Beranda blog Halaman 431

Bacaan Al-Qur’an Untuk Menghilangkan Khayalan Yang berlebihan

0
Khayalan yang berlebihan
Khayalan yang berlebihan

Dalam kesehariannya – sadar atau tidak – seseorang kadangkala mengkhayalkan sesuatu, baik itu berkenaan dengan masa lalu, masa depan ataupun dunia fantasi. Sebenarnya, berimajinasi atau berfantasi adalah hal manusiawi, asal jangan sampai ke tahap khayalan yang berlebihan. Karena ini dapat membuat seseorang lupa daratan dan sulit membedakan antara dunia khayalan dan kenyataan.

Secara sosiologis, mengkhayal atau daydream adalah kondisi otak saat tidak terlibat dalam aktivitas yang melibatkan memori atau perhatian. Ketika mode default ini aktif, otak manusia bisa menstimulasi dirinya sendiri. Hasil dari stimulus ini membuat otak memikirkan hal-hal yang kadang tidak ada hubungannya dengan stimulus dunia luar. Jadi, mengkhayal adalah kebiasaan wajar selama bukan khayalan yang berlebihan.

Khayalan yang berlebihan atau yang lebih akrab disebut maladaptive daydreaming (MD) adalah suatu kelainan mental yang harus dihindari. Seseorang yang mengalami MD punya khayalan yang sangat jelas dan fantastis. Mereka bisa berkhayal selama berjam-jam sampai mengabaikan kehidupan dunia nyata dan tanggung jawab sosial yang sering berakibat pada stres serta kerusakan fungsi individu.

Menurut Eli Somer, seorang psikolog klinis, MD sering digunakan oleh anak-anak penyintas kekerasan untuk menangani (coping) traumanya. Dengan kata lain, MD sering digunakan penderitanya untuk keluar dari perasaan tidak mengenakkan di dunia nyata termasuk di dalamnya pengalaman kekerasan, trauma atau kesepian. Ia juga menjelaskan bahwa dalam mekanisme MD terdapat perilaku kompulsif yang ditandai dengan rendahnya kadar serotonin pada otak menyebabkan dorongan untuk terus masuk ke khayalan lagi dan lagi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat diketahui bahwa MD cukup berbahaya. Oleh karenanya, itu mesti dihindari sendiri mungkin. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi kebiasaan mengkhayal yang berlebihan, diantaranya: menghindari hal yang memicu kebiasaan mengkhayal, latihan mindfulness, menekan kompulsifitas seperti berolahraga, dan menemukan cara mengekspresikan diri sendiri di real life (dunia nyata).

Baca Ayat Ini Untuk Menghilangkan Khayalan Yang berlebihan

Selain melalui tindakan-tindakan di atas, khayalan yang berlebihan juga dapat dihilangkan melalui amalan bacaan ayat Al-Qur’an. Menurut Imam al-Ghazali dalam adz-Dzahabul Ibris, ayat Al-Qur’an dapat digunakan untuk menghentikan khayalan yang berlebihan, terutama berkenaan dengan fantasi terhadap lawan jenis dan khayalan terhadap berbagai kenikmatan hidup.

Ayat yang dapat dibaca untuk menghilangkan khayalan yang berlebihan – menurut Al-Ghazali adalah surat al-Isra’ [17] ayat 45 yang bebunyi:

وَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُوْرًاۙ ٤٥

“Dan apabila engkau (Muhammad) membaca Al-Qur’an, Kami adakan suatu dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat.”

Amalan ini al-Ghazali riwayatkan dari Ibnu Qutaibah yang berkata, “seseorang didera khayalan yang berlebihan hingga ia membaca surat al-Isra’ [17] ayat 45.” Orang itu kemudian bertanya kepada Ibnu Qutaibah, “Tahukah engkau apa maksud dari dinding yang tidak terlihat antara engkau dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat?”

Orang yang melihat peristiwa itu berkata, “tidak.” Maka orang yang didera khayalan yang berlebihan itu berkata, “Dan di antara mereka ada yang mendengarkan bacaanmu (Muhammad), dan Kami telah menjadikan hati mereka tertutup (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan telinganya tersumbat. Dan kalaupun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya.

Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata, “Ini (Al-Qur’an) tidak lain hanyalah dongengan orang-orang terdahulu.” (QS. Al-An’am [6] : 25). Mereka itulah orang yang hati, pendengaran, dan penglihatannya telah dikunci oleh Allah. Mereka itulah orang yang lalai. (QS. An-Nahl [16]: 108).

Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapa yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? (QS. Al-Jasiyah [45]: 23).

Dan siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sungguh, Kami telah menjadikan hati mereka tertutup, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka. Kendatipun engkau (Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya. (QS. Al-Kahf [18]: 30).

Inilah yang dimaksud dari surat al-Isra’ [17] ayat 45  tentang dinding tidak terbatas yang diciptakan Allah swt antara nabi Muhammad saw dan orang-orang yang tidak beriman dengan akhirat. Lalu berpalinglah orang yang merasukinya itu. Dari riwayat tersebut, al-Ghazali menyimpulkan bahwa ayat di atas dapat digunakan untuk membentengi seseorang dari khayalan yang berlebihan mengenai berbagai hal.

Berdasarkan pemaparan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa berimjinasi adalah hal yang wajar selama tidak berlebihan. Karena khayalan yang berlebihan dapat mengakibatkan dampak negatif. Jikalau sudah terlanjut demikian, seseorang bisa menghilangkan khayalan yang berlebih melalui dua cara, yakni tindakan yang dapat mengatasinya seperti mindfulness dan membaca surat al-Isra’ [17] ayat 45  dengan harapan Allah swt akan membentenginya dari hal tersebut. Wallahu a’lam.

Makna Esoterik Yang terkandung dalam Kalimat Taawudz Menurut Fakhruddin Ar-Razi

0
kalimat taawudz
kalimat taawudz

Kalimat isti‘aẓāh atau kalimat taawudz merupakan bacaan pasaran yang lazim dilafalkan oleh umat muslim. Adapaun kalimat yang dimaksud penulis yakni:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

Artinya:

Aku memohon perlindungan kepada Allah dari Syaithan yang terkutuk.

Secara umum kalimat taawudz ditujukan untuk mendapatkan perlindungan sebelum melakukan sesuatu, baik yang berkaitan dengan ibadah ritual maupun ibadah sosial.

Makna utama yang muncul berdasarkan terjemahannya adalah meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Tetapi jika pembaca berkenan menyelami lebih dalam terkait makna ‘perlindungan’, niscaya akan banyak ditemukan makna-makna esoterik yang terkandung dalam kalimat singkat tersebut.

Terkait penamaan, nama isti’adẓāh merupakan bentuk mashdar yang madhi nya berupa kata kerja ista’aẓah yang menuntut makna thalāb (meminta). Jadi makna dari kata tersebut adalah meminta perlindungan. Bila kita rujuk ke redaksi kalimat tersebut, penamaan isti’adẓāh sebenarnya diambil dari kata a‘aẓah yang bermakna berlindung atau mencari perlindungan. (A.W. Munawwir: 1997).

