Beranda blog Halaman 476

Pembagian Makharijul Huruf Menurut Imam Ibn Al-Jazari

0
Imam Ibn Al-Jazari
Makharij Al-Huruf Menurut Imam Ibn Al-Jazari

Pada dasarnya, tidak terdapat banyak perbedaan diantara pendapat Imam Ibn Al-Jazari dengan as-Syathibi. Hanya terdapat penambahan jenis Makharijul Huruf, jumlah huruf serta istilah penamaannya.

Adapun secara umum, Makharijul Huruf menurut Imam Ibn Al-Jazari dibagi menjadi lima tempat yang di dalamnya lebih dirincikan menjadi tujuh belas tempat. Berikut merupakan spesifikasinya berdasarkan Matn al-Jazariyyah.

  • Al-Jauf (Rongga mulut dan tenggorokan)

Huruf Mad

Pada bagian pertama, terdapat satu makhraj dengan tiga huruf di dalamnya. Berbeda dengan as-Syathibi yang menggabungkan pada makhraj nya masing-masing, Imam Ibn Al-Jazari berpendapat jika terdapat huruf yang keluar dari rongga mulut dan tenggorokan yaitu, Huruf Mad. Dalam hal ini, Huruf Mad adalah

ا (Alif sukun) yang didahului huruf berharakat fathah sebelumnya.

و (Wawu sukun) yang didahului dengan huruf berharakat dhammah sebelumnya.

ي (Ya’ sukun) yang didahului huruf berharakat kasrah sebelumnya.

  • Al-Halq (Tenggorokan)

Imam Ibn Al-Jazari memasukkan enam huruf dalam tiga makhraj di tenggorokan. Jika as-Syathibi memasukkan huruf Alif disini sehingga berjumlah enam huruf, al-Jazari berbeda dengannya. Ia memasukkan alif pada makhraj al-Jauf sehingga hanya enam huruf dalam makhraj tenggorokan. Makhraj-makhraj tersebut adalah:

  1. Bagian pangkal pita suara, merupakan tempat keluarnya huruf ء (Hamzah) dan ه(ha).
  2. Tenggorokan bagian tengah, tempat keluarnya huruf ع (‘Ain) dan ح (ha).
  3. Bagian tenggorokan yang paling dekat dengan rongga mulut, tempatnya huruf غ (Ghain) dan خ (Kha)
  • Al-Lisan (lidah)

Pada anggota tubuh ini, Imam Ibn Al-Jazari membaginya menjadi sebelas makhraj. Menambah satu makhraj dari as-Syathibi, yakni pada huruf jim. Jika as-Syathibi menggabungkannya deengan makhraj huruf syin dan ya’, al-Jazari mengkhususkannya. Adapun sebelas makhraj tersebut ialah:

  1. Pangkal lidah yang bersentuhan dengan langit-langit mulut bagian atas, yakni tempat keluarnya huruf ق (Qof)
  2. Pangkal lidah yang bersentuhan dengan langit-langit mulut bagian atas sedikit di bawah makhraj huruf ق. Merupakan makhraj huruf ك (Kaf)
  3. Lidah bagian tengah bila disentuhkan ke langit-langit mulut, makhraj huruf ج (Jim)
  4. Lidah bagian tengah bila digerakkan keluar langit-langit menghasilkan bunyi huruf ش (Syin) dan ي (Ya)
  5. Sisi lidah bila disentuhkan ke gigi geraaham baik yang kiri, kanan ataupun keduanya menghasilkan huruf ض (Dhad)
  6. Ujung sisi lidah disentuhkan dengan langit-langit di gusi dekat gigi seri atas, yaitu makhraj huruf ل (Lam)
  7. Sisi lidah dibawah tempat keluarnya huruf Lam, terdapat makhraj huruf ن (Nun)
  8. Sisi lidah dibawah tempat keluarnya huruf Nun, terdapat makhraj huruf ر (Ra)
  9. Ujung lidah disentuhkan dengan bagian gigi seri atas alah makhraj huruf ط (Tha), د (Dal), ت (Ta)
  10. Ujung lidah dalam posisi sejajar dan mendekat ke atas gigi seri bagian bawah adalah makhraj huruf ص (Shad), ز (Zay), س (Sin)
  11. Ujung lidah bersentuhan dengan ujung gigi seri atas merupakan makhraj huruf ظ (dhod) ذ (Dzal), ث (Tsa).
  • As-Syafatain (Dua bibir)

Terdapat dua makhraj pada bagian dua bibir dengan empat huruf di dalamnya,

  1. Bibir bagian bawah bersentuhan dengan ujung gigi seri atas, makhraj dari huruf ف (Fa)
  2. Makhraj dari kedua bibir pada huruf و (Wawu), ب (Ba), م (Mim)
  • Al-Khaisyum (Pangkal hidung)

Huruf yang makhrajnya pada pangkal hidung adalah suara dengung dari huruf ghunnah, yakni huruf Mim dan Nun yang bertasydid

Semoga dapat bermanfaat untuk pembaca. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 99

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan yang lalu berbicara mengenai benda-benda langit agar manusia bisa mengambil pelajaran atasnya, Tafsir Surat Al An’am Ayat 99 masih dalam pembicaraan mengenai benda langit lainnya. Lebih khusus berbicara mengenai hujan yang dapat menumbuhkan berbagai macam tumbuhan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 97-98


Dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 99 ini disertakan pulan penjelasan mengenai proses fotosintesis segala jenis tumbuhan. Bagaimana sebuah cahaya dikelola sedemikian rupa hingga akhirnya menghasilkan buah-buahan yang bisa dimanfaatkan oleh manusia. Selain itu manfaat lainnya dari adanya tumbuh-tumbuhan ini adalah sebagai penyuplai oksigen bagi manusia agar kelangsungan hidupnya bisa terus-menerus terjaga.

Penjelasan Tafsir Surat Al An’am Ayat 99 ini sesungguhnya agar manusia bisa mengambil pelajaran atas kekuasaan Allah swt melalui proses alam yang sangat teratur dan rumit itu. Jika manusia benar-benar memikirkan fenomena tersebut pastilah tidak akan menyekutukan Allah swt seperti orang-orang kafir Mekah.

Ayat 99

Allah menjelaskan kejadian hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia sehari-hari, agar mereka secara mudah dapat memahami kekuasaan, kebijaksanaan, serta pengetahuan Allah. Allah menjelaskan bahwa Allah-lah yang menurunkan hujan dari langit, yang menyebabkan tumbuhnya berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari berbagai ragam bentuk, macam dan rasa. Seperti firman Allah:

يُّسْقٰى بِمَاۤءٍ وَّاحِدٍۙ وَّنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلٰى بَعْضٍ فِى الْاُكُلِ

… disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. (ar-Ra’d/13: 4)

Disebutkan hujan turun dari langit adalah menurut kebiasaan mereka. “Samā” atau langit digunakan untuk apa saja yang berada di atas; sedang yang dimaksud dengan Samā dalam ayat ini ialah “Sahāb” yang berarti awan seperti ditunjukkan dalam firman Allah:

اَفَرَءَيْتُمُ الْمَاۤءَ الَّذِيْ تَشْرَبُوْنَۗ ٦٨ ءَاَنْتُمْ اَنْزَلْتُمُوْهُ مِنَ الْمُزْنِ اَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُوْنَ   ٦٩

Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan? (al-Waqi’ah/56: 68-69)

Allah menjelaskan bahwa air itu sebagai sebab bagi tumbuhnya segala macam tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam bentuk jenis dan rasanya, agar manusia dapat mengetahui betapa kekuasaan Allah mengatur kehidupan tumbuh-tumbuhan itu.

