Beranda blog Halaman 429

Kisah Al-Quran: Beberapa Gelar Yang Disandang Nabi Ibrahim a.s.

0
foto ilustrasi, nabi ibrahim ketika menyembelih anaknya, ismail
foto ilustrasi, nabi ibrahim ketika menyembelih anaknya, ismail

Salah satu sosok Nabi yang sangat mulia bahkan disitir di dalam Al-Quran sebagai al-khalilullah (kekasih Allah), yaitu Nabi Ibrahim. Pembahasan Nabi Ibrahim a.s. menjadi menarik untuk dielaborasi lebih dalam karena ia mempunyai gelar atau julukan (laqab), salah satunya ialah Ulul Azmi. Berikut beberapa julukan atau gelar yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim a.s,

Ulul Azmi

Ulul Azmi – sebagaimana penjelasan Al-Qurthuby dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran – dimaknai sebagai orang-orang yang mempunya ghirah yang kuat dan tangguh. Gelar ini teramat istimewa sebab disematkan kepada para rasul yang memiliki keistimewaan, seperti kesabaran yang luar biasa dalam menerima cobaan dan ujian Allah, kepelikan dalam menjalankan dakwah, ujian hidup dan lain sebagainya.

Nabi Ibrahim a.s. merupakan salah satu Nabi yang mendapat gelar ini karena ketaatannya yang luar biasa dan pengorbanan yang tiada tara dalam menjalankan dakwah Islam. Gelar Ulul Azmi dapat dilihat pada Q.S. Al-Ahqaf [46]: 35, dan Q.S. Al-Ahzab [33]: 7,

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ اُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. (Q.S. Al-Ahaqaf [46]: 35)

Dalam ayat yang lain,

وَاِذْ اَخَذْنَا مِنَ النَّبِيّٖنَ مِيْثَاقَهُمْ وَمِنْكَ وَمِنْ نُّوْحٍ وَّاِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسَى ابْنِ مَرْيَمَ ۖوَاَخَذْنَا مِنْهُمْ مِّيْثَاقًا غَلِيْظًاۙ

Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi dan dari engkau (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, (Q.S. Al-Ahzab [33]: 7)

Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

Abu Al-Anbiya’

Nabi Ibrahim mendapat gelar sebagai Abu al-Anbiya (bapaknya para Nabi) sebab dari garis keturunannya, ia dianugerahi 2 orang anak laki-laki yaitu Ismail dan Ishaq. Dan dari keturunan Nabi Ismail inilah lahir Rasulullah Muhammad saw, sosok Nabi khatamul anbiya wa mursalin (penutup para Nabi) (Syauqi Khalil dalam Atlas Al-Quran).

Kemudian, dari jalur Nabi Ishaq lahir Nabi Ya’qub, Yusuf dan Nabi Isa a.s. Gelar Abu Al-Anbiya ini tersirat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 133 dan 136,

اَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاۤءَ اِذْ حَضَرَ يَعْقُوْبَ الْمَوْتُۙ اِذْ قَالَ لِبَنِيْهِ مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْۢ بَعْدِيْۗ قَالُوْا نَعْبُدُ اِلٰهَكَ وَاِلٰهَ اٰبَاۤىِٕكَ اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 133)

Dalam ayat lain,

قُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِاللّٰهِ وَمَآ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَمَآ اُنْزِلَ اِلٰٓى اِبْرٰهٖمَ وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ وَالْاَسْبَاطِ وَمَآ اُوْتِيَ مُوْسٰى وَعِيْسٰى وَمَآ اُوْتِيَ النَّبِيُّوْنَ مِنْ رَّبِّهِمْۚ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ اَحَدٍ مِّنْهُمْۖ وَنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan kepada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta kepada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, dan kami berserah diri kepada-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 136)

Abu at-Tauhid

Gelar Nabi Ibrahim ketiga ialah Abu at-Tauhid (bapak agama Tauhid). Gelar ini diberikan sebab perjalanan dakwahnya yang sangat panjang dalam menauhidkan umatnya sekaligus pencarian jati dirinya sebagaimana dilukiskan dalam firman Allah swt Q.S. Al-An’am [6]: 76-79,

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang  (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.”Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (Q.S. Al-An’am [6]: 76)

Selain itu, dalam dakwahnya yang lain, Nabi Ibrahim juga menghancurkan berhala serta simbol-simbol patung atau mitos-mitos yang ada pada zaman itu.

Baca juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Khalilullah

Khalilullah bermakna kekasih Allah. Gelar ini diberikan setidaknya ada dua sebab yaitu kecintaan terhadap Allah swt lebih besar daripada kecintaan terhadap keluarganya, yaitu ayahnya sendiri, Uzair dan istri serta anaknya sendiri, Ismail. Sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 125,

وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kesayangan(-Nya). (Q.S. An-Nisa [4]: 125)

Khalil sendiri bermakna teman yang meresap ke dalam kalbu, persahabatan dan kecintaan. Kata khalil ini juga dimaknai celah, celah untuk mengetahui dan mengenal tidak hanya secara umum, melainkan rahasia jiwa temannya. Nabi Ibrahim dianugerahi gelar khalilullah (kekasih Allah) karena relung jiwanya dipenuhi rasa cinta kepada Allah sehingga Allah swt pun menjadikannnya sebagai khalil-Nya. (Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah).

Abu ad-Dhaifan

Gelar kelima yang dinisbahkan kepada Nabi Ibrahim ialah Abu ad-Dhaifan yaitu bapak para tamu. Gelar ini diberikan karena kepribadiannya yang sangat mulia, menjamu para tamu dengan jamuan sebaik-baiknya, menyambutnya dan menyuguhkan daging anak sapi gemuk yang sudah dipanggang.

Ketika Nabi Ibrahim mempersilahkan kepada tamunya untuk menyantap makanan yang telah dihidangkan, mereka merasa ketakutan dan akhirnya tamu itu mengakui bahwa mereka adalah malaikat yang diutus oleh Allah swt untuk membawa kabar gembira tentang kelahiran seorang anak yang ‘alim yaitu Nabi Ishaq) (Abbas Mahmud al-‘Aqad dalam Ibrahim al-Anbiya).

Kisah ini diabadikan oleh Al-Quran dalam Q.S. Al-Zariyat [51]: 24-29,

هَلْ اَتٰىكَ حَدِيْثُ ضَيْفِ اِبْرٰهِيْمَ الْمُكْرَمِيْنَۘ اِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًا ۗقَالَ سَلٰمٌۚ قَوْمٌ مُّنْكَرُوْنَ فَرَاغَ اِلٰٓى اَهْلِهٖ فَجَاۤءَ بِعِجْلٍ سَمِيْنٍۙ فَقَرَّبَهٗٓ اِلَيْهِمْۚ قَالَ اَلَا تَأْكُلُوْنَ فَاَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيْفَةً ۗقَالُوْا لَا تَخَفْۗ وَبَشَّرُوْهُ بِغُلٰمٍ عَلِيْمٍ فَاَقْبَلَتِ امْرَاَتُهٗ فِيْ صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوْزٌ عَقِيْمٌ

Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salaman” (salam), Ibrahim menjawab, “Salamun” (salam). (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya. Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar),

lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.”Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut,” dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” (Q.S. Al-Zariyat [51]: 24-29).

Demikianlah penjelasan mengenai gelar Nabi Ibrahim a.s. Tentu gelar ini tidak didapat secara instan, ada buah kesabaran dan perjuangan yang harus dilewati oleh Nabi Ibrahim hingga Allah swt memberikan gelar kepadanya sebagai bentuk apresiasi dan karunia-Nya kepada hamba-hambaNya yang beriman. Wallahu A’lam.

Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya

0
nabi ibrahim
nabi ibrahim

Salah satu Nabi yang bergelar Ulul Azmi adalah Nabi Ibrahim. Beliau merupakan abu al-anbiya, bapaknya para Nabi. Dari garis keturunan beliau lahirlah beberapa putra yang menjadi Nabi, yakni Ismail, Ishaq, Ya’qub dan bahkan Rasulullah saw dari garis keturunan Nabi Ismail a.s.

Sungguh pun demikian, tahukah anda biografi Nabi Ibrahim dan bagaimana perjalanan dakwahnya? Berikut penjelasannya di bawah ini.

