Beranda blog Halaman 71

Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi (Bagian 1)

0
Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Cahaya Sebagai Esensi Ilahi
Tafsir Surah Alnur [24]: 35; Allah Adalah “Cahaya di Atas Cahaya”

Dalam penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan dunia, baik barat maupun timur, telah terjadi perdebatan tentang hal ihwal alam semesta. Pertanyaan bagaimana asal muasal dunia ini ada? Apakah bumi mengorbit pada matahari atau sebaliknya? Dan seterusnya. Perdebatan itu kemudian sampai pada pembahasan tentang asal mula “cahaya”, bagaimana hakikat cahaya itu. Dan pada ratusan tahun setelahnya, di masa kejayaan Islam, muncullah ilmuwan besar Islam bernama al-Ghazali.

Dalam bukunya, Misykat al-Anwar, al-Ghazali membahas secara detail mengenai cahaya, tingkatan-tingkatannya, dan sebagainya. Hakikatnya sebenarnya bertumpu pada yang Haq, yakni Allah Swt. Dia adalah hakikat cahaya. Dari pada itu, Alquran juga membahas tentang “nur. Maka dalam artikel ini, dipaparkan beberapa pendapat mufasir terkait penafsiran surah Alnur [24]: 35.

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (1)

Ayat

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لا شَرْقِيَّةٍ وَلا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ نُورٌ عَلَى نُورٍ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat (nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Pendapat Mufasir

 اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ

Secara bacaan atau qira’at, menurut para ulama, kata “نُورُ” dengan “نَوَّرَ” menggunakan tasydid. Dalam kaidah nahwu, kata itu berbentuk  fi’il madhi yang bermakna lampau (telah terjadi). Jadi, Allah menciptakan cahaya seperti pada matahari, bulan, bintang dan lainnya sebagai penerang semesta. Sebagaimana juga cahaya dalam konteksnya adalah petunjuk Allah kepada jalan yang lurus (shirat al-mustaqim) dengan Alquran, Rasul dan agama-Nya. (Abdul Qadir, Tafsir Ayat al-Ahkam, 271)

Baca Juga: Tafsir Surah An-Nur Ayat 35 (2)

Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi, yang dikenal dengan Imam Jalalain, menafsirkan beberapa kata penting dalam ayat tersebut. Pertama, dijelaskan bahwa kata “nur” itu adalah perwujudan dari matahari dan bulan sebagai penerang bagi langit dan bumi; pada siang dan malam hari. Kedua, dikatakan juga bahwa “nur” itu adalah penyifatan dari Allah, Zat yang mempunyai cahaya itu sendiri. Namun, sifat kecahayaan Allah diumpamakan kepada yang riil, yang tampak oleh mata. (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain al-Muyassar, 354)

Langit dan bumi adalah bukti kekuasaan-Nya yang nyata, seperti yang tampak pada surah Albaqarah [2]: 257 yang artinya “Allah adalah Tuhan bagi mereka yang iman, Ia keluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya yang terang”. Sebagai cahaya itu sendiri, Allah akan menerangi siapa yang iman dan bertakwa. Mereka akan dilindungi dari sesatnya kegelapan (al-bathil) menuju kebenaran yang terang (al-haq).

“Nur” Juga Bermakna Cahaya Hidayah

Lalu, mengapa kata “nur” dinisbatkan pada langit dan bumi? Setidaknya az-Zamakhsyari menyebutkan ada dua alasan: Pertama, karena keduanya adalah simbol kemulyaan dan keagungan. Kedua, karena penduduknya (objek cahaya) mendapat sinar dari cahaya itu, ini seperti yang ada dalam keterangan Tafsir al-Kasysyaf. (az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf, 731)

Hal itu juga sependapat dengan al-Maraghi dalam tafsirnya, namun lebih lanjut beliau menambahkan bahwa cahaya atau hidayah (petunjuk) itu berupa tanda-tanda yang ditampakkan dalam semesta alam dan Alquran yang diturunkan kepada utusan-Nya, yakni Nabi Muhammad Saw. (Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, 107)

Baca Juga: Wujud Peran Cahaya Allah dalam Penafsiran Surah An-Nur Ayat 35

Secara sederhana, cahaya bisa diartikan sebagai makna sebenarnya atau sebagai hidayah Allah Ta’ala. Keduanya sama-sama benar jika merujuk pada matahari, misalnya. Setiap detik, matahari tiada henti untuk mengalirkan manfaatnya kepada bumi. Dan Allah menciptakannya memang untuk kemaslahatan makhluk ciptaannya; manusia, hewan, tumbuhan dll. Maka untuk mensyukuri segala nikmat yang diperoleh dari matahari, seharusnya semakin meningkatkan iman dan takwa kepada Allah Ta’ala, sebagai Zat yang mencipta.

Wallahu a’lam.

Preposisi Ba’ dalam Ayat-Ayat tentang Penghuni Surga

0
makna preposisi ba' dalam ayat tentang penghuni surga
makna preposisi ba' dalam ayat tentang penghuni surga

Salah satu mukjizat Alquran yaitu keindahan bahasa dan sastranya. Selain itu, Alquran, dari segala sisinya sarat dengan kandungan ilmu yang tidak akan habis dibahas. Jangankan surah, ayat, bahkan pada satu huruf saja sering kali bisa melahirkan kajian dan ilmu yang luas dan mendalam.

Dalam ayat-ayat tentang penghuni surga, preposisi ba’ menjadi sorotan dan objek kajian para ulama. Ayat-ayat tersebut antara lain terdapat dalam surah an-Nahl ayat 32:

الَّذِيْنَ تَتَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ طَيِّبِيْنَ ۙيَقُوْلُوْنَ سَلٰمٌ عَلَيْكُمُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“(yaitu) orang yang ketika diwafatkan oleh para malaikat dalam keadaan baik, mereka (para malaikat) mengatakan (kepada mereka), “Salamun ‘alaikum, masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.”

Juga terdapat dalam surah az-Zukhruf ayat 72:

وَتِلْكَ الْجَنَّةُ الَّتِيْٓ اُوْرِثْتُمُوْهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Dan itulah surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal perbuatan yang telah kamu kerjakan.”

Serta masih banyak ayat-ayat yang setema, yang oleh ditemukan bahwa preposisi ba’ dalam lafaz bima kuntum ta’malun memiliki rahasia dan makna yang mendalam.

Baca Juga: Cara Agar Berkumpul Bersama Keluarga di Surga

Makna Ba’ dalam Ayat

Berdasarkan hasil kajian para ulama, ayat-ayat Alquran yang menunjukkan perkataan Allah kepada penghuni surga dengan penghuni neraka tidak sama. Ini terlihat dari ada dan tidak adanya preposisi ba’ dalam ayat.

Kepada penghuni surga, Allah menggunakan preposisi ba’ dalam ayat-ayat tentang penghuni surga sebagaimana contoh ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Di antara ulama yang membahas hal ini adalah Ibnu ‘Asyur. Beliau berkomentar tentang surah ath-Thalaq ayat 16, ayat Alquran tentang perkataan Allah kepada penghuni neraka,

اِصْلَوْهَا فَاصْبِرُوْٓا اَوْ لَا تَصْبِرُوْاۚ سَوَاۤءٌ عَلَيْكُمْۗ اِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ

“Masuklah ke dalamnya (rasakanlah panas apinya); baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”

Lafaz ma pada ayat di atas tidak dibarengi dengan preposisi ba’. Hal ini menunjukan bahwa balasan di neraka setimpal dengan perbuatan kejahatan seseorang. Berbeda dengan ayat setelahnya yang terdapat dalam surah ath-Thalaq ayat 19 yang membahas perkataan Allah kepada penghuni surga,

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۙ

“(Dikatakan kepada mereka), makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan.”

Bahwa penggunaan huruf ba’ dalam kalimat bima kuntum ta’malun menunjukan bahwa amalan seseorang di dunia tidak akan sebanding dengan balasan surga yang Allah berikan. Oleh karena itulah, menurut Ibnu ‘Asyur, tidak digunakannya preposisi ba’ dalam surah ath-Thalaq ayat 16 menunjukan bahwa balasan di neraka disesuaikan dengan kadar perbuatan zalim seseorang di dunia. Artinya, Allah tidak menambah siksanNya, berbeda dengan balasan Allah kepada penghuni surga.

Inilah di antara bukti bahwa masuk surga itu adalah karunia dan rahmat Allah. Tentang surga yang tidak sebanding dengan amal perbuatan manusia, misalnya terdapat hadis Rasulullah saw berikut, “dua rakaat sebelum subuh lebih baik dari pada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim). Pengerjaan salat dua rakaat yang dalam hitungan menit lalu mendapat ganjaran yang lebih baik dari pada dunia dan seisinya. Jelaslah di sini bahwa ganjaran surga tidak ada bandingannya dengan amalan seseorang. Berbeda dengan balasan penghuni neraka yang disesuaikan dengan perbuatannya, tidak ada tambahan.

