Beranda blog Halaman 475

Mengenal Tafsir Al-Quran Pathok Nagari Karya KH. Ali As’ad

0
tafsir al-quran pathok nagari
tafsir al-quran pathok nagari (daaruttauhiid.org)

Selain lokalitas bahasa, kajian lokal Al-Quran juga melahirkan kreatifitas ragam aksara. Misalnya Aksara Jawi (Melayu-Jawi) yang merupakan bentuk tulisan Arab untuk bahasa Melayu, dan Pegon untuk Jawa atau Sunda.

Di Yogyakarta misalnya, terdapat Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad. Kitab tafsir tersebut merupakan kitab tafsir baru yang ditulis pada tahun 2012. Beliau membuat sebuah kitab tersebut bertujuan supaya di Yogyakarta khususnya di Ndalem Keraton mempunyai kekhasan dalam tafsir atau memahami Al-Quran.

Latar Belakang dan Tujuan Penulisan

Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad ini pertama kali mulai ditafsirkan pada tahun 2012. Bermula dari adanya majelis pengajian ibu-ibu Nisa al-Qurra yang diselenggarakan setiap hari jumat setelah dzuhur di rumahnya daerah Ploso Kuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman. Kemudian beliau KH. Ali As’ad mempunyai pemikiran untuk membuat kitab tafsir yang digunakan mengisi majlis tersebut.

Tidak hanya sebatas itu, tujuan utama dari pembuatan kitab Tafsir Al-Quran Pathok Nagari adalah untuk menciptakan kitab tafsir Al-Quran yang bercorak kedaerahan untuk menunjukan identitas dari Yogyakarta, karena pada waktu itu daerah Solo sudah memiliki kitab tafsir sendiri.

KH. Ali As’ad mengajarkan langsung kitab ini pada waktu itu. Beliau menafsirkan Tafsir Al-Quran Pathok Nagari memulainya dengan menafsirkan surat al-Fatiḥah yang beliau jelaskan dalam satu kitab pethilan (kitab pethilan 1), kemudian beliau menafsirkan Q.S Al-Baqarah dalam kitab pethilan 2 dan 3. Dalam menafsirkannya, beliau membentuk tim dari para santrinya untuk membantu beliau mengerjakan penafsiran Tafsir Al-Quran Pathok Nagari. Tim yang dipimpin oleh KH. Ali As’ad tersebut beranggotakan Fattah Yasin (Magelang), Wahid Ulum (Kudus) dan dua anggota lagi yang penulis belum mendapatkan datanya.

Pernah kitab ini disowankan (baca: dikonsultasikan) kepada Ngarso Ndalem agar beliaukui, bahwa kitab ini merupakan kitab tafsir Al-Quran khas Yogyakarta. Seperti kitab Tahlil Hadiningrat yang telah diakui oleh Kasultanan, untuk menunjukan bahwa penduduk Yogyakarta merupakan masyarakat muslim, yang di dalamnya tercakup warga Nahdliyin juga. Namun pada waktu itu, kebetulan Sri Sultan Hamengkubuwono sedang tidak ada dan sampai sekarang belum disowankan lagi kepada Ngarso Ndalem.

Baca juga: Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany

Ketika kitab ini hendak di-sowan-kan ke Ngarso Ndalem, kitab ini baru selesai beberapa juz sajadan masih dalam bentuk draft kasar. Namun penggarapan kitab ini masih berlanjut.Cara penafsirannya adalah dengan KH. Ali As’ad menyuruh santrinya Fattah Yasin yang merupakan alumni dari Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri untuk memaknai Al-Quran dengan makna murod Jawa dan Indonesia.

Tujuan dari penafsiran yang dilakukan dengan cara memaknai perkata ini, menurut KH. Ali As’ad adalah supaya orang mengetahui makna asli perkata, tidak hanya terjemahan yang disajikan dalam bentuk global seperti kitab Al-Quran terjemahan pada umumnya. Penyajian seperti ini lebih dapat dipahami oleh para pembacanya, dan yang paling menunjukan itu adalah makna pegon. Selanjutnya dari makna pegon kemubeliaun dimodifikasi lagi dengan makna jawa yang menggunakan tulisan latin.

Proses penafsiran ini berjalan kurang lebih sekitar 3 tahun, yaitu sampai pada tahun 2014. Hal ini karena Fattah Yasin, yaitu salah satu anggota yang memaknai Al-Quran harus kembali pulang ke rumahnya di Magelang.

Sampai sekarang ini, dari draft kasar yang disusun oleh KH. Ali As’ad dan timnya, yang telah dicetak adalah juz 1 yang terdiri dari 3 jilid atau yang disebut dengan pethilan. Pethilan 1 hanya menafsirkan surat al-Fatihah saja, pethilan 2 menafsirkan Q.S. Al-Baqarah ayat 1-74, dan pethilan 3 menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 75-141)

Sumber penulisan kitab

Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad ini, ia mempunyai dasar-dasar ilmu pengetahuan yang dijadikan sebagai rujukan untuk membangun penafsirannya. Adapun sumber-sumber yang digunakan KH. Ali As’ad untuk menafsirkan Al-Quran, penulis akan memaparkan lebih detail.

Pertama, Al-Quran. Pada kitab Tafsir Al-Quran Pathok Nagari karya KH. Ali As’ad ini, sangat jelas bahwa beliau menafsirkan ayat dengan ayat-ayat Al-Quran yang lainnya. Penafsiran ini bisa dilihat pada kitab pethilan satu ketika KH. Ali As’ad menafsirkan surat al-Fātihah. Ia menjelaskan surat al-Fātihah yang disebut as-sab’ul maśāni dengan QS  Al-Hijr (15): 87 :

وَلَقَدْ آتَيْنَاكَ سَبْعًا مِنَ الْمَثَانِى وَ الْقُرْأَنَ الْعَظِيْمَ

Selanjutnya dari ayat ini KH. Ali As’ad menjelaskan bahwa yang dimaksud tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang adalah surat al-Fātihah yang terdiri dari tujuh ayat. Disebut demikian karena surat al-Fātihah dibaca berulang-ulang ketika sholat.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Kedua, hadits. KH. Ali As’ad juga menafsirkan Al-Quran dengan hadits Nabi saw. Seperti pada waktu menafsirkan al-Fātihah sebagai as-sab’ul maśāni, beliau juga merujuk pada hadits Nabi saw:

قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ سَبْعُ آيَاتٍ ، بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ اِحْدَاهُنَّ ، وَهِيَ السَّبْعُ الْمَثَانِى وَ الْقُرْأَنُ الْعَظِيْمُ ، وَ هِيَ أُمُّ الكِتَابِ ( رواه البيهاقي و غيره عن أبي هريرة )

Dari hadits ini, KH. Ali As’ad juga memaparkan bahwa al-Fātihah tidak hanya disebut dengan al-sab’u al-maśāni saja tetapi disebut juga dengan Ummul Kitāb (Induk Kitab) atau Ummul Qur’an (Induk Al-Quran). Di samping itu, ia setuju untuk memasukan bacaan basmallah dalam bagian surat al-Fātihah.

Selain menafsirkan surat al-Fātihah dengan hadits sehingga disebut dengan al-sab’u al-maśāni, ketika menafsirkan ayat:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

KH. Ali As’ad menafsirkan ayat tersebut dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dari Ibnu Umar ra, yaitu:

اَلْحَمْدُ رَأْسُ الشُّكْرِ ، مَاشَكَرَ اَللَّهَ عَبْدٌ لَا يَحْمَدُهُ (رواه البيهاقي عن عبدالله بن عمرو)

Sebelum beliau memunculkan haditsnya terlebih dahulu beliau menjelaskan bahwa lafal hamdalah merupakan pernyataan untuk mengembalikan segala pujian kepada Allah dan wujud syukur kepada-Nya.

Namun dalam menukil setiap hadits yang digunakan untuk menafsirkan ayat, KH. Ali As’ad tidak mencantumkan jalur sanadnya secara rinci dan kualitas dari hadits yang digunakan. Apakah hadits tersebut shahih atau dha’if.

Ketiga, Akal (Ra’y). Akal (ra’y) pada penafsiran KH. Ali As’ad merupakan unsur yang sangat penting dalam menafsirkan tafsir ini. Meskipun dua sumber yang sebelumnya (Al-Quran dan Hadits) juga memiliki peran yang sangat penting. Hal ini karena dengan pemikiran KH. Ali As’ad, beliau dapat menjelaskan dan mengkolaborasikan penjelasan dari Al-Quran dan Hadits, sehingga penafsiran dari suatu ayat dapat dipahami secara utuh.

Peran akal yang digunakan KH. Ali As’ad untuk menafsirkan ayat Al-Quran ini, dikemukakan oleh Fattah Yasin yang merupakan salah satu santri KH. Ali As’ad yang menjadi anggota tim penyusun kitab Al-Quran Pathok Nagari. Beliau mengutarakan bahwa ketika beliau sorogan (menyetorkan) makna terjemahan Al-Quran Pathok Nagari, KH. Ali As’ad menafsirkan sendiri ayat-ayat yang perlu untuk ditafsirkan yang banyak digunakan di masyarakat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 100-103

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah ayat yang lalu membahas fenomena langit agar menjadi bahan introspeksi diri bagi manusia, khusunya orang-orang menyekutukan Allah swt, Tafsir Surat Al An’am Ayat 100-103 memuat hakikat dari perilaku orang-orang musyrik.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 99


Dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 100-103 ini Allah swt menjelaskan bahwa kemusyrikan mereka pada hakikatnya karena mengikuti bisikan jin dan setan. Padahal mereka tahu bahwa jin itu merupakan ciptaan Allah swt juga. Dan pernyataan mereka yang paling fatal adalah anggapan mereka tentang anak Allah swt (Maha Suci Allah dari segala tuduhan itu).

