Beranda blog Halaman 436

Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

0
Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu
Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu merupakan seorang poliglot asal Jepang yang menjadi pakar di bidang semantik Al-Quran. Gagasannya terkait kajian semantik Al-Quran memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perkembangan kajian studi Al-Quran. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya akademisi yang mengadopsi teori semantik Izutsu sebagai pendekatan baru dalam kajian akademik. Oleh karena itu, mari kita mengenal lebih jauh tentang teori semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu.

Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu membagi wahyu (Al-Quran) menjadi dua bagian utama, yaitu Tuhan dan firman. Dilihat dari segi Tuhan, wahyu dipandang sebagai suatu misteri yang mustahil dijangkau oleh manusia, karena ia bersifat teosentris. Sedangkan apabila dilihat dari sisi firman, wahyu tersebut memuat dua hal, yaitu parole dan langue. (Aksin Wijaya, Menalar Autentisitas Wahyu Tuhan)

Parole adalah komunikasi linguistik yang terjadi dalam situasi konkret antara dua orang, dimana salah satunya memainkan peran aktif, sedangkan lainya bersifat pasif. Sedangkan Langue dimaknai sebagai suatu sistem isyarat verbal yang telah dikenal sebagai alat komunikasi berdasarkan kesepakatan bersama.

Baca Juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Firman Tuhan (Al-Quran) memiliki dimensi parole, karena ia diutarakan oleh Tuhan secara personal. Namun, karena ia berhubungan dengan alam manusia, maka bahasa firman tersebut harus disesuaikan dengan bahasa manusia, khususnya masyarakat Arab.

Oleh karena itu, dipilihlah bahasa Arab sebagai bahasa perantara (langue) dalam penyampaian firman Tuhan, supaya terjadi komunikasi linguistik yang efektif dan dapat dipahami.

Dalam kajian semantik, analitis kebahasaan merupakan hal yang sangat penting. Toshihiko Izutsu mendefinisikan gagasan semantiknya sebagai kajian analitis terhadap kumpulan istilah kunci bahasa yang kemudian menghasilkan pada pemahaman konseptual Weltanschauung (pandangan dunia) dari masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut.

Tujuan dari analisis semantik tersebut adalah memunculkan tipe ontologi hidup yang dinamis dari Al-Quran dengan penelaahan secara analitis dan metodologi terhadap konsep-konsep pokok, yaitu konsep-konsep yang tampaknya memainkan peran menentukan dalam pembentukan visi Qur’ani tentang alam semesta. (Ahmad Sahidah, God, Man, and Nature)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa teori semantik Toshihiko Izutsu ini tidak hanya sebagai alat untuk memahami makna harfiah sebuah kata, tetapi lebih jauh untuk mengungkapkan pengalaman kebudayaan yang terkandung di dalam kata tersebut. Sehingga pada akhirnya, akan mencapai suatu rekonstruksi tingkat analitis struktur keseluruhan budaya sebagai konsepsi masyarakat yang sungguh-sungguh ada. Inilah yang disebut oleh Izutsu sebagai weltanschauung semantik budaya.

Baca Juga: Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an

Metode Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu

Toshihiko Izutsu menjelaskan bahwa terdapat empat hal penting yang perlu dipahami terdahulu sebelum menerapkan semantik terhadap teks Al-Quran. Keempat hal tersebut adalah memahami keterpaduan konsep-konsep individual, kosakata, makna “dasar” dan makna “relasional”, serta pandangan dunia (weltanschauung).

Secara prosedural, Toshihiko Izutsu memberikan beberapa tahapan dan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam proses penerapan teori semantik Al-Quran tersebut, yaitu Pertama, menentukan terlebih dahulu terkait topik atau tema kajian tertentu yang akan dijadikan fokus penelitian dan objek analisis teori semantik Al-Quran.

Kedua, setelah menentukan tema, maka langkah selanjutnya adalah mengumpulkan semua kosakata yang berkaitan dengan tema pembahasan tersebut. Setelah terkumpul semua, dilakukan proses pemilahan dari berbagai kosakata tersebut untuk mencari satu kosakata kunci yang akan dikaji secara mendalam.

Ketiga, menelusuri makna dasar dari kosakata tersebut. Makna dasar yang dimaksud adalah kandungan kontekstual dari kosa kata yang akan tetap melekat pada kata tersebut, meski kata tersebut dipisahkan dari konteks pembicaraan kalimat.

Keempat, menguraikan makna relasional sebuah kosakata, yang dalam penerapanya sangat bergantung kepada konteks, sekaligus relasi antar kosakata dalam satu kalimat. Untuk mengetahui makna relasional tersebut, diperlukan dua metode analisis linguistik, yaitu analisis sintagmatik dan paradigmatik.

Analisis sintagmatik adalah suatu analisa yang berusaha mencari makna dalam suatu kata dengan melihat kata yang di depan maupun di belakang kata tersebut. Sedangkan analisis paradigmatik adalah mencari makna dengan cara membandingkan kata atau konsep dengan kata yang senada ataupun yang bertolak belakang.

Baca Juga: Kajian Semantik Pasangan dalam Al-Quran: Perbedaan Al-Ba‘l dan Al-Zauj

Kelima, mulai memasuki wilayah medan semantik. Semantik diakronik adalah pandangan terhadap bahasa yang menitikberatkan pada unsur waktu. Sedangkan semantik sinkronik adalah pandangan suatu kata yang melintasi garis historis, yang muncul pada suatu sistem kata yang statis.

Untuk mengungkap historisitas makna sebuah kata, Toshihiko Izutsu mengisolasikan tiga fase permukaan semantik yang berbeda, yaitu: (1) pra-Qur’an (masa Jahiliyah), yaitu masa pra-Islam yang berpusat pada tiga sistem kata yang berbeda, yaitu sistem kata baduwi murni, pedagang, dan koskata yang digunakan oleh Yahudi-Kristen; (2) Qur’an (masa turunya Al-Quran); dan (3) pasca-Qur’an, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah.

Keenam, proses yang paling utama dari teori semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu yaitu menemukan weltanschauung atau dalam istilah lain disebut worldview (pandangan dunia) dari kata yang dikaji tersebut. Kemudian, langka yang terakhir, ketujuh, yaitu menjelaskan terkait pesan yang terkandung dalam sebuah kata yang telah mengalami proses analisis tersebut.

Untuk lebih memudahkan dalam memahami aplikasi teori semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu tersebut, Ahmad Sahidah memberikan bagan proses dan tahap-tahapan dalam penerapan teori semantik tersebut, sebagaimana berikut:

Baca Juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Kontribusi Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu

Para ulama pengkaji Al-Quran baik klasik maupu kontemporer sepakat bahwa metode penafsiran Al-Quran yang terbaik adalah penafsiran ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran yang lainya (tafsir Al-Quran bi Al-Quran). Hal ini dikarenakan anggapan yang menyatakan bahwa makna sejati dari teks ialah apa yang diketengahkan oleh teks itu sendiri.

Teori semantik Al-Quran yang dikembangkan oleh Toshihiko Izutsu ini merupakan sebuah pendekatan yang menitikberatkan pada pengkajian secara mendalam terhadap teks berupa ayat Al-Quran, dengan mempertimbangkan relasi (munasabah) dari teks-teks Al-Quran lainya.