Baca Juga: Bidadari Surga dan Esensi Ganjaran Ukhrawi

Perbandingan Preposisi Ba’ dalam Ayat dan Hadis tentang Masuk Surga

Tentang masuk surga dengan rahmat dan karunia Allah, terdapat dalam sebuah hadis yang banyak pula dikaji para ulama. Ada banyak redaksi hadis yang menyinggung pembahasan ini. Diantaranya terdapat sebuah hadis dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda:

قَارِبُوا وسَدِّدُوا، واعلَمُوا أَنَّه لَن يَنجُو أَحَد مِنكُم بِعَمَلِهِ» قالوا: ولا أنت يا رسول الله؟ قال: «ولاَ أَنَا إِلاَّ أَن يَتَغَمَدَنِي الله بِرَحمَة مِنْه وَفَضل

“Biasakanlah kalian dalam mendekatkan diri kepada Allah dan berpegang teguhlah kepada keyakinan kalian. Dan ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak seorang pun dari kalian yang selamat karena amalnya.” Mereka bertanya: “Tidak juga engkau, wahai Rasulullah? beliau menjawab: “Tidak juga aku, kecuali bila Rabbmu melimpahkan rahmat dan karunia padaku.” (HR. muslim no. 5041).

Hadis di atas hendaknya tidak dimaknai tekstual, yang seakan-akan amalan tidak memiliki nilai apa-apa. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menyimpulkan tiga penafsiran mengenai hadis di atas: diperolehnya petunjuk untuk melakukan hal yang baik menunjukan bentuk dari rahmat Allah; seseorang yang sudah taat, berhak mendapatkan rahmat Allah; dan sebab masuk surga adalah murni karena rahmat Allah, sedangkan amal perbuatan manusia untuk menentukan kadar tingkatan surga.

Banyak para ulama yang mengkompromikan hadis di atas dengan ayat-ayat masuk surga (khususnya yang terdapat kalimat bima kuntum ta’malun) dengan mengkaji makna huruf ba’. Dalam kalimat bima kuntum ta’malun, ba’ yang digunakan adalah ba’ as-sabab, sedangkan ba’ dalam hadis la yadkhulu al jannata ahadun bi’amalihi, ba’ yang digunakan adalah ba’ al-‘iwadh. (Majmu’ al-Fatawa, 1/217).

Yang dimaksud ba’ as-sabab bermakna sebab, bahwa Allah memasukan seseorang ke dalam surga disebabkan amalnya. Sedangkan yang dimaksud ba’ al-‘iwadh bermakna balasan, bahwa seseorang tidak akan masuk surga dengan amal, maksudnya amal tidak bisa membayar surga. Surga Allah terlalu sempurna, misalnya sepert balasan dua rakaat fajar.

Kesimpulannya, penggunaan preposisi ba’ dalam ayat-ayat masuk surga menunjukan bahwa balasan amal saleh tidaklah cukup sebagai nilai tukar untuk membayar surga. Artinya, surga tidaklah sebanding dengan amalan saking terlalu sempurnanya balasan surga. Berbeda dengan ayat-ayat penghuni neraka yang tidak menggunakan preposisi ba’ dalam ayat yang menunjukan balasannya setimpal, tidak ada tambahan sebagaimana balasan surga, balasan di neraka lebih kepada prinsip adil dan setakar.

Selain itu, preposisi ba’ dalam ayat masuk surga juga dibandingkan dengan preposisi ba’ dalam hadis tentang masuk surga dengan rahmat Allah. Preposisi ba’ dalam ayat-ayat masuk surga menunjukan ba’ as-sabab, sedangkan dalam hadis menunjukan ba’ al-‘iwadh. Keduanya tidak bertentangan dan bisa dikompromikan, bahwa masuk surga adalah disebabkan rahmat Allah, dan sebab paling banyak untuk meraih rahmat Allah adalah amal saleh. Besar kecilnya rahmat Allah tergantung kualitas dan kuantitas amal saleh seseorang.

Wallah a’lam

Cara Melejitkan Kualitas Puasa: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 200

0
sabar sebagai cara melejitkan kualitas puasa
sabar sebagai cara melejitkan kualitas puasa

Ibadah puasa pada intinya adalah perbuatan menahan diri dari melakukan sesuatu yang merusak. Seorang yang berpuasa dididik untuk mengendalikan diri secara fisik, moral dan spiritual. Secara fisik, seseorang dikondisikan untuk tidak makan, minum, dan berhubungan intim. Secara moral, seseorang dicegah untuk tidak mengganggu, menghina, dan menyalahkan orang lain. Sementara secara spiritual, jiwa seseorang ditempa untuk tidak melakukan kemaksiatan kepada Allah.

Seseorang yang berpuasa melakukan dua hal dalam waktu bersamaan. Di satu sisi menahan untuk melakukan perbuatan yang destruktif, di sisi lain meneguhkan amalan yang konstruktif. Ibadah puasa yang dipraktikkan secara lengkap dan tepat akan membawa pelakunya menjadi orang yang bertakwa.

Untuk melejitkan kualitas puasa di bulan Ramadan, surah Ali Imran ayat 200 berisi informasi tentang cara mencapai hal tersebut.

Surah Ali Imran Ayat 200

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱصْبِرُوا۟ وَصَابِرُوا۟ وَرَابِطُوا۟ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung.

Sekilas, ayat ini mengandung seruan kepada orang beriman untuk mengamalkan empat hal: iṣbirū, ṣābirū, rābiṭū dan ittaqū agar tufliḥūn. Lalu, apa relasi antara kandungan ayat ini dengan ibadah puasa?

Baca Juga: Empat Aspek Penting dalam Tadabur Ayat tentang Puasa Ramadan

Puasa dan Kesabaran

Jika puasa (ṣaum) bermakna menahan (al-imsāk), maka makna sabar (ṣabr) yang tersusun dari shad, ba’ dan ra’ berkisar pada tiga hal: menahan, ketinggian sesuatu dan sejenis batu. Quraish Shihab menjelaskan dari makna pertama lahir makna bertahan/konsisten, dari makna kedua lahir kata ṣubr yang berarti puncak sesuatu, dan dari makna ketiga muncul kata ṣubrah yang berarti batu yang kukuh lagi kasar, atau potongan besi. (Al-Misbah, Jil. 2, h. 322)

Seseorang yang bersabar berarti dia berhasil menahan dirinya dengan bantuan kekukuhan jiwa dan mental baja untuk mencapai ketinggian yang diharapkan. Pun demikian dengan seseorang yang berpuasa, dia akan menahan dirinya atas sesuatu yang merusak agar mendapat ketakwaan.

Relasi yang saling terpaut antara puasa dan sabar terlihat jelas. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Mereka yang berpuasa menjalankan sebagian bentuk sabar dan mereka yang bersabar mengamalkan sebagian bentuk puasa. Seseorang yang berpuasa sekaligus bersabar tidak hanya melakukan aktivitas menahan, tetapi dia menjadikan jiwanya kukuh untuk menggapai ketinggian takwa.

Baca Juga: Surah Albaqarah Ayat 186: Anjuran Berdoa Ketika Puasa Ramadan

Tiga Ragam Sabar

Puasa yang dibarengi sabar memiliki kualitas yang melejit. Apalagi kesabaran yang dilakukan mencakup 3 ragam sebagaimana dalam QS. Ali Imran [3]: 200. Makārim Asy-Syīrāzī menjelaskan, kesabaran yang pertama (ṣabr) adalah perintah untuk mengendalikan diri sebagai sumber dari kebahagiaan maknawi individu dan masyarakat. Perintah kedua dilanjutkan dengan menguatkan kesabaran (ṣābara); bersabar menghadapi kesabaran orang lain (bab mufā’alah). Kesabaran pertama dilakukan dengan melakukan jihad pengendalian diri dan diikuti dengan menahan kesabaran atas orang lain. (Al-Amṡal, Jil. 3, h. 67)

Berpuasa dengan mengamalkan dua bentuk kesabaran di atas akan menghadirkan bentuk akhlak baik ke dalam diri sendiri dan ke luar kepada orang lain. Menjaga hubungan baik dengan masyarakat dibutuhkan ibadah puasa yang dibarengi (ṣabr) dan (ṣābara). Hasilnya, umat yang berpuasa akan mengendalikan diri dan menjaga relasi dengan sesamanya, baik yang sama-sama berpuasa maupun yang tidak.

Adapun bentuk sabar yang ketiga (rabṭ/ribāṭ) adalah bersabar dalam membela negara. Mutawallī Asy-Sya’rawī menjelaskan kesabaran jenis ini berkaitan dengan kesadaran dan persiapan siaga atas musuh yang akan menyerang. Bentuk persiapan membela negara bisa dengan kekuatan fisik, pemikiran dan situasi sosio-politik yang aman dan damai. (Asy-Sya’rawī, h. 1976)

Umat Muslim yang berpuasa dan menjalakan bentuk sabar yang ketiga dapat melejitkan kualitas puasa dengan menjaga sosio-politik negara. Kerukunan umat beragama yang hadir dengan kedamaian, saling menghargai dan menghormati antarumat di Indonesia dapat dilakukan umat Muslim yang berpuasa dan bersabar. Dengan demikian, satu cara melejitkan puasa ke tingkat yang tinggi adalah dengan mengamalkan tiga level sabar.

Puasa dan Ketakwaan

Surah Ali Imran ayat 200 diakhiri dengan perintah bertakwa. Jika berpuasa diperintahkan untuk meraih ketakwaan, maka di ayat ini perintah sabar dan takwa dihadirkan untuk meraih keberuntungan (falāḥ). Berpuasa yang dibarengi dengan mengamalkan ragam bentuk sabar dapat mendongkrak seseorang meraih ketakwaan dalam tingkat yang tinggi.

Berpuasa perlu dibarengi dengan kesabaran. Kesabaran yang lengkap akan melahirkan pribadi yang menjaga jiwanya, menjaga jiwa-jiwa orang lain disekitarnya, bahkan menjaga kondisi masyarakat dan negara.