Pembahasan Tafsir Surat Al An’am Ayat 100-103 ini diakhiri dengan penyataan Allah swt bahwasannya Ia Maha Suci dari segala yang mereka tuduhkan. Allah yang menguasai Alam beserta isinya. Ia juga yang mengatur Alam dengan begitu runtutnya. Tidak ada sekutu bagiNya.

Ayat 100

Allah menjelaskan bahwa orang-orang musyrik menjadikan jin sekutu bagi Allah. Dikatakan demikian karena orang-orang musyrik itu meskipun kenyataannya menyembah berhala-berhala, namun pada hakikatnya mereka berbuat demikian itu lantaran mengikuti bisikan jin dan setan.

Allah berfirman:

اِنْ يَّدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلَّآ اِنَاثًاۚ وَاِنْ يَّدْعُوْنَ اِلَّا شَيْطٰنًا مَّرِيْدًاۙ  ١١٧  لَّعَنَهُ اللّٰهُ ۘ وَقَالَ لَاَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيْبًا مَّفْرُوْضًاۙ  ١١٨  وَّلَاُضِلَّنَّهُمْ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ اٰذَانَ الْاَنْعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ يَّتَّخِذِ الشَّيْطٰنَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِيْنًا   ١١٩

Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah inasan (berhala), dan mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah, dan (setan) itu mengatakan, ”Aku pasti akan mengambil bagian tertentu dari hamba-hamba-Mu, dan pasti kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar mengubahnya).” Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata. (an-Nisa′/4: 117-119)

Allah menjelaskan kesalahan perbuatan mereka karena mereka sebenarnya telah mengetahui bahwa yang menciptakan jin-jin itu ialah Allah. Itulah sebabnya maka perbuatan mereka itu dicela. Celaan Allah terhadap mereka itu adalah seperti celaan Ibrahim a.s. terhadap kaumnya.

Allah berfirman:

قَالَ اَتَعْبُدُوْنَ مَا تَنْحِتُوْنَۙ  ٩٥  وَاللّٰهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ  ٩٦

”Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (as-Saffat/37: 95-96)

Allah mencela pula perbuatan mereka, karena mereka telah berbohong dengan mengatakan bahwa Allah mempunyai anak laki-laki dan anak-anak perempuan. Tuduhan mereka bahwa Allah mempunyai anak laki-laki adalah seperti tuduhan orang-orang Yahudi dan Nasrani.

Allah swt berfirman:

وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ِۨابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰه

Dan orang-orang Yahudi berkata, ”Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani  berkata, ”Al-Masih putra Allah.” (at-Taubah/9: 30)

Sedangkan tuduhan mereka bahwa Allah mempunyai anak perempuan diterangkan dalam firman Allah:

فَاسْتَفْتِهِمْ اَلِرَبِّكَ الْبَنَاتُ وَلَهُمُ الْبَنُوْنَۚ   ١٤٩  اَمْ خَلَقْنَا الْمَلٰۤىِٕكَةَ اِنَاثًا وَّهُمْ شَاهِدُوْنَ  ١٥٠  اَلَآ اِنَّهُمْ مِّنْ اِفْكِهِمْ لَيَقُوْلُوْنَۙ  ١٥١  وَلَدَ اللّٰهُ ۙوَاِنَّهُمْ لَكٰذِبُوْنَۙ  ١٥٢

Maka tanyakanlah (Muhammad) kepada mereka (orang-orang kafir Mekah), ”Apakah anak-anak perempuan itu untuk Tuhanmu sedangkan untuk mereka anak-anak laki-laki?” atau apakah Kami menciptakan malaikat-malaikat berupa perempuan sedangkan mereka menyaksikan(nya)? Ingatlah, sesungguhnya di antara kebohongannya mereka benar-benar mengatakan, ”Allah mempunyai anak.” Dan sungguh, mereka benar-benar pendusta. (as-Saffat/37: 149-152)

Mereka melemparkan tuduhan itu dengan tidak mempunyai alasan sedikit pun. Bahkan perkataan mereka menunjukkan kebodohan mereka sendiri atau semata-mata menuruti hawa nafsu.

Di akhir ayat ini Allah membersihkan diri-Nya dari tuduhan-tuduhan mereka, bahwa Dia Mahasuci dan Mahatinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan, yaitu bahwa Allah tidak mempunyai serikat dan tidak mempunyai anak.

Ayat 101

Allah menerangkan bahwa Dialah Pencipta langit dan bumi. Dalam penciptaan jagat raya dan segala isinya, Dia tidaklah meniru dari ciptaan-ciptaan sebelumnya. Dia menciptakan dari tidak ada menjadi ada.

Ini berarti bahwa Allah menciptakannya secara mutlak tidak memerlukan bantuan tenaga ataupun benda-benda lainnya. Oleh sebab itu bagaimana mungkin ia mempunyai anak seperti persangkaan orang-orang musyrik. Padahal Dia tidak memerlukan istri yang dapat melahirkan anak.

Allah menyalahkan anggapan orang-orang musyrik dengan memberikan alasan-alasan yang rasional dengan maksud agar mereka dapat menerima kebenaran. Penjelasan ini merupakan penjelasan dari ayat sebelumnya, Allah membersihkan diri-Nya dari tuduhan-tuduhan orang-orang musyrik; sedangkan keterangan-keterangan selanjutnya menandaskan bahwa dugaan-dugaan mereka itu tidak masuk akal.

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Ilmu-Nya tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Ilmu-Nya azali dan abadi. Hal ini merupakan ketetapan Allah untuk menguatkan alasan-alasan yang dikemukakan sebelumnya serta membatalkan tuduhan orang musyrik yang tidak pada tempatnya itu.

Ayat 102

Allah menerangkan kepada orang-orang musyrik, bahwa Allah memiliki sifat-sifat seperti disebutkan dalam ayat yang lalu. Itulah sebenarnya Tuhan yang wajib mereka sembah.

Yang menciptakan segala sesuatu, tidak ada tuhan yang lain kecuali Dia, bukan tuhan-tuhan yang mereka ciptakan seperti berhala-berhala, atau malaikat-malaikat yang dianggap sebagai anak Tuhan; karena semuanya itu adalah makhluk ciptaan Allah yang tidak pantas diperserikatkan kepada Dia.

Di akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah pemelihara segala sesuatu yaitu menguasai segala urusan, mengurusi jagat raya dan isinya dengan ilmu, hikmat dan kekuasaan-Nya.


Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten


Ayat 103

Allah menjelaskan hakikat dan keagungan diri-Nya sebagai penegasan dari sifat-sifat-Nya yang telah dijelaskan pada ayat yang baru lalu, yaitu bahwa Allah di atas segala-galanya.

Zat-Nya Yang Agung itu tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, karena indera manusia itu memang diciptakan dalam susunan yang tidak siap untuk melihat zat-Nya. Sebabnya tidak lain karena manusia itu diciptakan dari materi, dan inderanya hanya menangkap materi-materi belaka dengan perantaraan materi pula; sedangkan Allah bukanlah materi. Maka wajarlah apabila Dia tidak dapat dijangkau oleh indera manusia.

Yang dimaksud dengan Allah tidak dapat dijangkau dengan indera manusia, ialah selama manusia masih hidup di dunia. Sedangkan pada hari Kiamat, orang-orang beriman akan dapat melihat Allah.

Nabi Muhammad bersabda:

إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَمَا تَرَوْنَ الْقَمَرَ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَكَمَا تَرَوْنَ الشَّمْسَ لَيْسَ دُوْنَهَا سَحَابٌ

(رواه البخاري عن جرير، صحيح البخاري 4، 283)

Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhanmu di hari Kiamat seperti kamu melihat bulan di malam bulan purnama, dan seperti kamu melihat matahari di kala langit tidak berawan.” (Riwayat al-Bukhari dan Jarir, Sahih al-Bukhari IV: 283).

Allah berfirman:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ نَّاضِرَةٌۙ  ٢٢  اِلٰى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ ۚ  ٢٣

Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya. (al-Qiyamah/75: 22-23)

Kemungkinan melihat Tuhan di hari Kiamat, khusus bagi orang-orang mukmin sedangkan orang-orang kafir kemungkinan melihat Allah tertutup bagi mereka.

Allah berfirman:

كَلَّآ اِنَّهُمْ عَنْ رَّبِّهِمْ يَوْمَىِٕذٍ لَّمَحْجُوْبُوْنَ

Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya. (al-Mutaffifin/83: 15)

Allah menegaskan bahwa Dia dapat melihat segala sesuatu yang dapat dilihat, dan ba¡³rah (penglihatan)-Nya dapat menembus seluruh yang ada, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya, baik bentuk maupun hakikat-Nya.

