Beranda blog Halaman 438

Tafsir Surat Maryam Ayat 33 Mengenai Hukum Ucapan Selamat Natal

0
Ucapan Selamat Natal
Surat Maryam Ayat 33 Hukum Ucapan Selamat Natal

Di Indonesia – terutama saat menjelang akhir tahun di bulan Desember – perbincangan mengenai hukum ucapan selamat natal selalu ramai. Ada banyak tulisan dan video yang berseliweran di media sosial mengenai bagaimana hukumnya seorang Muslim mengucapkan selamat natal kepada umat Kristiani, konsekuensinya, dan sebagainya.

Diskusi-diskusi tersebut – jika kita klasifikasikan – setidaknya terbagi kepada dua kelompok utama: yang melarang ucapan selamat natal dan yang membolehkan. Kelompok pertama berasumsi bahwa muslim yang mengucapkan selamat natal menyerupai kaum Kristiani. Tidak hanya itu, sebagian pihak bahkan mengkafirkan muslim yang mengucapkan hal tersebut.

Sebaliknya, kelompok kedua menyatakan bahwa seorang muslim tidak masalah (boleh) memberikan ucapan selamat natal dan sejenisnya kepada Umat Kristiani selama hal itu tidak mengganggu keyakinannya. Mereka juga berpendapat bahwa mengucapkan selamat natal tidak sama dengan mempercayai atau meyakini keyakinan umat Kristen yang dianggap keliru oleh umat Islam.

Diskursus mengenai hukum ucapan selamat natal ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama di kalangan ulama. Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya seperti Syeikh Ibn Baaz, Syeikh Ibnu Utsaimin berpendapat bahwa mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya adalah haram karena perayaan ini adalah bagian dari syiar-syiar agama mereka.

Pandangan tersebut kemudian dibantah oleh ulama kontemporer yang membolehkan mengucapkan selamat natal. Misalnya, Yusuf Qardhawi menjelaskan bahwa tidak ada hal yang mencegah untuk mengucapkan selamat pada perayaan non-muslim akan tetapi jangan ikut memperingati ritual agama mereka. Kita boleh hidup bersama mereka (non-muslim) dengan melakukan sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariah Allah.

Pendapat yang sama diutarakan oleh Wahbah al-Zuhaili. Beliau berkata, “Tidak ada halangan bagi umat Islam dalam bersopan-santun (mujamalah) dengan orang Nasrani menurut pendapat sebagian ahli fikih berkenaan hari raya mereka asalkan tidak bermaksud sebagai pengakuan atas (kebenaran) ideologi mereka.” Dalam konteks ini, berarti ucapan selamat natal tidak dilarang.

Penafsiran Prof. Quraish Shihab Terhadap Surat Maryam [19] Ayat 33

Salah satu mufasir kontemporer ternama asal Indonesia, Prof. Quraish Shihab, pernah menyatakan bahwa seorang muslim tidak dilarang memberikan ucapan selamat natal. Ia menegaskan bahwa di dalam Al-Qur’an juga ada ucapan selamat natal atas kelahiran nabi Isa as yang diucapkan oleh beliau sendiri pada surat Maryam [19] ayat 33 yang berbunyi:

وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا ٣٣

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam [19] ayat 33).

Pada sebuah wawancara eksklusif dalam Youtube GuzZ TV berjudul “Hukum Mengucapkan Selamat Natal menurut Prof. Quraish Shihab”, Quraish Shihab menerangkan bahwa surat Maryam [19] ayat 33 adalah dalil Al-Qur’an yang menunjukkan kebolehan mengucapkan selamat natal dengan catatan asal ucapan tersebut tidak dibarengi dengan keyakinan yang dapat merusak akidah seorang muslim.

Beliau berkata, “bahkan kalau saya ingin berkata ‘selamat natal’ itu di Al-Qur’an ada ‘selamat natal’. Yang pertama mengucapkannya adalah nabi Isa as, dalam Al-Quran dijelaskan bahwa saat lahir dia mengatakan ‘salam sejahtera bagiku pada kelahiranku’ (QS Maryam 19:23). Itu kan ucapan selamat natal.” Quraish menambahkan, ucapan itu boleh saja dilontarkan, asal umat muslim mempercayai Isa as sebagai rasul, bukan anak Allah swt.

Dalam video tersebut, Quraish Shihab menyebut bahwa fenomena perdebatan ucapan selamat natal hanya terjadi di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Sebab selama berada di Mesir, ia seringkali menemukan di dalam koran dan media massa bahwa ulama-ulama Al-Azhar kerap berkunjung kepada pimpinan umat Kristiani dan memberikan ucapan selamat natal bagi mereka.

Lebih jauh, Quraish Shihab juga menerangkan tentang perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah suatu hal yang lumrah dan itu merupakan rahmat dari Allah swt. “Allah mau kita berbeda, tapi dia tidak mau kita bertengkar. Kalau Allah mau kita sama, Quran tidak bisa mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Semua bisa benar, semua bisa salah,” ujarnya.

Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari karena Allah swt telah menciptakan manusia sedemikian rupa. Karena itu, perbedaan semestinya tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan selama itu tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, yakni rukun iman serta rukun Islam. Kita (manusia) boleh dan sah-sah saja untuk berkelompok-kelompok, hanya saja jangan berkelahi dan berselisih.

Pada bagian akhir video itu, Quraish Shihab turut menjelaskan akar masalah yang menyebabkan gejolak dalam perbedaan pendapat di Indonesia, yakni masyarakat kita (Indonesia) belum memahami agamanya dengan baik, begitu pula ulamanya yang belum mampu menyampaikan ajaran agama dengan baik. Akibatnya, perbedaan pendapat tidak dipahami sebagai ragam kebenaran dan sebagian orang cenderung menyalahkan pendapat berbeda dari orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ucapan selamat natal bagi Quraish Shihab tidak dilarang dan diperbolehkan selama seseorang meyakini bahwa Isa adalah rasulullah, bukan anak Tuhan. Hal senada juga diutarakan oleh ulama kontemporer seperti Yusuf Qardhawi dan Wahbah al-Zuhaili. Terlepas dari perbedaan pendapat yang ada mengenai masalah tersebut, kita tidak boleh saling bertikai dan bertengkar antara sesama manusia. Wallahu a’lam.

Sumbu Kesalahpahaman dalam Ilmu Qiraah

0
Kesalahpahaman dalam ilmu qiraah
Kesalahpahaman dalam ilmu qiraah

Salah satu instrumen dalam pewahyuwan Al-Quran yang cukup debatable dan masih hangat untuk diperbincangkan dewasa ini adalah qiraah. Sejarah telah mencatat bahwa tanpa panduan ilmu qiraah,  Al-Quran sebagai teks transenden-universal akan sulit diterima, dibacakan, dan dipelajari oleh manusia dengan beragam bahasa dan dialek. Untuk itulah, ulama membuat sebuah konsensus yang menjadi standar baku dalam membaca Al-Quran dan dikenal dengan qiraah sab’ah.

Baca juga: Mengenal Kitab Al-Sab’ah fi Al-Qiraah (2) karya Ibnu Mujahid

Term qiraah sab’ah tentu bukan hal baru lagi di telinga kita. Sudah banyak literatur dengan beragam perspektif yang mendalami dan mengkaji masalah qiraah sab’ah ini. Namun ada beberapa poin fundamental dalam acuan baku tersebut yang berakibat fatal, jika tidak dijelaskan secara kompherensif bahkan keautentikan Al-Quran akan menjadi taruhannya. Diantara poin tersebut sebagai berikut:

Kuantitas sanad

Riwayat yang populer dengan sebutan qiraah sab’ah atau qiraah tujuh adalah:

 1) Nafi’ al-Madani (70-169 H), Imam Nafi’ dari Madinah; 2) Abdullah bin Katsir al-Makki (45-120 H), Imam Ibnu Katsir dari Makkah; 3) Abu Amr al-Bashriy (68-154 H), Imam Ibnu Amir dari Basyrah; 4) Ibn Amir bin asy-Syamiy (21-118 H), Imam Ibn Amr dari Damaskus; 5) Abu Bakar Ashim bin Abi Najud (w. 127/128 H), Imam Ashim dari Kufah; 6) Hamzah al-Kufi (80-156 H), Imam Hamzah dari Kufah; 7) Ali bin Hamzah al-Kisa’i al-Kufi (119-189 H), Imam Kisa’i dari Kufah (Ahmad Fathani, Kaidah Qira’at Tujuh, 2005:119-123).

