Beranda blog Halaman 439

Isyarat Larangan Rasisme Dalam Al-Qur’an, Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

0
Larangan Rasisme
Larangan Rasisme

Manusia diciptakan oleh Allah swt dengan berbagai latar belakang yang mengitarinya, baik itu dari ras, suku, bahasa, budaya, jenis kelamin hingga perbedaan warna kulit. Semua itu adalah anugerah yang bersifat kodrati, artinya ini merupakan takdir yang telah dibuat oleh Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, larangan rasisme harus ada dan wajib diaktualisasikan.

Perbedaan antara satu manusia dengan manusia lainnya baik pada aspek bahasa, budaya, hingga perbedaan warna kulit merupakan rahmat Allah bagi kemanusiaan dan bentuk fitrah manusia. Karenanya, berbagai tindakan rasis adalah suatu sikap yang tidak sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Dalam konteks sosial, larangan rasisme harus digalakkan demi keharmonisan dan kerukunan masyarakat.

Dalam sejarah Islam, tindakan rasis rupanya sudah eksis sejak masa kenabian bahkan jauh sebelumnya. Tindakan rasis telah mengakar dalam budaya masyarakat Arab terutama terhadap perbedaan warna kulit. Mereka yang memiliki warna kulit hitam biasanya diasosiasikan dengan budak atau kaum rendahan yang berasal dari rakyat jelata. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya larangan rasisme dan diskriminasi.

Ketika Islam datang, berbagai bentuk diskriminasi di masyarakat Arab termasuk tindakan rasis mulai dibongkar. Langkah awal yang dilakukan nabi Muhammad saw untuk melenyapkan diskriminasi dan tindakan rasis adalah dengan mengangkat tokoh-tokoh kalangan lemah sebagai orang kepercayaannya. Misalnya, beliau mengangkat Bilal bin Rabah, seorang mantan budak berkulit hitam dari Habasyah (sekarang Ethiopia) sebagai muazin resmi.

Tafsir Surat Ar-Rum [30] Ayat 22: Isyarat Larangan Rasisme

Salah satu ayat Al-Qur’an yang mengisyaratkan larangan rasisme adalah surat ar-Rum [30] ayat 22 yang berbunyi:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّلْعٰلِمِيْنَ ٢٢

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 22).

Menurut Quraish Shihab surat ar-Rum [30] ayat 22 merupakan kelanjutan kelompok ayat sebelumnya yang berbicara mengenai bukti keesaan dan kekuasaan Allah swt di muka bumi. Bukti-bukti adalah tanda yang telah Dia berikan bagi manusia untuk diresapi dan diresepsi (tadabbur). Melalui penghayatan tersebut, manusia akan mampu meyakini lebih dalam tentang keesaan dan kekuatan Allah.

Ayat di atas seakan-akan berkata, “Dan juga di antara tanda-tanda kekuasaan dan keesaan-Nya adalah penciptaan langkit yang bertingkat-tingkat, dan bumi dengan sistem yang serasi dan rapi. Serta kamu juga dapat mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah melalui pengamatan terhadap perbedaan bahasamu dan warna kulitmu, padahal kamu semua berasal dari sumber yang sama. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.”

Sekelumit dari tanda-tanda kekuasaan Allah dan keesaan-Nya dapat diketahui dengan mengamati langit dan bumi atau alam raya ini. Perhatikanlah keadaannya, amatilah peredaran benda-benda langit. Sekian banyak benda langit yang beredar di angkasa raya, namun tidak terjadi kekacauan dan ketidakteraturan. Belum lagi tanda-tanda kekuasaan dan kebesarannya jika kita mengetahui betapa luas alam raya ciptaan-Nya.

Di bumi pun – tempat manusia tinggal – terdapat sekian banyak tanda-tanda kekuasaan Allah. Pada surat ar-Rum [30] ayat 22 yang disinggung adalah tanda-tanda yang terdapat dalam diri manusia sekaligus yang berkaitan dengan peredaran matahari dan bumi. Allah swt menyebutkan perbedaan lidah dan warna kulit sebagai bagian dari tanda-tanda keesaan dan kekuasaan-Nya setara dengan pergantian siang dan malam.

Kata alsinatikum adalah jamak dari kata lisan yang berarti lidah. Kata ini sering digunakan dalam arti bahasa atau suara. Karena lidah merupakan salah satu alat pembantu manusia dalam berbicara maupun mengeluarkan suara. Dalam penelitian terbaru, lidah setiap orang unik begitu pula dengan suaranya. Tidak ada seorangpun yang memiliki suara sepenuhnya sama dengan orang lain. Hal ini persis seperti sidik jari. Tidak ada dua orang yang sama sidik jarinya.

Surat ar-Rum [30] ayat 22 ditutup dengan kata li al-‘alamin atau bagi orang yang alim yakni memiliki pengetahuan. Ini mengisyaratkan bahwa perbedaan warna kulit dan bahasa menyimpan banyak rahasia dan misteri yang hanya dapat diketahui oleh orang yang men-tadabburi-nya. Banyak rahasia yang belum terungkap. Banyak juga masalah baik menyangkut perbedaan warna kulit maupun bahasa dan suara yang hingga kini masih menjadi tanda tanya bagi banyak orang.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surat ar-Rum [30] ayat 22 mengisyaratkan larangan rasisme dan diskriminasi terhadap perbedaan warna kulit dan bahasa. Sebab keduanya merupakan salah satu dari sekian banyak tanda keesaan dan kekuasaan Allah swt. Siapa yang melakukan tindakan rasis dan diskriminasi, dalam konteks ini sama saja dengan tidak mengakui keesaan dan kekuasaan Allah swt. Wallahu a’lam.

Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal

0
qiraat al-quran
qiraat al-quran

Bagi para pengkaji ilmu Al-Quran dan Tafsir, huffadz, maupun qurra’, ilmu Qiraat sangatlah penting untuk dipelajari. Dari sana kita akan mendapati betapa ragamnya pembacaan Al-Quran. Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran menuturkan bahwa bangsa Arab sejak dahulu memang mempunyai lahjah (dialek) kebahasaan yang beragam antara kabilah yang satu dengan yang lain, baik aspek intonasi maupun fonetiknya, akan tetapi bahasa Quraisy mempunyai distingi dan keunikannya tersendiri.

Oleh karena itu, wajarlah bilamana Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy kepada seorang Rasul yang Quraisy pula. Perbedaan dan keragaman dialek tersebut, kata Manna Khalil Al-Qattan dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran, menjadikan Al-Quran semakin paripurna kemukjizatannya sebab ia dapat mewadahi berbagai dialek dan ragam pembacaan (qiraat) Al-Quran sehingga mudah untuk dibaca, dihafal, dipahami, serta ditafsirkan dengan berbagai pendekatan.

Sejarah Qiraat Al-Quran

Rasulullah saw tatkala menyampaikan wahyu Al-Quran menggunakan huruf yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan para sahabat agar mereka tidak merasa kesulitan dalam membaca Al-Quran. Dan para sahabat mendengarkan dengan seksama bagaimana gerak bibir Rasulullah sawt ketika tilawah Al-Quran dan segala yang disampaikan oleh-Nya.

Alhasil, para sahabat menerima riwayat bacaan Al-Quran sangat beragam. Selain itu, Nabi Muhammad saw tidak jarang memerintahkan kepada “santri senior” untuk mengajarkan qiraat kepada orang-orang muallaf. Kemudian, di antara para sahabat tersebut ada yang mendapatkan hanya satu huruf saja, ada yang dua huruf, tiga huruf bahkan lebih. Sehingga para sahabat pun membaca Al-Quran dengan berbeda-beda pula.