Manusia yang suka memperhatikan siklus peredaran air akan dapat mengetahui betapa tingginya hukum-hukum Allah. Hukum-Nya berlaku secara tetap dan berlangsung terus tanpa henti-hentinya, sampai tiba saat yang telah ditentukan.

Kemudian disebutkan pula perincian dari tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam itu; di antaranya ialah rerumputan yang tumbuh berumpun-rumpun sehingga kelihatan menghijau.

Tumbuh-tumbuhan jenis ini mengeluarkan buah yang berbentuk butiran-butiran kecil yang terhimpun dalam sebuah tangkai seperti gandum, syair dan padi. Jenis yang lain dari tumbuh-tumbuhan itu ialah pohon palma yang mengeluarkan buah yang terhimpun dalam sebuah tandan yang menjulai rendah sehingga mudah dipetik.

Jenis yang lain lagi dari jenis tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam itu ialah anggur, zaitun, dan delima.

Ketika jenis buah-buahan ini disebutkan secara beruntun, karena masing-masing ada yang mempunyai persamaan dan perbedaan, sifat, bentuk dan rasanya, sehingga ada yang berwarna kehitam-hitaman dan ada pula yang berwarna kehijau-hijauan; ada yang berdaun agak lebar, dan ada pula yang berdaun agak kecil; begitu pula ada yang rasanya manis dan ada yang asam. Dalam hal ini ilmuwan berkata:

Makhluk hidup telah dijelaskan oleh ahli botani, seperti tumbuhan memainkan peranan penting dalam membuat dunia layak untuk dihuni. Di antara perannya, tumbuhan membersihkan udara bagi manusia, menjaga suhu agar relatif konstan, dan menyeimbangkan proporsi gas di atmosfer.  Allah swt menetapkan bahwa manusia dan hewan menerima makanannya dari yang dihasilkan oleh tumbuh-tumbuhan dalam “pabrik hijau”nya.

Pabrik hijau ini, yang oleh ahli botani disebut dengan kloroplas, mengandung klorofil yang di dalam Alquran disebut sebagai al-khadir (bahan hijau), di mana tumbuhan memanfaatkan energi cahaya matahari dan mengubahnya menjadi energi kimia yang pada akhirnya menghasilkan biji-bijian, buah-buahan dan bagian tumbuhan lainnya.

Sel tumbuhan, tidak seperti sel-sel manusia dan hewan, dapat mengkonversi  energi matahari menjadi energi kimia dan menyimpannya dalam nutrien melalui cara-cara yang sangat spesial.

Proses yang  disebut fotosintesis ini dilakukan tidak oleh sel tetapi oleh kloroplas, organel-organel yang memberi warna hijau pada tumbuhan.  Organel-organel hijau kecil yang hanya dapat diamati dengan mikroskop ini, merupakan satu-satunya laboratorium di muka bumi yang mampu menyimpan energi matahari dalam bahan organik.


Baca juga: ‘Nabiyyil Ummiyyi’, Benarkah Benarti Nabi Tidak Bisa Baca Tulis?


Fotosintesis merupakan sebuah proses kimia, yang dirumuskan sebagai berikut:

6 H2O + 6 CO2 +Cahaya matahari  →  C6 H12 O6 + 6 O2

Artinya, air dan karbon dioksida dengan bantuan energi matahari menghasilkan gula/glukosa dan oksigen.

Menurut ahli astronomi Amerika, George Greenstein, klorofil adalah molekul yang melangsungkan fotosintesis.  Mekanisme fotosintesis dimulai dengan penyerapan cahaya matahari oleh molekul klorofil.  Fotosintesis bervariasi sesuai dengan intensitas dan lamanya sumber cahaya matahari, dan produktivitasnya diukur dari keluaran oksigen yang dihasilkannya.

Produksi yang dibuat oleh tumbuhan direalisasikan melalui proses kimia yang sangat kompleks.  Ribuan pigmen-pigmen klorofil ditemukan pada kloroplas bereaksi terhadap cahaya dalam waktu yang sangat pendek, sekitar seperseribu detik.  Konversi energi matahari menjadi energi kimia atau listrik merupakan terobosan sangat mutakhir.

Sistem fotosintesis yang sangat kompleks merupakan sebuah mekanisme yang secara sengaja dirancang oleh Allah swt.  Suatu ‘pabrik tanpa banding’ yang dilaksanakan dalam unit luasan yang kecil pada daun.

Proses fotosintesis dengan peran klorofil dan kloroplas, merupakan salah satu dari ayat-ayat kauniah, yang menampakkan bahwa seluruh makhluk hidup diciptakan oleh Allah,  Pemelihara seluruh alam. Ayat terkait: al-Hajj/22: 5). Kesemuanya itu adalah untuk menunjukkan kekuasaan Allah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam itu.

Allah memerintahkan kepada manusia agar memperhatikan tumbuh-tumbuhan yang beraneka ragam itu pada saat berbuah bagaimana buah-buahan itu tersembul dari batang atau rantingnya, kemudian merekah sebagai bunga, setelah nampak buahnya, akhirnya menjadi buah yang sempurna (matang).

Pada akhir ayat ini Allah menegaskan bahwa dalam proses kejadian pembuahan itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah yang sangat teliti pengurusannya serta tinggi ilmu-Nya. Tanda-tanda kekuasaan Allah itu menjadi bukti bagi orang yang beriman.

Dari ayat-ayat ini dapat dipahami bahwa perhatian manusia pada segala macam tumbuh-tumbuhan hanya terbatas pada keadaan lahir sebagai bukti adanya kekuasaan Allah, tidak sampai mengungkap rahasia kekuasaan Allah terhadap penciptaan tumbuh-tumbuhan itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 100-103


(Tafsir Kemenag)

Iluminasi Mushaf Al-Bantani; Ekspresi Identitas Keislaman Masyarakat Banten

0
Iluminasi Mushaf Al-Bantani
Iluminasi Mushaf Al-Bantani/ khazanah mushaf al-quran Nusantara

Khazanah mushaf tentu tak bisa dipungkiri perkembangannya. Mushaf-mushaf kontemporer semakin banyak variannya, baik untuk edukasi, komoditas, maupun identitas. Salah satu mushaf yang dibuat untuk menunjukkan identitas keislaman adalah Mushaf Al-Bantani. Mushaf ini menampilkan hasil seni, estetika yang berasal dari legacy peradaban Banten.

Mushaf ini termasuk dalam rentetan mushaf kontemporer indah di Indonesia. Sebelum mushaf ini, terdapat mushaf-mushaf indah yang dipelopori pemerintah maupun swasta serta memiliki corak kearifan lokal. Mushaf-mushaf sebelumnya seperti Mushaf Istiqlal (1995), Mushaf Sundawi (1997), Mushaf Bu Tien (1999), Mushaf Jakarta (2000), Mushaf Kalimantan Barat (2002).

Mushaf Al-Bantani mulai ditulis pada 2 Februari 2008 dan selesai pada 28 Agustus 2010 (18 Ramadan 1431 H) atas prakarsa MUI Provinsi Banten. Versi cetak mushaf ini berukuran 25 x 17,5 cm, dan versi cetak yang ada terjemahnya berukuran 27,5 x 21 cm. Sementara versi tulis tangannya berukuran 50 x 70 cm dengan kertas impor merk “Felind D’ Arches” dari Prancis dan “Qonqueror” dari Inggris. Mushaf ini termasuk mengikuti sistem pojok dan halamannya berjumlah 604 halaman.


Baca juga: ‘Nabiyyil Ummiyyi’, Benarkah Benarti Nabi Tidak Bisa Baca Tulis?