Jika diamati, ke tujuh Imam qiraah di atas yang menyampaikan qiraah Nabi SAW hanya terdiri dari satu dan atau dua orang rawi saja. Padahal jika kita memakai kriteria mutawatir dalam konstruk Ilmu Hadis, ditinjau dari aspek kuantitas perawi dari semua derajat thabaqat perawi, bahwa hadis mutawatir ialah suatu hadis yang disampaikan oleh banyak rawi yang secara adat tidak mungkin mereka bersepakat berbohong, juga terdapat keseimbangan diantara rawinya mulai dari permulaan sanad hingga akhir sanad (ujung perawi), serta tidak ada kejanggalan jumlah rawi pada setiap tingkatan (Ibnu Shalah, Ulum al-Hadith, 1972:10).

Baca juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal

Sehingga, dalam proses penyampaian qiraah tersebut terkesan ahad, padahal ulama sepakat bahwa status Al-Quran adalah mutawattir (Mengenai konsekuensi hadis ahad silahkan dibaca sendiri). Ini bisa saja terjadi karena sudut pandang yang digunakan adalah ilmu hadis. Akan tetapi, jika perspektif yang dipakai adalah berdasarkan Ilmu qiraah, bahwa dalam periwayatan qiraah dengan sanad perawi yang kelihatanya tampak seorang diri (terbilang sedikit dan tidak mencapai derajat mutawair) namun pada esensinya para perawi tersebut tidak sendiri (atau tidak sedikit) karena pada saat bersamaan terdapat periwayat lain yang meriwayatkannya. Begitu juga dengan penduduk di negeri tersebut yang tentu ikut terlibat dalam meriwayatkannya, sekalipun tidak dicantumkan dalam rangkaian sanad yang ditulis oleh para ulama. Dan harus diakui bahwa untuk melacaknya bukanlah sesuatu yang mudah (M. Darwis Hude dkk., Penelusuran Kualitas dan Kuantitas Sanad Qiraah Sab’ah, 2020)

Baca juga: Qiraat Al-Quran (2) : Sejarah dan Perkembangan Qiraat di Era Sahabat

Sebagai contoh misalnya seperti Ibn Amir, ia menerima qiraah dari Abu Darda’, yang jika dilihat dari jalur sanad yang ditulis para ulama tampak menyendiri dan tidak memiliki muttabi’ (perawi lain yang sama-sama meriwayatkan qiraah dari Abu Darda’). Namun pada hakikatnya, Ibn Amir tidaklah sendirian dalam meriwayatkan qiraah dari Abu Darda’ tersebut. Sebab ada banyak rawi pula yang meriwatkan qiraah dari Abu Darda’, termasuk keluarganya sebagaimana Abu Darda’ tidak sendirian dalam membaca qiraah kepada Nabi, sebab banyak pula sahabat lain yang meriwayatkannya. Jika yang dimaksud dengan mutawatir dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa seluruh sanad qiraah sab’ah dari para Imam qiraah kepada Rasulullah SAW status adalah mutawatir.

Walhasil, sanad-sanad qiraah dari para imam tujuh baik yang tidak ditulis atau yang ditulis oleh para ulama atau orang-orang yang mendapat ijazah, meskipun terlihat ahad tapi statusnya adalah tetap mutawatir. Karena pada hakikatnya—dan harus diyakini—bahwa pola riwayat mereka adalah riwāyah jam‘in ‘an jam‘in (riwayat orang banyak dari orang banyak). Walaupun yang ditulis cukup satu perawi saja dan itulah yang sampai kepada kita.

Narasi teks dan redaksi bacaan

Adat atau kebiasaan yang sering dipraktekkan dalam suatu ungkapan yang merujuk pada imam qiraah tujuh cenderung mengantarkan pada kesalahpahaman. Seperti ungkapan yang mashur di Indonesia, “tata baca Al-Quran kita menggunakan qiraah Ashim riwayat Hafs.” Sepintas redaksi sederhana ini tidak terdengar problematik. Berbeda halnya bagi kalangan awam, tentu redaksi semacam di atas bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa Al-Quran yang dibaca sekarang berdasarkan bacaan Imam Ashim bukan dari Rasulullah. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan kelanjutan yang harus disampaikan bahwa sebenarnya redaksi “qiraah Ashim riwayat Hafs” itu berarti bacaan Rasullah SAW yang ditirukan dan sampai pada Imam Ashim melalui riwayat Hafs.

Meskipun masalah ini kelihatannya sederhana dan sepele, sedikit banyak akan berbeda “cerita” jika dibiarkan begitu saja sampai pada generasi anak-cucu kita. Maka bagi siapapun yang berdedikasi di bidang qiraah, alangkah baiknya jika masalah ini menjadi pertimbangan tersendiri sebagai bentuk antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.

Wallāhu a‘lam bi al-Sawāb.

Tafsir Surah Al Falaq Ayat 1-5

0
tafsir surat al falaq
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Falaq Ayat 1-5 merupakan surat ke 113 dalam urutan Mushaf Usmani. Surat ini termasuk dalam kategori surah-surah makiyah, yaitu surah yang turun sebelum Nabi Muhammad Hijrah ke Madinah.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Ikhlas Ayat 1-4

Pada surat sebelumnya, yaitu surat al-Ikhlas telah di bahas mengenai sifat-sifat keEsaan Allah swt, dalam Tafsir Surah Al Falaq Ayat 1-5  ini berbicara mengenai perintah untuk meminta perlindungan kepada Allah swt dari segala marabahaya yang setiap waktu dapat mengancam. Misalnya kejahatan tukang sihir atau orang-orang dengki yang kalap.

Ayat 1-2

Dalam ayat-ayat berikut ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan seluruh kaum Muslimin supaya selalu berlindung kepada Tuhan Pencipta semua makhluk agar terpelihara dari segala macam kejahatan atau akibat kejahatan yang ditimbulkan oleh makhluk-makhluk yang telah diciptakan-Nya.

Ayat 3

Kemudian Allah menerangkan bahwa sebagian makhluk-Nya sering menimbulkan kejahatan pada waktu malam bila segala sesuatu telah diliputi oleh kegelapan. Sementara itu, keadaan malam yang gelap gulita menimbulkan rasa takut dan gelisah, seakan-akan ada sesuatu yang tersembunyi dalam kegelapan malam itu yang akan menyakiti manusia.

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar manusia berlindung kepada-Nya dari kejahatan tukang sihir yang meniupkan mantra-mantra dengan maksud memutuskan tali kasih sayang dan mengoyak-ngoyak ikatan persaudaraan, seperti ikatan nikah dan lain-lain.

Perbuatan sihir itu dapat mengubah kasih sayang antara dua teman yang akrab menjadi permusuhan. Penghasut membawa berita yang tampaknya benar dan sulit dibantah, sebagaimana dilakukan oleh tukang sihir dalam usahanya memisahkan suami istri.

Jumhur ulama berdasarkan hadis sahih yang menerangkan bahwa Rasulullah saw disihir oleh Labid al-A’sam. Hal ini tidak mempengaruhi wahyu yang diturunkan Allah kepadanya, namun hanya jasmani dan perasaan yang tidak berhubungan dengan syariat.

Syekh Muhammad Abduh berkata, “Berkenaan dengan keterangan tersebut di atas, telah diriwayatkan hadis tentang Nabi saw yang disihir oleh Labid bin al-A’sam, yang sangat mengesankan pada pribadi Nabi, sehingga seakan-akan beliau mengerjakan sesuatu padahal beliau tidak mengerjakannya, atau mengambil sesuatu padahal beliau tidak mengambilnya.

Lalu Allah memberitahukan kepadanya tentang tukang sihir itu. Kemudian dikeluarkan sihir itu dalam hatinya, lalu Nabi saw menjadi sehat kembali, dan turunlah surah ini.

Baca juga: Surat Al-Mu’awwidzatain Dan Memahami Kisah Disihirnya Nabi Muhammad

Nabi saw kena sihir sehingga menyentuh akal yang berhubungan langsung dengan jiwa beliau, karena itu orang-orang musyrik berkata, sebagaimana firman Allah:

اِنْ تَتَّبِعُوْنَ اِلَّا رَجُلًا مَّسْحُوْرًا   ٤٧

Kamu hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir.  (al-Isr±’/17: 47)

Di sisi lain, yang wajib kita yakini bahwa Alquran adalah mutawatir dan menyangkal bahwa Nabi saw kena sihir, karena yang menyatakan demikian itu adalah orang-orang musyrik. Alquran mencela ucapan mereka itu.

Hadis tersebut seandainya termasuk di antara hadis-hadis sahih, tetapi tergolong hadis Ahad yang tidak cukup untuk dijadikan dasar dalam akidah. Sedangkan kemaksuman nabi-nabi adalah merupakan akidah yang telah dipegangi dengan yakin.

Terhindarnya Nabi saw dari sihir bukanlah berarti mematikan sihir secara keseluruhan. Mungkin seseorang  yang kena sihir menjadi gila akan tetapi mustahil terjadi pada Nabi saw karena Allah menjaga dan melindunginya.