Kemudian, penggunaan sumber-sumber pra-Qur’an berupa syair-syair jahiliyah sebagaimana yang digunakan oleh Ibnu Abbas juga diterapkan dalam teori semantik Al-Quran Izutsu ini. Sehingga diharapkan dengan pendekatan ini mampu memberikan pandangan objektif terhadap apa yang ingin disampaikan oleh Allah. Hal ini dikarenakan teori semantik tersebut berusaha mengungkapkan makna yang di dalam ayat, bukan di luar ayat.

Keberadaan teori semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu ini dapat dijadikan sebagai pendekatan baru dalam memahami ayat Al-Quran tanpa meninggalkan pendekatan tafsir Al-Quran konvensional yang sudah berkembang. Sehingga, dengan munculnya pendekatan baru tersebut menjadikan kajian Al-Quran semakin berkembang dengan berbagai perspektif dan sudut pandang. Wallahu A’lam

8 Makna Kata Qital Serta Derivasinya dalam Al-Quran

0
Kata Qital
Kata Qital dalam Al-Quran

Secara etimologi kata qital berakar dari bahasa Arab qatala-yaqtulu-qatlan yang bermakna al-ma’rakah wa al-harb yakni peperangan. Qital dalam bentuk dasarnya qatlu juga bisa bermakna pembunuhan atau menghilangkan nyawa. Dengan demikian, makna qital adalah usaha seseorang untuk menghilangkan nyawa orang lain secara paksa atau peperangan yang bertujuan untuk saling membunuh.

Makna qital dalam konteks tertentu sering diasosiasikan dengan berperang, terutama berkenaan dengan ayat-ayat jihad. Padahal jihad dalam term Al-Qur’an tidak selalu – hanya sebagian kecil – merujuk kepada qital atau peperangan. Meskipun makna qital mirip dengan jihad pada konteks tertentu, namun secara umum keduanya berbeda. Jihad merujuk kepada perjuangan sungguh-sungguh di jalan Allah, sedangkan qital mengarah pada pertumpahan darah.

Kata qital dalam Al-Qur’an memiliki derivasi sebanyak 20 bentuk kata yang terdiri dari fi’il madhiy, fi’il mudhari’, fi’il amr dan ism al-mashdar. Bentuk-bentuk kata tersebut tersebar pada 170 tempat dalam Al-Qur’an. Terkadang pada satu ayat kata qital ada yang disebutkan lebih dari kali. Biasanya makna kata qital yang disebutkan belakangan berkaitan erat dengan makna kata qital yang pertama.

Makna-Makna Kata Qital dalam Al-Qur’an Menurut Al-Husain Al-Damaghaniy

Menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy dalam kitabnya qamus al-qur’an aw ishlah al-wujuh wa al-nazhair fi al-qur’an al-karim, makna qital atau qatlu dalam Al-Qur’an setidaknya ada delapan makna berdasarkan konteks ayat (siyaq al-kalam) yang memuatnya. Berikut makna-makna qital dalam Al-Qur’an menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy:

1. Qatlu bermakna Qital atau peperangan

Makna qatlu yang pertama adalah qital yakni peperangan atau berperang. Ini sebagaimana tertuang dalam firman Allah swt dalam surat al-bAqarah [2] ayat 191 yang berbunyi:

وَاقْتُلُوْهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوْهُمْ وَاَخْرِجُوْهُمْ مِّنْ حَيْثُ اَخْرَجُوْكُمْ وَالْفِتْنَةُ اَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ ۚ وَلَا تُقٰتِلُوْهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتّٰى يُقٰتِلُوْكُمْ فِيْهِۚ فَاِنْ قٰتَلُوْكُمْ فَاقْتُلُوْهُمْۗ كَذٰلِكَ جَزَاۤءُ الْكٰفِرِيْنَ ١٩١

Dan bunuhlah mereka di mana kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Dan janganlah kamu perangi mereka di Masjidilharam, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu, maka perangilah mereka. Demikianlah balasan bagi orang kafir.” (QS. Al-Baqarah [2]: 191).

Pengertian faqtuluhum pada ayat ini adalah faqatiluhum (perangilah mereka). Hal ini senada dengan pandangan as-Sa’adi dalam tafsirnya Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam Al-Mannan. Menurutnya, ayat ini adalah perintah untuk memerangi kaum kafir setiap kali mereka bertemu dalam kondisi peperangan – bukan situasi biasa – dengan tujuan untuk membela diri atau bersifat defensif hingga tercapai kedamaian.

2. Qatlu berarti pembunuhan

Makna qatlu yang kedua adalah pembunuhan sebagaimana firman Allah swt dalam surat an-Nisa [4] ayat 93 yang berbunyi:

وَمَنْ يَّقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَاۤؤُهٗ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا وَغَضِبَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهٗ وَاَعَدَّ لَهٗ عَذَابًا عَظِيْمًا ٩٣

Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

3. Qatlu bermakna melaknat

Makna qatlu yang ketiga adalah melaknat. Hal ini disebutkan Allah dalam surat al-Muddassir [74] ayat 19 dan 20 yang berbunyi:

فَقُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَۙ ١٩ ثُمَّ قُتِلَ كَيْفَ قَدَّرَۙ ٢٠

Maka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan?”

Qatlu dengan makna melaknat juga disebutkan Allah pada surat al-Buruj [85] ayat 4 yang berbunyi:

قُتِلَ اَصْحٰبُ الْاُخْدُوْدِۙ ٤

Binasalah orang-orang yang membuat parit (yaitu para pembesar Najran di Yaman).”

Dari tiga ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa qatlu pada konteks tertentu juga bisa bermakna la’ana atau melaknat. Menurut as-Sa’adi kata qatlu pada tiga ayat tersebut bermakna “du‘aun ‘alaihim bi al-halaq” yakni mendoakan atau mengharapkan kebinasaan mereka (yang dilaknat).

4. Qatlu bermakna azab

Makna qatlu yang keempat adalah azab. Hal ini tertuang pada firman Allah swt dalam surat al-Ahzab [33] ayat 61 yang berbunyi:

مَلْعُوْنِيْنَۖ اَيْنَمَا ثُقِفُوْٓا اُخِذُوْا وَقُتِّلُوْا تَقْتِيْلًا ٦١

Dalam keadaan terlaknat. Di mana saja mereka dijumpai, mereka akan ditangkap dan dibunuh tanpa ampun.”

Menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy, makna qatlu pada ayat di atas adalah azab. Dengan demikian, pengertian “waqtulu taqtila” adalah “wa’azabu ta’ziba” yakni dan azablah mereka dengan sebenar-benarnya azab. Wallahu a’lam.

5. Qatlu bermakna ilmu atau mengetahui

Makna qatlu yang keempat adalah adalah al-ilmu atau mengetahui sebagaimana yang terdapat pada firman Allah swt dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 157 yang berbunyi:

وَّقَوْلِهِمْ اِنَّا قَتَلْنَا الْمَسِيْحَ عِيْسَى ابْنَ مَرْيَمَ رَسُوْلَ اللّٰهِۚ وَمَا قَتَلُوْهُ وَمَا صَلَبُوْهُ وَلٰكِنْ شُبِّهَ لَهُمْ ۗوَاِنَّ الَّذِيْنَ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ ۗمَا لَهُمْ بِهٖ مِنْ عِلْمٍ اِلَّا اتِّبَاعَ الظَّنِّ وَمَا قَتَلُوْهُ يَقِيْنًاۢ ۙ ١٥٧

Dan (Kami hukum juga) karena ucapan mereka, “Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah,” padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu. Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 157).

Menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy dalam kitabnya qamus al-qur’an aw ishlah al-wujuh wa al-nazhair fi al-qur’an al-karim, makna qatlu pada ayat ini adalah al-ilmu atau mengetahui. Jadi, pengertian wama qutilu yaqinan memiliki makna wama ‘allamahu yaqinan annahu qutila (dan mereka tidak mengetahui dengan yakin bahwa dia – Isa as – telah dibunuh.

6. Qatlu berarti mengubur hidup-hidup

Makna qatlu yang keenam adalah mengubur hidup-hidup sebagaimana tertuang pada firman Allah swt dalam surat al-an’am [6] ayat 51 yang berbunyi:

 قُلْ تَعَالَوْا اَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ اَلَّا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًاۚ وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُمْ مِّنْ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَاِيَّاهُمْ ۚوَلَا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَۚ وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ ١٥١

Katakanlah (Muhammad), “Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan yang keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti.

Menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy makna wala taqtulu awladakum adalah wala tadfanu awladakum ahya (janganlah kalian mengubur hidup-hidup anakmu). Hal ini didasarkan pada masyarakat Arab jahiliyah yang memiliki kebiasaan mengubur anak perempuan hidup-hidup karena malu atau takut miskin. Pada waktu itu – pada kabilah kecil – anak perempuan dianggap beban keluarga dan tidak dihargai.

7. Qatlu berarti qishash

Makna qatlu yang ketujuh adalah qishash atau balasan setimpal sebagaimana yang termaktub pada firman Allah swt dalam surat al-Isra’ (17) ayat 33 yang berbunyi:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُوْمًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهٖ سُلْطٰنًا فَلَا يُسْرِفْ فِّى الْقَتْلِۗ اِنَّهٗ كَانَ مَنْصُوْرًا ٣٣

Dan janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.”

Menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy, makna fala yusrifu qatli pada ayat ini adalah fi al-qashahs yakni janganlah kamu membunuh dua orang karena membunuh satu orang atau janganlah membunuh lebih dari yang dilakukan dan balaslah dengan setimpal.

8. Qatlu bermakna dzabhu (menyembelih)

Makna qatlu yang kedelapan adalah menyembelih sebagaimana tertuang pada firman Allah swt dalam surat al-A’raf [7] ayat 141 yang berbunyi:

وَاِذْ اَنْجَيْنٰكُمْ مِّنْ اٰلِ فِرْعَوْنَ يَسُوْمُوْنَكُمْ سُوْۤءَ الْعَذَابِۚ يُقَتِّلُوْنَ اَبْنَاۤءَكُمْ وَيَسْتَحْيُوْنَ نِسَاۤءَكُمْۗ وَفِيْ ذٰلِكُمْ بَلَاۤءٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ عَظِيْمٌ ࣖ ١٤١

Dan (ingatlah wahai Bani Israil) ketika Kami menyelamatkan kamu dari (Fir‘aun) dan kaumnya, yang menyiksa kamu dengan siksaan yang sangat berat, mereka membunuh anak-anak laki-lakimu dan membiarkan hidup anak-anak perempuanmu. Dan pada yang demikian itu merupakan cobaan yang besar dari Tuhanmu.”

Menurut al-Husain bin Muhammad al-Damaghaniy, makna yuqattoluna abna’akum adalah yuzabbihuna abna’akum (mereka menyembelih anak-anakmu). Penafsiran ini didasarkan pada ayat lain yang menggunakan kata yuzabbihuna (menyembelih). Demikian beberapa makna-makna qital dalam Al-Qur’an. Wallahu a’lam.

Siapakah Orang-Orang yang Sesat dalam Surat Al-Fatihah Ayat 7?

0
Orang-orang yang sesat
Orang-orang yang sesat dalam Surat Al-Fatihah

Artikel ini akan menguraikan tentang perbedaan penafsiran tentang kata ad-Dhōllīn dalam Surat Al-Fatihah yang sering diterjemahkan dengan orang-orang yang sesat. Mari kita simak selengkapnya firman Allah Swt tentang Surat Al-Fatihah:

بِسۡمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ١ ٱلۡحَمۡدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ٢ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ  ٣ مَٰلِكِ يَوۡمِ ٱلدِّينِ  ٤ إِيَّاكَ نَعۡبُدُ وَإِيَّاكَ نَسۡتَعِينُ  ٥ ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ  ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ  ٧

Artinya:

(1). Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, (2). Segala Puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam, (3). Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, (4). Pemilik hari pembalasan. (5). Hanya kepada Engkau-lah kami menyembah dan hanya kepada Engkau-lah kami mohon pertolongan, (6). Tunjukilah kami jalan yang lurus, (7). (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau Beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Orang-orang yang sesat dalam akhir ayat surat al-Fatihah di atas masih terdapat perdebatan di antara para ulama, terkait tafsir siapa sebenarnya yang dimaksud oleh al-Quran dengan penggunaan term ad-Dhōllīn?

Dalam tulisan ini, penulis akan mendiskusikan tentang makna-makna yang terkandung dalam surat-Al-Fatihah, makna yang dimaksud oleh penulis adalah makna lafadz ad-dholīn.

Terkait makna dari lafadz tersebut, para mufasir silang pendapat tentang perkiraan maksud dari ayat tersebut. Namun yang pasti, kata ad-dholīn, secara bahasa dapat diartikan sebagai sesat, dan menyimpang dari kebenaran. (A.W. Munawwir: 1997).

Sedangkan dalam konteks perkataan orang Arab kata ad-dholīn berarti ad-ḍihāb ‘an tharīqil ḥāq (menjauh dari jalan kebenaran) wal inḥirāf ‘an naḥj al-qawīm (menyimpang dari jalan yang lurus).(Muhammad ‘Ali as-Shobūni: 1980).

Para Ulama berbeda penafsiran terkait kata ad-Dhōllīn dalam akhir ayat Surat Al-Fatihah.  Dalam Tafsir Jalalayn dijelaskan definisi ad-Dhōllīn sebagai orang-orang Nasrani sebab mereka bukanlah orang yang diberikan petunjuk oleh Allah (Jalālain; 1994). Ibn Kastir juga mengatribusikan kata sesat dalam ayat di atas merujuk kepada orang Nasrani yang mana mereka telah melakukan kesasatan.(Ismail ibn Katsir; 2000).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Kepada Siapa Nikmat Itu Diberikan?

Tafsiran yang lain seperti milik al-Baghāwi yang mendefisikan ad-Dhōllīn sebagai orang Nasrani dengan argumen bahwa dalam ayat yang lain Allah telah menghukumi orang Nasrani dengan sebutan dholāl (al-Baghawi: 2002), yakni pada ayat berikut:

وَلَا تَتَّبِعُوٓاْ أَهۡوَآءَ قَوۡمٖ قَدۡ ضَلُّواْ مِن قَبۡلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرٗا وَضَلُّواْ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ  ٧٧

Artinya:

“Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) banyak menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus. (QS. Al-Maidah[5]: 77).”

Penafsiran-penafsiran di atas banyak ditemukan dalam berbagai kitab tafsir baik klasik maupun kontemporer dan menjadi model penafsiran yang umum di kalangan ulama’.

Meskipun demikian, pada ayat ini sebenarnya tidak disebutkan secara eksplisit kata Nasrani, maka kemudian tidak heran jika masih terdapat perbedaan pandangan tentang siapa yang dirujuk oleh kata ad-Dhōllīn.

