Beranda blog Halaman 437

Tafsir Surah Al Ma’un Ayat 1-7

0
tafsir surat al ma'un
Tafsiralquran.id

Pada surat sebelumnya berbicara mengenai kenikmatan yang diperoleh suku Quraisy karena pengabdiannya kepada Ka’bah, Tafsir Surah Al Ma’un Ayat 1-7 berbicara mengenai orang-orang yang mendustakan agama.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Quraisy Ayat 1-4

Dalam  Tafsir Surah Al Ma’un Ayat 1-7 dijelaskan bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah orang yang memperlakukan orang miskin dengan kasar, lebih-lebih kepada  anak yatim yang butuh pertolongan. Selain itu dalam pembahasan ini juga disinggung mengenai orang-orang yang tidak ikhlas dalam beribadah dan orang-orang yang pelit.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah menghadapkan pertanyaan kepada Nabi Muhammad, “Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama dan yang dimaksud dengan orang yang mendustakan agama?” Pertanyaan ini dijawab pada ayat-ayat berikut.

Ayat 2

Allah lalu menjelaskan bahwa sebagian dari sifat-sifat orang yang mendustakan agama ialah orang-orang yang menolak dan membentak anak-anak yatim yang datang kepadanya untuk memohon belas-kasihnya demi kebutuhan hidupnya. Penolakannya itu sebagai penghinaan dan takabur terhadap anak-anak yatim itu.

Ayat 3

membantu dan memberi makan orang miskin. Bila tidak mau mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin berarti ia tidak melakukannya sama sekali. Berdasarkan keterangan di atas, bila seorang tidak sanggup membantu orang-orang miskin maka hendaklah ia menganjurkan orang lain agar melakukan usaha yang mulia itu.

Ayat 4-5

Dalam ayat-ayat ini, Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan salat dengan tubuh dan lidahnya, tidak sampai ke hatinya. Dia lalai dan tidak menyadari apa yang diucapkan lidahnya dan yang dikerjakan oleh anggota tubuhnya.

Ia rukuk dan sujud dalam keadaan lalai, ia mengucapkan takbir tetapi tidak menyadari apa yang diucapkannya. Semua itu adalah hanya gerak biasa dan kata-kata hafalan semata-mata yang tidak mempengaruhi apa-apa, tidak ubahnya seperti robot.

Perilaku tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mendustakan agama, yaitu orang munafik. Ancaman itu tidak ditujukan kepada orang-orang muslim yang awam, tidak mengerti bahasa Arab, dan tidak tahu tentang arti dari apa yang dibacanya. Jadi orang-orang awam yang tidak memahami makna dari apa yang dibacanya dalam salat tidak termasuk orang-orang yang lalai seperti yang disebut dalam ayat ini.

Baca juga: 7 Mukjizat Nabi Isa As Dalam Al-Qur’an: Bagian Pertama

Ayat 6

Allah selanjutnya menambah penjelasan tentang sifat orang pendusta agama, yaitu mereka melakukan perbuatan-perbuatan lahir hanya semata karena ria, tidak terkesan pada jiwanya untuk meresapi rahasia dan hikmahnya.

Ayat 7

Allah menambahkan lagi dalam ayat ini sifat pendusta itu, yaitu mereka tidak mau memberikan barang-barang yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya, sedang barang itu tak pantas ditahan, seperti periuk, kapuk, cangkul, dan lain-lain.

Keadaan orang yang membesarkan agama berbeda dengan keadaan orang yang mendustakan agama, karena yang pertama tampak dalam tata hidupnya yang jujur, adil, kasih sayang, pemurah, dan lain-lain.

Sedangkan sifat pendusta agama ialah ria, curang, aniaya, takabur, kikir, memandang rendah orang lain, tidak mementingkan yang lain kecuali dirinya sendiri, bangga dengan harta dan kedudukan, serta tidak mau mengeluarkan sebahagian dari hartanya, baik untuk keperluan perseorangan maupun untuk masyarakat.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Kausar Ayat 1-3

(Tafsir Kemenag)

Jejak Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata

0
Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata
Manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata

Pulau Dewata merupakan refrensi toleransi yang patut dikagumi. Dalam beberapa reportase, penduduk Bali yang mayoritas beragama Hindu berhasil menghadirkan potret keeberagamaan yang menyejukkan. Maret lalu, kompas.com menulis tentang Pondok Pesantren Bina Insani yang 50 persen gurunya justru umat Hindu, berikut berita selengkapnya, klik di sini. Ini bukti toleransi yang luar biasa. Dalam sejarahnya, umat Muslim masuk ke Bali dan menetap untuk kali pertama pada abad ke-14. Islam pun berkembang dan salah satu jejaknya, muslim Malaysia mewariskan manuskrip Al-Quran Malaysia di Pulau Dewata.

Warisan manuskrip Al-Quran Malaysia ini ditemukan di Loloan Timur, Jembrana Bali. Jembrana mulai didatangi umat muslim pada tahun 1670, para pendatang itu merupakan orang-orang Bugis-Makassar atas izin penguasa Jembrana I Gusti Ngurah Pancoran. Seiring berjalannya waktu, wilayah Loloan Timur pun didatangi dan kini 96% penduduknya adalah umat muslim. Dari catatan ini, Loloan Timur menjadi wilayah dengan penanut Islam terbanyak di Bali dan dikenal juga sebagai kampung muslim kuno.

Al-Qur’an kuno ini ditulis oleh Encik Ya’kub, seorang pendakwah yang lahir di Thailand, besar di Trengganu Malaysia dan wafat di Bali. Ia memiliki nama asli Muhammad Ya’kub bin Syekh Faqih Ali al-Malibari. Dilihat dari nama aslinya, mungkin saja ia juga seorang keturunan dari daerah Malabar, India Selatan. Namun sayangnya tokoh ini minim informasi dan tarikh kehadirannya di Pulau Dewata pun masih diperdebatkan. Keterangan ini Mengutip penelitian Iqbal Hafidz dalam “Penggunaan Rasm dalam Mushaf Loloan Timur, Bali”. Meski demikian, terdapat kesepakatan bahwa Encik Ya’kub adalah orang yang berpengaruh baik di Malaysia maupun di Bali.

Baca juga: Manuskrip Mushaf Al-Quran dari Daun Lontar: Koleksi Kiai Abdurrachim asal Grobogan, Jawa Tengah

Pengaruh Encik Ya’kub di Malaysia dibuktikan dengan catatan Arifin Brandan “Loloan: Sejumlah Potret Umat Islam di Bali” yang menyebut bahwa pada tahun 1980-an peneliti Malaysia datang ke Loloan. Peneliti itu memastikan makam tokoh Trengganu yang ada di sana. Dalam hal ini, makam dan Al-Qur’an peninggalan Encik Ya’kub pun dikonfirmasi kebenarannya. Manuskrip Al-Qur’an itu telah disesuaikan dengan melihat karakter huruf dan komposisi penulisan karya-karyanya yang lain.

Encik Ya’kub dikabarkan memasuki Loloan pada tahun 1799 M. Ada yang menyebut bahwa kedatangannya merupakan undangan dari Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry. Nama yang disebutkan terakhir ini dikenal dengan panggilan Syarif Tua, tokoh dari Yaman yang memiliki hubungan kekerabatan Sultan Pontianak dan terlebih dahulu datang di Loloan. Syarif Tua juga menjadi saksi atas perwakafan Al-Qur’an yang dilakukan oleh Encik Ya’kub. Hal ini merujuk pada prasasti kayu yang disimpan di Masjid Agung Baitul Qadim.

Prasasti itu tertulis pada tahun 1268 H (1853 M) bertepatan dengan hari Senin bulan Dzulqa’dah Encik Ya’kub mewakafkan sebidang tanah sawah dan sebuah Mushaf Al-Qur’an. Prosesi perwakafan ini pun dihadiri oleh Mustika sebagai perbekel (pimpinan masyarakat Muslim), Mahbubah selaku penghulu serta Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry dan Aba Abdullah Hama selaku saksinya. Dari perannya ini, Encik Ya’kub pun dikenal sebagai tokoh penting dan makamnya termasuk keramat.

Baca juga: Utsman Thaha: Penulis Mushaf Al-Qur’an yang Karyanya Dibaca Muslim Seantero Dunia

Karakteristik Manuskrip Al-Qur’an Loloan Timur

Manuskrip ini memiliki ukuran 30 x 20 x 6 cm dengan bidang tulisan 20 x 12,5 cm. Konidisi fisik mushaf ini sebagian rusak dan robek, namun terdapat sampul hijau untuk menjaganya. Lima juz awal dari mushaf ini sudah hilang dan bagian akhir tidak sampai pada kolofon. Setiap halaman terdiri dari 15 baris dan menggunakan tinta hitam. Khat yang digunakan merupakan naskhi, jenis khat yang familiar dalam mushaf Al-Qur’an.