Di akhir ayat ini Allah menegaskan lagi bahwa Zat-Nya Mahahalus, tidak mungkin dijangkau oleh indera manusia apalagi hakikat-Nya dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun halusnya, tidak ada yang tersembunyi dari pengetahuan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 104-107


(Tafsir Kemenag)

Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeneutika dari Timur Tengah

0
Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeunitika
Muhammad al-Ghazali, Mufassir Penggerak Hermeunitika

Kontroversi penggunaan metode hermeneutika untuk menafsirkan kitab suci  Al-Quran antara lain disebabkan oleh background hermeneutika dari khazanah peradaban Barat. Tetapi, bila melihat kilas balik perkembangan penafsiran di Timur Tengah, kita akan temui beberapa tokoh tafsir asal Timur Tengah yang melegalkan metode ini. Salah satunya, ialah Muhammad Al-Ghazali, mufassir penggerak hermeneutika asal Mesir.

Sketsa Biografi

Ia bernama lengkap Muhammad al-Ghazali as-Saqa. Lahir di Distrik Nakla Inab, Buhayrah, Mesir pada 22 September 1917 dan meninggal di usianya yang ke-78 pada 9 Maret 1996. Hidup di tengah keluarga yang sederhana dan religius membuat al-Ghazali tertarik pada ilmu agama sedari kecil. Maka, tak heran, anak sulung dari tujuh bersaudara ini berhasil mengkhatamkan hafalan Al-Quran pada usia 10 tahun. Meski hidup sederhana, orang tua al-Ghazali menaruh harapan agar kelak anaknya ini bisa menjadi tokoh agamawan yang memberi sumbangsih besar untuk kehidupan manusia. Harapan ini muncul ditengarai dengan penyandaran al-Ghazali pada nama anak sulungnya.


Baca juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi


Jejak akademiknya di perguruan tinggi ia mulai di Al-Azhar. Ia berhasil meraih gelar sarjana jebolan fakultas Ushuluddin pada tahun 1941. Tak lama kemudian, di tahun 1943, ia menamatkan studi S2 di universitas yang sama dan menjadi Master di bahasa Arab. Di tahun ini pula, ia memulai karirnya sebagai khatib dan imam di Masjid al-‘Uthbahul Khadra, Mesir.

Mengutip Berdialog dengan Al-Quran, Muhammad al-Ghazali juga menemukan interest-nya di bidang pendidikan. Ia bergabung dalam civitas akademika di al-Azhar dan menjadi dosen di Fakultas Hukum Islam, Pendidikan, Studi Arab dan Keislaman, dan Ushuluddin. Muhammad al-Ghazali juga mendedikasikan ilmunya sebagai dosen tamu di berbagai penjuru negeri Timur Tengah. Antara lain, Universitas Ummul Qura, di Mekah, Universitas Qatar, dan Universitas Abdul Qadir di Aljazair.

Berkat dedikasinya yang tinggi dalam mengabdikan ilmu, Muhammad al-Ghazali berhasil mendapat gelar penghormatan tertinggi dalam bidang pengabdian Islam di Mesir, pada tahun 1988. Bahkan, ia dinobatkan sebagai orang Mesir pertama yang meraih penghargaan Internasional dari Raja Faishal, Saudi Arabia.  Dan tak kalah dari Saudi, pemerintah Aljazair turut mengapresiasi kiprah Muhammad al-Ghazali di bidang dakwah.


Baca juga: Masih Relevankah Metode Tafsir Ijmali Era Rasulullah SAW? Berikut Penjelasannya


Muhammad al-Ghazali juga produktif menulis. Tak kurang dari 64 buku telah tuntas ia garap. Di antara karyanya itu, menunjukkan keseriusan Muhammad al-Ghazali di bidang tafsir. Semisal; Nadzarat fil Quran (1986), Kayfa Nata’ammalu ma’al Qur’anil Karim (1992), al-Mahawirul Khamsah lil Quranil Karim (1989),  dan Nahwa Tafsiril Mawdu’i li Suwaril Quranil Karim (1996).

Menyitir Hermeneutika Al-Quran Muhammad al-Ghazali karya Wardatun Nadhiroh, Al-Ghazali masuk dalam kelompok Ikhwanul Muslimin, tetapi ia sama sekali tidak menunjukkan sikap fanatik pada kelompok itu. Ia selalu mementingkan Islam dan ini terbukti dari tulisan-tulisannya yang tajam jika dihadapkan dengan isu menyimpang. Juga, identitasnya sebagai seorang sunni madzhab Hanafi dan Asy’ariyah turut menjadi lantaran ia bersikap moderat.

Penggerak Hermeneutika di Timur Tengah

Sebagai tokoh intelektual Islam yang melanglang buana ke berbagai negeri Timur Tengah, ia mempengaruhi muslim saat itu dengan pemikiran pembaruannya yang anti taklid buta serta hermeneutika di bidang tafsir. Dari buku Nahwa Tafsiril Mawdu’i li Suwaril Quranil Karim kita temukan corak hermeneutika ala Gadamer yang mewarnai penafsiran tematik al-Ghazali.


Baca juga: ‘Nabiyyil Ummiyyi’, Benarkah Benarti Nabi Tidak Bisa Baca Tulis?


Pada tafsirnya itu, al-Ghazali menafsir Al-Quran secara tematik surat, bukan persoalan tertentu yang menjadi asas sebagaimana yang disorot al-Farmawi dalam al-Bidayah fi Tafsiril Mawdu’i. Al-Ghazali berusaha menggali ide pokok tiap surat yang ia tafsirkan. Hal ini tampak dari caranya merangkai penafsiran satu ayat dengan lainnya secara naratif, mengkoneksikan satu masalah dengan masalah pokok lainnya, sehingga menemukan grand tema di setiap surat sebagai hasil akhirnya.

Hermeneutika yang dipakai oleh Muhammad al-Ghazali masuk dalam kategori hermeneutika cum-objectivis atau dalam terminologi hermeneutika Gadamer disebut dengan Filosophy-Contextual.

Di satu sisi, ia mengelaborasi ayat dengan memerhatikan unsur yang ada dalam Al-Quran –ma fil Qur’an, dalam terminologi Amin al-Khulli- dan unsur di luar Al-Quran –ma hawlal Quran-. Di sisi lain, ia menggunakan nalarnya untuk menelusuri tema kecil di tiap ayat sampai menyimpulkan grand tema di tiap surat. Pada bagian kedua ini terlihat pengaruh teori Fusion of Horizon (peleburan cakrawala) Gadamer pada penafsiran Muhammad al-Ghazali. Meski demikan, penafsiran Al-Ghazali tidak murni subjektif, karena didukung oleh langkah kedua yang juga mempertimbangkan aspek historis.


Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten


Munculnya tokoh penafsir dengan metode hermeneutika dari jagad Timur Tengah memberi angin segar yang layak untuk dipertimbangkan bagi kejumudan diskursus pemikiran Al-Quran dan tafsir khususnya yang masih terpengaruh stigma soal hermeneutika tafsir. Setidaknya, dapat kita tahu bahwa tidak seluruh hermeneutika mengabaikan sumber utama penafsiran Al-Quran, dan itu telah dibuktikan oleh para tokoh tafsir dari Timur Tengah sendiri. Bahkan yang beraliran ahlussunnah. Wallahu a’lam

Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran

0
Krisis Kepercayaan Diri
Krisis Kepercayaan Diri

Kompleksitas kehidupan seringkali membuat manusia mengalami gejolak kepribadian dan perasaan, baik secara positif maupun negatif seperti krisis kepercayaan diri. Perasaan ini bisa terjadi karena munculnya rasa minder akibat penampilan, kemampuan ataupun kepribadian. Tak jarang, krisis kepercayaan diri dipengaruhi oleh standardisasi tertentu dari lingkungan sekitar yang memarginalkan individu berbeda.

Perkembangan dunia digital, sosial media, tren kekinian, dan ekspektasi lingkungan yang berlebihan juga turut serta menciptakan “tekanan baru tak terlihat” bagi berbagai kalangan masyarakat, terutama para remaja. Hal ini kadangkala mempengaruhi kepribadian dan perasaan mereka sehingga mengalami krisis kepercayaan diri. Bahkan tak jarang sebagian dari mereka memilih untuk mengasingkan diri dari sekitar.

Krisis kepercayaan diri jika tidak diatasi dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti kurangnya keberanian untuk bertindak, takut untuk mencoba, sulitnya bersosialisasi dengan orang lain, kurangnya motivasi dan lain-lain. Bahkan terkadang orang mengalami krisis kepribadian membenci dirinya sendiri karena menurutnya dirinya tidak bisa diandalkan dan sama sekali tidak mampu untuk melakukan apapun.

Menurut data kesehatan yang dipublikasikan oleh Psychology Today, krisis kepercayaan diri cenderung membuat seseorang untuk selalu mengkhawatirkan kesalahan masa lalu dan takut mengulanginya. Perenungan yang berlebihan ini membuat ia menarik diri dari kemungkinan-kemungkinan positif di masa sekarang dan masa depan. Oleh karena itu, krisis kepercayaan diri harus diatasi sedini mungkin.

Ada banyak cara agar seseorang terhindar dari krisis kepercayaan diri, diantaranya: mengenal dan menghargai diri sendiri, menyemangati diri dengan berbagai kata-kata positif, menyusun skala prioritas dan mengeliminasi hal-hal tak penting, menggali potensi terpendam, bersifat terbuka terhadap orang lain, mensyukuri diri, serta mengevaluasinya kemudian. Beberapa tersebut mampun membantu meningkatkan kepercayaan diri.