Imam as-Sya’rawi memilih untuk tidak merujuk kata ad-Dhōllīn ke kelompok agama tertentu, dan beliau memilih untuk mengartikannya sebagai orang yang mengambil jalan yang sesat yakni sebab ia tidak mengambil jalan kepada Allah. (as-Sya’rawi: 1991).

Pada hakikatnya, lafadz ad-dholīn adalah ‘aṭaf (sambungan) dari lafadz sebelumnya, kalaupun diperkirakan menjadi ghoiril maghdhūbi ‘alaihim wa ghoirid dholīn.

Ar-Rāzī dalam tafsirnya menjelaskan bahwa kebanyakan ayat di atas dimaknai sebagai berikut: al-maghdhūb (orang yang dibenci) beratribusi kepada orang-orang Yahudi. Sedangkan ad-dhōlīn (orang-orang yang sesat) diatribusikan kepada orang-orang Nasrani, pandangan yang seperti ini dianggap lemah.

Menurut Imam ar-Razi pada dasarnya makna yang terkandung dalam lafadz al-maghdhūbi ‘alaihim (orang yang dibenci oleh Allah) adalah setiap orang fasiq yang melakukan kekeliruan dalam perilaku-perilaku yang nampak secara dhohir. Sedangkan makna ad-dholīn (orang yang sesat) bukanlah merujuk kepada orang-orang Nasrani, namun merujuk kepada orang yang melakukan kekeliruan dalam berkeyakinan.

Kemudian imam ar-Razi memperjelas bahwa sebenarnya orang yang dibenci adalah orang kafir sedang orang yang sesat adalah orang munafiq. Dan hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan orang Yahudi dan Nasrani. (Fakhruddin ar-Razi; 1981).

Baca Juga: Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 120: Benarkah Yahudi dan Nasrani Tidak Rela Terhadap Islam?

Dengan demikian, pengatribusian kata sesat kepada orang Nasrani yang tekesan sensitif sebenarnya dapat dihindari. Sebab ayat tersebut sarat akan makna yang tidak hanya merujuk kepada Nasrani sebagai salah satu dari penganut agama abrahamik sebelum Islam. Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata antar satu tafsir dengan tafsir yang lainnya mempunyai distingsi yang jelas, sebagaimana dalam kasus tafsir mafātḥul ghaib.

Pemaknaan yang demikian tidak akan berhenti sampai di sini, pemaknaan yang dimunculkan juga dapat semakin beragam jika pembaca berkenan menelisik lebih dalam melalui sudut pandang sosio-historis dan dengan pengungkapan aspek makro dalam kehidupan umat Islam pada saat itu.

Oleh karena itu, bagi penulis  penafsiran-penafsiran toleran tetap terbuka untuk dihadirkan melalui narasi al-Qur’an tanpa menghilangkan maghzā  (substansi dan pesan moral) dari ayat yang berkaitan. Wallahu A’lam bis Showāb.

Hikmah Penciptaan Jagat Raya Selama Enam Hari dalam Al-Quran

0
Penciptaan Jagat Raya Selama Enam Hari dalam Al-Quran
Penciptaan Jagat Raya Selama Enam Hari dalam Al-Quran

Al-Khaliq, adalah satu sifat dan juga nama Allah yang disebut asmaul husna. Al-Khaliq berarti Yang Menciptakan atau Sang Maha Pencipta. Ciptaan Allah adalah paling sempurnanya ciptaan, dari makhluk yang paling kecil seperti virus hingga penciptaan jagat raya yang begitu maha dahsyat. Satu contoh mengenai penciptaan jagat raya yang begitu terencana. Kisaran penciptaan jagad raya tersebut diisyaratkan Al-Quran dalam waktu enam masa atau enam hari. Di mana dalam waktu tersebut Allah berkehendak menjadikan alam semesta yang nantinya dihuni oleh jutaan makhluk Allah yang lain seperti tumbuhan, hewan, dan terakhir manusia ini agar sempurna sesuai porsi dan ukurannya. 

Jangka waktu penciptaan alam adalah enam hari

Jika menelisik Al-Quran, firman-firman Allah yang menyinggung penciptaan alam semesta ini banyak sekali. Begitu pula banyak ditemui ayat-ayat yang berbicara mengenai waktu yang Allah putuskan untuk menciptakan jagat raya ini. Rata-rata ayat tersebut menyebutkan bahwa tersebut adalah selama enam masa atau enam hari seperti dalam surah Hud ayat 7, Al-Furqan ayat 59, Al-A’raf ayat 54, As-Sajdah ayat 4, Qaf ayat 38, dan Al-Hadid ayat 4.

Baca juga: Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

Lafadz sittati ayyam merujuk pendapat Al-Qurthubi dalam Al-Jami’ li Ahkam al-Quran bermakna sebagai hari-hari akhirat. Satu hari dalam hitungan hari akhirat lamanya adalah seribu tahun. Al-Qurthubi juga mengutip riwayat Mujahid dan Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud hari tersebut adalah hitungan hari di dunia yang dimulai dari hari Ahad dan berakhir pada hari Jumat.

At-Thabari melalui kitab tafsirnya Al-Jami al-Bayan fi Ta’wil al-Quran mengungkapkan proses penciptaan alam beserta periodisasinya dengan mengutip hadis riwayat Abu Hurairah. Pertama-tama, Allah menciptakan bumi pada hari Ahad dan Senin. Selanjutnya, gunung diciptakan pada hari Selasa. Di hari Rabu Allah menciptakan pepohonan, air, dan infrastruktur bumi, bangunan dan perusakan. Hari Kamis Allah menciptakan langit. Lalu, di akhir penciptaan alam yaitu hari Jumat, Allah menciptakan bintang-bintang, matahari dan malaikat. Periodisasi yang dikemukakan At-Thabari ini memperinci proses penciptaan alam yang terjadi selama enam hari tersebut Selanjutnya At-Thabari mengutip akhir riwayat hadis tersebut bahwa ketika Allah selesai menciptakan alam tersebut, Ia bersemayam di ‘Arsy.

Ada satu hadis riwayat Abu Hurairah yang juga menyatakan bahwa penciptaan alam semesta lamanya sekitar tujuh hari. Namun, kebanyakan mufassir seperti Sayyid Qutub dalam al-tafsir fi Zhilal al-Quran, Tanthawi Jauhari dalam Tafsir al-Jawahir, Al-Asyqar dalam Zubad al-Tafsir, Wahbah Zuhayli dalam Tafsir al-Wajiz, hingga Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah memilih riwayat hadis Abu Hurairah yang menyatakan lamanya penciptaan alam selama enam hari. Para mufassir tersebut juga menyetujui pendapat yang menyatakan bahwa penciptaan enam hari dimulai pada hari Ahad dan diakhiri pada hari Jumat.

Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

Hikmah penciptaan alam selama enam hari

Melihat sumber riwayat dan dan rujukan tafsir, enam hari nampaknya memang menjadi konsensus para mufassir mengenai masa penciptaan jagat raya. Namun, jika menengok kembali konsep penciptaan Allah “kun fayakun” akan menimbulkan sebuah pertanyaan mengapa Allah butuh waktu enam hari untuk menciptakan alam semesta? Padahal jelas sekali Allah juga berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 117 bahwa . Atau juga dalam surah Yasin ayat yang menerangkan bahwa ketika Allah berkeinginan, hanya dengan mengucap “Jadilah! Maka terjadi”. Akan tetapi, yang harus selalu kita sadari adalah bahwa di balik segala kuasa Allah terdapat hikmah yang dapat kita petik, termasuk mengenai diputuskannya enam hari sebagai masa penciptaan alam semseta oleh Allah.

