Beranda blog Halaman 430

Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Khaled Abou El-Fadl, Pencetus Teori Hermeneutika Otoritatif

0
khaled abou el-fadl
khaled abou el-fadl

Khaled Medhat Abou El Fadl (selanjutnya disebut Khaled) merupakan salah satu pemikir Islam kontemporer yag menawarkan model pembacaan teks keagamaan yang dianggapnya otoritatif. Selevel dengan pemikir Islam kontemporer lainnya, sebut saja, Fazlur Rahman dengan double movement-nya, Nasr Hamid Abu Zaid dengan produktif hermeneutisnya (al-qiraah al-Muntijah), Muhammad Syahrur dengan hermeneutis kontemporernya (al-qiraah al-mu’asshirah), atau Abdullah Saeed dengan hermeneutika kontekstualnya, Khaled mencoba menawarkan pembacaan baru terhadap Al-Quran.

Model pembacaannya pun banyak disebut oleh scholars sebagai hermeneutika ototiratif, yaitu sebuah hermeneutika negosiatif di mana makna teks kitab suci merupakan hasil interaksi yang kompleks antara pengarang, teks dan pembaca yang terus senantiasa diperdebatkan, didialogkan dan terus mengalami dinamisasi. Maka pada pembahasan kali ini, artikel ini hendak mengulas biografi Khaled Abou El Fadl, perjalanan intelektulal, karir dan karya-karyanya. Untuk pembahasan hermeneutika otoritatif Khaled Abou El Fadl dapat dibaca di sini.

Biografi Khaled Abou El-Fadl

Khaled bernama lengkap Khaled Medhat Abou El-Fadl, atau masyhur dikenal Khaled Abou El Fadl. Ayahnya bernama Medhat Abou El-Fadl dan ibunya Afaf el-Nimr. Khaled lahir di Kuwait pada tahun 1963. Zuhairi Misrawi dalam Khaled Abou El-Fadl Melawan Atas Nama Tuhan, menerangkan bahwa ayahnya berprofesi sebagai seorang lawyer yang sangat menginginkan Abou El Fadl menjadi seorang yang menguasai hukum Islam. Bahkan ayahnya sering menjejalkan pertanyaan seputar masalah hukum.

Sebagaimana tradisi masyarakat Arab pada umumnya, Khaled sejak kecil telah diajarkan ilmu-ilmu keislaman. Pada usia 12 tahun pun, ia telah hafal Al-Quran. Sejak kecil ia juga aktif mengikuti kelas Al-Quran dan syariah di masjid lokal di daerahnya, Al-Azhar. Dia juga tergolong anak yang cerdas. Abid Rohmanu dalam Konsepsi Jihad Khaled M. Abou El Fadl dalam Perspektif Relasi Fikih, Akhlak dan Tauhid menjelaskan bahwa Khaled bahkan sempat mempelajari semua koleksi buku orang tuanya yang berprofesi sebagai pengacara.

Baca juga: Menilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran

Masa muda Khaled banyak diisi dengan aktivis. Tercatat ia adalah seorang aktivis gerakan Wahabi di mana merupakan mazhab Negara Kuwait. Namun begitu, ia memutuskan untuk menetap di Mesir setelah mengamati konstalasi politik di negaranya. Selanjutnya, pasca menetap di Mesir, ia bertolak ke Amerika Serikat untuk menempuh pendidikan tingginya di Yale University, AS (1986) dan memperoleh gelar B.A. (Bachelor of Art).

Tak berpuas mengantongi B.A., ia melanjutkan studinya di Pascasarjana University of Pennsylvania dan selesai pada tahun 1989. Dan di tahun 1999, ia kemudian melanjutkan Ph.D nya di Princeton University dengan mengambil fokus jurusan dalam bidang Islamic Studies, dan diwaktu yang bersamaan pula ia menempuh studi hukum di Universitas California Los Angeles (UCLA).

Setelah menamatkan studinya, ia aktif mengajar di sejumlah universitas top dunia, ia juga mengkhidmahkan dirinya dalam bidang advokasi dan pembelaan HAM, hak-hak imigran, dan menjabat sebagai kepala lembaga HAM di Amerika. Di UCLA pula, ia ditunjuk sebagai guru besar hukum Islam dengan mengampu mata kuliah, misalnya, hukum Islam, imigrasi, HAM, hukum keagamaan dan internasional.

Kemudian, di tahun 2003-2005, Khaled Abou El Fadl diangkat oleh George Walker Bush, Presiden Amerika Serikat kala itu, sebagai salah satu anggota komisi Internasional Kebebasan Beragama (International Religious Freedom). Di samping itu, ia juga sering diundang sebagai narasumber di radio dan televisi, seperti CNN, NBC, NBR, dan VOA (Yusriandi, Hermeneutika Hadis Abou El Fadl dalam Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, Ed. Sahiron Syamsuddin).

Selain menjadi dosen, tamu narasumber dan advokasi imigran serta HAM, ia juga duduk di Dewan Direksi untuk Human Rights Watch, dan di Dewan Penasehat Watch Timur Tengah pula. Kesibukannya yang sangat padat tidak melemahkan semangatnya untuk tetap produktif berkarya, sehingga ia disebut oleh peneliti sebagai an enlightened paragon of liberal Islam.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Karya-karya

Adapun karya-karya Khaled Abou El Fadl di antaranya adalah

Karya-karya tersebut beberapa telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Selain itu, masih banyak juga tulisan ilmiah Khaled dalam bentuk jurnal, proceedings maupun bunga rampai. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat al-Ghasyiyah Ayat 1-10: Melukiskan Kondisi Wajah Ketika di Akhirat

0
Kondisi Wajah Ketika di Akhirat

Wajah adalah organ pusat untuk ekspresi, pengenalan diri, dan komunikasi dengan manusia lainnya. Maka, tak heran jika banyak dari kita yang mempercantik wajah yang kita miliki, baik itu dipoles dengan bedak dan gincu serta Skincare. Di antara kita yang melakukan demikian, pasti ada dengan tujuan agar terkesan lebih menarik. Ada juga yang terkesan percaya diri ketika wajah kita terlihat cantik dan manis, orang zaman sekarang menyebutnya good looking. Namun, kita juga jangan sampai lupa dengan wajah kedua kita yang ada di hati atau bisa disebut dengan wajah batiniyah kita. Karena eloknya wajah kita di akhirat itu tergantung wajah hati kita ketika di dunia. Beginilah kiranya penjelasan tafsir surat al-Ghasyiyah dalam melukiskan kondisi wajah ketika di akhirat:

هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ (1) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ (2) عَامِلَةٌ نَاصِبَةٌ (3) تَصْلَى نَارًا حَامِيَةً (4) تُسْقَى مِنْ عَيْنٍ آنِيَةٍ (5) لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيعٍ (6) لَا يُسْمِنُ وَلَا يُغْنِي مِنْ جُوعٍ (7) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَةٌ (8) وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاعِمَةٌ (8) لِسَعْيِهَا رَاضِيَةٌ (9) فِي جَنَّةٍ عَالِيَةٍ (10)

Sudah datangkah kepadamu berita (tentang) hari pembalasan? Banyak muka pada hari itu tunduk terhina, bekerja keras lagi kepayahan, memasuki api yang sangat panas (neraka), diberi minum dari sumber yang sangat panas. Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri, yang tidak menggemukkan dan tidak pula menghilangkan lapar. Banyak muka pada hari itu berseri-seri,  merasa senang karena usahanya. Dalam surga yang tinggi. (Q.S al-Ghasyiyah ayat 1-10)

Pada surat al-Ghasyiyah, jelas diceritakan tentang kelak kondisi wajah ketika di akhirat. Baik itu wajah orang yang masuk neraka atau wajah mereka yang masuk surga. Tentu mereka memiliki wajah yang berbeda.