Sketsa Biografis

Jamaluddin Abu al-Farj ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin Muhammad al-Jauzi dalam Muntazam fi Tarikh Umam wa al-Muluk dan Abu Hanifah Ahmad bin Daud al-Dainuri dalam Akhbar al-Tiwal menerangkan bahwa nama Nabi Ibrahim adalah Ibrahim bin Azar bin Tarih bin Nakhur bin Argu bin Syalikh bin Arfakhsyaz bin Salih bin Nuh atau dikenal dengan nama Ibrahim al-Khalil a.s.

Selain itu, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengemukakan pendapat lain terkait asal usul nama  Ibrahim, yakni nama Ibrahim berasal dari dua suku kata, yaitu ab yang berarti ayah dan rahim yang berarti penuh kasih. Maka, Ibrahim berarti ayah yang penuh kasih. Ia merupakan keturunan dari Nabi Nuh a.s. sebagaimana termaktub dalam Q.S. Saffat [37]: 83.

۞ وَاِنَّ مِنْ شِيْعَتِهٖ لَاِبْرٰهِيْمَ ۘ

Dan sungguh, Ibrahim termasuk golongannya (Nuh). (Q.S. Saffat [37]: 83)

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api

Pada ayat tersebut disebutkan bahwa Nabi Ibrahim a.s. berasal dari golongan Nabi Nuh a.s. sebab keduanya merupakan pemberi peringatan yang diutus oleh Allah swt. Kendati demikian, Hamka dalam Tafsir al-Azhar menuturkan bahwa ada perbedaan syariat di antara keduanya, yakni antara syariat Nabi Nuh dengan Nabi Ibrahim. Di antara perbedaan ini adalah karena mengikuti perkembangan zaman, namun pada intinya ajaran mereka sama yaitu mengesakan Allah swt (ajaran tauhid).

Sebagaimana penjelasan Hadyah Salim dalam Qissatul Anbiya bahwa Nabi Ibrahim adalah sosok manusia atau Nabi yang dapat dijadikan imam. Dalam artian sosok yang sangat patuh dan taat kepada segala perintah Allah swt. Ia wafat pada tahun 175 SM dan dimakamkan di samping makam salah satu istrinya, yaitu Siti Sarah.

Perjalanan Dakwah

Beliau diangkat menjadi seorang Nabi sekitar tahun 1990 SM. Ia diutus untuk menyeru dan memberi peringatan kepada Kaum Kaldan yang terletak di Kota ‘Ur, daerah selatan Irak, tempat ini ditengarai sebagai tempat kelahirannya. Akan tetapi Syihabuddin Qalyubi dalam Stilistika Al-Quran Makna Dibalik Kisah Nabi Ibrahim, menerangkan satu pendapat yang mengatakan bahwa dia dilahirkan di Damaskus, Syiria.

Nabi Ibrahim tumbuh besar dalam sebuah gua di wilayah Babylon sebagaimana penjelasan Kamal al-Sayyid dalam Kisah-Kisah Terbaik Al-Quran, di mana pada zaman itu diperintah oleh seorang raja yang sangat kejam bernama Namrud bin Kan’an. Ia adalah sosok raja yang bengis dan otoriter cum lalim.

Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al-Quran menjelaskan bahwa beliau menjalani masa kecilnya hampir tidak jauh berbeda dengan keadaan Nabi Musa, yakni dipisahkan dari ibunya karena adanya kebijakan sang raja yang akan membunuh semua bayi laki-laki yang lahir di masa itu.

Singkat cerita, tatkala Nabi Ibrahim berusia 16 tahun, ia tidak menyembah berhala padahal semua orang kala itu menyembah berhala. Mengetahui hal itu, seluruh warga geger dan mencemoohnya karena tidak mengikuti tradisi saat itu. Namun demikian, Allah swt berkehendak lain kepada Nabi Ibrahim, ia diberikan oleh Allah swt kecerdasan sehingga mampu berdakwah dengan berpikir logis empiris kepada sang ayah dan kaumnya.

Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Melihat sang ayah dan kaumnya yang menyembah berhala, hatinya gundah gulana. Ia lantas mengajak ayah dan kaumnya untuk beribadah kepada Allah swt dan meninggalkan pemujaan berhala. Akan tetapi, ajakan itu tak diindahkan oleh kaum, justru mereka berbalik memusuhi Nabi Ibrahim a.s.

Meski demikian, Nabi Ibrahim a.s, tidak kehabisan ide, ia mencari cara bagaimana menyadarkan ayah dan kaumnya. Lalu ia menemukan cara yaitu menghancurkan semua sesembahan berhala dan menyisakan satu patung berhala yang paling besar. Dengan dalih, bahwa berhala yang paling besar itulah yang menghancurkan berhala yang kecil.

Tatkala kaumnya menjumpai sesembahan mereka hancur berkeping-keping, mereka langsung menuduh Ibrahim sebagai biang keladinya, lalu diadililah Nabi Ibrahim. Dan hakim memutuskan hukuman bahwa Nabi Ibrahim harus dibakar. Hal ini dikisahkan dalam Q.S. al-Anbiya; [21]: 66-69,

قَالَ اَفَتَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يَضُرُّكُمْ ۗ اُفٍّ لَّكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَفَلَا تَعْقِلُوْنَ قَالُوْا حَرِّقُوْهُ وَانْصُرُوْٓا اٰلِهَتَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ فٰعِلِيْنَ قُلْنَا يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ

Dia (Ibrahim) berkata, “Mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun, dan tidak (pula) mendatangkan mudarat kepada kamu? Celakalah kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah! Tidakkah kamu mengerti?” Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.” Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 66-69)

Ibrah bagi Umat Islam

Banyaknya cobaan dan ujian yang dilimpahkan kepada Nabi Ibrahim tidak menyurutkan semangatnya untuk berdakwah dalam mensyiarkan Agama Islam. Meski ia harus melawan raja Namrud sekalipun. Bahkan ia dianugrahi sang anak yang sangat dicintainya yaitu Nabi Ismail, yang kemudian Allah swt memerintahkan untuk menyembelihnya.

Sungguh, maka tak heran Nabi Ibrahim digelari sebagai Ulul Azmi (nabi yang diuji oleh Allah dengan ujian yang berat melebihi batas kemampuan manusia biasa dan mempunyai tingkat ketabahan dan kesabaran yang luar biasa dalam menebar ajaran tauhid.

Semoga spirit perjuangan Nabi Ibrahim dapat kita teladani di era kekinian. Terlebih di tengah suasana sulit, pandemi Covid-19 benar-benar menghancurkan sendi kehidupan. Meskipun begitu kita harus tetap optimis melangkah maju ke depan bahwa badai pasti berlalu. Dan wabah pandemi Covid-19 segera hilang dan kita menjalani hidup normal seperti sedia kala. Wallahu A’lam

Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (2)

0
Prinsip tafsir Husein Muhammad dalam ayatrelasi laki-laki dan perempuan
Prinsip tafsir Husein Muhammad dalam ayatrelasi laki-laki dan perempuan

Selain empat prinsip yang ditampilkan dalam tulisan sebelumnya, terdapat empat prinsip lain yang juga dipegang oleh Buya Husein saat menafsirkan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Mengutip Eni Zulaikha dalam Analisa Gender, empat prinsip itu ialah; memahami konteks pembicara dan audiensi, selaras dengan maqasidus syari’ah, penggunaan nalar rasional, dan menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad. Berikut ini ulasan sederhananya.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)

Selaras dengan maqashidus syariah

Tafsiran Husein atas ayat relasi laki-laki dan perempuan cukup konsisten dengan maqashidus syariah. Ia mengembangkan apa yang oleh Al-Ghazali disebut dengan penjagaan al-kulliatul khams. Menyitir Auda, al-kulliyatul khams rumusan al-Ghazali meliputi; keyakakinan (ad-din), jiwa (an-nafs), akal (al-‘aql), keturunan (an-nasl), dan harta benda (al-mal)). Lima hal itu itu ia jadikan acuan dan mensinergikannya dengan humanisme universal, berupa; keadilan, kebersamaan, kesetaraan, kebebasan, dan penghargaan terhadap hak orang lain.

Karena prinsip ini, kita akan sering temui tiap penafsiran Husein atas ayat relasi laki-laki dan perempuan selalu mempertimbangkan kemashlahatan yang terwujud dalam prinsip humanisme universal itu sendiri. Misalnya, prinsip kesetaraan yang kentara saat ia memaknai Surat Ar-Rum ayat 21 dalam Fiqh Perempuan, tentang penciptaan manusia berpasang-pasangan. Husein, menyebutkan bahwa maksud ayat ini ialah terciptanya kecenderungan dan kasih sayang satu kepada yang lainnya. Alih-alih menjadikan ayat ini sebagai justifikasi bahwa perempuan adalah ciptaan sepihak untuk laki-laki, dan tidak sebaliknya, Husein lebih memilih untuk memaknai ayat ini sebagai kesalingan kecenderungan dan kasih sayang laki-laki dan perempuan.