At-Thabari memberikan komentar mengenai masa enam hari penciptaan yang telah diputuskan Allah tersebut. At-Thabari menjelaskan bahwa jika penciptaan dilakukan dengan sekejap saja bagi-Nya tidak mustahil sebagai mana konsep kehendak-nya “kun fayakun”. Namun, Allah memang menginginkan agar hamba-hamba-Nya mengetahui sisi kelembutan dan ketetapan dalam segala urusan. Allah juga menghendaki agar hambanya seperti malaikat dapat melihat kemampuan-Nya dalam menciptakan secara perlahan teratur, sedikit, demi sedikit. Himah lain yang diungkap At-Thabari mengenai penciptaan enam hari yakni menyinggung masalah masa pertaubatan. Segala sesuatu telah ditentukan masa dan ajalnya oleh Allah. Jika seorang berbuat maksiat ia akan diberikan tenggang masa untuk bertaubat. Namun, jika ajal masanya telah habis, maka taubatnya tidak akan diterima.

Baca juga: Mengenal Kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim, Tafsir Nuzuli Karya M. Abid Al-Jabiri

Dalam kitab tafsir Zadul Masir karya Ibnu al-Qoyyim Al-Jauzi dijelaskan pula mengenai lima hikmah di balik enam hari yang dipilih Allah sebagai masa penciptaan alam semesta. Pertama, Al-Jauzi berpendapat bahwa Allah memang menginginkan memperlihatkan ketetapan atas semua perkara yang mana hal tersebut disaksikan oleh para malaikat-Nya. Hikmah kedua adalah Allah ingin menunjukkan kasih sayangnya kepada Adam dan keturunannya dengan sebegitu terencana sebelum penciptaan mereka. Ketiga adalah bahwa sesuatu yang lebih cepat memang menunjukkan hebatnya kekuasaan, namun sesuatu yang lebih tepat akan memiliki banyak sisi hikmahnya. Kemudian, Allah ingin mengajarkan kepada manusia mengenai ketepatan dan kecermatan. Hal tersebut karena Allah menyadari bahwa kelemahan manusia yang mudah tergelincir akibat tergesa-gesa

Mufassir saintifik Tanthawi Jauhari juga turut memberikan penjelasan meengenai hikmah enam hari penciptaan tersebut. Menurut Jauhari keputusan Allah tersebut dimaksudkan-Nya dalam rangka memberi aturan dan kesempurnaan kepada segala penciptaan. Dan kesempurnaan tersebut sejatinya ditujukan Allah untuk mendukung kehidupan manusia. Wujud hikmah dan kasih sayang Allah sangat nyata gamblang. Jauhari mengatakan bahwa Arsy bukan tempat di mana Allah hanya duduk santai setelah lamanya penciptaan, melainkan Ia selalu dan terus menerus mengatur alam ini dengan memberikannya banyak hikmah dan pelajaran bagi manusia.

Wallahu a’lam.

Gus Awis: Ulama Muda, Pakar Sastra dan Tafsir Al-Qur’an yang Produktif dari Indonesia

0

Nama Gus Awis ulama muda semakin dikenal luas oleh masyarakat Indonesia usai diamanahi menjadi Katib Syuriah PBNU Agustus 2019 lalu. Berbagai media menyebut tokoh yang memiliki nama lengkap Dr. KH. M. Afifudin Dimyathi., L.c., M.A ini sebagai kyai muda yang produktif. Produktivitasnya memang luar biasa, dalam decade terakhir ia telah menuliskan puluhan kitab dan jurnal tentang bahasa dan sastra Arab hingga Tafsir Al-Qur’an. Yang menarik dari karya Gus Awis adalah ditulis dengan bahasa Arab sebagai upaya meneruskan tradisi ulama Nusantara terdahulu di Hijaz.

Membaca Gus Awis tentu tak bisa dilepaskan dari sisi nasab dan pendidikannya. Secara nasab, ia merupakan putra dari KH. Dimyati bin KH. Romli At-Tamimi. Kakeknya adalah seorang Mursyid Thoriqoh Mu’tabaroh Qodiriyah wa Naqsyabandiyah yang jalur kemursyidannya sampai ke Syekh Abdul Qodir Al-Jailani hingga Nabi Muhammad Saw. Sementara dari jalur ibu, kakek Gus Awis adalah KH. Ahmad Marzuki Zahid Langitan yang memiliki nasab sampai ke Sunan Bonang, Tuban.

Sementara dari sisi pendidikannya, Gus Awis mengahafal Al-Qur’an di Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman Yogyakarta yang diasuh oleh KH. Mufid Mas’ud. Untuk kuliahnya, ia belajar di Al Azhar University Mesir di jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur’an. kemudian ia melanjutkan S2 di Khartoum International Institute for Arabic Language, dan S3 al Neelain University jurusan Tarbiyah Konsentrasi Kurikulum dan Metodologi Pengajaran Bahasa Arab.

Baca juga: Mufasir Indonesia: KH. Mustofa Bisri, Ulama Tafsir Nusantara

Dari nasab dan pendidikannya, Gus Awis berada di lingkungan yang kondusif untuk menekuni ilmu agama. Namun yang unik adalah semangat Gus Awis dalam berkarya. Biasanya, ulama dan kyai di Indonesia lebih sering berdakwah dengan ceramah, ia justru mengabdikan ilmunya untuk menulis dan berada di jalur akademis.

Karya-karya Gus Awis

Semula, Gus Awis menulis karya-karyanya untuk memudahkan pembelajaran mahasiswanya. Tercatat ia mengajar di UIN Sunan Ampel, UIN Maulana Malik Ibrahim, IAIN Tulungagung, IAIN Jember, dan STIT Dalwa Bangil Pasuruan. Namun seiring berjalannya waktu, karya Gus Awis semakin dikenal luas, dibaca para masayarakat umum, dan bahkan diterbitkan di Mesir.

Di antara karya-karyanya yaitu Muhadarah fi Ilm Lughah al Ijtima’i (Dar Ulum al Lughawiyah, Surabaya, 2010), Sosiolinguistik (UINSA Press, 2013), Mawarid al Bayan fi Ulum al Qur’an (Lisan Arabi, 2014), Safa al Lisaan fi I’rab al Qur’an (Lisan Arabi, 2015), al-Syamil fi Balaghat al-Quran (3 jilid, 2019), Irsyad al-Darisin ila Ijma’ al-Mufassirin, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluh wa Manahijuhu (Lisan Arabi, 2019). Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir (2 jilid, Lisan Arabi, 2019), kemudian beberapa artikel bahasa Arab di berbagai jurnal.

Dilihat dari kitab yang ia tuliskan, dua bidang kajiannya adalah bahasa & sastra Arab serta ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Ini menunjukkan konsistensinya setelah belajar di Timur tengah. Di antara kitab-kitabnya itu, karya yang fenomenal adalah al-Syamil fi Balaghat al-Quran dan Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir kedua kitab ini menjadi rujukan mahasiswa yang belajar di Al-Azhar Mesir.