Baca juga: Makki Al-Qaisi, Imam Qiraat yang Terlupakan dan Keragaman Bacaan yang Dihadirkannya

Nah, perbedaan bacaan ini tidak jarang memunculkan perdebatan di antara para sahabat (ikhtilaf as-shahabah), namun perbedaan ini akhirnya diklarifikasikan kepada Rasulullah saw, dan beliau membenarkannya. Pasca Rasulullah sawt, para sahabat itulah yang mewarisi ilmu Al-Quran termasuk di dalamnya ilmu Qiraat dan mengajarkan kepada generasi penerusnya.

Di dalam beberapa hadits bahkan para sahabat yang ahli dalam qiraat mendapatkan pujian dari Rasul saw, antara lain Ibn Majah dalam Sunan Ibn Majah,

عن عبد الله بن مسعود أنا أبا بكر وعمر بشراه أن رسول الله صلعم قال مَنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْرَأَ الْقُرْآَنَ غَضًّا كَمَا أُنْزِلَ فَلْيَقْرَأْه عَلَى قِرَاءَةِ ابْنِ أُمِّ عَبْدٍ

“Diceritakan dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Abu Bakar dan Umar memberinya kabar gembira bahwa Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa yang ingin membaca Al-Quran dengan lemah lembut sebagaimana keadaannya diturunkan hendaklah ia membacanya dengan qiraat putra ibu hamba sahaya (Abdullah bin Mas’ud)””. (H.R. Ibnu Majah).

Dalam hadits lain, Imam Muslim dalam Shahih Muslim, misalnya,

عن أنس بن مالك ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ ﻷﺑﻲ : ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻣﺮﻧﻲ ﺃﻥ ﺃﻗﺮﺃ ﻋﻠﻴﻚ، ﻗﺎﻝ : ﺁﻟﻠﻪ ﺳﻤﺎﻧﻲ ﻟﻚ? ﻗﺎﻝ : ﺍﻟﻠﻪ ﺳﻤﺎﻙ ﻟﻲ ، ﻓﺠﻌﻞ ﺃﺑﻲ ﻳﺒﻜﻲ

“Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ubay, “Sesungguhnya Allah swt telah menyuruhku untuk membacakan Al-Quran kepadamu”. Ubay bertanya, “Apakah Allah menyebut-nyebut namaku kepadamu?” Rasulullah menjawab, “Iya, Allah telah menyebut-nyebut namamu kepadamu”, Anas berkata, “lalu Ubay menangis”. (H.R. Muslim)

Menurut Abdul al-Rajihi dalam al-Lahjah al-‘Arabiyyah fi al-Qiraat al-Quraniyyah mengutip dari Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam di antara para sahabat yang ahli dalam hal qiraat ialah Talhah bin Ubaidillah, Sa’ad, Abdullah bin Mas’ud, Huzaifah bin al-Yaman, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin al-Saib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin ‘Abbas, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah, Ubay bin Ka’ab, Ubaidah bin Samit, Muaz bin Jabal, Abu Dardai, Zaid bin Tsabit, Majma’ bin Jariyah, Anas bin Malik, dan Maslamah bin Mukhaliq.

Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan

Sedangkan Sya’ban Muhammad Isma’il dalam kitabnya al-Qiraat Ahkamuha wa Masdaruha yang diterjemahkan oleh Said Agil Husin al-Munawwaran al-Raqasyi dan Abu Raja’ al-‘Atharidi menjelaskan bahwa pasca wafatnya Rasulullah sawt, ekspansi wilayah umat Islam semakin meluas sehingga banyak dari para sahabat berpindah ke wilayah yang baru dan menetap di sana.

Selain itu, khulafa Rasyidin juga memerintahkan sahabat ahli qurra’ untuk mengajarkan qiraat di wilayah yang baru sebagaimana diceritakan Ibnu Saad dalam kitab Thabaqah-nya yang dikutip oleh al-Rajihi bahwa ada 5 orang dari sahabat Anshar yang sudah hafal Al-Quran di masa Nabi Muhammad saw masih hidup. Mereka adalah Mu’az bin Jabal, Ubadillah bin al-Samit, Ubay bin Ka’ab, Abu Ayyub dan Abu Darda’.

Di masa pemerintahan Umar bin Khattab, Gubernur Syam yang saat itu dijabat oleh Yazid bin Abi Sufyan mengirim korespondensi kepada khalifah untuk mengutus sahabat yang ahli qurra ke Syam sebab penduduk di sana amat banyak dan membutuhkan tenaga pengajar Al-Quran yang banyak pula.

Setelah menerima surat tersebut, khalifah Umar mengutus tiga di antara lima sahabat untuk pergi ke Syam, namun karena saat itu Abu Ayyub sudah sangat sepuh dan Ubay bin Ka’ab juga sedang sakit maka yang berangkat adalah tiga sahabat yang lain, yaitu Mu’az bin Jabal, Ubaidah bin al-Samit, dan Abu al-Darda’.

Mereka bertiga memulai perjalanan menuju kota Hams, kemudian setelah penduduk Hams bisa membaca Al-Quran, Ubaidah bin al-Samit melanjutkan ke Palestina dan meninggal di sana. Sedangkan Abu al-Darda’ menetap di Damaskus, Syam dan wafat di sana.

Tafsir Surat Al Fil Ayat 1-5

0
tafsir surah al fil
Tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan sebelumnya berbicara mengenai ancaman Allah terhadap orang-orang yang suka mencela, mengumpat dan menyakiti orang lain, Tafsir Surat Al Fil Ayat 1-5 ini bercerita mengenai sejarah luar biasa yang terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad saw dilahirkan. Kejadian tersebut juga dijadikan patokan terhadap tahun kelahiaran Nabi Muhammad saw, yaitu apa yang disebut tahun Gajah.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Humzah Ayat 1-8

Dalam Tafsir Surat Al Fil Ayat 1-5 ini diceritakan bagaimana sebuah kaum dengan raja yang sangat sombong yang berbniat buruk ingin meratakan Ka’bah dengan tanah. Mereka datang dengan pasukan yang banyak dan sebagiannya menunggangi gajah-gajah yang besar. Namun Allah swt tetap melindungi Ka’bah dan membinasakan mereka dengan mendatangkan burung-burung yang berterbangan dengan membawa batu-batu untuk menghancurkan mereka.

Ayat 1

Dalam surah ini, Allah mengingatkan Nabi Muhammad dan pengikutnya dengan suatu peristiwa yang menunjukkan betapa besarnya kekuasaan Allah. Peristiwa itu adalah penyerbuan tentara gajah yang dipimpin oleh panglima Abrahah dari Yaman untuk menundukkan penduduk Mekah dan meruntuhkan Ka’bah.

Akan tetapi, Allah membinasakan mereka sebelum maksud yang jahat itu tercapai. Peristiwa Gajah adalah suatu peristiwa yang paling terkenal di kalangan bangsa Arab, sehingga peristiwa ini mereka jadikan patokan tanggal bagi peristiwa-peristiwa lainnya.

Kesimpulan riwayatnya adalah bahwa seorang panglima perang yang berkuasa di Yaman ingin menguasai Ka’bah dan menghancurkannya, dengan maksud melarang orang-orang Arab mengerjakan haji ke Ka’bah. Lalu bala tentaranya bergerak menuju Ka’bah disertai beberapa ekor gajah untuk menakut-nakuti.

Ketika iring-iringan angkatan perang tersebut tiba di suatu tempat bernama Muqammas (suatu tempat yang berdekatan dengan Mekah), mereka beristirahat di sana. Panglima perang mengirim utusannya kepada penduduk Mekah untuk menyampaikan maksudnya, yaitu bukan untuk memerangi penduduk tetapi untuk menghancurkan Ka’bah.