Menurut ‘Ata’, Al-Hasan, dan Jabir, Surah al-Falaq ini adalah surah Makkiyyah yang diturunkan sebelum hijrah, sedangkan yang mereka tuduhkan bahwa Nabi saw kena sihir di Medinah.

Oleh karena itu, sangat lemah untuk berpegang pada hadis tersebut dan untuk menyatakannya sebagai hadis sahih. Umat Islam harus berpegang pada nas Alquran, tidak perlu berpegang kepada hadis ahad tersebut.

Ayat 5

kejahatan orang-orang yang dengki bila ia melaksanakan kedengkiannya dengan usaha yang sungguh-sungguh dan berbagai cara untuk menghilangkan nikmat orang yang dijadikan objek kedengkiannya dan dengan mengadakan jebakan untuk menjerumuskan orang yang didengkinya jatuh ke dalam kemudaratan.

Tipu muslihat yang dijalankannya itu sangat licik sehingga sulit diketahui. Tidak ada jalan untuk menghindarinya kecuali dengan memohon bantuan kepada Allah Maha Pencipta karena Dia-lah yang dapat menolak tipu dayanya, menghindari kejahatannya, atau menggagalkan usahanya. Hasad haram hukumnya, dan merupakan dosa yang pertama kali ketika iblis dengki kepada Nabi Adam, dan Qabil dengki kepada Habil.

Baca setealahnya: Tafsir Surah Al Nas Ayat 1-6

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Yasin Ayat 22: Allah Swt Sang Pencipta dan Tempat Kembali Manusia

0
Yasin Ayat 22
Surat Yasin Ayat 22

Sebagaimana diterangkan di tulisan sebelumnya, yakni tafsir surat Yasin ayat 20-21 bahwa lelaki dari pinggiran kota datang untuk membela tiga utusan yang didusakan kaumnya. Diketahui pula bahwa lelaki itu bernama Habib an-Najjar. Salah satu ucapan Habib kala itu akan kita bahas dalam tafsir surat Yasin ayat 22 berikut. Allah Swt berfirman:

وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan?

Wahab bin Munabbih sebagaimana dikutip ucapannya oleh Ibn Jarir at-Tabari menyatakan bahwa Habib adalah sosok pemuda pemberani yang dengan gagahnya memperjuangkan dan membela kebenaran yang diyakininya. Ia tidak gentar ‘melawan arus’ demi mempertahankan idealismenya.

Habib menyuarakan tauhid kepada kaumnya yang menyembah berhala. Ia juga dengan terang-terangan menampakkan keimananya kepada mereka. Akibat hal tersebutlah pada beberapa ayat berikutnya diceritakan Habib sampai dibunuh oleh penduduk Antokiah.

Hamka dalam Tafsir al-Azhar menjelaskan, ucapan Habib tersebut merupakan sebuah bentuk pertanyaan yang secara lahiriah ditujukan kepada dirinya sendiri, namun hakikatnya merupakan sindiran pada orang-orang yang enggan menyembah Allah Swt yang telah menciptakan mereka seperti para penduduk Antokiah ini.

Sementara Ibn Asyur berpendapat, kalimat tersebut seakan-akan menanyakan, “Siapa yang bisa mencegahku menyembah Tuhan yang telah menciptaku?” Sebab Allah Swt telah memberikan manusia keinginan (iradah) dan kemampuan (qudrah) untuk melaksanakan perintahnya.

Allah Swt juga telah menerangkan melalui utusan-utusannya mana jalan yang benar dan mana jalan yang salah. Sebagaimana firmannya dalam QS. Al-Insan: 3 yang berbunyi:

إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا

Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.

Dalam tafsirnya, M. Quraish Shihab menggaris bawahi kata fatara yang menurutnya berbeda dengan kata khalaqa maupun ja’ala yang sama-sama berarti menciptakan. Fatara bermakna menciptakan dari ketiadaan atau penciptaan yang pertama kali. Ini mengisyaratkan bahwa Allah Swt adalah yang pertama kali menciptakan manusia dan kelak kepadanya pulalah terakhir kali mereka akan dikembalikan.

Kita semua berasal dari Allah Swt. Kita dan segala nikmat yang kita rasakan hakikatnya milik Allah Swt semata, maka ketika masanya telah tiba, semua akan kembali kepadanya. Filosofi ini yang agama Islam ajarkan ketika seseorang menghadapi musibah. Dalam QS. Al-Baqarah Allah Swt berfirman:

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

(Orang-orang yang sabar) yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” (Sesungguhnya kami milik Allah Swt dan kepadanyalah kami akan kembali).

Adapun Husein Tabataba’i menilai kutipan akhir ayat yang berbunyi “yang hanya kepada-Nya-lah kamu (semua) akan dikembalikan” merupakan ancaman kepada penduduk Antokiah akan datangnya hari kembali. Bahwa Allah Swt akan menghitung semua amal yang telah mereka perbuat dan kemudian akan membalasnya satu per satu; baik maupun buruknya.

Demikianlah kiranya tafsir singkat dari surat Yasin ayat 22 yang penulis sarikan dari berbagai kitab tafsir populer. Untuk kisah selanjutnya tentang ‘lelaki dari pinggiran kota’, para utusan dan kaum Antokiah dapat dibaca pada pembahasan tafsir surat Yasin selanjutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bis sawab.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 73-79

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 73-79 mengisahkan tentang Nabi Saleh yang diutus Allah kepada kaum Tsamud.


Baca Juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 65-72 Kisah Nabi Hud


Ayat 73

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus Nabi Saleh kepada kaumnya yaitu kaum Tsamud. Tsamud adalah nama suatu kabilah dari bangsa Arab yang telah dimusnahkan yang terkenal dengan istilah “Arab Bā′idah” yang mendiami Hijir yaitu daerah ‘Ulā di sebelah utara Medinah, Saudi Arabia.

Tsamud adalah nama nenek moyang mereka yaitu anak dari ‘Atsir bin Iram bin Sam bin Nuh. Munculnya kaum Tsamud itu sesudah kaum ‘Ad dibinasakan Allah. Menurut suatu riwayat ketika Rasulullah dalam perang Tabuk pada tahun 9 Hijri ia melewati daerah peninggalan kaum Tsamud itu. Rasulullah melarang para sahabat memasuki daerah tersebut dengan sabdanya yaitu:

لاَتَدْخُلُوْا عَلَى هٰؤُلاَءِ الْمُعَذَّبِيْنَ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنُوْا بَاكِيْنَ فَإِنْ لَمْ تَكُوْنُوْا بَاكِيْنَ فَلاَ تَدْخُلُوْا عَلَيْهِمْ أَنْ يُصِيْبَكُمْ مِثْلَ مَا أَصَابَهُمْ

(رواه البخاري ومسلم)

“Jangan kamu memasuki tempat-tempat mereka yang ditimpa azab Allah itu kecuali kamu dalam keadaan menangis. Jika kamu tidak menangis, janganlah kamu memasuki tempat itu agar kamu tidak ditimpa musibah seperti musibah yang telah menimpa mereka.” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Demikianlah anjuran Nabi kepada para sahabat untuk menghindari tempat yang pernah ditimpa bencana.

Saleh a.s. adalah Nabi yang diutus oleh Allah kepada kaum Tsamud. Dia berasal dari kaum Tsamud yang terbaik keturunannya, kedudukannya dan keadaan rumah tangganya demikian juga akhlaknya. Mukjizat kenabiannya adalah “unta Allah”.

Nabi Saleh menjalankan tugasnya dengan menyampaikan perintah-perintah Tuhannya yang ditujukan kepada kaumnya. Nabi Saleh menyeru mereka agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dengan menegaskan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, karenanya hendaklah mereka bertakwa kepada-Nya. Nabi Saleh mengajak mereka menerima seruannya dan janganlah mereka mengikuti orang-orang yang hanyut di dalam kemusyrikan, yang membawa mereka ke dalam neraka Jahanam, akibat mereka meninggalkan ajaran agama yang benar.

Nabi Saleh mengatakan kepada kaumnya bahwa bukti kebenaran dari kenabiannya, adalah seekor unta yang dinamakannya “Unta Allah”, yang diciptakan Allah tidak menurut kebiasaan. Menurut sebagian ahli tafsir, unta ini keluar dari batu besar atas permintaan kaum Tsamud sebagai suatu mukjizat yang harus diperhatikan oleh mereka.

