Beranda blog Halaman 433

Pengertian Kata Syukur dan Penggunaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

0
Kata Syukur
Pengertian Kata Syukur

Kata syukur adalah kata yang sudah sangat populer di kalangan kita, baik di media masa elektronik, media masa cetak, maupun media-media lainnya. Kepopulennya disebabkan karena kata sudah menjadi bahasa baku bahasa Indonesia.

Kata syukur ini pada mulanya bukanlah milik atau lahir dari bahasa Indonesia sendiri, tetapi berasal dari kosa kata bahasa Arab. Tidak ada yang tahu sejak kapan kata ini digunakan di dalam bahasa Indonesia.

Tetapi yang jelas, kata ini digunakan setelah terjadi asimilasi budaya antara budaya Islam dan budaya Nusantara pada masa dahulu ketika Islam tersebar di Nusantara. Sudah tentu, bahwa yang menggunakan pada masa-masa awal itu adalah penganjur dan mubalig Islam, serta ulama yang menyebarkan agama Islam ketika itu.

Di samping kata syukur kita juga mengenal beberapa istilah yang terkait yaitu, kata “syukuran” dan “tasyakuran.” Keduanya juga berasal dari kata syukur. Kata “syukuran” diartikan dengan ucapan dan mengadakan selamatan untuk bersyukur kepada Tuhan, misalnya karena terhindar maut, terhindar dari penyakit, dan sebagainya. Kata “tasyakuran” tidak ditemukan di dalam KBBI. Ini berarti bahwa kata ini belum menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

Penggunaan kata syukur di dalam bahasa Indonesia seringkali dirangkaian dengan kata “alhamdulillah” sehingga susunannya menjadi “syukur al-hamdulillah.” Penggunaan seperti ini sudah sangat populer digunakan dalam bahasa sehari-hari, dalam bahasa pergaulan kita. Misalnya, “syukur al-hamdulillah” saya lulus dalam ujian dengan nilai cumlaude.

Penggunaan kata syukur juga seringkali dikaitkan dengan kata “puja dan puji” sehingga menjadi “puja dan puji syukur” seperti dalam kalimat yang sering kita ucapkan atua sering kita dengart dalam kalimat pembukaan acara. Misalnya ucapan yang berbunyi “Mari kita memanjaktkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah Swt.”

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Mungkin juga kita tidak menggunakan kata syukur di dalam ucapan kita seperti ketika Anda ditanya tentang kabar Anda. “Bagaiman kabar Pak. Jawabnya: “Alhamdulillah.” Ucapan ini juga sudah menunjukkan “Syukur alhamdulillah.”

Kata syukur ini pada dasarnya berasal dari kata syukr (شكر) yang ada di dalam bahasa Arab. Kemudian digunakan di dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa baku. Dalam bahasa Indonesia (KBBI, h. 878) kata ini diartikan dengan dua arti, yaitu:

  1. Terima kasih kepada Allah, seperti dalam ungkapan: “Ia mengucapkan syukur kepada Allah karena terlepas dari marabahaya.”
  2. Untunglah (menyatakan lega, senang, dsb), seperti dalam ungkapan: “Untunglah suamiku tidak mengalami cedera di kecelakaan itu.”

Dari kata syukur ini (KBBI, h. 763) lahir berbagai bentuk kata yang lain, seperti “bersyukur, mensyukuri, dan syukuran.”

Bersyukur artinya berterima kasih; mengucap syukur, seperti dalam ungkapan: “Saya sangat bersyukur, dia terhindar dari bahaya.”

Mensyukuri, artinya mengucap terima kasih kepada; berterima kasih karena suatu hal; berselamatan untuk bersyukur kepada Tuhan (karena terhindar dari maut, sembuh dari penyakit, dsb), seperti dalam ungkapan: “Ibu itu membuat sebuah tumpeng untuk mensyukuri putrinya yang baru sembuh.” Syukuran, artinya ucapan syukur.

Secara bahasa (etimologi) kata syukr (شكر) di dalam bahasa Arab adalah bentuk kata dasar (mashdar) dari kata kerja syakara (شكر) – yasykuru (يشكر). Seliain kata ini, ada juga bentuk kata dasar yang lain, yaitu syukūran(شكورا) dan syukrānan (شكرانا).

Dalam pengertian kebahasaan ini, kata syukr (شكر) memiliki banyak arti, seperti 1) berterima kasih kepada (syakara al-rajul wa lahu), 2) Allah memberi kamu pahala (Syakara Allah sa’yaka), 3) memuji (syakara al-rajula).

Dari kata ini lahir beberapa bentuk kata yang lain, seperti syākir (شاكر), yang berarti ‘seseorang yang bersyukur’ yang bentuk jamaknya adalah syākirūn (شاكرون), yang berarti ‘orang-orang yang bersyukur. Lahir pula kata syakūr, yaitu salah satu dari sifat-sufat Allah swt. yang berarti ‘Yanga Maha Mensyukuri’.

Baca Juga: Mencontoh Spirit dan Doa Nabi Sulaiman dalam Mensyukuri Nikmat

Ada sejumlah pengertian syukur secara terminologi yang dikemukakan oleh para ulama. Al-Jurjani mengatakan bahwa syukur ialah suatu kebaikan untuk menerima nikmat, baik secara lisan, dengan tangan atau dengan hati.

Ada yang berpendapat bahwa pujian terhadap seseorang yang berbuat baik dilakukan dengan cara menyebut/mengingat kebaikannya. Seorang hamba disebut bersyukur kepada Allah berarti dia memuji kepadanya dengan mengiongat kebajikannya yang merupakan nikmat, dan Allah mensyukuri seorang hamba yaitu dengan menerima kebajikan manusia karena ketaatannya kepada Allah (kitab al-Ta’rifat, h. 128).

Syukur, menurut al-Jurjani, terbagi atas dua macam, yaitu 1) al-syukr al-lughawi (syukur secara kebahasaan), dan 2) al-syukr al-‘urfi. Al-syukr al-lughawi ialah ungkapan tentang sesuatu yang baik (indah) terhadap sesuatu yang mulia terhadap nikmat, baik secara lisan, maupun secara badaniah.

Al-Syukr al-lughawi ialah sikap seorang hamba Allah terhadap semua hal yang diberikan oleh Allah sebagai nikmat yang telah dianugerahkan Allah swt, seperti pendengaran, penglihatan, dan lain-lainnya terhadap segala apa yang diciptakan Allah swt. Al-syukr al-lughawi lebih bersifat umum, sedangkan al-syukr al-‘urfi lebih khusus (kitab al-Ta’rifat, h. 128).

Surat Yunus [10] Ayat 6: Refleksi Pergantian Tahun

0
Pergantian Tahun
Pergantian Tahun

Pergantian tahun merupakan momen yang sangat dinantikan oleh sebagian masyarakat dunia. Biasanya, pergantian tahun akan dirayakan dengan berbagai macam cara, mulai dari sekedar doa dan harapan hingga perayaan-perayaan yang memakan biaya besar. Itu semua adalah ekspresi kegembiraan, kesedihan, kekecewaan atas tahun yang dilalui serta harapan kebaikan pada tahun yang akan datang.

Bagi masyarakat dunia khususnya di Indonesia, pergantian tahun dijadikan sebagai sarana merefleksikan  dan mengintrospeksikan diri terkait peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di tahun sebelumnya. Kemudian, pergantian tahun juga dijadikan sebagai langkah awal untuk menjadi lebih baik dan lebih produktif di tahun selanjutnya.

Di Indonesia, biasanya menjelang pergantian tahun terjadi diskursus rumit tentang hukum merayakan tahun baru sebagaimana diskursus mengucapkan selamat natal. Kelompok pertama menyatakan bahwa tidak boleh merayakan tahun baru dengan berbagai atributnya karena mengikuti kebudayaan orang kafir. Sebaliknya, kelompok kedua menyatakan bahwa tidak mengapa merayakan tahun baru dengan berbagai tindakan positif ataupun dalam rangka muhasabah diri.

