Beranda blog Halaman 474

Suleiman Ali Mourad, Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Lebanon

0
Suleiman A Mourad
Suleiman A Mourad

Untuk membuktikan kebenaran Al-Quran, para pengkaji tidak luput pandangannya dari segi historis yang terdapat pada Al-Quran. Mereka berusaha mencari dan meneliti kebeneran sejarah atau kisah-kisah yang terkandung di dalamnya. Bahkan tidak sedikit sekali dari mereka membanding-bandingkan kisah-kisah tersebut dengan kitab-kitab suci sebelumnya.

Salah satunya adalah kisah Maryam yang paling popular di kalangan ahli al-Kitab, dan kemudian ditulis oleh Suleiman Ali Mourad. Suleiman Ali Mourad adalah Associate Professor Bidang Agama di Smith College. Dia saat ini sedang mengerjakan studi tentang Tahdhib fi tafsir al-Qur’an dari al-Hakim al-Jishumi.

Profil Suleiman Ali Mourad

Mourad lahir dan dibesarkan di Beirut, Lebanon. Dia berasal dari keluarga di desa kecil Benwati daerah Jizzin di Lebanon selatan. Kemudian dia menikahi seorang wanita yang benaman Rana knio dan karuniai satu anak laki-laki dan satu anak perempuan yang diberi nama Jude dan Alya Jasmine.

Perjalana pendidikan Ali Mourad dimulai ketika tinggal di Lebanon, dia masuk pada salah satu universitas yang ada di Libanon yaitu American University of Beirut. Pada saat itu A. Mourad mengambil jurusan matematika. Setelah tiga tahun berkeliaran di padang gurun yaitu jurusan Matematika, kemudian dia memutuskan untuk bergabung dengan departemen sejarah guna mempelajari Sejarah Timur Tengah.

Mourad kemudian datang ke Amerika Serikat untuk melanjutkan studinya di Yale University, dan di tempat itulah dia mempelajari kurikulum dasar dalam Bahasa Arab dan Studi Islam dan pada akhirnya dia mendapatkan gelar Ph.D. nya.

Baca juga: Tayyar Altikulac: Filolog Muslim Pengkaji Manuskrip Al-Qur’an Kuno

Profesor dan teman sekelas Ali Mourad di AUB dan Yale merupakan instrumental dalam pendidikannya. Sehingga A. Mourad berkata: “Saya sangat berhutang kepada mereka yang telah menanamkan dalam diri saya hasrat keingintahuan serta pengetahuan intelektual, dan membantu saya menjadi sarjana beserta menjadi guru yang lebih baik”.

Menurut Suleiman Ali Mourad sendiri, Hal yang paling menarik tentang perjalanan pendidikannya adalah perjalanannya yang terus berlanjut dan bermanfaat dari banyak teman dan rekannya serta menemukan inspirasi dari karya-karya mereka. Serta dengan murah hati berbagi komentar dan saran mereka tentang tulisan dan penelitiannya.

Adapun guru-guru yang membentuk pemikiran Suleiman Ali Mourad ada banyak sekali diantaranya: 1. Kamal Salibi, padanya dia mempelajari sejarah Abad Pertengahan, Pra-Modern dan Modern Timur Tengah. 2. Tarif Khalidi; Budaya Islam, Sejarah dan Pemikiran Agama. 3. Samir Seikaly; Sejarah Sosial dan Intelektual, dan disiplin Sejarah. 4. Abdul Rahim Abu-Husayn; Sejarah Usmani dan Sejarah Pra-Masa Lebanon Modern. 5. Dan mempelajari Syriac pada Paul-Alain Beaulieu, dll.

Penelitiannya berfokus pada hermeneutika Al-Quran, Islam abad pertengahan, Yerusalem, dan masa Perang Salib. Penelitian A. Mourad sangat bervariasi dan mencerminkan formasi pendidikan yang luas dan keingintahuan intelektual. Sebagai seorang sejarawan Islam, dia sangat tertarik untuk mengeksplor lebih jauh lagi tentang bagaimana umat Islam sejak masa Nabi Muhammad hingga hari ini, memahami tradisi masa lalu dan agama mereka sendiri serta cara mereka menyesuaikannya untuk menghadapi tantangan di lingkungan mereka masingmasing.

Dengan kata lain, yang merupakan daya tarik Mourad untuk mempelajari sejarah dan pemikiran Islam adalah dinamika kehidupan yang dialami umat islam sejak zaman nabi Muhammad sampai saat ini. Tetapi sayangnya sedikit sekali dihargai oleh kebanyakan Muslim dan non-Muslim masa ini. Padahal dari sebuah tradisi besar kita bisa menemukan makna dan interpretasi, dan bahkan untuk menemukan kembali dirinya sendiri.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Pemikiran Suleiman Ali Mourad Tentang Al-Quran

Mourad telah banyak menulis tentang Al-Quran dan sejarah penafsirannya, radikalisasi ideologi Jihad pada periode Perang Salib dan dampaknya pada pemikiran Sunni dan jalannya sejarah Timur Tengah, tulisan sejarah Arab / Islam awal, Yesus dan Maria dalam Al Quran dan sastra Islam, dan Yerusalem dan literatur Fadaʾil (kebajikan agama)

Mengidentifikasi Maria

Menurut A. Mourad, salah satu yang sering diperdebatkan adalah masalah garis keturunan dari Maryam. Ayat-ayat yang relevan yang berkaitan dengan masalah ini adalah Surat Ali Imran Ayat 35, yang artinya:

(ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Imran: 35)

Menurut Surat Ali Imran ayat 35 diatas menunjuk bahwa ibu Maryam adalah istri Imran, dan juga pada Surat At-Tahrim ayat 12 menunjukan bahwa maryam sebagai anak perempuan Imran. Sedangkan di dalam surat Maryam ayat28 menunjukan bahwa dia sebagai saudara perempuannya Harun.

Dari ketiga ayat di atas, banyak para ulama modern menganggap bahwa Al-Quran telah mengidentifikasi Maryam sebagai putri Imran dan saudara perempuannya Harun, serta menyebabkan banyak orang berpendapat bahwa Muhammad itu bingung dalam mebedakan apakah Maryam itu ibu Yesus atau saudara perempuan Harun dan Musa, yang ayahnya adalah Imran. A. Mourad juga mengutip dari pendapat at-Thabari yang mengatakan bahwa dalam konteks ayat 35, wanita yang diidentifikasi sebagai istri Imran tidak lain adalah ibu Maryam, Hanna (Anna).

Kemudian A. Mourad menjelaskan dari sumber-sumber Kristen seperti Protevangelium dari James bahwa ayah Maria bernama Joachim. Meskipun laporan-laporan tentang keluarga Maria ini tidak memiliki nilai sejarah yang nyata, begitu mereka diperkenalkan, mereka diterima dari cara orang Kristen dan orang lain mengidentifikasi dirinya.

Baca juga: Pesan Az-Zarkasyi bagi Para Pengkaji Ilmu Al Quran

Kabar dan kelahiran Yesus

Dibagian ini Suleiman Ali Mourad mengakat tentang berita tentang sebelum dan sesudah lahirnya seorang nabi atau utusan Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam surat Maryam dan Injil Lukas, malaikat memberi tahu Maryam bahwa dia akan mengandung anak laki-laki. Sedangkan di surah al -Imran dan Protevangelium dari James, Mary mengatakan bahwa dia akan mengandung firman Allah.

Kesamaan yang dekat ini adalah bukti bahwa di sini Al-Quran meminjam materi dalam perjanjian lama dan perjanjian baru yang digunakan oleh orang Kristen terutama dalam Protevangelium dari James yang banyak digunakan di Timur dalam kekristenan Barat, meskipun teks itu dilarang.

