Beranda blog Halaman 439

Hukum Memperingati Hari Ibu menurut Al-Quran

0
hukum memperingati hari Ibu
Ibu Tunggal dalam Al-Quran

Ibu adalah pelita dan harapan bagi seluruh putra-putrinya di dunia. Keberadannya adalah jantung bagi kemajuan dan peradaban. Tanpa seorang Ibu, anak tidak dapat menjadi pribadi yang mandiri, cerdas dan maju. Di Indonesia, hari ibu diperingati pada 22 Desember dan diperingati secara nasional. Hal ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada ibu secara khusus atas apa yang selama ini telah dikorbankan untuk mendidik, menyayangi putra-putri bangsa. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum memperingati hari Ibu dalam Islam? Berikut ini ulasannya.

Al-Quran  memerintahkan kita untuk selalu bersyukur karena memiliki orang tua khususnya Ibu, bahkan ayat tentang perintah bersyukur dan menghormati Ibu selalu terletak setelah larangan Allah berbuat Syirik. Tentu hal ini menunjukkan bahwa selain mentauhidkan Allah, seorang manusia sejati juga seharusnya memberikan penghormatan kepada ibu dan ayah secara khusus, bentuk penghormatan kepada mereka juga merupakana implementasi Tauhid kepada Allah. Untuk membuktikannya berikut kita tampilkan beberapa ayat sebelumnya yang memerintahkan kita untuk menghormati Ibu. Yakni Surat Luqman ayat 13-14 dan Al-Ahqaf ayat 13-14.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِير

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan

Baca juga: Al-Quran Memuliakan Ibu, Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Ibu

Kedua ayat diatas menunjukkan adanya relevansi antara ketauhidan kepada Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua.

Menurut al-Biqa’i keduaya memiliki munasabah (korelasi) bahwa kebenaran akidah harus diikuti amal yang shaleh. Dan Al-Quran  menunjukkan bahwa Amal yang utama adalah menghormati kedua orang tua. Selain itu, nikmat yang utama adalah Iman kepada Allah subhanahu wata’ala, kemudian Nikmat memiliki kedua orang tua yang mengasuh kita sejak kecil. Atas nikmat itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur, karena tidak dapat dikatakan bersyukur kepada Allah, jika ia tidak bersyukur terhadap makluk-Nya (orangtua). Karena sebabpendidikan dan pengasuhan keduanya pula, kita dapat mengetahui kebenaran. Sehingga bertauhid kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari menghormati dan mengasihi keduanya.

Namun, sebagian umat muslim belakangan menolak adanya perayaan hari Ibu karena mereka memiliki keyakinan bahwa memperingati Hari Ibu sama halnya dengan meniru peradaban barat. Mereka berpegang pada hadis berikut:

عن ابن عمر قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- من تشبه بقوم فهو منهم

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah bersabda; “barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian darinya” (HR. Sunan Abi Dawud)

“Bukan termasuk kami, yaitu siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula Nasrani.” (HR. Tirmidzi)

Baca juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Pada konteksnya, beberapa kali Nabi melanjutkan perbuatan umat-umat terdahulu digantikan dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana Thawaf, thawaf juga dilakukan oleh orang-orang kafir sebelumnya. Ketika syariat islam datang, thawaf tidak dihapus, namun kalimatnya diubah dengan kalimat-kalimat tauhid untuk mengagungkan Allah.

Begitupula dalam merayakan hari Ibu, tidak dapat disebut tashabbuh dengan kaum Nasrani yang mencanangkan hari Ibu. Karena aplikaisnya dapat beragam, bisa bersedekah kepada orang lain yang pahalanya dikirimkan untuk Ibu. Dapat pula memberi hadiah khusus untuk lebih menyenangkan hati ibu atau dapat pula mengadakan doa bersama untuk mendoakan Ibu. Tentu perayaan semacam ini tidak dapat dianggap sebagai tashabbuh, karena tidak erusak akidah dan ketauhidan seseorang. Merayakan Hari Ibu merupakan salah satu bentuk implementasi dari firman Allah Surat Al-Isra’ ayat 23:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Tugas Ibu Menyusui Anak

Ibu memang harus dihormati setiap hari, namun memberikan hari Istimewa kepada seseorang sebagai bentuk pengagungan juga menjadikan seseorang yang dihormati lebih tersanjung dan bahagia. Peringatan hari ibu juga merupakan bentuk dari rasa syukur sebagaimana Al-Quran  perintahkan agar kita bersyukur. Tidak ada hukum yang melarang untuk memberikan sesuatu yang lebih istimewa kepada orang yang kita cintai. Berpegang pada kaidah fikih berikut:

  الأصل في الأشياء الإبا حة حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيل عَلى التَّحرِيم

“Asal dari segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang melarangnya.”

Berpegang pada kaidah fikih tersebut, merayakan hari ibu bukanlah perbuatan yang dapat menimbulkan kesyirikan dan tidak terdapat dalil yang melarangnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa merayakan hari ibu diperbolehkan dengan berpegang pada kaidah bahwa segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan.

Selain itu, merayakan hari Ibu juga dianggap bid’ah oleh sebagian umat muslim. Karena mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang tidak ada pada Masa Rasulullah adalah Bid’ah. Pada dasarnya, Bid’ah hanya diperuntukkan untuk masalah Ibadah saja. Sedangkan dalam hal Mu’amalah segala sesuatu yang baru dapat diterima selama itu mengandung kemaslahatan. Imam as-Syathibi berkata:

فَالْبِدعة إِذَن عِبَارةٌ عَن طَريقَة في ألدّين مُختَرَعة تضَاهي الشَّر عِيَّة

Bid’ah merupakan ungkapan tentang tata cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at (Ibrahim bin Musa al-Shathibi, al-I’tisham Juz 1, 26)

Selain itu juga terdapat kaidah yang haram pada dasarnya kebaruan dalam hal ibadah misalnya, menambah rakaat shalat, shalat yang menghadap kearah manapun. Sebagaimana kaidah fikih berikut:

 الأصلُ في العِبَادَات التَّحرِيم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيل عَلى الإبا حة

“Hukum asal segala bentuk Ibadah adalah haram, hingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.”

Memperingati hari ibu merupakan bentuk Mu’amalah untuk memperat serta sebagai bentuk rasa syukur seorang anak terhadap Ibu. Dan rasa syukur dapat diaplikasikan dalam bentuk apapun, selama tidak melanggar koridor dan norma agama.

Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

0
Tafsir Jalalain dan sederet fakta tentangnya
Tafsir Jalalain dan sederet fakta tentangnya

Salah satu kitab tafsir yang cukup dikenal dan menjadi kurikulum di banyak pesantren adalah Tafsir Jalalain. Meski ukurannya cukup tebal, Tafsir Jalalain bisa disebut karya tafsir paling dasar dan paling sering yang dikenalkan kepada para santri di pesantren. Tidak seperti dalam bidang fikih yang terlebih dahulu mengenalkan kitab kecil semacam Sulam Taufiq maupun Fathul Qarib, sebelum mengenal yang lebih tebal semacam Fathul Wahab dan Minhajut Thalibin yang tebalnya sebanding dengan Tafsir Jalalain.

Tulisan ini akan mengupas beberapa fakta penting tentang Tafsir Jalalain. Salah satunya, yang mungkin sudah cukup banyak yang mengulasnya, bahwa Tafsir Jalalain adalah karya kolaborasi dari dua ulama’ terkenal.  Selanjutnya adalah tentang mana dari bagian dari Tafsir Jalalain yang disusun Imam Al-Mahalli dan As-Suyuthi. Selain itu, meski Tafsir Jalalayn adalah karya tafsir yang sudah cukup tebal, ternyata memiliki banyak kitab hasyiyah yang dapat dijadikan referensi untuk lebih mendalami kitab tersebut.

Baca juga: Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 1)

Karya kolaborasi

Tidak seperti karya-karya tulis lain yang dalam penamaannya biasanya muncul dari keterangan penulisnya dalam kitab tersebut, Tafsir Jalalain dinamai dengan Jalalain disebabkan kitab tersebut dikarang oleh dua orang yang kebetulan memiliki nama yang hampir sama. Yaitu Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H.) dan Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H.). Kesamaan pada nama “Jalaluddin” ini membuat karya tafsir tersebut dikenal dengan judul yang menunjukkan dikarang oleh dua orang yang bernama jalaluddin, sehingga dinama Tafsir Jalalayn atau tafsir karya dua jalaluddin.

Namun, disusunnya Tafsir Jalalayn ini oleh dua orang bukanlah dengan unsur kesengajaan sebagaimana kolaborasi zaman sekarang. Imam Jalaluddin Al-Mahalli sebagai penyusun sebenarnya kitab tersebut, meninggal setelah hanya sempat menyelesaikan Tafsir Surat Al-Fatihah bersama surat-surat setelah Al-Isra’. Dan meninggalkan Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra, belum diberi tafsir. Jalaluddin As-Suyuthi kemudian menyelesaikan sisanya di tahun 870 H. dengan metode penafsiran sebagaimana yang dipakai Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam memberikan penafsiran (Tafsir Jalalayn/1/3).