Terlepas dari perdebatan itu, penulis berkeyakinan bahwa setiap pergantian waktu, detik, menit, jam, hari, bulan, dan tahun adalah fenomena yang wajar ditemui. Jika pergantian tahun dapat menjadi sarana bertadabbur dan berfikir, maka tak salah untuk sekedar diperingati selama tidak diisi dengan perbuatan yang melanggar norma agama. Dalam konteks ini, pergantian tahun adalah salah satu dari ayat-ayat Allah swt bagi manusia.

Pergantian waktu adalah tanda-tanda kekuasaan Allah swt

Dalam Al-Qur’an, Allah swt sering kali menyebutkan perilhal waktu dan semisalnya untuk menjelaskan sesuatu yang dianggap penting (misalnya, wal ashr yakni demi masa). Karena pada hakikatnya, waktu adalah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Hanya saja mereka sering mengabaikan atau lalai terhadapnya. Manusia baru menyesal manakala waktu sudah terbuang sia-sia dan tak mungkin kembali lagi.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai waktu adalah surat Yunus [10] ayat 6. Firman Allah swt:

اِنَّ فِى اخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللّٰهُ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَّقُوْنَ ٦

Sesungguhnya pada pergantian malam dan siang dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, pasti terdapat tanda-tanda (kebesaran-Nya) bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Yunus [10] ayat 6).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini menegaskan bahwa: sesungguhnya pada pergantian, yakni perputaran bumi pada porosnya yang mengakibatkan terang dan gelap dan perbedaan baik dalam panjang maupun pendeknya waktu malam dan siang dan juga pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, baik fenomena alam maupun makhluk di dalamnya, benar-benar terdapat tanda-tanda keesaan dan kekuasaan Allah swt bagi orang-orang yang bertakwa.

Penyebutan kata malam terlebih dahulu pada ayat ini – menurut sebagian ulama – menandakan bahwa kegelapan terwujud terlebih dahulu sebelum wujud cahaya (makhluk). Kemudian Allah swt dengan anugerah-Nya menerangi secara material dan spiritual makhluk-makhluk dalam semesta, termasuk perjalanan hidup manusia. Sebab tanpa penerangan dari-Nya, manusia akan hidup dalam kegelapan seutuhnya.

Kalimat ikhtilaf al-laili wa al-nahari dapat diartikan sebagai perbedaan atau pergantian malam dan siang. Bila dipahami dalam arti perbedaan, maka ini mengisyaratkan bahwa malam dan siang adalah dua cahaya yang masing-masing memiliki keistimewaan. Perbedaan keduanya merupakan salah satu gejala alam di mana setiap makhluk tak mampu mengelaknya. Adapun ikhtilafi dalam arti pergantian, maka ini disebabkan oleh rotasi bumi pada porosnya.

Selanjutnya, pada surat Yunus [10] ayat 6 Allah swt juga mengaskan bahwa pergantian siang dan malam serta berbagai ciptaan yang ada di langit dan di bumi merupakan tanda-tanda-Nya bagi orang yang bertakwa. Hal ini menandakan bahwa pergantian waktu, siang dan malam ataupun pergantian tahun adalah fenomena yang harus direnungi dalam rangka mentadabburi ayat-ayat Allah swt. Mereka yang mampu melakukannya adalah orang-orang yang bertakwa.

Melalui surat Yunus [10] ayat 6, kita dapat belajar dan memahami bahwa pergantian waktu – termasuk pergantian tahun – adalah fenomena alam yang Allah swt ciptakan untuk keteraturan alam dan juga untuk direnungi oleh manusia sebagai makhluk beriman serta sebagai tujuan hidup mereka. Dengan perenungan tersebut, manusia akan semakin yakin dan mengenal Sang Maha Pencipta lebih jauh guna beribadah kepada-Nya.

Dengan demikian, pergantian tahun atau tahun baru adalah satu hal dari sekian banyak hal yang patut manusia renungkan. Ini adalah momentum untuk mengevaluasi diri terkait apa yang telah dilakukan selama ini, apa saja yang kurang dan harus diperbaiki sebagai seorang hamba dan manusia. Kemudian, kita juga harus merancang dan memperbaiki berbagai hal yang kurang sempurna di masa lalu agar menjadi lebih baik lagi.

Pergantian tahun dapat menjadi momentum kebangkitan seseorang dalam hidup, baik itu berkenaan dengan pekerjaan, keluarga, pendidikan maupun ibadah sebagai bagian terpenting hidup. Jangan sampai kita membuat pergantian tahun menjadi titik awal keburukan dan titik terjauh dari Allah swt. Selain itu, pergantian tahun semestinya diisi dengan berbagai hal positif, bukan sebaliknya. Semoga pergantian tahun menjadi langkah awal kita menjadi baik guna menebar kebaikan. Aamiin.

Tafsir Surat Yasin ayat 30-31: Hikmah dari Kisah Terdahulu

0
Yasin Ayat 30-31
Surat Yasin Ayat 30-31

Pembahasan sebelumnya telah mengulas bagaimana kaum Antokiah akhirnya dibinasakan oleh  Allah cukup dengan sekali teriakan, mereka pun mati seketika. Tanpa perlu menurunkan bala tentara-Nya untuk menyiksa kaum tersebut. Ini sebagai bentuk kehinaan kepada kaum yang congkak padahal mereka begitu kerdil dihadapan Allah. Tulisan kali ini akan mengulas tafsir surat Yasin ayat 30-31 tentang kisah-kisah terdahulu yang bisa diambil hikmahnya. Allah berfirman:

يٰحَسْرَةً عَلَى الْعِبَادِۚ مَا يَأْتِيْهِمْ مِّنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا كَانُوْا بِهٖ يَسْتَهْزِءُوْنَ

اَلَمْ يَرَوْا كَمْ اَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّنَ الْقُرُوْنِ اَنَّهُمْ اِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُوْنَ

  1. Alangkah besar penyesalan terhadap hamba-hamba itu, setiap datang seorang rasul kepada mereka, mereka selalu memperolok-olokkannya.
  2. Tidakkah mereka mengetahui berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan. Orang-orang (yang telah Kami binasakan) itu tidak ada yang kembali kepada mereka.

Secara umum dua ayat ini menyinggung orang-orang yang mengolok-olok para utusan Allah Swt dan ending-nya akan menyesal di akhirat. Seharunya mereka belajar kepada kaum-kaum terdahulu yang telah dibinasakan karena kasus yang sama, dan menyadari kalau mereka itu tidak bisa kembali untuk menebus kesalahannya.

Menurut al-Wahidi kata hasratan menunjukkan penyesalan yang besar bagi setiap hamba, dan penyesalan ini akan dirasakan kelak di akhirat. Penyesalan yang dimaksud adalah hadirnya para utusan yang membawa risalah saat didunia, namun mereka cemoohi, acuhi, bahkan mereka ingkari, sebagaimana dikutip dari Ibnu Kathir.

Terkait kata ini, ada dua riwayat yang dinukil oleh Thabari dalam tafsirnya, pertama riwayat dari Qatadah, ia berpendapat bahwa perkara yang mereka sesali adalah menelantarkan perintah-perintah Allah. Sedangkan riwayat kedua dari Mujahid, bahwa penyesalan mereka adalah mengolok-olok para utusan-Nya.

Quraish menyebut huruf ya’ yang menyertai kata tersebut berfungsi sebagai pengundang mitra bicara, yang dalam konteks ayat ini adalah ‘Ibad (hamba-hamba). Seyogyanya sebagai hamba mereka harus menyambut panggilan/seruan ilahi yang dibawa oleh para Rasul, namun mereka malah menampiknya, maka wajar apabila mereka merasa sangat menyesal.