Dalam proses penulisannya, mushaf ini tidak hanya melibatkan kaligrafer yang mumpuni, namun juga illuminator, dan peneliti yang kompeten. Kaligrafernya terdiri dari sepuluh orang yang dikoordinatori oleh Dr H Ahmad Tholabi Kharlie. Sementara desainer iluminasinya dari ahli seni rupa Institut Teknologi Bandung, dan tim peneliti diketuai Prof. Dr. H. A. Tihami, M.A., M.M.

Menariknya, mushaf ini memiliki iluminasi yang menawan tiap juz-nya. Iluminasi ini terinspirasi dari 29 artefak dan 1 manuskrip peninggalan peradaban Banten. Ketiga puluh iluminasi tersebut memiliki varian yang terdiri atas iluminasi dasar dan iluminasi instrumental. Mengutip ungkapan Ali Akbar, Iluminasi dasar sumbernya adalah artefak dan manuskrip Banten, sedangkan iluminasi instrumental merupakan penunjang dari iluminasi dasar sebagai pengembangan dan rekayasa grafis.


Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Menyikapi Penghinaan Terhadap Nabi SAW


Iluminasi Mushaf Al-Bantani

Analisa mengenai iluminasi mushaf Al-Bantani, secara khusus telah diteliti Sherley Zulianawati tahun 2020 ini.  Penelitian itu berjudul Iluminasi dalam Mushaf Al-Qur’an Al-Bantani dan Relevansinya dalam Perkembangan Mushaf di Indonesia.

Penelitian tersebut menyebut bahwa adanya iluminasi dalam mushaf Al-Bantani tidak hanya bertujuan estetis saja. Namun juga menghadirkan ekspresi identitas keislaman masyarakat Banten. Mereka ingin menunjukkan adanya kepedulian terhadap warisan leluhur. Bahkan usaha untuk menyusun iluminasi ini, terlebih dahulu melakukan penelitian di berbagai lokasi yang dianggap menyimpan koleksi leluhur Banten. Lokasi itu seperti di Jakarta, Perpustakaan Nasional, Banten, meliputi kota Tangerang, Serang, Pandeglang, dan Lebak, serta di Krui, Lampung Barat.


Baca juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Al-Quran


Hasil dari penelusuran di lokasi tersebut merupakan iluminasi yang berhasil didesain ulang dari berbagai artefak. Kemudian digambar ulang dan diterapkan menjadi kerangka-kerangka yang berisi tiara (layaknya hiasan kepala yang dipakai ratu), selain itu juga kerangka frame-nya.  Adapun tiara yang mewakili dari 30 warisan leluhur itu sebagai berikut;

  1. Mahkota Sokoguru Masjid Carita
  2. Menara Masjid Pacinan Tinggi
  3. Memolo (kemuncak atap) Masjid Agung Banten
  4. Memolo Menara Masjid Agung Banten
  5. Memolo Masjid Kasunyatan
  6. Gapura Masjid Kasunyatan
  7. Ornamen Mihrab Masjid Kasunyatan
  8. Memolo Menara Masjid Kasunyatan
  9. Gapura Makam Masjid Kasunyatan
  10. Gapura Masjid Kanari
  11. Memolo Masjid Kanari
  12. Ornamen Mihrab Masjid Kanari
  13. Memolo Makam Maulana Yusuf
  14. Gapura Bentar Kaibon
  15. Gapura Paduraksa Kaibon
  16. Memolo Masjid Kaujon
  17. Ornamen Mihrab Masjid Kaujon
  18. Memolo Masjid Tanara
  19. Cungkup Mimbar Masjid Tanara
  20. Memolo Mimbar Masjid Tanara
  21. Memolo Masjid Singarajan
  22. Ornamen Mihrab Masjid Singarajan
  23. Memolo Masjid Caringin
  24. Trawangan Pintu Majsid Caringin
  25. Mahkota Sokoguru Masjid Carita
  26. Ornamen Sokoguru Masjid Carita 1
  27. Ornamen Sokoguru Masjid Carita 2
  28. Ornamen Mihrab Masjid Carita
  29. Arsitektur Srimanganti Surtasowan
  30. Iluminasi manuskrip Al-Qur’an Banten.

Iluminasi dari kearifan lokal tentu mengukuhkan eksistensi dan identitas masyarakat Banten. Tak hanya itu, hadirnya mushaf Al-Bantani juga menunjukkan adanya perhatian khusus oleh masyarakat Banten terhadap keberlangsungan seni mushaf yang agung.  Selain itu, penelitian yang menyertai juga mengindikasikan adanya kemajuan dan integrasi aspek intelektualitas, seni, dan keagamaan yang apik.

Tentu, saat ini banyak juga mushaf kontemporer yang memberikan sentuhan khas iluminasi daerah masing-masing.

Wallahu a’lam[]

‘Nabiyyil Ummiyyi’, Benarkah Benarti Nabi Tidak Bisa Baca Tulis?

0
Nabi tidak bisa baca tulis
Nabi tidak bisa baca tulis

Sudah menjadi pengetahuan umum bagi umat Islam bahwa Muhammad saw merupakan seorang nabi dengan sifat ummi (buta baca dan tulis). Ini artinya Nabi Muhammad saw tidak memiliki kemampuan untuk membaca dan menulis. Sifat ini juga cukup sering disebut dalam Al-Quran dengan redaksi “Nabiyil ummiyi”. Lantas bagaimana maksud lafadz itu? Apakah memang berarti Nabi tidak bisa baca tulis?

Sifat ummi pada umumnya dimengerti dengan konotasi negatif. Tidak adanya kemampuan seseorang untuk membaca dan menulis menjadikan orang tersebut kurang bisa mengembangkan potensi akal dan pengatahuan yang sudah disediakan. Namun apakah sifat demikian yang juga dilekatkan kepada Nabi Muhammad. Maka akan menarik untuk diulas dari berbagai point of view sehingga kesan buruk tentang  tidak serta merta dikaitkan dengan Rasul saw.

Baca juga: Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5: Allah Swt mengangkat Muhammad Saw Menjadi Rasul

Tafsir al-A’raf ayat 157: pemaknaan lafad ummi

Salah satu ayat yang menyebut “Nabiyil Ummiyi” terdapat dalam surat Al-A’raf ayat 157:

ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلرَّسُولَ ٱلنَّبِىَّ ٱلْأُمِّىَّ ٱلَّذِى يَجِدُونَهُۥ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِى ٱلتَّوْرَىٰةِ وَٱلْإِنجِيلِ يَأْمُرُهُم بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَىٰهُمْ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَٱلْأَغْلَٰلَ ٱلَّتِى كَانَتْ عَلَيْهِمْ ۚ فَٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ بِهِۦ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَٱتَّبَعُوا۟ ٱلنُّورَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ مَعَهُۥٓ ۙ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-orang yang beruntung”

Quraish Shihab menjelaskan lafad ummi yang berakar pada kata umm (ibu). Ini dimaksudkan pada keadaan seorang Ibu di masa Jahiliyah. Kaum wanita pada masa itu masih dirundung kebodohan. Namun, ada juga keterkaitan dengan ummah/umat. Ini merujuk pada kondisi masyarakat quraisy yang buta huruf. Ini diperkuat dengan sabda rasulullah:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ

“dari Ibn Umar, dari Rasulullah aw bersabda: sesungguhnya kami ialah umat yang ummi (buta huruf), tidak bisa menulis dan tidak bisa menghitung”(HR. Bukhari).

Baca juga: Hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang Diabadikan dalam Al-Quran

Dalam Shafwatut Tafsir, Ali as-Shabuni menerangkan bahwa ayat ini menjadi bukti dan jaminan akan adanya rahmat dari Allah swt bagi orang yang mengikuti Nabi saw yang ummi yakni buta huruf dan tak bisa menulis. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sebelum turunnya Al-Quran, Nabi Muhammad saw sama sekali tak pernah mengenal kegiatan baca tulis sehingga ia dikenal dengan ummi. Ini senada dengan yang dimaksud oleh ar-Raghib al-Asfahani.