Baca juga: Maulid Nabi Muhammad SAW, Ini Tiga Artikel Refleksi Peringatan Kelahiran Baginda Rasulullah

Penduduk Mekah menjadi ketakutan dan lari ke gunung-gunung di sekeliling Ka’bah untuk melihat dari jauh apa yang akan terjadi dan apa yang akan dilakukan oleh panglima perang tersebut.

Dalam surah ini pula Allah menjelaskan apa yang terjadi terhadap pasukan bergajah dalam bentuk pertanyaan bahwa Muhammad tidak mengetahui keadaan yang sangat aneh dan peristiwa yang sangat dahsyat yang membuktikan kekuasaan Allah, ilmu dan hikmah-Nya yang tinggi terhadap tentara gajah yang ingin menghancurkan Ka’bah. Kejadian itu berbeda dengan kejadian lainnya yang mempunyai sebab dan akibat.

Ayat 2-5

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa Ia telah menggagalkan tipu muslihat mereka yang hendak menghancurkan Ka’bah.

Allah mengungkapkan cara menggagalkan tipu daya mereka, yaitu dengan mengirimkan pasukan burung yang berbondong-bondong melempari mereka dengan batu-batu yang berasal dari tanah sehingga menjadikan mereka hancur-lebur dan daging mereka beterbangan ke mana-mana. Maka tentara gajah menjadi laksana daun-daun yang dimakan ulat.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Quraisy Ayat 1-4

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 26: Ibrah dari Penciptaan Nyamuk dalam Al-Quran

0
nyamuk dalam Al-Quran
nyamuk dalam Al-Quran

Al-Quran adalah petunjuk dalam kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat banyak perumpamaan-perumpamaan yang menjadi petunjuk untuk kehidupan manusia. Sehingga Allah menyeru kepada manusia untuk memperhatikan perumpamaan-perumpamaan tersebut. (QS. Az-Zumar [39]: 27). Salah satu petunjuk yang disampaikan dalam wujud perumpamaan dalam Al-Quran adalah binatang nyamuk. Apa dan bagaimana ibrah dari penciptaan nyamuk dalam Al-Quran?

Saat ini kita sudah berada dalam ruang lingkup kemajuan ilmu pengetahuan. Tidak salah bila kita menggunakan kacamata ilmu pengetahuan untuk memperhatikan perumpamaan firman Allah tersebut. Mari kita ambil satu contoh ayat Al-Quran, misalnya tentang penyebutan nyamuk dalam Al-Quran.

Nyamuk adalah salah satu hewan yang disebutkan dalam Al-Quran, tepatnya pada surah Al-Baqarah ayat 26 yang dijadikan sebagai perumpamaan untuk merefleksikan kehidupan manusia. Turunnya ayat ini adalah sebagai jawaban terhadap pertanyaan orang-orang kafir untuk menguji, siapa di antara mereka yang beriman dan yang mengingkari ayat-ayat Allah.

Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya

Melalui perantara ayat-ayat perumpamaan tersebut kemudian ada yang mendapat petunjuk, dan dengan perumpamaan itu juga ada yang tersesat. Mari kita ulas apa petunjuk dan hal yang menyesatkan manusia dibalik ayat penciptaan nyamuk dalam Al-Quran. Allah Swt berfirman dalam Al-Quran,

 اِنَّ اللّٰهَ لَا يَسْتَحْيٖٓ اَنْ يَّضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوْضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَّبِّهِمْ ۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَيَقُوْلُوْنَ مَاذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِهٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهٖ كَثِيْرًا وَّيَهْدِيْ بِهٖ كَثِيْرًا ۗ وَمَا يُضِلُّ بِهٖٓ اِلَّا الْفٰسِقِيْنَۙ ٢٦

“Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan seekor nyamuk atau yang lebih kecil dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka tahu bahwa itu kebenaran dari Tuhan. Tetapi mereka yang kafir berkata, “Apa maksud Allah dengan perumpamaan ini?” Dengan (perumpamaan) itu banyak orang yang dibiarkan-Nya sesat, dan dengan itu banyak (pula) orang yang diberi-Nya petunjuk. Tetapi tidak ada yang Dia sesatkan dengan (perumpamaan) itu selain orang-orang fasik” (Al-Baqarah/2:26)

Dalam kitab Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al-Quran, At-Thabari mengutip sebuah hadis di mana Yazid bin Zura menceritakan perihal penyebutan nyamuk pada ayat diatas. Menurutnya, maksud dari perumpamaan nyamuk itu ialah sesungguhnya Allah tidak segan menyebutkan kebenaran, baik kecil maupun besar, dan ketika Allah menyebutkan tentang lalat dan nyamuk dalam kitab-Nya, orang-orang yang sesat berkata “apa maksud Allah menyebutkan lalat dan nyamuk dalam kitab-Nya?” maka turunlah ayat ini.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengemukakan pendapat dari As-Sa’adi, bahwa orang yang disesatkan dalam ayat tersebut adalah merujuk kepada orang-orang munafik. Perumpamaan ini dibuat oleh Allah untuk menggambarkan keadaan mereka sendiri, akan tetapi mereka tidak mau percaya ketika perumpamaan itu sesuai dengan keadaaan mereka.

Baca Juga: Menilik Kehadiran Tafsir Ilmi

Di situlah Allah menyesatkan mereka dengan perumpamaan yang telah dibuat-Nya. Berbeda halnya dengan orang dari kalangan ahli iman, mereka mendapat petunjuk karena mempercayai dan mengakui setelah tahu bahwa perumpamaan yang Allah buat sesuai dengan kondisi yang mereka alami.

Nyamuk pada umumnya dikenal sebagai hewan yang menghisap darah manusia dan hewan. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, karena setelah diteliti, ternyata hanya nyamuk betina-lah yang menghisap darah, sedangkan yang jantan menghisap nektar bunga.

Dalam buku Ensiklopedia Mukjizat Ilmiah Al-Quran, Harun Yahya menjelaskan secara detail perihal bagian-bagian nyamuk. Khusus pada nyamuk betina, terdapat 6 buah pisau pengiris di belalainya dan mempunyai fungsi yang berbeda-beda, memiliki seratus mata, 48 gigi dimulutnya, 3 jantung yang terletak di bagian perutnya, 3 buah sayap di setiap sisinya, bahkan memiliki kemampuan untuk mendeteksi panas sehingga dengan kemampuan itu ia dapat melihat manusia dan hewan meskipun berada dalam kegelapan.

Coba kita renungkan, bagaimana mungkin susunan organ-organ yang begitu rumit dapat berfungsi secara efisien dalam tubuh seekor nyamuk yang sangat kecil? Bukankah ini suatu pelajaran yang patut diperhatikan oleh manusia?

Baca Juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Abdul Muta’ali mengatakan, “makin maju pencapaian seseorang, produk yang ditemukannya makin kecil. Pada 1947, CPU komputer berbentuk sangat besar, tapi dalam pengembangannya, justru prosesor dikembangkan dalam bentuk yang kian kecil”. Artinya seekor nyamuk yang menjadi perumpamaan dalam Al-Quran sejak beberapa abad yang silam adalah suatu rancangan yang sangat canggih untuk ukuran ilmuan modern saat ini. Bahkan tidak menutup kemungkinan nyamuk adalah salah satu hewan yang melahirkan inspirasi dalam penciptaan nano teknologi.

Seperti yang sudah kita saksikan sekarang, telah banyak bermunculan alat-alat yang menggunakan konsep nano teknologi, contohnya komputer, alat-alat dibidang medis, farmasi, kosmetik, tekstil, otomotif, dan alat-alat kemiliteran. Dengan adanya teknologi tersebut, manusia dapat menyelesaikan berbagai pekerjaannya dengan sangat cepat efisien, hemat dan ramah lingkungan.