Menurut Thabari ayat 31 ditujukan kepada kaum kafir era Nabi Muhammad, dimana Allah ingin menyatakan kepada mereka agar mau mengambil pelajaran dari nenek moyang mereka yang telah diazab terlebih dahulu.

Terlebih lagi kata kam ahlakna menurut Ibnu ‘Ayur menujukkan makna jumlah al katsrah, yakni sudah banyak peristiwa serupa terjadi pada masa lampau, seperti yang terjadi pada kaum ‘Ad, Tsamud, dan sebagainya.

Namun Zuhaili menilai ayat ini tidak hanya berfokus pada era Nabi Muhammad, menurutnya kata al-Qurun dalam ayat ini bermakna al-umam yang berarti umat-umat. Ini mengindikasikan bahwa ayat ini tidak hanya ditujukan – sebagai pelajaran – kepada orang kafir dimasa Nabi, namun juga kepada generasi-generasi setelahnya (sampai sekarang) agar tidak lupa terhadap sejarah umat masa lalu yang telah diceritakan al-Quran sehingga dapat mengambil pelajaran darikisah tersebut.

Sedangkan kata yarji’un berasal dari akar kata ra-ja-‘a, yang berarti kembali. Zamakshyari memahami kata ini secara utuh sebagai kesatuan ayat bahwa, tidakkah mereka menyadari betapa banyak kami sudah membinasakan kaum-kaum yang ingkar dari tiap generasi (umat) sebelum mereka dan kondisi mereka tidak bisa kembali kepada para Rasul itu.

Zamakhsyari juga menegaskan bahwa ayat ini sekaligus menjadi argumen untuk ahl raj’ah, yakni kaum yang menganggap adanya hari kebangkitan sebelum terjadinya kiamat. Mufassir lain seperti Wahbah Zuhaili dan Ibnu katsir menyebut kaum ini dengan al-Duhriyyah, yang merujuk pada firman Allah dalam QS. al-Jissiyah: 24:

وَقَالُوْا مَا هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوْتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَآ اِلَّا الدَّهْرُۚ وَمَا لَهُمْ بِذٰلِكَ مِنْ عِلْمٍۚ اِنْ هُمْ اِلَّا يَظُنُّوْنَ

Dan mereka berkata, “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa.” Tetapi mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu, mereka hanyalah menduga-duga saja.

Adapun al-Biqa’i cenderung memahami kata yarji’un dalam arti bertaubat atas kedurhakaan mereka dan kembali kejalan yang benar dengan mengikuti para Rasul. Menurutnya, kata yarji’un ini mirip dengan ayat dalam QS. as-Sajdah: 21 ;

وَلَنُذِيْقَنَّهُمْ مِّنَ الْعَذَابِ الْاَدْنٰى دُوْنَ الْعَذَابِ الْاَكْبَرِ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Dan pasti Kami timpakan kepada mereka sebagian siksa yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat); agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Demikianlah ringkasan tafsir surat yasin ayat 30-31. Nantikan edisi tafsir surat Yasin selanjutnya. Wallahu a’lam.

Pengkaji Al-Quran Kontemporer: Abdullah Saeed, Pencetus Hermeneutika Kontekstual Al-Quran

0
abdullah saeed
Abdullah Saeed (unimelb.edu.au)

Teks Al-Quran boleh berhenti, akan tetapi penafsiran Al-Quran haruslah terbuka sehingga ia dapat dikatakan shalih li kulli zaman wa makan. Kira-kira demikianlah yang ada di benak cendekiawan Muslim dan berusaha mencarikannya sebuah problem solving guna menyikapi problematika yang terjadi masyarakat Muslim.

Sebut saja, misalnya, Fazlur Rahman dengan hermeneutika double movement-nya, Hassan Hanafi dengan hermeneutika sosial-nya (al-manhaj al-ijtima’i fi at-tafsir), Nasr Hamid Abu Zaid dengan hermeneutika inklusif-nya, Husein Muhammad dengan hermeneutika feminis-nya, Muhammad Syahrur dengan teori the limit-nya, Abdullah Saeed dengan hermeneutika kontekstual-nya (contextual approach), dan sebagainya.

Pada pembahasan kali ini kita akan fokus pada Abdullah Saeed, penggagas hermeneutika kontekstual. Saeed dalam Islamic Thought: An Introduction, menyebut kelompok intelektual di atas sebagai the progressive-ijtihadist, yaitu para cendekiawan kontemporer yang berupaya “menafsir ulang” ajaran agama sesuai konteks kekinian. Saeed sendiri concern pada kajian penafsiran Al-Quran. Hal ini terlihat dari karyanya baik dalam bentuk buku maupun artikel jurnal yang akan kita ulas berikut ini.

Biografi dan Perjalanan Intelektual

Abdullah Saeed lahir di Maldives, pada 25 September 1964. Masa kecil dan remajanya dihabiskan di sebuah kota bernama Meedhoo, sebuah kota yang merupakan bagian dari kota Addu Atoll. Ia adalah keturunan suku bangsa Arab Oman yang bermukim di Maldives.

Setelah menginjak dewasa, untuk kepentingan studi atau rihlah keilmuan, pada tahun 1977, ia hijrah ke Arab Saudi untuk menuntut ilmu. Perjalanan intelektualnya diawali dengan belajar Bahasa Arab di Institute of Arabic Language di Saudi Arabia. Ia kemudian lulus dan mengantongi gelar BA pada tahun 1977. Tidak cukup berbekal BA, Abdullah Saeed masih “haus” keilmuan, kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan kembali pendidikannya ke program master dan Ph.D nya di bidang applied linguistic untuk master-nya dan Ph.D-nya dalam bidang Islamic Studies di The University of Melbourne, Australia.

Baca juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Setelah Ph.D, ia kemudian menjadi dosen di University of Melbourne pada tahun 1993 pada fakultas Department of Asian Languages and Anthropology. Atas dedikasinya sebagai cendekiawan muslim, ia mendapat pengharfaan dari Sultan Oman sebagai Professor Bidang Bahasa Arab dan Islamic Studies 2003. Meski demikian, ia tetap mendedikasikan dirinya untuk berkhidmah sebagai Direktur Center for the Study of Contemporary Islam di Universitas Melbourne, Australia.

Di tempat mengabdinya itu, Saeed mengampu beberapa mata kuliah seperti Studi Arab dan Islam pada program S1, S2 dan S3, Great Texts of Islam: Qur’an, Muslim Intellectuals and Modernity, Great Empires of Islamic Civilization, Islamic Banking and Finance, Qur’anic Hermeneutics. Methodologies of Hadith, Methods of Islamic Law, Islam and Human Rights, dan Islam and Muslim in Australia, dan materi kuliah keislaman lainnya.

Abdullah Saeed memiliki kepribadian dan karakter yang kuat. Ia dikenal sebagai sosok yang humanis, ramah dan no profile. Wawasannya tentang keislaman dan Al-Quran sangatlah luas serta profesional dan konsisten terhadap kajian keilmuannya. Selain menjadi dosen, Saeed aktif di beberapa organisasi sosial-kemasyarakatan termasuk juga pengabdian masyarakat, misalnya ia perna terlibat dalam dialog interfaith (Islam-Kristen dan Islam-Yahudi), menjadi pemimpin komunitas Muslim di Australia.

Di samping itu, Saeed juga tergabung dalam Asosiasi Profesor Asia Institute pada Universitas Melbourne dan Akademi Agama Amerika. Tidak hanya itu, ia juga menjadi editorial jurnal skala internasional seperti Jurnal Studi Al-Quran di Inggris, Studi Islam di Pakistan, dan Jurnal Arab, Islam and Middle East di Australia.