Adapun al-Qurthubi dalam tafsirnya memaparkan beragam pendapat, salah satunya ialah pendapat dari al-Nuhas yang mengaitkan lafad ummi dengan kota kelahiran Nabi saw yakni Ummul Quro (Makkah). Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa ummi dimaknai sebagai orang yang sudah dewasa akan tetapi keadaannya masih seperti bayi yang baru dilahirkan, yakni tak bisa baca tulis karena tidak belajar.

Fadilah dari ke-ummi-an Rasul saw

Mengenai ke-ummi-an Nabi Muhammad saw. Al-Qurthubi dan al-Maraghi mengatakan bahwa pertanda itu sudah disebutkan/dikabarkan oleh kitab-kitab terdahulu yakni Taurat dan Injil. Al-Qurthubi menganggap bahwa kondisi Nabi yang demikian merupakan bagian dari skenario dari yang Maha Kuasa.

Ke-ummi-an Nabi Muhammad juga menjadi pembantah atas tuduhan yang mengatakan bahwa risalah yang dibawa Nabi merupaakan dongeng-dongeng dari kitab terdahulu. Al-Maraghi dalam tafsirnya juga mengatakan bahwa karena “buta huruf”-nya, Nabi Muhammad justru memiliki tanda keistimewaan tersendiri. Ke-ummi-an itu tidak menghalanginya untuk berdakwah hingga berhasil merubah kondisi dunia, membentuk peradaban yang luhur yang memanusiakan manusia.

Baca juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Memang kondisi bangsa arab pada masa itu merupakan peradaban yang relatif minim pengetahuan dalam bidang menulis dan ini relatif wajar, karena mereka cenderung mengandalkan daya hafal dibanding membaca dan menulis. Bahkan mereka yang bisa menulis dan membaca dianggap sebagai oranag yang lemah daya hafalnya. Namun demikian, al-Qurthubi lagi-lagi menjelaskan bahwa ketidak mampuan Nabi saw untuk membaca dan menulis merupakan bagian dari kemukjizatan sehingga menjadi argumen kuat sebagai pembenar Al-Quran yang merupakan wahyu, bukan karangan Nabi Muhammad saw.

Apakah Rasul saw ummi hingga akhir hayat?

Meskipun ke-ummi-an Nabi saw merupakan rangkaian mukjizat-Nya. Bukan berarti ia selamanya akan seperti itu. Turunnya surat al-Alaq 1-5 menjadi pertanda Rasul mulai belajar membaca.  Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan bahwa dalam peristiwa turunnya wahyu pertama, Jibril memerintahkan dengan berulang-ulang, yang itu menunjukan bahwa Nabi memang tidak pernah membaca dalam bentuk apapun. Namun karena dituntun dengan berulang kali, akhirnya Nabi saw mulai terbiasa.

Meskpun demikian, tentang apakah ke-ummi-an Nabi saw hingga akhir hayat, beberapa mufassir memiliki beragam pandagan. Imam al-Suyuthi meskipun juga berpendapat bahwa ummi bermakna tidak bisa membaca dan menulis, ia juga menuqil riwayat dar Abdullah ibn ‘Utbah yakni:

عبد الله بن عتبَة عَن أَبِيه قَالَ: مَا مَاتَ النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم حَتَّى قَرَأَ وَكتب

“dari Abdullah bin Utaibah berkata: tidaklah Rasulullah saw meninggal kecuali beliau telah mampu membaca dan menulis”

Memang benar bila tugas Nabi menyampaikan risalahnya dan salahsatunya ialah dengan cara membacakan wahyu-wahyu yang ia terima dari Jibril. Namun itu tidak serta merta menghilangkan ke-ummi-an Nabi saw. Al-Qurthubi mengatakan bahwa saat Nabi membacakan ayat-ayat yang dimaksud bukan berarti membaca tulisan melainkan dalam bentuk hafalan. Ini juga sependapat dengan as-Shabuni yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diberi kelebihan dalam menghafal ayat Al-Quran.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 59: Bentuk Dukungan Rasulullah Terhadap Pemimpin dan Ulama

Adapun dalam hal menulis, Nabi lebih menunjuk para sahabatnya untuk menjadi “sekretaris”. Ini membuktikan bahwa ke-ummi-an Nabi Muhammad sudah ditetapkan hingga akhir hayatnya. Kemampuan tersebut telah dihilangkan sejak awal dan sebagai gantinya ialah daya hafal yang sangat tinggi yang ia miliki. Ini merupakan rangkaian skenario mukjizat yang membuktikan bahwa risalah yang dibawanya ia benar dari Allah. Wallahu a’lam[]

Jangan Pernah Berputus Asa: Tafsir Surat Az-Zumar Ayat 53

0
jangan berputus asa
jangan berputus asa (news.detik.com)

Pada fase tertentu dalam kehidupan, mungkin sebagian orang akan menghadapi berbagai macam masalah ataupun melakukan banyak kesalahan. Kadangkala masalah dan kesalahan tersebut membuat seseorang merasa ingin menyerah dan berputus asa, karena baginya sudah tidak ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya dan sudah terlambat untuk menyesal.

Merasa berputus asa dan menyesal bagi mereka yang sedang dirundung masalah atau melakukan kesalahan (dosa) adalah sesuatu yang lumrah dan manusiawi. Bahkan menyesal atas perbuatan dosa yang telah dilakukan merupakan tanda melekatnya keimanan di dalam hati seseorang. Jika seseorang melakukan dosa tanpa rasa penyesalan, maka patut dipertanyakan di mana keimanannya.

Meskipun demikian, penyesalan dan rasa berputus asa ada yang berlebihan tidaklah baik. Karena ini – bisa jadi – merupakan bisikan setan yang memerintahkan manusia untuk tenggelam dalam penyesalan dan keputusasaan, sehingga membuat mereka lupa untuk mengharap kepada Allah swt, bahwa rahmat dan karunia-Nya amat luas, jauh lebih luas dari murka dan siksanya.

Dengan demikian, siapapun, kapanpun dan dimanapun, manakala ia mendapatkan masalah hendaknya ia tidak berputus asa dan tenggelam dalam rasa frustrasi. Ia harus yakin bahwa akan ada jalan keluar dari setiap masalah. Di sisi lain, manakala seseorang melakukan kesalahan seperti berbuat dosa, hendaknya ia menyesali perbuatannya tersebut tanpa berlebih-lebihan apalagi sampai berputus asa dari rahmat dan ampunan Allah swt.

Tafsir QS. Az-Zumar Ayat 53: Jangan Berputus Asa

Berkenaan dengan hamba yang berlumur dosa dan melampaui batas, Allah Swt berfirman kepada mereka agar jangan pernah berputus asa dari rahmat-Nya. Mereka hanya perlu menyesali perbuatan dosa, berjanji tidak mengulanginya dan meminta ampunan kepada-Nya. Hal ini termaktub dalam QS. Az-Zumar ayat 53 yang berbunyi:

 قُلْ يٰعِبَادِيَ الَّذِيْنَ اَسْرَفُوْا عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوْا مِنْ رَّحْمَةِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Katakanlah, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.  (QS. Az-Zumar [39]: 53)

Baca juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Menurut Math‘am bin ‘Addiy, ayat ini turun kepada kamu kafir Quraish, terutama pemuka-pemuka mereka yang masuk Islam pasca penaklukan Mekah (fath makkah). Mereka adalah Suhail bin ‘Amr, Hakim bin Hazm, Safwan bin Umayyah, Abu Sufyan dan lain-lain (Tafsir Al-Qur’an/Tafsir al-Sam‘ani [4]: 475).