Di dalam Al-Quran menceritakan tentang mengandungnya Maria dalam surat Maryam mencakup ayat 22-6 ini dianggap sebagai satu-satunya bagian dari konsep dan cerita yang tidak memiliki Kristenisasi yang diketahui. Kemudian kisah pada waktu Maryam melahirkan menurut A. Murad, kisah seperti yang muncul dalam surat Maryam jelas jauh lebih pendek daripada yang ada di Pseudo Matthew ditambah lagi dalam surat Maryam, cerita ketika Maria sedang dalam proses persalinan, tidak ceritakan tempatnya hanya diidentifikasikan sebagai tempat yang terpencil. Dalam Pseudo-Matius, Yesus telah dilahirkan, dan insiden itu terjadi selama Perjalanan menuju ke Mesir. Wallahu A’lam.

Hukum Nun Sukun dan Tanwin dalam Ilmu Tajwid

0
Nun Sukun dan Tanwin
Hukum Nun Sukun dan Tanwin

Setelah mengetahui tentang hak-hak huruf melalui Makharijul Huruf dan Shifatul huruf, kita akan beranjak membahas hukum-hukum dalam Ilmu Tajwid. Pada dasarnya, hukum dalam Ilmu Tajwid adalah seputar tata cara membaca huruf hijaiyah yang bertemu dengan huruf lain dan aturan panjang pendeknya. Salah satu hukum yang sering muncul dalam al-Qur’an adalah tentang Nun Sukun dan Tanwin.

Artikel ini akan mengulas tentang hukum nun sukun dan tanwin menurut Qiraat ‘Ashim Riwayat Hafs secara singkat dan jelas berdasarkan penamaan istilah dalam dalam Taqrib an-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr.

Macam-macam hukum Nun Sukun dan Tanwin

Menurut al-Jazari, Nun sukun ialah Nun berharakat Sukun yang biasanya berada di pertengahan dan akhir kalimat dalam bahasa Arab. Baik pada Isim, Fi’il, maupun Huruf. Sedangkan, tanwin adalah harakat yang hanya terdapat pada akhir Isim kata benda. Nun Sukun dan Tanwin memiliki empat hukum bacaan apabila bertemu dengan huruf lain.

  • Idzhar

Idzhar bermakna jelas. Dalam hal ini ialah ketika membaca kalimat yang di dalamnya terdapat Nun Sukun atau Tanwin bertemu huruf idzhar, maka dibaca dengan jelas keduanya. Adapun huruf-huruf idzhar adalah huruf yang bermakhraj di tenggorokan (al-Halq). Huruf tersebut berjumlah lima, yaitu huruf   ح, خ, ء, ع غ, ه, (Hamzah, ‘Ain, Ghoin, Ha’, Cha, Kho)

Contoh huruf nya ء pada Surat Al-A’raf ayat 42

لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Contoh huruf خ, ه حpada Surat At-Taubah ayat 109-110

وَرِضْوَانٍ خَيْرٌ أَمْ مَنْ أَسَّسَ بُنْيَانَهُ عَلَى شَفَا جُرُفٍ هَارٍ

وَٱللَّهُ عَلِیمٌ حَكِیمٌ

Contoh huruf غ pada Surat Al-A’raf ayat 43

وَنَزَعْنَا مَا فِي صُدُورِهِمْ مِنْ غِلٍّ

Contoh huruf ع pada Surat al-Baqarah ayat 48

 وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ

  • Ikhfa’

Ikhfa’ berarti samar. Apabila seseorang membaca huruf Nun Sukun atau Tanwin yang bertemu dengan huruf-huruf Ikhfa’, maka perlu menyamarkan bacaan hurufnya. Batasan menyamarkan disini ialah mengurangi intensitas bunyi dan artikulasi dari huruf Nun Sukun atau Tanwin, kemudian digabungkan dengan bacaan sebagian makhraj huruf Ikhfa’ selanjutnya. Adapun huruf ikhfa’ terdapat 15, yaitu.

ش, س, ت, ك, ط,ظ, ز, د, ج, ف, ق, ث, ص, ض, ذ

Contoh huruf ض pada Surat Al-Waqi’ah ayat 29

وَطَلْحٍ مَنْضُودٍ

Contoh huruf ص dan ف surat Al-Baqarah ayat 123

وَلَا تَنْفَعُهَا شَفَاعَةٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ

Contoh huruf ت, ث dan ق surat Al-Baqarah ayat 25

,أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي

مِنْ ثَمَرَةٍ,

رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ

Contoh huruf ك pada Surat Al-Baqarah ayat 228

إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Contoh huruf ج dan ز pada Surat Ali ‘Imran ayat 3

وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ

Contoh huruf د pada Surat Al-Baqarah ayat 94

مِنْ دُونِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ

Contoh huruf طَ dan س pada Surat Al-Baqarah ayat 237

,وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ

وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Contoh huruf ذ pada Surat Al-An’am ayat 51

وَأَنْذِرْ بِهِ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْ يُحْشَرُوا إِلَى رَبِّهِمْ

Contoh huruf ظ pada Surat Saba ayat 22

 وَمَا لَهُ مِنْهُمْ مِنْ ظَهِيرٍ

Contoh huruf ش pada Surat Al-An’am ayat 6

وَأَنْشَأْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ قَرْنًا آخَرِينَ

  • Idghom

Idghom berarti melebur huruf nun atau tanwin kepada huruf idghom selanjutnya. Adapun huruf idghom adalah huruf hijaiyah selain huruf ikhfa’, yaitu huruf

ي, و, م, ن, ل, ر

Pada bacaan huruf ل, ر  tidak berlaku Ghunnah (mendengung) di dalamnya, istilah yang disematkan ialah Idghom Bi La Ghunnah. Sedangkan kebalikannya, pada huruf ي, و, م, ن dibaca menggunakan Ghunnah dengan Istilah Idghom Bighunnah.

Contoh huruf ل pada Surat An-Nisa’ ayat 67

وَإِذًا لَآتَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا

Contoh huruf ر pada Surat Al-Baqarah ayat 147

الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

Contoh huruf ي dan و pada Surat An-Nisa’ ayat 30

 وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا

Contoh huruf م pada Surat Ya-Sin ayat 42

 وَخَلَقْنَا لَهُمْ مِنْ مِثْلِهِ مَا يَرْكَبُونَ

Contoh huruf ن pada Surat Yusuf ayat 26

 قَالَ هِيَ رَاوَدَتْنِي عَنْ نَفْسِي

  • Iqlab

Iqlab berarti membalikkan. Maksud dari membalikkan disini adalah memasukkan huruf nun sukun atau tanwin kepada huruf ba’. Contohnya pada

Surat Al-A’raf ayat 103

 ثُمَّ بَعَثْنَا مِنْ بَعْدِهِمْ مُوسَى بِآيَاتِنَا

Surat Al-Baqarah ayat 18

صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ

Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al An’am Ayat 104-107

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah membahas tentang kekuasaan Allah swt atas alam raya, Tafsir Surat Al An’am Ayat 104-107 ini menguatkan kembali bahwa ayat-ayat Allah swt baik dalam bentuk alam semesta ataupun dalam bentuk perantara Nabi Muhammad saw merupakan hal yang hak dan tidak ada keraguan di dalamnya.


Baca saebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 100-103


Selanjutnya ditegaskan pula dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 104-107 bahwa tujuan peringatan dan bukti kebenaran ayat-ayat Allah swt diulang-ulang dengan aneka ragam gaya supaya menghilangkan keraguan.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 104-107 ini diakhiri dengan perintah Allah swt kepada Nabi Muhammad saw dan seluruh orang mukmin agar selalu berpegang teguh pada wahyu. Karena hanya itu petunjuk kebenaran.

Ayat 104

Allah menjelaskan kepada kaum Muslimin bahwasanya tanda-tanda bukti kebenaran dan dalil-dalil yang kuat telah datang kepada mereka dari-Nya. Tanda-tanda bukti kebenaran dan dalil-dalil yang kuat itu dapat diketahui oleh mereka baik berupa tanda-tanda kekuasaan Allah di jagat raya maupun petunjuk Allah yang diberikan kepada mereka dengan perantaraan Nabi Muhammad berupa wahyu.

Kedua bukti itu dapat memperkuat keyakinan mereka tentang adanya Allah. Sesudah itu Allah menandaskan bahwa barang siapa yang dapat melihat kebenaran dengan jalan memperhatikan kedua bukti itu, dan meyakini adanya Allah serta melakukan amal yang baik, maka manfaat dari semuanya itu adalah untuk dirinya sendiri.