Allah memberikan mukjizat kepada Nabi Saleh berupa seekor unta sebagai bukti kerasulannya, karena kaum Tsamud meminta bukti kerasulannya. Nabi Saleh meminta kepada kaumnya agar membiarkan unta itu makan apa saja yang ada di bumi Allah ini, karena bumi ini kepunyaan Allah dan unta ini adalah unta Allah dan tidak wajar mereka menghalang-halangi unta itu, apalagi menyakitinya dan menyembelihnya. Nabi Saleh mengancam mereka bahwa mereka akan mendapat azab yang pedih dari Allah jika mereka mengganggu atau membunuh unta itu.

Agar tidak menimbulkan kesulitan antara mereka dan unta itu, maka diaturlah hari-hari minum ke telaga untuk mereka dan untuk unta itu, karena sedikitnya persediaan air sebagaimana diutarakan oleh firman Allah:

وَنَبِّئْهُمْ اَنَّ الْمَاۤءَ قِسْمَةٌ ۢ بَيْنَهُمْۚ  كُلُّ شِرْبٍ مُّحْتَضَرٌ

Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa air itu dibagi di antara mereka (dengan unta betina itu); setiap orang berhak mendapat giliran minum.  (al-Qamar/54: 28)

Juga firman Allah pada ayat yang lain yaitu:

هٰذِهٖ نَاقَةٌ لَّهَا شِرْبٌ وَّلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَّعْلُوْمٍ ۚ   ١٥٥

Dia (Saleh) menjawab, ”Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan. (asy-Syu’arā′/26: 155)

Ayat 74

Sesudah Nabi Saleh mengajak kaumnya menyembah Allah dan menasihati mereka agar berbuat baik kepada unta itu, mulailah Nabi Saleh mengingatkan mereka kepada nikmat-nikmat Allah yang mereka peroleh antara lain mereka diberi kekuasaan dan kekuatan untuk memakmurkan bumi ini sebagai pengganti kaum ‘Ad.

Mereka diberi oleh Allah kecakapan dan kesanggupan membuat istana-istana dan pengetahuan membuat bahan-bahan bangunan seperti batu bata, kapur, genteng dan keahlian serta ketabahan dalam memahat bukit-bukit dan gunung-gunung, untuk dijadikan rumah kediaman dan tempat tinggal mereka pada musim dingin.

Menjadikan bukit dan gunung sebagai bungalow untuk menghindarkan bahaya hujan dan dingin. Mereka baru keluar dari bukit itu pada musim-musim lain untuk bertani dan pekerjaan-pekerjaan yang lain. Nabi Saleh menyeru mereka agar mengingat nikmat-nikmat Allah tersebut agar mereka bersyukur kepada-Nya, dengan hanya menyembah kepada-Nya dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang merusak di atas bumi ini antara lain perbuatan yang tidak diridai oleh Allah berupa kekufuran, kemusyrikan dan kezaliman.

Ayat 75

Ayat ini menerangkan bahwa pemuka yang sombong dari kaum Tsamud itu mengatakan kepada orang-orang yang lemah dan beriman kepada Nabi Saleh dengan cara mengejek seolah-olah mereka itu berada dalam kekeliruan karena beriman kepada kerasulan Nabi Saleh. Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang lemah itu tidak putus asa, mungkin karena percaya akan kerasulan Saleh.

Memang menurut kebiasaan bahwa golongan yang lemah tidak mempunyai kepentingan, mereka masih berpegang kepada hati nurani mereka, karena itulah mereka segera menerima seruan Nabi atau nasihat orang-orang yang saleh.

Adapun orang-orang yang terkemuka dan orang-orang yang kaya, sangat berat untuk mengikuti orang lain, apalagi untuk menerima nasihat-nasihat yang menghalangi mereka mengikuti keinginan hawa nafsu, meskipun bertentangan dengan hati nurani mereka sendiri. Demikianlah tingkah laku orang-orang yang mempunyai kedudukan karena pangkatnya atau karena kekayaannya, sebagaimana diutarakan dalam firman Allah yaitu:

وَجَحَدُوْا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ اَنْفُسُهُمْ ظُلْمًا وَّعُلُوًّاۗ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُفْسِدِيْنَ ࣖ    

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongannya, padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan. (an-Naml/27: 14)

Orang-orang yang lemah dari kaum Tsamud yang beriman itu tidak langsung menjawab pertanyaan mereka, tetapi dengan bijaksana menjawab bahwa mereka beriman kepada apa yang dibawa oleh Nabi Saleh, karena petunjuk-petunjuk itu benar dan datangnya dari Allah.


Baca Juga: Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud


Ayat 76

Setelah golongan lemah yang beriman itu menjawab dengan jawaban yang bijaksana bahwa mereka beriman kepada Allah, dan apa yang dibawa oleh Nabi Saleh, maka ayat ini menerangkan ucapan pemuka-pemuka kaum Tsamud yang sombong sebagai jawaban kembali terhadap ucapan orang-orang yang lemah ini.

Mereka mengatakan bahwa mereka mengingkari apa-apa yang diimani oleh orang yang lemah itu. Mereka menghindari untuk mengatakan ingkar kepada apa yang dibawa oleh Nabi Saleh, karena khawatir terhadap adanya kesan seolah-olah mereka mengakui atas kerasulan Saleh as.

Ayat 77

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 73-79 khususnya di ayat 77 ini menceritakan kisah setelah itu mereka berbuat durhaka dengan menyembelih unta dan menentang perintah-perintah Allah yang disampaikan kepada mereka oleh Nabi Saleh. Mereka memanggil seorang sesamanya untuk membunuh unta itu, seperti dijelaskan oleh firman Allah:

فَنَادَوْا صَاحِبَهُمْ فَتَعَاطٰى فَعَقَرَ

Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap (unta itu) dan memotongnya. (al-Qamar/54: 29)

Tetapi dalam ayat 77 dikatakan, bahwa yang membunuh unta itu adalah orang banyak di kalangan mereka. Hal mana menunjukkan perbuatan kejahatan (tindak pidana) seseorang, dipandang perbuatan pidana orang banyak apabila orang yang melakukan pidana itu atas persetujuan orang banyak atau perintah mereka.

Maka tanggung jawab atas tindak pidana itu dipikulkan kepadanya dan orang banyak secara bersama-sama, dan azab ditimpakan kepada mereka. Mereka kemudian menantang Nabi Saleh agar mendatangkan azab yang dijanjikan kepada mereka, yaitu azab Allah, jika benar-benar Saleh utusan Allah yang menyampaikan ancaman dari Allah.

Ayat 78

Setelah mereka menantang Nabi Saleh dengan menuntut azab Allah yang dijanjikan, maka Allah membela Rasul-Nya dan pengikutnya. Ayat ini menerangkan azab Allah yang diturunkan kepada mereka berupa gempa dan petir yang dahsyat yang menggetarkan jantung manusia, menggoncangkan bumi bagaikan gempa besar yang menghancurkan semua bangunan sehingga mereka semuanya binasa. Tentulah petir tersebut tidak seperti biasa tetapi petir yang luar biasa yang khusus ditimpakan kepada mereka sebagai azab atas kedurhakaan kaum Tsamud.

Ayat 79

Setelah kaum Tsamud binasa akibat disambar petir, ayat ini menerangkan bahwa Nabi Saleh dengan rasa haru dan sedih berkata kepada mereka yang sudah mati, bahwa dia sesungguhnya telah menyampaikan amanat Tuhannya dan telah cukup memberi nasihat kepada mereka namun mereka tidak suka menerima nasihat.

Seruan Nabi Saleh ini yang ditujukan kepada kaumnya yang telah mati itu menunjukkan betapa cintanya kepada kaumnya. Hal mana mengingatkan kita kepada seruan Nabi Muhammad terhadap sebagian orang-orang Quraisy yang telah mati dan sudah dikuburkan dalam Perang Badar. Rasulullah berkata:

 يَا اَبَا جَهْلِ بْنِ هِشَامٍ, يَا عُتْبَةُ بْنِ رَبِيْعَةَ يَا شَيْبَةُ بْنِ رَبِيْعَةَ وَيَا فُلاَنُ بْنِ فُلاَنٍ وَفُلاَنُ بْنِ فُلاَنٍ: هَلْ وَجَدْتُمْ مَا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا فَاِنِّى وَجَدْتُ مَا وَعَدَنِى رَبِّى حَقًّا؟ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَا تُكَلِّمُ مِنْ أَقْوَامٍ قَدْ جَيَّفُوْا ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَّ: وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا أَنْتُمْ بِأَسْمَعَ لِمَا أَقُوْلُ مِنْهُمْ وَلَكِنْ لاَ يُجِيْبُوْنَ (رواه البخاري ومسلم عن ابي طلحة الانصاري )

“Wahai Abu Jahal bin Hisyam, wahai Utbah bin Rabi‘ah. Wahai Syaibah bin Rabi’ah dan wahai Fulan anak Fulan, Adakah sekarang ini kamu menemukan apa-apa yang dijanjikan Allah itu benar? Karena aku telah menemukan apa yang dijanjikan Tuhanku itu benar. Umar berkata, “Ya Rasulullah, apa guna berbicara dengan tubuh yang tidak bernyawa?” Rasulullah menjawab, “Demi Tuhan dimana diriku tergantung pada-Nya. Kamu tidaklah lebih mendengar dari mereka terhadap apa yang aku katakan. Tetapi mereka tidak dapat menjawab.” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Thalhah al-Anshari).