Mereka berkata, “Bagaimana mungkin kami bisa masuk Islam? Sesungguhnya nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Barang Siapa yang melakukan perbuatan syirik, berzina atau membunuh, maka dia akan binasa atau celaka.” Dan kami sungguh telah melakukan itu semua, bagaimana keadaan kami?” Kemudian turunlah QS. Az-Zumar Ayat 53.

Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan bahwa ayat ini merupakan janji Allah Swt kepada nabi Adam as pasca penurunannya ke dunia. Nabi Adam berkata: “Wahai Tuhanku, sesungguhnya engkau telah membuat Iblis mampu menguasaiku dan keturunanku, dan aku tidak sanggup membendungnya kecuali atas izin-Mu.”

Allah swt berfirman: “Wahai Adam, sesungguhnya setiap keturunanmu yang lahir akan ditemani oleh malaikat penjaga.”

Nabi Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah lagi.”

Allah Swt berfirman: “Pintu taubat akan senantiasa terbuka bagi keturunanmu, pintu itu tidak akan tertutup hingga hari kiamat.”

Nabi Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah lagi.”

Allah Swt berfirman: “Setiap kebaikan yang dilakukan keturunanmu akan dibalas sebanyak sepuluh kali lipat, sedangkan keburukan atau kejahatan hanya dibalas setimpal.”

Nabi Adam menjawab: “Wahai Tuhanku, tambahkanlah lagi.”

Allah Swt berfirman: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah…

Secara umum ayat di atas mengatakan bahwa sebaiknya manusia – yakni hamba-hamba Allah swt yang telah melakukan dosa – tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Jika mereka menyesali semua dosa tersebut dan mau bertaubat secara sungguh-sungguh, maka Allah swt akan mengampuninya. Karena Dia adalah Tuhan Yang Maha Pengampun terhadap dosa-dosa hamba-Nya dan Maha Penyayang kepada mereka.

Kata la taqnuthu pada ayat ini bermakna la tay‘asu, yakni janganlah berputus asa dari rahmat Allah Swt, karena rahmat-Nya jauh lebih luas dan besar daripada murka-Nya. Tidak berputus asa di sini bermakna bahwa seseorang menyesali semua perbuatan dosanya, bertaubat dengan sungguh-sungguh, dan memohon ampunan dan rahmat-Nya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah di Balik Musibah

Berdasarkan ayat di atas, semua dosa manusia dapat diampuni seandainya Allah Swt berkehendak. Namun dalam sebuah hadis dijelaskan bahwa ketika QS. Az-Zumar Ayat 53 turun, seorang laki-laki bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “Ya Rasulullah, bagaimana dengan dosa orang yang syirik?” kemudian nabi Saw diam sejenak dan laki-laki itu bertanya lagi, “bagaimana dengan dosa orang yang syirik?” Beliau menjawab, “Kecuali orang yang menyekutukan Allah Swt.”

Jika seseorang menelaah frasa ayat di atas secara cermat, maka ia dapat menemukan bahwa ada isyarat dari Allah Swt agar manusia tidak mencela pendosa. Karena Allah Swt pada konteks ayat ini memanggil mereka dengan panggilan hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, sebuah panggilan mesra dan penuh kasih dari-Nya, tanpa penindasan apalagi penghujatan.

Melalui panggilan tersebut, Allah seakan-akan berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas, Aku tahu bahwa kalian telah melakukan berbagai perbuatan dosa, baik disengaja ataupun tidak. Dosa-dosa kalian itu sangat banyak, sehingga kalian merasa kalian tidak pantas untuk menerima ampunan dari-Hu. Namun ketahuilah, hal itu tidaklah benar, ampunan dan karunia-Ku jauh lebih besar dari dosa kalian semua.”

“Oleh karena itu, jangan kalian berputus asa dari ramat-Ku dan teruslah memohon ampun kepada-Ku atas kesalahan-kesalahan kalian. Sesungguhnya Aku akan memaafkan segala dosa-dosa manusia sebanyak dan sebesar apapun sesuai keinginan-Ku. Dan ketahuilah bahwa Aku adalah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada semua makhluk di alam semesta.”

Dari QS. Az-Zumar Ayat 53 ini, kita juga belajar tentang psikologi dakwah Islam dalam perspektif Al-Qur’an, yakni mendahulukan cinta dan kasih serta kelembutan di atas segalanya. Pada aspek tertentu, kita memang harus ketat dan tegas. Namun di sisi lain, ketegasan tersebut jangan sampai membuat kita lupa bahwa agama Islam adalah agama yang mengutamakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Wallahu A’lam.

KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Kedekatan antara Gontor dengan Daarul Qur’an

0
KH. Abdullah Syukri Zakarsyi
KH. Abdullah Syukri Zakarsyi/ pwmu.co

Wafatnya Pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), KH. Abdullah Syukri Zarkasyi pada hari Rabu (21/10/2020) masih menyisahkan duka yang mendalam bagi bangsa Indonesia terlebih keluarga besar Pondok modern darussalam gontor. Pasalnya beliau merupakan guru bangsa, suri tauladan, inspirator serta motivator yang handal sehingga bisa membawa pondok modern khususnya gontor menjadi salah satu institusi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. 

Kyai Abdullah Syukri ini adalah putra pertama dari Kiyai Imam Zarkasyi, yang merupakan salah seorang dari Trimurti Pendiri Pondok Modern Darussalam Gontor. Pada tahun 1960, ia menamatkan Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI) dan melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN) hingga mendapatkan gelar Sarjana Muda tahun 1965. Kyai Abdullah Syukri adalah ulama besar jebolan Universitas Al-Azhar Kairo, meraih gelar Licence (Lc.) tahun 1976 dan Master of Art (MA) di tahun 1978.

Semasa hidup, pengalaman berorganisasi beliau cukup luas, antara lain menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Ponorogo, Ketua Badan Silaturrahmi Pondok Pesantren Jawa Timur sejak 1999 – sekarang, Ketua Forum Silaturrahmi Umat Islam Ponorogo sejak 1999 – sekarang, Ketua MP3A Depag (Majlis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama sejak 1999 – sekarang. “(Dan) Dewan Penasehat MUI Pusat,” dikutip dari website resmi Gontor pada Rabu (30/10/2020).


Baca juga: Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Al-Quran


Kiprah Kyai Abdullah Syukri Zarkasyi dalam bidang pendidikan tak dapat diragukan lagi, disamping kesibukannya sebagai pimpinan pondok beliau menyempatkan diri untuk menulis berbagai macam topik terkait pendidikan dan manajemen pesantren. Maka tak diragukan lagi jika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005 memberikan gelar Doctor Honoris Causa kepada kyai syukri atas dedikasi dan kontribusi beliau dalam bidang pendidikan yang telah menjadikan gontor sebagai salah satu role model yang ideal bagi lembaga pendidikan di Indonesia.

Kedekatan antara Gontor dengan Darul Qur’an

Darul Qur’an merupakan salah satu lembaga tahfidz yang didirikan oleh Ust. Yusuf Mansur pada tahun 2007 walaupun pendiriannya sudah dirintis sejak tahun 2003. Darul Qur’an merupakan Pondok Pesantren yang mengharmonikan antara pendidikan, lifeskill, sosial, dakwah, dan religi, disamping menjadikan hafalan Qur’an menjadi salah satu standar kualifikasi santri Darul Qur’an.


Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Menyikapi Penghinaan Terhadap Nabi SAW


Tidak disangka bahwa gontor khususnya Kyai Syukri mempunyai peran besar dalam pendirian lembaga tahfidz yang sudah mempunyai banyak cabang di seluruh Indonesia, hal tersebut dapat diketahui dari ucapan bela sungkawa atas wafatnya Kyai Syukri oleh Ust. Yusuf Mansur di akun instagram beliau.

“Kyai Syukri, sosok kyai yang suka kalo anak2 santrinya maju. Suka sekali. “Santri itu harus melebihi kyainya”, tuturnya saat mensupport anak2 didiknya, alumni2 Gontor, mengawali pendirian Daarul Qur’an, di tahun 2007. Motivasi yang luar biasa” tutur Ustadz Yusuf Mansur di akun instagramnya @yusufmansurnew, dikutip Jum’at (30/10/2020).

Selain itu, Ustadz Yusuf Mansur pun menyampaikan duka yang mendalam atas wafatnya Kiai Syukri. Pengakuan beliau bahwa, jika tidak ada Pondok Pesantren Gontor, maka tidak ada pula Pondok Pesantren Daarul Quran. “Bagi DQ (Daarul Quran), kalau nggak ada Gontor, dengan izin Allah, nggak ada DQ,” tegas beliau.


Baca juga: Muhammad Ali Ash-Shabuni, Begawan Tafsir Ayat Ahkam Asal Aleppo, Suriah


Hubungan dan kedekatan antara Gontor dan Daarul Qur’an dapat dilihat juga dari sambutan Ust. Yusuf Mansur dalam acara Silaturrahim Nasional Kyai dan Pimpinan Pesantren Alumni Gontor tahun 2016 dimana Daarul Qur’an menjadi tuan rumah acara tersebut dan menggratiskan hotelnya bagi para peserta silatnas. Beliau menuturkan bahwa Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an Tangerang yang didirikannya, juga dipimpin oleh alumnus Gontor yaitu Ahmad Jameel. Jadi, kami juga bagian dari keluarga besar Alumni Gontor. Wallahu a’lam []

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

0
dakwah Rasulullah yang penuh kasih sayang
dakwah Rasulullah yang penuh kasih sayang

Peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw seharusnya menjadi sarana bagi kita untuk mengungkap apa yang bisa dicontoh dari dakwah Rasulullah. Karena beliau adalah teladan yang paling baik untuk kita contoh dalam menyikapi kehidupan. Allah Swt berfirman,

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللّٰهِ اُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ ٢١

Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah. ( QS. Al-Ahzab [33]:21)

Ada banyak hal yang bisa kita contoh dari kehidupan Rasulullah, salah satunya adalah bagaimana sikap beliau dalam berdakwah dan menyampaikan kebenaran di tengah-tengah keburukan akhlak umat manusia. Dakwah untuk perubahan yang beliau lakukan di masyarakat jauh dari unsur-unsur kekerasan. Hal ini banyak diungkap dalam sejarah-sejarah Islam.

Dalam suatu riwayat pernah diceritakan, ketika Rasulullah Saw duduk bersama para sahabat, tiba-tiba datang seorang pendeta yang bernama Zaid bin Sa’nah masuk menerobos shaf para sahabat. Sesampainya di depan ia langsung menarik kerah baju Rasulullah dengan keras lantas disusul dengan kata-kata kasar menuntut Rasulullah untuk membayar hutang beliau.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Nabi Muhammad Saw Adalah Suri Tauladan Bagi Manusia

Seketika Umar bin Khattab langsung berdiri menghunus pedang. Melihat sikap Umar yang sudah marah, Rasulullah menegur seraya berkata “bukan dengan perilaku kasar seperti itu aku menyerumu. Aku dan Yahudi ini membutuhkan perilaku lembut. Perintahkan kepadanya agar menagih hutang dengan sopan dan anjurkan kepadaku agar membayar hutang dengan baik.”

Mendengar perkataan Rasulullah tersebut, pendeta Yahudi itu berkata, ‘Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, aku datang kepadamu bukan untuk menagih hutang. Aku sengaja datang untuk menguji Akhlakmu. Aku telah membaca sifat-sifatmu dalam kitab Taurat. Semua sifat itu telah terbukti, kecuali satu yang belum aku coba, yaitu sikap lembut saat marah. Dan aku baru membuktikannya sekarang. Oleh karena itu, aku bersaksi tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad adalah utusan Allah. Adapun piutang yang ada padamu, aku sedekahkan untuk orang muslim yang miskin”.

Cerita di atas menggambarkan bagaimana kelembutan sikap Nabi ketika menghadapi kekerasan sikap orang Yahudi, sehingga hatinya tersentuh dan mengakui kebenaran Islam. Seperti inilah contoh dakwah Rasulullah yang seharusnya kita terapkan di zaman milenial, yakni menyerukan kebenaran tidak harus dengan menggunakan kata-kata kasar. Bahkan jika kita perhatikan kisah dalam Al-Quran, kepada seorang Fir’aun pun Allah Swt menyeru kepada Nabi Musa dan Nabi Harun a.s untuk menghadapinya dengan kata-kata dan ucapan yang lemah lembut. Allah Swt berfirman,

اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى

“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”. (QS. Taha:43-44)

Baca Juga: Hinaan terhadap Nabi Muhammad SAW yang Diabadikan dalam Al-Quran

Sikap ini diajarkan pula oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw, seperti dalam firman-Nya

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Al-Imran: 159)

Kedua ayat di atas menerangkan bagaimana sikap seorang pemimpin ketika melihat masyarakatnya melakukan suatu kesalahan. Di sisi lain juga merespon bagaimana seharusnya masyarakat bersikap ketika melihat seorang pemimpin melakukan kesalahan. Itulah dakwah Rasulullah.

Contoh lain yaitu dalam menyuarakan aspirasi atau kritikan kepada pemerintah, misal mahasiswa Indonesia yang dikenal dengan aksi demo. Aksi demonstrasi di Indonesia sering berujung dengan tindakan kekerasan antara aparat keamanan dan mahasiswa saling pukul memukul, bahkan sampai merenggut nyawa.

Padahal, aksi demo sebenarnya dilakukan untuk mengkritik kesalahan yang dibuat dalam aturan pemerintah untuk kemudian dapat dikoreksi demi kemaslahatan masyarakat luas. Namun, karena sikap  kasar, permasalahan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara yang baik-baik  menjadi tambah pelik dan menyebabkan pertengkaran antara kedua belah pihak.

Baca Juga: Tuntunan Al-Quran dalam Menyikapi Penghinaan Terhadap Nabi SAW

Oleh karena itu, dari pribadi Rasulullah kita bisa meniru bahwa kesalahan yang diperbuat tidak harus disikapi dengan kekerasan. Sebaliknya, Rasulullah mengajak orang yang melakukan kesalahan  dengan bermusyawarah, dan merundingkan jalan keluar dari masalah itu dengan lemah lembut. Seperti demikian itulah dakwah Rasulullah. Jika sikap seperti ini dapat kita contoh, bukan tidak mungkin kehidupan dalam konteks sosial Indonesia yang sangat beragam dapat hidup berdampingan dengan aman.

Persoalan yang muncul adalah tidak semua orang mampu mencontoh sikap dan dakwah Rasulullah. Kebanyakan dari mereka yang mengaku  menjalankan sunnah beliau, pun masih juga menyampaikan dakwah kebenaran dengan cara yang kasar. Hal ini tentu sudah bertolak belakang dengan bagaimana sikap Rasulullah seperti yang dijelaskan dalam Al-Quran.

Dan pada kesimpulannya, kita bisa menentukan sendiri cara yang akan ditempuh dalam berdakwah dan menyelesaikan masalah, bersikap keras dan tegang, atau lembut dan tenang. Tentunya sebagai pribadi yang terpelajar, kita tahu mana yang terbaik.

Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 23-25

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Setelah pada pembahasan yang lalu dijelaskan salah satu contoh mengenai ayat-ayat Allah swt, Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 23-25 menindak lanjutinya dengan tantangan bahwa jika masih ada keraguan terdahap ayat-ayat Allah swt, maka cobalah buat semisal ayat-ayat Allah swt yang ada dalam Alquran.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 22


Tantangan awal yang dikemukakan dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 23-25 adalah membuat satu surat sebagaimana surat-surat dalam Aquran. Namun Allah swt menegaskan bahwa orang-orang yang ingkar tersebut tidak akan mampu membuatnya. Tantangan tersebut hanya merupakan sindiran atas ketidak mampuan mereka.

Setelah itu Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 23-25 berbicara mengenai kabar gembira. Kabar ini hanya diperuntukkan bagi orang-oang yang beriman kepada ayat-ayat Allah swt, yaitu orang-orang mukmin yang beramal dengan dilandasi keimanan. Kerena syarat amal saleh adalah iman.

Ayat 23

Dalam ayat ini Allah swt menyatakan: Jika kamu sekalian masih ragu-ragu tentang kebenaran Alquran dan mendakwakan Alquran buatan Muhammad, cobalah buat satu surah saja semisal (ayat-ayat Alquran itu ).

Kalau benar Muhammad yang membuatnya, niscaya kamu tentu sanggup pula membuatnya karena kamu pasti sanggup melakukan segala perbuatan yang sanggup dibuat oleh manusia. Ajak pulalah berhala-berhala yang kamu sembah dan pembesar-pembesarmu untuk bersama-sama dengan kamu membuatnya, karena kamu mengakui kekuasaan dan kebesaran mereka.

Kemudian Allah menegaskan, jika kamu benar dalam pengakuanmu itu, tentu kamu sanggup membuatnya, tetapi kamu adalah orang-orang pendusta. Alquran itu benar-benar diturunkan dari Allah, karena itu mustahil manusia dapat membuatnya. Ayat ini menunjukkan bahwa Alquran itu adalah mukjizat yang paling besar bagi Muhammad saw.

Ayat 24

Ayat ini menegaskan bahwa semua makhluk Allah tidak akan sanggup membuat tandingan terhadap satu ayat pun dari ayat-ayat Alquran. Karena itu hendaklah manusia memelihara dirinya dari api neraka dengan mengikuti petunjuk-petunjuk Alquran. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah swt:

قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا

Katakanlah, ”Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Alquran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.” (al Isra′/17: 88)


Baca juga: Sejarah Baru! KH Sya’roni Ahmadi, Gus Mus dan Sembilan Kaligrafer akan Tulis Ulang Mushaf Menara Kudus


Ayat 25

Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyampaikan “berita gembira” kepada orang-orang yang beriman. Sifat-sifat berita gembira itu ialah berita yang dapat menimbulkan kegembiraan dalam arti yang sebenarnya bagi orang-orang yang menerima atau mendengar berita itu.

“Berita gembira” hanya ditujukan kepada mereka yang bekerja dan berusaha dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan yang digariskan oleh agama. Karena itulah Allah menyuruh Nabi Muhammad menyampaikan berita gembira itu kepada mereka yang beriman dan berbuat baik.

Iman yang dihargai Allah adalah iman yang hidup, yakni iman yang dibuktikan dengan amal kebajikan. Sebaliknya, Allah tidak menghargai amal apabila tidak berdasarkan iman yang benar.

“Amal” (perbuatan) ialah mewujudkan suatu perbuatan atau pekerjaan, baik berupa perkataan, perbuatan atau pun ikrar hati, tetapi yang biasa dipahami dari perkataan “amal” ialah perbuatan anggota badan. Amal baik mewujudkan perbuatan yang baik seperti yang telah ditentukan oleh agama.

Pada ayat di atas Allah swt menyebut perkataan “beriman” dan “berbuat baik”, karena “berbuat baik” itu adalah hasil daripada “iman”. Pada ayat di atas ini juga disebut balasan yang akan diterima oleh orang-orang yang beriman, yaitu surga dengan segala kenikmatan yang terdapat di dalamnya.

Surga” menurut bahasa berarti “taman” yang indah dengan tanam-tanaman yang beraneka warna, menarik hati orang yang memandangnya. Yang dimaksud dengan “surga” di sini tempat yang disediakan bagi orang yang beriman di akhirat nanti.

Surga termasuk alam gaib, tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, hanya Allah saja yang mengetahuinya. Yang perlu dipercaya adalah bahwa surga merupakan tempat yang penuh kenikmatan jasmani dan rohani yang disediakan bagi orang yang beriman. Bentuk kenikmatan itu tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan duniawi.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 26


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Ibrahim Ayat 1: Al-Quran sebagai penerang dari kegelapan

0
Surat Ibrahim Ayat 1
Surat Ibrahim Ayat 1

Artikel ini akan mengulas tentang penafsiran surat Ibrahim Ayat 1. Ayat ini menjelaskan bahwa Al-Quran merupakan tuntunan yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya. Allah Swt berfirman:

الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ

‎“Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu ‎supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya ‎terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan ‎Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Ibrahim: 1)‎

Imam Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, ketika ‎sampai pada surat Ibrahim Ayat 1 tepatnya pada kalimat litukhrija al-nas min al-dzulumat ila al-nur di atas, menjelaskan bahwa di antara fungsi al-Qur’an adalah ‎mengeluarkan seseorang dari gelapnya kekafiran serta sesatnya kebodohan ‎menuju terangnya cahaya keimanan dan ilmu pengetahuan.‎

Al-Qurthubi mengilustrasikan kekafiran dan kebodohan dengan ‎kegelapan dan kesesatan. Sedangkan Iman dan ilmu pengetahuan ‎digambarkan sebagai cahaya yang terang benderang.‎

Baca Juga: Pro Kontra Munasabah Al-Quran dan Cara Menyikapinya

Sungguh tepat perumpamaan yang digambarkan oleh al-Qurthubi. ‎Orang-orang kafir adalah mereka yang menutup diri dari cahaya kebenaran, ‎sehingga mereka tetap berada dalam kegelapan.

Mereka abaikan semua ‎keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an. Mereka larut dalam keangkuhan ‎dan kesombongan. Mereka terlelap dalam pelukan nafsu. Mereka tenggelam ‎dalam keyakinan yang menyengsarakan.‎

Al-Qurthubi juga mengilustrasikan kebodohan dengan kesesatan. Ya, ‎orang-orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan adalah orang-orang yang ‎akan tersesat. Mereka tidak mengetahui arah dan tujuan hidup di dunia ini.

‎Mereka berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas. Mereka melangkah tanpa ‎berpikir. Mereka bertindak tanpa mempertimbangkan resiko yang akan ‎didapatnya. Merekalah orang-orang yang akan tersesat. Jika dibiarkan, maka ‎tidak menutup kemungkinan, mereka pun akan menyesatkan orang lain.‎

Dalam kondisi seperti inilah, seseorang memerlukan petunjuk ‎‎(hidayah) yang akan membimbing, menuntun serta mengantarkannya dari ‎kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, dari kesesatan menuju ‎kebenaran. Dan petunjuk itu adalah al-Qur’an.‎

Al-Qur’an menegaskan dirinya sebagai hudan li al-nas, petunjuk bagi ‎umat manusia. Artinya, bahwa al-Qur’an adalah pedoman hidup yang berisi ‎tuntunan serta ajaran yang akan menuntun setiap manusia menuju jalan ‎yang terang benderang.

