Beranda blog Halaman 432

Ibrah Kisah Nabi Yusuf: Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

0
ibrah kisah nabi yusuf: menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim
ibrah kisah nabi yusuf: menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim

Tatkala Raja Mesir tertarik dengan kemampuan Nabi Yusuf dan hendak menjadikannya salah satu pejabat Mesir, Nabi Yusuf tidak menolaknya malah justru meminta jabatan sebagai bendahara kerajaan. Sikap ini memunculkan diskusi tersendiri di antara para pakar tafsir. Di antara diskusi tersebut adalah, bagaimana pandangan Al-Quran terkait menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim? Tidak banyak ahli tafsir menyinggung masalah ini di dalam tafsirnya. Tulisan ini akan mencoba mengemukakan pendapat Imam Al-Qurthubi terkait masalah ini.

Nabi Yusuf Menjadi Pejabat di Bawah Kepemimpinan Non-Muslim

Allah berfirman dalam Surat Yusuf Ayat 54-55

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ أَسْتَخْلِصْهُ لِنَفْسِي فَلَمَّا كَلَّمَهُ قَالَ إِنَّكَ الْيَوْمَ لَدَيْنَا مَكِينٌ أَمِينٌ () قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ

Dan raja berkata: “Bawalah Yusuf kepadaku, agar aku memilih dia sebagai orang dekatku”. Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan dia, dia berkata: “Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi lagi dipercayai pada sisi kami”. Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan”. (QS. Yusuf [12]: 54-55).

Para ahli tafsir dalam beberapa kitab tafsir menerangkan, tindakan Nabi Yusuf meminta jabatan dalam ayat di atas bukanlah suatu kesalahan dan tidaklah bertentangan dengan keterangan hadis.

Hal ini disebabkan Nabi Yusuf melihat bahwa hanya dirinyalah yang dapat bertindak secara adil dan menerapkan hukum Allah pada jabatan tersebut. Maka bisa jadi Nabi Yusuf tidak memiliki pilihan selain meminta jabatan tersebut.

Baca Juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Namun diskusi terkait tindakan Nabi Yusuf yang terkesan “tabu” itu tidak berhenti disitu. Diskusi berlanjut dengan persoalan bagaimana bisa Nabi Yusuf membiarkan dirinya bekerja di bawah kepemimpinan non-muslim? Bukankah berkerja di bawah kepemimpinan raja yang tidak mengerti hukum Islam, hanya akan berujung membantu terlaksananya kebijakan-kebijakan yang bisa jadi bertentangan dengan hukum Islam?

Komentar Imam Al-Qurthubi

Sebelum ke pendapat Imam Al-Qurthubi, Al-Qasimi mengutip pendapat Mujahid bahwa  Raja yang berkuasa pada masa Nabi Yusuf itu sudah masuk Islam. Jika seperti ini maka tidak ada persoalan berikutnya. Namun jika belum masuk Islam, ini kemudian yang dikomentari lebih lanjut oleh Al-Qurthubi.

Imam Al-Qurthubi mengutip pendapat sebagian ulama’, bahwa di dalam ayat di atas ada petunjuk yang membolehkan seseorang yang mulia, menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim, bahkan pemimpin yang zalim sekalipun.

Tindakan tersebut diperbolehkan selama ia tahu bahwa sang pemimpin tidak memintanya mengerjakan sesuatu yang bertentangan dirinya, sehingga ia bisa melakukan “perbaikan-perbaikan” pada hal-hal yang dikehendakinya. Berbeda bila kemudian sang pemimpin memintanya mengerjakan sesuatu berdasar kehendaknya yang melenceng dari kebenaran, maka tidak boleh (Tafsir Al-Qurthubi/9/181).

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

Di dalam keterangan di atas, kutipan Imam Al-Qurthubi tidak membahasakan “sang pejabat” sebagai seorang muslim. Namun sebagai orang yang mulia “al-Fadhil”. Hal ini bisa jadi menunjukkan bahwa tindakan seorang yang soleh bekerja di sebuah lembaga yang dipimpin oleh orang muslim yang zalim atau non muslim, tidak lantas akan mencederai kesolehannya.

Juga, kutipan Imam Al-Qurthubi tidak bicara hanya terkait bekerja di lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh seorang muslim yang zalim, tapi juga non-muslim. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan akidah tidak menjadi penghalang seorang muslim bekerja di lembaga pemerintahan yang dipimpin oleh seorang non-muslim.

Asal dalam melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan, ia tidak di bawah kendali penuh sang pemimpin. Dalam arti harus melaksanakan kebijakan sang pimpinan meski itu bertentangan dengan syariat Islam yang dianutnya.

Imam Al-Qurthubi di dalam tafsirnya juga sempat menyinggung, bahwa ada beberapa ulama’ yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan Nabi Yusuf hanya diperbolehkan khusus pada Nabi Yusuf saja. Untuk zaman sekarang, hal itu tidak diperbolehkan.

Namun Imam Al-Qurthubi kemudian menyatakan bahwa pendapat yang pertama, yaitu yang menyatakan boleh dengan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh beliau dan tidak terkhusus pada diri Nabi Yusuf, itu lebih kuat.

Baca Juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

Pandangan-pandangan yang dikemukakan Imam Al-Qurthubi ini memberi tahu kita bahwa Islam tidak melarang kita menjadi pejabat di sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh orang Islam yang zalim dan bahkan non-muslim.

Hanya saja, hukum ini memiliki syarat, yaitu asal tindakan kita tidak kemudian justru ikut membantu terlaksananya kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan syariat, serta dengan harapan jabatan dan amanah tersebut dapat mempermudah kita untuk melakukan perbaikan-perbaikan tata aturan pemerintahan yang tidak sesuai dengan agama Islam.

Tidak terlalu berbeda dengan penjelasan Al-Qasimi dalam Mahasin At-Ta’wil, ia mengutip pendapat dari Qatadah bahwa keputusan Nabi Yusuf untuk menjadi pejabat di bawah kepemimpinan non-muslim itu menunjukkan bahwa hal yang serupa itu boleh, tentu dengan syarat seperti sebelumnya. Wallahu A’lam

Mengenal Prinsip-Prinsip Interpretasi ala Abdullah Saeed

0
penafsiran kontekstual abdullah saeed
penafsiran kontekstual abdullah saeed

Sebenarnya gagasan penafsiran kontekstual ala Abdullah Saeed bukanlah hal yang baru dalam dunia penafsiran Al-Quran. Jauh sebelum itu, di era awal Islam, sahabat Umar bin Khattab telah melakukan penafsiran kontekstual, misalnya, keputusannya untuk tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi si pencuri, tidak membagikan ghanimah (harta rampasan perang) kepada pasukannya pasca perang penaklukan Irak, dan sebagainya.

Keputusan kontroversial Umar menuai kecaman dari berbagai pihak. Dan hal-hal semacam ini banyak sekali terjadi di era sahabat bahkan di hadapan Nabi saw sekalipun. Umar memang banyak melakukan kontekstualisasi yang acap kali kontroversial, namun ia memiliki alasan kuat dibalik semua itu.

Dalam konteks inilah, Abdullah Saeed mencoba mengelaborasikan kembali gagasan itu agar penafsiran Al-Quran dapat dilakukan secara kontekstual guna menjawab problem kemanusiaan di era kekinian yang semakin kompleks.

Beberapa Prinsip Interpretasi

Abdullah Saeed dalam Intepreting the Quran: Towards A Contemporary Approach mengemukakan beberapa prinsip dalam melakukan sebuah interpretasi kontekstual, di antaranya.

Pertama, kompleksitas makna teks. Menurut Saeed, suatu teks – baik bahasa Arab maupun bahasa lain – masing-masing memiliki komplekstiasnya sehingga tidak dapat digeneralisir dalam memahaminya. Lebih dari itu, untuk menangkap esensi makna teks tersebut, maka seseorang harus menyesuaikan dengan entitas mental penerima pesan (wahyu) serta perkembangan linguistik maupun sosio-historisnya.

Kedua, keseimbangan objektivitas-subjektivitas dalam memberikan batasan teks. Inilah yang membedakan Saeed dengan Rahman. Meskipun pada bagian tertentu ia mendasarkan argumentasi dasarnya kepada Rahman, namun Saeed tidak taklid buta, termasuk dalam hal ini.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Saeed tidak menolak subjektivitas secara total dan tidak pula mementahkan ojektivitas dalam menafsirkan, melainkan bagaimanapun dalam penafsiran tentu memiliki “aturan main” yang melahirkan batasan-batasan dalam menentukan sebuah makna. Dalam konteks ini, penafsir tidak boleh meluapkan syahwat birahinya (emosinya, mazhabnya, kepentingannya, dst) sesukanya dalam melakukan kerja penafsiran.