Mushaf ini ditulis dengan qiraat Hafs ‘an Ashim. Sementara rasm yang digunakan cenderung rasm imla’i. Pendapat ini merupakan hasil penelitian Iqbal Hafiz yang dilakukan secara mendalam khususnya 5 juz terakhir. Hasil ini juga merevisi penelitian pertama yang dilakukan oleh Anton Zaelani dan Enang Sudrajat, yang menyebut rasm Utsmani dalam Mushaf Al-Qur’an Kuno di Bali: Jejak Peninggalan Suku Bugis dan Makassar.

Mushaf ini beriluminasi dengan warna kuning keemasan yang menunjukkan tradisi khas Trengganu. Sayangnya, iluminasi hanya dapat dilihat di surat Al-Kahfi dan Juz ‘Amma karena bagian yang lain sudah hilang. Dalam hal tanda baca, mushaf ini memiliki tanda baca yang lengkap dan terkadang sudah tak digunakan lagi dewasa ini. Selain itu, terdapat keunikan lagi karena menampilkan kata peralihan (catch word) di lembaran kanan, bukan di lembaran kiri. 

Baca juga: Empat Mushaf Kuno Koleksi Museum Ronggowarsito, Bagamaina Bentuknya?

Dari berbagai ulasan ringkas tadi, Pulau Dewata dalam sejarah hingga kini telah menunjukkan peradaban yang harmoni. Jejak-jejak muslim di sana bersanding dengan kehidupan masyarakat Hindu. Di Loloan Timur seperti yang telah dibahas bahkan menggambarkan persebaran muslim dari berbagai daerah., baik dari Bugis-Makassar, Malaysia hingga Yaman.

7 Mukjizat Nabi Isa As Dalam Al-Qur’an: Bagian Pertama

0
Mukjizat Nabi Isa as
Mukjizat Nabi Isa as

Nabi Isa as merupakan salah satu dari 25 nabi pilihan Allah swt. Kisah beliau banyak diceritakan dalam Al-Quran, mulai dari kelahirannya hingga kedatangannya pada zaman. Umat Islam mengenal Nabi Isa sebagai salah satu nabi ulul azmi yang memiliki ketabahan dan keteguhan hati yang kuat. Dalam Al-Qur’an juga disebutkan tujuh mukjizat nabi Isa untuk membantu kelancaran dakwah beliau.

Dakwah nabi Isa kepada kaumnya, bani Israil, tidaklah mudah. Beliau menghadapi berbagai halangan dan rintangan yang tak berkesudahan. Meski ditentang, nabi Isa tidak gentar. Ia semakin berani mengoreksi para tokoh Yahudi yang dianggap menyeleweng dalam ajaran Taurat dan itu membuatnya semakin tidak disukai oleh kalangan Yahudi dan bani Israil.

Agar dakwah nabi Isa kepada bani Israil berjalan dengan lancar, Allah swt menganugerahkan kepadanya berbagai mukjizat. Dalam Al-Qur’an – setidaknya – disebutkan tujuh mukjizat nabi Isa as sepanjang perjalanan dakwahnya. Mukjizat-mukjizat tersebut adalah dilahirkan dari seorang perawan, berbicara sejak bayi, diberi hidangan langit, menciptakan burung, menyembuhkan penyakit, menghidupkan orang mati, dan mengetahui rahasia bani Israil.

  1. Nabi Isa lahir dari seorang perawan Maryam

Mukjizat nabi Isa yang pertama adalah dilahirkan dari seorang perempuan yang tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun, yakni Maryam. Dikisahkan bahwa Jibril as datang kepadanya dengan membawa kabar gembira dengan kehadiran seorang anak laki-laki suci sebagai anugerah Allah swt. Kejadian ini Al-Qur’an tuturkan dalam surat Maryam [19] ayat 19 yang berbunyi:

قَالَ اِنَّمَآ اَنَا۠ رَسُوْلُ رَبِّكِۖ لِاَهَبَ لَكِ غُلٰمًا زَكِيًّا ١٩

“Dia (Jibril) berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci.” (QS. Maryam [19]: 19).

Namun dikisahkan bahwa ketika Maryam mengandung nabi Isa, ia dicela dan menjadi bahan gunjingan kaumnya karena mengandung tanpa suami. Hal yang sama terjadi pasca ia melahirkan nabi Isa, bahkan olok-olok itu semakin bertambah, namun Maryam tetap sabar menghadapinya. Tuduhan-tuduhan keji tersebut kemudian dibantah oleh bayi nabi Isa.

  1. Nabi Isa berbicara saat bayi

Mukjizat nabi Isa yang kedua adalah bisa berbicara saat bayi untuk menegaskan kepada bani Israil bahwa ibunya, Maryam, adalah perempuan suci yang tidak pernah disentuh laki-laki dan tuduhan mereka kepadanya tidak benar adanya. Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiya, setelah berbicara mengenai hal tersebut, nabi Isa tidak pernah berbicara lagi hingga sampai pada usia anak berbicara pada umumnya.

Kisah nabi Isa kecil berbicara ini disebutkan Al-Qur’an dalam surat Maryam [19] ayat 30-33 yang bermakna:

قَالَ اِنِّيْ عَبْدُ اللّٰهِ ۗاٰتٰنِيَ الْكِتٰبَ وَجَعَلَنِيْ نَبِيًّا ۙ ٣٠ وَّجَعَلَنِيْ مُبٰرَكًا اَيْنَ مَا كُنْتُۖ وَاَوْصٰنِيْ بِالصَّلٰوةِ وَالزَّكٰوةِ مَا دُمْتُ حَيًّا ۖ ٣١ وَّبَرًّاۢ بِوَالِدَتِيْ وَلَمْ يَجْعَلْنِيْ جَبَّارًا شَقِيًّا ٣٢ وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا ٣٣

Dia (Isa) berkata, “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang Nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkahi di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (melaksanakan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.”

  1. Nabi Isa dan bani Israil mendapatkan hidangan dari langit

Mukjizat nabi Isa yang ketiga adalah mendatangkan hidangan dari langit atas izin Allah swt. Menurut Menurut Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiya, pemberian hidangan dari langit ini merupakan bentuk apresiasi yang diminta oleh bani Israil pasca mereka puasa 30 hari berturut-turut dan sebagai bukti bahwa puasa mereka tersebut diterima oleh Allah swt agar hati mereka tenang.

Kisah pemberian hidangan dari langit ini dapat ditemukan dalam Surat al-Maidah ayat 111 sampai 114. Secara umum ayat-ayat ini berbicara mengenai umat nabi Isa yang diberi Allah Swt nikmat berupa hidangan makanan dari langit untuk memenuhi kebutuhan mereka pasca melakukan puasa. Namun dikisahkan bahwa karena bani Israil tidak pandai bersyukur, akhirnya nikmat itu dihentikan dan mereka yang menentang Allah diberikan azab.

Firman Allah swt dalam surat al-Ma’idah [5] ayat 112-114:

اِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّوْنَ يٰعِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيْعُ رَبُّكَ اَنْ يُّنَزِّلَ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ ۗقَالَ اتَّقُوا اللّٰهَ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ١١٢

(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa yang setia berkata, “Wahai Isa putra Maryam! Bersediakah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?” Isa menjawab, “Bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.”

قَالُوْا نُرِيْدُ اَنْ نَّأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَىِٕنَّ قُلُوْبُنَا وَنَعْلَمَ اَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُوْنَ عَلَيْهَا مِنَ الشّٰهِدِيْنَ ١١٣

Mereka berkata, “Kami ingin memakan hidangan itu agar tenteram hati kami dan agar kami yakin bahwa engkau telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan (hidangan itu).”

قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللّٰهُمَّ رَبَّنَآ اَنْزِلْ عَلَيْنَا مَاۤىِٕدَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ تَكُوْنُ لَنَا عِيْدًا لِّاَوَّلِنَا وَاٰخِرِنَا وَاٰيَةً مِّنْكَ وَارْزُقْنَا وَاَنْتَ خَيْرُ الرّٰزِقِيْنَ ١١٤

Isa putra Maryam berdoa, “Ya Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; berilah kami rezeki, dan Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.”

Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 55-56

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 55-56 berbicara etika berdoa kepada Allah dan juga larangan membuat kerusakan di muka bumi.


Baca Juga: Tafsir Surat Al A’raf ayat 54 Tentang Penciptaan Langit dan Bumi


Ayat 55

Tafsir surat Al A’raf ayat 55-56, khususnya dalam ayat 55 Ayat ini mengandung etika dalam berdoa kepada Allah. Berdoa adalah munajat antara hamba dengan Tuhannya untuk menyampaikan suatu permintaan agar Allah berkenan mengabulkannya. Maka berdoa kepada Allah hendaklah dengan penuh kerendahan hati, dengan betul-betul khusyuk dan berserah diri.

Kemudian berdoa itu disampaikan dengan suara lunak dan lembut yang keluar dari hati sanubari yang bersih. Berdoa dengan suara yang keras, menghilangkan kekhusyukan dan mungkin menjurus kepada ria dan pengaruh-pengaruh lainnya dan dapat mengakibatkan doa itu tidak dikabulkan Allah. Doa tidak harus dengan suara yang keras, sebab Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.

Diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy‘ari, ia berkata, “Ketika kami bersama-sama Rasulullah saw dalam perjalanan, terdengarlah orang-orang membaca takbir dengan suara yang keras. Maka Rasulullah bersabda:

اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُوْنَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا قَرِيْبًا وَهُوَ مَعَكُمْ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي موسى الأشعري)

“Sayangilah dirimu jangan bersuara keras, karena kamu tidak menyeru kepada yang pekak dan yang jauh. Sesungguhnya kamu menyeru Allah Yang Maha Mendengar lagi Dekat dan Dia selalu beserta kamu”. (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim dari Abu Musa al-Asy’ari)

Bersuara keras dalam berdoa, bisa mengganggu orang, lebih-lebih orang yang sedang beribadah, baik dalam masjid atau di tempat-tempat ibadah yang lain, kecuali yang dibolehkan dengan suara keras, seperti talbiyah dalam musim haji dan membaca takbir pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Allah memuji Nabi Zakaria a.s. yang berdoa dengan suara lembut:

اِذْ نَادٰى رَبَّهٗ نِدَاۤءً خَفِيًّا

(Yaitu) ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut. (Maryam/19: 3)

Kemudian ayat ini ditutup dengan peringatan, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampau batas.” Maksudnya, dilarang melampaui batas dalam segala hal, termasuk berdoa. Tiap-tiap sesuatu sudah ditentukan batasnya yang harus diperhatikan, jangan sampai dilampaui.

Bersuara keras dan berlebih-lebihan dalam berdoa termasuk melampaui batas, Allah tidak menyukainya. Termasuk juga melampaui batas dalam berdoa, meminta sesuatu yang mustahil adanya menurut syara‘ ataupun akal, seperti seseorang meminta agar dia menjadi kaya, tetapi tidak mau berusaha atau seseorang menginginkan agar dosanya diampuni, tetapi dia masih terus bergelimang berbuat dosa dan lain-lainnya. Berdoa seperti itu, namanya ingin mengubah sunatullah yang mustahil terjadinya. Firman Allah:

فَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا ەۚ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّتِ اللّٰهِ تَحْوِيْلًا

Maka kamu tidak akan mendapatkan perubahan bagi ketentuan Allah, dan tidak (pula) akan menemui penyimpangan bagi ketentuan Allah itu. (Fāthir/35: 43)

Berdoa dihadapkan kepada selain Allah atau dengan memakai perantara (washilah) orang yang sudah mati adalah melampaui batas yang sangat tercela. Berdoa itu hanya dihadapkan kepada Allah, tidak boleh menyimpang kepada yang lain. Allah berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ فَلَا يَمْلِكُوْنَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلَا تَحْوِيْلًا  ٥٦  اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهٗ وَيَخَافُوْنَ عَذَابَهٗۗ اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوْرًا  ٥٧ 

Katakanlah (Muhammad), “Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, mereka tidak kuasa untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak (pula) mampu mengubahnya.” Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.” (al-Isrā′/17: 56-57)

Hadis Nabi saw:

وَرُوِيَ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ: سَلُوْا لِيَ الْوَسِيْلَةَ، قَالُوْا: وَمَا الْوَسِيْلَةُ؟ قَالَ: اَلْقَرْبُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ثُمَّ قَرَأَ: يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ (رواه الترمذي عن ابن مردويه)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah dia berkata, “Telah bersabda Rasulullah saw, “Mintalah kepada Allah wa¡ilah untukku. Mereka bertanya: Ya Rasulullah, apakah washilah itu? Rasulullah menjawab: “Dekat dengan Allah azza Wa Jalla, kemudian Rasulullah membaca ayat; (mereka sendiri) mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat kepada Allah.” (Riwayat at-Tirmidzi dari Ibnu Mardawaih)

Ayat 56

Dalam ayat ini Allah melarang manusia untuk berbuat kerusakan di muka bumi. Larangan membuat kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti merusak pergaulan, jasmani dan rohani orang lain, kehidupan dan sumber-sumber penghidupan (pertanian, perdagangan, dan lain-lain), merusak lingkungan dan lain sebagainya.

Bumi ini sudah diciptakan Allah dengan segala kelengkapannya, seperti gunung, lembah, sungai, lautan, daratan, hutan dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk keperluan manusia, agar dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, manusia dilarang membuat kerusakan di muka bumi.

Selain itu, Allah juga menurunkan agama dan mengutus para rasul untuk memberi petunjuk agar manusia dapat hidup dalam kebahagiaan, keamanan dan kedamaian. Sebagai penutup kenabian, Allah mengutus Rasulullah saw yang membawa ajaran Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Bila manusia mengikuti ajaran Islam dengan benar, maka seluruhnya akan menjadi baik, manusia menjadi baik, bangsa menjadi baik, dan negara menjadi baik pula.

Sesudah Allah melarang manusia membuat kerusakan, maka di akhir ayat ini diungkap lagi tentang etika berdoa. Ketika berdoa untuk urusan duniawi atau ukhrawi, selain dengan sepenuh hati, khusuk dan suara yang lembut, hendaknya disertai pula dengan perasaan takut dan penuh harapan. Cara berdoa semacam ini akan mempertebal keyakinan dan akan menjauhkan diri dari keputus asaan, karena langsung memohon kepada Allah yang Mahakuasa dan Mahakaya.

Rahmat Allah akan tercurah kepada orang yang berbuat baik, dan berdoa merupakan perbuatan baik. Oleh karenanya, rahmat Allah tentu dekat dan akan tercurah kepadanya. Anjuran untuk berbuat baik banyak diungkap dalam Al-Qur′an, seperti berbuat baik terhadap tetangga, kepada sesama manusia, kepada kawan, kepada lingkungan dan lainnya. Karena itu, bila seseorang akan menyembelih binatang, hendaknya ia melakukan dengan cara yang baik, yaitu dengan pisau yang tajam agar tidak menyebabkan penderitaan bagi binatang itu.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 180: Anjuran Berdoa dan Berdzikir dengan Asmaul Husna


 

Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah

0
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30
Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30

Termasuk dari kejahatan kaum musyrik Mekah ialah berharap agar Nabi Muhammad Saw dan pengikutnya segera mati. Mereka meneriakkan ambisinya terang-terangan, dengan mengatakan bahwa Nabi adalah seorang penyair –karena mereka anggap Al-Quran buatan Nabi belaka-, yang mereka tunggu kematiannya (QS. At-Thur: 30). Untuk mengecam dan mematikan ambisi musyrikin Mekah, Allah menurunkan Surat Al-Mulk ayat 28-30.

Kecaman Terhadap Musyrikin Mekah

Dalam Surat Al-Mulk ayat 28, Allah memerintahkan Nabi Saw. untuk mengecam sikap kaum musyrikin Mekah yang menginginkan Nabi dan pengikutnya segera mati.

قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِنۡ أَهۡلَكَنِيَ ٱللَّهُ وَمَن مَّعِيَ أَوۡ رَحِمَنَا فَمَن يُجِيرُ ٱلۡكَٰفِرِينَ مِنۡ عَذَابٍ أَلِيمٖ

“Katakanlah (Muhammad), “Tahukah kamu jika Allah mematikan aku dan orang-orang yang bersamaku atau memberi rahmat kepada kami, (maka kami akan masuk surga), lalu siapa yang dapat melindungi orang-orang kafir dari azab yang pedih?””

Mengutip Tafsir Al-Munir karya Wahbah az-Zuhayli, ayat ini turun dalam konteks kaum Musyrikin Mekah yang berdoa agar Nabi Muhammad Saw dan pengikutnya binasa.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 72-73: Keistimewaan dan Kebiasaan Buruk Manusia

Kata ahlaka pada Surat Al-Mulk ayat 28 tersebut merupakan sinonim dari amata, yang berarti mematikan. Sementara dibandingkatannya diksi ahlakani (mekatikanku) dengan rahimana (memberi kasih kepada kami), menurut Ibnu ‘Asyur dalam at-Tahrir wat-Tanwir, menunjukkan kasih Allah yang dimaksud ialah kehidupan untuk Nabi. Sehingga, pupus sudah harap Musyrikin Mekah, karena pada akhirnya, Nabi dipanjangkan usianya hingga agama Islam sempurna ia dakwahkan. Akan tetapi, mengutip Jami’ul Bayan karya at-Thabari, sekalipun pada Nabi dan pengikutnya mati, tidak akan memberi kebahagiaan bagi kaum musyrikin. Toh, pada akhirnya, mereka akan tertimpa siksa.

Mengapa kehidupan bisa termasuk kasih Allah untuk Nabi dan pengikutnya? Tentu saja, karena dengan diberi kehidupan, seseorang dapat menikmati kesempatan untuk mendulang keberkahan dan memaksimalkan perbuatan baik. Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Asyur.