Dalam pandangan Imam Ar-Razi, bahwa makna kalimat taawudz adalah meminta perlindungan dari segala sesuatu yang telah dilarang oleh Allah. Sesuatu yang dilarang kemudian dibagi lagi oleh Imam Ar-Razi menjadi dua:

Baca Juga: Fakhruddin Ar-Razi: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir Mafatih Al-Ghayb

Pertama, larangan yang berkaitan dengan keyakinan, dan kedua, larangan yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Larangan yang berkaitan dengan keyakinan digambarkan dalam hadis berikut:

عَنْ عَبْدِ اللَّ‍هِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللَّ‍هِ صَلَّى اللَّ‍هُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً وَ تَفَرَّقَتْ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَ سَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّمِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوْا وَمَنْ هِيَ يَارَسُوْلَ اللَّ‍هِ؟. قَالَ مَاأَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِي (سنن الترمذي، رقم ٢٥٦٥)

Artinya:

“Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya kaum Bani Isra’il telah terpecah menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan”. Lalu sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Nabi SAW menjawab, “(Golongan itu adalah orang-orang yang berpegangan pada) semua perbuatan yang telah aku lakukan, serta semua perbuatan yang dikerjakan oleh sahabat-sahabatku.” (Sunan al-Tirmidzi [2565]).

Hadis di atas menunjukkan banyaknya kesesatan dalam berkeyakinan, hal tersebut ditunjukkan dengan banyaknya golongan yang di nash termasuk dalam golongan yang masuk neraka, yakni berjumlah 72 golongan, dan yang berjalan dalam kebenaran hanyalah satu golongan saja.

Oleh karena itu, makna meminta perlindungan dalam kalimat isti‘aẓah adalah meminta perlindungan agar tidak termasuk dalam 72 golongan yang dimasukkan dalam kategori golongan yang masuk ke dalam neraka. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Alasan yang dipegang oleh Imam ar-Razi terkait hal ini adalah sebab 72 golongan tersebut memiliki keyakinan – keyakinan yang sesat, serta mempunyai mazhab – mazhab yang batil. Kebatilan yang dihasilkan oleh 72 golongan tersebut berkaitan dengan banyak hal, seperti ketika mensifati Dzat Allah, menetapkan hukum – hukum Allah, nama-nama Allah, janji dan ancaman Allah, dll. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Sebenarnya apa yang dimaksud oleh Imam ar-Razi sebagai problem keyakinan, tidak hanya meliputi 72 golongan saja. Akan tetapi masih terdapat banyak permasalahan yang berkaitan dengan keyakinan. 72 golongan adalah gambaran begitu banyaknya godaan-godaan yang dapat mengancam keimanan seorang manusia.

Adapun larangan yang berkaitan sikap dan perilaku merujuk pada perilaku-perilaku batil, yakni perbuatan haram yang terdapat dalam al-Qur’an, hadis mutawatir, hadis ahad, ijmak ulama’ maupun dalam kadar kebenaran secara umum. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Dalam tafsirnya, Ibn Katsir menyatakan bahwa isti’adẓāh merupakan do’a untuk meminta perlindungan agar dijauhkan dari syaitan yang dapat membahayakan manusia baik dalam urusan dunia, maupun dalam urusan akhirat.

Yakni godaan yang dapat menghalangi manusia untuk melakukan perintah Allah swt., dan mendorong manusia untuk mengerjakan segala sesuatu yang telah dilarang oleh Allah swt. Selain berfokus kepada permintaan agar dilindungi dari setan, kalimat isti’adẓāh juga memasukkan permintaan perlindungan kepada Jin dan hal ini yang dipegangi oleh Imam ibn Katsir. (Ibn Katsir; 2000).

Baca Juga: Ibn Katsir: Sosok di Balik Lahirnya Tafsir al-Qur’an al-‘Adzhim

Pada dasarnya, masalah-masalah yang terkandung dalam frase a‘ūẓubillah bukan hanya itu, dalam pandangan Imam ar-Razi malah bisa mencapai sepuluh ribu permasalahan, bahkan bisa lebih banyak lagi.  Apa yang disampaikan Imam ar-Razi di atas mengimplikasikan adanya makna esoterik yang terkandung dalam kalimat isti‘aẓāh. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Jadi bisa disimpulkan, bahwa makna kalimat isti‘aẓāh menurut Imam ar-Razi memasukkan 2 aspek perlindungan. Pertama, berkaitan dengan keyakinan, di mana ia merujuk kepada 72 golongan yang dinyatakan dalam hadis sebagai golongan yang akan masuk neraka. Kedua, berkaitan dengan penyimpangan perilaku, baik yang sudah dijelaskan dalam al-Qur’an, hadis, ijmak ulama’ maupun dalam kadar kebenaran secara umum. Wallahu a’lam

Hukum Memperdengarkan Al-Quran Kepada Non Muslim: Tafsir Surat At-Taubah Ayat 6

0
memperdengarkan al-quran
memperdengarkan al-quran

Mungkin sebagian dari kita pernah berpikir, untuk apa memperdengarkan Al-Quran kepada non muslim? Bukankah mereka tidak mempercayai adanya Allah? Bukankah mereka tidak mempercayai terhadap kebenaran Al-Quran? Bagaimana kalau mereka mendengar Al-Quran dan justru malah mengolok-olok Al-Quran? Pikiran-pikiran ini kemudian mendorong kita untuk mencegah non muslim mendengar Al-Quran.

Mencegah non muslim untuk mendengarkan Al-Quran adalah tindakan yang menyalahi keputusan para ulama. Imam An-Nawawi dalam At-Tibyan menyatakan bahwa orang kafir tidaklah dilarang untuk mendengarkan Al-Quran. Beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah dalam Surat At-Taubah ayat 6. Imam An-Nawawi juga mengutip pendapat yang menyatakan bolehnya mengajarkan Al-Quran kepada non muslim.

Anjuran Mengenalkan Al-Quran Kepada Kaum Musyrik

Allah swt berfirman dalam Surat at-Taubah ayat 6,

وَاِنْ اَحَدٌ مِّنَ الْمُشْرِكِيْنَ اسْتَجَارَكَ فَاَجِرْهُ حَتّٰى يَسْمَعَ كَلٰمَ اللّٰهِ ثُمَّ اَبْلِغْهُ مَأْمَنَهٗ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْلَمُوْنَ ࣖ

Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui. (Q.S. at-Taubah [9]: 6)

Ibn Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa kaum musyrik di dalam ayat tersebut bukanlah kaum musyrik yang hanya sekadar tidak beriman kepada Allah. Namun kaum musyrik diperintahkan kepada Nabi saw untuk memerangi dan memberi izin kepadanya untuk membunuh serta merampas harta mereka.

Baca juga: Inilah Keutamaan Mendengarkan Bacaan Al Quran, Simak Penjelasannya

Orang-orang seperti mereka, apabila datang meminta perlindungan, hendaknya dilindungi sehingga mereka mengetahui seperti apa isi Al-Quran, yakni dengan cara membacakan atau menerangkan sebagian ajaran Al-Quran. Hal itu dilakukan sampai mereka dapat kembali ke negara mereka dengan aman. Islam mengajarkan untuk memberi perlindungan kepada orang-orang seperti mereka agar mereka dapat mengenal Islam, sehingga Islam dapat tersebar di antara hamba-hamba Allah (Tafsir Ibn Katsir/4/113).

Ayat di atas jelas tidak mempermasalahkan kita untuk memperdengarkan atau mengajarkan kepada mereka isi Al-Quran. Justru di dalam ayat tersebut ada dorongan untuk memanfaatkan kesempatan tersebut mengenalkan Islam kepada non muslim. Andaikata ada non muslim yang seharusnya kita perangi datang kepada kita meminta perlindungan, dan tampak ada kecenderungan pada mereka untuk ingin lebih mengenal Islam, hendaknya kita memberi keamanan kepada mereka sehingga kita dapat mengenalkan Islam kepada mereka.