Ketiga, ayat yang berkaitan ethico-legal sebagai diskursus. Menurut Saeed, kelompok tekstualis dan mufasir klaisk hanya “memperlakukan” AL-Quran sebagai kajian semantik. Hal ini bisa dilihat dalam kitab tafsir klasik yang sebagian besar berfokus pada pemaknaan antara kata atau gramatikal teks. Padahal, lebih dari itu. Al-Quran diturunkan sebagai sebuah fenomena yang hidup, di mana ia diresepsi, diresitasi maupun sebagai diskursus akademik. Pandangan ini juga disetujui oleh pendahulunya yaitu Farid Esack dalam Quran, Liberation, and Pluralism dan Nasr Hamid Abu Zaid dalam Tekstualitas Al-Quran: Kritik Terhadap Ulum Al-Quran.

Keempat, melacak makna literal teks sebagai langkah awal penafsiran. Saeed merasa hal ini adalah sangat penting guna mengetahui asal-usul dan bentuk aplikatif dari teks tersebut di era masyarakat awal Islam (masa kewahyuan). Sebab dari hal ini nanti akan memberikan jalan keluar sekaligus mengeliminir agar sang penafsiran tidak berpikir liar atau imajinatif-liberatif.

Kelima, pemahaman terhadap konteks sosio-historis. Sebagaimana telah kita ketahui bersama, Al-Quran tidak turun dalam ruang hampa, namun ia diwahyukan dalam suatu masa dan peradaban masyarakat Arab kala itu. Sehingga mau tidak mau jika hendak memahaminya maka dibutuhkan upaya untuk memahami konteks sosio-historis Arab kala itu juga.

Kendati demikian, menelusuri hanya pada asbabun nuzul tidaklah cukup, perlu lebih dari itu, yaitu mengetahui sirah Nabi Muhammad saw secara mendetail baik di Makkah maupun Madinah, spritualitas di Arab, kondisi sosial-budaya, ekonomi, politik dan seterusnya.

Keenam, hirarki nilai dalam teks ethico-legal. Harus kita akui Rahman telah lebih dulu mempertanyakan tentang hirarki ayat ethico-legal, namun ia sendiri tidak mengidentifikasinya terlalu dalam. Nah, formulasi hirarki nilai yang digagas Abdullah Saeed ini merupakan sumbangsih besar Saeed terhadap double movement-nya Rahman. Ia melengkapi celah kekurangan dari pendahulunya. Berikut identifikasinya,

Hirarki Nilai dalam Ayat Ethico-Legal

Pertama, Obligatory values (nilai-nilai yang bersifat wajib). Nilai-nilai ini berkaitan dengan ayat-ayat yang bersifat kewajiban (tidak dapat diotak-atik). Misalnya, ayat keimanan, peribadatan, halal-haram. Ayat-ayat ini terulang beberapa kali dan tidak akan berubah di manapun dan kapanpun (bersifat universal).

Baca juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

Kedua, Fundamental values (nilai-nilai fundamental). Saeed juga mengidentifikasi bahwa ayat yang diulang beberapa kali menunjukkan bahwa ia merupakan bagian ajaran fundamental. Seperti, ayat-ayat yang berbicara tentang keadilan, kemanusiaan, dan semacamnya. Atau dalam terminologi al-Syathibi disebut dengan maqasidus syariah (hifdz al-din, hifdz al-nafs, hifdz al-‘aql, hifdz al-nasl, hifdz al-mal). Atau dalam kajian Rahman, nilai ini disebutnya sebagai prinsip umum (universal principle).

Ketiga, protectional values (nilai-nilai proteksional). Nilai ini merupakan derivasi dari nilai fundamental. Fungsinya tidak lain tidak bukan adalah menjaga eksistensi nilai fundamental. Misalnya, nilai fundamental seperti dalam maqasdi, ambil contoh menjaga harta, maka nilai proteksinya adalah dilarang mencuri. Lalu menjaga keturunan, nilai proteksinya adalah dilarang berzina, dan seterusnya.

Keempat, Implementational values (nilai-nilai implementasional). Nilai ini befungsi untuk menegakkan nilai proteksional. Seperti larangan mencuri, maka ia akan diberlakukan hukuman tertentu, potong tangan atau penjara misalnya. Akan tetapi, Saeed berpendapat bagwa nilai-nilai implementasional ini tidak berlaku secra unievrsal, sebab ada banyak hal yang perlu diperhatikan misalnya, ‘illat hukum yang berbeda, setting sosial, realitas sejarah, dan sebagainya. Yang menyebabkan suatu kondisi di mana hukum juga mengandugn pengecualiann (istisna’) dari hukum awal karena alasan-alasan atau sebab tertentu.

Kelima, Instructional values (nilai-nilai instruksional). Nilai ini berkaitan tentang persoalan yang berlaku khusus pada masa pewahyuan. Bisa berupa larangan atau perintah. Karena nilai-nilai ini berkaitan dengan kondisi pewahyuan, maka belum tentu sifatnya universal.

Saeed menyebutkan bahwa sebagian besar nilai dalam Alquran adalah instruksional itu sendiri. Ayat-ayat semacam ini sangatlah banyak dalam Al-Quran. Bahkan, saking banyaknya nilai inilah yang paling sulit untuk dipahami. Misalnya, perintah berpoligami (An-Nisa‘ [4]: 3), perintah laki-laki menjadi pemimpin bagi perempuan (AnNisa‘ [4]: 34-35), tidak mejadikan orang kafir sebagai kolega (An-Nisa‘ [4]: 89,90), dan lainnya. Wallahu A’lam.

Memahami Istilah Bidah dalam Diskursus Para Ulama Tafsir Masa Lalu

0
Istilah Bidah
Istilah Bidah

Barangkali penggunaan Istilah bidah menjadi istilah yang sangat familiar dewasa ini. Terutama jika berkaitan dengan amalan-amalan furu’iyah dalam agama serta fenomena saling menjustifikasi kebenaran. Salah satu hadis yang berbicara tentang bid’ah dan kerapkali dikutip ialah hadis berikut:

مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلا مُضِلَّ لَهُ ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلا هَادِيَ لَهُ ، إِنَّ أَصَدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ ، وَكُلَّ ضَلالَةٍ فِي النَّارِ

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang bisa menyesatkannya. Dan yang disesatkan oleh Allah tidak ada yang bisa memberi petunjuk padanya. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah (perkara agama) yang diada-adakan, setiap (perkara agama) yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka” (HR. An Nasa’i).

Namun ternyata Imam Jalaluddin al-Suyuthi telah memperbincangkan istilah ini dalam kitabnya Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an dan ini mengindikasikan bahwa perdebatan yang mengerucut pada klaim-klaim pem-bid’ahan sejatinya bukanlah barang langka dalam sejarah perkembangan Islam. Selain itu juga penggunaan istilah bidah tidaklah terbatas pada ranah fiqh semata.

Setelah ditelaah lebih mendalam, memang didapati bahwa ada perbedaan dalam penggunaan istilah bidah di masa lalu (salaf) dan di masa sekarang (khalaf). Jika di masa sekarang istilah bidah biasanya disasarkan pada masalah-masalah fiqhiyah (berkaitan dengan laku beragama), namun di masa lalu istilah bidah ini ternyata juga diperuntukkan untuk menjustifikasi golongan-golongan dalam masalah teologi/ ilmu Kalam yang akhirnya berpengaruh terhadap metode penafsiran Al-Qur’an.

Dalam kitabnya, Imam al-Suyuthi menerangkan bahwa salah satu syarat dasar bagi seorang Mufassir untuk menghasilkan sebuah tafsir yang baik (mahmudah) adalah memiliki keshahihan aqidah. Baginya, keshahihan aqidah ini penting, agar sang Mufassir dapat bersikap objektif dalam menafsirkan Al-Qur’an dan tidak condong pada kepentingan ideologinya.

Ia membuat sebuah kategorisasi dalam menilai seorang kesalahan Mufassir karena ideologinya. Pertama, mereka adalah golongan yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan makna yang telah mereka pradugakan dan praduga ini muncul dari madzhab teologi yang mereka anut. Salah satu contohnya adalah Mu’tazilah yang mengedepankan rasionya dalam menafsirkan Al-Qur’an. ( رعوا المعنى الذي رأوه)

Kedua, mereka adalah golongan yang menafsirkan Al-Qur’an dengan hanya melihat pada lafadz ayat dan tidak memperhatikan Siyaqul Kalam (konteks kalimat-baik berupa struktur kalimat secara menyeluruh maupun konteks historis atau asbabun nuzul). Jadi yang terpenting adalah menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan makna bahasa Arabnya walaupun itu bukanlah pemaknaan yang tepat. (رعوا المعنى بمجرد اللفظ)

Maka keduanya sama-sama telah memelintir maqshudul Qur’an. Baik golongan pertama maupun kedua, dahulu dihukumi sebagai ahli bid’ah karena orientasi mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah untuk pembenaran dari praduga kebenaran mereka masing-masing.

