Beranda blog Halaman 207

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 15 part 1

0
Tafsir Surah Al-Mulk
Tafsir Surah Al-Mulk

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 15 part 1 menerangkan tentang nikmat Allah yang dilimpahkan kepada manusia. Allah yang menciptakan langit dan bumi serta isinya, mencukupi segala kebutuhan umat manusia dari sandang dan juga pangan.


Baca Juga: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 14


Ayat 15

Tafsir Surah Al-Mulk ayat 15 part 1 ini menerangkan nikmat Allah yang tiada terhingga yang telah dilimpahkan-Nya kepada manusia, dengan menyatakan bahwa Allah telah menciptakan bumi dan memudahkannya untuk mereka, sehingga mereka dapat mengambil manfaat yang tidak terhingga untuk kepentingan hidup mereka.

Dia menciptakan bumi itu bundar dan melayang-layang di angkasa luas. Manusia tinggal di atasnya seperti berada di tempat yang datar terhampar, tenang, dan tidak bergoyang. Dengan perputaran bumi terjadilah malam dan siang, sehingga manusia dapat berusaha pada siang hari dan beristirahat pada malam hari. Bumi memancarkan sumber-sumber mata air, yang mengalirkan air untuk diminum manusia dan binatang ternak peliharaannya.

Dengan air itu pula manusia mengairi kebun-kebun dan sawah-sawah mereka, demikian pula kolam-kolam tempat mereka memelihara ikan. Dengan air itu pula mereka mandi membersihkan badan mereka yang telah kotor, sehingga mereka merasa segar dan nyaman. Diciptakan-Nya pula bukit-bukit, lembah-lembah, gunung-gunung yang menghijau yang menyejukkan hati orang yang memandangnya. Dari celah-celah bukit itu mengalirlah sungai-sungai dan di antara bukit-bukit dan lembah-lembah itu manusia membuat jalan-jalan yang menghubungkan suatu negeri dengan negeri yang lain.

Alangkah banyaknya nikmat yang telah dilimpahkan Allah kepada manusia. Seandainya Allah menahan suatu nikmat saja kepada manusia, misalnya tidak memberikan udara yang akan dihirup, manusia akan mengalami penderitaan yang sangat. Siapakah yang dapat mengingkari nikmat Allah yang demikian banyaknya itu?

Menurut para saintis, bumi yang diseliputi atmosfer sangat dinamis. Proses-proses geologi yang mencakup dari proses erosi, pengendapan, naik-turun muka laut, gempa bumi, pergerakan magma, sampai ke letusan gunung api dalam rentang waktu jutaan tahun telah memungkinkan terjadinya cebakan-cebakan mineral maupun energi.

Di bagian lain, laut dan atmosfer pun tak kalah dinamisnya. Interaksinya dengan daratan dan perjalanannya bersama bulan mengitari matahari membentuk iklim dan musim. Proses-proses dinamis yang melibatkan daratan-laut dan atmosfer tersebut memungkinkan terjadinya siklus hidrologi yang pada gilirannya menurunkan hujan dan menyebabkan kesuburan tanah serta terbentuknya cadangan air baik di danau, sungai maupun dalam tanah. Oksigen dan air yang merupakan kebutuhan vital manusia tersedia melimpah dan amat mudah didapatkannya.

Ayat ini menyatakan bahwa dengan sifat rahman-Nya kepada seluruh umat manusia, maka Allah bukan saja telah menyediakan seluruh sarana dan prasarana bagi manusia. Ia juga telah memudahkan manusia untuk hidup di permukaan bumi. Manusia diperintahkan Allah untuk berjalan di permukaan bumi untuk mengenali baik tempatnya, penghuninya, manusianya, hewan dan tumbuhannya.

Manusia tidak saja diberi udara, tumbuhan, hewan, dan cuaca yang menyenangkan, tapi juga diberi perlengkapan dan kenyamanan untuk mencari rezeki di bumi dengan segala yang ada di atasnya maupun terkandung di dalamnya.

Setelah Allah menerangkan bahwa alam ini diciptakan untuk manusia dan memudahkannya untuk keperluan mereka, maka Dia memerintahkan agar mereka berjalan di muka bumi, untuk memperhatikan keindahan alam, berusaha mengolah alam yang mudah ini, berdagang, beternak, bercocok tanam dan mencari rezeki yang halal. Sebab, semua yang disediakan Allah itu harus diolah dan diusahakan lebih dahulu sebelum dimanfaatkan bagi keperluan hidup manusia.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah Al-Mulk ayat 15 part 2


Tafsir Surah Shad Ayat 77-88

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 77-88 adalah series terakhir dari tafsir kali ini, yang akan menerangkan tentang hukuman Allah kepada Iblis karena menentang perintah-Nya, yaitu diusir dari surga.

Adapun Tafsir Surah Shad Ayat 77-88 ditutup dengan penegasan Allah tentang kebenaran al-Qur’an, bagi mereka yang mengingkarinya, kelak akan menyesal tiada henti. Sedangkan penyesalan ketika itu, tiada berguna lagi dihadapan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 71-76


Ayat 77-78

Karena kedurhakaan Iblis yang enggan menaati perintah Allah, maka Allah mengusir Iblis dari surga, dan menjadikannya sebagai makhluk yang terkutuk. Kutukan itu tetap berlaku sampai hari Kiamat, yaitu hari pembalasan terhadap semua perbuatan manusia.

Firman Allah:

قَالَ فَاهْبِطْ مِنْهَا فَمَا يَكُوْنُ لَكَ اَنْ تَتَكَبَّرَ فِيْهَا فَاخْرُجْ اِنَّكَ مِنَ الصّٰغِرِيْنَ

(Allah) berfirman, “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya. Keluarlah! Sesungguhnya kamu termasuk makhluk yang hina.” ( al-A’raf/7: 13);

Ayat 79

Setelah menjadi makhluk yang terkutuk, Iblis memohon kepada Allah, “Wahai Tuhanku, jika Engkau telah menjadikan aku sebagai makhluk-Mu yang terkutuk dan telah terjauh dari rahmat-Mu, maka aku mohon agar umurku dipanjangkan, hingga sampai hari kebangkitan nanti. Janganlah engkau wafatkan aku selama dunia masih ada.”