Oleh karena itu, ketika kaum Quraisy mendatangi Nabi saat masa genjatan senjata di masa Sulhu Hudaibiyah, Nabi saw tidak lantas mengusir mereka. Nabi tidak menganggap mereka sebagai pihak musuh – yang seharusnya tetap menjadi musuh – serta tidak perlu mengenalkan Al-Quran sebab mereka tidak mempercayai Al-Quran. Akan tetapi, justru Nabi saw memandang kedatangan mereka sebagai kesempatan bagus mengenalkan Al-Quran serta ajaran Islam yang dikandunganya kepada seluruh hamba Allah.

Baca juga: Tafsir Surat al-Fath 29: Benarkah Harus Bersikap Keras kepada Non-Muslim?

Mengajarkan Al-Quran Kepada Non Muslim

Imam An-Nawawi di dalam At-Tibyan menyatakan, ulama bersilang pendapat mengenai diperbolehkannya mengajarkan Al-Quran kepada non muslim. Apabila non muslim adalah orang yang tidak bisa diharapkan keislamannya, maka tidak boleh. Namun apabila keislamannya dapat diharapkan, maka pendapat yang paling sahih adalah diperbolehkan mengajarkan Al-Quran kepadanya.

Mengenalkan Islam berkaitan erat dengan memperdengarkan serta memberitahukan kandungan Al-Quran. Sebab sumber utama ajaran Islam adalah Al-Quran. Apabila hanya untuk memperdengarkan Al-Quran kepada non muslim saja tidak boleh, bagaimana cara kita mengenalkan Islam kepada orang di luar Islam?

Maka sudah saatnya kita menghilangkan pikiran-pikiran negatif bahwa orang di luar Islam akan mengolok-olok Al-Quran saat mendengar Al-Quran. Sebab tindakan zahir tidaklah selalu sama dengan hati. Andai sikap mereka tidak sesuai dengan yang kita harapkan, bisa saja setidaknya kita sudah menanam benih-benih ketertarikan Islam di hati mereka. Wallahu A’lam.

Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi: Inspirasi Metode Ishlah dari Ibn ‘Asyur

0
Radikalisme
Radikalisme

Radikalisme dan Upaya Deradikalisasi masih menjadi wacana hangat saat ini. Mengenai istilah radikalisme, Abdul Mustaqim membagi radikalisme menjadi dua yakni soft radicalism dan hard radicalism. Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan soft radicalism adalah pemahaman radikal yang masih berkisar pada level kognitif (ideologi) dan tidak sampai diaktualisasikan dalam bentuk tindakan (terorisme).

Namun, pemahaman radikal dalam level kognitif ini juga berdampak pada banyaknya klaim-klaim bid’ah dan takfiri (pengafiran) terhadap golongan yang tidak seideologi. Adapun yang dimaksud dengan hard radicalism adalah bentuk ideologi yang radikal yang sampai pada level aktualisasi. Tindakan secara nyata yakni aksi terorisme yang menghancurkan apapun yang tidak sejalan dengan ideologi mereka dan yang mereka klaim sebagai thagut (musuh Allah).

Yusuf Qardhawi juga memberikan pandangannya terkait dengan fenomena radikalisme dan terorisme. Ia menyebutkan bahwa ciri-ciri radikalisme antara lain: fanatik kepada satu pendapat serta menegasikan pendapat orang lain; abai terhadap historisitas Islam; tidak dialogis; dan harfiah dalam memahami teks agama tanpa mempertimbangkan tujuan esensial syariat (maqashid al-syari’ah).

Demi merespon problem ideologi ini, maka meminjam istilah yang digunakan oleh Nasaruddin Umar bahwa “deradikalisasi adalah sebuah keharusan”. Selain sebagai kontra narasi terhadap propaganda-propaganda ideologi radikal. Deradikalisasi juga bertujuan untuk meneguhkan kembali bahwa Islam bukanlah agama yang mengajak pada tindakan ekstrim—seperti halnya diklaim oleh islamophobic.

Salah satu bentuk deradikalisasi dalam upaya men-counter paham radikalisme adalah dengan memberikan penafsiran yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Islam. Menghadirkan pandangan salah satu cendekiawan Islam sekaligus mufassir yang masyhur dengan metode maqashid-nya yakni Ibn ‘Asyur adalah salah satu langkah preventif yang dapat diterapkan.

Dalam penafsirannya terhadap Q.S. al-Hujurat: 9 terdapat beberapa poin penting dari metode penafsiran maupun pandangan Ibn ‘Asyur tentang ishlah yang dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam agar tidak radikal dalam pikiran maupun tindakan serta terus mengusung spirit nilai-nilai universal Islam dalam menjalani kehidupannya, antara lain:

1) Menerapkan Metode Istiqra’ dalam Upaya Memahami Al-Quran

Metode istiqra’ sendiri adalah melakukan telaah terhadap ayat-ayat Alquran secara holistik dan tidak parsial. Maksudnya tidak hanya memahami ayat berdasarkan makna leksikalnya saja (terjemahan).

Pembacaan istiqra’ Ibn Asyur tersebut tercermin dalam prinsip-prinsip maqshudul Qur’an yang ia pertimbangkan dalam penafsiran. Adapun empat prinsip yang ia masukan sebagai rumusannya yaitu: 1) al-fitrah (fitrah manusia); 2)  al-samahah (toleransi); 3) al-musawa (egaliterianisme); dan 4)  al-hurriyah (kebebasan).

Dalam kitabnya, al-Burhan fi ‘Ulum Alquran, al-Zarkasyi mengatakan bahwa ada beberapa sebab seseorang tidak mampu menggapai makna Alquran, dan salah satunya adalah berpegang pada terjemahan maupun guru yang tidak memiliki kapasitas dalam menafsirkan al-Quran kecuali hanya ilmu terjemah (‘ilm bi al-dzhahir).

Maka perlu adanya tadabbur dan tafakkur yang lebih mendalam sehingga didapati moral value—oleh Fazlur Rahman disebut ideal moral—di dalamnya.

2) Berpegang Pada Prinsip-Prinsip Universal dalam Al-Quran

Dalam menafsirkan Q.S al-Hujurat: 9, Ibn ‘Asyur telah konsisten berpegang pada prinsip maqashid al-Quran yang disusunnya. Dari penafsirannya atas ayat ishlah tersebut, Ibn ‘Asyur telah menunjukkan bahwasanya Islam adalah agama yang sangat mengedepankan perdamaian dan kemanusiaan.

Dengan begitu tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menyalahi prinsip-prinsip dasar Alquran. Maka tindakan-tindakan radikal dapat dikatakan telah menyalahi prinsip-prinsip Islam yang tertuang dalam Alquran itu sendiri. Dengan berpegang pada prinsip-prinsip universal Alquran, seharusnya tindakan-tindakan radikal tidak terjadi. Justru Islam seharusnya hadir untuk menjadi penengah bukannya provokator.

Adapun jika dikaitkan dengan konteks saat ini, peperangan baru boleh dilakukan tatkala umat Islam sudah pada posisi terdesak—sebagaimana konteks Q.S al-Hajj: 39-40—dan itupun tidak menjadi upaya offensive melainkan defensive.

Maka sudah semestinya umat Islam tidak mudah terbawa pada tafsir-tafsir yang justru mengarahkan mereka menjadi “pencoreng” nama baik Islam sendiri. Memang tidak bisa dipungkiri dalam Al-Quran juga terdapat ayat-ayat yang dapat memicu tindakan radikal apabila disalahpahami.