Baca juga: Penjelasan Fenomena Mendung, Petir, dan Guruh dalam Al-Quran

Selain memadamkan ambisi dengan menyatakan bahwa kelak ketika mati, Nabi dan pengikutkan akan dinaungi kasih Allah, Allah juga menyangkal harapan musyrikin Mekah bahwa kematian itu sesuatu yang pasti menimpa seluruh manusia. Allah telah menunjukkannya di berbagai ayat. Seperti dalam Surat Az-Zumar ayat 30:

إِنَّكَ مَيِّتٞ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula)”

Ayat ini juga bermaksud mengajak musyrikin Mekah untuk bertaubat. Dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim, Ibnu Katsir menyatakan, ayat ini pada intinya memerintahkan kaum musyrikin untuk menyelamatkan dirinya dengan taubat dan kembali ke jalan yang didakwahkan Nabi Saw. karena, hanya dengan dua cara itu, mereka bisa selamat dari siksaan. Maka, adalah sama saja, Nabi dan para pengikutnya mati atau diberi kehidupan panjang, kaum musyrikin Mekah tetap akan dapat azab selama tidak mau bertaubat.

Allah Satu-Satunya Penyelamat

Pada Surat Al-Mulk ayat 29, Allah memerintahkan Nabi Saw. untuk merespons sendiri kecamannya terhadap kaum musyrikin Mekah. Mengutip Tafsir Al-Mishbah karya Quraish Shihab, kaum musyrikin bungkam atas kecaman yang disodorkan Nabi di atas. Tak lain, karena mereka menyadari bahwa hanya Allah lah akan menyelamatkan seluruh manusia.

قُلۡ هُوَ ٱلرَّحۡمَٰنُ ءَامَنَّا بِهِۦ وَعَلَيۡهِ تَوَكَّلۡنَاۖ فَسَتَعۡلَمُونَ مَنۡ هُوَ فِي ضَلَٰلٖ مُّبِينٖ

“Katakanlah, “Dialah Yang Maha Pengasih, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nya kami bertawakal. Maka kelak kamu akan tahu siapa yang berada dalam kesesatan yang nyata.””

Ayat ini juga menunjukkan sikap mukmin ideal yang tercermin dari pribadi Nabi dan para pengikutnya, yakni selalu percaya terhadap kasih Allah serta tawakal terhadapNya. Wahbah Zuhayli memaknai iman dalam konteks ini dengan percaya terhadap kasih Allah yang terejawantah dari sifat Rahman-Nya, percaya akan kesesaanNya, serta tawakkal hanya kepadaNya. Tawakkal sendiri ialah memasrahkan segala urusan kepada Allah Swt, sebagaimana yang tertera dalam Surat Hud ayat 123:

فَٱعۡبُدۡهُ وَتَوَكَّلۡ عَلَيۡهِۚ

“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya”

Demikianlah iman serta tawakkal yang dimiliki Nabi dan para pengikutnya. Hal ini membuktikan betapa Nabi dan umat mukmin sekalian mengharapkan kasih Allah, yang sejatinya tidak hanya dianugerahkan kepada mereka. Tetapi, seluruh makhluk juga. Karena, sebagaimana al-Baghawi, sifat Rahman Allah berarti kasih sayangnya yang dicurahkanNya terhadap semua makhluk saat di dunia.

Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 25-27: Balasan Bagi yang Ingkar Terhadap Ancaman Allah

Dalil Wajibnya Tawakkal

Pada ayat 30, Allah memungkasinya dengan dalil wajibnya tawakkal hanya kepadaNya, dengan menarasikan salah satu bentuk kasihnya.

قُلۡ أَرَءَيۡتُمۡ إِنۡ أَصۡبَحَ مَآؤُكُمۡ غَوۡرٗا فَمَن يَأۡتِيكُم بِمَآءٖ مَّعِينِۭ

“Katakanlah (Muhammad), “Terangkanlah kepadaku jika sumber air kamu menjadi kering; maka siapa yang akan memberimu air yang mengalir?””

Allah memerintahkan Nabi untuk mengingatkan kaum musyrikin Mekah pada salah satu bentuk kasihNya yang penting bagi kehidupan manusia, yakni air. Kita tahu bahwa air merupakan sumber kehidupan di bumi. Maka kemudian, mereka diingatkan bila sumber mata air yang mereka miliki kering, siapa yang akan memberikannya air yang mengalir selain Allah?

Menurut az-Zuhayli, pesan utama dari penyebutan air sebagai bagian dari nikmat Allah tak lain adalah untuk menyadarkan kaum musyrikin Mekah atas perbuatan kejinya berupa menyekutukan Allah, padahal tidak ada satu hal pun yang layak menjadi bandingan Allah. Maka, ayat ini menjadi bukti kewajiban untuk menyandarkan segala urusan hanya kepada Allah, karena telah banyak bukti yang disodorkan tentang kesesaanNya dan kuasaNya.

Baca juga: Tafsir Surat al-Mulk Ayat 20-24: Perlindungan dan Rezeki Hanya Bersumber dari Allah

Meski secara khusus Surat Al-Mulk ayat 28-30 ini berbicara kepada kaum musyrikin, pesan utamanya tetap relate dengan seluruh kondisi umat manusia. Karena, tentu pernah suatu ketika ada ambisi yang begitu besarnya untuk meraih sesuatu, sampai-sampai membuat lupa untuk memasrahkan hasil akhirnya kepada Allah. Ayat ini harus selalu kita jadikan pengingat untuk menetapi tawakkal seusai berusaha. Begitu pula, taubat atau sadar dan menyesal, harus kita terapkan tatkala berbuat kejelekan.  Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 72-73: Keistimewaan dan Kebiasaan Buruk Manusia

0
Surat Al-Ahzab Ayat 72-73
Surat Al-Ahzab Ayat 72-73

Surat Al-Ahzab ayat 72-73 bercerita bahwa ketika makhluk-makhluk lain menolak dan tidak menyanggupi amanat dari Allah, manusia tampil menjadi satu-satunya makhluk Allah yang bersedia menerima amanat tersebut. Apakah hal tersebut menunjukkan keistimewaan manusia ataukah sebaliknya? Lantas mengapa di ayat ini pula Allah menyatakan bahwa manusia itu zalim dan bodoh?

Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 72-73,   

اِنَّا عَرَضْنَا الْاَمَانَةَ عَلَى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَالْجِبَالِ فَاَبَيْنَ اَنْ يَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْاِنْسَانُۗ اِنَّهٗ كَانَ ظَلُوْمًا جَهُوْلًاۙ  () لِّيُعَذِّبَ اللّٰهُ الْمُنٰفِقِيْنَ وَالْمُنٰفِقٰتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكٰتِ وَيَتُوْبَ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنٰتِۗ وَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh, (72) sehingga Allah akan mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, orang-orang musyrik, laki-laki dan perempuan; dan Allah akan menerima tobat orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang. (73)

Sebelum menjawab tentang manusia yang disinggung oleh ayat tersebut, kita kenali dulu maksud ‘amanat’ nya. Jika melihat dari penolakan langit, bumi dan gunung-gunung terhadap ‘amanat’ seperti yang diperlihatkan oleh ayat, maka itu menandakan bahwa ‘amanat’ yang ditawarkan sangatlah berat dan penting, makanya langit dan kawan-kawannya menolak untuk menerimanya, karena mereka merasa tidak sanggup dan kawatir berkhianat terhadap Sang pemberi amanat.

Quraish Shihab mengutip analisa dari Thabathaba’i menyampaikan bahwa yang dimaksud ’amanat’ di sini adalah wilayah ilahiyah atau kesempurnaan sifat ubudiyah yang hanya dapat diperoleh dengan pengetahuan tentang Allah serta amal salih.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Kedua potensi di atas, yakni mempunyai pengetahuan tentang Allah dan melaksanakan amal salih, hanya dimiliki oleh manusia. Sementara makhluk seperti langit, bumi dan gunung tidak memilikinya. Oleh karena itu, potensi yang ada di manusia itu secara tidak sadar mendorongnya untuk menyanggupi amanat tersebut, meski secara bersamaan manusia juga berpotensi mengkhianatinya.

Manusia yang memenuhi amanat tersebut dengan baik, maka ia akan menjadi orang yang beriman, sementara manusia yang dengan sadar menyanggupi, tetapi dengan sadar pula ia mengkhianati, maka itu yang disebut oleh Alquran dengan dzalim dan bodoh.

Kesanggupan menerima dan menunaikan ‘amanat’ yang diberikan oleh Allah hingga menjadikannya orang beriman adalah keistimewaan bagi manusia dibanding makhluk yang lain, sedang kesanggupan menerima tetapi ternyata ia khianati adalah kekurangan bagi manusia dibanding makhluk yang lain.

Sementara itu, terkait manusia yang dimaksud dalam ayat, ada satu pendapat memahaminya sebagai Adam seperti dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib dan Tafsir Ibnu Katsir. Namun ada pula yang memahaminya dengan semua manusia, tidak hanya Adam. M. Quraish Shihab mengatakan bahwa pendapat yang kedua ini yang lebih kuat.