Akan tetapi sebaliknya barang siapa yang tidak mau melihat kebenaran atau berpura-pura tidak mengerti, maka akibat buruk dari sikapnya itu akan menimpa dirinya sendiri.

Allah berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهٖ ۙوَمَنْ اَسَاۤءَ فَعَلَيْهَا

Barang siapa mengerjakan kebajikan maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa berbuat jahat maka (dosanya) menjadi tanggungan dirinya sendiri. (Fussilat/41: 46. Perhatikan pula al-Isra′/17: 7)

Di akhir ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada kaumnya bahwa Muhammad sekali-kali bukanlah pemelihara mereka, yakni Nabi Muhammad sekali-kali tidak ditugaskan mengawasi amal-amal mereka dan tidak dapat membuat mereka menjadi mukmin.

Dia hanyalah seorang utusan Allah yang ditugaskan untuk menyampaikan wahyu yang telah diterimanya. Sebenarnya yang mengawasi amal mereka ialah Allah. Dia mempunyai pengawasan yang tak terbatas terhadap semua amal mereka baik yang mereka lakukan secara terang-terangan ataupun yang mereka lakukan secara sembunyi-sembunyi. Semua amal itu akan diberi balasan yang setimpal.

Ayat 105

Allah menerangkan bahwa Dia telah memberikan bukti-bukti kebenaran secara berulang-ulang di dalam ayat-ayat-Nya dengan gaya bahasa yang beraneka ragam dengan maksud agar dapat memberikan keyakinan yang penuh kepada seluruh manusia dan untuk menghilangkan keragu-raguan, serta memberikan daya tarik kepada mereka agar mereka dapat menerima kebenaran itu dengan penuh kesadaran, dan untuk memberikan alasan kepada kaum Muslimin dalam menghadapi bantahan orang-orang musyrik.

Karena orang-orang musyrik mendustakan ayat-ayat Allah dengan mengatakan Nabi Muhammad mempelajari ayat-ayat itu dari orang lain atau menghafal berita-berita dari orang-orang yang terdahulu seperti firman Allah:

فَهِيَ تُمْلٰى عَلَيْهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلًا

… lalu dibacakanlah dongeng itu kepadanya setiap pagi dan petang.”  (al-Furqan/25: 5)

Menurut al-Farra′, Alquran mengandung ayat-ayat yang benar dan dapat diterima oleh orang-orang yang bersih hatinya dan mempunyai niat yang kuat untuk menerima ilmu pengetahuan sehingga dapat menerima kebenaran itu dengan penuh keinsafan.


Baca juga: Mengenal Kanjeng Kiai Al-Quran Keraton Yogyakarta


Ayat 106

Allah memerintahkan kepada Nabi saw serta para pengikutnya agar dalam waktu menyampaikan dakwah Islamiyah, tetap berpegang pada wahyu, karena wahyu itulah yang dapat dijadikan tuntunan untuk dirinya dan kaumnya. Tujuan dari dakwah itu ialah untuk menyampaikan kalimat tauhid yaitu pengakuan secara mutlak bahwa tidak ada Tuhan kecuali Dia.

Kalimat tauhid itu harus diresapi dengan hati yang ikhlas, serta diamalkan dengan penuh keyakinan dan dijadikan tujuan tertinggi dari kehidupan manusia. Allah memberikan penegasan kepada Nabi dan kaumnya agar berpaling dari perbuatan-perbuatan orang-orang musyrik dan tidak perlu memaksa orang-orang yang tetap bergelimang dalam kemusyrikan serta tidak mengacuhkan ajakan tauhid.

Tidak berkecil hati karena tuduhan-tuduhan yang diarahkan orang-orang musyrik yaitu bahwa wahyu yang disampaikan Nabi adalah dipelajari dari orang-orang Yahudi. Karena kebenaran itu cahayanya cemerlang dengan sendirinya apabila diucapkan dengan lisan dan dilaksanakan dalam bentuk amal perbuatan. Sedangkan kebatilan meskipun diselubungi dengan berbagai hal yang menarik, namun akhirnya akan terungkap juga kebusukannya.

Ayat 107

Dijelaskan bahwa jika Allah berkehendak menjadikan seluruh manusia beriman kepada-Nya, niscaya tidak ada seorang pun yang musyrik.

Di dalam jiwa manusia terdapat potensi untuk menjadi mukmin atau kafir, taat atau fasiq. Manusia telah diberi hak memilih (ikhtiyar). Potensi yang ada pada manusia dapat berkembang sesuai dengan ilmu dan amal manusia itu sendiri, yang pada saat mau memilih perbuatan mana yang harus dilakukan, bertarunglah dua macam dorongan, dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan dorongan untuk melakukan perbuatan jelek.

Apabila manusia memilih perbuatan dengan mengikuti dorongan yang baik, niscaya mereka akan melihat cahaya kebenaran. Akan tetapi bila mereka mengikuti dorongan-dorongan yang jelek, niscaya mereka tenggelam dalam kegelapan.

Allah menegaskan bahwa Nabi, tidak diberi kekuasaan untuk menjadi pemelihara mereka. Nabi hanyalah mengajak kepada kebaikan, maka apabila mereka tidak mau menerima ajakan itu, karena mengikuti dorongan yang buruk, tentulah ajakan itu tidak akan mereka terima, dan mereka tetap bergelimang dalam kebatilan.

Di akhir ayat ini Allah menguatkan penjelasan-Nya bahwa Nabi tidak diutus untuk mengurusi mereka, yakni dia tidak diberi kekuasan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Hal itu adalah urusan mereka sendiri, karena mereka telah diberi hak pilih untuk menentukan nasib mereka sendiri.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 108-110


(Tafsir Kemenag)

Mengenal Kanjeng Kiai Al-Quran Keraton Yogyakarta

0
Kanjeng Kiai Al-Quran
Kanjeng Kiai Al-Quran keraton Yogyakarta

Kanjeng Kiai Al-Quran merupakan salah satu mushaf kuno Keraton Yogyakarta. Nama Kanjeng Kiai merupakan istilah yang lazim digunakan dalam tradisi Jawa untuk benda-benda pusaka. Dalam buku Mushaf Kuno Nusantara Jawa, ada empat mushaf di perpustakaan Widya Budaya Keraton Ngayogyokarto Hardiningrat. Dari keempat mushaf tersebut, hanya ada satu yang diketahui asal-usulnya, yakni mushaf Kanjeng Kiai Al-Quran ini.

Fisik mushaf ini berukuran 40 x 28 cm, dengan tebal 575 halaman. Ukuran teksnya 32 x 20 cm dengan 15 baris per halamannya. Mushaf dengan kode C4 ini semula milik Kanjeng Gusti Raden Ayu Sekar Kedhaton, putri Sultan Hamengkubuwana II (1772-1828). Dahulu, kitab suci ini digunakan Raden Ayu Sekar Kedhaton untuk mengaji kepada gurunya yang juga abdi dalem, Haji Mahmud. Namun penulis mushaf ini bukanlah guru mengaji tersebut, melainkan seorang Abdi dalem Surakarta yang bernama Ki Atma Parwita Ordonas Sepuh.

Dalam keterangan mushaf ini, terdapat kolofon dengan aksara pegon yang menjelaskan nama penyalin, hingga tanggal penyalinan. Berikut ini kolofon yang tertera:

“Kagungan dalem Qur’an ingkang nerat Abdi Dalem Ki Atma Perwita Hurdenas Sepuh kala wiwit anerat ing dinten Arba’ wanci pukul setengah sewelas tanggal ping selikur ing wulan Rabi’ul Akhir ing tahun Jim Awal angkaning warsa 1725. Kala sampun neratipun ing dinten Salasa wanci pukul setengah sanga tanggal ping nem ing wulan Ramadhan ing Surakarta Adiningrat hadza baladi Jawi.”

