Beranda blog Halaman 393

Mengenal Tokoh Revisionis John Wansbrough, yang Mempertanyakan Kemurnian Al-Qur’an

0
John Wansbrough
John Wansbrough

Salah satu tokoh sarjana barat yang fokus terhadap kajian kritis terhadap al-Qur’an adalah John Wansbrough (1928-2002). Melalui kajian kritisnya dalam bentuk sastra (form-criticism) dan kajian kritis terhadap redaksi (redaction-criticism) al-Qur’an. Disebut juga sebagai metode analisis sastra (method of literary analysis).

Metode tersebut banyak digunakan orientalis untuk mengkritisi perjanjian lama dan perjanjian baru. John Wansbrough yang dikenal sebagai tokoh orientalis mengkaji teks suci agama yang menggunakan pendekatan kritik sejarah. Yang kemudian ia terapkan pada kajian kritis terhadap al-Qur’an. Pemikiran Wansbrough atas kritik terhadap al-Qur’an sebenarnya sudah dilakukan oleh Ignaz Goldziher. Ia mengasumsikan bahwa al-Qur’an mengadopsi Perjanjian Lama (Taurat) yang di dalamnya menyebutkan mengenai asal-usul Yahudi. Asumsi yang sama juga disebutkan oleh sarjana Barat yang lain seperti perkataan D.B. Mac Donald menurutnya al-Qur’an adalah karangan Muhammad.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

Gustave Lebon dalam Dā’irāt al-Ma’arif al-Islāmiyyah mengasumsikan hal yang senada. Ada beberapa kritikan Wansbrough terhadap al-Qur’an. Yang pertama al-Qur’an sepenuhnya mengadopsi tradisi Yahudi (dan pada taraf tertentu berada dalam tradisi Kristen). Kedua, al-Qur’an pada masa sekarang ini adalah bentuk perpaduan dari berbagai tradisi sosio-historis kaum muslim pada dua abad pertama Islam. Dan yang ketiga adalah redaksi al-Qur’an tidak ditetapkan secara definitif sebelum abad ke-3 H/9 M, jadi pendapatnya mengenai muṣhaf utsmani hanyalah fiktif belaka.

Salvation History (Sejarah Penyelamatan) terhadap al-Qur’an

“Sejarah Penyelamatan (Salvation History) adalah terjemahan dari istilah Jerman Heilsgesichicte yang pertama kali digunakan oleh J.C Von Hoffman (1810-1877) dan Martin Buber (1818-1877) untuk menunjukan makna-makna yang terkandung dalam Bibel. Sebagai bukti manifestasi Tuhan sebagai juru selamat di dunia.

Salvation history bukan sejarah yang menggambarkan peristiwa sebagai objek kajian para sejarawan. Salvation history bukan peristiwa yang betul-betul terjadi, akan tetapi bentuk literatur (literary form) dengan konteks tertentu. Dalam Kristen, salvation history merupakan penyelamatan jiwa seseorang dari dosa warisan untuk kehidupan yang abadi. Dalam Yahudi salvation history merupakan keyakinan bahwa Tuhan mempertahankan (menyelamatkan) eksistensi kelompok, etnik, atau suku bangsa tertentu.

Terdapat perbedaan maksud dari bentuk salvation dari ketiga agama semit. John Wansbrough melihat bahwa literatur tersebut berdasarkan pada proposisi bahwa penulisan literatur dari salvation history, walaupun menggambarkan tulisan semasa dengan peristiwa yang disajikan, sebenarnya berasal dari satu masa setelah terjadinya peristiwa dimaksud. Sekaligus menunjukkan bahwa hal tersebut ditulis berdasarkan pandangan masa sesudah peristiwa terjadi. Yang menunjukan kepentingan pada masa itu.

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Dengan demikian Wansbrough menyimpulkan bahwa sejarah dalam arti apa yang betul-betul terjadi (what really happened) secara keseluruhan ditempatkan sebatas bagian interpretasi orang-orang belakangan dan pada akhirnya kita tidak bisa melepaskan diri dari interpretasi itu. Kritik Wansbrough terhadap al-Quran dilandasi rasa kekhawatiran terhadap komunitas muslim di Mekah dan Madinah. Ia berasumsi bahwa narasi dan teks yang disusun di dalam al-Qur’an untuk menggambarkan asal usul Islam dan mengarahkan pergerakan Islam dalam menyebarkan ajaran agama.

Andrew Rippin dalam “Literary Analysis of the Qur’an, Tafsir and Sira: The Methodologies of John Wansbrough,” Membenarkan argumen Wansbrough bahwa, kita tidak tahu, bahkan tidak akan pernah tahu, apa yang benar-benar telah terjadi. Yang bisa kita ketahui adalah apa yang diyakini orang yang datang kemudian tentang sesuatu yang terjadi sebagaimana terdokumentasi melalui salvation history.

Analisa literatur (literary analysis) terhadap sumber yang seperti itu akan nampak kepada kita berupa komponen-komponen yang dilakukan orang-orang masa belakangan tersebut dalam rangka melahirkan satu pemahaman dan menentukan apa yang mereka sebut telah terjadi beserta alasannya. Tapi sesungguhnya literary analysis tidak akan pernah menjelaskan kepada kita tentang apa yang benar-benar terjadi.

Frame work sejarah penyelamatan (Salvation History) digunakan dalam pembahasan ajaran Yahudi dan Kristen. Sedangkan dalam konteks sejarah penyelamatan al-Qur’an, Whansbrough merupakan pelopor yang menggaungkan asumsi tersebut. Al-Qur’an menurut Whansbrough adalah satu-satunya bukti literal mengenai Islam klasik sehingga ia mengatakan bahwa Islam hanya dapat diukur dari al-Qur’an.

Kemudian umat Islam menerima dokumen-dokumen yang tertulis tersebut sebagai sejarah penyelamatan (salvation history). Redaksi al-Qur’an yang final bukanlah sebuah proyek yang ditetapkan secara final oleh perorangan / sekelompok orang. Akan tetapi menurut pendapat Wansbrough bahwa redaksi final tersebut dapat diketahui dari proses penjejeran dengan tradisi tedahulu yang bersamaan pada saat turunnya al-Qur’an.

Tradisi tersebut dapat berupa naskah atau hadis Rasulullah. Kandungan tradisi-tradisi ini dapat dilukiskan sebagai logia kenabian (sabda-sabda Nabi atau hadis) yang susunannya memperhatikan bentuk-bentuk sastra yang dapat diidentifikasi.Di sisi lain ia menegaskan bahwa jejak rekam riwayat tentang kisah pengumpulan al-Qur’an serta laporan-laporan tentang kodeks para sahabat merupakan bukti rekayasa dan diangkat sebagai otoritas teks ilahi yang bahkan belum dikompilasi baku pada abad ke-3 H/ 9 M.

Baca juga: Melacak Jejak Para Kontributor Pengembang Ilmu Isytiqaq

Menurut Wansbrough umat muslim sepeninggal Muhammad SAW telah melakukan kepentingan penalaran terhadap al-Qur’an. Ia mengasumsikan bahwa proses kodifikasi al-Qur’an sepeninggal Nabi Muhammad terdapat penambahan unsur sosio-historis pada masa belakangan dan ditafsirkan oleh tradisi.

Dan apa yang dinyatakan teks tersebut merupakan suatu sejarah penyelamatan (salvation history) yang diyakini kebenarannya oleh kaum muslim. Ini yang menjadi analisis Wansbrough mengasumsikan proses kodifikasi al-Qur’an sebagai upaya umat muslim melakukan penyelamatan sejarah (salvation history) terhadap agama Islam. Berangkat dari framework ini menampilkan diri seakan-akan peristiwa tersebut semasa dengan peristiwa yang dilukiskannya, namun faktanya berasal dari periode belakangan. (wallahu a’lam)

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 4-13

0
tafsir surah al muhtaffifin
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 4-13 ini masih berbicara mengenai ahli neraka. kebanyakan mereka tidak percaya dengan hari kebangkitan. Hal itu membuat mereka berani berbuat keburukan ketika di dunia.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 1-3

Lebih jauh Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 4-13 ini membicarakan tentang perilaku mereka yang tidak mengindahkan Alquran. Ketika mereka mendengar ayat-ayat Alquran mereka seakan menutup telinga. Tidak heran tempat mereka kelak adalah neraka.

Ayat 4

Ayat ini mencela orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan dengan pertanyaan apakah mereka itu menyangka hari kebangkitan itu tidak akan pernah ada.

