Beranda blog Halaman 438

Penjelasan Fenomena Mendung, Petir, dan Guruh dalam Al-Quran

0
Fenomena mendung, petir, dan guruh dalam Al-Quran
Fenomena mendung, petir, dan guruh dalam Al-Quran

Saat akan turun hujan, tanda yang biasa terjadi adalah mendungnya awan di langit. Lalu ketika hujan yang turun begitu deras, hal yang biasa ditemui adalah kilatan petir dan suara guruh. Dalam ilmu fisika, mendung dan hujan disebabkan oleh awan komulus. Jika awan kumulus ini bertemu awan nimbus atau yang biasa disebut awan kumulonimbus maka akan terjadi kilatan petir dan guruh. Adanya perbedaan muatan potensial negatif dan positif pada awan, yang kemudian dilepaskan ke bumi membentuk kilat cahaya yang disebut petir atau halilintar. Sedang suara lompatannya yang menggelegar biasa disebut guruh atau guntur. Fenomena mendung, petir dan guruh ini juga telah disinggung dalam Al-Quran. Al-Quran bahkan mengambil satu nama suratnya dengan nama guruh (Ar-Ra’du). Jika dirinci, terdapat 10 ayat yang berbicara mendung (as-sahab). Lalu 10 ayat yang menceritakan petir (al-barq). Kemudian terdapat dua ayat yang berbicara masalah guruh atau guntur (ar-ra’du).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 19-21: Fenomena Pertemuan Dua Lautan

Penjelasan mendung dalam Al-Quran

Ayat Al-Quran yang menjelaskan mendung terdapat dalam Surat An-Nur ayat 43:

أَلَمْ تَرَ أَنَّ ٱللَّهَ يُزْجِى سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُۥ ثُمَّ يَجْعَلُهُۥ رُكَامًا فَتَرَى ٱلْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَٰلِهِۦ وَيُنَزِّلُ مِنَ ٱلسَّمَاءِ مِن جِبَالٍ فِيهَا مِن بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِۦ مَن يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُۥ عَن مَّن يَشَاءُ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِۦ يَذْهَبُ بِٱلْأَبْصَٰرِ

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”

Kemudian Surat Fatir ayat 9:

وَٱللَّهُ ٱلَّذِىٓ أَرْسَلَ ٱلرِّيَٰحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَٰهُ إِلَىٰ بَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا كَذَٰلِكَ ٱلنُّشُورُ

“Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Qamar Ayat 1: Fenomena Terbelahnya Bulan

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah menerangkan ayat-ayat tersebut sebagai rahmat dari Allah. Pada mulanya air laut menguap dan mengalami proses kondensasi akhirnya menjadi awan-awan yang berkumpul. Awan-awan ini kemudian turun ke bumi menjadi air hujan. Di sinilah terdapat kekuasaan dan rahmat Allah. Bumi-bumi yang awalnya hanya terdapat sedikit air bahkan mengalami kekeringan bisa mendapatkan air kembali melalui turunnya hujan. Awan yang memunculkan hujan ini bahkan bisa menjangkau wilayah-wilayah daratan yang jaraknya sangat jauh dengan laut. Hal luar biasa yang dilakukan manusia dengan payah namun bagi Allah ini rahmat dan bentuk kasih sayang-Nya pada sang makhluk.

Mengenai penjelasan awan yang bertindih yang menyerupai gunung, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Al-Quran bersifat visioner. Hal tersebut dikarenakan pada zaman Rasulullah belum bisa dibedakan antara awan dan gunung berkabut kecuali yang berada di atas gunung. Kemudian pada zaman modern ditemukanlah pesawat terbang yang bisa menjangkau awan sehingga akan terlihat perbedaan antara awan dan gunung.

Quraish Shihab juga menjelaskan mengenai visionernya Al-Quran tentang fenomena mendung. Ketika turun Al-Quran, masyarakat pada saat itu belum mengetahui proses terjadinya awan dan hujan. Lalu pada zaman modern, melalui pengetahuan, fenomena mendung itu dapat dijelaskan menjadi fase-fase terbentuknya awan, mendung, dan hujan. Berawal dari proses kondensasi uap air laut berubah menjadi onggokan awan bergerak menjangkau daerah-daerah bumi yang miskin air dan turunlah hujan. Fenomena tersebut sangat jelas sekali diterangkan Al-Quran. Alangkah congkaknya jika manusia tidak mau membaca dan membenarkannya.

Penjelasan petir dan guruh dalam Al-Quran

Selain di akhir ayat Surat An-Nur ayat 43, terdapat penjelasan ayat-ayat tentang petir dan guruh, seperti pada Surat Ar-Ra’du ayat 12-13:

هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنْشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ . وَيُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلائِكَةُ مِنْ خِيفَتِهِ وَيُرْسِلُ الصَّوَاعِقَ فَيُصِيبُ بِهَا مَنْ يَشَاءُ وَهُمْ يُجَادِلُونَ فِي اللَّهِ وَهُوَ شَدِيدُ الْمِحَالِ

“Dialah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepada kalian untuk menimbulkan kekalutan dan harapan, dan Dia mengadakan awan mendung. Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan Yang Mahakeras siksa-Nya.”

Dalam menafsirkan perihal petir dan guruh, Quraish Shihab lebih menjelaskan secara saintifik. Ia menjelaskan bahwa petir terjadi karena lompatan listrik antara gesekan yang ada di awan. Awan yang terdapat potensial muatan negative dan positif tersebut hanya ada pada awan komulus atau komulonimbus. Sehingga ketika lompatan listrik itu terlepas di bumi ini menimbulkan efek kilatan cahaya yang disebut petir. Sedangkan guruh adalah efek bunyi dan suara yang dihasilkan dari lompatan tersebut.

Baca juga: Inilah Empat Manfaat Hujan dalam Al Quran

Di dalam Tafsir Kemenag, petir dan guruh dijelaskan sebagai makhluk yang bertasbih kepada Allah. Bertasbihnya petir dan guruh adalah melalui gerak dan suaranya, sesuai dengan keterangan di Surat Al-Isra’ ayat 44 bahwa tiap makhluk bertasbih dengan caranya masing-masing. Halilintar tersebut mengikuti perintah Allah yang mana ketika ia dilepaskan ia bisa saja mengancam bahaya pada makhluk-Nya yang lain. halilintar tersebut bisa membahayakan siapa saja yang dikehendaki-Nya.

Karena dahsyatnya kuasa Allah akan bahaya petir halilintar maka ketika mendengar bunyi yang menandainya yaiu gemuruh yang menggelegar Rasulullah menganjurkan umatnya untuk berdoa “Ya Allah, janganlah Engkau membunuh kami dengan kemurkaan-Mu, janganlah Engkau membinasakan kami dengan zab-Mu, dan berilah kesehatan kepada kami sebelum itu” (HR Bukhari).

Hadis lain riwayat Abu Hurairah juga mengisahkan baha raut wajah Rasulullah yang berubah ketika mendapati angina keras dan bunyi gemuruh, lalu beliau bersabda “Mahasuci Zat, yang guruh bertasbih kepada-Nya. Ya Allah jadikanlah angin itu sebagai rahmat dan jangan jadikan sebagai azab.”

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin

0
asal mula penciptaan manusia
manusia diciptakan dari tanah

Alam raya ini sejatinya terdiri dari alam makro (langit dan bumi) dan alam mikro (manusia dan jin). Di bagian awal Surat Ar-Rahman, Allah swt sudah memfirmankan bagaimana penciptaan alam makro, selanjutnya pada ayat 14-16 akan dijelaskan penciptaan alam mikro (manusia dan jin).