Ayat 80-81

Allah mengabulkan permohonan Iblis itu dengan membiarkannya hidup sampai waktu yang ditentukan, sebagaimana firman Allah:

قَالَ اَنْظِرْنِيْٓ اِلٰى يَوْمِ يُبْعَثُوْنَ   ١٤  قَالَ اِنَّكَ مِنَ الْمُنْظَرِيْنَ   ١٥

(Iblis) menjawab, “Berilah aku penangguhan waktu, sampai hari mereka dibangkitkan.”(Allah) berfirman, “Benar, kamu termasuk yang diberi penangguhan waktu.” ( al-A’raf/7: 14-15)

Ayat 82

Selanjutnya Iblis memohon lagi, “Wahai Tuhanku, demi kekuasaan dan kemuliaan Engkau, berilah aku kesempatan untuk menggoda dan menyesatkan manusia dari jalan Engkau, dengan menjadikan mereka memandang baik perbuatan buruk dan maksiat yang mereka kerjakan.”


Baca Juga: Beberapa Sikap Manusia terhadap Nikmat yang Digambarkan Al-Quran


Ayat 83

Selanjutnya Iblis mengatakan, “Tentu saja hamba-hamba Engkau yang kuat imannya, yang tunduk dan patuh kepada Engkau, tidak dapat aku goda dan sesatkan. Hanya orang-orang kafir seperti aku dan orang-orang yang lemah imannya yang mungkin aku sesatkan.”

Ayat 84-85

Allah mengabulkan permintaan Iblis dan berkata, “Yang hak itu ada pada-Ku. Sungguh, yang hak itulah Aku katakan. Neraka Jahanam itu aku penuhi dengan engkau dan anak cucumu yang datang kemudian dan yang mengikuti engkau dalam kesesatan dari sebagian anak cucu Adam.”

Allah mengancam orang-orang yang menjadikan setan sebagai pemimpin-pemimpin mereka dan mengabaikan perintah Allah yang menghantarkan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat. Allah berfirman:

وَّلَاُضِلَّنَّهُمْ وَلَاُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ اٰذَانَ الْاَنْعَامِ وَلَاٰمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللّٰهِ ۚ وَمَنْ يَّتَّخِذِ الشَّيْطٰنَ وَلِيًّا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُّبِيْنًا

Dan pasti kusesatkan mereka, dan akan kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan kusuruh mereka memotong telinga-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya), dan akan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah, (lalu mereka benar-benar mengubahnya). Barang siapa menjadikan setan sebagai pelindung selain Allah, maka sungguh, dia menderita kerugian yang nyata. (an-Nisa’/4: 119)

Ayat 86

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik bahwa ia tidak mengharapkan apalagi meminta upah kepada mereka sebagai imbalan dari tugas menyampaikan agama Allah. Sedikit pun Rasul tidak mengharapkannya.

Hanya Allah yang akan memberi upah padanya. Orang-orang telah mengenal rasul dengan sebaik-baiknya bahwa ia tidak pernah mengada-ada dan membuat yang bukan-bukan.

Dari ayat ini dipahami agar orang-orang yang beriman meniru apa yang telah diperbuat Rasulullah, yaitu selalu menyampaikan agama Allah kepada manusia, walaupun hanya sedikit yang diketahuinya. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ مَنْ عَلِمَ مِنْكُمْ عِلْمًا فَلْيَقُلْ بِهِ، وَمَنْ لَمْ يَعْلَمْ فَلْيَقُلْ: اَللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ قَالَ اللهُ تَعَالَى لِرَسُوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُلْ مَا أَسْئُلُكُمْ… الأية

Wahai sekalian manusia, barangsiapa di antara kamu yang memperoleh pengetahuan, maka hendaklah ia mengatakannya. Dan barangsiapa yang tidak mengetahui hendaklah ia menyatakan, “Allah Ta’ala lebih mengetahui,”. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasulullah saw, “Qul ma’as ‘alukum . . .” sampai akhir ayat.”

Ayat 87

Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an ini berisi petunjuk dan pengajaran bagi jin dan manusia. Semua orang yang sehat akal pikirannya, tentu mengakui kebenarannya. Al-Qur’an merupakan petunjuk ke jalan yang lurus dan pembeda antara yang hak dan yang batil.

Ayat 88

Pada akhir surah ini, Allah menyampaikan kepada orang-orang yang tidak mengindahkan seruan Rasulullah, bahwa kelak mereka setelah mati akan mengetahui apakah tindakan mereka itu salah atau benar.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Shad Ayat 71-76

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 71-76 menceritakan kembali kisah penciptaan manusia, dimana Malaikat dan Iblis sama-sama heran kenapa Allah menciptakan makhluk yang bernama ‘manusia’ itu. Perbedaan keduanya adalah, Malaikat senantiasa taat kepada Allah, sementara Iblis justru bersikap angkuh dan menolak perintah-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 63-70


Ayat 71

Pada ayat ini dijelaskan bahwa para malaikat dan iblis mengajukan pertanyaan kepada Allah setelah Dia menyampaikan kepada malaikat bahwa akan menciptakan seorang manusia dari tanah. Pernyataan mereka mengenai faedah adanya manusia yang akan diciptakan Allah itu. Pertanyaan ini diterangkan dalam firman Allah:

وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (al-Baqarah/2: 30).

Mengenai penciptaan manusia dari tanah, dijelaskan disini bahwa berdasarkan kajian ilmiah bahan penciptaan manusia adalah tanah, disebut lebih persis pada ayat ini yaitu tanah liat. Istilah liat biasa dipakai untuk menamai butiran tanah dengan ukuran paling kecil, diameter di bawah 0,5 mikron (= 1/2000 mm). Istilah liat juga biasa dipakai untuk menamai jenis mineral pembentuk butiran tanah paling kecil ini.

Karena ukurannya yang kecil, liat bila dimasukkan ke dalam air akan bersifat koloidal: tidak melarut tetapi tersebar merata dan sulit dipisahkan dari air. Sebagai mineral, liat adalah sekelompok alumino-silikat hidrat yang strukturnya berlembar. Karena strukturnya, partikel liat mempunyai muatan elektrik.

Sifat-sifat mineral liat lainnya adalah plastis, tetapi plastisitas ini menghilang apabila dipanaskan sampai temperatur tertentu karena struktur mineral berubah.

Pemanfaatan liat secara tradisional didasarkan pada sifat-sifat fisiknya, antara lain karena mudah dibentuk dan mengeras jika dipanaskan, sehingga umum dipakai sebagai bahan pembuat barang gerabah atau tembikar dan keramik.

Pemanfaatan liat secara modern lebih didasarkan pada sifat kimia-fisiknya, umumnya dipakai sebagai bahan katalis pada reaksi-reaksi kimia.