Kondisi Wajah di Akhirat Bagi Mereka Berbuat Tercela di Dunia

Pada kitab Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Katsir, ia menuliskan bahwa maksud dari وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ خَاشِعَةٌ  (Banyak muka pada hari itu tunduk terhina) dan maksud lafadz khusu’ di situ menurut Qatadah adalah terhina. Kemudian Ibnu Abbas juga menjelaskan bahwa wajah-wajah yang dimaksud pada ayat tersebut terlihat tunduk dan terhina karena amal perbuatannya ketika di dunia yang tidak bermanfaat bagi dirinya.

Baca juga: Internalisasi Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Quran pada Diri Umat Islam

Orang yang memiliki wajah terhina ketika di akhirat adalah yang memiliki dua wajah ketika di dunia, persis dengan orang munafik. Jika berbicara ia berdusta, kalau berjanji dia mengingkari, dan kalau diberi amanah ia berkhianat. Alih-alih bersikap apa adanya, namun orang seperti ini malah bersikap mengada-ngada bahkan bisa berlebih-lebihkan dengan fakta keadaan sebenarnya.

Dan ketika di akhirat, mereka dihidangkan dengan siksaan yang amat berat. Seperti yang dijelaskan pada Surat al-Ghasiyah ayat 6,

 لَيْسَ لَهُمْ طَعَامٌ إِلَّا مِنْ ضَرِيع

 Mereka tiada memperoleh makanan selain dari pohon yang berduri. (Al-Ghasyiyah: 6)

Ali ibnu abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa lafadz dari’ di situ artinya sebuah pohon dari api. Selanjutnya Sa’id ibnu Jubair mengatakan bahwa dari’ adalah nama lain dari Zaqqum (sebuah pohon yang ada di dalam neraka); tetapi menurut riwayat lain yang juga bersumber darinya, dari’ adalah batu yang ada di dalam neraka. Dan sungguh mereka yang ada di dalam neraka tidak bisa  menolak hal yang tidak diinginkan.

Berserilah Wajah Kalian yang Berbuat Terpuji di Dunia

Setelah menyebutkan keadaan orang-orang yang celaka, berikut adalah keadaan orang-orang yang berbahagia dengan wajah cerah berseri ketika di akhirat. Hal ini terjadi karena disebabkan atas perbuatan terpujinya ketika di dunia. Penjelasan tersebut sesuai dengan yang ditulis di Kitab Tafsir al-Quran al-Adzim.

Begitu juga dengan Tafsir Jalalaian oleh Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, menuliskan bahwa wajah mereka akan terlihat berseri, cantik dan cerah. Kemudian di Tafsir al-Misbah karya Quraish Shihab juga menceritakan mereka akan memiliki wajah-wajah yang begitu senang sumringah, karena berada di dalam surga yang tinggi tempat dan kedudukannya.

Baca juga: Kisah Akhnas Ibn Syuraiq dan Pergulatan Politik Berbaju Agama di Indonesia

Dikutip dari Tafsir al-Quran di Medsos karya Nadirsyah Hosen, disebutkan bahwa ada riwayat hadis dikisahkan dari sahabat yang bertanya kepada Rasulullah SAW, Teman yang baik seperti apa yang baik untuk kami?, Rasulullah menjawab, Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengigatkan kalian kepada Allah.

Dari cerita di atas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ternyata ada manusia yang wajahnya dapat mengingatkan kita kepada Allah SWT. Semoga kita bisa berada dilingkungan karib yang memiliki wajah yang dapat mengingatan kita kepada Allah SWT. Wallahu a’lam[]

 

Tafsir Surat Yasin Ayat 33-35: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah Swt di Muka Bumi

0
Yasin Ayat 33-35
Yasin Ayat 33-35

Cerita Ashabul Qaryah telah diakhiri di ayat 32 dari surat Yasin yang menyatakan bahwa segala sesuatu akan kembali pada Allah Swt. Pada pembahasan selanjutnya, yakni tafsir surat Yasin ayat 33-35 akan dibahas tanda-tanda kekuasaan Allah Swt di muka bumi. Berikut teksnya:

وَآيَةٌ لَّهُمُ الْأَرْضُ الْمَيْتَةُ أَحْيَيْنَاهَا وَأَخْرَجْنَا مِنْهَا حَبًّا فَمِنْهُ يَأْكُلُونَ

وَجَعَلْنَا فِيهَا جَنَّاتٍ مِّن نَّخِيلٍ وَأَعْنَابٍ وَفَجَّرْنَا فِيهَا مِنَ الْعُيُونِ

لِيَأْكُلُوا مِن ثَمَرِهِ وَمَا عَمِلَتْهُ أَيْدِيهِمْ ۖ أَفَلَا يَشْكُرُونَ

( 33 ) Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan.

( 34 ) Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air.

( 35 ) supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?

Nawawi al-Bantani menerangkan, tiga ayat di atas mengisyaratkan kemampuan Allah Swt menghidupkan manusia setelah kematiannya. Bahwa Zat yang kuasa menghidupkan bumi yang mati dengan tetumbuhan dan bebijian itu tentulah kuasa pula menghidupkan manusia dari kematiannya.

Quraish Shihab menemukan adanya munasabah (kesinambungan) antara kelompok ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Setelah beberapa ayat sebelumnya mengajak manusia memperhatikan sejarah kaum yang mendustakan rasul, ayat ini kemudian mengajaknya memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah Swt di alam semesta.

Selain itu, ayat-ayat sebelumnya juga membicarakan mengenai kepastian akan adanya kematian dan Hari Kembali. Sementara pada tiga ayat ini dijelaskan bagaimana kuasanya Allah Swt membangkitkan dan menghidupkan kembali apa yang telah mati.

Kematian bumi (tanahnya) menurut Hamka ada yang bersifat sementara atau musiman, yaitu ketika terjadi musim kemarau dan ada pula yang bersifat permanen. Ia mencontohkannya dengan padang pasir tandus di jazirah Arab yang dahulunya pernah menjadi daerah subur sebagaimana yang diceritakan dalam al-Qur’an di surat Saba’.

Allah Swt telah melimpahkan banyak karunianya kepada manusia melalui tanah yang subur. Dengannya mereka berkebun dan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Nikmat ini mestilah disyukuri dengan dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam menunjang ketaatan kepada Allah Swt dan tidak lupa pula ditunaikan zakatnya sesuai takarannya.

Yang menarik dari redaksi ayat di atas adalah penyebutan secara khusus kebun-kebun kurma dan anggur. Hal ini menurut Wahbah Az-Zuhaili karena kurma dan anggur termasuk buah yang dikenal di masyarakat Arab kala itu paling lezat, manis dan bergizi dibanding buah yang lain. Khasiat dua buah ini juga diamini oleh para pakar ilmu kesehatan masa kini.

Redaksi lain dari ayat yang banyak dibahas oleh para mufassir ialah frasa “ma amilathu aidihim.” At-Thabathaba’i misalnya menyatakan frasa tersebut setidaknya bisa dimaknai dua hal. Yang pertama, kata “ma” di sana dipahami sebagai nafiyah (meniadakan). Maknanya, “supaya mereka mengonsumsi apa yang berbuah dari bumi, meski itu sebenarnya bukan usaha mereka.” Dengan izin Allah lah tanah itu berbuah.