Sebab, jika mereka menyangka saja, belum meyakini adanya hari kebangkitan, tentu mereka tidak tergugah untuk menghindari kecurangan. Memang mereka itu tidak mengharapkan adanya hari penghitungan, sebagaimana firman Allah:

اِنَّهُمْ كَانُوْا لَا يَرْجُوْنَ حِسَابًاۙ  ٢٧

Sesungguhnya dahulu mereka tidak pernah mengharapkan perhitungan. (an-Naba’/78: 27)

Ayat 5-6

Mereka akan  dibangkitkan untuk dihisab pada hari pembalasan. Allah menerangkan bahwa ketika itu semua umat manusia berdiri menghadap Allah Rabbul Alamin untuk dihisab dan diperiksa segala amal perbuatannya selama hidup di dunia.

Semuanya dihisab dengan penuh keadilan karena Allah Maha Adil. Timbangan itu adalah lambang keadilan yang senantiasa harus ditegakkan dan dipertahankan.

Ayat 7-9

Ayat-ayat ini menjelaskan kepada orang-orang yang tidak percaya terhadap hari kebangkitan bahwa perbuatan mereka harus dipertanggungjawabkan. Mereka tidak bisa menghindari hukuman Allah karena masing-masing manusia diawasi oleh malaikat yang mencatat semua perbuatannya .

Buku catatan orang-orang yang durhaka kepada Allah akan disimpan di Sijjin, yaitu kitab yang tertulis. Di dalamnya tercatat kejahatan dan kecurangan manusia. Catatan-catatan inilah yang akan dijadikan takaran untuk menghisab mereka.

Ayat 10-11

Dua ayat ini kembali mengancam orang-orang yang mendustakan hari pembalasan dengan azab yang sangat pedih, yaitu neraka.

Ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang mengingkari hari kebangkitan memang sangat pedih, karena mengingkari hari kiamat berarti mengingkari keadilan Allah, dan hukum-hukum syariat agama yang berlaku di dunia dan berakibat di akhirat.

Ayat 12

Ayat ini menjelaskan bahwa tidak ada manusia yang mengingkari hari Kiamat kecuali orang-orang yang selalu melampaui batas-batas agama, yang tertutup hatinya oleh kekafiran, dan yang tidak lagi bermanfaat baginya berbagai peringatan dan ancaman. Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ  ٦

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (al-Baqarah/2: 6)

Sifat lain dari manusia yang mengingkari hari Kiamat adalah tenggelam dalam perbuatan dosa-dosa besar, acuh tak acuh terhadap perintah dan larangan Allah, lebih mementingkan kesenangan duniawi daripada kehidupan akhirat. Firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ طَغٰىۖ  ٣٧  وَاٰثَرَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۙ  ٣٨  فَاِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ  ٣٩

Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. (an-Nazi’at/79: 37-39)


Baca juga: Mengulik Makna Kiamat dalam Al-Quran


Ayat 13

Ayat ini menjelaskan bahwa ketika dibacakan ayat-ayat Alquran kepada orang-orang yang melampaui batas, selalu berdosa, tidak mempercayai hari akhirat dan Alquran sebagai kitab suci yang berisi petunjuk-petunjuk Allah untuk mengantarkan manusia ke jalan yang lurus menuju kebahagiaan dunia dan akhirat, mereka tidak mau mendengarkannya dengan khusyuk atau menyimak isinya.

Mereka bahkan mengatakan bahwa Alquran itu adalah dongeng-dongeng orang-orang dahulu yang didiktekan kepada Nabi Muhammad. Firman Allah:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اِنْ هٰذَآ اِلَّآ اِفْكُ ِۨافْتَرٰىهُ وَاَعَانَهٗ عَلَيْهِ قَوْمٌ اٰخَرُوْنَۚ فَقَدْ جَاۤءُوْ ظُلْمًا وَّزُوْرًا ۚ  ٤  وَقَالُوْٓا اَسَاطِيْرُ الْاَوَّلِيْنَ اكْتَتَبَهَا فَهِيَ تُمْلٰى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا  ٥  قُلْ اَنْزَلَهُ الَّذِيْ يَعْلَمُ السِّرَّ  فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ اِنَّهٗ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا  ٦

Dan orang-orang kafir berkata, “(Alquran) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan oleh dia (Muhammad), dibantu oleh orang-orang lain,” Sungguh, mereka telah berbuat zalim dan dusta yang besar.

Dan mereka berkata, “(Itu hanya) dongeng-dongeng orang-orang terdahulu, yang diminta agar dituliskan, lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.” Katakanlah (Muhammad), “(Alquran) itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. Sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (al-Furqan/25: 4-6)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 14-24


(Tafsir Kemenag)

Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an dan Manuskrip Nusantara

0
Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an
Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an

Nama Islah Gusmian tentu tidak asing lagi bagi para pengkaji tafsir di Indonesia. Kiprahnya mencatat jejak khazanah Al-Qur’an dan tafsir Nusantara berhasil membius para sarjana untuk menggali mutiara terpendam. Melalui penelitian dengan metodologi dan kerangka yang matang, ia berhasil mengangkat khazanah lokal menjadi menarik di mata nasional, bahkan internasional. Dalam artikel ini, kita berkenalan dengan sosok inspiratif itu.

Islah Gusmian lahir di Pati pada tanggal 22 Mei 1973. Ia tumbuh remaja di desa Bulumanis Lor, salah satu desa yang berdekatan dengan kampung santri Kajen. Di Kajen inilah ia mulai fokus belajar keagamaan di tingkat Tsanawiyah dan Aliyah, tepatnya di Madrasah Salafiyah. Usai lulus, ia melanjutkan studinya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dari strata satu hingga doktoral. Saat ini Ia  aktif sebagai dosen Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir dan didaulat sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah di IAIN Surakarta.

Perjalanan intelektual Islah Gusmian nampaknya membentuk karakter pribadi maupun karya-karyanya. Pada tahun 2006 ia pernah dinobatkan sebagai peneliti terbaik pertama, Dosen PTAIN se-Indonesia oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Depag RI. Prestasi ini tak datang tiba-tiba, karena saat masih mahasiswa, ia sudah aktif menulis opini dan resensi buku di media massa. Tak heran, jika penerbit Mizan memilihnya sebagai peresensi buku terbaik pada tahun 1998.

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Dari Karya ke Karya Lainnya  

Jika melihat daftar bukunya yang sudah diterbitkan, nampaknya kita akan melihat betapa aktifnya ia menulis karya. Pada tahun 2003 ia menerbitkan tesisnya dengan judul Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika ke Ideologi”. Usai terbit, buku ini termasuk dalam buku rujukan utama di kampus yang mengajarkan kajian tafsir Indonesia, bahkan hingga kini. Penelitiannya ini mengungkap bagaimana karya-karya tafsir Al-Qur’an tahun 1990 sampai 2000 itu diproduksi dan implikasi apa yang berdampak di tengah masyarakat.

Kemudian di tahun 2019 lalu, hasil disertasinya resmi diluncurkan dengan judul “Tafsir Al-Qur’an & Kekuasaan di Indonesia: Peneguhan, Kontestasi, dan Pertarungan Wacana”.  Dalam penelitian doktoralnya itu, Gusmian ingin menunjukkan isu-isu sosial politik di era Orde Baru yang diperbincangkan dalam tafsir Al-Qur’an secara terbuka. Ia juga menampilkan bagaimana tafsir Al-Qur’an menjadi arena peneguhan kontestasi, dan pertarungan wacana atas praktik politik kekuasaan.

Kedua karyanya itu, merupakan contoh dari berbagai karyanya yang berbasis penelitian panjang. Namun Islah Gusmian tidaklah penulis ilmiah biasa. Ia tak membatasi karya-karyanya, dan beberapa kali menulis buku islami populer. Di antara karya-karya populer itu seperti Al-Qur’an Surat Cinta Sang Kekasih (2005), Cinta Tak Segampang Pesan Pizza (2005), Surat Cinta dari Tuhan (2005), Spirit of Loving (2006), Surat Cinta Al-Ghazali, Nasihat-Nasihat Pencerah Hati (2006), dan Dua Agama Satu Kehidupan (2012).

Baca juga: Mushaf Al-Quran Pojok Menara Kudus sebagai Simbol Lokalitas

Contoh-contoh karya di atas tentu belum lengkap dan bisa jadi akan bertambah banyak. Proses kreatifnya yang terus berkembang, membuat ia keluar dari zona nyaman. Ia mengepakkan sayapnya menembus ruang-ruang masa silam. Maka, tak hanya literatur populer yang ia terbitkan. Kini ia justru dikenal sebagai pegiat manuskrip keagamaan dan pesantren.