Mengutip dari Lien Iffa Naf’atu Fina dalam Interpretasi Kontekstual Abdullah Saeed; Sebuah Penyempurnaan Terhadap Gagasan Tafsir Fazlur Rahman, Saeed telah membangun pondasi studi Islam yang kuat di Australia khususnya Universitas Melbourne. Sejak itu, program Islamic Studies berkembang pesat. Prestasi ini kemudian mengorbitkan nama Abdullah Saeed menjadi pakar studi Islam terkemuka, kalau bukan satu-satunya yang terbaik di Australia.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Karya-Karya

Saeed merupakan professor yang produktif. Karya-karyanya baik buku maupun artikel jurnal banyak diterbitkan mulai tingkat lokal hingga internasional. Karya lebih lengkap bisa anda lihat di laman web miliknya pada Universitas Melbourne. Berikut beberapa karyanya,

Yang menarik dari perjalanan intelektual Saeed adalah pergumulannya dalam dua corak atau iklim intelektual antara keilmuan Timur Tengah (tepatnya Arab Saudi yang populer akan pemahaman fundamental, tekstualis) dan keilmuan Barat (dalam hal ini adalah Australia, yang terkenal liberal-rasional) menjadikannya sebagai pakar di bidang keduanya. Sehingga ia memiliki sumber daya intelektual yang kaya akan dua tradisi keilmuannya dan meraciknya dalam komposisi yang “pas” atau objektif. Wallahu A’lam.

Fadhilah Taubat dalam Al-Quran: Menghapus Dosa dan Membuka Pintu Rezeki

0
Fadhilah taubat dalam Al-Quran
Fadhilah taubat dalam Al-Quran

Jumlah istighfar yang dianjurkan Rasulullah kepada umatnya dalam sehari tak kurang dari 70 kali, karena itu dapat menghapuskan dosa sebanyak 700 jenis sebagaimana hadis riwayat Anas bin Malik. Ini menandakan bahwa manusia memang gudangnya salah dan dosa. Namun, ampunan Allah akan selalu terbuka kepada manusia dengan syarat jika ia mau bertaubat. Bertaubat bahkan sangat dianjurkan oleh Allah sebagaimana firman-Nya dalam surah Az-Zumar ayat 53. Selain dalam surah Az-Zumar ayat 53 sebenarnya Allah juga banyak menyinggung masalah taubat tersebut bahkan memberikan isyarat mengenai fadhilah taubat seperti dalam surah Nuh ayat 10-12, dan surah Hud ayat 3 dan 52.

Taubat dapat menghapus dosa sebanyak apapun

Anjuran Allah mengenai taubat banyak sekali disebutkan dalam Al-Quran, seperti dalam surah As-Syu’ara ayat 25:

وَهُوَ الَّذِي يقْبَلُ التوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيعْلَمُ مَا تفْعَلُونَ

“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Baca juga: Tuntunan Al-Quran dalam Melaksanakan Tahapan Taubat dari Dosa-Dosa

Kemudian dalam surah Az-Zumar ayat 53:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adhim menyampaikan bahwa ayat tersebut mengabarkan seruan kepada setiap orang yang berbuat maksiat seperti kekafiran dan lainnya untuk segera bertaubat kepada Allah. Ibnu Katsir juga menjelaskan bahwa setiap dosa akan diampuni Allah, dan jangan pernah sekali-kali berputus asa dari rahmat Allah, karena pintu rahmat dan taubat Allah terbuka lebar.

Baca juga: Inilah 4 Doa Taubat Para Nabi dalam Al-Quran

Dalil-dalil taubat sebagaimana ayat-ayat di atas dan banyak tersebar di ayat-ayat lain dalam Al-Quran mengindikasikan betapa pentingnya perilaku taubat bagi manusia. Dosa yang dilakukan manusia seburuk apapun dan sebesar apapun akan diampuni dengan taubat sebagaimana yang disampaikan Ibnu Katsir, “meskipun dosa-dosa tersebut sangatlah banyak bagaikan buih di lautan”. Rasulullah juga menjelaskan fadhilah taubat dalam sebuah hadis “Wahai anak Adam, sesungguhnya jika engkau menyeru dan mengharap pada-Ku, maka pasti Aku ampuni dosa-dosamu tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya dosamu membumbung tinggi hingga ke langit, tentu akan Aku ampuni, tanpa Aku pedulikan. Wahai anak Adam, seandainya seandainya engkau mendatangi-Ku dengan dosa sepenuh bumi dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikit pun pada-Ku, tentu Aku akan mendatangi-Mu dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR At-Tirmidzi)

Taubat membuka jalan rezeki

Fadhilah taubat yang lain ternyata tidak hanya dapat menghapuskan dosa-dosa dan kehilafan, melainkan juga mengundang rahmah Allah yaitu berupa nikmat rezeki. Ayat-ayat yang menyandingkan kaitan taubat dan rezeki salah satunya dalam surah Hud ayat 3:

وَأَنِ ٱسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُم مَّتَٰعًا حَسَنًا إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِى فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِن تَوَلَّوْا فَإِنِّى أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يوْمٍ كَبِيرٍ

“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya. (Jika kamu mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberikan kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan ditimpa siksa hari kiamat.”

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Ayat tersebut sebagaimana diterangkan oleh Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Quran adalah janji Allah kepada makhluknya yang mau beristighfar dan bertaubat. Allah akan memberikan kenikmatan kepada siapa saja dengan berbagai manfaat kelapangan rezeki dan kemakmuran hidup. Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Adhim menerangkan bahwa perintah Allah kepada manusia untuk beristighfar agar menghapuskan dosa-dosa yang lalu. kemudian Allah juga memerintahkan manusia bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi nanti. Ketika seseorang telah memiliki sifat dan terbiasa seperti ini maka menurut Ibnu Katsir Allah akan memudahkan rezekinya, melancarkan urusannya, dan menjaga keadaannya.

Al-Khazin dalam Tafsir Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil menuturkan satu cerita mengenai Hasan Al-Basri yang selalu dimintai solusi oleh orang-orang. Setdaknya, terdapat 4 masalah yang solusinya diberikan sama oleh Hasan Al-Basri, yaitu dengan beristighfar dan bertaubat. Dalam kitab yang juga akrab disebut Tafsir Al-Khazin ini menyebutkan pengaduan pertama mengaai kegersangan bumi, maka Hasan Al-Basri mengatakan “Beristighfarlah kepada Allah!”. Orang kedua mengadu akan kemiskinan yang ia hadapi, Hasan Al-Basri pun berkata “Beristighfarlah kepada Allah!”.

Pengaduan ketiga meminta didoakan agar mendapatkan anak, maka Hasan Basri pun mengatakan “Beristighfarlah kepada Allah!”. Kemudian pengaduan keempat adalah perihal kekeringan yang terjadi di kebunnya, lantas Hasan Al-Basri pun kembali mengatakan “Beristighfarlah kepada Allah!”. Dalam Tafsir Al-Khazin Hasan Basri juga menjelaskan bahwa solusi sama yang ia berikan atas perkara-perkara tersebut bukanlah atas dasar perkataanya semata, melainkan merujuk dalil surah Hud ayat 3 dan 52 serta sunnah sahabat yang dilakukan Umar bin Khattab.

Baca juga: Tafsir Surat Hud Ayat 3: Raih Kebahagiaan dengan Beristighfar

Fadhilah taubat dan istighfar memanglah besar. Selain dapat merontokkan dosa sebagaimana fungsi aslinya, buah istighfar dan taubat adalah limpahan rezeki dari Allah. Salah satu hijab yang menghalangi turunnya rahmah dari Allah adalah diri yang kotor yang penuh dosa dan maksiat. Sedangkan ketika seseorang bertaubat dengan taubat nasuha, maka dirinya akan kembali bersih dan kembali mendapatkan kasih sayang Allah. Dan ketika Allah telah memberikan kasih sayang-Nya, maka tidak akan ada yang bisa menghalangi turunnya rahmah-Nya yang luar biasa berupa rezeki dan kenikmatan, baik lahiriyah maupun bathiniyah. Wallahu a’lam[]

Pengertian dan Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Quran

0
penyebab datangnya musibah
Penyebab datangnya musibah dalam Surat As-Syura Ayat 30

Secara etimologi kata musibah berasal dari bahasa Arab ashaba-yushibu-ishabatan yang memiliki banyak makna, diantaranya: ashaba al-gard (mengenai sasaran), ashabathu al-ni‘amat (memperoleh atau mendapatkan nikmat), ashaba min al-mal (mengambil sebagian dari harta). Selain itu, musibah juga bermakna ashabathu al-mushibah, yakni musibah telah menimpanya. Dengan demikian, makna musibah pada konteks tertentu bisa jadi bencana atau malapetaka.

