Beranda blog Halaman 432

Menelisik Makna Sifat Shamadiyah dan Wahidiyah Allah SWT dalam Surat al-Ikhlas Ayat 1-4

0
Sifat Shamadiyah dan Wahidiyah Allah SWT dalam Surat al-Ikhlas Ayat 1-4
Sifat Shamadiyah dan Wahidiyah Allah SWT dalam Surat al-Ikhlas Ayat 1-4

Surat al-Ikhlas ayat 1-4 merupakan surat yang diturunkan di kota Makkah, sehingga termasuk golongan surat Makiyyah. Adapun secara keseluruhan, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikh Ali al-Sabuni bahwa surat al-Ikhlas ini menjelaskan tentang sifat-sifat Allah yakni Wahid al-Ahad (Yang Maha Esa), Allah adalah dzat yang memiliki sifat-sifat yang sempurna, dzat yang dituju selamanya  (al-Samad), dzat yang tidak butuh pada siapapun, dzat yang disucikan dari sifat-sifat kekurangan dan Allah disucikan dari sesuatu yang menyamai atau menyerupai-Nya.

Tentu hal ini juga sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyembah selain Allah atau menyembah Allah dengan perantara mahluk.

 Pendapat Para Mufassir Mengenai Isi Kandungan Surat al-Ikhlas Ayat 1-4

  1. Tafsir Surat al-Ikhlas Ayat 1

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1

“Katakanlah Muhammad, Dialah Allah, Yang Maha Esa”

Syaikh Ali al-Sabuni dalam tafsirnya Safwah at-Tafasir menyebutkan maksud dari ayat tersebut bahwa Nabi Muhammad diperintah oleh Allah SWT agar mengatakan kepada kaum musyrik yang mengolok-olok, dengan perkataan berikut:

“Sesungguhnya Tuhanku (Allah) adalah dzat yang aku sembah, Ia adalah dzat yang menyeru kalian agar menyembah-Nya. Allah adalah dzat yang Maha Esa, tidak ada yang menyamai-Nya baik dalam segi dzat atau sifat-Nya, tidak juga dari segi Af’al-Nya. Allah adalah dzat yang Maha Agung dan Mulia serta Maha Esa” (Ali al-Sabuni, 1997: 594)

Tidak seperti pemahamannya orang Nasrani yang mana mereka meyakini Allah dengan istilah trinitas (satu Allah dalam tiga pribadi), tidak juga seperti keyakinan kaum musyrik yang menyembah terhadap banyak Tuhan. Al-Saabuni juga mengutip pendapat dalam kitab “Tashil” bahwa Allah SWT disifati dengan sifat al-Wahid (Maha Esa) maka, hal ini memiliki tiga makna. Pertama, Allah swt adalah Tuhan Maha Esa, tidak ada duanya, maka, hal ini menafikan segala Tuhan selain Allah.

Baca juga: Kecaman Al-Quran Terhadap Perilaku Korupsi: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161

Kedua, Allah swt Maha Esa yakni tidak ada yang menyerupai-Nya, seperti halnya kita mengatakan “si fulan itu hanya dia di daerahnya, tidak ada yang menyamainya di situ”. Ketiga, Allah yang Maha Esa ialah dzat yang tidak dapat dibagi-bagi. Sementara maksud dari surat ini yaitu untuk meniadakan pemahaman bahwa Allah swt serupa dengan lainnya serta menjawab pertanyaan dari kaum musyrik.

  1. Tafsir Surat al-Ikhlas Ayat 2

اللَّهُ الصَّمَدُ (2

“Allah tempat meminta segala sesuatu.”

Maksud dari ayat kedua dari surat al-Ikhlas, Allah adalah dzat yang dituju dalam memenuhi segala hajat manusia sebab Allah swt Maha Kuasa atas permintaan hamba-Nya.

Lebih jelasnya Syaikh Wahbah Zuhaili dalam “Tafsir al-Munir” mengatakan Allah adalah dzat yang dituju oleh setiap mahluk, tidak ada yang mampu selain Allah, Ia dzat Yang Maha Kaya. Sehingga, hal ini sebagai bantahan terhadap keyakinan kaum musyrik Arab atau selainnya yang meminta permohonan kepada Allah melalui perantara patung atau tuhan-tuhan mereka. (Wahbah Zuhaili, 2001: 447)

Penafsiran pada ayat kedua yang telah dijelaskan di atas, selaras dengan penafsiran al-Sa’di yang menyatakan bahwa Allah adalah dzat yang dituju dalam segala hajat baik oleh ahli ilmu dari kalangan bangsawan atau salafi, mereka semua butuh kepada Allah swt dengan kebutuhan yang sangat, mereka memohon kepada Allah tentang hajat-hajat mereka dengan sungguh-sungguh. (Al-Sa’di, 2000: 937)

Baca juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Selamat dalam Pelayaran

  1. Tafsir Surat al-Ikhlas Ayat 3

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3

“(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.”

Imam al-Baidhawi dalam “Anwar al-Tanzil wa al-Asrar al-Ta’wilmenyatakan Allah swt tidak beranak sebab Allah swt tidak ada yang menyamai-Nya, dan Allah tidak butuh terhadap sesuatu untuk menentukan dan terhadap sesuatu yang bertentangan, berbeda dengan manusia yang tentu membutuhkan alat untuk mengetahui keadaan dirinya.

Menurut beliau, ayat kedua ini juga menolak terhadap orang yang mengatakan bahwa para malaikat adalah anak Allah swt atau al-Masih adalah anak Allah. Sementara yang dimaksud potongan ayat Walam Yulad (Allah tidak diperanakkan) yakni karena Allah swt tidak butuh terhadap apapun dan Allah tidak akan binasa.

Sementara menurut Syaikh Abu Laits al-Samarqandi dalam kitabnya “Bahr al-Ulum” maksud dari potongan ayat “Lam Yalid Walam Yulad” yakni Allah tidak memiliki anak untuk diwariskan kepada anak tersebut kekuasaan-Nya.

  1. Tafsir Surat al-Ikhlas Ayat 4

وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia”

Maksud dari ayat ini, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Mujahid yang dinukil oleh Imam Ibnu Katsir yaitu Allah tidak memiliki istri sebagaimana firman Allah swt yang berbunyi:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ

“Dia (Allah) Pencipta langit dan bumi. Bagaimana (mungkin) Dia mempunyai anak padahal dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu.”

Maksudnya yaitu Allah swt adalah dzat yang Maha Memiliki terhadap segala sesuatu dan Allah swt menciptakannya. Oleh sebab itu, bagaimana bisa dari ciptaan-Nya yang menyamai Allah swt? Allah swt disucikan dan dibersihkan dari penyamaan tersebut.

Senada dengan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi yang juga menyatakan demikian sebab Allah swt juga berfirman:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada yang menyerupai Allah”

Oleh sebab itu, dapat kita ketahui bahwa Allah swt memiliki sifat (al-Ahadiyah dan al-Shamadiyah). Sifat al-Ahadiyah adalah Allah swt Maha Esa baik dalam segi dzat, sifat dan af’al-Nya, tidak ada yang menyerupai dan yang setara dengan-Nya. Al-Samadiyah ialah Allah swt tidak butuh terhadap siapapun dan sebaliknya, mahluk butuh pada Allah swt sebagaimana yang telah kita ketahui mengenai sifat-sifat dan tanda-tanda kekuasaan Allah swt. (Abu Bakar al-Jazairi, 2003: 629). wallahu a’lam[]

 

Tafsir Surat Al A’raf ayat 57

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 57 ini menjelaskan tentang proses hujan yang menjauhkan manusia dari rasa haus dan lapar.


Baca Juga: Musim Hujan Tiba, Inilah 2 Fungsi Hujan dalam Al-Quran


Ayat 57

Tafsir surat Al A’raf ayat 57 ini Allah menegaskan bahwa salah satu karunia besar yang dilimpahkan kepada hamba-Nya ialah menggerakkan angin sebagai tanda bagi kedatangan nikmat-Nya yaitu angin yang membawa awan tebal yang dihalaunya ke negeri yang kering yang telah rusak tanamannya karena ketiadaan air, kering sumurnya karena tak ada hujan dan penduduknya menderita karena haus dan lapar.

