Beranda blog Halaman 428

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada penjelasan yang lalu telah berbicara mengenai perintah Allah agar selalu berpegang teguh atas perintah para Nabi agar mendapatkan ganjaran dari sisi Allah swt, Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65 ini berbicara mengenai nenek moyang orang Yahudi yang ingkar janji kepada Allah swt.


Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62


Ingkar janji yang dimaksud dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65 ini adalah ketika Allah mengangkat bukit Sinai karena pembangkangan yang dilakukan oleh Bani Israil kala itu. Namun tetap saja selang beberapa waktu mereka tetap dalam keingkaran.

Selain itu Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65 ini juga berbicara mengenai pelarangan bagi Bani Israil. Pelarangan itu adalah tidak diperbolehkan untuk melakukan aktifitas apapun pada hari Sabtu selain ibadah. Namun lagi-lagi mereka melanggarnya.

Ayat 63

Allah mengingatkan kembali kesalahan lain dari nenek moyang orang Yahudi ketika Allah mengambil janji dari mereka, yaitu bahwa mereka akan beriman dan akan mengamalkan apa yang ada dalam Taurat. Ternyata mereka tidak mengamalkannya, bahkan mengingkarinya.

Lalu Allah mengangkat bukit (Gunung Sinai) ke atas kepala mereka untuk memperlihatkan kekuasaan-Nya agar mereka beriman kepada-Nya dan berpegang teguh kepada kitab Taurat itu.

Isi perjanjian tersebut berupa perintah Allah kepada mereka, “Peganglah kitab Taurat dengan sungguh-sungguh dan tetaplah mengerjakan isinya, pelajarilah Taurat itu, perhatikan isinya dan amalkan hukum-hukum yang termaktub di dalamnya.”

Ayat ini memberi pengertian bahwa orang yang meninggalkan syariat dan meremehkan hukum Allah disamakan dengan orang yang mengingkari dan menentangnya. Maka sudah sepatutnya dia pada hari Kiamat nanti dikumpulkan dalam keadaan buta. Dia tidak dapat melihat jalan kemenangan dan jalan kebahagiaan.

قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِيْٓ اَعْمٰى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيْرًا   ١٢٥

  قَالَ كَذٰلِكَ اَتَتْكَ اٰيٰتُنَا فَنَسِيْتَهَاۚ وَكَذٰلِكَ الْيَوْمَ تُنْسٰى   ١٢٦

Dia berkata, ”Ya Tuhanku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta, padahal dahulu aku dapat melihat?” Dia (Allah) berfirman, ”Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (Taha/20: 125 dan 126)

Apabila seseorang mengingkari syariat Allah dan menyia-nyiakan hukum-Nya, berarti syariat itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa pada jiwanya. Sehubungan dengan pengertian ayat ini dapat dikatakan bahwa orang-orang yang hanya membaca Alquran tanpa mengamalkan isinya mereka tidak mendapat manfaat dari kandungan Alquran itu. Maksud mengikuti kitab-kitab suci ialah mengamalkan isinya, bukan hanya sekadar membaca dan melagukannya dengan macam-macam lagu yang merdu.

Kemudian Allah memerintahkan agar Bani Israil berpegang teguh dengan Taurat, selalu mempelajarinya, dan mengamalkan isinya agar mereka menjadi orang yang bertakwa.


Baca juga: Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki


Ayat 64

Sesudah Bani Israil mengambil perjanjian dari Allah seperti disebutkan pada ayat yang lalu, mereka berpaling dan tidak menepati perjanjian itu. Mereka banyak melanggar ketentuan-ketentuan dalam Taurat, baik oleh nenek moyang mereka zaman dahulu maupun oleh mereka yang hidup kemudian.

Umpamanya pada zaman mereka hidup di padang pasir yang tandus, mereka menentang Nabi Musa, menyakitinya, dan melawan segala perintahnya.

Pada masa berikutnya mereka membunuh Nabi Yahya, mengingkari Nabi Isa bahkan merencanakan akan membunuhnya. Keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad saw, termasuk bukti penyelewengan mereka dari Taurat.

Maka sudah sewajarnya mereka mendapat azab dari Allah, atau Allah melenyapkan nikmat dari mereka untuk selama-lamanya. Tetapi Allah tidak berbuat demikian, karena kasih sayang-Nya. Mereka tidak dibinasakan, dan Allah selalu membuka pintu tobat bagi yang ingin kembali ke jalan yang benar.

Ayat 65

Dalam ketentuan syariat agama Yahudi, pada hari ketujuh, Sabat (dari bahasa Ibrani, shabbath, berarti “istirahat”) orang dilarang mengerjakan apa pun, karena hari itu khusus untuk ibadah. Dalam bahasa Arab sabt (Sabtu), dari kata sabata, yasbitu, sabtan, juga berarti “istirahat” atau “tenang.” Pada hari itu setelah “langit, bumi, dan segala isinya diselesaikan” Tuhan beristirahat.

“Lalu Allah memberkati hari ketujuh itu dan menguduskannya” (Kejadian ii. 1-3), yang juga dipakai untuk merayakan terbebasnya orang Israil dari perbudakan di Mesir. Menurut Perjanjian Lama, mereka yang melanggar kekudusan Sabat, termasuk menangkap ikan pada hari itu, dapat dijatuhi hukuman mati: “Siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu pastilah ia dihukum mati, sebab orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu harus dilenyapkan dari antara bangsanya”. (Kitab Keluaran 31. 14).

Pada hari yang sangat dihormati itu biasanya ikan-ikan bebas bermunculan sehingga menutupi permukaan air laut, karena hari itu tidak ada orang yang berani mengganggunya. Di luar hari Sabtu ikan-ikan itu menghilang lagi (al-A’raf/7 : 163).

Banyak mufasir menyebutkan, larangan ini oleh mereka diakali; pada hari-hari sebelum Sabat mereka membuat kolam besar dan air laut dialirkan ke dalamnya. Pada hari Ahad mereka bekerja mengambil ikan yang sudah terjaring itu. Tetapi dalam hukum Tuhan mereka tetap melanggar, maka Allah menjatuhkan hukuman dengan menjadikan mereka kera, sehingga mereka jauh dari kebajikan serta hina dan rendah.

Menurut Mujahid, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, “Fisik mereka tidak ditukar menjadi kera, tetapi hati, jiwa, dan sifat merekalah yang dijadikan seperti kera, sehingga mereka tidak dapat menerima pengajaran dan tidak dapat memahami ancaman.” Pada ayat ini mereka diserupakan dengan kera dan pada ayat yang lain mereka diserupakan dengan keledai, sesuai dengan firman Allah:

مَثَلُ الَّذِيْنَ حُمِّلُوا التَّوْرٰىةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوْهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ

Perumpamaan orang-orang yang diberi tugas membawa Taurat, kemudian mereka tidak membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.….(al Jumu’ah/62:5)

Jumhur ulama berpendapat bahwa mereka benar-benar bertukar wujud menjadi kera sebagai hukuman terhadap keingkaran mereka. Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa mereka yang diubah menjadi kera tidak beranak, tidak makan, tidak minum, dan tidak dapat hidup lebih dari tiga hari. Di dalam Alquran terdapat ayat yang serupa maksudnya:

وَجَعَلَ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيْرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوْتَۗ

… Dan di antara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah Tagut.”…(al-Ma′idah/5:60)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 66-70


(Tafsir Kemenag)

Keistimewaan Buah Delima (Ar-Rumman) yang Disebut dalam Al-Quran

0
Buah Delima
Buah Delima

Di antara nama buah-buahan yang disebutkan al-Qur’an, terdapat nama buah delima. Nama delima dimasukkan ke dalam kalam Tuhan bukan tanpa sebab. Di balik peyebutannya, ternyata dapat ditemukan makna-makna filosofis dan saintifik.

Artikel ini akan mengulas tentang buah ini dan keistimewaannya dalam al-Qur’an. Penulis menggunakan pendekatan saintifik dan historis untuk menguraikan penjelasan dalam ayat-ayat al-Quran terkait buah delima.

Penyebutan term ar-Rummān

Ar-Rummān alias buah delima (Punica granatum), disebut sebanyak tiga kali dalam al-Qur’an, yakni pada ayat-ayat berikut:

  1. (QS. Al-An’am[6]: 99).

وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءٗ فَأَخۡرَجۡنَا بِهِۦ نَبَاتَ كُلِّ شَيۡءٖ فَأَخۡرَجۡنَا مِنۡهُ خَضِرٗا نُّخۡرِجُ مِنۡهُ حَبّٗا مُّتَرَاكِبٗا وَمِنَ ٱلنَّخۡلِ مِن طَلۡعِهَا قِنۡوَانٞ دَانِيَةٞ وَجَنَّٰتٖ مِّنۡ أَعۡنَابٖ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُشۡتَبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٍۗ ٱنظُرُوٓاْ إِلَىٰ ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَيَنۡعِهِۦٓۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكُمۡ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ  ٩٩

  1. (QS. Al-An’am[6]: 141).

۞وَهُوَ ٱلَّذِيٓ أَنشَأَ جَنَّٰتٖ مَّعۡرُوشَٰتٖ وَغَيۡرَ مَعۡرُوشَٰتٖ وَٱلنَّخۡلَ وَٱلزَّرۡعَ مُخۡتَلِفًا أُكُلُهُۥ وَٱلزَّيۡتُونَ وَٱلرُّمَّانَ مُتَشَٰبِهٗا وَغَيۡرَ مُتَشَٰبِهٖۚ كُلُواْ مِن ثَمَرِهِۦٓ إِذَآ أَثۡمَرَ وَءَاتُواْ حَقَّهُۥ يَوۡمَ حَصَادِهِۦۖ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ  ١٤١

  1. (QS. Ar-Rahman[55]: 68).

فِيهِمَا فَٰكِهَةٞ وَنَخۡلٞ وَرُمَّانٞ  ٦٨

Dalam beberapa kesempatan, kata rummān dimaknai sebagai fākihah ma’rūfah yu’kalu habbuha (buah yang dikenal secara umum yang bijinya dapat dimakan). (Ibrahim: 1988). Sedangkan menurut penjelasan yang lain, ia dideskripsikan dalam bentuk ‘pohon delima’, bukan buah delima. (Husain al-Baghawi: 2002).

Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid

Mengenai sedikit perbedaan tersebut, penulis cenderung sesuai dengan pandangan Ibrahim Madzkur yang memaknai kata ar-rummān sebagai buah delima, dan makna ini yang akan dipegangi oleh penulis dalam menguraikan keistimewaan dari penyebutan ar-rummān.

Melihat kemunculan Delima sebagai Fakta Historis

Dalam perspektif ilmu pengetahuan, delima berasal dari kawasan yang sekarang bernama Negara Iran.  Buah delima konon telah mulai dibudidayakan sejak masa Nabi Musa. Pohon ini kemudian menyebar secara cepat, bahkan disebut sebagai tumbuhan asli di sekitar Himalaya dan India Utara.

Pustaka kuno menyatakan bahwa buah ini juga banyak ditemukan di China, Mesir, dan Yunani. Masyarakat China biasa menghidangkan buah delima pada upacara pernikahan. Buah delima juga banyak digunakan oleh masyarakat kuno sebagai simbol yang melambangkan banyak anak, fertilitas, keabadian, dan kemakmuran.

Masyarakat Mesir kuno juga menyertakan buah delima dalam prosesi penguburan jenazah. Sedangkan pada mitologi Yunani, buah ini dikaitkan dengan hilangnya Persephone; putri Demeter; Dewa Tanah.  Konon, Persephone diculik oleh dewa di bawah tanah, Hades, sebab ia telah memakan sebutir biji buah delima. (LPMA dan LIPI).

Pada masa Nabi Musa, tumbuhan ini banyak di tanam di Palestina, Suriah, dan Libanon. Bahkan terdapat kota bernama rimmon, kota ini terletak disekitar Hebron, alkisah penamaan nama rimmon juga dinisbahkan kepada kata ar-rummān (delima).  Penamaan kata rimmon disinyalir dikarenakan karena kota tersebut merupakan penghasil utama dari buah delima.

Apakah hanya itu saja rahasia dibalik penyebutan buah delima? Makna yang lebih menadalam akan tersampaikan melalui data-data saintifik dalam bagian selanjutnya.

Keistimewaan Delima

Sebagaimana kurma dan zaitun, delima banyak digunakan sebagai makanan sehat karena kandungan protein dan lemaknya yang sangat kecil.

Sebaliknya, delima kaya akan sodium, riboflavin, thiamin, niasin, vitamin C, kalsium dan fosfor. Delima juga dipercaya mampun untuk memperlambat penuaan, sekaligus dapat menjadi pertahanan tubuh terhadap penyakit jantung dan kanker.

Di samping sebagai makanan, delima diketahui mempunyai khasiat sebagai obat. Hal ini dibuktikan berdasarkan tulisan dalam Unani Tibb, yakni suatu sistem pengobatan berdasarkan data ilmiah dan prinsip holistik dan pengobatan Yunani, Mesir, Arab, dan India yang dinamai sebagai homeopathy. (LPMA: 2010).

Adapun peyebutan dua nama buah secara khusus, yakni kurma dan delima dalam (QS. Ar-Raḥmān[55]: 68) bukan tanpa sebab. Keduanya memang mempunyai keistimewaan tersendiri jika dibandingkan dengan jenis buah yang lainnya.

Menurut sudut pandang ilmu modern, isi dan perasan dari buah delima mengandung asam sitrat dengan kadar yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan jenis buah-buahan lainnya. Asam sitrat yang terkandung yang terkandung dalam buah delima juga dapat membantu membentuk batu ginjal.

Selain itu, kulit buah delima juga mempunyai kegunaan karena mengandung astringen yang dapat melindungi perut dari buang air, dan sekaligus ia dapat dimanfaatkan untuk membasmi cacing pita. (Quraish Shihab: 2005).

Beberapa data sejarah dan data saintifik yang telah dipaparkan di atas, secara tidak langsung menunjukkan bahwa buah delima sarat akan manfaat dan nilai filosofis.

Baca Juga: Kekhasan Al-Quran Sebagai Mukjizat Bagi Nabi Muhammad Saw

Dalam sudut pandang saintifik, delima mengandung banyak khasiat, mulai dari mencegah penyakit jantung, dampai kanker. Sedang dalam sudut pendang sejarah, delima tidak hanya dimaknai sebagai sebuah makanan bagi masyarakat saat itu, namun buah tersebut melambangkan nilai-nilai yang luhur.

Di sisi lain, fakta sejarah di atas juga menunjukkan bahwa kesitimewaan delima bukan hanya disebabkan karena ia disebutkan dalam al-Qur’an, namun ternyata delima juga menjadi bagian dalam mitologi Yunani.

Dua argumen ini memberikan pengajaran bahwa keistimewaan al-Qur’an tidak terbatas pada satu aspek saja, sebut saja bahasa. Meski sejak awal ia diciptakan sebagai mukjizat yang penuh dengan dimensi kebahasaan yang tinggi, namun tidak berarti keistemawaannya berhenti sampai di situ.

Al-Qur’an akan selalu menampilkan makna yang beragam jika ia dibaca melalui pembacaan yang beragam pula (baca; multi-perspektif). Karena hakikatnya, al-Qur’an itu ḥamālatul aujuhin. Di mana, ia akan senantiasa menarik untuk diperbincangkan dan dipelajari sampai akhir zaman. Wallahu A’lam bis Showāb.

Inilah Empat Makna Doa Nabi Ibrahim Kepada Allah SWT

0
ilustrasi: doa nabi ibrahim a.s.
ilustrasi: doa nabi ibrahim a.s.

Doa menjadi salah satu sarana komunikasi langsung antara hamba dengan Allah swt tanpa perantara. Karena itu, doa bersifat privasi, personal, dan rahasia. Doa tidak hanya sekadar ungkapan lisan belaka, lebih dari itu adalah ungkapan batin terdalam seorang hamba akan kebutuhannya kepada Allah swt.