Adapun solusi dalam menyikapi penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat qital yang dapat dijadikan alternatif terbaik adalah dengan memposisikan ayat-ayat qital sebagai golongan ayat-ayat mutasyabihat. Sehingga pemakanaanya pun harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat yakni ayat-ayat yang sejalan dengan prinsip-prinsip universal Islam, seperti halnya Q.S al-Hujurat: 9 yang membawa prinsip islah. Wallahu A’lam.

Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

0
Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender
Husein Muhammad dan Pembacaan Al-Quran Berperspektif Gender

Bicara pemikir feminis Muslim di Indonesia, Husein Muhammad menjadi sosok penting dalam rekonstruksi penafsiran teks Al-Quran yang bersinggungan dengan relasi laki-laki dan perempuan. Tokoh cendekia yang akrab disapa Buya Husein ini memberi warna baru bagi pembacaan Al-Quran berperspektif gender. Hal ini tentu saja menjadi satu usaha berarti dalam rangka meruntuhkan bangunan budaya patriarkhi yang sarat ketidakadilan bagi perempuan di Indonesia.

Sketsa biografi

Mengutip Susanti dalam Husein Muhammad, antara Feminis Islam dan Feminis Liberal, Husein lahir pada 9 Mei 1953, di Arjawinangun, Cirebon. Ia hidup di tengah keluarga pesantren, tepatnya, Ponpes Darut Tauhid, Arjawinangun. Ia putra dari Muhammad Asyrofuddin dan Ummu Salma Syathoti (putri muassis Ponpes Darut Tauhid –KH Syathori).

Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD milik pesantren Darut Tauhid, dan tuntas pada tahun 1966. Lalu, ia melanjutkan ke SMPN 1 Arjawinangun, sampai tamat pada tahun 1969. Setapat SMP, ia berangkat mondok di Ponpes Lirboyo, Kediri. 3 tahun tamat di ponpes tersebut, Husein menempuh S1 di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ), Jakarta. Di sana pula, ia menghafal Al-Quran sekaligus membangun konsentrasi pada bidang ke-Al-Quran-an. Ia juga mengasah kemampuan di bidang jurnalistik bersama temannya, Mustafa Hilmy, yang menjadi redaktur Majalah Tempo kala itu.

Baca juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Setelah lulus, Husein berkelana ke Mesir. Ia melanjutkan studi di Al-Azhar atas rekomendasi Ibrahim Husein, Dosennya di PTIQ. Sesuai saran dosennya itu, ia mendalami Ilmu Al-Quran dan tafsir di sana, karena citra Mesir sebagai salah satu negara di Timur Tengah yang khazanah ilmu pengetahuannya lebih terbuka dibanding negara Timur Tengah lain.

Wawasan Husein tidak hanya bernuansa Arab, ia juga mendalami keilmuan Barat. Mengutip Muhammad Nuruzzaman dalam Kiai Husein Membela Perempuan, selain pemikiran tokoh Islam, Husein juga mengkaji pemikiran filsafat dan sastra Barat, seperti, Albert Camus, Sartre, dan Nietzsche.

Pada tahun 1983, Husein lulus dari Al-Azhar, lalu kembali ke kampung halaman. Selain mengasuh pesantren, Husein juga menginisiasi lembaga yang concern pada hak-hak perempuan. Seperti pada tahun 2001, ia mendirikan Yayasan Puan Amal Hayati, Fahmina Institite (ISIF), dan Rahima.

Karya-karya

Selain di lingkungan sosial, keseriusan Husein dalam menyuarakan hak-hak perempuan juga ia torehkan melalui puluhan karya. Antara lain; Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: LKiS, 2001), Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKiS, 2001), yang berisi gagasan kritisnya terhadap pemaknaan teks-teks legal formal tentang perempuan, yang diskriminatif, Taqliq wa Takhrij Syarh al Lujain (Yogyakarta: Forum Kajian Kitab Kuning-LKiS, 2001), berisi gagasan kritis terhadap kitab ‘Uqudullujjain –referensi pendidikan seks yang populer di kalangan pesantren-, Panduan Pengajaran Fiqh Perempuan di Pesantren (Yogyakarta: YKFFF, 2002), Gender di Pesantren: Pesantren and The Issue of Jender Relation, dalam Majalah Culture, dalamThe Indonesian Journal of Muslim Cultures (Jakarta: Center of Languages and Cultures, UIN Syarif Hidayatullah, 2002), dan lain sebagainya.

Baca juga: Laleh Bakhtiar dan Kontribusinya Dalam Kajian Tafsir

Dengan sederet dedikasinya dalam menyuarakan hak perempuan baik lewat gerakan mau pun tulisan, ia mendapat penghargaan sebagai Doctor Honoris Causa di bidang Tafsir Gender. Penghargaan ini diberikan oleh UIN Walisongo pada 26 Maret 2019 Silam.

Pembacaan kontekstual berperspektif gender

Sebagai tokoh tafsir yang berkonsentrasi pada isu keperempuanan, Husein begitu memperhatikan substansi teks daripada memahaminya secara literal. Analisis konteks ia kedepankan dalam memakani ayat relasi laki-laki dan perempuan. Langkah ini ia tempuh tak lain untuk mendapatkan penafsiran yang adil terhadap perempuan.

Misalnya, saat mentafsir Surat An-Nisa ayat 34. Dalam Fiqh Perempuan-nya, ia menempatkan ayat ini secara kontekstual. Karena, ayat turun dalam sistem budaya patriarki, dan secara khusus untuk meminimalisir kekerasan yang akan timbul saat perempuan diperbolehkan membalas tindak kekerasan yang dilakukan suaminya secara setara. Dengan begitu, kepemimpinan laki-laki menjadi solusi saat itu.

Kepemimpinan laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut adalah pemaknaan yang sarat akan muatan sosio-politis. Sehingga, bila suatu saat keadaan mengalami pergeseran, yang disinyalir oleh perubahan kebiasaan, lalu lahir budaya baru, maka pemaknaan ayat tersebut juga harus berubah. Seperti sekarang ini, saat perempuan banyak yang menunjukkan kiprah baik di lingkup rumah tangga maupun publik.

Baca juga: Mengenal Terma-Terma Perempuan dalam Al-Quran

Pemikiran reformis Husein Muhammad ini terinspirasi oleh Qasim Amin, feminis asal Mesir. Seperti Qasim Amin, Husein pun memiliki semboyan dalam mendongkrak praktik diskriminatif terhadap perempuan, Yaitu, “kaifa nataqaddamu duna an natakhalla’ ‘anitturath” (bagaimana kita bisa maju tanpa mendobrak tradisi lama?!). Tradisi yang dimaksudkan Husein tentu saja tradisi yang lahir dari Budaya Arabia di masa Islam Klasik, yang kemudian diadopsi dalam literatur keislaman dan masih saja kerap digunakan apa adanya –tanpa rekonstruksi- sampai saat ini.