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Yang ditulis oleh al-Mahalli dan as-Suyuthi

Bila Tafsir Jalalain adalah karya dari dua orang, tentu ada batas mana yang sudah dimulai oleh Imam Al-Mahalli, dan mana yang ditambahkan oleh Imam As-Suyuthi. Dan anda mungkin termasuk orang yang menyangka bahwa penulis Tafsir Jalalayn bagian pertama, yaitu Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra’, adalah Imam Al-Mahalli sebagai penulis aslinya. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Justru Imam Al-Mahalli yang menulis bagian kedua’ yaitu dari Surat Al-Kahfi sampai An-Naas. Dan memang benar Imam Al-Mahalli tidak mulai menulis dari Surat Al-Baqarah.

Fakta itu disampaikan oleh Husain Dzahabi dalam At-Tafsir Wal Mufassirun. Adz-Dzahabi menepis anggapan Haji Khalifah dalam kitab Kasfud Dhunun bahwa penyusun Tafsir Jalalain mulai Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra’ adalah Imam Al-Mahalli. Adz-Dzahabi mendasarkan pendapatnya pada keterangan dalam Tafsir Jalalain di akhir Surat Al-Isra, yang berbunyi “Ini adalah akhir dari apa yang sudah aku sempurnakan pada tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli”. Ini menunjukkan pengucapnya adalah Imam As-Suyuthi dan tafsir yang ia tambahkan adalah mulai Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra’ Mengenai tafsir Surat Al-Fatihah, Adz-Dzahabi meyakini bahwa itu karya Imam Al-Mahalli (At-Tafsir Wal Mufassirun/4/69).

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Syarah Tafsir Jalalain

Meski terbilang tebal dan termasuk karya tafsir yang jarang ada yang memberi syarah seperti layaknya matan fikih, Tafsir Jalalayn memiliki beberapa kitab syarah yang dijadikan pendamping dalam memahami Tafsir Jalalayn. Berikut daftar kitab-kitab syarah tersebut:

  1. Hasyiyah Qabsun Niraini karya Muhammad ibn Al-‘Alqami yang selesai ditulis tahun 952 H.
  2. Hasyiyah Al-Jamalaini karya Nuruddin ‘Ali ibn Sulthan Muhammad Al-Qari (w. 1010 H.) yang selesai ditulis tahun 1004 H.
  3. Hasyiyah Majma’ul Bahrain Wa Mathla’ul Badraini karya Muhammad ibn Muhammad Al-Kurkhi
  4. Hasyiyah Al-Futuhat Al-Ilahiyah karya Sulaiman ibn ‘Umar Al-Jamal
  5. Hasyiyah Ash-Shawi karya Ahmad ibn Muhammad Ash-Shawi Al-Maliki
  6. Hasyiyah Al-Kamalaini karya Salamullah ibn Fakhruddin Ad-Dahlawi
  7. Hasyiyah Anwarul Haramain
  8. Hasyiyah Hidayatul Muwahhidin

Wallahu a’lam[]

Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko

0
Muhammad Abid Al-Jabiri
Muhammad Abid Al-Jabiri

Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan seorang pemikir Islam kontemporer yang banyak dikenal dalam dunia kajian akademis dengan gagasan kritik nalar Arabnya. Namun, masih banyak yang belum mengetahui bahwa Abid Al-Jabiri ini juga merupakan seorang mufasir yang menghiasi perkembangan kajian tafsir Al-Quran kontemporer.

Karyanya dalam bidang tafsir juga terbilang unik, karena menggunakan sistematika tartib nuzuli ketimbang tartib mushafi. Oleh karena itu, mari kita mengenal lebih dalam terkait sosok mufasir kontemporer ini.

Baca Juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Biografi intelektual Muhammad Abid Al-Jabiri

Intelektual muslim kontemporer yang bernama Muhammad Abid al-Jabiri ini dilahirkan pada 27 Desember 1935 di kota Figuig, Maroko. Abid al-Jabiri lahir dari keluarga yang memiliki jiwa religius-nasionalis, karena pada saat itu masyarakat Maroko sedang gencar-gencarnya berjuang melawan penjajahan Prancis.

Jaafar Aksikas dalam karyanya Arab Modernities: Islamism, Nationalism, and Liberalism, in the Post-Colonial Arab World menjelaskan bahwa Abid al-Jabiri mulai mengawali perjalanan intelektualnya di Madrasah Hurrah Wathaniyah. Setelah lulus dari sekolah tersebut, di usia 15 tahun, Al-Jabiri kemudian melanjutkan pendidikan menengahnya di Mohammadia School, Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School.

Kemudian, Pada tahun 1958, Abid Al-Jabiri sempat belajar di Universitas Damaskus, Syiria. Namun, tak lama kemudian ia harus kembali Maroko dan belajar filsafat di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat.

Berselang tiga tahun kemudian, Abid Al-Jabiri berhasil memperoleh gelar sarjananya (B.A.) pada Juni 1961. Pada tahun 1967, Al-Jabiri mampu menyelesaikan studi pascasarjananya dan memperoleh gelar master dengan tesis yang berjudul “Falsafah Tarikh ‘inda Ibn Khaldun” (Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun).

Baca Juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Tidak berhenti disitu, pada tahun 1970, Al-Jabiri juga berhasil menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang filsafat dengan disertasi yang berjudul “al-Ashabiyyah wa al-Daulah: Ma’alim Nazhariyyah Khalduniyyah fi al-Tarikh al-Islamiy” (Fanatisme dan Negara: Elemen-eleman Teoretis Khaldunian dalam Sejarah Islam).

Puncaknya, pada Oktober tahun 1971, Abid Al-Jabiri mendapatkan gelar profesor di bidang filsafat dan pemikiran Islam, setelah sebelumnya telah menjadi asisten profesor semenjak tahun 1967.

Pada tahun 1964-1967, Al-Jabiri mengajar filsafat di Moulay Aballah High School. Pada tahun-tahun ketika mengajar di sekolah tersebut, Abid Al-Jabiri bersama rekannya yaitu Mustafa Al-Omari dan Ahmed Sttati menulis dua modul buku mengenai pemikiran Islam dan filsafat yang menjadi acuan kurikulum hingga awal 1970-an.

Dua buku tersebut berjudul Durus fi al-Falsafah li Tullab al-Bakaluriya dan al-Fikr al-Islami li Tullab al-Bakaluriya. Setelah mengajar di tempat tersebut, pada tahun 1970, Abid al-Jabiri menjadi dosen di Universitas Mohammed V, Rabat.

Beberapa penghargaan yang diterima oleh Muhammad Abid Al-Jabiri antara lain adalah Baghdad Award (1988) dari UNESCO, Saddam Hussein Award (1980), Maghribiyya Cultural Award (1999), al-Ghaddafi Award for Human Rights (2002), Award for Intelectual Studies in the Arab World (2005), The Pioneer’s Award (2005) dari Institute of Arab Thought, UNESCO’s Medal on the Occasion of World Philosophy day (2006), dan Averroes Award for Free Thought (2008).

Sejak muda, Al-Jabiri dikenal sebagai seorang aktivis politik yang berideologi sosialis. Keaktifannya di bidang politik tersebut mengakibatkan ia bergabung ke partai Union Nationale des Forces Popularies (UNFP), yang kemudian berganti nama menjadi Union Sosialiste des Foreces Populaires (USFP). Namun, Pada tahun 1981, al-Jabiri mulai meninggalkan semua aktivitas politiknya untuk berfokus dalam kegaiatan akademik dan menulis buku.

Muhammad Abid Al-Jabiri meninggal pada senin, 3 Mei 2010 di Casablanca. Pada saat itu usia usia Abid Al-Jabiri telah mencapai 74 tahun. Semasa hidupnya, Abid Al-Jabiri telah banyak berkontribusi dan memiliki pengaruh penting dalam perkembangan keilmuan Islam di Maroko. Selain itu, ia juga meninggalkan berbagai karya tulisan baik berupa buku, maupun artikel ilmiah.

Baca Juga: Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Karya-karya Muhammad Abid al-Jabiri

Dalam buku Islam, State, and Modernity: Mohammed Abed al-Jabri and the Future of the Arab World yang dieditori oleh Ziad Eyadat, Francesca M. Corrao, dan Mohammed Hashas, menjelaskan bahwa Abid Al-Jabiri ini dikenal sebagai seorang intelektual muslim kontemporer yang sangat produktif dalam hal kepenulisan.