Tafsir yang kedua, kata “ma” dipahami sebagai maushulah (kata hubung). Dengan begitu maknanya menjadi, “supaya mereka mengonsumsi apa yang berbuah dari bumi dan apa yang diusahakan oleh tangan mereka dari buah tersebut seperti olahan manisan.”

Selanjutnya mengenai beberapa kata kerja di tiga ayat ini yang berbentuk jamak, padahal merujuk pada Allah Yang Maha Esa, Quraish Shihab memberikan penjelasan. Menurutnya, hal itu mengisyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut melibatkan selain Allah. Manusia misalnya ikut berkontribusi dalam menghidupkan dan mengelola bumi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Terkait varian bacaan, Nawawi al-Bantani menyebutkan bacaan lain. Ialah  Hamzah dan al-Kisa’i yang membaca “min tsamarihi” dengan men-dammah-kan tsa dan mim, sehingga menjadi “min tsumurihi.”

Demikian pembahasan singkat dari tafsir surat Yasin ayat 33-35 tentang salah satu bukti kekuasaan Allah Swt di muka bumi. Nantikan pembahasan tafsir surat Yasin selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis sawab.

Surat Ghafir [40] Ayat 60: Allah Swt Akan mengabulkan Doa Setiap Hamba

0
Allah Swt Akan mengabulkan Doa
Allah Swt Akan mengabulkan Doa hamba-hambaNya

Doa merupakan salah satu sarana bagi seorang hamba untuk berkomunikasi langsung dengan Allah swt. Selain itu, doa juga merupakan bagian dari ibadah dan bahkan saripati ibadah itu sendiri sebagaimana yang disyaratkan nabi Muhammad saw, “al-du’a mukhkhu al-ibadah” yakni doa adalah inti ibadah. Oleh karena itu, doa bukan hanya sekedar permohonan lalu Allah swt akan mengabulkan doa tersebut, tetapi ia adalah keterhubungan hamba dengan Tuhannya.

Secara etimologi, doa berasal dari bahasa Arab da‘a-yad‘u-da‘watan atau du‘aan yang berarti menyeru, memanggil, mengajak, menjamu, berdoa dan memohon. Sedangkan menurut terminologi – sebagaimana dikatakan al-Qadhi Iyadh – doa adalah ibadah yang hakiki karena menunjukkan kepasrahan diri kepada Allah swt dan berpaling dari selainya.

Dalam pandangan Quraish Shihab, secara istilah doa adalah permintaan yang ditujukan kepada setiap orang yang mempunyai kedudukan dan kemampuan tinggi yang melebihi kedudukan atau kemampuan orang yang berdoa. Dengan demikian, ketika seseorang berdoa kepada Allah swt berarti dia mengakui bahwa dirinya lemah, kecil dan tidak berdaya. Di sisi lain, ia mengakui ketinggian dan kemahakuasaan Allah swt yang tak terbatas.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

Dalam ajaran Islam, doa adalah salah satu ibadah yang paling dianjurkan. Ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang berbicara mengenai doa dan serba-serbinya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim untuk berdoa dalam rangka meminta atau memohon apa yang dinginkannya – selain berusaha atau berikhtiar mendapatkannya – hanya kepada Allah swt.

Nabi Muhammad saw bersabda:

لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمُ عَلَى اللهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ

Tidak ada sesuatu yang paling mulia bagi Allah Ta’ala daripada doa.” (HR. Ahmad, Bukhari dalam Adabul Mufrad, Tirmidzi dan Hakim).

Meskipun ada banyak ayat Al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan bahwasanya doa adalah salah satu ibadah terbaik, namun kadangkala kita enggan untuk melakukannya, baik itu karena ragu apakah Allah swt akan mengabulkan doa tersebut maupun karena minder dan malu untuk memohon kepada-Nya disebabkan banyaknya dosa yang telah dilakukan. Apapun itu, berdoalah dan percayalah bahwa Allah swt akan mengabulkan doa hamba-Nya.

Allah Swt Akan mengabulkan Doa Setiap Hamba

Salah satu ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia untuk berdoa dan Allah swt akan mengabulkan doa tersebut adalah surat Ghafir [40] ayat 60 yang berbunyi:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ ࣖ ٦٠

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.” (QS. Gafir [40] Ayat 60).

Menurut Quraish Shihab, surat Ghafir [40] ayat 60 di atas sekan berkata, “Berdoa dan beribadah-lah kepada-Ku, yakni murnikan ketaatan kepada-Ku dan perkenankanlah tuntunan-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan secara mantap bagi kamu apa yang kamu harapkan.

Jangan sekali-kali merasa angkuh sehingga enggan berdoa dan beribadah, karena sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri enggan berdoa dan menghindar dari beribadah kepada-Ku serta tidak memperkenankan tuntunan-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.

Ayat di atas menggunakan apa yang dinamai gaya ihtibaq, yakni tidak menyebutkan satu kata atau kalimat pada penggalan pertama karena telah diisyaratkan oleh penggalan kedua, demikian juga sebaliknya.

Maksudnya, pada penggalan pertama ayat di atas disebut kata ad‘uni, tetapi tidak disebut kata ‘ibadah. Sebaliknya, pada penggalan kedua hanya disebut kata ibadah dan tidak kata doa. Dalam susunan seperti ini, sebenarnya yang dimaksud pada setiap penggalan adalah keduanya.

Kata ad‘uni pada ayat ini dipahami oleh banyak ulama dalam arti beribadahlah kepada-Ku. Ini dikukuhkan berdasarkan lanjutan ayat yang menyatakan, “sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku.” Ini juga sesuai dengan penafsiran nabi yang menyebut doa sebagai ibadah. Karena setiap ibadah mengandung permohonan, sedangkan permohonan yang sebenarnya adalah yang tulus ditujukan kepada Allah swt setelah mengakui keesaan-Nya.

Baca Juga: Ingin Punya Keturunan Yang Saleh? Amalkan 3 Doa Nabi Ibrahim Ini

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah swt sangat menyukai hamba-hamba-Nya yang berdoa kepada-Nya, karena itu doa dianjurkan setiap saat. Ayat ini juga mengisyaratkan bahwa adalah sangat tercela seseorang yang berlaku seperti kaum musyrikin yang hanya berdoa ketika dalam kesulitan.

Tindakan itu menunjukkan bukan hanya kerendahan moral, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka tidak menyadari setiap saat (di manapun) manusia membutuhkan bantuan Allah swt.

Ibnu Katsir berpandangan bahwa doa pada ayat tersebut adalah permohonan. Allah swt menganjurkan pada para hamba-Nya untuk senantiasa berdoa kepada-Nya. Karena Allah swt menjamin bahwa doa para hamba-Nya akan dikabulkan.

Sebagaimana perkataan Imam Ahmad ketika meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “barangsiapa yang tidak berdoa kepada Allah swt, maka Allah akan murka kepadanya.

Pada surat Ghafir [40] ayat 60 di atas, setidaknya ada dua makna utama yang dapat ditangkap, yakni 1) perintah Allah swt kepada manusia agar berdoa kepada-Nya, niscaya Allah swt akan mengabulkan doa tersebut sesuai kehendak-Nya; 2) larangan bersikap sombong dan merasa tidak membutuhkan Allah swt dengan cara tidak berdoa dan beribadah kepada-Nya. Allah swt mengancam akan memasukkan mereka (yang sombong) ke dalam Jahanam. Wallahu a’lam.

