Beranda blog Halaman 208

Tafsir Surah Shad Ayat 39-43

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 39-43 secara umum mengisahkan tentang kehidupan Nabi Ayub AS. Seorang Nabi yang dikenal sabar menghadapi ujian dari Allah Swt., dan kisahnya ini banyak diulang dalam al-Qur’an.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 35-38


Ayat 39

Allah selanjutnya menjelaskan bahwa segala macam nikmat itu adalah anugerah yang diberikan-Nya kepada Sulaiman secara khusus. Nikmat itu meliputi kerajaan yang besar, kekayaan yang berlimpah dan kekuasaan yang tak pernah diberikan kepada yang lain. Nikmat-nikmat itu dianugerahkan kepadanya agar digunakan sebagaimana mestinya.

Allah menandaskan bahwa nikmat-nikmat itu diberikan kepada Sulaiman tanpa pertanggungjawaban, karena Sulaiman telah diberi kemampuan untuk mengendalikan segala macam nikmat itu.

Ayat 40

Kemudian Allah menjelaskan bahwa di samping kemuliaan yang telah dicapainya di dunia, yang sangat menakjubkan itu, ia akan dilimpahi karunia yang lebih nikmat lagi dan kedudukannya yang lebih mulia.

Allah menjanjikan kepadanya bahwa ia akan dimasukkan dalam deretan hamba-hamba-Nya yang mempunyai kedudukan yang sangat dekat kepada Allah, yaitu kedudukan yang diperoleh para rasul dan nabi, tempat kembali yang baik yaitu surga Naa’im yang penuh dengan segala macam kenikmatan.

Ayat 41

Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw agar menceritakan kepada kaumnya kisah Ayub yang sangat sabar menghadapi cobaan hidup dan taat kepada Allah. Pada saat menghadapi cobaan yang sangat berat itu, ia berdoa kepada Allah dan mengadukan agar penderitaannya itu dihilangkan.

Beberapa ahli tafsir menyebutkan bahwa Ayub adalah seorang nabi yang sangat kaya. Ia adalah seorang petani dan pemelihara ternak. Di samping itu, juga sebagai pemimpin kaumnya di sebuah negeri yang terletak di sebelah tenggara Laut Mati.

Negerinya terletak di antara kota Adum dan padang pasir Arab, sangat subur, dialiri oleh mata air yang sangat banyak. Ia hidup di antara zaman Nabi Ibrahim dan Nabi Musa.

Semula beliau hidup makmur dan bahagia, amat taat  beragama, dan banyak sanak keluarganya. Ia sangat senang atas hasil usaha yang dicapainya, juga atas kekayaan, keluarga, dan kesehatannya.


Baca Juga : Temu Lembaga Konsultasi Syariah: Layanan Fatwa Digital Berbasis Moderasi Beragama


Allah lalu ingin menguji ketabahannya dengan menimpakan penyakit kulit yang sangat parah. Begitu berat penyakitnya dan begitu lama dideritanya hingga harta bendanya habis, dan keluarganya bertebaran ke negeri-negeri sekitarnya untuk mencari penghidupan.

Di tengah-tengah penderitaannya itu, ia merasa sangat lelah dan menderita. Ia merasa ada setan yang mengusik jiwanya ketika beribadah kepada Allah. Lalu ia mengadukan kepada Allah agar diberi petunjuk untuk melepaskan dirinya dari penderitaan dan siksaan yang dialaminya.

Allah berfirman:

۞ وَاَيُّوْبَ اِذْ نَادٰى رَبَّهٗٓ اَنِّيْ مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَاَنْتَ اَرْحَمُ الرَّاحِمِيْنَ

Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika dia berdoa kepada Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sungguh, aku telah ditimpa penyakit, padahal Engkau Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.” (al-Anbiya’/21: 83)

Ayat 42-43

Ayat ini menjelaskan bahwa karena ketaatan dan kesabaran Ayub menghadapi cobaan, Allah mengabulkan doanya dengan memerintahkan kepadanya agar menghentakkan kakinya ke bumi.

Kemudian dari bumi itu memancar mata air yang sejuk. Lalu Ayub diperintahkan agar mandi dan minum dengan air itu. Seketika itu, Allah menyembuhkan penyakitnya seakan-akan tidak pernah sakit sebelumnya.

Kemudian ia menghimpun kembali keluarganya yang telah terpencar, dan mereka akhirnya dapat menyebarkan keturunan yang banyak, sebagai rahmat Allah kepadanya dan kepada keturunannya.

Pada akhir ayat, Allah menegaskan bahwa ketaatan dan kesabaran Ayub itu merupakan pelajaran bagi orang-orang yang berakal dan menjadi petunjuk bagi seluruh manusia bahwa rahmat Allah itu dekat sekali pada orang-orang yang senantiasa melakukan perbuatan yang baik.

Hal ini juga menjadi contoh bahwa setiap perjuangan itu meskipun pada mulanya terasa sangat melelahkan, tetapi bila dilakukan dengan penuh ketabahan, niscaya segala kesulitan pasti dapat diatasi, dan kemenangan pasti dapat diraih.

Pengalaman berharga yang dapat dipetik dari kisah Ayub ini ialah bahwa orang tidak boleh berputus asa untuk mencari jalan ke luar dalam menghadapi rintangan, hingga ia mendapatkan jalan untuk mengatasi rintangan itu, dengan memohon petunjuk kepada Allah agar diberi limpahan hidayah-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 44-46


Tafsir Surah Shad Ayat 44-46

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 44-46 berbicara tentang kisah-kisah para Nabi, diantara Nabi yang diceritakan dalam tafsir ini adalah antara Nabi Ayub dan istrinya, kemudian diulas pula sedikit kisah Ibrahim dan Ya’qub. Kisah-kisah Nabi terdahulu memang sengaja Allah terangkan kembali kepada manusia, supaya mereka bisa mengambil pelajaran darinya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 39-43


Ayat 44

Kemudian Allah mengisahkan keringanan hukuman bagi istrinya yang diberikan kepada Ayub. Allah memerintahkan agar Ayub mengambil seberkas rumput untuk dipukulkan kepada istrinya. Pukulan rumput ini cukup sebagai pengganti dari sumpah yang pernah ia ucapkan.

Dalam ayat-ayat Al-Qur’an tidak disebutkan apa sebab ia bersumpah dan apa sumpahnya. Hanya hadis sajalah yang menyebutkan bahwa ia bersumpah karena istrinya, yang bernama Rahmah putri Ifraim, pergi untuk sesuatu keperluan dan terlambat datang.

Ayub bersumpah akan memukulnya 100 kali apabila ia sembuh. Dengan pukulan seikat rumput itu, ia dianggap telah melaksanakan sumpahnya, sebagai kemurahan bagi Ayub sendiri dan bagi istrinya yang telah melayaninya dengan baik pada saat sakit.

Dengan adanya kemurahan Allah itu, Ayub pun terhindar dari melanggar sumpah.

Di akhir ayat, Allah memuji bahwa Ayub adalah hamba-Nya yang sabar, baik, dan taat. Sabar menghadapi cobaan yang diberikan kepadanya, baik cobaan yang menimpa dirinya, hartanya, serta keluarganya.

Dia dimasukkan dalam golongan hamba-Nya yang baik perangainya karena tidak mudah berputus asa, dan menumpahkan harapannya kepada Allah.

Dia juga sebagai hamba-Nya yang taat, karena kegigihannya memperjuangkan perintah-perintah agama serta memelihara diri, keluarga, dan kaumnya dari kehancuran.

Mengenai ketaatan Ayub dapat diketahui dari sebuah riwayat bahwa apabila ia menemui cobaan mengatakan:

اَللّهُمَّ أَنْتَ أَخَذْتَ وَأَنْتَ أَعْطَيْتَ

“Ya Allah, Engkaulah yang mengambil dan Engkau pula yang memberi.”;Pada waktu bermujanat ia pun berkata:

اِلٰهِيْ قَدْ عَلِمْتَ أَنَّهُ لَمْ يُخَالِفْ لِسَانِيْ قَلْبِيْ وَلَمْ يَتَّبِعْ قَلْبِيْ بَصَرِيْ وَلَمْ يَلْهَنِيْ مَا مَلَكَتْ يَمِيْنِيْ وَلَمْ اَكَُلْ إِلاَّ وَمَعِيَ يَتِيْمٌ وَلَمْ أَبِتْ شَبْعَانَ وَلاَ كَاسِيًا وَمَعِيْ جَائِعٌ أَوْ عُرْيَانُ.