Baca juga: 3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

Dalam penelusuran saya, dua kitab ini juga telah diulas dalam bentuk penelitian deskriptif analitik. Pertama, Fatimatul Azizah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 2019 lalu menuliskan skripsi dengan judul Telaah terhadap Kitab al-Syamil fi Balaghat al-Quran. Dari skripsi ini, disebutkan bahwa kitab al-Syamil fi Balaghat al-Quran merupakan kitaf tafsir yang mengedepankan pemaknaan balaghah, ditulis dengan tarstib mushafi dan menggunakan metode ijmali.

Sementara untuk kitab Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir, Gus Awis secara langsung menuliskan ulasan singkatnya dalam jurnal Pegon, yang diterbitkan Islam Nusantara Center pada akhir 2020 ini. Judul artikelnya yaitu, Jam’u al-‘Abir: Usaha Menghimpun KitabTafsir Sepanjang Sejarah. Dalam artikel ini, Gus Awis ingin meringkas apa kandungan kitab Jam’u al-‘Abir. Ia memang meneruskan jejak apa yang telah dimulai oleh Syekh Muhammad Husein Ad-Dzahabi yang menulis At-Tafsir Wal Mufassiruun.

Gus Awis menyebut bahwa Jam’u al-‘Abir mencoba mengisi perkembangan tafsir hingga saat ini. meski demikian, ia menulis ‘Katalog Besar’ ini mulai abad pertama hingga abad 15 Hijriyah. Dari kitab-kitab yang ada di zaman sahabat hingga kontemporer yang ada di Indonesia. Setidaknya ada 440 tafsir yang ia masukkan dalam kitabnya. Ia pun sengaja mencantumkan kitab-kitab yang masih sedikit peredarannya, namun memiliki keunikan tertentu. Misalnya tafsir nuzuli, tafsir ulama’ perempuan, tafsir tanya jawab, nadham-nadham tafsir, hingga tafsir tanpa huruf mu’jam (bertitik).

Tak hanya itu, Gus Awis juga memasukkan kitab tafsir dari berbagai bahasa, Arab, Inggris, Perancis, Urdu, Parsi, Turki, Melayu, Jawa, hingga Sunda.  Dari upayanya yang luar biasa ini, tak heran jika kitab Jam’u al-‘Abir menjadi referensi utama para pengkaji Tafsir Al-Qur’an di dunia.

Terakhir, nampaknya kita perlu memegang pesan Gus Awis untuk terus berkarya. Ia menyebut bahwa ide adalah sebuah amanah dari Allah, dan amanah harus disampaikan kepada umat. Maka dari itu, setiap mendapat ide tulisan, ia akan mencatatnya dan berniat untuk menuangkannya dalam bentuk kitab.

Wallahu a’lam[]

Mengenal Kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim, Tafsir Nuzuli Karya M. Abid Al-Jabiri

0
Fahm Al-Quran Al-Hakim
Fahm Al-Quran Al-Hakim

Karya tafsir dari seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko ini memiliki judul lengkap Fahm Al-Quran Al-Hakim: At-Tafsir Al-Wadhih Hasaba Tartib An-Nuzul. Kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad Abid Al-Jabiri tersebut diterbitkan pertama kali oleh penerbit Dar al-Nasyr al-Maghribiyyah dalam bentuk tiga jilid pada bulan Oktober tahun 2008. Untuk mengenal lebih dalam kitab tersebut, simak penjelasan berikut ini.

Latar Belakang Penulisan

Abid Al-Jabiri dalam mukadimah tafsirnya, berpandangan bahwa hasil-hasil penafsiran Al-Quran selama ini cenderung dipenuhi oleh berbagai kepentingan ideologis, sehingga mengabaikan sisi objektivitas pesan dari Al-Quran. Oleh karena itu, dalam penyusunan kitab tafsirnya, ia lebih memilih menggunakan urutan kronologis (tartib nuzuli) supaya dapat memahami konteks perjalanan historis yang melingkupi sebuah teks Al-Quran.

Penyusunan tafsir secara kronologis ini juga merupakan upaya Abid Al-Jabiri untuk merekonstruksi keselarasan antara ayat-ayat Al-Quran dengan sejarah kehidupan Nabi (sirah nabawiyah). Ini berdasarkan asumsi bahwa Al-Quran dan kehidupan Nabi memiliki relasi yang tak terpisahkan. Demikian mengutip penjelasan dari oleh Wardatun Nadhiroh dalam Fahm al- al-Hakim: Tafsir Kronologis ala Muhammad Abid al-Jabiri

Baca Juga: Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko

Sistematika Susunan

Terkait sistematika susunanya, kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim mengadopsi sistematika penafsiran Al-Quran yang sesuai dengan urutan kronologi turunya wahyu atau yang lebih dikenal dengan istilah tartib al-nuzul. Pengadopsian tersebut mengakibatkan al-Jabiri memulai penafsiranya dari QS. Al-’Alaq hingga QS. An-Nashr.

Muhammad Abid Al-Jabiri dalam tafsirnya membagi periodisasi Al-Quran menjadi tujuh periode sesuai dengan periode perjalanan dakwah Nabi, yaitu: periode pertama, berisi dakwah tentang Nubuwat dan Uluhiyah.

Dalam pembagian pertama ini termuat sebanyak 27 surat, yaitu surat Al-’Alaq (1-5), Al-Muddatstsir (1-10), Al-Masad (al-Lahab), At-Takwir, Al-A’la, Al-Lail, Al-Fajr, Ad-Dhuha, As-Syarh, Al-’Ashr, Al-’Adiyat, Al-Kautsar, At-Takatsur, Al-Ma’un, Al-Kafirun, Al-Fil, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlash, Al-Fatihah, Ar-Rahman, An-Najm, ‘Abasa, As-Syams, Al-Buruj, At-Tin, dan Quraisy.

Periode kedua, berisi penjelasan dakwah tentang hari kebangkitan, pembalasan, dan kejadian-kejadian hari Kiamat. Di dalamnya termuat 12 surat, yaitu surat Al-Qari’ah, Az-Zalzalah, Al-Qiyamah, Al-Humazah, Al-Mursalat, Qaf, Al-Balad, Al-’Alaq (6-19), Al-Muddatstsir (11-56), Al-Qalam, At-Thariq, dan Al-Qamar.

Periode ketiga, berbicara tentang pelanggaran syirik dan menganggap bodoh penyembahan berhala. Terdapat 15 surat, yaitu surat Shad, Al-A’raf, Al-Jinn, Yasin, Al-Furqan, Fathir, Maryam, Thaha, Al-Waqi’ah, As-Syu’ara’, An-Naml, Al-Qashash, Yunus, Hud, dan Yusuf.

Periode keempat, berkaitan dengan perintah berdakwah secara terang-terangan dan berhubungan dengan dengan para kabilah Arab. Berisi 5 surat, yaitu surat Al-Hijr, Al-An’am, As-Shaffat, Luqman, dan Saba’.

Baca Juga: Serial Diskusi Tafsir 4 Menghadirkan Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh

Periode kelima, ketika Nabi mengalami blokade dari kaum kafir Makkah, sehingga mengakibatkan hijrah ke Habasyah. Pada periode ini turun 8 surat, yaitu surat Az-Zumar, Ghafir, Fussilat, As-Syura, Az-Zukhruf, Ad-Dukhan, Al-Jatsiyah, dan Al-Ahqaf.