Karena sifat-sifat kimia-fisik yang dimilikinya, liat merupakan bagian tanah yang paling mungkin memiliki peran besar pada proses terbentuknya awal kehidupan di muka bumi termasuk penciptaan manusia (lihat  juga al-An’am/6: 2, Fathir/35: 11; al-Hijr/15: 26-28-33; al-Mu’minun/23: 12, 14; as-Shaffat/37: 11)


Baca Juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56


Ayat 72-74

Allah menyampaikan kepada malaikat bahwa apabila Ia telah menyempurnakan kejadian manusia dan meniupkan roh ke dalam tubuhnya, mereka diperintahkan untuk sujud kepada Adam, sebagai tanda penghormatan kepadanya.

Pada ayat ini diterangkan salah satu proses penciptaan Adam, yaitu dari tanah. Para malaikat bersujud menghormatinya, karena taat kepada Allah, kecuali Iblis. Ia enggan menghormati Adam, sehingga ia termasuk makhluk yang tidak taat kepada Allah. Pembangkangan Iblis terhadap perintah sujud kepada Adam telah disebutkan dalam firman-Nya:

وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ  اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ

Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir. (al-Baqarah/2: 34)

Ayat 75-76

Allah berkata kepada Iblis, “Hai Iblis, apa yang menyebabkanmu enggan sujud menghormati Adam, makhluk yang telah Aku ciptakan sendiri dengan kekuasaan-Ku? Aku sendirilah yang menciptakan Adam itu, bukan makhluk-Ku yang menciptakannya.

Kenapa kamu berlaku angkuh dan sombong. Apakah kamu telah merasa dirimu lebih tinggi dan lebih terhormat di antara makhluk-makhluk yang telah Aku ciptakan, sehingga kamu berpendapat bahwa kamu berhak dan berwenang berbuat apa yang kamu inginkan?”

Iblis menjawab dan memberikan alasan pembangkangannya. Ia mengatakan bahwa ia lebih baik daripada Adam karena Allah menjadikannya dari api, sedang Adam dari tanah. Menurut Iblis, api lebih baik daripada tanah karena sifat api selalu meninggi dan tanah selalu di bawah.

Padahal, materi asal itu tidak bisa dijadikan indikator kemuliaan makhluk. Kemuliaan itu tergantung pada ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Percakapan di atas disebutkan dalam firman Allah:

قَالَ مَا مَنَعَكَ اَلَّا تَسْجُدَ اِذْ اَمَرْتُكَ ۗقَالَ اَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُۚ خَلَقْتَنِيْ مِنْ نَّارٍ وَّخَلَقْتَهٗ مِنْ طِيْنٍ

(Allah) berfirman, “Apakah yang menghalangimu (sehingga) kamu tidak bersujud (kepada Adam) ketika Aku menyuruhmu?” (Iblis) menjawab, “Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”(al-A’raf/7: 12)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 77-88


Tafsir Surah Shad Ayat 63-70

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 63-70 berbicara tentang kebenaran dari kisah-kisah yang telah disampaikan oleh Muhammad melalui wahyu yang diturunkan. Bahwa jangan sesekali orang-orang yang ingkar itu heran jika hal tersebut benar-benar terjadi, sebab sewaktu di dunia Allah dan Rasul-Nya telah memperingatkan betapa pedihnya siksaan neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 59-62


Ayat 63

Selanjutnya mereka saling bertanya sesama mereka, “Apakah karena telah kita ejek dan perolok-olokkan sewaktu di dunia, sehingga mereka tidak masuk neraka ini, sedang mereka adalah orang-orang yang tidak pantas diejek dan diperolok-olokkan. Atau mereka sebenarnya telah masuk bersama-sama kita ke dalam neraka, tetapi kita tidak melihat mereka.”

Demikianlah keadaan orang-orang kafir di dalam neraka, mereka saling salah menyalahkan, saling tuduh-menuduh, bahkan mereka saling bertengkar antara yang satu dengan yang lain.

Ayat 64

Pada ayat ini Allah menegaskan bahwa semua yang diceritakan itu benar-benar akan terjadi, tidak diragukan sedikit pun. Orang-orang kafir itu akan selalu bertengkar sesama mereka di dalam neraka nanti.

Ayat 65

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menyampaikan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa dirinya adalah rasul Allah yang menyampaikan janji dan ancaman-Nya kepada manusia.

Ancaman-Nya ialah azab pedih yang akan ditimpakan kepada orang-orang yang menyalahi perintah-Nya sebagaimana yang telah ditimpakan kepada orang-orang sebelumnya, seperti kaum ‘Ad, Samud, dan sebagainya.

Selanjutnya Rasulullah saw menyatakan bahwa dia hanya pemberi berita dan bukanlah tukang sihir sebagaimana yang mereka tuduhkan dan bukan pula orang pendusta.

Ia bukanlah seorang yang berkuasa atas manusia, sebagaimana diterangkan dalam firman Allah:

فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ  ٢١  لَّسْتَ عَلَيْهِمْ بِمُصَيْطِرٍۙ  ٢٢

Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. (al-Gasyiyah/88: 21-22).

Allah menerangkan tugas seorang rasul dan batas-batas kemampuannya. Dia menerangkan ajaran yang harus disampaikan kepada orang-orang kafir yaitu: Tidak ada satu pun Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, Tuhan Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya.


Baca Juga: Kitab Tanwirul Qari’ Karya Kyai Mundzir Nadzir: Menggali Wejangan Sang Kyai dan Warisan Budaya Metalurgi


Ayat 66

Dialah Tuhan yang tidak dapat ditandingi oleh siapa pun. Tuhan Yang Maha Esa Mahaperkasa, Mahakuasa, menguasai, mengatur, mengawasi, dan memelihara kelangsungan hidup segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Dialah Tuhan Yang Maha Mengampuni segala dosa-dosa hamba yang dikehendaki-Nya.

Ayat 67-68

abi Muhammad diperintahkan untuk mengatakan kepada orang-orang musyrik bahwa berita tentang rasul atau utusan Allah yang memberi peringatan kepada manusia dan berita keesaan dan kekuasaan-Nya, adalah berita yang sangat besar faedahnya bagi seluruh manusia.

Berita itu dapat menyelamatkan manusia dari kesesatan, dapat menunjukkan kepada manusia jalan yang lurus, jalan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mau mengerti bahkan mereka berpaling dari agama Allah.

Ayat 69-70

Selanjutnya Rasulullah diperintahkan Allah menyatakan kepada orang-orang musyrik Mekah bahwa seandainya Allah tidak menurunkan wahyu kepadanya, tentu ia tidak akan mengetahui para malaikat yang selalu tunduk dan patuh kepada Allah.