“Ya Tuhanku, “Engkau telah mengetahui betul bahwa lisanku tidak akan berbeda dengan hatiku, hatiku tidak mengikuti penglihatan, hamba sahaya yang kumiliki tidak akan mempermainkan aku, aku tidak makan terkecuali bersama-sama anak yatim dan aku tidak berada dalam keadaan kenyang dan berpakaian sedang di sampingku ada orang yang lapar atau telanjang.”


Baca Juga: Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa


Ayat 45

Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar mengisahkan kepada kaumnya perjuangan Nabi Ibrahim, dan putra beliau Ishak yang juga diangkat menjadi nabi, serta cucunya Yakub yang mencapai derajat kenabian juga.

Mereka itu hamba-hamba Allah yang terkenal ketabahannya dan mencapai kemuliaan karena ketaatannya kepada Allah.

Karena perjuangannya yang gigih dalam menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan, mereka ini dilimpahi kekuatan oleh Allah untuk memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas dan kekuatan untuk memimpin kaumnya ke jalan yang terang, jauh dari kesesatan.

Mereka juga diberi kemampuan untuk melaksanakan amal perbuatan yang diridai Allah, yang bermanfaat bagi kepentingan hidup kaumnya di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat.

Pada ayat ini terdapat sindiran bagi kaum musyrikin bahwa apabila mereka tidak mau mengambil pelajaran dari kisah tersebut tentulah mereka akan tetap berada dalam kesesatan dan di akhirat nanti mereka akan mengalami penderitaan yang sangat mengerikan.

Ayat 46

Pada ayat ini, Allah menjelaskan sebab-sebab para nabi tersebut mencapai kemuliaan baik dunia maupun akhirat adalah karena memelihara kebersihan jiwa dan menjauhkan diri dari dosa yang tercela.

Karena jiwa mereka bersih dari noda-noda kemusyrikan, maka mereka ikhlas menaati perintah-perintah Allah.

Juga karena mereka selalu menjauhi perbuatan-perbuatan tercela, maka mereka gigih dalam memperjuangkan kebenaran dan melenyapkan kebatilan.

Dengan demikian, tergambarlah dalam jiwa mereka akhlak yang tinggi, dan sifat yang mulia yang menyebabkan mereka patut diteladani.

Seluruh kegiatan mereka baik berupa tenaga, harta, maupun pikiran, semata-mata dipergunakan untuk peribadatan secara murni, dengan tujuan ingin mendapat rida Allah dan menjunjung tinggi kalimat tauhid.

Dengan landasan itu, mereka selalu memperingatkan kaumnya pada kehidupan akhirat yang kekal.

Kenikmatan di dunia yang hanya sementara itu hendaknya dijadikan sarana untuk berbakti pada Allah, sehingga dengan demikian mereka di akhirat memperoleh kenikmatan yang tiada putus-putusnya, yang disediakan bagi hamba-hamba yang mendapatkan keridaan-Nya.

Sedang hamba-hamba yang ingkar dan selalu bergelimang dalam kesesatan hidup, akan merasakan azab yang sangat pedih.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 47-49


Tafsir Surah Shad Ayat 33-34

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 33-34 mengisahkan tentang ujian Allah kepada Nabi Sulaiman, ujian tersebut merupakan teguran Allah supaya Sulaiman selalu mengingat diri-Nya. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tidak bisa lepas dari kehendak-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 30-32


Ayat 33

Pada ayat ini, Allah menjelaskan apa yang diperintahkan Sulaiman kepada para pelatih kudanya. Ia menyuruh pelatihnya agar kuda-kuda itu dibawa kembali kepadanya. Setelah pelatih itu membawa kuda kepadanya, ia pun mendekati.

Lalu ia mengusap kaki dan leher kuda sebagai tanda kepuasan Sulaiman terhadap hasil gemilang yang dicapai kuda-kuda itu.

Dengan demikian kuda itu dapat dipergunakan dalam peperangan untuk menggempur musuh atau untuk mengelakkan serangan-serangan musuh yang datang secara mendadak.

Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa Sulaiman hamba Allah yang saleh, taat beribadah, teliti, dan cermat merencanakan perjuangan untuk menegakkan kalimat tauhid serta mempunyai kesadaran yang tinggi dalam saat-saat menentukan mana yang lebih penting dari yang penting.

Ayat 34

Kemudian Allah menjelaskan keadaan Sulaiman pada saat mendapat cobaan dan keadaannya setelah selesai menghadapi cobaan itu.

Allah mencobanya dengan menimpakan sakit keras. Demikian hebatnya serangan penyakitnya itu hingga kehilangan kekuatan sama sekali.

Badannya lemah lunglai tergeletak di atas kursinya seolah-olah tak bernyawa lagi.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:

قَالَ سُلَيْمَانُ لأَطُوْفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى تِسْعِيْنَ امْرَأَةٍ كُلُّهُنَّ تَأْتِي بِفَارِسِ يُجَاهِدُ فِي سَبِيْلِ اللهِ فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ قُلْ إِنْ شَاءَ الله فَلَمْ يَقُلْ اِنْ شَاءَ اللهُ فَطَافَ عَلَيْهِنَّ جَمِيْعًا فَلَمْ تَحْمِلْ ِمْنهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَائَتْ بِشقِّ رَجُلٍ وَ أَيْمُ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ  بِيَدِهِ لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ الله لَجَاهَدُوْا فِي سَبِيْلِ اللهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُوْنَ. (رواه البخارى ومسلم عن أبى هريرة)

Nabi Sulaiman berkata, “Saya akan berkeliling malam ini untuk mengumpuli sembilan puluh istri, semuanya nanti akan melahirkan anak yang mahir menunggang kuda dan berjihad fi sabilillah.” Maka seorang sahabatnya berkata kepadanya, “Katakan insya Allah,” tetapi Nabi Sulaiman tidak mengatakan insya Allah. Nabi Sulaiman kemudian mengumpuli istri-istrinya itu semua, tetapi tidak ada yang hamil dari mereka kecuali seorang istri, yang kemudian melahirkan anak yang tidak sempurna. Demi Zat yang menguasai diri Muhammad, “Seandainya Nabi Sulaiman mengatakan insya Allah, niscaya semua istrinya melahirkan anak-anak yang mahir menunggang kuda dan berjihad fi sabilillah.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).


Baca Juga : Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis


Keterangan lain menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan cobaan itu ialah berkenaan dengan keinginan Nabi Sulaiman mendatangi sembilan puluh istrinya dalam satu malam dan setiap istrinya melahirkan seorang penunggang kuda.

Namun, ia tidak mengucapkan insya Allah, sehingga Allah mengujinya dengan cobaan tidak ada yang melahirkan kecuali hanya satu orang dan melahirkan bayi lumpuh setengah badan dan diletakkan di atas kursi Nabi Sulaiman.

Di saat-saat menerima cobaan seperti itu, ia selalu memanjatkan harapannya kepada Allah serta penyerahan dirinya menerima cobaan itu dengan ikhlas. Pada penghujung ayat, Allah menegaskan bahwa Sulaiman lalu bertobat meminta ampun atas kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya serta berserah diri kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 35-39


Tafsir Surah Shad Ayat 35-38

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir sebelumnya menerangkan tentang ujian Allah kepada Nabi Sulaiman, dan pada Tafsir Surah Shad Ayat 35-38 kali ini akan dijelaskan bagaimana keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Sulaiman, setidaknya ada tiga kesitimewaan yang akan diurai pada penafsiran berikut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 33-34


Ayat 35

Allah lalu menjelaskan bahwa setelah Sulaiman sembuh dari sakitnya, ia menyadari kelemahan yang ada pada dirinya. Ia telah memilih  hal yang kurang penting. Dia telah kehilangan waktu yang utama untuk melakukan ibadah karena menyaksikan latihan kuda.