Internalisasi Konsep Ummatan Wasathan dalam Al-Quran pada Diri Umat Islam

0
Internalisasi Ummatan Wasathan
Internalisasi Ummatan Wasathan

Terbentuknya sebuah masyarakat sejahtera dan adil makmur merupakan salah satu tujuan ajaran Islam. Di mana dalam masyarakat tersebut ditinggali sekelompok umat yang berperadaban tinggi dan memiliki karakter akhlak yang mulia. Ciri-ciri umat tersebut salah satunya seperti yang disebut oleh Al-Quran sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan). Sebuah umat yang bersikap wasathiyah atau moderat, tidak ekstrim salah satu kutub kiri maupun kanan. Umat Islam sebagai umat yang mendapat khitab Al-Quran oleh Allah mendapat kesempatan pertama dalam menanamkan atau internalisasi konsep ummatan wasathan ini dalam diri setiap individunya. Lebih lanjut konsep ummatan wasathan ini bisa kita temukan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 143, surah Ali Imran ayat 110, dan surah A-Isra’ ayat 110.

Baca juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 208: Makna Islam Kaffah

Konsep ummatan wasathan menurut Al-Quran

Dalil yang secara gamblang menyinggung ummatan wasathan adalah surah Al-Baqarah ayat 143:

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَٰكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِّتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا ٱلْقِبْلَةَ ٱلَّتِى كُنتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِن كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَّحِيمٌ

“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Al-Qurthubi melalui kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam al-Quran menyatakan bahwa turunnya surah Al-Baqarah ayat 144 malah lebih dahulu daripada ayat 143 di atas. Ayat tersebut di atas menurut Al-Qurthubi berkenaan dengan pemindahan kiblat shalat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Pada waktu itu kaum muslimin memang mendapat cemoohan kaum Yahudi bahwa mereka menyalahi agama Yahudi namun mengikuti arah kiblatnya yaitu di Baitul Maqdis. Sebagaimana yang disebutkan Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb bahwa doa Rasulullah agar turun perintah Ka’bah sebagai kiblat terkabul setelah kurun waktu 16 atau 17 bulan melalui surah Al-Baqarah ayat 144.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 8: Dalil Sila Kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Ibrah dari adanya pemindahan kiblat ke Ka’bah disimpulkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah sebagai sebuah simbol bahwa umat Islam adalah umat pertengahan, moderat, dan tauladan sebagaimana posisi Ka’bah yag berada di tengah-tengah pula. Sesuai lanjutan surah Al-Baqarah ayat 143 di atas agar mereka menjadi saksi (syuhada), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.

Keberadaan masyarakat ideal pada posisi tengah menyebabkan mereka tidak seperti umat yang hanya hanyut oleh materialisme dan tidak pula menghantarkannya membumbung tinggi ke alam ruhani, sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Posisi tengah menjadikan mereka mampu memadukan aspek ruhani dan jasmani, material dan spiritual dalam segala aktivitas. Wasathiyah (moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi atau berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

Dengan demikian, masyarakat ideal menurut Al-Qur’an adalah masyarakat harmonis atau masyarakat yang berkeseimbangan. Barangkali inilah sisi lain dari konsep tentang ummatan wasathan. Jadi boleh dikatakan bahwa ciri keunggulan umat atau masyarakat yang diidealkan Al-Qur’an itu adalah sifatnya yang moderat dan berdiri di tengah-tengah.

Baca juga: Mengenal Istilah Kaum dan Umat dalam al-Quran, Samakah Keduanya?

Internalisasi ummatan wasathan dalam individu umat Islam

Al-Quran sebenarnya tidak membatasi definisi ummah hanya bagi sekelompok manusia saja sebagaimana disebut dalam surah Al-An’am ayat 38 dan juga hadis riwayat Muslim “Semut yang berkeliaran juga umat dari umat-umat Tuhan”. Merujuk Al-Mufradat fi Gharib al-Quran karya Ar-Raghib lafadz ummah ini sebenarnya digunakan untuk menunjuk semua kelompok yang dihimpun oleh sesuatu yang sama. Begitu pula lafadz ummatan wasathan dalam suarh Al-Baqarah ayat 143 memiliki korelasi dengan lafadz khairu ummah dalam surah Ali Imran ayat 110. Ini artinya umat Islamlah yang ditandai sebagai khairu ummah untuk bersikap wasathiyah atau moderat.

Pendapat tersebut dipilih oleh Quraish Shihab dalam penjabaran di kitab tafsirnya. Keterangan Quraish Shihab tentang umat Islam sebagai khairu ummah dan umat yang mendapat khitab ummatan wasathan bukan berarti membenarkan umat Islam untuk bersikap superior. Sebaliknya, hal itu justru sebagai perintah untuk menginternalisasikan konsep wasathiyah ini ke dalam diri setiap individu umat Islam.

Baca juga: Kisah Nabi Idris: Pelopor Berbagai Ilmu dan Inovasi Umat Manusia

Cara menginternalisasi konsep ummatan wasathan ini dijabarkan oleh Quraish Shihab secara sederhana melalui bentuk sikap keseharian. Ia mengemukakan bahwa pada mulanya kata wasath berarti segala sesuatu yang baik sesuai dengan objeknya. Sesuatu yang baik berada pada posisi dua ekstrim. Ia mencontohkan bahwa keberanian adalah pertengahan antara sikap ceroboh dan takut. Kedermawanan merupakan pertengahan antara boros dan kikir, kesucian merupakan pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan hawa nafsu yang menggebu dengan ketidakmampuan melakukan hubungan seksual (disfungsi seksual). Dari situ, kata wasath berkembang maknanya menjadi tengah.

Ummatan wasathan tidak bisa lepas dari sikap masing-masing individu yang harus memiliki sikap adil atau menempatkan sesuatu pada porsinya, tidak terjebak dalam ekstrim kanan dan ekstrim kiri, bersikap obyektif dan berkeseimbangan dalam menghadapi berbagai masalah, terutama dalam kehidupan bermasyarakat dan bermuamalah sehingga mengakibatkan kehidupan yang tidak harmonis. Mereka bisa berinteraksi, berdialog secara terbuka dengan semua pihak, baik dalam hal urusan agama, budaya, suku dan ras. Sehingga dalam kehidupan sehari hari merka menjadi tauladan bagi umat Islam dan umat lainnya dengan tetap di dasari pada ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya.

Wallahu a’lam.

Menilik Konsep Hermeneutika Otoritatif Khaled Abou El-Fadl dalam Perkembangan Tafsir Al-Quran

0
khaled abou el-fadl
khaled abou el-fadl

Konsep hermeneutika otoritatif Khaled Abou El-Fadl menjadi salah satu gagasan konstruktif dalam perkembangan tafsir Al-Quran. Ia banyak mengkritik penafsiran yang bersifat otoritas koersif yang menjadi salah satu faktor terbentuknya legitimasi fatwa hukum Islam.

Syarifuddin dalam Hermeneutika Khaled Abou ElFadl mengatakan bahwa Khaled Abou El-Fadl berujar bahwa Al-Quran bersifat terbuka terhadap adanya penafsiran-penafsiran baru. Hal ini sejalan dengan kerelevansian Al-Quran sebagai kitab suci yang ditujukan kepada umat Islam sepanjang waktu. Selain itu, keterbukaan tersebut memberikan ruang terbentuknya interpretasi dinamis (lively Interpretative) yang sesuai dengan kondisi dan keadaan masa kini.