Puluhan buku telah dihasilkan Abid Al-Jabiri dengan berbagai tema kajian, mulai dari filsafat, politik, pemikiran Islam, tafsir, dan lain sebagainya. Beberapa karya-karya buku Abid Al-Jabiri tersebut antara lain adalah:

  1. Madkhal ila Falsafah al-’Ulum (1976)
  2. Nahnu wa al-Turats (1980)
  3. Takwin al-’Aql al-’Arabiy (1982)
  4. Al-Khitab al-’Arabi al-Mu’ashir (1982)
  5. Tetralogi buku kritik nalar Arab: Takwin al-’Aql al-’Arabiy (1984), Bunyah al-’Aql al-’Arabiy (1986), al-’Aql al-Siyasiy al-’Arabiy (1990), dan al-’Aql al-Akhlaqiy al-’Arabiy (2001)
  6. fi Naqd al-Hajah ila al-Ishlah (2005)

Dari berbagai karya tulisan Abid al-Jabiri tersebut, hanya ada dua buku yang secara khusus mengkaji tentang Al-Qur’an, yaitu Madkhal ila al-Qur’an al-Karim: fi Ta’rif bi al-Qur’an (September, 2006), dan kitab tafsir tiga jilid yang berjudul Fahm al-Qur’an al-Karim: al-Tafsir al-Wadhih Hasaba Tartib al-Nuzul (Oktober, 2008). Kitab tafsir tersebut setiap tahun mengalami cetak ulang hingga tahun 2013 (kecuali 2011).

Dalam konteks Indonesia, hasil-hasil pemikiran pemikiran Abid Al-Jabiri banyak dijadikan sebagai rujukan, dan kajian oleh beberapa intelektual muslim Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya buku-buku Abid ِAl-Jabiri yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti Kritik Nalar Arab, Formasi Nalar Arab, Kritik Wacana Teologi Islam, Problematika Pemikiran Arab Kontemporer, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, dan Tragedi Intelektual: Perselingkuhan Politik dan Agama.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan sosok intelektual muslim kontemporer yang hasil pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan kajian Islam di berbagai belahan dunia. Wallahu A’lam

Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

0
Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri
Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Pernikahan adalah sebuah ikatan sakral nan suci bagi pasangan suami istri. Pernikahan juga bentuk komitmen antara laki-laki dan wanita yang saling mencintai untuk hidup bersama. Agar visi ini terwujud, maka dalam pernikahan harus ada kesepahaman, kesepakatan, dan relasi kesetaraan antara suami dan istri. Sebab tanpa komponen tersebut, akan sangat sulit untuk menyatukan dua insan yang memiliki latar belakang berbeda.

Bagi umat Islam, berumah tangga sebagai pasangan suami istri bukan hanya didasari oleh kebutuhan biologis dan psikologis, tetapi juga merupakan bagian dari fitrah manusia untuk berpasangan serta bagian dari ibadah kepada Allah swt. Islam mensyariatkan pernikahan untuk membentuk mahligai keluarga sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan hidup dan wadah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia.

Dengan demikian, pernikahan berperan signifikan bagi kehidupan manusia. Maka tak heran ada banyak anjuran menikah bagi mereka yang telah siap dan mampu dalam ajaran Islam. Misalnya, nabi Muhammad saw pernah bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

Artinya:

Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

Isyarat Al-Qur’an Terhadap Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Dalam ikatan pernikahan, suami dan istri memiliki hak serta kewajiban yang harus dipenuhi. Keduanya sama-sama memiliki tanggung jawab dan kedudukan setara meskipun dengan fungsi yang berbeda sesuai kesepakatan bersama. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan jika salah satu menguasai atau terlalu dominan dibanding yang lain. Harus ada relasi kesetaraan antara suami dan istri.

Baca Juga: Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Isyarat relasi kesetaraan antara suami dan istri juga telah disinggung oleh Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah [2] ayat 187 yang berbunyi:

اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ١٨٧

Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2] ayat 187).

Menurut Quraish Shihab, surat al-Baqarah [2] ayat 187 ingin memberitahukan tentang legalitas hubungan intim suami istri pada malam Ramadhan. Puasa – bagi beliau – tidak harus menjadikan seseorang terlepas sepenuhnya dari unsur-unsur jasmaniah. Karena seseorang takkan mampu hidup secara normal tanpa kehadiran unsur-unsur tersebut.

Allah swt mengumpamakan pasangan suami istri sebagai pakaian dalam surat al-Baqarah [2] ayat 187 menunjukkan bahwa suami istri harus saling melengkapi dan menutup kekurangan masing-masing. Kalau pakaian merupakan hiasan bagi pemakainya, maka suami adalah hiasan bagi istrinya, demikian pula sebaliknya. Keduanya hidup bersama dengan sifat kesalingan dan relasi kesetaraan antara suami istri.

Selain itu – menurut Quraish Shihab – pakaian bertujuan untuk melindungi manusia dari sengatan panas matahari dan dinginnya suhu di malam hari. Dengan analogi ini, maka suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya harus pula mampu melindungi pasangan-pasangannya dari berbagai krisis dan kesulitan yang mereka hadapi secara bersama-sama. (Tafsir Al-Misbah [1]: 411).

Sedangkan dalam Tafsir Jalalain karya Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi diterangkan bahwa surat al-Baqarah [2] ayat 187 mengandung setidaknya tiga makna yang tersirat dalam analogi pasangan suami istri sebagai pakaian, yaitu:

Pertama, suami istri adalah dua insan yang sangat dekat. Pasangan suami istri diibaratkan seperti pakaian dari sisi kedekatannya. Pakaian senantiasa menempel dengan kulit pemakainya dan tidak ada jarak yang memisahkan keduanya. Maka dalam rumah tangga semestinya ada rasa saling percaya, transparansi, tanggung jawab, cinta, sayang, dan saling setia antara suami istri.

Kedua, saling mengayomi. Pasangan suami istri seyogyanya mengayomi satu sama lain, bukan sebaliknya, dengan cara melakukan aktivitas yang menunjukkan adanya rasa sayang, memiliki, bahagia, suka, dan sebagainya. Suami maupun istri harus menjadi tempat sandaran dan berbagi kebahagiaan bagi pasangannya. Sebab keduanya adalah dua insan yang saling menguatkan dalam segala keadaan, baik suka maupun duka.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Ketiga, suami istri saling membutuhkan. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam berumah tangga ada hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam hal ini, suami istri harus memiliki sikap responsif terhadap pasangannya sebagai partner hidup. Karena itu, relasi kesetaraan antara suami istri mutlak adanya dalam rangka saling membantu, saling menopang, saling menghargai dan sebagainya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surat al-Baqarah [2] ayat 187 selain menginformasikan tentang legalitas hubungan intim suami istri pada malam Ramadhan, itu juga mengindikasikan relasi kesetaraan antara suami dan istri. Keduanya harus saling mengayomi, saling mencintai, dan saling melindungi satu sama lain serta berperan sebaik mungkin bagi pasangannya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 65-72

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 65-72 ini mengisahkan perjalanan dakwah Nabi Hud dan kaumnya.


Baca Juga: Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani


Ayat 65

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus kepada kaum ’Ad Nabi Hud dari kalangan mereka sendiri dan memerintahkannya untuk menyeru kaumnya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala sesuatu yang dituhankan mereka, karena selain Allah bukanlah Tuhan dan tidak patut disembah, segala ibadah hanya diperuntukkan kepada Allah.

Oleh sebab itu, Nabi Hud menganjurkan kepada mereka agar bertakwa kepada Allah dan meninggalkan segala sesuatu yang dimurkai-Nya untuk menghindarkan diri dari siksaan-Nya. Pada waktu dan kesempatan yang lain, beliau memerintahkan kepada kaumnya agar mereka menggunakan akal pikirannya. Firman Allah:

وَاِلٰى عَادٍ اَخَاهُمْ هُوْدًا ۗقَالَ يٰقَوْمِ اعْبُدُوا اللّٰهَ مَا لَكُمْ مِّنْ اِلٰهٍ غَيْرُهٗ ۗاِنْ اَنْتُمْ اِلَّا مُفْتَرُوْنَ  ٥٠  يٰقَوْمِ لَآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا ۗاِنْ اَجْرِيَ اِلَّا عَلَى الَّذِيْ فَطَرَنِيْ ۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ   ٥١ 

Dan kepada kaum ’Ad (Kami utus) saudara mereka, Hud. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada. Wahai kaumku! Aku tidak meminta imbalan kepadamu atas (seruanku) ini. Imbalanku hanyalah dari Allah yang telah menciptakanku. Tidakkah kamu mengerti?” (Hud/11: 50-51);

’Ad adalah anak Iram bin Aus bin Sām bin Nuh. Demikian diterangkan oleh Muhammad bin Ishak. Menurut Ibnu Ishak, bahwa al-Kalby berkata: kaum ’Ad adalah penyembah berhala sebagaimana halnya kaum Nabi Nuh yang mematungkan orang-orang yang dipandang keramat setelah mati. Kemudian patung-patung itu dianggap sebagai Tuhan.

Kaum ‘’Ad pun membuat patung-patung, mereka namakan Tsamud dan yang lain lagi mereka namakan al-Hatar. Mereka tinggal di Yaman di daerah Ahqaf antara Oman dan Hadramaut. Mereka adalah kaum yang berbuat kerusakan di bumi ini karena mereka bangga dengan kekuatan fisik yang tidak dimiliki oleh kaum yang lain.

Karena mereka memperlakukan penduduk bumi ini sekehendak mereka secara zalim, Allah mengutus Nabi Hud dari kalangan mereka sebab sudah menjadi ketetapan Allah bahwa rasul-rasul yang diutus itu diambil dari kaumnya sendiri yang lebih mengerti tentang kaumnya dan lebih dapat diterima seruannya karena mengetahui kepribadiannya.

