Beranda blog Halaman 437

Tafsir Surat Al A’raf ayat 83-84

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Pada pembahasan yang lalu mengisahkan tentang kaum Nabi Luth yang mengingkari Allah dan juga berperilaku homoseksual. Pada tafsir surat Al A’raf ayat 83-84 ini Allah menurunkan adzab terhadap orang-orang tersebut dan menyelamatkan Nabi Luth beserta orang-orang beriman.

Selain itu dalam tafsir surat Al A’raf ayat 83-84 khususnya di ayat 84, selain membahas cara Allah membinasakan kaum Nabi Luth terdapat pula pandangan ulama terhadap pelaku homoseksual. Selengkapnya baca lebih lanjut tafsir surat Al A’raf ayat 83-84 di bawah ini.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 81-82


Ayat 83

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menyelamatkan Nabi Luth beserta orang yang beriman kepada-Nya kecuali istrinya karena ia tidak beriman kepada Nabi Luth bahkan mengkhianatinya. Istrinya berpihak kepada kaum Luth yang kafir. Karena itu ia tergolong ke dalam kaum Luth yang mendapat azab pula di akhirat nanti. Ayat lain menerangkan bahwa sebelum azab diturunkan kepada kaum Luth, Allah memerintahkan Nabi Luth dan pengikutnya yang beriman agar meninggalkan negerinya, sebagaimana diterangkan dalam firman-Nya:

قَالُوْا يٰلُوْطُ اِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَّصِلُوْٓا اِلَيْكَ فَاَسْرِ بِاَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ اَحَدٌ اِلَّا امْرَاَتَكَۗ اِنَّهٗ مُصِيْبُهَا مَآ اَصَابَهُمْ  ۗاِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۗ اَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيْبٍ  ٨١ 

Mereka (para malaikat) berkata, ”Wahai Luth! Sesungguhnya kami adalah para utusan Tuhanmu, mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia (juga) akan ditimpa (siksa) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksa kepada mereka itu pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?” (Hud/11: 81)

Firman-Nya yang lain:

فَاَسْرِ بِاَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِّنَ الَّيْلِ وَاتَّبِعْ اَدْبَارَهُمْ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ اَحَدٌ وَّامْضُوْا حَيْثُ تُؤْمَرُوْنَ   ٦٥ 

“Maka pergilah kamu pada akhir malam beserta keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada di antara kamu yang menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu.” (al-Hijr/15: 65)

Juga firman-Nya:

فَاَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيْهَا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَۚ   ٣٥  فَمَا وَجَدْنَا فِيْهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِّنَ الْمُسْلِمِيْنَۚ    ٣٦  وَتَرَكْنَا فِيْهَآ اٰيَةً لِّلَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ الْعَذَابَ الْاَلِيْمَۗ   ٣٧ 

Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di dalamnya (negeri kaum Luth) itu. Maka Kami tidak mendapati di dalamnya (negeri itu), kecuali sebuah rumah dari orang-orang muslim (Luth). Dan Kami tinggalkan padanya (negeri itu) suatu tanda bagi orang-orang yang takut kepada azab yang pedih. (adz-dzariyāt/51: 35-37)

Ayat 84

Ayat ini menerangkan bahwa Allah membinasakan kaum Luth dengan batu yang terkenal dengan “batu sijjil” diturunkan dari langit laksana hujan sebagaimana tersebut dalam firman Allah:

فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَاَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِّنْ سِجِّيْلٍ

Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. (al-Hijr/15: 74);Firman Allah:

فَلَمَّا جَاۤءَ اَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَاَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّنْ سِجِّيْلٍ مَّنْضُوْدٍ 

Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar. (Hud/11: 82)

Tidak ada seorang ahli tafsir pun yang dapat menjelaskan cara-cara batu-batu itu terkumpul dari bumi diangkat ke atas atau lapisan bumi yang diangkat ke atas mereka, kemudian turun berjatuhan seperti hujan. Demikian juga bentuk batu tersebut apakah dari tanah keras semata atau bercampur dengan unsur-unsur zat pembakar atau batu-batu yang berasal dari pecahan bintang.

Pada ayat ini Allah menunjukkan kekuasaan-Nya kepada Muhammad dan umatnya agar mengambil pelajaran dari peristiwa dan perilaku orang-orang yang mendustakan Allah dan rasul-rasul-Nya. Jika Allah menghendaki kebinasaan mereka, hal ini dapat terjadi dengan sebab-sebab yang alami, umpamanya; gempa bumi, penyakit wabah, peperangan dan korban fitnahan dan dapat pula dengan sebab-sebab luar biasa seperti topan yang menenggelamkan kaum Nuh, angin yang menghempaskan kaum Hud, petir yang membinasakan kaum Saleh dan hujan batu yang menghabiskan kaum Luth.

Mengenai perbuatan homoseks yang dilakukan oleh kaum Luth itu terdapat perselisihan antara ulama Fiqh tentang hukumannya sebagai berikut:

  1. Imam Abu Hanifah berpendirian bahwa pelakunya dijatuhkan dari tempat yang tinggi diiringi dengan lemparan batu. Tetapi menurut satu riwayat pelakunya hanya di-ta‘zir diberi hukuman agar jera baik muhsan maupun tidak muhsan.
  2. Imam Malik memandang bahwa pelakunya dirajam (baik muhsan pernah kawin ataupun tidak). Demikian juga terhadap pasangan jika telah dewasa. Tetapi menurut satu riwayat, terhadap yang belum muhsan dikenakan hukum ta‘zir.
  3. Imam Syafi‘i menerangkan bahwa pelakunya dirajam baik muhsan atau tidak. Menurut suatu riwayat pelakunya dirajam jika ia muhsan. Jika tidak muhsan didera sebanyak seratus kali.
  4. Imam Ahmad memandang bahwa kedua pelakunya dibunuh.
  5. Pendapat sebagian sahabat Nabi, seperti Abu Bakar, Ali, Ibnu Zubair, pelakunya dibakar.

Baca setelahnya: Kisah perilaku Homoseksual Kaum Nabi Luth


(Tafsir Kemenag)

 

Tafsir Surat An-Nur Ayat 35: Allah Sang Maha Cahaya

0
Allah Sang Maha Cahaya
Allah Sang Maha Cahaya

Cahaya dalam ilmu fisika merupakan salah satu energi gelombang yang ada di alam semesta, selain air, bunyi, dan listrik. Secara sederhana, cahaya dipahami orang sebagai sesuatu yang terang, lawan dari yang gelap. Benda apapun akan menjadi terang dan bisa terlihat jika mendapatkan sinar pencahayaan, atau mampu memantulkan sendiri sumber cahaya. Dalam ajaran Islam, Allah juga menggunakan cahaya sebagai makna penerangan, makna yang jauh dari konotasi negatif. Allah bahkan menggunakan cahaya untuk memisalkan Dzat-Nya yang Agung, hingga menjadikannya salah satu nama Surat Al-Quran, yaitu An-Nur. Ia menyebutkan satu ayat secara khusus, yaitu Surat An-Nur 35, mengenai Diri-Nya sebagai Sang Maha Cahaya.

Perumpamaan Cahaya Ilahi

Surat An-Nur ayat 35 adalah ayat yang secara mendetail memperbincangkan masalah cahaya. Bunyi lengkap ayatnya adalah sebagai berikut:

ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِۦكَمِشْكَوٰةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ ٱلْمِصْبَاحُ فِى زُجَاجَةٍ ۖ ٱلزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّىٌّ يُوقَدُ مِن شَجَرَةٍ مُّبَٰرَكَةٍ زَيتُونَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتهَا يُضِىٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُّورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يهْدِى ٱللَّهُ لِنُورِهِۦ مَن يَشَآءُ ۚ وَيَضْرِبُ ٱللَّهُ ٱلْأَمْثَٰلَ لِلنَّاسِ ۗ وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Baca juga: Penjelasan Fenomena Mendung, Petir, dan Guruh dalam Al-Quran

Mengutip riwayat Ali bin Abi Thalib dari penyampaian Ibnu Abbas, Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim menafsirkan lafadz “Allahu nuurussamaawaati wal ardh” dengan makna Allah yang memberi pentunjuk langit dan bumi. Riwayat dari Ibnu Abbas juga menyebutkan bahwa Allah yang mengatur urusan di langit dan bumi, mengatur bintang-bintang, matahari, dan bulan. Sedangkan “Allahu nuurussamaawaati wal ardh” menurut Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn senada Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah yang menyatakan bahwa Allah adalah sumber cahaya di langit dan bumi, dan Dialah yang menerangi keduanya.