Dengan demikian, berpuasa, bersabar dan bertakwa adalah tiga amalan penting yang saling terkait dan fundamental bagi orang-orang beriman. Semoga, perenungan atas pesan ayat ini dapat melejitkan kualitas berpuasa dengan penuh kesabaran yang sempurna.

Tafsir Albaqarah [2]: 269; Terminologi Hikmah dan Cara Meraihnya

0
Terminologi Hikmah dan Cara Meraihnya
Terminologi Hikmah dan Cara Meraihnya

Hikmah adalah pemberian dan anugerah dari Allah Swt. kepada seorang hamba dan kekasih yang Dia kehendaki. Keistimewaan seorang hamba yang mendapat anugerah hikmah, yaitu memiliki kepribadian yang lemah lembut, halus, murah hati serta memiliki sifat solutif yang mampu mengatasi problematika masyarakat.

Selain itu, orang yang mendapat hikmah, berarti ia keluar dari kejahilan menuju cahaya hidayah, muncul sikap bijak, perkataan yang baik, perbuatannya menuju kebenaran, pandangannya cemerlang, kehati-hatian dalam segala hal dan menempatkan segala perkara pada tempatnya.

Hikmah tidak datang begitu saja. Hikmah harus dicari melalui metode kenabian. Seorang hamba harus melewati step by step untuk menuju puncak hikmah, jalan terjang juga harus dilewati untuk menggapai hidayah. Dikatakan bahwa hikmah merupakan pemberian yang “khairan katsira” oleh para ulama diartikan sebaik-baik pemberian bahkan lebih baik dari pada dunia seisinya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 269-270

Terminologi Hikmah

Secara etimologi, hikmah diartikan oleh jumhur ulama sebagai “kebijaksanaan”. Kata itu merujuk pada surah Alnahl [16]: 125 yang menyampaikan metode dakwa secara bijaksana. Namun dalam konteks lain, hikmah juga memiliki arti yang berbeda. Hikmah bisa diartikan ilmu yang bermanfaat, sebagaimana dalam surah Albaqarah [2]: 269 dan Luqman [31]: 12. Selain itu, hikmah juga bisa bermakna kenabian, ilmu Alquran, kebenaran, sifat wara’ menempatkan sesuatu pada tempatnya dan lain sebagainya. (Said al-Qahthani, Al-Hikmah fi al-Da’wah ila Allah, 26-31).

Adapun secara istilah, hikmah yaitu mengetahui sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang terbaik. Sedangkan orang yang teliti, terampil dalam pekerjaannya adalah orang yang bijak atau hakim. (Muhammad ibn Ya’kub, Al-Qamus Al-Muhith, Juz 1, 93).

Sedangkan menurut beberapa mufasir, di antaranya yakni Ibnu Katsir mengatakan hikmah adalah ilmu nafi’ (bermanfaat) yang membawa pemiliknya untuk beramal. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 1, 696).

Sedangkan Ibnu Jarir At-Thabari mendefinikan hikmah sebagai mengetahui Alquran (ulumul quran), yaitu mengetahui tentang nasikh-mansukh, ayat hukum, sosial dan lain sebagainya. Ibnu Qayyim dalam tafsirnya sependapat dengannya, bahwa hikmah adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah Saw. yakni Alquran.

Tafsir Surah Albaqarah [2]: 269

Salah satu ayat yang menyinggung masalah hikmah secara spesifik tercantum dalam Albaqarah [2]: 269 sebagai berikut:

يُؤۡتِى الۡحِكۡمَةَ مَنۡ يَّشَآءُ‌‌ ۚ وَمَنۡ يُّؤۡتَ الۡحِكۡمَةَ فَقَدۡ اُوۡتِىَ خَيۡرًا كَثِيۡرًا‌ ؕ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّاۤ اُولُوا الۡاَلۡبَابِ

Dia memberikan hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa yang diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak. Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang mempunyai akal sehat.

Dalam Tafsir At-Thabari, Abu Ja’far berkata, “Maksud dari ayat tersebut adalah Allah menghendaki memberi bidikan berupa pelajaran dalam ucapan maupun perbuatan atas orang yang Dia kehendaki. Barang siapa yang diberi pelajaran dengan hal tersebut maka ia benar-benar diberi kebaikan yang lebih banyak”. (Tafsir At-Thabari, Juz 4, 711).

Baca Juga: Makna Kata Hidayah dalam Al-Quran dan Macamnya Menurut Al-Maraghi

Ketika Allah memberi bidikan, maka ilmu yang bermanfaat akan menyertai hamba tersebut. Hal itu senada dengan pendapat Jalaluddin al-Mahali. Perihal pemberian kebaikan yang banyak, Jalaluddin mengatakan, “Ganjaran bagi pemilik hikmah adalah kebahagiaan yang abadi”. (Tafsir Jalalain, 60).

Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana cara memperoleh hikmah? Apakah hikmah datang dengan sendirinya?

Di dunia ini berlaku hukum kausalitas, artinya tidak ada sesuatu yang datang tanpa adanya sebab. Oleh karena itu, para ulama memberikan tips untuk menggapai hikmah sebagai bentuk ikhtiar seorang hamba.

Cara Meraih Hikmah

Secara garis besar, orang yang mendapat hikmah memiliki ilmu yang bermanfaat, sikap yang arif dan murah hati. Ketiga hal tersebut merupakan rukun yang dijadikan dasar hikmah (Said al-Qahthani, al-Hikmah fi al-Da’wah ila Allah, 43).

Kemudian, disusul oleh sikap lemah lembut, ikhlas, takwa, sabar, berkepribadian baik, mengamalkan ilmu, istikamah, berpengalaman, melawan nafsu setan, konsentrasi tinggi, adil, doa, musyawarah, pintar dan ahli dalam berdakwa kepada Allah.

Said al-Qahthani dalam beberapa literatur termasuk bukunya yang berjudul Menjadi Dai yang Sukses (hal. 63), memberikan resep agar seorang hamba mendapat hikmah dari Allah Swt. Menurutnya, seorang hamba harus melewati step by step untuk mencapai keutamaan yang sangat luar biasa ini.

Pertama, berkepribadian baik.

Seseorang harus memiliki keinginan untuk selalu merubah dirinya menjadi lebih baik di setiap harinya. Ada dua hal yang harus di perbaiki seseorang demi melangkah untuk mendapat hikmah, yakni harus memperbaiki as-suluk (tingkah laku yang memang direncanakan dengan kesadaran seperti berkata jujur, bohong, bakhil dan lain sebagainya), dan memperbaiki al-khuluq (kondisi jiwa yang memunculkan amal perbuatan baik maupun buruk secara refleks).

Kedua, mengamalkan ilmu dengan kejujuran dan keikhlasan

Sudah barang tentu seorang yang bijaksana memiliki ilmu yang bermanfaat. Kemanfaatan ilmu itu menjadi dasar perilaku kesehariannya. Pertama yang harus ditekankan adalah sifat kejujuran dalam segala hal. Kemudian ditopang dengan hati yang ikhlas dalam mengamalkan ilmunya.

Ketiga, istikamah

yakni konsisten dalam mengerjakan kebajikan dan mengamalkan ilmu menjadi tolok ukur dalam mendapatkan hikmah. Memang benar, seorang hamba tidak luput dari kesalahan dan dosa, namun ketika melakukan salah, ia ingat dan segera bertaubat dan mengerjakan kebajikan lagi.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Qashash Ayat 56: Memahami Hikmah, Ragam dan Proses Hidayah

Keempat, pengalaman

Menurut Said al-Qahthani, pengalaman memiliki pengaruh yang sangat besar dalam rangka meraih kemahiran yang profesional. Pengalaman dalam ilmu pengetahuan merupakan uji coba yang sistematis terhadap fenomena riil, yang dimaksudkan untuk menganalisis sesuatu secara mendetail dengan tujuan menyingkap sebuah hasil atau mewujudkan tujuan tertentu atau untuk memperbaiki sesuatu.

Maka orang bijak adalah orang berpengalaman dalam segala sesuatu. Setidaknya ia paham lewat pengalamannya tersebut, sehingga ia berhati-hati dalam melakukan sesuatu dan lebih bijak dalam mengambil keputusan.

Demikianlah tips dari Said al-Qahthani sebagai ikhtiar seorang hamba agar mendapat hikmah. Meskipun tidak menutup kemungkinan seorang akan langsung mendapat hikmah lewat pemberian nasehat oleh seorang kiai misalnya, kemudian hatinya tergerak untuk menjadi pribadi yang lebih bijak.

Cara tersebut akan gampang masuk pada seseorang yang mudah menerima kebenaran dan mengakuinya. Sebaliknya, akan susah pada orang yang dikuasai hawa nafsu yang bisa menghalanginya dari kebenaran.

Wallahu a’lam.

Polemik Doa setelah Surah Alfatihah dalam Salat

0
Polemik Doa setelah Surah Alfatihah dalam Salat
Surah Alfatihah

Kecenderungan minat masyarakat muslim saat ini terhadap kajian berbasis hadis semakin meningkat. Hal ini dapat dilihat dari berbagai isu yang sering kali dikaitkan dengan hadis. Tujuan yang ingin diperoleh tak lain adalah mendapatkan legitimasi valid yang berasal dari sumber utama, yakni Nabi Muhammad saw.