Ragib al-Ashfahani berkata, “Kata ashaba bisa digunakan untuk hal yang baik dan hal yang buruk sebagaimana firman Allah swt dalam surat at-Taubah [9] ayat 50, “Jika engkau (Muhammad) mendapat kebaikan, mereka tidak senang; tetapi jika engkau ditimpa bencana, mereka berkata, “Sungguh, sejak semula kami telah berhati-hati (tidak pergi berperang),” dan mereka berpaling dengan (perasaan) gembira.”

Pada ayat di atas, kata ashaba digunakan untuk hal baik dan hal buruk, yakni kebaikan dan musibah. Dari sini kita dapat memahami bahwa secara umum kata ashabai digunakan untuk menerangkan sesuatu yang didapatkan manusia, baik ataupun buruk. Jika subjeknya baik, maka makna musibah yang dimaksud adalah mendapatkan kebaikan, begitu pula sebaliknya.

Sementara kata ‘musibah’ menurut Ragib al-Ashfahani pada mulanya digunakan untuk hal-hal berkenaan dengan melempar ‘ramyatun mushibatun’ (lemparan yang tepat sasaran). Namun, kata musibah secara sosiologis sering digunakan – hanya – terbatas pada sesuatu bencana atau malapetaka yang menimpa manusia atau sesuatu yang ttidak disenangi.  Dalam kamus Mu‘jam al-Wasith misalnya, makna musibah adalah sebagai segala sesuatu yang tidak disenangi manusia.

Menurut Muhammad Sayyid Thanthawi, musibah merupakan isim fa’il dari ishabah yakni kepedihan yang datang pada diri seseorang disebabkan karena suatu bencana yang menimpanya. Sementara menurut Abu Hayyan, makna musibah adalah segala kepedihan atau kesedihan yang menimpa manusia, baik itu pada diri, harta, ataupun keluarga, baik kesedihan berskala kecil maupun besar (al-Bahru al-Muhith).

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwasanya makna musibah di masyarakat mengalami penyempitan makna. Pada konteks saat ini, makna musibah sering dipahami sebagai suatu keburukan, malapetaka, dan bencana yang menimpa manusia atau sesuatu yang menimpa manusia sementara ia tidak menginginkannya. Pemaknaan ini sebenarnya tidak salah, Al-Qur’an juga menyebutkan demikian berkenaan dengan kata musibah dalam konteks tertentu.

Penyebab Datangnya Musibah Menurut Al-Qur’an

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa ada berbagai macam musibah atau malapetaka yang akan menimpa manusia selama hidupnya, seperti bencana alam (gempa, air bah, badai, dan halilintar), kematian, kefakiran (kelaparan, ketakutan, kekurangan harta dan bahan pangan) dan sebagainya. Selain itu, Al-Qur’an juga menerangkan bahwa semua musibah itu ada penyebabnya, yakni Allah swt sebagai Prima Causa.

Hal ini Allah firmankan dalam surat al-Hadid ayat 22 yang berbunyi:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ ٢٢

Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid ayat 22).

Menurut as-Sa’adi, ayat di atas adalah pernyataan secara umum bahwa  penyebab datangnnya musibah yang menimpa manusia baik itu kebaikan ataupun keburukan, semuanya telah ditetapkan oleh Allah swt. Jadi, tidak ada manusia yang mampu menolak dan menentangnya. Manusia hanya bisa bersyukur apabila mendapatkan kebaikan, dan tabah serta sabar manakala mendapatkan keburukan.

Surat al-Hadid ayat 22 merupakan ajaran Allah swt tentang tauhid kepada manusia, bahwa segala sesuatu di dunia ini bisa hadir karena kehendak-Nya. Tidak ada sesuatu yang muncul sendirinya ataupun ada secara tiba-tiba. Allah swt ingin menegaskan bahwa Dia adalah Sang Prima Causa dari eksistensi semesta, termasuk semua perjalanan sejarah manusia. Dengan demikian, makatak layak jika seseorang menganggap apa yang didapatkannya murni merupakan hasil kerja kerasnya.

Namun pada ayat yang lain, yakni surat as-Syura ayat 30, Allah swt juga menerangkan bahwa tindakan manusia juga berperan dalam proses datangnya musibah. Firman-Nya:

وَمَآ اَصَابَكُمْ مِّنْ مُّصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ اَيْدِيْكُمْ وَيَعْفُوْا عَنْ كَثِيْرٍۗ ٣٠

Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. as-Syura ayat 30).

Pada ayat ini Allah swt menegaskan bahwa segala macam penyebab datangnya musibah yang menimpa manusia itu adalah perbuatan tangan mereka sendiri. Dia hanya memberikan apa yang pantas manusia dapatkan. Jika ayat ini dibandingkan dengan surat al-Hadid ayat 22, maka seakan-akan Allah swt memberitahu kepada manusia bahwa Dia adalah Sang Prima Causa, namun tindakan mereka juga memberi andil terhadap musibah yang menimpa mereka.

Dengan kata lain, meskipun musibah hakikatnya merupakan ketetapan Allah swt, namun pada saat bersamaan itu juga merupakan buah dari perbuatan manusia, baik ataupun buruk. Dalam konteks ini, manusia berarti diperintahkan untuk senantiasa melakukan perbuatan baik, karena itu dapat mendatangkan dampak yang baik pula. Sebaliknya, manusia diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan buruk, karena itu mendatangkan dampak yang buruk pula seperti musibah.

Ayat ini secara tidak langsung juga memerintahkan manusia untuk mengintrospeksi segala perbuatan yang telah dilakukan. Jika kita banyak melakukan kebaikan, maka ditambah. Sebaliknya, jika kita banyak melakukan kesalahan, maka sebaiknya kita bertaubat dari segala perbuatan buruk dan tidak mengulanginya agar tidak mendapatkan musibah sebagai peringatan.

Meskipun secara tegas pada surat as-Syura ayat 30 diterangkan bahwa penyebab datangnya musibah adalah perbuatan manusia sendiri, namun bukan berarti kita boleh menuduh orang yang ditimpa musibah pantas mendapatkannya berkat dosa-dosanya atau perkataan semisal. Sebab kita (manusia) tidak mengetahui apakah musibah tersebut merupakan  peringatan terhadap dosa atau cobaan dari Allah untuk meninggikan derajatnya.

Karena itulah, Allah swt dalam surat Fathir ayat 45 mengingatkan manusia agar tidak merasa suci dan merasa paling benar, firman-Nya:

وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللّٰهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوْا مَا تَرَكَ عَلٰى ظَهْرِهَا مِنْ دَاۤبَّةٍ وَّلٰكِنْ يُّؤَخِّرُهُمْ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّىۚ فَاِذَا جَاۤءَ اَجَلُهُمْ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِعِبَادِهٖ بَصِيْرًا ࣖ ٤٥

Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”

Melalui ayat di atas, Allah swt ingin mengingatkan manusia bahwa mereka semua berpotensi mendapatkan musibah atau azab atas perbuatan mereka tanpa terkecuali. Hanya saja, Dia menangguhkan atau memaafkan perbuatan buruk tersebut (baca surat as-Syura ayat 30). Namun jika ajal atau waktunya telah tiba, maka manusia akan menghadap Allah swt untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Wallahu a’lam.