Lalu Nabi Sulaiman berdoa kepada Allah agar dianugerahi kerajaan yang tidak ada tandingannya, yang tak akan dimiliki oleh seorang jua pun sesudahnya. Dalam hadis Nabi saw diriwayatkan:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ عِفْرِيْتاً مِنَ الْجِنِّ تَفَلَّتَ عَلَى الْبَارِحَةِ لِيَقْطَعَ عَلَى صَلاَتِي فَأَمْكَنَنِى اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى مِنْهُ فَأَخَذْتُهُ فَأَرَدْتُ أَنْ أَرْبِطَهُ إِلَى سَارِيَةٍ مِنْ سَوَارِى الْمَسْجِدِ حَتَّى تَنْظُرُوْا إِلَيْهِ كُلُّكُمْ فَذَكَرْتُ قَوْلَ أَخِي سُلَيْمَانَ عَلَيْهِ السَّلاَم: رَبِّ اغْفِرلِي وَهَبَ لِي مُلْكاً لاَ يَنْبَغِي لأَِحَدٍ بَعْدِي إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ. فَرَدَدْتُهُ خَاسِئًًا. (رواه البخاري ومسلم)

Bahwa Nabi saw berkata, “Bahwa Ifrit dari golongan jin meludahi aku tadi malam agar aku membatalkan salatku namun Allah memberikan kekuatan kepadaku sehingga aku dapat menangkap jin itu. Aku bermaksud untuk mengikatnya di satu tiang dari tiang-tiang masjid sehingga kamu dapat melihatnya. Tapi aku teringat doa saudaraku Sulaiman, “Ya Allah ampunilah aku, dan berilah aku kekuatan yang tidak layak untuk diberikan kepada orang sesudahku.” Maka aku usir dia untuk menjauh. (Riwayat al- Bukhari dan Muslim)

Nabi Sulaiman dibesarkan dalam lingkungan kerajaan dan kenabian. Sejak kecil ia terlatih sebagai seorang anak dari seorang raja dan nabi.

Sulaiman pun mewarisi kemampuan keduanya dan Allah juga menganugerahkan kepadanya kemampuan itu. Itulah sebabnya maka Allah menganugerahkan kepadanya kerajaan yang sangat kuat dan kekayaan yang berlimpah ruah, yang tiada tandingannya.

Di akhir ayat Allah menyebutkan alasan yang dikemukakan Sulaiman dalam doanya yaitu karena Allah benar-benar akan mengabulkan doa setiap orang yang disertai usaha dan syarat kemampuan yang dimiliki sesuai dengan kehendak-Nya.


Baca Juga : 13 Tempat dalam Al-Qur’an yang Disunnahkan Baca Doa atau Wirid Khusus (Part 3)


Ayat 36-38

Pada ayat ini, Allah menjelaskan beberapa nikmat yang diberikan kepada Nabi Sulaiman, sebagai jawaban dari pada doanya. Pertama: Allah menganugerahkan kepada Sulaiman kekuasaan menundukkan angin. Atas izin Allah, angin berhembus dengan kencang atau gemulai menurut kehendaknya pula.

 Allah berfirman:

وَلِسُلَيْمٰنَ الرِّيْحَ عَاصِفَةً تَجْرِيْ بِاَمْرِهٖٓ اِلَى الْاَرْضِ الَّتِيْ بٰرَكْنَا فِيْهَاۗ وَكُنَّا بِكُلِّ شَيْءٍ عٰلِمِيْنَ

Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah padanya. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Anbiya’/21: 81).

Kedua: Allah menganugerahkan kepadanya kemampuan menundukkan setan-setan yang ahli bangunan dan ahli menyelam, yang melakukan tugas sesuai dengan perintah Sulaiman.

Apabila ia memerintahkan kepada mereka membangun suatu bangunan seperti gedung-gedung pertemuan istana, benteng pertahanan, atau gedung-gedung tempat menyimpan harta kekayaan Sulaiman dan lain-lain, maka tugas itu dapat mereka selesaikan dalam waktu yang sangat singkat.

Apabila Sulaiman memerintahkan mereka untuk mengumpulkan mutiara dan marjan serta kekayaan laut lainnya, tugas itu dapat diselesaikan dengan cepat pula.

Ketiga: Allah menganugerahkan kepadanya kekuasaan menundukkan setan yang menentang perintahnya. Tangan dan kaki mereka terikat dalam belenggu, agar tidak berbahaya kepada yang lain, dan sebagai hukuman atas pembangkangannya.

Kekuasaan yang diberikan Allah kepada Sulaiman untuk menunduk-kan setan maksudnya adalah kekuasaan untuk menggerakkan mereka melakukan tugas-tugas berat, yaitu tugas membangun gedung-gedung, dan menyelam mengeluarkan kekayaan laut.

Namun tidak ada keterangan secara pasti mengenai bagaimana Sulaiman membelenggu setan itu. Sikap yang paling utama ialah kita menerima keterangan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan untuk mengungkapkan pengertiannya, kita serahkan kepada ilmu pengetahuan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 39-41


Tafsir Surah Shad Ayat 30-32

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Sebelumnya telah dijelaskan bagaimana keistimewaan dari sifat Nabi Daud. Adapun Tafsir Surah Shad Ayat 30-32 kali ini berbicara tentang kewibawaan Nabi Sulaiman sebagai penerus dari trah Nabi Daud AS. Tentunya, Sulaiman juga memiliki keistimewaan tersendiri yang dianugerahkan oleh Allah padanya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 28-29


Ayat 30

Allah menjelaskan bahwa di samping dianugerahi kemuliaan dan kekuasaan, Daud juga dianugerahi putera yang saleh, yang mempunyai kemampuan melanjutkan perjuangannya, yaitu Sulaiman. Ia mewarisi sifat-sifat ayahnya.

Ia terkenal sebagai hamba yang taat beribadah dan dalam segala urusan ia selalu bersyukur kepada Allah. Ia yakin bahwa segala macam kenikmatan dan keindahan itu terwujud hanyalah semata-mata karena limpahan rahmat Allah dan karunia-Nya.

Itulah sebabnya ia disebut sebagai hamba Allah yang paling baik, dan sebagai pujian yang pantas diberikan kepadanya. Allah menyifatinya sebagai hamba-Nya yang amat taat kepada-Nya.

Dengan demikian, Allah mengangkat Nabi Sulaiman menjadi nabi penerus kenabian dan kerajaan Nabi Daud, serta mewarisi ilmu pengetahuannya yang tertuang dalam Kitab Zabur.

Allah berfirman:

وَوَرِثَ سُلَيْمٰنُ دَاوٗدَ

Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. (an-Naml/27: 16);

Ayat 31

Allah menyebutkan salah satu di antara peristiwa yang dihadapi Sulaiman, yang menyebabkan dia pantas mendapat pujian. Peristiwa itu terjadi pada saat beliau memeriksa pasukan berkuda yang biasanya dilakukan pada sore hari.

Kuda-kuda itu dilatih agar dapat diketahui ketangkasan dan kemampuan geraknya sehingga memungkinkan untuk dibawa dalam medan pertempuran.

Juga dilatih kemampuannya untuk mengurangi kecepatannya atau berhenti seketika dan ditingkatkan daya tahannya menghadapi serangan-serangan mendadak. Kuda-kuda itu dilatih sedemikian rupa agar dapat dikendalikan sesuai dengan taktik yang dikehendaki oleh pasukan yang mengendarainya.

Ketangkasan kuda ikut menentukan berhasil tidaknya pasukan dalam menguasai medan perang dan mematahkan serangan musuh.


Baca Juga : Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang


Ayat 32

Kemudian Allah menjelaskan keadaan Sulaiman pada saat menyaksikan latihan kuda itu. Ia mengatakan bahwa ia menyukai kuda karena sangat berguna untuk digunakan sebagai alat menegakkan kebenaran dan membela agama Allah.