Demikianlah Husein Muhammad dalam mengembangkan penafsiran berperspektif Gender. Bila ada yang bilang manusia adalah produk budaya dan tradisi yang ada di dalamnya. Maka, begitu pun budaya dan tradisi, bisa lahir, berkembang, kemudian mengalami perubahan, karena ada manusia sebagai agen perubahan. Dan untuk merubah tradisi yang sarat ketidakadilan bagi perempuan, pun laki-laki, butuh pemikiran-pemikiran bersudut pandang gender yang kritis dan rekonstruktif sebagaimana yang dilakukan Husein Muhammad. Wallahu a’lam[]

Pendapat Gus Baha’ Tentang Membaca Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali

0
Membaca Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali
Membaca Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali

Pesan KH Ahmad Bahauddin Nursalim, pada channel You Tube yang ini, bisa di klik. Ia mengatakan agama kehilangan ruh ketika hanya dijadikan rutinitas, maka ini merupakan salah satu tugas ulama, untuk menghidupkan kembali agama. Seperti halnya ketika kita mendapatkan ijazah dari para kyai dan ulama yakni ijazah membaca wirid surat al-fatihah 100 kali, hal ini merupakan sebagai bentuk rutinitas. Akan tetapi jika dilakukan lebih dari 100 kali malah lebih baik.

Selain dijadikan wirid, kita juga perlu mengetahui kenapa Surat al-Fatihah dijadikan surat umul kitab, dan diulang-ulang dalam bacaan sholat. Berikut adalah riwayat hadis dari Imam Muslim tentang al-fatihah yang dijadikan umul kitab.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ فَهْىَ خِدَاجٌ – ثَلاَثًا – غَيْرُ تَمَامٍ ». فَقِيلَ لأَبِى هُرَيْرَةَ إِنَّا نَكُونُ وَرَاءَ الإِمَامِ. فَقَالَ اقْرَأْ بِهَا فِى نَفْسِكَ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلاَةَ بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ ( الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِى عَبْدِى وَإِذَا قَالَ (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ). قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَىَّ عَبْدِى. وَإِذَا قَالَ (مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ). قَالَ مَجَّدَنِى عَبْدِى – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَىَّ عَبْدِى – فَإِذَا قَالَ (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ ). قَالَ هَذَا بَيْنِى وَبَيْنَ عَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ. فَإِذَا قَالَ (اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ الضَّالِّينَ ). قَالَ هَذَا لِعَبْدِى وَلِعَبْدِى مَا سَأَلَ ».

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang shalat lalu tidak membaca Ummul Qur’an (yaitu Al Fatihah), maka shalatnya kurang (tidak sah) -beliau mengulanginya tiga kali-, maksudnya tidak sempurna.”

Maka dikatakan pada Abu Hurairah bahwa kami shalat di belakang imam.

Abu Hurairah berkata, “Bacalah Al Fatihah untuk diri kalian sendiri karena aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman: Aku membagi salat (makudnya al-fatihah) menjadi dua bagian, yaitu antara diri-Ku dan hamba-Ku dua bagian dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika hamba mengucapkan ’alhamdulillahi robbil ‘alamin (segala puji hanya milik Allah)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah memuji-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘ar rahmanir rahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang)’, Allah Ta’ala berfirman: Hamba-Ku telah menyanjung-Ku. Ketika hamba tersebut mengucapkan ‘maaliki yaumiddiin (Yang Menguasai hari pembalasan)’, Allah berfirman: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Beliau berkata sesekali: Hamba-Ku telah memberi kuasa penuh pada-Ku. Jika ia mengucapkan ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu kami menyebah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)’, Allah berfirman: Ini antara-Ku dan hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Jika ia mengucapkan ‘ihdiinash shiroothol mustaqiim, shirootolladzina an’amta ‘alaihim, ghoiril magdhuubi ‘alaihim wa laaddhoollin’ (tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan jalan orang yang sesat), Allah berfirman: Ini untuk hamba-Ku, bagi hamba-Ku apa yang ia minta.” (HR. Muslim no. 395).

Wirid Surat al-Fatihah 100 Kali

Terkait makna penjelasan al-fatihah, Gus Baha’ juga mengatakan bahwa al-fatihah memiliki ke pakeman (ketetapan) kata yaitu memuji Allah SWT,  maka dengan begitu Allah akan memberikan kenikmatan bagi hambanya yang memujiNya. Seperti halnya al-fatihah yang di awali dengan hamid (alhamdulillah) ini membuktikan bahwa al-fatihah adalah memuji Allah SWT. Bagi yang membaca al-fatihah akan diberikan kenikmatan oleh Allah. Dan kenikmatan ini memiliki bentuk macam-macam, bisa dari dasar kenikmatan yaitu iman, qodo’ dan qodar.

Sebab, nikmat itu adalah bentuk rasa percaya kita kepada Allah, memuji Allah adalah tanda kita percaya bahwa kita bersama Allah, maka jika terjadi musibah pada kita dan kita ikhlaskan dengan hati yang lapang, percaya bahwa itu kehendak Allah, sehingga kenikmatan akan muncul, dengan dibuktikannya hilangnya keresahan.

Beberapa ulama yang dikenal mengamalkan dan mengajarkan wirid membaca al-fatihah 100 kali di antaranya KH.Abdurrahman Wahid, KH.Hamim Jazuli (Gus Miek), KH.Achmad Shidiq (salah satu perumus Pancasila), KH.Abdul Hamid, KH.Dalhar, KH.Mundzir, dan sebagainya. Mereka dikenal memiliki spiritualitas tinggi. Beberapa bergelar waliyullah atau kekasih Allah yang makamnya selalu dibanjiri para peziarah.

Bahkan Gus Miek mengajarkan jika ingin mendapat manfaat membaca surat Al Fatihah 100 kali, merumuskan tata caranya. Dengan membangun sebuah tradisi berdzikir yang bernama Dzikrul Ghofilin, dimana inti ajarannya adalah mendekatkan diri kepada Allah lewat berdzikir. Menurut Gus Miek, tujuannya murni untuk kebahagiaan dan ketenangan  hati, baik di dunia maupun kelak di akhirat. wallahu a’lam[]

Surat al-Anfal [8] Ayat 2: Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an

0
ciri-ciri orang yang beriman
ciri-ciri orang yang beriman dalam al-Quran

Menjadi seorang muslim berarti menjadi orang yang beriman. Artinya, seseorang wajib meyakini adanya Allah swt, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, qada dan qadar­-nya. Tidak hanya itu, keimanan juga harus dimanifestasikan dengan syahadat, shalat, puasa, membayar zakat, dan melakukan ibadah haji. Dengan demikian, keabsahan iman seseorang juga dapat dilihat dari amal ibadahnya (iman dan amal), baik ibadah mahdah maupun ibadah sosial.

Menurut Imam Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, dan Ishaq bin Rawahih, seorang yang beriman adalah orang yang memiliki kepercayaan dan membenarkan dengan hati, mengakui secara lisan akan adanya Allah swt dan syariat-Nya serta melaksanakan berbagai tuntunan-Nya. Dalam konteks ini, iman adan amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Iman tanpa nilai aksiologis belum bisa dikatakan sebagai iman yang sesungguhnya.

Dalam beberapa kesempatan, nabi Muhammad saw juga senantiasa mengaitkan antara iman dan amal saleh. Beliau menegaskan bahwa seseorang yang beriman baru bisa dikatakan beriman secara sungguh-sungguh ketika ia mampu melaksanakan tuntunan agama, terutama berkenaan dengan kesalehan ritual dan sosial. Tanpa itu, keimanan seseorang tidak terbukti ibarat ungkapan kasih sayang seorang laki-laki kepada pujaan hati, namun di satu sisi ia menyakitinya.

Diriwayatkan dari Abu Syuraih ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda, “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Siapakah orang itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang itu adalah orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya. “(HR. Bukhari).

