengasuh dan pendidik terbaik, yaitu Zakaria seorang nabi dari Bani Israil dan juga seorang pengabdi untuk Baitul al-Madis.

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Pengasuhan Maryam di bawah nabi Zakaria bukan sebuah ketetapan Allah tanpa ada sebab, melainkan juga atas nazar yang kuat dan doa yang khusyuk. Memilih pengasuh dan guru yang terbaik merupakan pola asuh yang diterapkan Istri Imran terhadap anaknya. Memilih guru adalah hal yang sangat penting karena akan memberikan pengaruh besar terhadap kehidupan. Sebagaimana nasehat Abu Hanifah dalam kitab ta’lim muta’alim  carilah guru yang berakhlak mulia, wara’, penyantun dan penyabar.

Demikianlah,  beberapa pola asuh yang diterapkan istri Imran kepada Maryam. Wallahu A’lam

Meneladani Rasa Cinta Tanah Air dari Nabi Muhammad SAW. dan Nabi Ibrahim AS.

0
Meneladani Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim untuk cinta tanah air
Meneladani Nabi Muhammad dan Nabi Ibrahim untuk cinta tanah air

Ada satu ungkapan populer yang dituturkan oleh Quraish Shihab dalam Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, “Cinta tanah air adalah bagian dari iman (hubb al-watan min al-iman).” Namun sekarang ini, rasa cinta tanah air mengalami krisis. Krisis rasa cinta tanah air adalah masalah bersama yang terus mendapatkan perhatian serius sampai hari ini.

Selain kerena kurangnya semangat belajar sejarah kebangsaan, keadaan semakin keruh karena kehadiran beberapa kelompok yang sengaja ingin menelanjangi rasa cinta tanah air. Tentu saja, mereka yang pengetahuan agamanya masih dangkal akan mudah dicuci otaknya. Kelompok ini biasanya menyasar kaum muda yang sedang dan baru belajar agama.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 144: Cinta Tanah Air Itu Fitrah Manusia

Makna cinta tanah air di balik doa Ibrahim AS

Nabi Ibrahim AS adalah pribadi yang memiliki kecintaan tinggi terhadap tanah airnya. Walaupun ketika itu tanah kelahiran Nabi Ibarahim AS masih sepi, tandus, sunyi dan tidak ada rasa aman. Bukti rasa cinta tanah air Nabi Ibrahim AS dapat dilihat dalam QS. Al Baqarah [2]: 126:

وَإِذۡ قَالَ إِبۡرَ ٰ⁠هِـۧمُ رَبِّ ٱجۡعَلۡ هَـٰذَا بَلَدًا ءَامِنࣰا وَٱرۡزُقۡ أَهۡلَهُۥ مِنَ ٱلثَّمَرَ ٰ⁠تِ مَنۡ ءَامَنَ مِنۡهُم بِٱللَّهِ وَٱلۡیَوۡمِ ٱلۡـَٔاخِرِۚ قَالَ وَمَن كَفَرَ فَأُمَتِّعُهُۥ قَلِیلࣰا ثُمَّ أَضۡطَرُّهُۥۤ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلنَّارِۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِیرُ

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Wahai Tuhanku, jadikanlah (Mekah) ini negeri yang aman sentosa dan berilah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia menjalani siksa neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.”

Doa Nabi Ibrahim AS untuk keamanan Mekah dan kesejahteraan rakyatnya yang diceritakan dalam QS. Al Baqarah [2]: 126 di atas adalah ungkapan rasa cinta Nabi Irahim AS terhadap tanah airnya. Dalam Tafsir al-Maraghi dijelaskan, yang dimaksud dengan “aman” dalam doa Nabi Ibrahim AS adalah aman dari berbagai bencana alam seperti banjir, gemba bumi, tanah longsor dan lain-lain.

Baca juga: Surat Maryam Ayat 96: Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh

Selain berdoa agar diberikan keamanan, Nabi Ibrahim AS juga berdoa untuk kesejahteraan penduduk Mekah dari berbagai macam buah-buahan. Lebih tegas lagi, Shibab dalam Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan pentingnya setiap muslim berdoa untuk keamanan tempat tinggalnya, dan agar penduduknya memperoleh kesejahteraan rezeki yang melimpah. Lalu, apakah ini masih kurang untuk membuktikan kecintaan Nabi Ibrahim AS terhadap tanah airnya?

Ketika Muhammad SAW merindukan Mekah

Momen kecintaan Nabi Muhammad SAW terhadap tanah airnya diabadikan dalam Al-Quran QS. Al Baqarah [2]: 144:

قَدْ نَرٰى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِى السَّمَاۤءِۚ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضٰىهَا ۖ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوْا وُجُوْهَكُمْ شَطْرَهٗ ۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ لَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ

“Sungguh Kami melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

Mengomentari ayat ini, Bisri Mustofa dalam Tafsir al-Ibriz menegaskan bagaimana rasa cinta tanah air seorang Muhammad SAW yang begitu tinggi. Ketika Nabi hijrah ke Madinah, arah kiblat dialihkan ke Bayt al-Muqaddas. Namun setelah enam belas atau tujuh bulan lamanya, Nabi rindu kampung halamannya, Mekah dan juga Ka’bah. Pada akhirnya Allah SWT merestui keinginan Nabi dan mengembalikan arah kiblat menghadap Ka’bah seperti sedia kala. Peralihan arah kiblat ini sempat mendapat kecaman dari orang-orang Musyrik waktu itu. Dari sini, terlihat seolah Bisri Mustofa ingin menyampaikan sebuah pesan yang bernada pertanyaan; jika Nabi saja sangat mencintai tanah airnya, lalu bagaimana dengan kita selaku umatnya? Bukankah semestinya kitapun mencintai tanah air kita, Indonesia ini?

Baca juga: Surah Al-Baqarah Ayat 129: 3 Harapan Nabi Ibrahim Untuk Figur Nabi Muhammad saw

Rasa cinta tanah air Nabi juga terekam dalam Sahih Muslim. Dikisahkan bahwa sebelum Nabi hijrah ke Madinah dan beranjak meninggalkan Mekah, dari atas tunggangannya beliau mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya engakau (Mekah) adalah bumi Allah yang paling aku cintai. Seandainya bukan yang bertempat tinggal di sini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu.”

Suatu waktu, Ashil al-Ghifari, salah seorang sahabat Nabi selesai melakukan perjalanan dari kota Mekah. Sebelum pulang ke rumahnya di Madinah, ia terlebih dulu mampir dan sowan ke dhalem Nabi. Sesampainya di sana, Sayyidah Aisyah menyambut kedatangan Ashil. “Ceritakan kepadaku wahai Ashil, bagaimana kondisi Mekah saat ini?” tanya Aisyah. Ashil menjawab, “Aku menyaksikan betapa Mekah sekarang sudah sangat subur dan aliran sungainya bening.”