Lalu Dia menurunkan di negeri itu hujan yang lebat sehingga negeri yang hampir mati itu menjadi subur kembali dan sumur-sumurnya penuh berisi air dengan demikian hiduplah penduduknya dengan serba kecukupan dari hasil tanaman-tanaman itu yang berlimpah-ruah.

Mengenai peran hujan yang “menghidupkan” lahan yang “mati” yang disebutkan dalam Al-Qur’an sudah dianalisa oleh para pakar ilmu pengetahuan karena  hujan, di samping membawa butiran air, suatu materi yang penting untuk kehidupan semua mahluk hidup di dunia, ternyata butiran air hujan juga membawa serta material yang berfungsi sebagai pupuk.

Saat air laut yang menguap dan mencapai awan, ia mengandung sesuatu yang dapat merevitalisasi daratan yang mati. Butiran air hujan yang mengandung bahan-bahan revitalisasi tersebut biasa dikenal dengan nama “surface tension droplets”.  Bahan-bahan ini diperoleh dari lapisan permukaan laut yang ikut menguap. Pada lapisan tipis dengan ketebalan kurang dari seper-sepuluh milimeter dan biasa disebut “lapisan mikro” oleh para ahli biologi ini, ditemukan banyak serasah organik yang berasal dari dekomposisi algae renik dan zooplankton.

Beberapa serasah ini mengumpulkan dan menyerap beberapa elemen, seperti fosfor, magnesium dan potasium, yang jarang diperoleh di dalam air laut.  Serasah ini juga menyerap logam berat seperti tembaga, zink, cobalt dan lead.  Tanaman di daratan akan memperoleh sebagian besar garam-garam mineral dan elemen lainnya yang diperlukan untuk pertumbuhannya bersamaan dengan datangnya air hujan.

Garam-garam yang turun bersama air hujan, merupakan suatu miniatur dari pupuk yang biasa digunakan dalam pertanian (Natrium, Potasium, Kalium dan sebagainya).  Logam berat di udara akan membentuk elemen yang akan meningkatkan produktivitas pada saat pertumbuhan dan pembuahan tanaman.

Dengan demikian, hujan adalah sumber pupuk yang sangat penting.  Dengan pupuk yang dikandung pada butiran hujan saja, dalam waktu 100 tahun, tanah yang miskin hara dapat mengumpulkan semua elemen yang diperlukan untuk tumbuhnya tanaman.  Hutan juga tumbuh dan memperoleh keperluan hidupnya dari semua bahan kimia yang berasal dari laut.

Dengan cara demikian, setiap tahun sekitar 150 ton pupuk jatuh ke bumi.  Tanpa  mekanisme ini, maka mungkin jumlah jenis tanaman tidak akan sebanyak yang kita ketahui saat ini dan kemungkinan ketidak seimbangan ekologi dapat juga terjadi.;Memang tidak semua negeri yang mendapat limpahan rahmat itu, tetapi ada pula beberapa tempat di muka bumi yang tidak dicurahi hujan yang banyak, bahkan ada pula beberapa daerah dicurahi hujan tetapi tanah di daerah itu hilang sia-sia tidak ada manfaatnya sedikit pun. Mengenai tanah-tanah yang tidak dicurahi hujan itu Allah berfirman:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يُزْجِيْ سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهٗ ثُمَّ يَجْعَلُهٗ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلٰلِهٖۚ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ جِبَالٍ فِيْهَا مِنْۢ بَرَدٍ فَيُصِيْبُ بِهٖ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَصْرِفُهٗ عَنْ مَّنْ يَّشَاۤءُۗ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهٖ يَذْهَبُ بِالْاَبْصَارِ ۗ

Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menjadikan awan bergerak perlahan, kemudian mengumpulkannya, lalu Dia menjadikannya bertumpuk-tumpuk, lalu engkau lihat hujan keluar dari celah-celahnya dan Dia (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran es) itu kepada siapa yang Dia kehendaki dan dihindarkan-Nya dari siapa yang Dia kehendaki. Kilauan kilatnya hampir-hampir menghilangkan penglihatan. (an-Nur/24: 43)

Menurut ayat ini  hujan lebat yang disertai hujan es itu tidak tercurah ke seluruh pelosok di muka bumi, hanya Allah-lah yang menentukan di mana hujan akan turun dan di mana pula awan tebal itu sekadar lewat saja sehingga daerah itu tetap tandus dan kering.


Baca Juga: Inilah Empat Manfaat Hujan dalam Al Quran


 

Hidayatus Shibyan, Kitab Tajwid Dasar Yang Banyak Diajarkan Di Pesantren

0
Hidayatus Shibyan
Hidayatus Shibyan

Pesantren mengenalkan ilmu-ilmu Al-Qur’an kepada umat Islam pertama-tama mulai dari ilmu yang berkutat dengan bacaan Al-Qur’an, atau biasa dikenal dengan Ilmu Tajwid. Salah satu kitab tentang ilmu tajwid yang diajarkan ditingkat paling dasar adalah kitab Hidayatus Shibyan. Kitab ini diajarkan sebelum mulai mempelajari kitab yang agak lebih tebal seperti kitab Al-Muqaddimah Al-Jazariyah.

Tulisan ini akan sedikit mencoba mengulas profil penyusun dari kitab tersebut. Hal ini mengingat bahwa Hidayatus Shibyan tidak hanya populer di kalangan pesantren-pesantren, tapi juga madrasah-madrasah diniyah di pelosok-pelosok desa. Mengenal kitab ini akan membantu memahami mengapa kitab ini menjadi populer dan dipercaya oleh para pengajar Al-Qur’an di Indonesia.

Sekilas Penyusun Kitab Hidayatus Shibyan

Kitab ini merupakan kitab tajwid dasar dengan salah satu kelebihan disusun terdiri dari bait-bait syair, atau di kalangan pesantren biasa dikenal dengan istilah nadham. Kitab yang tersusun dari bait-bait syair memiliki gaya tarik tersendiri sebab bentuknya yang berupa syair, dapat kemudian dimanfaatkan untuk lantunkan bersama-sama menggunakan salah satu lagu yang populer kala itu. Cara ini selain membuat para murid merasa terhibur, juga memudahkan mereka untuk menghafalnya.

Baca Juga: Hukum Mim Sukun dalam Ilmu Tajwid dan Contohnya dalam Al-Quran

Penamaan Hidayatus Shibyan sendiri muncul berdasar keterangan penyusunnya di bait ketiga. Penyusunnya menyatakan:

سَمَّيْتُهُ هِدَايَةَ الصِّبْيَان ### أَرْجُوْ إِلٰهِيْ غَايَةَ الرِّضْوَانِ

Aku menamai kitab ini dengan “Hidayatus Shibyan” ### aku berharap kepada tuhanku, dengan kitab ini aku memperoleh ridha-nya yang paling besar

Penyusun kitab ini adalah Syaikh Sa’id ibn Sa’d An-Nabhani Al-Hadrami. Lahir tahun 1300 H  di Yaman dan wafat tahun 1354 H di tempat yang sama. Syaikh Sa’id ibn Sa’d adalah seorang ulama’ yang ahli dalam bidang Bahasa, fikih serta berpengetahuan luas perihal ilmu terkait membaca Al-Qur’an. Beliau mengarang beberapa karya tentang ilmu tajwid, gramatikal arab, tauhid dan tasawuf.

Ada hal menarik yang diungkapkan di dalam kitab Natsrul Jawahir; sebuah kitab yang memuat biografi ulama’-ulama’ di kurun 14, bahwa Syaikh Sa’id ibn Sa’d An-Nabhani meski berasal dari Yaman, pernah melakukan kunjungan ke Indonesia atau lebih tepatnya ke Surabaya. Kunjungan ini merupakan kunjungan dakwah atau dalam rangka menyebarkan ilmu serta ikut membantu permasalahan yang menimpa para Sayyid Alu Ba’lawi di Jawa. Di Surabaya beliau sempat mengajar ilmu gramatikal arab, bacaan-bacaan Al-Qur’an dan hadis (Natsrul Jawahir/469).