Setidaknya, arti dari kolofon ini yaitu:

“Qur’an milik Tuan yang menyalin Abdi Dalem Ki Atma Perwita Ordonas Sepuh. Mulai disalin pada hari Rabu pukul 10.30 tanggal 21 Rabi’ul Akhir tahun Jim Awal 1725 (2 Oktober 1798). Selesai disalin pada hari Selasa pukul 8.30 tanggal 6 Ramadan (12 Februari 1799) di Surakarta Adiningrat, negeri Jawa.”


Baca juga: Mengenal Muhammad Dawam Rahardjo dan Karyanya, Ensiklopedi Al-Quran


Dari keterangan tanggal penyalinan, mushaf ini bisa disebut sebagai salah satu benda pusaka yang selamat dari penjarahan Inggris. Dalam catatan, seperti yang diwatakan tirto, pada tanggal 20 Juni 1812 era Sultan Hamengkubuwono II ribuan manuskrip dari perpustakaan Istana dibawa ke Inggris. Hal ini karena saat itu Keraton Yogyakarta jatuh di tangan Inggris.

Selain itu, mushaf ini termasuk benda pusaka yang terawat, karena kondisinya masih utuh 30 juz. Cover mushaf ini dari bahan kulit. Mushaf ini juga menggunakan khat naskhi dengan rasm campuran (usmani dan imla’i). Tinta yang digunakan terdiri dari dua, hitam dan merah. Tinta hitam digunakan untuk huruf biasa, sementara tinta merah untuk harakat Panjang.

Adapun tanda ayat dalam Kanjeng Kiai Al Qur’an ini menggunakan lingkran kuning. Ini menunjukkan karakteristik manuskrip mushaf kuno yang belum menerapkan sistem penomoran. Untuk menandai ayat yang ada di perbatasan juz, penulisnya memberikan tanda lima lingkaran. Sama dengan mushaf lainnya, setiap awal surat ditandai dengan kotak khusus yang mencantumkan nama surah, jumlah ayat, dan tempat turunnya surat.


Baca juga: Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten


Kanjeng Kiai Al Qur’an termasuk salah satu manuskrip mushaf Keraton Yogyakarta yang paling indah. Setiap halamannya terdapat hiasan komposisi wana merah, emas, biru, hitam, merah muda, dan hijau muda. Motif yang digunakan pun lebih menunjukkan budaya Jawa. Motif hias ini seperti sulur bunga, motif saton, serta garis tegas membentuk bingkai dengan warna emas dan merah. Motif-motif inilah yang kemudian pada tahun 2011 digunakan sebagai refrensi pembuatan mushaf Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.


Baca juga: Sejarah Baru! KH Sya’roni Ahmadi, Gus Mus dan Sembilan Kaligrafer akan Tulis Ulang Mushaf Menara Kudus


Kanjeng Kiai Al Qur’an sebagai Rujukan Mushaf Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Kanjeng Kiai Al Qur’an merupakan referensi utama dalam pembuatan mushaf keraton pada tahun 2011. Saat itu Sultan Hamengkubuwono X menyebut bahwa pembuatan Mushaf Keraton ini sebagai upaya pelestarian tradisi penyalinan Al Qur’an di lingkungan kesultanan. Berikut salah satu potongan sambutannya:

“Adalah suatu kemuliaan yang tak ternilai bagi saya pribadi beserta seluruh kerabat Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, karena memperoleh berkah, rahmat dan ridha-Nya sehingga dapat mewujudkan tekad untuk memelihara dan menjaga serta melestarikan pusaka budaya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang telah berumur lebih dari 200 tahun berupa Mushaf Al-Qur’an yang memiliki nilai tiada terkira bagi kehidupan manusia.”

Dari penjelasan itu, salah satu pusakan yang berumur lebih dari 200 tahun adalah Kanjeng Kiai Al Qur’an. Namun dalam mushaf tahun 2011 ini, kaligrafi yang digunakan merupakan adopsi dari goresan Usman Taha. Selain itu, iluminasi juga mengambil dari manuskrip dan pusaka lain dari keraton. Hal ini tentu untuk memperkaya khazanah mushaf di lingkungan Keraton Yogyakarta.

Wallahu a’lam []

Al-Mar’ah fil Islam: Antologi Kesetaraan Perempuan dalam Al-Quran, Hadis, dan Sejarah Nabi

0
Al-Mar'ah fil Islam
Al-Mar'ah fil Islam

Tafsir kontekstual tidak hanya dituangkan oleh Muhammad al-Ghazali pada Nahwa Tafsiril Mawdhu’I fi Tafsiril Qur’anil Karim. Ia bersama dua kawannya, Muhammad Sayyid Thantawi dan Ahmad ‘Umar Hasyim juga merancang proyek penulisan tentang kesetaraan perempuan dengan laki-laki, sehingga menjadi satu karya kolaborasi berjudul al-Mar’ah fil Islam. Buku ini menampilkan kesetaraan perempuan yang telah mereka elaborasi dari Al-Quran, sirah (sejarah) dan sunnah Nabi.

Latar belakang pengarang

Tiga ulama ini berasal dari Mesir, sama-sama alumni Al-Azhar dari Fakultas Ushuluddin dan mengabdikan ilmunya di Universitas yang sama.

Muhammad al-Ghazali (1917-1996) merupakan pakar Bahasa Arab, ahli tafsir, dai, pendidik, dan alumni Universitas al-Azhar. Baca: https://tafsiralquran.id/muhammad-al-ghazali-mufassir-penggerak-hermeneutika-asal-mesir/

Sementara, Muhammad Sayyid Thantawi (1928-2010) merupakan alumni doktoral al-Azhar pada bidang Al-Quran dan Hadis. Dalam majalah al-Azhar, al-Bayumi menyebutkan dalam tulisannya yang berjudul al-Imam Muhammad Sayyid Tantawi; Hayat ‘Amirah bi al-Ilm wa al-‘Amal wa al-Iman, bahwa pada 1968, Muhammad Sayyid Thantawi diangkat menjadi dosen di Al-Azhar pada bidang tafsir. Ia juga pernah diutus untuk menjadi dosen tamu di bidang yang sama di Libya pada 1972.

Empat tahun setelah itu, ia dikukuhkan oleh Al-Azhar sebagai guru besar tafsir. Selain di Libya, ia juga dipercaya sebagai ketua jurusan tafsir Universitas Islam Madinah pada 1980 sampai 1884. Ia juga memiliki karya tafsir, yakni at-Tafsir al-Wasith, yang ia tulis selama kurang lebih sepuluh tahun. Kepakarannya di bidang tafsir membuat ia dinobatkan sebagai Grand Sheikh al-Azhar pada 2006 serta sebagai mufti Mesir pada 1986.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 97: Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Beribadah

Tokoh terakhir yang turut mengarang al-Mar’ah fil Qur’an, yakni Ahmad ‘Umar Hasyim (1941-sekarang) ialah muhaddits jebolan al-Azhar. Tokoh yang pernah menjabat sebagai rektor al-Azhar ini berhasil meraih gelar doktornya di bidang Hadis pada 1973.

Menyitir laman Pecinta Ulama al-Azhar (2/19), karir Ahmad Amir Hasyim ini antara lain Dekan Al-Azhar cabang Zaqaziq (1987),wakil rektor bidang pembelajaran dan kemahasiswaan (1989), wakil direktur Pascasarjana (1993), dan Rektor Al-Azhar (1995).

Sebagai pakar hadis ia menuangkan pemikirannya pada berbagai karya tulis, antara lain yang menjadi magnum opus-nya “Faydul Bari ‘ala Shahihul Bukhari”, suatu kitab syarah Jami’us Shahih lil Bukhari.

Baca juga: Farid Esack: Mufassir Pejuang Keadilan di Afrika Selatan

Motif penulisan antologi

Penyusunan antologi al-Mar’ah fil Quran dilatari oleh permasalahan pembedaan laki-laki dan perempuan, hingga perampasan hak-hak perempuan. Sedangkan Islam sangat menjunjung tinggi kesetaraan. Untuk menyelesaikan itu, buku ini hadir untuk menarasikan penghormatan dan penjagaan terhadap perempuan sebagaimana dijelaskan dalam mukadimah.