Mengapa manusia dan jin yang diuraikan dengan tegas pada kedua ayat ini, Syekh Sulaiman Al-Jamal menganalisis, kemudian membuat penjelasan:

تمهيدا للتوبيخ على اخلالهم بواجب شكر النعم المتعلقة بذات كل واحد من الثقلين

Artinya : “Sebagai mukaddimah untuk mengingatkan terhadap kelalaian mereka pada kewajiban bersyukur atas nikmat-nikmat yang ada pada masing-masing dari jin dan manusia.” (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Tafsir Jamal, [Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, 2013] juz 7, hal. 364)

Maka, Allah swt berfirman:

خَلَقَ الْاِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ وَخَلَقَ الْجَاۤنَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍۚ

Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar, dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap. (Q.S. Ar-Rahman [55]: 14-15)

Imam Al-Mahaliy dan Imam As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menafsiri makna صَلْصَالٍ dengan “tanah kering yang apabila dipukul akan bersuara”. Sedangkan الْفَخَّار  adalah “tanah yang dibakar hingga menjadi keras” kalau kita pahami semacam tembikar.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Syekh Al-Jamal sebagai pensyarah Tafsir Jalalain mengupas lebih dalam maksudnya, yakni sebenarnya tahapan penciptaan manusia (dalam konteks ayat ini adalah Nabi Adam As) merupakan tahapan terakhir, setelah sebelumnya berupa turab (tanah basah) kemudian thin (lumpur/tanah liat yang lengket), kemudian hamaim masnun (tanah yang terbentuk) hingga pada akhirna sholshol (tanah kering seperti tembikar).

Syekh Wahbah Az-Zuhailiy juga hampir sama dengan Syekh Al-Jamal dalam menafsiri ayat ini, yang intinya bahwa Allah Swt menciptakan Nabi Adam a.s. dari tanah dengan proses seperti tadi di atas.

Sedangkan jin tercipta dari مَارِجٍ, menurut Syekh Az-Zuhailiy adalalah nyala api bagian atas yang warnanya kobinasi antara kuning, merah, hijau, dan sebagainya.

Imam Fakhrudin Ar-Raziy menyampaikan benang berah dari dua ayat tersebut sebagai berikut :

بأن المراد من الجان أبوهم ، كما أن المراد من الإنسان أبونا آدم ، فالأول منا خلق من صلصال ، ومن بعده خلق من صلبه ، كذلك الجن الأول خلق من نار ، ومن بعده من ذريته خلق من مارج

Artinya : Bahwa yang dimaksud dengan al-jan adalah ayah para jin, sebagaimana yang dimaksud dengan al-insan adalah ayah kita yakni Nabi Adam As, pada mulanya kita diciptakan dari tanah kering, namun pada penciptaan selanjutnya dari sperma, sebagaimana jin pada awalnya dari api, namun pada penciptaan keturunannya dari marij (nyala api)”. (Imam Ar-Raziy, Tafsir Kabir, [Kairo : Dar Al-Hadits,2012] juz 15, hal. 102).

Walhasil, asal mula penciptaan manusia, yaitu Nabi Adam a.s, adalah dari tanah liat yang dibentuk lalu dikeringkan. Meskipun, pada prinsipnya manusia tercipta dari 4 unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara, namun secara garis besar lebih banyak unsur tanahnya, makanya dalam ayat ini hanya disebutkan dari tanah sebagaimana jin juga tercipta dari 4 unsur, namun yang lebih dominan adalah api.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 5 – 9: Tiga Nikmat yang Tampak di Langit dan Bumi

Setelah Allah swt menjelaskan asal mula penciptaan manusia dan jin, Dia menegaskan dan mengingatkan kembali tentang besarnya nikmat yang diberikanNya, lantas bagaimana sikap manusia dan jin, apakah bersyukur atau kufur nikmat? Maka Allah Swt berfirman dengan menyampaikan ayat yang diulang 31 kali dalam satu surat :

فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman: 16)

Seperti pada tulisan sebelumnya, kami menyampaikan bahwa menurut Imam Sya’rawiy, uslub (gaya bahasa) Al-Quran ketika menegaskan sesuatu seringkali dengan menggunakan bentuk istifham (pertanyaan), salah satu contohnya adalah ayat ini. Jadi ayat ini sebenarnya menegaskan agar manusia dan jin mau bersyukur atas semua nikmat yang telah dianugerahkanNya. Wallahu A’lam

Surat Ali ‘Imran [3] Ayat 134: Anjuran Menahan Marah dan Bersabar

0
Menahan Amarah
Menahan Amarah ilustrasi thehopeline.com

Marah merupakan sebuah sifat alami bagi manusia bila merasa terganggu atau tersakiti. Namun, mengendalikan marah adalah sikap yang lebih bijaksana. Seorang yang marah akan menutup ruang berpikir. Hatinya juga akan tertutup dari kebenaran. Orang yang tengah marah tidak akan pernah tenang dan mungkin membuat keputusan yang gegabah. Karena itu, Islam memerintahkan menahan amarah dan bersabar atas berbagai masalah yang dihadapi.

Secara psikologis, seseorang yang melampiaskan amarah biasanya lantaran ia merasa benar. Sebaliknya, apabila ia merasa salah, maka kemungkinan besar ia akan takut. Dalam konteks ajaran Islam, marah karena merasa benar atau takut karena salah tidak dibolehkan. Islam justru berulang kali mengajarkan – melalui Al-Qur’an dan hadis – agar seseorang menahan amarah dan bersabar dalam kondisi apapun. Karena amarah hanya akan menyisakan penyesalan.

Menahan amarah dan bersabar adalah suatu hal yang harus dilakukan seseorang ketika emosinya sedang bergejolak. Sebab jika ia melampiaskan atau tidak mampu menahan amarahnya, maka itu dapat berakibat fatal bagi dirinya ataupun orang di sekitarnya. Amarah yang dilampiaskan atau yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat fatal terhadap kesehatan mental dan juga kesehatan fisik seperti darah tinggi dan gangguan jantung.

Tafsir Surat Ali ‘Imran [3] Ayat 134: Menahan Amarah dan Bersabar Adalah Akhlak Mulia

Ada banyak ayat Al-Qur’an dan redaksi hadis yang menganjurkan umat Islam untuk menahan amarah dan bersabar. Sebab itu dapat berakibat fatal bagi pelaku dan orang sekitar sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Salah ayat Al-Qur’an yang memerintahkan muslim agar menahan amarah dan bersabar adalah surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 yang berbunyi:

الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ فِى السَّرَّۤاءِ وَالضَّرَّۤاءِ وَالْكٰظِمِيْنَ الْغَيْظَ وَالْعَافِيْنَ عَنِ النَّاسِۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَۚ ١٣٤

(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan kelanjutan ayat sebelumnya (133) yang menyebutkan tentang surga seluas langit dan bumi bumi yang Allah swt sediakan bagi orang-orang yang bertakwa. Kemudian pada surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 Allah swt menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dari orang-orang yang bertakwa tersebut, yakni mereka yang senantiasa bersedekah dalam segala kondisi, yang menahan amarah, dan mau memaafkan kesalahan orang lain.

Surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 seakan-akan berkata, “Sungguh Allah telah menyediakan surga yang sangat luas bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya, yakni mereka yang terus-menerus menafkahkan hartanya di jalan Allah baik waktu dia lapang maupun di waktu dia sempit (tidak memiliki kelebihan), mereka yang mampu menahan amarah dan bersabar, juga mereka yang memaafkan kesalahan orang. Itu semua adalah perbuatan kebajikan dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”

Menahan amarah dan bersabar memang bukan perkara mudah. Bahkan orang sekelas nabi Muhammad saw pernah marah. Dalam sebuah riwayat yang diperdebatkan, ketika nabi saw mengetahui gugurnya paman beliau, Hamzah bin Abdul Muthalib, dan melihat kondisi jasadnya yang begitu menyedihkan karena dada Hamzah dibelah dan jantungnya dikunyah oleh Hind, beliau sangat marah pada waktu itu hingga diriwayatkan bahwa nabi saw ingin membalas dendam.