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 73-79 khususnya pada ayat 79 ini tidak mengutarakan bahwa Nabi Saleh menghindar dari kaumnya sebelum datang azab Allah, demikian juga tidak mengutarakan tentang nasib sebagian kaum Tsamud yang beriman kepada Nabi Saleh. Namun ayat 79 ini jelas mengutarakan bahwa Nabi Saleh diselamatkan oleh Allah. Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah menyelamatkan Nabi Saleh dan pengikutnya dari azab tersebut kemudian pergi dan tinggal di Haran.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat As-Shaffat Ayat 78-81: Terima Kasih Allah kepada Nabi Nuh


Surat At-Tin Ayat 4: Manusia Diciptakan dengan Sebaik-Baiknya

0
Surat At-Tin Ayat 4
Surat At-Tin Ayat 4: Manusia Diciptakan dengan Sebaik-baiknya

Artikel ini akan mengulas penjelasan al-Quran tentang manusia khususnya yang digambarkan dalam Surat At-Tin ayat 4. Uraian dari ayat tersebut akan diperkaya dengan penjelasan-penjelasan dari para ulama. Berikut adalah bunyi ayatnya:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang ‎sebaik-baiknya.” (Surat At-Tin Ayat 4)‎

Pernahkah kita sadari, bahwa di antara sekian banyak makhluk ciptaan ‎Allah yang ada di jagat raya ini, kita adalah makhluk terbaik yang Allah ‎hadirkan ke dunia ini.‎

Jika malaikat diciptakan Allah dengan dibekali akal tanpa nafsu, ‎sementara binatang diciptakan dengan disertai nafsu tanpa akal, maka ‎manusia Allah ciptakan dengan bekal yang komplit, yaitu dilengkapi akal dan ‎nafsu. Dan untuk membimbing akal dan nafsu yang dimiliki manusia itu, Allah ‎menurunkan wahyu berupa kitab suci.‎

Husain Mazhahiri dalam bukunya berjudul ‘Awamil as-Saytharah ‘ala ‎al-Gharaiz fi Hayat al-Insan menjelaskan bahwa secara eksistensial, manusia ‎terdiri dari dua dimensi, yaitu dimensi ruhy dan jismy. Dalam dimensi ruhy ‎terdapat beberapa komponen, antara lain: akal, nurani, hati, dan sebagainya. ‎

Baca Juga: Perjanjian Manusia dengan Allah Sebelum Lahir ke Dunia

Dimensi ini disebut juga sebagai dimensi malakuti (kemalaikatan). Sementara ‎dalam dimensi jismy terdapat beberapa komponen yang, hampir sama dengan ‎yang terdapat pada binatang, seperti insting (naluri), nafsu, dan sebagainya. ‎Oleh karena itu, dimensi ini disebut juga sebagai dimensi hayawani.‎

Jika seseorang mampu mengoptimalkan dimensi ruhy yang ada dalam ‎dirinya, serta mengendalikan dimensi jismy-nya, maka dia bisa menjadi lebih ‎mulia dari malaikat sekalipun. Sebaliknya, jika dimensi jismy-nya lebih ‎dominan dan mengalahkan dimensi ruhy-nya, maka tidak menutup ‎kemungkinan dia akan menjadi lebih rendah dan hina dari binatang.‎

Kembali kepada penjelasan ayat di atas, bahwa Allah Swt telah ‎menciptakan manusia dalam bentuk terbaik. Wahbah Zuhaili dalam al-Tafsir al-‎Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj menjelaskan bahwa makna fi ‎ahsani taqwim adalah sebaik-baik rupa, sebagus-bagus bentuk, sesempurna-‎sempurna anggota tubuh, dengan susunan yang tertata rapih dan seimbang. ‎Ditambah lagi dengan ilmu, pemikiran, kalam (komunikasi), kepemimpinan ‎dan kebijaksanaan (hikmah), semakin menegaskan bahwa manusia layak ‎menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi ini.‎

Dari keterangan ini jelaslah bahwa makhluk terbaik yang diciptakan ‎Allah itu bernama manusia. Segala potensi, keistimewaan, kemuliaan ada pada ‎diri dan selalu melingkupi manusia. Kemuliaan tersebut akan terus ada dan ‎menyertai manusia, jika dia mempertahankan dan menjaganya melalui ‎aktivitas mulia berupa peningkatan kualitas hubungan dengan Allah (hablun ‎minallah ) dan hubungan dengan manusia (hablun minannas). Atau dengan ‎kata lain, kemuliaan manusia akan terjaga dengan baik jika ibadah ritual dan ‎ibadah sosial terjalin erat satu sama lain.‎

Sebaliknya, jika kualitas hubungan dengan Allah dan hubungan ‎dengan manusia terabaikan, atau salah satunya terabaikan, maka kemuliaan ‎yang sudah ada pada dirinya akan berganti dengan kehinaan. Keistimewaan ‎yang melingkupinya akan berubah menjadi kerendahan.‎

Lanjutan dari ٍSurat At-Tin Ayat 4 di atas menegaskan hal tersebut. ‎‎

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

“Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya ‎‎(neraka).”‎

Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal al-Qur’an ‎menjelaskan bahwa kondisi “serendah-rendahnya” (asfala safilin) pada ‎manusia itu terjadi ketika ia sudah menyimpang dari fitrah yang telah ‎digariskan oleh Allah Swt. Ketika manusia lebih memilih hawa nafsunya, ‎meninggalkan ajaran agamanya, tidak mengindahkan aturan-aturan yang ‎telah ditetapkan Allah, pada saat itulah posisinya jatuh pada tingkat yang ‎serendah-rendahnya (asfala safilin).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 72-73: Keistimewaan dan Kebiasaan Buruk Manusia

Bahkan, menurut Sayyid Quthb, pada ‎kondisi ini, binatang lebih tinggi derajatnya dari manusia, karena mereka tetap ‎pada fitrah yang telah Allah tetapkan, yakni mereka tetap bertasbih kepada ‎Allah. Sedangkan manusia yang diciptakan sebagai makhluk terbaik, ‎menyimpang bahkan menentang aturan Allah Swt.‎

Al-Qur’an membimbing manusia untuk tetap pada fitrahnya, sehingga ‎selalui berada pada posisi sebagai makhluk terbaik, yaitu dengan tetap ‎memegang teguh keimanan, kemudian menyempurnakannya dengan amal ‎saleh. Dengan cara seperti ini, manusia tetap akan berada pada posisi sebagai ‎makhluk terbaik di antara seluruh makhluk ciptaan Allah yang ada di jagat ‎raya ini.‎

Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 2)

0
Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab
Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab

Melanjutkan artikel sebelumnya, bisa di klik di sini,  tentang kitab hasiyah Tafsir Jalalain, kini masuk pada kitab karangan ulama madzhab Maliki. Di Madzhab ini, telah disebutkan salah satu kitabnya, yaitu Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Muhammad bin al-Hasan al-Janawi.

Berikut lanjutan nama kitab hasiyah itu:

  1. Hasiyal al-Sawi ala Tafsir al-Jalalain

Penulis hasiyah ini adalah Ahmad bin Muhammad al-Sawi, al-Misri, al-Khalwati, al-Maliki (w. 1214 H/1825 M). Ia lahir di So’ al-Hijr (sebuah desa dipinggiran Mesir). Syekh al-Sawi merupakan seroang pemimpin ulama Al-Azhar dan pembesar sufi. Dalam hal ulumul Qur’an, ia tak hanya pandai di bidang tafsir, namun juga qiraat. Hasiyah al-Sawi sangat terkenal di Indonesia, beberapa pesantren salaf menggunakan kitab ini sebagai bahan ajarnya. Baik untuk pengajian sehari-hari Maupun untuk pasaran (ngaji Ramadhan).

Meskipun berbeda madzhab dengan mayoritas penduduk Indonesia, hasiyah ini tersebar luas dan sangat populer. Nampaknya peran al-Azhar dan kualitas kitabnya yang tidak hanya mensyarah (menjelaskan), namun juga mengoreksi dan membandingkan tafsir Jalalain dengan yang lain menjadi alasan utama maraknya pengajian hasiyah Al-Sawi di Indonesia.