هذا الكتاب يضع أمام القارئ وفي ضوء القرآن الكريم والسيرة النبوية والسنة المطهرة مدى الحفاوة والرعاية اللتين خص الإسلام بهما المرأة: أم الرجل وبنته وزوجته وأخته

“Buku ini dihadirkan untuk pembaca – dan dalam sudut pandang Al-Quran, sirah Nabi, dan Hadis- mencakup pembahasan tentang penghormatan dan perlindungan Islam terhadap perempuan. Baik untuk relasi laki-laki dengan istri, anak, maupun saudara perempuannya”

Konten 

Antologi ini tersesusun dari tiga bagian utama sesuai dengan keahlian masing-masing pengarang. Bagian pertama membicarakan Perempuan dalam Sudut Pandang Sejarah Kenabian yang ditulis oleh Grand Syaikh Muhammad al-Ghazali. Bagian ini terdiri dari lima sub pembahasan antara lain; perempuan di Zaman Jahiliyyah, istri-istri Nabi, ilmu dan etika, serta refleksi tentang bagaimana cara menyikapi perempuan.

Bagian kedua, ditulis oleh Muhammad Sayyid Thantawi, dengan tema besar Perempuan dalam Al-Quran. bagian ini terbagi menjadi lima sub pembahasan, yang meliputi; laki-laki dan perempuan bermuasal dari satu kesatuan yang sama, relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Islam, merdeka sebelum dan setelah menikah, kesetaraan, dan pembedaan atas dasar maslahah.

Bada bagian ketiga, Ahmad ‘Umar Hasyim menulis perempuan dari perspektif hadis. Ia menguraikan ke dalam lima sub pembahasan, antara lain; perempuan sebelum Islam, keluarga penyangga kehidupan masyarakat, menikah antara halal dan haram, pelajaran dari kehidupan istri Nabi.

Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran

Kolaborasi tiga ulama terkemuka Al-Azhar ini tak lain untuk mengupayakan relasi kemitraan yang menguntungkan bagi dua belah pihak serta membangun asas pendidikan yang baik dengan prinsip kesetaraan dan kesalingan. Seperti yang pengarang utarakan sendiri di akhir bukunya. Wallahu a’lam[]

Surat Al-Hujurat Ayat 13: Dalil Sila Kedua Pancasila

0
Dalil pancasila sila kedua
Dalil sila kedua Pancasila

Mengakui persamaan derajat, saling mencintai sesama manusia, dan mengembangkan sikap tenggang rasa adalah butir pengamalan sila kedua berdasarkan ketetapan MPR No.II/MPR/1978. Karena pada dasarnya manusia memiliki derajat yang sama. Hanya ketakwaan yang membedakan kedudukan manusia di hadapan Allah Swt.

Dasar persamaan derajat manusia dalam hak hidup suatu negara dimaknai dengan hak asasi. Artinya, setiap warga Negara mempunyai hak yang sama dalam hukum, pelayanan, dan pemerataan kesejahteraan. Siapa pun ia, ketika melanggar Undang-Undang yang berlaku, ia diberi sanksi.

Baca juga: Ragam Bentuk Keadilan Sosial dalam Pandangan Al-Quran

Surat Al-Hujurat ayat 13, kesetaraan adalah bentuk keadilan

Islam menetapkan kedudukan seseorang di sisi Allah ditinjau dari tingkat takwanya. Orang yang tingkat takwanya tinggi pasti akan bertingkah laku sesuai dengan yang diperintahkan Allah Swt. Ia akan berlaku adil, yang akhirnya dapat mewujudkan masyarakat madani. Secara substansial nilai kesetaraan yang dimaksud sila kedua ini terkandung pada Surat Al-Hujurat ayat 13.

يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui, Maha Teliti”

Baca juga: Pesan Cinta Syekh Adnan al-Afyouni: Pertahankan Kesejahteraan Indonesia !

Syaikh al-Mutawalli as-Sya’rawi dalam Tafsir as-Sya’rawi menjelaskan ayat ini, bahwa ke-bhineka-an adalah sebuah keniscayan yang diciptakan Allah Swt guna menggerakkan rotasi kehidupan.

والحق – تبارك وتعالى – يقول : { ياأيها الناس إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وأنثى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لتعارفوا . . . } [ الحجرات : 13 ] . فالتميُّز والتعارف أمر ضروري لاستقامة حركة الحياة ،

 “Allah Swt berfirman : ‘ Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.’ Perbedaan dan saling mengenal adalah sebuah keniscayaan, agar rotasi kehidupan terus berjalan”

Baca juga: Tafsir Surat Ali Imran Ayat 103: Dalil Sila Ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia

Sedangkan, Syaikh Wahbah Az-Zuhailiy mengungkapkan lebih jelas salah satu substansi yang taercakup dalam ayat tersebut adalah persamaan derajat, interaksi sosial, dan amal sholih. Beliau menguraikan di dalam kitabnya , Tafsir Al-Munir, sebagai berikut :

ذكرت الآية الثالثة ثلاثة أشياء: المساواة، وتعارف المجتمع الإنساني، وحصر التفاضل بالتقوى والعمل الصالح.أما المساواة: فالناس سواسية كأسنان المشط في الأصل والمنشأ الإنساني، فهم من أب وأم واحدة، وفي الحقوق والواجبات التشريعية، وهذه أصول الديمقراطية الحقة

Ayat ketiga menyebutkan tiga hal : persamaan/kesetaraan, interaksi sosial, dan pengkhususan keutamaan berdasarkan taqwa dan amal sholih. Adapun persamaan, manusia sama, ibarat barisan gigi sisir rambut, sama dalam hal asal penciptaannya sebagai manusia, mereka diciptakan dari ayah dan ibu yang sama, sama dalam hak dan kewajiban syariat, ini adalah asas demokrasi yang sebenarnya

Keberagaman adalah keniscayaan. Tujuannya agar saling mengenal, berbagi, saling tenggang rasa dan seterusnya. Secara bersama mempunyai cita-cita yang luhur yaitu membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Wallohu A’lam

Mengenal Muhammad Dawam Rahardjo dan Karyanya, Ensiklopedi Al-Quran

0
M. Dawam Rahardjo
M. Dawam Rahardjo/ Foto: bangkitmedia.com

Muhammad Dawam Rahardjo adalah seorang pemikir Al-Quran kontemporer Indonesia. Selama ini Dawam lebih dikenal sebagai seorang pengamat ekonomi, dikenal luas juga karena pembelaannya terhadap kelompok minoritas dan membela pluralisme agama. Hubungannya dengan kajian tafsir Al-Quran, bisa dikatakan bahwa Dawam Rahardjo adalah pelopor pendekatan sosiologis dalam tafsir Al-Quran konteks ke Indonesiaan.

Profil, Perjalanan Intelektual, dan Karir Muhammad Dawam Rahardjo

Muhammad Dawam Rahardjo lahir di Solo, pada tanggal 20 April 1942. Putra dari pasangan Muhammad Zuhdi Rahardjo dan Muthmainnah ini adalah putra sulung dari delapan bersaudara. Dawam kecil belajar di Taman Kanak-Kanak Bustanul Athfal Muhammadiyah Kauman. Sejak kecil Dawam mempelajari ilmu-ilmu agama di masjid keraton, di Madrasah Diniyah ini ia belajar ilmu nahwu, saraf, balagah, tajwid, bahasa Arab juga tafsir.

Sekolah formal dari Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah, Sekolah menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas Dawam bertempat di Solo. Ketika di SMA, Dawam sempat menjadi delegasi pertukaran pelajar di Borach High School selama satu tahun di Amerika Serikat. Setelah itu, ia mengambil kuliah di Universitas Gajah Mada Yogyakarta Jurusan Ekonomi.  Dawam juga pernah menjadi ketua redaksi majalah kampus Gelora sebelum menamatkan kuliahnya pada tahun 1969.