Nabi yang ketika itu berada di dalam kamar segera menimpali percakapan Ashil dan Aisyah. “Coba ulangi Ashil, bagaimana kondisi Mekah saat ini?” pinta Nabi. Mendengar permintaan Nabi, Asyil segera menjawab, “Demi Allah ya Rasulallah, Mekah tumbuh subur dengan tanaman-tanamannya, tampak hijau dan sejuk dengan aliran sungainya.” Mendengar jawaban itu, Nabi menatap jauh ke luar rumahnya. Sebuah tatapan kerinduan akan tanah kelahiran. “Cukup, jangan membuatku tambah bersedih,” Nabi meminta Ashil untuk tidak meneruskan ceritanya. Kisah haru ini diceritakan oleh al-Azraqi dalam Akhbar Makkah wa Ma Ja’a fiha min al-Atsar.

Pelajaran apa yang bisa dipetik?

Cinta tanah air yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW di atas memberikan satu pelajaran berharga; bahwa cinta tanah air harus diwariskan kepada anak cucu, dari generasi ke generasi berikutnya. Sebagai penerus dari eyangnya, Nabi Ibrahim AS, Nabi Muhammad SAW pun memiliki kecintaan yang sama pada Mekah yang menjadi tanah kelahirannya. Karena itu, ajaran dari dua nabi ulul ‘azmi ini jelas sekali sudah mengkonsep sedemikian rupa nilai-nilai cinta tanah air dan nasionalisme.

Istilah cinta tanah air dan nasionalisme memang belum dikenal pada masa Nabi Ibrahim AS, bahkan sampai masa Nabi Muhammad SAW pun belum dikenal. Akan tetapi, ungkapan doa yang dimunajatkan Nabi Ibrahim AS dan kerinduan Nabi Muhammad SAW pada Mekah, tidak lain adalah bukti nyata dari karakter nasionalis serta cinta tanah air. Karakter inilah yang harus dimiliki oleh setiap warga negara, terurama kita warga negara Indonesia. Karakter ini pula yang menjadi kunci dalam mewujudkan sebuah negeri yang tayyibatun wa rabbun ghafur.

Cinta tanah air memang harus terus dan selalu dikampanyekan di tengah-tengah gerilya “di balik layar” kelompok fundamentalis pengusung gagasan transnasional. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan memperbanyak tulisan-tulisan tentang nilai, ajaran dan semangat cinta tanah air menurut Islam (Al-Qur’an, hadis dan sejarah). Wallahu a’lam.

Inilah 3 Keutamaan Surah Al-Muawwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas)

0
Surah Al-Muawwidzatain
Surah Al-Muawwidzatain

Surah an-Nas dan al-Falaq atau sering disebut surah al-muawwidzatain merupakan dua surah yang sering dibaca oleh umat Islam dalam berbagai kesempatan. Misalnya, ketika melaksanakan witir – terutama pada rakaat ketiga – biasanya surah yang dibaca adalah muawwidzatain. Kebiasaan ini bukan tanpa dasar, karena merujuk pada perbuatan nabi Muhammad saw yang menunjukkan tentang keutamaan surah muawwidzatain.

Dalam suatu riwayat dinyatakan bahwa Aisyah ra pernah ditanya tentang surah yang dibaca oleh nabi Muhammad saw dalam shalat witir. Dia menjawab, “Pada rakaat pertama beliau membaca sabbihisma rabbika al-a‘la, pada rakaat kedua membaca qul ya ayyuha al-kafirun, dan pada rakaat ketiga membaca qul huwallahu ahad dan al-mu‘awwidzatain.” (HR. Tirmidzi).

Surah an-Nas dan al-Falaq dinamakan surah muawwidzatain atau dua surah perlindungan karena keduanya diturunkan berkaitan erat dengan peristiwa disihirnya nabi Muhammad saw. Menurut Imam As-Suyuthi dalam kitab Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul, peristiwa tersebut adalah asbabun nuzul surah an-Nas dan al-Falaq. Selain itu, Aisyah ra dalam hadis riwayat Tirmidzi juga menyebut keduanya sebagai muawwidzatain.

Baca Juga: 5 Keutamaan Surah Ad-Dukhan Menurut Riwayat Hadis dan Tafsir

Kedua surah ini – menurut As-Suyuthi – merupakan surah madaniyah yakni wahyu Al-Qur’an yang turun pasca hijrah nabi Muhammad saw ke Madinah dan keduanya turun secara bersamaan. Ini didasarkan pada sabda nabi saw riwayat ‘Aqabah bin ‘Amir, “Malam ini ada dua surah yang telah diturunkan kepadaku yang mana sebelumnya saya belum pernah melihat yang seperti itu yaitu ma’udzatain” (Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran).

Ali bin Ibrahim al-Qummi dalam tafsirnya, Tafsir al-Qummi, dan Sayid Hasyim al-Bahrani dalam kitabnya, Tafsir al-Burhan, menuturkan bahwa suatu ketika nabi Muhammad saw mengalami sakit demam yang tinggi, lalu Malaikat Jibril dan Mikail membawa surah al-Falaq serta an-Nas untuk menyembuhkan beliau. Malaikat Jibril membaca surah al-Falaq dan Malaikat Mikail membaca surah an-Nas dikakinya hingga beliau sembuh.

Berkenaan dengan riwayat tersebut, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menentang dengan argumentasi bahwa nabi tidak mungkin terkena sihir. Ada yang menyatakan riwayat itu benar adanya seperti Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki (Muhammad Rasulullah Al-Insan Al-Kamil). Namun terlepas dari perdebatan ini, kandungan surah muawwidzatain memang berbicara tentang “perlindungan dari sesuatu” kepada Allah swt Sang Maha Agung.

Selain dibaca dalam shalat witir dan digunakan sebagai sarana perlindungan diri kepada Allah swt dari berbagai keburukan, surah muawwidzatain juga memiliki beberapa keutamaan, diantaranya:

Dua surah yang tak ada bandingannya

Keutamaan surah muawwidzatain yang pertama adalah keduanya merupakan surah yang turun di malam hari dan tiada bandingannya. Hal ini telah diterangkan dalam sebuah hadis riwayat Muslim melalui jalur ‘Uqbah bin ‘Amir. Hadis tersebut berbunyi:

عن عقبة بن عامر قال :قال رسول اللَّه صلّى اللَّه عليه وسلّم : «ألم تر آيات أنزلت هذه الليلة لم ير مثلهن قط : قُلْ : أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وقُلْ : أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ». رواه مسلم وأحمد والترمذي والنسائي.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Tidakkah kamu melihat ayat-ayat yang diturunkan malam ini? Tidak ada yang semisal dengannya, yakni qul a’udzu birabbin nas, dan qul a’udzu birabbil falaq.” (HR. Muslim, Ahmad, Tirmidzi, dan An-Nasa’i).