Maka tak heran, dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah dijelaskan bahwa doa bermakna dasar kecenderungan terhadap sesuatu dan mengungkapkannya dengan suara atau kalimat yang lembut. Kata doa sendiri sebagaimana disebutkan Muhammad Fuad Abd al-Baqi dalam Mu’jam al-Mufahras li Alfadzi Al-Quran al-Karim, disebutkan sebanyak 212 kali dalam berbagai derivasinya. Di dalamnya termasuk memuat doa Nabi Ibrahim, berikut bentuk doa Nabi Ibrahim dalam beberapa makna,

Talab (Permintaan)

Doa-doa Nabi Ibrahim yang bermakna talab setidaknya termaktub dalam empat tempat, yaitu Q.S. As-Syu’ara [26]: 83-86, Q.S. al-Saffat [37]: 100, Q.S. al-Baqarah [2]: 129, Q.S. al-Mumtahanah [60]: 5,

رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ ۙ وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۙ وَاجْعَلْنِيْ مِنْ وَّرَثَةِ جَنَّةِ النَّعِيْمِ ۙ وَاغْفِرْ لِاَبِيْٓ اِنَّهٗ كَانَ مِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ۙ

Ibrahim berdoa), “Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian, dan jadikanlah aku termasuk orang yang mewarisi surga yang penuh kenikmatan, dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat, (Q.S. Al-Syu’ara [26]: 83-86)

Dalam ayat yang lain disebutkan,

رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ

Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.” (Q.S. al-Saffat [37]: 100),

Dan pada ayat yang lain juga mengandung permintaan (talab) doa Nabi Ibrahim,

رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْهُمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيْهِمْ ۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ

Ya Tuhan kami, utuslah di tengah mereka seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat-Mu dan mengajarkan Kitab dan Hikmah kepada mereka, dan menyucikan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 129)

Baca juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Kemudian, dalam Q.S. al-Mumtahanah ayat 5,

رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَاۚ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami, ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (Q.S. al-Mumtahanah [60]: 5)

Istighasah (Meminta Pertolongan)

Layaknya seorang hamba manusia biasa, Nabi Ibrahim pun juga membutuhkan pertolongan kepada Allah swt. Berbagai ujian dan cobaan yang dihadapinya terus menghantam. Maka tak ada solusi lain selain meminta pertolongan Allah swt (istighatsah). Berikut beberapa doa Nabi Ibrahim dalam bentuk istighatsah,

 وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اجْعَلْ هٰذَا بَلَدًا اٰمِنًا وَّارْزُقْ اَهْلَهٗ مِنَ الثَّمَرٰتِ مَنْ اٰمَنَ مِنْهُمْ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ قَالَ وَمَنْ كَفَرَ فَاُمَتِّعُهٗ قَلِيْلًا ثُمَّ اَضْطَرُّهٗٓ اِلٰى عَذَابِ النَّارِ ۗ وَبِئْسَ الْمَصِيْرُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlah (negeri Mekah) ini negeri yang aman dan berilah rezeki berupa buah-buahan kepada penduduknya, yaitu di antara mereka yang beriman kepada Allah dan hari kemudian,” Dia (Allah) berfirman, “Dan kepada orang yang kafir akan Aku beri kesenangan sementara, kemudian akan Aku paksa dia ke dalam azab neraka dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 126)

Dalam ayat yang lain disebutkan,

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Q.S. Ibrahim [14]: 37)

وَلَا تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَۙ

dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, (Q.S. As-Syu’ara [26]: 87)

Baca juga: Inilah 4 Doa Taubat Para Nabi dalam Al-Quran

Tahmid (Pujian)

Tidak hanya berdoa untuk meminta pertolongan semata, Nabi Ibrahim pun juga berdoa dalam kerangka memuji Allah swt sebagai bentuk apresiasi atas anugerah Allah swt yang telah diberikan kepada dirinya baik kesabaran, kenikmatan dan penciptaannya sebagai manusia yang sangat mulia. Berikut doa Nabi Ibrahim yang masuk dalam makna tahmid (pujian),

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ وَهَبَ لِيْ عَلَى الْكِبَرِ اِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَۗ اِنَّ رَبِّيْ لَسَمِيْعُ الدُّعَاۤءِ

Segala puji bagi Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua(ku) Ismail dan Ishak. Sungguh, Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa. (Q.S. Ibrahim [14]: 39)

Ayat ini menggambarkan bentuk rasa syukur Nabi Ibrahim a.s dengan memuji kepada Allah swt karena diberikan keturunan yang telah lama diidam-idamkannya, yaitu Ismail dan Ishak. Di hari tuanya.

Amal Ibadahnya Agar Diterima

Meskipun Nabi Ibrahim tergolong ma’shum (terjaga dari dosa), akan tetapi ia tetap memohon kepada Allah swt agar berkenan menerima amal ibadahnya yang telah dikerjakannya, sebagaimana yang termaktub dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 127-128,

وَاِذْ يَرْفَعُ اِبْرٰهٖمُ الْقَوَاعِدَ مِنَ الْبَيْتِ وَاِسْمٰعِيْلُۗ رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا ۗ اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَآ اُمَّةً مُّسْلِمَةً لَّكَۖ وَاَرِنَا مَنَاسِكَنَا وَتُبْ عَلَيْنَا ۚ اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail, (seraya berdoa), “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu, dan anak cucu kami (juga) umat yang berserah diri kepada-Mu dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara melakukan ibadah (haji) kami, dan terimalah tobat kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 127-128)

Hikmah Yang Dapat Dipetik

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa doa dalam ajaran Islam merupakan ibadah yang amat penting dan bermanfaat. Ia mengandaikan satu kemesraan sekaligus bentuk penghambaan dirinya kepada Allah swt bahwa ia tak lebih sebagai manusia biasa yang membutuhkan pertolongan, rasa aman, dan anugerah dariNya. Karena apapun yang kita lakukan pada akhirnya Dia lah yang menentukan berhasil tidaknya suatu usaha.

Maka dari itu, doa Nabi Ibrahim di atas mengajarkan kepada kita bahwa segala usaha harus dibarengi dengan doa yang tulus kepadaNya agar segala yang kita lakukan mendapat ridha dan keberkahan dari-Nya. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai pembangkangan yang dilakukan oleh Bani Israil, dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62 lagi-lagi berbicara mengenai permintaan-permintaan lain dari Bani Israil.


Baca juga: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60


Permintaan lain yang dimaksud dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62 ini adalah sayur-mayur sebagai ganti di Mann dan Salwa. Entah mengapa Bani Israil ini malah meminta sesuatu yang lebih buruk. Padahal Mann dan Salwa merupakan makan penuh gizi yang tidak pernah ada di belahan bumi manapun. Namun sayang Nabi Musa as merasa keberatan dengan permintaan yang satu ini.

Pada akhir pembahasan Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62 ini Allah mengingatkan kepada seluruh hambanya untuk selalu berpegang teguh terhadap ajaran para Nabi mereka agar mendapatkan ganjaran dari sisi Allah swt.

Ayat 61

Ketika Bani Israil tersesat di padang pasir Sinai, mereka berkata kepada Nabi Musa bahwa mereka tidak tahan terhadap satu jenis makanan saja, sedang yang ada hanya mann dan salwa saja (al Baqarah/2:57). Mereka berkata demikian karena keingkaran mereka terhadap Nabi Musa a.s. dan kebanggaan terhadap kehidupan mereka dahulu.

Bani Israil kemudian meminta kepada Musa a.s. agar berdoa kepada Tuhan semoga Dia mengeluarkan sayur-sayuran yang ditumbuhkan bumi sebagai ganti mann dan salwa. Mereka tidak mau berdoa sendiri, tetapi mengharapkan Musa yang berdoa kepada Tuhan, karena mereka memandang Musa orang yang dekat kepada Tuhan dan lagi pula dia seorang Nabi yang dapat bermunajat kepada Allah.

Sayur-mayur dan lain-lain yang mereka minta itu banyak terdapat di kota-kota, tapi tidak terdapat di padang pasir. Sebenarnya permintaan itu tidak sukar dicari, karena mereka dapat memperolehnya asal saja mereka pergi ke kota.

Nabi Musa menolak permintaan itu dengan penuh kekecewaan dan kejengkelan serta mencela sikap mereka karena mereka menolak mann dan salwa, makanan yang sebenarnya mengandung nilai gizi yang tinggi dan sangat diperlukan oleh tubuh, diganti dengan sayur-mayur yang lebih rendah gizinya.