Di penggalan lafadz selanjutnya dari ayat tersebut, Allah memberikan sebuah perumpamaan yang sangat detail dan luar biasa.

Sebagaimana yang disebutkan Al-Mahalli dan As-Suyuthi bahwa Allah memisalkan cahaya-Nya ibarat sebuah lubang yang tak tembus (al-misykat) yang di dalamnya terdapat sebuah pelita besar (al-misbah). Pelita tersebut berada di dalam kaca (az-zujajah) yang mana dapat memantulkan cahaya ke mana-mana. Cahaya kaca (az-zujajah) tersebut bening bersinar seperti matahari, mengkilap seperti mutiara. Kaca tersebut seakan-akan dinyalakan oleh minyak dari pohon yang memiliki banyak keberkahan, yaitu zaitun.

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 19-21: Fenomena Pertemuan Dua Lautan

Pohon zaitun tersebut menurut Quraish Shihab tumbuh di tanah yang baik, di tengah-tengah antara timur dan barat yang membuatnya selalu mendapat sinar matahari sepanjang hari, pagi dan sore. Pohon itu bahkan berada di puncak gunung atau di tanah kosong yang mendapatkan sinar matahari sehari penuh. Karena teramat jernih, minyak pohon itu seakan hampir menyala, meskipun lampunya tidak tersentuh api.

Perumpamaan demi perumpamaan yang dimisalkan Allah menjadikan cahaya-Nya tersebut sangat terang dan besarnya tak tertandingi. Sehingga dalam lafadz selanjtnya allah memisalkan kembali cahaya-Nya dengan “nuurun ‘ala nuurin” yang dimaknai Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz sebagai “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis). Sinar terang cahaya-Nya tersebut sangat berlipat ganda, lebih terang dan semakin terang yang mana indra manusia tidak akan mampu menggambarkannya secara sempurna.

Kemahacahayaan Allah

Dalam Surat An-Nur ayat 35 tersebut, sangat jelas tersiratkan bahwa cahaya Allah melebihi apapun. Dalam artian bahwa Allah adalah Sang Maha Cahaya yang menjadi sumber penerangan bagi seisi jagat raya. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut Allah memulai dengan menyebutkan cahaya-Nya, kemudian menyebutkan cahaya orang mukmin “perumpamaan cahaya orang yang beriman kepada-Nya”. Keterangan seperti mengandung arti bahwa Allah adalah lumbung cahaya besar, orang-orang mukmin pun juga bercahaya. Namun, cahayanya Allah besarnya tak terhingga, sedang cahaya orang-orang mukmin adalah kecil-kecil yang merupakan manifestasi dari kemahacahayaan Allah.

Quraish Shihab menyebutkan bahwa cahaya Allah tersebut bersifat materiil dan maknawi. Pendapat yang juga senada dengan As-Sa’di dalam An-Nafahat Al-Makiyyah dan Wahbah Zuhayli dalam Tafsir Al-Wajiz yang makna cahaya Allah adalah secara indrawi dan non inderawi. Yang dimaksud bersifat fisik, meteriil, dan indrawi adalah cahaya tersebut bisa dilihat dengan panca indra.Menurut Wahbah Zuhayli Dzat Allah sendiri adalah cahaya, tirai-Nya merupakan cahaya yang jika Ia berkenan menyingkapnya pancaran sinar wajah-Nya pasti membakar makhluk sejauh pandangan mata-Nya. Melalui Dzat-Nya yang bercaya Arsy beserta langit seisinya bercahaya.

Baca juga: Ketahui Manfaat Gunung Sebagai Pasak Bumi, Ini Penjelasannya dalam Al Quran

Cahaya yang bersifat non inderawi atau maknawi adalah cahaya Allah yang berupa hidayah, keimanan, dan kebenaran yang kemudian Allah limpahkan kepada orang-orang mukmin. Cahaya di hati orang-orang mukmin tersebut melahirkan pengetahuan-pengetahuan dan rahasia dari ma’rifatullah. Orang yang mendapatkan pencahayaan Allah hatinya pasti bersih, tidak tergoda oleh buaian kekotoran maksiat karena saking beningnya cahaya Allah, seperti permisalan pohon zaitun yang disinari sepanjang hari.

Melalui karya Misykat al-Anwar, Al-Ghazali menafsirkan cahaya Allah yang disebutkan dalam Surat An-Nur ayat 35 secara lebih sufistik. Ia mengatakan bahwa manusia dan Allah saling keterkaitan. Manusia yang disinari nur-Nya mempunyai cahaya kecil yang terhubungkan dengan nur Ilahi. Cahaya kecil tersebut sebagai jalan manusia untuk mendekatkan diri kepada cahaya Allah yang hakiki. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Yasin ayat 23-25: Kisah Pemuda Mukmin Berakhir Indah

0
Yasin ayat 23-25
Surat Yasin ayat 23-25

Pembahasan sebelumnya telah diulas tentang tafsir Yasin ayat 22 yang menceritakan seorang lelaki bernama Habib an-Najjar yang membela para utusan untuk menggaungkan ketauhidan Allah Swt. Adapun pada tulisan kali ini, penulis akan membahas tafsir surat Yasin ayat 23-25 tentang akhir kisah indah seorang pemuda mukmin yang kukuh dengan keimanan dan tidak membeci kaumnya. Allah berfirman:

ءَاَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِهٖٓ اٰلِهَةً اِنْ يُّرِدْنِ الرَّحْمٰنُ بِضُرٍّ لَّا تُغْنِ عَنِّيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا وَّلَا يُنْقِذُوْنِۚ

اِنِّيْٓ اِذًا لَّفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

اِنِّيْٓ اٰمَنْتُ بِرَبِّكُمْ فَاسْمَعُوْنِۗ

  1. Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selain-Nya? Jika (Allah) Yang Maha Pengasih menghendaki bencana terhadapku, pasti pertolongan mereka tidak berguna sama sekali bagi diriku dan mereka (juga) tidak dapat menyelamatkanku.
  2. Sesungguhnya jika aku (berbuat) begitu, pasti aku berada dalam kesesatan yang nyata.
  3. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)-ku.”

Secara umum, ayat ini mengisahkan ucapan pemuda mukmin (Habib an-Najjar) yang beriman kepada Allah Swt dan juga kepada para utusan, tujuannya hanyalah untuk meyakinkan kaumnya agar percaya dan beriman kepada Allah Swt.

Menurut Wahbah Zuhaili kata ءَاَتَّخِذً adalah kata istifham yang menunjukkan keingkaran, kecaman, dan keengganan. Konteks ayat ini menegaskan pernyataan Habib yang berbicara dengan kaumnya;

aku tidak akan pernah menjadikan Tuhan selain Allah Swt. apalagi sampai menyembahnya. Bagaimana mungkin aku melepas kehambahaanku dari Dzat yang berhak untukku sembah? Padahal, Dia-lah yang telah menciptakanku dan menjadikan fitrah kesucian (menyembah-Nya dari yang lain). Sungguh itu tidaklah layak. Seandainya Dia (yang Maha Rahman) menghendaki kepadaku musibah, maka berhala-berhala itu tidak akan bisa menolongku. Karena sembahan itu tidak bekuasa atas sesuatu, tidak pula bisa memberi mudharat atau  manfaat.”

Mengutip pendapat Thaba’thaba’i, ayat ini juga menjadi argumen untuk membantah kaum yang menyembah mahkluk-makhluk yang dekat dengan Allah Swt., seperti malaikat, jin, dan orang-orang suci dengan harapan bahwa melalui perantara makhluk-makhluk itu, mereka bisa meraih kebajikan atau menangkis kemudharatan. Kalaupun bisa memberi manfaat, maka itu adalah anugerah dari Allah Swt. Thaba’thba’i mengutip potongan QS. Yunus: 3:

مَا مِنْ شَفِيْعٍ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اِذْنِهٖۗ

Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya

Selanjutnya, Habib berkata, jikalau ia menyembah kepada selain Allah Swt. maka ia telah melakukan kesesatan yang nyata (fi dhalal al-mubin), seperti yang dilakukan oleh kaumnya. Zuhaili menilai kata ini sebagai penegasan bahwa ia tidak ragu kepada Tuhan yang diimani oleh para utusan itu.