Oleh karena itu, jelas bahwa terdapat perbedaan yang mencolok dari penggunaan istilah bidah di masa lalu dan masa sekarang. Dahulu, istilah bidah juga digunakan pada masalah teologi yang berimbas pada rusaknya penafsiran Al-Qur’an, adapun saat ini digunakan untuk menghakimi golongan yang berbeda dalam pengamalan agama yang sifatnya furu’iyah dalam fiqh.

Jika dibandingkan, perdebatan dan penisbahan klaim bid’ah pada zaman dahulu hanya terlihat dari kitab-kitab para ulama. Jadi masalah ini benar-benar menjadi perdebatan ilmiah karena saling beradu argumentasi dan referensi (mungkin karena belum ada medsos). Namun saat ini perdebatan semisal itu begitu menjamur bahkan menjangkiti orang-orang awam sehingga yang terjadi justru debat kusir.

Maka jika dipahami dengan seksama bahwa apa yang terjadi di masyarakat muslim Indonesia belakangan ini, merupakan imbas dari sikap ta’ashub (fanatisme). Sikap ini tak jarang dilandasi oleh semangat keagamaan yang tinggi dan tidak dibarengi oleh keilmuan yang mumpuni.

Jadi sikap terbaik yang bisa dilakukan umat Islam (dalam hal ini yang masuk kategori awwam) adalah mengikuti ulama yang shahih aqidahnya dan mumpuni keilmuannya serta yang tidak mengajarkan umat untuk berselisih namun berislah (harmonisasi), sembari memperdalam ilmu agar nantinya bisa menjadi agen-agen pelerai konflik dalam masyarakat karena keluasan ilmu dan kebijaksanaan yang dimiliki.

من قل علمه كثر اعراضه ومن كثر علمه قل اعتراضه على الناس

Orang yang sedikit ilmunya justru lebih berpotensi mencederai orang lain sedang yang ilmunya luas akan lebih bijak dalam bersikap“. Wallahu a’lam.

Menelisik Jin dalam Al-Quran, Makhluk yang Juga Dibebani Syariat

0
Jin dalam Al-Quran
Jin dalam Al-Quran

Alam raya ini diciptakan oleh Allah dengan berbagai jenis makhluk hidup, baik dari makhluk yang berjasad seperti manusia, maupun yang tak kasat mata seperti jin. Perihal makhluk jin memang seringkali akrab dalam pembahasan manusia meski ia bukan berasal dari golongannya. Banyak orang yang mengidentikkan makhluk ini dengan syetan maupun iblis. Namun, makhluk yang disebut jin ini ternyata telah banyak dibahas oleh Al-Quran. Setidaknya diitemukan lima padanan kata yang sering digunakan Al-Quran untuk menunjuk makhluk halus dari kalangan jin yaitu jin, jaann, jinnah, iblis, syaithan. Sebagaimana makhluk Allah lainnya, penciptaan jin tersebut di dunia ini juga memiliki tujuan tersendiri. Tulisan ini akan mengungkap jin dalam Al-Quran.

Definisi jin dalam Al-Quran

Dalam buku Mengenal Malaikat dalam Al-Quran, Quraish Shihab cukup rinci menerangkan istilah akar kata jin, yang pada maknanya adalah yang tersembunyi dan tertutup. Semantik kata yang sama dengan jin menurut Quraish Shihab di antaranya adalah majnun (manusia yang tertutup akalnya), janin (bayi yang masih dalam kandungan, karena tertutup oleh perut ibu), al-junnah (tameng, ia menutupi seseorang dari gangguan), junnah (orang munafik yang menjadikan sumpah untuk menutupi kesalahan dan menghindarkan dari kecaman dan sanksi), kemudian janin (kalbu manusia, karena ia dan isi hati tertutup dari pandangan dan pengetahuan).

Al-Isfahany juga turut memberikan keterangan bahwa definisi jin secara etimologi berasal dari lafadz “janna” dalam surah Al-An’am ayat 76. Melalui bukunya Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Quran Al-Isfahany menafsirkan lafazd jin dalam ayat tersebut bermakna sebagian ruh yang tertutup bagi panca indera, di antara mereka ada yang baik dan ada pula yang jahat. Mereka ini adalah makhluk yang tidak terlihat dan diciptakan terlebih dulu sebelum manusia sebagaimana tersebut dalam surah Al-Hijr ayat 27:

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin

وَٱلْجَآنَّ خَلَقْنَٰهُ مِن قَبْلُ مِن نَّارِ ٱلسَّمُومِ

“Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.”

Mengenai ayat ini Jauhari dalam Tafsir Al-Jawahir berpendapat bahwa kata jaann dalam ayat tersebut adalah sekelompok jin yang telah ada sebelum Nabi Adam diciptakan. Hal ini dikukuhkan oleh kebiasaan Al-Quran yang memperhadapkan lafadz “insi” yang berarti kumpulan manusia dengan “jaanni” seperti dalam surah Ar-Rahman ayat 39.

Jin, makhluk yang dibebani syariat

Setiap ciptaan Allah pasti mempunyai tujuan atas penciptaan tersebut, termasuk pula makhluk yang bernama jin. Sebagaimana dalam ayat populer yaitu surah Az-Zariyat aat 56 bahwa tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah, atau mengabdi kepada Allah. Mengabdikan diri kepada Allah berarti jin dibebani (mukallaf) hukum syara’ dengan konsekuensi logis, bahwa apabila ia melaksanakan peritah Allah mereka akan diberikan pahala , demikian pula ketika mereka durhaka maka akan mendapat dosa dan akan menerima siksa di akhirat kelak.

Keterangan tugas jin sebagai makhluk yang taklif syariat juga ditegaskan Allah dalam surah Al-An’am ayat 130. Kemudian jika menelisik surah Ar-Rahman, lafadz “fabiayyi aalaai rabbikumaa tukadzdzibaan” yang berulang sebanyak 26 kali, khitabnya adalah mutsanna yaitu dari kalangan manusia dan juga jin. Memang tidak ada rasul yang diutus dari kalangan jin, namun mereka tetap dapat menerima ajaran yang disampaikan rasul tersebut sebagaimana dalam surah Jin ayat 1-2:

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

“Katakanlah (hai Muhammad): ‘Telah diwahyukan kepadamu bahwasannya: ‘telah mendengarkan mendengarkan sekumpulan jin (akan Al-Quran), lalu mereka berkata ‘Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Quran yang menakjubkan, yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya, dan sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan Tuhan kami’.”

Baca juga: Sering Merasa Takut? Baca Ayat Ini Untuk Menangkal Gangguan Jin

Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Rasulullah mengetahui para jin yang mendengar wahyu yang diturunkan kepadanya, tetapi tidak melalui kesaksian mata. Al-Mawardi dengan mengutip riwayat dari Ibnu Abbas mengasumsikan bahwa jin beriman setelah Al-Quran diturunkan Nabi Muhammad. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dengan mengutip pendapat Ar-Razi juga memberikan pandangan bahwa jin memahami bahasa manusia. Mereka mendengarkan pembacaan ayat-ayat Al-Quran dari Nabi. Adapun bagaimana cara mendapatkan dan mendengarkan bacaan tersebut memang tidak diterangkan lebih lanjut, dan hanya Allah yang mengetahui.

Jin dan makhluk sejenisnya

Jin sering dicatut namanya ketika menyebut iblis atau syetan. Sebetulnya pencatutan demikian tidak sepenuhnya keliru, namun menggeneralisir jin adalah iblis atau syetan adalah kurang tepat. Jin sendiri sama seperti manusia, ia terklasifikasi menjadi dua sifat yaitu jin muslim dan jin kafir. Pada manusia pun juga terdapat dua sifat, yaitu manusia yang beriman kepada Allah dan manusia yang durhaka kepada Allah.