Baca Juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

Namun perasaan amarah nabi tersebut kemudian ditegur oleh Allah swr dalam surat an-Nahl [16] ayat 126, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” Melalui ayat ini Allah ingin mengajarkan utusan-Nya – sebagai manusia dan teladan bagi umat Islam – agar menahan amarah dan bersabar atas segala hal yang dihadapi. Karena menahan amarah dan bersabar jauh lebih baik dari melampiaskan.

Selanjutnya, surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 secara eksplisit menjelaskan tentang tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya ketika menghadapi kesalahan orang lain. Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata al-kāzhimīn mengandung makna “penuh dan menutup dengan rapat” seperti wadah air yang penuh lalu ditutup rapat agar tidak tumpah. Ini mengisyaratkan bahwa seseorang harus menahan amarah agar tidak tumpah sedikitpun.

Kedua, orang yang memaafkan. Kata al-āfīn terambil dari kata al-afn yang sering diterjemahkan sebagai kata maaf. Kata ini juga bermakna menghapus. Jadi, seseorang yang memaafkan orang lain adalah orang yang menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Kalau pada tingkatan pertama yang bersangkutan hanya memaafkan, maka pada tahap ini yang bersangkutan menghapus bekas-bekas luka itu seakan tak pernah ada.

Ketiga, orang yang berbuat kebajikan kepada orang yang menyakitinya. Pada tahap tertinggi ini seseorang tidak hanya menahan amarah dan bersabar atau memaafkan kesalahan orang lain seakan-akan tidak pernah ada, tetapi ia juga berbuat kebaikan secara langsung kepada orang yang pernah melakukan kesalahan kepada dirinya. Allah dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 secara tegas mengatakan bahwa Dia menyukai orang seperti ini, yakni orang yang melakukan kebajikan.

Nabi Muhammad saw adalah orang yang paling sukses mengamalkan ayat di atas. Beliau senantiasa berbuat baik kepada orang lain meskipun orang tersebut berbuat jahat kepada beliau. Salah satu riwayat yang paling terkenal tentang kebaikan nabi adalah kisah beliau dengan seorang pengemis buta yang sering menghina dan menuduh nabi sebagai pendusta. Namun nabi tetap berbuat baik kepadanya dan atas izin Allah pengemis tersebut masuk Islam pasca nabi wafat.

Berdasarkan surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 dan penjelasan-penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa Al-Qur’an mengajarkan umat Islam agar menahan amarah dan bersabar atas berbagai masalah yang dihadapi. Karena amarah yang dilampiaskan atau tidak ditangani dengan baik hanya akan menyisakan penyesalan di kemudian hari. Nabi Muhammad saw dalam kesehariannya juga senantiasa mengajarkan tentang menahan amarah dan bersabar. Oleh karena itu, sebagai hamba yang beriman, kita juga seyogyanya melakukan hal serupa. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Yasin Ayat 15-17: Jawaban Para Utusan Ketika Didustakan

0
Yasin Ayat 15-17
Yasin Ayat 15-17

Tulisan sebelumnya telah membahas tafsir surat Yasin ayat 13-14 tentang cerita para utusan yang didustakan oleh kaumnya. Ketika itu baru dibahas siapa dan bagaimana latar belakang mereka dan kaum tersebut. Sementara tulisan kali ini akan membahas tafsir surat Yasin ayat 15-17 yang menceritakan lebih lanjut bagaimana dialog antara para utusan dengan kaumnya tersebut. Allah Swt berfirman:

قَالُوا مَا أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا وَمَا أَنْزَلَ الرَّحْمَنُ مِنْ شَيْءٍ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا تَكْذِبُونَ () قَالُوا رَبُّنَا يَعْلَمُ إِنَّا إِلَيْكُمْ

        () لَمُرْسَلُونَ () وَمَا عَلَيْنَا إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

  1. Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pengasih tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”.
  2. Mereka berkata: “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu”.
  3. Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas”.

Berdasarkan narasi ayat di atas, Wahbah az-Zuhaili menerangkan bahwa penolakan penduduk Antokiah tersebut disebabkan anggapan mereka bahwa para utusan itu berwujud manusia biasa seperti mereka. Mereka makan, minum, pergi ke pasar dan sebagainya layaknya manusia biasa. Lantas mengapa tiga utusan ini diistimewakan dengan terpilih sebagai utusan Allah Swt dan ajarannya harus diterima?

Baca Juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah

Pola pikir penduduk Antokiah ini mirip dengan pola pikir kaum-kaum terdahulu yang mengingkari dakwah rasul mereka. Ini misalnya tercermin dari ungkapan serupa dalam QS. At-Taghabun: 6 dan QS. Ibrahim: 10. Mereka merasa sombong dan enggan tunduk kepada kebenaran serta hanya menilai seseorang dari segi lahiriyahnya saja, padahal esensi seseorang itu ada pada hatinya.

Predikat nabi dan rasul atau utusan Allah Swt merupakan murni anugerah yang tiada campur tangan manusia di dalamnya. Ketika Allah Swt memuliakan seorang hamba, maka sungguh ia akan menjadi mulia, meski seluruh manusia merendahkan dan menghinanya.

Penyebutan kata ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) oleh penduduk Antokiah menunjukkan kepercayaan mereka pada adanya Allah Swt. Akan tetapi mereka mengingkari risalah dan kerasulan serta lebih memilih menyekutukan Allah Swt dengan berhala-berhala yang mereka anggap sebagai wasilah.

Menurut at-Tabataba’i, diksi ini bisa juga berasal dari Allah, bukan ucapan asli penduduk Antokiah. Menunjukkan bagaimana kasih dan murahnya Allah Swt kepada penduduk Antokiah dengan masih memberi mereka nikmat hidup dan lain sebagainya, meskipun mereka mendustakan kebenaran.

Selanjutnya para utusan itu menjawab tuduhan tersebut dengan meyakinkan kaum Antokiah bahwa mereka benar-benar utusan dari Allah Swt dan bahwa tugas mereka hanyalah menyampaikan peringatan. Pola ungkapan mereka pada ayat ke-16 itu menurut Ibn Asyur merupakan salah satu bentuk sumpah dalam tradisi Arab terdahulu.

Bila diperhatikan, kalimat inna ilaikum lamursalun di ayat ke-16 mirip dengan potongan ayat ke-14 yang berbunyi inna ilaikum mursalun. Perbedaan keduanya terletak pada jumlah huruf taukid (penguat). Pada ayat ke-14 hanya ada satu taukid yaitu inna, sementara pada ayat ke-16 selain inna juga ditambahkan lam taukid. Ini menurut az-Zuhaili bertujuan memberikan penekanan lebih pada ungkapan, sebab munculnya penolakan dan penyangkalan dari lawan bicara, yaitu kaum Antokiah.

Az-Zuhaili juga menilai ungkapan ini mengandung pesan tawakal. Seakan-akan mereka mengatakan, “Allah Swt mengetahui kami sebagai utusannya. Andaikan kami berbohong dengan mengatasnamakannya, maka Ia akan mengazab kami dengan pedih. Sebaliknya, andaikan kami jujur, maka pasti Allah Swt akan menolong dan memenangkan kami atas kalian. Dan kelak kalian akan tahu siapa yang akan memperoleh kesudahan yang baik.”