Buntut dari fenomena ini adalah adanya peminggiran terhadap sumber legitimasi lain, yang mungkin sebelumnya menjadi rujukan utama, fikih misalnya. Sejarah menunjukkan bahwa Indonesia “dibesarkan” oleh dua tradisi besar, fikih dan tasawuf. Hadis, justru memiliki prosentase paling kecil dalam kontribusinya “membesarkan” Indonesia.

Dalam frame ini, penulis mendapati satu isu menarik berkaitan dengan praktik pembacaan doa yang dilakukan setelah membaca surah Alfatihah dan sebelum melafalkan amin. Doa tersebut memiliki redaksi rabbighfirli. Sebagian muslim ada yang menambahkan dengan wa li walidayya dan atau wa li al-muslimin wa al-muslimat, yang pada prinsipnya merupakan tambahan objek permintaan ampunan (maghfirah).

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Praktik yang penulis jumpai cukup menarik karena dilakukan oleh seorang imam salat jahr (dengan bacaan keras) secara jahr pula. Praktik ini penulis jumpai di wilayah Kalibawang, Kabupaten Wonosobo. Belakangan, praktik ini mendapatkan “gugatan” dari beberapa kalangan terkait keabsahan dan landasan yang digunakan.

Bagi beberapa muslim, doa tersebut cukup familier dibaca di luar salat (qira’ah kharij al-shalah), baik dalam bacaan individual maupun acara seremonial. Selain itu juga pada ibadah salat sendirian (munfarid) atau salat lain yang dilakukan secara sirr (pelan). Membaca doa tersebut ketika salat secara jahr mungkin cukup menimbulkan polemik.

Dalam perspektif fikih, penjelasan atas praktik tersebut agaknya cukup jelas sebagaimana disebutkan oleh Syekh Al-Bajuriy dalam kitabnya, Hasyiyah al-Bajuriy,

 (عقب الفاتحة) اى أو بدلها إن تضمن دعاء على المعتمد، والتقييد بالعقيبة يفيد أنه يفوت بالتلفظ بغيره وإن قل ولو سهوا. نعم، يستثنى رب اغفر لي ونحوه لوروده عن النبي صلى الله عليه وسلم.

“(Mengiringi surah Alfatihah) yakni atau penggantinya manakala memuat unsur doa menurut pendapat yang mu‘tamad. Batasan “mengiringi” memberi faedah bahwa kesunahan membaca amin menjadi terlewat jika berucap dengan yang lain kendati sedikit dan lupa. Akan tetapi, dikecualikan darinya mengucapkan doa rabbighfirli dan sejenisnya karena ada riwayat yang warid dari Nabi saw.”

Baca juga: Bacaan Amin dan Keutamaan Membacanya setelah Surah Alfatihah

Dalam naskah yang penulis gunakan, riwayat yang digunakan Syekh Al-Bajuriy tersebut merujuk pada Al-Sunan al-Kubra milik Imam Al-Baihaqiy, tepatnya pada riwayat nomor 2450 yang berbunyi,

وأخبرنا أبو الحسين بن بشران، أنبأ أبو جعفر الرزاز، ثنا أحمد بن عبد الجبار العطاردي، ثنا أبي، عن أبي بكر النهشلي، عن أبي إسحاق، عن أبي عبد الله اليحصبي، عن وائل بن حجر، أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم حين قال: غير المغضوب عليهم ولا الضالين قال: رب اغفر لي آمين.

“Telah menceritakan kepada kami Abu al-Husain bin Bisyran, Abu Ja‘far al-Razzaz bercerita, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin “Abd al-Jabbar al-‘Atharidiy, ayahku telah menceritakan kepadaku dari Abu Bakr al-Nahsyiliy, dari Abu Ishaq, dari Abu “Abdullah al-Yahshubiy, dari Wa’il bin Hujr, ia mendengar dari Rasulullah ketika membaca ayat ke-7 dari surah Alfatihah, beliau berdoa: rabbighfirli amin.” (H.R. Muslim)

Upaya pencarian sederhana yang penulis lakukan melalui aplikasi hadis Al-Mausu‘ah al-Haditsiyyah mendapati bahwa isnad dari riwayat tersebut adalah tidak sahih (isnaduh la yashih). Hal ini dikarenakan keberadaan Abu Bakr al-Nahsyiliy (?) yang dianggap lemah (dla‘if). Namun demikian, Sayyid Abu Bakr Syatha dalam Hasyiyah I‘anah al-Thalibin dan Syekh Syihab al-Din al-Qulyubiy dalam Hasyiyah al-Qulyubiy menyebutkan bahwa riwayat tersebut adalah hasan. Pendapat tersebut bahkan dinukil pula dari Imam Ibn Hajar.

Baca juga: Mengenal Bey Arifin dan Tafsir Samudera Al-Fatihah

Kalau pun riwayat Imam Al-Baihaqiy tersebut benar lemah adanya, melakukan doa tersebut tetap diperbolehkan berdasar pada kebolehan melakukan fadla’il al-a‘mal dari riwayat dla‘if yang memiliki cantolan riwayat yang kuat. Dan dalam konteks ini riwayat tersebut adalah riwayat masyhur mengenai surah Alfatihah, sebagaimana diriwayatkan Imam Muslim,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ:  الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي، وَقَالَ مَرَّةً: فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي، فَإِذَا قَالَ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ:  اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ * صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ.

“Allah berfirman, “Aku membagi salat antara Aku dan hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba membaca (surah Alfatihah [1]:1), maka Allah berkata, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan (surah Alfatihah [1]:2), maka Allah berkata, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba tersebut mengucapkan (surah Alfatihah [1]:3), maka Allah berkata, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Apabila hamba tersebut membaca (surah Alfatihah [1]:4), maka Allah berkata, “Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepada-Ku.” Apabila hamba tersebut membaca (surah Alfatihah [1]:5), maka Allah berkata, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.” Apabila hamba tersebut membaca (surah Alfatihah [1]:6-7), maka Allah berkata, “Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.” (H.R. Muslim)

Baca juga: Makna-Makna Simbolis dalam Redaksi Surah Alfatihah

Penulis sendiri memandang adanya alternatif “tafsir” dari masalah tersebut. Di antaranya bahwa cara membaca doa tersebut secara jahr terinspirasi oleh riwayat Imam Al-Baihaqiy sendiri. Di riwayat itu, sahabat Wa’il mengetahui doa tersebut dari bacaan jahr Nabi saw.

Selain itu, kalaupun membaca doa tersebut secara jahr dianggap bermasalah, merujuk pada pendapat Imam Al-Nawawiy maksimal hanya mendapat hukum makruh. Dalam Al-Adzkar-nya beliau menyampaikan,

اعلم أن الجهر في مواضعه، والإِسرار في مواضعه سنّة ليس بواجب، فلو جهر موضع الإِسرار، أو أسرّ موضع الجهر، فصلاته صحيحة، ولكنه ارتكب المكروه كراهة تنزيه، ولا يسجد للسهو.

“Ketahuilah bahwa membaca jahr dan israr di tempat-tempat yang ditentukan adalah sunah dan tidak wajib, maka jika seseorang membaca jahr pada tempat israr atau sebaliknya, salatnya tetap dihukumi sah, hanya saja ia telah melakukan kemakruhan tanzih, dan tidak perlu melakukan sujud sahwi.”

Oleh karenanya, membaca doa rabbighfirli mengiringi surah Alfatihah dan sebelum amin adalah boleh dengan berbagai argumentasi dan tafsir yang ada. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Amalan Alquran untuk Penyakit Beser hingga Batu Ginjal

0
Amalan Alquran untuk Penyakit Beser hingga Batu Ginjal
Amalan Alquran untuk penyakit beser hingga batu ginjal.

Di samping jalan medis, membaca ayat Alquran menjadi salah satu solusi bagi masyarakat muslim untuk mengobati berbagai macam penyakit. Alquran sendiri menyebut dirinya sebagai syifa’ (obat), sebagaimana tercantum dalam Q.S. Al-Isra (17): 82 yang berbunyi:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

(82) Wa nunazzilu minal Qur’aani maa huwa syifaa’uw wa rohmatul lil mu’miniina wa laa yaziiduzh zhaalimiina illaa khosaaroo.

Artinya: (82) “Dan Kami turunkan dari Alquran sesuatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman, dan Alquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Baca juga: Mengenal Dua Kosakata Sakit dalam Alquran: Marid dan Saqim

Fakhruddin ar-Razi memperjelas makna ayat tersebut dalam tafsirnya, Mafatih al-Ghaib, bahwa di antara sifat Alquran adalah menjadi obat bagi orang beriman. Baik itu penyakit yang bersifat rohani (al-amradh ar-ruhaniyyah) maupun jasmani (al-amradh al-jasmaniyyah). (Mafatih al-Ghaib, juz 21, 35).

Menurutnya, penyakit rohani terbagi menjadi dua jenis; Pertama, al-i’tiqadat al-bathilah, atau kerusakan iktikad dan keyakinan kepada Allah. Kedua, al-akhlaq al-madzmumah, alias akhlak dan perilaku yang tercela. Adapun penyakit jasmani merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus.

Untuk penyakit jasmani, menurut ar-Razi bisa disembuhkan dengan mengambil berkah atau tabarruk dari bacaan ayat-ayat Alquran. Umumnya, masyarakat mengenal praktik ini dengan istilah ruqyah. Melantunkan ayat suci Alquran merupakan pengagungan kepada Allah sehingga akan mendatangkan manfaat yang besar untuk mencegah bermacam penyakit.