Pada hadis di atas, ungkapan “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman,” dilakukan secara berulang. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang akan dibahas perlu diperhatikan dengan saksama. Sebab, nabi Muhammad saw tidak pernah mengulang-ulang suatu pernyataan, kecuali pernyataan tersebut menyangkut sesuatu yang teramat penting. Dalam konteks ini adalah iman dan amal saleh.

Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an

Selain iman dan amal saleh, Al-Qur’an juga menyebutkan ciri-ciri lain dari orang yang beriman. Salah satu ayat yang menyebutkannya adalah surat al-Anfal [8] ayat 2 yang berbunyi:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ ٢

Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal [8] ayat 2).

Menurut Quraish Shihab, pada ayat ini Allah swt menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang beriman adalah mereka yang mantap imannya dan kukuh lagi sempurna keyakinannya serta membuktikan pengakuan tersebut degan perbuatan (iman dan amal). Misalnya, apabila disebutkan nama Allah, hati mereka gentar karena sadar akan kekuasaan, keindahan, dan keagungan-Nya.

Ciri-ciri orang yang beriman lain pada ayat ini adalah apabila mereka dibacakan oleh ayat-ayat Allah swt yakni Al-Qur’an, ayat-ayat itu menambahkan keimanan mereka lebih dalam dari keimanan sebelumnya. Cahaya iman masuk dan memancar ke hati mereka dan itu menghasilkan rasa tenang dalam menghadapi segala sesuatu sehingga hasilnya adalah mereka berserah diri kepada Allah swt secara yakin, tanpa keraguan sedikitpun. (Tafsir Al-Misbah [5]: 375).

Kata dzikr pada ayat ini mulanya bermakna mengungkapkan dengan lidah. Walaupun makna ini kemudian berkembang menjadi “mengingat”, namun mengingat sesuatu seringkali turut mengantarkan lidah untuk menyebutnya. Jika kata dzikir dikaitkan dengan sesuatu, maka yang dimaksud adalah mengingat nama atau sifat sesuatu tersebut. Oleh karena itu, makna dzukirallahu adalah mengingat nama Allah swt serta sifat-sifat-Nya mencakup keagungan, keindahan, dan kekuasaan. (Tafsir Al-Misbah [5]: 377).

Menurut Sayyid Quthub, kata wajilat qulubuhum menggambarkan getaran rasa yang menyentuh kalbu seorang mukmin ketika diingatkan tentang Allah swt, perintah atau larangan-Nya. Ketika itu jiwanya dipenuhi oleh keindahan dan ke-Maha Besaran Allah. Rasa inilah yang kemudian mendorongnya untuk menguatkan iman dan amalnya serta menjauhkannya dari segala perbuatan dosa.

Getaran yang dimaksud oleh Sayyid Quthub – jika dianalogikan maka itu gambaran kecilnya – mirip dengan getaran hati seseorang manakala merasakan kerinduan yang sangat mendalam terhadap kekasihnya. Jika nama kekasih tersebut atau sifatnya disebut, maka akan muncul getaran tak terlukiskan yang mendorongnya untuk mengingat sang kekasih dan hal tentangnya. Getaran ini hanya bisa dirasakan oleh orang benar-benar mengenal dan cinta terhadap-Nya.

Menurut Ibnu Asyur, alasan utama kenapa seseorang bertambah imannya ketika mendengar ayat-ayat Allah swt – selain karena kemantapan iman – adalah karena ayat-ayat Al-Qur’an mengandung mukjizat atau bukti kebenaran, sehingga setiap ayat yang turun atau berulang terdengar, maka ia menambah keyakinan pendengarnya tentang informasinya dan bahwa informasi tersebut pasti datang dari Sang Maha Benar, yakni Allah swt.

Hal ini telah dibuktikan oleh Kamil Abdus Samad dalam bukunya Al-I’jaz al-‘Ilmi Fi Al-Qur’an. Dalam penelitian tersebut, ia melakukan observasi dengan alat-alat canggih guna mengukur perubahan fisiologi terhadap sejumlah relawan sehat yang terdiri dari muslim dan non-muslim, yang mengerti bahasa Arab dan tidak. Hasil risetnya membuktikan bahwa adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai 97% bagi relawan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa orang yang beriman adalah mereka yang percaya kepada Allah swt dan melaksanakan tuntunan-Nya (iman dan amal). Ciri-ciri orang yang beriman itu diantaranya ialah bergetar hatinya ketika mengingat Allah swt, apabila mendengar ayat-ayat-Nya maka keimanannya bertambah, dan ia senantiasa bertawakal kepada-Nya. Semoga kita tergolong ke dalam firman Allah swt tersebut. Aamiin.

Tafsir Surah Yasin Ayat 32: Pada Akhirnya Semua Akan Menghadap Allah SWT

0
Yasin Ayat 32
Surat Yasin Ayat 32

Kebanyakan manusia menyia-nyiakan kesempatan baik. Entah itu disengaja atau terpaksa. Begitu banyak umat yang tidak bisa memanfaatkan kesempatan baik, sebagaimana umat-umat terdahulu yang telah disampaikan dalam artikel sebelumnya.

Penyesalan mereka dinyatakan oleh Allah swt secara langsung. Hal itu menunjukkan betapa kelirunya mereka yang memilih ingkar kepada utusan Allah dan pada akhirnya harus mempertanggung jawabkan perbuatannya kelak di hari Kiamat.

Di hadapan Allah seluruh manusia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya ketika di dunia. Terkait hal ini akan disampaikan tafsir surah Yasin ayat 32. Ayat ini sekaligus menjadi penutup kisah ashab al-qaryah yang telah dibahas mulai dari ayat 13 hingga ayat ke 32 ini. Adapun redaksi lengkapnya sebagai berikut:

وَاِنْ كُلٌّ لَّمَّا جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ ࣖ

“Dan setiap (umat), semuanya akan dihadapkan kepada Kami.”

Terdapat dua jenis bacaan dalam ayat ke 32 ini. Perbedaannya ditentukan oleh kata In (اِنْ). Apabila kata In (اِنْ) dianggap sebagai In nafiah (نافية اِنْ) yang bermakna tidak, maka lamma (لَّمَّا) dibaca lamma (لَّمَّا) dengan menggunakan tasdid di atas huruf mim. Maknanya seperti kata illa (الا).  Bacaannya seperti yang tertera di atas.

Apabila kata In (اِنْ) ini dianggap sebagai In mukhafafah min al-tsaqilah (مخففة من الثقيلة اِنْ) maka kata lamma (لَّمَّا) dibaca lama (لَّمَا) tanpa tasydid di atas huruf mim. Maka hasilnya dibaca:

وَاِنْ كُلٌّ لًمَا جَمِيْعٌ لَّدَيْنَا مُحْضَرُوْنَ

Hal ini dikemukakan hampir oleh mayoritas mufassir, semisal al-Thabari, al-Zamakhsyari, Ibnu ‘Asyur, maupun Ibnu Katsir. Namun yang terpenting adalah makna dari perbedaan qiraat tersebut sama, sebagaiman ditegaskan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim.

Thabari, meriwayatkan dari Qatadah bahwa maksud dari ayat di atas adalah hari kiamat. Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa kelak seluruh makhluk akan dikumpulkan di hadapan Allah swt, baik yang terdahulu maupun yang akan datang.

Kata yang menunjukkan makna pengumpulan tersebut adalah kata kullun (كُلٌّ) dan kata jami’un (جَمِيْعٌ). Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa tanda tanwin pada kata kullun (كُلٌّ) menunjukkan adanya pembuangan kata. Kata yang dibuang menurut Wahbah Zuhaili adalah al-qurun (القرون) jika disusun menjadi kullu al-qurun (كل القرون) yang berarti seluruh manusia.