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 26: Ibrah dari Penciptaan Nyamuk dalam Al-Quran

Terkait ayat terakhir, Quraish Shihab menafsirkan para utusan itu seakan-akan menyatakan bahwa mereka tidak memerlukan keimanan, upah dan imbalan dari kaumnya. Mereka sudah merasa cukup ketika risalah dari Allah Swt telah disampaikan dan Allah Swt telah mengetahui bahwa mereka telah menunaikan tugasnya.

Adapun ‘penyampaian yang jelas’ dalam ayat ke-17 menurut Nawawi al-Bantani adalah bahwa utusan itu menyampaikan risalah dengan cara yang sangat jelas, dengan bahasa yang mudah dipahami kaumnya dan disertai mukjizat sebagai penguat.

Demikian kiranya tafsir surat Yasin ayat 15-17 yang penulis sarikan dari berbagai kitab tafsir populer. Untuk cerita berikutnya tentang para utusan dan kaum Antokiah dapat dibaca pada pembahasan tafsir surat Yasin selanjutnya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

0
Nalar Tauhid Nabi Ibrahim
Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Nabi Ibrahim dikenal sebagai tokoh besar dalam 3 agama besar dunia, yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi. Peradaban dunia menganugerahkan gelar Father of monotheism kepadanya. Atas warisannya menemukan teori–teori keesaan tuhan atau dalam Islam dikenal dengan istilah Tauhid. Menemukan kesadaran Tauhid bukan persoalan mudah, sebab ada kerumitan – kerumitan logika yang harus dimainkan seseorang untuk menuju pada satu kesimpulan alias natijah yang solid dan mampu dipertanggung jawabkan.

Untuk mencapai nalar tauhid yang final, Nabi Ibrahim pun melalui proses yang panjang dan tak mudah. Dalam dunia filsafat, hal ini dikenal sebagai metode berfikir Ilmiah. Dalam menemukan “kepada siapa ia menghamba”, ia melakukan penalaran secara Induktif, hal ini diceritakan dalam Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 76-79 :

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَا أُحِبُّ الْآفِلِينَ

فَلَمَّا رَأَى الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هَذَا رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّالِّينَ

فَلَمَّا رَأَى الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هَذَا رَبِّي هَذَا أَكْبَرُ فَلَمَّا أَفَلَتْ قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ

إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam”

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat”

Baca juga: Kisah Nabi Ibrahim as Yang Tak Hangus Dibakar Api

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan”

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (Q.S Al-An’am 76-79)

Dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa Nabi Ibrahim melakukan eksperimen tauhid melalui 3 benda. Yakni Bintang, Bulan, dan Matahari. Kemudian ia, secara sadar maupun tidak, berfikir melalui nalar induksi, yakni mengumpulkan data–data khusus untuk menemukan sebuah teori yang dapat digeneralisasi. Dalam hal ini Nabi Ibrahim mengumpulkan premis–premis tentang keberadaan sebuah kekuatan supranatural yang ia sebut sebagai Tuhan.

Dalam ayat tersebut Nabi Ibrahim mulai menemukan premis pertamanya, yakni Bintang yang memiliki cahaya yang memancar, menerangi gelapnya malam, maka tentu bintang-lah kekuatan yang ia cari selama ini. An-Nakhjawani dalam Masterpiece-nya Al-Fawatih Al-Ilahiyah wa Al-Mafatih Al-Ghaibiyah menyatakan bahwa pada awalnya, Nabi Ibrahim mengira bahwa bintang menerangi malam dengan cahayanya yang diproduksi secara mandiri, sehingga layak disembah sebagai the biggest one, tapi ketika beliau melihat cahayanya menghilang beliau menyimpulkan melalui kata-katanya “saya tidak suka pada yang tenggelam” bahwa bagaimana mungkin ia menyembah sesuatu kepada sesuatu yang bisa tenggelam dan berubah, sedangkan kedua sifat itu sangat identik dengan sesuatu yang baru/something created bukan pencipta/creator.

Baca juga: Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain

Kemudian ia memperhatikan, ternyata ada yang mengalahkan cahaya bintang, yakni rembulan. Namun ketika cahanya perlahan menghilang, logikanya kembali bicara bahwa tak mungkin Tuhan menghilang, menghilang adalah sifat makhluk yang ‘tercipta’, punya awal dan punya akhir. Dalam penalaran kedua ini, nabi Ibrahim mulai menemukan gelar baru bagi Tuhan, yakni Al-Hadi (Yang memberi petunjuk). Dalam Tafsir Al-Bahr Al-Madid disebutkan bahwasanya nabi Ibrahim mulai menyadari adanya Taufiq atau pertolongan dari Tuhan dalam versi yang ia cita–citakan sebagai petunjuk kepadanya agar tidak salah melakukan penalaran lagi.

Lalu, ia melihat Matahari, keyakinannya bertambah setelah melihat intensitas cahayanya yang jauh berbeda dari Bintang dan bulan, bahkan memiliki volume yang lebih luas, dalam perkataannya “Hadza Rabbi Hadza Akbar” . namun lagi – lagi benda tersebut menghilang dari penglihatannya. Maka Nabi Ibrahim kembali pada kesimpulannya bahwa yang menghilang bukanlah Tuhan.

Dari ketiga premis di atas, yakni Bintang, Bulan, dan Matahari, di ayat 79 Nabi Ibrahim memberikan konklusi, bahwa tentunya Tuhannya lebih hebat dari 3 benda yang telah ia lihat sebelumnya. Konklusi tersebut tersuratkan pada kata – kata Nabi Ibrahim “Inni Wajjahtu Wajhiya”, yang dalam Tafsir Al-Khazin ditafsirkan bahwa yang dimaksud adalah Sharraftu Wajhu ‘Ibadati wa Qasartu Tauhidi, (ku palingkan tujuan ibadahku dan kufokuskan pengesaanku), memberikan penegasan terhadap konsep tuhan yang ia usung, kepada spesifikasi yang cukup general (sebagai hasil dari penalaran induksi dari 3 premis tadi) dengan kata Li Al-Ladzi Fathara As-Samawaat Wa Al-Ard (Dzat yang menciptakan Langit dan Bumi).

Baca juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Tentu, konklusi yang dicetuskan Nabi Ibrahim dengan meng-generalisasi Langit dan Bumi adalah hasil dari analisisnya terhadap premis – premis yang ia kumpulkan setelah melakukan proses logiko-hepotiko-verifikasi dari 3 data yang telah ia peroleh. Bahwa benda langit itu bukan tuhan, Tuhan adalah yang menciptakan 3 benda tersebut. Begitulah Nabi Ibrahim menemukan Konsep Tuhan. Nalar Induksinya yang begitu kuat mengantarkannya pada logika – logika yang seharusnya ia tempuh untuk menemukan Tuhannya untuk kali pertama, yakni Pencipta Langit dan Bumi / Al-Ladzi Fathara As-Samawat Wa Al-Ard. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al A’raf ayat 48-51

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir surat Al A’raf ayat 48-51 berbicara tentang dialog penghuni A’raf dan penghuni neraka dan penyesalan atas apa yang telah mereka lakukan di dunia. Selain itu dalam Tafsir surat Al A’raf ayat 48-51, khususnya dalam ayat 51  membahas tentang orang-orang kafir dan turunnya kitab Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia.