Ia juga tidak akan mengetahui pembicaraan yang dilakukan para malaikat, Iblis, dan Adam di hadapan Allah. Malaikat dan Adam tunduk dan patuh kepada Allah, sedang Iblis ingkar dan durhaka kepada-Nya.

Pada akhir ayat ini Rasulullah menegaskan lagi tugas yang diberikan Allah, “Aku ini hanyalah seorang rasul yang memberi petunjuk dan peringatan, bukanlah seorang yang dapat memaksa manusia masuk agama Islam.”

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 71-76


Tafsir Surah Shad Ayat 59-62

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 59-62 menceritakan bagaimana kondisi orang-orang kafir di neraka, mereka saling menyalahkan satu sama lain dihadapan Allah Swt. Terutama para pemimpin sewaktu di dunia, mereka dihujat oleh kaumnya sendiri, termasuk memintakan untuk mereka azab yang berlipat-lipat melebihi yang kaumnya rasakan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 50-58


Ayat 59

Para malaikat berkata kepada orang-orang kafir yang telah masuk ke dalam neraka lebih dahulu di waktu mereka menghalau rombongan kafir yang lain yang banyak jumlahnya, “Inilah rombongan yang lain yang dihalau ke dalam neraka agar mereka tinggal di dalamnya bersama-sama dengan kamu.”

Rombongan yang telah masuk dahulu ke dalam neraka, melihat rombongan yang baru yang sedang digiring itu, berkata, “Itu adalah rombongan yang banyak jumlahnya yang akan menghuni neraka bersama-sama kita, maka kecelakaan akan menimpa mereka pula seperti kecelakaan yang telah menimpa kita dan mereka akan dibakar hangus seperti kita.”

Ayat 60

Mendengar ucapan itu, maka rombongan yang sedang digiring malaikat itu menjawab, “Sebenarnya kamulah yang lebih pantas mendapat celaka, karena kamulah yang menyesatkan kami dahulu, dan kamulah yang selalu mengajak serta mendorong kami untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang mengakibatkan kami masuk neraka ini.”

Dalam ayat lain, Allah berfirman:

قَالَ ادْخُلُوْا فِيْٓ اُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ فِى النَّارِۙ كُلَّمَا دَخَلَتْ اُمَّةٌ لَّعَنَتْ اُخْتَهَا

Allah berfirman, “Masuklah kamu ke dalam api neraka bersama golongan jin dan manusia yang telah lebih dahulu dari kamu.” Setiap kali suatu umat masuk, dia melaknat saudaranya… (al-A’raf/7: 38).

Lain halnya penduduk surga, setiap ada rombongan yang masuk ke dalamnya, mereka selalu disambut dengan senang dan gembira, dalam suasana persaudaraan dan kasih sayang, dan kepada mereka diucapkan “salam”.

Sungguh besar perbedaan antara penerimaan orang-orang beriman ketika mereka masuk surga dengan penerimaan orang-orang kafir ketika mereka masuk neraka.


Baca Juga: Perintah Menjaga Diri dan Keluarga dari Api Neraka


Ayat 61

Bahkan penduduk neraka yang baru datang itu berdoa kepada Tuhan agar menambah azab yang berat kepada orang-orang yang telah menyesatkan mereka dengan mengatakan, “Wahai Tuhan kami, timpakanlah azab yang berlipat-ganda kepada pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka agama kami yang telah menyebabkan kami menderita karena azab yang berat ini.

Ayat lain yang searti dengan ayat ini firman Allah:

رَبَّنَا هٰٓؤُلَاۤءِ اَضَلُّوْنَا فَاٰتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِّنَ النَّارِ ەۗ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَعْلَمُوْنَ

“…Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada mereka.” Allah berfirman, “Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi kamu tidak mengetahui.” (al-A’raf/7: 38)

Ayat 62

Orang-orang kafir itu saling bertanya sesamanya, setelah mereka tidak melihat seorang pun orang-orang yang beriman yang mereka anggap hina sewaktu di dunia, “Mengapa kita tidak melihat seorang pun dari orang-orang yang sewaktu di dunia kita pandang sebagai orang bodoh, orang jahat, dan orang hina yang tidak ada kebaikan pada dirinya.”

Ibnu ‘Abbas berkata, “Yang mereka maksud dengan orang bodoh dan jahat adalah sahabat Rasul. Abµ Jahal berkata, “Di mana Bilal, di mana ¢uhaib, di mana Ammar, mereka semuanya di dalam surga.” Kasihan Abu Jahal, anaknya “Ikrimah dan Juwairiyah masuk Islam, demikian pula ibunya, saudaranya, sedang ia sendiri kafir.”

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 63-70

Tafsir Surah Shad Ayat 50-58

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 50-58 berbicara tentang janji Allah yang akan memberikan kenikmatan surga bagi orang-orang yang beriman. Sementara, orang-orang yang ingkar akan menerima kesengsaraan yang pedih didalam neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 47-49


Ayat 50-52

Pada ayat-ayat ini Allah menjelaskan betapa nikmatnya tempat kembali yang disediakan kepada para rasul dan orang-orang yang bertakwa itu. Pintu surga ‘Adn selalu terbuka, dan keadaannya selalu menyenangkan, sebagai tanda bahwa segalanya telah dipersiapkan untuk menghormati hamba-hamba pilihan Allah yang akan menghuninya.

Kamar-kamarnya luas yang mengagumkan, pelayan-pelayannya yang indah dipandang mata, dan suasana lingkungannya yang mencengangkan. Semuanya dalam tata ciptaan yang memesonakan, yang belum pernah terlihat sebelumnya, belum pernah terngiang di telinga dan belum pernah terlintas dalam hati.

Di dalam surga itu keinginan mereka terpenuhi, dipan-dipan tempat mereka membaringkan diri, tersedia serba memuaskan, buah-buahan yang beraneka ragam, jenis rasa dan aromanya, serta minuman dengan segala macamnya, siap disuguhkan.

Sebenarnya kenikmatan yang terdapat dalam surga itu adalah puncak dari segala kenikmatan. Kenikmatan yang ada di surga itu diungkapkan dengan buah-buahan dan minuman sebagai kenikmatan yang sesuai dengan keadaan masyarakat Mekah pada waktu itu.

Kalau disebutkan buah-buahan yang beraneka ragam dan minuman yang bermacam jenisnya, sudah barang tentu selera mereka terangsang, dan timbullah keinginan mereka untuk menikmati.