Dua surah perlindungan

Keutamaan surah muawwidzatain yang kedua adalah dapat digunakan sebagai sarana (wasilah) perlindungan dari berbagai keburukan seperti sihir, ‘ain (pandangan mata yang dapat membinasakan), godaan setan dan lain-lain. Hal ini diterangkan sendiri oleh nabi Muhammad saw kepada Ibnu Abbas. Beliau bersabda:

يا ابن عابس ألا أدلك أو قال ألا أخبرك بأفضل ما يتعوذ به المتعوذون قال بلى يا رسول الله قال قل أعوذ برب الفلق و قل أعوذ برب الناس هاتين السورتين

Wahai Ibnu Abbas, maukah kamu aku tunjukkan – atau maukah kamu bertahu – sesuatu yang paling baik digunakan untuk berlindung?” Ibnu Abbas menjawab, “Iya wahai Rasulullah.” Beliau pun bersabda: “Qul a’udzu birabbil falaq dan Qul a’udzu birabbin nas, dua surah ini.” (HR. An Nasa’i; sahih)

Berfungsi sebagai obat dan penjagaan

Keutamaan surah muawwidzatain yang ketiga adalah dapat dijadikan sebagai obat dan penjagaan. Ini diterangkan oleh Wahbah Az Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, bahwa surah an-Nas dan al-Falaq dapat berfungsi sebagai obat. Pandangan beliau tersebut disandarkan pada hadis dari Aisyah tentang kebiasaan Rasulullah membaca surah al-Ikhlas, surah al-Falaq dan surah an-Nas sebelum tidur.

Baca Juga: Pembukaan Awal Tafsir Surah al-Kahfi: Kisah dan Keutamaan Membaca Surah al-Kahfi

عن عائشة أن النبى – صلى الله عليه وسلم – كان إذا أوى إلى فراشه كل ليلة جمع كفيه ثم نفث فيهما فقرأ فيهما (قل هو الله أحد) و (قل أعوذ برب الفلق) و (قل أعوذ برب الناس) ثم يمسح بهما ما استطاع من جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلَّاتٍ َ

Dari Aisyah ra bahwasanya nabi Muhammad saw jika pergi ke tempat tidur beliau setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangan beliau, kemudian beliau meniupkan dalam terbukanya dan membaca surah al-Ikhlas, surah al-Falaq dan surah an-Nas. Kemudian dengan kedua telapak tangan tersebut, beliau mengusap tubuh beliau, dimulai dari kepala dan wajah serta anggota tubuh lainnya. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali. (HR. Bukhari).

Demikian penjelasan tentang 3 keutamaan surah muawwidzatain yang sarat akan manfaat. Sebenarnya jika kita melakukan telaah lebih mendalam, maka akan kita temui bahwa keutamaan surah muawwidzatain tidak terbatas pada 3 aspek di atas, seperti sebagai surat yang diwasiatkan untuk dibaca setiap selesai shalat, tidak pernah diturunkan selain dalam Al-Qur’an, dan lain-lain. Hanya saja 3 aspek di atas adalah keutamaan yang sering disebutkan oleh kaum muslimin. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 1-9

0
tafsir surah al insyiqaq
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 1-9 berbicara mengenai hari kiamat. Tanda-tandanya hampir mirip dengan pembahasan sebelum-sebelumnya, misalnya sebagaimana tertera dalam surah at Takwir dan Infitar.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Mutaffifin Ayat 25-36


Adapun tanda-tanda kiamat yang dibicarakan dalam Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 1-9 ini adalah terbelahnya langit sehingga membuat sistem tata surya menjadi kacau. Akibat dari kejadian itu bumi pun menjadi luluh lantak. Pada bagian akhir dibicarakan mengenai orang-orang yang mendapatkan hisab yang mudah dan ringan.

Ayat 1-2

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa apabila langit terbelah karena telah rusak hubungan bagian-bagiannya dengan rusaknya peraturan alam semesta pada hari Kiamat nanti, disebabkan perbenturan bintang-bintang di langit karena masing-masing mempunyai daya tarik tersendiri.

Oleh karena itu, rusaklah peraturan alam semesta dan terjadilah gumpalan-gumpalan awan yang gelap gulita yang timbul di beberapa tempat di angkasa luar, dan langit itu akan patuh kepada apa-apa yang diperintahkan Allah. Ia pantas menjadi patuh karena dialah makhluk Tuhan yang senantiasa berada dalam kekuasaan-Nya.

Ayat 3-5

Selanjutnya Allah menerangkan bahwa bila bumi dan gunung-gunung hancur berkeping-keping sehingga menjadi rata dan mengeluarkan apa yang ada di dalam “perut”-nya, maka hal itu adalah karena ketundukannya pada perintah Allah dan kepatuhan melakukan kehendak-Nya.

Dalam ayat-ayat lain, Allah berfirman:

اِذَا زُلْزِلَتِ الْاَرْضُ زِلْزَالَهَاۙ  ١  وَاَخْرَجَتِ الْاَرْضُ اَثْقَالَهَاۙ  ٢ 

Apabila bumi diguncangkan dengan guncangan yang dahsyat, dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya. (az-Zalzalah/99: 1-2)

وَاِذَا الْقُبُوْرُ بُعْثِرَتْۙ  ٤

Dan apabila kuburan-kuburan dibongkar. (al-Infitar/82: 4)

اَفَلَا يَعْلَمُ اِذَا بُعْثِرَ مَا فِى الْقُبُوْرِۙ  ٩

Maka tidakkah dia mengetahui apabila apa yang di dalam kubur dikeluarkan. (al-‘Adiyat/100: 9)

Untuk tafsir pada kalimat “langit terbelah” di atas, dapat dilihat kembali pada telaah ilmiah Surah al-Insyiqaq/84:1-5, lihat pula telaah ilmiah Surah al-Haqqah/69:16 dan Surah al-Infiitr/82:1.

Kemudian, kalimat yang mengikutinya: “…dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya langit itu patuh”, mengandung pengertian bahwa kejadian itu berlangsung menurut sunatullah, yaitu menurut hukum-hukum Allah yang ada di alam semesta ini.

Pengertian “bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong” adalah bahwa bumi benar-benar luluh lantak, baik terjadinya benturan dengan planet atau benda langit lainnya, karena hilang atau kacaunya gaya gravitasi. Luluh lantaknya bumi inilah yang juga menyebabkan seluruh isi bumi dimuntahkan dan menjadikan isi bumi kosong.

Kemudian, kalimat yang mengikutinya: “…dan patuh kepada Tuhannya, dan sudah semestinya bumi itu patuh”, mengandung pengertian bahwa kejadian itu berlangsung menurut sunatullah, yaitu menurut hukum-hukum Allah yang ada di alam semesta ini.

Ayat 6

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa manusia dalam masa hidupnya bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya. Setiap langkah manusia sesungguhnya menuju kepada akhir hidupnya, yaitu mati.

Hal ini berarti kembali kepada Allah. Oleh karena itu, manusia akan mengetahui tentang baik buruk pekerjaan yang telah mereka kerjakan.


Baca juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf


Ayat 7-9

Dalam ayat-ayat ini diterangkan golongan yang menerima catatan dengan tangan kanannya yang berisi apa-apa yang telah dikerjakannya, maka ia akan dihisab dengan mudah dan ringan.