Kemudian Nabi Musa menyuruh mereka keluar dari gurun Sinai dan pergi menuju kota. Di sana mereka akan mendapatkan yang mereka inginkan, sebab gurun Sinai tempat mereka tinggal sampai batas waktu yang telah ditentukan Allah, tidak dapat menumbuhkan sayur-sayuran. Mereka tinggal di gurun Sinai itu karena mereka lemah dan tidak tabah untuk mengalahkan penduduk negeri yang dijanjikan bagi mereka.

Mereka akan lepas dari hal yang tidak mereka sukai, bilamana mereka memiliki keberanian memerangi orang-orang yang di sekitar mereka, yaitu penduduk bumi yang dijanjikan Allah dan menjamin memberi pertolongan kepada mereka. Oleh sebab itu, hendaknya mereka mencari jalan untuk mendapatkan kemenangan dan keuntungan.

Setelah Allah menceritakan penolakan Musa terhadap permintaan mereka dan sebelumnya telah membentangkan pula segala nikmat yang dikaruniakan kepada mereka, dalam ayat ini Allah mengemukakan beberapa kejahatan keturunan Bani Israil yang datang kemudian, yaitu mereka mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh nabi-nabi dan pelanggaran mereka terhadap hukum Allah. Oleh sebab itu, Allah menimpakan kepada mereka kehinaan dan kemiskinan sebagai wujud kemurkaan-Nya.


Baca juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran


Sudah semestinya mereka menerima murka Ilahi, menanggung bencana dan siksaan di dunia dan azab yang pedih di akhirat. Demikian pula mereka mendapatkan kehinaan dan kemiskinan karena mereka selalu menolak ayat-ayat Allah yang telah diberikan kepada Nabi Musa berupa mukjizat yang telah mereka saksikan sendiri. Kedurhakaan dan penolakan mereka terhadap Nabi Musa adalah suatu bukti bahwa ayat-ayat Allah tidak berpengaruh pada jiwa mereka. Mereka tetap mengingkarinya.

Mereka membunuh para nabi dari golongan mereka, tanpa alasan yang benar. Memang sesungguhnya orang yang berbuat kesalahan kadang-kadang meyakini bahwa yang diperbuatnya adalah benar. Perbuatan mereka yang demikian itu bukanlah karena salah dalam memahami atau menafsirkan hukum, tetapi memang dengan sengaja menyalahi hukum-hukum Allah yang telah disyariatkan di dalam agama mereka.

Kekufuran mereka terhadap ayat-ayat Allah dan kelancangan mereka membunuh para nabi, karena mereka banyak melampaui batas ketentuan agama mereka. Seharusnya agama mempunyai pengaruh yang besar pada jiwa manusia, sehingga penganutnya takut menyalahi perintah Allah. Apabila seseorang melampaui peraturan-peraturan atau batas-batas agamanya berarti pengaruh agama pada jiwanya sudah lemah.

Semakin sering dia melanggar batas hukum agama itu semakin lemah pulalah pengaruh agama pada jiwanya. Sampai akhirnya pelanggaran ketentuan-ketentuan agama itu menjadi kebiasaannya, seolah-olah dia lupa akan adanya batas-batas agama dan peraturan-peraturannya. Akhirya lenyaplah pengaruh agama dalam hatinya.

Ayat 62

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa tiap-tiap umat atau bangsa pada masa itu yang benar-benar berpegang pada ajaran para nabi mereka serta beramal saleh akan memperoleh ganjaran di sisi Allah, karena rahmat dan magfirah-Nya selalu terbuka untuk seluruh hamba-hamba-Nya.

“Orang-orang mukmin” dalam ayat ini ialah orang yang mengaku beriman kepada Muhammad Rasulullah saw dan menerima segala yang diajarkan olehnya sebagai suatu kebenaran dari sisi Allah. Sabi′in ialah umat sebelum Nabi Muhammad saw yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa, dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang.

Pengertian beriman ialah seperti yang dijelaskan Rasul saw ketika Jibril a.s. menemuinya. Nabi berkata:

;اَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاْليَوْمِ اْلاٰخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

(رواه مسـلم عن عمر)

Agar kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari Kiamat, dan kamu percaya qadar baik atau buruk. (Riwayat Muslim dari ‘Umar r.a.)

Orang Yahudi ialah semua orang yang memeluk agama Yahudi. Mereka dinamakan Yahudi karena kebanyakan mereka dari keturunan Yahudi, salah seorang keturunan Yakub (Israil). Orang-orang Nasrani ialah orang-orang yang menganut agama Nasrani. Kata Nasrani diambil dari nama suatu daerah Nasirah (Nazareth) di Palestina, tempat Nabi Isa dilahirkan.

Siapa saja di antara ketiga golongan di atas yang hidup pada zamannya, sebelum kedatangan Nabi Muhammad saw dan benar-benar beragama menurut agama mereka, membenarkan dengan sepenuh hati akan adanya Allah dan hari Kiamat, mengamalkan segala tuntutan syariat agamanya, mereka mendapat pahala dari sisi Allah.

Sesudah kedatangan Nabi Muhammad saw, semua umat manusia diwajibkan beriman kepadanya dan seluruh ajaran yang dibawanya, yakni dengan menganut lslam.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 63-65


(Tafsir Kemenag)

Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

0
Reformasi Lingkungan
Reformasi Lingkungan

Dalam karyanya Ri’ayah al-Bi’ah fi Syari’ah al-Islam, al-Qaradhawi mengulas satu bab khusus yang membahas tentang pilar-pilar Islam dalam upaya melakukan reformasi lingkungan (raka’iz al-Islam li ri’ayah al-bi’ah). Khususnya dalam tulisan ini akan dibahas gagasannya dalam membentuk manusia ber-mindset eko-teologis.

Nilai-nilai penting dalam pembahasan ini diharapkan mampu menjadi referensi yang kontributif bagi upaya membangun kesadaran umat Islam dalam merespon isu-isu lingkungan yang dewasa ini semakin sering didengungkan dengan melihat realita alam yang semakin rusak.

Menjaga keberlangsungan peradaban manusia merupakan tujuan utama dalam konteks reformasi lingkungan, sebab ditundukkannya alam oleh Tuhan memiliki maksud untuk memberikan manusia kemudahan dalam menjaga keberlangsungan hidupnya di dunia. Lihat al-Jatsiyah [45]: 13:

وَسَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ جَمِيْعًا مِّنْهُ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ

Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sungguh, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.

Ada beberapa prinsip fundamental yang diberikan oleh Islam dan dapat dijadikan pegangan dalam upaya melakukan reformasi lingkungan:

1. Konsep syukur dalam bingkai eko-teologis

Syukur menjadi salah satu konsep dalam Islam yang menekankan adanya rasa terimakasih atas kenikmatan yang telah diberikan Tuhan. Dalam Alquran, ayat tentang syukur yang paling masyhur dikemukakan adalah Q.S Ibrahim [14]: 7:

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.”

Namun konsep syukur ini dalam konteks eko-teologi tidak boleh hanya dicukupkan dengan ungkapan ekspresif semata, namun harus lebih luas yakni dengan menjaga kenikmatan yang telah diberikan (muhafadzah ‘ala al-ni’mah).

Baca Juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Dalam konteks penyadaran umat Islam, pemahaman ini akan memberikan implikasi nyata bagi umat Islam agar tidak hanya mencukupkan diri dengan berucap “alhamdulillah”. Akan tetapi lebih dari itu yakni menekankan pada umat Islam untuk mengaktualisasikan rasa syukur dengan menjaga nikmat yang disyukuri. Dalam konteks eko-teologis, rasa syukur tidak cukup hanya dihadirkan tatkala melihat pemandangan yang indah saat melakukan wisata, namun juga diaktualisasikan dengan tidak mengotori lingkungan dengan membuang sampah pada tempatnya.

2. Hifdz al-‘aql bi Tanhidh al-‘Aql (Menjaga Akal dengan Mengasahnya)

Dalam mengkonstruksi konsep hifdz al-‘aql-nya, Qaradawi tidak hanya memperhatikan aspek proteksional sebagaimana yang digagas para pendahulunya yakni dengan memberikan contoh larangan meminum khamr yang dapat menghilangkan kemampuan akal (tajnib al-nahy). Namun, ia juga menekankan bahwa hifdz al-‘aql juga harus dilakukan dengan mengasah kemampuan akal itu sendiri (tanhidh bi al-‘aql).