Kesenangannya melatih kuda itu sedemikian dalamnya, sehingga tiap sore hari ia mengunjungi tempat latihan kuda hingga matahari terbenam di ufuk langit bagian barat yaitu hingga cahaya matahari mulai sirna, dan gelapnya malam menghalangi pemandangannya untuk menyaksikan latihan itu.

Pada saat-saat itulah terjadi pergolakan dalam dirinya, kepentingan manakah yang harus didahulukan di antara kedua kepentingan. Kepentingan pertama ialah kesadaran jiwanya untuk beribadah kepada Allah.

Sedangkan kepentingan kedua ialah melatih kuda untuk kepentingan menegakkan kebenaran dan membela kalimat tauhid. Dalam keadaan seperti itu, ia menyadari bahwa apabila ia menyaksikan latihan berkuda itu hingga larut malam, berarti ia mengabaikan ibadah yang harus ia lakukan.

Pada ayat ini tidak dijelaskan secara terperinci apakah kesenangan Sulaiman memeriksa latihan kuda itu menyebabkan ia kehilangan waktu untuk melakukan ibadah atau tidak.

Begitu pula tidak diterangkan mana yang didahulukan oleh Sulaiman, memeriksa latihan kuda atau melaksanakan ibadah. Namun yang dapat dipahami dari ayat tersebut ialah pada saat dia asyik menyaksikan latihan kuda, terbetiklah dalam hatinya kesadaran beribadah kepada Allah.

Apabila keasyikannya itu dituruti, niscaya berlarut-larut hingga kehilangan kesempatan untuk bermunajat dengan Allah.

Maka pengertian yang patut diambil dari ayat ini ialah, pergolakan yang terjadi pada diri Sulaiman itu ialah penyesalan karena tidak melakukan ibadah kepada Allah pada awal waktunya, karena sibuk menyaksikan latihan kuda. Kemudian ia sadar dan melaksanakannya di akhir waktu.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 33-35


Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

0
Orang Bersyukur Semakin Langka, Ini Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an
Keutamaan Syukur Menurut Al-Qur’an

Syukur adalah sebuah ibadah yang sering luput dari perhatian manusia. Banyak kita saksikan mereka yang masih merasa gelisah, khawatir, insecure, bahkan sampai pada level stres. Bersyukur semakin langka di masa sekarang, mengingat kita sedang berada pada kondisi pandemi yang memberikan banyak tekanan di satu sisi dan di sisi lain memberi tantangan untuk menjadi lebih baik.

Kondisi semacam ini perlu disikapi dengan bijak oleh orang-orang beriman. Satu di antara imun diri dalam menghadapi sulitnya hidup adalah bersyukur. Untuk itu, menjadi penting bagi kita memahami kembali konsep syukur di dalam Al-Qur’an. Selanjutnya, tulisan ini akan menguraikan sekelumit ayat-ayat syukur yang menarik untuk direnungkan kembali.

Sedikit Orang yang Bersyukur

Satu ayat unik yang berkaitan dengan syukur adalah surah As-Saba’ ayat 13. Setelah perintah untuk beramal sebagai tanda syukur, ayat ini menegaskan satu kenyataan bahwa sedikit sekali orang yang bersyukur.  Berikut redaksi dan terjemahan ayatnya:

يَعْمَلُونَ لَهُ ما يَشاءُ مِنْ مَحاريبَ وَ تَماثيلَ وَ جِفانٍ كَالْجَوابِ وَ قُدُورٍ راسِياتٍ اعْمَلُوا آلَ داوُدَ شُكْراً وَ قَليلٌ مِنْ عِبادِيَ الشَّكُورُ

Artinya: “Mereka bekerja untuknya apa yang dikehendakinya seperti gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung serta piring-piring yang seperti kolam-kolam dan periuk-periuk yang tetap. Beramallah (hai) keluarga Daud sebagai tanda kesyukuran. Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang sempurna kesyukuran-(nya).

Quraish Shihab menerangkan ayat ini, dengan penafsiran bahwa amat sedikit hamba Allah yang mantap rasa syukurnya. Hal ini diuraikan lebih lanjut melalui penjelasan frasa qalīl dan syakūr. Qalīl yang berarti sedikit disebutkan dalam bentuk nakirah atau indefinite, sehingga bermakna amat sedikit.

Adapun frasa syakūr, merupakan bentuk hiperbola atau mubālaghah dari kata syākir, yakni orang yang sering, banyak, dan mantap syukurnya. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa sebenarnya banyak yang bersyukur, namun sedikit yang syukurnya mantap dan banyak. Karena syukur juga memiliki beberapa tingkatan (Tafsīr al-Misbāh, jil. 12, hal. 359).

Baca juga: Inilah 3 Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur dalam Menjalani Kehidupan

Kebaikan Syukur Untuk Diri Sendiri

Ayat selanjutnya berkaitan dengan kisah Nabi Sulaiman yang diuji dengan didatangkannya istana dalam sekejap. Kemudian peristiwa ini menjadi medan ujian bagi Nabi Sulaiman untuk kemudian bersyukur atau justru kufur terhadap kenikmatan ini. Mari simak surah An-Naml ayat 40 berikut:

قالَ هذا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَني‏ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَ مَنْ شَكَرَ فَإِنَّما يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَ مَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَريمٌ

Artinya: Ia pun berkata, “Ini termasuk karunia Tuhan-ku untuk mengujiku apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhan-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”

Asy-Sya’rawi menerangkan bahwa peristiwa ini menjadi ujian bagi Nabi Sulaiman, apakah ia menjadikan peristiwa ini sebagai nikmat yang disyukuri atau malah tidak dia syukuri. Sikap Nabi Sulaiman dapat dilihat dari perkataan dan sikapnya kemudian.

Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa rasa syukur itu kebaikannya kembali pada orang yang bersyukur, karena Allah sama sekali tidak butuh rasa syukur hamba. Ia adalah maha sempurna dan kaya. Dengan kata lain, andai seluruh makhluk bersyukur, itu tidak menambah sedikitpun kebesaran Allah. Sebaliknya, andai seluruh makhluk kufur, itu juga tidak mengurangi sedikitpun keagungan dari kerajaan Allah (Tafsīr asy-Sya’rawī, jil. 17, hal. 10787).

Baca juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

Bersyukur Menambah Nikmat

Ayat terakhir yang menarik adalah surah Ibrahim ayat 7. Ayat ini menerangkan janji Allah untuk menambah nikmat bagi mereka yang bersyukur. Kemudian mengingatkan azab yang pedih bagi mereka yang kufur terhadap nikmat-nikmat Allah. Allah berfirman:

وَ إِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزيدَنَّكُمْ وَ لَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذابي‏ لَشَديدٌ

Artinya: (Dan ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Makarim Asy-Syirazi dalam Tafsīr Al-Amthal menafsirkan ayat ini, bahwa ada tiga tingkatan syukur. Pertama, tingkatan keyakinan dan pemahaman akan Allah Sang Pemberi Nikmat, inilah rukun pertama syukur. Kedua, bersyukur dengan lisan dengan mengucap lafal syukur seperti “alhamdulillah”. Ketiga, tingkatan terpenting, syukur dengan perbuatan; yaitu dengan menggunakan segala nikmat semaksimal mungkin dalam ketaatan kepada Allah (Al-Amthal fī Tafsīr Kitābillah al-Munzal, jil. 6, Hal. 490).

Di sisi yang lain, Thaba’thaba’i menjelaskan ayat ini secara menarik. Bahwa rasa syukur dengan tiga tingkatan (secara mantap) akan menambah nikmat pada pelakunya. Nikmat ini dapat berupa nikmat yang lahir; berupa bertambah sehatnya tubuh atau bertambahnya harta, dan nikmat yang batin; berupa tambahan iman dan petunjuk.

Ia juga menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan kelembutan dan kasih sayang Allah, karena saat berbicara kepada orang yang bersyukur, Allah mengatakan “pasti akan Aku tambah” (laazīdannakum). Namun, kepada yang kufur, Allah tidak mengatakan “pasti akan aku azab” (lau’adzibannakum), akan tetapi Allah hanya memberi peringatan bahwa adzab-Nya amat pedih (Tafsīr al-Mīzān, jil. 7, hal. 217).