Ayat 48

Ayat ini menerangkan dialog penghuni A‘raf dengan penghuni neraka yang terdiri dari orang-orang yang sombong dan takabur pada masa hidup di dunia. Orang-orang yang merasa mulia karena kekayaan dan hartanya yang banyak, merasa bangga hidup di dunia, memandang hina terhadap orang-orang mukmin yang miskin dan lemah, yaitu lemah kekuatan dan lemah kedudukan, dan sedikit pengikutnya. Mereka selalu membanggakan, bahwa siapa yang hidup kaya dan mulia, serta berkuasa di dunia, itulah orang-orang yang akan berbahagia di akhirat dan terhindar dari azab Allah. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

وَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْ قَرْيَةٍ مِّنْ نَّذِيْرٍ اِلَّا قَالَ مُتْرَفُوْهَآ  ۙاِنَّا بِمَآ اُرْسِلْتُمْ بِهٖ كٰفِرُوْنَ   ٣٤  وَقَالُوْا نَحْنُ اَكْثَرُ اَمْوَالًا وَّاَوْلَادًاۙ وَّمَا نَحْنُ بِمُعَذَّبِيْنَ   ٣٥  

Dan setiap Kami mengutus seorang pemberi peringatan kepada suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) berkata, “Kami benar-benar mengingkari apa yang kamu sampaikan sebagai utusan.” Dan mereka berkata, “Kami memiliki lebih banyak harta dan anak-anak (dari pada kamu) dan kami tidak akan diazab.” (Saba/34: 34-35)

Penghuni A‘raf mengenali mereka dengan tanda-tanda yang ada pada mereka, seperti yang bermuka hitam dan berdebu serta tanda-tanda yang dapat dikenal semasa hidup di dunia, seperti pemimpin Quraisy dan golongan-golongannya yang menjadi musuh Islam, dan selalu menindas dan menganiaya orang-orang Islam, di antaranya Abu Jahal, Walid bin Mugirah, A¡ bin Wail dan lain-lain.

Penghuni A‘raf mengatakan kepada mereka, “Tidakkah dapat menolongmu dari siksaan api neraka harta kekayaanmu yang banyak, kesombonganmu terhadap orang-orang mukmin yang kamu anggap lemah. Tidak adakah faedah dan pahala yang kamu harapkan, sehingga kamu terlepas dari siksa yang pedih.”


Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 49

Ayat ini menerangkan kelanjutan pembicaraan penghuni A‘raf dengan mereka yang tersebut di atas. Ketika pembicaraan ditujukan kepada golongan orang mukmin yang mereka anggap lemah, miskin dan hina dan yang pernah mereka siksa dulu seperti Shuaib, Bilal dan Keluarga Yasir.

Lalu diajukan pertanyaan kepada mereka dengan nada mencela dan menghina, “Inikah orang-orang yang kamu katakan dulu, bahwa mereka tidak akan mendapat rahmat dari Allah, sampai kamu berani bersumpah dan berlagak sombong sambil menghina mereka? Bagaimana kenyataannya sekarang, merekalah yang beruntung dan mendapat rahmat dari Allah, sedang kamu meringkuk dalam neraka menerima segala macam azab dan siksaan Allah.

Kemudian sesudah percakapan itu, Allah mempersilahkan penghuni A‘raf masuk ke dalam surga, sesudah tertahan sementara di tempat yang bernama A‘raf itu. Allah mempersilahkan, “Masuklah ke dalam surga, kamu tidak usah merasa takut dan sedih di dalamnya. Begitulah keadaan orang-orang yang durhaka dan sombong semasa hidup di dunia, mereka di akhirat akan dihina dan dicela bukan saja oleh penghuni surga, tetapi juga oleh penghuni A‘raf yang menunggu keputusan dari Allah untuk masuk ke dalam surga.

Ayat 50

Ayat ini menerangkan, bahwa penghuni neraka meminta tolong kepada penghuni surga agar diberikan sedikit air atau makanan kepada mereka sebagai rezeki dan pemberian Allah kepada penghuni surga. Penghuni neraka sudah sangat haus dan lapar, karena panasnya api neraka.

Maka  dengan tidak malu-malu mereka minta tolong kepada penghuni surga agar diberi air dan makanan, sebenarnya mereka sudah tahu, bahwa permintaan mereka tidak akan berhasil, bahkan hanya untuk menambah siksaan saja kepada mereka. Maka permintaan mereka mendapat jawaban yang cukup menyedihkan perasaan mereka, menambah haus dan lapar mereka.

Penghuni surga menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan air dan makanan bagi orang-orang kafir, sebagaimana Allah mengharamkan mereka masuk surga dan menambah pedih siksaan neraka bagi mereka. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas:

يُنَادِى الرَّجُلُ أَخَاهُ فَيَقُوْلُ يَا أَخِي أَغِثْنِيْ فَإِنِّيْ قَدِ احْتَرَقْتُ فَأَفِضْ عَلَيَّ مِنَ الْمَاءِ. فَيُقَالُ: أَجِبْهُ، فَيَقُوْلُ: إِنَّ الله َحَرَّمَهُمَا عَلَى الْكَافِرِيْنَ

(رواه ابن جرير عن ابن عبّاس)

“Bahwa seorang penghuni neraka memanggil kawannya,”Wahai saudaraku, tolonglah aku, sesungguhnya aku telah terbakar, maka berikanlah sedikit air kepadaku. Maka dikatakanlah kepada saudaranya (yang diminta pertolongan) itu. Jawablah permintaan itu. Maka saudaranya membacakan ayat ini, “Sesungguhnya Allah telah mengharamkan keduanya bagi orang-orang kafir.” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu ‘Abbas)

Ayat 51

Ayat ini menerangkan, siapakah orang kafir yang telah diharamkan Allah minum dan makan makanan yang diberikan kepada penghuni surga. Mereka itulah orang-orang yang semasa hidup di dunia, mengaku beragama tapi hanya sekadar berolok-olok dan bermain-main saja. Mereka tidak beragama dengan maksud untuk mensucikan jiwanya dan untuk mendapatkan pahala di sisi Allah di akhirat nanti. Mereka beragama hanya sekadar nama saja, tetapi amal perbuatan mereka bertentangan dengan ajaran agama. Malahan kadang-kadang mereka menjadi penghalang berlakunya ajaran agama dalam masyarakat.

Mereka sudah tenggelam dalam buaian kenikmatan hidup di dunia.  Mereka hanya mengikuti hawa nafsu, bersenang-senang dan bergembira dengan tidak memperdulikan halal haram, yang hak dan yang batil. Mereka tidak seperti orang-orang beriman, menjadikan dunia ibarat kebun untuk dapat ditanami dengan kebaikan-kebaikan yang hasilnya dapat dipetik nanti di akhirat.

Karena sudah terbenam dalam gelombang keduniawian, dibuai dan diayun oleh kesenangan sementara, sedang kesenangan yang selama-lamanya mereka lupakan. Pantas kalau pada hari Kiamat Allah melupakan mereka, tidak menolong mereka, karena semasa hidup di dunia mereka lupa kepada Allah, seolah-olah mereka tidak akan pulang ke kampung yang abadi.

Maka pada hari Kiamat Allah membiarkan mereka dalam api neraka yang menyala-nyala, karena mereka tidak mau berbuat amal saleh semasa hidup di dunia, tidak percaya akan hari akhirat dan mereka selalu membantah dan mendustakan ayat-ayat Allah yang disampaikan oleh Rasul-rasul-Nya bahkan mereka menentang Rasul-rasul Allah itu.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Quraisy Ayat 1-4

0
tafsir surat al quraisy
Tafsiralquran.id

Pada pembahasan surat sebelumnya berbicara mengenai sejarah terjadinya penyerangan yang gagal untuk menghancurkan Ka’bah oleh tentara bergajah, Tafsir Surah Al Quraisy Ayat 1-4 berbicara mengenai keamanan yang dirasakan oleh orang-orang Quraisy ketika sedang berniaga.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Fil Ayat 1-5

Kegiatan berniaga yang dijelaskan dalam Tafsir Surah Al Quraisy Ayat 1-4 ini dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Ketika musim dingin mereka pergi ke Yaman untuk membeli rempah. Sedangkan ketika musim panas mereka pergi ke Syam untuk membeli hasil pertanian.