Baca juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Abdur Rahman bin Muhammad al-Qasri

Nama lengkap penulis hasiyah ini adalah Abdur Rahman bin Muhammad bin Yusuf al-Qasri al-Fasi, Abu Muhammad (w.1036 H/1626 M). Ia merupakan ahli fiqih dari madzhab Maliki yang juga piawai dalam dalam ilmu lughat, usul, hadis, dan tafsir. Ia belajar tafsir dan hadis di Fez.

  1. Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain Abdur Rahman bin Muhammad al-Haik

Penulis ini bernama lengkap Abdur Rahman bin Muhammad al-Titwani al-Haik (w. 1237 H/1822 M). Ia seorang ahli nahwu, sastra, ahli hukum (ia seorang qadhi) dan mufassir.  Ia sempat menjadi qadi selama tiga kali hingga ia meninggal dunia. Menurut ensiklopedi mufassir karya Adil Nuwaihid, karya Abdurrahman bin Muhammad al-Haik ada banyak dan hasiyah ini adalah salah satunya.

Hasiyah Tafsir al-Jalalain karangan ulama madzhab Hanbali

Salah satu ulama madzhab Hanbali yang tercatat dalam penelitian Imam Zaki Fuad adalah Mustafa al-Dumani, berikut nama kitabnya:

  1. Dau’ al Nirain lifahmi Tafsir al-jalalain

Hasiyah ini ditulis oleh Mustafa al-Dumani (w. 1187 H/1773 M). ia merupakan pakar fiqih madzhab Hanbali yang juga piawai di literatur ilmu lain. Ia lahir di Duma, salah satu kota di pinggiran Damaskus. Ia terkenal cerdas dan dalam penguasaan ilmunya, sehingga ia pernah menjadi Syaikh di Universitas Al-Azhar. Kemudian ia pindah ke Astanah dan wafat di sana.

Baca juga: Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 1)

Hasiyah Tafsir al-Jalalain karangan ulama madzhab Hanafi

  1. Syarh Tafsir al-Jalalain Ismail bin Abdul Baqi

Penulis penjelas kitab tafsir Jalalain ini adalah Ismail bin Abdul Baqi al-Yaziji (w. 1121 H/1709 M). Ia seorang ahli fiqih dan ahli tafsir. Mengutip Adil Nuwaihid, ulama dari madzhab Hanafi ini menulis Hasiyah Tafsir Jalalain namun belum sampai sempurna.

  1. Anwar al Hilalain fi al-Ta’qibat ala al-Jalalain

Kitab hasiyah ini ditulis oleh Muhammad bin Abdir Rahman al-Khamis. Kitab ini diterbitkan pertama kali pada 1414 H oleh Dar al-Sami’I, Madinah. Kitab ini berisi tanggapan Muhammad bin Abdir Rahman terhadap Tafsir Jalalain, ia pun memberikan kritikan terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak tepat dalam tafsir Jalalain.

  1. Kasyfu al-Mahjubin ‘an Khaddi Tafsiri al-Jalalain

Kitab ini ditulis oleh Sa’dullah bin Ghulam al-Qandahari al-Afghani (w. 1306 H./1889 M). Ia merupakan ahli tafsir di Qandahar, daerah selatan Afganistan. Menurut Adil Nuwaihid, karyanya ini tercatat di Maktabah al-Timuriah.

Hasiyah Tafsir al-Jalalain karangan ulama madzhab Zaidi

Tafsir Jalalain tidak hanya direspon oleh ulama Sunni, namun juga dari Syiah. Salah satu yang merespon itu adalah Muhammad bin Abdullah al-Zawak al-Hudaidi. Ia menulis Hasiyah ala Tafsir al-Jalalain. Ia merupakan ahli fiqih madzhab Zaidi, pakar tafsir dan tasawuf. Menurut Adil Nuwaihid, Ia wafat di Zaidiyah, salah satu daerah al-Hadidah.

Demikianlah 16 Hasiyah Tafsir Jalalain yang ditulis oleh ulama dari berbagai madzhab. Hal ini menunjukkan apresiasi luar biasa terhadap tafsir Ijmali karya Jalaluddin al-Mahalli dan al-Suyuthi. Selain itu, munculnya kitab-kitab penjelas itu merupakan bukti adanya dialog lintas madzhab. Semoga bermanfaat.

Wallahu’alam[]

 

Mimpi dalam al-Quran: Perbedaan Makna Kata al-Hulm dan al-Ru’ya

0
Kata al-Hulm
Kata al-Hulm/Mimpi dalam al-Quran

Dalam kebanyakan kamus, kata al-hulm dimaknai dengan kata al-ru’ya. Hal ini mengindikasikan seolah-olah kedua kata ini bermakna sama. Kata al-hulm sendiri sebenarnya memiliki beberapa makna, diantaranya mimpi (Q.S. Yusuf: 44), pikiran (Q.S. al-Thur: 32),baligh (Q.S. al-Nur: 58; 59), dan lembut (al-Isra: 44 dan terulang sebanyak 15 kali dalam al-Qur’an).

Maka untuk menempatkan makna yang tepat tentunya harus diketahui terlebih dahulu bagaimana konteks pembicaraannya (siyaqul kalam). Dalam al-Qur’an—berdasar penelusuran di atas—kata al-hulm yang bermakna mimpi di temukan tiga kali dan ketiganya berupa bentuk jama’ (ahlam) yang menunjukkan ketidakpaduan atau ketidakjelasan, yang tidak bisa dibedakan antara satu mimpi dengan mimpi lainnya atau layaknya mimpi kosong (bunga tidur) semata, ayat-ayat tersebut yakni Q.S. Yusuf [12]: 44 (disebut 2 kali):

قَالُوْٓا اَضْغَاثُ اَحْلَامٍ ۚوَمَا نَحْنُ بِتَأْوِيْلِ الْاَحْلَامِ بِعٰلِمِيْنَ

Mereka menjawab, “(Itu) mimpi-mimpi yang kosong dan kami tidak mampu menakwilkan mimpi itu.”

Q.S. al-Anbiya’ [21]: 5:

بَلْ قَالُوْٓا اَضْغَاثُ اَحْلَامٍۢ بَلِ افْتَرٰىهُ بَلْ هُوَ شَاعِرٌۚ فَلْيَأْتِنَا بِاٰيَةٍ كَمَآ اُرْسِلَ الْاَوَّلُوْنَ

Bahkan mereka mengatakan, “(Al-Qur’an itu buah) mimpi-mimpi yang kacau, atau hasil rekayasanya (Muhammad), atau bahkan dia hanya seorang penyair, cobalah dia datangkan kepada kita suatu tanda (bukti), seperti halnya rasul-rasul yang diutus terdahulu.”

Adapun kata al-ru’ya terulang tujuh kali dalam al-Qur’an di mana seluruhnya memiliki makna al-ru’yah al-shadiqoh “mimpi yang berupa wahyu atau ilham” (misalnya Q.S. al-Isra’: 60).

وَاِذْ قُلْنَا لَكَ اِنَّ رَبَّكَ اَحَاطَ بِالنَّاسِۗ وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِ ۗ وَنُخَوِّفُهُمْۙ فَمَا يَزِيْدُهُمْ اِلَّا طُغْيَانًا كَبِيْرًا ࣖ

Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu, “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia.” Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.

Ketujuh pengulangan itu juga di dalam al-Qur’an, secara keseluruhan berbentuk mufrod (singular, tidak plural) di mana mimpi itu menggambarkan suatu hal yang berbeda (dari bunga tidur pada umumnya), terlihat dan terasa sangat jelas dan jernih.

Dari ketujuh mimpi itu, lima mimpi digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan mimpi yang dialami oleh para Nabi sebagai wahyu yakni Q.S. al-Shaffat [37]: 104-105 (kebenaran mimpi Nabi Ibrahim yang menyembelih anaknya):

وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ

Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.

Q.S. Yusuf [12]: 5 & 100 (Nabi Yusuf)

قَالَ يٰبُنَيَّ لَا تَقْصُصْ رُءْيَاكَ عَلٰٓى اِخْوَتِكَ فَيَكِيْدُوْا لَكَ كَيْدًا ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Dia (ayahnya) berkata, “Wahai anakku! Janganlah engkau ceritakan mimpimu kepada saudara-saudaramu, mereka akan membuat tipu daya (untuk membinasakan)mu. Sungguh, setan itu musuh yang jelas bagi manusia.”