Amalan Agar Percaya Diri Dan Berwibawa

Selain berusaha melakukan tindakan-tindakan di atas, seseorang juga dapat meningkatkan kepercayaan diri dan kewibawaan – sebuah ikhtiar tambahan – melalui amaliah bacaan Al-Qur’an sebagai bentuk doa seorang mukmin kepada Allah Swt. Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitab adz-Dzahabul Ibris bahwa ayat Al-Qur’an dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan wibawa dan kepercayaan diri.

Ayat yang bisa digunakan untuk meningkatkan wibawa dan kepercayaan diri adalah QS. Al-Fatihah [1] ayat 1 dan QS. Al-Isra’ [17]: ayat 80. Dua ayat tersebut dibaca berturut-turut dengan penuh keyakinan bahwa Allah Swt akan meningkatkan wibawa dan kepercayaan diri melalui washilah atau perantara ayat ini.

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ ١وَقُلْ رَّبِّ اَدْخِلْنِيْ مُدْخَلَ صِدْقٍ وَّاَخْرِجْنِيْ مُخْرَجَ صِدْقٍ وَّاجْعَلْ لِّيْ مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيْرًا ٨٠

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang (QS. Al-Fatihah [1]:1). Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong (ku) (QS. Al-Isra’ [17]: 80).

Amaliah ini didapatkan imam al-Ghazali dari Abdullah bin al-Hakam. Ia meriwayatkan, “Amirul Mukminin Harun ar-Rasyid mengutus seorang utusan untuk mengundang Imam Malik bin Anas agar hadir di majelisnya. Ketika sampai di hadapan Harun Ar-Rasyid, Malik bin Annas membaca QS. Al-Fatihah [1] ayat 1 dan QS. Al-Isra’ [17]: ayat 80.”

Setelah itu, Harun ar-Rasyid menyambut Imam Malik bin Anas dengan sangat baik, memuliakannya, dan mengagungkannya. Ketika melihat tempat duduk telah penuh, Imam Malik bin Anas berkata, “Wahai amirul mikminin, di mana aku duduk?” Sang raja lantas menggeser tempat duduk anaknya di sampingnya untuk dijadikan tempat duduk bagi sang Imam dan berkata, “Wahai Abu Abdillah, tidak ada yang duduk di sini karena kemuliannya selain engkau dan anakku.”

Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Imam As-Syafi‘i pernah mengamalkan amaliah ini. Al-Buwaithi, seorang pengikut beliau berkata, “Ketika imam asy-Syafi‘i sampai di Mesir dan disambut banyak orang, beliau diundang oleh semua orang untuk singgah di rumah mereka, termasuk pemimpin Mesir pada waktu itu.

Alkisah, berangkatlah Imam Asy-Syafi‘i dengan dikawal tentara menuju istana kekaisaran. Ketika sampai di sana, beliau membaca QS. Al-Fatihah [1] ayat 1 dan QS. Al-Isra’ [17]: ayat 80. Atas izin Allah, beliau dijamu dengan sebaik-baiknya, beliau ditempatkan di kedudukan tertinggi, dan diberi hadiah tanpa diminta. Padahal waktu itu diceritakan bahwa sebelumnya sang khalifah menuntut pajak kepadanya.

Dari riwayat-riwayat tersebut, Imam Al-Ghazali kemudian berkesimpulan bahwa QS. Al-Fatihah [1] ayat 1 dan QS. Al-Isra’ [17]: ayat 80 – jika diamalkan – dapat meningkatkan kepercayaan dan kewibawaan seseorang. Tentunya hal ini dilakukan dengan penuh keyakinan kepada Allah Swt, tanpa keraguan sedikitpun kepada-Nya.

Selain melakukan amalan tersebut, seseorang juga wajib melakukan hal-hal yang dapat menunjang kepercayaan diri dan kewibawaan serta menghindari hal-hal yang dapat merusak keduanya. Dengan begitu lengkaplah ikhtiar kita, yakni melalui usaha dan doa. Selebihnya cukup kita serahkan kepada Allah Swt Sang Maha Pengatur. Wallahu a’lam.

Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

0
Tafsir sufistik
Tafsir sufistik

Kajian tafsir Al-Quran dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan dan perubahan. Berbagai metode, pendekatan, dan corak tafsir telah dihasilkan oleh para ulama pengkaji Al-Quran. Pada abad pertengahan, sejak terjadi pergeseran metode penafsiran dari tafsir bi al-ma’tsur ke tafsir bi al-ra’yi, mulai muncul berbagai corak penafsiran. Salah satu corak tafsir yang berkembang pada era saat itu adalah corak tafsir sufistik.

Definisi Tafsir Sufistik

Para ulama berbeda pendapat terkait asal kata dari tasawwuf, ada yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata al-Shauf yang bermakna kain wol, karena para sufi saat itu dikenal dengan pakainya yang sederhana sehingga berbeda dengan manusia pada umumnya. Terdapat juga pendapat yang mengatakan dari kata al-Shafa’ yang maknanya jernih, karena inti dari tasawuf adalah proses penjernihan hati. Terakhir, ada yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata al-Shuffah yaitu julukan yang dinisbahkan kepada para fakir miskin di masa Sahabat (fuqara’ al-shabah).

Secara definitif, para ulama memaknai tafsir sufistik sebagai kegiatan pentakwilan makna ayat Al-Quran dengan makna yang bukan makna lahirnya, karena ada isyarat khusus yang diketahui oleh para penempuh jalan spiritual (salik) dan tasawuf. Serta adanya kemungkinan kesesuaian dan korelasi antara makna lahiriyah (dhahir al-nash) dengan makna batiniyah (bathin al-nash).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa corak tafsir sufistik ini merupakan corak tafsir yang memalingkan makna lahir ayat ke dalam makna batin ayat dengan menggunakan ajaran tasawuf sebagai bahan dasar dalam proses penafsiran ayat tersebut. Sehingga corak tafsir ini memiliki tujuan untuk mengungkap kandungan rahasia-rahasia ayat Al-Quran yang tersembunyi dibalik makna lahirnya.

Baca Juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Klasifikasi Tafsir Sufistik

Kemudian terkait klasifikasinya, dalam kitab al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Syaikh Husain al-Dzahabi, beliau menjelaskan bahwa Corak tafsir sufistik ini terbagi dalam menjadi dua bagian yaitu:

  1. Tafsir Sufi Nazhari (Teoretis): madzhab tafsir yang dalam pengungkapan makna ayat Al-Quran menggunakan pendekatan kajian terhadap beberapa teori tasawuf maupun filsafat. Kemudian, dari kajian tersebut kemudian dicari dalil-dalil dari Al-Quran untuk memperkuat teori tersebut. Salah satu tokoh sufi yang mengusung corak tafsir ini adalah Muhyiddin Ibnu Arabi (w. 1240 M) dalam karyanya al-Futuhat al-Makkiyah.

Contoh impelementasi penafsiran sufistik klasifikasi pertama ini dapat dilihat dari interpretasi Ibnu Arabi terhadap Q.S. al-Rahman [55] ayat 19:

مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِۙ – ١٩

Dia membiarkan dua laut mengalir yang keduanya (kemudian) bertemu

Ibnu Arabi memahami dua lautan tersebut sebagai dua entitas dalam diri manusia yang saling berkebalikan. Yaitu antara lautan raga yang asin dan pahit dengan lautan ruh yang murni, tawar, dan segar. Dimana keduanya saling bertemu dalam wujud manusia.

Kemudian, terkait karakteristiknya, Husain al-Dzahabi menyebutkan empat ciri utama tafsir sufi nazari, yaitu pertama, produk penafsiran corak ini sangat bias dengan ajaran filsafat. Kedua, dalam proses penafsiranya terdapat bias ideologi ajaran wahdah al-wujud. Ketiga, menjelaskan hal-hal yang metafisik (ghaib) dengan uraian yang tampak/jelas. Terakhir, keempat, corak tafsir ini seringkali tidak memperhatikan aspek kebahasaan ayat dan hanya menafsirkan sesuai kehendak hati dan jiwa penafsir.

Baca Juga: Dua Cara Ulama Menafsirkan Al Quran: dengan Riwayat dan Rasio

  1. Tafsir Sufi Isyari/Amali (Praktis): corak tafsir yang dalam pengungkapan makna Al-Quran menggunakan ta’wil berdasarkan pada isyarat-isyarat khusus yang diberikan kepada para sufi, salik, ahli ibadah, dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Tafsir sufi isyari ini juga dapat disebut dengan nama tafsir sufi faydi. Salah satu mufasir yang dianggap menggunakan corak tafsir ini adalah al-Naisaburi (w. 728 H) dalam karyanya Gharaib Al-Quran wa Raghaib al-Furqan.

Contoh interpretasi sufistik yang menggunakan klasifikasi kedua ini dapat dilihat dalam proses penafsiran al-Naisaburi terhadap Q.S. al-Baqarah [2] ayat 67:

وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِقَوْمِهٖٓ اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْبَحُوْا بَقَرَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا ۗ قَالَ اَعُوْذُ بِاللّٰهِ اَنْ اَكُوْنَ مِنَ الْجٰهِلِيْنَ – ٦٧

Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor sapi betina.” Mereka bertanya, “Apakah engkau akan menjadikan kami sebagai ejekan?” Dia (Musa) menjawab, “Aku berlindung kepada Allah agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh

Menurut al-Naisaburi, ayat tersebut mengandung isyarat agar manusia menyembelih nafsu kebinatangan yang terdapat dalam diri mereka. Hal ini bertujuan untuk menjernihkan dan menghidupkan ruh hati (al-qalb al-ruhani). Bahkan, ia menganggap perintah untuk mejernihkan hati tersebut sebagai bentuk jihad yang paling besar (al-jihad al-akbar).