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Paham konteks pembicara dan audiensi

Prinsip ini ditekankan Husein tatkala membaca ayat relasi laki-laki dan perempuan agar dapat memahami posisi pembicara (mukhatib) apakah sebagai pembawa informasi (mukhbir), pendebat (naqid), dan lain sebagainya. Di sisi lain, dengan tahu posisi audiensi (mukhatab/objek yang disapa) sebagai apa, dapat mengindarkan dari kesalahpahaman atas maksud ayat.

Dalam menerapkan prinsip ini, Husein Muhammad menggunakan Sababun Nuzul atau penggolongan Makki-Madani suatu ayat. Misalnya, saat memaknai Surat An-Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan. Mengutip Husein dalam Fiqh Perempuan, ayat tersebut turun untuk merespons keputusan Nabi untuk memperbolehkan Habibah binti Zaid meng-qishash (membalas dengan setimpal) suaminya yang telah bertindak KDRT terhadapnya. Husein kemudian menganalisis konteks masyarakat Arab secara umum pada waktu itu, yang memegang teguh sistem patriarkhi. Audiensi pada saat ayat turun –baik berdasarkan dari apa yang ada dalam sababun nuzul atau pun konteks masyarakat Arab secara umum- berada dalam keadaan laki-lakinya sebagai pemegang otoritas.

Lalu kemudian, Husein berpendapat, posisi mukhatib di ayat ini adalah untuk membawa informasi (mukhbir), sehingga, menunjukkan bahwa ayat itu tidak mengindikasikan perintah.

Menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad

Tidak seperti mainstream ulama fikih klasik yang menjadikan Sunnah Nabi sebagai referensi dalam ijtihad, Husein justru menganggapnya sebagai produk ijtihad Nabi yang dinamis.  Sehingga, yang penting tidak hanya memahami sunnah secara literal, tetapi lebih jauh, menelusuri sabab wurud-nya atau kondisi Nabi dan masyarakat sekitarnya tatkala hadis itu ia sabdakan.

Bagi Husein, dengan menjadikan Sunnah Nabi sebagai metode ijtihad, memahami Al-Quran akan lebih mudah. Hal ini karena, ada ketersinambungan antara hadis dan Al-Quran, yaitu sama-sama bersifat situasional. Dan, adalah muhal bila ayat-ayat yang difirmankan Allah, yang berfungsi sebagai pedoman manusia, itu tidak bersinggungan dengan aktivitas Nabi.

Baca juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Penggunaan nalar rasional

Husein juga memegang prinsip nalar rasional dalam menafsirkan ayat relasi laki-laki dan perempuan. Baginya, nalar rasional dapat dijadikan alat untuk memahami teks Al-Quran. Mengutip Zulaikha, memahami teks dengan nalar rasional akan berbuah melalui beberapa indikasi meliputi; simbol, perubahan, konteks yang mendahuluinya (as-sawabiq), dan konteks yang menyertainya (al-lawahiq).

Penerapan prinsip ini tampak dari cara Husein membaca ayat secara kontekstual. Seperti saat ia membaca ayat tentang aurat perempuan (Surat An-Nur ayat 31). Sebagaimanya yang tertuang dalam Fiqh Perempuan, ia berpendapat bahwa berbagai interpretasi ulama atas ayat tersebut yang variatif itu turut dipengaruhi oleh realitas yang melingkupinya. Seperti qaul yang membolehkan muka, telapak tangan dan kaki, atau lengan perempuan merdeka atas dasar kebutuhan. Selain itu, di banyak tempat, Husein juga konsisten menggunakan logika hukum (‘illat) dalam tafsir ayat relasi laki-laki dan perempuan, yang kebanyakan berupa ayat legal-formal.

Demikianlah 8 prinsip penafsiran Buya Husein dalam ayat relasi laki-laki dan perempuan. Dari prinsip-prinsip tersebut, terlihat nuansa tafsir kontekstual yang khas. Tentu karena Husein berhasil mensinergikan keilmuan Islam seperti Ushul Fiqh dan susastra Bahasa Arab dalam membaca ayat-ayat itu.

Wallahu a’lam[]

Surat Al-Isra Ayat 1: Makna Kata Asrā dan Ketelitian Pemilihan Diksi Al-Quran

0
Surat al-Isra Ayat 1
Surat al-Isra Ayat 1

Bagian ayat yang akan diuraikan penulis adalah terkait makna asrā yang hanya dapat ditemukan dalam surat Al-Isra ayat 1.

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ إِلَى ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡأَقۡصَا ٱلَّذِي بَٰرَكۡنَا حَوۡلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنۡ ءَايَٰتِنَآۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ  ١

Artinya:

“Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. Al-Isra Ayat 1).”

Ahli bahasa berpendapat, bahwa kata sarā dan asrā merupakan dua kata yang sama yang dapat bermakna perjalanan. Dalam al-Qur’an, kata asrā ini hanya dapat ditemukan dalam satu tempat, yakni pada surat al-Isrā’ ayat pertama.

Kalaupun ada yang mirip dengan Surat Al-Isra Ayat 1, dapat ditemukan dalam surat Hūd: 81, al-Ḥijr: 65, Ṭāha; 77, as-Syu‘arā‘: 52, dan ad-ḍukhān: 23.

فَأَسۡرِ بِأَهۡلِكَ بِقِطۡعٖ مِّنَ ٱلَّيۡلِ وَلَا يَلۡتَفِتۡ مِنكُمۡ أَحَدٌ إِلَّا ٱمۡرَأَتَكَۖ

Artinya:

Pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamy yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu.

Namun redaksi yang digunakan semua surat tersebut berbeda dengan bentuk  yang ditemukan dalam surat Al-Isra Ayat 1. Di tempat lain menggunakan bentuk fi’il amar (bentuk perintah) “asrī”, dan bukan bentuk kata kerja “asrā’”. Hal yang menarik, bahwa semua bentuk kata asrā maupun asrī itu selalu diiringi oleh kata lail dibelakangnya. (Ibrahim: 1988).

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 5-6: Diutusnya Nabi Muhammad SAW Sebagai Pemberi Peringatan

Untuk argumen logisnya, dapat dirujuk melalui Tafsir al-Kasyāf. Di sana Imam Az-Zamakhsyari berpendapat, bahwa kata asrā’ itu secara otomatis mengandung makna ‘di malam hari’. Jadi makna yang kemudian hadir melalui redaksi kata asrā adalah “perjalanan di malam hari”.

Kalau kita kaitkan dengan konteks ayat tersebut, berarti kata asrā itu mengimplikasikan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh seseorang pada malam hari. Di mana orang yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, saw.

Pertanyaannya bagaimana makna kata lain yang jatuh setelah kata asrā ? Padahal secara sepintas kata lail (malam) tidak diperlukan lagi setelah kata asrā yang telah mencakup makna perjalanan malam hari.

Menanggapi pemaknaan ini, para ulama menjadikan kata asrā mengandung makna sedikit, sehingga dari sini dapat dipahami bahwa perjalanan malam itu tidak berlangsung sepanjang malam, tetapi hanya mengambil beberapa waktu dari keseluruhan waktu malam.

Begitu singkatnya perjalanan tersebut, tergambarkan melalui riwayat yang menyatakan bahwa sekembalinya Rasulullah saw.,dari perjalanan isrā’, ia masih menemukan kehangatan di tempat tidur beliau. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000).

Sedikit berbeda dengan az-Zamakhsyari, baginya kata lail yang terletak di belakang redaksi kata asrā’ hanyalah sebagai bentuk “pengingkaran” atau penolakan terhadap kebiasaan perjalanan dari Makkah ke Syam itu membutuhkan waktu selama 40 malam. Dalam kasus tertentu seperti pada peristiwa isrā’ mi’rāj perjalanan dari Makkah menuju Syam dapat ditempuh dalam kurun waktu semalam. (Az-Zamakhsyari: 2009).

Tidak jauh beda dengan pendahulunya, Quraish Shihab juga berargumen bahwa kata asrā itu bermakna perjalanan pada malam hari. Akan tetapi Quraish Shihab cenderung lebih teliti ketika mendefinikasn bagian-bagian kata yang berada sebelum dan sesudah kata asrā. Seperti halnya keberadaan huruf bā’ dalam frase berikut ٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ yang mengisyaratkan bahwa perjalanan Isra’ Mi’raj yang dilalui oleh Nabi, terjadi di bawah bimbingan dan petunjuk Allah. Swt. (Quraish Shihab: 2005).