Dalam upaya mengasah kemampuan akal, ia menekankan akan pentingnya menuntut ilmu baik itu yang sifatnya wajib ‘ain maupun kifayah. Sebab baginya, umat Islam sebagai ummatan wasathan tidak boleh menjadi beban (penonton) bagi selainnya (dalam lingkup masyarakat), sebab tidak menguasai keilmuan yang dibutuhkan dalam memajukan peradaban masyarakat dan hanya mempelajari ilmu yang sifatnya wajib ‘ain.

Apa yang digagas oleh Qaradawi menjadi salah satu gagasan yang sangat penting untuk disampaikan kepada masyarakat. Jika pemahaman yang diberikan diperluas dalam konteks eko-teologis, maka umat Islam—khususnya di Indonesia sebagai basis umat Islam terbesar—haruslah mampu menjadi pemeran utama dalam upaya menyelesaikan masalah-masalah lingkungan yang terjadi.

Dalam konteks kehidupan kontemporer saat ini, umat Islam harus mampu melahirkan ahli-ahli dalam bidang-bidang keilmuan yang berpengaruh bagi peradaban (al-‘ilm al-madani) dan khususnya yang mampu memberikan inovasi dan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang lahir di dunia kontemporer termasuk di dalamnya masalah lingkungan.

3. Tarbiyah al-Aulad (Memelihara Generasi Penerus)

Dalam menjelaskan konsep ini, Qaradawi menekankan akan pentingnya dua hal yang harus diperhatikan yakni pertama, bahwa anak-anak atau generasi muda masihlah tergolong sebagai insan yang lemah dan masih sangat memerlukan bimbingan dan pengawasan.

Kedua, bahwa anak-anak atau generasi muda adalah penerus peradaban, jika mereka diberikan bimbingan, pengawasan serta pendidikan yang baik maka akan baik pula masa depan peradaban manusia dan juga itu berlaku sebaliknya jika bimbingan, pengawasan dan pendidikan yang diberikan salah.

Baca Juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

Dalam konteks eko-teologis, konsep tarbiyah yang dibawa oleh Qaradawi harus dispesifikan dengan memperjelas arah pendidikan yang akan diberikan kepada generasi muda. Generasi muda haruslah dikenalkan sejak dini tentang masalah-masalah yang melanda kehidupan kontemporer sehingga nantinya mereka memiliki pandangan yang jelas terkait hal-hal yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang.

Di sini, peran orang tua sangatlah dibutuhkan, sebab orang tua yang tidak memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah yang melanda dunia kontemporer dan cenderung melihat pendidikan dari sisi materialismenya saja hanya akan mengarahkan generasi muda pada kehidupan yang pragmatis.

Dalam konteks eko-teologis, pemberian pendidikan lingkungan sejak dini merupakan salah satu cara menumbuhkan kepekaan generasi muda akan masalah lingkungan. Mengajarkan mereka dengan prinsip utama ajaran Islam yang menjunjung tinggi pembangunan etika sebagai tujuan utama. Etika yang berlandaskan atas rasa kasih sayang, tidak hanya kepada sesama manusia namun juga semesta alam.

Ketiga poin pembahasan tersebut sekaligus menjadi respon atas beberapa fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi di tengah fenomena cuaca ekstrem saat ini. Sebagaimana dikatakan bahwa “mencegah lebih baik daripada mengobati”, maka salah satu cara mencegah kerusakan alam yang lebih parah di masa depan adalah dengan membentuk mindset peduli lingkungan sejak dini. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Pada ayat yang lalu bebicara mengenai anugerah Allah kepada Bani Israil ketika berada di belantara Sinai dengan memberikan Mann dan Salwa, dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60 ini Allah swt mengemukakan sikap Bani Israil yang malah membangkang dengan tetap tidak mau melaksanakan perintah Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 56-58


Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 59-60 in juga berbicara mengenai anugerah lain yang Allah swt berikan kepada Bani Israil, yaitu ketika Nabi Musa as berdo’an kepada Allah swt agar memberikan sumber air kepada dua belas suku pengikut Nabi Isa as.

Ayat 59

Dalam ayat ini diterangkan, bahwa Bani Israil tidak mau melaksanakan perintah dan petunjuk-petunjuk Allah, bahkan sebaliknya mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan perintah-perintah tersebut, seolah-olah mereka tidak mengakui adanya segala perintah itu. Mereka mengatakan bahwa hal-hal sebaliknyalah yang diperintahkan kepada mereka.

Demikianlah orang yang fasik dengan mudah memutarbalikkan kenyataan. Orang-orang yang durhaka senantiasa menyalahi perintah, apabila mereka ditugaskan melakukan pekerjaan yang terasa berat bagi mereka.

Pada akhir ayat ini dijelaskan bahwa karena sikap mereka yang ingkar dan tidak mematuhi perintah itu, Allah menurunkan azab kepada mereka. Dalam ayat ini tidak dijelaskan macam azab yang diturunkan itu. Allah menguji Bani Israil dengan bermacam-macam cobaan setiap kali mereka melakukan kefasikan dan kezaliman.

Ayat 60

Pada permulaan ayat ini, Allah swt mengisahkan bagaimana Nabi Musa a.s. berdoa kepada Allah untuk mendapatkan air minum bagi para pengikutnya yang terdiri dari dua belas suku. Allah mengabulkan doa tersebut, lalu memerintahkan Nabi Musa memukulkan tongkatnya ke sebuah batu besar yang ada di padang pasir itu.

Tiba-tiba memancarlah air dari batu itu sebanyak dua belas sumber, sehingga masing-masing suku dari kaum Nabi Musa itu mendapatkan air minum secukupnya. Kejadian ini merupakan mukjizat bagi Musa untuk membuktikan kerasulannya, dan untuk menunjukkan kekuasaan Allah.

Sesungguhnya Allah kuasa memancarkan air dari batu, tanpa dipukul dengan tongkat lebih dahulu, tetapi Allah hendak memperlihatkan kepada hamba-Nya hubungan sebab dengan akibat. Apabila mereka menginginkan sesuatu harus berusaha dan bekerja untuk mendapatkannya sesuai proses hubungan antara sebab dan akibat.


Baca juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab


Allah telah menyediakan rezeki untuk setiap makhluk-Nya yang hidup di bumi ini, tetapi rezeki itu tidak datang sendiri, melainkan harus diusahakan, dan harus ditempuh cara-caranya. Siapa yang malas berusaha tentu tidak akan mendapatkan rezeki yang diperlukan.

Di samping itu Allah telah menciptakan manusia mempunyai pikiran dan perasaan yang terbatas, sehingga dia hanya dapat memahami yang berada dalam daerah jangkauan indera, pikiran, dan perasaannya. Apabila dia melihat adanya sesuatu yang berada di luar kemampuannya, dia berusaha untuk mengembalikan persoalannya kepada yang telah diketahuinya.

Bila dia tidak dapat memahaminya sama sekali, dia menjadi bingung, apalagi hal itu terjadi di hadapannya berulang kali. Maka Allah memperlihatkan mukjizat melalui para nabi sesuai dengan keadaan umat pada masa nabi itu. Allah menyuruh mereka makan dan minum dari rezeki yang telah dilimpahkan kepada mereka, dan mereka dilarang untuk berbuat kezaliman.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 61-62


(Tafsir Kemenag)

Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

0
Fungsi Al-Qur'an
Fungsi Al-Qur'an menurut Quraish Shihab

Belakangan ini, istilah Islam wasathiyah kembali berdengung di tengah masyarakat Indonesia. Diskursus ini muncul ke permukaan karena maraknya perilaku-perilaku agresif kelompok tertentu terhadap kelompok lain dalam persoalan keagamaan. Tindakan tersebut dianggap tidak mencerminkan Islam – sama sekali – yang mengajarkan untuk hidup damai dan beragama secara moderat.

 Sebenarnya apa makna Islam wasathiyah dan bagaimana implementasinya? Dalam suatu kesempatan di salah satu stasiun televisi, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Islam sering kali diasosiasikan dengan istilah wasathiyah atau Islam moderat. Menurutnya, hal ini tidaklah salah dan benar adanya karena Allah swt dalam Al-Qur’an juga menggunakan istilah demikian.