Itu baru seekor nyamuk yang sangat kecil, bagaimana dengan ciptaan Allah yang lain? Singkatnya, ayat penyebutan penciptaan nyamuk dalam Al-Quran ini mengajarkan kepada manusia agar tidak meremehkan ciptaan Allah yang kecil dalam penglihatan mata. Sebab bisa jadi sesuatu yang kecil itu lebih bermanfaat bahkan bisa saja lebih berbahaya dibandingkan dengan sesuatu yang kelihatan besar dan kuat.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 42-45

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir surat Al A’raf ayat 42-45 ini mengisahkan keadaan para penghuni surga. Bagi penghuni surga mereka akan mendapat balasan dari perbuatan baiknya selama di dunia. Selain itu tafsir surat Al A’raf ayat 42-45 ini juga menjelaskan apa yang dimaksud dengan orang zalim. Selengkapnya dibaca sampai tuntas tafsir surat Al A’raf ayat 42-45 di bawah ini.


Baca Juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 38-41


Ayat 42

Ayat ini menerangkan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh sesuai dengan kesanggupannya akan menjadi penghuni surga. Hal ini sebagai balasan mereka mengimani Allah dan membenarkan kerasulan Nabi Muhammad, yang telah menyampaikan wahyu dan ajaran agama, dengan penuh ketaatan mengerjakan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya, mereka tidak akan dikeluarkan dari surga dan segala kenikmatan yang ada tidak akan dicabut untuk selama-lamanya.

Allah tidak akan memikulkan kewajiban kepada seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Semua perintah dan larangan Allah, tidak berat dan tidak pula memberatkan. Amal saleh yang akan menjadikan seseorang sebagai penghuni surga adalah mudah, tidak sulit dan tidak susah. Agama Islam adalah agama yang mudah dikerjakan, bukan agama yang berat. Mudah dikerjakan oleh laki-laki – perempuan, tua – muda, dan orang sehat – orang sakit, bahkan mudah dikerjakan oleh semua lapisan masyarakat, kapanpun di mana pun mereka berada.

Ayat 43

Ayat ini menerangkan bagaimana keadaan penghuni surga yang jauh berbeda dari keadaan penghuni neraka, seperti siang dan malam. Penghuni surga tidak mempunyai rasa dendam dan benci. Allah membuang rasa dendam dan dengki itu dari dalam dada mereka. Allah menumbuhkan rasa kasih sayang, santun, menghormati, dan bergembira.

Kebalikan dari penghuni neraka, mereka bermusuhan satu dengan yang lain, tuntut-menuntut, tuduh-menuduh dan hina-menghinakan. Penghuni surga bersenang-senang dan bergembira dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, tetapi penghuni neraka dalam keadaan susah dan bermuram durja, mereka diliputi oleh api yang bernyala-nyala. Penghuni surga senantiasa bersyukur dan berterimakasih, menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan mereka.

Mereka memuji Allah yang telah memberinya petunjuk selama hidup di dunia sehingga mereka menjadi orang yang beriman dan beramal saleh yang menyebabkan mereka menjadi penghuni surga. Kalau bukan karena petunjuk Allah, tentu mereka tidak mempercayai Rasul Allah, atau mereka akan menjadi orang yang zalim dan durhaka.

Karena Rasul diutus untuk membawa ajaran-ajaran yang benar, menuntun umatnya mempercayai Allah Yang Maha Esa dan Maha Berkuasa dan mendorong mereka untuk mengerjakan amal saleh. Kemudian penghuni surga mendengar seruan dari malaikat, suatu seruan yang sangat menyenangkan dan menggembirakan, seruan yang merupakan penghormatan dan kemuliaan, yaitu inilah tempatmu yang bernama surga yang sudah diwariskan Allah untukmu sebagai balasan dari amal salehmu yang kamu kerjakan selama hidup di dunia.

Masuk surga adalah balasan dari amal saleh yang dilandasi iman kepada Allah. Juga karena adanya rahmat dari Allah. Kalau rahmat dari Allah tidak ada, seseorang belum tentu akan masuk surga, yaitu suatu tempat kesenangan yang disediakan Allah bagi hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh, tetapi bila tidak ada rahmat Allah, tentu seseorang tidak akan masuk surga. Sebab tidaklah sebanding amal saleh dengan nikmat surga itu.

Dari kata-kata “Kami wariskan” terkandung di dalamnya rahmat Allah. Tidak mungkin seseorang masuk surga, walaupun besar amal salehnya tanpa adanya rahmat Allah baginya. Sabda Rasulullah:

لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، قَالُوْا: وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ الله ُبِفَضْلِهِ وَرَحْمَتِهِ  رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة

Amal perbuatan (seseorang) tidak akan memasukkannya ke dalam surga. Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah engkau juga begitu ya Rasulullah?” Rasul menjawab, “Juga saya begitu, kecuali kalau Allah memberikan kepada saya rahmat dan karunia-Nya.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Ayat 44

Ayat ini menerangkan bahwa kelak di akhirat akan terjadi dialog antara penghuni surga dan penghuni neraka. Hal ini terjadi, setelah penghuni surga menetap dalam surga dan penghuni neraka sudah menetap dalam neraka.

Penghuni surga dengan segala kenikmatan dan kesenangan yang diperoleh, dan dengan wajah berseri-seri menghadapkan mukanya ke arah penghuni neraka yang sedang menderita karena kedurhakaan dan kekafirannya kepada Allah dan kepada Rasulullah, seraya berkata, “Sesungguhnya kami telah memperoleh apa yang dijanjikan Allah kepada kami yang disampaikan Rasul-Nya. Kami telah memperoleh kesenangan, kemuliaan yang abadi yang tidak dapat kami ceritakan bagaimana nikmatnya dalam surga.

Apakah kamu sudah memperoleh azab dan siksaan?” Mereka menjawab, “Benar, kami sedang menerima azab, sebagaimana yang telah diancamkan kepada kami dengan perantaraan Rasul-Nya.” Di tengah-tengah percakapan yang seperti itu, terdengarlah satu seruan dari malaikat yang mengatakan, “Kutukan Allah terhadap orang zalim yang menganiaya dirinya sendiri yang tidak mau menerima kasih sayang Allah semasa di dunia, yaitu memasuki surga yang sudah dijanjikan Allah.”

Ayat 45

Ayat ini menjelaskan, siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim. Yaitu orang-orang yang selalu berusaha melarang diri mereka sendiri ataupun orang lain untuk menuruti jalan Allah sebagaimana yang telah disampaikan Rasul Allah. Melarang mengikuti ajaran-ajaran agama yang benar, untuk mencari keridaan Allah. Berusaha menyesatkan orang lain dari jalan yang benar.

Selain dari itu termasuk orang yang zalim, ialah orang-orang yang berusaha menyelewengkan ajaran agama, tidak menurut ajaran yang sebenarnya. Cara yang mereka pakai untuk tujuan tersebut bermacam-macam. Di antara yang paling besar dosanya ialah menumbuhkan penyakit syirik.

Tauhid diubah menjadi syirik dengan mencampuradukkan ajaran tauhid dengan ajaran agama lain dalam beribadah dan berdoa. Mempersekutukan Allah dengan berhala dan lain-lain atau dengan menjadikan berhala itu sebagai wa¡ilah kepada Allah, perbuatan itu adalah termasuk syirik dan jelas dilarang. Firman Allah:

وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِ

Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar). (al-Bayyinah/98: 5)

Cara yang lain lagi ialah dengan menimbulkan segala macam keraguan dalam agama, mereka mempersulit cara yang berlebih-lebihan untuk mengerjakan berbagai perintah agama. Sehingga orang lambat-laun akan lari dari agama. Sebenarnya orang-orang yang zalim itu termasuk orang-orang yang tak percaya kepada akhirat. Mereka tidak percaya datangnya hari Kiamat, tidak percaya dengan hari pembalasan dan lain-lain yang berhubungan dengan hari Kiamat.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an

0
Makna Kata Jannah dalam Al-Quran
Makna Kata Jannah dalam Al-Quran

Jannah berasal dari kata janana yang berarti “tertutup”, yaitu tidak dapat dijangkau oleh panca indra manusia (Zuhaili, al-Maushu’ah al-Qur’aniyah al-Muyassarah). Dalam Mu’jam al-Wasith dijelaskan makna kata jannah sebagai kebun. Dari akar kata tersebut pengertiannya menjadi berkembang sejalan dengan perkembangan konteks pemakaiannya sehingga terbentuk berbagai kata lain.