Melalui frase tersebut juga mengandung makna, bahwa Nabi saw. bukan saja diisra’kan lalu kemudian dilepas begitu saja, tetapi Isrā’ yang dilakukan Nabi itu berada dalam bimbingan Allah secara terus-menerus, bahkan “disertai” oleh-Nya.

Maka dapat ditarik benang merah, bahwa sebenarnya perjalanan yang dilakukan oleh Nabi saw., bukanlah atas kehendak beliau, dan tidak juga terjadi atas kemampuan beliau. Tetapi, perjalanan tersebut benar-benar berdasarkan atas kehendak Allah swt. Dia-lah yang memperjalan kan Nabi Muhammad saw., pada malam hari. (Quraish Shihab: 2005).

Atas dasar itu, narasi ayat tersebut mengingatkan semua manusia bahwa peristiwa isra’ mi’raj tidak bisa diukur berdasarkan kemampuan makhluk, karena peristiwa itu terjadi murni karena kehendak Allah swt. Meski tidak dipungkiri, beberapa ulama juga menafsirkan kata isrā’ dengan dibumbuhi tambahan-tambahan makna. Sekiranya, agar redaksi ayat yang dimaksud dapat memberikan pemahaman yang lebih logis kepada manusia.

Baca Juga: Inilah 9 Ayat yang Menjelaskan Nabi Muhammad saw Sebagai Sosok Panutan

Sebagaimana segolongan berpendapat bahwa isrā’ itu hanyalah perjalanan yang dilakukan Nabi melalui ruhnya saja. Di antara alasan yang dikemukakan oleh golongan ini adalah pendapat Muawiyah. Beliau berpendapat bahwa isra’ adalah suatu mimpi yang benar. Sedangkan Aisyah menyatakan bahwa Nabi berisra’ dengan ruhnya. (Hasbi ash-Shiddieqy: 2000). Tetapi secara umum para ulama’ berpendapat bahwa perintah perjalanan yang dilakukan Nabi dilakukan dengan menggunakan jasadnya.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa kata asrā’ tidak hanya bermakna perjalanan, namun lebih kepada perjalanan pada malam hari, dan hal ini tentu berbeda dengan kata-kata seerti safār, zahāb, atau riḥlah.

Melalui penjelasan di atas sekaligus menunjukkan bahwa keistimewaan al-Qur’an dapat dilihat melalui bagian-bagiannya yang terkecil, termasuk dalam pemilihan diksi yang terkandung di dalamnya. Wallahu alam.

3 Klasifikasi Kitab Tafsir dan Perkembangan Diskursusnya dalam Pandangan Walid Saleh

0
Walid Saleh

Dalam buku The Studi Qur’an: A New Translation And Commentary yang ditulis oleh Seyyed Hossein Nasr dan kawan-kawan, Walid Saleh – seorang sarjana barat dalam bidang islamic studies asal Universitas Toronto – menulis sebuah artikel berjudul Quranic Commentaries. Pada artikel tersebut, ia berbicara mengenai sejarah dinamika tafsir Al-Qur’an dan bagaimana posisinya dalam tradisi intelektual Islam.

Tradisi penafsiran Al-Qur’an, tafsir, adalah salah satu literatur terbanyak dalam sejarah intelektual muslim, tepatnya nomor dua setelah literatur hukum (fikih). Setiap generasi muslim dari berbagai kawasan Islam secara konsisten memproduksi tafsir Al-Qur’an yang mencerminkan isu-isu fundamental yang dihadapi oleh masyarakat mereka. Akibatnya, topik yang muncul untuk didiskusikan ada beragam dan hampir tak terbatas.

Tafsir merupakan genre yang sulit diprediksi. Tidak seperti islamic sciences yang metode dasarnya telah tersistematisasi, tradisi penafsiran Al-Qur’an tidak pernah menetapkan aturan dengan bulat bagaimana cara untuk memahami Al-Qur’an. Pada Islam abad pertengahan misalnya, terdapat lebih dari satu teori hermeneutika (cara memahami). Bahkan, tak jarang sebuah kitab tafsir kala itu menggunakan lebih dari satu metode penafsiran.

Di antara kecenderungan sarana muslim klasik – menurut Walid Saleh – adalah persaingan selalu mengarah ke ekstensif perdebatan antara kelompok teologi atau background sekolah. Meskipun begitu, pada periode klasik, tradisi tafsir terlihat jauh lebih menyatu dibanding tradisi penafsiran pada periode modern. Karena banyak tafsir beraliran modern yang meninggalkan doktrin Islam dan tradisi metodologi klasik.

Walid Saleh menegaskan bahwa menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan pendirian ideologis yang mereduksi seluk-beluk wahyu merupakan kecenderungan manusia di dunia sekarang. Pendirian ideologis di sini bukan hanya terbatas pada doktrin-doktrin teologis, tetapi juga semua ideologi yang – mungkin – membatasi makna Al-Qur’an dalam diri seorang mufasir, termasuk bias-bias gender, pengaruh politik, dan falsafah hidup.

Salah satu permasalahan yang ditekankan Walid Saleh ketika berbicara mengenai quranic studies, yakni sulitnya menilai kitab-kitab tafsir klasik, khususnya periode pasca al-Thabari. Oleh karena itu, sebagian besar studi ilmiah Barat yang tersedia saat ini dikhususkan untuk fase paling awal tradisi penafsiran Al-Quran, yakni periode pra-al-Ṭabarī (d. 310/923). Hanya Ada sedikit studi tentang literatur tafsir klasik setelah itu.

Hal serupa disebutkan oleh El Shamsy – sebagaimana dikutip Annas Rolli Muchlisin – bahwa Tafsir al-Thabari sendiri bahkan tidaklah dikenal sampai tahun 1890an, lalu naskahnya ditemukan dan baru dicetak pada tahun 1903. Hal yang sama juga terjadi pada teks-teks ‘babon’ Islam klasik lainnya, seperti karya Sibawaih (w. 796), al-‘Asy’ari (w. 936), al-Makki (w. 998), al-Syafi’i (w. 820), dan Ibn Khaldun (w. 1406).

Kategori Kitab Tafsir dalam Pandangan Walid Saleh

Sejak era klasik hingga era modern, telah lahir berbagai macam tafsir Al-Qur’an dengan beragam metode penafsiran. Menurut Walid Saleh, secara umum Karya-karya tersebut dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan fungsi dan tingkat pemahamannya, yakni tafsir ensiklopedis, tafsir madrasah, khasiyah tafsir madrasah.

Kategori kitab tafsir ini berbeda dengan kategorisasi yang selama ini dilakukan oleh para sarjana barat berdasarkan metode atau konten. Misalnya, Ignaz Goldziher yang membagi tradisi komentar ke dalam mode-mode diskrit seperti tata bahasa, doktrinal, mistik, sektarian, dan modern. Kategori seperti ini – menurut Saleh – memiliki masalah-masalah tertentu yang sulit dihindari.

Kategori kitab tafsir yang pertama adalah kitab tafsir ensiklopedis. Tafsir ini adalah kitab tafsir yang ditulis pada saat-saat penting dalam sejarah dan biasanya merupakan akumulasi dari tren-diskursus di masanya. Ia berfungsi sebagai gudang material dan biasanya sangat  rigit berkenaan pandangan-pandangan tertentu dan bertujuan untuk memasukkan sebanyak mungkin pandangan baru.

Di antara tokoh-tokoh utama yang menulis karya-karya tersebut adalah al-Māturīdī, al-Ṭabarī, al-Tsaʿlabī, al-Ṭūsī, al-Ṭabrisī, Abu al-Futūḥ al-Rāzī (w. 525/1131), Muḥammad bin Aḥmad al-Qurṭubī (w. 671/1272), Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Biqā’ī, dan Abū Ḥayyān al-Gharnāṭī, dan lain-lain. Mereka menulis karya multi-volume yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan perkembangan utama dalam tradisi. Tafsir semacam ini dalam tradisi muslim disebut sebagai muṭawwalāt al-tafsir atau “karya yang panjang.”