Karir akademiknya terus meroket. Sejak tahun 1993 Dawam diangkat menjadi Guru Besar Ekonomi Pembangunan di Universitas Muhammadiyah Malang dan menjadi Rektor Universitas 45 Bekasi. Ia juga tercatat sebagai salah satu ketua ICMI se-Indoneisa, ketua yayasan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (ELSAF), dan pemimpin Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an. (Saiful Amin Ghofur, Mozaik Mufasir Al-Qur’an dari Klasik hingga Kontemporer,173). 

Baca Juga: KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Kedekatan antara Gontor dengan Daarul Qur’an

Karya-karya

Muhammad Dawam Rahardjo termasuk ilmuan yang produktif dalam menulis. Karya-karya yang telah ditulis oleh Dawam Rahadjo di antaranya adalah Esai-Esai Ekonomi dan Politik (1983), Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan Kesempatan Kerja (1985), Perekonomian Indoneisa: Pertumbuhan dan Krisis, Etika Bisnis dan Manajemen, Kapitalisme Dulu dan Sekarang (1986), Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa (1992), Perspektif Deklarasi Makkah: Menuju Ekonomi Islam (1993), Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial berdasarkan Konsep-konsep Kunci (1996), Paradigma Al-Qur’an: Metodologi Tafsir dan Kritik Sosial (2005), Islam dan Transformasi Sosial-Budaya, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi dan “The Question of Islamic Banking in Indonesia” dalam Islamic Banking in Sountheast Asia, dan sebagainya.

Baca Juga: Paradigma Al-Qur’an tentang Nilai Perdamaian Sebagai Inti Ajaran Islam

Sekilas tentang Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci

Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci berasal dari kumpulan artikel-artikel yang ditulis secara rutin dalam Jurnal Ulumul Qur’an yang diterbitkan oleh LSAF Jakarta. Penamaan Ensiklopedi ini sangat terkait dengan pemikiran Dawam Rahardjo yang bergelut di bidang sosial.

Penulisan  Ensiklopedi Al-Qur’an dilatar belakangi oleh keresahan Dawam dengan kondisi umat Islam Indonesia. Banyak di antara orang muslim yang hidup secara Islam, mengerti akan rukun Islam, sering mendengarkan khutbah, akan tetapi tidak jarang mereka yang tidak tahu istilah-istilah dalam Al-Qur’an, hal tersebut mengakibatkan konsep tentang keislaman tidak berkembang di masyarakat.

Menurut Dawam, seorang mufassir atau orang yang belajar memahami kandungan Al-Qur’an tidaklah harus mencakup seluruh ayat dalam Al-Qur’an, melainkan sebuah penafsiran bisa diwujudkan dalam bentuk karangan-karangan pendek. Oleh karena itu Dawam hanya memilih tema-tema tertentu sesuai dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, dengan begitu ia juga berharap Al-Qur’an terus disiarkan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dibidangnya masing-masing.

Baca Juga: Pengaruh Sumpah Pemuda terhadap Tafsir Al-Quran di Nusantara

Ensiklopedi ini terdiri dari satu jilid, berisi 762 halaman, dengan 27 tema kunci yaitu: fitrah, hanif, Ibrahim, Din, Islam, Taqwa,’Abd, Amanah, Rahmah, Ruh, Nafs, Syaitan, Nabi, Madinah, Khalifah, ‘Adl, Dzalim, Fasiq, Syura, Ulul Amri, Ummah, Jihad, ‘Ilm, Ulul Albab, Rizq, Riba,dan Amar Ma’ruf Nahyi Munkar.

Sumber penafsiran yang digunakan Dawam adalah Al-Qur’an dan hadis, selain itu ia juga mempertimbangkan pendapat mufassir lain seperti Buya Hamka, Fazlur Rahman, Malik Ghulam Farid, juga tokoh ilmu sosial seperti Sigmund Freud, Auguste Comte dan lainnya.

Dawam menyebut Ensiklopedi Al-Qur’an yang ia tulis merupakan sebuah tafsir Al-Qur’an. Meski banyak yang keberatan akan pernyataan tersebut, Dawam telah menyajikan sebuah gaya baru dalam menafsirkan Al-Qur’an. Quraish Shihab seorang mufassir kenamaan Indonesia menyebutkan karangan Dawam sebagai pemahaman terhadap Al-Qur’an dari seorang sarjana ilmu-ilmu sosial. (Maula Sari, Pemikiran Kontemporer Tafsir Al-Qur’an di Indonesia dalam buku Tafsir Al-Qur’ān di Nusantara, 256-267). Wallahu’alam

Pengertian dan 4 Keutamaan Tawakal Menurut Al-Quran

0
Keutamaan Tawakal
Keutamaan Tawakal dalam Al-Quran

Tawakal adalah salah satu sifat terpuji dalam ajaran Islam. Secara sederhana, tawakal dapat dimaknai sebagai menyerahkan segala perkara kepada Allah Swt dengan sepenuh hati dan berpegang teguh kepada-Nya. Pada saat yang bersamaan, seseorang juga berusaha semaksimal mungkin untuk berusaha dan memperjuangkan perkara-perkara tersebut.

Kata tawakal berasal dari bahasa Arab, yakni wakilun yang bermakna menyerahkan, membiarkan, dan merasa cukup. Menurut Quraish Shihab, tawakal bukan berarti penyerahan mutlak nasi manusia kepada Allah Swt semata. Penyerahan ini harus didahului dengan usaha manusiawi sebagai salah satu sunatullah yang harus dilakukan manusia.

Keharusan berusaha sebelum bertawakal telah dicontohkan dan ajarkan oleh nabi Muhammad Saw. Diceritakan bahwa suatu ketika salah seorang sahabat mendatangi beliau tanpa terlebih dahulu mengikat untanya. Nabi Saw kemudian bertanya dan sahabat itu menjawab, “Aku telah bertawakal kepada Allah.” Mendengar hal itu, beliau bersabda, “Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu), barulah bertawakal” (HR. At-Tirmidzi).

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Tawakal adalah aktivitas hati.” Artinya, tawakal merupakan perbuatan yang dilakukan hati, bukan sesuatu yang diucapkan lisan, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Tawakal adalah buah dari keimanan dan kepercayaan kepada Allah Swt, bukan buah dari ilmu dan pengetahuan (Tahdzib Madarijis Sailikin: 337).

Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Sedangkan imam al-Ghazali mendefinisikan tawakal sebagai sikap menyandarkan diri kepada Allah Swt tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam dalam waktu kesukaran, teguh hati tatkala ditimpa bencana disertai jiwa yang tenang, dan hati yang tentram.

Keutamaan Tawakal Menurut Al-Qur’an

Tawakal boleh dilakukan ketika seseorang telah melalui tahap ikhtiar. Ini adalah fase di mana ada tuntutan usaha dan bekerja sungguh-sungguh. Setelah itu, barulah seseorang bisa menyerahkan hasil pekerjaannya kepada Allah Swt. Jika seseorang meyakini dan memahami arti tawakal, maka tidak ada yang sia-sia atas segala amal yang dilakukan.

Tawakal adalah ajaran Islam yang banyak disebut oleh Al-Qur’an. Tercatat, kata tawakal disebut sebanyak 30 kali dan tersebar dalam 19 surah yang berbeda. Dalam ayat-ayat tersebut dijelaskan tentang berbagai bentuk perintah tawakal, keutamaan tawakal, dan bagaimana sikap Allah terhadap orang yang bertawakal.