Problematika Penafsiran dan Gagasan Baru

Khaled Abou El-Fadl juga menjelaskan bahwa sikap otoritarianisme interpretasi oleh ahli-ahli hukum agama Islam dapat menjadi sebuah boomerang dalam usaha reinterpretasi tafsir Al-Quran. Hal inilah yang menyebabkan adanya kebuntuan intelektual (Intellectual Stagnation) sekaligus penyegelan terhadap hukum-hukum agama Islam yang tidak relevan dengan progresivitas sosial-masyarakat.

Hal tersebut berkaca dari fatwa-fatwa keagamaan Islam yang dikeluarkan oleh CRLO (Permanent Council for Scientific Reasearch and Legal Opinions) yang dianggapnya bersifat monolitik-linier. Sehingga, Al-Quran yang menjadi sebuah teks rujukan hukum Islam, tertutup dan stagnan dalam perkembangan zaman.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Dalam menghadapi permasalahan tersebut, Abou El-Fadl menyuarakan gagasannya untuk melakukan penafsiran dengan menekankan pendekatan hermeneutika otoritatif dalam analis teks. Hal tersebut ditujukan untuk dapat memberikan pemaknaan yang lebih komprehensif, sekaligus membentuk pemahaman mengenai otoritas pada unsur-unsur hermeneutik.

Abou El-Fadl menjelaskan jika melakukan analisis sebuah teks, struktur triadik menjadi fokus yang sangat penting. Adapun struktur tersebut terdiri dari pengarang (author), teks (text), dan pembaca (reader). Ketika hal tersebut disandingkan dengan sisi Islam. Maka dapat dipahami jika author yang dimaksud adalah Allah, teksnya berarti nash syari’, dan pembacanya adalah para ahli agama maupun mufassir. Dengan adanya hal tersebut, maka pemahaman pada setiap unsur dalam struktur triadik harus dipenuhi dan dipahami tanpa mengabaikan unsur lainnya.

M. Arfan Mu’ammar, dkk dalam Studi Islam Perspektif Insider/Outsider menjelaskan bahwa Allah merupakan pemegang penuh otoritas, sedangkan manusia yang menjadi representasi Allah, tidak memiliki otoritas mutlak. Oleh karenanya, otoritas yang dimiliki manusia adalah otoritas yang bersifat persuasif, bukan yang sifatnya memaksa atau koersif.

Meskipun demikian, Abou El-Fadl memberikan lima syarat yang harus dipenuhi serta dilaksanakan oleh ahli agama untuk dapat melakukan aktifitas yang bersifat otoritas persuasif tersebut. Kelima syarat itu adalah kejujuran, kesungguhan, kemenyeluruhan, rasionalitas, dan pengendalian diri yang perlu dipahami.

Baca juga: Teori Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Perkembangannya dalam Studi Al-Quran

Konsep Hermeneutika Otoritatif

Selain itu, Ada tiga syarat penting yang dikemukakan oleh Abou El-Fadl untuk menjaga dan membatasi sikap otoriter dan otoritarian dalam hukum Islam. Hal tersebut adalah, kompetensi, penetapan makna, dan perwakilan yang saling berhubungan sebagai pembatas bagi penafsir.

Adapun yang pertama yakni kompetensi, merupakan aspek penting yang dapat mengarahkan pembaca pada sumber yang memiliki nilai otentisitas dan orisinilitas. Hal tersebut bertujuan untuk menemukan makna asal dari sebuah teks yang benar-benar berasal dari Tuhan dan nabi-Nya. Hal ini dapat dilihat melalui aspek historis seperti asbabul nuzul dan juga nilai kesahihan dalam sebuah hadis yang diangkat sebagai rujukan.

Kedua, penetapan makna memberikan lampu kuning, agar seseorang berhati-hati dalam menarik makna dari sebuah teks. Untuk dapat memperoleh makna tersebut, Abou El-Fadl dalam bukunya yang berjudul “Speaking in Gods Name: Islamic Law, Authority, and Woman”, menjelaskan bahwa perlu adanya proses dialegtis, kompleks, dinamis, dan interaktif antara teks, pengarang, dan pembaca. Sehingga dapat terjadi keseimbangan dan makna asli dalam teks dapat didekati titik terangnya.

Sedangkan yang terakhir yakni perwakilan, dapat dipahami sebagai keadaan manusia yang menjadi wakil atas kehendak Tuhan. Perwakilan ini yang dapat menyebabkan adanya sikap otoritarianisme dari ahli agama. Oleh karena itu, perlu adanya pengetahuan mengenai bagaimana konsep perwakilan Tuhan yang dimiliki manusia, agar terhindar dari penyimpangan peran.

Selain itu, Abou El-Fadl juga memberikan dua prinsip yang terdiri dari praduga epistemologis dan penggunaan nalar eksklusif. Adapun prinsip praduga epistimologis dalam penerapannya digunakan untuk dapat melihat kesamaan pandangan antara orang yang diikuti dengan yang mengikuti. Sedangkan untuk nalar eklusif, memberikan hak kepada seseorang untuk mengikuti atau tidak mengikuti otoritas yang ada.

Dari sini telah didapati bahwa konsep hermeneutika otoritatif Abou El-Fadl yang memadukan analisitis teks dengan fokus pada otoritas teks, konstruk teks, serta otoritas pengarang dan pembaca, dapat memberikan ruang terbuka dalam penafsiran Al-Quran. Khususnya ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum-hukum Islam yang memiliki banyak perbedaan dalam keputusannya. Perbedaan tersebut, dapat dilihat dengan adanya mazhab-mazhab yang dipegang oleh masing-masing aliran kelompok Islam.

Melalui konsepnya pula, penilikan kembali pada tafsir Al-Quran yang tidak dianggap relevan dapat diulas kembali. Bahkan pemikirannya dapat memberikan batasan serta menjembatani pembaca untuk mendapatkan makna teks yang lebih terarah pada makna asal. Inilah yang menjadikan konsep hermeneutika otoritatif Abou El-Fadl dapat memberikan sumbangan intelektual yang mumpuni dalam perkembangan tafsir Al-Quran. Wallahu A’lam.

Kisah Akhnas Ibn Syuraiq dan Pergulatan Politik Berbaju Agama di Indonesia

0
Akhnas Ibn Syuraiq
Kisah Akhnas Ibn Syuraiq dan Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 204-205

Kisah Akhnas Ibn Syuraiq menjadi salah satu kisah menarik yang dihadirkan dalam kitab tafsir Marah Labid. Kisah tersebut memberikan beberapa pelajaran penting yang dapat diambil dan dijadikan sebagai sebuah refleksi dalam melihat fenomena sosial tertentu. Maka dalam tulisan ini, kisah Akhnas akan dijadikan sebagai cermin yang merefleksikan pergulatan politik berbaju agama di Indonesia.

Kisah Akhnas Ibn Syuraiq ini terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 204-205:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ () وَاِذَا تَوَلّٰى سَعٰى فِى الْاَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيْهَا وَيُهْلِكَ الْحَرْثَ وَالنَّسْلَ ۗ وَ اللّٰهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ

  1. Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras.
  2. Dan apabila dia berpaling (dari engkau), dia berusaha untuk berbuat kerusakan di bumi, serta merusak tanam-tanaman dan ternak, sedang Allah tidak menyukai kerusakan.