Mengobati beser dan batu ginjal dengan Alquran

Salah satu penyakit yang dapat diobati dengan ayat Alquran ialah retensi urine atau susah buang air kecil (BAK) dan batu ginjal. Dalam istilah kedokteran Islam, keduanya diistilahkan menjadi ihtibas al-baul dan hasha al-baul. Penyakit ini menjadi momok khususnya bagi kalangan pria.

Penderita penyakit retensi urine (ihtibas al-baul) selalu merasa ingin BAK, tetapi susah membuangnya. Kalaupun sudah BAK, kandung kemih tidak dapat kosong sepenuhnya sehingga rasanya tidak lega setelah BAK. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti penyumbatan uretra atau kerusakan saraf pengendali fungsi kandung kemih.

Jika sudah kronis, retensi urine dapat menyebabkan keluhan lain berupa nyeri, inkontinensia urine (ingin BAK terus menerus) atau yang dikenal dalam istilah Islam sebagai salis al-baul, hingga berujung kepada tumbuhnya batu ginjal (hasha al-baul).

Baca juga: Kisah Raja Najasyi dan Obat Sakit Kepala dari Terjemah Ayat Alquran

Sedangkan batu ginjal adalah penyakit ketika terbentuknya endapan padat yang berasal dari kandungan kimia dalam urine hingga berbentuk menyerupai batu dan menyebabkan rasa sakit ketika BAK. Ukuran batu ginjal bisa mulai dari sekecil butiran pasir hingga benar-benar sebesar batu kerikil.

Tidak hanya pada ginjal, batu tersebut dapat terbentuk di sepanjang saluran urine. Penyakit ini dapat disebabkan kurangnya asupan cairan atau berlebihan mengonsumsi makanan tinggi purin seperti seafood dan daging.

Kisah Imam al-Ghazali

Dalam kitab Khawash al-Qur’an (hal. 94), Imam al-Ghazali menuliskan cerita tentang seorang penduduk daerah Asbahan (sekarang Isfahan, Iran) yang sembuh dari retensi urine dan batu ginjal berkat khasiat ayat Alquran. Uniknya, orang ini benar-benar menjadikan ayat Alquran sebagai obat yang ia telan. Berbeda dari ar-Razi yang menganjurkannya untuk dibaca.

Yang ia lakukan adalah mengambil sebuah kertas, lalu menuliskan basmalah dan beberapa ayat Alquran di dalamnya. Kemudian kertas tersebut dimasukkan dalam wadah dan dituangi air. Ramuan air itulah yang ia minum sebagai obat penawar.

Adapun ayat-ayat Alquran setelah basmalah yang ia tulis dalam kertas tersebut berasal dari dua surah, yaitu Q.S. al-Waqi’ah (56): 5-6 yang bunyinya:

وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا (5) فَكَانَتْ هَبَاءً مُّنبَثًّا (6)

(5) Wa bussatil jibaalu bassaa, (6) fa kaanat habaaa’am mumbatstsaa.

Artinya: “(5) Dan gunung-gunung hancur luluh seluluh-luluhnya, (6) maka jadilah ia debu yang beterbangan.”

Baca juga: Bentuk-Bentuk Resepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Penyembuhan Alquran

Lalu Q.S. al-Haqqah (69): 14 yang berbunyi:

وَحُمِلَتِ الْأَرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً (14)

(14) Wa humilatil ardhu wal jibaalu fadukkataa dakkataw waahidah

Artinya: “(14) Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali bentur.”

Setelah meminum air rendaman dari tulisan ayat tersebut, orang tersebut melaporkan bahwa ia langsung sembuh dari penyakit yang dialaminya. BAK-nya menjadi mudah dan lancar, bahkan batu ginjal di tubuhnya hancur serta luruh hilang ketika ia BAK.

Menurut penulis, salah satu penyebab mujarabnya ayat ini dalam mengobati penyakit tersebut adalah karena maknanya yang mengandung banyak rahasia. Ayat-ayat tersebut membicarakan tentang bumi dan gunung yang dihancurleburkan menjadi debu ketika terjadi kiamat lalu beterbangan hingga sirna.

Baca juga: Etika Menjenguk Orang Sakit dalam Islam

Begitu pula dengan kondisi dalam tubuh orang tersebut. Apa yang dikandung ayat-ayat tersebut diharapkan terwujud dalam meluluhlantakkan batu ginjal yang tersimpan dalam tubuhnya dan membawa puing-puingnya hilang bersamaan dengan lancarnya pembuangan urine.

Peran basmalah juga tidak dapat dikesampingkan. Sudah banyak diungkapkan oleh para ulama mengenai keutamaan ayat ini. Tentu basmalah menjadi kunci pembuka terkabulnya permohonan orang tersebut.

Itulah salah satu di antara sekian banyak testimoni kesuksesan pengobatan melalui Alquran. Perkuat keyakinan kepada Alquran serta tetap berkonsultasi ke dokter. Jaga kesehatan dan semoga ini menjadi solusi kesembuhan bagi saudara-saudari seiman di mana pun berada.

Tafsir Surah Ali ‘Imran [3]: 102; Takwa Sebagai Bentuk Proteksi Diri

0
Takwa Sebagai Bentuk Proteksi Diri
Takwa Sebagai Bentuk Proteksi Diri

Takwa sering diartikan sebagai bentuk kepatuhan seorang hamba kepada Allah Swt. Arti takwa secara umum adalah melakukan segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah Swt. dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa juga kerap kali dijadikan sebagai barometer kedekatan bagi seorang hamba dengan Allah Swt. atau dijadikan sebagai standar keimanan seorang hamba.

Allah Swt. berfirman dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102;

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.

Dapat dilihat, secara umum ayat di atas memerintahkan orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah Swt. dengan sebenar-benarnya. Lalu, apa makna takwa dengan sebenar-benarnya?

Wahbah Zuhailiy dalam kitab tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz (hlm. 64)  menjelaskan arti takwa pada ayat di atas adalah untuk bersikap patuh kepada Allah Swt. dengan sepenuhnya, dengan cara menaati-Nya dan tidak bermaksiat kepada-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat yang diberikan-Nya dan tidak kufur, serta selalu ingat kepada-Nya tanpa sesaat pun lupa kepada-Nya.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa

Demikian juga disebutkan dengan redaksi yang serupa oleh Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya. Ia menambahkan perkataan Imam Ibnu ‘Abbas yang mengatakan, “Maksud dari takwa dengan sebenar-benarnya adalah untuk tidak berlaku maksiat kepada Allah Swt. sekejap mata sekali pun”. (Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, Juz 5, 238).

Sebagian mufasir mengatakan ketika surah Ali ‘Imran [3]: 102 turun, para sahabat bertanya akan hal itu. Siapa yang akan mampu melaksanakan ketakwaan dengan tingkatan sebenar-benarnya ketakwaan. Padahal ada maqalah yang mengatakan;

 الإِنْسَانُ مَحَلُّ النِّسْيَان وَالخَطَإِ

Manusia adalah tempatnya keluputan dan kesalahan.

Perdebatan di dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102

Para mufasir berbeda pendapat perihal surah Ali ‘Imran [3]: 102. Sebagian mengatakan bahwa surah Ali ‘Imran [3]: 102 sudah dinaskh oleh surah Altaghabun [64]: 16, yang berbunyi:

فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Bertakwalah kamu kepada Allah sekuat kemampuanmu!

Imam al-Qurthubī menjelaskan mengenai perdebatan tentang ayat ini, apakah ayat ini sudah dinaskh atau belum. Setidaknya ada 2 pendapat yang dirangkum pada pembahasan ini. Pertama, pendapat yang mengatakan surah Ali ‘Imran [3]: 102 dinaskh.

قَال مُقَاتِل: وَلَيْسَ فِي آلِ عِمْرَان مِنَ المَنْسُوخِ شَيْئٌ إِلَّا هَذِهِ الآية

Di dalam tafsir al-Qurthubī, Muqatil mengatakan, “Tidak ada satu pun ayat di dalam surah Ali ‘Imran yang dinaskh, kecuali ayat ini”, yakni surah Ali ‘Imran [3]: 102. (Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, Juz. 5, 238).

Menurut Qatadah, as-Sayyid, ar-Rabi’ bin Anas, dan Ibn Zaid berpendapat bahwa surah Ali ‘Imran [3]: 102 dinaskh oleh surah Altaghabun [64]: 16 dan surah Albaqarah [2]: 286. (Al-Muharrar al-Wajiz, Juz. 2, 304) yang berbunyi:

لَا يُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

Allah tidak akan membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya.

Kedua, pendapat yang mengatakan surah Altaghabun [64]: 16 tidak menaskh melainkan sebagai bayan (penjelas).

وَقَدْ رَوَى عَلِيٌّ بنُ أَبِي طَلْحَة، عَن ابنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَوْلُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: ((يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ)) قَال: لَمْ تُنْسَخْ، وَلَكِن ((حَقَّ تُقٰىتِهٖ)) أَنْ تُجَاهِدُوا فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ، وَلَا تَأْخُذْكُمْ فِي اللهِ لَوْمَةَ لَائِمٍ، وَتَقُوْمُوا بِالقِسْطِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ وَأَبْنَائِكُمْ

‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas ra., ia berkata, “Firman Allah يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ tidak dinaskh, akan tetapi makna حَقَّ تُقٰىتِهٖ yang terkandung pada ayat tersebut adalah bersunggung-sungguh dengan kesungguhan yang sebenar-benarnya. (Al-Jami’ al-Aḥkam al-Qur’an, Juz. 5, 238). الجهد juga sering diartikan sebagai keinginan gigih untuk mencapai sesuatu.