Beberapa artikel di media internet menyebutkan, Syaikh Sa’id Nabhan merupakan saudara dari Salim Nabhan; salah satu pendiri percetakan ktab-kitab agama Islam yang cukup terkenal sejak zaman sebelum kemerdekaan. Kalau memang informasi ini benar, maka bisa jadi Salim Nabhan ini ikut andil dalam tersebarnya kitab karya saudaranya tersebut. Hanya saja, penulis belum dapat memastikan kevalidan informasi ini.

Tentang Kitab Hidayatus Shibyan

Kitab Hidayatus Shibyan adalah kitab yang terdiri dari 40 bait syair. Bila dibandingkan dengan kitab-kitab tajwid lain yang biasa digunakan di pesantren seperti Al-Muqaddimah Al-Jazariyah, kitab ini bisa dibilang lebih ringkas dalam mengulas ilmu tajwid. Sehingga cocok untuk pelajar tingkat dasar.

Dalam 40 bait, Hidayatus Shibyan mengulas tentang 4 hukum bacaan terkait nun mati dan tanwin, ghunnah dalam nun dan mim tasydid, alif lam ta’rif serta huruf mad dan pembagiannya. Kitab ini tidak mengulas tentang makhraj huruf maupun sifat-sifatnya, kecuali sifat tafkhim dan qalqalah.

Baca Juga: Hukum Nun Sukun dan Tanwin dalam Ilmu Tajwid

Kitab ini juga tidak mengulas bacaan-bacaan yang tidak sering muncul di dalam Al-Qur’an, seperti isymam, imalah dan selainnya. Juga tidak mengulas hukum-hukum semacam tartil, adab membaca Al-Qur’an dan selainnya.

Kitab tajwid dasar ini memiliki tiga syarah. Yaitu Mursyidul Wildan karya Syaikh Sa’id ibn Sa’d sendiri, Irsyadul Ikhwan karya Muhammad Al-Hadad ibn ‘Ali ibn Khalaf Al-Husaini dan Bahjatul Ikhwan karya Muhsin ibn Ja’far ibn Abi Numay. Di Indonesia sendiri, kitab ini di beberapa tempat dicetak dan dipakai bersama terjemahnya yang berjudul Syifaul Jinan Fi Tarjamati Hidayatus Shibyan, karya Ahmad ibn Muthahhar ibn Abdurrahman, Mranggen, Semarang. Sebuah terjemah yang bisa saja disebut sebagai syarah sebab cukup panjang lebar mengulas tiap bait dari Hidayatus Shibyan, meski dengan Bahasa Jawa.

Jejak Manuskrip Qiraat Al-Quran di Kalimantan Selatan

0
manuskrip al-quran
manuskrip al-quran

Sebagai bagian dari wilayah Nusantara sejarah kajian Al-Quran di Kalimantan Selatan tentu memiliki kesamaan dan perbedaan serta sekaligus memiliki hubungan yang erat dengan sejarah kajian Al-Quran di Nusantara. Sayangnya kajian Al-Quran di Kalimantan Selatan minim dikaji oleh para peneliti bahkan lebih kabur dibanding sejarah Islam Nusantara.

Salah satu ulama yang berkontribusi dalam kajian manuskrip Al-Quran di Nusantara terutama wilayah Kalimantan Selatan adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau menulis satu naskah mushaf Al-Quran pada abad ke-18 atau satu lebih awal dari hasil penelitian Wawan Djunaedi dalam Sejarah Qiraat Al-Quran di Nusantara. Artikel ini berfokus pada kajian manuskrip Al-Quran karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Berikut penjelasannya.

Manuskrip Al-Quran di Kalimantan Selatan

Manuskrip Al-Quran Syekh Muhammad Arysad al-Banjari yang dimaksud dalam artikel ini ialah mushaf Al-Quran yang ditulis tangan langsung oleh Syekh Arsyad al-Banjari (handschriften). Mengutip Fathullah Munadi dalam Mushaf Qiraat Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dalam Sejarah Qiraat Nusantara menjelaskan bahwa hal ini seperti dituturkan oleh Abu Daudi bahwa mushaf karya Syekh Arsyad ini merupakan salah satu otografi Syekh Arsyad selain karya Fatawa Sulaiman Kurdi dari beberapa naskah salinan yang masih ada pada beliau.

Menurut Abu Daudi (KH. Irsyad Zein) pada 20 Maret 2009 di Dalam Pagar, Martapura bahwa Syekh Arsyad mulai menulis mushaf ini pada tahun 1193 H/ 1779 M dan tidak diketahui kapan selesainya. Melalui mushaf ini juga Syekh Arsyad mengaktualisasikan rasa estetisnya dalam membuat lukisan atau ornamen. Dan pada bagian awal setiap pembuka surat dituliskann kaligrafi dan beberapa hiasan dengan menggunakan motif bunga.

Kaligrafi yang terukir pada awal surat tersebut menerangkan nama surat, jumlah ayat dan klasifikasi Makki atau Madani. Mushaf ini ditulis dengan khat Naskhi dan sesuai dengan kaidah rasm Utsmani serta berlandaskan qiraat riwayat Hafs (w. 180 H) dari Imam ‘Ashim (w. 127 H), serta dilengkapi catatan qiraat lain ditepinya. Pengukiran kaligrafi tersebut menunjukkan penguasaan Syekh Muhammad Arsyad terhadap ‘ulum Al-Quran terutama bidang ilmu qiraat.

Baca juga: Ahli Qiraat dan Lukis: Sisi Lain Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dari Manuskrip Al-Quran Peninggalannya

Mushaf ini terbagi dalam 3 jilid yang masing-masing terdiri dari 10 juz. Mushaf ini per halaman berukuran cukup besar yaitu 57 cmn untuk lebarnya, dan panjang 63 cm. Jilid pertama mushaf ini dikelola dalam koleksi Museum Daerah Kalimantan Selatan di Banjarbaru. Sedangkan jilid kedua dan ketiga disimpan oleh Abu Daudi atau KH. Irsyad Zein, salah seorang dzurriat Syekh Arsyad di Dalam Pagar, Martapura.

Analisis Qiraat Al-Quran dalam Manuskrip Syekh Arsyad

Sebagai analisis qiraat Al-Quran dalam manuskrip Syekh Arsyad, penulis mengambil beberapa contoh, di antaranya.

Pertama, Surat Al-An’am ayat 105-114. Surat ini terletak di jilid pertama. Dalam surat dan ayat tersebut Syekh Arsyad memberikan keterangan yang merupakan pilihan qiraat. Kata-kaat tersebut ditulis miring membentuk sudut 45 derajat, tersusun secara vertikal dari atas ke bawah, di antara kata itu ialah (دارست), kemudian di bawahnya secara berurutan إليهم وصلا، نبيئ إليهم، وهو .

Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menjelaskan bahwa kata darasta merupakan bacaan pada Imam Abu ‘Amr (w. 154 H) dan Imam Ibn Katsir (w. 120 H). Sedangkan kata ilaihimu adalah bacaan Imam Abu ‘Amr, dan ilaihum adalah bacaan pada Imam Hamzah (w. 156 H), Ali, Imam Khalaf (w. 229 H), Imam Ya’qub (w. 205 H) sebagaimana yang disampaikan Jamaluddin dalam Mushaf al-Sahabah fi al-Qiraat al-‘Asyr minn Thariq al-Syathibiyah wa al-Durrah.

Adapun kata nabi’un merupakan salah satu bacaan bagi kata nabiyyun dalam riwayat Imam Nafi’ (w. 169 H). Dan wahwa sebagai bacaan dari bagi kata wahuwa dari Imam al-Kisa’i (w. 189 H) dalam riwayat al-Duri (w. 246 H) dan Abu Harits al-Laisi (w. 240 H), juga merupakan riwayat Qalun (w. 220 H) dari Imam Nafi’, serta dari Imam Abu ‘Amr dalam qiraat al-Duri dan al-Susi (w. 261 H).