Ayat ke-25 menjelaskan ucapan lugas pemuda itu dalam mengimani Tuhan yang disembah oleh para utusan. Menurut Ibnu Kathir kata fasma’un dalam ayat tersebut ditujukan kepada ketiga utusan, bukan kepada kaum Antokiah. Ini merujuk pada kata birabbikum, yang menurut Thaba’tabai tidak wajar apabila ditujukan kepada kaum Antokiah, karena mereka tidak memercayai/mengimani ketuhanan Allah Swt.

Qurthubi menceritakan, ketika pemuda itu sudah selesai berbicara kepada kaum Antokiah, ia kemudian segera beralih kepada para utusan dan menyampaikan keimanannya.

Menurut Ibnu Abbas, kejadian setelahnya adalah pemuda itu diserang dan dibunuh oleh kaum Antokiah. Qatadah menyebut, lelaki itu dirajam dengan lemparan batu oleh kaum tersebut. Di akhir hidupnya, lelaki itu berdoa kepada Allah:

اللهم اهدي قومي فانهم لا يعلمون

“Wahai Tuhanku, berikanlah hidayah-Mu kepada kaumku, sungguh mereka adalah orang-orang yang belum mengetahui”

Sedikit banyak doa pemuda ini mirip dengan kejadian Nabi Muhammad ketika berdakwah di Thaif, dimana dakwahnya tidak diterima lalu dilempari batu, sampai-sampai salah satu Malaikat penjaga gunung menghampiri nabi dan meminta izin untuk menimpakan gunung itu kepada kaum tersebut. Namun, Nabi melarang dan berkata kepada malaikat itu sebagaimana yang diucapkan oleh Habib al-Najjar diakhir hidupnya tadi.

Demikian kiranya tafsir singkat surat Yasin ayat 23-25. Tunggu edisi tafsir Yasin selanjutnya, semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Surat al-Mumtahanah Ayat 8-9: Perintah Berbuat Baik Kepada Siapa Pun

0
Berbuat Baik
Berbuat Baik

Dalam ajaran Islam, kita diperintahkan untuk berbuat baik kepada seluruh makhluk Allah swt, termasuk di dalamnya sesama manusia baik yang muslim maupun non-muslim, tanpa perbedaan dan diskriminasi. Tidak ada larangan bagi umat Islam untuk berbuat baik kepada non-muslim selama mereka tidak mengajak kepada penyimpangan dan kemaksiatan atau hal-hal yang dapat merusak akidah.

Dalam konteks bermasyarakat, Al-Qur’an bahkan memerintahkan umat Islam agar senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi di antara umat beragama guna menciptakan lingkungan yang aman, tentram, damai, dan bebas dari tindakan diskriminasi. Sebab dengan itu, masing-masing pemeluk agama akan mampu menjalankan ajaran-ajaran agamanya secara sempurna.

Adanya perbedaan agama, pendapat, visi, dan misi hidup bukan berarti harus ada pertikaian dan pertentangan. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin dihindari, karena itulah ia mesti dihadapi dengan bijaksana. Keragaman manusia merupakan sunatullah yang telah ditetapkan dan kita (manusia) hanya bertugas untuk menjaga persatuan-kesatuan agar keragaman itu tidak menjadi polemik berkepanjangan.

Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86

Umat Islam sebagai agen ajaran Islam seyogyanya menampilkan nilai-nilai kedamaian, toleran dan kebaikan. Misalnya, berbuat baik kepada non-muslim sebagai sesama manusia selama itu tidak membuat mereka melenceng dari nilai-nilai substansial ajaran Islam. Selain itu, perilaku dan perbuatan baik juga merupakan bagian dakwah bil hal yang dapat memupuk simpati orang lain terhadap Islam.

Tafsir Surat Al-Mumtahanah [60] Ayat 8-9: Kebolehan Berbuat Baik Kepada Non-Muslim

Salah satu ayat Al-Qur’an yang mengindikasikan kebolehan umat Islam untuk berbuat baik kepada non-muslim adalah surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9 yang berbunyi:

لَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْٓا اِلَيْهِمْۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ ٨ اِنَّمَا يَنْهٰىكُمُ اللّٰهُ عَنِ الَّذِيْنَ قَاتَلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَاَخْرَجُوْكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوْا عَلٰٓى اِخْرَاجِكُمْ اَنْ تَوَلَّوْهُمْۚ وَمَنْ يَّتَوَلَّهُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ٩

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah [60] ayat 8-9)

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini merupakan informasi kebolehan untuk berbuat baik kepada pemeluk agama lain, bahwa Allah swt tidak melarang umat Islam berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi mereka, seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah manusia berbuat baik dan adil, karena Allah menyukai orang yang berbuat adil (Tafsir Al-Quran Al-Azhim [7]: 247).

Menurut Quraish Shihab, boleh jadi perintah sebelumnya agar memusuhi kaum kafir yang memerangi umat Islam memberi kesan bahwa semua non-muslim harus dimusuhi tanpa terkecuali. Untuk menampik kesimpulan keliru ini (melalui kata lafaz la yanhakumullah), surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9 datang dengan membawa prinsip dasar hubungan interaksi antara kaum Muslimin dan non-muslim.

Pada ayat ini Allah swt seakan-akan berfirman, “Allah yang memerintahkan kamu bersikap tegas terhadap orang kafir, namun Dia tidak melarang kamu menjalin hubungan dan berbuat baik terhadap orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negeri kamu. Allah tidak melarang kamu berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan tidak juga melarang kamu berlaku adil kepada mereka.”

“Kalau demikian, jika dalam interaksi sosial mereka (non-muslim) berada di pihak yang benar, sedang salah seorang dari kamu (umat Islam) berada di pihak yang salah, maka kamu harus membela dan memenangkan mereka (non-muslim) sebagai bentuk penegakan keadilan di muka bumi sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Tafsir Al-Misbah [14]: 168).

“Allah hanya melarang kamu menyangkut orang-orang yang memerangi kamu dalam agama dan mengusir kamu dari negeri kamu dan membantu orang lain dalam pengusiran kamu. Dia juga melarang kamu untuk menjadikan mereka teman-teman akrab, tempat menyimpan rahasia dan penolong-penolong yang kamu andalkan. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan dan tidak mematuhi perintah Allah ini, mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Ayat ini sebenarnya ingin menjelaskan secara rinci bahwa umat Islam tidak dilarang berbuat baik kepada non-muslim yang tidak memerangi mereka atau non-muslim yang ingin hidup dengan damai seperti di Indonesia. Quraish Shihab menegaskan perang yang dimaksud ayat ini adalah perang dalam agama, bukan perang yang disebabkan oleh kepentingan duniawi seperti perebutan sumber daya dan sebagainya.

Baca Juga: Ingin Dikenang Baik di Dunia dan Akhirat? Amalkan Doa Nabi Ibrahim Ini!

Kata tabarruhum pada surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9 terambil dari kata birr yang bermakna kebajikan yang luas. Penggunaan kata tersebut mencerminkan kebolehan melakukan aneka kebaikan bagi non-muslim selama tidak membawa dampak negatif bagi umat Islam. Dengan demikian, tidak ada batasan berinteraksi dan berbuat baik kepada non-muslim selain persoalan akidah dan aspek kepentingan umat Islam (Tafsir Al-Misbah [14]: 168).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa surat al-Mumtahanah [60] ayat 8-9 menginformasikan kepada umat Islam – terutama mereka yang memilik perspektif negatif terhadap semua pemeluk agama lain – bahwa mereka tidak dilarang untuk berbuat baik kepada non-muslim dalam selama itu tidak merusak akidah dan dapat membahayakan umat Islam. Non-muslim juga berhak diperlakukan secara adil sebagaimana umat Islam. Wallahu a’lam.