Akan tetapi ketika Nabi Hud menyampaikan risalahnya yaitu menyeru kaumnya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan yang zalim, seruan Nabi Hud tersebut mereka dustakan dan malahan mereka menentangnya, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yaitu:

فَاَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوْا فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوْا مَنْ اَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً ۗ اَوَلَمْ يَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ الَّذِيْ خَلَقَهُمْ هُوَ اَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً ۗ وَكَانُوْا بِاٰيٰتِنَا يَجْحَدُوْنَ  ١٥ 

Maka adapun kaum ’Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, “Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?” Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami. (Fushilat/41: 15)

Ayat 66

dalam tafsir surat Al A’raf ayat 65-72 ini khususnya dalam ayat ini menerangkan bahwa para pemuka kaum Hud yang tetap dalam kekufuran dan tetap menentang kerasulan Hud bukan saja menolak seruannya, malahan mereka menegaskan bahwa mereka berada dalam agama yang benar dan mereka memandang bahwa Nabi Hud itulah yang berada dalam kesesatan, disebabkan ia meninggalkan agama mereka dan menghina orang-orang yang terkemuka di kalangan kaumnya yang mereka anggap suci.

Orang-orang yang dianggap suci itu setelah mati mereka keramatkan dalam bentuk patung guna mendapatkan syafaat dan berkahnya dari mereka. Nabi Hud menentang paham mereka. Karena itu mereka menuduh bahwa Nabi Hud adalah pendusta yang berada dalam kesesatan sebagaimana halnya rasul-rasul dahulu, juga didustakan oleh kaumnya, disebabkan mereka berlawanan paham dengan kaumnya.

Ayat 67

Ayat ini menerangkan bantahan bahwa Nabi Hud tidak sekali-kali berada dalam kesesatan sebagai yang mereka tuduhkan karena dia adalah utusan Allah, diutus kepada mereka untuk menyampaikan perintah-perintah-Nya. Tuhan semesta alam Yang Maha Mengetahui siapa yang sesat atau lemah akal pikirannya dan siapa yang berada dalam kebenaran atau yang sempurna akal pikirannya.

Ayat 68

Ayat ini menerangkan penegasan Nabi Hud kepada kaumnya, bahwa dia hanya menyampaikan perintah-perintah Tuhannya agar mereka beriman kepada-Nya, kepada hari kemudian, kepada Rasul-rasul, kepada malaikat-malaikat Allah, kepada adanya surga dan neraka dan agar mereka melaksanakan perintah-perintah Tuhan, baik yang berhubungan dengan ibadat maupun muamalat. Nabi Hud menegaskan bahwa dia adalah benar-benar seorang yang ikhlas dan orang yang dipercaya. Dengan kata-kata ini seolah-olah Nabi Hud mengemukakan kepada kaumnya, “tidak wajar bagiku berdusta kepada Tuhanku yang mengutusku sebagai rasul.”

Demikianlah gambaran budi pekerti para rasul pilihan Allah ketika menghadapi pembangkangan kaum yang bukan saja menentang malahan secara tidak sopan menuduh para rasul dengan berbagai tuduhan yang rendah sekali. Namun demikian, para rasul itu menghadapi mereka dengan tenang dan dengan hati yang penuh kesabaran.


Baca Juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 56-64 Kisah Nabi Nuh


Ayat 69

Dalam ayat ini, Allah menerangkan kecaman Nabi Hud kepada pemuka-pemuka kaumnya, bahwa tidak patut mereka merasa heran dan ragu-ragu terhadap kedatangan peringatan dan pengajaran dari Tuhan yang dibawa oleh seorang laki-laki di antara mereka. Pengajaran Allah itu datang kepada mereka justru pada saat mereka berada dalam kesesatan. Semestinya mereka tidak perlu ragu kepada pribadi orang yang membawa seruan.

Hendaknya mereka mempergunakan akal pikiran untuk memperhatikan seruan yang dibawa kepada mereka itu yaitu seruan yang benar, seruan yang menyelamatkan diri mereka dari azab Allah. Ia juga mengingatkan mereka akan nikmat dan rahmat Allah, bahwa mereka bukan saja sebagai ahli waris kaum Nuh yang diselamatkan Allah dari topan karena keimanan mereka kepada-Nya, tetapi juga Allah melebihkan mereka dengan kekuatan fisik serta tubuh yang besar. Oleh sebab itu hendaklah mereka bersyukur kepada Allah dengan bertakwa kepada-Nya.

Kalau mereka tidak bersyukur, Allah akan menjatuhkan azab-Nya sebagaimana Allah menjatuhkan azab kepada kaum Nuh yang ingkar dan menggantikan kedudukannya dengan bangsa lain. Mereka diingatkan kepada nikmat Allah itu agar mereka bersyukur dengan menyembah-Nya seikhlas-ikhlasnya sehingga mereka menjauhi kemusyrikan dengan meninggalkan penyembahan berhala. Dengan demikian mereka harus meninggalkan penyembahan berhala untuk mencapai kebahagiaan pada hari kemudian dan mendapat tempat pada sisi Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya yang bersyukur kepada nikmat-Nya.

Ayat 70

Ternyata kaum Hud adalah kaum yang sangat keras kepala dan pembangkang. Mereka, masih juga menjawab dan mengejek seruan Nabi Hud itu seraya mengatakan, “Rupanya engkau datang kepada kami ini, hai Hud, agar kami menyembah Allah dengan meninggalkan apa yang disembah oleh nenek-moyang kami. Tidakkah ini suatu yang menggelikan hati kami.

Apakah engkau tidak mengetahui bahwa sembahan peninggalan orang-orang tua kita itu adalah mendekatkan kita kepada Tuhan sebagai perantara karena kita belum menjadi orang suci; tidakkah kita perlu kepada tuhan-tuhan yang disembah oleh orang-orang tua kita itu, jika sekiranya engkau memang sebenarnya utusan Allah dan memang benar apa yang engkau sampaikan kepada kami, cobalah datangkan kepada kami azab yang engkau janjikan itu.”

Ayat 71

Setelah kaum Hud menentangnya dan menolak seruan agar mereka meninggalkan penyembahan patung-patung, bahkan mereka minta agar segera didatangkan kepada mereka azab, maka Nabi Hud berkata kepada kaumnya, bahwa Allah telah menentukan azab yang akan ditimpakan kepada mereka dan mereka akan mengalami kemurkaan Allah yakni mereka akan dijauhkan dari rahmat-Nya. Azab yang akan menimpa itu ialah angin yang sangat kencang dengan suara yang sangat gemuruh yang menghempaskan mereka hingga mati tersungkur. Firman Allah:

كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِيْ وَنُذُرِ   ١٨  اِنَّآ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيْحًا صَرْصَرًا فِيْ يَوْمِ نَحْسٍ مُّسْتَمِرٍّۙ    ١٩  تَنْزِعُ النَّاسَۙ كَاَنَّهُمْ اَعْجَازُ نَخْلٍ مُّنْقَعِرٍ   ٢٠  فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِيْ وَنُذُرِ  ٢١ 

Kaum ‘Ad pun telah mendustakan. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku! Sesungguhnya Kami telah menghembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari nahas yang terus menerus, yang membuat manusia bergelimpangan, mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku!  (al-Qamar/54: 18-21)

Nabi Hud menyatakan kepada kaumnya bahwa nama-nama berhala, baik yang mereka namakan maupun yang dinamakan oleh nenek moyang mereka tidak patut mereka jadikan pokok perdebatan dengan beliau. Karena pemberian nama dengan nama-nama Tuhan kepada berhala dan patung-patung itu sangat tidak masuk akal.

Demikian pula menamakannya dengan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah, atau pemberi syafa‘at dan lain-lain dari sifat-sifat ketuhanan. Nama-nama itu tidak ada dasarnya. Allah tidak ada menurunkan keterangan dan bukti nama-nama itu. Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, hanya kepada-Nya saja manusia secara langsung menyembah; tidak ada sesuatu pun yang dibenarkan menjadi sekutu-Nya. Jika dibenarkan tentu Allah memberi keterangan dengan wahyu-Nya.

Nabi Hud berseru kepada mereka untuk menunggu turunnya azab dari Allah yang mereka minta itu dan dia sendiri termasuk orang-orang yang menunggu untuk menyaksikan kedatangan azab yang akan menimpa kaumnya yang kafir itu.

Ayat 72

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 65-72 ini menceritakan, setelah kaum Hud menentang dan menuntut azab yang dijanjikan maka datanglah azab Allah menimpa mereka dan Allah menyelamatkan Hud beserta orang-orang yang beriman dari pada azab tersebut.