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Fiqhi dan Kitab-kitabnya

Prasyarat Tafsir Sufistik

Para ulama berbeda pendapat mengenai corak tafsir ini, ada yang menerimanya sekaligus membenarkan penggunaan pengalaman spritualitas dalam menafsirkan Al-Quran. Golongan ini berdalih bahwa penggunaan corak tafsir isyari ini menunjukkan akan kesempurnaan iman dan tingkat kema’rifatan seseorang. Sedangkan ulama lain berpendapat bahwa corak ini tidak bisa digunakan dalam menafsirkan Al-Quran. Hal ini dikarenakan seringkali corak ini menimbulkan makna yang sangat jauh bahkan seringkali bertentangan dengan makna lahir Al-Quran.

Oleh karena itu, dalam menganggapi perbedaan sikap ulama tentang tafsir isyari (sufi), para ulama memiliki beberapa persyaratan dalam proses penafsiran dengan corak tafsir sufistik. Dalam kitab ‘Ulum Al-Quran al-Karim karya Syaikh Nuruddin ‘Itr, beliau mengemukakan adanya empat persyaratan yang harus dipenuhi sebagai tolok ukur diterima tidaknya penafsiran sufistik tersebut. Diantara beberapa persyaratanya adalah:

  1. Dalam proses penafsiran corak sufistik harus argumentasi dari dalil syari’at yang mendukung hasil penafsiran tersebut. Karena apabila produk tafsir sufistik tersebut tidak memiliki dalil rujukan ataupun memiliki dalil rujukan namun bertentangan, maka para ulama sepakat untuk menolak hasil penafsiran tersebut.
  2. Produk tafsir sufistik harus sesuai dengan kandungan bahasa atau aspek kebahasaan yang digunakan oleh lisan orang-orang Arab.
  3. Produk hasil penafsiran sufistik tidak boleh menyelisihi atau bertentangan dengan syari’at ataupun akal sehat manusia.
  4. Dalam proses penafsiran sufistik, seorang penafsir tersebut harus mengetahui lebih dahulu makna lahir sebuah ayat. Hal ini dikarenakan seorang penafsir tidak akan mencapai makna batin sebuah ayat sebelum memahami makna lahirnya. Oleh karena itu, tidak boleh hanya mengandalkan makna batin hasil penafsiran sufistik tanpa menghiraukan makna lahir ayat.

Bahkan, saking pentingnya poin keempat ini, Syaikh Nuruddin ‘Itr sampai mengilustrasikan orang yang mengklaim dirinya telah mengetahui makna rahasia atau batin ayat Al-Quran sebelum terlebih dahulu mengetahui makna lahir ayat, maka ia seperti orang yang mengklaim telah sampai ke dalam rumah sebelum melewati pintu rumah tersebut. Wallahu A’lam

Amal Banyak Tapi Sering Menyebut Kebaikannya, Bagaimana Menurut Al-Quran?

0
Amal banyak tapi riya'
Amal banyak tapi riya'

Merasa banyak jasa kebaikan yang diberikan kepada orang lain, kemudian mengungkit kebaikannya tersebut di depan orang yang diberi jasa, merupakan perilaku yang sering kita temui. Amal banyak tapi sering menyebut kebaikannya, tanpa disadari itu merupakan perbuatan tipu daya setan kepada manusia.

Orang yang suka menyebut jasa kebaikannya berarti ia khawatir orang lain lupa jasanya itu. Jika tidak diceritakan berulang-ulang, ia merasa kebaikannya terabaikan begitu saja. Berikut surat Al-Baqarah ayat 264 merupakan sebuah ayat yang menceritakan tentang amal sedekah yang sering kali disebutkan kepada orang lain.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.”

Baca juga: Membaca Al-Quran Untuk Pamer, Simak Peringatan Nabi Berikut!

Tafsir Surat Al-Baqarah ayat 264

Dalam Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab, dipaparkan bahwa, orang Mukmin janganlah hilangkan pahala sedekah dengan menyebut-nyebut kebaikan kalian di hadapan orang-orang yang membutuhkan dan dengan menyakiti mereka. Sebab, dengan begitu, -maksudnya dengan seringali menyebut kebaikanmu dihadapan orag banyak- kalian seperti orang-orang yang berinfak dengan motif ketenaran dan ingin dipuji. Sesungguhnya mereka itu tidak beriman kepada Allah dan hari akhir.

Prof Quraish Shihab memberikan perumpamaan orang yang berinfak dengan motif riya, seperti batu licin yang di atasnya terdapat tanah. Begitu hujan deras turun menyirami batu itu, hilanglah tanah itu semua. Seperti halnya tanah yang subur dan produktif itu hilang dari batu yang licin karena diterpa hujan deras, begitu pula pahala sedekah akan hilang karena perbuatan riya dan menyakiti. Tidak ada sedikit pun yang dapat diambil manfaatnya. Itulah sifat-sifat kaum kafir, maka hindarilah. Sebab Allah tidak akan menunjuki orang-orang kafir kepada kebaikan.

Ibnu Jarir al-Thabari menjelasakan dalam kitab tafsir Jami’ul Bayan fi Ta’wil ay al-Qur’an bahwa surat al-baqarah ayat 264 membahas tentang untuk tidak menyebut-nyebut pahala kebaikanmu (al-mann) dan menyakiti perasaan yang kau sedekahi ( al-adza). Karena itu berpotensi menghilangkan pahala kebaikan yang sudah kita lakukan.

Baca juga: Haruskah Pamer Hewan Kurban di Medsos? Simak Penjelasannya dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 271

Memberikan Sedekah pada Orang Lain Sebaiknya Seperti Apa?

Tujuan dari sedekah adalah untuk menyucikan harta, membantu sesama serta bekal pahala di akhirat kelak. Dan sedekah juga dapat dilakukan dalam berbagai macam cara. Baik itu bisa dengan memberi pertolongan dengan harta maupun jasa tenaga, bisa dengan melafalkan zikir setiap saat waktu luang, melakukan kebaikan hal yang sepele yakni membuang paku di jalan, merawat orang tua sakit, menafkahi keluarga, dan tentunya masih banyak lagi. Bahkan, menahan diri untuk tidak amarah atau menyakiti orang lain juga termasuk sedekah.

Dalam Islam, dianjurkan untuk tidak menyakiti perasaan orang yang diberi sedekah. Dengan cara apa? Yaitu dengan menyembunyikan amalan sedekahnya tersebut pada pandangan orang banyak. Cukup orang yang bersedekah dan orang yang diberi sedekah. Hal ini dilakukan untuk menghindari sifat riya yang dapat menghapus pahala sedekah.

Akan tetapi jika bersedekah, namun tetap menyebut kesana kemari jasa kebaikannya kepada orang yang disedekahi, hal ini bukanlah malah akan menjaga pahala,justru akan menyakiti perasaan dari orang yang diberi sedekah.

Baca juga: Macam-Macam Bentuk Nafsu Menurut Al-Quran

Sesuai yang dikatakan oleh Imam Tirmidzi pada hadis riwayatnya, bahwa dengan tidak menyebut jasa kebaikannya tiap saat malah akan melahirkan dua kebaikan yaitu pahala sedekah dan pahala menjaga silaturahim. Sebagaiamna Rasulullah bersabda, “Bersedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah dan kepada kerabat ada dua (kebaikan), yaitu sedekah dan silaturrahim.”

Semoga sedekah yang sedang kita lakukan atau yang sudah kita lakukan terjauhkan oleh sifat penghilang pahala, dan menjadi kebaikan yang berkah untuk orang banyak. Amin. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 26

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Menyambung atas pembahasan yang lalu, Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 26 berbicara mengenai keyakinan orang-orang yang beriman. Salah satunya adalah percaya terhadap hewan yang dijadikan permisalan oleh Allah swt dalam Alquran.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 23-24


Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 26 ini permisalan tersebut adalah seekor nyamuk. Terdapat banyak kerumitan-kerumitan dalam makhluk kecil ini. Mulai dari proses bertelur, bermetamorfosa, hingga akhirnya dapat terbang dengan sempurnya.

Selain itu dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 26 ini juga dijelaskan mengenai teknologi-teknologi yang disematkan dalam seekor nyamuk. Mulai dari tabung pernafasan, cairan penghambat, hingga kemompong. Orang-orang yang ingkar, betapapun mengetahui fakta ini mereka akan tetap menganggap remeh dan tidak akan beriman.

Ayat 26

Sesungguhnya Allah tidak segan untuk membuat contoh dan perumpamaan dalam penjelasan informasinya dengan seekor nyamuk atau bahkan lebih kecil dari itu. Orang-orang yang beriman yakin akan kebenaran dan kebijaksanaan Allah, mereka pasti dapat menerima keterangan ini. tetapi orang kafir dan orang munafik tidak mau memahami tujuan Allah swt membuat perumpamaan di dalam Alquran.

Perumpamaan itu tujuannya memperjelas arti suatu perkataan atau kalimat dengan membandingkan isi atau pengertian perkataan atau kalimat itu dengan sesuatu yang sudah dikenal dan dimengerti.