Melalui tiga ayat syukur ini, semoga dapat menambah semangat kita untuk terus bersyukur. Bersyukur dengan sering dan mantap sampai pada tingkatan al-Syakūr. Bersyukur secara sempurna dengan keyakinan, lisan, dan amal perbuatan, karena kita yakin bahwa Allah selalu menambah kenikmatan bagi mereka yang bersyukur dan rasa syukur itu kembali kepada diri kita sendiri.

Dengan demikian, tekanan, ujian, dan kondisi pandemi ini tidak boleh menyurutkan kita untuk terus bersyukur. Justru, dengan bersyukur, Allah akan memberi kekuatan kepada kita untuk menghadapi lika-liku kehidupan. Bahkan, Allah melipatgandakan segala kenikmatan yang berhasil kita syukuri.

Wallahu’alam bishawab.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 7: Hikmah dan Cara Mensyukuri Nikmat Allah

Kritik Atas Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

0
Kritik Atas Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Huruf al-Muqatta’ah
Kritik Atas Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun dalam memahami kosakata dan kalimatnya juga merupakan hal yang tidak mudah bagi kalangan orang Arab sendiri, apalagi kalangan non Arab. Sementara itu, Ibnu Khaldun mengklaim bahwa semua orang Arab memahami dan mengetahui makna, kosakata, dan kalimat di dalam Al-Qur’an dengan dalih diturunkan dalam bahasa Arab. Nah, dari pernyataan tersebut nampaknya perlu dikritisi, sebab jika yang dimaksud Ibnu Khaldun adalah kosakata dan kalimat al-Qur’an secara umum, maka tentu saja pernyataan tersebut ada benarnya. Akan tetapi, jika yang dimaksud adalah secara keseluruhan, maka pernyataan tersebut kurang tepat.

Hal ini dapat kita telaah melalui keberadaan bagian-bagian tertentu di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami dan tergambar dengan jelas lewat pernyataan QS. Ali-Imran (3): 7. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua klasifikasi ayat, ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat merupakan ayat yang jelas maknanya, seperti perintah salat, membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Sementara yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat ialah ayat yang samar maknanya. Satu contoh di antara ayat yang samar ialah rangkaian huruf-huruf hijaiyah (al-huruf al-muqatta’ah) di permulaan beberapa surah (fawatih al-suwar) yakni, Kaf-ha-ya-‘ain-sad,Ya-sin, dan lainnya.

Dari sini muncul lah ketimpangan dalam hal memahami fawatih al-suwar. Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menyebutkan bahwa pemahaman terhadap rangkaian huruf-huruf hijaiyah terkadang dikontrol untuk kebutuhan subjek sebagaimana yang direpresentasikan oleh sebagian penganut Syi’ah dan Sunni. Bagi kelompok Syi’ah, apabila huruf-huruf awalan itu dikumpulkan setelah dihapus ulangan-ulangannya akan tersusun suatu kalimat “sirat ‘Ali haqq numsikuh”, yang berarti “jalan Ali adalah kebenaran yang kita pegang teguh”. Pandangan ini mendapat respon dari kelompok Sunni yang pada akhirnya membuat slogan dari rangkaian al-huruf al-muqatta’ah yakni “sahh tariquk ma’ al-sunnah (benar jalanmu bersama kaum Ahl al-Sunnah).

Atas problematika tersebut, William Montgomery Watt dan Richard Bell dalam bukunya Introduction to the Qur’an” (Pengantar al-Qur’an) menyebutkan seorang orientalis yang bernama Hartwig Hirschfield juga mencoba merespons sekaligus mengkaji fawatih al-suwar ini. Dia memberikan penyelesaian dengan menganggap bahwa huruf sad sebagai isyarat untuk Hafsah, kaf untuk Abu bakar, dan nun untuk ‘Utsman. Kemudian ia menyimpulkan bahwa sebelum surah-surah tersebut tertulis secara permanen dalam Al-Qur’an, huruf-huruf itu hanyalah singkatan dari judul-judul surah yang tidak terpakai lagi.

Demikian pula argumen dari Theodor Noldeke yang memiliki pandangan mengenai huruf-huruf hija’iyah di awal surah. Menyandang predikat sebagai father of qur’anic critism, Noldeke selalu menjadi acuan bagi para orientalis lain dalam mengkaji dan mengkritisi otentisitas al-Qur’an. Melalui tulisan ini, penulis akan mengulas mengenai kritik atas pandangan Noldeke mengenai huruf muqatta’ah dalam al-Qur’an.

Baca juga: Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an

Pendapat Ulama tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Mengacu pada kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad bin Abdullah al-Zarkashi, beliau memberikan penjelasan adanya 29 surah dalam al-Qur’an yang diawali dengan al-huruf al-muqatta’ah. Ibnu Katsir sendiri menyimpulkan bahwa al-huruf al-muqatta’ah jika dihitung keseluruhannya tanpa pengulangan berjumlah 14 huruf. Huruf-huruf tersebut terangkai dalam kalimat نَصَّ حَكِيْم قَاطِع لَهُ سِرٌّ. Jika dihitung dengan jumlah pengulangannya, maka jumlah huruf muqatta’ah berjumlah 78 huruf.

Secara umum, pandangan ulama tentang makna al-huruf al-muqatta’ah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

  1. Makna huruf tersebut tersembunyi, merupakan rahasia yang hanya diketahui Allah. Al-Suyuti dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menganggap bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang terpilih. Ia mengatakan Ibn Munzir suatu ketika meriwayatkan bahwa al-Sa’bi pernah ditanya tentang fawatih al-suwar, ia berkata: Inn li kulli kitab sirran wa inn sirr hadha al-qur’an fawatih al-suwar (Setiap kitab suci memiliki rahasia, sedangkan rahasia al-Qur’an adalah ayat-ayat yang menjadi pembuka surah; al-huruf al-muqatta‘ah). Begitu pula pandangan al-Zarkashi, bahwa ayat mutasyabihat ialah hal yang harus diyakini dan diserahkan pemahamannya kepada Allah.
  2. Huruf muqatta‘ah dapat diketahui dan dipahami oleh mereka yang mendalam ilmu pengetahuannya, sehingga dapat menjangkau hikmah dan maksud yang dituju.

Baca juga: Hikmah Penggunaan Huruf-Huruf Hijaiyah Pada Fawatihus Suwar

Pandangan Theodor Noldeke tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Noldeke dalam bukunya Geschichte des Qorans, berpandangan bahwa huruf-huruf muqatta‘ah bukan bagian dari al-Qur’an, melainkan inisial dari nama-nama penulis al-Qur’an. Pandangan Noldeke ini memang bukan hal baru, ia merujuk pada pendangan Jacob Golius dan George Sale. Bagi Sale, meskipun penafsiran terhadap makna huruf muqatta‘ah banyak, tetapi keseluruhannya tidak sesuai kecuali pendapat yang dikemukakan oleh Golius. Golius berpendapat bahwa huruf-huruf tersebut, merupakan tambahan yang disisipkan oleh para penulis al-Qur’an. Salah satu argumen yang mendasari hal ini adalah karena kebanyakan sarjana Muslim ketika dihadapkan dengan huruf muqatta’ah, selalu berkata “Hanya Allah yang tahu”.

Oleh karena itu, ketika ada ilmuan dan mufasir muslim yang mencoba menafsirkannya, maka ada dua kelompok yang saling bertentangan. Ada yang meyakini bahwa huruf muqatta’ah bisa ditafsirkan, dan sebagian lagi meyakini tidak bisa ditafsirkan. Di antara sarjana Muslim yang mencoba menafsirkannya adalah al-Suyuti yang menyatakan bahwa Qaf adalah pegunungan yang mengelilingi bumi atau lautan yang merupakan singgasana Tuhan.