Kategori kitab tafsir yang kedua adalah kitab tafsir madrasah atau al-muktasar (ringkasan). Tafsir ini biasanya didasarkan pada karya ensiklopedis atau ditulis dengan metode tertentu dalam pikiran, seperti hanya memberikan interpretasi Sufi ke seluruh Al-Qur’an. Di antara toloh yang menulis komentar bergaya madrasah adalah Naṣr bin Muḥammad al-Samarqandī (w. 373/983), al-Sulamī, al-Wāḥidī, al-Zamakhsharī, dan al-Bayḍāwī.

Kategori kitab tafsir yang ketiga adalah ḥāshiyyah pada tafsir gaya madrasah. Dua karya yang biasanya dipoles adalah karya al-Zamakhsharī dan al-Bayḍāwī. Sangat disayangkan bahwa tidak ada satu studi pun dalam kesarjanaan yang pernah dikhususkan untuk hal-hal ini. Tokoh-tokoh utama dari tradisi skolastik, seperti Saʿd al-Dīn al-Taftāzānī (wafat 792/1390), meninggalkan banyak gambaran tentang kedua komentar tersebut, dan ini adalah sumber penting bagi sejarah budaya Islam klasik.

Apapun kategorinya, tafsir selalu menjadi pusat sejarah intelektual Islam. Dalam dunia Islam tradisional, Al-Qur’an telah dan dipahami melalui bahasa tafsir, dan sebagian besar umat Islam meyakini bahwa makna Al-Qur’an yang sebenarnya adalah sebagaimana makna yang dikatakan tafsir. Akibatnya, tafsir seakan-akan sejajar dengan Al-Qur’an itu sendiri. Berdasarkan latar belakang tersebut, bisa dikatakan bahwa tafsir dalam sejarah agama Islam adalah hal yang terpenting.

Hingga saat ini, tafsir masih memainkan peran sentral dalam mendefinisikan pandangan religius banyak Muslim. Ini adalah salah satu bidang paling aktif didiskusikan dalam islamic studies dan banyak diskusi di antara Muslim kontemporer terjadi dalam karya tafsir. Sayangnya menurut Walid Saleh, studi ilmiah tentang tafsir modern telah mati di Barat, dan ia tidak memiliki gambaran umum tentang perkembangan diskursus tafsir selama dua ratus tahun terakhir.

Sebagian besar sarjana Islam modern tidak begitu memperhatikan apa yang diterbitkan dari karya klasik dan menganggap bahwa untuk mempelajari tafsir modern seseorang hanya perlu mempelajari karya-karya kontemporer. Masalah dengan sikap ini adalah bahwa ia mengabaikan kitab tafsir klasik sebagai inspirasi untuk karya modern dan sebagai karya “ideologis” dalam hak mereka sendiri. Pemahaman ini membuat diskursus tafsir klasik menjadi terpinggirkan Wallahu a’lam.

Belajar Tafsir dari Youtube? Berikut 9 Daftar Rekomendasi Pengajiannya! (Part 2)

0
Belajar Tafsir dari Youtube
Belajar Tafsir dari Youtube

Sebelumnya, telah disajikan empat daftar pengajian belajar tafsir dari Youtube. Berikut ini adalah lanjutan daftar tersebut:

  1. KH. Abdul Ghofur Maimoen

Gus Ghofur merupakan ulama muda putra dari Mbah Moen Zubair. Alumnus Universitas Al-Azhar Kairo ini mengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar 3 dan menyajikan ragam pengajian di kanal youtube-nya yang bernama PP. Al-Anwar 3. Di antara pengajian yang disiarkan kanal ini adalah pengajian Tafsir Jalalain yang diasuh langsung oleh Gus Ghofur.

Dalam channel ini ada beberapa playlist, seperti Ngaji Tafsir Jalalain dengan 43 video, Tafsir Jalalain Surah Al-Haqqah 1 video, Tafsir Jalalain Surah Al-Qolam 5 video, dan Tafsir Jalalain Surah al-Mulk 6 video. Pengajian Gus Ghofur ini diunggah dengan judul tematik berbasis problem masyarakat, dimaknai dengan bahasa Jawa, namun juga disampaikan keterangan bahasa Indonesianya.

  1. Ahmad Bahauddin Nursalim

Gus Baha’ adalah salah satu ulama yang videonya paling banyak diunggah ulang. Ceramah-ceramah santri Mbah Moen ini tersebar di berbagai kanal dengan kitab yang beragam. Jika kita mudah mendapatkan potongan ceramahnya dengan judul yang variatif di channel Santri Gayeng, maka kita juga dapat mendengarkan ceramah tafsirnya berdasarkan nama surat dan ayat di channel AL Muhibbin Channel dan Rekaman Ngaji KH. Ahmad Bahauddin Nursalim.

Kanal yang paling banyak menyimpan ceramahnya yaitu Rekaman Ngaji KH. Ahmad Bahauddin Nursalim. Di sini ada ratusan video dengan pembagian playlist yang beragam berdasarkan judul kitab-kitabnya. Mayoritas tafsir yang dikaji adalah Tafsir Jalalain, namun ada juga pengajian Tafsir Munir Karya Syekh Nawawi Banten, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al Qurthubi, Tafsir At-Thabari, dan Tafsir Rawa’il Bayan fi Ayat Ahkam.

  1. A. Mustofa Bisri

Gus Mus dikenal sebagai Kyai sekaligus sastrawan. Banyak karya-karya sastranya dibaca oleh berbagai kalangan. Selain itu, ia juga putra dari mufassir ternama KH Bisri Mustofa yang menulis Tafsir Al-Ibriz. Tak hanya itu, Gus Mus juga menulis kitab Al-Ubraiz, sebuah kitab tafsir ijmali (global) yang khusus membahas kata-kata gharib atau aneh dalam Al-Qur’an.

Baca juga: Pionir Penulis Tafsir Tahlili di Media Massa, Bernama KH A. Musta’in Syafi’i

Saat ini, Gus Mus menyajikan seluruh pengajian pesantren Raudlatut Thalibin Leteh Rembang di kanal youtube GusMus Channel. Di pesantrennya ini, Gus Mus membacakan karya ayahnya sendiri. Dalam unggahan terakhir pada 1 Januari lalu, pengajiannya sudah sampai pada surat Al Baqarah ayat 266. Pengajian ini hampir mencapai 100 video.

Baca juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

  1. Syarofuddin IQ dan KH. Yahya Cholil Staquf

Di pesantren Raudlatut Thalibin, ada dua kyai lagi yang mengampu pengajian Tafsir Jalalain dan disiarkan di GusMus Channel. Mereka yaitu KH. Syarofuddin IQ dan KH. Yahya Cholil Staquf. KH. Syarofuddin merupakan santri senior yang kini menjadi penanggung jawab Pon Pes Radlatut Tholibin. Sementara KH. Yahya Cholil Staquf merupakan putra dari KH. Cholil Bisri yang merupakan kakak dari Gus Mus.

Pengajian KH Syarofuddin IQ kini telah mencapai edisi yang ke-97, terakhir membahas surat Al-Baqarah ayat 132. Sementara pengajian KH. Yahya Cholil Staquf telah mencapai edisi ke-86, terakhir membahas surat Al-Hajj ayat 40. Pengajaran tafsir ini dituturkan ala pesantren Jawa, yakni memaknai kata perkata dengan bahasa pengantar bahasa Jawa.

  1. Abdul Moqsith Ghozali

Kyai Moqsith merupakan salah satu dosen tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, Ia aktif di berbagai lembaga kajian dan beberapa tahun belakangan rutin menggelar pengajian online. Dalam kanal youtube-nya, Abdul Moqsith Ghozali menyimpan beberapa pengajian tafsir. Di antara pengajiannya yaitu kitab Tafsir Al-Wasith Lil Qur’anil Karim karya Sayyid Tantawi, dan Tafsir Jalalain yang juga banyak dikaji oleh ulama Indonesia.

Baca juga: Tiga Tantangan Pembelajaran Tafsir Menurut Quraish Shihab

Pengajian Kyai Moqsith ini bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat karena menggunakan bahasa Indonesia. menariknya, tetap disajikan khas ala pesantren yang mengurai kata per kata dan juga memberikan pandangan yang aktual sesuai dengan konteks kemasyarakatan.

Demikian, 9 daftar pengajian yang memudahkan kita untuk mempelajari Tafsir Al-Qur’an dari youtube. Tentu 9 rekomendasi ini tidak bisa mewakili seluruhnya, terlebih banyak ulama yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantarnya. Paling tidak, rekomendasi ini bisa menjadi ‘katalog mini’ pengajian tafsir di youtube. Akan sangat senang jika daftar pengajian seperti ini dikumpulkan dari berbagai daerah, sehingga tradisi ngaji online lebih hidup. Semoga bermanfaat!