Misalnya, kata janin diartikan dengan “bayi yang masih berada di dalam kandungan ibunya”. Diartikan demikian karena bayi tersebut masih tertutup oleh perut ibunya. Kemudian, salah satu makhluk halus ciptaan Tuhan disebut jin karena hakikat dan wujudnya tidak dapat diketahui oleh indra manusia.

Seorang yang gila disebut majnun karena akalnya tertutup. Kebun yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan sehingga menutupi pandangan manusia dinamai jannah; kata ini diartikan juga dengan “surga” karena hakikat surga tertutup dari pengetahuan indra dan akal manusia.

Makna Relasional

Di dalam penjelasan awal telah dijelaskan akar kata Jannah serta derivasi katanya serta maknanya secara lughawiyyah menurut beberapa mu’jam (kamus bahasa Arab). Adapun dalam pembahasan ini maka akan dilihat bagaimana pemaknaannya dalam relasinya dengan ayat-ayat al-Qur’an.

Quraish Shihab dalam Ensiklopedia al-Qur’an Kajian Kosa Kata menyebutkan bahwa dalam relasinya dengan ayat-ayat al-Qur’an kata Jannah dapat dimaknai dengan beberapa makna, diantaranya :

  • Gelap (Q.S al-An’am: 76)

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang  (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.”

Kata جَنَّ  merupakan salah satu bentuk derivasi dari kata جنة yang memiliki arti dasar tertutup apabila dikaitkan dengan kataاللَّيْلُ  maka maknanya ialah tertutup kegelapan atau menjadi gelap. Hal ini juga dijelaskan Imam Thabari dalam tafsrinya tatkala menafsirkan ayat ini dimana dalam tradisi linguistik Arab, setiap yang lenyap/ menghilang/ tersembunyi (tawara) dari penglihatan manusia maka digunakan kata قد جَنَّ .

  • Surga (Q.S al-Nisa: 124)

وَمَنْ يَّعْمَلْ مِنَ الصّٰلِحٰتِ مِنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَاُولٰۤىِٕكَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُوْنَ نَقِيْرًا

Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.

Dalam ayat ini sangat jelas bahwa yang dimaksudkan adalah surga. Hal ini bisa diindaksi dengan adanya syarth dan jawab dalam kalimat tersebut. Dimana orang-orang yang mengerjakan amal kebajikan tanpa mempertimbangkan jenis kelaminnya selama ia beriman kepada Allah, maka ganjaran baginya adalah surga dan segala kenikmatan yang akan diberikan di dalamnya. Adapun dalam beberapa kitab tafsir tetap menafsirkannya dengan kata asalnya karena telah ma’lum apa yang dimaksud dengan jannah di dalam ayat tersebut.

  • Janin (Q.S al-Najm: 32)

اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ اِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِۗ هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى ࣖ

Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.

Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa kataأَجِنَّةٌ  merupakan bentuk plural dari kata الجنين  yang bermakna calon bayi / anak yang masih berada dalam kandungan. Adapun dinamai janin karena memang calon bayi tersebut tersembunyi dari penglihatan manusia karena tempatnya yang berada di dalam kandungan atau rahim.

  • Perisai (Q.S al-Mujadalah: 16)

اِتَّخَذُوْٓا اَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِيْنٌ

Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah; maka bagi mereka azab yang menghinakan.

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam al-Qurthubi menyertakan perihal sejarah yang mengiringi turunnya ayat ini (asbabun nuzul) dimana konteks di masa itu sedang terjadi perang. Maka orang-orang munafik yang takut dan ingin menghindari perang menggunakan keimanan mereka atau dalam tafsir dimaknai dengan ikrar-ikrar mereka sebagai perisai atau alasan yang menutupi/melindungi mereka untuk ikut terlibat di dalam peperangan. Tidak sampai disitu saja, mereka justru menghasut atau menghalangi umat muslim lainnya dengan menakuti-nakuti mereka agar tidak turut serta terlibat di dalam peperangan.

  • Gila (Q.S al-Syu’ara: 27, Q.S al-Hijr: 6)

قَالَ إِنَّ رَسُولَكُمُ الَّذِي أُرْسِلَ إِلَيْكُمْ لَمَجْنُونٌ

وَقَالُوا يَا أَيُّهَا الَّذِي نُزِّلَ عَلَيْهِ الذِّكْرُ إِنَّكَ لَمَجْنُونٌ

Ayat yang pertama (Q.S al-Syu’ara: 27) merupakan perkataan Fir’aun yang direkam di dalam al-Qur’an yang menunjukkan betapa sombongnya Fir’an sehingga dengan merendahkan Nabi Musa dan mengatakannya majnun yang bermakna tertutup akalnya (gila). Tidak jauh berbeda dengan ayat yang pertama, ayat yang kedua merekam perkataan kafir Quraisy yang dengan sombongnya mengatakan nabi Muhammad gila.

  • Kebun (Q.S Saba’: 15; 16)

لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ فَاَعْرَضُوْا فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ اُكُلٍ خَمْطٍ وَّاَثْلٍ وَّشَيْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيْلٍ

Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”; Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr.

Dalam ayat ini yang dimaksud dengan kata جَنَّتَانِ  adalah dua buah kebun yang terbentang diantara dua gunung yang dalam konteks tersebut terdapat di negeri Saba’. Kebun tersebut penuh dengan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang menurut Imam Qusyairi yang dikutip oleh Imam Qurthubi, bahwa karena terlalu lebatnya bahkan manusia bisa bersembunyi diantara kebun tersebut. Jadi disebut dengan jannah karena saking lebatnya manusia pun mampu bersembunyi dari pandangan manusia lainnya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 38-41

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Secara umum dalam Tafsir surat Al A’raf ayat 38-41 mengisahkan orang-orang kafir yang dimasukkan ke dalam neraka. Mereka yang dimasukkan ke neraka meminta pertanggungjawaban pemimpin mereka dahulu ketika masih di dunia. Sedangkan para pemimpin mereka berlepas diri dari tanggungjawab dan tuntutan orang-orang kafir tersebut.


Baca Juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 35-37


Ayat 38

Pada hari Kiamat, Allah memerintahkan kepada orang-orang kafir agar masuk ke dalam neraka, bersama-sama umat-umat yang terdahulu, dari jin dan manusia. Mereka sudah lebih dahulu masuk ke dalam neraka, karena kekafiran dan kedurhakaan mereka. Setan dari jin dan manusia selalu menggoda kaumnya dan menggoda manusia agar tersesat dari jalan yang benar.

Mereka sudah lebih dahulu berada dalam neraka. Allah berfirman: Tinggallah kamu bersama-sama mereka dalam neraka dan jadikanlah mereka sebagai penolong-penolongmu, sebagaimana kamu hidup di dunia menjadikan mereka tempat minta tolong. Dari ayat ini jelaslah bahwa orang-orang kafir itu tidak sekaligus serempak masuk neraka semuanya, tetapi bergelombang.