Dipaparkanlah semua perbuatannya yang baik dan yang buruk, kemudian diberi ganjaran atas perbuatannya yang baik dan dimaafkanlah perbuatannya yang buruk.

Dalam sebuah hadis Nabi saw dijelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ قُلْتُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ فِيْ بَعْضِ صَلاَتِهِ: اللهُمَّ حَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرًا، فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا نَبِيَّ اللهِ مَا الْحِسَابُ الْيَسِيْرُ؟ قَالَ: أَنْ يَنْظُرَ فِيْ كِتَابِهِ فَيَتَجَاوَزَ عَنْهُ إِنَّهُ مَنْ نُوْقِشَ الْحِسَابَ يَوْمَئِذٍ يَا عَائِشَةُ هَلَكَ وَ كُلُّ مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ يُكَفِّرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ بِهِ عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ تَشُوْكُهُ.

(رواه أحمد)

“Dari Aisyah, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. berdoa dalam sebagian salat yang dilakukannya, “Wahai Allah, hisablah aku dengan hisab yang mudah”. Ketika Rasul selesai salat, aku berkata: “Wahai Nabi Allah, apakah hisab yang mudah itu? Rasulullah menjawab, “Hisab yang mudah adalah ketika Allah memeriksa catatan amal seseorang,

Dia memaafkan. Wahai Aisyah, orang yang diinterogasi pada perhitungan amalnya di hari itu (Hari Kiamat), maka ia celaka. Dan setiap musibah yang menimpa seorang mukmin, Allah akan mengampuni (dosanya) dengan musibah itu, walau hanya sekedar tertusuk duri.” (Riwayat Ahmad)

Maksud Rasulullah dengan perhitungan yang mudah ialah dimaafkan segala kesalahannya, sedangkan orang yang diperiksa catatannya dengan teliti adalah orang yang mendapat malapetaka. Barang siapa mendapat perhitungan yang mudah dan ringan, ia akan kembali kepada keluarganya yang mukmin dengan gembira sebagaimana firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ اُوْتِيَ كِتٰبَهٗ بِيَمِيْنِهٖ فَيَقُوْلُ هَاۤؤُمُ اقْرَءُوْا كِتٰبِيَهْۚ   ١٩  اِنِّيْ ظَنَنْتُ اَنِّيْ مُلٰقٍ حِسَابِيَهْۚ  ٢٠  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۚ  ٢١ 

Adapun orang yang kitabnya diberikan di tangan kanannya, maka dia berkata, “Ambillah, bacalah kitabku (ini). Sesungguhnya aku yakin bahwa (suatu saat) aku akan menerima perhitungan terhadap diriku.” Maka orang itu berada dalam kehidupan yang diridai. (al-Haqqah/69: 19-21)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25


(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf

0
tafsir surah yusuf ayat 9-10
tafsir surah yusuf ayat 9-10

Kisah Nabi Yusuf dan saudaranya terus berlanjut. Di ayat 9-10 diceritakan tentang rencana jahat saudara-saudara Nabi Yusuf, di sini juga digambarkan sedikit diskusi tentang rencana buruk mereka. Inilah kesalahan dan dosa saudara-saudara Nabi Yusuf yang direkam oleh Al-Quran. Bagaimana kelanjutannya, apakah mereka bertaubat dan diampuni oleh Allah? Berikut tafsir surah Yusuf ayat 9-10.

Surah Yusuf ayat 9-10 berikut penafsirannya:

اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ (9) قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ السَّيَّارَةِ إِنْ كُنْتُمْ فَاعِلِينَ (10)

“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik. [9] Seseorang di antara mereka berkata, “Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut sebagian musafir, jika kamu hendak berbuat.” [10] (Q.S Yusuf [12]: 9-10)”

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Kesalahan-kesalahan saudara-saudara Nabi Yusuf dan diterimanya taubat mereka

Nabi Yusuf mendapatkan kasih sayang lebih dari ayahnya daripada saudara-saudara lainnya. Hal itulah yang membuat saudara-saudaranya iri dan dengki kepadanya, mereka ingin menjauhkan Nabi Yusuf dari ayahnya, sehingga perhatian ayahnya tertuju kepada mereka. Untuk merealisasikan keiginan tersebut, mereka berunding dan memiliki dua pilihan. Pilihan itu dengan cara membunuh Nabi Yusuf atau membuangnya ke suatu tempat.

Seperti pendapat As-Sam’ani dalam Tafsir al-Qur’an, maksud ayat 9 adalah membunuh Yusuf atau membuangnya ke tempat yang banyak hewan buasnya, agar Yusuf dimangsa. Pendapat lain mengatakan bahwa tempat membuang Nabi Yusuf tidak harus banyak binatang buasnya yang penting dapat menjauhkan Yusuf dari ayahnya. Dengan begitu kasih sayang ayah mereka tertuju kepada mereka.

Pernyataan di akhir ayat 9 “dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik” mengisyaratkan bahwa setelah tindakan mereka tersebut, saudara-saudara Nabi Yusuf menyadari kesalahan mereka dan bertaubat. Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengkonfirmasi hal ini.

As-Sam’ani mengutip pendapat kelompok Ahlussunnah, ia menafsirkan bahwa frasa di akhir ayat 9 tersebut juga  menunjukkan bahwa orang yang membunuh dengan sengaja (salah satu dari dosa besar) sekalipun, selama ia mau bertaubat dan menyesali perbuatannya, Allah akan mengampuni dan menerima taubat mereka.

Dalam tafsir surah Yusuf ayat 9-10 ini, Muhammad bin Ishaq sebagaimana dikutip As-Sam’ani merinci kesalahan-kesalahan yang dilakukan saudara-saudara Nabi Yusuf, yaitu memutus silaturahim, durhaka kepada orang tua, kurangnya kasih sayang pada yang lebih muda yang tidak punya dosa, tidak setia pada amanah, menghianati perjanjian, berbohong kepada orang tua.

Masalah ini banyak disampaikan oleh beberapa mufassir, di antaranya As-Samarqandi dalam Bahrul Ulum. Ia menjelaskan bahwa setelah kejadian itu saudara-saudara Nabi Yusuf termasuk orang-orang yang bertaubat, bahkan menurut para hukama’ inilah seorang mukmin, yang menyiapkan taubat sebelum maksiat. Al-Qusyairi juga menuturkan sebuah pendapat dalam Lathaaiful Isyaaraat bahwa mereka tidak pandai lari dari jalan Allah secara total karena mereka telah merencanakan untuk kembali sebelum melakukan perbuatan jahat mereka, dan ini merupakan sifat orang yang mempunyai pengetahun pada Allah swt.

Memang tidak kecil kesalahan yang diperbuat oleh saudara-saudara Yusuf tersebut, namun tetap saja ampunan Allah tetap lebih luas. Dengan demikian, tidak berarti bahwa orang yang pernah melakukan perbuatan jahat, ia akan menjadi jahat selamanya, kasih saying Allah tidak pernah tertutup. Untuk merasakan terangnya siang, terkadang kita harus melewati gelap gulitanya malam terlebih dahulu.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!