Azab itu berupa angin dahsyat yang sangat dingin yang membinasakan kaum ‘Ad, karena mereka mendustakan kebesaran Allah bahkan mengingkari utusan-utusan-Nya. Mereka dilenyapkan dari muka bumi ini dengan angin yang menghancurkan segala sesuatu, sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍۢ بِاَمْرِ رَبِّهَا فَاَصْبَحُوْا لَا يُرٰىٓ اِلَّا مَسٰكِنُهُمْۗ  كَذٰلِكَ نَجْزِى الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ   ٢٥ 

Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (di bumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa. (al-Ahqāf/46: 25)

(Tafsir Kemenag)

Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 1)

0
Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab
Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab

Tafsir Jalalain sampai saat ini menjadi primadona para pembelajar Al-Qur’an. Karya yang ditulis oleh guru-murid, Jalaluddin Al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuti ini sangat fenomenal dan dibaca di manapun. Di Indonesia, banyak sekali pondok pesantren yang memasukkan tafsir ini sebagai kurikulumnya. Bahkan, tafsir ini pun melahirkan kitab-kitab baru yang menjelaskan maksud isinya. Kitab ini disebut sebagai kitab hasiyah tafsir jalalain. Menariknya, kitab penjelas ini tidak hanya seideologi dengan dua Jalaluddin itu, melainkan ditulis oleh berbagai madzhab.

Dalam artikel ini akan diuraikan 16 kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari ulama madzhab Syafi’I, Maliki, Hanbali, Hanafi, hingga Zaidi. Tentu, ini hanya beberapa saja yang telah dihimpun oleh peneliti. Bisa jadi ada puluhan kitab penjelas lagi yang belum terinventarisasi. 16 kitab tafsir ini merujuk pada salah satu bab dalam penelitian Kajian atas Kitab Hasiyah Al-Sawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain karangan Imam Zaki Fuad.

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Berikut ini kitab-kitab Hasiyah Tafsir Jalalain yang dikelompokkan berdasarkan madzhab penulisnya:

Hasiyah Tafsir Jalalain dari Ulama Madzhab Syafi’i: 

  1. Al-Futuhat al-Ilahiyah bitauhidihi tafsiri al-Jalalain bi Daqaiq al-Khafiyyah

Kitab ini ditulis oleh Sulaiman bin ‘Umar al-Jamal (w. 1204 H/1790 M). Al-Jamal merupakan seorang mufassir dan pakar fiqih yang menguasai berbagai bidang ilmu. Ia berasal dari daerah Maniyat al-Ajili (salah satu daerah barat Mesir), kemudian ia pindah ke Kairo dan wafat di sana. Kitab Al-Futuhat al-Ilahiyah ini menjadi kitab penjelas Tafsir Jalalain yang paing terkenal di dunia. Jumlahnya mencapai empat jilid.

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Ibn Abi al-Saud

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Shalih Abi al-Su’ud al-Siba’I al-Hafnawi, al-Misri al-Syafi’I (w. 1268 H/1852 M). Ia merupakan ahli tafsir dari Mesir yang menulis tiga jilid Hasiyah Tafsir Jalalain. Namanya dicatat oleh ‘Adil Nuwaihid dalam ensiklopedi para mufassir dunia Mu’jam al-Mufassirin.

  1. Kitabul Kaukabain al-Nirain fi Halli alfazi al-Jalalain

Penulis kitab ini adalah ‘Atiyatullah bin ‘Attiyah al-Burhani, Al-Ajhuri (w. 1190 H/1776 M). ia merupakan pakar fiqih dan tafsir yang berasal dari daerah Ajhur Mesir. Ia belajar dan mengajar di Al-Azhar Kairo dan melahirkan beberapa kitab. Di antara kitab lainnya yaitu Irsyadul Rahman li asbab al-Nuzul wal Naskh wa al-Mutasyabih min al-Qur’an.

Baca juga: Al-Quran Memuliakan Ibu, Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Ibu

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Ibrahim bin Muhammad al-Jarim

Ibrahim bin Muhammad al-Jarim memiliki nama lengkap Ibrahim bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad bin Abdul Muhsin al-Idrisi al-Syafi’i, Burhanuddin al-Jarim (w. 1271 H/1853 M). Ia dikenal sebagai ahli nahwu dan mengetahui banyak tafsir Al-Qur’an. Ia lahir dan wafat dari Tsaghrur Rasyid Mesir.

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Ali bin Muhammad al-Aqibi al-Ansari Afifuddin

Penulis Hasiyah ini merupakan orang yang alim dan ahli dalam berbagai bidang, seperti nahwu, tafsir, ushul fiqh, dan hadis. Ia lahir dan wafat di Ti’z salah satu daerah di Yaman. Ia wafat pada 1101 H/1690 M.

  1. Qabsu al-Nirain ‘ala Tafsir al-Jalalain

Hasiyah ini ditulis oleh Muhammad bin Abdurrahman bin Ali bin Abi Bakr al-Alqami. Ia dikenal dengan nama Syamsuddin, sosok yang piawai dalam fiqih, tafsir, dan hadis. Ia merupakan murid dari Jalaluddin al-Suyuthi dan menyelesaikan kitab penjelas ini pada tahun 952 H.

Baca juga: Perjanjian Manusia dengan Allah Sebelum Lahir ke Dunia

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Ahmad bin Abdul Karim al-Tirmanini

Nama lengkap penulis kitab ini adalah Ahmad bin Abdul Karim bin Isa bin Ahmad Ni’matillah al-Tirmanini (w. 1293 H/ 1896 M). Ia merupakan pakar di bidang tafsir, mantiq, nahwu, dan sufi yang zuhud. Ia berasal dari Tirmain, Aleppo Suriah yang belajar di Al-Azhar dan menjadi juru fatwa di daerah asalnya. Selain menulis Hasiyah Tafsir Jalalain, ia juga menulis Hasiyah Tafsir al-Baidhawi.

Hasiyah Tafsir Jalalain dari ulama Madzhab Maliki.

Berikut ini adalah kitab hasiyah yang ditulis oleh ulama dari madzhab Maliki:

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Muhammad bin al-Hasan al-Janawi

Penulis kitab ini bernama lengkap Muhammad bin al-Hasan al-Janawi al-Hasani al-Titwani, Abu Abdillah. Ia merupakan pakar fiqih madzhab Maliki yang juga piawai dalam tafsir, ushul fiqih dan ilmu lainnya. Ia lahir di Madsyar (Azjan), singgah di Miknas dan wafat di Marakisy Maroko. Selain menulis Hasiyah Tafsir Jalalain, ia juga menulis Hasiyah ala Anwar Al-Tanzil fi Tafsir lil Baidhawi.

Demikian 8 dari 16 kitab Hasiyah Tafsir Jalalain. Untuk 8 kitab lainnya akan kami sajikan dalam artikel berikutnya. Bersambung..

Tafsir Surat Al A’raf ayat 59-64

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 59-64 ini secara garis besar menceritakan kisah Nabi Nuh dan kerasulannya.


Baca Juga: Kisah Nabi Nuh As dan Keingkaran Kaumnya Dalam Al-Quran


Ayat 59

Pada ayat ini Allah menceritakan tentang kisah Nabi Nuh dan kerasulannya. Pada masa antara Nabi Adam dan Nabi Nuh dunia mulai membangun peradabannya. Manusia mula-mula masih menyembah Allah menurut agama yang dibawa oleh Nabi Adam. Tetapi lama-kelamaan karena kesibukan dalam kehidupan duniawi mereka mulai menjauhkan diri dari  agama sehingga semangat beragama mulai menurun. Ajaran tauhid yang bersemi di hati sanubari mereka mulai pudar.

Patung-patung dari pemimpin-pemimpin mereka yang semula dibuat untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa mereka, mereka jadikan sembahan atau sekutu Allah, karena menurut paham mereka patung-patung itu dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah. Akhirnya mereka lupa kepada Allah, dan memandang bahwa patung-patung itulah tuhan yang diharapkan kebaikannya, dan dimohon nikmat anugerah dan ditakuti siksaannya.

Setelah kepercayaan manusia kepada Allah memudar di masa itu maka Allah tidak membiarkan mereka terus-menerus dalam kesesatan. Oleh karena itu, Allah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya. Kisah tentang kerasulan Nabi Nuh ini ditujukan kepada orang-orang Arab yang berada di Mekah dan sekitarnya yang mengingkari kerasulan Nabi Muhammad. Pengetahuan mereka tentang sejarah para rasul dan umat-umat pada masa dahulu sangat sedikit sekali karena mereka sekadar mendengar dari orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berada di sekitar mereka.

Allah dalam ayat ini meyakinkan mereka bahwa sebenarnya Allah telah mengutus Nabi Nuh kepada kaumnya untuk memperingatkan mereka akan kemurkaan Allah disebabkan kekufuran mereka. Setelah Nuh diutus menjadi Rasul dia menyeru kaumnya yang kafir agar meninggalkan berhala dan menyembah Tuhan Yang Maha Esa dan Pencipta segala sesuatu Dialah Tuhan yang sebenarnya.

Manusia wajib menyembah-Nya dengan penuh khusyuk dan tawadhu’. Nabi Nuh mengemukakan kepada kaumnya tentang kekhawatirannya bahwa mereka akan memperoleh siksaan yang sangat pada hari pembalasan nanti jika mereka tidak mengindahkan seruannya.