Sedangkan kata jami’un (جَمِيْعٌ) menurut Quraish Shihab bermakna menghimpun. Bukan bermakna seluruhnya. Karena makna seluruhnya sudah tercukupi dalam kata kullun (كُلٌّ). Lebih lanjut, Quraish Shihab mengatakan bahwa kata jami’un (جَمِيْعٌ) ini bermakna bahwa semua generasi itu dihimpun dalam waktu yang sama dan ditempat yang sama. Ayat ini serupa dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 103, yaitu:

اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لِّمَنْ خَافَ عَذَابَ الْاٰخِرَةِ ۗذٰلِكَ يَوْمٌ مَّجْمُوْعٌۙ لَّهُ النَّاسُ وَذٰلِكَ يَوْمٌ مَّشْهُوْدٌ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu pasti terdapat pelajaran bagi orang-orang yang takut kepada azab akhirat. Itulah hari ketika semua manusia dikumpulkan (untuk dihisab), dan itulah hari yang disaksikan (oleh semua makhluk).”

Al-Zamakhsyari mengatakan bahwa penghimpunan ini dalam konteks penyiksaan. Maka dari itu kiranya kita patut untuk berhati-hati agar kelak pada hari kiamat kita tidak termasuk golongan orang-orang yang akan disiksa oleh Allah swt akibat perbuatan buruk yang dilakukan ketika di dunia. Manfaatkan kesempatan sebaik-baiknya untuk menjadi pribadi terbaik agar kelak pada hari kiamat dikumpulkan bersama orang-orang yang salih.

Kiranya sekian penjelasan singkat tafsir surat Yasin ayat 32. Nantikan penjelasan berikutnya. Wallahu A’lam bi al-Sawab.[]

Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

0
ibrah kisah nabi yusuf: menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim
ibrah kisah nabi yusuf: menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim

Tatkala Raja Mesir tertarik dengan kemampuan Nabi Yusuf dan hendak menjadikannya salah satu pejabat Mesir, Nabi Yusuf tidak menolaknya malah justru meminta jabatan sebagai bendahara kerajaan. Sikap ini memunculkan diskusi tersendiri di antara para pakar tafsir. Di antara diskusi tersebut adalah, bagaimana pandangan Al-Quran terkait menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim? Tidak banyak ahli tafsir menyinggung masalah ini di dalam tafsirnya. Tulisan ini akan mencoba mengemukakan pendapat Imam Al-Qurthubi terkait masalah ini.

Nabi Yusuf Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Allah berfirman dalam Surat Yusuf Ayat 54-55

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ () قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang dekatku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf [12]: 54-55).

Para ahli tafsir dalam beberapa kitab tafsir menerangkan, tindakan Nabi Yusuf meminta jabatan dalam ayat di atas bukanlah suatu kesalahan dan tidaklah bertentangan dengan keterangan hadis.

Hal ini disebabkan Nabi Yusuf melihat bahwa hanya dirinyalah yang dapat bertindak secara adil dan menerapkan hukum Allah pada jabatan tersebut. Maka bisa jadi Nabi Yusuf tidak memiliki pilihan selain meminta jabatan tersebut.

Baca Juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Namun diskusi terkait tindakan Nabi Yusuf yang terkesan “tabu” itu tidak berhenti disitu. Diskusi berlanjut dengan persoalan bagaimana bisa Nabi Yusuf membiarkan dirinya bekerja di bawah kepemimpinan non-muslim? Bukankah berkerja di bawah kepemimpinan raja yang tidak mengerti hukum Islam, hanya akan berujung membantu terlaksananya kebijakan-kebijakan yang bisa jadi bertentangan dengan hukum Islam?

Komentar Imam Al-Qurthubi

Sebelum ke pendapat Imam Al-Qurthubi, Al-Qasimi mengutip pendapat Mujahid bahwa  Raja yang berkuasa pada masa Nabi Yusuf itu sudah masuk Islam. Jika seperti ini maka tidak ada persoalan berikutnya. Namun jika belum masuk Islam, ini kemudian yang dikomentari lebih lanjut oleh Al-Qurthubi.

Imam Al-Qurthubi mengutip pendapat sebagian ulama’, bahwa di dalam ayat di atas ada petunjuk yang membolehkan seseorang yang mulia, menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim, bahkan pemimpin yang zalim sekalipun.

Tindakan tersebut diperbolehkan selama ia tahu bahwa sang pemimpin tidak memintanya mengerjakan sesuatu yang bertentangan dirinya, sehingga ia bisa melakukan “perbaikan-perbaikan” pada hal-hal yang dikehendakinya. Berbeda bila kemudian sang pemimpin memintanya mengerjakan sesuatu berdasar kehendaknya yang melenceng dari kebenaran, maka tidak boleh (Tafsir Al-Qurthubi/9/181).

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

Di dalam keterangan di atas, kutipan Imam Al-Qurthubi tidak membahasakan “sang pejabat” sebagai seorang muslim. Namun sebagai orang yang mulia “al-Fadhil”. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa tindakan seorang yang soleh bekerja di sebuah lembaga yang dipimpin oleh orang muslim yang zalim atau non muslim, tidak lantas akan mencederai kesolehannya.

Juga, kutipan Imam Al-Qurthubi tidak bicara hanya terkait bekerja di lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh seorang muslim yang zalim, tapi juga non-muslim. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan akidah tidak menjadi penghalang seorang muslim bekerja di lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh seorang non-muslim.

Asal dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan, ia tidak di bawah kendali penuh sang pemimpin. Dalam arti harus melaksanakan kebijakan sang pimpinan meski itu bertentangan dengan syariat Islam yang dianutnya.

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya juga sempat menyinggung, bahwa ada beberapa ulama’ yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi Yusuf hanya diperbolehkan khusus pada Nabi Yusuf saja. Untuk zaman sekarang, hal itu tidak diperbolehkan.

Namun Imam Al-Qurthubi kemudian menyatakan bahwa pendapat yang pertama, yaitu yang menyatakan boleh dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh beliau dan tidak terkhusus pada diri Nabi Yusuf, itu lebih kuat.

Baca Juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

Pandangan-pandangan yang dikemukakan Imam Al-Qurthubi ini memberi tahu kita bahwa Islam tidak melarang kita menjadi pejabat di sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh orang Islam yang zalim dan bahkan non-muslim.

Hanya saja, hukum ini memiliki syarat, yaitu asal tindakan kita tidak kemudian justru ikut membantu terlaksananya kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan syariat, serta dengan harapan jabatan dan amanah tersebut dapat mempermudah kita untuk melakukan perbaikan-perbaikan tata aturan pemerintahan yang tidak sesuai dengan agama Islam.

Tidak terlalu berbeda dengan penjelasan Al-Qasimi dalam Mahasin At-Ta’wil, ia mengutip pendapat dari Qatadah bahwa keputusan Nabi Yusuf untuk menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim itu menunjukkan bahwa hal yang serupa itu boleh, tentu dengan syarat seperti sebelumnya. Wallahu A’lam

Mengenal Prinsip-Prinsip Interpretasi ala Abdullah Saeed

0
penafsiran kontekstual abdullah saeed
penafsiran kontekstual abdullah saeed

Sebenarnya gagasan penafsiran kontekstual ala Abdullah Saeed bukanlah hal yang baru dalam dunia penafsiran Al-Quran. Jauh sebelum itu, di era awal Islam, sahabat Umar bin Khattab telah melakukan penafsiran kontekstual, misalnya, keputusannya untuk tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi si pencuri, tidak membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada pasukannya pasca perang penaklukan Irak, dan sebagainya.