Mengenal Alfiyah di Bidang Ilmu Tafsir Karya Al-Iraqi

0
Alfiyah di bidang ilmu tafsir
Alfiyah di bidang ilmu tafsir

“Nadham Alfiyah” adalah sebuah istilah yang tak asing lagi bagi dunia pesantren. Nama salah satu judul karya Ibn Malik tersebut merupakan karya dalam bidang gramatikal Arab yang cukup populer dan dikaji umat Islam di banyak negara. Namun demikian, ada yang cukup asing terkait istilah nadham alfiyah. Adalah bahwa ternyata nadham alfiyah tidak hanya satu, bahkan tidak hanya ada dalam satu bidang saja. Di antara karya nadham alfiyah yang banyak itu ada kitab alfiyah di bidang ilmu tafsir.

Dalam gramatikal Arab sendiri ada Alfiyah karya Ibnu Mu’thi dan Alfiyah karya Ibn Malik. Di bidang hadis ada Nadham Alfiyah karya Imam As-Suyuthi. Dalam bidang sejarah kenabian ada Alfiyah karya Imam Al-‘Iraqi. Dalam bidang tafsir sendiri, ada juga Alfiyah yang mengulas tafsir dari kata-kata dalam Al-Quran yang jarang diketahui maknanya (gharibul qur’an). Tulisan ini akan mengulas sekilas tentang alfiyah di bidang ilmu tafsir karya Abi Zur’ah Al-‘Iraqi tersebut.

Baca Juga: Mengenal Kitab Arba’in tentang Keutamaan Al-Quran

Nadham Alfiyah di Bidang Ilmu Tafsir

Di Indonesia, cetakan Alfiyah di bidang ilmu tafsir ini kebanyakan sama dengan Tafsir Jalalain. Umumnya Tafsir Jalalain yang beredar di Indonesia, entah dari penerbit mana saja, dicetak bersama kitab Lubabun Nuqul karya Imam As-Suyuthi, kitab Nasikh Mansukh karya Imam Abi ‘Abdullah Muhammad ibn Hazm, kitab tentang bahasa-bahasa kabilah yang terdapat di dalam Al-Quran karya Imam Abi Qasim ibn Salam, dan alfiyah Imam Abi Zur’ah Al-‘Iraqi tentang tafsir kata-kata asing di dalam Al-Qur’an.

Ada dua karya alfiyah di bidang ilmu tafsir. Salah satunya adalah karya Al-‘Iraqi yang penulis ulas dalam tulisan ini. Alfiyah karya Imam Al-’Iraqi ini membicarakan tentang ilmu tafsir, khususnya mengulas tafsir dari kata-kata yang dirasa asing di dalam Al-Quran (gharibu alfadil qur’an).

Sayangnya, sampul cetakan alfiyah yang tersebar di Iraq ini beserta sebuah disertasi tentang kitab ini, keduanya belum sampai di tangan penulis. Informasi yang didapat penulis ini berasal dari versi syair-syair yang ada dalam kitab Tuhfatul Arib tentang kata-kata gharib di dalam Al-Quran karya Ibn Hayyan Al-Andalusi (w. 547 H.).

Sementara itu, Al-’Iraqi; pengarang kitab alfiyah di bidang tafsir ini tidak lain adalah Al-Hafidz Zainuddin Abu Fadl ‘Abdurrahim Al-‘Iraqi (725 – 806 H/1325 – 1404 M). Beliau adalah pengarang kitab ِِAlfiyah dalam ilmu hadis dan kitab alfiyah dalam ilmu sirah Nabi. Beliau juga merupakan ulama yang mentakhrij hadis-hadis yang disebutkan Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.

Baca Juga: Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran

Sekilas Tentang Isi Kitab

Seorang peneliti naskah kitab alfiyah di bidang tafsir karya Imam Al-‘Iraqi bernama Khalid, membeberkan penelitiannya bahwa kitab tersebut terdiri dari 1021 bait syair. Selain itu kitab ini memiliki beberapa ciri khas:

  1. Memberi tafsir terhadapan kalimat yang asing sesuai dengan rentetan kalimat sebelumnya.
  2. Mengutip penafsiran dari beberapa ahli tafsir.
  3. Menunjukkan adanya berbedaan pendapat pada kalimat yang memang maknanya masih diperselisihkan.
  4. Kadang menyinggung bentuk lain dari kata yang sedang diulas.
  5. Kadang menunjukkan adanya bermacam-macam pemakaian terhadap kata yang sedang dibahas.
  6. Seringkali menunjukkan berbedaan antara dua kata yang serupa bentuk dan berbeda maknanya.
  7. Tidak menyinggung sisi balaghah Al-Qur’an meski ada petunjuk tentangnya dalam kata yang dibahas.

Baca Juga: Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Salah satu hal menarik terkait kitab ini adalah tentang waktu disusunnya. Al-‘Iraqi bercerita dalam bait ke-1018 dan 1019:

نظمتها في سفرى لمكة ### بدأ وعودا مع شغل الفكرة

Aku menyusunnya tatkala perjalananku ke Makkah ### saat pergi dan pulang bersama pikiranku yang tersibukkan

وكملت عند السويس عائدا ### من سفري لفضل ربي حامدا

Dan aku menyelesaikannya tatkala di Swis saat pulang ### dari bepergianku. Keutamaan milik Allah. bersertaan aku orang yang memuji

Keterangan ini menunjukkan bagaimana semangatnya Imam Al-‘Iraqi dalam berkarya. Beliau mengarang 1021 bait tentang tafsir kata-kata asing di dalam Al-Quran, dalam sebuah perjalanan yang bisa dipastikan penuh dengan keadaan kelelahan. Sebuah perjalanan yang mungkin amat panas dan berpeluh, di atas sebuah unta yang berjalan lambat.

Adanya kitab alfiyah di bidang tafsir ini juga menunjukkan bahwa referensi ilmu tafsir itu berlimpah dan beragam. Semoga kita senantiasa bisa terus mempelajarinya. Amin

Tafsir Surat Al A’raf ayat 80-82

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 80-82 ini mengisahkan tentang dakwah Nabi Luth kepada kaum yang tidak hanya mengingkari Allah tetapi juga homoseksual.


Baca Juga: Kisah perilaku Homoseksual Kaum Nabi Luth


Ayat 80

Ayat ini menerangkan bahwa Allah mengutus Nabi Luth untuk menyampaikan agama kepada kaumnya agar mereka menyembah Allah, dan Nabi Luth bertanya kepada mereka dengan nada keras, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh seorang pun sebelum kamu” dengan harapan mereka sadar untuk meninggalkan prilaku keji itu. Kaum Nabi Luth adalah orang yang pertama kali melakukan sodomi (homoseks) maka mereka mendapatkan dosa seperti dosa orang yang menirunya, sebagaimana diterangkan dalam hadis:

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا

(رواه مسلم)

“Orang yang membuat suatu kebiasaan buruk dalam Islam, lalu kebiasaan buruk itu dikerjakan sesudahnya, maka ia akan menanggung seperti dosa orang yang melakukan kebiasaan buruk itu.” (Riwayat Muslim)

Hadis lain menerangkan:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُوْرِ مَنِ اتَّبَعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذٰلِكَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا. وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ اٰثَامِ مَنِ اتَّبَعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذٰلِكَ مِنْ اٰثَامِهِمْ شَيْئًا

(رواه مسلم)

“Orang yang mengajak kepada jalan yang benar maka ia mendapat ganjaran sama banyaknya dengan ganjaran yang diberikan kepada pengikut-pengikutnya dan hal itu tidak sedikit pun mengurangi ganjaran mereka itu, dan orang yang mengajak berbuat kejahatan maka ia mendapat dosa sama banyaknya dengan dosa pengikut-pengikutnya dan hal itu tidak dikurangi sedikit pun dari dosa mereka itu.” (Riwayat Muslim)

Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan tujuan mengem-bangkan keturunan manusia guna memakmurkan alam ini. Pada masing-masing jenis memiliki nafsu birahi yang mendorong terwujudnya kebutuhan bertemunya kedua jenis manusia ini sebagai sarana untuk mengembangbiakan manusia.