Hal ini didukung oleh hadis Nabi yang dikutip oleh At-Thabari dalam tafsirnya. Hadis ini lumayan panjang. Kurang lebih seperti berikut terjemahannya

‘Sesungguhnya amanat dan wafa’ (memenuhi janji), turun kepada Anak Adam bersama para Nabi, lalu mereka diutus dengannya. Di antara mereka ada Rasul, Nabi, Nabi sekaligus Rasul. Al-Quran turun dan ia merupakan kalam Allah. Bahasa Arab dan Non-Arab diturunkan. Oleh karena itu, mereka mengetahui ihwal Alquran dan sunnah dengan bahasa mereka masing-masing. Allah tidak membiarkan suatu perintah untuk mereka lakukan atau hindari, yaitu berbagai hujah atas mereka, melainkan Allah menjelaskannya kepada mereka. Jadi tidak ada ahli bahasa satu pun melainkan bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Kemudian amanat adalah perkara pertama yang diangkat, dan sisanya tetap ada di lubuk hati manusia. Kemudian wafa’ dan perjanjian diangkat, dan tinggallah kitab-kitab. Orang yang mengerti akan mengamalkannya, dan orang yang bodoh mengetahuinya tapi mengingkarinya hingga sampai kepadaku dan kepada umatku. Tiada yang binasa di hadapan Allah kecuali yang telah ditetapkan binasa, dan tidak ada yang melalaikannya kecuali orang yang meninggalkannya. Hati-hatilah wahai manusia, waspadalah terhadap setan yang senantiasa menggoda dan bersembunyi. Allah menguji kalian untuk mengetahui siapa yang paling baik amalnya di antara kalian.’ 

Ada beberapa hal yang bisa diambil poin dari hadis yang sangat panjang di atas. Pertama, memperkuat bahwa amanat dan wafa’ tidak hanya tertuju kepada Nabi Adam, melainkan kepada semua umat manusia. Kedua, di antara mereka ada yang dipilih menjadi perwakilan yang dipasrahi oleh Allah untuk membimbing dalam pemenuhan amanat dan wafa’, maka kemudian ada yang menjadi Nabi, Rasul, dan Nabi sekaligus Rasul.

Ketiga, tidak hanya Nabi dan Rasul, umat manusia juga dibekali dengan kitab suci baik berbahasa Arab maupun non Arab yang berisi banyak petunjuk sebagai panduan menunaikan amanat. Keragaman bahasa yang digunakan akan mempermudah akses untuk memahami panduan tersebut. Semua orang bisa mengaksesnya, yang pandai dan yang bodoh. Mereka mengetahuinya, tetapi tidak semua mengimani dan mengamalkannya, di antara mereka ada mengingkarinya.

Berdasar pada informasi surat Al-Ahzab ayat 72-73 ini, diketahui pula bahwa sedari awal manusia sudah mengerti pun menyanggupi tugas dari Allah lengkap dengan konsekuensinya. Hal ini sebagaimana terlihat dalam penafsiran Ibnu Katsir yang mengilustrasikan dialog antara Nabi Adam (representasi manusia) dengan Allah sebelum Nabi Adam memutuskan untuk menerima amanat tersebut.

Nabi Adam bertanya kepada Allah ‘apa yang ada di dalam amanat itu wahai Tuhanku?’ Allah menjawab ‘Jika kamu baik (melaksanakan amanat), maka kamu akan dibalas dengan kebaikan, namun jika kamu berbuat buruk (tidak melaksanakan amanat) maka kamu akan disiksa’. Nabi Adam kemudian menerima dan menyanggupinya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar

Pada surat Al-Ahzab ayat 72-73, tepatnya di ayat 73, Allah menegaskan kembali bahwa manusia itu berpotensi untuk beriman (meyanggupi amanat dan bertanggungjawab terhadapnya), ada pula yang berpotensi munafik (menerima amanat, menyanggupinya tapi tidak bertanggungjawab atasnya), bahkan ada pula yang musyrik (tidak mau menerima amanat, terlebih tidak merasa bertanggungjawab terhadapnya).

Untuk orang munafik dan musyrik, siksa Allah akan ditimpakan kepada mereka. Namun jika mereka mau bertaubat, memperbaiki kelalaiannya, maka Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Jika demikian, seharusnya manusia sudah siap melaksanakan amanat dengan segala lika liku pelaksanannya. Kesadaran ini sangat bisa kita adopsi dalam keseharian kita, khususnya dalam melaksanakan tugas dan memenuhi kewajiban kita masing-masing.  Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al A’raf ayat 54

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 54 ini menjelaskan penciptaan langit dan bumi dalam enam masa. Setelah penciptaan langit dan bumi selesai, dalam tafsir surat Al A’raf ayat 54 ini mengisahkan Allah bersemayam di atas Arsy mengurus dan mengatur semua urusan yang berhubungan dengan langit dan bumi sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya.


Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin


Ayat 54

Pada permulaan ayat ini Allah menegaskan bahwa Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari (masa). Dialah Pemilik, Penguasa dan Pengaturnya, Dialah Tuhan yang berhak disembah dan kepada-Nya manusia harus meminta pertolongan.

Walaupun yang disebutkan dalam ayat ini hanya langit dan bumi saja, tetapi yang dimaksud ialah semua yang ada di alam ini, karena yang dimaksud dengan langit ialah semua alam yang di atas, dan yang dimaksud dengan bumi ialah semua alam di bawah, dan termasuk pula alam yang ada di antara langit dan bumi sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

اَلَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. (al-Furqān/25: 59)

Adapun yang dimaksud dengan enam hari ialah enam masa yang telah ditentukan Allah, bukan enam hari yang kita kenal ini yaitu hari sesudah terciptanya langit dan bumi, sedang hari dalam ayat ini adalah sebelum itu. Berikut ini penjelasan arti enam hari dalam ayat ini menurut para ilmuwan:

Menurut Marconi (2003) penjelaskan keenam masa tersebut sebagai berikut: Masa Pertama, yakni masa sejak ‘Dentuman Besar’ (Big Bang) dari Singularity, sampai terpisahnya Gaya Gravitasi dari Gaya Tunggal (Superforce), ruang-waktu mulai memisah. Namun Kontinuum Ruang-Waktu yang lahir masih berujud samar-samar, dimana energi-materi dan ruang-waktu tidak jelas bedanya.

Masa Kedua, masa terbentuknya inflasi Jagad Raya, namun Jagad Raya ini masih belum jelas bentuknya, dan disebut sebagai Cosmic Soup (Sup Kosmos). Gaya Nuklir-Kuat memisahkan diri dari Gaya Elektro-Lemah, serta mulai terbentuknya materi-materi fundamental: quarks, antiquarks, dan sebagainya. Jagad Raya mulai mengembang.

Masa Ketiga, masa terbentuknya inti-inti atom di Jagad Raya ini. Gaya Nuklir-Lemah mulai terpisah dengan Gaya Elektromagnetik. Inti-inti atom seperti proton, netron, dan meson tersusun dari quark-quark ini. Masa ini dikenal sebagai masa pembentukan inti-inti atom (Nucleosyntheses). Ruang, waktu serta materi dan energi, mulai terlihat terpisah.

Masa Keempat, elektron-elektron mulai terbentuk, namun masih dalam keadaan bebas, belum terikat oleh inti-atom untuk membentuk atom yang stabil. Masa Kelima, terbentuknya atom-atom yang stabil, memisahnya materi dan radiasi, dan Jagad Raya, terus mengembang dan mulai nampak transparan.

Masa Keenam, Jagad raya terus mengembang, atom-atom mulai membentuk aggregat menjadi molekul-molekul, makro-molekul, kemudian membentuk proto-galaksi, galaksi-galaksi, bintang-bintang, tata-surya tata surya, dan planet-planet.

Adapun mengenai lamanya sehari menurut agama hanya Allah yang mengetahui, sebab dalam Al-Qur′an sendiri ada yang diterangkan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan seribu tahun, dalam firman-Nya yang disebutkan:

وَاِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَاَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّوْنَ

Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu. (al-Hajj/22: 47)

Dan ada pula yang diterangkan lima puluh ribu tahun seperti dalam firman-Nya:

تَعْرُجُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ وَالرُّوْحُ اِلَيْهِ فِيْ يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهٗ خَمْسِيْنَ اَلْفَ سَنَةٍ

Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun. (al-Ma’ārij/70: 4)

 

Ada beberapa hadis yang menunjukkan bahwa hari yang enam itu ialah hari-hari kita sekarang di antaranya yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah. Abu Hurairah berkata:

أَخَذَ بِيَدِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَّ فَقَالَ: خَلَقَ الله ُالتُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ وَخَلَقَ الْجِبَالَ فِيْهَا يَوْمَ اْلأَحَدِ وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ اْلاِثْنَيْنِ وَخَلَقَ الْمَكْرُوْهَ يَوْمَ الثُّلاَثَاءِ وَخَلَقَ النُّوْرَ يَوْمَ اْلأَرْبِعَاءِ وَبَثَّ فِيْهَا الدَّوَّابَ يَوْمَ الْخَمِيْسِ وَخَلَقَ آدَمَ بَعْدَ الْعَصْرِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ آخِرَ الْخَلْقِ فِيْ آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فِيْمَا بَيْنَ الْعَصْرِ اِلَى اللَّيْلِ