Firman Allah swt:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ ١٤٣

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât al-fâzh Al-Qur’ân Raghib al-Isfahani disebutkan bahwa secara etimologi kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.” Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga dapat menjadi tempat untuk menyimpan hal baik.

Menurut Quraish Shihab, meskipun secara bahasa wasath berarti sikap di tengah, namun tidak selamanya maksud Islam wasathiyah bermakna di tengah atau sama, melainkan keadilan (al-qisth). Ia berkata, “Jangan menghitung matematis ukuran wasathiyah dan pasti di tengah, yang terbaik adalah melihat washatiyah dengan ukuran agama Islam itu sendiri.”

Pandangan Quraish Shihab ini senada dengan pendapat Fakhrudin al-Razi. Ia menyebutkan bahwa wasath atau memiliki beberapa makna, yakni: Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada hadis riwayat al-Qaffal dari al-Tsauri dari Abu Sa’id al-Khudry dari nabi Muhammad saw bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil.

Kedua, wasath berarti pilihan. Ketiga, wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrath (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrith (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsir al-Razi, [2]: 389-390).

Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummat wasath yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah swt telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya.

Mengapa demikian? Quraish Shihab menegaskan bahwa tujuan Allah swt memerintahkan umat Islam untuk menampilkan Islam wasathiyah adalah agar kita menjadi saksi-saksi kebenaran manusia sekaligus menjadi sosok-sosok yang disaksikan oleh manusia. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita (umat Islam) menjadi umat yang adil dan moderat.

Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Pakar Tafsir Al-Qur’an Indonesia, yakni Prof. Quraish Shihab dalam pada acara Shihab & Shihab di Masjid Al-Azhar, Jakarta, mengemukakan tiga kunci seseorang bisa menerapkan Islam wasathiyah atau Islam moderat. Tiga kunci ini ialah pengetahuan, mengganti emosi keagamaan dengan cinta agama, selalu berhati-hati dalam setiap situasi  dan kondisi serta mempertimbangkan konteks masyarakat.

Syarat pertama Islam wasathiyah adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud adalah mengetahui tentang ajaran agama dan kondisi masyarakatnya. “Tanpa mengetahui itu, tidak akan bisa (menerapkan moderasi). Semua (perbedaan) bisa ditampung oleh Islam wasathiyah.” Dalam konteks ini, pengetahuan yang komprehensif terhadap ajaran Islam normatif maupun historis mutlak adanya.

Contoh pengetahuan tentang ajaran agamanya ialah seperti zakat fitrah dengan menggunakan uang. Quraish Shihab mengatakan, ulama mazhab berbeda pendapat mengenai kebolehan uang sebagai alat pembayaran zakat fitrah. Mazhab Hanafi membolehkan. Sedangkan mazhab Syafi’i tidak membolehkan. Perbedaan antara kedua mazhab juga terjadi misalnya dalam hal apakah qunut saat shalat subuh itu sunnah atau bukan.

Untuk menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada, maka seseorang diharuskan memiliki pengetahuan komprehensif mengenai ajaran Islam, sehingga ia tidak akan mudah menyalahkan orang lain yang berbeda pendapat. Baginya, selama  prinsipnya sama, seperti Tuhan itu Esa, Nabi Muhammad adalah utusan Allah, dan meyakini kebenaran Al-Qur’an, maka seseorang atau sekelompok orang tidak perlu saling menyalahkan.

Syarat Islam wasathiyah kedua ialah mengganti emosi keagamaan dengan cinta keagamaan. Quraish Shihab menyatakan, emosi keagamaan seseorang bisa memembuatnya melanggar agama. Misalnya, ada seseorang yang rajin shalat tahajud dan yang lainnya tidak. Menurutnya, jika orang yang gemar tahajud ini tidak bisa mengubah emosi keagamaan menjadi cinta keagamaan, maka akan mudah menyalahkan orang yang tidak rajin shalat tahajud.

Syarat Islam wasathiyah ketiga adalah selalu berhati-hati dalam setiap situasi dan kondisi. Quraish Shihab mengatakan, tidak ada satu kegiatan positif seseorang yang setan tidak mengganggunya. Setan akan selalu meminta seseorang tersebut untuk melebihkan atau menguranginya. Ia memberi contoh, saat seseorang hendak memberikan uang 50 ribu ke pengemis, setan datang dengan membisiki. Bisikan itu berupa permintaan untuk melebihi atau mengurangi nilainya.

Quraish Shihab berkata, “Boleh jadi dia (setan) berkata begini, ‘50 ribu, waduh terlalu sedikit, tambah, dong’. Bisa jadi dia (setan) juga mengurangi, ‘terlalu banyak (50 ribu itu)’. Itu setan begitu. Jadi harus hati-hati. Kalau tidak Anda tidak bisa menerapkan Islam wasathiyah.” Dengan demikian, kita harus berhati-hati dan mawas diri dalam berbuat kebaikan maupun dalam menjauhi keburukan agar tidak terpengaruh bisikan setan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Islam wasathiyah ialah sikap adil, toleran, dan moderat yang ditunjukkan seorang muslim sebagai representasi umat pilihan Allah swt. Implementasi keadilan tersebut harus disesuaikan dengan konteks masyarakat yang ada. Dengan demikian – bisa jadi – wajah Islam wasathiyah setiap tempat berbeda, namun semuanya tetap memuat prinsip dasar ajaran Islam yang sama. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Yasin ayat 36: Hikmah Besar Dari Berpasang-pasangan

0
Yasin Ayat 36
Yasin Ayat 36

Pada artikel sebelumnya telah diterangkan tentang tanda-tanda kekuasaan Allah Swt, khususnya segala macam tumbuhan yang ada di belahan bumi adalah kuasa-Nya, sekalipun tumbuhan itu sudah kering atau mati di tanah yang tandus, niscaya mudah bagi Allah untuk menumbuhkannya kembali.

Pembahasan kali ini, terkait tafsir surat Yasin ayat 36 masih akan meneruskan beberapa tanda kekuasaan Allah yang lain, bahwa segala sesuatu yang telah DIA ciptakan sejatinya tidak tunggal, tetapi berpasang-pasangaan dan pada ayat ini Allah ingin menunjukkan hikmahnya kepada kita semua melalui rangkaian penafsiran para ulama. Allah berfirman:

سُبْحٰنَ الَّذِيْ خَلَقَ الْاَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْۢبِتُ الْاَرْضُ وَمِنْ اَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُوْنَ

  1. Mahasuci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri, maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Permulaan ayat ini menggunakan redaksi subhanalladzi khalaqa yang setidaknya memiliki dua makna menurut Qurthubi. Pertama, adalah bentuk pujian Allah atas diri-Nya, dari tingkah kaum durhaka, yakni; mereka yang menyembah selain Allah, berpaling dari tanda-tanda kekuasan-Nya, dan tidak mensyukuri nikmat-nikmat yang telah diberikan kepada mereka. (Sebagaimana yang telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya)

Kedua, kata subhana memiliki makna ta’ajjub. Yakni merasa heran atas kedurhakaan kaum tersebut, padahal mereka menyaksikan tanda-tanda kekuasaan Allah akan tetapi mereka berpaling. Seharusnya, ketika menyaksikan tanda-tanda itu mereka berucap, Subhanaallah.

Adapun kata al-azwaj secara umum dipahami dengan berpasang-pasangan. Konteksnya pada ayat ini, memunculkan beberapa makna yang digunakan oleh para  mufassir. Misalnya Zamaksyari, ia menilai kata azwaj dengan al-ajnas/al-ashnaf yang bermakna jenis/golongan tumbuhan, bahwa Allah menciptakan tumbuhan itu dengan beragam jenis, ciri, warna, dan bentuk, untuk saling menyatukan dan memberi manfaat. Ini diperkuat dengan kata yang setelahnya mimma tunbitul ardh yang secara tegas menunjukkan segala sesuatu yang tumbuh di bumi, seperti ; buah, tanaman, dan tumbuhan yang lain.

Disisi lain, kata azwaj juga memiliki makna berpasangan antara betina-jantan, pria-wanita, apabila disandingkan dengan kata min anfusihim. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Kathir, Thabari, Zamaksyari, Qurthubi, dan Zuhaili.