Perempuan dalam bentuk kejadiannya adalah indah, halus dan menarik. Antara laki-laki dan perempuan terjadi saling tarik-menarik laksana tarikan antara positif dan negatif. Jika manusia seperti itu, alangkah ganjilnya bila ada golongan manusia yang menyimpang dari ketentuan Allah itu. Alangkah besarnya pelanggaran terhadap kemanusiaan yang dilakukan seseorang laki-laki dengan menggauli laki-laki lain dengan tujuan bukan untuk mengembangkan keturunan.

Jika saling membunuh dinilai sebagai sesuatu yang buruk, maka perbuatan kaum Nabi Luth ini dapat dikatakan lebih buruk dan dapat menjatuhkan derajat manusia dan kemanusiaan sehingga lebih rendah dari hewan. Hal ini karena hewan jantan tidak ada yang berhubungan dengan jantan pula sebagaimana yang dilakukan umat Nabi Luth. Ketetapan Allah berkaitan dengan hal ini, adalah laki-laki untuk perempuan dan perempuan untuk laki-laki.

Kaum Luth bukan saja ingkar kepada Allah dan tidak bersyukur atas nikmat-Nya, tetapi juga melakukan homoseksual yang akhirnya juga mendorong para wanita melakukan lesbian (saling berhubungan sesamanya). Allah mengutus Nabi Luth kepada kaum seperti ini untuk menyampaikan ajaran Allah agar mereka kembali ke jalan yang benar dan meninggalkan kelakuan yang buruk dan bertentangan dengan sunatullah. Karena mereka menolak seruan Luth, maka Allah membinasakan kaum tersebut.

Nabi Luth adalah anak Haran bin Tarikh. Tarikh adalah saudara Nabi Ibrahim. Luth dilahirkan di daerah tepian timur dari selatan Irak yang dahulunya dinamakan Babilon. Atas kehendak Nabi Ibrahim, Luth berdiam di kota Sodom salah satu kota di daerah Yordania. Luth wafat di sekitar Yordan dahulu terkenal dengan nama Laut Luth.

Ayat 81

Tafsir surat Al A’raf ayat 80-82, khususnya di ayat 81 merupakan kelanjutan dari ayat 80 menerangkan, bahwa Nabi Luth menegaskan kepada kaumnya bahwa sesungguhnya mereka melakukan homoseksual, perbuatan yang bukan saja bertentangan dengan fithrah manusia tetapi juga menghambat perkembangbiakan manusia. Perbuatan homoseksual hanya bertujuan pelepasan nafsu birahi semata karena pelakunya lebih rendah dari hewan.

Hewan masih memerlukan jenis kelamin lain untuk memuaskan nafsu birahinya dan keinginan mempunyai keturunan. Misalnya binatang yang merayap dan yang terbang memulai kehidupannya dengan betina dan jantan untuk bersama-sama membuat sarang di atas pohon. Sedangkan kelakukan homoseks tidak mempunyai maksud demikian  selain melampiaskan nafsu birahi semata.

Dengan bersemangat Nabi Luth mengutuk dan mencemoohkan tingkah laku mereka. Pada akhir ayat ini diutarakan bahwa Nabi Luth selalu mengakhiri ucapannya dengan kata-kata,

“Tetapi wahai kaumku, kamu adalah benar-benar golongan yang melampaui batas, karena kamu meninggalkan akal sehat dan menyimpang dari fitrah manusia, sehingga kamu tidak memikirkan akibat buruk dari tingkah lakumu, yaitu memutuskan keturunan, merusak kesehatan dan melanggar peradaban.”

Jika kaum Lut tidak menyimpang dari fitrah, selalu berpikir sehat dan berakhlak mulia, tentu akan menjauhi perbuatan keji dan terkutuk itu. Kecaman atas perbuatan umat Nabi Lut berulang kali dikemukakan dengan ungkapan yang beragam, seperti firman Allah berikut:

اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّنْ دُوْنِ النِّسَاۤءِ ۗبَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُوْنَ 

Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) syahwat(mu), bukan (mendatangi) perempuan? Sungguh, kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu). (an-Naml/27: 55)

Juga firman Allah pada ayat yang lain yaitu:

اَىِٕنَّكُمْ لَتَأْتُوْنَ الرِّجَالَ وَتَقْطَعُوْنَ السَّبِيْلَ ەۙ وَتَأْتُوْنَ فِيْ نَادِيْكُمُ الْمُنْكَرَ ۗ

Apakah pantas kamu mendatangi laki-laki, menyamun dan mengerjakan kemungkaran di tempat-tempat pertemuanmu?” (al-‘Ankabut/29: 29)

Ayat 82

Ayat ini menerangkan reaksi kaum Luth terhadap kecaman dan nasihat yang dikemukakan oleh Nabi Luth yang disertai dengan alasan-alasan yang logis dan tidak dapat dibantah. Namun demikian mereka tetap menolak kebenaran. Beberapa pemuka mereka mengeluarkan perintah agar Nabi Luth beserta orang-orang yang beriman kepadanya diusir dari kampung halaman mereka dengan alasan bahwa Nabi Luth dan orang-orang yang beriman itu adalah orang-orang yang bersih dan tidak patut berkumpul dengan mereka, karena mereka adalah orang-orang yang rusak dan kotor.

Oleh karena itu, sebaiknya Nabi Luth dan pengikutnya tidak sekampung dengan mereka, karena antara mereka dengan Nabi Luth terdapat perbedaan dalam budi pekerti. Mereka melakukan perbuatan yang keji dengan bangga, sedang Nabi Luth beserta orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang membersihkan diri dari perbuatan terkutuk itu. Sambil mengejek, mereka menghendaki agar Nabi Luth dengan pengikutnya diusir, dengan demikian mereka tetap dapat berbuat secara bebas tanpa ada yang mengganggu mereka.

Alangkah rendahnya akhlak kaum Luth itu, tanpa rasa malu mereka bangga melakukan perbuatan maksiat yang berbentuk kutukan seraya menghina orang-orang yang berbudi pekerti luhur. Hanya manusia yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudianlah yang dapat jatuh ke dalam martabat yang rendah ini.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 80-81: Benarkah Kaum Nabi Luth Homoseksual?


 

Tafsir Surat Al-Anbiya’ Ayat 105: Manusia Sebagai Khalifah fil Ardh dan Makna Saleh Total

0
Manusia sebagai khalifah fil ardh
Manusia sebagai khalifah fil ardh

Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang paling sempurna. Oleh karenanya, manusia diamanahi Allah untuk memegang kepemimpinan di muka bumi (khalifah fil ardh). Begitu mulianya manusia hingga makhluk lain pun tak mampu memegang amanah tersebut karena beban pikulannya terlalu berat. Begitu bodohnya manusia karena mau menanggung amanah tersebut. Namun, Allah mempercayakan tersebut karena melihat kapasitas manusia yang memang sanggup, dengan catatan hanya kepada orang-orang yang saleh.

Kata yang bermakna saleh terdapat dalam Al-Quran sebanyak 124 kali dengan penyebutan secara mufrad shalih atau jamak shalihiin/shalihaat. Salah satunya tertera dalam surah Al-Anbiya ayat 105. Dalam ayat ini disinggung mengenai saleh dan kaitannya dengan tanggung jawab manusia. Lalu apakah yang dimaksud sebagai saleh? Berikut penjelasannya!

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Tafsir Surat al-Anbiya’ Ayat 105

وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِى ٱلزَّبُورِ مِن بَعْدِ ٱلذِّكْرِ أَنَّ ٱلْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِىَ ٱلصَّٰلِحُونَ

“Dan sungguh telah Kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hamba-Ku yang saleh.”

Tafsiran ayat tersebut menurut Tafsir Al-Wajiz milik Wahbah Zuhayli adalah keterangan Allah bahwasannya takdir atau ketetapan yang tertera dalam buku induk Lauh Mahfudz juga diwahyukan dalam kitab-kitab-Nya seperti Zabur. Kitab-kitab yang dimaksud bukan hanya Zabur, melainkan juga Taurat, Injil, Al-Quran, dan suhuf-suhuf yang lain.

Ketetapan yang Allah maksud menurut Zuhayli mengandung dua kemungkinan. Pertama adalah bahwa orang-orang yang salehlah yang mempusakai surga. Mereka yang menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya akan mewarisi dan menghuni surga yang penuh kenikmatan. Kemungkinan kedua bermakna ketetapan menjadi khalifah di muka bumi. Allah mendudukkan orang-orang saleh sebagai penguasa bumi dan menetapkan mereka sebagai pemiliknya.