Kelompok jamaah ahli ilmu, sebagaimana dikutip dari Al-Muḥarrar al-Wajīz (Juz. 2, 304) karya Ibnu ‘Athiyyah, mengatakan, “Tidak ada naskh di dalam masalah ini. Antara Ali ‘Imran [3]: 102 dan Altaghabun [64]: 16sesuai. Tidak ada pertentangan”.

Kemudian, dalam Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an (Juz 5, 238)  juga disebutkan bahwa ayat فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ menjadi bayan (penjelas) surah Ali ‘Imran [3]: 102. Pendapat inilah yang paling benar menurutnya.

Baca Juga: 3 Konsep Takwa dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 133-134

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, ayat Ali ‘Imran ini menjelaskan batas akhir dari dan puncak takwa yang sebenarnya. Sedangkan ayat Altaghabun berpesan agar tidak meninggalkan takwa sedikit pun, karena setiap orang pasti memiliki kemampuan untuk bertakwa, dan tentu saja kemampuan itu bertingkat-tingkat. Yang penting adalah bertakwa sepanjang kemampuan, sehingga jika puncak dari takwa yang dijelaskan di atas dapat diraih, maka itulah yang didambakan, tetapi bila tidak, maka Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. (Tafsir al-Misbah, Jilid 2, 168)

Dengan demikian, melalui pemahaman ayat Ali ‘Imran ini, semua orang beriman dianjurkan berjalan pada jalan takwa. Semua diperintahkan berupaya menuju puncak, dan masing-masing dari mereka selama berada di jalan itu, akan memperoleh anugerah sesuai dengan usahanya. Surah Ali ‘Imran [3]: 102 adalah arah yang yang dituju, yakni mencapai tingkatan حَقَّ تُقٰىتِهٖ (sebenar-benarnya ketakwaan). Sedangkan Altaghabun [64]: 16 adalah jalan yang ditempuh menuju arah itu, yakni dengan kemampuan serta totalitas hamba menggapai arah yang dituju. Dengan demikian, kedua ayat tersebut tidak saling bertentangan, bahkan saling melengkapi.

Pelajaran yang terkandung dalam surah Ali ‘Imran [3]: 102

  1. Proteksi (penjagaan) diri

Sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa Ali ‘Imran [3]: 102 adalah arah yang dituju, sedangkan Altaghabun [64]: 16 adalah jalan yang ditempuh. Sepatutnya seorang hamba mengerahkan sekuat tenaga, seluruh kemampuannya, totalitas, keinginan gigih dalam menjalankan ketakwaan kepada Allah Swt. sebagaimana yang sudah dijelaskan oleh Ibnu ‘Abbas di atas.

Sekuat tenaga, berarti mengerahkan semua kemampuan untuk menjalankan seluruh perintah dan larangan-Nya. Seberat apapun rintangan hamba untuk menjalankan perintah Allah, tetap harus dilewati. Sebesar apa pun godaan melakukan keburukan, harus dihindari. Sebab keburukan itu tidak hanya datang dari eksternal diri manusia, akan tetapi keburukan itu bisa muncul dari internal manusia. Manusia memiliki potensi untuk melakukan kerusakan, kejahatan dan sebagainya. Maka dari itu, dengan memperoteksi diri dengan ketakwaan, seseorang bisa terhindar dari berbuat buruk dan berlaku kriminal.

Baca Juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

  1. Jalan menuju husnul khatimah

وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ

Dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.

Pada akhir ayat tersebut, Allah Swt. mengatakan, “Janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim”.

Ayat ini adalah ayat kinayah, yaitu ungkapan yang disampaikan dan yang dimaksud adalah kelaziman maknanya, serta boleh juga menghendaki makna dari lafal tersebut. Artinya, Allah Swt. memerintahkan hamba-Nya agar sesantiasa tetap dalam keadaan menjadi seorang muslim.

Imam Ibnu ‘Athiyyah mengatakan:

وَقَولُه تَعَالَى: ((وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ)) مَعنَاهُ: دُومُوا عَلَى الإِسْلَامِ حَتَّى يُوَافِيَكُم المَوْتُ وَأَنْتُم عَلَيْهِ

Makna dari firman Allah di atas adalah, “Tetaplah kamu dalam naungan Islam sampai kematian mendatangimu dan kamu dalam keadaan muslim”. (Al-Muharrar al-Wajiz, Juz. 2, 305)

Ketika hamba selama hidupnya tetap dalam keislamannya, tetap dalam ketakwaan kepada Allah Swt. maka ketika nanti maut datang menjemput, ia mati dalam keadaan muslim.

Wallahu ‘A’lamu Bishshawab.

Jalaluddin Rumi: Seni Mengatasi Patah Hati

0
Jalaluddin Rumi: seni mengatasi patah hati
Jalaluddin Rumi: seni mengatasi patah hati

Maulana Jalaluddin Rumi, seorang sufi besar abad ke-13 dan juga seorang darwis yang namanya sangat terkenal bukan hanya di kalangan umat muslim, namun juga karya-karyanya sepanjang zaman berpengaruh di dunia Barat. Hal itu disebabkan syair Rumi berisi pencerahan jiwa dan sangat relevan bagi kehidupan manusia modern yang kering akan nilai spiritual seperti sekarang ini.

Syair-syairnya diciptakan tidak hanya sekedar menyampaikan gagasan, ide, serta imajinasi, melainkan juga sebagai penjelasan dan penafsiran makna Alquran yang dengannya dapat menginspirasi dan memantik karakter Islam sejati bagi para pembacanya. Dalam Matsnawinya, Rumi juga menyentuh urusan kalbu, seperti tentang patah hati. Rumi berkata, “Biarkan hatimu patah, agar ia terbuka.”

Spirit syair Rumi di atas terinspirasi dari Surah Albaqarah ayat 156. Meskipun hanya segelintir bait, di dalamnya mengandung makna yang dalam serta dapat mengajak tadabur dan membangkitkan hati yang telah patah. Sebuah tawaran kepada mereka yang sedang gundah gulana ditinggalkan kekasihnya ataupun yang tengah dirundung kesedihan dalam menghadapi musibah.

Rumi: biarkan hatimu patah, agar ia terbuka

Dalam Alquran, Allah Swt. mengingatkan kepada hambaNya, “Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengatakan, Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.” (QS. Albaqarah [2]: 156). Makna sesungguhnya ayat ini, tentang awal perjalanan hidup manusia sampai nanti kembali lagi kepada Sumbernya atau Allah Swt., yang Orang Jawa menyebutnya dengan ‘sangkan paraning dumadi.’

Haidar Bagir dalam kajian Tasawuf Nur al-Wala menjelaskan bahwa sejatinya perjalanan manusia adalah Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun. Ketika di alam dunia manusia dilepas, Allah Swt. memberikan manusia karsa bebas, dengan karsa bebas ini dia dapat memilih: menempuh jalan yang benar menuju Sumbernya atau sebaliknya. Tetapi, Allah dalam banyak kesempatan juga akan memberikan pengajaran kepada manusia agar selamat kembali kepada hakikat kesadarannya, seperti melalui musibah dan derita ini. Namun, bagi mereka yang abai dan hanya menuruti nafsunya akan jatuh terpeleset.

Jalaluddin Rumi dalam syairnya yang lain lebih lanjut menarasikan:

Engkau menginginkan air dalam kendi tanah liat,

tetapi ketika engkau memecahkannya,

air itu akan kembali bergabung dengan danau dari mana ia berasal.

Ego manusia mencoba untuk mencegah pertemuan itu,

dan selalu menolak saran apapun tentang perlunya pertemuan.

Rumi meminta kita membiarkan saja hati kita patah. Fakhruddin Faiz dalam kajian Filsafat seri Patah Hati menjelaskan syair Rumi tersebut, ibarat seseorang memerlukan air agar bisa memuaskan dahaga. Sebagaimana manusia seringkali hanya memerhatikan bagaimana dia harus terus bisa memenuhi hasrat, ambisi, dan nafsunya. Namun jika itu tidak terpenuhi, hatinya akan patah. Pecah itu seperti air dalam wadah kendi yang jatuh memancar dan lambat laun akan kembali ke sumber asalnya. Ketika hati patah, saat itu sejatinya hati telah terbuka untuk menuju kepada Yang Hakiki. Sedangkan ego matian-matian berusaha tetap untuk menuruti sesuai keinginan manusia dan supaya hati tadi tidak berjalan menuju kepada sang Empunya. Misalnya, kala seorang patah hati berpisah dengan yang dia cintai, energi yang diupayakan paling besar adalah untuk kembali kepada pasangannya. Dia lupa sebenarnya ada proses yang lebih ideal, yaitu kembali kepada Allah.

Sayyid Quthub menambahkan bahwa yang terpenting dari pelajaran musibah, derita, atau luka hati adalah kembalinya kita untuk mengingat Allah ketika menghadapi segala keraguan dan goncangan, serta berusaha mengosongkan hati dari segala hal kecuali ditujukan semata kepada Allah. Kemudian, agar terbuka hati kita bahwa tidak ada kekuatan kecuali kekuatan Allah, tidak daya kecuali daya Allah, dan tidak keinginan kecuali keinginan mengabdi kepada Allah. Ketika itu, akan bertemulah ruh dengan sebuah hakikat yang menjadi landasan tegaknya pandangan (tashawwur) yang benar. (Tafsir fi Zhilal al-Qur’an, Juz I, hlm 261)

Perjalanan Rumi menjadi seorang sufi karena patah hati dan kerinduan

Pertemuan Maulana Jalaluddin Rumi dengan gurunya sekaligus sahabatnya, Syams al-Tabriz bermula ketika Rumi sedang asyik mengajar muridnya di pagi hari seperti biasanya, kemudian datanglah Syams al-Tabrizi lantas bertanya pada Rumi tentang apa yang dimaksud dengan riyadah dan ilmu. Mendengar pertanyaan dari Tabriz yang sebelumnya tidak dia kenal malah membuat Rumi terkesima.