Wallahu a’lam[]

Artikel Sebelumnya

Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an

0
Etika Berdoa
Etika Berdoa

Doa merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan agama. Sebagaimana ibadah lain, Islam juga mengatur adab yang meliputi tata cara dan etika berdoa. Salah satunya adalah keterjagaan hati. Doa merupakan komunikasi langsung antara hamba dan Sang Pencipta. Maka tidak heran kalau sebagian ulama memaknai doa sebagai bentuk ekspresi kebutuhan hamba-Nya kepada Allah Yang Maha Kaya.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt berjanji kepada hamba-Nya jika ia berdoa kepada-Nya, maka doa tersebut akan dikabulkan. Hal ini tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 186:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku Kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”

Dari ayat ini kita belajar bahwa doa seorang mukmin juga tidak akan ditolak. Tetapi Allah swt akan memberikan pilihan terbaik untuk kita, apakah doanya dikabulkan segera atau Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik baginya di dunia dan di akhirat atau Allah akan menabungkan baginya di akhirat yang lebih baik dari apa yang dia minta.

Menurut para ulama – seperti Imam Ahmad bin Muhammad as-Shawi al-Maliki dalam kitabnya berjudul Hasyiatus Shawi ‘Ala Tafsiril Jalalain – doa lebih mudah terkabul jika memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagai bentuk etika berdoa bagi seorang mukmin. Menurut al-Maliki, tanpa syarat dan etika berdoa tersebut – bisa saja – doa seseorang akan sulit terkabul.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

Persyaratan terkabulnya doa meliputi dua hal, yakni persyaratan yang melekat pada manusia dan persyaratan yang melekat pada Allah swt. Persyaratan yang melekat pada manusia – berdasarkan beberapa dalil di dalam Al-Qur’an dan hadis – antara lain adalah ikhlas, mengikuti petunjuk Rasulullah saw, mempercayai atau meyakini bahwa Allah swt akan mengabulkan, dan doa itu dipanjatkan dengan hati yang khusyu’ serta penuh harap kepada Allah swt.

Rendah Hati dan Suara Yang Lembut Adalah Bagian Dari Etika Berdoa

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai etika berdoa kepada Allah swt adalah surat al-A’raf [7] ayat 55 yang berbunyi:

اُدْعُوْا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَّخُفْيَةً ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَۚ ٥٥

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan rendah hati dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A‘raf [7] ayat 55).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai keesaan Allah swt dan kemutlakan kehendak-Nya, serta pengaturan-Nya atas segala sesuatu dan bahwa Dia Maha Kuasa lagi Bijaksana. Karena itu, manusia harus beribadah dan berdoa kepada-Nya guna mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat yang berada di bawah kendali Allah swt.

Pada surat al-A’raf [7] ayat 55, Allah seakan-akan berfirman, “Berdoalah kepada Tuhan yang selalu membimbing dan berbuat baik kepada kamu, serta beribadahlah secara tulus sambil mengakui keesaan-Nya dengan berendah hati menampakkan kebutuhan yang sangat mendesak, serta dengan merahasiakan, yakni melembutkan suara kamu seperti halnya orang yang merahasiakan sesuatu. Siapa yang enggan berdoa, maka dia telah melampaui batas. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.

Menurut as-Sa’adi, doa yang dimaksud di sini adalah doa meminta sesuatu ataupun doa dalam makna beribadah. Perintah berdoa dengan sikap tadarru’an yakni rendah hati bermakna agar manusia memiliki etika berdoa. Selanjutnya, perintah berdoa dengan sikap khufyah atau dengan lemah lembut, tidak terlalu keras atau terang-terangan memiliki tujuan agar seorang mukmin terhindar dari sikap ria dan agar ia ikhlas berdoa – murni – karena Allah swt.

Ia juga menegaskan agar seseorang tidak berlebihan dalam berdoa, karena sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Maksudnya, Allah swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui ketentuan-Nya dalam segala perkara, termasuk berdoa. Di antara contoh orang yang tidak memiliki etika berdoa adalah orang yang meminta sesuatu yang tidak pantas untuknya atau berlebih-lebihan mengangkat suara ketika berdoa.

Secara umum, surat al-A’raf [7] ayat 55 – menurut Quraish Shihab – mencakup syarat dan etika berdoa kepada Allah swt, yaitu khusu’ dan ikhlas memohon kepada Yang Maha Esa dengan suara yang tidak keras sehingga memekakkan telinga, serta tidak pula bertele-tele sehingga seperti dibuat-buat. Tindakan seperti ini – menurut Sayid Thantawi – merupakan salah satu bentuk melampaui batas (Tafsir Al-Misbah [5]: 122).

Kata yuhibbu atau menyukai pada ayat di atas, “sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas,” tidak bisa dimaknai dalam pengertian manusawi, karena cinta atau suka bagi manusia adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Sedangkan yang dimaksud di sini adalah dampak dari cinta atau suka itu. Jadi, makna yang sesungguhnya adalah Allah swt tidak mencurahkan rahmat dan kebajikan-Nya kepada siapapun yang tidak Dia cintai.

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Berkenaan dengan etika berdoa ini, Allah swt juga memerintahkannya di ayat lain, yakni surat al-An’am [6] ayat 63 yang bermkna

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang dapat menyelamatkan kamu dari bencana di darat dan di laut, ketika kamu berdoa kepada-Nya dengan rendah hati dan dengan suara yang lembut?” (Dengan mengatakan), “Sekiranya Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.” (QS. Al-An’am [6] ayat 63).

Menurut Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, etika berdoa ada sepuluh, yakni: mencari waktu mustajab, memanfaatkan kondisi mustajab seperti waktu sujud, menghadap kiblat, mengatur volume suara, jangan bertele-tele seperti sajak, berdoa dengan penuh ketundukan dan kekhusyukan, memantapkan hati akan terkabulnya doa, terus-menerus berdoa, memuat lafaz dzikir dan shalawat terhadap nabi Muhammad saw, serta bertaubat atas segala perbuatan dosa.

Berdasarkan penjelasan di atas, seorang muslim seyogyanya berdoa kepada Allah swt guna kebaikan dunia dan akhirat. Dalam prosesi tersebut, ia sebaiknya memenuhi syarat dan etika berdoa seperti sepenuhnya tunduk kepada Allah swt dan mengatur volume suaranya. Dengan itu, diharapkan doa-doanya akan segera kabul. Sekalipun tidak sama, yakinlah bahwasanya Allah swt akan mengganti dengan hal yang jauh lebih baik, di dunia ataupun di akhirat kelak. Wallahu a’lam.

Belajar Tafsir dari Youtube? Berikut 9 Daftar Rekomendasi Pengajiannya! (Part 1)

0
Belajar Tafsir dari Youtube
Belajar Tafsir dari Youtube

Ngaji Online menjadi tradisi yang lumrah dan semarak saat menjalani era kenormalan baru. Berbagai pengajian yang ada, menyajikan ragam materi mulai dari fiqih, tasawuf, hingga tafsir. Youtube merupakan salah satu platform yang menyajikan keragaman pengajian itu semua. Tentu di tengah keramaian ‘pasaraya youtube’ itu, perlu adanya pilah-pilih agar belajar tafsir dari youtube pun tetap bereferensi dengan kitab tafsir yang otoritatif dan ulama yang mumpuni.

Dalam artikel ringan ini, ada beberapa pengajian yang cocok dan recommended untuk para pembelajar tafsir. Daftar pengajian ini berdasarkan nama ulama, bukan berdasarkan nama channelnya. Karena banyak sekali rekaman pengajian seorang ulama tersebar di berbagai channel youtube. Bahkan, ulama yang sudah wafat pun ceramahnya masih dapat kita akses dan dengarkan. Berikut beberapa rekomendasi pengajian untuk belajar tafsir dari youtube.

  1. KH. Maimoen Zubair

Mbah Moen merupakan salah satu ulama yang pengajian tafsirnya tercecer di berbagai kanal youtube. Secara rihlah keilmuan, Mbah Moen belajar kepada abahnya sendiri KH. Zubair, kemudian di Lirboyo, Mekkah, dan berbagai pesantren di Jawa. Karena kedalaman ilmunya, kyai yang menjunjung tinggi nasionalisme ini memang menjadi rujukan berbagai kalangan, dari santri hingga petinggi negeri. Maka dari itu, beberapa pengajian beliau di youtube masih sangat layak kita dengarkan.