Gelombang pertama masuk, kemudian menyusul gelombang berikutnya, maka terjadilah kutuk-mengutuk sesama orang kafir itu dalam neraka. Setiap kali suatu umat masuk ke neraka, dan mereka melihat bagaimana hebatnya azab neraka itu, mereka mengutuk kawan-kawan yang telah menyesatkan mereka, dimana mereka mengikuti dengan penuh setia kawan-kawan yang telah menyesatkannya selama hidup di dunia, yang sekarang telah sama-sama terjerumus ke dalam neraka. Firman Allah:

ثُمَّ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَّيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۖ

… Kemudian pada hari Kiamat sebagian kamu akan saling mengingkari dan saling mengutuk…  (al-‘Ankabut/29: 25)

Orang-orang musyrik mengutuk pemimpin-pemimpin yang telah menyesatkannya, begitu juga orang-orang Yahudi dan Nasrani mengutuk pemimpin-pemimpin yang telah menyesatkannya. Begitulah tiap-tiap umat atau golongan mengutuk kawan-kawannya yang jadi pemimpin yang telah menyesatkan selama hidup di dunia.

Akhirnya kalau semuanya sudah masuk ke dalam neraka dan mereka sudah berkumpul di dalamnya, sudah sama-sama merasakan pedih azab neraka, maka berkatalah para pengikut kepada Allah, tentang pemimpin-pemimpin yang telah menyesatkan mereka, “Ya Tuhan, pemimpin inilah yang menyesatkan kami, dan kami bertaklid buta mengikuti perintah mereka.

Ya Allah, berikanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dalam neraka ini, lebih berat dari siksaan kami ini, karena mereka sesat dan menyesatkan kami.” Allah memberi jawaban terhadap permintaan pengikut-pengikut itu, firman-Nya, “Bagi masing-masing mereka sudah diberi azab yang berlipat ganda, tetapi kamu tidak tahu.” Mereka di dalam neraka sama-sama menderita, tidak ada perbedaan antara pengikut dengan pemimpin yang menyesatkan, karena mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain.

Demikian pula yang dipimpin karena mereka telah sesat dan bertaklid buta menerima kesesatan. Masing-masing golongan tidak mengetahui macam siksaan yang ditimpakan kepada yang lain.

Ayat 39

Dalam ayat ini dijelaskan, bagaimana cara pemimpin-pemimpin mereka berlepas diri dan tanggungjawab dari tuntutan pengikut-pengikutnya. Pemimpin-pemimpin yang telah lebih dahulu masuk neraka mengatakan: “Kalau memang seperti yang kamu tuduhkan itu, bahwa kami menyesatkan kamu dan hendaklah azab kami dilipatgandakan dari azab yang kamu terima, maka sekarang kamu rasakan azab neraka ini karena kebodohanmu, mau disesatkan dari jalan yang benar.

Kami tidak memaksamu untuk mengikuti kami tetapi kamu sendirilah yang memilih jalan yang sesat itu, berbuat dosa dan mendurhakai Allah. Begitulah akhirnya, mereka saling salah menyalahkan dan hal itu tidak ada gunanya lagi, karena mereka akan sama-sama berada dalam api neraka yang bergejolak itu.

Firman Allah:

وَلَنْ يَّنْفَعَكُمُ الْيَوْمَ اِذْ ظَّلَمْتُمْ اَنَّكُمْ فِى الْعَذَابِ مُشْتَرِكُوْنَ

Dan (harapanmu itu) sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu pada hari itu karena kamu telah menzalimi (dirimu sendiri). Sesungguhnya kamu pantas bersama-sama dalam azab itu. (az-Zukhruf/43: 39)

Ayat 40

Yang dimaksud dengan mendustakan ayat-ayat Allah dalam ayat ini, ialah mendustakan hal-hal yang terkait dengan ketauhidan, seperti yang berhubungan dengan adanya Allah dan keesaan-Nya, yang berhubungan dengan kenabian, hari Kiamat, hari kebangkitan dan lain-lainnya. Mereka mendustakan, tidak mau menerima dan menolak ayat-ayat seperti ini dengan sombong dan congkak, maka mereka tidak akan dibukakan pintu langit.

Ada dua pengertian tentang tidak dibukakan pintu langit, di antaranya tidak akan diterima amal mereka dan tidak akan sampai kepada Allah, walaupun bagaimana besar amal dan usaha mereka. Bukan saja amal dan usaha mereka tidak sampai kepada Allah, juga doa dan permintaan mereka tidak akan sampai. Dalam pengertian lain menurut Ibnu ‘Abbas roh mereka tidak langsung diterima Allah, karena Allah hanya menerima perkataan yang baik dan amal yang saleh, sebagaimana firman-Nya:

اِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهٗ

Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan, Dia akan mengangkatnya. (Fathir/35: 10)

Selain dari itu mereka tidak akan masuk ke dalam surga buat selama-lamanya. Dalam ayat ini Allah memberikan perumpamaan bagi mereka, bahwa mereka tidak akan masuk surga, kecuali bila unta dapat masuk ke dalam lubang jarum. Maksudnya, mereka mustahil akan masuk surga buat selama-lamanya. Demikianlah balasan yang diberikan Allah terhadap mereka yang berdosa seperti itu, yaitu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan tidak mau menerimanya dengan cara menyombongkan diri.

Ayat 41

Ayat ini menjelaskan lagi bahwa tempat mereka dalam neraka. Mereka mendapat tikar dan selimut dari api. Firman Allah:

وَاِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيْطَةٌ ۢ بِالْكٰفِرِيْنَ

Dan sungguh, Jahanam meliputi orang-orang yang kafir. (at-Taubah/9: 49)

Itulah balasan yang diberikan Allah terhadap orang-orang yang aniaya terhadap dirinya sendiri dan aniaya terhadap orang lain. Setiap orang kafir itu dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang aniaya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Tafsir Surat Al Humazah Ayat 1-9

0
tafsir surat al humazah
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai manusia yang cenderung berada dalam kerugian serta tips agar terhindar dari kerugian tersebut, dalam Tafsir Surat Al Humazah Ayat 1-8 ini bebicara mengenai ancaman Allah swt terhadap pengumpat, pencela dan yang sering menyakiti orang lain.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al ‘Asr Ayat 1-3

Selain itu Tafsir Surat Al Humazah Ayat 1-8 ini juga mengancam orang-orang yang sering menimbun harta. Alasannya karena mereka suka memperkaya diri, terlena dengan kekayannya dan merasa sudah berada dipuncak kesuksesan berkat kekayaannya. Hal-hal inilah yang membuat mereka mendapat ancaman Allah swt dan kelak akan mendapatkan siksa yang pendih di neraka Hutamah.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah mengancam bahwa kemurkaan dan azab-Nya akan ditimpakan kepada setiap orang yang mengumpat, mencela, dan menyakiti mereka baik di hadapan maupun di belakang mereka. Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ  اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ  ١٢

Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang. (al-Hujurat/49: 12)

Ayat 2

Ayat ini menerangkan bahwa orang yang menimbun harta juga diancam neraka karena memperkaya diri sendiri serta selalu menghitung-hitung harta kekayaannya. Hal itu ia lakukan karena sangat cinta dan senangnya kepada harta seakan-akan tidak ada kebahagiaan dan kemuliaan dalam hidup kecuali dengan harta. Bila ia menoleh kepada hartanya yang banyak itu, ia merasakan bahwa kedudukannya sudah tinggi dari orang-orang sekelilingnya.

Dia tidak merasa khawatir akan ditimpa musibah karena mencerca dan merobek-robek kehormatan orang lain. Karena kecongkakannya, ia lupa dan tidak sadar bahwa maut selalu mengintainya, tidak memikirkan apa yang akan terjadi sesudah mati, dan tidak pula merenungkan apa-apa yang akan terjadi atas dirinya.