Mengenal Tiga Kitab Tafsir Berdasarkan Tartib Nuzuli

0
Tiga Kitab Tafsir Berdasarkan Tartib Nuzuli
Tiga Kitab Tafsir Berdasarkan Tartib Nuzuli

Selama ini kita sangat familiar model kitab tafsir berdasarkan tartib mushafi. Susunan ini mengikuti urutan mushaf Utsmani yakni dari surat Al-Fatihah sampai surat Al-Nas. Namun, seiring berkembangnya zaman, ulama tafsir pun menyajikan pola tafsir baru yang berdasarkan pada tartib nuzuli. Sebuah susunan yang mengedepankan rentetan turunnya surah-surah Al-Qur’an. Dengan begitu, tafsir seperti ini diawali dengan surat Al-Alaq.

Di Indonesia, kajian mengenai tafsir nuzuli semakin marak. Salah satu peneliti yang getol membahas tafsir nuzuli adalah Aksin Wijaya. Peneliti tafsir produktif ini telah melahirkan karya dengan judul Sejarah Kenabian dalam Perspektif Tafsir Nuzuli Muhammad Izzat Darwazah. Aksin menyebut tafsir nuzuli merupakan salah satu upaya untuk menghadirkan sejarah kenabian berbasis Al-Qur’an. Hal ini sebagai pembacaan alternatif atas sikap sebagian sarjana barat yang menganggap literatur tarikh, hadis, dan sirah Nabi tidak mampu mengakomodir catatan kehidupan Nabi Muhammad.

Baca juga: Serial Diskusi Tafsir 4 Menghadirkan Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh

Selain itu, KH. Afifuddin Dimyati (Gus Awis) menyebut bahwa tafsir nuzuli merupakan upaya ulama untuk menghasilkan makna kontekstual ayat-surah secara kronologis sesuai dengan dakwah kenabian. Dengan begitum sejarah ayat dan dakwah nabi akan dipahami dengan baik dan diharapkan mampu mengatasi problem masyarakat.

Baca juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Kemudian, kitab-kitab tafsir seperti ini menarik perhatian Gus Awis dan memasukkannya dalam katalog tafsir ‘Babon’ yang berjudul Jam’ul Abiir.  Di antara kitab-kitab tafsir nuzuli itu ada tiga:

  1. At-Tafsir Al Hadits karya Muhammad Izzat Darwazah

Secara personal, Izzat Darwazah lahir pada tahun 1888 M. dan meninggal pada tahun 1984 M. Ia merupakan seorang cendekiawan, sastrawan, penerjemah, politikus, dan mufassir asal Nablus Palestina di zaman Ottoman dan ia meninggal di Damaskus Syria. Tercatat ia piawai bahasa Arab, Inggris, Turki, dan Prancis, sehingga ia turut mengikuti berbagai percaturan politik di negaranya. Ia termasuk penulis yang produktif dan berhasil menulis 30-an karya, salah satunya adalah At-Tafsir Al-Hadis.

At-Tafsir Al-Hadis merupakan kitab tafsir yang dicetak sebanyak 12 jilid. Kitab ini termasuk pionir tafsir nuzuli yang ditulis dengan analisa mendalam (tahlili). Dengan analisanya, Izzat Darwazah mengombinasikan sumber tafsir dari berbagai riwayat (bil ma’tsur) dengan pemikirannya (bil-ra’yi). Selain itu, tafsir ini secara detail membahas hal-hal yang besar maupun kecil, asbabun nuzul, kata-akata asing, hingga nasakh-mansukhnya. Karena ditulis dengan pendekatan kronologis, Izzat Darwazah menghadirkan suasanan pewahyuan bagi para pembacanya.

  1. Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur karya Abdurrahman Hasan Habannakah Al Maidani

Syekh Habannakah lahir di Syria pada tahun 1345 H./1926 M. dan meninggal pada 1425 H./ 2004 M. ia mengenyam pendidikan di Universitas Al Azhar namun menjadi dosen di berbagai kampus, seperti Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh, dan Universital Ummul Quro Makkah. Sebelum menysusu kitab tafsir Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur, ia terlebih dulu menuliskan kaidah-kaidah penafsiran dengan judul Al-Qawaid al-Amtsal litadabburi kitabillah.

Ma’arij al-Tafakkur wa Daqaiq al-Tadabbur ini, disusun berdasarkan kitab kaidahnya. Kemudian selama meyusun tafsirnya, ia merujuk pada urutan kronologis turunnya surah yang ada dalam mushaf Syekh Muhammad Ali Kholaf al Husaini al Mashri. Ia berusaha menghadirkan makna-makna ayat sejalan dengan tema sentral surah yang menghimpunnya.

Kitab ini dicetak cukup tebal dengan 15 jilid yang komperehensif. Syekh Habannakah memberikan sentuhan kebahasaan, qiraat, dan riwayat-riwayat penafsirannya. Yang menarik menurut catatan Gus Awis adalah, kitab ini menampilkan tema dan pelajaran dari masing-masing ayat, sehingga selain berfungsi sebagai tafsir, kitab ni cocok untuk tadabbur.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

  1. Fahmul Qur’an al-Hakim karya Muhammad Abid Al-Jabiri

Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan tokoh pembaharu dalam bidang kajian dan pemikiran Islam. Bukunya yang terkenal adalah Kritik Nalar Arab yang ditulis hingga 4 seri. Ia lahir pada tahun 1935 M. dan meninggal pada 2010 di Maroko. Ia merupakan tokoh yang serius mengkaji Ibnu Rusyd, bahkan UNESCO memberikan penghargaan atas dedikasinya. Namun, di balik prestasi dan ketokohannya di bidang pemikiran, ia ternyata menuliskan tafsir dengan susunan tartib nuzuli.

Kitab Fahmul Qur’an Al-Hakim, dicetak sebanyak 3 jilid. Jika dua kitab sebelumnya masuk kategori tahlili (analitik), maka tafsir ini termasuk ijmali (global). Tafsir ini ditulis sesuai kronologis turunnya ayat berdasarkan riwayat yang menguatkannya. Ia membagi tafsirnya menjadi 3 bagian, yakni mukaddimah, istihlal, istihrod dan catatan-catatan kaki.

Tentu, setiap tafsir memiliki keunikannya masing-masing, sesuai karakter dan tujuan dituliskannya tafsir itu. Namun, secara umum usaha yang ingin dikembangkan oleh Izzat Darwazah, Syekh Habannakah, dan Abid Al-Jabiri adalah mengkonstruksi bangunan pikir Al-Qur’an sesuai kronologis turunnya ayat.

Wallahu a’lam[]

Haul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

0
Gus Dur
Gus Dur dan Tafsir Surat Al-Nisa Ayat 34

Hari ini adalah tepat hari wafatnya KH. Abdurrahman Wahid sebelas tahun yang lalu. Untuk ikut memperingati Haul Gus Dur, tafsiralquran.id mempersembahkan satu artikel yang mengulas penafsiran beliau soal Surat al-Nisa Ayat 34 seputar keabsahan kepemimpinan perempuan.

Surat Al-Nisa Ayat 34 ini kadang dijadikan argumen bagi kelompok yang mendukung pelarangan kepemimpinan perempuan. Berikut adalah bunyi ayatnya:

اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًا – ٣٤

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar

Lafal “qawwamuna ‘ala al-nisa’” dalam ayat tersebut dijadikan dasar untuk laki-laki menjadi pemimpin ketimbang perempuan. Menanggapi hal tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam karyanya Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, bahwa ayat tersebut seharusnya dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab fisik lelaki atas keselamatan wanita, bukan malah memaknainya sebagai lelaki lebih pantas menjadi pemimpin negara.