Sebagian mufassirin memandang bahwa hari pembalasan yang dimaksud pada ayat ini adalah hari terjadinya taufan. Selanjutnya kekhawatiran yang dikemukakan oleh Nabi Nuh kepada kaumnya menunjukkan bahwa Nabi Nuh telah berputus-asa setelah menjalankan dakwah dalam masa yang cukup lama, namun tidak ada tanggapan dari kaumnya, sebagaimana diketahui dari ayat-ayat berikut:

قَالَ رَبِّ اِنِّيْ دَعَوْتُ قَوْمِيْ لَيْلًا وَّنَهَارًاۙ  ٥  فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَاۤءِيْٓ اِلَّا فِرَارًا   ٦ 

Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam, tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran). (Nuh/71: 5-6)

Ayat 60

Allah dalam ayat ini menerangkan bahwa para pemimpin kaum Nuh berpendapat sesungguhnya Nabi Nuh, itulah yang berada dalam kesesatan, disebabkan Nabi Nuh melarang mereka menyembah berhala, yang mereka anggap sebagai penolong mereka di hadapan Allah dan sebagai perantara untuk mendekatkan mereka kepada-Nya. Demikianlah tingkah laku orang-orang kafir itu, bahkan mereka sering menuduh bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah itu adalah orang yang sesat, sebagaimana tersebut dalam firman Allah yaitu:

وَاِذَا رَاَوْهُمْ قَالُوْٓا اِنَّ هٰٓؤُلَاۤءِ لَضَاۤلُّوْنَۙ  ٣٢

Dan apabila mereka melihat (orang-orang mukmin), mereka mengatakan, “Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang sesat”. (al-Muthaffifin/83: 32)

Firman Allah:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَّا سَبَقُوْنَآ اِلَيْهِۗ وَاِذْ لَمْ يَهْتَدُوْا بِهٖ فَسَيَقُوْلُوْنَ هٰذَآ اِفْكٌ قَدِيْمٌ    ١١ 

Dan orang-orang yang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman, “Sekiranya Al-Qur′an itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata, “Ini adalah dusta yang lama.” (al-Ahqāf/46: 11)

Ayat 61

Ayat ini menerangkan penolakan Nabi Nuh terhadap tuduhan kaumnya dengan menegaskan bahwa dia sekali-kali tidak berada dalam kesesatan, karena ia sebenarnya adalah utusan Allah dan yang diserukannya itu bukanlah timbul dari pikirannya semata yang mungkin didorong oleh kepentingan pribadi. Tetapi apa yang dikemukakan itu adalah wahyu Allah yang pasti kebenaranya, karena itu harus disampaikan kepada mereka agar mereka dapat mencapai kebahagiaan dan terhindar dari kebinasaan akibat mempersekutukan Allah.

Ayat 62

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Nuh menegaskan kepada kaumnya bahwa dia mendapat tugas dari Allah untuk menyampaikan perintah-perintah Tuhannya agar manusia beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada hari kemudian, kepada Rasul-rasul yang diutus Allah, kepada malaikat-malaikat Allah dan menyampaikan juga hukum-hukum yang Allah tentukan baik yang berkenaan dengan ibadat maupun yang berkenan dengan muamalat.

Nabi Nuh dalam menyampaikan tugasnya disertai dengan ancaman halus berupa nasihat-nasihat kepada kaumnya agar takut kepada siksaan Allah sebagai balasan terhadap orang-orang yang tidak beriman kepadanya, serta mendustakan Rasul-rasul-Nya. Nabi Nuh menegaskan pula bahwa ia benar-benar mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh kaumnya, semuanya itu diketahuinya dari Allah. Demikian gigihnya Nabi Nuh dalam meyakinkan kaumnya.

Ayat 63

Tafsir surat Al A’raf ayat 59-64 khususnya dalam ayat 63 ini Allah menerangkan tentang kecaman Nabi Nuh kepada kaumnya, bahwa tidaklah patut mereka itu merasa heran atau ragu-ragu terhadap kedatangan peringatan dari Tuhan yang dibawa oleh seorang laki-laki di antara mereka sendiri. Dia memperingatkan mereka tentang azab yang akan menimpa mereka, bilamana mereka tetap dalam kekafiran. Dengan peringatan itu, mereka akan dapat memelihara diri dari perbuatan syirik dan munkar sehingga mereka memperoleh rahmat Allah.

Adapun yang menyebabkan keraguan dan keheranan kaumnya tentang kerasulannya, karena Nabi Nuh tidak mempunyai kelebihan yang istimewa. Tetapi jika mereka menggunakan pikiran yang sehat bahwa kelebihan antara manusia itu di samping diperoleh dengan usaha manusia itu sendiri, juga didapat dari karunia Allah, karena Allah Yang Mahakuasa.

Dalam kenyataan hidup manusia, nampak perbedaan di antara masing-masing manusia itu, baik perbedaan jasmaniah, maupun rohaniah. Oleh karena itu semestinya mereka menyambut seruan dari salah seorang yang memiliki kelebihan dan keistimewaan sebagai rasul untuk menyelamatkan mereka dari siksa Allah akibat kekufuran dan membawa mereka kepada kebenaran dan ketakwaan kepada Allah untuk memperoleh keridaan dan rahmat-Nya.

Ayat 64

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 59-64, di ayat 64 ini menerangkan bahwa kebanyakan kaum Nabi Nuh masih tetap mengejek dan mendustakannya, mereka tetap menentang perintah Tuhan dan bertambah hanyut dalam kedurhakaan. Hati nurani mereka tertutup sehingga mereka tidak dapat mengambil pelajaran dari tanda-tanda kebesaran Allah dan mereka tidak dapat mengambil hikmat manfaat dari pengutusan para Rasul.

Telinga mereka pun menjadi tuli sehingga mereka tidak dapat membenarkan adanya hari kemudian, hari pembalasan yang disampaikan oleh Nabi Nuh yang semestinya diketahui oleh manusia bahwa seorang yang hidup di dunia ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada Allah sebagai Pencipta-Nya, Nabi menunjukkan kepada adanya kehidupan pada hari kemudian. Tetapi manusia yang tidak menggunakan pikirannya menduga bahwa kehidupan manusia itu hanya di dunia saja tanpa ada pertanggungjawaban di akhirat.

Secara tidak sadar mereka telah menyamakan dirinya dengan hewan, karenanya timbullah berbagai perbuatan jahat seperti syirik di atas bumi ini. Karena keingkaran kaum Nuh inilah, azab Allah menimpa mereka, yaitu berupa angin dan banjir yang menenggelamkan mereka. Hanya sedikit dari pengikut kaum Nuh yang diselamatkan oleh Allah dari tenggelam di waktu terjadinya bencana tersebut karena mereka berada dalam perahu yang telah disiapkan jauh hari sebelumnya. Kebanyakan kaumnya tenggelam karena mereka hanyut dalam kekufuran dan kemaksiatan.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat As-Shaffat Ayat 78-81: Terima Kasih Allah kepada Nabi Nuh


 

Al-Quran Memuliakan Ibu, Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Ibu

0
Al-Quran memuliakan Ibu
Al-Quran memuliakan Ibu

Di zaman pra-Islam posisi perempuan sebagai Ibu tidak dipandang, dan tidak mendapat perhatian. Bahkan, seorang ibu dapat dinikahi oleh anak lelaki kandungnya jika ayahnya meninggal. Derajat mereka pun disamakan dengan hamba sahaya. Pada Masa itu pula, seorang Ibu tidak akan mendapatkan harta warisan ketika anaknya meninggal dunia. Namun setelah Al-Quran datang, Al-Quran memuliakan ibu, mengangkat derajatnya bahkan tiga tingkat di atas ayah.

Al-Quran menggunakan dua term untuk istilah ibu, yaitu umm dan walidaih. Kata Umm berarti segala sesuatu yang menjadi sumber keberadaan, pengasuhan, pendidikan, kebaikan dan permulaan. Umm juga dapat diartikan menjadi tujuan. Karena ibu juga menjadi tujuan anak berlabuh.

Istilah ibu juga lebih banyak disebutkan Al-Quran dalam perannya mendidik dan mengasuh anak. Sebanyak 29 kali kata al-Umm disebutkan. Dan sebanyak empat kali istilah walidah disebutkan, baik dalam bentuk jamak maupun tunggal. Kata walidah menunjukkan adanya hubungan biologis. Ibu dan anak memiliki hubungan biologis yang sangat kuat, sehingga ikatan emosional mereka juga sangat kuat. (Fu’ad ‘Abdul Baqi, Mu’jam Mufahras li Alfaz Al-Quran)

Ibu adalah orang tua yang harus dihormati sebagaimana Ayah. Untuk mengangkat derajat Ibu, Alquran menggambarkan betapa peran dan pengorbanan seorang Ibu sangat besar dalam mengasuh anak, sehingga penghormatan kepadanya seharusnya lebih tinggi atau setara dengan penghormatan terhadap Ayah.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Al-Quran menggambarkan peranan ibu dari fase mengandung, melahirkan, menyusui hingga menyapihnya. Di mana fase ini tidak dialami oleh Ayah. Keterangan ini terdapat di surat Luqman ayat 14 dan Al-Ahqaf ayat 15

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّهٗ كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُهٗ وَفِصٰلُهٗ ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗحَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ  قَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَصْلِحْ لِيْ فِيْ ذُرِّيَّتِيْۗ اِنِّيْ تُبْتُ اِلَيْكَ وَاِنِّيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan, sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridai; dan berilah aku kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku termasuk orang muslim.”