وَرَفَعَ اَبَوَيْهِ عَلَى الْعَرْشِ وَخَرُّوْا لَهٗ سُجَّدًاۚ وَقَالَ يٰٓاَبَتِ هٰذَا تَأْوِيْلُ رُءْيَايَ مِنْ قَبْلُ ۖقَدْ جَعَلَهَا رَبِّيْ حَقًّاۗ وَقَدْ اَحْسَنَ بِيْٓ اِذْ اَخْرَجَنِيْ مِنَ السِّجْنِ وَجَاۤءَ بِكُمْ مِّنَ الْبَدْوِ مِنْۢ بَعْدِ اَنْ نَّزَغَ الشَّيْطٰنُ بَيْنِيْ وَبَيْنَ اِخْوَتِيْۗ اِنَّ رَبِّيْ لَطِيْفٌ لِّمَا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ

Dan dia menaikkan kedua orang tuanya ke atas singgasana. Dan mereka (semua) tunduk bersujud kepadanya (Yusuf). Dan dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku! Inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah setan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku. Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana

Mimpi Nabi Yusuf ini termaktub dalam Q.S. Yusuf [12]: 4 dan ayat ke-100 merupakan takwilnya:

اِذْ قَالَ يُوْسُفُ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْ رَاَيْتُ اَحَدَ عَشَرَ كَوْكَبًا وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ رَاَيْتُهُمْ لِيْ سٰجِدِيْنَ

(Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, “Wahai ayahku! Sungguh, aku (bermimpi) melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku.”

Q.S. al-Isra: 60; Q.S. al-Fath: 27 (Mimpi Nabi Muhammad).

وَاِذْ قُلْنَا لَكَ اِنَّ رَبَّكَ اَحَاطَ بِالنَّاسِۗ وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُوْنَةَ فِى الْقُرْاٰنِ ۗ وَنُخَوِّفُهُمْۙ فَمَا يَزِيْدُهُمْ اِلَّا طُغْيَانًا كَبِيْرًا ࣖ

Dan (ingatlah) ketika Kami wahyukan kepadamu, “Sungguh, (ilmu) Tuhanmu meliputi seluruh manusia.” Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia dan (begitu pula) pohon yang terkutuk (zaqqum) dalam Al-Qur’an. Dan Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.

Q.S. al-Fath [48]: 27:

لَقَدْ صَدَقَ اللّٰهُ رَسُوْلَهُ الرُّءْيَا بِالْحَقِّ ۚ لَتَدْخُلُنَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ اٰمِنِيْنَۙ مُحَلِّقِيْنَ رُءُوْسَكُمْ وَمُقَصِّرِيْنَۙ لَا تَخَافُوْنَ ۗفَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوْا فَجَعَلَ مِنْ دُوْنِ ذٰلِكَ فَتْحًا قَرِيْبًا

Sungguh, Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya bahwa kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, jika Allah menghendaki dalam keadaan aman, dengan menggundul rambut kepala dan memendekkannya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan selain itu Dia telah memberikan kemenangan yang dekat.

Sedangkan dua mimpi lainnya dialami oleh penguasa kerajaan adalah mimpi yang benar dan merupakan ilham. Namun sayangnya saat mimpi itu ditanyakan kepada para penasihat atau pemuka kerajaannya, mereka justru menanggapinya dengan negatif dan mengatakan bahwa itu adalah mimpi yang kosong atau hanya bunga tidur belaka (Q.S. Yusuf [12]: 43) (Bint Syathi, 2008: 215-217).

Jadi bisa disimpulkan bahwa antara kata al-ru’ya dan al-hulm di dalam al-Qur’an, memiliki perbedaan makna yang sangat jelas. Meskipun secara umum kedua kata tersebut memilki arti yang sama yakni mimpi. Namun, dalam al-Qur’an ternyata keduanya memiliki fungsinya masing-masing. Dimana kata al-hulm digunakan secara spesifik untuk menunjukkan makna mimpi yang kadzib(bunga tidur), sedangkan kata al-ru’ya digunakan untuk menunjukkan mimpi yang haqiqi karena terdapat petunjuk Tuhan di dalamnya, baik berupa wahyu (bagi para Nabi) maupun ilham (jika selain Nabi).

Maka jika dirinci dapat diketahui bahwa kata al-hulm dalam al-Qur’an memiliki makna al-ru’yah al-kadzibah atau mimpi yang hanya sekedar bunga tidur. Kata al-hulm juga selalu berbentuk jama’ (plural) dan tidak mufrad sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebut juga melambangkan ketidakjelasan dari mimpi tersebut.

Sedangkan kata al-ru’ya dalam al-Qur’an dimaknai sebagai mimpi yang sifatnya hakikat atau berupa wahyu maupun ilham dari Allah kepada orang-orang yang dipilihnya. Kata al-ru’ya juga ditemukan hanya dalam bentuk mufrad (singular) yang dalam hal ini dapat dikatakan melambangkan kebenaran dan kekhasan mimpi tersebut (sebab spesifik). Wallahu a’lam.

Hukum Memperingati Hari Ibu menurut Al-Quran

0
hukum memperingati hari Ibu
Ibu Tunggal dalam Al-Quran

Ibu adalah pelita dan harapan bagi seluruh putra-putrinya di dunia. Keberadannya adalah jantung bagi kemajuan dan peradaban. Tanpa seorang Ibu, anak tidak dapat menjadi pribadi yang mandiri, cerdas dan maju. Di Indonesia, hari ibu diperingati pada 22 Desember dan diperingati secara nasional. Hal ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada ibu secara khusus atas apa yang selama ini telah dikorbankan untuk mendidik, menyayangi putra-putri bangsa. Lalu, bagaimana sebenarnya hukum memperingati hari Ibu dalam Islam? Berikut ini ulasannya.

Al-Quran  memerintahkan kita untuk selalu bersyukur karena memiliki orang tua khususnya Ibu, bahkan ayat tentang perintah bersyukur dan menghormati Ibu selalu terletak setelah larangan Allah berbuat Syirik. Tentu hal ini menunjukkan bahwa selain mentauhidkan Allah, seorang manusia sejati juga seharusnya memberikan penghormatan kepada ibu dan ayah secara khusus, bentuk penghormatan kepada mereka juga merupakana implementasi Tauhid kepada Allah. Untuk membuktikannya berikut kita tampilkan beberapa ayat sebelumnya yang memerintahkan kita untuk menghormati Ibu. Yakni Surat Luqman ayat 13-14 dan Al-Ahqaf ayat 13-14.

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِير

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا جَزَاءً بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita
Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan

Baca juga: Al-Quran Memuliakan Ibu, Tuntunan Islam dalam Memperlakukan Ibu

Kedua ayat diatas menunjukkan adanya relevansi antara ketauhidan kepada Allah dengan berbakti kepada kedua orang tua.

Menurut al-Biqa’i keduaya memiliki munasabah (korelasi) bahwa kebenaran akidah harus diikuti amal yang shaleh. Dan Al-Quran  menunjukkan bahwa Amal yang utama adalah menghormati kedua orang tua. Selain itu, nikmat yang utama adalah Iman kepada Allah subhanahu wata’ala, kemudian Nikmat memiliki kedua orang tua yang mengasuh kita sejak kecil. Atas nikmat itulah, kita diwajibkan untuk bersyukur, karena tidak dapat dikatakan bersyukur kepada Allah, jika ia tidak bersyukur terhadap makluk-Nya (orangtua). Karena sebabpendidikan dan pengasuhan keduanya pula, kita dapat mengetahui kebenaran. Sehingga bertauhid kepada Allah tidak dapat dipisahkan dari menghormati dan mengasihi keduanya.

Namun, sebagian umat muslim belakangan menolak adanya perayaan hari Ibu karena mereka memiliki keyakinan bahwa memperingati Hari Ibu sama halnya dengan meniru peradaban barat. Mereka berpegang pada hadis berikut:

عن ابن عمر قال قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم- من تشبه بقوم فهو منهم

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah bersabda; “barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia bagian darinya” (HR. Sunan Abi Dawud)

“Bukan termasuk kami, yaitu siapa saja yang menyerupai (meniru-niru) selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula Nasrani.” (HR. Tirmidzi)

Baca juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Pada konteksnya, beberapa kali Nabi melanjutkan perbuatan umat-umat terdahulu digantikan dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana Thawaf, thawaf juga dilakukan oleh orang-orang kafir sebelumnya. Ketika syariat islam datang, thawaf tidak dihapus, namun kalimatnya diubah dengan kalimat-kalimat tauhid untuk mengagungkan Allah.