Sejalan dengan pemikiran Gus Dur tersebut, Nasaruddin Umar dalam karyanya Ketika Fikih Membela Perempuan, berpandangan bahwa lafal “qawwamuna ‘ala al-nisa’” lebih tepat dimaknai sebagai laki-laki berfungsi menjadi pelindung perempuan, baik perlindunan dalam aspek fisik maupun moral.

Baca Juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Selain itu, andaikan memang Allah menghendaki laki-laki lebih layak menjadi pemimpin ketimbang perempuan, maka seharusnya redaksi yang digunakan pada kalimat setelahnya adalah “bi tafdlilihim ‘alaihinn” (atas kemuliaan laki-laki dari perempuan). Namun, Allah justru menggunakan redaksi “bima fadlalallah ba’dlahum ‘ala ba’dl” (oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain [laki-laki ataupun perempuan]).

Dalam buku Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan karya Syaiful Arif, Gus Dur berpandangan bahwa ayat tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk melarang perempuan menjadi seorang pemimpin. Hal ini dikarenakan adanya perubahan pemahaman terhadap konsep pemimpin itu sendiri. Pada masa Nabi, konsep kepemimpinan yang digunakan adalah kepemimpinan tunggal. Sedangkan saat ini, telah terjadi transformasi konsep kepemimpinan dari kepemimpinan tunggal menjadi kepemimpinan kolektif.

Tidak berhenti disitu, kelompok yang melarang kepemimpinan perempuan tersebut juga berdalil pada Hadis riwayat Imam Bukhari no. 4425 berikut:

لنْ يُفْلحَ قومٌ وَلَّوْا أمرَهُمُ امرأةً

Tidak akan beruntung suatu kaum yang mempercayakan urusan mereka kepada seorang wanita (mengangkatnya menjadi pemimpin mereka).

Sewaktu menjadi ketua PBNU, Gus Dur pernah ditanya oleh seorang ulama asal Pakistan perihal hadis tersebut. Mengingat pada saat itu kepemimpinan Pakistan dinahkodai oleh seorang perempuan yaitu Benazir Bhutto. Menjawab pertanyaan tersebut, Gus Dur menjawab:

“Bahwa dalam hal ini diperlukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi. Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpinan Abad VII hingga IX masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan suku atau kaum waktu itu memang berbentuk perseorangan (individual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara justru dilembagakan”

Dalam memahami hadis tersebut, Gus Dur juga menguraikan secara panjang lebar terkait konteks sosial-historis yang melatarbelakangi kemunculan hadis tersebut. Gus Dur mengungkapkan bahwa pada saat itu derajat perempuan sangat direndahkan, dan sama sekali tidak dipercaya untuk mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah kenegaraan.

Dengan kondisi sosial yang demikian, maka wajar jika Nabi melontarkan hadis tersebut ketika mendengar Buwaran binti Syirawaih akan dijadikan ratu di Persia. Andaikan saat itu masyarakat Arab telah menghormati keberadaan perempuan dalam ruang publik, maka sangat mungkin Nabi akan menyatakan kebolehan kepemimpinan perempuan.

Sebagai tambahan, Syaikh ‘Ali Jum’ah dalam karyanya “Fatawa al-Nisa’: Fatawa wa Ahkam li al-Mar’ah al-Muslimah” juga berpandangan bahwa hadis tersebut memiliki asbabul wurud (konteks historis) tertentu. Karena berkaitan dengan konteks tertentu, maka hadis tersebut tidak bisa dimaknai bahwa semua kaum yang menyerahkan kepemimpinanya kepada perempuan pasti akan tidak beruntung.

Konteks historis tersebut menjadi pengikat teks, sehingga kisah tentang pengangkatan Buwaran binti Syirawaih tersebut tidak bisa diberlakukan umum untuk semua perempuan. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah ushul fikih:

أَنَّ وَقَائِعَ الْأَعْيَانِ لَا عُمُوْمَ لَهَا

Sesungguhnya suatu kejadian yang memiliki konteks historis khusus, tidak bisa diberlakukan umum

Kemudian, Syaikh ‘Ali Jum’ah juga menambahkan bahwa terdapat perbedaan antara jabatan khalifah dalam Islam dengan jabatan pemimpin negara pada masa modern saat ini. Jabatan khalifah dalam fikih Islam merupakan jabatan kepemimpinan yang juga sekaligus jabatan keagamaan.

Baca Juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Sehingga seorang khalifah juga dibebani untuk menjalankan fungsi-fungsi keagamaan seperti imam shalat, khatib jum’at, dan lain sebagainya. Sedangkan jabatan yang demikian tidak ditemukan lagi setelah jatuhnya Imperium Turki Utsmani pada tahun 1924.

Lain halnya dengan jabatan pemimpin negara atau presiden, kedudukan tersebut merupakan jabatan sipil (madaniy) dan bukan jabatan keagamaan (diniy). Jabatan presiden tidak dibebani fungsi keagamaan, sebagaimana jabatan khalifah dalam literatur Islam klasik. Oleh karena itu, perempuan berhak untuk menduduki jabatan tersebut. Hal ini dikarenakan kemutlakan hukum akan berubah seiring berubahnya pemahaman akan konsep kepemimpinan tersebut.

Dengan demikian, pandangan Gus Dur terkait perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebatas bersifat biologis, tidak bersifat institusional atau kelembagaan sebagaimana yang disangkakan oleh banyak orang dalam literatur Islam klasik. Wallahu A’lam.

Penggunaan Takwil Terhadap Ayat-Ayat Mutasyabihat, Berikut Penjelasannya

0
takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat
takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat

Penggunaan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat menurut Manna al-Qattan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran telah menjadi problematika tersendiri. Bahkan, persoalan ini tidak jarang menimbulkan perpecahan, atau pertarungan teologis dalam masyarakat Muslim. Nurcholish Madjid dalam Masalah Takwil Sebagai Metodologi Penafsiran Al-Quran setidaknya mencatat terkait problematika takwil sebagai berikut,

Interpretasi metaforis atau takwil adalah pemahaman atas fakta-fakta tekstual yang bersumber dari teks ayat Al-Quran dan As-Sunnah sehingga yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah teks tersebut melainkan “makna dalam” (aspek esoteris) yang dikandungnya. Metode yang demikian ini sejatinya telah muncul sejak awal masa Islam. Karena itu, persoalan interpretasi metaforis ini mempunyai “saham” cukup besar dalam memantik perbedaan pendapat, termasuk di dalamnya mengilhami perpecahan atau perseteruan di kalangan kaum muslimin.

Kendati demikian, namun penggunaan takwil tetap dipandang sebagai instrumen penting dalam melakukan pembacaan terhadap teks. Dengan menggunakan takwil, kata Nasr Hamid Abu Zaid, maka akan memungkinkan untuk menemukan makna-makna yang “baru” dalam teks. Dalam bukunya, Tektualitas Al-Quran, Zaid menyatakan,

“Berijtihad dalam melakukan takwil atas teks tidak dibedakan antara teks di bidang fiqh dan hukum dengan teks di bidang lainnya, sebab ijtihad didasarkan pada gerak “nalar” untuk menembus ke dalam teks. Jika perbedaan takwil dalam bidang fiqh termasuk sebagai “rahmat” dan untuk memberikan keringanan bagi umat, maka perbedaan ta’wil dalam bidang lain dari teks harus dipandang dari sudut pandang yang sama, khususnya apabila mu’awwil berpegang pada perangkat-perangkat analisis teks, dan tidak pada hawa nafsunya atau pendapat pribadinya.

Baca juga: Tafsir, Takwil dan Terjemah

Mendekati teks dan berusaha mengungkapkan misteri-misterinya dimulai dengan pembacaan tingkat pertama, kemudian pembacaan dalam tingkatan analitis. Melalui pembacaan kedua ini akan terungkap kata-kata kunci” teks dan maknamakna sentralnya, dan melalui makna-makna sentral itu mu’awwil dapat mengungkapkan beberapa misteri teks. Teks selalu terbuka terhadap setiap pembacaan baru.”