Dalam ayat tersebut Akhnas Ibn Syuraiq disifati oleh al-Qur’an dengan ungkapan وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ yang menurut Qatadah adalah sifat seseorang yang keras hatinya dalam bermaksiat kepada Allah, gemar berdebat dengan jalan yang bathil serta pandai sekali berbicara namun berbanding terbalik dengan perilakunya.

Dua ayat di atas menjadi salah satu pembahasan menarik dalam kitab tafsir Marah Labid karya Imam Nawawi al-Bantani. Setidaknya memberikan beberapa poin penafsiran menarik yang bisa direfleksikan dalam kancah pergulatan politik dewasa ini antara lain:

Pertama, Imam Nawawi menafsirkan bahwa pada Q.S al-Baqarah[2]: 204, secara spesifik yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah Akhnas Ibn Syuraiq al-Tsaqafi alias Ubay. Dalam riwayat historisnya (asbabun nuzul), digambarkan bahwa Akhnas sebagai sosok seorang munafiq yang baik di luar namun busuk di dalam.

Baca Juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

Karakter itu disematkan kepada Akhnas sebab ia adalah orang yang mampu membuat Nabi Muhammad takjub akan kepandaiannya berbicara tentang kesungguhannya ingin memeluk Islam dan meraih kemashlahatan di dunia. Namun sayang, tekad yang dibawa Akhnas ternyata hanyalah bualan semata, ucapan-ucapan manisnya dan sumpah serapah yang ia gaungkan tatkala berjumpa dengan Nabi Muhammad hanyalah sumpah palsu demi mendapat legitimasi atas nama Tuhan dan akses masuk dalam tubuh umat Islam.

Kedua, pada Q.S al-Baqarah[2]: 205, Imam Nawawi menafsirkan bahwa sosok Akhnas Ibn Syuraiq tidak hanya berhenti kasus di atas, ia bahkan semakin menjadi. Keberhasilannya masuk dalam barisan umat Islam membuatnya semakin leluasa dalam menjalankan misi buruknya yakni memecah belah umat Islam dan mendapatkan keuntungan pribadi. Ia pun mulai menebar kekisruhan dalam tubuh umat Islam sehingga satu sama lain saling bergesekan yang menyebabkan terputusnya silaturahmi dan bahkan pertumpahan darah.

Dari poin pertama dan kedua ini didapati bahwa Aknas ini adalah sosok memanfaatkan kepandaiannya dalam berbicara untuk membuat takjub audiensnya dan membuat mereka percaya dengan ungkapan dan sumpah manis yang ia ucapkan. Namun sejatinya, ada tujuan lain yang ia inginkan selain dari kepercayaan para audiens yang ia ingin dapatkan (tujuan ini ialah tujuan yang sifatnya kepentingan pribadi).

Maka apa hubungan poin penafsiran pertama dan kedua di atas dengan kondisi politik kita dewasa ini?

Beberapa tahun terakhir, bisa dilihat dengan mata kepala sendiri banyaknya Akhnas zaman modern. Sosok seperti Akhnas ini ditemukan dalam kondisi politik Indonesia saat ini dan aktivitas mereka terlihat begitu masif. Mereka adalah agen-agen penuh kepentingan politis yang berlindung di balik jubah agama dan sejatinya “memperkosa agama” dengan aktivitas mereka yang membawa-bawa agama dalam ranah politik praktis.

Perwujudan Akhnas pada masa kini dengan kehadiran ustadz-ustadz yang tidak jelas asal-usul keilmuannya dan dibiarkan memelintir ayat-ayat agama demi mengokohkan pilihan politisnya ataupun ideologinya dan memberi justifikasi negatif bagi yang menurutnya tidak sama.

Baca Juga: Surat Ali Imran [3] Ayat 19: Makna Agama Islam dalam Al-Quran

Mereka begitu lihai menebar narasi-narasi yang terlihat manis karena dibalut teks-teks agama. Membuat takjub para penyimaknya dengan kepandaiannya mencomot dalil-dalil agama. Mereka seakan menampilkan diri dalam narasinya bahwa apa yang mereka tawarkan adalah kebenaran sebab setiap hal yang mereka gaungkan diklaim telah mendapatkan restu dari Tuhan sehingga Tuhan pun telah berpihak kepadanya.

Namun ternyata di balik itu sebenarnya ada tujuan lain yang ingin dicapai. Mulai dari kemenangan dalam politik praktis, pengakuan sebagai kelompok dengan ideologi paling benar, dan berbagai kepentingan pribadi lainnya yang akibatnya menimbulkan semakin banyaknya polarisasi serta peluang yang semakin besar bagi perpecahan dalam tubuh bangsa Indonesia.

Maka sudah semestinya umat Islam mampu menyadarkan dirinya dari kondisi mabuk agama. Sebuah kondisi yang membuatnya menjadi seorang yang fanatis atau ta’ashub pada sesuatu hal dan menyebabkan hilangnya kejernihan dalam pikirannya.

Dengan demikian umat Islam tidak akan mudah terperangkap dalam narasi-narasi Akhnas modern dan mampu mengambil sikap yang bijak sehingga mempersempit celah perpecahan di tengah umat. Wallahu a’lam.

Hukum Berucap “Aku Lupa Lanjutan Ayat Ini” Pada Hafalan Al-Qur’an

0
Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab
Hukum Menulis Ayat Al-Quran dengan Bahasa Selain Arab

Terkadang, untuk mengungkapkan kekesalan kita karena telah lupa pada satu atau dua ayat dari Al-Qur’an yang sebelumnya kita hafal, kita berucap “ah, aku lupa lanjutan ayat ini”. Kita sama sekali tidak merasa perlu mengganti ucapan ini sebab merasa begitulah kenyataannya, dan memang setahu kita ucapan itu tidak bermasalah.

Sebenarnya Nabi Muhammad memberi tahu untuk menghindari ucapan tersebut. Anjuran ini kemudian disikapi para ulama’ dengan menghukumi makruh atau kurang disukai mengucapkan “aku lupa ayat ini” pada hafalan Al-Qur’an. Apa penyebab Nabi mendorong untuk menghindari ucapan tersebut? Lalu ucapan seperti apa yang dibenarkan sebagai ganti ucapan tersebut? Simak penjelasannya berikut ini.

Hukum Berucap “Aku Lupa Ayat Ini”

Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan menyatakan, hukumnya makruh mengucapkan “aku lupa ayat ini”. Hal ini didasarkan hadis sahih yang diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn Mas’ud:

« لاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ نَسِيتُ آيَةَ كَيْتَ وَكَيْتَ بَلْ هُوَ نُسِّىَ ».

Janganlah salah seorang kalian berucap “aku lupa ayat ini dan ini”. Ia tidaklah melupakan, tapi dibuat lupa (HR. Muslim).

Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muslim tatkala mengomentari hadis di atas menyatakan, larangan mengucapkan “aku lupa ayat ini” tidaklah bersifat haram, tapi makruh tanzih. Dalam artian sebaiknya dijauhi. Hal ini disebabkan ucapan tersebut mengisyaratkan pengakuan adanya kelalaian dari diri sehingga menyebabkan lupa terhadap ayat tertentu. Padahal ada ancaman di dalam Al-Qur’an terhadap para penghafal Al-Qur’an yang lupa pada ayat yang dihafalnya (Syarah Sahih Muslim/3/139).