Saudara-saudara Nabi Yusuf masih ragu akan rencana mereka

Tafsir surah Yusuf ayat 9-10 berlanjut. Khususnya di ayat 10, disampaikan bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf memiliki dua pilihan untuk menyingkirkan Yusuf, membunuh atau membuangnya. Salah satu dari mereka memberikan solusi untuk membuangnya saja ke dasar sumur dan seorang musafir akan menemukannya.

Menurut As-Sam’aani, mayoritas ulama berpendapat bahwa yang memberikan solusi adalah Yahudza, anak yang paling pintar bukan yang paling tua, anak dari ibu Liya. Yahudza tidak setuju saudara-saudaranya melakukan perbuatan dosa besar dengan membunuh adiknya sendiri, Nabi Yusuf. Ia kemudian mengusulkan untuk hanya membuangnya ke dasar sumur, dengan harapan para musafir akan menemukan serta membawa Nabi Yusuf.

Di akhir ayat ada catatan, ‘jika kalian tetap berniat melakukan hal itu’. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya mereka pun masih ragu dengan apa yang akan diperbuat oleh mereka, dan mereka gelisah. Meskipun demikian, dalam lanjutan ceritanya, mereka tetap melakukannya.

Di antara dua pilihan yang mereka punya, membunuh atau hanya membuang Nabi Yusuf ke suatu tempat, yang dirasa paling tepat oleh mereka adalah membuangnya karena tujuan dari saudara-saudara Yusuf ini mengalihkan kasih sayang sang ayah kepada mereka, bukan menghilangkan Yusuf dari dunia.

Tafsir surah Yusuf ayat 9-10 kali ini memberi pelajaran, bahwa sifat manusia itu antara lain berbuat salah dan dosa. Namun demikian, tetap ingat bahwa Allah maha Pengasih dan Pemaaf, yakinlah Allah selalu menerima taubat seorang hamba, selama orang tersebut mau menyesalinya. Selain itu, khususnya di tafsir ayat 10, kita seakan diingatkan bahwa tindakan yang membawa pada kejelekan dan dosa itu akan membuat pelakunya tidak tenang dan gelisah.

Semoga kita termasuk orang yang terus mendapat petunjuk dan bertaubat dari salah dan dosa kita. Amin. Wallahu a’lam bis shawab.

Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa

0
Isytiqaq Saghir
Isytiqaq Saghir

Berdasarkan literatur-literatur yang berkontribusi dalam pengembangan Isytiqaq, disebutkan ada empat jenis Isytiqāq tergantung pada varian polanya: isytiqaq Saghir, isytiqāq kabīr, isytiqāq akbar, dan isytiqāq kubbār. Artikel ini akan menjelaskan varian pola yang pertama, Isytiqaq Saghir, yang sudah umum digunakan oleh para ahli bahasa, di anatarnya ialah dalam ilmu Sharaf.

Ilmu Isytiqaq Saghir  dan Ilmu Sharaf

Konsep jenis isytiqaq ini adalah satu: susunan kombinasi dan huruf-huruf triliteralnya tetap. Jenis isytiqâq ini digunakan oleh pakar sharaf untuk setiap aktifitas kebahasaan yang dapat melahirkan lafadz dengan lafadz dengan catatan harus ada kesesuaian antara lafadz dan makna.

Cara kerja ilmu sharaf memang sama dengan isytiqāq jenis ini, yakni ia harus mengetahui strutur huruf asal dan juga polanya, termasuk huruf tambahan, sebagaimana dalam kitab Al-Munṣif karya Ibn Utsmān al-Māzinī. Karenanya, isytiqâq ini disebut juga dengan Isytiqâq al-Sarfî.

Baca juga: Peran Ilmu Isytiqaq dalam Kajian Al-Qur’an

Ruang lingkup Isytiqâq Saghîr umumnya mencakup bentuk al-Tasrîf al-Istilâhî. Contoh dapat dilihat sebagaimana berikut:

Disebut Menjadi Proses Morfemis Morfem Tetap (Kata Dasar)

إسم الفاعل

فاعل

ف + ا + ع + ل

ف-ع-ل

إسم المفعول

مفعول

م + ف + ع + و + ل

ف-ع-ل

فعل الأمر

أفعل

أ + ف + ع + ل

ف-ع-ل

المزيد الثلاثي بحرف

أفعل

أ + ف + ع + ل

ف-ع-ل

المزيد الثلاثي بحرف

فعّل

ف + ع + ع + ل

ف-ع-ل

المزيد الثلاثي بحرفين

إنفعل

إ + ن + ف + ع + ل

ف-ع-ل

المزيد الثلاثي بحرفين

إفتعل

إ +  ف + ت + ع + ل

ف-ع-ل

Baca juga: Mengenal Konsep “Akar-Pola” Ilmu Istiqaq dalam Memahami Makna Bahasa Al-Qur’an

Sembilan pola Isytiqāq Saghir

Mengutip pendapat Abȗ Hayyân, Jalāluddin al-Suyūṭī dalam kitab Ham’u al-Hawāmi’ fī Syarḥ Jam’I al-Jawāmi’ menjabarkan bahwa dalam isytiqâq sughrâ ini setidaknya ada sembilan macam perubahan, yaitu: a). Menambahkan harakat, seperti darbun menjadi daraba, b). Menambahkan huruf, seperti talaba menjadi tâlaba, c). Menambahkan harakat dan huruf, seperti darbun  menjadi dâribun, d). Mengurangi harakat, seperti al-farasa menjadi al-farsu, e). Mengurangi huruf, seperti al-nabâtu menjadi nabata, f). Mengurangi harakat dan huruf, seperti al-nazwân menjadi nazâ, g). Mengurangi harakat sekaligus menambahkan huruf, seperti ghadbun menjadi ghad, h). Mengurangi huruf sekaligus menambahkan harakat, seperti haramâni menjadi haramun, i). Menambahkan sekaligus mengurangi harakat dan huruf, seperti al-nâqah menjadi al-istinwâqah.

Pembentukan makna: Isytiqaq Saghir  Lafdzi dan Dalali

Menurut Muḥammad Ḥasan Ḥasan Jabal karyanya, ‘Ilm al-Isytiqāq Naẓariyyan wa Taṭbiqiyyan, pembahasan mengenai isytiqâq sughrâ atau saghîr secara garis besar dibagi ke dalam dua macam: lafzî dan dalâlî. Adapun  isytiqâq saghîr lafzî ialah pecahan yang menghasilkan perubahan pada lafadznya saja dengan tetap mengarah pada makna harfiyyahnya, contohnya seperti kata kataba (telah menulis) berubah menjadi kâtib (penulis), di mana makna dasarnya sama, yakni “menulis”.