Periode keenam, pada saat mempererat hubungan dengan para kabilah setelah blokade dan persiapan hijrah Nabi ke Madinah. Berisi surat Nuh, Adz-Dzariyat, Al-Ghasyiyah, Al-Insan, Al-Kahfi, An-Nahl, Ibrahim, Al-Anbiya’, Al-Mu’minun, As-Sajdah, At-Thur, Al-Mulk, Al-Haqqah, Al-Ma’arij, An-Naba’, An-Nazi’at, Al-Infithar, Al-Insyiqaq, Al-Muzzammil, Ar-Ra’d, Al-Isra’, Ar-Rum, Al-Ankabut, Al-Muthaffifin, dan Al-Hajj.

Periode ketujuh, ketika Rasul berada di Madinah. Surat yang turun pada masa ini antara lain adalah yaitu Al-Baqarah, Al-Qadr, Al-Anfal, Ali Imran, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, An-Nisa’, Al-Hadid, Muhammad, At-Thariq, Al-Bayyinah, Al-Hasyr, An-Nur, Al-Munafiqun, Al-Mujadalah, Al-Hujurat, At-Tahrim, At-Taghabun, As-Shaff, Al-Jumu’ah, Al-Fath, Al-Maidah, At-Taubah, An-Nashr.

Baca Juga: Tafsir At-Tawhidi, Pelopor Hadyu Al-Quran dalam Kitab Tafsir

Sumber dan Metode Penafsiran

Dalam proses penafsirannya, Fahm Al-Quran Al-Hakim merujuk kepada beberapa kitab tafsir baik klasik maupun kontemporer, di antaranya adalah kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, Mafatih al-Ghaib min al-Qur’an al-Karim karya Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari, Tafsir al-Wahidi karya al-Hakim al-Naisaburi, dan al-Tahrir wa al-Tanwir fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu ‘Asyur.

Kemudian, dalam menganalisis sisi historis Al-Quran, Abid Al-Jabiri merujuk kepada beberapa kitab sejarah (sirah), yaitu Sirah Ibn Ishaq karya Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Halabiyah karya Abdullah al-Khafaji, Tarikh al-Thabari karya Ibnu Jarir al-Thabari, dan Kitab Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. (Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim, jilid 3)

Terkait metode penafsirannya, M. Faishol dalam Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Qur’an Abed al-Jabiri menjelaskan bahwa Abid Al-Jabiri menggunakan dua metode utama dalam proses penafsiran Al-Quran yaitu al-Fashl dan al-Washl. Dua metode ini merupakan bentuk implementasi dari misi Abid al-Jabiri dalam membaca Al-Quran, yaitu:

جَعْلُ الْقُرْآنَ مُعَاصِرًا لِنَفْسِهِ وَمُعَاصِرًا لَنَا

“Menjadikan Al-Qur’an aktual untuk masanya dan aktual untuk konteks zaman kita”

Langkah pertama, untuk menjadikan Al-Quran kontemporer pada masanya (mu’ashiran linafsihi), maka dibutuhkan metode al-Fashl. Metode ini memiliki tugas agar setiap penafsir atau pengkaji Al-Quran menjaga jarak antara dirinya sebagai subjek dan materi yang dijadikan sebagai objek (fashl al-qari’ min al-maqru’).

Baca Juga: Hassan Hanafi dan Paradigma Tafsir Pembebasan; Sebuah Refleksi Metodologis

Pada langkah pertama ini, penafsir harus melepas segala kepentingan, baik berupa kepentingan ideologis, politik, kelompok, dan lain sebagainya dalam memahami teks Al-Quran. Langkah ini penting dilakukan untuk menemukan otentisitas makna dan menghasilkan pemahaman teks Al-Quran yang objektif.

Setelah menemukan makna otentik Al-Quran melalui metode al-Fashl, maka langkah selanjutnya adalah menjadikan Al-Quran kontemporer pada era saat ini (mu’ashiran lana). Dalam mewujudkan hal tersebut, Abid Al-Jabiri kemudian mengembangkan makna tersebut dengan metode al-Washl.

Maksud metode al-Washl adalah mempertautkan kembali antara pembaca dengan objek bacaan dalam konteks kekinian (washl al-qari’ ila al-maqru’). Sehingga metode ini berfungsi sebagai proses aktualisasi makna ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan konteks zaman kontemporer saat ini.

Sementara itu, Abdullah Afandi dalam Objektivitas dan Rasionalitas Penafsiran Al-Qur’an: Perspektif Abid al-Jabiri menyatakan bahwa ada iga proses analisis yang dilakukan oleh Abid Al-Jabiri dalam menyusun Fahm Al-Quran Al-Hakim.

Pertama, analisis struktural (al-mu’alijah al-bunyawiyah), yaitu menganalisis terhadap segala keterkaitan antara berbagai unsur yang telah membentuk makna dari sebuah teks. Dalam proses analisis tersebut, Abid Al-Jabiri menggunakan komponen-komponen ilmu kebahasaan, seperti balaghah, nahwu, dan lain

Kedua, analisis historis (al-tahlil al-tarikhiy), yaitu proses analisis terkait segala fenomena historis yang melingkupi sebuah teks Al-Quran. Analisis ini bertujuan untuk menghubungkan pemikiran teks dengan konteks historis, budaya, ideologi politik, dan dimensi sosial yang menaungi teks tersebut.

Ketiga, kritik ideologi (al-ithrah al-idiulujiyah), yang berfungsi untuk menganalisis persoalan-persoalan ideologis yang ikut mempengaruhi pemahaman sebuah teks.

Demikian kurang lebih informasi tentang Fahm Al-Quran Al-Hakim, salah satu karya tafsir nuzuli yang cukup representatif. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al A’raf ayat 89-91

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Sebelumnya telah membahas perjalanan dakwah nabi Syu’aib dan kaum Madyan yang berakhlak tercela. Pada tafsir surat Al A’raf ayat 89-91 selain mengisahkan dakwah Nabi Syu’aib juga menceritakan hukuman terhadap orang-orang yang menyekutukan Allah. Selengkapnya baca kisah Nabi Syu’aib dalam tafsir surat Al A’raf ayat 89-91 berikut;


Baca Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 85-88 Kisah Kaum Madyan


Ayat 89

Ayat ini menjelaskan ucapan Nabi Syu’aib terhadap kaumnya yang telah mengancam untuk mengusir dari negerinya apabila ia tidak mau menghentikan dakwahnya. Nabi Syu’aib berkata: “Alangkah besar dosa dan kebohongan kami terhadap Allah, apabila kami kembali kepada agama kamu, padahal Allah telah menyelamatkan kami dan telah menunjuki kami ke jalan yang lurus.

Apabila seseorang mengikuti ajaran kamu tanpa pengetahuan, dianggap sebagai orang yang mengadakan kebohongan terhadap Allah, maka bagaimanakah halnya orang yang sengaja mengadakan kebohongan terhadap-Nya, dan sengaja menyimpang dari jalan yang telah ditunjukkan-Nya secara sadar, padahal ia mempunyai pengetahuan tentang hal itu. Kekafiran semacam itu merupakan perbuatan yang amat keji, tidak akan diampuni. Oleh sebab itu kami tidak akan melakukannya”.