Adapun iblis terdapat pengertian sendiri. Mufassir seperti Hasbi As-Shiddiqi dalam Tafsir al-Quran al-Majid an-Nur dan At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan li Ta’wil al-Quran meyakini pendapat bahwa iblis adalah dari kalangan malaikat. Mengutip Az-Zamakhsyari dan Al-Kawasyi, Hasbi As-Shiddiqi memberikan pandangan bahwa iblis ini adalah jin yang ada di antara beribu-ribu malaikat. At-Thabari memberikan argumentasi bahwa secara bahasa kata jin dapat mencakup malaikat karena ketertutupan dan ketersembunyian malaikat dari jangkauan indra manusia. Dalil lain yaitu dengan adanya perintah sujud para malaikat kepada Adam.

Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Pendapat As-Shiddiqi dan At-Thabari tersebut agak rancu mengingat malaikat sendiri tercipta dari nur atau cahaya, sedang iblis dari api. Pendapat dari Quraish Shihab menyatakan bahwa iblis bukan termasuk jenis malaikat. Quraish Shihab juga mengutip pendapat Mutawalli Sya’rawi dalam kitab Syaithan wa al-Insan bahwa kita harus mengenal syetan-syetan dari jenis jin dan syetan-syetan dari jenis manusia. Kedua jenis ini dihimpun oleh sifat yang sama dan tugas yang sama, yaitu membendung kebenaran, mengajak kekufuran, menyebarkan kedurhakaan dan pengrusakan di bumi. Wallahu a’lam[]

Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed

0
penafsiran kontekstual
penafsiran kontekstual abdullah saeed (islami.co)

Pada artikel sebelumnya telah dibahas biografi Abdullah Saeed, maka pembahasan kali ini berfokus pada latar belakang munculnya penafsiran Al-Quran secara kontekstual yang dicetuskan oleh Abdullah Saeed. Sebenarnya penafsiran kontekstual ala Saeed bukanlah hal yang baru, pendahulunya Fazlur Rahman, misalnya, telah menuliskan satu konsep yang disebutnya dengan double movement (gerak ganda).

Nah, Saeed terinspirasi salah satunya dari double movement tersebut. Dalam The Quran: An Introduction, Saeed secara terang-terangan menyebut dirinya sebagai contextualist untuk merujuk kepada pemikir Islam yang memiliki impact yang besar, semisal Fazlur Rahman.

Saeed berupaya mensistematisasikan pemikiran Rahman yang “kurang dipahami” oleh kalangan umum secara metodologis, terutama pemikiran Saeed dalam Interpreting the Quran: Towards a Contemporary Approach, yang memuat tentang metodologi tafsir yang ditawarkan olehnya. Guna merealisasikan pemikirannya, Saeed lalu mengepakkan pandangan penafsirannya yang ia sebut sebagai penafsiran kontekstual.

Latar Belakang Penafsiran Kontekstual

Secara fundamental, gagasan Saeed ini merupakan bentuk continuity dan penyempurnaan daripada pemikiran Fazlur Rahman. Menurut Saeed, rahman telah meletakkan pondasi dasar dari metode tafsir yang ditawarkannya. Saeed mengakui kontribusi Rahman dalam memberikan metodologi “alternatif” untuk menafsirkan ayat ethico-legal, yaitu menghubungkan teks dengan konteks, baik pada saat pewahyuan maupun era kekinian.

Hubungan tersebut yang oleh Rahman disebut sebagai double movement. Hubungan tersebut meniscayakaan dua dimensi makna Al-Quran, historis dan kontemporer. Makna historis adalah makna pada masa Nabi dan generasi awal, sementara makna kontemporer merujuk pada pemaknaan Al-Quran di era kontemporer.

Baca juga: Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

Sebagai penganut mazhab Rahmanian, Saeed nampaknya memiliki kegelisahan akademik, yakni maraknya model penafsiran tekstual yang cenderung skriptualis. Saaed berpendapat bahwa penafsiran tekstualis-skriptualis mengabaikan konteks sosio-historis. Padahal, ada gap antara kebutuhan orang Islam di abad 21 pada satu sisi, dan kompleksitas pemahaman ayat Al-Quran sebagaimana keadaan sosio-historis di era Islam awal di sisi yang lain.

Berpijak dari kegelisahan tersebut, Saeed tergerak untuk merekonstruksi bangunan model tafsir yang “ramah” terhadap konteks, dan ini terlihat tatkala Saeed merumuskan landasan-landasan teoretis, metodologis maupun epistemologis dan askiologisnya.

Gagasan penafsiran kontekstual ala Saeed setidaknya dapat dilacak ketika Saeed studi di Australia. Pertama, Saeed terinspirasi – untuk tidak mengatakan terpengaruh – dari gagasan double movement-nya Rahman. Saeed mengutip Rahman, bahwa dalam rangka “membebaskan” pesan abadi Al-Quran, sebuah gerak ganda perlu dilakukan; (1) seseorang harus memahami proses impor atau makna dari pernyataan yang diberikan dengan mengkaji konteks historis atau masalah yang telah diberi jawaban.

(2) seseorang harus melakukan “generalisasi” atas jawaban spesifik dan mengartikulasikannya sebagai pernyataan tentang tujuan moral-sosial umum yang disarikan dari teks-teks khusus dengan mempertimbangkan latar belakang sosio-historisnya.

Kedua, Saeed terinspirasi dari gagasan Ghulam Ahmad Parvez yang menggaungkan penggunaan metode atau slogan “kembali kepada prinsip-prinsip Al-Quran”. Saeed dalam Interpreting the Quran bahwa Parvezz berargumen bahwa Al-Quran telah memuat semua prinsip yang diperlukan untuk mengaplikasikan konsep keislaman tentang keyakinan dan amal salih baik oleh rasio maupun wahyu.

Melalui teori kecukupan diri (self sufficiency) Al-Quran, Parvezz menyampaikan bahwa Islam memiliki inti yang statis (terbatas atau tidak berubah), namun pengimplementasiannya dalam kehidupan dapat disesuaikan dan bersifat dinamis (tidak terbatas atau berubah). Lalu, ia menawarkan gagasan demitologisasi terhadap konsep-konsep Al-Quran yang dianggap bersifat mitos (myth) sebagai salah satu metode interpretasi.

Baca juga: Mengurai Dua Peta Tipologi Pemikiran Tafsir Kontemporer

Ketiga, gagasan Mohammed Arkoun tentang dekonstruksi wahyu. Gagasan ini digunakan Saeed sebagai metode pembacaan kronologi pewahyuan yang terlibat dalam proses turunnya ayat (tanzil). Proses ini melalui empat fase, yaitu fase kalam Allah (firman), fase wacana Qurani, fase korpus resmi tertutup (closed official corpus) dan fase korpus tertafsir (interpreted corpus).

Keempat, Saeed juga dipengaruhi oleh gagasan Farid Esack melalui pendekatan hermeneutika pembebasan. Namun lagi-lagi, Saeed meracik teori ini guna mendasarkan pada pembacaan teks terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah karena mengalami kesenjangan, maka harus dicarikan justifikasinya melalui teks, untuk memberikan perubahan sosial masyarakat sesuai spirit Al-Quran.

Singkat kata, Saeed berusaha memahami setiap konteks sosial-historis dan kontemporer melalui mekanisme gagasan hermeneutika pembebasannya Esack guna mengaitkan dan menerjemahkan kedua konteks tersebut.

Kelima, Saeed juga dipengaruhi oleh Khaled Abou El Fadl tentang gagasan hermeneutika negosiatif-nya. Bagi Saeed kontribusi Khaled terletak pada konten ethico-legal yang banyak sejalan dengan konsep dan tujuan pemikirannya.

Gagasan Khaled tentang otoritas, komunitas interpretif dan perannya dalam memproduksi makna dan keseimbangan antar teks, pengarang dan pembaca melahirkan pembacaan yang bersifat negosiatif. Yaitu membebaskan teks dari kebisuan, pereduksian hukum Islam, dan perusakan integritas teks-teks keislaman. Hal ini menjadikan Saeed bersifat open-minded dalam mengakui dan mengapresiasi kompleksitas makna dalam kerja penafsiran Al-Quran.

Dengan demikian, benang merah yang dapat ditarik adalah terletak pada ide tentang hak teks (sebagai wahyu tertulis) dan hak pembaca yang selama ini “terkesampingkan” dan mengunci pesan wahyu Allah swt dalam makna tertentu yang bersifat absolut, final dan konklusif. Demi menjaga hak keduanya, kata Saeed, maka penafsiran terhadap Al-Quran harus melibatkan seluruh metodologi tafsir yang ada secara holistik baik tekstualis klasik-modern maupun kontekstualis klasik-modern demi menemukann ruh sekaligus pesan moral Al-Quran untuk direalisasikan dalam menjawab problem kekinian. Wallahu A’lam.