“Rasulullah memegang tanganku lalu bersabda, “Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, menciptakan bukit-bukit pada hari Ahad, menciptakan pohon pada hari Senin, menciptakan hal-hal yang tak baik pada hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menciptakan gunung-gunung pada hari Kamis, dan menciptakan Adam pada hari Jum‘at sesudah Asar, merupakan ciptaan terakhir, pada saat terakhir itu antara waktu asar dan permulaan malam”. (Riwayat Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah)

Hadis ini ditolak oleh para ahli hadis karena bertentangan dengan nash Al-Qur′an. Dari segi sanadnya pun hadis ini adalah lemah karena dirawikan oleh Hajjad bin Muhammad al-Ajwar dari Juraij yang sudah tidak waras di akhir hayatnya. Menurut al-Manār hadis ini termasuk hadis-hadis Israiliyat yang dibikin oleh kaum Yahudi dan Nasrani dan dikatakan dari Rasulullah saw. Pada ayat-ayat yang lain diterangkan lebih terperinci lagi tentang masa-masa penciptaan langit dan bumi seperti terdapat dalam firman Allah:

قُلْ اَىِٕنَّكُمْ لَتَكْفُرُوْنَ بِالَّذِيْ خَلَقَ الْاَرْضَ فِيْ يَوْمَيْنِ وَتَجْعَلُوْنَ لَهٗٓ اَنْدَادًا ۗذٰلِكَ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ۚ   ٩ 

Katakanlah, “Pantaskah kamu ingkar kepada Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan pula sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan seluruh alam.” (Fushilat/41: 9)

Allah menciptakan gunung-gunung yang kokoh di atas bumi. Dia memberkahi dan menentukan kadar makanan penghuninya dalam empat masa yang sama (cukup) sesuai bagi siapa yang memerlukannya. Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan bumi itu masih merupakan asap, Allah berkata kepadanya dan kepada bumi, “Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka atau terpaksa.


Baca Juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran


Keduanya menjawab, “Kami datang dengan suka.” Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan kepada tiap-tiap langit urusannya. Dan kami hiasi langit yang terdekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.

Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Penciptaan bumi yang berasal dari gumpalan-gumpalan yang kelihatan seperti asap adalah dua masa dan penciptaan tanah, bukit-bukit, gunung-gunung serta bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan bintang dalam dua masa pula. Dengan demikian sempurnalah penciptaan bumi dan segala isinya dalam empat masa.
  2. Penciptaan langit yang berasal dari gumpalan-gumpalan kabut itu dengan segala isinya dalam dua masa pula. Adapun bagaimana prosesnya kejadian langit dan bumi. Al-Qur′an tidak menjelaskannya secara terperinci dan kewajiban para ahli untuk menyelidikinya dan mengetahui waktu atau masa yang diperlukan untuk masing-masing tahap dari tahap-tahap kejadiannya.

Kemudian setelah selesai penciptaan langit dan bumi, Allah bersemayam di atas Arsy mengurus dan mengatur semua urusan yang berhubungan dengan langit dan bumi sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya. Tentang bagaimana Allah bersemayam di atas Arsy-Nya dan bagaimana Dia mengatur semesta alam ini tidaklah dapat disamakan atau digambarkan seperti bersemayamnya seorang raja di atas singgasananya karena Allah tidak boleh dimisalkan atau disamakan dengan makhluk-Nya.

Namun hal ini harus dipercayai dan diimani dan hanya Allah sendiri Yang Mengetahui bagaimana hakikatnya. Para sahabat Nabi tidak ada yang merasa ragu dalam hatinya mengenai bersemayam-Nya Allah di atas Arsy. Mereka meyakini hal itu dan beriman kepada-Nya tanpa mengetahui bagaimana gambarannya. Demikianlah Imam Malik berkata ketika ditanyakan kepadanya masalah bersemayamnya Allah di atas Arsy sebagai berikut, “Bersemayamnya Allah adalah suatu hal yang tidak asing lagi, tetapi bagaimana caranya tidak dapat dipikirkan.”

Kerasulan itu adalah dari Allah dan kewajiban Rasul ialah menyampaikan, maka kewajiban manusia ialah membenarkannya. Demikianlah pendapat dan pendirian ulama-ulama dari dahulu sampai sekarang, maka tidak wajar manusia memberanikan diri untuk menggambarkan bersemayam-Nya Allah di atas Arsy-Nya.

Na‘im bin Ahmad guru Imam al-Bukhāri berkata tantang hal itu, “Orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya adalah kafir, orang yang mengingkari sifat Allah sebagaimana diterangkan-Nya (dalam kitab-Nya) adalah kafir, dan tiadalah dalam sifat Allah yang diterangkan-Nya atau diterangkan Rasul-Nya sesuatu penyerupaan.

Maka barang siapa yang menetapkan hal-hal yang diterima dari hadis yang sahih sesuai dengan keagungan Allah dan meniadakan sifat-sifat kekurangan bagi-Nya, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan yang benar. Selanjutnya Allah menerangkan bahwa Dialah yang menutupi siang dan malam sehingga hilanglah cahaya matahari di permukaan bumi dan hal ini berlaku sangat cepat.

Maksudnya malam itu selalu mengejar cahaya matahari telah tertutup terjadilah malam dan di tempat yang belum terkejar oleh malam, matahari tetap meneranginya dan di sana tetaplah siang. Demikianlah seterusnya pergantian siang dengan malam atau pergantian malam dengan siang. Dalam ayat lain Allah berfirman:

خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ بِالْحَقِّۚ يُكَوِّرُ الَّيْلَ عَلَى النَّهَارِ وَيُكَوِّرُ النَّهَارَ عَلَى الَّيْلِ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَۗ كُلٌّ يَّجْرِيْ لِاَجَلٍ مُّسَمًّىۗ  اَلَا هُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفَّارُ  ٥ 

Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar; Dia memasukkan malam atas siang dan memasukkan siang atas malam dan menundukkan matahari dan bulan, masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Ingatlah! Dialah Yang Mahamulia, Maha Pengampun. (az-Zumar/39: 5)

Hal ini terjadi karena bumi yang berbentuk bulat selalu berputar pada sumbunya di bawah matahari. Dengan demikian, pada permukaan bumi yang kena cahaya matahari terjadilah siang dan pada muka bumi yang tidak terkena cahayanya terjadilah malam. Kemudian Allah menerangkan pula bahwa matahari, bulan dan bintang semuanya tunduk di bawah perintah-Nya dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. Semuanya bergerak sesuai dengan aturan yang telah ditentukan dan di antaranya tidak ada yang menyimpang dari aturan-aturan yang telah ditentukan itu.

Dengan demikian terjadilah suatu keharmonisan dan keserasian dalam perjalanan masing-masing sehingga tidak akan terjadi perbenturan atau tabrakan antara satu dengan yang lainnya, meskipun di langit terdapat bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya yang jumlahnya tak terhingga. Semua itu adalah karena Dia Maha Pencipta, Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Mahasuci Allah Tuhan semesta alam.

Hanya Allah yang patut disembah, kepada-Nya setiap hamba harus memanjatkan doa memohon karunia dan rahmat-Nya dan kepada-Nya pula setiap hamba harus bersyukur dan berterima kasih atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya. Sungguh amat jauh kesesatan orang yang mempersekutukan-Nya dengan makhluk-Nya dan memohonkan doa kepada sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat atau mudarat.

(Tafsir Kemenag)

7 Bacaan Gharib dalam al-Quran menurut َQiraat Ashim Riwayat Hafs

0
Bacaan Gharib
Bacaan Gharib

Gharib secara bahasa berarti suatu hal yang istimewa, berbeda dari yang lain. Terdapat beberapa bacaan gharib dalam al-Quran menurut Imam Hafs. Tulisan kali ini akan membahasnya secara singkat dan jelas. Adanya tulisan ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk memperhatikan ayat-ayat berikut saat membaca al-Quran.

Macam-macam bacaan bacaan Gharib dalam al-Qur’an

  1. Imalah

Bacaan gharib pertama adalah Imalah. Imalah secara bahasa berarti cenderung atau belok. Dalam istilah Qiraat, Imalah berarti sedikit membunyikan fathah ke arah kasrah (setengah kasrah dan setengah fathah). Sehingga bunyinya menjadi e. Menurut Imam Hafs, hanya ada satu bacaan yang dibaca Imalah. Yaitu pada Surat Hud Ayat 41.

وَقَالَ ارْكَبُوْا فِيْهَا بِسْمِ اللهِ مَجْرَىهَا وَمُرْسَىهَا

Pada dasarnya, setiap Alif yang berharakat Fathah dibaca a. Namun, khusus pada lafadz مجرىَها dibaca e sehingga bunyinya menjadi “majreehaa”.

  1. Isymam

Secara istilah Isymam, sebagai bacaan gharib kedua, berarti memasukkan unsur Dhommah pada Sukun dengan cara memoncongkan bibir. Terdapat satu bacaan al-Qur’an yang dibaca Isymam menurut Riwayat Hafs, yaitu pada Surat Yusuf Ayat 11.