Baca juga: Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran

Salah satu kanal yang menyimpan ceramah tafsir Mbah Maimoen adalah Kang Santri. Meski hanya 13 video, namun ini tetap menarik untuk didengarkan. Mbah Moen menjelaskan dengan gaya khas pesantren Jawa, yakni membaca potongan ayat dan memaknainya dengan bahasa Jawa. Menariknya, di pengajian ini Mbah Moen sering berinteraksi dengan para jamaahnya dan mengulang-ngulang pesan yang penting.

  1. KH. Muhammad Sya’roni Ahmadi

Kyai Sya’roni merupakan salah satu ulama kharismatik di Kudus. Ia merupakan sosok yang ahli dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an dan murid dari KH. Arwani Amin Kudus. Salah satu peran pentingnya adalah mentashih dan mengoreksi mushaf Menara Kudus yang banyak digunakan santri untuk menghafal Al-Qur’an. Peran ini dikerjakan bersama KH. Arwani Amin dan KH. Hisyam Hayat yang akhirnya disahkan Kemenag tahun 1974.

Salah satu kanal youtube yang banyak menampung pengajiannya yaitu Kudus Top dan Official Menara Kudus. Pengajian di kanal Kudus Top menyimpan 194 video yang mencakup video-video lama Kyai Sya’roni. Sementara di kanal Official Menara Kudus, banyak menyimpan pengajian live yang terbaru, yakni setahun terakhir. Menariknya, gaya pengajian tafsirnya dilengkapi contoh-contoh pelafalan qiraah sab’ah dan secara umum, pengaiannya menggunakan pengantar bahasa Jawa.

  1. Prof Dr. Quraish Shihab

Kepakaran Prof. Quraish Shihab dalam bidang tafsir tentu menjadi alasan mengapa kita perlu menyimak pengajian-pengajian beliau. Menulis dan ceramah adalah hal yang terus dilakukannya untuk menyampaikan ilmu-ilmu keagamaan berbasis Al-Qur’an. Selain mendirikan Pusat Studi Al-Qur’an, banyak sekali pengajiannya yang tersebar di youtube. Kanal Quraish Shihab  adalah wadah resmi yang menaungi ceramah-ceramah beliau, baik dengan gaya tafsir tematik maupun tafsir tahlili.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)

Dalam channel ini, ada banyak playlist tematik baik tentang ibadah, hukum, tasawuf dan lainnya. kemudian ada juga khusus pengajian Tafsir Al-Misbah yang sudah mencapai 31 video. Saat ini, Prof Quraish Shihab rutin membuat podcast.

  1. KH. Musta’in Syafi’i

Kyai Musta’in Syafi’i merupakan Mudir Madrasatul Qur’an Tebuireng, Jombang. Kiprahnya dalam dunia tafsir memberikan warna yang berbeda. Rubrik tafsirnya di Harian Bangsa/ bangsaonline.com dikenal masyarakat luas untuk memudahkan memahami makna Al-Qur’an sesuai konteks dan aktual.

Selain itu, ia juga rutin menggelar pengajian setiap hari Rabu pukul 20.00 sampai 21.00 WIB yang disiarkan secara langsung melalui kanal youtube Tebuireng Official. Pengajian ini menggunakan kitab Tafsir Jalalain anggitan Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Al-Suyuthi, dan saat ini telah menampung 50 video.

Bersambung…

Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

0
Muhammad Abduh Pabbajah
Muhammad Abduh Pabbajah

Khazanah kajian tafsir di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan. Hingga saat ini, berbagai nama tokoh mufasir Indonesia telah banyak dikenal dalam berbagai literatur sejarah perkembangan tafsir di Indonesia. Namun, terdapat satu nama mufasir Nusantara asal Sulawesi yang masih belum banyak dikenal oleh kalangan umum yaitu Muhammad Abduh Pabbajah. Ia merupakan ulama tafsir yang memiliki karya tafsir berbahasa Bugis dan pengarang kitab Mabadi’ ‘Ilm Ushul al-Tafsir.

Biografi Intelektual Muhammad Abduh Pabbajah

Sosok ulama Nusantara yang memiliki nama Muhammad Abduh Pabbajah ini dilahirkan pada 26 Oktober 1918 di Allakuang Sidenreng Rappang. Ia merupakan putra ke sembilan dari seorang ayah yang bernama Lapabbaja dan ibu yang bernama Latifah. Semasa kecil, Abduh Pabbajah tumbuh di lingkungan keluarga religius dan kental akan pengajaran agama Islam.

Muh. Subair dalam tulisanya yang berjudul K.H. Muhammad Abduh Pabbajah; Sang Pencerah Di Kalangan Anak Muda, menjelaskan bahwa Abduh Pabbajah memulai pendidikan formalnya di Sekolah Rakyat Rawa. Namun tak berselang lama, ia kemudian pindah dan melanjutkan studinya di Madrasatul Arabiyah Islamiyah (MAI), Sengkang Sulawesi Selatan dibawah asuhan AGH Muhammad As’ad. Ia belajar di tempat tersebut hingga lulus jenjang Tsanawiyah dan Aliyah.

Baca Juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Selepas lulus dari sekolah tersebut, Abduh Pabbajah kembali ke kampung halamanya di Allakuang untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di sana. Setelah cukup lama mengajar, Abduh Pabbajah mulai merintis pendirian sekolah MAI di Allakuang dengan menyediakan pendidikan tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah.

Berkat kiprahnya dalam mengayomi masyarakat, pada saat memimpin sekolah yang baru dirintis tersebut, Abduh Pabbajah mendapatkan beberapa jabatan penting di masyarakat. Ia dipercaya menjadi kepala Distrik Allakuang, kemudian diberi amanah juga untuk menjadi kali Sidenreng pada tahun 1949.

Tidak hanya itu, pada tahun 1951, ia diangkat menjadi pegawai negeri sipil di KUA Kabupaten Parepare sebagai Kepala Bagian Kemasjidan yang menaungi lima wilayah yaitu Barru, Sidenreng Rappang, Enrekang, Pinrang, dan Parepare.

Pada tahun 1952, Abduh Pabbajah pindah ke Parepare. Keberadaanya di Parepare langsung direkrut oleh AGH Ambo Dalle untuk menjadi pengajar di pesantren yang ia asuh yaitu pesantren Dar al-Da’wah wa al-Irsyad (DDI). Pada saat itu, ia juga mulai aktif di kepengurusan PB DDI dan menjabat sebagai sekretaris organisasi tersebut.

Kemudian, pada saat AGH Ambo Dalle diculik masuk hutan oleh anggota Kahar Muzakkar, Abduh Pabbajah mulai menggantikan jabatan-jabatan yang ditinggalkan kawannya tersebut. Mulai dari menjabat sebagai ketua umum PB DDI selama tujuh tahun (1955-1962), serta menjadi kepala Kantor Urusan Agama Parepare pada tahun 1955.

Kegiatan lain di bidang politik yang diikuti oleh Abduh Pabbajah antara lain adalah menjadi salah satu deklarator Badan Aksi Rakyat Perjuangan Semesta (Bara Pemesta), anggota dan pengurus Partai Serikat Islam (PSI), serta menjadi pengurus di Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Baca Juga: Mufasir Nusantara: Oemar Bakry asal Danau Singkarak

Tidak hanya itu, pada masa penjajahan Abduh Pabbajah juga ikut serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Wujud perjuangan tersebut dapat dilihat dari keaktifanya dalam kegiatan organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI). Selain itu, pada masa awal perjuangan kemerdekaan, Abduh Pabbajah dikenal sebagai orang pertama yang mengibarkan bendera merah putih di Allakuang.

Setelah sibuk dalam berbagai jabatan organisasi dan politik, Abduh Pabbajah mulai fokus mengabdikan diri dalam dunia pendidikan. Wujud pengabdian tersebut ditunjukkan dengan diangkatnya ia sebagai dosen di Universitas Muslim Indonesia, serta menjadi Dekan di Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar cabang Parepare (sekarang menjadi STAIN Parepare). Jabatan lain dalam dunia pendidikan yang Abduh Pabbajah duduki adalah sebagai sekretaris Ma’had Islamiyah Ulya, dan anggota lembaga pentashih Al-Qur’an di Jakarta.

Pada tahun 1970, Abduh Pabbajah mendirikan pesantren Al-Furqan di rumahnya. Karena antusias masyarakat sangat tinggi, maka pada tahun 1977, pesantren tersebut dipindahkan ke serambi Masjid Raya Parepare supaya dapat menampung lebih banyak santri. Namun, ketika terjadi pemugaran masjid, pesantren tersebut dipindah di sebuah gedung baru di Ujung Baru Parepare.