Dalam ilmu biologi, binatang, tumbuh-tumbuhan dan bahkan organ tubuh manusia banyak dibahas dan semuanya itu perlu diketahui oleh manusia, ada yang bermanfaat dan ada yang berbahaya bagi manusia. Bukan hanya binatang-binatang besar seperti gajah, harimau dan singa yang perlu diketahui, tetapi binatang kecil seperti lalat, nyamuk, dan ulat juga perlu diketahui manfaat dan bahayanya.

Nyamuk misalnya ada yang berbahaya anapheks yang menyebarkan penyakit malaria dan aedes aegypti yang menyebarkan penyakit demam berdarah, tetapi ada nyamuk yang memang tidak berbahaya seperti culex. Nyamuk anapheks hidupnya di air kotor tetapi nyamuk aedes aegypti hidup di air bersih.

Allah sungguh Mahakuasa dan Mahabijaksana. Pada setiap makhluk yang berbahaya telah diciptakan predator yaitu jenis binatang lain yang suka memangsa dan membunuhnya. Terhadap nyamuk misalnya ada beberapa predator seperti katak, cecak, tokek dan lain-lain. Kita tidak boleh membunuh predatornya dan kita sebaiknya mengetahui di mana nyamuk berkembang biak, kita perlu memahami kebijaksanaan dan kekuasaan Allah.

Saat manusia diundang untuk memperhatikan penciptaan atas dirinya, Alquran dalam banyak ayatnya mendorong manusia untuk meneliti alam dan melihat tanda-tanda Tuhan di dalamnya.

Alam semesta, dengan elemen benda-benda hidup dan tidak hidupnya, merupakan tanda-tanda adanya penciptaan. Semua ciptaan itu ada hanya untuk memperlihatkan kekuasaan, pengetahuan dan seni yang dimiliki oleh “pencipta” tersebut, Allah swt. Semua ciptaan memperlihatkan tanda-tanda yang demikian. Termasuk di dalamnya binatang kecil seperti nyamuk, sebagaimana dapat dilihat pada ayat di atas.

Ketika kita mencoba memahami perikehidupan nyamuk, kita akan mengetahui betapa rumit dan kompleksnya sistem yang berjalan. Secara umum kita mengetahui bahwa mahluk ini adalah penghisap darah manusia dan binatang lainnya. Akan tetapi, pengetahuan demikian ini tidak sepenuhnya benar. Karena tidak semua individu nyamuk hidup dari mengisap darah.

Hanya nyamuk betina saja yang memerlukan darah dalam dietnya. Keperluan tentang darah tidak berkaitan dengan kebiasaan makan jenis ini. Kaitan pokoknya adalah dengan perkembangbiakannya. Nyamuk betina memerlukan protein dari darah dalam proses akhir pembentukan telur. Dengan kata lain, nyamuk betina mengisap darah untuk meyakinkan akan berlanjutnya kehidupan jenisnya.

Proses perkembangan nyamuk merupakan salah satu aspek yang mengagumkan. Binatang ini berubah dari larva menjadi nyamuk setelah melalui beberapa fase yang berbeda-beda. Nyamuk betina akan meletakkan telurnya pada daun yang lembab atau dikawasan lembab sekitar genangan air. Sebelum melakukan itu, nyamuk betina akan memeriksa kawasan itu dengan menggunakan organ yang terletak di bagian perutnya. Organ ini mampu mendeteksi kelembaban dan suhu.

Setelah menemukan daerah yang cocok, barulah nyamuk betina itu meletakkan telurnya. Telur dengan panjang kurang dari 1 milimeter, diletakkan dalam kelompok atau satuan. Beberapa jenis nyamuk ada yang merangkaikan sampai dengan 300 telur dalam bentuk rakit, dan diletakkan di atas air tergenang.

Telur yang diletakkan dengan sangat hati-hati itu akan berubah warna. Perubahan warna terjadi hanya beberapa jam setelah diletakkan. Warnanya menjadi hitam. Dengan warna ini, nilai kamuflase telur cukup tinggi dan lepas dari pengamatan pemangsa, seperti burung atau serangga pemangsa lainnya

Setelah menetas, anak nyamuk langsung berenang di dalam air. Masa kehidupan di dalam air dimulai untuk larva nyamuk. Anakan ini akan semakin besar. Kulit yang ada tidak lagi dapat menutupi tubuhnya. Mereka melepaskan kulit atau cangkang ini, dan membetuk cangkang baru. Pergantian kulit atau cangkang ini berjalan dua atau tiga kali pada masa ini.

Dalam kehidupan di air, larva nyamuk memilki organ-organ yang sama sekali berbeda saat sudah menjadi nyamuk. Pada kehidupan di air, mereka memiliki semacam rambut yang tumbuh di sekitar bagian mulut. Dengan gerakan rambut ini, larva dapat mengarahkan jasad renik yang ada di perairan ke bagian mulutnya.


Baca juga: Hassan Hanafi dan Paradigma Tafsir Pembebasan; Sebuah Refleksi Metodologis


Untuk bernapas, mereka menggunakan alat pernafasan yang berbentuk tabung yang terletak di bagian punggungnya. Mereka mengambil oksigen saat mereka pada posisi jungkir balik di permukaan air. Untuk mencegah air masuk ke dalam tabung, larva nyamuk mengeluarkan cairan lengket yang dapat mencegah masuknya air. Tanpa keberadaan alat-alat ini, larva tidak akan dapat bertahan hidup di dalam air.

Pada pergantian kulit terakhir, bentuk larva berubah drastis, menjadi suatu bentuk yang lain sama sekali. Masa ini disebut sebagai masa “pupa”. Mereka sudah siap menjadi nyamuk yang “sebenarnya”. Perubahannya sedemikian rupa sehingga sulit untuk dipercaya bahwa hal ini dilakukan oleh individu dan jenis yang satu. Perubahannya begitu kompleks, sehingga rasanya tidak dapat dilakukan dengan sempurna oleh mahluk itu sendiri.

Pada masa ini, akan tumbuh dua tabung atau pipa pernafasan baru di bagian kepala untuk menggantikan tabung yang ada di bagian punggung. Apabila tidak ada tabung baru di kepala, dengan berubahnya bentuk dan posisi mahluk di air, maka apabila hanya ada tabung di punggung, jelas “pupa” nyamuk akan mati. Hal ini disebabkan karena posisinya yang demikian ini maka air akan masuk ke dalam tabung di punggungnya.

Selama berlangsungnya masa “pupa”, sekitar tiga sampai empat hari, larva nyamuk yang hidup dalam kepompong akan berpuasa. Dalam kepompong ini, bentuk larva berubah menjadi nyamuk dewasa seutuhnya, lengkap dengan sayap, dada, perut, kaki, antena, mata, dan seterusnya. Kemudian kepompong akan terpecah di bagian atas.

Masa ini adalah masa yang sangat rentan bagi nyamuk. Syarat agar nyamuk dapat terbang adalah tidak boleh terkena air. Hanya bagian bawah kaki saja yang akan menyentuh air. Itulah sebabnya, kepompong yang terbuka di bagian atasnya akan dilapisi oleh cairan yang lengket, yang mencegah air masuk ke dalam kepompong. Setengah jam setelah keluar dari kepompong, nyamuk akan melakukan terbang perdananya.

Saat jentik-jentik bermetamorfose menjadi nyamuk, mereka dilengkapi dengan seperangkat sistem yang canggih guna dapat hidup dan meneruskan keturunannya. Nyamuk dilengkapi dengan organ yang dapat digunakan untuk mendeteksi perubahan suhu, udara, kelembaban dan juga bau. Bahkan, nyamuk mempunyai kemampuan untuk “melihat melalui perubahan suhu” yang menolongnya saat mencari mangsanya, walaupun keadaan sangat gelap.

Teknik nyamuk dalam “mengisap darah” ternyata merupakan seperangkat sistem yang sangat kompleks dan rumit. Untuk mengiris kulit mangsanya, digunakan enam “pisau” pengiris yang bekerja seperti gergaji. Pada saat proses pengirisan berlangsung, nyamuk menyiramkan suatu cairan ke luka yang dibuatnya. Cairan ini membuat bagian tubuh mangsa yang luka tersebut menjadi mati rasa, sekaligus mencegah darah membeku. Dengan demikian, mangsa tidak akan merasa terganggu, di samping proses pengisapan darah berjalan lancar.

Apabila salah satu saja organ tidak bekerja baik, maka nyamuk akan memperoleh kesulitan dalam memperoleh pakannya serta meneruskan dan mempertahankan jenisnya. Dengan rancangan tubuh yang demikian, walaupun “hanya” ada pada nyamuk yang kecil, ini merupakan bukti akan kerja penciptaan. Di dalam Alquran, nyamuk yang kecil ini dijadikan contoh untuk memperlihatkan kekuasaan Allah. Mereka yang beriman mengerti, sedangkan mereka yang kafir menyangkalnya.

Menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini diturunkan berhubungan dengan tuduhan orang Yahudi bahwa perumpamaan yang ada dalam Alquran itu tidak mempunyai nilai yang berarti, karena dalam perumpamaan itu disebut sesuatu yang tidak berarti bahkan termasuk binatang kecil lagi hina, seperti dzubab yang berarti lalat (al Hajj/22:73) dan ankabµt yang berarti laba-laba (al ’Ankabut/29:41).