Dari kasus ini saja, terlihat tidak hanya dominasi qiraat Imam ‘Ashim saja, melainkan Syekh Muhammad Arsyad telah memaparkan riwayat lima imam qiraat mutawatir lainnya yaitu Imam Nafi’ (w. 169 H), Imam Ibnu Katsir (w. 120 H), Imam Abu ‘Amr (w. 154 H), Imam Hamzah (w. 156 H) dan Imam Ali al-Kisa’i (w. 189 H) dan disertai dua riwayat Imam qiraat masyhur, yaitu Khalaf dan Imam Ya’qub.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata

Sehingga dalam hal ini penulis kurang sependapat dengan yang menyatakan bahwa mushaf Syekh Muhammad Arsyad hanya berisi qiraat Ibn Katsir dan riwayat Warasy (w. 197 H) sebab ternyata ditemukan beberapa ragam pendapat qiraat dari lima imam, tentunya akan lebih banyak lagi jika diamati dan diteliti pada keseluruhan mushaf.

Oeh karenanya, apabila dikomparasikan dengan beberapa mushaf qiraat lain, maka penyajian Syekh Muhammad Arsyad dapat dianggap lebih simpel dan bahkan pada beberapa halaman tertentu Syekh Arsyad tidak menampilkan keseluruhan qiraat. Pendek kata, qiraat yang disajikan Syekh Arsyad terkadang juga terlihat pada simbol atau formulasi tertentu yang di mana tanpa disertai penjelasan yang detail dan bahkan cukup banyak juga dijumpai qiraat yang ditampilkann tanpa disertai rumusan.

Ketidaklengakapan qiraat yang dipaparkan oleh Syekh Arsyad menunjukkan bahwa sebenarnya Syekh Arsyad membatasi penggunaan qiraat melalui para imam dan perawi tertentu saja atau mungkin Syekh Arysad menyajikan qiraatnya secara sporadis sehingga ia dapat menggunakan seluruh qiraat. Mengarifi hal ini maka kiranya perlu melakukan kajian lebih mendalam terkait hal ini.

Terlepas dari semua itu, karya mushaf qiraat Syekh Arsyad ini menjadi bukti baru dan sumbangsih yang berarti bagi perkembangan qiraat di Nusantara yang di mana mendudukkan beliau sebagai pionir bidang qiraat di Kalimantan Selatan, bahkan di Nusantara. Wallahu A’lam.

Kecaman Al-Quran Terhadap Perilaku Korupsi: Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161

0
Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161: perilaku korupsi
Tafsir Surat Ali-Imran Ayat 161: perilaku korupsi

Korupsi akhir-akhir ini menjadi trending topic  di media masa Indonesia pasca operasi tangkap tangan KPK yang mencatut dua Menteri Kabinet Indonesia  Maju. Masing-masing  dari menteri tersebut terjerat kasus  dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster dan  suap pengadaan bantuan sosial penanganan covid-19.  Hal ini tentunya menuai kecaman dari berbagai pihak termasuk jika kita telusuri lebih dalam Al-Quranpun terlebih dahulu turut mengecam perilaku nista ini sebagaimana pada surat Ali-Imran ayat 161.

Mengenal Perilaku Korupsi

Secara bahasa korupsi berasal dari bahasa latin Corruption yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutar balik, dan menyogok. Dalam KBBI korupsi dimaknai sebagai sebuah penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan) untuk kepentingan pribadi atau orang lain. Secara mudah bisa kita simpulkan bahwa korupsi tidaklah terlepas dari dua ciri utamanya yakni, suatu penghianatan terhadap kepercayaan dan pemanfaatan harta orang lain yang bukan haknya untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin ayat 18-19: Islam Menolak Kepercayaan Sial

Dalam catatan sejarah Islam sendiri korupsi pernah terjadi pada masa Nabi Saw, diantaranya adalah kisah Karkirah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Karkirah adalah seorang pembawa barang-barang Nabi Saw ketika perang, singkat cerita ia mati dalam sebuah peperangan, lalu Nabi Saw mengatakan kepada para sahabat “ia masuk neraka”. Kemudian para sahabat memeriksanya, ternyata mereka mendapatkan sehelai pakaian yang ia korup dari ghanimah (harta rampasan perang).

Begitu pula pada masa Khulafa ar-Rasyidin tepatnya pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Pada masa ini nampaknya juga telah ditemui berbagai upaya praktik korupsi. Asumsi ini dikuatkan dengan usaha Umar yang memerintahkan seorang sahabat yang bernama Maslamah untuk mengawasi harta kekayaan para pejabat pemerintahan. Hal ini kiranya tidak mungkin dilakukan jika saat itu tidak ada indikasi perilaku korupsi.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 73-74: Lalat, Makhluk Lemah yang Memiliki Kelebihan

Penafsiran QS. Ali-Imran Ayat 161

Dalam Al-Qur’an jika kita telisik lebih jauh memanglah tidak ada ayat-ayat yang secara eksplisit membicarakan tentang korupsi.  Bahkan Ahmad Baidlawi (2009) secara tegas mengemukakan bahwa dalam Al-Qur’an tidaklah ada pembahasan terkait korupsi secara jelas. Meskipun demikian, terkait perilaku ini ada beberapa ayat yang terindikasi mengecamnya. Diantaranya adalah QS. Ali Imran ayat 161.

وَمَا كَانَ لِنَبِىٍّ أَن يَغُلَّ ۚ وَمَن يَغْلُلْ يَأْتِ بِمَا غَلَّ يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ ۚ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ   

“Tidaklah mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”

Pada QS. Ali Imran ayat 161  di atas dijelaskan bahwa tidaklah mungkin seorang Nabi melakukan “ghulul” (berkhianat dalam urusan harta rampasan perang) dan barang siapa melakukan “ghulul” maka ia akan datang dihari kiamat dengan membawa apa yang ia khianatkan itu. Terkait ayat diatas M. Quraish Shihab menafsirkan dalam kitab Tafsir al-Misbah bahwa seorang  Nabi (terlebih Nabi Muhammad saw) tidak akan melakukan suatu penghianatan, sebab hal tersebut bertentangan dengan sifat amanah Nabi.

Dengan demikian, khianat dalam ayat ini juga berarti khianat secara umum termasuk di dalamnya adalah khianat ketika diberikan amanah publik (misalnya jabatan) dan lain sebagainya. Ghulul ini hukumnya adalah haram dan mereka harus mempertanggung jawabkan sesuatu yang telah disembunyikannya. Bahkan Ibnu Katsir  menyebutkan bahwa di akhirat,  seseorang yang telah menggelapkan sesuatu akan memanggul sesuatu yang pernah disembunyikannya sehingga semua orang mengetahuinya.

Lebih jauh terkait ayat ini Syaikh Wahbah Zuhaili menjelaskan dalam kitab tafsirnya Al-Munir bahwa ayat ini menerangkan tentang sifat-sifat Rasulullah saw dan tugas atau misi beliau di dalam memperbaiki umat. Oleh karena itu, sebagai sosok yang senantiasa dijaga oleh Allah tidaklah mungkin seorang Nabi melakukan sebuah penghianatan mengingat bahwa kenabian adalah sebuah kedudukan yang tinggi yang menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang rendah dan hina.

Baca juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Selamat dalam Pelayaran

Ayat  ini juga sekaligus menunjukkan betapa mengerikannya tuduhan dan kekeliruan yang dilakukan oleh kaum munafik dengan menisbatkan sikap khianat dan tidak jujur kepada Rasulullah dalam urusan harta rampasan perang padahal beliau terbebas dari semua tuduhan itu.

Selain itu, ayat ini juga sekaligus mengecam bahwa barang siapa berkhianat dan tidak jujur dengan mengambil sebagian dari harta rampasan yang ada secara sembunyi-sembunyi, maka kelak di hari kiamat ia akan datang sembari memikul di atas lehernya apa yang diambilnya secara tidak jujur tersebut. Maksudnya adalah memikul beban tanggung jawab dan dosa perbuatan itu.