Dari ayat-ayat di atas, penulis menemukan setidaknya ada 4 macam keutamaan tawakal, yaitu:

  1. Tawakal adalah bagian dari iman

Keutamaan tawakal yang pertama adalah merupakan bagian dari keimanan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bukti seseorang beriman kepada Allah Swt adalah – salah satunya – bertawakal kepada-Nya. Hal ini tercermin dalam QS. Al-Maidah ayat 23 yang berbunyi:

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ٢٣

Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (negeri) itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah [5]: 23)

  1. Memperoleh kecukupan dari Allah Swt

Keutamaan tawakal yang kedua adalah memperoleh kecukupan dari Allah Swt. Ketika seseorang yang bertawakal kepada Allah Swt, berarti ia menjadikan Allah sebagai wakilnya. Allah sebagai wakil terbaik bagi manusia dengan itu akan memberi kecukupan kepadanya. Dia berfirman:

وَّيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُۗ وَمَنْ يَّتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ فَهُوَ حَسْبُهٗ ۗاِنَّ اللّٰهَ بَالِغُ اَمْرِهٖۗ قَدْ جَعَلَ اللّٰهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا ٣

“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. At-Talaq [65]: 3)

  1. Mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat

Keutamaan tawakal yang ketiga adalah mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat. Hal ini ditegaskan dalam QS. An-Nahl [16] ayat 41-42 yang berbunyi:

وَالَّذِيْنَ هَاجَرُوْا فِى اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مَا ظُلِمُوْا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً ۗوَلَاَجْرُ الْاٰخِرَةِ اَكْبَرُۘ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَۙ ٤١ الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ ٤٢

“Dan orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizalimi, pasti Kami akan memberikan tempat yang baik kepada mereka di dunia. Dan pahala di akhirat pasti lebih besar, sekiranya mereka mengetahui, (yaitu) orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.”

  1. Tidak dikuasi oleh setan

Keutamaan tawakal yang keempat adalah tidak dikuasai oleh setan. Saat seseorang bertawakal, setan tidak akan mampu menguasai dan mempengaruhi dirinya, karena pada saat itu ia berada sangat dekat dengan Allah Swt. Hal ini dijelaskan Allah Swt dalam QS. An-Nahl [16] ayat 99 yang berbunyi:

اِنَّهٗ لَيْسَ لَهٗ سُلْطٰنٌ عَلَى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ ٩٩

“Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan.”

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tawakal adalah sikap berserah diri kepada Allah Swt atas segala sesuatu yang telah manusia usahakan.

Baca Juga: Jangan Pernah Berputus Asa: Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 53

Dengan demikian, tidak benar seandainya seseorang bertawakal tanpa mengusahakan sebelumnya. Tawakal juga memiliki banyak keutamaan, diantaranya adalah bagian dari iman, mendapat kecukupan, memperoleh kebaikan dunia dan akhirat, serta tidak akan dikuasai setan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

0
Surat Ar-Rum Ayat 41
Surat Ar-Rum Ayat 41

Artikel singkat ini akan menguraikan salah satu pembahasan dalam karya Yusuf al-Qaradhawi berjudul Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam. Dalam karya tersebut ada salah satu pembahasan menarik mengenai penafsiran Surat Ar-Rum Ayat 41 yang secara garis besar menyoal manusia dan krisis ekologis.

Sebelum masuk dalam penafsiran Yusuf al-Qaradhawi, mari kita simak terlebih dahulu lafadz Surat Ar-Rum Ayat 41 dan terjemahnya:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Surat Ar-Rum Ayat 41)

Dalam membuka pembahasan tentang penafsirkan ayat ini, Yusuf al-Qaradahawi dengan tegas menekankan bahwa Islam telah mengatakan penyebab terjadinya kerusakan terhadap lingkungan merupakan perbuatan manusia yang korup, sikap eksploitatif dan destruktif (tasarrufat al-insan al-munharifah). Surat Ar-Rum Ayat 41 ini yang menjadi landasan argumentasinya.

Baginya, kata fasad dalam ayat ini tidaklah dimaknai secara maknawi yakni berupa kemaksiatan, kemungkaran dan perbuatan keji. Namun, lebih kepada bentuk konkret kerusakan itu sendiri yang disebabkan oleh tindakan manusia (bima kasabat a’id al-nas). Maka secara sederhana, fasad yang dimaksud dalam ayat ini adalah akumulasi dari tindakan non-etis manusia terhadap lingkungan secara berulang-ulang.

Kemudian ia mengambil beberapa penafsiran yang memiliki frekuensi yang sama dengan pendapatnya. Di antaranya adalah penafsiran Al-Alusi dan Ibn ‘Asyur. Keduanya berpendapat bahwa fasad yang dimaksud dalam Surat Ar-Rum Ayat 41 adalah hilangnya kebermanfaatan dan munculnya krisis-krisis di bumi, baik berupa krisis pangan nabati maupun hewani.

Baca Juga: Mengenal Al-Alusi: Sang Arsitek Ruh al-Ma’ani

Selanjutnya dalam menafsirkan penggalan ayat liyudziqahum ba’da alladzi ‘amilu, al-Qaradahawi mengatakan bahwa Tuhan tidak akan menghukumi manusia sepenuhnya dari apa yang telah mereka perbuat, melainkan hanya menimpakan separuhnya agar manusia merasakan dampak dari apa yang mereka lakukan.

Lalu ia pun mengutip QS. al-Fatir [35]: 45 sebagai dasar argumentasinya. La’allahum yarji’un, ia menafsirkan penggalan akhir ayat ini dengan berpendapat bahwa balasan yang Tuhan berikan kepada manusia berupa setengah dari apa yang telah mereka lakukan merupakan cara Tuhan untuk memberikan pengajaran bagi manusia agar menyadari apa telah dilakukan dan membenahi kembali apa yang telah dirusak.

Kemudian ia memberikan statement penutup terhadap penafsirannya, “sesungguhnya rusaknya alam disebabkan oleh rusaknya (etika) manusia, alam tidak akan menjadi baik sebelum manusia memiliki etika yang baik terhadapnya. Dan manusia tidak akan memiliki etika yang baik kecuali kedua hal yang dimilikinya baik yakni akal dan hati. Maka benarlah Tuhan yang telah berfirman bahwa Ia tidak akan mengubah suatu kaum sampai kaum itu berinisiasi mengubah dirinya sendiri (QS. al-Ra’d [13]: 11)”.

Statement penutup ini mengisyaratkan bahwa ia benar-benar mengharapkan bahwa manusia dapat mengubah mind set dan etikanya terhadap lingkungan. Sebab selama ini lingkungan dapat dikatakan dinilai sebagai makhluk kelas dua di bawah manusia dan bisa diperlakukan layaknya budak.

Bentuk Tindakan Amoral Manusia Terhadap Lingkungan

Adapun setelah menafsirkan ayat tersebut, al-Qaradhawi memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai istilah dari bentuk tindakan-tindakan manusia yang berpotensi untuk merusak lingkungan.

Pertama, taghyir khalq Allah. Dengan mengutip Q.S al-Nisa’ [4]: 119, ia kemudian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mengubah ciptaan Tuhan adalah tindakan manusia yang menyelisihi fitrah dari ketetapan suatu ciptaan yang telah ditetapkan Tuhan.

Seperti manusia yang telah diberikan Tuhan anugrah berupa udara segar yang dengannya manusia dapat bernafas dengan baik maupun air yang bersih, lalu dicemari oleh manusia dengan polutan industri yang tidak menaati aturan ambang batas keamanan polutan yang ada maka tindakan itu telah merusak fitrah dari udara maupun air tersebut.

Kedua, al-zulmu. Ia menjelaskan bahwa zalim merupakan lawan dari adil dan dalam konteks ekologis, zalim di sini bermakna bahwa manusia tidak melakukan interaksi yang baik dengan lingkungan yang semestinya diperlakukan sama dalam memperlakukan sesama manusia.

Ketiga, al-‘uluw fi al-ard. Adapun yang dimaksud menyombongkan diri dalam konteks ini adalah tindakan manusia yang merasa menguasai alam sehingga bisa berlaku semena-mena terhadap alam dan melupakan akan adanya pemilik alam sejati. Dalam menjelaskan poin ini, Qardawi menyetir kisah Fir’aun yang termaktub dalam Q.S. al-Qashshash [28]: 4 dan 38.

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Keempat, ittiba’ al-hawa’, dalam konteks ini yang dimaksud adalah manusia mengikuti hawa nafsunya semata dan mengabaikan pikiran jernih serta hatinya dalam mengeksploitasi alam.

Ia mengutip Q.S al-Furqan [25]: 43-44 yang menyatakan bahwa manusia yang menyembah hawa nafsunya tidak ada bedanya dengan binatang yang tidak berakal dan bahkan lebih buruk, sebagai gambaran bagi manusia yang eksploitatif dan destruktif terhadap alam.