Sedangkan isytiqâq saghîr dalâlî menghasilkan perubahan pada lafadz dan makna yang berbeda dengan sebelumnya, dalam arti lain, ia menciptakan kosa kata baru. Seperti kalimat ابتسر الرجل حاجته (ibtasara al-rajul hâjatihi) yang bermakna “pria itu melaksanakan hajatnya sebelum pada waktunya”. Kata ibtasara membentuk kata lain, misalnya البسر (al-busr) yang makna harfiyyahnya ialah kurma yang belum matang. Contoh lainnya ialah الأرض الزهاد (al-ard al-zahâd) yang bermakna tanah yang keras (batu; الصلب, al-sulb) yang tidak berlubang, yang jika dituangkan air maka air tersebut tidak merembes ke dalamnya, namun hanya mengalir. Karenanya, muncul kata zuhud (الزهد) yang  bermakna “seseorang yang tidak tertarik dengan dunia”.

Baca juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Raghib Al-Aṣfahānī dan praktek isytiqāq terhadap Al-Qur`an

Raghib Al-Aṣfahānī, dalam karyanya, Tafsir al-Râghib al-Asfahânî, sering melakukan praktek analisis Isytiqaq dalam memahami bahasa al-Qur`an. Contoh analisis isytiqâq yang digunakan oleh al-Râghib al-Asfahânî dalam tafsirnya ialah dalam menjelaskan kata لَدُنْ (ladun) dalam QS. Ali ‘Imrân [3]: 8 dengan  memunculkan berbagai pecahan pengucapan fonemnya.

“ولَدُنْ: فِيْهِ لُغَاتٌ, قِيْلَ: لَدُنْ ولُدُنْ بِضَمَّتَيْنِ, ولَدَنْ بِفَتْحَتَيْنِ, وَلَدْن بِالسُّكُوْنِ مَعَ فَتْحِ اللّاَمِ وَضَمَّهُ, قِيْلَ: بِكَسْرِ النُّوْنِ, وَلَدُنِ”

Begitu pula dalam menafsirkan QS. An-Nisâ’ [4]: 10, Al-Asfahânî memunculkan beberapa pecahan dari kata يصلون (yaslawna) dan kata سعير (sa’îr).

“الصَّلاَ: النَارُ, وَصَلِيَ فُلَانٌ بِهَا وَصَلَيْتُهُ: أَدْنَيْتُهُ مِنْهَا, وَصَلَيْتُ اللَّحْمَ: شَوَيْتُهُ, فَقَوْلُهُ: ‘وَسَيَصْلَوْنَ’ مِنْ صَلِيَ, ويُصْلَوْنَ مِنْ أَصْلَيْتُ, نَحْوُ: ‘فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا’. وَالسَّعِيْرُ: الْمَسْعُوْرُ, وَاسْتَعَرَتِ النَارُ وَالحَرْبُ تَشْبِيْهًا بِذلِكَ”

Dalam penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis, ada satu potret kasus dari Al-Aṣfahānī, yakni dalam karya kamusnya, Mufradāt fī Gharīb al-Qur`an, ia menjelaskan kata salâh (صلاة) yang sudah menjadi wacana yang familiar sebagai bentuk negasi (al-salb) dari ṣalā (صلا; terbakar), dimana derivasinya masih sangat asing. Sehingga wacana tentang shalat kembali memiliki ruang kosong untuk didiskusikan penulis pada tahun 2019. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 25-36

0
tafsir surah al muhtaffifin
Tafsiralquran.id

Pada pembasan yang lalu telah disinggung tentang orang yang mendapatkan tempat tinggi di akhirat, Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 25-36 menegaskan kembali keadaan orang-orang beruntung tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24


Mereka mendapatkan kenikmatan tiada tara. Misalnya nikmat minuman yang mempunyai segel kasturi dan berisi air yang bersumber dari tasnim. Hal ini berkat kegigihan mereka menahan serangan orang-orang kafir ketika di dunia. Sebaliknya, orang-orang kafir sengsara ketika ketika di akhirat.

Ayat 25

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang-orang yang berbakti itu diberi minum dari khamar murni yang bersih dari campuran dan tidak memabukkan. Khamar itu disimpan di tempat yang tersegel sehingga terpelihara dari pencemaran.

Ayat 26

Segelnya adalah kasturi dan untuk mencapai kenikmatan yang demikian itu, hendaklah orang berlomba-lomba dalam rangka melaksanakan ketaatan dan ketakwaan kepada Allah. Barang siapa yang giat beribadah kepada-Nya, maka akan cepat pula melintasi jembatan as-siratal-mustaqim yang berada di atas api neraka.

Ayat 27-28

Dalam dua ayat ini dijelaskan bahwa campuran khamar murni itu ialah dari tasnim yang datang dari daerah yang tinggi. Tasnim adalah mata air yang menjadi sumber air minum orang-orang yang didekatkan kepada Allah.

Ayat 29

Sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas dan berdosa dahulu selalu menertawakan orang-orang yang beriman. Ketika Nabi Muhammad membawa Alquran dengan ajaran Islam yang mengandung kebajikan, ia mendapatkan perlawanan yang hebat dari orang-orang musyrik Mekah.

Perlawanan ini terutama dari para pembesarnya yang sejak nenek moyangnya sudah biasa menyembah patung berhala. Mereka menentang ajaran apa saja yang datang dari luar yang bertentangan dengan kepercayaan mereka.

Telah menjadi kebiasaan bagi orang-orang besar yang bersandar kepada kekuasaan dan kebendaan atau kekayaan bahwa mereka selalu bersikap sinis atau mencemoohkan pihak lain yang tidak sejalan dengan kepercayaan dan kebudayaan mereka.

Ayat 30-31

Apabila orang-orang yang beriman lewat di hadapan mereka, orang-orang yang berdosa itu saling memberi isyarat dengan kedipan mata yang mengandung unsur ejekan dan cemoohan.

Apabila kembali kepada kaum kerabatnya, mereka membangga-banggakan diri karena telah mengadakan tindakan terhadap pengikut-pengikut Muhammad saw dengan berbagai tindakan yang mengandung unsur ejekan, cemoohan, dan permusuhan.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 7-8: Orang-Orang yang Terbelenggu dalam Kekafiran


Ayat 32

Apabila melihat orang-orang Mukmin, orang-orang yang berdosa itu berkata bahwa sesungguhnya mereka melihat orang yang benar-benar sesat dan menyimpang dari kebenaran, karena mengubah kepercayaan yang sejak dahulu kala mereka warisi dari nenek moyang mereka tentang penyembahan berhala.

Ayat 33

Allah menegaskan bahwa orang-orang kafir itu hidup di dunia tidak ditugaskan untuk melindungi atau menjaga orang-orang Mukmin. Mereka tidak berwenang menjaga orang-orang Mukmin karena orang-orang Mukmin tidak berada di bawah kekuasaan mereka. Oleh sebab itu, mereka tidak berhak mengejek, mengawasi, dan menyakiti orang-orang Mukmin yang tulus ikhlas beriman kepada Allah.

Ayat 34

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa pada hari pembalasan giliran orang-orang Mukmin dalam surga mencemoohkan orang-orang kafir yang sedang menderita azab neraka.