Anda Beriman, Maka Bersiaplah untuk Diuji, Tafsir Surat Al-Ankabut Ayat 2

0
iman dan ujian dalam Al-Quran
iman dan ujian dalam Al-Quran

Setiap orang yang beriman pasti akan diuji, tidak peduli tingkat keimanan dan status sosialnya. Tidak mudah melewati ujian tersebut, butuh kesabaran dan perjuangan. Demikian kurang lebih pesan dalam tafsir surat Al-Ankabut ayat 2.

Sejak awal sudah disampaikan oleh Allah dalam Al-Quran surat Al-Ankabut ayat 2, tentang ujian bagi orang yang beriman.

اَحَسِبَ النَّاسُ اَنْ يُّتْرَكُوْٓا اَنْ يَّقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُوْنَ

“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji?”

Melalui ayat ini, Allah sedari dini sudah menyampaikan kepada kita bahwa masing-masing kita akan diuji, dan sudah seharusnya kita tidak kaget dan sudah siap atas bentuk dan model-model ujian yang akan diberikan olehNya.

Salah satu bentuk ujian ini berupa gangguan dan siksaan dari kafir Quraisy terhadap para sahabat di masa awal-awal Islam. Sebut saja sahabat Ammar bin Yasir, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah, Al-Walid dan Salamah bin Hisyam. Menurut Syekh Nawawi Al-Bantani, kejadian ini yang menjadi sabab nuzul ayat.

Sudah jamak diketahui bahwa ayah dan ibu sahabat Ammar yang pada saat itu sedang hamil dibunuh oleh orang kafir di depannya langsung, sehingga peristiwa ini sempat membuat keimanannya goyah. Tidak begitu berbeda dengan siksaan yang diterima sahabat lainnya.

Baca Juga: Surat Al-Ankabut Ayat 2: Agar Tidak Berputus Asa dari Rahmat Allah Swt

Untuk selanjutnya, bentuk ujian orang-orang yang beriman bermacam-macam, tidak hanya gangguan dari kafir Quraisy, tetapi juga kemiskinan, kelaparan, kecemasan dan kekawatiran-kekawatiran lainnya.

Iman identik dengan kesabaran dan perjuangan

Tafsir surat Al-Ankabut ayat 2 ini menyampaikan bahwa iman kepada Allah itu tidak cukup hanya dengan pernyataan ‘kami telah beriman’, tetapi tanpa bukti nyata, tidak ada tindakan dan perjuangan.

Thaba’thaba’i dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menyampaikan bahwa Allah menghendaki dari keimanan bukan sekadar mengucapkan “kami telah beriman kepada Allah”, tetapi hakikat iman yaitu keteguhan menghadapi gelombang fitnah dan penganiayaan, tidak tergoyahkan oleh perubahan kedaan dan situasi.

Sama dengan Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, menurutnya tiap-tiap iman pasti akan ada ujian, yang tidak tahan dan tidak berhasil dengan ujian tersebut, maka imannya masih sebatas di mulut, belum di hati. Ini merupakan tingkat keimanan yang paling rendah.

Baca Juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

Mengenai hakikat keimanan, surat Al-Baqarah ayat 214 dan surat Ali Imran ayat 142 juga menyinggung semangat yang sama dengan surat Al-Ankabut ayat 2.

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَّثَلُ الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۗ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاۤءُ وَالضَّرَّاۤءُ وَزُلْزِلُوْا حَتّٰى يَقُوْلَ الرَّسُوْلُ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مَعَهٗ مَتٰى نَصْرُ اللّٰهِ ۗ اَلَآ اِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ

“Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.”

اَمْ حَسِبْتُمْ اَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصّٰبِرِيْنَ

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara kamu, dan belum nyata orang-orang yang sabar.”

Selain itu, sabar menghadapi dan menjalani ujian juga menjadi tolak ukur keimanan seseorang. “iman bukanlah kalimat yang hanya diucapkan, tetapi ia adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan kewajiban yang merupakan konsekuensi dari pengucapannya” Demikian penuturan Imam Nawawi Al-Bantani.

Berbahagialah orang yang sabar, tidak putus asa, ikhlas dan tetap berjuang dalam melewati ujian itu. Orang yang sabar, tidak akan menyalahkan Allah atas ujian dan cobaan yang menimpanya, ia juga tidak menghindarinya, melainkan ia akan hadapi ujian tersebut, ia terima dan jalani seraya tetap yakin akan kasih sayang Allah kepadanya.

Baca Juga: Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Makin tinggi kualitas keimanan seseorang, makin besar pula ujian yang menimpanya

Seperti bunyi pepatah, semakin tinggi pohon, maka makin kencang pula angin menerpanya. Demikian pula dengan hubungan iman dan ujian, semakin tinggi derajat iman seseorang, makin besar pula cobaan dan ujian yang menimpanya. Sebagaimana hadis Nabi saw,

أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلاَءً ؟ قاَلَ الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ فَيُبْتَلَى الرَّجُلُ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَإنْ كَانَ دِيْنُهُ صُلْبًا اشْتَدَّ بَلاَؤُهُ وَإِنْ كَانَ فِي دِيْنِهَ رِقَّةٌ ابْتُلِىَ عَلَى حَسَبِ دِيْنِهِ فَمَا يَبْرَحُ الْبَلاَءُ بِالْعَبْدِ حَتَّى يَتْرُكَهُ يَمْشِى عَلَى الْأَرْضِ مَا عَلَيْهِ خَطِيْئَةٌ

“Rasulullah saw ditanya oleh sahabat, ‘siapakah manusia yang paling berat ujiannya? Rasul menjawab, para Nabi, kemudian yang sepertinya , kemudian yang sepertinya. Sungguh seseorang itu diuji berdasarkan agamanya. Bila agamanya kuat, ujiannya pun berat. Sebaliknya, bila agamanya lemah, ia diuji berdasarkan agamanya. Ujian tidak akan berhenti menimpa seorang hamba hingga ia berjalan di muka bumi dengan tidak mempunyai kesalahan.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadis ini semakin memperjelas bahwa adanya ujian dan cobaan dari Allah memang untuk menguji keimanan seseorang. Jika seseorang itu lulus, maka di situlah ia bisa menunjukkan kelas imannya.

Pohon dikatakan kokoh apabila ia mampu melewati angin kencang yang menerpanya berkali-kali, demikian pula iman, dikatakan kuat jika ia berhasil ditempa dan diterpa oleh ujian dan cobaan yang berlipat-lipat. Wallahu A’lam

Perbedaan Sinonim Kata Sanah dan ‘Am dalam Al-Quran

0
Perbedaan Sinonim Kata Sanah dan ‘Am dalam Al-Quran
Perbedaan Sinonim Kata Sanah dan ‘Am dalam Al-Quran

Al-Quran, sebagaimana kita tahu, mengandung banyak sekali kosakata yang beragam, yang tak jarang kita tahu memiliki makna yang bersinonim, muradif. Itulah di antara keluhuran mukjizat al-Quran yang bahkan orang Arab sendiri tidak mampu untuk mendatangkan satu contoh kalimat pun yang bisa menandinginya. Seperti halnya dengan perbedaan sinonim kata sanah dan ‘am dalam al-Quran. 

Lafal-lafal al-Quran memiliki karakteristik yang khusus, itulah sebabnya. Selain karakter yang khas, al-Quran juga memiliki uslub-uslub (gaya) yang beragam, yang penuh dengan makna sastrawi nan dalam. Oleh karena itu, dirasah(studi) al-Quran merupakan yang terpenting di antara dirasah ilmu-ilmu lainnya, yang tidak dapat sempurna kecuali dengan topangan ilmu tafsir.

Di antara contoh kosakata muradif di dalam al-Quran adalah lafal al-sanah dan al-‘am yang diartikan dengan tahun. Al-Sanah (singular) dalam al-Quran disebut sebanyak 7 kali, di antaranya ada di Q.S. al-Baqarah [2]: 96, Q.S. al-Maidah [5]: 26, Q.S. al-Hajj [22]: 47, Q.S. al-‘Ankabut [29]: 14, Q.S. al-Sajdah [32]: 5, Q.S. al-Ahqaf [46]: 15, dan Q.S. al-Ma’arij [70]: 4.

Sementara dalam bentuk pluralnya (sinin) disebut 12 kali, di antaranya dalam Q.S. al-A’raf [7]: 130, Q.S. Yunus [10]: 5, Q.S. Yusuf [12]: 42 dan 47, Q.S. al-Isra’ [17]: 12, Q.S. al-Kahfi [18]: 11 dan 25, Q.S. Thaha [20]: 40, Q.S. al-Mukminun [23]: 112, Q.S. al-Syu’ara` [26]: 18 dan 205, dan Q.S. al-Rum [30]: 4.  