Dalam Tafsir Surah Al Quraisy Ayat 1-4 ini dijelaskan pula keadaan mereka ketika sedang melakukan pernjalanan tersebut. Mereka dengan aman tanpa rasa khawatir ada perampokan karena seluruh Badui menghormati. Suku Quraisy ini lazim disebut jiran, yaitu orang  berkhidmad kepada Ka’bah. Rasa aman tersebut tentunya tidak terlepas dari rahmat Allah swt kepada mereka berkat pengabdian mereka.

Ayat 1-2

Dalam ayat-ayat berikut ini, Allah menerangkan profesi suku Quraisy sebagai kaum pedagang di negara yang tandus dan mempunyai dua jurusan perdagangan.

Pada musim dingin ke arah Yaman untuk membeli rempah-rempah yang datang dari Timur Jauh melalui Teluk Persia dan yang kedua ke arah Syam pada musim panas untuk membeli hasil pertanian yang akan dibawa pulang ke negeri mereka yang tandus lagi kering itu.

Orang-orang penghuni padang pasir (Badui) menghormati suku Quraisy karena mereka dipandang sebagai jiran (tetangga) Baitullah, penduduk tanah suci dan berkhidmat untuk memelihara Ka’bah, dan penjaga-penjaga Ka’bah. Oleh karena itu, suku Quraisy berada dalam aman dan sentosa, baik ketika mereka pergi maupun ketika mereka pulang walaupun banyak terjadi perampokan dalam perjalanan.

Karena rasa hormat kepada Baitullah itu merupakan suatu kekuatan jiwa dan berwibawa untuk memelihara keselamatan mereka dalam misi-misi perdagangannya ke utara atau ke selatan; sehingga timbullah suatu kebiasaan dan kegemaran untuk berniaga yang menghasilkan banyak rezeki.

Rasa hormat terhadap Baitullah yang memenuhi jiwa orang Arab itu adalah kehendak Allah semata, lebih-lebih lagi ketika mereka melihat bagaimana Allah menghancurkan tentara gajah yang ingin meruntuhkan Ka’bah, sebelum mereka sampai mendekatinya.

Sekiranya penghormatan terhadap Baitullah kurang mempengaruhi jiwa orang-orang Arab atau tidak ada sama sekali pengaruhnya niscaya orang-orang Quraisy tentu tidak mau mengadakan perjalanan-perjalanan perdagangan tersebut. Maka dengan demikian akan berkuranglah sumber-sumber rezeki mereka sebab negeri mereka bukanlah tanah yang subur.

Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme Dalam Al-Qur’an, Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

Ayat 3

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang-orang Quraisy agar mereka menyembah Tuhan Pemilik Ka’bah yang telah menyelamatkan mereka dari serangan orang Ethiopia yang bergabung dalam tentara gajah. Seyogyanya mereka hanya menyembah Allah dan mengagungkan-Nya.

Ayat 4

Kemudian Allah menjelaskan sifat Tuhan Pemilik Ka’bah yang disuruh untuk disembah itu, yaitu Tuhan yang membuka pintu rezeki yang luas bagi mereka dan memudahkan jalan untuk mencari rezeki itu. Jika tidak demikian, tentu mereka berada dalam kesempitan dan kesengsaraan.

Dia mengamankan jalan yang mereka tempuh dalam rangka mereka mencari rezeki, serta menjadikan orang-orang yang mereka jumpai dalam perjalanan senang dengan mereka. Mereka tidak menemui kesulitan. Kalau tidak, tentu mereka selalu berada dalam ketakutan yang mengakibatkan hidup sengsara.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Ma’un ayat 1-7

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Sebagai umat Islam, percaya adanya azab Allah adalah bentuk keimanan kepada Allah. Dan jika azab itu datang, maka kita sebagai hamba Allah tidak akan mampu menghindari azab tersebut. Namun, ada beberapa orang-orang yang justru menantang azab Allah dan tidak percaya adanya hari akhir. Berikut surat al-Mulk ayat 25-27 yang akan menjelaskan tentang kondisi orang- orang kafir yang ingkar terhadap ancaman Allah pada hari akhir.

وَيَقُولُونَ مَتَى هَذَا الْوَعْدُ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (25) قُلْ إِنَّمَا الْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَإِنَّمَا أَنَا نَذِيرٌ مُبِينٌ (26) فَلَمَّا رَأَوْهُ زُلْفَةً سِيئَتْ وُجُوهُ الَّذِينَ كَفَرُوا وَقِيلَ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَدَّعُونَ (27

Dan mereka berkata, “Kapan (datangnya) ancaman itu jika kamu orang yang benar?”

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya ilmu (tentang hari kiamat itu) hanya ada pada Allah. Dan aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.”

Maka ketika mereka melihat azab (pada hari kiamat) sudah dekat, wajah orang-orang kafir itu menjadi muram. Dan dikatakan (kepada mereka), “Inilah (azab) yang dahulu kamu memintanya.”

Tafsir surat al-mulk ayat 25-27 memiliki penjelasan tentang balasan orang yang ingkar pada hari kiamat. Mengutip dari kitab Tafsir al-Quran al- Adzim karya Ibnu Katsir, di situ dijelaskan ketika hari kiamat terjadi dan orang-orang kafir menyaksikannya, serta mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa hari kiamat sudah dekat di depan matanya. Dalam ayat ini diungkapkan dengan istilah dekat karena setiap perkara yang pasti terjadi dapat diungkapkan dengan ungkapan kepastian, sekalipun jarak masanya cukup lama.

Dan ketika orang-orang kafir mendustkan hari akhir, bermuramlah muka mereka karena mereka mengetahui keburukan yang telah mereka kerjakan di masa sebelumnya. Yakni di saat keburukan meliputi diri mereka, maka datanglah hari kiamat menimpa mereka yang sebelumnya mereka tidak menyadari dan memperhitungkannya atas apa yang mereka perbuat.

Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme Dalam Al-Qur’an, Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22

Penafsiran Ayat dalam Pandangan Lingustik

Al-Durrah, penulis kitab Tafsir al-Quran Karim yang berusaha menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat al-quran dengan pendekatan linguistik Arab (manhaj lughawi). Ia berusaha menulis makna ayat 27 surat al-mulk. Pada ayat tersebut, dia tidak memandang adanya iltifat dalam ayat ini.

Iltifat merupakan menyajikan penafsirannya yang mengandung unsur balaghah khususnya iltifat, ia menggunakan ungkapan yang jelas dan tidak menggunakan bahasa yang tersirat melalui contoh ataupun pentaqdiran. Iltifat juga memberi penyegaran kepada pendengar  serta menghindari kebosanan dan kejenuhan dalam benak pendengar akibat gaya bahasa yang monoton. Berbeda dengan mufassir yang lain, yang adakalanya mengungkapkan suatu keadaan lafadz dengan melalui cara menguraikan contoh, ataupun menampilkan kalimat asalnya yang seharusnya digunakan.

Pada penjelasan al-Durrah tertulis, hu yang menjadi maf’ul, menurutnya damir tersebut kembali pada ‘adhab (siksa), mayoritas mufassir menyebut siksa di perang badar. Kemudian Hasan Tabal menyebutkan bahwa ayat tersebut adalah peralihan dari idmar ke izhar.

Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 20-24: Perlindungan dan Rezeki Hanya Bersumber dari Allah

Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah

Jalaluddin al-Mahalli dan al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain menafsirkan kata ra’auhu  yang ada pada ayat 27 surat al-mulk dengan ba’dal hasyr (setelah dihimpun). Artinya azab itu akan diperlihatkan kepada mereka orang-orang kafir ketika mereka telah dikumpulkan dalam satu kesatuan.