قَالُوْا يَا اَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَنَّا عَلَى يُوْسُفَ

Saat membaca lafadz لا تأمنا tepatnya pada huruf Nun, bibir kita perlu dimoncongkan menyerupai bentuk bibir saat membaca Dhommah. Apabila diibaratkan seperti membaca kata La Ta’manunna, namun bacaan u nya tidak dibunyikan, hanya bibirnya yang tetap dimoncongkan.

  1. Saktah

Saktah secara istilah berarti berhenti sebentar tanpa bernafas. Terdapat empat bacaan dalam al-Qur’an yang dibaca Saktah.

Surat al-Kahfi Ayat 1-2

…… وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (1) قَيِّمًا

Diantara lafadz عِوَجًا (1) قَيِّمًا terdapat bacaan Saktah, yaitu berhenti sejena tanpa benafas. sehingga bunyinya menjadi عِوَجًا (berhenti sebenar tanpa bernafas) قَيِّمًا

Surat Yasin Ayat

….. مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا..هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَانُ

Bacaan Saktah pada ayat ini terletak pada lafadz مِنْ مَرْقَدِنَا..هَذَا

Surat al-Qiyamah Ayat

وَقِيْلَ مَنْ .. رَاقٍ

Bacaan Saktah pada ayat ini terletak pada lafadz مَنْ .. رَاقٍ

Surat al-Muthaffifin Ayat

كَلَّا بَلْ… رَانَ عَلَى

Bacaan Saktah pada ayat ini terletak pada بَلْ… رَانَ

  1. Tashil

Tashil berarti membunyikan antara Hamzah dan Alif. Terdapat satu bacaan dalam al-Qur’an yang dibaca Tashil, yaitu pada Surat Fusshilat Ayat 44.

….. ءَاَعْجَمِيٌّ وَ عَرَبِيّْ

Bacaan ءَاَعْجَمِيٌّ semula berbunyi Aa’jamiyyun, karena dibaca Tashil bunyinya menjadi Aha’jamiyyun.

  1. Naql

Naql secara istilah adalah memindahlan harakat pada huruf sebelumnya. Dalam Riwayat Hafs, terdapat satu ayat dalam al-Qur’an yang dibaca Naql, yaitu pada Surat al-Hujurat Ayat 11.

بِئْسَ الإِسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الإِيْمَانِ

Pada bacaan al-Qur’an pada umumnya, lafadz بِئْسَ الإِسْمُ dibaca Bi’sal ismu. namun, karena menurut Imam Hafs lafadz tersebut dibaca Naql, maka bunyinya menjadi Bi’salismu.

  1. Badal

Badal dalam hal ini berarti mengganti huruf dalam sebuah bacaan. Badal terdiri dari beberapa macam. Pertama, Badal huruf ء dengan ي. Huruf ء sukun disini diganti menjadi dibaca ي, khusus apabila dibaca waqaf. Contohnya pada Surat al-Ahqaf Ayat 4

 أَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِى السَّموَاتِ ائْتُوْنِيْ بِكِتَابٍ

Pada ayat tersebut apabila dibaca washal berbunyi, Fissamaawaati’tuunii. namun, jika dibaca waaqaf (berhenti), bacaanya menjadi Fissamaawaat..iituuni. Hamzah sukun disini diganti dengan Ya’ (iituuni), sehingga bacaannya menjadi panjang satu harakat dan berhukum Mad Thabi’i.

Kedua, Badal huruf ص dengan س. Terdapat tiga ayat yang dibaca dengan cara ini. Pertama, pada Surat al-Baqarah ayat. Contohnya pada lafadz يبصط , dibaca يبسط.

  1. Mad dan Qashr

Mad dan Qashr dalam hal ini adalah bacaan khusus pada bacaan pendek menjadi panjang, ataupun panjang menjadi pendek. Contohnya

  • Lafadz أَنَا dan لَكِنَّا dibaca pendek. contohnya pada Surat az-Zukhruf ayat 81 dan Surat al-Kahfi Ayat 38

فَأَنَا أَوَّلُ اْلعَابِدِيْنِ, لَكِنَّ هُوَاللهُ رَبِّيْ

  • Lafadz الظُّنُوْنَا, الرَّسُوْلَا, قَوَارِيْرَا tetap dibaca panjang ketika waqaf. Khusus untuk lafadz قَوَارِيْرَا dibaca pendek ketika washal.
  • Lafadz سَلَاسِلَا dibaca pendek ketika washal dan dibaca panjang ketika waqaf. Contohnya pada Surat al-Insan Ayat 4

….لِلْكَافِرِيْنَ سَلَاسِلَا وَ أَغْلَالًا

  • Lafadz أَفَإِنْ,مِنْ نَبَائٍ, مَلَائِهِمْ, مَلَئِهِ, مِائَتَيْنِ dan مِائَةٌ selalu dibaca pendek
  • Lafadz لِتَتْلُوَا, لِيَبْلُوَا, لِيَرْبُوَا,نَبْلُوَا dan لَنْ نَدْعُوَا selalu dibaca pendek
  • Lafadz ثَمُوْدَا selalu dibaca pendek. Contohnya pada Surat Hud Ayat 68

أَلاَ إِنَّ ثَمُوْدَا كَفَرُوْا رَبَّهُمْ

Wallahu A’lam

Maulana Abul Kalam Azad: Pemikir Muslim Kontemporer Asal India dan Kontribusinya terhadap Kajian Al-Quran

0
maulana abul kalam azad
maulana abul kalam azad (ias4sure.com)

Tulisan kali ini hendak membahas salah satu pemikir muslim kontemporer dari India, yaitu Maulana Abul Kalam Azad. Ia mempunyai salah satu karya di bidang Al-Quran yaitu Basic Concept of the Quran. Karya ini adalah bentuk kontribusinya terhadap kajian Al-Quran. Berikut biografi tentang Maulana Abul Kalam Azad dan pemikirannya tentang historisitas keilahian bagi manusia, eksistensi Tuhan, kesatuan Tuhan dan kesatuan agama.

Profil, Perjalanan Intelektual dan Karir Maulana Abul Kalam Azad

Maulana Abul Kalam Azad lahir di Makkah pada tahun 1888 dari keluarga yang ‘alim dengan nama asli Muhyiddin Ahmad. Namun, dalam perkembangan selanjutnya ia mengubah namanya menjadi Azad yang berarti bebas. Hal tersebut sebagai simbol kebebasan dirinya dari kungkungan ortodoksi dan bebas berpikir. Nama ini kemudian disandangnya hingga akhir hayatnya.

Azad belajar di bawah bimbingan ayahnya dalam lingkungan yang sangat konservatif dan juga oleh para ulama Arab yang masih merupakan teman-teman ayahnya. Azad menuntut penuh pelajaran bahasa Arab dan Persia, Filsafat, Logika, Aritmatika, yang ditempuhnya kurang dari empat tahun. Padahal ilmu-ilmu tersebut biasanya diselesaikan dalam masa empat belas tahun. Hal itu disebabkan kecerdesannya yang luar biasa, dan itu jugalah yang mendorong Azad untuk belajar secara otodidak, membaca berbagai macam buku. Bahkan di usianya yang menginjak 12 tahun, ia berkeinginan untuk menulis biografi Imam al-Ghazali

Pada masa mudanya, Maulana Abul Kalam Azad banyak mencurahkan tenaganya pada sastra dan kajian ilmiah. Ia banyak menulis artikel ilmiah di Makzan, majalah sastra yang paling terkenal saat itu. Lewat jalan inilah Azad nantinya bertemu dengan Syibli al-Nu’mani, tokoh yang yang kelak ikut berperan memengaruhi pemikirannya. Azad juga menyukai buku-buku yang ditulis oleh Sayyid Ahmad Khan, meskipun nantinya pola pikirnya berbeda dalam konteks pembebasan India.

Baca juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Maulana Abul Kalam Azad menikah dengan istrinya dengan umur yang sangat muda, yaitu 12 tahun dan istrinya yang baru berusia 8 tahun. Namun dua tahun sebelum pernikahannya ia bersama keluarganya pindah ke India dan menetap di Calcutta yang merupakan ibukota bagi penjajah Inggris di India. Berawal dari sinilah kemudian awal pemikiran Azad tentang Tuhan dipengaruhi oleh kondisi dan budaya yang di hadapinya

Dalam perjalanan yang panjang dan latar belakang historis, agama Hindu dan Islam menjadi tabu untuk saling tegur sapa. Kedua penganut agama ini dihalangi oleh tembok besar sejarah India yang mayoritas Hindu pernah dijajah selama lebih kurang delapan abad di bawah kepemimpinan Islam. Sehingga bahkan dalam konteks pembebasan India dari penjajah Inggris, kedua penganut agama ini tidak dapat disatukan.

Sekilas Tentang Basic Concept of The Qur’an: Tafsir Al-Fatihah, Kesatuan Tuhan & Agama

Secara umum, Azad ketika memahami Tuhan dalam Al-Quran mengangkat surah al-Fatihah sebagai objek kajiannya sebagaimana yang terdapat dalam bukunya Tarjuman Al-Quran dan Basic Concept of The Qur’an. Menurutnya pemahaman mengenai surah ini mengantarkan kepada makna umum Al-Quran. Demikianlah kemudian salah satu alasan penamaannya disebut Fatihah Al-Quran.