Hal ini senada dengan firman Allah dalam QS. Lukman ayat 16, yang mana pada ayat ini Allah menerangkan bahwa setiap jiwa akan dipenuhkan kepadanya balasan dari apa yang pernah diperbuatnya yang baik maupun yang buruk sekecil apapun itu. Orang yang bersikap khianat dan tidak jujur atau orang yang melakukan amal perbuatan lainnya akan mendapatkan balasan dari masing-masing perbuatannya secara adil tanpa didzalimi. (Wallahu A’alam)

Perjanjian Manusia dengan Allah Sebelum Lahir ke Dunia

0
Perjanjian manusia dengan Allah
Perjanjian manusia dengan Allah

Jauh sebelum dilahirkan ke dunia, manusia terikat perjanjian dengan Allah. Perjanjian tersebut adalah tentang keberimanan mereka kepada Allah. Para rasul pun juga tak lepas dari perjanjian kepada Allah. Seluruh rasul yang diturunkan Allah ke dunia, diutus untuk mengingatkan janji tersebut. Perjanjian manusia dengan Allah tersebut direkam oleh Allah di dalam Al-Quran. Ayat-ayat yang turut mencatat janji tersebut terdapat dalam surah Al-A’raf ayat 172, dan Al-Hadid ayat 8. Sedangkan perjanjian yang diambil oleh para rasul terdapat dalam surah Al-Ahzab ayat 7.

Janji manusia ketika keluar dari sulbi Adam

Perjanjian manusia kepada Allah terekam dalam surah Al-A’raf ayat 172:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِى ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَىٰ شَهِدْنَا أَن تَقُولُوا يَوْمَ ٱلْقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)””

Ayat ini menurut Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah merupakan sebuah peringatan dan pengingatan kepada kaum kafir, yang terus menerus tidak mau beriman. Padahal sudah banyak bukti secara nyata dan jelas diungkapkan. Mulai dari ayat-ayat qauliyah hingga ayat kauniyah-Nya telah ditunjukkan. Lalu dalam firman-Nya tersebut Allah berhujjah dengan mengingatkan kembali janji dan kesaksian mereka ketika mereka dikeluarkan dari sulbi Adam.

Baca juga: Kisah Pelanggaran Ashabus Sabti dalam Al-Quran

Beberapa riwayat hadis mengungkapkan mengenai janji manusia ketika keluar dari sulbi Adam seperti dari riwayat Anas bin Malik, Umar bin Khattab, dan Ibnu Abbas. Namun Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al’Adhim mengambil hadis riwayat Ibnu Abbas karena paling sahih “Sungguh, Allah mengambil perjanjian dari punggung (sulbi) Adam di Nu’man pada hari Arafah, lalu dari tulang punggungnya Allah mengeluarkan seluruh keturunan yang Ia ciptakan, lalu Allah tebarkan di hadapannya kemudian Allah berbicara langsung ‘Bukankah Aku ini Rabbmu?’ Mereka menjawab ‘Betul (Engkau Rabb kami), kami bersaksi.” (HR Ahmad)

Kesaksian manusia yang telah dijadikan perjanjian oleh Allah ini berlaku selama di dunia hingga datangnya kiamat. Meskipun perjanjian itu terjadi ketika manusia keluar dari sulbi Adam, perjanjian ini berlaku bagi semua keturunannya secara individu, sesuai dengan keterangan Muhammad Sahl dalam Tafsir al-Tasturi bahwa tidak akan berdiri kiamat sebelum semua keturunan yang telah diambil sumpah, kesaksian, dan janjinya itu terlahir ke dunia.

Perjanjian untuk beriman kepada Allah

Dalam surah Al-Hadid ayat 8 dijelaskan mengenai keberimanan kepada Allah. Berikut bunyi ayatnya:

وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثَٰقَكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerumu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia (Allah) telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang yang beriman.”

Menurut penafsiran Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn ayat tersebut menyatakan bahwa Allah telah mengambil janji manusia ketika di alam arwah. Janji mengenai persaksian manusia atas Rabbnya yang telah diterangkan sebelumnya pada surah Al’A’raf. Isi perjanjian tersebut adalah menyangkut keimanan mereka kepada Allah. Persaksian manusia ketika di alam arwah ini membawa akibat untuk terus beriman kepada Allah. Namun kareana sifat manusia yang lupa, ketika di mereka berada di dunia yang penuh kemewahan semu, mereka menjadi ingkar.

Baca juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz memberikan penjelasan bahwa perjanjian manusia kepada Allah sejak dalam sulbi dan ketika di alam arwah menjadikan sebab mereka untuk beriman kepada Allah di dunia. Pada hari kiamat nanti manusia akan ditagih tentang janji beriman ini. Namun, kebanyakan mereka lengah akan janji tersebut dan sangat menyesali kealpaannya. Tapi naasnya sudah terlambat, pada hari tersebut penyesalan mereka sudah tidak berlaku lagi.

Janji para rasul

Selain janji manusia pada umumnya mengenai persaksian dan keberimanan, Allah pun mengambil janji kepada para rasul. Janji para rasul ini direkam Al-Quran dalam surah Al-Ahzab ayat 7:

وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ ٱلنَّبِيِّۦنَ مِيثَٰقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَى ٱبْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَٰقًا غَلِيظًا

“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi, dari kamu (sendiri) dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”

Dalam menerangkan ayat tersebut, Wahbah Zuhayli menyatakan bahwa janji para rasul tersebut merupakan akibat dan efek domino dari sebab sebelumnya. Persaksian manusia sejak dulu menjadikan sebab perjanjian keberimana kepada Allah. Dan oleh karena sebab tersebut, para rasul ini hadir di dunia. Namun, sebelum mereka di utus Allah ke dunia, mereka telah terlebih dahulu dijanji oleh Allah, dan janji mereka sangatlah teguh.

Baca juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

At-Thabari dalam Tafsir Thabari menjelaskan perjanjian para nabi pada ayat tersebut bukan berkenaan mengenai keimanan seperti janji manusia pada umumnya. Janji para rasul tersebut terkait persoalan untuk saling meneguhkan antara satu nabi dengan yang lain, penyampaian risalah, serta tugas-tugas kenabian yang lain. AthThabari megngkapkan riwayat yang lain bahwa  janji tersebut adalah tentang pertama kalinya Nabi Muhammad diciptakan, namun yang paling terakhir diutus.

Sifat manusia yang lupa merupakan pangkal dari ketidakberimanan kepada Allah ketika di dunia. Namun, diutusnya para rasul oleh Allah dimaksudkan untuk mengingatkan kembali akan janji manusia dulu. Begitu sayangnya Allah kepada manusia hingga Ia mengirimkan banyak bukti untuk mengingatkan manusia akan janjinya dulu.

Bukti-bukti tersebut seperti diungkapkan oleh Quraish Shihab dan Wahbah Zuhayli meliputi diutusnya para rasul, diturunkannya ayat-ayat qauliyah, maupun ayat-ayat kauniyah. Belum lagi ditambah kecenderungan hati yang hanif yang ditanamkan Allah kepada manusia. Seharusnya itu semua lebih dari cukup untuk mengingatkan perjanjian manusia dulu dan menjadikannya beriman dan bertaqwa kepada Allah. Jika setelah diingatkan oleh para rasul mereka masih saja ingkar berarti hati mereka telah tertutup dan akan mendapat balasan di akhirat kelak. Wallahu a’lam[]

Mengenal Kitab Al-Sab’ah fi Al-Qiraah (2) karya Ibnu Mujahid

0
qiraat al-quran
Kitab As-Sab’ah fi Al-Qiraat

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan bagian al-Ushul dalam Kitab al-Sab’ah karya Ibnu Mujahid, maka kali ini kita akan membahas bagian kedua, yaitu Farsy al-Huruf, aplikasi daripada kaidah-kaidah qiraat dalam Al-Quran

Farsy Al-Huruf

Farsy al-huruf merupakan aplikasi dari kaidah-kaidah qiraat dalam bacaan Al-Quran. Pada bagian ini Ibnu Mujahid hanya mencantumkan ayat-ayat Al-Quran yang di dalamnya terdapat perbedaan qiraat. Dalam artian, perbedaan itu hanya terbatas pada imam qiraat sab’ah dan para perawinya masing-masing. Jadi dalam satu surat tidak semuanya terdapat perbedaan qiraat, hanya ada beberapa saja.