Di samping itu, mereka didampingi oleh bidadari-bidadari yang sangat sopan. Masing-masing penghuni surga dilayani oleh perempuan-perempuan surga yang khusus untuknya, dan tidak memberikan pelayanannya kepada penghuni surga yang lain. Semua perempuan surga sama-sama cantiknya dan semuanya remaja.

Ayat 53-54

Allah menegaskan bahwa segala macam kenikmatan yang terdapat di surga itulah yang dijanjikan kepada hamba Allah yang bertakwa, yang pasti datang setelah manusia seluruhnya dibangkitkan kembali dari kubur, dan diadili di Padang Mahsyar. Allah menegaskan bahwa nikmat yang ada di surga itu bukan sembarang kenikmatan, tetapi nikmat yang abadi.


Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 134-135 : Empat Perilaku Orang Yang Bertakwa


Ayat 55-56

Pada ayat ini diterangkan keadaan orang-orang kafir di dalam neraka. Mereka memperoleh tempat kembali yang buruk, mengalami kesengsaraan yang tiada taranya di dalam neraka. Segala tempat yang mereka tempati baik tempat duduk, tempat tidur, tempat istirahat, dan sebagainya, merupakan tempat yang tidak mereka senangi, karena di tempat itu mereka selalu mengalami siksaan yang berat.

Dalam ayat yang lain diterangkan keadaan orang kafir di dalam neraka, Allah berfirman:

لَهُمْ مِّنْ جَهَنَّمَ مِهَادٌ وَّمِنْ فَوْقِهِمْ غَوَاشٍۗ وَكَذٰلِكَ نَجْزِى الظّٰلِمِيْنَ

Bagi mereka tikar tidur dari api neraka dan di atas mereka ada selimut (api neraka). Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang zalim. (al-A’raf/7: 41)

Ayat 57-58

Allah menyatakan kepada orang-orang kafir di dalam neraka, “Hai orang kafir, inilah azab yang pernah Aku janjikan dahulu, maka rasakanlah olehmu bagaimana berat dan pedihnya azab itu.

Minumlah di dalam neraka itu air panas yang sedang mendidih yang membakar mulut dan usus-ususmu atau nanah busuk yang mengalir dari tubuh-tubuh penghuni neraka yang sangat dingin. Selain dari itu kamu sekalian akan merasakan azab-azab yang lain yang kamu sendiri tidak mengetahui bentuk azab itu, selain kamu hanya merasakan kesengsaraan yang luar biasa.”

Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدِ الْخُدْرِيِّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ لَوْ أَنَّ دَلْوًا مِنْ غَسَّاقٍ يُهْرَاقُ فِى الدُّنْيَا لَأَنْتَنَ أَهْلَ الدُّنْيَا. (رواه الحاكم)

Dari Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi saw, beliau bersabda, “Seandainya satu timba dari minuman penghuni neraka ditumpahkan di dunia, maka semua penghuni dunia akan berbau busuk. (Riwayat al-Hakim).

Jika diperhatikan ayat-ayat ini dan dihubungkan dengan ayat-ayat yang sebelumnya seakan-akan ayat ini merupakan imbangan perkataan Allah kepada ahli surga.

Pada ayat yang lalu disebutkan bahwa penduduk surga diberikan buah-buahan yang baik dan minuman yang lezat rasanya, sedang pada ayat ini diterangkan bahwa penduduk neraka disuruh merasakan air panas yang mendidih dan nanah yang mengalir.

Hal ini berarti bahwa penduduk surga memperoleh semua yang diminta dan diingini, sedang penduduk neraka disuruh bahkan dipaksa melakukan sesuatu yang tidak diingininya.

Kalau orang-orang yang beriman di dalam surga memperoleh bidadari yang tidak liar pandangannya dan sebaya umurnya, maka penduduk neraka memperoleh azab yang bermacam-macam yang sangat berat dan pedih.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 59-62


Inilah Perbedaan Periodesasi Tafsir Al-Qur’an Husain Al-Dzahabi dan Ignaz Goldziher

0
Perbedaan Periodesasi Tafsir Al-Qur’an Husain Al-Dzahabi dan Ignaz Goldziher
Perbedaan Periodesasi Tafsir Al-Qur’an Husain Al-Dzahabi dan Ignaz Goldziher

Penafsiran Al-Qur’an terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Dimulai dari penafsiran yang berdasar pada riwayat ( menafsirkan ayat Al-Qur’an yang satu dengan ayat Al-Qur’an lainny), hadis Rasulullah Saw, aqwal sahabat dan sebagainya. Hingga pada tafsir bi al-ra’yi (penafsiran Al-Qur’an dengan ijtihad masing-masing mufassir). Menariknya, tulisan ini akan mengurai salah satu pendapat mufassir terkemuka tahun 70-an adalah Muhammad Husain al-Dzahabi yang berasal dari Mesir. Ciri khas yang dimiliki beliau adalah mendakwahkan Islam dengan santun dan ramah tanpa kekerasan. Beliau memiliki banyak karya di bidang tafsir maupun ilmu al-Qur’an. Karyanya yang fenomenal dan menjadi rujukan di bidang tafsir adalah kitab Tafsir wa al-Mufassirun. Meskipun begitu, ternyata pendapat beliau tentang periodesasi tafsir Al-Qur’an ini berbeda dengan tokoh orientalis yakni Ignaz Goldziher.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Cara Bersuci Orang yang Kehilangan Kedua Tangan

Adapun periodesasi penafsiran Al-Qur’an menurut Husain al-Dzahabi:

  1. Periode I. Tafsir pada masa Rasulullah Saw dan para sahabat. Rasulullah Saw menjelaskan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an, kemudian para sahabat mendengarkan. Jika terdapat masalah, maka hal tersebut dikembalikan kepada Rasulullah Saw langsung untuk kemudian dijawab oleh beliau.
  2. Periode II. Tafsir pada masa tabi’in. Penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis Rasulullah Saw, aqwal sahabat dan kemudian dikembangkan dengan ijtihad sendiri.
  3. Periode III. Tafsir pada masa kodifikasi atau pembukuan. Dimulai pada akhir pemerintahan Bani Umayyah dan awal pemerintahan Bani Abbasiyyah.
  4. Periode IV. Tafsir pada masa modern. Ciri utama dari periode modern adalah perhatian yang besar terhadap permasalahan manusia dan langsung pada penyelesaiannya.

Kelebihan dari periodesasi penafsiran Al-Qur’an versi al-Dzahabi adalah adanya urutan periodesasi secara terstruktur dari masa Rasulullah Saw hingga di masa modern. Di kitab tafsir wa al-mufassirun, beliau juga menjelaskan bagaimana karakteristik dan ciri khas penafsiran di masing-masing periode.