Kelima, inhiraf ‘an mizan al-kauni. Ia menjelaskan bahwa alam semesta ini memiliki takaran keseimbangan dan ini direpresentasikan dalam Al-Qur’an dengan pernyataan bahwa segala yang ada di alam semesta ini diciptakan dengan qadr-miqdar (Q.S al-Ra’d [13]: 8, Q.S al-Mu’minun [23]: 18, Q.S al-Hijr [15]: 19).

Maka keseimbangan alam ini harus dijaga oleh manusia dengan tidak bersikap ifrath dan tafrith atau tidak menyianyiakan alam dan tidak mengeksplotasinya dengan berlebihan. Oleh karena itu, manusia harus mampu bersikap adil dalam memperlakukan alam, artinya memanfaatkan apa yang ada di alam ini dengan sesuai kebutuhan serta berlaku ihsan dengan memberikan hak-hak alam sehingga keseimbangan alam tetap terjaga.

Terakhir, al-kufr bi an‘am Allah. Syukur menjadi salah satu konsep dalam Islam yang menekankan adanya rasa terimakasih atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan.

Dalam Al-Qur’an, ayat tentang syukur yang paling masyhur dikemukakan adalah Q.S Ibrahim [14]: 7. Baginya, konsep syukur ini dalam konteks eko-teologis tidak boleh hanya dicukupkan dengan ungkapan ekspresif semata, namun harus lebih luas yakni dengan menjaga kenikmatan yang telah diberikan (muhafazah ‘ala al-ni’mah). Wallahu A’lam.

Pengertian dan Macam-Macam Shifatul Huruf dalam Ilmu Tajwid

0
Shifatul Huruf
Shifatul Huruf

Pengertian Shifatul Huruf dan Pendapat Ulama Qira’at

Shifatul Huruf  secara bahasa berarti sesuatu yang melekat pada suatu hal seperti warna putih, warna hitam dan semacamnya.  Secara istilah, Shifatul Huruf berarti tata cara yang jelas tentang sifat huruf menurut ketentuannya. Pengertian ini dikemukakan oleh al-Qamhawi dalam karyanya al-Burhan fi at-Tajwid al-Qur’an.

Ulama qira’at memiliki perbedaan pandangan perihal jumlah Shifatul Huruf. Kelompok pertama berpendapat Shifatul Huruf berjumlah empat belas, dengan mengurangi sifat idzlaq, lin, dan menambahkan sifat ghunnah. Sedangkan, kelompok kedua berpendapat enam belas sifat yang mana diikuti oleh As-Syathibi. Kelompok ketiga berpandangan Shifatul Huruf menjadi tujuh belas sifat, pendapat ini diikuti oleh al-Jazari. Pendapat selanjutnya menganggap jumlah Shifatul Huruf hingga dua puluh empat sifat.

Baca Juga: Mengenal lebih dekat Ilmu Tajwid dan Asal-Usulnya Menurut Para Ulama

Dalam kitab al-Burhan fi at-Tajwid al-Qur’an dijelaskan jumlah yang masyhur dipelajari ialah pendapat kelompok ketiga. Sedangkan pada kitab at-Tahdid fi al-Itqan wa at-Tajwid dipaparkan perihal pendapat kedua. Sehingga, pada tulisan ini akan membahas tentang keduanya secara jelas dan singkat.

Macam-macam Shifatul Huruf menurut al-Jazari dan as-Syathibi

  • Hams dan Jahr

Shifatul Huruf Hams merupakan sifat huruf yang ketika dibaca mengalirkan udara. Berkebalikan dengan sifat Jahr yang menahan udara keluar ketika membacanya. huruf-huruf yang bersifat Jahr adalah huruf hijaiyah selain huruf dibawah ini. Huruf hijaiyah yang bersifat hams terdapat sepuluh huruf yang biasa disingkat dengan bacaan “Fahatssahu Syakhshun Sakat”, yaitu huruf

 ف ث ه ح  ص س  ك  ت ش خ

  • Syiddah dan Rakhawah

Syiddah bermakna tertahannya suara, sedangkan Rakhawah mengalirnya suara. Ketika seseorang membaca huruf dengan sifat ini berarti perlu menahan ataupun melepaskan suaranya. Huruf-huruf Syiddah adalah ء, ج, د, ق, ط, ب, ك, ت. Sedangkan huruf Rakhawah adalah selain delapan huruf tersebut.

  • Isti’la dan Istifal

Isiti’la bermakna lidah terangkat ketika membaca sebagian huruf, sedangkan Istifal ialah merendahnya lidah ketika membaca huruf tertentu. Huruf-huruf Isti’la adalah

خ, ص, ض, غ, ط, ق, ظ

Berkebalikan dengan huruf Istifal yakni berlaku pada huruf selainnya.

  • Ithbaq dan Infitah

Ithbaq bermakna terangkatnya lidah hingga menutup semua langit-langit mulut, yang termasuk dalam sifat ini adalah huruf

ص, ض, ط, ظ

Sedangkan infitah yang berarti terbukanya lidah (tidak menutup semua langit-langit mulut) berupa huruf selain keempatnya.

  • Shafir

Shafir bermakna berdesis. Dalam arti ketika membaca huruf bersifat tersebut mengeluarkan bunyi desisan “sss”. Huruf yang termasuk dalam kategori ini adalah huruf

ز, س ,ص

  • Tafassyi dan Istithalah

Tafassyi bermakna udara yang banyak berhembus dari mulut. Sedangkan Istithalah berarti makhraj yang memanjang dari ujung lidah ke ujung yang lain. Huruf yang bersifat Tafassyi adalah huruf ش, dan yang bersifat Istithalah adalah huruf ض.

  • Inhiraf dan Takrir

Inhiraf bermakna meyimpang. Dalam arti makhrajnya menyimpang ke makhraj huruf lain pada saat tertentu. Contohnya makhraj huruf ل menyimpang ke makhraj huruf ن ketika ل dibaca tebal (tafkhim). Sedangkan takrir adalah gerakan berulang ketika membaca suatu huruf. Yang termasuk dalam sifat inhiraf, menurut al-Jazari adalah huruf ل dan ر, sedangkan menurut as-Syathibi adalah huruf ل saja. Sementara itu yang termasuk dalam takrir menurut keduanya adalah huruf ر.

  • Qalqalah

Qalqalah adalah bunyi pantulan dari pembacaan huruf tertentu. Adapun yang termasuk dalam huruf Qalqalah adalah huruf

ق, ط, ب, ج, د.

  • Idzlaq dan Ishmat

Kedua sifat ini adalah khusus pada thoriq al-Jazari. Idzlaq berarti mudah dikeluarkan (diucapkan) dari mulut, karena makhrajnya dekat dengan ujung lidah. Ishmat berarti kebalikannya, yakni tidak semudah idzlaq dalam pengucapan. Huruf-huruf Idzlaq adalah

ف, ر, م, ن, ل, ب

  • Ghunnah

Ghunnah disini sifat yang dikhususkan oleh as-Syathibi, yang berupa huruf Nun dan Mim sukun, dan yang bertasydid.

  • Al-Hawi

al-Hawi disini adalah sifat yang juga dikhususkan oleh as-Syathibi. Al-Hawi berarti huruf yang makhrajnya leluasa untuk mengeluarkan suara yang lebih keras dibandingkan dengan makhraj huruf lain. Huruf yang termasuk disini hanya satu huruf, yaitu ا  Alif.

  • Mad wal lin

Isitilah Mad wal lin merupakan gabungan dari thoriq as-Syathibi dan al-Jazari. Mad merupakan istilah dari as-Syathibi yang berupa huruf Ya, Wawu, dan Alif yang sebelumnya didahului huruf yang berharakat kasrah, dhummah ataupun fathah. Adapun istilah liin merupakan thoriq al-Jazariyyah yang artinya lembut. Huruf yang termasuk liin disini adalah huruf و dan ي sukun yang didahului huruf berharakat fathah.

Semoga bermanfaat untuk pembaca. Wallahu A’lam.