Al-Qur’an, sebagaimana dinyatakan dalam surat Ibrahim ayat 1 di atas, akan melepaskan manusia dari kegelapan ‎menuju cahaya, dari kesesatan menuju kebenaran, dari ketidakmenentuan ‎menuju kepastian, dari kesengsaraan menuju kebahagiaan.‎

Baca Juga: Amaliyah Ayat-Ayat Al-Quran Untuk Mengobati Penyakit Demam

Di era modern sekarang ini, ketika seseorang telah mencapai ‎kesuksesan duniawi, tidak jarang ia merasakan kegamangan hidup dan ‎kegersangan jiwa. Hal ini disebabkan karena tidak seimbangnya antara ‎capaian duniawi yang bersifat materi-jasadi dengan capaian ukhrawi yang ‎bersifat spiritual-rohani. Dari sisi materi mereka tidak kekurangan, bahkan ‎berkelimpahan. Sementara dari sisi ruhani mereka kosong, kering kerontang.‎

Kekosongan ruhani inilah yang pada gilirannya membuat hati mereka ‎galau, batin mereka gelisah, jiwa mereka resah. Mereka pun kemudian mencari ‎alternatif jawaban untuk masalah yang tengah dihadapinya.

Di antara mereka ‎ada yang mendatangi orang-orang ‘pintar’ atau sering disebut dengan ‘guru ‎spiritual’, ‘penasehat spiritual’ untuk menanyakan jawaban atas persoalan ‎yang dihadapinya. Ada juga yang mencari jawaban dengan membaca buku-‎buku motivasi. Bahkan, tidak sedikit yang mengalihkan perhatian atas ‎persoalan yang dihadapinya dengan menghabiskan hari-harinya di tempat-‎tempat hiburan.‎

Padahal, jika mereka mau merenung sejenak, maka akan didapati ‎jawaban atas persoalan yang dihadapinya terletak pada ajaran serta tuntunan ‎agama. Dalam hal ini, al-Qur’an menjadi solusi yang tepat atas setiap ‎persoalan yang tengah dihadapi oleh setiap orang. ‎

Al-Qur’an akan menunjukkan jalan keluar atas setiap persoalan yang ‎dihadapi oleh manusia. Al-Qur’an akan menuntun, membimbing dan ‎mengarahkan manusia untuk keluar dari masalah.

Al-Qur’an menjadi pelita ‎yang akan menerangi jalan orang-orang yang tengah dirundung masalah, ‎ditimpa kesulitan dan dililit persoalan. Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai ‎buku panduan kehidupan, maka ungkapan “habis gelap terbitlah terang” akan ‎benar-benar terwujud.‎ Wallahu A’lam.

Cara Menangkal Hoaks (Berita Bohong) Menurut Pandangan Al-Quran

0
Hoaks (berita bohong)
Hoaks (berita bohong)

Hidup di era post-truth seperti sekarang ini berita bisa diakses secepat sentuhan jari. Sejalan dengan itu, kecanggihan alat komunikasi juga berdampak pada objektivitas berita, yang sulit dicari ketika hoaks (berita bohong) banyak bermunculan di media massa. Sebagai imbasnya, kerap timbul kerusuhan yang bahkan nyawa sebagai taruhannya. Untuk menangkal terjadinya hal itu, kroscek berita adalah salah satu tips jitu.

Dalam Al-Quran, upaya kroscek berita diistilahkan dengan tabayyun, sebagaimana dalam QS al-Hujurat [6] berikut ini:

ياآيها الذين آمنوا إن جاءكم فاسق بنبإ فتبينوا أن تصيبوا قوما بجهالة فتصبحوا على ما فعلتم نادمين ﴿٦

Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu

Ayat tersebut mengandung perintah kepada orang mukmin untuk tidak mempercayai berita sebelum mencari kebenarannya, agar tidak mencelakakan orang lain. Hal ini diperintahkan agar tidak ada sesal di kemudian hari.

Menurut Ali al-Shabuni, tabayyun merupakan sinonim dari tathabbuts, yang berartimencari kejelasan dan kebenaran. Dalam konteks ini diartikan dengan perintah untuk mencari kebenaran suatu berita hingga paham mengenai hal-ihwal berita itu.

Baca Juga: Mengenal Shafwah At-Tafasir Karya Ali Ash-Shabuni

Mencari kebenaran berita dapat dilakukan dengan meninjau sumber berita tersebut, apakah otoritatif atau tidak. Dalam ayat di atas, sumber berita yang wajib ditinjau kebenarannya diistilahkan dengan fasik.

Secara bahasa, fasikmerupakan kata sifat dari fasaqa. Quraish Shihab dalam al-Mishbah menyebutkan, fasik pada mulanya digunakan untuk menyebut buah yang telah busuk, kemudian dikiaskan dengan orang yang membangkang agama karena melakukan dosa besar atau sering melakukan dosa kecil. Dalam Lisanul Arab, kata fasik memiliki makna antara lain keluar dari kebenaran dan mendurhakai perintah Allah.

Seperti dalam QS al-Kahfi [50]:

ففسق عن أمر ربه ﴿٥٠

maka ia mendurhakai perintah Tuhannya.

Selanjutnnya, fasik dalam konteks ayat itu dapat diartikan dengan segala berita yang sumbernya tidak otoritatif dan substansinya tidak berimbang.

Sementara itu, naba’ ialah kabar yang substansinya penting, memiliki nilai informatif, atau dapat disebut dengan berita. Sebagaimana dalam QS al-Naml [22] dan QS Sad ayat [67]:

وجئتك بسبإ بنبإ يقين

Aku datang kepadamu dari negeri Saba’ dengan membawa suatu berita yang meyakinkan

قل هو نبأ عظيم ٦٧

Katakanlah, “itu (Alquran) adalah berita besar

Bila melihat kronologi turunnya, ayat 6 surat al-Hujurat ini merespons tindakan menyimpang seorang sahabat bernama Walid bin Uqbah yang diutus Nabi untuk memungut zakat dari Bani Mustaliq.

Dalam Asbabun Nuzul karya al-Wahidi diceritakan bahwa sebelum sempat menemui Bani Mustaliq, Walid berprasangka buruk kepada Bani Mustaliq, yang meruapakan musuh moyangnya. Karena itu, ia memutuskan untuk kembali ke Nabi dan lapor bahwa Bani Mustaliq enggan menyerahkan zakat dan mengancam akan menyerangnya.

Nabi kemudian mengutus pasukan untuk menyergap Bani Mustaliq. Tetapi sebelum utusan ini berangkat, ayat ini turun, memerintahkan untuk menyaring berita bagi kaum muslim, sebelum mereka mengambil sikap.

Walid dalam konteks ini merupakan sumber yang tidak otoritatif karena berita yang ia sampaikan tidak sesuai dengan fakta. Bani Mustaliq pada kenyataannya tidak memiliki maksud negatif kepada Walid. Sehingga, upaya kroscek (tabayyun) dalam kondisi seperti ini adalah hal yang harus dilakukan, karena bila tidak, dapat memicu konflik antar umat Islam.

Melarang penyebaran hoaks (berita bohong) merupakan keniscayaan bagi Islam, karena Fitrah Islam adalah menyerukan kebenaran dan menumpas kebatilan. Kemudian QS al-Hujurat [6] ini turun untuk memberi pedoman bagi kita tentang bagaimana sikap kita ketika dihadapkan dengan berita yang terindikasi mengandung kebohongan.

Sikap itu dapat ditunjukkan dengan meninjau ulang sumber berita dan konten yang disampaikannya. Tanpa ada pedoman ini, manusia akan saling berbuat celaka kepada sesama. Hanya dengan menyebar berita yang tak sesuai, keresahan dan kerusuhan akan menyemai. Maka tak berlebihan, bila Nabi mengkategorikan hoax ini sebagai salah satu dosa besar. Wallahu a’lam []