Baca juga: Merancang Resolusi Tahun 2021 Berbasis Al-Quran

Kemudian kata al-‘aam dalam al-Quran disebut sebanyak 9 kali, di antaranya dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 259 dua kali, Q.S. al-Taubah [9]: 28, 37 (dua kali) dan 126, Q.S. Yusuf [12]: 49, Q.S. al-‘Ankabut [29]: 14, dan Q.S. Luqman [31]: 14 (Abd al-Baqi, 1945).

Perbedaan di Kalangan Ulama

Terjadi beberapa perbedaan pendapat mengenai tafsir kedua lafal; al-sanah dan al-‘am tersebut. Namun secara garis besar terbagi menjadi tiga pendapat;

Pertama. Lafal sanah dan ‘am dalam al-Quran mengandung makna satu. artinya sama-sama bermakna tahun. Perbedaan antara keduanya hanya pada sisi balaghah al-Quran dalam penggunaannya untuk menghindari pengulangan satu lafal pada tempat yang berbeda. Pendapat ini digamit oleh Imam al-Zamakhsyari dan Ibn ‘Asyur, pengarang Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir.

Kedua. Perbedaan antara makna keduanya adalah; lafal sanah digunakan untuk menunjukkan tahun yang buruk/celaka(syaqa’) sementara lafal ‘am digunakan untuk menunjukkan kondisi tahun yang sejahtera dan subur seperti dalam Q.S. al-‘Ankabut [29]: 14.

وَلَقَدۡ أَرۡسَلۡنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوۡمِهِۦ فَلَبِثَ فِيهِمۡ أَلۡفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمۡسِينَ عَامٗا فَأَخَذَهُمُ ٱلطُّوفَانُ وَهُمۡ ظَٰلِمُونَ ١٤

Artinya, “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.”

Lafal sanah dalam ayat tersebut menunjukkan tahun-tahun yang dilalui Nabi Nuh mengajak kaumnya untuk bertauhid kepada Allah. Tetapi alih-alih diterima dan diikuti ajarannya, Nabi Nuh justru mendapat pengkhianatan dan siksaan, hingga akhirnya mereka—kaum Nabi Nuh—disiksa oleh Allah dengan ditenggelamkan.

Baca juga: Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

Selanjutnya, lafal yang dipakai adalah ‘am (khamsina ‘am), tidak lagi lafal sanah. Hal tersebut menunjukkan pada tahun-tahun pascaselamatnya Nabi Nuh beserta kaumnya yang beriman dari bahtera, mereka hidup dengan sejahtera. Ulama yang menggamit pendapat ini salah satunya adalah al-Raghib al-Ashfihaniy (1108), ia berkata; “Umumnya, penggunaan diksi sanah digunakan untuk tahun yang di dalamnya terjadi berbagai kesulitan dan hal-hal yang tidak baik. Sementara diksi ‘am digunakan untuk maksud sebaliknya.”

Ketiga. Lafal al-‘am lebih umum ketimbang lafal sanah. Sebab lafal al-‘am yang memiliki bentuk nomina ‘aum yang berarti berenang atau beredar untuk menunjukkan perjalanan matahari yang beredar pada garis edarnya selama dua belas bulan. Hal ini ditunjukkan oleh Q.S. Yasin [36]: 40.

لَا ٱلشَّمۡسُ يَنۢبَغِي لَهَآ أَن تُدۡرِكَ ٱلۡقَمَرَ وَلَا ٱلَّيۡلُ سَابِقُ ٱلنَّهَارِۚ وَكُلّٞ فِي فَلَكٖ يَسۡبَحُونَ ٤٠

Artinya, “Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya.”

Kosakata Muradif yang Sejatinya Bukan

Selain dengan lafal al-sanah dan al-‘am, kosakata muradif dalam al-Quran adalah al-khauf dan al-khasyyah yang berarti takut. Manna’ Khalil al-Qathan (2007) dalam Mabahits-nya mengikuti pendapat kedua dalam menyikapi hal ini. Ia memaknai keduanya dengan masing-masing asalnya. Ia mengatakan makna al-khasyyah lebih tinggi dari al-khauf, sebab al-khasyyah diambil dari kata-kata syajarah khasyyah yang berarti pohon yang kering. Sementara al-khauf diambil dari kata-kata naqah khaufa` yang berarti unta betina yang berpenyakit.

Kemudian dalam konteks makna takut, Khalil mengartikan al-khasyyah dengan makna rasa takut yang timbul karena agungnya sosok yang ditakuti, kendati ia yang takut tersebut adalah seorang yang kuat. Oleh karena itu, al-khasyyah adalah al-khauf atau rasa takut yang disertai dengan rasa hormat (takzim).

Baca juga: Surat Yunus [10] Ayat 6: Refleksi Pergantian Tahun

Sementara lafal al-khauf diartikan takut karena yang ditakuti lebih kuat, misalnya yang digunakan dalam al-Nahl [16]: 50, digunakan untuk mensifati para malaikat yang telah disebutkan kekuatan dan kehebatan mereka. Maka penggunaan lafal al-khauf dalam al-Nahl [16]: 50 tersebut untuk menjelaskan bahwa sekalipun para malaikat kuat dan ‘gigantis’ tetapi di hadapan Allah mereka adalah makhluk yang lemah.

Ala kulli hal, dalam momen pergantian tahun ini, mengingat dan sadar bahwa kesempatan hidup hanya sekali adalah sebenar-benarnya perayaan. Boleh kita mengira umur begitu panjang, tapi kita harus tahu, bahwa hidup di dunia hanya terdiri dari tiga helaan napas; napas yang telah terhempas, napas yang sedang kita hirup dan akan kita hempaskan, dan napas yang akan datang. Sementara jarak kita dengan kematian hanyalah selemparan batu. Artinya sangat dekat. Dan Allah tidak menilai panjang-pendek umur seorang hamba, tetapi apa yang telah diperbuatnya untuk Allah. Kullu ‘am wa antum bi khair!!

Momentum Hijrah di Tahun Baru, Penjelasan Surat An-Nisa Ayat 100

0
Tahun Baru
Tahun Baru 2021

Hari ini adalah hari pertama tahun baru 2021. Sebagai permulaan, ada baiknya kita memulai hijrah dari kebiasaan buruk ke kebiasaan yang baik. artikel ini akan menguraikan soal hijrah terutama dalam Surat An-Nisa ayat 100. Allah Swt berfirman:

وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Barang siapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di ‎muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak. Barang ‎siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan ‎Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke ‎tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. ‎Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. An-‎Nisa’: 100)‎

Alhamdulillah, atas perkenan Allah hari ini kita memasuki tahun baru ‎‎2021. Ibarat sebuah buku berisi 365 halaman, inilah halaman pertama yang ‎kita buka. Apakah mau kita isi dengan catatan hitam, ataukah akan kita hiasi ‎dengan tinta emas? Itu semua terserah kita. Selanjutnya, masih tersisia 364 ‎halaman lainnya yang masih bersih tanpa ada catatan apa pun.‎

Hemat penulis, momen tahun baru adalah momen terbaik untuk ‎menyusun mimpi-mimpi baru, langkah-langkah baru, yang jauh lebih baik dan ‎bermakna dari tahun lalu. Inilah momentum untuk memperbaiki diri, setelah ‎sebelumnya melakukan refleski, koreksi serta introspeksi diri. Inilah saat yang ‎tepat untuk melakukan apa yang dalam bahasa agama disebut “Hijrah”. ‎

Ditinjau dari segi bahasa kata “Hijrah” berasal dari bahasa Arab, yang ‎mempunyai arti berpindah dari satu tempat ke tempat lain, meninggalkan ‎suatu perbuatan, dan menjauhkan diri dari pergaulan yang buruk. ‎

Adapun secara istilah, hijrah mengandung beberapa makna: Pertama, ‎hijrah (meninggalkan) semua perbuatan yang dilarang Allah Swt, ‎sebagaimana ditegaskan dalam salah satu hadis Nabi Saw: “Orang yang ‎berhijrah adalah orang yang mampu menjauhi serta menghindari apa yang ‎dilarang Allah untuk melakukannya.”‎

Kedua, hijrah (menjauhkan diri) dari lingkungan yang tidak ‎mendukung aktivitas ibadah yang kita lakukan. Jika kita tinggal di suatu ‎tempat yang tidak memungkinkan untuk melakukan aktivitas ibadah, karena ‎ada gangguan dan cobaan orang-orang yang membenci ajaran agama kita, ‎maka kita wajib berhijrah dari tempat itu ke tempat lain yang lebih aman, ‎untuk dapat melaksanakan perintah Allah, dan menjauhi larangan-Nya. Inilah ‎hijrah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw. dan para pengikutnya.‎