Setelah menyebut kata walidain, Al-Quran menyebut kata umm untuk memberikan penegasan bahwa ibu adalah orang tua yang juga harus dihormati. Bahkan penghormatan kepada ibu tiga tingkat lebih tinggi dibanding Ayah. Ibu yang telah bersusah payah mengandung, menyusui hingga menyapihnya sampai dua tahun.

Dalam dua ayat di atas Al-Quran memuliakan ibu dimata orang-orang kafir saat itu. Di mana sebelumnya, mereka tidak dihormati dan dipandang sebelah mata. Al-Quran juga menekankan keharusan kita untuk bersyukur terhadap ibu yang telah memberikan pengasuhan dengan penuh pengorbanan.

Bahkan didalam surat Al-Ahqaf ayat 15 Al-Quran mengajarkan kita bersyukur dengan ungkapan doa sebagaimana yang Al-Quran ajarkan. Rasa syukur terhadap ibu dapat kita aplikasikan dengan pengabdian dan penghormatan yang setulusnya. Jasa ibu tidak akan mampu kita balas dengan apapun. Dan tugas seorang anak adalah menghormatinya, baik dengan laku maupun doa.

Baca Juga: Hikmah Membaca Surat Maryam bagi Ibu Hamil

Al-Quran menunjukkan bahwa ibu adalah sumber bagi pendidikan, cinta kasih yang suci. Menghormatinya mendapatkan pahala yang agung dan mendatangkan keberkahan baginya. Al-Quran memuliakan ibu dengan memerintahkan kita agar mampu menjaga perasaannya yang lembut dan penuh cinta kasih.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

 وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah; “wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’; 23-24)

Pada ayat ini kita diperintahkan untuk menghormati ibu dan ayah dengan menjaga perasaan mereka, lebih tawadlu’ untuk menghormatinya, bersikap lembut dan menyayanginya. Hal ini merupakan hantaman bagi peradaban bangsa Arab pra-Islam yang melakukan ibu semena-mena.

Al-Quran memuliakan ibu melalui cerita-cerita ibu hebat seperti sayyidah Maryam, Ibu nabi Musa, dan lain sebagainya untuk membuktikan bahwa seorang ibu dapat melampaui derajatnya. Al-Quran mengagungkan ibu sebagai manusia yang paling terhormat, karena ialah yang paling menderita ketika mengasuh putra-putri mereka.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 58

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir surat Al A’raf ayat 58 ini menjelaskan tentang jenis-jenis tanah yang ada di muka bumi. Dari tanah yang subur maka tumbuhan akan berkembang dan menghasilkan makanan yang baik. Sedangkan dari tanah yang tidak subur tidak akan menghasilkan apa-apa.


Baca Juga: Ngaji Gus Baha’: Bisakah Manusia Berdialog dengan Hewan dan Tanah?


Ayat 58

Tafsir surat Al A’raf ayat 58 ini menjelaskan jenis-jenis tanah di muka bumi ini ada yang baik dan subur, bila dicurahi hujan sedikit saja, dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman dan menghasilkan makanan yang berlimpah ruah dan ada pula yang tidak baik, meskipun telah dicurahi hujan yang lebat, namun tumbuh-tumbuhannya tetap hidup merana dan tidak dapat menghasilkan apa-apa. Kemudian Allah memberikan perumpamaan dengan hidupnya kembali tanah-tanah yang mati, untuk menetapkan kebenaran terjadinya Yaumal Mahsyar: Yaitu di mana orang-orang mati dihidupkan kembali dikumpulkan di Padang Mahsyar untuk menerima ganjaran bagi segala perbuatannya, yang baik dibalasi berlipat ganda dan yang buruk dibalasi dengan yang setimpal.

Kalau tanah kering dan mati dapat dihidupkan Allah kembali dengan menurunkan hujan padanya sedang tanah itu lekang tidak ada lagi unsur kehidupan padanya, tentulah Allah dapat pula menghidupkan orang-orang yang telah mati meskipun yang tinggal hanya tulang-belulang ataupun telah menjadi tanah semuanya. Tentang menghidupkan orang-orang yang telah mati itu kembali Allah berfirman:

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ   ٧٨  قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ  ٧٩ 

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yāsin/36: 78-79)

Selanjutnya Allah memberikan perumpamaan pula dengan tanah yang baik dan subur serta tanah yang buruk dan tidak subur untuk menjelaskan sifat dan tabiat manusia dalam menerima dan menempatkan petunjuk Allah.

Orang-orang yang baik sifat dan tabiatnya, dapat menerima kebenaran dan memanfaatkannya untuk kemaslahatan dirinya dan untuk kemaslahatan masyarakat. Orang-orang yang buruk sifat dan tabiatnya tidak mau menerima kebenaran bahkan selalu mengingkarinya sehingga tidak mendapat faedah sedikit pun untuk dirinya dari kebenaran itu apalagi untuk masyarakatnya.

Ibnu ‘Abbās berkata: Ayat ini adalah suatu perumpamaan yang diberikan Allah bagi orang mukmin dan orang kafir, bagi orang baik dan orang jahat. Allah menyerupakan orang-orang itu dengan tanah yang baik dan yang buruk, dan Allah mengumpamakan turunnya Al-Qur′an dengan turunnya hujan.

Maka bumi yang baik dengan turunnya hujan dapat menghasilkan bunga-bunga dan buah-buahan, sedang tanah yang buruk, bila dicurahi hujan tidak dapat menumbuhkan kecuali sedikit sekali. Demikian pula jiwa yang baik dan bersih dari penyakit-penyakit kebodohan dan kemerosotan akhlak, apabila disinari cahaya Al-Qur′an jadilah dia jiwa yang patuh dan taat serta berbudi pekerti yang mulia.

Adapun jiwa yang jahat dan kotor apabila disinari Al-Qur′an jarang sekali yang menjadi baik dan berbudi mulia. Rasulullah bersabda:

مَثَلُ مَا بَعَثَنِي الله ُبِهِ مِنَ الْهَدْيِ وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيْرِ أَصَابَ أَرْضًا فَكَانَ مِنْهَا نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيْرَ وَكاَنَ مِنْهَا أَجَادِبُ – الَّتِيْ لاَ تَشْرَبُ وَلاَ تُنْبِتُ – أَمْسَكَتِ الْمَاءَ فَنَفَعَ الله ُبِهَا النَّاسَ فَشَرِبُوْا وَسَقُوْا وَزَرَعُوْا وَأَصَابَ مِنْهَا طَائِفَةٌ أُخْرَى إِنَّمَا هِيَ قِيْعَانٌ – أَرْضٌ مُسْتَوِيَةٌ –  لاَ تُمْسِكُ مَاءً وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً فَذٰلِكَ مِثْلُ مَنْ فَقِهَ فِيْ دِيْنِ اللهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِي الله ُبِهِ فَعَلِمَ وَعلَّمَ وَمِثْلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذٰلِكَ رَأْسًا وَلَمْ يَقْبَلْ هَدْيَ اللهِ الَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ (رواه أحمد والبخاري ومسلم والنسائى)

“Perumpamaan ilmu dan petunjuk yang aku diutus untuk menyampaikannya adalah seperti hujan lebat yang menimpa bumi. Maka ada di antara tanah itu yang bersih (subur) dan dapat menerima hujan itu, lalu menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan rumput yang banyak. Tetapi ada pula di antaranya tanah yang lekang (keras) yang tidak meresapi air hujan dan tidak menumbuhkan sesuatu apapun.

Tanah itu dapat menahan air (mengumpulkannya) maka Allah menjadikan manusia dapat mengambil manfaat dari air itu, mereka dapat minum, mengairi tanaman. Ada pula sebagian tanah yang datar tidak dapat menahan air dan tidak pula menumbuhkan tanaman. Maka tanah-tanah yang beraneka ragam itu adalah perumpamaan bagi orang yang dapat memahami agama Allah.

Lalu ia mendapat manfaat dari petunjuk-petunjuk itu dan mengajarkannya kepada manusia, dan perumpamaan pula bagi orang-orang yang tidak memperdulikannya dan tidak mau menerima petunjuk itu.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhāri, Muslim dan an-Nasā’i)

Nabi Muhammad memberikan predikat (julukan) al-Hādi dan al-Muhtadi kepada golongan pertama yang mendapat manfaat untuk dirinya dan memberikan manfaat kepada orang lain, dan memberikan predikat al-Jāhid kepada golongan ketiga yang tiada mendapat manfaat untuk dirinya dan tidak dapat memberikan manfaat untuk orang lain.