Selain mengajar di berbagai lembaga pendidikan, Abduh Pabbajah juga membuka pengajian di Masjid Raya Parepare. Pengajian tersebut dilaksanakan rutin sebanyak tiga kali dalam seminggu yaitu pengajian tafsir pada malam senin dan kamis, kemudian pada malam sabtunya ia mengkaji kitab hadis Bulughul Maram.

Kegiatan pengajian di Masjid Raya Parepare tersebut terus dilakukan hingga ia wafat pada 20 Agustus 2009. Pada saat itu usianya telah mencapai 90 tahun. Ia dimakamkan di pemakaman Desa Allakuang, Kecamatan Maritengngae, Kabupaten Sidrap.

Baca Juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Sholeh Darat As-Samarani

Karya-karya Muhammad Abduh Pabbajah

Selama hidupnya, Abduh Pabbajah termasuk ulama Nusantara yang aktif mengabadikan ide dan pemikiranya dalam bentuk tulisan, baik melalui majalah, buletin, ataupun dalam bentuk buku, sehingga bisa dikatakan ia merupakan ulama yang produktif.

Oleh karena itu, tidak heran ditemukan berbagai karya tulisan dari ragam bidang ilmu keislaman yang telah dihasilkan oleh Abduh Pabbajah. Beberapa judul karya tulisan tersebut antara lain adalah:

  1. Tafsir al-Qur’an al-Karim bi al-Lughah al-Bughisiyah
  2. Tafsir Surah al-Waqi’ah
  3. Mabadi’ ‘Ilm Ushul al-Tafsir
  4. al-Ma’tsurat
  5. al-Shalat Nur
  6. al-Mau’idhah al-Hasanah
  7. Adab al-Fatah
  8. Mir’ah al-Nasyi’in
  9. al-Nasyidah (Aghniyah)
  10. al-Adzkar ‘inda al-’Asyiyyi wa al-Abkar
  11. al-Risalah al-As’adiyah fi Qism al-Syabab
  12. Majallah al-Manhal

Selain karya dalam bentuk tulisan, terdapat juga file mp3 yang berisi pengajian tafsir Al-Qur’an secara lengkap dari juz 1 hingga juz 30, yang disampaikan oleh AGH (Anre Gurutta Haji) Abduh Pabbajah dalam bahasa Bugis. Karena memang ketika memberikan pengajian tafsir, Abduh Pabbajah membawa recorder untuk merekam ceramahnya agar bisa disiarkan kembali di Radio yang ia dirikan yaitu Radio Mesra. Sehingga ceramah tersebut dapat didengarkan oleh masyarakat luas.

Bahkan, hingga saat ini, masyarakat masih sering mendengarkan rekaman ceramah Abduh Pabbajah yang disiarkan oleh Radio Mesra. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa Abduh Pabbajah merupakan sosok ulama kharismatik dan pakar tafsir asal Sulawesi yang memiliki pengaruh besar dalam masyarakat. Wallahu A’lam

Tiga Tantangan Pembelajaran Tafsir Menurut Quraish Shihab

0
pembelajaran tafsir
tantangan pembelajaran tafsir menurut M. Quraish Shihab

Tafsir merupakan salah satu rumpun keilmuan Islam yang banyak memberikan sumbangsih dalam kekayaan khazanah keilmuan Islam berabad-abad lamanya. Tafsir sendiri merupakan sebuah produk ijtihad yang dihasilkan oleh para mufasir dalam upayanya merenungi dan memahami isi Al-Quran.

Sejalan dengan perkembangan kekayaan intelektual tersebut, tafsir memiliki beberapa tantangan tersendiri, tak terkecuali dalam aspek pembelajaran tafsir. Tantangan dalam pembelajaran tafsir ini akan selalu ada sepanjang zaman. Tidak hanya satu ataupun dua, akan tetapi tidak terbatas. Sebab tafsir tidak dapat terlepas dari pengaruh kepribadian mufassir, latar belakang, dan juga realitas sosio-kultural yang ada pada masa tersebut.

Dalam forum Pembukaan Pesantren Bayt Al-Quran Virtual angkatan ke XXIII yang dilaksanakan pada 4 Januari 2020, Quraish Shihab mengemukakan bahwa dari sekian banyak tantangan yang tidak bisa kita abaikan dalam realitas masyarakat, setidaknya mengerucut pada tiga hal.

Sebagai info tambahan, Pesantren Bayt Al-Quran adalah Pondok Pesantren yang didirikan oleh Ali Ibrahim Assegaf sekaligus sebagai program dalam naungan Pusat Studi Al-Quran yang didirikan oleh M. Qurasih Shihab. Pesantren yang kegiatannya fokus pada pembelajaran tafsir dan pemahaman nilai-nilai Al-Quran ini sasarannya adalah santri atau asatidz yang sudah menyelasaikan hafalan Al-Quran 30 Juz yang dikarantina selama 6 bulan untuk memperdalam berbagai Ilmu Al-Quran. Sejak angkatan ke XXI telah masuk masa pandemi sehingga pengelola memutuskan untuk menjalankan program pesantren dengan virtual.

Kembali lagi ke penjelasan tentang tiga hal yang menjadi tantangan pembelajar ilmu al-Quran dan tafsir. Pertama, adanya perubahan yang bersifat pasti dan niscaya. Perubahan ini dinamis dan tidak dapat ditolak. Ini yang harus diterima, sebab perubahan sendiri merupakan sunnatullah.

Problemnya adalah di dalam masyarakat kita masih terdapat beberapa kelompok yang mengabaikan adanya perubahan, atau bahkan menolak perubahan itu sendiri. Dalam artian mereka tidak sanggup menerima adanya perubahan tersebut.

Di antara penyebab dari sikap yang apatis ini adalah adanya kekeliruan pemahaman terhadap pandangan-pandangan masa lalu. Mereka yang apatis cenderung tidak bisa membedakan baik-buruk dalam kerangka yang berbeda. Padahal, segala hal yang bersifat adat, kultur, budaya, dan kebiasaan, baik-buruknya bersifat relatif dan nisbi. Berbeda dengan kerangka ibadah mahdhah yang sifatnya sudah tentu baik.

Kedua, mempelajari perubahan itu sendiri, baikdari segi masanya maupun substansi perubahannya. Bisa jadi perubahan tersebut ada dalam bentuknya, caranya, metodenya, ataupun materinya. Yang perlu digaris-bawahi di sini adalah bahwa Islam tidak mensakralkan bentuk, akan tetapi yang disakralkan adalah substansi.

Sehingga pada hakikatnya, yang dimaksud ijma’ adalah kesepakatan ilmiah para pakar pada suatu masa terkait dengan satu pembahasan tertentu. Oleh karenanya perlu memahami bagaimana kita menghadapi semacam ini dalam konteks penafsiran.

Ketiga, membedakan antara agama, ilmu agama, dan keberagamaan. Banyak dari kalangan umat Islam yang tidak bisa membedakan antara ketiganya dan cenderung menganggap semuanya sama. Padahal tidak demikian halnya. Agama sudah sempurna sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi, ilmu agama baru dimulai pada masa sahabat Nabi. Contoh kongkritnya adalah adanya beragam madzhab dalam Islam.

Ilmu agama yang dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah (pendiri madzhab fikih Hanafi) baru lahir sekitar 100 tahun lebih dari sejak wafatnya Nabi. Agama pasti benar, akan tetapi kebenaran ilmu agama sifatnya dzanni (praduga), bisa jadi benar, bisa jadi salah. Ketidak-fahaman beberapa golongan mengenai perbedaan ini yang kemudian menyebabkan saling mengkafirkan satu sama lain.

Setelah meraba dan memahami ketiga tantangan tersebut, langkah yang kemudian diambil adalah menyusun materi pembelajaran, dengan tetap memahami kondisi objektif yang berkembang di masyarakat. Kesemua itu perlu diperhatikan agar senantiasa para pembelajar dapat memahami agama Islam, khususnya tafsir dengan tetap berpegang pada prinsip moderasi, yaitu dengan menanamkan metode berpikir, bersikap, yang mempertimbangkan berbagai aspek dan sudut pandang, sehingga hasil dari pemikiran tersebut tidak bertentangan dengan realitas masyarakat, maupun dengan prinsip-prinsip universal keagamaan. Wallahu A’lam.