Pendapat Abu Zaid tersebut penting untuk dicatat dan digarisbawahi. Bahwa persoalan takwil dipandang sebagai ikhtiar dalam mengeksplorasi makna teks, iya benar. Di sisi lain ia juga harus dipahami bahwa teks selalu “menawarkan keterbukaan” terhadap setiap pembacaan baru.

Namun Abu Zaid memberi penekanan, bahwa takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat haruslah dipahami berdasarkan ayat-ayat muhkamat. Dalam hal ini, Zaid memosisikan ayat-ayat muhkamat sebagai embrio teks dan berfungsi sebagai key (kunci) untuk melakukan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat (Moch. Nur Ichwan, “al-Qur’an sebagai Teks (Teori Teks dalam Hermeneutik Qur’an Nasr Hamid Abu Zaid)” dalam Abdul Mustaqim dan Sahiron Syamsudin (ed). Studi al-Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir).

Baca juga: Klasifikasi Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabihat, Begini Penjelasannya

Adapun penafsir mutaakhirin, Subhi al-Shalih dalam Mabahits-nya misalnya, cenderung mengaplikasikan takwil terkait dengan ayat-ayat mutasyabihat. Di lain itu, Muhammad Asa juga memaknai mutasyabihat sebagai ayat-ayat yang menggunakan redaksi majazi (metaforis) dan bermakna simbolis.

Oleh karena itu, pemahaman metaforis (takwil) harus digunakan agar tidak terjadi silang-sengkarut atau ambivalensi dalam menjiwai ajaran Islam terutama sumber primer Islam, Al-Quran dan al-Hadits (Quraish Shihab dalam Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat).

Dengan demikian, terlepas dari perdebatan penggunaan takwil antara satu ulama dengan yang lain, takwil (khususnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat) tetaplah merupakan sebuah instrumen penting yang akan sangat membantu dalam memahami teks ayat Al-Quran. Di samping itu, dengan mengeksplorasi kandungan teks Al-Quran dengan takwil, akan lebih mendorong dalam memanusiakan Al-Quran di tengah kehidupann modern dewasa ini dan merespon problemtika yang ada sebagaimana Al-Quran diturunkan dengan membawa visi, “shalih li kulli zaman wa makan”. Wallahu A’lam

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

0
An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa
An-Nisa Ayat 19: Perempuan Adalah Sosok Istimewa

Terlahir sebagai perempuan merupakan anugrah yang patut kita syukuri, karena Islam memberikan keistimewaan pada peran perempuan, maka sungguh salah besar jika ada rasa penyesalan sebab terlahir menjadi perempuan. Lantas, apa yang membuktikan bahwa perempuan adalah sosok istimewa?

Islam membuktikan bahwa perempuan adalah sosok yang istimewa, dengan adanya surat an-nisa, surat ini sungguh banyak membahas detail tentang perempuan, namun kali ini, tulisan berikut akan menyinggung khusus tentang surat an-Nisa ayat 19:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa Ayat 19).

Baca juga: Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran

Perempuan yang Ditinggal Wafat Suaminya Pada Masa Jahiliyyah

Mendengar perempuan pada masa Jahiliyyah, dalam bayangan kita pasti tergambar adanya penyudutan yang menimpa perempuan. Pada kitab  Zad al-Masir fi ilm Tafsir yang ditulis oleh Ibn Jauzy menjelaskan ayat di atas turun karena adanya larangan menjadikan perempuan  sebagai warisan yang mana bisa diturunkan oleh siapa saja. Berawal dari sebuah kisah seorang istri yang bernama Kabisyah binti Ma’an ketika itu suaminya wafat yang bernama Ashim bin As-Aslat .

Ibn Jauzy menuliskan bahwa pada saat itu diceritakan yang paling berhak atas istrinya adalah wali (suami), maka walinya tersebut bisa mengawininya. Dan jika wali tersebut tidak ingin menikahinya, maka ia bisa memberikan pada orang-orang terdekat, orang tersebut boleh juga anak tertua dari suaminya, atau anak tiri si istri. Namun, jika ia tidak menginginkan ibu tirinya, maka ia juga berhak menikahkan dengan orang yang dikehendakinya.

Melihat hal ini, membuktikan bahwa pada saat itu, perempuan masih dilindungi. Ketika suami sudah wafat, istri tidak serta merta diwariskan kepada siapa saja, tanpa kehendak orang terdekat atau saudara. Hal ini bisa terjadi karena begitu surat an-nisa ayat 19 turun, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya.

Baca juga: Teladan Kisah Nabi Yusuf: Meminta Jabatan Boleh Asal Mampu Mendatangkan Kebaikan

Kemudian Pada Kitab Al-Quran al-Adzim karya Ibn Katsir juga mengatakan yang sama dengan Ibn Jauzy bahwa secara garis besarnya keluarga suami itu lebih berhak terhadap diri istri si mayat (suami) daripada keluarga si istri.

Kisah Dzalim Terhadap Istri yang Ditinggal Wafat Suaminya

Ada kisah dzalim yang dikutip dari tulisan Rahmanita Diani, Nilai-nilai Edukasi dalam Al-Quran Surat an-Nisa Ayat 19, yang meyebabkan surat an-Nisa ayat 19 ini turun, yakni setelah keluarga suaminya mengetahui Ashim meninggal, mereka pun datang lalu melemparkan pakaian kepada Kabisyah sesuai dengan tradisi kaum jahiliyah apabila seorang suami meninggal dunia, keluarga suami akan melemparkan sepotong pakaian kepada si istri sebagai tanda si istri tidak dapat lagi mewarisi harta suaminya dan tidak boleh menikah lagi. Bahkan tragisnya, Kabisyah juga ditahan di rumah dan mereka tidak memberikan kabisyah keluar.

Kabisyah merasakan kezaliman yang menimpa dirinya. Sesungguhnya Islam datang untuk menyelamatkan perempuan dari kezaliman. Dan Kabisyah yakin Allah akan memberikannya jalan keluar sebagaimana Rasulullah. Akhirnya Kabisyah berikhtiar dengan memilih jalan untuk menemui Rasulullah. Setelah datang menemui Rasulullah, Kabisyah berdiri di hadapan Rasulullah.

Baca juga: Al-Qur’an di Era Digital dan Kemunculan Generasi Muslim Melek Digital

Dan berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak mewarisi pusaka suamiku dan tidak mendapat peninggalan meski aku kawin dengannya…”. Sungguh Maha Besar Allah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar hal tersebut lalu menurunkan ayat dalam surat An-Nisa ayat 19.

Perempuan Pada Masa Permulaan Islam

Kisah di atas terbukti perbuatan yang sangat dzalim, namun bersyukurlah Allah SWT menurunkan ayat

وَلا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ

dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya. (An-Nisa: 19).

Janganlah kalian dalam mempergauli istri yang ditinggal wafat suaminya, dan menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kamu mengambil apa yang telah kamu serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, serta kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan mudarat terhadap mereka.

Dari ayat ini, kita dapat mendapatkan hikmah pelajaran bahwa ayat 19 surat an-Nisa ini merupakan salah satu dari upaya Islam melenyapkan semua bentuk kezaliman terhadap perempuan, seraya mengembalikan semua yang menjadi hak-hak istri yang ditinggal suaminya wafat. Pada ayat tersebut juga diterapkan keadilan Islam tehadap perempuan. Islam menjaga kehomatan perempuan, mengangkat martabat perempuan, dan menjaga hak-haknya.

Dari sini kita juga belajar, bahwa kelemahan perempuan pada masa Jahiliyyah tidak boleh dijadikan sebagai peluang bagi siapapun untuk berbuat aniaya terhadapnya. Biarkan perempuan berdiri tegak tanpa mengusik haknya, apalagi medzaliminya. Wallahu a’lam[]