Dalam bukunya, al-Itqan, al-Suyuti bersandar pada pendapat Ibn Abbas yang menyatakan bahwa Kaf-ha-ya-‘ayn-sad merepresentasikan Allah, Karim, Hadi, Hakim, ‘Alim, Sadiq. Singkatnya, seluruh metode interpretasi sarjana Muslim bersikeras menegaskan huruf muqatta’ah adalah bagian dari otentisitas al-Qur’an yang telah diwahyukan pada Muhammad, yang secara umum menunjukkan kata-kata itu sebagai tanda.

Sementara menurut Jeffrey yang paling benar adalah usaha yang dilakukan oleh Noldeke dalam karyanya yang berjudul Geschichte des Qorans (1860). Dalam hal ini, baik Noldeke dan Jeffrey menyatakan bahwa keberadaan huruf muqatta’ah dalam al-Qur’an akibat kebingungan Zaid bin Tsabit saat ditugaskan menulis atau menyalin kembali al-Qur’an pada masa itu. Karena banyaknya bacaan dan sumber manuskrip pada masa itu, hingga memaksa Zaid bin Tsabit membubuhi inisial di setiap bacaan dan manuskrip yang ada.

Baca juga: Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

Kritik Atas Pemikiran Theodor Noldeke

Noldeke berpandangan bahwa huruf muqatta’ah bukan bagian dari al-Qur’an, melainkan  inisial para penulis al-Qur’an yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari ayat al-Qur’an. Jika benar apa yang dikatakan Noldeke dan Hartwig Hirschfeld demikian, lalu bagaimana dengan sahabat lain yang berperan penting dalam kehidupan Rasulullah ternyata tidak ter-cover dalam surah-surah tersebut.

Abu Laylah dalam al-Qur’an al-Karim min al-Manzur al-Istishraqi merespons tuduhan Noldeke tersebut atas Zaid bin Tsabit adalah tidak benar. Zaid sendiri melakukan pengumpulan naskah tidak hanya dari naskah sempurna yang dimiliki oleh sahabat, namun juga melakukan pengumpulan dari berbagai bahan seperti tulang, pelepah kurma, dan batu. Sebab itu, Zaid tidak butuh inisial sebagai pembeda naskah sahabat.

Selain itu, pandangan Noldeke tidak didasari argumentasi yang kuat. Proses kodifikasi Al-Qur’an melewati tahapan yang ketat dan sangat hati-hati oleh Zaid, meskipun ia adalah penulis wahyu utama dan penghafal al-Qur’an. Zaid sendiri dalam menjalankan tugasnya bersandar kepada ayat al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi, serta ayat al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat. Zaid tidak menerima tulisan ayat al-Qur’an kecuali disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Pembukaan al-Qur’an telah melalui proses panjang, serta menyaratkan riwayat-riwayat mutawatir yang kemudian hal ini bisa digunakan untuk membendung tuduhan Noldeke yang tidak didasarkan pada riwayat yang kuat, bahkan yang dhaif sekalipun.

Dan jika tuduhan Noldeke benar, seharusnya ia juga memaparkan penjelasan mengenai mushaf sesuai dengan nama sahabat. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Kemudian ini dapat menjadi bantahan dengan mempertanyakan mengapa hanya sebagian surah yang diberi inisial. Bukankah surah yang lainpun bersumber dari para sahabat?

Abu Laylah menambahkan pula, bahwa nama inisial yang digunakan bukan nama sahabat yang mahsyur dalam segi periwayatan. Tentu hal ini terkesan memaksakan dan merupakan cocokologi semata yang dilakukan Noldeke demi mengurangi keontentikan al-Qur’an. Selain itu, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bukan kebiasaan orang Arab menggunakan naskah maupun manuskrip. Kebiasaan bangsa Arab yang dikenal ialah memiliki hafalan yang kuat (dhabit).

Meskipun banyak sarjana studi al-Qur’an yang mengemukakan pandangannya tentang huruf muqatta‘ah, namun tidak dijumpai pendapat seperti yang dikemukakan oleh Noldeke. Pandangan Noldeke ini kemudian mempengaruhi mayoritas pandangan murid-muridnya. Pandangan mereka berangkat dari pemikiran untuk mengkritik, menggugat, dan menelanjangi otentisitas al-Qur’an. Meskipun sebagian sarjana Islam juga mengomentari tentang huruf-huruf muqatta‘ah, akan tetapi pendapat mereka didasari atas sikap ibadah dan ketakwaan.

Pandangan Noldeke tidak terbukti kebenarannya. Tuduhan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat, baik secara historis maupun secara teoritis. Bahkan yang paling mencolok ialah ketidaksesuaian singkatan huruf-huruf muqatta‘ah sebagai inisial nama sahabat. Begitu pula pandangan tersebut bertentangan dengan ketakwaan para sahabat. Wallahua’lam bishawab.

Baca juga: Ayat-ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah

Tafsir Ahkam: Enam Hikmah Disyariatkannya Tayamum

0
Tafsir Ahkam: Enam Hikmah Disyariatkannya Tayamum
Enam Hikmah Disyariatkannya Tayamum

Sebagai alternatif bersuci dari hadas kecil dan besar, keberadaan tayamum merupakan sebuah keringanan dari agama yang amat berharga. Sebab memang tidak di setiap tempat didapati air. Begitu pula air kadangkala terbatas di beberapa daerah, sampai-sampai harus dibeli dengan harga yang sangat mahal. Oleh karena itu, tentu akan menyulitkan jika keabsahan salat misalnya digantungkan pada keberadaan  air.

Namun meyakini bahwa kebaikan Islam dalam tayamum hanya terbatas pada ditiadakannya kewajiban menggunakan air bagi orang yang tidak menemukan air, adalah pandangan yang sempit. Sebab bila kita melihat berbagai penjelasan ulama yang disampaikan secara rinci atau hanya sebatas tersirat, kebaikan Islam dalam tayamum terdapat pada enam poin penting lainnya. Berikut poin-poin tersebut:

Kebaikan Islam dalam Disyariatkannya Tayamum

Allah berfirman usai menerangkan tentang disyariatkannya tayamum:

مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Allah tidak ingin menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur (QS. Al-Ma’idah [5}: 6).

Baca juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43

Para ulama tatkala menguraikan ayat di atas menjelaskan enam poin penting tentang kebaikan Islam dalam tayamum, selain dari bahwa debu dapat menggantikan air tatkala tidak menemukan air:

Pertama, bersuci menggunakan debu merupakan praktik bersuci yang ada hanya dalam syariat Nabi Muhammad. Dan ini menunjukkan betapa istimewanya umat Nabi Muhammad. Sahabat Khudzaifah meriwayatkan sabda Nabi terkait keutamaan yang hanya diterima umatnya ini (Tafsir Ibn Katsir/2/320):

وَجُعِلَتْ تُرْبَتُهَا لَنَا طَهُورًا إِذَا لَمْ نَجِدِ الْمَاءَ

Dan debu bumi dijadikan suci serta mensucikan tatkala kita tidak menemukan air (HR. Imam Muslim).

Kedua, debu tidak hanya dapat menjadi alternatif bersuci tatkala tidak menemukan air, tapi juga tatkala kesulitan menggunakan air. Salah satunya sebab sakit yang tidak memungkinkan berdekatan dengan air. Poin ini penting dijadikan kajian bagi muslim yang berkecimpung di dunia kedokteran. Islam tidaklah memaksakan diberlakukannya syariat apabila dapat mengancam keselamatan jiwa pemeluknya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/215).

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari sahabat Jabir, diceritakan ada seorang yang terkena luka dikepalanya dan ia mengalami mimpi basah. Ia bertanya pada orang di sekitarnya, apakah ia boleh bertayamum untuk hadasnya sebab air akan membahayakan lukanya. Orang di sekitarnya menyatakan ia tidak boleh tayamum. Orang tersebut lantas menggunakan air dan meninggal. Nabi yang mengetahui tentang itu amat marah dan menyalahkan mereka mengapa tidak bertanya-tanya terlebih dahulu. Padahal ia cukup meletakkan semacam perban di lukanya dan kemudian melakukan tayamum (Subulus Salam/1/331).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Orang Sakit Diperbolehkan Tayamum Meski Menemukan Air

Ketiga, termasuk yang membolehkan tayamum adalah sebab air sangat terbatas dan hanya cukup untuk dikonsumsi sehari-hari, atau untuk membelinya perlu biaya yang cukup tinggi. Entah itu untuk dikonsumsi manusia atau hewan yang tergolong “dimuliakan” dalam Islam, Kesemuanya menurut ulama dapat menjadi sebab diperbolehkannya tayamum. Hal ini penting diketahui oleh muslim yang tinggal diperkotaan dengan akses air bersih amat dibatasi (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/493).