Menyikapi hal itu, Ibnu Mujahid hanya mengomentarinya dengan ‘ ﻟﻴﺲ ﻓﻴﻪ ﺧﻼف. Adapun surat-surat tersebut ialah Surat al-Jumu’ah, al-Insyirah, al-Tin, al-‘Adiyat, al-Fil, al-Ma’un, al-Kautsar, dan al-Nashr. Terkhusus untuk Surat al-‘Adiyat, Ibnu Mujahid tidak mencantumkan ayatnya meskipun dalam pembukaan kitabnya sudah disinggung adanya sedikit perbedaan qiraat, yaitu وَالْعٰدِيٰتِ ضَبْحًاۙ dan فَالْمُغِيْرٰتِ صُبْحًاۙ yang menurut qiraat Abu’Amr dibaca dengan meng-idgham-kan ta’ kepada huruf dhadh dan shad.

Selain itu, Ibnu Mujahid dalam menjelaskan bagian farsy al-huruf ini, ia meriwayatkan qiraat setiap imam tujuh tersebut dengan sanad yang beranekaragam. Misalnya, ia menggunakan manhaj di mana ia menyepakati riwayat dan thuruq pada suatu qiraat Al-Quran, dan ia cukup menjustifikasinya dengan imam qiraat yang bersangkutan, sepertiﻗﺮأ اﺑﻦ ﻛﺜﲑ atau ﻗﺮأ ﻋﺎﺻﻢ .

Namun, apabila terdapat perbedaan pada riwayat dan thuruq-nya, maka Ibnu Mujahid akan menjelaskannya dengan detail. Fakta ini mengindikasikan bahwa ia sangat expert dalam hal ilmu qiraat, termasuk riwayat dan thuruq-nya. Lebih dari itu, ia juga senantiasa mentahqiq dan merujuk kepada riwayat, menjelaskan qiraat yang berbeda dengan mushaf utsmani, dan mengemukakan qiraat yang sahih jika ditemui kesalahan.

Baca juga: Qiraat Al-Quran (2) : Sejarah dan Perkembangan Qiraat di Era Sahabat

Beberapa Aplikasi Qiraat

Berikut akan disampaikan beberapa contoh atau aplikasi qiraat manhaj Ibnu Mujahid dalam mengemukakan para imam tujuh (qiraat sab’ah).

  1. S. Al-Kahfi [18]: 76, ۚ قَدْ بَلَغْتَ مِنْ لَّدُنِّيْ عُذْرًا , Ibnu Katsir, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, Hamzah, dan al-Kisa’i membaca لَّدُنِّيْ dengan sukun huruf dal. Sedangkan Abu Ubaid dari al-Kisa’i, dari Abu Bakar, dari ‘Ashim dalam kitab al-Qiraat membacanya dengan لَّدُنِّيْ dengan men-dhammah-kan lam dan men-sukun-kan dal. Ini suatu kesalahan. Sebab dalam kitab al-Ma’ani dari al-Kisa’i, dari Abu Bakar, dari ‘Ashim bahwasannya ia membaca ladunni dengan mem-fathah-kan lam dan men-sukun-kan dal. Adapun Imam Hafsh dari Imam ‘Ashim membacanya dengan ladunni sama dengan Abu ‘Amr, Hamzah dan lainnya.
  2. S. Al-Ikhlas [112]: وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ ࣖ, Imam Ibnu Katsir, Ibn Amir, al-Kisa’i dan Abu ‘Amr riwayat al-Yazidi dan Abd al-Warits membaca kufuwan dengan dhammah fa dan hamzah. Imam ‘Abbas bin Fadhal dan al-Qathi dari Mahbub meriwayatkan bacaan kufuwan dengan sukun fa’ dan hamzah. Imam Hamzah pun demikian.

Sedangkan Imam Nafi’ terdapat perbedaan, menurut riwayat Ibn Jammaz, Khalaf dari al-Musayyib, Ahmad bin Shalih dari Warsy, Abu Amarah dari Ya’qub, Abu Ubaid dari Ismail, dan Kharijah dari Nafi’ membaca kufuwun dengan dhammah fa’ dan hamzah.  Adapun riwayat al—Kisa’i dan Sulaiman al-Hasyimi, dari Ismail, dari Imam Nafi’ membaca kufuww dengan sukun fa’ dan hamzah.

Ada juga riwayat lain yang sama bacaannya, yakni dari Ismail bin Ishaq dari Qalun, Abu Bakar bin Uways, Muhammad bin Ishaq dari bapaknya dari Imam Nafi’, Abu ‘Ammarah dari Ishaq dari Imam Nafi’, dan riwayat Abu ‘Amr dari Ismail. Tidak berbeda jauh jauh dengan di atas, riwayat al-Marwazi dari Ibn Sa’dan dari Ishaq dari Imam Nafi’ membaca kufuwun dengan dhammah fa’ dan tanpa hamzah. Pada qiraat ‘Ashim sendiri juga terdapat perbedaan bacaan. Riwayat Abu Bakar membaca kufuwun dengan dhammah fa’ dan hamzah, dan dalam riwayat Hafs membaca kufuwun dengan dhammah fa’ dan tanpa hamzah.

Baca juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

Pasca Kitab al-Sab’ah fi al-Qiraat

Pasca kemunculan kitab al-Sab’ah, minat masyarakat dalam mempelajari serta mendalami ilmu qiraat semakin meningkat. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya respon dari para ulama baik sezaman ataupun sesudahnya dengan keikutsertaannya dalam melestarikan ilmu qiraat melalui beberapa karya, sebagai berikut.

  • Al-Ghayah fi al-Qiraat al-‘Asyrah karangan Abu Bakar Ahmad bin Husein bin Mahran (w. 381 H).
  • Al-Taisir karangan Abu ‘Amr al-Dani, ulama Andalus (w. 444 H). Kitab tersebut menjadi acuan Imam al-Syathibi (w. 590 H) dalam mengarang kitabnya yang berjudul al-Hirz al-Amani wa Wajhu al-Tahani atau yang populer dikenal dengan nama Nazam Syathibiyah.
  • Al-Iqna’ karya Abu Ja’far bin Badzisy (w. 540 H). Kitab tersebut berisi kaidah bacaan imam qiraat.

Kitab di atas menjadi bukti bahwa para ulama ikut serta dalam melestarikan perkembangan ilmu qiraat. Ibnu Mujahid berhasil menjadi pionir dalam menginventarisir dan mencetuskan konsep qiraat sab’ah dalam sebuah karyanya, al-Sab’ah fi al-Qiraah. Dengan demikian, beliau telah melakukan bid’ah hasanah yang hingga sampai saat ini kita sebagai kaum muslimin di Indonesia masih dapat mempelajari ilmu qiraat. Wallahu A’lam.

Mengenal Kitab As-Sab’ah fi Al-Qiraat (1) Karya Ibnu Mujahid

0
qiraat al-quran
Kitab As-Sab’ah fi Al-Qiraat

Pada artikel terdahulu sudah diulas tentang Ibnu Mujahid, Peletak Dasar Ilmu Qiraat Sab’ah. Pada artikel ini akan berfokus pada karyanya di bidang qiraat Al-Quran yaitu Kitab as-Sab’ah fi al-Qiraat. Kitab ini memberikan kontribusi besar pada pengembangan ilmu qiraat. Dengan metode yang mudah dipahami, Ibnu Mujahid membuat suatu formulasi yang lengkap sehingga antara kitab as-Sab’ah dengan qiraat sab’ah saling berkorelasi dan koherensi.

Selain itu, apabila ditilik dari ijtihad Ibnu Mujahid dalam mengkodifikasi qiraat, sejatinya ia meneruskan legacy para ulama salafus shalih yang telah merintis dan berusaha menjaga kemurnian Al-Quran, seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Harits, dan sebagainya. Keberhasilannya dalam mengkonseptualisasi qiraat sab’ah berujung pada disepakatinya oleh jumhur ulama sebagai qiraat mutawatir.