Pegiat Manuskrip Keagamaan Nusantara

Tokoh yang selalu menyampaikan ceramah dengan sentuhan humor ini semakin kuat bersinggungan dengan naskah pada tahun 2008. Saat itu ia menjabat Ketua Program Studi Tafsir Hadis STAIN Surakarta, dan berhasil mendirikan Pusat Kajian Naskah dan Khazanah Islam Nusantara, melaui pusat kajian inilah ia semakin eksis melahirkan karya berbasis manuskrip.

Misalnya, ia menulis tentang tokoh kenamaan dari Kajen, yaitu Syekh Ahmad Mutamakkin. Persinggungannya selama menjadi santri di Kajen, nampaknya membuat ia ingin lebih mengenal tokoh sufi yang dikenal dari Serat Cebolek itu. Maka lahirlah artikel ilmiah dengan judul Pemikiran Tasawuf Syekh Ahmad Mutamakkin: Kajian Hermeneutik atas Naskah ‘Arsy Al-Muwahhidin (2013).

Pergumulannya dengan berbagai manuskrip membuat ia dekat dengan beragam naskah, baik tafsir, mushaf Al-Qur’an, tasawuf, hingga naskah kebencanaan. Di antara karyanya yang berbasis naskah Al-Qur’an itu seperti Karakteristik Naskah Terjemahan Al-Qur’an Pegon Koleksi Perpustakaan Masjid Agung Surakarta (2012) dan Karakteristik Mushaf Al-Qur’an Kuno Koleksi Pesantren al-Mansur, Popongan, Klaten, Jawa Tengah (2014).

Sementara contoh karyanya yang berbasis naskah kebencanaan yaitu Gempa Bumi dalam Pandangan-Dunia Orang Jawa: Studi atas Dua Manuskrip Primbon Jawa Abad ke-19 M (2019). Baru-baru ini, ia juga menerbitkan buku Mitigasi Bencana & Kearifan Manusia Jawa: Kajian atas Naskah Lindhu (2021). Karya teranyar ini nampaknya sangat tepat dengan kondisi sekarang, karena masyarakat harus membangun kesadaran untuk menjaga alam berbasis kearifan lokal.

Baca juga: Pengaruh Jawa dalam Tradisi Penyalinan Mushaf di Lombok

Mengutip dari keterangan di buku terbitannya, Islah Gusmian saat ini tidak hanya aktif melakukan penelitian. Ia juga mengisi berbagai ceramah ilmiah dan mengumpulkan naskah keagamaan Nusantara. Sosok yang kini sudah memubilkasikan 95 karya ini (data tari Google Cendikia) juga aktif memperkenalkan kajian manuskrip keagamaan dengan pendekatan interdisipliner.

Dilihat dari prestasi yang ia dapatkan sejak mahasiswa hingga kini daftar publikasinya begitu tinggi, ia sangat layak disebut sebagai cendekiawan teladan. Konsistensi dalam menulis, dan ketekunan dalam meluaskan pemikiran merupakan langkah kongkret yang patut untuk ditularkan.

Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al A’raf ayat 128

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir Surat Al A’raf ayat 128 berbicara mengenai ketegangan yang terjadi di kalangan Bani Israel. Suasana mencekam yang tengah terjadi di antara mereka, khsususnya terkait dengan konflik dengan Fir’aun.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf Ayat 126-127


Ayat 128

Dapat dimengerti, mendengar ancaman Fir’aun ini Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa tersebut merasa takut dan amat gelisah, ancaman ini terbukti kemudian, mereka diperlakukan sebagai budak. Di samping itu, setiap anak lelaki yang mereka lahirkan dibunuh oleh kaki tangan Fir’aun. Oleh sebab itu Nabi Musa as berkata kepada mereka: “Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, diwariskan kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, dan kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertakwa”.

Nabi Musa menghibur dan menenteramkan kaumnya dengan mengingatkan kepada mereka kekuasaan Allah, bahwa Dialah yang memiliki dan menguasai bumi, dan segala apa yang terjadi di bumi ini adalah sesuai dengan Sunnah-Nya, yaitu setiap umat yang ingkar dan zalim pasti menemui kehancuran, dan setiap umat yang beriman dan bersabar tentu akan memperoleh pertolongan-Nya, sehingga memperoleh kemenangan dan kesudahan yang baik. Sebab itu hendaklah mereka memohon pertolongan kepada-Nya, disertai dengan kesabaran, keimanan, persatuan dan keberanian dalam membela kebenaran dan keadilan.

Ucapan Nabi Musa ini selain menimbulkan harapan tentang pertolongan Allah serta rahmat-Nya untuk membebaskan mereka dari kekejaman Fir’aun serta menjadikan Bani Israil sebagai penguasa di belakang hari di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhan kepada mereka, juga mengandung suatu peringatan yang sangat penting bagi kaumnya, yaitu apabila di belakang hari mereka menjadi penguasa, janganlah berbuat sewenang-wenang seperti Fir’aun dan para pembesarnya, karena Allah senantiasa mengawasi perbuatan dan tindak-tanduk dari setiap makhluk-Nya, oleh sebab itu, apabila mereka berkuasa dan melakukan kezaliman pula, pastilah Allah mendatangkan azab kepada mereka.

Ayat ini mengandung pelajaran yang sangat berharga, tentang sikap manusia pada waktu ia sedang menghadapi penderitaan tersebut, atau sebelum mereka memperoleh rahmat Allah, dan pada waktu setelah memperoleh rahmat tersebut. Sikap yang amat tercela ialah berkeluh kesah dan memohon pertolongan Allah pada waktu memperoleh kesusahan, dan kemudian mengingkari atau melupakan rahmat Allah setelah memperolehnya.

Sikap yang seharusnya dilakukan ialah sabar dan tawakal serta memohon pertolongan Allah pada waktu menghadapi kesukaran, dan mensyukuri rahmat Allah setelah memperoleh kebahagiaan. Mensyukuri rahmat Allah, tidak hanya dengan ucapan, melainkan yang terpenting ialah melaksanakan dengan perbuatan. Sebab itu, apabila seseorang memperoleh kekuasaan, kemudian kekuasaannya itu digunakan untuk berbuat kezaliman atau memperkaya diri sendiri atas kerugian orang lain, maka ini berarti bahwa ia tidak mensyukuri rahmat Allah yang diperolehnya, yaitu pangkat dan kekuasaan, dan karenanya telah sepatutnyalah bila Allah menimpakan azab kepadanya.


Baca juga: Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan


Ayat 129

Bani Israil mengeluh kepada Musa a.s, bahwa nasib mereka sama saja, baik sebelum kedatangan Musa a.s, untuk menyeru mereka kepada agama Allah dan melepaskan mereka dari perbudakan Fir’aun maupun sesudahnya. Mereka merasa tidak mendapat faedah dari kedatangan Nabi Musa as itu. Dahulu mereka diazab dan diperbudak oleh Fir’aun, anak-anak mereka dibunuh, mereka disuruh kerja paksa, sekarang pun demikian. Keluhan ini menunjukkan kekerdilan jiwa dan kelemahan daya juang dan tidak adanya kesabaran pada mereka.

Mendengar keluhan ini, maka Nabi Musa berkata, “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuh kamu dan menjadikan kamu khalifah di bumi, maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu,” maksudnya: meskipun yang terjadi demikian akan tetapi harapan bahwa Allah akan membinasakan musuh-musuhmu, dan menjadikan kamu berkuasa di bagian bumi yang telah dijanjikan Tuhanmu harus tetap ada.

Di dalam ucapan kepada kaumnya, Nabi Musa as memakai ungkapan “mudah-mudahan.” Ia memakai ungkapan tersebut untuk tidak memastikan datangnya pertolongan dan rahmat Allah kepada mereka. Sebab andaikata ia menggunakan ungkapan yang memastikan, boleh jadi umatnya akan mengabaikan kewajiban-kewajiban yang perlu mereka lakukan untuk memperoleh pertolongan Allah, karena pertolongan Allah kepada hamba-Nya tidaklah diberikan begitu saja, melainkan tergantung kepada usaha-usaha yang dilakukan umat yang bersangkutan, misalnya kesungguhan, disiplin, persatuan, dan sebagainya.

Ayat 130

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa cobaan yang ditimpakan kepada Fir’aun berupa musim kemarau yang panjang, yang mengakibatkan timbulnya kesulitan hidup bagi mereka, cobaan ini seharusnya menimbulkan keinsafan dalam hati mereka, bahwa kekuatan dan kekuasaan yang mereka miliki selama ini bukanlah merupakan kekuatan dan kekuasaan tertinggi, masih ada kekuatan dan kekuasan Allah Yang Kuasa mendatangkan azab yang tidak dapat mereka atasi. Jika ada kesadaran semacam itu dalam hati mereka tentu mereka akan mengubah sikap dan perbuatan mereka, terutama kepada Bani Israil. Di samping itu, mereka menerima seruan Nabi Musa serta meninggalkan keingkaran mereka terhadap Allah.