Tidak hanya dari kalangan muslim, banyak dari kalangan Barat yang mempelajari berbagai bidang keilmuan Islam termasuk bidang tafsir Al-Qur’an. Bahkan beberapa di antara mereka rela menjadi mu’alaf demi mendapatkan informasi terkait keilmuan Islam secara mendalam dan juga mendapatkan titik kelemahan Islam. Kelompok tersebut biasa dikenal dengan sebutan kaum orientalis.

Ignaz Goldziher merupakan salah satu tokoh orientalis terkemuka yang berasal dari Hongaria. Sumbangan pemikirannya memengaruhi sejarah keilmuan Islam termasuk di bidang penafsiran Al-Qur’an. Kecerdasan intelektual juga tekad yang kuat untuk mempelajari Islam, mengantarkannya dapat menguasai beberapa bidang keilmuan Islam.

Baca juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

Adapun periodesasi penfasiran Al-Qur’an menurut pandangan Ignaz Goldziher yang terdapat dalam buku Mazhab Tafsir :

  1. Periode I. Tafsir bi al-ma’tsur atau bi al-riwayah. Menafsirkan suatu ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang lainnya, dengan aqwal sahabat dan sebagainya.
  2. Periode II. Tafsir pada masa menuju madzhab ahli ra’yi (teologi, tasawuf, politik keagamaan). Menafsirkan Al-Qur’an dengan perspektif teologi, tasawuf, politik atau keagamaan (berdasarkan ijtihad mufassir).
  3. Periode III. Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan atau keilmuan Islam yang ditandai dengan adanya pemikiran-pemikiran baru. Contohnya Muhammad Abduh memiliki statement baru mengenai ayat poligami dengan menafsirkannya. Secara tersirat, Al-Qur’an justru menganjurkan untuk monogami. Pemikiran tersebut dapat mematahkan pemikiran lama terhadap ayat poligami berupa “anjuran” untuk berpoligami.

Periodesasi penafsiran Goldziher di atas memiliki kelebihan yakni fokus pada periode madzhab dengan berbagai metode penafsirannya. Adapun kelemahannya adalah tidak melihat periodesasi Rasulullah Saw dan para sahabat karena pada masa itu masih menggunakan lisan dalam penyampaiannya. Goldziher mengganggap bahwa tradisi lisan yang dipraktekkan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat tidak dapat dibenarkan karena tidak ada bukti nyata atau tertulis seperti manuskrip.

Tradisi Barat pada dasarnya adalah tradisi tulis-menulis atau tradisi manuskrip. Fakta sejarah dibenarkan oleh Barat dengan adanya bukti tertulis seperti tradisi manuskrip dan sebagainya sesuai ketentuan. Maka, tidak dibenarkan jika sejarah tersebut hanya terbatas dalam bentuk lisan. Sebaliknya dengan tradisi Timur, ia lebih menekankan kepada tradisi lisan atau sya’ir-sya’ir. Maka sejarah dalam bentuk lisan dapat dibenarkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada.

Baca juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

Dari penjabaran singkat kedua tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa setiap periodesasi penafsiran Al-Qur’an yang dikelompokkan oleh para ulama maupun tokoh tertentu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing dengan berbagai konsekuensi yang ada. Maka, sangat dianjurkan untuk tidak hanya fokus kepada satu versi saja, melainkan beberapa versi sehingga dapat membandingkannya dan mengambil hikmahnya masing-masing. Wallahhu a’lam[].

 

Tafsir Ahkam: Cara Bersuci Orang yang Kehilangan Kedua Tangan

0
Cara Bersuci Orang Yang Kehilangan Kedua Tangan
Cara Bersuci Orang Yang Kehilangan Kedua Tangan

Kedua tangan adalah anggota tubuh yang cukup penting dalam bersuci. Baik dalam wudhu, mandi besar serta tayamum, selain kedua tangan juga wajib dibasuh maupun diusap, keberadaan kedua tangan menjadi salah satu penentu kemampuan seseorang dalam bersuci. Sebab ketiadaan kedua tangan membuat seorang muslim kesulitan bahkan tidak mampu berwudhu, mandi besar maupun tayamum sendirian untuk membasuh atau mengusap sisa anggota yang ada dan wajib dibasuh maupun diusap. Maka, adakah penjelasan cara bersuci orang yang kehilangan kedua tangan?

Lalu bagaimana sebenarnya cara bersuci orang yang terpotong kedua tangannya? Barangkali dikarenakan pentingnya masalah ini, Imam Ar-Rozi merasa perlu mengulasnya di dalam tafsir Mafatihul Ghaib. Berikut penjelasan Imam A-Razi tentang cara bersuci orang yang terputus kedua tangannya serta beberapa penjelasan rinci kitab fikih terkait permasalahan tersebut:

Baca juga: Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

Kewajiban Membasuh atau Mengusap Tangan

Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. (QS. Al-Ma’idah [5] :6)

Ayat di atas menunjukkan pentingnya kedua tangan dalam bersuci dari hadas. Sebab dalam tiga cara bersuci dalam Islam; yaitu wudhu, mandi besar maupun tayamum, kedua tangan adalah anggota tubuh yang wajib dibasuh atau diusap. Selain itu keberadaan kedua tangan berpengaruh cukup besar pada status kemampuan seseorang dalam bersuci, yang memang amat mendapat perhatian oleh syariat Islam.

Baca juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

Imam Ar-Razi tatkala mengulas ayat di atas menjelaskan, orang yang kehilangan kedua tangannya maka gugurlah kewajiban dalam bersuci yang dibebankan padanya terkait kedua tangan. Hal itu juga berlaku pada kedua kaki. Bahkan apabila ia tidak menemukan orang yang dapat membantunya berwudhu maupun tayamum, maka gugurlah kewajiban bersuci darinya. Imam Ar-Razi beralasan, ayat tentang kewajiban bersuci memiliki jalinan erat terhadap kemampuan seseorang. Apabila ia tidak mampu, maka gugur pula kewajiban tersebut darinya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/490).

Hal serupa juga diungkapkan Imam An-Nawawi; seorang pakar perbandingan mazhab dari Mazhab Syafi’i. Imam An-Nawawi juga menambahkan rincian penjelasan, arti dari terpotong tangannya adalah sama sekali tidak tersisa anggota tangan yang wajib disucikan; yakni mulai ujung jari sampai siku. Apabila masih ada yang tersisa, semisal tersisa bagian tangan 3 cm mulai dari siku ke bawah, maka ulama’ sepakat atas kewajiban membasuhnya. Selain itu, apabila tidak tersisa bagian tangan yang wajib dibasuh, maka dianjurkan mengusap tempat terpotongnya tangan tersebut (Al-Majmu’/1/392).