Tetapi seandainya orang Yahudi itu mengetahui maksud perumpamaan itu, tentu mereka akan menyatakan bahwa perumpamaan-perumpamaan yang ada dalam Alquran merupakan perumpamaan yang tepat dan benar seperti pada al ‘Ankabut/29:41:

مَثَلُ الَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْلِيَاۤءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوْتِۚ اِتَّخَذَتْ بَيْتًاۗ وَاِنَّ اَوْهَنَ الْبُيُوْتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوْتِۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ   ٤١

Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui.

Pada ayat ini orang musyrik disamakan dengan laba-laba, iman mereka terhadap apa yang mereka sembah disamakan dengan sarang laba-laba yang rapuh yang mereka jadikan sebagai tempat berlindung dari segala bahaya. Padahal sedikit saja kena angin sarang itu akan rusak dan hancur.

Dalam membuat perumpamaan bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang kecil dan besar, hina dan murka, semua adalah makhluk ciptaan Allah. Yang penting ialah perumpamaan itu mencapai tujuannya. Dengan turunnya ayat ini, ternyata tuduhan orang Yahudi itu tidak mempunyai alasan yang kuat.

Adapun orang-orang mukmin hati mereka telah dipenuhi taufik dan hidayah Allah dan mereka mengetahui bahwa perumpamaan-perumpamaan itu adalah dari Allah, tetapi orang-orang kafir mengingkarinya bahkan mereka tercengang mendengar perumpamaan-perumpamaan itu, orang-orang kafir dan munafik itu bertambah sombong dan ingkar karenanya.

Allah menyesatkan orang-orang kafir dan munafik dengan membiarkan mereka memilih jalan kesesatan sesudah diterangkan kepada mereka jalan kebenaran. Oleh karena mereka ingkar dan tidak mau memahami dan memikirkan petunjuk-petunjuk Allah, mereka mengikuti jalan-jalan yang tidak diridai-Nya. Akibatnya mereka ditimpa azab yang pedih, karena kefasikan mereka.

Orang-orang yang tidak menggunakan pikiran dan ilmu pengetahuan terhadap perumpamaan yang diberikan Allah swt, mereka menghadapinya dengan angkuh yang menyebabkan mereka bertambah sesat. Mereka tidak mendapat petunjuk dan menjadi sesat karena kefasikannya. Sebaliknya, orang-orang yang iman di dalam hatinya, mempergunakan akal dan pikirannya, akan mendapat petunjuk dari perumpamaan-perumpamaan itu


Baca setelahnya:


(Tafsir Kemenag)

Masih Relevankah Metode Tafsir Ijmali Era Rasulullah SAW? Berikut Penjelasannya

0
tafsir ijmali
metode tafsir ijmali

Sesuai dengan namanya, metode ijmali (global) merupakan suatu metode penafsiran Al-Quran yang menguraikan kandungan ayat secara umum, singkat, dan ringkas mengenai hukum dan hikmah yang dapat ditarik. Bahasa yang digunakan juga mencakup bahasa-bahasa yang populer, sehingga menjadi mudah untuk dimengerti oleh pembaca.

Penggunaan bahasa yang ringan, membuat penafsiran menjadi mudah dipahami oleh beragam kalangan, baik yang berpengetahuan dalam bahkan berpengetahuan ala kadarnya sekalipun. Quraish Shihab dalam Kaidah tafsirnya mentamsilkan sang mufasir ijmali bagai menyajikan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya, dan telah di iris-iris pula, sehingga siap untuk segera santap. 

Pada peraktiknya, metode ini diuraikan ayat per ayat, surat per surat sesuai urutannya, sehingga memperlihatkan hubungan makna antara urutan ayat dan tartib mushafi. Metode ini tidak perlu menyinggung asbabun nuzual atau munasabah-nya apalagi makna kosakata bahasa Al-Quran yang indah tiada tanding itu. Tak ayal, jika metode ini dikenal lebih jelas dan lebih mudah menjelaskan pesan ideal Allah dibalik ayat-ayat Nya.

Sekilas, tafsir ini memang hampir sama dengan model tafsir tahlili, perbedaannya adalah praktik penafsiran ijmali makna ayatnya diungkap secara ringkas akan tetapi cukup jelas, sedangkan yang digunakan metode tahlili ialah menguraikan makna ayat secara terperinci dari berbagai tinjauan dan berbagai aspek yang diulas secara luas.

Baca juga: Ragam Corak Tafsir Al-Quran

Metode Ijmali: Tafsir Era Rasulullah dan Relevansi Masa Kini

Saatnya beranjak mengenal realitas sejarah penafsiran ijmali. Konon, tafsir ijmali sudah tumbuh sejak zaman Rasulullah, bahkan merupakan metode pertama yang telah diaktualkan Rasulullah pada para sahabat. benarkah demikian?. Lantas, masih relevankah metode ini digunakan di era sekarang?, mari simak penjelasannya;

Sejatinya, kesadaran akan pentingnya tafsir sudah ada sejak masa Rasulullah. Para pakar sepakat menganggap metode ijmali sebagai metode pertama yang dipraktikkan oleh Rasulullah, tentu, menjadi metode perdana pula yang lahir dalam sejarah perkembangan dunia penafsiran.

Sebagai orang pertama yang memahami kandungan Al-Quran baik secara global ataupun terperinci, Rasulullah memiliki kewajiban untuk menjelaskan Al-Quran kepada para Sahabat. Metode ijmali dipilih Rasulullah karena di era itu bahasa Al-Quran tidak terlalu menjadi penghambat bagi para sahabat, mengapa? Karena Al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka, di masa itu para sahabat juga tahu betul hal apa yang melatar belakangi turunnya ayat tesersebut. Terang saja, manakala terdapat kandungan makna yang tidak dimengerti, sahabat langsung mengacu pada Rasulullah untuk menjelaskan maksud umum maupun kata asing Al-Quran yang tidak dipahaminya.

Waba’du, ketika sang al-Mufassir al-Awwal meninggalkan umatnya, dunia penafsiran semakin berkembang, ragam corak penafsiran setelah ijmali banyak terlahir seiring dengan zamannya, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in hingga ulama terus berupaya memahami kandungan Al-Quran dengan menuangkan karya-karya tafsir berdasarkan pola yang meresponsi fenomena pada masanya.

Baca juga: Bagaimana Proses Kemunculan Penafsiran Al-Quran Era Sahabat? Ini Penjelasannya

Kendati demikian, metode ijmali yang praktis dan mudah dipahami rupanya tidak pernah mati, sebagian para mufasir telah merumuskan metode ijmali dalam beberapa karyanya, diantaranya seperti karya Muhammad Farid Wajdi, bertajuk Tafsir Al-Quran al-Azhim, karya Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, bertajuk Shafwah al-bayan li Ma’any Al-Quran, dan yang tidak asing lagi, Jalal al-Din as-Suyuthi, pengarang kitab tafsir al-Jalalain, yang kitabnya tetap populer hingga saat ini.

Menanggapi relevansi tafsir ijmali dilingkup perkembangan penafsiran era kontemporer, Quraish Shihab dalam kontekstualitas Al-Quran menjelaskan, di tengah peradaban masyarakat maju beserta penemuan-penemuan ilmiah yang telah mapan, menjadikan dasar pertimbangan yang sangat urgen dalam menafsirkan Al-Quran. Menurut beliau, validitas penafsiran dapat diterima, asal penafsiran tersebut memenuhi kaidah-kaidah yang telah disepakati oleh para mufasir.

Abdul Mustaqim menawarkan tiga toeri yang mampu menjadi tolak ukur validitas penafsiran. Pertama, teori koherensi, dalam teori ini penafsiran dikatakan benar apabila konsisten menerapkan metodologi yang dibentuk setiap mufasir. Kedua, teori korespondensi, sebuah penafsiran dikatakan benar bila terdapat kecocokan dan sesuai dengan penemuan fakta ilmiah. Ketiga, teori pragmatisme, sebuah penafsiran dikatakan benar bila secara praktis dapat memberi solusi bagi masalah sosial. Wallahu A’lam.

Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

0
Penjara sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah
Penjara sebagai sarana mendekatkan diri pada Allah

Bagi kebanyakan orang, tempat seperti penjara adalah tempat yang amat dihindari. Tidak hanya sebab tempat itu mengisolasi diri, tapi juga yang memasukinya pasti dicap sebagai orang buruk. Entah orang itu dalam kenyataannya benar melakukan hal jahat atau tidak.

Namun bagi sebagian orang, terutama yang berpikir keselamatan dirinya dari melakukan hal yang dilarang Allah adalah paling penting daripada mendengar ucapan orang lain, penjara bisa jadi tempat yang paling aman. Aman dari kebebasan yang dapat membuat diri berlaku lalai sehingga melakukan hal jahat. Daripada ia bebas tapi kemungkinan besar melakukan hal buruk, lebih baik ia di penjara.

Salah satu tokoh mulia yang dapat kita jadikan suri tauladan dalam masalah ini adalah Nabi Yusuf. Nabi Yusuf memilih penjara daripada membiarkan dirinya bebas dan dapat dirayu dan diatur Zulaikha dan para wanita di sekitarnya. Padahal Zulaikha adalah sosok yang cantik, kaya dan memiliki pangkat. Lelaki manapun pasti akan tergiur oleh rayuannya. Nabi Yusuf tidak ingin dirinya terlena dan ia memilih dipenjara.