Baca juga: Hukum Memperdengarkan Al-Quran Kepada Non Muslim: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 6

Ibn Hajar di dalam Fathul Bari berkomentar senada dengan yang disampaikan Imam An-Nawawi. Usai menyebutkan sekitar 6 pendapat mengenai makna hadis di atas, beliau lalu menyatakan bahwa pendapat terkuat adalah yang menyatakan bahwa larangan dalam hadis di atas di sebabkan ucapan “aku lupa ayat ini” menunjukkan adanya pengakuan dari diri sendiri, bahwa ia tidak perduli pada hafalan Al-Qur’annya (Fathul Bari/14/251).

Ucapan yang Dibenarkan

Kalau memang ucapan “aku lupa ayat ini” dilarang, lalu apa gantinya untuk mengungkapkan bahwa kita lupa ayat tertentu dari Al-Qur’an? Sebagai ganti “aku lupa ayat ini”, ulama’ menganjurkan ucapan “aku dibuat lupa pada ayat ini” atau “aku melewatkan ayat ini”. Hal ini berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan dari ‘Aisyah:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَمِعَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلاً يَقْرَأُ فِى سُورَةٍ بِاللَّيْلِ فَقَالَ « يَرْحَمُهُ اللَّهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِى كَذَا وَكَذَا آيَةً كُنْتُ أُنْسِيتُهَا مِنْ سُورَةِ كَذَا وَكَذَا »

Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Rasulullah salallahualaihi wasallam mendengar seorang lelaki membaca sebuah surat di malam hari. Lalu Beliau bersabda: ‘Semoga Allah merahmatinya. Ia telah mengingatkan aku pada ayat ini dan ini, yang aku telah dibuat lupa akannya dari surat ini dan ini’.” (HR. Imam Bukhari).

Di dalam redaksi lain yang juga diriwayatkan dari ‘Aisyah, Nabi Muhammad bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- سَمِعَ رَجُلاً يَقْرَأُ مِنَ اللَّيْلِ فَقَالَ « يَرْحَمُهُ اللَّهُ لَقَدْ أَذْكَرَنِى كَذَا وَكَذَا آيَةً كُنْتُ أَسْقَطْتُهَا مِنْ سُورَةِ كَذَا وَكَذَا ».

Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata: “Rasulullah salallahualaihi wasallam mendengar seorang lelaki membaca sebuah surat di malam hari. Lalu Beliau bersabda: ‘Semoga Allah merahmatinya. Ia telah mengingatkan aku pada ayat ini dan ini, yang aku telah melewatkannya dari surat ini dan ini’.” (HR. Imam Muslim).

Baca juga: 3 Kriteria Keberuntungan Seseorang dalam Surat Al-Ashr Ayat 1-3

Berbagai uraian di atas mengajarkan kita untuk sebaik mungkin menjaga ucapan. Jangan sampai kita terkena hal buruk sebab ucapan kita sendiri. Meski saat kita melupakan ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an ada unsur kesalahan dari diri kita, tak sepatutnya kita mengucapkan sesuatu yang menunjukkan tanpa rasa malu serta rasa takut kita memberi pengakuan bahwa kita bersalah. Terlebih ada ancaman dari Allah atas kesalahan tersebut. Wallahu a’lam[]

3 Kriteria Keberuntungan Seseorang dalam Surat Al-Ashr Ayat 1-3

0
Surat al-Ashr Ayat 1-3
Surat al-Ashr Ayat 1-3

Waktu adalah sesuatu yang paling mahal di dunia ini. Tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan waktu. Ketika ia terlewat, maka selamanya tidak akan kembali. Artikel ini akan menguraikan pentingnya waktu dalam al-Quran khususnya dalam surat Al-Ashr ayat 1-3. Allah Swt berfirman:

وَالْعَصْرِ () إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ () إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam ‎kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal ‎saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat ‎menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Surat Al-Ashr Ayat 1-3)‎

Jika menilik keterangan dari surat al-Ashr ayat 1-3 di atas, kita dapat ‎mengambil sebuah kesimpulan besar, yaitu hanya ada dua kelompok manusia ‎di dunia ini dan di akhirat kelak. Kelompok pertama adalah gologan orang-‎orang yang merugi, menyesal, kecewa, sengsara, kalah, atau menjadi ‎pecundang. Inilah yang kemudian disebut sebagai golongan kiri (ashhabu ‎asy-syimal). Kelompok kedua adalah golongan orang-orang yang beruntung, ‎bahagia, senang atau menjadi pemenang. Inilah yang kemudian disebut ‎sebagai golongan kanan (ashhabu al-yamin).‎

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Hasyr Ayat 18:  Intropeksi Diri, Manajemen Waktu, dan Tabungan Kebaikan

Layaknya dalam sebuah kompetisi yang selalu saja menghadirkan ‎sosok pecundang (the loser) dan pemenang (the winner), dalam kehidupan ‎ini pun demikian adanya. Akan selalu hadir di muka bumi ini sosok antagonis, ‎orang-orang jahat, para pendosa yang mengisi kehidupannya dengan segala ‎bentuk perangai buruk; kekufuran, kesombongan, keserakahan, kedengkian, ‎dan berbagai sifat buruk lainnya.

Namun demikian, hadir pula di muka bumi ini ‎sosok protagonis, orang-orang baik, para bijak bestari yang mewarnai ‎kehidupannya dengan beragam perilaku positif; keimanan, kerendahhatian, ‎kesabaran, kesantunan, kemurah-hatian, serta pelbagi perilaku positif lainnya.‎

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menegaskan hal itu. Dalam surah ‎al-Balad ayat 10, misalnya, ditegaskan bahwa Allah Swt. telah menunjukkan ‎dua jalan, “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan ‎kejahatan)”. Begitu juga dalam surah asy-Syams ayat 8, Allah Swt. ‎mengilhamkan jalan kejahatan dan ketakwaan, “maka Dia mengilhamkan ‎kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya”.‎

Pilihan ada pada kita. Akankah memilih jalan para pecundang, pendosa ‎dan pelaku kejahatan. Ataukah memilih jalan para pemenang dan pelaku ‎kebajikan. Atau dalam istilah al-Qur’an diungkapkan dengan kalimat, ‎‎“barangsiapa menghendaki (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa ‎menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”‎

Lebih lanjut, surat al-Ashr ayat 1-3 di atas menegaskan bahwa ‎sesungguhnya manusia (pada umumnya) dalam kerugian, menjadi orang-‎orang kalah, pecundang. Hanya orang-orang yang memenuhi kriteria tertentu ‎yang akan mendapat keuntungan, kebahagiaan.‎

Adapun beberapa kriteria yang akan mengantarkan seseorang pada ‎keberuntungan dan kebahagiaan adalah:‎

Pertama, iman. Ya, keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya yang ‎tertanam kuat di dalam hati, menjadikan seseorang yakin bahwa di atas ‎segalanya, ada Allah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dia yakin betul ‎bahwa Allah akan senantiasa mengawasi segala gerak dan tingkah lakunya. ‎Konsekuensi dari keyakinan ini adalah, dia akan selalu berhati-hati dalam ‎menjalani kehidupan ini. ‎

Adapun iman kepada Rasulullah Saw menjadikan seseorang yakin ‎bahwa ada contoh sosok manusia teladan yang akan terus membimbingnya ‎dalam bertauhid, beribadah, bermuamalah dan berakhlak. Dia akan siap ‎menjalani hidup yang penuh dengan ujian, tantangan serta godaan, karena ‎ada panduan langsung dari Sang penerima wahyu. ‎