Azab yang diturunkan Allah kepada hamba-Nya senantiasa mengandung pelajaran dan pendidikan. Sebab, pada saat manusia menghadapi kesulitan dan kesukaran hidup, hatinya akan menjadi lembut, akan menghadapkan wajahnya kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang untuk memohon pertolongan dan belas kasih-Nya. Di samping itu, ia juga akan berusaha memperbaiki tingkah lakunya dengan melakukan perbuatan yang diridai Allah. Akan tetapi, bila kesulitan dan kesukaran itu tidak mengubah sikap dan tingkah lakunya, dan tetap ingkar kepada Allah serta senantiasa berbuat kemaksiatan, maka mereka benar-benar orang yang merugi dan amat sesat karena kesulitan yang mereka hadapi tidak menimbulkan keinsafan dan kesadaran bagi mereka, bahkan sebaliknya menambah keingkaran dan kedurhakaan mereka terhadap Allah. Demikianlah keadaan Fir’aun dan para pengikutnya.

Ayat 131

Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat dan tabiat Fir’aun dan pengikutnya,  bahwa pada saat mereka mengalami kemakmuran hidup, mereka mengatakan bahwa hal itu sudah sewajarnya, karena negeri mereka subur dan mereka pun rajin bekerja. Tidak terbayang dalam hati mereka bahwa semuanya itu adalah rahmat dari Allah yang patut mereka syukuri.  Sebaliknya, apabila mereka mengalami bahaya kekeringan, kelaparan, penyakit, mereka lalu melemparkan kesalahan dan umpatan kepada Nabi Musa. Mereka katakan bahwa semua malapetaka itu disebabkan kesalahan Nabi Musa dan kaumnya. Mereka lupa kepada kejahatan dan kezaliman yang mereka perbuat terhadap kaum Nabi Musa, karena mereka menganggap bahwa perbudakan dan perbuatan kejam yang mereka lakukan terhadap Bani Israil itu adalah wajar dan merupakan hak mereka sebagai bangsa yang berkuasa. Itu adalah gambaran yang paling jelas tentang sikap dan tabiat kaum imperialis sepanjang masa.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa cobaan yang menimpa diri orang-orang kafir itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya. Maksudnya ialah bahwa semua kebaikan yang mereka peroleh, dan segala cobaan yang mereka hadapi, semua itu sudah merupakan qa«a dan qadar yang telah ditetapkan Allah, sesuai dengan sunnah-Nya yang berlaku bagi semua makhluknya, yaitu sesuai dengan sebab dan akibat, sehingga apa-apa yang terjadi pada manusia adalah merupakan akibat belaka dari sikap, perbuatan dan tingkah lakunya. Akan tetapi, kebanyakan mereka tidak mau menginsafinya. Mereka tetap berada dalam kekufuran dan kezaliman.

Ayat 132

Pada ayat ini dijelaskan keingkaran mereka walaupun Nabi Musa telah memberikan berbagai keterangan dan bukti yang jelas tentang kerasulannya. Mereka berkata kepada Nabi Musa: “Bagaimana pun kamu telah mendatangkan berbagai keterangan itu, namun kami sekali-kali tidak akan beriman kepada kamu.”

Semua keterangan-keterangan yang telah dikemukakan Nabi Musa kepada mereka yang membuktikan kerasulannya, mereka anggap sebagai sihir untuk mempengaruhi mereka, agar meninggalkan agama nenek moyang mereka. Kemudian mereka menegaskan bahwa mereka sekali-kali tidak akan membenarkan semua keterangan dan bukti-bukti tersebut. Ini berarti bahwa mereka tidak akan menerima agama Allah yang disampaikan kepada Nabi Musa untuk mereka semuanya. Tetapi mereka tetap melakukan kezaliman terhadap Bani Israil dan Nabi Musa.

Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang

0
pesan perdamaian di balik ayat perang
pesan perdamaian di balik ayat perang

Sebagai Kitab Suci yang diyakini kebenarannya oleh umat Islam, Al-Quran mengandung berbagai macam kata kunci tentang prinsip perdamaian dalam berkehidupan sekaligus mengandung prinsip mengantisipasi konflik dan kekerasan ‘yang dibenarkan’. Misalnya, ayat-ayat terkait perdamaian dan ayat-ayat tentang hukuman bagi orang kafir dan jihad dalam pengertian perang ‘yang dibenarkan’. Termasuk pesan perdamaian di balik ayat-ayat perang dalam surah Al-Hajj ayat 39-40

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan

Awal perang itu diizinkan, bukan diperintah!

Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hajj [22]: 39 :

أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا ۚ وَإِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan ditindas”,

Dalam Jami’ al-Bayan, At-Tabari menafsirkan ayat di atas bahwa “Tuhan mengizinkan kaum mukmin untuk berperang melawan kaum musyrik sebab mereka menindas kaum mukmin dengan menyerang mereka”. Dengan senada, Az-Zamakhsyari menyatakan bahwa kaum musyrik Makkah menyakiti kaum mukmin dan datang kepada Nabi dengan menyakiti beliau pula. Bagaimana respon Nabi kemudian? Nabi mengatakan “Sabarlah! Aku belum diperintahkan untuk pergi berperang”.

Penjelasan yang sama juga ditemukan dalam Mafatih al-Ghaib (juz 23 halaman 43) karya Ar-Razi, baik Az-Zamakhsyari maupun Ar-Razi menegaskan bahwa perang baru diizinkan dalam ayat yang turun setelah diturunkannya tujuh puluh ayat yang melarang hal ini. Ibn Zayd mengatakan bahwa kebolehan ini diberikan setelah Nabi dan para sahabatnya memaafkan segala perlakuan kaum musyrik selama sepuluh tahun.

Tentu saja, ini adalah bukti bahwa ayat ini diturunkan setelah tidak ada lagi solusi untuk mengatasi kaum musyrik Mekkah yang telah melakukan begitu banyak tindak kekerasan terhadap Nabi dan para pengikutnya. Upaya-upaya lain untuk menghindari perang seperti negosiasi, rekonsiliasi, sikap sabar, memaafkan, dan membiarkan kaum musyrik, telah dilakukan, akan tetapi mereka tetap kejam dan sadis dalam menyerang kaum mukmin, seperti keadaan di mana kaum musyri tidak mengizinkan kaum mukmin memasuki Makah untuk berhaji.

Ayat-ayat dalam QS. Al Hajj [22]: 39 memiliki beberapa kata dan idiom yang secara jelas menunjukkan pada situasi tertentu yang menyebabkan diizinkannya berperang dan juga menunjukkan sesuatu yang bisa disebut sebagai ‘pesan utama’nya.  Penggalan ayat yang bisa diterjemahkan dengan “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya dan ditindas”, ini mengandung dua kata yang harus dicermati dengan seksama yakni udzina dan zhulima agar seseorang bisa memahami ayat ini dengan tepat.

Baca Juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran

Kata udzina di atas menunjukkan bahwa perang hanya dibolehkan dalam pengertian bahwa mereka tidak harus menempuh jalan perang, kebolehan dan izin tergantung pada situasi khusus ketika jalan damai tidak memungkinkan. Pemahaman tentang li al-ladzina yuqatalu dan bi annahum zhulimu merujuk pada situasi penindasan, yang karenanya Nabi dan para sahabat diizinkan untuk berperang.

Perang itu untuk perdamaian, bukan penindasan

Sekarang, mari kita masuk pada ayat selanjutnya tentang penghapusan penindasan, penegakan kebebasan beragama dan pesan perdamaian. Allah SWT dalam QS. Al-Hajj [22]: 40 berfirman :

الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ بِغَيْرِ حَقٍّ إِلَّا أَنْ يَقُولُوا رَبُّنَا اللَّهُ ۗ وَلَوْلَا دَفْعُ اللَّهِ النَّاسَ بَعْضَهُمْ بِبَعْضٍ لَهُدِّمَتْ صَوَامِعُ وَبِيَعٌ وَصَلَوَاتٌ وَمَسَاجِدُ يُذْكَرُ فِيهَا اسْمُ اللَّهِ كَثِيرًا ۗ وَلَيَنْصُرَنَّ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَقَوِيٌّ عَزِيزٌ

“(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa,”

Dalam ayat ini, Nabi beserta pengikutnya mulai diizinkan untuk berperang, harus dipahami dalam konteks historis dan tekstualnya. Berdasarkan basis konteks tersebut, seseorang dapat mengatakan bahwa pesan utama dari ayat-ayat ini ternyata bukan pergi berperang, akan tetapi menghapus penindasan dan menegakkan kebebasan beragama serta perdamaian.