Selain itu, kita juga dianjurkan berhijrah dari daerah yang tidak aman ‎ke daerah yang aman, seperti adanya bencana alam, kebanjiran, gunung ‎meletus, tsunami dan lain-lain.‎

Menurut Mahmud Syaltout, hijrah dibagi menjadi dua bagian, yakni ‎hijrah “Badaniah”, dan hijrah “Qalbiyah”. Hijrah badaniah yaitu hijrah ‎menggunakan kekuatan fisik, dengan berpindah dari satu daerah atau tempat ‎yang tidak nyaman, menuju daerah yang memberikan harapan hidup lebih ‎baik di masa yang akan datang. Sedangkan hijrah “Qalbiyah” adalah hijrah ‎yang didasari oleh keyakinan dan hati nurani. Hijrah ini dilakukan tanpa ‎pindah dari satu tempat ke tempat lain, tetapi pindah dari kondisi batin yang ‎tidak sehat berupa kemaksiatan, kejahatan dan kemunkaran, kepada sikap ‎batin yang baik yang diridloi Allah Swt.‎

Pandangan yang dikemukakan Mahmud Syaltout ini sejalan dengan ‎apa yang dipahami oleh para sufi ketika menafsirkan ayat wa man yakhruj ‎min baitihi muhajiran ila Allahi wa rasulihi… ‎

Dalam beberapa kitab tafsir sufi dijelaskan bahwa makna bait (rumah) ‎dalam ayat tersebut, selain secara zahir diartikan sebagai rumah tempat ‎tinggal, makna hakiki (substansi)-nya adalah rumah di dalam diri setiap ‎manusia. Maka, tafsir ayat tersebut adalah bahwa “…dan barangsiapa yang ‎keluar dari (ego) dirinya menuju Allah dan rasul-Nya…”‎

Hijrah secara hakiki adalah keluar dari ego, menuju keridlaan Allah ‎Swt., sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah Saw. dalam hadis di atas. ‎

Orang yang berhijrah secara hakiki adalah orang yang meninggalkan ‎segala bentuk kejahatan, kemungkaran dan kemaksiatan yang bersumber dari ‎dirinya. Dia tinggalkan kesombongan, prasangaka buruk (su’uzhan), ‎kedengkian, kemarahan, kebakhilan, keputusasaan. Dia hiasi dirinya dengan ‎kerendahhatian (tawaduk), kesabaran, rasa syukur, berbaik sangka, istiqamah ‎dalam kebaikan serta tawakkal kepada Allah. Inilah hijrah yang ‎sesungguhnya, keluar dari ego.‎

So, tahun baru 2021 yang baru saja kita buka halaman pertamanya ini, ‎adalah momentum yang sangat tepat untuk kita melakukan hijrah qalbiyah, ‎yaitu keluar dari segala perangai dan perilaku buruk kita selama ini. Kita ‎hijrahkan diri, keluar dari ego menuju keridaan Allah Swt.‎

Semoga di tahun baru ini, kehidupan kita jauh lebih baik dan berkah daripada tahun lalu. Amin.

Merancang Resolusi Tahun 2021 Berbasis Al-Quran

0
Merancang resolusi tahun 2021
Merancang resolusi tahun 2021

Desember 2020 sebentar lagi berakhir. Dunia akan memasuki awal tahun 2021. Umumnya kita sering membuat resolusi untuk menyambut tahun yang akan datang dengan sederet daftar list agenda ke depan. Pada tahun lalu pun mungkin kita juga telah membuat resolusi dengan matang-matang. Namun sayangnya hal tak terduga membuat rencana yang telah dibangun dengan rapi tersebut meleset dengan adanya musibah pandemik yang berlangsung hampir selama satu tahun ini. Tapi kawan, Allah menyuruh kita untuk tetap optimis dan tidak berputus asa dari rahmat-Nya. Banyak hikmah yang bisa diambil dari jeda pademi ini. Kita bisa belajar lebih jernih lagi dalam membuat perencanaan yang salah satunya berbasis landasan Al-Quran. Lalu, bagaimanakah merancang resolusi tahun 2021 dengan berbasiskan Al-Quran? Simak penjelasan berikut!

Memulai resolusi dengan introspeksi

Ada satu ayat Al-Quran yang sangat relevan dengan situasi manusia saat ini dan dapat diambil hikmah dalam rangka mengawali resolusi tahun baru. Ayat tersebut adalah surah At-Taubah ayat 126:

أَوَلَا يَرَوْنَ أَنَّهُمْ يُفْتَنُونَ فِى كُلِّ عَامٍ مَّرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ لَا يَتُوبُونَ وَلَا هُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Dan tidaklah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?”

Konteks ayat tersebut menurut At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an sebetulnya ditujukan kepada orang-orang munafik sebagai sebuah sindiran keras. Orang-orang munafik selalu ditimpa fitnah sekali maupun dua kali dalam setiap tahun, tapi tetap saja mereka tidak mau bertaubat dan memetik hikmah. At-Thabari menuturkan bahwa fitnah yang dimaksud bisa berupa krisis ekonomi bencana alam maupun musibah besar. Fitnah yang semakin menyudutkan munafiqun tersebut memang dimaksudkan Allah untuk memberi pelajaran agar bertaubat dan kembali berislam tanpa kemunafikan.

Baca juga: Tinggalkan Rebahan, Mari Produktif di Tengah Pandemi: Tafsir Surat Al-Asr Ayat 1-3

Meskipun konteks ayat tersebut pada mulanya ditujukan kepada orang munafiq namun ia juga tidak keliru untuk dijadikan pegangan bagi setiap orang yang mengalami fitnah. Apalagi sepanjang tahun 2020 ini dunia terkena musibah non alam yaitu pandemik covid-19. Bisa dikatakan ini sebagai ujian kolektif dari Allah karena dampaknya memang dirasakan setiap manusia di seluruh dunia tanpa terkecuali.

Merujuk ayat tersebut, musibah pandemi kali ini justru menjadi momentum yang sangat pas untuk introspeksi diri. Brangkali kita terlalu ambisius dalam mengerjakan sesuatu hingga kurang syukur, hingga diturunkannya pandemi sebagai waktu jeda. Barangkali kita masih belum maksimal dalam ikhtiar, masih sering malas dan menunda-nunda pekerjaan hingga diberikan waktu pandemic untuk berfikir ulang dan mengasah keahlian lebih maksimal. Dan untuk merancang resolusi 2021 baru memang harus dimulai dengan introspeksi dan muhasabah diri.

Baca juga: Sertifikasi Da’i dan Pentingnya Muhasabah Diri

Merancang dengan matang proyeksi setahun ke depan

Setelah muhasabah diri selesai, langkah kedua untuk resolusi adalah merakit proyeksi dengan perencanaan yang maksimal. Kita bisa mengulik dalil dalam Al-Quran surah Al-Hasyar ayat 18 untuk memantapkan hal tersebut. Adapun bunyi ayatnya adalah sebagai berikut;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Sebagaimana tersebut dalam lafadz “waltandzur ma qaddamat lighad’ adalah perintah Allah kepada manusia untuk memperhatikan amalan yang akan dilakukan untuk hari esok. Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab tidak menerangkan secara rinci makna hari esok, ini artinya pengertiannya bisa menjadi dua kemungkinan. Jika menurut Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn hari esok dimaknai sebagai hari akhirat kelak, sedang Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al’Adhim menjelaskan hari esok dengan mengumpamakan aktivitas yang berhubungan dengan amaliyah di dunia.

Adanya perbedaan pendapat tersebut tentunya bukanlah suatu penghalang bagi kita untuk mengambil esensi dan esensi ayatnya, yaitu untuk selalu merencanakan yang terbaik bagi hidup kita ke depan. Bahkan akan lebih sempurna jika kita mengambil kedua pendapat tersebut yakni untuk urusan duniawi dan ukhrawi. Merencanakan dengan baik proyeksi dan agenda untuk kesuksesan hidup kita di dunia, seperti meruntut agenda dan target apa saja yang harus dilakukan selama satu ke depan. Kemudian juga mendaftar amaliyah apa saja yang bisa kita lakukan dengan orientasi akhirat seperti target berkurban, sedekah, atau ritual ibadah sunnah. Karena sebagai umat Rasulullah kita selalu diajarkan untuk menjadi umat yang sukses baik di dunia maupun di akhirat.