Pertemuan yang menggetarkan itu memicu banyak keingintahuan Rumi, sampai akhirnya dia memutuskan untuk berguru dengan Syams al-Tabrizi. Tabriz mengajar dan membimbing Rumi dengan ilmu yang belum pernah dia pelajari sebelumnya. Dia merasakan hakikat cinta dan ikatan yang kuat dengan gurunya.

Hanya saja, Syams al-Tabriz pernah pergi meninggalkan Rumi. Bak remaja yang ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar patah hati. Dia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Alasan Tabrizi pergi demi kematangan spiritual Rumi yakni melalui perpisahan. Saat itu Rumi berusia 40 tahun dan dianggap sebagai simbol kematangan spiritual, sebab Nabi Muhammad saw. diangkat menjadi Rasulullah pada usia 40 tahun. Kematangan artinya persatuan dengan Sang Kekasih. (Diwan Syams Tabrizi, 2018).

Kepergian sahabat yang dicintainya ini juga memicu adanya majelis sema’, majelis yang berisi zikir dengan musik dan tarian. Rumi memakai pakaian berkabung dalam majelis ini sebagai simbol kesedihan. Namun dari kisah patah hatinya ini membawa kesadaran Rumi bahwa hanya Tuhan yang dapat memberinya pengetahuan dan persahabatan sejati, yang bisa mengembalikan kedamaian di dalam hatinya.

Seni mengatasi patah hati: dari derita menuju cinta Ilahi

Seringkali ketika datangnya musibah atau kehilangan yang terkasih, seseorang mengajukan pertanyaan “mengapa?” secara berulang atas kejadian yang terjadi dan sayangnya tidak ada jawaban yang bisa mengembalikan apapun yang telah terjadi. Menjadi mindfulness akan membawa pikiran kita benar-benar ada pada masa sekarang dan tidak melulu menoleh kebelakang apalagi mengingat sedihnya ditinggal orang tersayang.

Selain itu dengan berefleksi atau tadabur, bahwa sebagai manusia perlu kita ubah persepsi dan tujuan kita untuk mencintai sesuatu hal yang ada di dunia fana. Kita pahami bahwa sesuatu hal yang bersifat duniawi bersifat tidak abadi, cinta yang berlebihan kepada sosok materi malah akan membuat kita lalai pada hidup, dan terjebak pada lingkaran palsu tentang kebahagiaan, serta luka hati yang berkepanjangan. Itulah mengapa mencintai duniawi akan berujung patah hati, karena memang tidak bersifat abadi.

Jika manusia menginginkan bentuk cinta abadi, mari mencoba untuk merubah pandangan dan tujuan tentang cinta. Mari menuju cinta yang murni tanpa patah hati dengan pendekatan personal dan spiritual. Jalaluddin Rumi mengatakan bahwa tujuan utama latihan spiritual adalah untuk memungkinkan kita mengatasi keberatan yang ditujukan oleh ego kita, sehingga dengan mudah kita dapat melanjutkan perjalanan kita ke samudra persatuan.[]

Empat Aspek Penting dalam Tadabur Ayat tentang Puasa Ramadan

0
4 aspek penting dalam tadabur ayat puasa Ramadan
4 aspek penting dalam tadabur ayat puasa Ramadan

Puasa Ramadan adalah kewajiban bagi seorang muslim. Setiap muslim dibebankan untuk melaksanakannya sebagai bentuk ketundukan kepada Allah Swt. Nas yang disepakati sebagai dalil kewajiban puasa Ramadan antara lain QS. al-Baqarah ayat 183. Ayat ini menurut para ulama tafsir turun pada bulan Syakban tahun ke-2 H.

Dalam al-Quran Kemenag RI (2022), ayat ini diterjemahkan: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Ayat ini memiliki makna mendalam, bukan hanya sekedar menginformasikan kewajiban berpuasa. Di dalamnya memuat isyarat-isyarat penting yang dapat direnungkan agar memberikan dampak positif pada kehidupan manusia.

Merenungkan pensyariatan puasa dapat dilakukan dengan tadabur ayat. Kata ini merujuk pada pengertian untuk merenungkan, memaknai, dan menghayati ayat sehingga memiliki dampak positif bagi pembaca. Ahmad Thib Raya (2020) menuturkan tadabur ayat bermakna pemikiran yang komprehensif yang dapat mengantar kita pada akhir dari petunjuk-petunjuk Alquran dan tujuan-tujuan akhir yang ingin dicapai dari membaca Alquran.

Baca juga: Kewajiban Niat Puasa Ramadan di Malam Hari

Apa saja aspek tadabur pada QS. Albaqarah:183?

Pertama, redaksi “Wahai orang-orang yang beriman.”

al-Shawi dalam Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain  menyatakan bahwa khitab “Wahai orang-orang yang beriman” pada awalnya ditujukan kepada masyarakat Madinah. Namun, secara umum yang dimaksud adalah seluruh orang beriman. Panggilan Allah terhadap mereka dengan “orang-orang yang beriman” menunjukkan hanya orang beriman yang diseru, bukan yang lainnya. Sebuah ungkapan yang indah bagi subjek yang diseru. Allah menyifati mereka dengan keimanannya, sebuah pengakuan terindah bagi orang yang beriman dalam pandangan-Nya. Sebab, tidak semuanya diseru dengan artikel ini.

Ketika Allah menyeru dengan panggilan keimanan, muncul dorongan positif untuk melaksanakannya dengan sepenuh hati dan keyakinan. Seperti ungkapan yang dicetuskan oleh al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir.

Orang beriman meyakini bahwa Allah mewajibkan sesuatu yang harus ditaati yang menjadi tanda ketundukan kepada-Nya. Mereka akan menerimanya dan melaksanakan sesuai dengan perintah-Nya. Orang beriman tidak akan menolak jika Allah menetapkan kewajiban kepadanya.

Baca juga: Variasi Cara Penetapan Awal Ramadan

Seruan ini secara psikologis akan menggerakan hati orang yang diseru dengan rasa ketaatannya. Khitab dengan “orang-orang yang beriman” meneguhkan sebuah penerimaan batin untuk mengetahui, memperhatikan, dan menyadari bahwa ada sesuatu yang mesti diperhatikan ketika Allah menyeru kepada mereka.  Panggilannya bersifat terpilih, hanya kepada orang-orang yang beriman, bukan kepada selainnya. Panggilan kepada yang dipilih lebih mengena sasaran daripada subyek lain secara umum.

Kedua, kalimat “diwajibkan atas kamu berpuasa”. Kalimat ini menjadi hal yang mesti diperhatikan. Keumumannya kalimat seruan selalu disertai dengan apa yang harus diperhatikan. Penyebutannya setelah kalimat seruan seolah ingin menegaskan bahwa inilah yang diperintahkan kepada orang yang diseru. Makna ini seiring dengan penempelan kata ha setelah kata ya ayyu, yang bermakna li tanbih. Maksudnya ada sesuatu yang harus diperhatikan setelah mereka diseru dengan ya ayyu.  Orang beriman memperhatikan bahwa setelah mereka diseru ada kewajiban berpuasa.

Puasa menjadi wajib bukan sekedar pembebanan. Di dalamnya memuat kebaikan bagi orang yang beriman. Sebab, setelah kalimat perintah diinformasikan, biasanya diakhiri dengan apa yang dapat dicapai oleh orang yang melaksanakannya. Perintah puasa memiliki dorongan agar manusia menyadari bahwa di dalamnya terdapat capaian yang mulia, yaitu ketakwaan. Kalimat “diwajibkan atas kamu berpuasa” berkorelasi dengan “agar kamu bertakwa”. Kewajiban puasa berujung pada pencapaian ketakwaan.

Kalimat puasa yang dalam bahasa Alquran disebut dengan al-shiyam berarti menahan diri (al-imsak). Setiap subjek yang menahan diri tidak melakukan sesuatu secara bahasa disebut sedang berpuasa. Termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak berbicara.  Seseorang yang menahan diri dari perilaku yang biasa dilakukan pasti memiliki tujuan tertentu. Sehingga, ketika istilah puasa masuk pada istilah fikih, ia berarti menahan diri dari makan, minum, dan dorongan syahwat mulai dari terbitnya fajar hingga matahari terbenam untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perilaku menahan diri ini berada dalam maksud untuk meraih sesuatu.

Baca juga: Tujuan Hukum dan Perluasan Alat Bayar Fidiah Puasa

“Diwajibkan atas kamu berpuasa” bermakna bahwa puasa menyimpan kebaikan bagi orang yang diseru. Perintah puasa bukan hanya beban. Ia disertai dengan buah capaian terbaik untuk orang yang melaksanakannya.

Ketiga, kalimat “sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu” menginformasikan bahwa puasa pernah diwajibkan pada umat sebelum umat Nabi Muhammad Saw. Seolah bermakna puasa bukan hanya diwajibkan padamu pada saat ayat ini turun. Puasa diwajibkan pula pada generasi sebelum kamu.