Ayat 3

Kemudian Allah menyatakan kesalahan anggapan pengumpat dan pencerca bahwa harta yang dimilikinya itu menjaminnya akan tetap hidup di dunia selamanya. Oleh karena itu, tindakannya sama dengan tindakan orang yang akan hidup selama-lamanya dan bila ia mati tidak akan hidup kembali untuk menerima balasan atas  kejahatannya selama hidup di dunia.

Ayat 4

Sesudah mengancam orang-orang yang bersifat demikian dengan siksaan yang pedih, Allah menyebutkan pula sebab yang membuat mereka mengerjakan sifat-sifat yang terkutuk itu. Penyebabnya adalah anggapan mereka bahwa semua harta yang dimiliki dapat menolong mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.

Ancaman dalam bentuk pertanyaan, “Siapakah yang menyangka bahwa hartanya itu dapat menjamin dirinya dari mati?” Allah menjawab, “Tidak! Sekali-kali tidak bahkan dia akan dilemparkan ke dalam neraka Hutamah, tidak ada yang memperhatikannya dan tidak pula yang mempedulikan.”

Ali bin Abi Talib pernah memberi nasihat kepada Kumail bahwa orang-orang penimbun harta akan binasa, padahal mereka masih hidup, sedangkan para ulama akan kekal abadi meskipun jasad mereka sudah hilang, karena sifat-sifat keutamaan mereka tetap dikenang dalam hati.

Maksudnya, penimbunan harta dikutuk, dicela, dan dibenci karena manusia tidak mendapat apa-apa dari harta mereka. Sedang para sarjana dan ulama terus-menerus terpuji selama terdapat di bumi orang-orang yang mengambil manfaat dari ilmu mereka.

Baca juga: Inilah Golongan yang Boleh Mengumpat dalam Al Quran

Ayat 5-6

Dalam ayat-ayat ini, Allah menggambarkan kedahsyatan neraka Hutamah dalam bentuk pertanyaan, “Tahukah engkau apa Hutamah?” Allah menjelaskan sendiri bahwa Hutamah adalah api yang disediakan-Nya untuk menyiksa orang-orang yang durhaka dan berdosa. Tidak ada yang mampu mengetahui apa hakikatnya kecuali Allah penciptanya.

Ayat 7

Allah lalu menyatakan bahwa api yang menyala-nyala itu berbeda dengan api dunia. Ia menjilat dan naik sampai ke hulu hati, kemudian masuk ke dalam rongga perut sampai ke dada dan membakar hati. Hati adalah yang merasa paling sakit dari anggota-anggota badan lainnya. Apabila api sampai membakar hati, berarti siksa yang dirasakannya sudah sampai ke puncaknya.

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan bahwa api tersebut berlapis-lapis mengelilingi mereka. Mereka  tidak dikeluarkan daripadanya dan tidak pula mampu keluar sendiri. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

كُلَّمَآ اَرَادُوْٓا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ اُعِيْدُوْا فِيْهَا

Setiap kali mereka hendak keluar darinya (neraka) karena tersiksa, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya. (al-Hajj/22: 22)

Ayat 9

Allah menjelaskan melalui ayat ini keadaan orang-orang penghuni neraka Hutamah. Menurut Muqatil, pintu-pintu neraka itu ditutup rapat, sedangkan para penghuninya diikat pada tiang-tiang besi. Pintu-pintu itu tidak pernah dibuka dan di sana penuh dengan segala macam penderitaan.

Tujuannya adalah untuk menjadikan mereka putus asa karena tidak dapat keluar dari neraka Hutamah itu. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kemurkaan-Nya dan memelihara kita dari kedahsyatan api neraka dengan anugerah dan karunia-Nya.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Fil Ayat 1-5

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al A’raf ayat 35-37

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 35-37 ini terdiri dari tiga pembahasan yakni ayat 35 yang membahas diutusnya para rasul kepada tiap-tiap umat. Ayat 36 yang membahas adanya orang-orang yang tidak percaya pada para Rasul, dan ayat 37 membahas orang-orang dzalim yang mendustakan ayat-ayat bahkan memperolok Allah.


Baca Juga : Tafsir Surat Al A’raf ayat 33-34


Ayat 35

 Ayat ini mengingatkan manusia tentang kedatangan para rasul yang diutus kepada tiap-tiap umat pada masa yang telah ditentukan. Mereka adalah manusia, bukan makhluk lain, yang diberi tugas menyampaikan ayat-ayat Allah yang menjelaskan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang hak dan mana yang bathil, agar manusia tidak sesat, dan tidak menyimpang dari jalan yang benar. Dibacakannya ayat-ayat Allah, agar jelas mana yang diperintahkan untuk dikerjakan dan diamalkan, dan mana yang dilarang untuk dijauhi dan dihindarkan.

Maka orang-orang yang patuh dan taat terhadap ajaran yang dibawa para rasul itu, bertakwa kepada Allah dan senantiasa memperbaiki dirinya serta mengerjakan amal-amal saleh, orang-orang itu akan berbahagia dan gembira. Tidak ada baginya rasa takut dan sedih, baik ketika hidup di dunia ataupun di akhirat kelak. Hidup berbahagia dan gembira adalah merupakan karunia Allah yang sangat berharga. Lebih berharga dari harta dan kekayaan yang berlimpah.

Ayat 36

Ayat ini menerangkan bahwa ada manusia yang tidak mau percaya kepada ayat-ayat Allah. Bukan saja tidak percaya, tetapi ditantangnya setiap Rasul yang datang membawa ayat-ayat Allah dengan sombong dan angkuh. Mereka merasa tidak pantas dipimpin oleh seorang Rasul yang mereka anggap kurang kemuliaannya (status sosialnya), kurang kekayaannya dan kurang umurnya dari mereka.

Seperti halnya pemuka-pemuka suku Quraisy yang menantang Nabi Muhammad dengan sombong dan takabur, tidak mau percaya kepadanya dan tidak mau mengikutinya. Sebab mereka menganggap merekalah yang lebih berhak jadi pemimpin, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan dan lain-lain. Mereka itu menganggap dirinya lebih mulia dari Nabi Muhammad. Begitu pula pemimpin-pemimpin Yahudi tidak mau percaya atas kerasulan Nabi Muhammad, karena bukan dari golongan Bani Israil, tetapi dari golongan bangsa Arab.

Raja-raja dan pemimpin-pemimpin Majusi juga begitu, tidak mau menerima kerasulan Nabi Muhammad pada permulaannya, karena mereka memandang hina terhadap orang Arab. Tetapi akhirnya banyak juga di antara mereka yang masuk agama Islam di samping banyak pula yang membangkang, ingkar dan menolak sama sekali kerasulan Nabi saw. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka untuk selama-lamanya.

Ayat 37

Ayat ini menjelaskan bahwa berdusta kepada Allah dan ayat-ayat-Nya, adalah pekerjaan yang paling zalim. Mengada-adakan dusta dan kebohongan terhadap Allah ialah mewajibkan yang tidak diwajibkan Allah, memutar-balikkan hukum-hukum, yang halal dikatakan haram, yang haram dikatakan halal, yang hak dikatakan batil, yang batil dikatakan hak, atau berani mengatakan bahwa Allah beranak dan bersekutu.

Mendustakan ayat-ayat Allah berarti menolak, mempermainkan dan mengejeknya, perbuatan mereka dianggap sebagai perbuatan yang paling zalim, mereka akan menikmati kesenangan di dunia untuk sementara, namun di akhirat mereka akan diazab dengan azab yang sangat pedih. Itulah ketentuan Allah yang tertulis dalam kitab suci-Nya.  Firman Allah:

نُمَتِّعُهُمْ قَلِيْلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ اِلٰى عَذَابٍ غَلِيْظٍ

Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras. (Luqman/31: 24);

Ketika orang yang zalim itu menikmati kesenangan di dunia, tiba-tiba hal itu berakhir, karena ajalnya sudah tiba ketika malaikat maut datang mencabut nyawanya.