Baca juga: Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub

Meminta Agar Dipenjara

Di dalam Surat Yusuf, Allah menceritakan. Usai selamat dari percobaan pembunuhan yang dilakukan saudara-saudaranya, Nabi Yusuf mendapat keberuntungan dirawat oleh seorang menteri kerajaan Mesir. Ia dibeli sebagai budak, tapi dirawat bak anak sendiri oleh sang menteri. Sayangnya, itu menjadi ujian baru terhadap hidup Nabi Yusuf. Istri sang menteri justru jatuh hati pada Nabi Yusuf dan hendak mengajaknya berbuat tidak senonoh. Nabi Yusuf lari dari rayuan perempuan yang bernama Zulaikha itu dan lebih memilih dipenjara.

Nabi Yusuf berkata:

قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلَّا تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُنْ مِنَ الْجَاهِلِينَ

 فَاسْتَجَابَ لَهُ رَبُّهُ فَصَرَفَ عَنْهُ كَيْدَهُنَّ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

“Yusuf berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan dari padaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang bodoh.”

“Maka Tuhannya memperkenankan doa Yusuf dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu daya mereka. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui” (QS: Yusuf [12] 33-34).

Bagaimana bisa Nabi Yusuf lebih memilih penjara? Apakah penjara bukan tempat buruk baginya? Imam Al-Alusi dalam tafsirnya menjelaskan, ungkapan “penjara lebih aku sukai daripada” menunjukkan bahwa bagi Nabi Yusuf penjara tetaplah tempat yang buruk. Namun ia tidak lebih buruk daripada keburukan yang muncul akibat tergoda rayuan Zulaikha. Penjara menyimpan keburukan yang sedikit disertai keselamatan di akhirat. Sedang memenuhi rayuan Zulaikha menyimpan nikmat sesaat serta adzab serta kemarahan Allah yang besar (Ruhul Ma’ani/9/8).

Baca juga: Surat Yusuf Ayat 28 vs Surat An-Nisa Ayat 76, Benarkah Perempuan Lebih Berbahaya Daripada Setan?

Doa meminta dipenjara adalah bentuk kerendah hatian Nabi Yusuf, dalam memasrahkan kemampuan dirinya terhindar dari prilaku dosa, dengan meminta perlindungan kepada Allah dengan cara memasukkan dirinya di penjara. Nabi Yusuf bukannya tidak ingin berusaha menghindari rayuan Zulaikha, dengan meminta Allah agar mentaqdirkan dirinya masuk penjara. Buktinya, Nabi Yusuf lari saat Zulaikha mengajaknya berbuat tidak senonoh. Nabi Yusuf hanya meyakini, meski ia sudah sekuat tenaga berusaha, ia tidak akan bisa untuk tidak bergantung pada pertolongan Allah.

Menghindari Godaan Kecantikan dan Kekayaan

Imam Ibnu Katsir berkomentar, dalam kisah di atas kita bisa melihat bagaimana Nabi Yusuf yang berusia muda serta rupawan, dirayu oleh majikan perempuannya yang cantik, kaya serta berpangkat. Melihat keadaan itu, tindakan Nabi Yusuf menolak rayuan Zulaikha tentu bukanlah hal yang mudah. Terlebih penolakan itu berakibat Nabi Yusuf dipenjara. Oleh karena itu, penolakan Nabi Yusuf menunjukkan keteguhan dirinya untuk mengharap ridha Allah ta’ala (Tafsir Ibnu Katsir/4/387).

Sosok Nabi Yusuf dapat menjadi teladan untuk tidak mudah tergoda rayuan kecantikan dan kekayaan. Kita juga bisa belajar, bahwa untuk menahan diri dari melakukan hal-hal yang dilarang Allah, kadang kita juga harus mengisolasi diri di tempat yang sebenarnya kita benci. Bukan untuk menyiksa diri. Namun, agar terhindar dari keburukan yang lebih besar.

Baca juga: Mengulik Terjemah dan Ragam Penafsiran Al-Quran: Tafsir Surat Yusuf Ayat 18-20

Nabi Yusuf adalah salah satu contoh dari 8 orang pilihan yang dinyatakan nabi Muhammad sebagai akan memperoleh naungan Allah di hari tidak ada naungan selain naungan Allah. Nabi Muhammad bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa salah satu dari 8 orang pilihan itu adalah “lelaki yang dirayu seorang perempuan rupawan yang memiliki derajad lalu lelaki itu berkata: “Aku takut pada Allah”.

Wallahu a’lam[]

Pembagian Makharijul Huruf Menurut Imam Ibn Al-Jazari

0
Imam Ibn Al-Jazari
Makharij Al-Huruf Menurut Imam Ibn Al-Jazari

Pada dasarnya, tidak terdapat banyak perbedaan diantara pendapat Imam Ibn Al-Jazari dengan as-Syathibi. Hanya terdapat penambahan jenis Makharijul Huruf, jumlah huruf serta istilah penamaannya.

Adapun secara umum, Makharijul Huruf menurut Imam Ibn Al-Jazari dibagi menjadi lima tempat yang di dalamnya lebih dirincikan menjadi tujuh belas tempat. Berikut merupakan spesifikasinya berdasarkan Matn al-Jazariyyah.

  • Al-Jauf (Rongga mulut dan tenggorokan)

Huruf Mad

Pada bagian pertama, terdapat satu makhraj dengan tiga huruf di dalamnya. Berbeda dengan as-Syathibi yang menggabungkan pada makhraj nya masing-masing, Imam Ibn Al-Jazari berpendapat jika terdapat huruf yang keluar dari rongga mulut dan tenggorokan yaitu, Huruf Mad. Dalam hal ini, Huruf Mad adalah

ا (Alif sukun) yang didahului huruf berharakat fathah sebelumnya.

و (Wawu sukun) yang didahului dengan huruf berharakat dhammah sebelumnya.

ي (Ya’ sukun) yang didahului huruf berharakat kasrah sebelumnya.

  • Al-Halq (Tenggorokan)

Imam Ibn Al-Jazari memasukkan enam huruf dalam tiga makhraj di tenggorokan. Jika as-Syathibi memasukkan huruf Alif disini sehingga berjumlah enam huruf, al-Jazari berbeda dengannya. Ia memasukkan alif pada makhraj al-Jauf sehingga hanya enam huruf dalam makhraj tenggorokan. Makhraj-makhraj tersebut adalah:

  1. Bagian pangkal pita suara, merupakan tempat keluarnya huruf ء (Hamzah) dan ه(ha).
  2. Tenggorokan bagian tengah, tempat keluarnya huruf ع (‘Ain) dan ح (ha).
  3. Bagian tenggorokan yang paling dekat dengan rongga mulut, tempatnya huruf غ (Ghain) dan خ (Kha)
  • Al-Lisan (lidah)

Pada anggota tubuh ini, Imam Ibn Al-Jazari membaginya menjadi sebelas makhraj. Menambah satu makhraj dari as-Syathibi, yakni pada huruf jim. Jika as-Syathibi menggabungkannya deengan makhraj huruf syin dan ya’, al-Jazari mengkhususkannya. Adapun sebelas makhraj tersebut ialah:

  1. Pangkal lidah yang bersentuhan dengan langit-langit mulut bagian atas, yakni tempat keluarnya huruf ق (Qof)
  2. Pangkal lidah yang bersentuhan dengan langit-langit mulut bagian atas sedikit di bawah makhraj huruf ق. Merupakan makhraj huruf ك (Kaf)
  3. Lidah bagian tengah bila disentuhkan ke langit-langit mulut, makhraj huruf ج (Jim)
  4. Lidah bagian tengah bila digerakkan keluar langit-langit menghasilkan bunyi huruf ش (Syin) dan ي (Ya)
  5. Sisi lidah bila disentuhkan ke gigi geraaham baik yang kiri, kanan ataupun keduanya menghasilkan huruf ض (Dhad)
  6. Ujung sisi lidah disentuhkan dengan langit-langit di gusi dekat gigi seri atas, yaitu makhraj huruf ل (Lam)
  7. Sisi lidah dibawah tempat keluarnya huruf Lam, terdapat makhraj huruf ن (Nun)
  8. Sisi lidah dibawah tempat keluarnya huruf Nun, terdapat makhraj huruf ر (Ra)
  9. Ujung lidah disentuhkan dengan bagian gigi seri atas alah makhraj huruf ط (Tha), د (Dal), ت (Ta)
  10. Ujung lidah dalam posisi sejajar dan mendekat ke atas gigi seri bagian bawah adalah makhraj huruf ص (Shad), ز (Zay), س (Sin)
  11. Ujung lidah bersentuhan dengan ujung gigi seri atas merupakan makhraj huruf ظ (dhod) ذ (Dzal), ث (Tsa).
  • As-Syafatain (Dua bibir)

Terdapat dua makhraj pada bagian dua bibir dengan empat huruf di dalamnya,

  1. Bibir bagian bawah bersentuhan dengan ujung gigi seri atas, makhraj dari huruf ف (Fa)
  2. Makhraj dari kedua bibir pada huruf و (Wawu), ب (Ba), م (Mim)
  • Al-Khaisyum (Pangkal hidung)

Huruf yang makhrajnya pada pangkal hidung adalah suara dengung dari huruf ghunnah, yakni huruf Mim dan Nun yang bertasydid

Semoga dapat bermanfaat untuk pembaca. Wallahu A’lam.