Kedua, amal shalih. Bukti dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya ‎adalah tindakan nyata berupa perbuatan baik atau dalam istilah al-Quran ‎disebut dengan amal shalih. ‎

Jika kita cermati, hampir setiap ayat yang menyebut kata aamanuu ‎‎(iman) selalu disertai dengan ‘amilu as-shaalihaat (amal shahlih). Ini ‎menunjukkan bahwa iman hanya akan bermakna ketika diiringi dengan amal ‎shalih. Keimanan tanpa bukti nyata berupa amal shalih hanyalah sebuah ‎kedustaan belaka. Sebaliknya, amal shalih tanpa iman sia-sia belaka.‎

Baca Juga: Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran

Ketiga, saling menasihati untuk kebenaran. Islam mengajarkan ‎umatnya untuk meniti jalan kebenaran (sabil al-haqq) yang penuh dengan ‎petunjuk (hudan) dan bermuara pada jalan yang lurus (shirath al-mustaqim). ‎Inilah jalan yang dilimpahi nikmat serta keberkahan, bukan jalan kesesatan ‎dan kesengsaraan.‎

Keempat, saling menasihati untuk kesabaran. Rasulullah Saw pernah ‎menegaskan bahwa kesabaran adalah separuh keimanan. Pernyataan ini ‎menunjukkan bahwa betapa tingginya nilai kesabaran dalam ajaran Islam. ‎Bahkan dalam beberapa ayat dijelaskan bahwa Allah bersama orang-orang ‎yang sabar.

Dengan demikian tepatlah apa yang disebut dalam Surat al-Ashr ayat 1-3 di ‎atas, bahwa di antara ciri keberuntungan seseorang adalah saling menasehati ‎untuk kesabaran. ‎Wallahu A’lam.

Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (1)

0
Prinsip tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi laki-laki dan perempuan
Prinsip tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi laki-laki dan perempuan

Sebagai tokoh tafsir feminis, Husein Muhammad memiliki bangunan metodologis yang mapan dalam memaknai ayat relasi laki-laki dan perempuan. Mengutip Eni Zulaikha dalam Analisa Gender Dan Prinsip Prinsip Penafsiran Husein Muhammad, setidaknya ada beberapa prinsip tafsir yang digunakan Husein. Berikut ini ulasannya.

Al-Quran kitab petunjuk dan bermuatan rahmat

Prinsip tafsir ini ia pegang berdasarkan pemahamannya terhadap ayat yang menyatakan bahwa Al-Quran merupakan kitab petunjuk (hudan linnas: Al-Baqarah ayat 185), dan kitab yang berisi ajaran kasih dan sayang untuk semesta (rahmah: Al-Anbiya ayat 107).

Dari prinsip ini kemudian, tokoh yang akrab dipanggil Buya Husein ini berpendapat bahwa Al-Quran senantiasa dapat berkembang kapan pun dan di mana pun, sesuai dengan tuntutan kehidupan yang berperikeadilan, sejahtera, dan setara. Pada dasarnya, nilai-nilai humanisme ini ia landaskan pada asas utama Islam, yakni tauhid. Bagi Husein, tauhid merupakan asas paling dasar untuk dapat memahami kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Artinya, seseorang tidak akan merasa lebih unggul, pun terungguli jikalau keesaan Allah telah tertancap dalam benaknya. Karena, adalah keniscayaan bagi seseorang yang menghayati arti ketauhidan Tuhan itu, bahwa selain-Nya pastilah setara.

Baca juga: Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Asas tauhid ini relatif sama dengan hermeunitika tauhid Amina Wadud, yang kemudian menginspirasi Faqihuddin Abdul Kodir dalam Qira’ah Mubaadalah-nya. Dua tokoh terakhir ini juga membangun penafsiran feminisnya dengan prinsip tauhid sebagai pondasinya.

Pemahamanan aspek historis

Pemahaman terhadap aspek historis Al-Quran urgen bagi Husein untuk menentukan substansi ayat. Dan dalam hal ini, Husein lebih menekankan pada penelusuran konteks makro –meminjam istilah Fazlur Rahman-, dibanding mikro. Hal ini karena, untuk menentukan substansi ayat, tidak bisa cukup berhenti pada sebab nuzul mikro yang sifatnya partikular-temporer.

 Analisis ini dapat kita cermati saat Buya Husein memaknai tafsir Surat An-Nisa ayat 34. Ia menyebut ayat ini termasuk dalam kelompok ayat partikular, yang menurutnya identik dengan ayat Madaniyyah. Sehingga, kandungannya sangat kontekstual dan karena itu dapat berkembang penafsirannya. Kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam ayat itu mempertimbangkan sistem sosial waktu ayat turun. Dan, yang juga perlu digarisbawahi, kepemimpinan tersebut atas pertimbangan yang dapat diusahakan (nurture), tidak atas faktor kodrati (nature).

Baca juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Husein kemudian, mengarahkan ayat tersebut pada ayat universal, yakti Surat Al-Hujurat ayat 13. Ayat ini menunjukkan prinsip kesetaraan manusia, dan hanya ketakwaan yang menjadi barometer kabaikan. Dengan alur demikian, baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi yang setara untuk menjadi pemimpin.

Pemahaman konteks bahasa

Selain berpatokan pada aspek historis, Husein juga menekankan analisis konteks bahasa. Dari tulisan Eni Zulaikha, tampaknya, analisis konteks bahasa yang dilakukan Husein pada akan berpengaruh pada ketentuan hukum dari ayat yang ditafsirkan. Misalnya, terkait apakah ayat itu berkonsekuensi pada kewajiban berdasarkan pertimbangan susunan kalimatnya berupa perintah, atau sekedar kalimat khabar, yang menunjukkan bahwa isi ayat itu sekedar informasi, tidak ada pembebanan kewajiban atau larangan.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Pemahaman atas konteks bahasa sekaligus menjadi kekhasan Buya Husein, karena dari situ terlihat usahanya untuk memadukan prinsip hermeunitis yang identik dengan khazanah keilmuan Barat dengan khazanah keilmuan Islam berupa Ushul Fiqh. Salah satu contoh ialah saat Husein berpendapat dalam Fiqh Peremouan, bahwa An-Nisa ayat 34 ini –tepatnya pada frasa arrijalu qawwamuna– tidak menunjukkan perintah, karena konteks bahasanya berupa kalam khabar (kalimat informatif). Sehingga, berdampak pada pemaknaan ayat tersebut bukanlah tuntutan bagi laki-laki untuk menjadi pemimpin.

Pembedaan ayat universal dengan partikular

Seperti yang disinggung di muka, Husein membedakan mana ayat yang bersifat partikular dan mana yang universal. Tapi pembedaan ini tidak berujung pada pengunggulan salah satunya. Bagi Husein, bila dua ayat ini seakan bertentangan, ayat partikular tidak dapat menganulir ayat universal, begitu pun sebaliknya. Ia lebih memilih untuk memberlakukan dua-duanya, dengan jalan konsentrasi pada analisis historis, sebagaimana pada Surat An-Nisa ayat 34 tentang kepemimpinan. Dalam hal ini, Husein ittiba’ kepada As-Shathibi yang berpendapat bahwa setiap teks agama mengandung nilai dan tujuan. Wallahu a’lam[]