Keempat, kemurahan Islam dalam tayamum tidak hanya pada boleh digantikannya air, tapi juga pada materi yang dapat menggantikan air adalah materi yang cukup mudah ditemui, yakni debu yang umumnya dapat ditemui di segala tempat. Selain itu, debu juga bukan sesuatu yang cocok untuk dikomersilkan. Beda dengan air (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatihi/1/105).

Kelima, kemurahan Islam dalam tayamum tidak terbatas pada alat yang dibuat bersuci saja, tapi juga pada anggota tubuh yang wajib dikenainya. Hal ini dapat dilihat bahwa pada wudhu ada empat anggota tubuh yang wajib terkena air, sedangkan pada tayamum hanya cukup dua anggota saja.

Keenam, tayamum mengajarkan manusia untuk menjahui sikap sombong. Dalam tayamum, manusia dipertintahkan untuk mengusapkan debu yang merupakan materi amat rendah serta tidak bernilai pada wajahnya yang tergolong anggota tubuh paling mulia (Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatihi/1/105).

Demikian enam poin penting tentang hikmah disyariatkannya tayamum. Penulis meyakini bahwa sebenarnya masih banyak hikmah lain yang belum penulis cantumkan. Hal dikarenakan antara wudhu serta mandi besar yang notabene menggunakan air, memiliki banyak berbedaan karakteristik dengan tayamum yang menggunakan debu. QS. Al-Maidah ayat 6 di atas mencantumkan redaksi cukup panjang yang menunjukkan kemurahan Islam dalam disyariatkannya tayamum. Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Ayat-Ayat Al-Qur’an yang Turun Lebih dari Sekali dan Hikmah di Baliknya

Tafsir Surah Shad Ayat 28-29

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Tafsir Surah Shad Ayat 28-29 diawali dengan penjelasan bahwa ada sifat yang tidak patut disandarkan kepada Allah Swt., yaitu menganggap sama antara orang yang beriman dan ingkar, padahal keduanya tidaklah sama, mustahil bagi Allah memiliki sifat demikian, bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Adil dan Bijaksana.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 25-27


Ayat 28

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa di antara kebijaksanaan-Nya ialah tidak menganggap sama para hamba-Nya yang melakukan kebaikan, dengan orang-orang yang terjerumus ke dalam lembah kemaksiatan.

Tidak patut bagi zat Allah dengan segala keagungan-Nya, apabila menganggap sama antara hamba-hamba-Nya yang beriman dan melakukan kebaikan dengan orang-orang yang mengingkari keesaan-Nya lagi memperturutkan hawa nafsunya.

Orang-orang yang beriman yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang meyakini bahwa Allah Maha Esa, tidak memerlukan sekutu dalam melaksanakan kekuasaan dan kehendak-Nya.

Atas keyakinan itulah mereka menyadari dan melaksanakan apa yang seharusnya diperbuat terhadap sesamanya dan kepada Penciptanya.

Dengan keyakinan itu pula, mereka menaati perintah Khaliknya yang disampaikan melalui rasul-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Mereka selalu berusaha keras memelihara kebersihan jiwanya dari noda-noda yang mengotorinya.

Allah berfirman:

وَسَيُجَنَّبُهَا الْاَتْقَىۙ  ١٧  الَّذِيْ يُؤْتِيْ مَالَهٗ يَتَزَكّٰىۚ  ١٨  وَمَا لِاَحَدٍ عِنْدَهٗ مِنْ نِّعْمَةٍ تُجْزٰىٓۙ  ١٩

Dan akan dijauhkan darinya (neraka) orang yang paling bertakwa, yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya. (al-Lail/92: 17-19).

Sedang yang dimaksud dengan orang yang berbuat kerusakan di muka bumi ialah orang yang tidak mau mengikuti kebenaran dan selalu memperturutkan hawa nafsunya. Mereka ini tidak mau mengakui keesaan Allah, kebenaran wahyu, dan terjadinya hari kebangkitan dan pembalasan.

Oleh karena itu, mereka yang jauh dari rahmat Allah, berani melanggar larangan-larangan-Nya. Mereka tidak meyakini bahwa mereka akan dibangkitkan kembali dari kuburnya, mereka tetap akan dihimpun di Padang Mahsyar untuk mempertanggungjawabkan amal perbuatannya.

Allah berfirman:

وَكُلَّ اِنْسَانٍ اَلْزَمْنٰهُ طٰۤىِٕرَهٗ فِيْ عُنُقِهٖۗ وَنُخْرِجُ لَهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ كِتٰبًا يَّلْقٰىهُ مَنْشُوْرًا  ١٣  اِقْرَأْ كِتَابَكَۗ  كَفٰى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيْبًاۗ  ١٤

Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu.” (al-Isra’/17: 13-14).

Apabila ada di antara hamba Allah yang diberi pahala karena amal baiknya di dunia, dan disiksa akibat amal buruknya, hal itu sesuai dengan hikmah dan kebijaksanaan Allah.

Dia telah memberikan akal agar mereka dapat mengetahui betapa luasnya nikmat Allah yang telah diberikan kepada mereka. Akan tetapi, mereka tidak mau mempergunakan akal itu sebaik-baiknya, sehingga mereka tidak mensyukuri nikmat itu, bahkan mereka mengingkarinya.

Allah juga telah mengutus rasul-Nya untuk membimbing mereka kepada jalan yang benar. Petunjuk dan bimbingan rasul itu bukan saja tidak mereka hiraukan, tetapi malah mereka dustakan.


Baca Juga : Surah Al-Maidah Ayat 2: Perintah Berbuat Adil dan Saling Tolong Menolong


Ayat 29

Allah menjelaskan bahwa Dia telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah saw dan para pengikutnya. Al-Qur’an itu adalah kitab yang sempurna mengandung bimbingan yang sangat bermanfaat kepada umat manusia. Bimbingan itu menuntun manusia agar hidup sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat.

Dengan merenungkan isinya, manusia akan menemukan cara-cara mengatur kemaslahatan hidup di dunia. Tamsil ibarat dan kisah dari umat terdahulu menjadi pelajaran dalam menempuh tujuan hidup mereka dan menjauhi rintangan dan hambatan yang menghalangi pencapaian tujuan hidup.

Al-Qur’an itu diturunkan dengan maksud agar direnungkan kandungan isinya, kemudian dipahami dengan pengertian yang benar, lalu diamalkan sebagaimana mestinya.

Pengertian yang benar diperoleh dengan jalan mengikuti petunjuk-petunjuk rasul, dengan dibantu ilmu pengetahuan yang dimiliki, baik yang berhubungan dengan bahasa ataupun perkembangan masyarakat. Begitu pula dalam mendalami petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam kitab itu, hendaknya dilandasi tuntunan rasul serta berusaha untuk menyemarakkan pengalamannya dengan ilmu pengetahuan hasil pengalaman dan pemikiran mereka.

Hasan al-Bashri menjelaskan pengertian ayat ini dengan mengatakan, “Banyak hamba Allah dan anak-anak yang tidak mengerti makna Al-Qur’an, walaupun telah membacanya di luar kepala. Mereka ini hafal betul hingga tak satu pun huruf yang ketinggalan.”

“Namun mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Al-Qur’an itu hingga salah seorang di antara mereka mengatakan, “Demi Allah saya telah membaca Al-Qur’an, hingga tak satu huruf pun yang kulewatkan.”