Baca juga: Makna Khalifah dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

Dua kemungkinan yang disampaikan Zuhayli mengenai makna obyek yang diwariskan kepada orang-orang saleh memang saling dikukuhkan oleh para mufassir. Ibnu Katsir dalam tafsir al-Quran al’Adhim memilih pendapat pertama dalam menafsirkan “ardh”, yaitu sebagai surga. Argumentasi Ibnu Katsir ini mengutip dari riwayat Ibnu Abbas bahwa orang-orang yang saleh tersebut akan mendapatkan balasan berupa bumi surga. Sedangkan mufassir seperti Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn dan Buya Hamka dalam Tafsir Azhar lebih condong menafsirkan lafadz “ardh” sebagai bumi di alam dunia. Orang-orang saleh tersebut adalah khalifah yang mewarisi dunia ini dan menjalankan tugas-tugasnya di bumi tanpa penuh kemungkaran.

Makna saleh secara total

Dalam menafsirkan ayat tersebut, mufassir asal Mesir Mutawalli As-Sya’rawi melalui Tafsir As-Sya’rawi memilih penggunaan orang-orang saleh sebagai khalifah di bumi. Menurut As-Sya’rawi, di bumi ini terdapat orang-orang saleh yang ditugaskan Allah untuk mengatur dan mengelola bumi. As-Sya’rawi lebih jauh menjelaskan bahwa yang dimaksud orang-orang saleh tersebut tidak hanya terkhusus kepada orang Islam.

Tugas yang dibebankan kepada sang khalifah fil ard mencakup semua sisi kesalehan secara total. Lalu apakah yang dimaksud dengan saleh secara total bagi seorang khalifah fil ardh? Pendapat As-Sya’rawi lagi-lagi dapat menjadi rujukan mengenai hal tersebut. As-Sya’rawi membagi definisi saleh menjadi dua jenis, yaitu saleh duniawi dan saleh ukhrawi.

Saleh duniawi adalah orang yang mempunyai kepribadian baik. Ia sama sekali tidak merugikan masyarakat di manapun ia berada, justru malah menebar manfaat bagi orang-orang di sekitarnya. Saleh yang seperti ini telah menjadi kesepakatan universal. Sebuah kode etik yang wajib berlaku di dunia tak pandang agama, da nasal negara. Sedangkan saleh kedua yaitu ukhrawi, menurut as-Sya’rawi adalah kebaikan yang didasarkan atas ketakwaan kepada Allah. Kebaikan-kebaikan yang ia lakukan bukan hanya berdasar etika semata, melainkan atas kesadaran penuh sebagai seorang hamba Allah. Karena bentuk implikasi kepada Allah adalah tuntutan untuk berbuat baik kepada sesama.

Baca juga: TGB Zainul Majdi: Makna Khalifah dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30 Tidak Memuat Tendensi Politis

Mengenai makna kesalehan KH. Ahmad Musthofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus juga mmberikan penjelasan dalam bukunya “Saleh Ritual, Saleh Sosial”. Seperti dalam judul bukunya, Gus Mus memaknai saleh sebagai saleh ritual dan saleh sosial. Yang dimaksud saleh ritual yaitu orang-orang yang melakukan ritual-ritual ibadhah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al-Quran dan lain-lain. Sedangkan yang dinamakan saleh sosial yaitu mereka yang melakukan kebajikan-kebajikan di muka bumi seperti menolong yang miskin, membela yang tertindas dan menebar kemanfaatan bagi yang lain.

Dalam pemikirannya Gus Mus menganjurkan untuk memadukan dua kesalehan tersebut. Saleh ritual atau individu ini harus dibaengi dengan saleh sosial. Internalisasi kedua kesalehan yang Gus Mus ajukan juga turut mendukung harapan perpaduan antara saleh duniawi dan saleh ukrawi yang diklasifikasikan As-Sya’rawi. Orang tidak boleh hanya bersifat saleh ritual saja, ia akan menjadi egois. Orang yang seperti itu tidak akan bisa menjalankan tugas-tugasnya sebagai khalifah fil ardh yang telah diamanahkan Allah kepadanya. Begitu pula ketika seseorang melakukan saleh sosial maupun saleh duniawi, orang tersebut akan menjadi seorang hamba yang sempurna ketika turut menjalankan saleh ukhrawi. Kesalehan secara total dimaknai apabila manusia menjalankan prinsip hubungan dengan Allah (hablun minallah), hubungan dengan sesama manusia (hablun minannas), dan hubungan baik dengan alam (hablun minal ‘alam).

Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

0
Cara Mengelola Harta Anak Yatim
Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Pengelolaan harta anak yatim menjadi hal yang penting dipelajari. Karena, dalam kapasitasnya sebagai anak kecil yang belum memiliki kemampuan untuk mengelola finansial, ia butuh seseorang yang bisa mengatur keuangannya, demi kesejahteraan hidup. Bagaimana cara mengelola harta anak yatim? Tentang ini, Allah berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 2.

وَاٰ تُوا الۡيَتٰمٰٓى اَمۡوَالَهُمۡ‌ وَلَا تَتَبَدَّلُوا الۡخَبِيۡثَ بِالطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَاۡكُلُوۡۤا اَمۡوَالَهُمۡ‌ اِلٰٓى اَمۡوَالِكُمۡ‌ؕ اِنَّهٗ كَانَ حُوۡبًا كَبِيۡرًا

‏‏“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.”

Mengutip Sababun Nuzul karya Al-Wahidi, ayat ini turun untuk merespons seorang laki-laki dari Bani Ghathafan. Ia memegang harta ponakannya yang yatim.

Suatu ketika, saat keponakannya beranjak dewasa –baligh-, ia meminta harta itu dari pamannya. Tetapi, pamannya menolak. Sampai keponakannya ini lapor ke Nabi, dan turunlah ayat ini.

Baca juga: Tafsir Surat Maryam Ayat 33 Mengenai Hukum Ucapan Selamat Natal

Setelah mendengar kabar tersebut, sang paman kemudian menyerahkan harta itu kepada keponakannya, lantas berdoa agar dihindarkan dari dosa besar.

Sebelum Baligh

Perintah wa aatul yataama pada permulaan ayat menurut As-Zamakhsyari dan Ibnu ‘Asyur merupakan perintah untuk menjaga harta anak yatim dari penyalahgunaan yang bisa saja dilakukan oleh pihak pengelola hartanya. Sehingga, aatu di situ tidak dimaknai dengan menyerahkan (idfa’), tetapi menentukan hak hartanya (ta’yinul mal). Pemaknaan demikian ini berangkat dari konteks sosial masyarakat Jahiliyyah yang mengabaikan anak kecil dalam hal warisan. Mereka tidak memberi bagain bagi anak-anak.

Dan karena itulah ayat ini turun sebagai perintah untuk menentukan bagian warisan anak-anak. Ini lebih sesuai karena yatim secara umum dimaknai dengan anak yang ditinggal mati orangtuanya (belum memasuki fase baligh), yang itu artinya belum bisa diberi tanggungjawab mengelola harta (dalam terminologi fikih disebut mahjur ‘alaih). Sebagaimana hadis riwayat ‘Ali ra yang ditakhrij Abu Daud:

لا يتم بعد احتلام

“Tidak ada kata yatim bagi yang sudah mimpi basah (baligh/pubertas)”

Harta warisan anak yatim itu kemudian dikelola oleh orang yang bisa mengelolanya. Tentu saja dengan cara menyalurkannya untuk kebutuhan anak yatim itu. Lalu, siapa yang bertanggungjawab mengelolanya? Mengutip dari Fathul Qarib, kakek, paman, atau kerabat dekat. Ibnu ‘Asyur setuju dengan hal ini, karena melihat tradisi masyarakat, yang mengelola harta anak yatim adalah kerabatnya. Ketentuan ini diperkuat oleh ayat sebelumnya, yang juga menyinggung implementasi takwa dengan pemenuhan hak-hak kerabat.

Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

Pasca Baligh

Saat anak yatim telah berada di fase baligh, harta yang ia miliki harus diserahkan kepadanya. Tidak boleh kemudian, pengelola hartanya dikala masih yatim menyembunyikan harta tersebut barang sepeser pun. Fase baligh ini juga harus dibarengi dengan kemampuan untuk mengelola harta sendiri, sehingga tidak cukup sekedar baligh saja. Demikianlah Al-Jashash dan Az-Zuhaili. 