Kalimat tersebut menginformasikan adanya peristiwa masa lampau tentang puasa. Sebagaima puasa wajib ketika ayat turun yang memiliki sisi pencapaian kebaikan, begitupun orang sebelum kita yang diperintahkan puasa, pasti ada sisi kebaikan pada mereka. Bagi orang yang beriman, dia meyakini informasi ini dengan sepenuh hati. Sebab, Allah yang menginformasikan. Umat Yahudi dan Nasrani diwajibkan berpuasa, namun sebagian dari mereka ada yang mengubah waktu dan praktiknya. Puasa mereka pun berbeda dengan puasa kita pada beberapa hal. Puasa pada umat Nabi Muhammad saw. dan umat sebelumnya memiliki kesamaan dalam kewajiban, bukan pada tatacara dan pahalanya. al-Shawi menuturkan hikmah penyebutan kesamaan kewajiban adalah karena puasa tetap memiliki aspek yang menyusahkan (menahan lapar dan haus).

Keempat, tujuan puasa adalah “agar kamu bertakwa”. Redaksi ini berada di ujung ayat. Penempatan di ujung mengisyaratkan bahwa di akhir ada sesuatu yang dicapai oleh orang yang berpuasa. Ketakwaan dalam puasa tersirat dalam usahanya menahan diri untuk mengendalikan syahwat. Sebab puasa tidak hanya menahan lapar dan haus, melainkan mampu mengendalikan hawa nafsu.

Wallahu a’lam.

Mengenal Mufasir Sufi; Husamuddin al-Bidlisi

0
Husamuddin al-Bidlisi
Husamuddin al-Bidlisi

Abu Idris Maulana Husamuddin ‘Ali al-Bidlisi adalah penulis tafsir sufi Jami’ al-Tanzil wa al-Ta’wil. Ulama asal Bitlis (kini masuk wilayah Turki) ini tidak diketahui secara pasti kapan dia lahir. Berdasarkan catatan dalam mukadimah tafsirnya tentang wafatnya Sultan Ya’qub Bek penguasa dinasti Aq Qoyunlu pada 896H/1490M, “Ketika itu saya berusia lebih 80 tahun,” para peneliti memperkirakan dia lahir antara 805-810H. Al-Bidlisi bermazhab Syafi’i dan pengikut tarekat Nurbakhsyiah, ordo sufi yang dinisbatkan kepada Sayyid Muhammad Nurbakhsi. Dia memiliki putra yang kelak menjadi salah satu ilmuwan termasyhur Utsmaniyah, Idris al-Bidlisi. Dia wafat pada 13 Syakban 909H/31 Januari 1504M.

Riwayat Keilmuan

Tak banyak catatan tentang pendidikan al-Bidlisi. Sedikitnya yang dapat direkam sejarah dia pernah berguru kepada ulama-ulama sufi, yaitu Maulana Jami al-Bidlisi (w. 898H), Junaid ibn Ibrahim al-Ardabili, Tajuddin al-Husaini, dan Syihabuddin al-Gurani. Dia lalu menetapi tarekat Sayyid Muhammad Nurbakhsyi (w. 869), yang kemudian dia diangkat menjadi salah satu khalifahnya. Di samping itu, dia juga belajar ilmu astronomi, arsitektur, dan matematika kepada Qasim al-Nurbakhsyi, putra Sayyid Nurbakhsyi.

Baca Juga: Mengenal Tokoh ‘Keajaiban Zaman’ dari Turki, ‘Badiuzzaman’ Said Nursi

Selain Jami’ al-Tanzil wa al-Ta’wil, al-Bidlisi menghasilkan beberapa karya yang umumnya bernuansa sufistik, di antaranya Syarh Isthilahat al-Shufiyah li al-Qasyani, al-Kanz al-Khafiy fi Bayani Maqamat al-Shufiy, dan Syarh Khuthbat al-Bayan. Beberapa karya yang lain ditulis dalam bahasa Persia salah satunya komentar atas Golshani Raz, nazam istilah tasawuf karya Najmuddin al-Tabrizi.

Dari karya-karyanya itu, Husamuddin al-Bidlisi dikenal sebagai ulama tasawuf dan tafsir, di samping diakui pengetahuan luasnya atas filsafat, bahasa, kedokteran, dan psikologi. Dia pernah diboyong ke Tabriz ketika Sultan Ozun Hazan, pendiri Aq Qoyunlu, pindah ke kota itu pada 876H. Dia diberi peran sebagai penerjemah dan ilmuwan istana sampai era Ya’qub Bek. Setelah Ya’qub Bek wafat, al-Bidlisi merasa kondisi istana sudah tidak kondusif. Dia lantas melepaskan perannya itu dan bermaksud hijrah ke wilayah yang lebih aman. (‘Iqd al-Juman fi Tarajim al-‘Ulama’ wa al-Udaba’ al-Kurd wa al-Mansubina ila Mudun wa Qura Kurdistan, 2/1514)

Menulis Tafsir Alquran

Menggali isyarat makna dalam kandungan ayat-ayat Alquran merupakan kegandrungan yang sejak lama dinikmati oleh Husamuddin al-Bidlisi. Dia mengungkapkan, “Sejak masa kecil hingga dewasa ini, saya selalu menyibukkan diri membaca Alquran, menelisik rahasia-rahasia batinnya, berharap tenggelam dalam pusaran cahaya makna ayat demi ayatnya, merengkuh kemuliaan dengan menelusuri sendi-sendi keterangannya dan perbendaharaan isyaratnya.”

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik

Dari sinilah dorongan untuk menulis karya tafsir sufi berasal. Dengan telaten al-Bidlisi memulai usaha tersebut, hingga kemudian kondisi sosial-politik yang tidak stabil serta maraknya konflik dan peperangan antar sesama muslim mengganggunya lalu memaksa dirinya untuk meninggalkan Tabriz. Dia mencatat, “Dengan tegas saya mengupayakan untuk keluar dan pindah ke negeri yang lebih baik yaitu Mekah—lalladzi bi Bakkata mubarakan wa hudan lil’alamin [QS.3:96]—menuju Baitullah. Saya berniat merampungkan kitab Jami’ ini (karya tafsirnya) di tempat yang mulia itu.” Namun, cita-citanya itu tak terwujud sebab usianya telah renta. Dia kembali ke Bitlis, kampung masa kecilnya, dan wafat di sana. Sebagian riwayat bahkan mengatakan dia wafat di Tabriz.

Jami’ al-Tanzil wa al-Ta’wil

Karya ini terdiri dari lima jilid. Sebagian penerbit menyetaknya menjadi empat jilid. Sebagaimana lumrahnya kitab tafsir Alquran, al-Bidlisi memuat tafsir bi al-ma’tsur berdasarkan riwayat hadis, pendapat sahabat dan tabiin. Demikian pula dia merujuk kepada karya para mufasir sebelumnya, meliputi tafsir al-Baghawi, al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, al-Razi, Ruzfahan al-Baqli, dan Syamsuddin al-Zawali. Dua yang disebut terakhir merupakan tafsir sufi. Aspek asbabun nuzul dan kebahasaan juga mendapat perhatian. Di samping semua itu, dia melakukan takwil ayat berdasarkan pengalaman serta pemahaman sufistiknya dan hasil perenungannya atas isyarat makna Alquran.

Al-Bidlisi memulai penyajian tafsirnya sebagaimana struktur yang biasa dipakai dalam kitab tafsir, yakni menyebut nama surat, klasifikasi makkiyah-madaniyah, jumlah ayat, latar historis, dan lain sebagainya. Hanya satu yang tampak mencolok sekiranya tidak umum dilakukan para mufasir yang lain, dia mencantumkan lafal basmalah di setiap surat serta menafsirkannya disesuaikan dengan kandungan isi tiap surat.

Baca Juga: Dimensi Sufistik di Balik Ayat tentang Nasikh Mansukh

Nuansa tasawuf sangat melekat dalam karya ini, sehingga para pembaca yang tidak akrab dengan istilah tasawuf sangat mungkin akan menemui kesulitan di beberapa tempat. Meskipun, al-Bidlisi tidak lupa untuk memaparkan makna lahir sebuah ayat, namun tak jarang ketika melangkah kepada makna batinnya, dia memberikan pemaparan yang teramat mendalam dengan bahasa-bahasa ala kaum sufi yang tidak langsung mudah dipahami, lebih-lebih pada pembahasan yang bersinggungan dengan tasawuf falsafi. Bahkan, dalam tafsir ayat yang jelas-jelas secara lahiriyah berbicara seputar harta rampasan perang (ghanimah) misalnya, dia menghubungkannya dengan makna sufistik tentang asal-muasal penciptaan jagat raya, kefanaan alam dunia, dan manifestasi kehendak Tuhan dalam seluruh komponen semesta. (Husamuddin ‘Ali al-Bidlisi wa Manhajuhu fi Tafsirihi, 117-146)

Namun begitu, karya ini juga cukup banyak memuat penjelasan hukum fikih, termasuk perbedaan pendapat antar imam mazhab. Begitu pula diskursus ilmu kalam atau akidah, di dalamnya banyak dipengaruhi retorika al-Zamakhsyari dan al-Razi. Al-Bidlisi sedari awal mengupayakan penjelasan yang memadai pada tiga pokok agama, yakni iman, Islam, dan ihsan. Nama lain dari karya ini yaitu Tafsir al-Bidlisi Tafsirun Isyariyyun Shufiyyun Syarihun li Maqamat al-Din al-Tsalats: al-Islam wa al-Iman wa al-Ihsan.