Terkait penjelasan Imam An-Nawawi di atas; yakni masalah kewajiban membasuh anggota tangan yang tersisa dan anjuran mengusap bekas potongan saat tidak ada anggota tangan yang tersisa, Kitab Mausu’ah Ijma’ fi Fiqhil Islami mendokumentasikan bahwa tidak ada ulama’ yang mengutarakan pendapat yang berbeda. Sehingga kemungkinan besar tidak ada perbedaan pendapat terkait hal ini (Mausu’ah Ijma’ fi Fiqhil Islami/1/260).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Enam Hikmah Disyariatkannya Tayamum

Cara Bersuci Orang yang Kehilangan Kedua Tangan

Lalu bagaimana syariat memandang kesulitan ia dalam membasuh sisa anggota tubuh yang wajib dibasuh? Bagaimana bila ketiadaan kedua tangan membuat ia tidak bisa wudhu bahkan tayamum? Imam Al-‘Umrani menjelaskan, apabila ia menemukan orang yang dapat dibayar untuk menwudhukannya serta ia mampu membayarnya, maka ia wajib menyewa orang tersebut. Apabila ada yang sukarela membantunya tanpa minta bayaran, maka ia wajib menerimanya. Apabila ia tidak menemukan orang yang bisa membantunya, dengan atau tanpa dibayar, maka ia boleh salat dalam keadaan hadas. Namun ia wajib mengulanginya saat mampu bersuci (Al-Bayan/1/123).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengambil keimpulan, orang yang kehilangan kedua tangannya sampai tidak tersisa, maka gugurlah kewajiban membasuh atau mengusap kedua tangan darinya. Dan ia dianjurkan mengusap bekas potongan tangannya. Apabila masih ada sisa anggota tangan yang wajib dibasuh, maka ia wajib dibasuh. Wallahu a’lam bish showab.

Tiga Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

0
Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9
Prinsip Menjaga Persaudaraan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 9

Manusia diciptakan oleh Allah Swt dengan berbagai macam karakter dan sifatnya; di antaranya suku, ras, budaya, bangsa, bahkan agama. Namun, keberagaman tersebut seringkali memicu permasalahan yang cukup mendasar, yakni melemahnya prinsip menjaga persaudaraan. Padahal, manusia diciptakan oleh Allah Swt dari sumber yang sama. Terlepas dari apa dan bagaimana agama mereka.

Bahkan pondasi persaudaraan tersebut harus dimulai dari sesama pemeluk agama Islam, sehingga kita tidak keliru membangun persaudaraan lintas agama. Sebab, persaudaraan yang baik dimulai dari internal agama sendiri. Allah Swt telah memberikan pesan kepada umat manusia perihal menjaga persaudaraan, sebagaimana dalam surah Al-Hasyr ayat 9.

وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُا الدَّارَ وَالْإِيمانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كانَ بِهِمْ خَصاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (9)

Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung (Q.s. Al-Hasy [59]: 9)

Baca juga: Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

Sebelumnya, artikel yang ditulis oleh Halya Millati dengan judul Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 9: Sahabat Ansar, Suri Tauladan untuk Bersikap Rela Berkorban mengupas terkait dengan sikap sahabat Ansar yang sanggup berkorban demi sahabat Muhajirin. Artikel tersebut juga meberlakukan pengerbonan pada harta dan sikap yang menteyertai pengerbonan tersebut. Sementara itu, sebagian mufasir memahami pengorbanan secara umum.

Memiliki rasa pengorbanan, sebagaimana dalam artikel di atas, adalah salah satu prinsip menjaga persaudaraan menurut Al-Quran. Surat Al-Hasyr [59]: 9 juga mengandung dua prinsip dalam menjaga persaudaraan; pertama, mengedepankan rasa cinta kasih; kedua, tujuan yang murni.

Prinsip Rela Berkorban

Prinsip pertama untuk menjaga persaudaraan adalah rela berkorban atau dalam ayat di atas disebut dengan yu’tsiru atau al-istsar. Menurut Ahmad al-Shawi lafaz al-Itsar (yu’tsiru) dalam ayat tersebut mengandung makna mendahulukan yang lain daripada diri sendiri (Hasyiah al-Shawi 4, 178). Fakruddin al-Razi berpendapat, walaupun ayat tersebut mengandung rela berkorban dalam hal pembagian harta fai, namun tidak tercegah (boleh) pengorbanan tersebut kepada selainnya (Mafatih al-Ghaib 29, 508).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Enam Hikmah Disyariatkannya Tayamum

Tampaknya al-Razi meberlakukan ayat tersebut pada keumuman lafaznya, bukan pada kekhususan sebab turun ayat tersebut. Implikasinya, pengerbonan tersebut tidak hanya pada materi saja, melainkan semua hal yang ada dalam diri kita. Kesanggupan tersebut harus berbasis pengukuran yang matang. Sebab pengorbanan tanpa perhitungan sia-sia.

Prinsip Cinta Kasih

Prinsip kedua setelah pengorbanan adalah prinsip cinta kasih. Prinsip tersebut bukan hanya diungkapkan secara perkataan, tetapi dibuktikan dengan perbuatan kita kepada objek yang dicintai. Sebab, salah satu dari bukti cinta sejati adalah mengikuti apa yang menjadi keinginan yang dicintai.

Situasi tersebut tercermin dari penyambutan sahabat Anshar ketika kedatangan sahabat Muhajirin. Disamping sahabat Anshar merelakan materinya (sanggup berkorban), mereka juga tidak memberatkan kepada Muhajirin ketika akan mengunjungi Madinah. Sikap tidak memberatkan tersebut menurut Nashiru al-Din al-Baidhawi merupakan bentuk mencintai sahabat Anshar kepada Muhajirin (Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil 5, 200).

Prinsip cinta kasih atau saling mencintai dalam konteks menjaga persaudaraan, seharunya dapat diimplementasikan selama berinteraksi dengan sesama dalam ruang yang lebih luas. Misalnya, dalam konteks Indonesia yang majemuk sangat urgen untuk tidak memberatkan sesama warga negara. Kemajemukan tersebut meniscayakan perbedaan yang sangat kompleks sekaligus menyadarkan bahwa kita tidak boleh memaksakan kehendak.