Perintah wa la tatabaddalul khabitsa bittayyib menunjukkan larangan untuk menggunakan harta yang haram serta menyia-nyiakan harta yang halal. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim memaknai larangan ini sebagai larangan untuk mengabaikan rezeki yang halal dan mengambil rezeki yang haram. Dua pemaknaan ini pada intinya melarang untuk bekerja atau melakukan upaya apa pun untuk mendapatkan rezeki yang haram, serta mengabaikan yang sejatinya halal. Seperti halnya menyalahgunakan harta anak yatim yang telah dewasa dengan tidak segera menyerahkannya. Justru menggunakannya untuk keperluan pribadi.

Baca juga: Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 2)

Larangan Mencampur Harta Anak Yatim dengan Harta Pribadi

Larangan ini ditunjukkan dalam frasa wa la ta’kulu amwalahum ila amwalikum. Menurut Ibnu ‘Asyur, melalui potongan ayat ini, Allah melarang pengelola harta anak yatim untuk mencampur harta milik pribadi dengan milik anak yatim. Hal ini demi menjaga agar pengelola tidak mengkonsumsi harta anak yatim tersebut.

Dari Surat An-Nisa ayat 2, setidaknya terdapat tiga poin tentang tata kelola harta anak yatim. Pertama perintah untuk menentukan bagian waris anak yatim. Kedua, larangan berupaya untuk mendapatkan harta yang haram. Ketiga, memonopoli harta anak yatim.

Persoalan tata kelola harta anak yatim ini termasuk yang sangat penting, karena jika tidak dikelola dengan benar, akan berakibat dosa besar. Sebagaimana yang ditunjukkan di akhir ayat, innahu kana huuban kabiiran (sesungguhnya, menyelewengkan harta anak yatim itu sungguh dosa besar). Wallahu a’lam[]

 

Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

0
kh. mustofa bisri
KH. Mustofa Bisri

Penafsiran Al-Quran dengan beraksara Jawi atau Arab Pegon menjadi suatu kearifan lokal tersendiri bagi ulama Nusantara. Sebut saja, Tafsir al-Ibriz, Tafsir al-Iklil, Tarjuman al-Mustafid, kesemuanya berbahasa lokal guna memudahkan masyarakat mempelajari dan memahami Al-Quran.

Selanjutnya, pada dekade 1980-an sebagaimana dipaparkan oleh Islah Gusmian dalam Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika Hingga Ideologi, meskipun bahasa Melayu-Jawi tidak terlalu populer sebab target pembacanya hanya dari golongan tertentu saja, bukan Umat Muslim se-Indonesia, tetapi masih dapat ditemukan literatur tafsir dengan metode penulisan pegon Jawa yakni Tafsir al-Ibriz karya KH. Bisri Mustofa.

Selanjutnya di tahun 1999 terbit juga karya tafsir dengan metode aksara Jawi (Arab Pegon) sebagai media penulisannya yakni Tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaib Al-Quran al-‘Aziz karya KH. Mustofa Bisri, di mana merupakan putra dari KH. Bisri Mustofa. Pada pembahasan kali ini kita akan mengulas biografi KH. Mustofa Bisri.

Sebuah Biografi

KH. Mustofa Bisri lahir di Rembang, Jawa Tengah pada 10 Agustus 1944. Beliau lahir dari pasangan KH. Bisri Mustofa bin H. Zaenal Mustofa dan Hj. Ma’rufah binti KH. Kholil Harun. Gus Mus merupakan anak kedua dari delapan bersaudara. Adapun ketujuh saudaranya yaitu Kh. Kholil Bisri, KH. Adib Bisri, Hj. Faridah, Hj. Najihah, Nihayah, Labib dan Hj. Atikah.

Beliau dibesarkan di lingkungan yang religius dan pesantren. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang. Beliau juga berkawan dekat dengan Abuya Prof. Quraish Shihab, sang Maestro Tafsir Nusantara. Pada tahun 1971 beliau menikah dengan Nyai Siti Fatmah dan dianugrahi 6 anak, 1 putra dan 5 putri, yakni Ienas Tsuroiya, Kautsar Uzmut, Raudloh Quds, Rabiatul Bisriyyah, Nada Fatma, Almas Mustofa, dan M. Bisri Mustofa.

Selain itu, beliau juga memiliki hobi yaitu menulis, sastrawan, dan pelukis. Beliau juga menggemari sepakbola dan bulu tangkis. Ketenarannya sebagai kiai tak menyurutkannya untuk berkiprah sebagaii sastrawan, penulis, cendekiawan, dan budayawan. Kiprahnya dalam Nahdlatul Ulama pun tak diragukan lagi. Saat ini KH. Mustofa Bisri menjadi Mustasyar Nahdlatul Ulama. Dalam kesehariannya, beliau termasuk kiai yang bersahaja dan tidak ambisius.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Rihlah Pendidikan

KH. Afifuddin Dimyathi dalam Jam’u al-Abir fi Kutub al-Tafsir menjelaskan bahwa Gus Mus memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat 6 tahun (1950-1956). Ia juga nyantri kepada Kiai Mahrus dan Syaikh Marzuki di Pesantren Lirboyo Kediri (1956-1958). Di samping itu, Ia juga nyantri kepada Kiai Ma’shum dan Kiai Abdul Qadir bin Kiai Munawwir di Pesantren Krapyak, Yogyakarta (1958-1962), serta di Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang (1962-1964) yang merupakan pesantren ayahnya sendiri.

Selepas mengenyam pendidikan di Pesantren, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar Mesir pada jurusan al-Qism al-‘Ali li al-Dirasat al-Islamiyah wa al-‘Arabiyah (1964-1970). Selanjutnya di tahun 2009, ia dianugerahi Doktor Honoris Causa (Dr. H.C.) dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarya, pada 30 Mei 2009.

Selain berkiprah di dunia pendidikan, Gus Mus sangatlah aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama. Sebagai informasi, Gus Mus pernah terjun ke dunia politik dan menduduki posisi sebagai anggora DPRD Jawa Tengah (1982-1992) dan Anggota MPR RI (1992-1997). Kiprah politiknya tak bisa dielakkan karena pertimbangan tanggungjawab yang tak bisa dielakkannya, mengingat kapasitasnya yang mumpuni.

Gus Mus merupakan tokoh yang paling disegani dan dita’dzimi dibandingkan ulama-ulama lainnya. Pandangannya tentang keindonesiaan sangatlah pantas untuk diakui sebagai ulama Nusantara yang cinta akan Indonesia. Beliau berpandangan mencintai Indonesia adalah mencintai rumah kita bersama. Indonesia adalah rumah kita bersama yang harus kita jaga dan kita rawat. Pada tahun 2015, beliau dipercaya untuk menjadi dewan Mustasyar Nahdlatul Ulama sembari tetap mengasuh Pondok Pesantren milik ayahnya.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Karya-Karya

Belau termasuk ulama yang sangat produktif baik di bidang sastra, maupun keagamaan. Sudah tak terhitung lagi berapa ratus karyanya yang telah dimuat di berbagai media ataupun buku yang diterbitkannya. Berikut karya-karya beliau,

  1. Ensiklopedi Ijmak (terjemahan bersama K.H. M.A. Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta).
  2. Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya).
  3. Awas Manusia dan Nyamuk yang Perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta).
  4. Maha Kiai Hasyim Asy’ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta).
  5. Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Cet.I, Al-Huda, temanggung; Cet II, Mata Air Publishing, Surabaya).
  6. Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Ummat (Risalah Gisti, Surabaya).
  7. Al-Muna, Terjemah Syair Asmaul Husna (Al-Miftah, Surabaya).
  8. Mutiara-Mutiara Benjol (Mata Air Publishing, Surabaya).
  9. Fikih Keseharian Gus Mus (Cet I, Yayasan Al-Ibriz bekerjasama dengan penerbit al-Miftah, Surabaya; Cet. II dan III, Khalista, Surabaya, bekerjasama dengan Komunitas Mata Air).
  10. Canda Nabi dan Tawa Suci (Hikmah, Bandung).
  11. Tafsir al-Ubairiz fi Tafsiri Gharaib Al-Quran al-‘Aziz
  12. Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogyakarta). Kompensasi (Mata Air Publishing, Surabaya).
  13. Metode Tasawuf Al- Ghazali (terjemahan dan komentar, Pelita Dunia, Surabaya).
  14. Kimiya-us Sa’adah (Assaqqaf, Surabaya).
  15. Dasar-dasar Islam (Penerbit Abdillah Putra Kendal)
  16. Koridor, Renungan A. Mustofa Bisri (Penerbit Buku Kompas, Jakarta)
  17. Membuka Pintu Langit, Momentum Mengevaluasi Diri (Penerbit Buku Kompas, Jakarta) dan lain-lain.