Sebab Penulisan Kitab

Ibn Al-Jazary al-Dimasyqi dalam Ghayah al-Nihayah fi Thabaqat al-Kubra menjelaskan, sejatinya Ibnu Mujahid bukanlah orang pertama kali yang mengkodifikasi sejumlah qiraat para imam dalam satu buku, melainkan ada ulama lain yang sudah memulainya, seperti, (1) Abu Ubaid bin Salam (224 H), dia telah mengumpulkan 15 jenis bacaan para imam dalam kitabnya, Qararat. (2) Ismail bin Ishaq al-Qadhi, Abu Ishaq al-Azadi al-Baghdadi (282 H), beliau adalah guru Ibnu Mujahid. Beliau telah mengarang satu kitab yang di dalamnya mencakup 20 bacaan imam qiraat.

Salah satu sebab yang mendorongnya untuk menyusun suatu kitab khusus tentang qiraat adalah lebih kepada usaha untuk menjaga kemurnian bacaan Al-Quran, mempermudah untuk dipelajari oleh umat Islam. Sebab pada umumnya orang-orang yang hendak menuntut ilmu (thalab al-‘ilm) qiraat merasa kesulitan dengan ragamnya cabang-cabang qiraat dan jalan periwayatannya, belum lagi ditambah dengan ‘illat (alasan) yang terdapat di setiap bacaan.

Oleh karena itu, Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala menyampaikan bahwa Ibnu Mujahid ketika dia ditanya perihal sebab penulisan, “Mengapa anda tidak menulis (tentang qiraat) satu huruf saja (bacaan dari satu imam qiraat)”?. Jawabnya, “menjaga seluruh bacaan yang dipakai oleh imam terdahulu lebih dibutuhkan daripada memilih salah satu di antara mereka”. Ungkapan ini menunjukkan kepedulian Ibnu Mujahid atas bacaan qiraat Al-Quran yang pada umumnya sangat sulit untuk dipelajari.

Baca juga: Ibnu Mujahid (1), Peletak Dasar Ilmu Qiraat Sab’ah

Isi Kitab

Secara garis besar, Kitab as-Sab’ah fi al-Qiraat terdiri dari dua bagian, yaitu al-Ushul dan Farasy al-Huruf.

Pertama, Al-Ushul. Pada bagian ini terdapat beberapa kaidah-kaidah dalam ilmu qiraat, yaitu

  • Kaidah menyambung huruf mim jamak degan huruf wawu dan dhamir ha
  • Kaidah idgham
  • Kaidah nun sakinah dan tanwin
  • Kaidah ha’ kinayah
  • Kaidah hamzah
  • Kaidah mad dan qasr
  • Kaidah fathah dan imalah
  • Kaidah ya idhafah
  • Kaidah ha yang bersambung dengan fi’il jazm
  • Kaidah kumpulnya dua huruf istifham

Tatkala menjelaskan kaidah-kaidah tersebut, Ia mengungkapkan perbedaan pendapat dan alasan dari para imam qiraat sab’ah beserta perawinya masing-masing. Bahkan beliau mentahqiq nya jika diperlukan. Misalnya, ketika beliau menjelaskan kaidah mim jamak dan dhamir ha. Ibnu Katsir, misalnya, menyambung huruf mim jamak dengan wawu yang sebelumnya terdapat huruf ha berharakat dhammah atau kasrah, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 7,

خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ

Imam Nafi’, menurut Isma’il bin Ja’far bin Jammaz, Qalun dan Al-Musayyibi, meng-kasrah-kan ha’ dhamir serta men-dhammah-kan dan men-jazm-kan mim. Akan tetapi Ahmad bin Qalun dari ayahnya menuturkan bahwa Imam Nafi’ sebenarnya men-sukun-kan mim, namun ia tidak melarang men-dhammah-kan mim.

Baca juga: Ibnu Mujahid (2), Konsep Qiraat Sab’ah dan Sanadnya

Menurut Warsy, Imam Nafi’ meng-kasrah-kan mim dan men-sukun-kan mim. Meski demikian, jika bertemu dengan huruf alif yang asli, maka ia membacanya dengan disertai wawu washal, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 6,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Sedangkan Imam Abū ‘Amr, ‘Ashim, Ibn ‘Amir dan al-Kisa’i meng-kasrah-kan ha’ dan men-sukun-kan mīm. Dengan demikian ayat di atas dibaca,

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Terkait mim bertemu dengan huruf yang disukun, para ulama di atas berbeda pendapat. Misalnya, Imam Ashim, Nafi’, Ibnu Katsir, dan Ibnu ‘Amir mengkasrahkan ha’ dan men-dhammah-kan mim apabila bertemu dengan huruf yang disukun, seperti dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 61,

وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ وَالْمَسْكَنَةُ

Dan dalam Q.S. Al-Qashash [28]: 23,

وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ

Imam Abu ‘Amr meng-kasrah-kan ha’ dan mim, maka ia membaca

وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ  وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ

Sedangkan Imam Hamzah dan al-Kisa’i men-dhammah-kan ha’ dan mim, maka dibaca

وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَاَتَيْنِ تَذُوْدٰنِۚ  وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ

Semua perbedaan tersebut dalam masalah ha’ yang dibaca kasrah dan dibaca dhammah, hanya terbatas pada ha’ yang sebelumnya terdapat huruf berharakat kasrah atau ya’ sukun. Adapun pada selain kedua hal tersebut, huruf ha’ harus dibaca dhammah, sukun, atau kasrah atau ya’ sukun. Selain itu juga, huruf mim harus dibaca dhmmah atau sukun saja, seperti dalam lafadz, antum, minkum.

Baca juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal

Argumentasi Ibnu Katsir dan Nafi’ mengk-kasrah-kan ha’ dan menyambung mim dengan wawu adalah karena berat membaca ha’ dengan dhammah setelah huruf ya’, maka lebih mudah dibaca ha’ dengan kasrah, sebab kasrah termasuk jenis ya’ dan bunyi ha’ berdekatan dengan bunyi ya’ sebelumnya. Alasan berikutnya mengapa mim disambung dengan wawu jamak karena merupakan asal kalimat. Sebagaimana halnya dengan bentuk tasniyah yang dibaca dengan alif ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ, maka bentuk jamak dibaca dengan waw ﻋﻠﻴﻬﻤﻮ. Hal ini sepadan dengan lafaz ﻗﺎم

Sedangkan alasan Imam ‘Ashim, Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir, dan al-Kisa’i membaca ha’ dengan kasrah dan mim dengan sukun adalah alif pada contoh lafal ﻋﻠﻴﻬﻤﺎ memang digunakan untuk menunjukkah mutsanna. Dengan kata lain, dalam bentuk isim tatsniyah keberadaan alif mutlak diperlukan.

Hal ini berbeda dengan keberadaan wawu yang kurang diperlukan pada contoh lafaz ﻋﻠﻴﻬﻤﻮ, karena huruf mim sendiri sudah menunjukkan jamak. Oleh karena itu, mereka membuang waw dan men-takhfīf-kan mīm dengan sukūn. Sedangkan argumen Imam Hamzah membaca hā’ dengan dhammah pada contoh lafaz ﻋﻠﻴﻬﻢ adalah karena melihat asal kalimat yaitu lafaz.

Pada bagian kedua dari kitab ini akan ditulis pada artikel selanjutnya.

Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Selamat dalam Pelayaran

0
Agar selamat dalam pelayaran
Doa Agar selamat dalam pelayaran

Saat ini – abad 21 – dunia transportasi telah memasuki era keemasan. Berbagai teknologi transportasi – seperti kapal pesiar canggih – muncul guna memudahkan mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat yang lain secara aman dan nyaman. Namun tentu saja, teknologi tersebut belum mampu menjamin seutuhnya keselamatan penumpang ketika berlayar di lautan. Oleh karena itu, seyogyanya kita tetap berdoa agar selamat dalam pelayaran.