Dengan kata lain, perang justru bagian daripada alat untuk mewujudkan nilai-nilai moral. Ini berarti bahwa perang haruslah dihindari jika masih ada jalan  non-kekerasan yang masih mungkin dilakukan. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Muhammad Syahrur dalam kitabnya Taifif Manabi’ al-Irhab, Syahrur mengatakan bahwa jihad damai di jalan Allah boleh diikuti dengan peperangan hanya dalam situasi yang sangat diperlukan agar seluruh umat manusia mendapatkan kebebasan memilih, yang intinya adalah kebebasan beragama, berekspresi, menggunakan simbol keagamaan, keadilan dan kesetaraan.

Sebab itu, kita bisa memahami QS. Al-Hajj [22]: 39 memerintahkan kepada Nabi dan pengikutnya untuk tidak membunuh kaum kafir yang dalam keadaan tidak siap berperang dan mereka yang menyerah secara damai kepada kaum muslim. Nabi pernah bersabda  dalam riwayat Ibn ‘Abbas, “Jangan membunuh perempuan, anak-anak, orang yang sudah tua, dan mereka yang menyerah kepadamu dengan damai”.

Itu artinya, dengan larangan membunuh kaum yang lemah, jelas bahwa membunuh kaum kafir bukanlah tujuan utama dari perang. Bahkan saat perang pun, Nabi dan pengikutnya hanya dibolehkan untuk membunuh kaum kafir yang melakukan penindasan kepada kaum mukmin, mereka yang tidak menerima keragaman dan mereka semua yang tidak mau menegakkan perdamaian di muka bumi ini.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan

Prinsip penegakan perdamaian adalah salah satu bentuk pesan utama dari tidak diperbolehkannya berperang. Perang bukan satu-satunya jalan untuk mewujudkan perdamaian. Sebab itu, selama manusia dapat mewujudkan perdamaian tanpa peperangan, maka tidak diperbolehkan melakukan peperangan.

Banyak dari umat Islam yang terlanjur dilabeli radikal dan teroris telah menyalahpahami ayat-ayat terkait dengan perang. Termasuk dalam memahami ayat-ayat ini, padahal jika kita mau mengntip sediking ke belakang ayat, kita dapat temukan pesan perdamaian di situ.

Dalam tulisan singkat ini, saya ingin menyimpulkan bahwa dalam menafsirkan Q.S. al-Hajj [22]: 39-40, kita perlu memahami konteks historis maupun tekstualnya, sehingga dapat menarik pesan utama yang lebih cocok dengan kondisi dan perkembangan zaman.

Sehingga, ayat yang pertama kali turun tentang diperbolehkannya melakukan peperangan adalah sebuah bentuk perintah yang sebenarnya tidak mengarah sama sekali ke ranah peperangan itu sendiri, akan tetapi sebuah nilai moral, yakni pesan perdamaian, penghapusan penindasan dan menegakkan kebebasan beragama dalam suatu prinsip perdamaian yang harmoni. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 1-3

0
tafsir surah al muhtaffifin
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 1-3 bebicara mengenai kehinaan manusia di hari kiamat. Khususnya bagi mereka yang melakukan tindakan curang ketika menakar dan menimbang dalam berdagang.


Baca sebelumnya: Surah Al Infithar Ayat 10-19


Selain itu dalam Tafsir Surah Al Muthaffifin Ayat 1-3 ini juga berbicara mengenai tempat mereka kelak di akhirat, yakni neraka. hal ini akibat perbuatan curang yang mereka lakukan ketika di dunia.

Ayat 1

Azab dan kehinaan yang besar pada hari Kiamat disediakan bagi orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang. Allah telah menyampaikan ancaman yang pedas kepada orang-orang yang curang dalam menakar dan menimbang yang terjadi di tempat-tempat jual beli di Mekah dan Medinah pada waktu itu.

Diriwayatkan bahwa di Medinah ada seorang laki-laki bernama Abµ Juhainah. Ia mempunyai dua macam takaran yang besar dan yang kecil. Bila ia membeli gandum atau kurma dari para petani, ia mempergunakan takaran yang besar, akan tetapi jika ia menjual kepada orang lain ia mempergunakan takaran yang kecil.

Perbuatan seperti itu menunjukkan adanya sifat tamak, ingin mencari keuntungan bagi dirinya sendiri walaupun dengan jalan merugikan orang lain. Terhadap orang seperti itu, Nabi Muhammad telah memberi ancaman yang pedas sekali seperti tersebut dalam hadis ini:

خَمْسٌ بِخَمْسٍ مَا نَقَضَ قَوْمٌ الْعَهْدَ إِلاَّ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْهِمْ عَدُوَّهُمْ وَمَا حَكَمُوْا بِغَيْرِ مَا أَنْزَلَ اللهُ إِلاَّ فَشَا فِيْهِمُ الْفَقْرُ، وَمَا ظَهَرَتْ فِيْهِمُ الْفَاحِشَةُ إِلاّ فَشَا فِيْهِمُ الْمَوْتُ، وَلاَ طَفَّفُوا الْمِكْيَالَ إِلاَّ مُنِعُوا النَّبَاتَ و أُخِذُوْا بِالسِّنِيْنَ، وَلاَ مَنَعُوا الزَّكَاةَ إِلاَّ حُبِسَ عَنْهُمُ الْقَطْرُ. (رواه الطبراني عن ابن عباس)

“Ada lima perkara yang dibalas dengan lima perkara: Tidak pernah suatu kaum yang melanggar janji, melainkan Allah akan membiarkan kaum itu dikuasai musuhnya. Tidak pernah mereka yang memutuskan suatu perkara dengan hukuman yang tidak diturunkan oleh Allah, melainkan akan tersebar luaslah kefakiran di kalangan mereka.

Perzinaan tidak pernah meluas di kalangan mereka secara luas, melainkan akan tersebar luaslah bahaya kematian. Tidak pernah mereka yang berbuat curang dalam menakar dan menimbang, melainkan mereka akan kehilangan kesuburan tumbuh-tumbuhan dan ditimpa musim kemarau.

Dan tidak pernah mereka yang menahan zakat, melainkan akan diazab dengan tertahannya hujan (kemarau yang panjang)”. (Riwayat at-Tabrani dari Ibnu ‘Abbas)


Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 8-11: Penyesalan Orang yang Ingkar di Hari Kiamat


Ayat 2-3

Dalam dua ayat ini, Allah menjelaskan perilaku orang yang akan menjadi penghuni neraka. Mereka adalah orang-orang yang ingin dipenuhi takaran atau timbangannya ketika membeli karena tidak mau rugi. Sebaliknya, apabila menjual kepada orang lain, mereka akan mengurangi takaran atau timbangannya.

Orang-orang yang mengurangi takaran dan timbangan mendapat dosa yang besar karena dengan perbuatan itu, dia dianggap telah memakan harta orang lain tanpa kerelaan pemiliknya. Allah melarang perbuatan yang demikian itu. Allah berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil. (al-Baqarah/2: 188)

Yang dimaksud dengan takaran di sini mencakup segala ukuran dan timbangan yang biasa dipakai dalam jual beli dan terkait dengan pengurangan hak orang lain.

Banyak sekali kita jumpai dalam kehidupan sekarang ini pengurangan-pengurangan yang merugikan orang lain, seperti menjual tabung gas yang isinya tidak sesuai dengan standar, mengurangi literan bensin yang dijual, penjual kain yang mengurangi ukuran kain yang dijualnya.

Termasuk dalam pengurangan takaran yang sangat merugikan dan berbahaya adalah korupsi. Pelaku korupsi mengurangi dana sebuah proyek dari perencanaan semula demi memperoleh keuntungan untuk diri sendiri, atau mengurangi kualitas bahan yang diperlukan dalam proyek tersebut dan menggantinya dengan bahan yang berkualitas lebih rendah.