Barulah timbul penyesalan, ketika malaikat mengajukan pertanyaan kepadanya, manakah orang-orang yang kamu seru selama ini, kamu sembah, minta tolong dan tidak mau menyembah dan minta tolong kepada Allah? Panggillah mereka untuk menolong kamu agar terhindar dari bahaya api neraka yang kamu hadapi ini.

Tapi apa daya, dengan sangat menyesal mereka menjawab, “Orang-orang yang kami sembah dan kami minta tolong sudah hilang lenyap dari kami, kami tidak tahu ke mana pergi dan di mana tempatnya. Putuslah harapan kami untuk mendapat pertolongan darinya.” Maka dengan terus terang mereka mengakui bahwa mereka telah mejadi kafir dan sesat karena menyembah dan minta tolong kepada berhala-berhala dan pemimpin-pemimpin yang mereka persekutukan dengan Allah.

Kejadian yang digambarkan ini adalah peringatan dan ancaman Allah terhadap orang kafir, agar berhati-hati jangan mengikuti propaganda dan tipu daya seseorang yang akibatnya akan membawa kepada kekafiran dan kesesatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 2-4: Sumpah Allah atas Kerasulan Nabi Muhammad saw


Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna

0
Anjuran doa dan dzikir dengan asmaul husna
Anjuran doa dan dzikir dengan asmaul husna

Asmaul husna adalah nama-nama indah yang dimiliki Allah. Secara etimologis, asmaul husna berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua kata, yaitu al-asma’ dan al-husna. Kata al-asma’ adalah jamak dari lafadz ismun, yang berarti nama. Sedangkan al-husna merupakan mashdar dari lafadz al-ahsan yang berarti baik, bagus, atau indah. Allah pun mengancurkan untuk berdoa dan berdzikir dengan asmaul husna.

Dalam Al-Quran Surat Al-A’raf ayat 180, Allah telah menjelaskan nama-nama lain dari-Nya yang disebut asmaul husna. Di dalam asmaul husna pula terkandung sifat-sifat Allah yang sangat mulia nan agung. Pengenalan Allah mengenai nama-nama indah-Nya kepada manusia dimaksudkan agar manusia senantiasa mengingat-Nya dalam kondisi dan situasi apapun. Bentuk dari ingat Allah bisa diekspresikan dengan penggunaan dzikir asmaul husna ini, baik bil qolbi maupun bil lisan.

Baca juga: Baca Ayat Ini Sebagai Doa Agar Orang Mendapatkan Hidayah Islam

Tafsir Surat Al-A’raf ayat 180, anjuran berdoa dengan asmaul husna

Surat Al-A’raf ayat 180 mengandung penjelasan mengenai asmaul husna. Adapun ayatnya berbunyi sebagaimana berikut:

وَلِلَّهِ ٱلْأَسْمَاءُ ٱلْحُسْنَىٰ فَٱدْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا ٱلَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِى أَسْمَٰئِهِۦ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Hanya milik Allah asmaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat di atas dalam Tafsir Al-Wajiz karangan Wahbah Zuhayli adalah penjelasan mengenai agungnya kemuliaan Allah dan luasnya sifat-sifat-Nya bahwa Ia memiliki asmaul husna, semua nama yang baik. Menurut Wahbah Zuhayli, semua nama-Nya tersebut menunjukkan sifat kesempurnaan yang dengan itu Ia menjadi husna (bagus). Dan apabila nama tersebut tidak menunjukkan sifat, namun hanya sekedar nama, maka bukanlah disebut husna.

Baca juga: Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

Dalam Tafsir al-Mizan fi tafsir Al-Qur’an, Husain Thabathaba’i membahas khusus tentang asmaul husna dalam satu bab yang diberi judul Kalam fi al-Asma al-Husna fi Fushul. Thabathaba’i menerangkan bahwa asmaul husna terlepas dari semua sifat kekurangan atau sifat-sifat negatif.

Thabathaba’i sedikit berbeda dengan Zuhayli perihal penyandaran asma wa sifat. Thabathaba’i tidak membedakan antara keduanya kecuali perihal sifat. Sifat menurutnya menunjukkan makna yang melekat pada dzat secara umum baik itu ‘ainiyyah atau gairiyyah. Sedangka asma’ menunjukkkan dzat yang telah disifati. Dalam penafsiran Thabathaba’i, nama Allah ditilik dari ranah tafsir itu tidak tauqifiyyah dikarenakan ketiadaan dalil yang menunjukkan ketauqifiyyah-an itu. Sedangkan dalam ranah fiqih nama-nama Allah itu tauqifiyah.

Terlepas mengenai penjelasan asma wa sifat Allah, asmaul husna adalah nama Allah yang menunjukkan kesempurnaan-Nya. Ia tidak memiliki kekurangan sama sekali. Asmaul husna juga menunjukkan keesaan Allah seperti yang diungkapkan Zuhayli dan Thabathaba’i, karena hanya Dia-lah satu-satunya Dzat yang memiliki sifat-sifat mulia tersebut. Dan ketika nama tersebut disandarkan kepada selain-Nya dengan maksud menyekutukan-Nya, maka sifat-sifat mulia yang terkandung di dalamnya otomatis akan hilang. Hal itu karena yang pantas menyandang asmaul husna adalah Allah, Tuhan Yang Maha Esa.

Anjuran berdoa dan berdzikir dengan asmaul husna

Asmaul husna ini bisa dijadikan amalan berdoa dan berdzikir sehari-hari bagi umat Islam. Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz juga memberikan keterangan bahwa hakikatnya manusia akan selalu menyebut-Nya dalam siatuasi apapun. Misal ketika manusia dalam keadaan sulit rezeki, maka ia akan cenderung membutuhkan satu Dzat penolong yang Maha memberi rezeki. Atau ketika mausia dalam keadaan terpepet banyak masalah, maka ia membutuhkan suatu Dzat penolong Yang Maha meluaskan keadaan hati.

Begitupun seterusnya. Manusia pasti, dan akan selalu membutuhkan Dzat Yang Maha agung di setiap kondisi yang dihadapinya. Karena sifat-sifat Allah yang agung tersebut termanifestasikan ke dalam sifat makhluk-Nya. Hanya saja sifat ilahiyah yang terdapat dalam diri sang makhluk sangatlah terbatas, dan hanya Allah lah yang memiliki sifat sempurna yang tak terbatas. Ini menunjukkan betapa lemahnya manusia di hadapan Rabb-Nya.

Baca juga: Kisah 70 Sahabat Nabi dan Dzikir Hasbunallah Wa Ni’mal Wakil

Maka dari itu, dalam Surat Al-A’raf ayat 180 Allah berfirman “maka mohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma al husna itu”. Menurut penuturan Wahbah Zuhayli, anjuran Allah ini mencakup doa ibadah dan doa meminta. Dia dipanggil dalam setiap keinginan yang sesuai dengan keinginan tersebut permohonan misalnya mengucapkan “ya Allah ampunilah aku, sayangilah aku”.

Selain berdoa, berdzikir dengan asmaul husna juga dianjurkan karena Rasulullah pernah bersabda “Hari Kiamat tidak akan datang sampai lafal “Allah…Allah…” tidak disebutkan di bumi (HR Muslim). Dalam hadis yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, Rasulullah juga menganjurkan untuk membaca lafadz-lafadz asmaul husna ketika dalam kondisi gundah, “Allahu Allahu rabbii, laa usyriku bihi syaian (Allah... Allah adalah tuhanku, aku tidak akan menyekutukanNya dengan sesuatu apapun)” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah). Wallahu a’lam[]