Lebih luas lagi, Tim penulis Tafsir al-Muntakhab sebagaimana yang dikutip oleh Quraish, mengatakan bahwa kata “min” dalam ayat ini berfungsi sebagai penjelas. Bahwa Allah telah mencipatakan pejantan dan betina pada semua makhluk cipataan-Nya, baik itu tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia ataupun makhluk hidup lain yang tak kasat mata (seperti jin) dan yang belum diketahui oleh manusia (wa mimma la ya’lamun : ujung ayat 36).

Menurut Quraish, pendapat ini sejalan dengan makna kebahasaan serta kenyataan ilmiah pada saat ini. Dari segi bahasa, kata azwaj menurut pakar bahasa al-Qur’an ar-Raghib al-Ashfahani, digunakan untuk menunjukan dua hal, yakni; yang berpasangan dan bersamaan. Misalnya, yang berpasangan seperti betina-pejantan, pria-wanita. Disaat yang sama ia juga berfungsi menunjukkan pada sesuatu yang sama misalnya “alas kaki”, namun hal yang sma ini bisa diakibatkan karena “kesamaan” atau karena “bertolak belakang”.

Hamka mengilustrasikan yang bertolak belakang seperti positif-negatif, menurutnya dengan keduanya itu mampu melahirkan penemuan baru, sebut saja seperti listrik, yang sampai saat ini menjadi kebutuhan manusia hingga saat ini.  Karena itu, tidak heran jika Allah menciptakan segala sesuatu itu berpasang-pasangan, seperti; pria, wanita, senang, sedih, resah, gembira, cinta, dilema, optimis, pesimis, kaya, miskin, dan sebagainya. Bayangkan jika Allah hanya mencipatakan satu macam saja, apa yang bisa kita nikmati?

Maka, melalui ayat ini, seharunya menjadikan kita menjadi hamba yang lebih bersyukur dan legowo atas nikmat serta kehendak yang telah Allah limpahkan, niscaya ia akan menambahkan nikmat lain yang mungkin belum pernah kita rasakan sebelumnya. Sebagai penutup, penulis igim mengutip salah satu ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan pembahasan kali ini. Allah berfirman:

وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).(QS. Adz-Dzariyat: 49)

Demikian penjelasan ringkas tafsir surat Yasin ayat 36. Ikuti series tafsir yasin selanjutnya, semoga bermanfaat. Terimakasih.Wallahu a’lam

Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

0
Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab
Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

“Sekali lagi agama beranekaragam, biarlah masing-masing dengan pilihan masing-masing untuk mempercayai dan melaksanakan apa yang baik dan benar. Biarlah manusia yang berbeda itu berlomba dalam kebajikan…..Masing-masing mestinya telah mempelajari agamanya dan menemukan yang benar, sehingga tidak mungkin dibenarkan dua agama berbeda dalam saat yang sama.” (Islam yang Saya Anut: 48). Kutipan dari Prof. Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir terkemuka Indonesia, sekilas memberikan gambaran pandangannya terhadap konsep kerukunan umat beragama.

Namun, belakangan ini sikap keagamaan umat banyak dijumpai kekeliruan. Seperti sikap fanatik buta, eksklusif, dan mudah menyalahkan kelompok lain. Sementara wacana toleransi dan pluralisme terkadang terjebak dalam jurang runtuhnya akidah yang dianutnya. Lalu bagaimana Quraish Shihab menyikapi fenomena tersebut? Berikut akan penulis jelaskan tiga sikap Quraish Shihab perihal konsep kerukunan umat beragama.

Ayat-ayat Kerukunan Umat Beragama

Konsep kerukunan umat beragama dalam al-Qur’an bisa dijumpai dalam beberapa ayat. Pertama, ayat tentang keselamatan umat beragama seperti dalam QS. al-Baqarah[2]: 62.

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْأخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. al-Baqarah[2]: 62)

Kedua, ayat yang menerangkan kebebasan beragama seperti dalam QS. Yunus[10]: 99. Ayat tersebut memiliki hubungan dengan ayat yang menjelaskan terkait tidak adanya paksaan dan ketulusan dalam memilih agama (QS. al-Baqarah[2] 256 dan QS. al-Kahfi [18] 29). Ketiga, ayat yang menerangkan perbedaan jenis kelamin dan asal suku bangsa manusia yang termaktub dalam QS. al-Hujurat [49]: 13.

Baca juga: Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an

Keempat, kebebasan menjalankan ritual keagamaan umat beragama lain dan teguh atas agamanya sendiri. Hal ini seperti dijelaskan dalam QS. al-Kafirun[109]: 6.

 لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

 “Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS. al-Kafirun[109]: 6)

Kerukunan Umat Beragama dalam Tafsir al-Misbah

Pendapat yang mengatakan QS. al-Baqarah[2]: 62 dijadikan sebagai toleransi, akan menjadi keliru ketika menyamakan semua agama. Adapun kaitannya dengan toleransi umat beragama, Shihab menerangkan bahwa akidah dan ibadah tidak bisa disamakan. Antara satu agama dengan agama lain tentu tidaklah sama. Islam sendiri menyatakan kebenaran agamanya seperti disebutkan dalam QS. Ali Imran[3]: 19 dan QS. Ali Imran [3]: 85.

Nilai toleransi yang bisa dipetik dalam ayat ini, menurut Shihab, yaitu bagaimana antarumat beragama hidup berdampingan secara damai. Tentang siapa yang benar di sisi Allah, adalah keputusan-Nya kelak di hari akhir. Kemudian, antara surga dan neraka merupakan hak prerogatif Allah. (Tafsir al-Misbah, vol. 1: 208).

Selanjutnya tentang kebebasan beragama (QS. Yunus[10]: 99), Quraish Shihab, menyebutkan bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada manusia untuk berhak memilih percaya atau tidak. Tetapi, kebebasan tersebut tidak semata dari kekuatan manusia, karena semua hidayah adalah anugerah dan atas izin Allah. Hal ini seperti keterangan pada ayat setelahnya (QS. Yunus[10]: 100).

Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme Dalam Al-Qur’an, Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

Lebih lanjut, Shihab menerangkan bahwa Allah sedang menguji manusia melalui anugerah-Nya berupa potensi akal untuk memilah dan memilih, beragama ataupun tidak. (Tafsir al-Misbah, vol. VI: 164) Ayat tersebut juga berhubungan dengan QS. al-Baqarah[2] 256, yakni agama tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun yang hendak memilih. Termasuk ketulusan dalam memilih agama (QS. al-Kahfi [18] 29).

Memilih salah satu agama, menurut Shihab, berarti berkewajiban dan terikat dengan segala perintah agama beserta tuntunannya. Karena hal itu menjadi konsekuensi manusia dengan Tuhannya dalam hubungan yang vertikal.

Kedua ayat di atas memberikan keterangan bahwa tidak perlu memaksakan kehendak kepada orang lain. Allah pun telah menjelaskan, kebenaran dan kesesatan adalah dua kondisi yang gamblang perbedaannya. Potensi akal manusia lah yang kemudian mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Keberagaman yang diciptakan Allah, tidak lain merupakan tanda kebesaran yang nyata. Seperti perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, dan ras. Dalam hal ini, Allah menjelaskan bahwa perbedaan tersebut bermaksud agar mereka bisa saling mengenal, memahami satu sama lain seperti di jelaskan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, vol. XII: 262, menyebutkan bahwa panggilan yang diserukan Allah dalam ayat ini, mencakup semua jenis manusia. Tidak ada perbedaan di antara suku dan bangsa. Redaksi awal ayat tersebut menjadi pengantar menuju kesimpulan bahwa yang paling bertakwa-lah yang lebih unggul di sisi Allah.

Shihab menambahkan, semakin kuat jalinan antara satu umat dengan yang lainnya, maka potensi untuk saling memberi manfaat akan semakin besar. Saling mengenal berkesempatan untuk saling mengambil pelajaran agar meningkatkan ketakwaan setiap orang. Dengan demikian, akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.