Keputusan kontroversial Umar menuai kecaman dari berbagai pihak. Dan hal-hal semacam ini banyak sekali terjadi di era sahabat bahkan di hadapan Nabi saw sekalipun. Umar memang banyak melakukan kontekstualisasi yang acap kali kontroversial, namun ia memiliki alasan kuat dibalik semua itu.

Dalam konteks inilah, Abdullah Saeed mencoba mengelaborasikan kembali gagasan itu agar penafsiran Al-Quran dapat dilakukan secara kontekstual guna menjawab problem kemanusiaan di era kekinian yang semakin kompleks.

Beberapa Prinsip Interpretasi

Abdullah Saeed dalam Intepreting the Quran: Towards A Contemporary Approach mengemukakan beberapa prinsip dalam melakukan sebuah interpretasi kontekstual, di antaranya.

Pertama, kompleksitas makna teks. Menurut Saeed, suatu teks – baik bahasa Arab maupun bahasa lain – masing-masing memiliki komplekstiasnya sehingga tidak dapat digeneralisir dalam memahaminya. Lebih dari itu, untuk menangkap esensi makna teks tersebut, maka seseorang harus menyesuaikan dengan entitas mental penerima pesan (wahyu) serta perkembangan linguistik maupun sosio-historisnya.

Kedua, keseimbangan objektivitas-subjektivitas dalam memberikan batasan teks. Inilah yang membedakan Saeed dengan Rahman. Meskipun pada bagian tertentu ia mendasarkan argumentasi dasarnya kepada Rahman, namun Saeed tidak taklid buta, termasuk dalam hal ini.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Saeed tidak menolak subjektivitas secara total dan tidak pula mementahkan ojektivitas dalam menafsirkan, melainkan bagaimanapun dalam penafsiran tentu memiliki “aturan main” yang melahirkan batasan-batasan dalam menentukan sebuah makna. Dalam konteks ini, penafsir tidak boleh meluapkan syahwat birahinya (emosinya, mazhabnya, kepentingannya, dst) sesukanya dalam melakukan kerja penafsiran.

Ketiga, ayat yang berkaitan ethico-legal sebagai diskursus. Menurut Saeed, kelompok tekstualis dan mufasir klaisk hanya “memperlakukan” AL-Quran sebagai kajian semantik. Hal ini bisa dilihat dalam kitab tafsir klasik yang sebagian besar berfokus pada pemaknaan antara kata atau gramatikal teks. Padahal, lebih dari itu. Al-Quran diturunkan sebagai sebuah fenomena yang hidup, di mana ia diresepsi, diresitasi maupun sebagai diskursus akademik. Pandangan ini juga disetujui oleh pendahulunya yaitu Farid Esack dalam Quran, Liberation, and Pluralism dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulum Al-Quran.

Keempat, melacak makna literal teks sebagai langkah awal penafsiran. Saeed merasa hal ini adalah sangat penting guna mengetahui asal-usul dan bentuk aplikatif dari teks tersebut di era masyarakat awal Islam (masa kewahyuan). Sebab dari hal ini nanti akan memberikan jalan keluar sekaligus mengeliminir agar sang penafsiran tidak berpikir liar atau imajinatif-liberatif.

Kelima, pemahaman terhadap konteks sosio-historis. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Al-Quran tidak turun dalam ruang hampa, namun ia diwahyukan dalam suatu masa dan peradaban masyarakat Arab kala itu. Sehingga mau tidak mau jika hendak memahaminya maka dibutuhkan upaya untuk memahami konteks sosio-historis Arab kala itu juga.

Kendati demikian, menelusuri hanya pada asbabun nuzul tidaklah cukup, perlu lebih dari itu, yaitu mengetahui sirah Nabi Muhammad saw secara mendetail baik di Makkah maupun Madinah, spritualitas di Arab, kondisi sosial-budaya, ekonomi, politik dan seterusnya.

Keenam, hirarki nilai dalam teks ethico-legal. Harus kita akui Rahman telah lebih dulu mempertanyakan tentang hirarki ayat ethico-legal, namun ia sendiri tidak mengidentifikasinya terlalu dalam. Nah, formulasi hirarki nilai yang digagas Abdullah Saeed ini merupakan sumbangsih besar Saeed terhadap double movement-nya Rahman. Ia melengkapi celah kekurangan dari pendahulunya. Berikut identifikasinya,

Hirarki Nilai dalam Ayat Ethico-Legal

Pertama, Obligatory values (nilai-nilai yang bersifat wajib). Nilai-nilai ini berkaitan dengan ayat-ayat yang bersifat kewajiban (tidak dapat diotak-atik). Misalnya, ayat keimanan, peribadatan, halal-haram. Ayat-ayat ini terulang beberapa kali dan tidak akan berubah di manapun dan kapanpun (bersifat universal).

Baca juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Kedua, Fundamental values (nilai-nilai fundamental). Saeed juga mengidentifikasi bahwa ayat yang diulang beberapa kali menunjukkan bahwa ia merupakan bagian ajaran fundamental. Seperti, ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. Atau dalam terminologi al-Syathibi disebut dengan maqasidus syariah (hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz al-nasl, hifdz al-mal). Atau dalam kajian Rahman, nilai ini disebutnya sebagai prinsip umum (universal principle).

Ketiga, protectional values (nilai-nilai proteksional). Nilai ini merupakan derivasi dari nilai fundamental. Fungsinya tidak lain tidak bukan adalah menjaga eksistensi nilai fundamental. Misalnya, nilai fundamental seperti dalam maqasdi, ambil contoh menjaga harta, maka nilai proteksinya adalah dilarang mencuri. Lalu menjaga keturunan, nilai proteksinya adalah dilarang berzina, dan seterusnya.

Keempat, Implementational values (nilai-nilai implementasional). Nilai ini befungsi untuk menegakkan nilai proteksional. Seperti larangan mencuri, maka ia akan diberlakukan hukuman tertentu, potong tangan atau penjara misalnya. Akan tetapi, Saeed berpendapat bagwa nilai-nilai implementasional ini tidak berlaku secra unievrsal, sebab ada banyak hal yang perlu diperhatikan misalnya, ‘illat hukum yang berbeda, setting sosial, realitas sejarah, dan sebagainya. Yang menyebabkan suatu kondisi di mana hukum juga mengandugn pengecualiann (istisna’) dari hukum awal karena alasan-alasan atau sebab tertentu.

Kelima, Instructional values (nilai-nilai instruksional). Nilai ini berkaitan tentang persoalan yang berlaku khusus pada masa pewahyuan. Bisa berupa larangan atau perintah. Karena nilai-nilai ini berkaitan dengan kondisi pewahyuan, maka belum tentu sifatnya universal.

Saeed menyebutkan bahwa sebagian besar nilai dalam Alquran adalah instruksional itu sendiri. Ayat-ayat semacam ini sangatlah banyak dalam Al-Quran. Bahkan, saking banyaknya nilai inilah yang paling sulit untuk dipahami. Misalnya, perintah berpoligami (An-Nisa‘ [4]: 3), perintah laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan (AnNisa‘ [4]: 34-35), tidak mejadikan orang kafir sebagai kolega (An-Nisa‘ [4]: 89,90), dan lainnya. Wallahu A’lam.