Ayat ini mengingatkan manusia untuk menjauhi praktek-praktek yang merugikan orang lain dan ancaman hukumannya sangat besar di dunia dan akhirat. Ayat senada yang menyuruh manusia untuk memenuhi dan menyempurnakan timbangan adalah firman Allah:

وَاَوْفُوا الْكَيْلَ اِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوْا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا  ٣٥

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (al-Isra’/17: 35)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Mutaffifin Ayat 4-13


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf

0
Tafsir surah Yusuf ayat 8
Tafsir surah Yusuf ayat 8

Pada ayat 8 ini mulai diceritakan bagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf As. mulai menaruh prasangka buruk terhadap ayahnya, Nabi Yakub As. Mereka menganggap bahkan yakin ayahanda mereka itu lebih sayang kepada adik mereka, padahal menurut mereka, sang adik tersebut tidak pantas untuk diperlakukan demikian. Inilah awal dari iri dan kedengkian mereka terhadap Yusuf yang kemudian menyebabkan keburukan yang lainnya terjadi. Berikut ini tafsir surah Yusuf ayat 8 yang lebih detail.

Ada beberapa keutamaan Nabi Yusuf As. dari saudara-saudaranya, sehingga ayahnya lebih mengistimewakan dia daripada saudara-saudaranya. Hal tersebut yang membawa pada kedengkian saudara-saudara Yusuf, sedang mereka merasa lebih berhak untuk mendapatkan semua itu. Yusuf yang mampu melakukan tugas-tugas dari ayahnya membuat iri saudara-saudaranya, karena menurut mereka, mereka lebih tua, lebih banyak dan tentu lebih kuatdaripada Nabi Yusuf As.

Bunyi ayat 8 surah Yusuf yaitu,

إِذْ قَالُوا لَيُوسُفُ وَأَخُوهُ أَحَبُّ إِلَى أَبِينَا مِنَّا وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّ أَبَانَا لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ (8)

“Ketika mereka berkata, “Sesungguhnya Yusuf dan saudaranya (Bunyamin) lebih dicintai ayah daripada kita, padahal kita adalah satu golongon yang kuat. Sungguh ayah kita dalam kekeliruan yang nyata”. (Q.S. Yuduf [12]: 8)

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!

Keutamaan Nabi Yusuf dari saudara-saudaranya

Dalam tafsir surah Yusuf ayat 8 ini diinformasikan bahwa Nabi Yakub As. Lebih mengistimewakan Nabi Yusuf dari saudara-saudaranya karena Nabi Yusuf memiliki beberapa keutamaaan, sebagaimana yang diterangkan Imam An-Nawawi Al-Jawy dalam Maraah Labiid li Kasyf Ma’n al-Qur’an al-Majid.

Di situ tertulis bahwa ayah mereka lebih mengutamakan Nabi Yusuf karena kebaikan, kecerdasan dan kepatuhan Nabi Yusuf. Sifat-sifat itu yang tidak ditemukan pada anak yang lainnya. Selain itu, meskipun Nabi Yusuf lebih kecil, dia membatu ayahnya dengan berbagai tugas yang lebih berat daripada tugas yang diberikan kepada anak-anak yang lainnya.

Berdasarkan umur dan kekuatan fisik, Nabi Yusuf sudah pasti berada di bawah jauh dari saudara-saudaranya, kecuali dengan saudara kandungnya, Binyamin. Perbandingan fisik ini akan menjadi lebih realistis karena akumulasi dari kekuatan saudara-saudaranya yang bersekongkol yang tertuangkan oleh kata ‘ushbah yang berarti kelompok yang terdiri sepuluh atau lebih, bersekongkol dan memiliki kekuatan. Namun Yusuf yang baik, cerdas dan patuh mampu melaksanakan apa yang diperintahkan ayahnya, meskipun hal itu lebih berat daripada tugas yang diberikan kepada saudaranya.

Komplain saudara-saudara Nabi Yusuf dituturkan oleh Jamaluddin al-Qasimy dalam Mahasin al-Tawil (6/154). Mereka berkata, mereka lebih berhak mendapatkan kasih sayang daripada dua saudara kecil mereka, karena mereka golongan yang kuat. Kekuatan pada mereka untuk menunjukkan pengingkaran kepada ayah mereka. Mereka juga mampu melaksanakan tugas dari ayah mereka yang membawa manfaat bagi ayah mereka. Bagaimana bisa kemudian ayah mereka lebih mengutamakan yang tidak mampu daripada mereka yang lebih mampu?

Diceritakan bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf memiliki fisik yang lebih besar dan kuat ditambah lagi mereka terdiri dari banyak orang, semuanya beramggapan yang sama terhadap ayah mereka juga iri terhadap Nabi Yusuf. Namun sayang sekali, kelebihan lahiriyah yang dimiliki oleh mereka tidak dibarengi dengan sifat yang baik sebagaimana Nabi Yusuf.

Mereka menyangka bahwa ayahnya telah salah karena mengutanamakan Nabi Yusuf dan saudaranya (Binyamin). Ayah mereka meninggalkan mereka dan mencintai Nabi Yusuf, terlebih ketika Nabi Yusuf mencertakan tentang mimpinya. Begitu pun dengan Binyamin, menurut saudara-saudaranya, Nabi Yakub As., ayah mereka menyayangi Binyamin karena saudara kandung Nabi Yusuf selain memang dia adalah saudara yang paling kecil.

Baca Juga: Saudara-Saudara Yusuf Adalah Para Nabi: Tafsir Surah Yusuf Ayat 6

Kesalingan orang tua dan anak dalam keluarga

Tafsir surah Yusuf ayat 8 di atas sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, yaitu tentang keluarga. Masalah seperti di atas, orang tua yang dianggap pilih kasih, tidak memperlakukan sama anak-anaknya sering sekali dijadikan pembenaran anak untuk iri dan dengki terhadap saudaranya sendiri. Lebih fatal lagi jika anak secara jelas menyalahkan orang tua atas tindak keburukan mereka, sedang mereka tidak pernah mau ‘duduk bareng’ bersama orang tuanya.

Demikian pula dengan para orang tua, sebagaimana penjelasan Al-Maraghy dalam Tafsir al-Maraghy (12/118). Menurutnya, di ayat kisah tersebut, ada beberapa hal yang bisa diambil sebagai pelajaran, antara lain wajibnya membantu kedua orang tua dengan ramah, wajibnya mendidik anak dengan cinta, mencegah terjadinya saling dengki dan saling bermusuhan di antara mereka dan menjauhi mengistimewakan satu dari yang lainnya, sehingga terjadi penghinaan pada lainnya dan pilih kasih kepada seorang anak di antara mereka dengan hawa nafsu.

Melihat penjelasan tafsir surah Yusuf ayat 8 di atas, selain memang menceritakan kisah Nabi Yusuf dan saudara-saudaranya, ada pelajaran lain yang sangat berharga, yaitu interaksi dan komunikasi antara orang tua dan anak. Wallahu a’lam.

Melacak Jejak Para Kontributor Pengembang Ilmu Isytiqaq

0
Para kontributor Ilmu Isytiqaq
Para kontributor Ilmu Isytiqaq

Dalam memahami suatu term asing, umumnya, pelacakan dimulai dari sisi etimologis. Salah satu potret tersebut ialah upaya Ulama klasik yang mencoba mencari makna Al-Quran yang secara garis besar terbagi dalam dua fase: 1) Al-Quran sebagai Musytaq (mengikuti konsep Isytiqaq), 2) Al-Quran sebagai Isim ‘Alam, sebagaimana dalam penelitian Fadhli Lukman dalam buku Menyingkap Jati Diri Al-Qur`an: Sejarah Perjuangan Identitas Melalui Teori Asma’ al-Qur`an. Melihat potret tersebut, posisi Ilmu Isytiqaq bisa jadi mendapat peran sentral dalam mengungkap makna etimologis suatu term, terutama dalam pelacakan sisi derivasinya. Namun, sebelum melangkah lebih jauh, kita kenali terlebih dahulu para kontributor pengembang Ilmu Istiqaq.

Tiga peletak pertama Ilmu Isytiqaq

Menurut Muḥammad Ṣadīq Ḥasan Khān, dalam al-‘Ilm al-Khaffāq min ‘Ilm al-Isytiqāq, disebutkan bahwa pembahasan mengenai Isytiqâq sampai pada paruh abad keempat hijriyah tidak keluar dari kata yang bersesuaian dalam lafaz dan makna bersamaan dengan runtutan huruf. Pembahasan ini yang nanti dinamakan dengan Isytiqâq Shaghîr atau Ashghâr.

Ada tiga tokoh yang tersebut sebagai peletak pertama ilmu isytiqâq dalam pertumbuhannya: 1) Abȗ Sa’îd Abd al-Mâlik ibn Quraîb al-Asma’î (wafat sekitar 215 H.) dengan kitabnya, Isytiqâq al-Asmâ’, 2) Abū ‘Alī Muḥammad ibn al-Mustanir, yang juga dikenal dengan Qutrūb (w. 206 H.), dan 3) Abū al-Ḥasan Sa’īd ibn Mus’ada al-Balkhi al-Baṣrī, atau disebut juga dengan al-Akhfasy Al-Awsaṭ (w. 216 H.).