Pada hari itu, orang-orang yang beriman akan tertawa lebar karena menyaksikan pahala dan berbagai macam kenikmatan yang sesuai dengan janji Allah. Mereka juga menertawakan orang-orang kafir yang dahulu di dunia pernah mencemoohkan mereka.

Ayat 35

Mereka duduk santai di atas dipan-dipan sambil memandang apa yang diperbuat oleh Allah terhadap orang-orang kafir dalam neraka.

Ayat 36

Mereka meyakinkan bahwa sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak dianiaya, tetapi hanya diberi balasan terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Sebab, balasan itu biasanya diambil dari jenis perbuatan, yang baik dibalas dengan baik, dan yang jahat dibalas dengan jahat.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 1-9


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Pop Gus Baha’: Fenomena Pengajian Tafsir Al-Quran di New Media

0
Tafsir pop Gus Baha'
Tafsir pop Gus Baha'

Beberapa tahun ke belakangan, kajian tentang fenomena dakwah dan pengajian di media sosial bukan lagi ihwal baru. Model kajian semacam ini sebetulnya adalah bagian dari kajian etnografi virtual; sebuah deskripsi seputar fenomena dan bangunan kehidupan budaya yang data-datanya diperoleh dari lingkungan online sebagai pengganti observasi, survei dan wawancara seperti yang diungkapkan Arif dalam Etnografi Virtual: Sebuah Tawaran Metodologi Kajian Media Berbasis Virtual. Istilah tafsir pop yang menjadi tema dalam tulisan ini secara sederhana adalah praktik diseminasi komunikasi tafsir Al-Quran independen dengan memanfaatkan media populer seperti YouTube, Instagram, Facebook dan lainnya. Pengertian ini berangkat dari definisi pop culture milik Haryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia, yaitu praktik komunikasi berupa suara, gambar atau pesan yang diproduksi massal, relatif independen dengan memanfaatkan berbagai forum serta peristiwa seperti keramaian publik, parade dan festival.

Baca juga: Gus Baha dan Dahsyatnya Ayat Kursi yang Tidak Banyak Orang Tahu

Kepungan revolusi new media (media baru) secara tidak langsung telah memberikan kebebasan kepada otoritas keagamaan, baik otoritas “lama” atau otoritas “baru” untuk bersaing merebut hati umat. Wajah-wajah otoritas keagamaan itu beragam. Ada yang radikal, ekstrim, intoleran, ganas, garang, ramah dan lemah lembut. Melihat kenyataan umat muslim Indonesia yang sebagian masih berwatak “keras”—untuk tidak menyebutnya fanatisme buta—dan sedikit baperan, tidak heran jika wajah otoritas yang ramah dan santun rasa-rasanya sepi peminat, mungkin karena dinilai kurang greget dan menantang. Semua gerakan otoritas keagamaan itu, yang mulanya bergerak di ranah publik (berupa partai politik, seminar, talk show, forum diskusi atau kajian dan sebagainya) sekarang “banting setir” ke ranah media online.

Salah satu yang turut meramaikan jagad new media saat ini adalah KH. Baha’uddin Nursalim al-Hafidz, atau yang lebih akrap disapa Gus Baha’. Model pengajian Tafsir Pop Gus Baha’ biasa dilaksanakan secara virtual, baik pada acara haul di pesantren, pengajian umum, atau pengajian rutin dan lain-lain. Hasil pengambilan gambar dan suara pengajian itu lalu diupload ke YouTube, dalam bentuk visual atau audio visual, oleh lembaga formal atau individu yang menjadi muhibbin Gus Baha. Video dan audio Tafsir Pop Gus Baha’ akhirnya viral melalui Facebook, Twitter dan Instagram. Sekalipun Gus Baha’ tidak menginginkan popularitasnya melejit, tetapi tidak dengan para penggemarnya. Umat muslim Indonesia berhutang budi kepada para penggemar Gus Baha’ yang setia memproduksi dan menyalurkan pengajian-pengajiannya. Kumpulan Tafsir Pop Gus Baha’, mulai dari versi lengkap sampai cuplikan berbentuk kalam “mutiara” hikmah kini bisa dinikmati di berbagai bentuk new media.

Baca juga: Pendapat Gus Baha’ Tentang Membaca Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali

Siapapun akan dibuat merinding dan takjub bila mendengar ulasan-ulasan tafsir yang disampaikan Gus Baha’. Bagaimana tidak, untuk menjelaskan satu ayat saja, Gus Baha’ sampai menyuguhkan penjelasan dari berbagai sudut pandang keilmuan. Tidak saja dari segi ilmu-ilmu Al-Quran (‘ulūm al-Qur’ān), tetapi juga dari perspektif fiqh, sejarah hingga tasawuf. Semuanya digilir satu persatu oleh Gus Baha’. Ini saja sebenarnya sudah cukup membuktikan bahwa kapasitas keilmuan Gus Baha’ memang berada di level yang jauh di atas sana. Pembawaan kajian Tafsir Pop Gus Baha’ yang identik dengan ceria, santai, dan sesekali diselingi guyonan, membuat para muhibbin-nya semakin hari silih berganti berdatangan. Ya, di depan Gus Baha’, semua problematika kehidupan terlihat mudah, nggak repot, dan tidak memberatkan. Apapun masalahnya, seolah Gus Baha’ tidak pernah kehabisan solusi.

Posisi Gus Baha’ yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, mulai dari kaum awam, elit agamawan bahkan kalangan akademis pun membuat nama Gus Baha’ dari hari ke hari semakin “naik daun”. Ini juga tidak bisa dilepaskan dari kemampuan Gus Baha’ dalam menerjemahkan dan menyederhanakan bahasa Al-Quran dengan logika-logika “ringan” yang tentu mudah dipahami tanpa sedikitpun mengurangi substansi kandungan Al-Quran. Sosok kiai muda yang juga merupakan murid kesayangan Mbah Moen ini, kini menjadi ikon mufasir tanah air yang mencerminkan Islam damai, ceria dan rahmatan lil alamin. Logika argumentatif dalam bentuk kontra narasi yang dibangun Gus Baha’ sungguh mampu meruntuhkan doktrin ekstrimis, radikalis, dan fundamentalis yang sangat meresahkan. Kehadiran Gus Baha’ dalam pertarungan kontestasi kajian-kejian keislaman di dunia new media, terutama sekali serial tafsir Al-Quran, perlahan mulai menggeser pengaruh kubu “sebelah” yang terus berupaya menyuntikkan “ideologi” mereka kepada umat. Bahkan, beberapa di antara anggotanya menyatakan “taubat” dan memilih berlabuh di bawah asuhan serta bimbingan Gus Baha’ seperti unggahan dalam kanal YouTube Gus Baha di Mata Sang Mantan Teroris.

Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Cara Agar Tidak Mudah Kecewa dengan Orang

Salah satu kajian Tafsir Pop Gus Baha’ yang masih penulis kenang adalah tentang kritik pedasnya terhadap kelompok fundamentalis-radikalis yang terus menggemakan jargon Islam kaffah. Model fatwa Islam kaffah yang dielu-elukan kelompok ini, menurut Gus Baha’, sejatinya adalah cara berpikir yang kontraproduktif dengan realitas kualifikasi dirinya. Bagaimana mungkin mereka menfatwakan penegakan Islam kaffah, sementara instrumen interpretasi ayat-ayat yang digunakan tidak kaffah. Paradigma inilah yang menjadi “dalang” di balik tindakan-tindakan radikal, cenderung intoleran dan asal pukul, sebagai buntut dari pemahaman pada satu atau dua ayat Al-Quran saja sebagai sebuah justifikasi. Lebih detailnya simak Kajian Tematik Spesial Masjid Ulil Albab UII-Gus Baha.

 “Orang sekarang main pukul saja, tidak mau ngaji Al-Quran secara kaffah. Fatwanya Islam kaffah, tapi ngaji Al-Quran-nya tidak kaffah. Cukup berdasar satu, dua potong ayat, lalu dipakai menteror orang. Kalau mau Islam kaffah, ya harus hafal Al-Quran 30 juz.” Sentil Gus Baha’.

Untuk kanal Youtube, beberapa channel yang menyediakan pengajian Tafsir Pop Gus Baha’—lengkap atau dalam bentuk cuplikan—di antaranya adalah Ngaji Kiai, Al Muhibbin, Kumparan Dakwah, Santri Kalong Virtual, Kalam-Kajian Islam, Agus Mujib Channel, Penyejuk Hati Id, Kajian Cerdas Official, Rekaman Ngaji KH. Ahmad Bahauddin Nursalim, Kopiah Santri dan masih banyak lagi. Untuk Instagram, ada @ngajikyai, @ngajigusbaha, @gusbaha.tv, @gusbahaonline, @gusbahagram, dan @gusbahaquote. Untuk Facebook, ada grub Santri Online-Ngaji Gus Baha, Muhibbin Gus Baha’, Info Ngaji Gus Baha’; Rembang Di Jogja, dan Kajian Lengkap Gus Baha’. Sementara untuk grub telegram ada grub seperti Ngaos Sareng Gus Baha’, Ngaji Rekaman Gus Baha’, dan Ngaji Bareng Gus Baha’.

Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24

0
tafsir surah al muhtaffifin
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24 ini masih terkait dengan pembahasan yang lewat. Selain menuduh tiadanya hari kebangkitan, mereka juga menganggap bahwa Alquran hanya dongeng belaka.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 4-13


Mereka yang dinyatakan dalam Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24 ini adalah orang-orang yang buta dan jauh dari rahmat Allah Swt. Berbeda dengan orang-orang yang percaya terhadap Alquran. Mereka diungsika ke tempat yang tinggi lagi mulia.

Ayat 14

Dalam ayat ini, Allah membantah tuduhan orang-orang kafir Mekah yang mengatakan bahwa Alquran itu dongengan orang dahulu. Sama sekali bukan demikian.

Sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Kebiasaan mereka berbuat dosa telah menyebabkan hati mereka jadi keras, gelap, dan tertutup laksana logam yang berkarat.

Oleh karena itu, mereka tidak dapat membedakan antara dusta yang berat dengan kebenaran yang terang benderang. Hati yang demikian hanya bisa dibersihkan dengan tobat yang sempurna.

Ayat 15

Ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang kafir yang tidak mau mengakui Alquran sebagai wahyu Allah terhalang dari rahmat-Nya di dunia dan akhirat.

Mereka terhalang dari nikmat terbesar bagi seorang hamba, yaitu memandang dan melihat Allah di akhirat. Imam Syafi’i mengatakan ayat ini bisa dijadikan dalil bahwa orang-orang Mukmin tidak akan terhalangi dari memandang Allah di akhirat, sebagaimana firman-Nya:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ  ٢٢  اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ  ٢٣

Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, memandang Tuhannya. (al-Qiyamah/75: 22-23)

Ayat 16

Setelah dijauhkan dari rahmat Allah dan tidak dapat mencapai cita-cita yang diangan-angankannya pada hari pembalasan, orang-orang kafir itu benar-benar masuk neraka Jahim yang sangat panas.


Baca juga: Tafsir Al-Anbiya’ Ayat 107; Nabi Muhammad Saw Adalah Rahmat Bagi Seluruh Alam


Ayat 17

Kemudian dikatakan kepada mereka ucapan yang mengandung cercaan sehingga penderitaan mereka itu berlipat ganda. Di samping penderitaan fisik, mereka juga menderita secara psikis (kejiwaan). Inilah azab yang selalu mereka dustakan ketika di dunia.

Inilah balasan terhadap sikap mereka mendustakan berita-berita rasul yang benar, seperti anggapan mereka bahwa manusia tidak akan dibangkitkan kembali, Alquran itu dongengan orang-orang dahulu, Muhammad saw itu hanya seorang tukang sihir atau pendusta, dan berbagai macam tuduhan lainnya.

Di akhirat nanti, akan menjadi jelas bagaimana fakta kebenaran yang sesungguhnya yang dapat disaksikan oleh pancaindra mereka. Alangkah sedihnya dirasakan oleh seorang yang sedang menderita azab bila diberi kecaman yang sangat menusuk hatinya, padahal ia sempat menempuh jalan keselamatannya jika ia benar-benar beriman dan bertakwa.

Ayat 18

Dalam ayat ini, Allah membantah tuduhan orang-orang durhaka yang mengingkari hari kebangkitan dan kebenaran Alquran. Sekali-kali tidak demikian.

Sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti disimpan dalam suatu tempat yang tinggi yang diberi nama ‘Illiyyµn, yang disaksikan oleh malaikat-malaikat muqarrabin (yang dekat dengan Allah).

Ayat 19-21

Untuk memperlihatkan keagungan ‘Illiyyµn itu, Allah mengemukakan pertanyaan, “Tahukah kamu apakah ‘Illiyyµn itu?” Allah lalu menjelaskannya langsung, “Yaitu kitab yang tertulis dan disaksikan oleh para malaikat yang didekatkan kepada Allah.”


Baca juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 36: Menanam Amalan di Bulan Rajab


Ayat 22

Setelah menerangkan kitab orang-orang yang berbakti yang diberi nama ‘Illiyyµn, lalu Allah menerangkan keadaan orang yang berbakti (al-abrar) itu secara terperinci. Sesungguhnya mereka yang membenarkan apa-apa yang dibawa oleh Muhammad saw itu, benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar, yaitu surga.

Ayat 23

Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang berbagai macam kenikmatan surga seperti bidadari, anak-anak mereka yang mati sebelum balig yang disediakan dalam surga untuk berkhidmat kepada orang tuanya, aneka macam makanan dan minuman, dan sebagainya.

Ayat 24

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa tanda-tanda kebahagiaan itu tampak pada wajah-wajah mereka. Orang yang melihatnya dapat merasakan kesenangan hidup mereka yang penuh dengan kenikmatan seperti tercantum dalam firman Allah:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ مُّسْفِرَةٌۙ  ٣٨  ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۚ  ٣٩

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria. (‘Abasa/80: 38-39)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 25-36


(Tafsir Kemenag)