Tetapi Nabi Muhammad tidak memberi komentar terhadap golongan kedua yaitu orang yang tidak dapat memberikan manfaat kepada orang lain, karena orang-orang dari golongan ini banyak macam ragamnya, di antaranya mereka ada orang-orang munafik dan termasuk pula orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya meskipun ia mengetahui dan menyiarkan ajaran Allah kepada orang lain. Demikianlah Allah memberikan perumpamaan dengan nikmat dan karunia-Nya agar disyukuri oleh orang yang merasakan nikmat itu.

Melihat Sisi Lain Muqatil bin Sulayman

0
Mengenal Muqatil bin Sulayman
Mengenal Muqatil bin Sulayman

Mendengar nama Muqatil bin Sulayman (w. 150 H/767 M), seolah apa yang terlintas dalam benak kebanyakan para pemikir Muslim adalah “bapak” isrā’īliyyāt tafsir Al-Qur’an, pendusta hadis dan seorang mujassimah. Di lain sisi, ada juga yang justru memberikan tepuk tangan mengapresiasi beberapa keberhasilan dan capaian-capaian Muqatil. Memang begitulah kenyataannya. Layaknya mata uang logam dengan dua sisi berbeda dalam satu entitas, seperti itulah kira-kira gambaran sosok Muqatil bin Sulayman. Ia dihujat tapi juga dikagumi—sekalipun mungkin kekaguman itu datang sedikit terlambat.

Tokoh kenamaan ini memiliki nama lengkap Muqatil bin Sulayman bin Bashīr al-Balkhī al-Marūzī al-Khurāsānī. Tidak ada literatur yang menyebutkan secara pasti kapan ia dilahirkan. Menurut sebagian sumber, ia lahir di Balkh pada kisaran tahun 80 H (700 M). Keterangan lain menyebutkan ia lahir kira-kira tahun 60-70 H (680-690 M). Tahun wafat Muqatil dicatat bertepatan pada tahun 150 H (767 M) (Hitti, History of The Arabs, 2005: 354)

Baca juga: Mengenal Kitab As-Sab’ah fi Al-Qiraat (1) Karya Ibnu Mujahid

Kiblat mufasir tersohor

Satu dari sekian banyak peninggalan Muqatil yang paling monumental adalah Tafsir al-Kabir. Ia juga populer dengan nama Tafsir Muqatil bin Sulaymān. John Wansbough dan Gordon Nickel mengatakan, bahwa tafsir milik Muqatil merupakan sebuah contoh bentuk penafsiran haggadic. Muqatil mencoba untuk memadukan Al-Qur’an yang terpotong-potong menjadi satu kesatuan yang utuh. Dengan begitu, akan memberikan kesan kesinambungan dan penjelasan holistik terhadap varietas teks. ( Sirry, Muqatil bin Sulaiman and Antropomorphism, 2012: 60)

Bila menyangkut soal perubahan dan maksud suatu kata, tidak jarang mufasir generasi berikutnya memilih bermakmum kepada Muqatil. Sebut saja Aḥmad bin Muḥammad bin Ibrāhīm al-Tha‘labī (w. 427 H/1036 M), atau yang lebih masyhur dengan nama kauniyah al-Tha‘labī memililki banyak penafsiran yang merujuk kepada Muqatil. Misalnya ketika menafsirkan kata iṣbirū dalam QS. Ali Imran ayat 200. Al-Tha‘labī mengutip keterangan dari Muqatil, bahwa maksud dari frase iṣbirū adalah Iṣbirū ‘alā Amrillāh ‘Azza wa Jalla (al-Tha‘labī, al-Kashf wa al-Bayān ‘an Tafsīr al-Qur’ān, Vol. 3. 2002: 338)

Selanjutnya ada nama Al-Zamakhsharī (w. 538 H/1144 M). Salah satu tokoh yang fenomenal di bidang gramatikal bahasa ini pada beberapa bagian tafsirnya juga mengambil penafsiran dari Muqatil. Sebagai contoh misalnya penafsiran al-Zamakhsharī terhadap kata al-Ardhalūn pada QS. Al-Syu’ara ayat 111 yang dimaknai salah satunya dengan al-Suflah. (al-Zamakhsharī, al-Kashshāf ‘an Haqā’iq Gawāmiḍ al-Tanzīl, Vol. 3. t.th.: 324).

Baca juga: Qiraat Al-Quran (2) : Sejarah dan Perkembangan Qiraat di Era Sahabat

Walau sempat tenggelam, tafsir al-Kabir mulai muncul ke permukaan kira-kira di era al-Matūridī (w. 333 H/945 M). Pada generasi berikutnya, banyak mufasir yang dalam beberapa hal merujuk pada tafsir milik Muqatil. Sederet nama mufasir yang pernah mengutip keterangan dari Muqatil dalam tafsirnya adalah al-Samarqandī (w. 373 H/983 M), al-Tha‘labī (w. 427 H/1036 M), al-Māwardī (w. 450 H/1058 M), al-Wāḥidī (w. 468 H/1076 M), Abū al-Qāsim Burhān al-Dīn (w. 505 H/1111 M), al-Baghawī (w. 516 H/1122 M), al-Jawzī (w. 597 H/1201 M), al-Rāzī (w. 606 H/1210 M), al-Qurṭubī (w. 671 H/1273 M), Abū Ḥayyān bin Muḥammad al-Andalusī (w. 744 H/1344 M), Ibn Kathīr (w. 773 H/1372 M), al-Muẓharī (w. 1225 H/1810 M) dan yang lainnya.

Antara tepuk tangan dan hujaman kritik

‘Abdullāh Ibn Mubārak (w. 181 H/797 M), salah satu murid Muqatil yang terkenal sebagai seorang sufi dermawan menyebut tafsir milik gurunya itu sebagai tafsir yang amat berbobot andai disertai dengan sanad (Shahātah, Tafsīr Muqatil bin Sulaymān, Vol. 5, 2002: 51)

Muqatil dianugerahi keterampilan dan kepiawaian dalam urusan bedah-membedah dan menilik kata. Tokoh sekaliber Imam Syafi’i (w. 204 H/819 M) sampai harus mengakuinya. Ia menyebut Muqatil sebagai panutan bagi siapapun yang ingin mengkaji dan mendalami Al-Qur’an. (Shahātah, Tafsīr Muqatil bin Sulaymān, Vol. 5, 2002: 51) Tidak mau kalah, Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M), figur yang menyandang gelar Shaykh al-Islām ini juga mengakui keahlian Muqatil. (al-Dhahabī, al-‘Arsh, Vol. 1, 2003: 143). Ia bahkan dikukuhkan sebagai peletak pertama kajian analisis gramatikal teks Al-Qur’an dengan pendekatan stilistik-linguistik. (Versteegh, “Tafsir Qur’an Paling Awal: Tafsir Muqatil”, 1988 206-207)

Baca juga: Ibnu Mujahid (1), Peletak Dasar Ilmu Qiraat Sab’ah

Apresiasi positif yang diberikan kepada Muqatil tentu bukan dengan tanpa alasan. Yang memberi apresiasi pun bukan sembarang tokoh. Kepakarannya dalam bidang kajian Al-Qur’an juga dapat dibuktikan dengan karya-karyanya yang lebih banyak menyoal seputar Al-Qur’an dan ulūm al-Qur’ān. Dari sepuluh karya, hanya satu yang bukan kajian tentang Al-Qur’an. Karya-karya itu antara lain Tafsīr al-Kabīr, al-Ayāt al-Mutashābihāt, al-Aqsām wa al-Lughāt, Tafsīr al-Khamsumi‘ah Ayāt min al-Qur’ān, al-Taqdīm wa al-Ta’khīr, al-Jawābat fī al-Qur’ān, al-Qirāāt, al-Nāsikh wa al-Mansūkh, dan al-Wujūh wa al-Naẓāir fī al-Qur’ān.

Walau demikian, kredibilitas Muqatil dibidang periwayatan hadis masih disangsikan. Banyak penilaian negatif yang dialamatkan kepadanya. Mulai dari matrūk al-hadīth hingga pendusta. Imam Bukhari (w. 256 H/870 M) menyandangkan status mungkar al-hadīth untuk Muqatil. Sampai-sampai Ibrāhīm bin Ya‘qūb al-Jawzajānī (w. 258 H/872 M) terang-terangan menyebutnya “dajjal yang lancang”.

Sekalipun Muqatil diragukan kredibilitasnya dalam periwayatan hadis, namun perhatian dan kemapanan ilmunya dibidang kajian Al-Qur’an tidak diragukan lagi. Menurut Ibnu Taimiyah, kasus Muqatil ini sama seperti halnya Imam Abū Ḥanīfah  (w. 148 H/767 M). Kalaupun banyak yang berbeda pendapat dengannya dalam banyak hal dan juga banyak yang mengingkarinya, perihal keilmuan Abū Ḥanīfah dibidang fiqh tidak ada seorang pun yang meragukannya. (al-Tamīmī, Muwāqif al-Tawā’if min Tauḥīd al-Asmā’ wa al-Ṣifāt, Vol. I, 2020: 135). Wallahu a’lam[]