Hanya saja, seiring berkembangnya zaman banyak tangan-tangan yang merusak dan menghilangkan tulisan-tulisan mereka hingga hilanglah warisan bangsa Arab yang sangat ahli dalam bidang bahasa Arab.

Para kontributor pengembang Isytiqaq Saghīr

Kemudian pada abad ketiga Hijriyyah muncullah Abȗ Bakar Muhammad ibn al-Hasan ibn Duraid (w. 321 H) dengan karyanya, al-Isytiqâq, yang menjelaskan nama-nama populer di kalangan Arab karena di dalam nama tersebut terdapat suatu makna. Ibn Duraid juga mengarang sebuah kamus yang bernama Jamharah al-Lughah. Kemudian diikuti oleh Abȗ al-Husain Ahmad ibn Fâris (w. 395 H) dengan kitabnya, al-Maqâyîs, yang menjelaskan tentang tiap-tiap kosa kata yang ada berdasarkan materi yang satu (susunan hurufnya).

Para kontributor pengembang Isytiqāq Kabīr

Setelah paruh akhir abad keempat Hijriyah pembahasan mengenai isytiqâq mulai dibahas dari sudut pertukaran lafal yang satu, dan dapat difahami bahwa dari hal itu ada keterkaitan arti dari satu lafal yang diputar dan dibalik lafalnya yang dikenal dengan Isytiqâq Kabîr. Tokoh yang pertama mempunyai ide mengenai isytiqâq ini adalah Utsmân ibn al-Jinnî (w. 392 H.).

Pada waktu itu, juga sudah ada yang menulis kamus bergenre Isytiqāq Kabīr berdasarkan kosa kata yang dimulai dengan huruf ’ain dan sebanyak 15 jilid. Kitab ini dikenal dengan nama Tahdzîb al-Lughah yang dikarang oleh Abū Mansūr Muḥammad ibn Aḥmad al-Azharī (282-370 H.).

Baca juga: Peran Ilmu Isytiqaq dalam Kajian Al-Qur’an

Setelah paruh akhir abad keempat hijriyah, ibn al-Jinnî (w. 392 H.) muncul dengan menggagas teori baru yang disebut sebagai Isytiqâq Kabîr dalam kitabnya, al-Khaāi.

Menurutnya, kata-kata dalam bahasa Arab yang berasal dari tiga huruf yang sama meskipun urutan hurufnya berbeda memiliki makna umum yang sama. Misalnya kata-kata berikut ini : جبر  – جرب بجرربجبرج  – رجب mempunyai makna umum yang sama yakni القوة والشدة  (al-quwwah wa al-syiddah: kekuatan dan kekerasan).

Dari sinilah isytiqâq mulai terbagi menjadi dua jenis; Saghir dan Kabir. Jenis yang pertama dikaji dalam ilmu sharaf, misalnya isim fâil atau pun isim maf’ȗl yang diambil dari masdarnya, seperti قائل  (qâ’il) danمقول  (maqȗl) dari kata قول  (qawl). Yang kedua (Isytiqâq Kabîr) dikaji dalam fiqh lughah.

Baca juga: Mengenal Konsep “Akar-Pola” Ilmu Istiqaq dalam Memahami Makna Bahasa Al-Qur’an

Isytiqâq Kabîr disebut juga dengan derivasi tengah, yaitu pembentukan kata turunan dengan mengubah susunan huruf-huruf konsonan. Ibn Jinnî termasuk salah seorang pendukung awal terhadap metode ini. Asumsi yang mendasari prinsip ini adalah bahwa bunyi mempunyai hubungan yang erat dengan makna tanpa memandang letak suatu huruf.

Literatur-literatur Ilmu Isytiqaq

Dalam perkembangannya, sampai saat ini sudah banyak literatur-literatur yang membahas mengenai keilmuan ini. Selain kitab-kitab yang disebutkan sebelumnya, penulis menemukan berbagai literatur mengenai isytiqâq diantaranya, al-Isytiqâq karya Abȗ ‘Abbâs al-Mubarrad (w. 275 H.), al-Isytiqâq karya Abȗ Ishâq al-Zujjâj (w. 311 H.), al-Isytiqâq karya Abȗ Bakr ibn al-Sirrâj (w. 316 H.), Isytiqâq Asmâ` Allah Ta’âlâ karya Abȗ al-Qâsim Abd al-Rahmân al-Zujjâjî (w. 337 H.), al-Sahabi fî Fiqh al-Lughah karya Ibn Fâris (w. 395 H), al-Muzhîr fî ‘Ulȗm al-Lughah karya Jalâl al-Dîn al-Suyȗtî (w. 911 H), Nuzhah al-Ahdâq karya Muhammad ibn ‘Alî al-Syaukânî (w. 1255 H.), dan sebagainya.

Kemudian kajian ini dikaji oleh para ahli bahasa kontemporer, seperti Emin Badî’ Ya’qȗb dalam Fiqh al-Lughah (1983 M.) dan ‘Abdullah Amîn dalam al-Isytiqâq (2000 M.). Mereka mengembangkan isytiqâq menjadi empat macam selain kedua jenis sebelumnya (Isytiqâq Saghîr, asghar, ‘âm atau sarfî, dan Isytiqâq Kabîr), yakni  Isytiqâq Akbâr dan Isytiqâq Kubbâr atau al-Naht.

Perdebatan dalam eksistensi Isytiqāq Kabīr

Kemunculan Ilmu Isytiqaq tidak hadir begitu saja tanpa adanya unsur perdebatan. Salah satu yang menjadi wacana dalam perdebatan ialah eksistensi Isytiqâq kabir yang digagas oleh Ibn Jinnī untuk menunjukkan bahwa ia menjadi salah satu ciri khas Bahasa Arab.

Namun demikian, ada beberapa yang tidak setuju dengan gagasan Ibn Jinnī ini di antaranya ialah Jalāluddin al-Suyȗtî, yang adalah salah satu kontributor Ilmu Isytiqaq. Menurutnya, teori ibn Jinnî ini tidak dapat dijadikan pegangan, sebab selain kosa kata yang disebutkan oleh ibn Jinnî, yang mempunyai persamaan hanya sedikit sekali, dan memberikan kesan pemaksaan arti dan gegabah.

Baca juga: 4 Macam Bacaan Mad Badal dalam Ilmu Tajwid dan Contohnya

Tidak sedikit juga yang mendukung gagasan Ibn Jinnī ini, termasuk dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, M. Suryadinata, yang pada tahun 2008 menulis disertasi berjudul “Pertukaran Huruf dalam Kosa Kata Al-Qur`an: Studi Analisis Teori Isytiqāq Taqlīb terhadap Pemahaman Al-Qur`an”, yang dipromotori oleh Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, M.A., Prof. Dr. H. D. Hidayat, M.A., Prof. Dr. Suwito, M.A., Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Moh. Matsna, M.A. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Infithar Ayat 10-19

0
tafsir surah al infithar
Tafsiralquran.id

Pembahasan yang lalu telah berbicara mengenai anugerah Allah kepada manusia, Tafsir Surah Al Infithar Ayat 10-19 ini berbicara mengenai peringatan terhadap orang-orang yang tidak percaya adanya hari kebangkitan.


Baca juga: Tafsir Surah Al Infithar Ayat 7-9


Orang-orang yang dimaksud dalam Tafsir Surah Al Infitar Ayat 10-19 ini adalah orang-orang kafir yang lalai dan ingkar terhadap hari kebangkitan. Ayat ini dimaksudkan agar mereka insaf dari perilaku tersebut.

Ayat 10-12

Ayat-ayat ini memberi peringatan kepada orang-orang kafir yang tidak mempercayai hari kebangkitan agar mereka tidak terus-menerus lalai dan ingkar serta tidak bersiap-siap menyediakan bekal untuk menghadapi hari perhitungan karena menyangka tidak ada yang mengawasi tingkah laku dan perbuatan mereka.

Allah menjelaskan dalam ayat ini bahwa ada malaikat-malaikat yang diberi tugas mengawasi dan mencatat semua perbuatan manusia, baik yang buruk maupun yang baik, dan yang dilakukan dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi.

Malaikat yang mulia ini mencatat semua amal manusia. Dalam Alquran, para malaikat itu disebut Raqib dan ‘Atid. Allah berfirman:

اِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيٰنِ عَنِ الْيَمِيْنِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيْدٌ   ١٧  مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ   ١٨

(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri. Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (Qaf/50: 17-18)

Para malaikat mengetahui apa yang dilakukan manusia dan mencatatnya. Tidak ada informasi dalam Alquran bagaimana para malaikat itu mencatatnya, namun kita percaya Allah punya sistem dan cara yang melampaui kemampuan manusia dalam pencatatan data tersebut.