“Sebenarnya orang yang seperti itu telah melewatkan Al-Qur’an seluruhnya, karena pengaruh Al-Qur’an tidak tampak pada dirinya, baik pada budi pekerti maupun pada perbuatannya.”

“Demi Allah, apa gunanya ia menghafal setiap hurufnya, selama mereka mengabaikan ketentuan-ketentuan Allah. Mereka itu bukan ahli hikmah dan ahli pemberi pengajaran. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang yang seperti itu.”

Ibnu Mas’µd mengatakan:

كَانَ الرَّجُلُ فِيْنَا إِذَا تَعَلَّمَ عَشْرَ اَيَاتٍ مِنَ الْقُرْآنِ لمَ ْيَتَجَاوَزْهُنَّ حَتَّى يَعْلَمَ مَا فِيْهَا وَ يَعْلَمَ بِمَا فِيْهَا. (رواه أحمد)

Orang-orang di antara kami apabila belajar sepuluh ayat Al-Qur’an, mereka tidak pindah ke ayat lain, sampai memahami kandungan sepuluh ayat tersebut dan mengamalkan isinya.(Riwayat Ahmad)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 30-32


Tafsir Surah Shad Ayat 25-27

0
Tafsir Surah Shad
Tafsir Surah Shad

Setelah Daud menerima ujian dari Allah, dan mengakui kesalahannya. Tafsir Surah Shad Ayat 25-27 menjelaskan tentang pertaubatan Daud dan pengangkatannya mejadi Khalifah untuk kaumnya.

Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Shad Ayat 25-27 tentang kekuasann Allah, bahwa segala sesuatu yang ia ciptakan baik di langit ataupun di bumi tidaklah sia-sia, semuanya bisa bermanfaat untuk manusiadan makhluknya yang lain. Oleh sebab itu, manusia dituntut untuk mentadabburi segala ciptaan-Nya, agar senantiasa menjadi hamba-hamba yang bersyukur.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Shad Ayat 21-24


Ayat 25

Kemudian Allah menjelaskan bahwa Dia telah memberikan ampun kepada Daud atas kesalahan yang ia sadari.

Allah menilai bahwa kesadaran yang tinggi terhadap peristiwa yang ia hayati, dan ketajaman nuraninya terhadap apa yang tergerak dalam hatinya serta taatnya kepada Allah, sebagai tanda bahwa ia mempunyai kedudukan yang dekat pada sisi Allah.

Hamba Allah seperti dialah yang berhak mendapat tempat kembali yang baik, yaitu surga na‘im yang penuh dengan kenikmatan.

Ayat 26

Pada ayat ini, Allah menjelaskan pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa dan penegak hukum di kalangan rakyatnya. Allah menyatakan bahwa dia mengangkat Daud sebagai penguasa yang memerintah kaumnya.

Pengertian penguasa diungkapkan dengan khalifah, yang artinya pengganti, adalah sebagai isyarat agar Daud dalam menjalankan kekuasaannya selalu dihiasi dengan sopan-santun yang baik, yang diridai Allah, dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya berpedoman kepada hidayah Allah.

Dengan demikian, sifat-sifat khalifah Allah tercermin pada diri pribadinya. Rakyatnya pun tentu akan menaati segala peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.

Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa Dia menyuruh Nabi Daud agar memberi keputusan terhadap perkara yang terjadi antara manusia dengan keputusan yang adil dengan berpedoman pada wahyu yang diturunkan kepadanya.

Dalam wahyu itu terdapat hukum yang mengatur kesejahteraan manusia di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat.

Oleh sebab itu Allah melarang Nabi Daud memperturutkan hawa nafsunya dalam melaksanakan segala macam urusan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.

Pada ayat ini terdapat isyarat yang menunjukkan pengangkatan Daud sebagai rasul dan tugas-tugas apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang rasul yang mengandung pelajaran bagi para pemimpin sesudahnya dalam melaksanakan kepemimpinannya.

Pada akhir ayat Allah menjelaskan akibat dari orang yang memperturutkan hawa nafsu dan hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya.

Memperturutkan hawa nafsu menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Dengan demikian, ia akan kehilangan kontrol pribadi sehingga ia tersesat dari jalan yang diridai Allah.

Kemudian apabila kesesatan itu telah menyelubungi hati seseorang, ia lupa akan keyakinan yang melekat dalam hatinya bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa. Itulah sebabnya orang yang memperturutkan hawa nafsu itu diancam dengan ancaman yang keras, yang akan mereka rasakan deritanya di hari pembalasan, hari diperhitungkannya seluruh amal manusia guna diberi balasan yang setimpal.


Baca Juga : Membuka Kembali Perdebatan Klasik Tentang “Apa Itu Al-Qur’an?”


Ayat 27

Allah menjelaskan bahwa Dia menjadikan langit, bumi, dan makhluk apa saja yang berada di antaranya, tidak sia-sia. Langit dengan segala bintang yang menghiasi, matahari yang memancarkan sinarnya di waktu siang, dan bulan yang menampakkan bentuknya yang berubah-ubah dari malam ke malam, sangat bermanfaat bagi manusia.

Begitu juga bumi dengan segala isinya, baik yang tampak di permukaan ataupun yang tersimpan dalam perutnya, sangat besar artinya bagi kehidupan manusia. Semua itu diciptakan Allah atas kekuasaan dan kehendak-Nya sebagai rahmat yang tak ternilai harganya.

Apabila orang mau memperhatikan dengan seksama terhadap makhluk-makhluk yang ada di jagat raya ini, pasti ia mengetahui bahwa semua makhluk yang ada itu tunduk dan taat pada ketentuan-ketentuan yang berlaku, yang tak bisa dihindari. Begitu juga dalam hal penciptaan manusia.

Mereka ini tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan Allah, begitu lahir sudah tunduk pada gaya tarik bumi, ia bernafas dengan zat asam dan sebagainya.

Tidak pernah ada manusia yang menyimpang dari ketentuan ini. Apabila ia dewasa, ia memerlukan kawan hidup untuk mengisi kekosongan jiwanya, dan untuk melaksanakan tujuan hidupnya ia mengembangkan keturunan. Kemudian kalau ajal telah datang, ia kembali ke asalnya.

Ia akan dihidupkan kembali di akhirat, guna mempertanggungjawabkan segala amalnya ketika hidup di dunia.

Allah berfirman:

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ ۗثُمَّ تُوَفّٰى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُوْنَ

Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian setiap orang diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang telah dilakukannya, dan mereka tidak dizalimi (dirugikan). (al-Baqarah/2: 281).

Jika manusia berpikir dengan jernih dan sungguh-sungguh, tentu akan mengakui keesaan dan kekuasaan Allah terhadap semua yang ada di langit, bumi, serta segala makhluk yang ada di antara keduanya.

Apabila manusia mengakui kemahakuasaan Allah, tentulah akan mengakui pula kekuasaan-Nya menurunkan wahyu kepada hamba pilihan-Nya.

Lalu Allah menjelaskan sikap orang-orang kafir Mekah. Mereka tidak mau memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang ada di langit dan bumi, dan juga tidak mau meneliti tanda kebesaran Allah yang ada pada diri mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka mendustakan keesaan Allah dan hari kebangkitan.

Allah berfirman:

وَمَا خَلَقْنَا السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لٰعِبِيْنَ  ٣٨  مَا خَلَقْنٰهُمَآ اِلَّا بِالْحَقِّ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ  ٣٩

Dan tidaklah Kami bermain-main menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya. Tidaklah Kami ciptakan keduanya melainkan dengan haq (benar), tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (ad-Dukhan/44: 38-39).

Dan firman-Nya:

اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ

Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? (al-Mu’minµn/23: 115).

Pada penghujung ayat, Allah menegaskan bahwa mereka akan mendapatkan kenyataan yang berbeda dengan apa yang mereka duga selama hidup di dunia.

Mereka akan merasakan neraka wail yang memang disediakan sebagai azab bagi mereka, sebagai balasan yang setimpal atas keingkaran mereka terhadap keesaan Allah, kebenaran wahyu, dan terjadinya hari kebangkitan.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Shad 28-29