Baca juga: Istighfar Seperti Apa yang Dimaksud Dalam Dua Ayat Ini? Tafsir Surat An-Nisa Ayat 110 dan 64

Libatkan Allah dalam setiap rencanamu

Jika target dan agenda untuk resolusi tahun depan telah kita rencanakan dengan apik, hal terakhir yang wajib kita lakukan adalah melibatkan Allah di dalamnya. Kita minta Allah untuk meridhoi, menyertai, menjamin harapan-harapan itu. Hendaknya kita juga meminta Allah sebagai penolong dari setiap urusan kita, sebagaimana firman-Nya dalam surah Ali Imran ayat 60:

إِن يَنصُرْكُمُ ٱللَّهُ فَلَا غَالِبَ لَكُمْ ۖ وَإِن يَخْذُلْكُمْ فَمَن ذَا ٱلَّذِى يَنصُرُكُم مِّنۢ بَعْدِهِۦ ۗ وَعَلَى ٱللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ ٱلْمُؤْمِنُونَ

“Jika Allah menolong kamu, maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), maka siapakah gerangan yang dapat menolong kamu (selain) dari Allah sesudah itu? Karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin bertawakkal.”

Dalam ayat tersebut Allah secara tegas memberitahu kepada orang-orang mukmin bahwa hanya Dialah satu-satunya yang dapat menjadi penolong segala urusan. Sebagaimana yang diterangkan Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah segala macam urusan orang-orang mukmin hanya dapat disandarkan pada Allah semata. Karena Allah-lah Sang Maha Penolong.

Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

Begitu pentingnya melibatkan Allah dalam setiap rencana dan urusan kita. Jika Allah meridhoi, apapun bisa terjadi. Jika Allah menyertai, apapun akan diberi jalan terang. Jika Allah telah menolong, maka setiap rencana yang terasa sulit dan amat berat akan menjadi sangat mudah. Dan jika Allah telah menjamin, maka apabila suatu ketika rencana itu berjalan tidak semestinya pasti Allah tidak akan membiarkannya begitu saja. Ia akan menggantinya dengan lebih indah dan sempurna, karena Allah adalah sebaik-baik perancang dan perencana.

Wallahu a’lam.

Pengertian Kata Syukur dan Penggunaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

0
Kata Syukur
Pengertian Kata Syukur

Kata syukur adalah kata yang sudah sangat populer di kalangan kita, baik di media masa elektronik, media masa cetak, maupun media-media lainnya. Kepopulennya disebabkan karena kata sudah menjadi bahasa baku bahasa Indonesia.

Kata syukur ini pada mulanya bukanlah milik atau lahir dari bahasa Indonesia sendiri, tetapi berasal dari kosa kata bahasa Arab. Tidak ada yang tahu sejak kapan kata ini digunakan di dalam bahasa Indonesia.

Tetapi yang jelas, kata ini digunakan setelah terjadi asimilasi budaya antara budaya Islam dan budaya Nusantara pada masa dahulu ketika Islam tersebar di Nusantara. Sudah tentu, bahwa yang menggunakan pada masa-masa awal itu adalah penganjur dan mubalig Islam, serta ulama yang menyebarkan agama Islam ketika itu.

Di samping kata syukur kita juga mengenal beberapa istilah yang terkait yaitu, kata “syukuran” dan “tasyakuran.” Keduanya juga berasal dari kata syukur. Kata “syukuran” diartikan dengan ucapan dan mengadakan selamatan untuk bersyukur kepada Tuhan, misalnya karena terhindar maut, terhindar dari penyakit, dan sebagainya. Kata “tasyakuran” tidak ditemukan di dalam KBBI. Ini berarti bahwa kata ini belum menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

Penggunaan kata syukur di dalam bahasa Indonesia seringkali dirangkaian dengan kata “alhamdulillah” sehingga susunannya menjadi “syukur al-hamdulillah.” Penggunaan seperti ini sudah sangat populer digunakan dalam bahasa sehari-hari, dalam bahasa pergaulan kita. Misalnya, “syukur al-hamdulillah” saya lulus dalam ujian dengan nilai cumlaude.

Penggunaan kata syukur juga seringkali dikaitkan dengan kata “puja dan puji” sehingga menjadi “puja dan puji syukur” seperti dalam kalimat yang sering kita ucapkan atua sering kita dengart dalam kalimat pembukaan acara. Misalnya ucapan yang berbunyi “Mari kita memanjaktkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah Swt.”

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Mungkin juga kita tidak menggunakan kata syukur di dalam ucapan kita seperti ketika Anda ditanya tentang kabar Anda. “Bagaiman kabar Pak. Jawabnya: “Alhamdulillah.” Ucapan ini juga sudah menunjukkan “Syukur alhamdulillah.”

Kata syukur ini pada dasarnya berasal dari kata syukr (شكر) yang ada di dalam bahasa Arab. Kemudian digunakan di dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa baku. Dalam bahasa Indonesia (KBBI, h. 878) kata ini diartikan dengan dua arti, yaitu:

  1. Terima kasih kepada Allah, seperti dalam ungkapan: “Ia mengucapkan syukur kepada Allah karena terlepas dari marabahaya.”
  2. Untunglah (menyatakan lega, senang, dsb), seperti dalam ungkapan: “Untunglah suamiku tidak mengalami cedera di kecelakaan itu.”

Dari kata syukur ini (KBBI, h. 763) lahir berbagai bentuk kata yang lain, seperti “bersyukur, mensyukuri, dan syukuran.”

Bersyukur artinya berterima kasih; mengucap syukur, seperti dalam ungkapan: “Saya sangat bersyukur, dia terhindar dari bahaya.”

Mensyukuri, artinya mengucap terima kasih kepada; berterima kasih karena suatu hal; berselamatan untuk bersyukur kepada Tuhan (karena terhindar dari maut, sembuh dari penyakit, dsb), seperti dalam ungkapan: “Ibu itu membuat sebuah tumpeng untuk mensyukuri putrinya yang baru sembuh.” Syukuran, artinya ucapan syukur.

Secara bahasa (etimologi) kata syukr (شكر) di dalam bahasa Arab adalah bentuk kata dasar (mashdar) dari kata kerja syakara (شكر) – yasykuru (يشكر). Seliain kata ini, ada juga bentuk kata dasar yang lain, yaitu syukūran(شكورا) dan syukrānan (شكرانا).

Dalam pengertian kebahasaan ini, kata syukr (شكر) memiliki banyak arti, seperti 1) berterima kasih kepada (syakara al-rajul wa lahu), 2) Allah memberi kamu pahala (Syakara Allah sa’yaka), 3) memuji (syakara al-rajula).

Dari kata ini lahir beberapa bentuk kata yang lain, seperti syākir (شاكر), yang berarti ‘seseorang yang bersyukur’ yang bentuk jamaknya adalah syākirūn (شاكرون), yang berarti ‘orang-orang yang bersyukur. Lahir pula kata syakūr, yaitu salah satu dari sifat-sufat Allah swt. yang berarti ‘Yanga Maha Mensyukuri’.

Baca Juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

Ada sejumlah pengertian syukur secara terminologi yang dikemukakan oleh para ulama. Al-Jurjani mengatakan bahwa syukur ialah suatu kebaikan untuk menerima nikmat, baik secara lisan, dengan tangan atau dengan hati.

Ada yang berpendapat bahwa pujian terhadap seseorang yang berbuat baik dilakukan dengan cara menyebut/mengingat kebaikannya. Seorang hamba disebut bersyukur kepada Allah berarti dia memuji kepadanya dengan mengiongat kebajikannya yang merupakan nikmat, dan Allah mensyukuri seorang hamba yaitu dengan menerima kebajikan manusia karena ketaatannya kepada Allah (kitab al-Ta’rifat, h. 128).

Syukur, menurut al-Jurjani, terbagi atas dua macam, yaitu 1) al-syukr al-lughawi (syukur secara kebahasaan), dan 2) al-syukr al-‘urfi. Al-syukr al-lughawi ialah ungkapan tentang sesuatu yang baik (indah) terhadap sesuatu yang mulia terhadap nikmat, baik secara lisan, maupun secara badaniah.

Al-Syukr al-lughawi ialah sikap seorang hamba Allah terhadap semua hal yang diberikan oleh Allah sebagai nikmat yang telah dianugerahkan Allah swt, seperti pendengaran, penglihatan, dan lain-lainnya terhadap segala apa yang diciptakan Allah swt. Al-syukr al-lughawi lebih bersifat umum, sedangkan al-syukr al-‘urfi lebih khusus (kitab al-Ta’rifat, h. 128).