Azad memulai penafsirannya dari ayat al-hamdulillallah rabb al-‘alamin dengan memahami aspek kemanusian dari ayat tersebut. Pujian yang dimaksud adalah ditujukan kepada Allah swt. Pembatasan ini bertujuan untuk mengingatkan hati dan pikiran manusia akan kekuatan yang luar biasa yang mengatasi seluruh makhluk, sehingga aktivitas kehidupan pun hanya tertuju pada-Nya, Penafsiran ini kemudian diperkuat oleh Q.S. Ali Imran [3]: 191.

Kekuatan tersebut berhubungan dengan penggunaan kata Allah untuk menyebutkan zat tuhan, dan penggunaan term inilah yang menurut Azad mewakili kebesaran Tuhan dalam pengertian yang paling umum. Ini berbeda dengan ungkapan sifat-sifat Tuhan lainnya yang hanya mewakili satu kekuatan tertentu.

Sifat-sifat Tuhan yang dimaksudkan oleh Azad adalah kelanjutan dari penggalang ayat sebelumnya, yakni rabb al-‘alamin, al-rahman, al-rahim, dan malik al-yaumiddin. Keempat sifat tersebut digolongkan menjadi tiga bagian besar sebagaimana yang termaktub dalam Basic Consept of The Qur’an dan Tarjuman Al-Quran (rububiyyah, rahmah dan ‘adalah).

Rububiyyah (The Attribute of Providence)

Kata rububiyyah merupakan derivasi dari kata rabb yang dalam dalam bahasa Hebrew, Syirah, dan Arab berarti memelihara. Rububiyyah bagi Azad tidak sekadar bermakna pengasuhan dalam makna yang sempit. Lebih dari itu, ia bermakna sebuah pengembangan dan pemeliharaan segala sesuatu secara berkelanjutan setahap demi setahap sehingga mencapai sifatnya yang ideal di setiap tahapan tersebut. Ketika sifat ini disandarkan kepada ‘alamin, maka bentuk pengasuhan dan pemeliharaan Allah yang tidak berkesudahan secara universal, termasuk pengembangan manusia sesuai fitrah kemanusiaannya.

Baca juga: Mengenal Nasr Hamid Abu Zaid, Pengkaji Al-Quran Kontemporer Asal Tanta, Mesir

Rahmah (The Attribute of Graciousness)

Keteraturan seluruh proses kreatif Tuhan sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, di satu sisi memperlihatkan sifat rububiyyah-nya tuhan, di sisi lain mengindikasikan karakter rahmahnya Tuhan. Sifat ini disimpulkan Azad dari dua istilah yaitu al-rahman yang memiliki rahmah, dan al-rahim yang tidak sekadar memiliki sifat rahmah, tetapi secara intens memberikan rahmah-Nya kepada seluruh makhluk tanpa terkecuali.

Adalah (The Attribute of Justice)

Tuhan tidak selalu mencurahkannya dalam bentuk lahir yang ditangkap manusia secara sederhana sebagai sesuatu yang indah dan baik, demikianlah salah satu bagian pemaknaan ‘adalah. Lebih dalam, term ini menunjukkan konsekuensi logis terhadap tindakan manusia, baik atau pun buruk. Sifat ini mengajarkan koreksi yang tidak pernah berhenti dalam kehidupan manusia, karena semua yang dilahirkan manusia dimungkinkan untuk mengandung kesalahan. (Maulana Abul Kalam Azad, Basic Concept of The Qur’an, hal 75-80)

Untuk menjustifikasi argumen tersebut, dipandang penting untuk memahami kembali term al-haq dan al-batil secara benar dan proporsional. Demikian pula term kufr, ‘adl, ‘amal salih, dan ‘udwan. Kesemua term tersebut diterapkan dalam koridor Tuhan berdasarkan sifat-sifat-Nya (rububiyyah, rahmah, ‘adalah) yang ditujukan untuk setiap makhluk.

Selanjutnya, ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in dipahami Azad selain adanya unsur takhsis (keesaan Allah), juga mengindikasikan adanya kesatuan Tuhan dan kesatuan untuk seluruh makhluk yang ada di bumi. Hal tersebut didasarkan atas fakta-fakta antropologis tentang bangsa-bangsa terdahulu yang tunduk pada satu kekuatan luar biasa yang sama dalam mengatasi kehidupan mereka. Dari sini Azad berkesimpulan bahwa seluruh umat manusia dari generasi ke generasi adalah penganut monoteisme. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 52-53

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 52-53 ini menjelaskan tentang al-Qur’an yang merupakan kitab petunjuk bagi manusia. Selain itu dibahas pula keadaan orang-orang yang tidak mau menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk. Untuk selengkapnya berikut tafsir surat Al A’raf ayat 52-53.


Baca Juga: Jenis-Jenis Teks Alquran yang Belum Banyak Diketahui


Ayat 52

Ayat ini menjelaskan tentang kitab yang telah diturunkan kepada manusia, yaitu Al-Qur′an kitab samawi yang mengandung penjelasan-penjelasan dan petunjuk-petunjuk bagi manusia dalam ayat-ayat yang cukup jelas dan terang karena telah dijelaskan oleh Allah kepada manusia dengan perantaraan Rasul-Nya Muhammad saw. Al-Qur′an itu menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman yang mempercayai bahwa Al-Qur′an adalah wahyu dari Allah.

Bila seseorang mau mempelajarinya, dan mau mengamalkan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya, dia akan mendapatkan kebahagiaan dan rahmat Allah. Al-Qur’an berisi pokok-pokok dasar agama secara umum, baik yang berhubungan dengan akidah dan ibadah, maupun yang berhubungan dengan muamalah, pergaulan yang luas antar bangsa di dunia ini.

Dengan adanya Al-Qur′an sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia, maka diharapkan penyakit taklid buta dengan mengikuti cara-cara nenek moyang yang tidak sesuai dengan ajaran Al-Qur′an, syirik, menyembah selain Allah, seperti berhala, kubur yang dianggap keramat, dan lainnya dapat dihilangkan. Al-Qur′an mengajarkan tauhid, hanya kepada Allah manusia beribadah dan meminta pertolongan. Dengan demikian, ungkapan seperti yang terdapat dalam firman Allah di bawah ini tidak terdengar lagi, yaitu:

اِنَّا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا عَلٰٓى اُمَّةٍ وَّاِنَّا عَلٰٓى اٰثٰرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ

“Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekedar pengikut jejak-jejak mereka.” (az-Zukhuf/43: 23)

Ayat 53

Ayat ini menerangkan bagaimana keadaan orang-orang yang tidak mau menjadikan Al-Qur′an sebagai petunjuk dan pedoman dalam hidupnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Mereka lebih mempercayai ajaran nenek moyang yang sesat dari pada ajaran Al-Qur′an yang disampaikan Rasulullah saw dengan benar. Dengan perbuatan seperti ini berarti mereka menunggu datangnya hukuman Allah yang mengakibatkan penyesalan. Pada hari Kiamat, apa yang mereka tunggu itu menjadi kenyataan.

Janji dan ancaman yang disampaikan para rasul akan terbukti pada hari Kiamat, yaitu orang yang beriman dan berbuat baik akan mendapat kebahagiaan, dan orang yang kafir akan menerima hukuman dan berada dalam kesengsaraan. Pada hari itu, orang-orang yang lupa kepada Allah dan tidak percaya kepada para rasul yang telah membawa petunjuk dan kebenaran, bahkan mereka juga yang ragu dan menentangnya. Karena itu, bila mereka mendapat hukuman, maka hal itu merupakan suatu yang wajar.

Pada hari itu mereka tidak punya daya untuk menghindar dari hukuman. Yang dapat mereka lakukan hanya berangan-angan kalau saja ada pertolongan dari orang atau sesuatu yang pernah diagungkan atau disembah, seperti nenek moyang yang dijadikan rujukan taklid atau berhala yang dijadikan sembahan.

Mereka juga berangan-angan untuk dikembalikan hidup ke dunia, agar mereka dapat bekerja dan beramal baik sesuai dengan ajaran Allah. Angan-angan seperti ini tidak mungkin terjadi. Mereka tidak dapat kembali ke dunia, karena alam dan isinya telah hancur. Karena itu, pada akhir ayat ini disebutkan bahwa mereka telah merugi. Di dunia mereka merugi karena telah mengotori dirinya dengan syirik dan maksiat, dan di akhirat mereka juga merugi karena mendapat hukuman.

Mereka merugi karena semua yang mereka kerjakan di dunia tidak membawa keuntungan sedikit pun. Hilang dan lenyap dari pandangan mereka apa yang mereka ada-adakan selama ini. Mereka mengharapkan syafa‘at dari sesuatu yang mereka sembah. Syafa‘at yang diharap-harapkan itu tak kunjung datang. Akhirnya timbul penyesalan dan kerugian.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Studi Alquran: Mengenal Tafsir Era Kontemporer