Sementara kata wujuh diartikan iswaddat (menjadi hitam muram). Sedangkan kata wa qiila merujuk pada perkataan malaikat penjaga neraka. Maka haadzalladzi kuntum bihi tadda’un merupakan azab yang dahulu diminta di mana mereka selalu menganggapnya lelucon belaka dan menduga tidak akan dibangkitkan oleh-Nya.

Artinya ialah pada saat hari akhir, Allah akan memberikan azab kepada mereka takni orangorang kafir yang dahulu ketika masih hidup di dunia, menganggap bahwa hari kiamat hanya lelucon belaka. Maka, ketika Allah menatangkan azabnya, wajah mereka begitu muram. Hal ini serupa dengan pennjelasan Ibnu Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir menafsirkan ayat ini ke dalam beberapa penggalan redaksi. Kata lamma termasuk harf tauqit (huruf waktu). Maksudnya adalah wajah mereka berubah menjadi muram gelap ketika janji itu ditampakkan azab.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 12-14: Allah Maha Mengetahui Sesuatu, Sekalipun Isi Hati Manusia

Selanjutnya pada akhir ayat 27 ada lafad tadda’un  ini menunjukkan doa. Dalam konteks ini, mereka meminta disegerakan azabnya secara tidak langsung merupakan bentuk doa. Berdoa kepada Allah swt supaya mereka diejek, dicemooh dan dikeraskan hatinya.

Kemudian pada Tafsir al-Misbah  karya Quraish Shihab ketika mereka menyaksikan janji itu dekat dari mereka, muka orang-orang kafir itu dipenuhi kesedihan dan kehinaan. Dengan nada mengejek dan menyakiti, dikatakan kepada mereka, “Inilah permintaan kalian yang disegerakan.” Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al A’raf ayat 46-47

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Tafsir surat Al A’raf ayat 46-47 ini menjelaskan tentang batas bagi penghuni neraka dan surga. Batas tersebut berupa tembok yang sangat kokoh dan juga tinggi. Selain itu dalam tafsir surat Al A’raf ayat 46-47 ini, khususnya di ayat 47 menyinggung orang-orang yang melihat ke neraka akan timbul rasa takut di dadanya.


Baca Juga: Mengenal Kuliner Neraka dalam Al-Quran, dari Buah Zaqqum hingga Shadid


Ayat 46

Ayat ini menerangkan bahwa antara penghuni surga dan penghuni neraka ada batas yang sangat kokoh. Batas itu berupa pagar tembok yang tidak memungkinkan masing-masing mereka untuk keluar dan untuk berpindah tempat. Di atas pagar tembok itu ada suatu tempat yang tertinggi, tempat orang-orang yang belum dimasukkan ke dalam surga. Mereka bertahan di sana menunggu keputusan dari Allah. Dari tempat yang tinggi itu mereka bisa melihat penghuni surga dan melihat penghuni neraka. Kedua penghuni itu kenal dengan tanda yang ada pada mereka masing-masing. Seperti mengenal mukanya yang telah disifatkan Allah dalam Al-Qur′an. Firman Allah:

وُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ مُّسْفِرَةٌۙ  ٣٨  ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۚ  ٣٩  وَوُجُوْهٌ يَّوْمَىِٕذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌۙ  ٤٠  تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ ۗ  ٤١  اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ ࣖ  ٤٢ 

Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka. (‘Abasa/80: 38-42)

Mereka yang tinggal di tempat yang tinggi di atas pagar batas itu mempunyai kebaikan yang seimbang dengan kejahatannya, belum bisa dimasukkan ke dalam surga, tetapi tidak menjadi penghuni neraka. Mereka untuk sementara ditempatkan di sana, sambil menunggu rahmat dan karunia Allah untuk dapat masuk ke dalam surga.

Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ud, bahwa Rasulullah bersabda:

تُوْضَعُ الْمَوَازِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَتُوْزَنُ الْحَسَنَاتُ وَالسَّيِّئَاتُ فَمَنْ رَجَحَتْ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ رَجَحَتْ سَيِّئَاتُهُ عَلَى حَسَنَاتِهِ مِثْقَالَ حَبَّةٍ دَخَلَ النَّارَ. قِيْلَ وَمَنِ اسْتَوَتْ حَسَنَاتُهُ وَسَيِّئَاتُهُ، قَالَ: أُوْلٰئِكَ أَصْحَابُ اْلأَعْرَافِ لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ (رواه ابن جرير عن ابن مسعود

“Diletakkan timbangan pada hari Kiamat lalu ditimbanglah semua kebaikan dan kejahatan. Maka orang-orang yang lebih berat timbangan kebaikannya dari pada timbangan kejahatannya meskipun sebesar biji sawi/atom dia akan masuk surga”. Dan orang yang lebih berat timbangan kejahatannya dari pada timbangan kebaikannya meskipun sebesar biji sawi/atom, ia akan masuk neraka. Dikatakan kepada Rasulullah, bagaimana orang yang sama timbangan kebaikannya dengan timbangan kejahatannya? Rasulullah menjawab: mereka itulah penghuni A‘raf, mereka itu belum memasuki surga tetapi mereka sangat ingin memasukinya.” (Riwayat Ibnu Jarir dari Ibnu Mas‘ud)

Sesudah itu Ibnu Mas‘ud berkata, “sesungguhnya timbangan itu bisa berat dan bisa ringan oleh sebuah biji yang kecil saja. Siapa yang timbangan kebaikan dan kejahatannya sama-sama berat, mereka penghuni A‘raf, mereka berdiri menunggu di atas jembatan.

Kemudian mereka dipalingkan melihat penghuni surga dan neraka. Apabila mereka melihat penghuni surga, mereka mengucapkan: “Keselamatan dan kesejahteraaan bagimu. Apabila pandangan mereka dipalingkan ke kiri, mereka melihat penghuni neraka, seraya berkata, “Ya Tuhan kami janganlah Engkau tempatkan kami bersama dengan orang-orang zalim”. Mereka sama-sama berlindung diri kepada Allah dari tempat mereka.

Ibnu Mas‘ud berkata, “Orang yang mempunyai kebaikan, mereka diberi cahaya yang menerangi bagian depan dan kanan mereka. Tiap-tiap orang dan tiap-tiap umat diberi cahaya setibanya mereka di atas jembatan, Allah padamkan cahaya orang-orang munafik laki-laki dan munafik perempuan. Tatkala penghuni surga melihat apa yang di hadapan orang-orang munafik, mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah cahaya kami.” Adapun penghuni A’raf, cahaya mereka ada di tangan mereka, tidak akan tanggal. Pada waktu itu Allah berfirman :

لَمْ يَدْخُلُوْهَا وَهُمْ يَطْمَعُوْنَ

Mereka belum dapat masuk, tetapi mereka ingin segera (masuk). (al-A‘raf/7: 46);Yang dimaksud dalam ayat ini, bahwa penghuni A‘raf itu menyeru penghuni surga, mengucapkan selamat sejahtera, karena kerinduan mereka atas nikmat yang telah diberikan Allah kepada penghuni surga. Mereka belum juga dapat masuk ke dalamnya, sedang hati mereka sudah sangat rindu untuk masuk.