Begitupula dalam merayakan hari Ibu, tidak dapat disebut tashabbuh dengan kaum Nasrani yang mencanangkan hari Ibu. Karena aplikaisnya dapat beragam, bisa bersedekah kepada orang lain yang pahalanya dikirimkan untuk Ibu. Dapat pula memberi hadiah khusus untuk lebih menyenangkan hati ibu atau dapat pula mengadakan doa bersama untuk mendoakan Ibu. Tentu perayaan semacam ini tidak dapat dianggap sebagai tashabbuh, karena tidak erusak akidah dan ketauhidan seseorang. Merayakan Hari Ibu merupakan salah satu bentuk implementasi dari firman Allah Surat Al-Isra’ ayat 23:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Dan tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada kedua perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 233: Tugas Ibu Menyusui Anak

Ibu memang harus dihormati setiap hari, namun memberikan hari Istimewa kepada seseorang sebagai bentuk pengagungan juga menjadikan seseorang yang dihormati lebih tersanjung dan bahagia. Peringatan hari ibu juga merupakan bentuk dari rasa syukur sebagaimana Al-Quran  perintahkan agar kita bersyukur. Tidak ada hukum yang melarang untuk memberikan sesuatu yang lebih istimewa kepada orang yang kita cintai. Berpegang pada kaidah fikih berikut:

  الأصل في الأشياء الإبا حة حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيل عَلى التَّحرِيم

“Asal dari segala sesuatu adalah boleh, hingga ada dalil yang melarangnya.”

Berpegang pada kaidah fikih tersebut, merayakan hari ibu bukanlah perbuatan yang dapat menimbulkan kesyirikan dan tidak terdapat dalil yang melarangnya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa merayakan hari ibu diperbolehkan dengan berpegang pada kaidah bahwa segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan.

Selain itu, merayakan hari Ibu juga dianggap bid’ah oleh sebagian umat muslim. Karena mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang tidak ada pada Masa Rasulullah adalah Bid’ah. Pada dasarnya, Bid’ah hanya diperuntukkan untuk masalah Ibadah saja. Sedangkan dalam hal Mu’amalah segala sesuatu yang baru dapat diterima selama itu mengandung kemaslahatan. Imam as-Syathibi berkata:

فَالْبِدعة إِذَن عِبَارةٌ عَن طَريقَة في ألدّين مُختَرَعة تضَاهي الشَّر عِيَّة

Bid’ah merupakan ungkapan tentang tata cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at (Ibrahim bin Musa al-Shathibi, al-I’tisham Juz 1, 26)

Selain itu juga terdapat kaidah yang haram pada dasarnya kebaruan dalam hal ibadah misalnya, menambah rakaat shalat, shalat yang menghadap kearah manapun. Sebagaimana kaidah fikih berikut:

 الأصلُ في العِبَادَات التَّحرِيم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيل عَلى الإبا حة

“Hukum asal segala bentuk Ibadah adalah haram, hingga ada dalil yang menunjukkan kebolehannya.”

Memperingati hari ibu merupakan bentuk Mu’amalah untuk memperat serta sebagai bentuk rasa syukur seorang anak terhadap Ibu. Dan rasa syukur dapat diaplikasikan dalam bentuk apapun, selama tidak melanggar koridor dan norma agama.

Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

0
Tafsir Jalalain dan sederet fakta tentangnya
Tafsir Jalalain dan sederet fakta tentangnya

Salah satu kitab tafsir yang cukup dikenal dan menjadi kurikulum di banyak pesantren adalah Tafsir Jalalain. Meski ukurannya cukup tebal, Tafsir Jalalain bisa disebut karya tafsir paling dasar dan paling sering yang dikenalkan kepada para santri di pesantren. Tidak seperti dalam bidang fikih yang terlebih dahulu mengenalkan kitab kecil semacam Sulam Taufiq maupun Fathul Qarib, sebelum mengenal yang lebih tebal semacam Fathul Wahab dan Minhajut Thalibin yang tebalnya sebanding dengan Tafsir Jalalain.

Tulisan ini akan mengupas beberapa fakta penting tentang Tafsir Jalalain. Salah satunya, yang mungkin sudah cukup banyak yang mengulasnya, bahwa Tafsir Jalalain adalah karya kolaborasi dari dua ulama’ terkenal.  Selanjutnya adalah tentang mana dari bagian dari Tafsir Jalalain yang disusun Imam Al-Mahalli dan As-Suyuthi. Selain itu, meski Tafsir Jalalayn adalah karya tafsir yang sudah cukup tebal, ternyata memiliki banyak kitab hasyiyah yang dapat dijadikan referensi untuk lebih mendalami kitab tersebut.

Baca juga: Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 1)

Karya kolaborasi

Tidak seperti karya-karya tulis lain yang dalam penamaannya biasanya muncul dari keterangan penulisnya dalam kitab tersebut, Tafsir Jalalain dinamai dengan Jalalain disebabkan kitab tersebut dikarang oleh dua orang yang kebetulan memiliki nama yang hampir sama. Yaitu Jalaluddin Al-Mahalli (w. 864 H.) dan Jalaluddin As-Suyuthi (w. 911 H.). Kesamaan pada nama “Jalaluddin” ini membuat karya tafsir tersebut dikenal dengan judul yang menunjukkan dikarang oleh dua orang yang bernama jalaluddin, sehingga dinama Tafsir Jalalayn atau tafsir karya dua jalaluddin.

Namun, disusunnya Tafsir Jalalayn ini oleh dua orang bukanlah dengan unsur kesengajaan sebagaimana kolaborasi zaman sekarang. Imam Jalaluddin Al-Mahalli sebagai penyusun sebenarnya kitab tersebut, meninggal setelah hanya sempat menyelesaikan Tafsir Surat Al-Fatihah bersama surat-surat setelah Al-Isra’. Dan meninggalkan Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra, belum diberi tafsir. Jalaluddin As-Suyuthi kemudian menyelesaikan sisanya di tahun 870 H. dengan metode penafsiran sebagaimana yang dipakai Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam memberikan penafsiran (Tafsir Jalalayn/1/3).

Baca juga: Alasan Tafsir Jalalain Jadi Tafsir Favorit di Pesantren

Yang ditulis oleh al-Mahalli dan as-Suyuthi

Bila Tafsir Jalalain adalah karya dari dua orang, tentu ada batas mana yang sudah dimulai oleh Imam Al-Mahalli, dan mana yang ditambahkan oleh Imam As-Suyuthi. Dan anda mungkin termasuk orang yang menyangka bahwa penulis Tafsir Jalalayn bagian pertama, yaitu Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra’, adalah Imam Al-Mahalli sebagai penulis aslinya. Kenyataannya tidaklah seperti itu. Justru Imam Al-Mahalli yang menulis bagian kedua’ yaitu dari Surat Al-Kahfi sampai An-Naas. Dan memang benar Imam Al-Mahalli tidak mulai menulis dari Surat Al-Baqarah.

Fakta itu disampaikan oleh Husain Dzahabi dalam At-Tafsir Wal Mufassirun. Adz-Dzahabi menepis anggapan Haji Khalifah dalam kitab Kasfud Dhunun bahwa penyusun Tafsir Jalalain mulai Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra’ adalah Imam Al-Mahalli. Adz-Dzahabi mendasarkan pendapatnya pada keterangan dalam Tafsir Jalalain di akhir Surat Al-Isra, yang berbunyi “Ini adalah akhir dari apa yang sudah aku sempurnakan pada tafsir Al-Qur’an Al-Karim karya Imam Jalaluddin Al-Mahalli”. Ini menunjukkan pengucapnya adalah Imam As-Suyuthi dan tafsir yang ia tambahkan adalah mulai Surat Al-Baqarah sampai Surat Al-Isra’ Mengenai tafsir Surat Al-Fatihah, Adz-Dzahabi meyakini bahwa itu karya Imam Al-Mahalli (At-Tafsir Wal Mufassirun/4/69).

Baca juga: Mengenal Jami’ al-Bayan, Pelopor Tafsir Al-Quran Dalam Islam Karya Ibnu Jarir At-Thabari

Syarah Tafsir Jalalain

Meski terbilang tebal dan termasuk karya tafsir yang jarang ada yang memberi syarah seperti layaknya matan fikih, Tafsir Jalalayn memiliki beberapa kitab syarah yang dijadikan pendamping dalam memahami Tafsir Jalalayn. Berikut daftar kitab-kitab syarah tersebut:

  1. Hasyiyah Qabsun Niraini karya Muhammad ibn Al-‘Alqami yang selesai ditulis tahun 952 H.
  2. Hasyiyah Al-Jamalaini karya Nuruddin ‘Ali ibn Sulthan Muhammad Al-Qari (w. 1010 H.) yang selesai ditulis tahun 1004 H.
  3. Hasyiyah Majma’ul Bahrain Wa Mathla’ul Badraini karya Muhammad ibn Muhammad Al-Kurkhi
  4. Hasyiyah Al-Futuhat Al-Ilahiyah karya Sulaiman ibn ‘Umar Al-Jamal
  5. Hasyiyah Ash-Shawi karya Ahmad ibn Muhammad Ash-Shawi Al-Maliki
  6. Hasyiyah Al-Kamalaini karya Salamullah ibn Fakhruddin Ad-Dahlawi
  7. Hasyiyah Anwarul Haramain
  8. Hasyiyah Hidayatul Muwahhidin

Wallahu a’lam[]