Ayat 13-14

Ayat ini menjelaskan hasil atau akibat dari pencatatan amal manusia, yaitu adanya pahala dan surga bagi orang-orang yang berbuat kebajikan, dan azab bagi orang-orang yang berbuat maksiat dan dosa. Surga adalah balasan bagi orang-orang bertakwa dan beramal saleh. Allah berfirman:

وَاَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهٖ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوٰىۙ  ٤٠  فَاِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ  ٤١

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya). (an-Nazi’at/79: 40-41)

Sedangkan orang-orang yang durhaka diazab Allah dalam api neraka. Allah berfirman:

فَاَمَّا مَنْ طَغٰىۖ  ٣٧  وَاٰثَرَ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۙ  ٣٨  فَاِنَّ الْجَحِيْمَ هِيَ الْمَأْوٰىۗ  ٣٩

Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. (an-Nazi’at/79: 37-39)

Ayat 15-16

Allah menjelaskan sekali lagi bahwa orang-orang yang durhaka itu akan dimasukkan ke dalam neraka pada hari kiamat kelak. Itulah tempat kembali yang paling buruk. Allah berfirman:

وَلِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِرَبِّهِمْ عَذَابُ جَهَنَّمَۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ  ٦

Dan orang-orang yang ingkar kepada Tuhannya akan mendapat azab Jahanam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali. (al-Mulk/67: 6)

Mereka kekal di dalam neraka selama-lamanya. Mereka tidak punya kemampuan untuk mengeluarkan diri mereka dari tempat itu karena tidak ada lagi penolong yang dapat membantu mereka. Allah berfirman:

يُرِيْدُوْنَ اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنَ النَّارِ وَمَا هُمْ بِخَارِجِيْنَ مِنْهَا ۖوَلَهُمْ عَذَابٌ مُّقِيمٌ  ٣٧

Mereka ingin keluar dari neraka, tetapi tidak akan dapat keluar dari sana. Dan mereka mendapat azab yang kekal. (al-Ma’idah/5: 37)


Baca juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian


Ayat 17-19

Dalam ayat 17 dan 18, Allah bertanya kepada Nabi dan kaumnya apakah mereka tahu apa hari pembalasan itu? Pertanyaan ini bukan meminta jawaban, tetapi celaan bagi orang-orang yang tidak mau percaya pada hari pembalasan ini. Apakah semua informasi dan tanda yang dipaparkan Alquran belum cukup untuk membuat mereka percaya?

Allah kemudian menjelaskan dalam ayat 19 bahwa di hari perhitungan tidak ada manusia yang bisa menolong orang lain. Orang tua tidak bisa menolong anaknya dan begitu juga sebaliknya.

Suami tidak bisa menolong istrinya, dan teman atau sahabat tidak bisa menolong temannya. Semua sibuk dengan diri masing-masing. Segala urusan pada hari itu berada di tangan Allah. Yang bisa menolong manusia hanyalah amalnya. Firman Allah:

وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ    ٣٩  وَاَنَّ سَعْيَهٗ سَوْفَ يُرٰىۖ  ٤٠

Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). (an-Najm/53: 39-40)

Dan firman-Nya lagi:

وَلَمْ تَكُنْ لَّهٗ فِئَةٌ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًاۗ    ٤٣

Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah; dan dia pun tidak akan dapat membela dirinya. (al-Kahf/18: 43)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Mutaffifin Ayat 1-3


(Tafsir Kemenag)

Tiga Makna Taqwa Yang Digali Imam al-Ghazali Dari Al-Qur’an

0
Tiga Makna Taqwa Yang Digali Imam al-Ghazali Dari Al-Qur’an
Tiga Makna Taqwa Yang Digali Imam al-Ghazali Dari Al-Qur’an

Setiap hari Jum’at sang khatib akan senantiasa meminta kita serta jama’ah jum’at lain, untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah. Taqwa tersebut diwujudkan dengan senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah, serta menjahui larangan-larangan-Nya. Namun jarang ada yang menerangkan secara langsung makna sebenarnya dari taqwa. Lalu apa sebenarnya makna takwa? Berikut penjelasan Imam Al-Ghazali mengenai makna taqwa menurut Al-Qur’an.

Tiga Makna Taqwa Menurut Al-Qur’an

Imam Al-Ghazali di dalam kitab Minhajul ‘Abidin menerangkan panjang lebar mengenai makna serta berbagai hal terkait prilaku taqwa. Salah satu yang ia jelaskan adalah makna taqwa menurut Al-Qur’an. Menurut Imam Al-Ghazali, Al-Qur’an menggunakan kata taqwa untuk tiga makna (Minhajul Abidin Beserta Syarah Sirajuth Thalibin/1/344).

Pertama, taqwa yang bermakna takut serta tunduk. Makna ini dapat ditemukan di dalam firman Allah yang berbunyi:

وَاٰمِنُوْا بِمَآ اَنْزَلْتُ مُصَدِّقًا لِّمَا مَعَكُمْ وَلَا تَكُوْنُوْٓا اَوَّلَ كَافِرٍۢ بِهٖ ۖ وَلَا تَشْتَرُوْا بِاٰيٰتِيْ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۖوَّاِيَّايَ فَاتَّقُوْنِ ٤١

Berimanlah kamu kepada apa (Al-Qur’an) yang telah Aku turunkan sebagai pembenar bagi apa yang ada pada kamu (Taurat) dan janganlah kamu menjadi orang yang pertama kafir kepadanya. Janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga murah dan bertakwalah hanya kepada-Ku (QS. Al-Baqarah [2]41).

Imam Ibn Katsir di dalam tafsirnya menyatakan, perintah untuk bertaqwa di ayat di atas bertujuan memberikan ancaman kepada kaum Bani Israil yang gemar menyembunyikan kebenaran, memperlihatkan kebalikannya, serta menyalahi perintah rasul. Perintah bertaqwa di ayat di atas adalah perintah untuk takut kepada Allah sehingga menjahui larangan Allah yang disebutkan sebelumnya (Tafsir Ibn Katsir/1/244).

Baca juga: Tafsir Surah Al-An’am Ayat 159: Benang Merah Fanatisme Agama Dulu dan Kini

Taqwa dengan makna yang sama disebutkan di dalam firman Allah yang berbunyi:

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ ࣖ ٢٨١

Waspadalah terhadap suatu hari (kiamat) yang padanya kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian, setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya dan mereka tidak dizalimi (QS. Al-Baqarah [2] 281).

Kedua, taqwa yang bermakna mentaati dan beribadah. Makna ini terdapat di dalam firman Allah yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ١٠٢

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim (QS. Ali ‘Imran [3] 102).

Ibn Abbas di dalam tafsirnya yang berjudul Tanwirul Miqbas menyatakan, makna taqwa dalam ayat di atas adalah “taatilah Allah dengan sebenar-benarnya taat”. Imam Mujahid menyatakan, makna dari sebenar-benarnya taqwa adalah mentaati Allah dan tidak mendurhakainya, mengingat Allah serta tidak melalaikan-Nya, serta bersyukur pada Allah dan tidak mengkufuri-Nya (Sirajuth Thalibin/1/346).

Ketiga, taqwa yang bermakna membersihkan hati dari berbagai dosa. Taqwa dengan makna ini dapat ditemukan dalam firman Allah yang berbunyi:

وَمَنْ يُّطِعِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ وَيَخْشَ اللّٰهَ وَيَتَّقْهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ ٥٢

Siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan (QS. An-Nur [24] 52).

Baca juga: Mengenal Sosok Muhammad Irsyad, Mufasir Modernis Asal Madura

Imam Al-Ghazali menyatakan, di dalam ayat di atas, perintah untuk takut pada Allah serta taat kepada-Nya sudah disebutkan sebelum perintah bertaqwa. Maka taqwa disini bermakna selain dari takut serta taat. Kemudian Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa makna taqwa di dalam ayat ini adalah membersihkan hati dari berbagai dosa.

Makna taqwa yang pertama dan kedua yang disebutkan oleh Imam Al-Ghazali mungkin pemaknaan kata taqwa yang sudah tidak asing lagi. Namun untuk pemaknaan yang ketiga, mungkin adalah makna yang masih dirasa asing. Namun melihat dasar ayat yang dipakai Imam Al-Ghazali untuk menguatkan pendapatnya, pendapat Imam Al-Ghazali tersebut cukup penting untuk dikaji. Wallahu a’lam bisshowab.