Baca juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

Hubungan antarumat beragama juga bisa dilihat dari sikap seseorang atas ritual keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama lain. Tafsir al-Misbah dalam menerangkan QS. al-Kafirun[109]:6, terlebih dahulu menerangkan asbab an-nuzul-nya. Pada awal surat mengisahkan usulan dari kaum musyrikin kepada Nabi untuk pengkompromian akidah dan kepercayaan. Nabi menolaknya dan al-Qur’an menyikapi perbedaan melalui ayat keenam tersebut.

Quraish Shihab menganalisis didahuluinya lafaz (لكم) dan (لي) pada ayat keenam adalah bentuk kekhususan. Masing-masing agama dipersilahkan menjalankan ritual keagamaannya dan tanpa dicampurbaurkan. Nabi Muhammad dalam hal ini tidak berarti membenarkan ajaran mereka, namun hanya memberikan ruang kepadanya untuk melanjutkan ritual keagamaan yang mereka yakini (Tafsir al-Misbah, vol. XV, 581)

Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Setelah membaca penafsiran Quraish Shihab seputar kerukunan umat beragama, penulis menarik kesimpulan ada tiga sikap yang dipilih oleh Quraish Shihab. Pertama, bersikap terbuka dan tidak memaksa. Kedua, membangun hubungan yang berorientasi kedamaian. Ketiga, eksklusif yang bersifat ke dalam.

Bersikap terbuka maksudnya, keragaman adalah sunnatullah yang tidak terelakkan. Maka, sikap menerima perbedaan menjadi sebuah keniscayaan dengan cara tidak memaksa kehendak orang lain dalam memilih agama atau bahkan dalam setiap perkara.

Shihab juga berupaya menjembatani keragaman dengan cara menjalin hubungan atau mitra kerja dalam kebajikan. Sehingga, perbedaan yang terjadi  di masyarakat pada gilirannya akan membangun keharmonisan dan kedamaian, bukan pemicu perpecahan.

Perihal sikap eksklusif, dalam pandangan Shihab adalah sebuah pokok ajaran agama. Namun sikap ini diarahkan ke dalam masing-masing individu pemeluk agama. Kebenaran agama yang dianutnya haruslah diyakini sepenuhnya dengan tidak menyatakan ke tataran masyarakat yang multikultural. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dan persatuan, terlebih dalam konteks Indonesia yang memiliki ragam agama dan kepercayaan. Wallahu A’lam[]

Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.

0
foto ilustrasi, nabi ibrahim ketika menyembelih anaknya, ismail
foto ilustrasi, nabi ibrahim ketika menyembelih anaknya, ismail

Salah satu sosok Nabi yang sangat mulia bahkan disitir di dalam Al-Quran sebagai al-khalilullah (kekasih Allah), yaitu Nabi Ibrahim. Pembahasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi menarik untuk dielaborasi lebih dalam karena ia mempunyai gelar atau julukan (laqab), salah satunya ialah Ulul Azmi. Berikut beberapa julukan atau gelar yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim a.s,

Ulul Azmi

Ulul Azmi – sebagaimana penjelasan Al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran – dimaknai sebagai orang-orang yang mempunya ghirah yang kuat dan tangguh. Gelar ini teramat istimewa sebab disematkan kepada para rasul yang memiliki keistimewaan, seperti kesabaran yang luar biasa dalam menerima cobaan dan ujian Allah, kepelikan dalam menjalankan dakwah, ujian hidup dan lain sebagainya.

Nabi Ibrahim a.s. merupakan salah satu Nabi yang mendapat gelar ini karena ketaatannya yang luar biasa dan pengorbanan yang tiada tara dalam menjalankan dakwah Islam. Gelar Ulul Azmi dapat dilihat pada Q.S. Al-Ahqaf [46]: 35, dan Q.S. Al-Ahzab [33]: 7,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. (Q.S. Al-Ahaqaf [46]: 35)

Dalam ayat yang lain,

وَاِذْ اَخَذْنَا مِنَ النَّبِيّٖنَ مِيْثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُّوْحٍ وَّاِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖوَاَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًاۙ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, (Q.S. Al-Ahzab [33]: 7)

Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Abu Al-Anbiya’

Nabi Ibrahim mendapat gelar sebagai Abu al-Anbiya (bapaknya para Nabi) sebab dari garis keturunannya, ia dianugerahi 2 orang anak laki-laki yaitu Ismail dan Ishaq. Dan dari keturunan Nabi Ismail inilah lahir Rasulullah Muhammad saw, sosok Nabi khatamul anbiya wa mursalin (penutup para Nabi) (Syauqi Khalil dalam Atlas Al-Quran).

Kemudian, dari jalur Nabi Ishaq lahir Nabi Ya’qub, Yusuf dan Nabi Isa a.s. Gelar Abu Al-Anbiya ini tersirat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 133 dan 136,

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 133)

Dalam ayat lain,

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 136)

Abu at-Tauhid

Gelar Nabi Ibrahim ketiga ialah Abu at-Tauhid (bapak agama Tauhid). Gelar ini diberikan sebab perjalanan dakwahnya yang sangat panjang dalam menauhidkan umatnya sekaligus pencarian jati dirinya sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah swt Q.S. Al-An’am [6]: 76-79,

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang  (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (Q.S. Al-An’am [6]: 76)

Selain itu, dalam dakwahnya yang lain, Nabi Ibrahim juga menghancurkan berhala serta simbol-simbol patung atau mitos-mitos yang ada pada zaman itu.

Baca juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Khalilullah

Khalilullah bermakna kekasih Allah. Gelar ini diberikan setidaknya ada dua sebab yaitu kecintaan terhadap Allah swt lebih besar daripada kecintaan terhadap keluarganya, yaitu ayahnya sendiri, Uzair dan istri serta anaknya sendiri, Ismail. Sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 125,

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya). (Q.S. An-Nisa [4]: 125)

Khalil sendiri bermakna teman yang meresap ke dalam kalbu, persahabatan dan kecintaan. Kata khalil ini juga dimaknai celah, celah untuk mengetahui dan mengenal tidak hanya secara umum, melainkan rahasia jiwa temannya. Nabi Ibrahim dianugerahi gelar khalilullah (kekasih Allah) karena relung jiwanya dipenuhi rasa cinta kepada Allah sehingga Allah swt pun menjadikannnya sebagai khalil-Nya. (Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah).

Abu ad-Dhaifan

Gelar kelima yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim ialah Abu ad-Dhaifan yaitu bapak para tamu. Gelar ini diberikan karena kepribadiannya yang sangat mulia, menjamu para tamu dengan jamuan sebaik-baiknya, menyambutnya dan menyuguhkan daging anak sapi gemuk yang sudah dipanggang.

Ketika Nabi Ibrahim mempersilahkan kepada tamunya untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan, mereka merasa ketakutan dan akhirnya tamu itu mengakui bahwa mereka adalah malaikat yang diutus oleh Allah swt untuk membawa kabar gembira tentang kelahiran seorang anak yang ‘alim yaitu Nabi Ishaq) (Abbas Mahmud al-‘Aqad dalam Ibrahim al-Anbiya).

Kisah ini diabadikan oleh Al-Quran dalam Q.S. Al-Zariyat [51]: 24-29,

هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ ضَيْفِ اِبْرٰهِيْمَ الْمُكْرَمِيْنَۘ اِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًا ۗقَالَ سَلٰمٌۚ قَوْمٌ مُّنْكَرُوْنَ فَرَاغَ اِلٰٓى اَهْلِهٖ فَجَاۤءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍۙ فَقَرَّبَهٗٓ اِلَيْهِمْۚ قَالَ اَلَا تَأْكُلُوْنَ فَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْۗ وَبَشَّرُوْهُ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ فَاَقْبَلَتِ امْرَاَتُهٗ فِيْ صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوْزٌ عَقِيْمٌ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salaman” (salam), Ibrahim menjawab, “Salamun” (salam). (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya. Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar),

lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.”Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” (Q.S. Al-Zariyat [51]: 24-29).

Demikianlah penjelasan mengenai gelar Nabi Ibrahim a.s. Tentu gelar ini tidak didapat secara instan, ada buah kesabaran dan perjuangan yang harus dilewati oleh Nabi Ibrahim hingga Allah swt memberikan gelar kepadanya sebagai bentuk apresiasi dan karunia-Nya kepada hamba-hambaNya yang beriman. Wallahu A’lam.