Ayat 47

Ayat ini menerangkan, bila penghuni A‘raf ini mengalihkan pandangannya ke arah penghuni neraka, timbullah ketakutan mereka, lalu memohon kepada Allah agar mereka jangan dimasukkan bersama orang-orang yang zalim itu ke dalam neraka. Sedangkan melihat penghuni surga adalah kesenangan dan kesukaan mereka. Karena itu ketika mereka melihat surga mengucapkan salam sejahtera, karena kerinduan hati mereka melihat kesenangan yang ada di dalamnya. Jadi maksud ayat ini adalah menumbuhkan rasa takut dan gentar kepada penghuni A‘raf itu, agar dapat dijadikan pelajaran bagi manusia untuk berhati-hati agar jangan mengerjakan pekerjaan yang dapat mendatangkan dosa.

Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

0
Toshihiko Izutsu
Toshihiko Izutsu

Sampai saat ini, kajian terhadap Al-Quran masih tetap eksis dan  terus berkembang. Kehadiran Al-Quran dalam kajian ilmu pengetahuan tidak hanya menjadi objek penelitian sarjana muslim (insider) saja, tetapi juga menarik minat para sarjana non-muslim (outsider). Beragamnya subjek dan latar belakang peneliti tersebut melahirkan berbagai metode dan sudut pandang terhadap Al-Quran. Salah satu sarjana non-muslim yang ikut berkontribusi dalam perkembangan kajian Al-Quran adalah Toshihiko Izutsu.

Biografi Intelektual Toshihiko Izutsu

Pengkaji Al-Quran kontemporer yang bernama Toshihiko Izutsu ini lahir pada 4 Mei 1914, di Tokyo, Jepang. Izutsu berasal dari lingkungan keluarga pengamal ajaran Zen Buddhisme. Pengalamannya dalam praktik ajaran Zen tersebut di kemudian hari menjadi salah satu faktor yang memengaruhi cara berpikir Izutsu terhadap filsafat dan mistisisme. Sehingga bisa dikatakan bahwa latar belakang keluarganya tersebut turut serta membentuk kerangka berpikir Toshihiko Izutsu.

Baca Juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Toshihiko Izutsu memulai jenjang pendidikan tingginya di Keio University, Tokyo. Pada awalnya, Ia mengambil spesialisasi di bidang ekonomi. Namun, tak lama kemudian ia harus pindah jurusan ke bidang English Literature. Perpindahan tersebut terjadi karena ia ingin diajar oleh Profesor Junzaburo Nishiwaki. Pada tahun 1937, Setelah lulus sarjana, Izutsu mulai aktif mengabdi sebagai asisten research, dan pada tahun-tahun berikutnya ia menjadi dosen di kampus tersebut.

Pada tahun 1954, berkat kecerdasan intelektual yang dimiliki Izutsu, ia memperoleh gelar Profesor Madya dari Keio University. Sebagai seorang intelektual kelas dunia, Toshihiko Izutsu menguasai lebih dari tiga puluh bahasa asing, mulai dari bahasa Arab, Inggris, Rusia, Yunani, Persia, Sansekerta dan banyak bahasa lainya.

Dalam kaitanya dengan studi Islam, Ismail Albayrak dalam tulisanya yang berjudul The Reception of Toshihiko Izutsu’s Qur’anic Studies in the Muslim World: With Special Reference to Turkish Qur’anic Scholarship, menjelaskan bahwa ketertarikanya terhadap Islam dimulai ketika ia masih di bangku sekolah menengah atas. Pada saat itu, ia sering mengunjungi masjid dan Turkish Islamic Centre di Tokyo. Sehinga mengakibatkan ia tertarik untuk belajar bahasa Arab dan Turki.

Salah satu mentor utama Izutsu dalam belajar studi Islam adalah seorang sarjana muslim reformis yang bernama Musa Carullah Bigiyef. Bersama dengan mentornya tersebut, Izutsu mempelajari al-Kitab karangan Imam Syibawaih, Shahih Muslim, dan beberapa teks Arab klasik beserta syair-syair jahiliyah. Berkat kemampuannya terhadap bahasa Arab tersebut, menjadikan ia sebagai dekan fakultas Arabic Studies di Keio University. Selain itu, ia juga berhasil menerjemahkan Al-Quran dari bahasa Arab ke bahasa Jepang pada tahun 1958.

Pada tahun 1959-1961, Toshihiko Izutsu menetap di Mesir dan Lebanon. Selama di tempat tersebut, Izutsu bertemu dengan banyak sarjana muslim, mulai dari Rasyid Ridha, Ibrahim Madkhur, Ahmad Fu’ad Akhwani dan Muhammad Kamil Husain. Kemudian, pada tahun 1962-1968, Toshihiko Izutsu diminta oleh Wilfred Cantwell Smith selaku direktur kajian Islam di Universitas McGill Montreal Canada, agar berkenan menjadi profesor tamu di kampus tersebut.

Baca Juga: Studi Al-Quran di Barat, Antara Iman dan Objektifitas Akademik

Setelah mengajar di McGill, Izutsu beralih menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy Teheran, dengan dua durasi waktu mengajar yang sama yaitu dua tahun (1975-1979). Perpindahan dari Amerika ke Iran tersebut dilakukan atas undangan dan permintaan dari kolega Izutsu yaitu Sayyed Hosein Nasr. Selama di Iran tersebut, Izutsu juga menemui beberapa intelektual kelas dunia, seperti Henry Corbin, James Morris, Mohammed Arkoun, dan Sayyid Jalaluddin Ashtiyani.

Selain aktif menjadi pengajar di beberapa kampus dunia, Toshihiko Izutsu juga aktif di beberapa lembaga kajian ilmiah, seperti Nihon Gakushiin atau The Japan Academy (1983), Institut International de Philosophy (Paris, 1971), Academy of Arabic Language (Mesir, 1960), Eranos Lecturer on Oriental Philosophy (Switzerland, 1967-1982).

Toshihiko Izutsu meninggal pada 7 Januari 1994 di Kamakura, Jepang. Ia meninggal ketika usianya telah mencapai 79 tahun. Selama hidupnya, Izutsu telah banyak memberikan kontribusi ilmiah dalam perkembangan keilmuan di Barat maupun Timur. Kontribusi tersebut dapat dilihat dari banyaknya karya tulisan yang dihasilkan oleh Izutsu yang meliputi berbagai cabang keilmuan.

Baca Juga: Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an

Karya-karya Tulis Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu dikenal dengan penulis dan peneliti yang sangat produktif. Hal ini dikarenakan bidang penelitian Izutsu yang memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi filsafat Yunani kuno, filsafat Barat, filsafat Yahudi, filsafat India, filsafat Zen, pemikiran Konfusianisme, Taoisme, dan mistisime Islam Arab-Persia. Oleh karena itu, tidak heran jika ia menghasilkan banyak karya tulisan, baik buku maupun artikel ilmiah.

Aksin Wijaya dalam karyanya Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan, menyebut Toshihiko Izutsu sebagai seorang pemikir keislaman kontemporer yang konsisten menggunakan analisis linguistik struktural terhadap Al-Quran. Beberapa karya tulisan Izutsu tentang qur’anic studies antara lain adalah:

  1. Ethical Theory of Zamakhsyari (1940)
  2. Revelation and Reason in Islam (1944)
  3. Revelation as a Linguistic Concept in Islam (1954)
  4. Muhammad and the Koran (1957)
  5. Koran and the Arabians Nights (1958)
  6. God and Man in the Koran: Semantics of the Koranis Weltanschauung (1964)
  7. The Concept Belief in Islamic Philosophy: A Semantic Analysis of Iman and Islam (1966)
  8. Ethico-religious Concept in the Qur’an (1966)
  9. The Structure of the Ethical Terms in the Koran (1972)
  10. Reading the Qur’an (1983)

Beberapa karya tersebut sering sekali dijadikan sumber referensi oleh kebanyakan intelektual muslim, khususnya dalam bidang semantik Al-Quran dan pengembangannya. Wallahu A’lam