Baca juga: Surat Ali Imran Ayat 110: Syarat Menjadi Umat Terbaik

Sikap pemaksaan tersebut kemungkinan besar akan memberatkan lawan interaksi kita. Bahayanya, ketika lawan komunikasi kita merasa diberatkan oleh kita, baik dengan perkataan, perbuatan, atau prosedur yang rumit, maka akan merasa kapok. Dengan demikian, intensitas interaksi dan sosialisasi mengalami penurunan yang berpengaruh pada persaudaraan.

Nabi pernah berdoa supaya orang yang merepotkan urusan umat beliau, balasannya adalah tidak dimudahkan urusan orang tersebut. Nabi saw bersabda.

اللهُمَّ، مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ

Ya Allah, barangsiapa yang mengurusi urusan umatku kemudian merepotkan (memberatkan) umatku, maka susahkanlah (H.R Muslim 3, 1458. No hadis 1828).

Walaupun konteks hadis tersebut antara pemimpin dan masyarakat, namun dapat diberlakukan kepada keumuman maksudnya. Sehingga, siapa pun orangnya yang menyusahkan dan memberatkan urusan sasama, konsekuensinya adalah dia akan merasa kesusahan pula. Di sinilah pentingnya rasa saling mencintai.

Prinsip Tujuan yang Murni

Prinsip yang terakhir ini membutuhkan jiwa yang bersih dan keyakinan yang pripurna terhadap Allah swt; bahwa pengorbanan yang kita berikan kepada orang lain pasti akan ada buah dan manfaatnya yang kembali kepada kita.

Baca juga: Beberapa Sikap Manusia terhadap Nikmat yang Digambarkan Al-Quran

Keniscayaan mempunyai keyakinan tersebut memberikan dampak yang signifikan terhadap prilaku hati kita, di anataranya terhindar dari sifat iri dengki, marah, dan dendam. Kecenderungan mufasir dalam menafsirkan وَلا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حاجَةً مِمَّا أُوتُوا yaitu sahabat Anshar tidak menaruh sifat iri dengki, kemarahan, dan dendam dalam hati mereka (al-Tafsir al-Munir li Zuhaili 28, 83).

Kemurnian tujuan membantu dan saling mencintai dibangun dari kesadaran individu bahwa setiap orang memiliki bagian dan hak untuk hidup bahagia di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, menjaga persaudaraan pada hakikatnya membangun kebahagian dan kelayakan hidup di dunia dan di akhirat. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Shad Ayat 47-49

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 47-49 masih memaparkan kisah-kisah para Nabi, yang tulus dan gigih dalam menegakkan ketauhidan Allah Swt. Diantara penjelasan yang disinggung dalam tafsir ini adalah tentang kebersihan jiwa para utusan Allah, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan yang patut ditiru, yaitu bagaimana mereka menjalin hubungan kepada Allah serta menjaga hati dari sifat yang keji.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 44-46


Ayat 47

Pada ayat ini, Allah menegaskan bahwa para hamba pilihan-Nya, yaitu Ibrahim, Ishak, dan Yakub, benar-benar mempunyai jiwa yang bersih.

Tidak tersirat sedikit pun dalam jiwa mereka sifat-sifat yang tercela, seperti sifat dengki dan takabur, melainkan terpancar dari dalam diri mereka sifat-sifat yang terpuji yang menjadi teladan dan contoh yang baik bagi kaumnya.

Pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini ialah, jiwa yang bersih dan akal yang sehat merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang menginginkan kemuliaan baik dunia maupun akhirat.

Orang yang jiwanya bersih dan akalnya sehat tentu melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang ada pada dirinya dan ada di langit dan bumi seisinya.

Sedang orang yang jiwanya kotor dan pikirannya terbelenggu oleh kebendaan, tentu tidak akan melihat tanda-tanda kebesaran Allah dan tidak akan melihat kebenaran wahyu yang dibawa oleh rasul.


Baca Juga: Cara Menghayati Kebaikan Allah Swt dan Kebesaran-Nya dalam Al-Quran


Ayat 48

Pada ayat ini, Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar mengisahkan nabi-nabi yang lain, yaitu Ismail, Ilyasa’, dan Zulkifli kepada kaumnya. Mereka ini adalah nabi-nabi yang gigih memperjuangkan tegaknya agama Allah di tengah-tengah kaumnya.

Ayat ini memisahkan penyebutan Ismail dengan ayahnya Ibrahim. Hal ini mengisyaratkan adanya perpisahan antara keduanya. Memang Nabi Ismail berpisah dengan ayahnya, setelah beliau ditinggal bersama ibunya, Hajar, di Mekah.

Thahir bin Asyur, seperti yang dikutip Quraish Shihab, memahami bahwa pemisahan itu karena Nabi Ismail kelak akan menjadi kakek moyang dari umat yang besar, yaitu bangsa Arab. Sedang Ishak dan Yakub disatukan dengan Ibrahim karena mereka memang menjadi kakek moyang Bani Israil.

Penggabungan Ilyasa’ dan Ismail karena adanya persamaan antara keduanya, antara lain mereka sama-sama sebagai manusia pilihan, kedudukan Ilyasa’ di kalangan Bani Israil serupa dengan kedudukan Ismail di kalangan keturunan Ibrahim.

Kesamaan itu adalah Ilyasa‘ membantu Nabi Ilyas, sebagaimana Ismail membantu Ibrahim.

Menurut asy-Syaukani dalam Tafsir Fath al-Qadir disebutkan bahwa penggabungan penyebutan Zulkifli, Ilyasa’, dan Ismail karena mereka mempunyai kesamaan, yaitu orang-orang penyabar.

Pada penghujung ayat, Allah menegaskan bahwa mereka ini adalah hamba-hamba Allah yang paling baik, berakhlak tinggi, berbudi luhur, dan membimbing kaumnya agar taat kepada Allah dan menjauhi kemusyrikan.

Ayat 49

Allah menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menceritakan kemuliaan para nabi dan kebahagiaan mereka di akhirat adalah kehormatan bagi mereka untuk selalu diingat oleh manusia.

Di samping memperoleh kemuliaan di dunia, mereka pun disediakan tempat kembali yang baik di akhirat.

Pada ayat ini, para nabi dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang takwa, agar orang-orang yang memperhatikan seruan Rasulullah pada saat mendengar firman Allah ini menjadi sadar bahwa apabila mereka mau mencontoh dan meneladani perjuangan para rasul itu, tentu mereka juga akan memperoleh kehormatan di dunia dan kebaikan di akhirat.

Demikian pula orang-orang yang mau melaksanakan perintah Allah serta menjauhi larangan-Nya, tentu akan memperoleh nasib yang sama.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 50-56