Masih sering terdengar di telinga kita peristiwa tenggelamnya Titanic pada 14 April 1912 M. Ketika selesai membangun Titanic, para petinggi White Star Line, perusahaan galangan kapal Inggris, dengan bangga menyatakan bahwa kapal tersebut tidak akan tenggelam. Hal ini bukan omong kosong belaka, sebab Titanic dirancang memiliki kompartemen kedap air yang membuatnya hampir mustahil tenggelam akibat kemasukan air.

Namun naas, apa yang dirancang dan diperkirakan para ahli tidak terwujud. Kapal paling mewah di dunia pada dekade 1910 tersebut justru karam dalam pelayaran pertama di lautan dari Inggris menuju Amerika Serikat (AS) akibat tabrakan keras dengan bongkahan es yang sangat besar dan kompartemen kedap air yang dibanggakan tak sanggup menahan kekuatan tekanan air.

Dari kisah Titanic di atas, penulis tidak ingin menekankan pada aspek kebanggaan dan keyakinan pada teknologi, tetapi pada adanya kemungkinan kecelakaan dalam setiap perjalanan manusia sekalipun berbagai persiapan keselamatan dan keamanan telah dilakukan. Titanic mengajarkan bahwa setiap pelayaran di lautan mungkin saja menjadi perjalanan terakhir seseorang.

Dengan demikian, setiap perjalanan manusia baik di darat, laut, maupun udara mungkin mengalami berbagai hal yang tidak diinginkan seperti kecelakaan, kegagalan dan sebagainya. Maka tak heran, Islam melalui nabi Muhammad saw mengajarkan kepada pemeluknya agar senantiasa berdoa ketika hendak bepergian. Dalam konteks perjalanan laut, seseorang hendaknya berdoa agar selamat dalam pelayaran.

Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Selamat Dalam Pelayaran

Semasa hidupnya, Rasulullah saw kerap melakukan perjalanan jauh baik untuk berdagang maupun berdakwah. Tak jarang beliau bepergian berhari-hari hingga berbulan-bulan.  Dalam perjalanan tersebut, nabi saw tidak pernah melewatkan shalat sunah sebelum memulai perjalanan, bahkan dikisahkan bahwa beliau pernah melaksanakan shalat sunah di atas punggung untanya.

Selain itu, Rasulullah saw tidak lupa pula memanjatkan doa. Imam Baihaqi meriwayatkan dari Anas ra bahwa nabi Muhammad saw tidak akan melakukan perjalanan kecuali beliau berdoa terlebih dahulu ketika hendak beranjak dari tempat duduknya dengan berkata, “Ya Allah, hanya dengan pertolongan-Mu hamba mengembara, dan hanya kepada-Mu hamba meminta perlindungan.”

Nabi Muhammad Saw juga pernah bersabda:

Barang siapa yang ketika keluar dari rumahnya membaca doa “Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa haula wa laa quwwata illaa billah” (Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan upaya kecuali dari Allah), maka dikatakan kepadanya: kamu telah tercukup dan terlindungi, dan setan pun akan menjauh darinya.” (HR. Tirmidzi; hasan shahih. Hadis senada diriwayatkan juga oleh Abu Daud).

Selain doa tersebut, imam al-Ghazali menerangkan dalam kitab adz-Dzahabul Ibriz bahwa ayat Al-Qur’an dapat digunakan sebagai doa agar selamat dalam pelayaran. Ayat yang dapat digunakan adalah surat Hud [11] ayat 41 yang berbunyi:

 وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللّٰهِ مَجْرٰ۪ىهَا وَمُرْسٰىهَا ۗاِنَّ رَبِّيْ لَغَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٤١

Dan dia berkata, “Naiklah kamu semua ke dalamnya (kapal) dengan (menyebut) nama Allah pada waktu berlayar dan berlabuhnya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Hud [11] ayat 41).

Amalan ini didapatkan al-Ghazali melalui pembacaan terhadap kisah-kisah nabi Nuh as dalam Al-Qur’an. Ia menyimpulkan dan berkata bahwa, “Allah swt telah menyebutkan dalam kitab-Nya yang maha mulia (Al-Qur’an) mengenai kisah Nuh as – yang berkata sebagaimana disebutkan dalam surat Hud [11] ayat 41 –ketika hendak menaiki kapal untuk melewati banjir besar yang datang. Melalui doa tersebut dan atas izin Allah swt, nabi Nuh beserta kaumnya bisa selamat.”

Menurut al-Ghazali, siapa saja yang membaca surat Hud [11] ayat 41 sebagai doa agar selamat dalam pelayaran ketika hendak mengarungi lautan, maka atas izin Allah swt ia akan dijamin selamat sampai ke tujuan dan dipenuhi keberkahan sebagaimana nabi Nuh as beserta pengikutnya selamat dari musibah banjir besar yang menenggelamkan bumi.

Berdasarkan keterangan di atas, ketika seseorang hendak melakukan pelayaran sebaiknya ia melakukan dua hal berikut: Pertama, melakukan persiapan sematang mungkin dari berbagai sisi, baik alat transportasi, diri, logistik dan hal-hal lain yang dibutuhkan. Kedua, ia hendaknya membaca doa agar selamat dalam pelayaran sebagaimana yang telah disebutkan atau doa-doa lain yang memiliki tujuan sama dengan harapan agar Allah swt memberkahinya. Wallahu a’lam.

Serial Diskusi Tafsir 4 Menghadirkan Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh

0
Serial diskusi tafsir
Serial diskusi tafsir keempat

Tafsiralquran.id bekerjasama dengan CRIS Foundation kembali menggelar serial diskusi tafsir dengan tema “Membaca pribadi Nabi Muhammad saw dari sorotan al-Quran” pada Sabtu (19/12) malam pukul 19.30 melalui Zoom. Webinar yang dimoderatori Maqdis ini menghadirkan Dr. Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh sebagai narasumber. Webinar ini merupakan serial diskusi tafsir keempat yang telah diselenggarakan oleh tafsiralquran.id

Dalam pemaparannya Aksin Wijaya menjelaskan kehadiran al-Quran berbasis tartib nuzuli adalah upaya dari para sarjana Muslim untuk menghadirkan sejarah kenabian berbasis al-Quran. Hal ini dikarenakan sikap sebagian orientalis yang skeptis terhadap narasi sejarah Nabi saw dalam literatur tarikh, sirah dan hadis Nabi. Literatur-literatur tersebut dianggap tidak mampu merepresentasikan peristiwa hidup Nabi karena ditulis satu sampai dua abad setelah Nabi wafat.

Untuk menjawab keraguan ini Muhammad Izzat Darwazah menulis Sirat al-Rasul, al-Tafsir wa al-Hadis dan kitab lain yang diteliti Aksin Wijaya. Dari penelitian tersebut lahirlah buku Sejarah Kenabian Dalam Persepektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah. Secara garis besar Aksin menjelaskan bahwa ada hubungan logis dan faktual antara al-Quran dan masyarakat Arab pra-kenabian, Muhammad sebagai pribadi, dan sejarah kenabian Muhammad saw.

Sementara itu, Wardatun Nadhiroh sebagai narasumber kedua menjelaskan tentang kisah-kisah dalam al-Quran perspektif Muhammad Abid al-Jabiri. Menurut Wardatun, kisah-kisah ini dibaca oleh Abid al-Jabiri sebagai representasi dari perjalanan dakwah Nabi Saw. Kisah-kisah ini dapat dibagi sesuai dengan masa turunnya Mekah dan Madinah. Narasi yang ada dalam dua masa tersebut memiliki karakter yang berbeda.

Pada saat sesi tanya jawab salah satu peserta bertanya soal perbedaan antara asbab nuzul dan tartib nuzuli. Dijelaskan oleh para pemateri bahwa asbab nuzul fokus pada riwayat yang melingkupi latar belakang turunnya suatu ayat sedangkan tartib nuzuli adalah susunan al-Quran berdasarkan kronologi turunnya yang biasanya berbasis pada surat.

Diskusi berlangsung selama 2,5 jam karena pemaparan dan tanya-jawab yang produktif antara pemateri dan peserta. Peserta tampaknya cukup antusias mengikuti jalannya Webinar. Serial diskusi tafsir ini merupakan agenda rutin tafsiralquran.id.