Beberapa karya cerpen yang dimuat di berbagai harian , seperti dalam Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, dan lain-lain. Buku kumpulan Cerpennya, antara lain

  1. Lukisan Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas Jakarta), mendapat anugrah dari Majelis Sastra Asia Tenggara tahun 2005).
  2. Horison Sastra Indonesia;
  3. Buku Puisi Horison Edisi Khusus Puisi Internasional 2002;
  4. Takbir Para Penyair;
  5. Sajak-sajak Perjuangan dan Nyanyian Tanah Air Ketika Kata Ketika Warna, dan lain sebagainya.

Wallahu A’lam.

Tafsir Surah An Nas Ayat 1-6

0
tafsir surat an nas
Tafsiralquran.id

Sama seperti pembahasan dalam surat sebelumnya, yaitu Tafsir Surah Al Falaq Ayat 1-5, Tafsir Surah An Nas Ayat 1-6 juga berbicara tentang perintah untuk memohon perlindungan kepada Allah swt. Surah ini termasuk dalam kategori makiyah dan juga surah terakhir dalam susunan Muashaf Usmani.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Falaq Ayat 1-5

Didahulukannya kata Rabb dalam Tafsir Surah An Nas Ayat 1-6 ini daripada kata Malik dan Ilah karena karena pendidikan adalah nikmat Allah yang paling utama dan terbesar bagi manusia. selain itu juga dipaparkan mengenai perintah untuk berlindung dari segala macam bisikan setan yang terdapat dalam hati.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad termasuk pula di dalamnya seluruh umatnya agar memohon perlindungan kepada Tuhan yang menciptakan, menjaga, menumbuhkan, mengembangkan, dan menjaga kelangsungan hidup manusia dengan nikmat dan kasih sayang-Nya serta memberi peringatan kepada mereka dengan ancaman-ancaman-Nya.

Ayat 2

Allah menjelaskan bahwa Tuhan yang mendidik manusia itu adalah yang memiliki dan yang mengatur semua syariat, yang membuat undang-undang, peraturan-peraturan, dan hukum-hukum agama. Barang siapa yang mematuhinya akan berbahagia hidup di dunia dan di akhirat.

Ayat 3

Allah menambah keterangan tentang Tuhan pendidik manusia ialah yang menguasai jiwa mereka dengan kebesaran-Nya. Mereka tidak mengetahui kekuasaan Allah itu secara keseluruhan, tetapi mereka tunduk kepada-Nya dengan sepenuh hati dan mereka tidak mengetahui bagaimana datangnya dorongan hati kepada mereka itu, sehingga dapat mempengaruhi seluruh jiwa raga mereka.

Ayat-ayat ini mendahulukan kata Rabb (pendidik) dari kata Malik dan Ilah karena pendidikan adalah nikmat Allah yang paling utama dan terbesar bagi manusia. Kemudian yang kedua diikuti dengan kata Malik (Raja) karena manusia harus tunduk kepada kerajaan Allah sesudah mereka dewasa dan berakal.

Kemudian diikuti dengan kata Ilah (sembahan), karena manusia sesudah berakal menyadari bahwa hanya kepada Allah mereka harus tunduk dan hanya Dia saja yang berhak untuk disembah.

Allah menyatakan dalam ayat-ayat ini bahwa Dia Raja manusia. Pemilik manusia dan Tuhan manusia, bahkan Dia adalah Tuhan segala sesuatu. Tetapi di lain pihak, manusialah yang membuat kesalahan dan kekeliruan dalam menyifati Allah sehingga mereka tersesat dari jalan lurus.

Baca juga: Surat Al-Mu’awwidzatain Dan Memahami Kisah Disihirnya Nabi Muhammad

Mereka menjadikan tuhan-tuhan lain yang mereka sembah dengan anggapan bahwa tuhan-tuhan itulah yang memberi nikmat dan bahagia serta menolak bahaya dari mereka, yang mengatur hidup mereka, menggariskan batas-batas yang boleh atau tidak boleh mereka lakukan.

Mereka memberi nama tuhan-tuhan itu dengan pembantu-pembantunya dan menyangka bahwa tuhan-tuhan itulah yang mengatur segala gerak-gerik mereka. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

اِتَّخَذُوْٓا اَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَۚ وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوْٓا اِلٰهًا وَّاحِدًاۚ  لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ سُبْحٰنَهٗ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ   ٣١

Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi), dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan selain Allah, dan (juga) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari apa yang mereka persekutukan. (at-Taubah/9: 31)

وَلَا يَأْمُرَكُمْ اَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ وَالنَّبِيّٖنَ اَرْبَابًا ۗ اَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ اِذْ اَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ࣖ  ٨٠

Dan tidak (mungkin pula baginya) menyuruh kamu menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai Tuhan. Apakah (patut) dia menyuruh kamu menjadi kafir setelah kamu menjadi Muslim? (Ali ‘Imran/3: 80)

Maksudnya, dengan ini Allah memperingatkan manusia bahwa Dia-lah yang mendidik mereka sedang mereka adalah manusia-manusia yang suka berpikir dan Dia Raja mereka dan Dia pula Tuhan mereka menurut pikiran mereka. Maka tidak benarlah apa yang mereka ada-adakan untuk mendewa-dewakan diri mereka padahal mereka manusia biasa.

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan manusia agar berlindung kepada Allah Rabbul-‘Ālamin dari kejahatan bisikan setan yang senantiasa bersembunyi di dalam hati manusia.

Bisikan dan was-was yang berasal dari godaan setan itu bila dihadapkan kepada akal yang sehat mesti kalah dan orang yang tergoda menjadi sadar kembali, karena semua bisikan dan was-was setan yang akan menyakiti manusia itu akan menjadi hampa bila jiwa sadar kembali kepada perintah-perintah agama.

Begitu pula bila seorang menggoda temannya yang lain untuk melakukan suatu kejahatan, tetapi temannya itu berpegang kuat dengan perintah-perintah agama niscaya akan berhenti menggoda dan merasa kecewa karena godaannya itu tidak berhasil namun ia tetap menunggu kesempatan yang lain.

Ayat 5-6

Allah menerangkan dalam ayat ini tentang godaan tersebut, yaitu bisikan setan yang tersembunyi yang ditiupkan ke dalam dada manusia, yang mungkin datangnya dari jin atau manusia, sebagaimana dalam ayat lain Allah berfirman:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيٰطِيْنَ الْاِنْسِ وَالْجِنِّ

Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin. (al-An’am/6: 112)

Setan-setan jin itu seringkali membisikkan suatu keraguan dengan cara yang sangat halus kepada manusia. Seringkali dia menampakkan dirinya sebagai penasihat yang ikhlas, tetapi bila engkau menghardiknya ia mundur dan bila diperhatikan bicaranya ia terus melanjutkan godaannya secara berlebih-lebihan.

Surah ini dimulai dengan kata pendidik, karena itu Tuhan sebagai pendidik manusia, berkuasa untuk menolak semua godaan setan dan bisikannya dari manusia.

Allah memberi petunjuk dalam surah ini agar manusia memohon pertolongan hanya kepada Allah sebagaimana Dia telah memberi petunjuk yang serupa dalam surah al-Fatihah, bahwa dasar yang terpenting dalam agama adalah menghadapkan diri dengan penuh keikhlasan kepada Allah baik dalam ucapan, maupun perbuatan lainnya dan memohon perlindungan kepada-Nya dari segala godaan setan yang ia sendiri tidak mampu menolaknya.

(Tafsir Kemenag)