Dari penegasan Nabi Syu’aib ini dapat diambil kesimpulan bahwa Allah telah menyelamatkan para pengikutnya dan sahabat-sahabatnya, termasuk dirinya sendiri, dari agama syirik yang dianut kaumnya, atau dapat pula diartikan bahwa Allah telah menyelamatkan Nabi Syu’aib dari kemusyrikan. Ia tidak pernah menganut kepercayaan yang dianut kaumnya dan tidak menyembah apa-apa yang disembah oleh mereka. Maka Allah telah menunjukinya kepada jalan yang benar. Ini sama halnya dengan apa yang dialami Nabi Muhammad sebagaimana ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

وَوَجَدَكَ ضَاۤلًّا فَهَدٰىۖ

“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk”. (adh-Duha/93: 7)

Firman-Nya yang lain :

وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗمَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا ۗوَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ  

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus”. (asy-Syura/42: 52);

Selanjutnya Nabi Syu’aib menegaskan kepada kaumnya, bahwa tidak layak dan tidak masuk akal, jika dia dan para pengikutnya akan meninggalkan agama yang benar serta kembali kepada agama mereka, kecuali jika Allah menghendakinya. Maksudnya ialah bahwa Nabi Syu’aib beserta para pengikutnya yakin, bahwa agama yang dianut kaumnya adalah agama yang tidak benar, sedangkan agama yang dianutnya beserta para pengikutnya adalah agama yang benar dapat menjamin keselamatan dan kebahagiaan manusia dunia dan akhirat.

Allah tidak menghendaki Nabi Syu’aib dan para pengikutnya kembali kepada agama kaumnya yang penuh dengan kemusyrikan, sebab Allah sendiri yang telah membebaskannya dari kemusyrikan dan menunjukinya kepada agama yang benar. Oleh sebab itu Nabi Syu’aib dan para pengikutnya tidak akan kembali kepada agama mereka.

Kemudian Nabi Syu’aib mengingatkan bahwa Ilmu Allah Maha Luas, meliputi segala sesuatu. Ia mengetahui segala hikmah dan hal-hal yang akan mendatangkan kemasalahan bagi hamba-Nya. Kehendak-Nya senantiasa berlaku sesuai dengan hikmah tersebut. Maka segala sesuatu yang terjadi pada makhuk-Nya tidaklah terlepas dari hikmah tersebut. Oleh sebab itu, kepada Allah saja ia dan para pengikutnya bertawakal dan berserah diri, dan disertai ketaatan dalam menjalankan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, yaitu menjaga syari’at dan agama-Nya. Dialah yang akan melindungi Nabi Syu’aib dan para pengikutnya dari segala ancaman dan gangguan kaumnya dan dari segala bahaya dimana Nabi Syu’aib tidak mempunyai daya untuk menghindari dan melawannya.

Perlu diketahui salah satu syarat dari tawakal ialah keteguhan dalam melaksanakan syari’at yang telah ditetapkan Allah, serta mematuhi peraturan umum yang ditetapkan-Nya, baik mengenai alam maupun masyarakat, terutama hubungan antara sebab dan akibat. Misalnya bila kita ingin memperoleh rezeki dari Allah maka kita harus berusaha, serta menjaga peraturan Allah dalam menjalankan usaha-usaha tersebut. Apabila usaha sudah dijalankan menurut cara-cara yang diperlukan, serta menjaga peraturan yang telah ditetapkan Allah dan syari’at-Nya, barulah kita bertawakal.

Tawakal yang dilakukan tanpa didahului dengan usaha yang benar dan sesuai dengan peraturan Allah adalah tawakal yang keliru. Itulah sebabnya Rasulullah saw pernah menegur seorang yang tidak menambatkan untanya ketika ia mau menghadap Rasulullah, karena katanya ia telah bertawakal kepada Allah lebih dahulu. Seharusnya ia menambatkan untanya terlebih dahulu sebelum ia meninggalkannya. Hal tersebut merupakan usaha untuk bertawakal. Menurut keadaan yang biasa berlaku, unta tidak akan lari, bila ia telah ditambatkan dengan baik. Nabi bersabda:

ِاعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ رواه الترمذى

“Tambatkan kemudian bertawakal (kepada Allah)”. (Riwayat at-Tirmidzi);Setelah Nabi Syu’aib menyatakan penyerahan dirinya kepada Allah swt, lalu mengakhiri dengan , semoga Allah memberikan keputusan yang adil antara dia dan kaumnya, maka ia menyatakan pengakuan dan keyakinannya bahwa Allah swt adalah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya, karena Dia Mahaadil dan Maha Mengetahui.

Sebagaimana diketahui, sebelum lahirnya Nabi Syu’aib di Madyan, telah banyak rasul yang diutus Allah untuk menyampaikan agama-Nya kepada umat manusia. Pada umumnya, para rasul itu mendapat tantangan dan dimusuhi oleh sebagian kaumnya, yang ingkar kepada Allah. Pada akhirnya, para rasul tersebut mendapat pertolongan dari Allah karena mereka adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah dan selalu bersikap jujur dan berbuat baik. Sebaliknya orang-orang kafir itulah yang menemui nasib buruk akibat kekafiran mereka.

Ayat 90

Orang-orang kafir di antara kaum Nabi Syu’aib, yaitu pemuka-pemuka mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dan mendustakan rasul-Nya sudah berbuat kezaliman, antara lain dengan menghalang-halangi orang lain untuk beriman kepada Nabi Syu’aib dan agama yang dibawanya, mereka berkata: “Jika kamu beriman dan mengikuti seruan Syu’aib yang mengajak kepada agama tauhid, niscaya kamu akan merugi akibat perbuatan itu karena meninggalkan agama nenek moyang yang kamu anut selama ini.

Kamu akan kehilangan kemuliaan dan kehormatan, karena dengan mengikuti Syu’aib kamu akan menganggap bahwa nenek moyang kamu adalah orang-orang yang sesat dan akan diazab oleh Allah. Di samping itu, kamu juga akan kehilangan harta benda dan keuntungan yang berlipat ganda dalam perdagangan karena agama Syu’aib tidak memperbolehkan melakukan penipuan dalam berjual beli, terutama mengenai takaran dan timbangan.

Pemuka-pemuka kaum Nabi Syu’aib jelas bersikap angkuh dan kufur. Sikap angkuh ini timbul karena mereka berkuasa di negeri itu, sifat inilah yang mendorong mereka untuk mengeluarkan ancaman kepada Nabi Syu’aib dan para pengikutnya untuk mengusir mereka dari Madyan. Sedang sifat kufur mereka telah menyebabkan mereka bertindak untuk menghalang-halangi orang lain menganut agama Allah yang dibawa oleh Nabi Syu’aib. Mereka adalah orang-orang yang sesat, dan berusaha untuk menyesatkan orang lain.

Ayat 91

Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 89-91 khususnya di ayat 91 ini membahas keingkaran kepada Allah serta perbuatan menghalangi orang lain untuk menganut agama Allah adalah kejahatan yang amat besar. Orang-orang semacam itu sudah selayaknya mendapat hukuman yang setimpal. Oleh sebab itu, Allah telah menimpakan kepada mereka azab yang berat berupa gempa dan petir yang dahsyat yang membinasakan mereka, sehingga mereka mati bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka, seolah-olah mereka tidak pernah ada di negeri itu.

Kisah Nabi Syu’aib ini, selain ditemukan dalam surah al-A’raf, juga ditemukan dalam surah Hud/11: 85-95). Akan tetapi ada perbedaan yang menyebutkan nama azab yang ditimpakan kepada kaumnya yang kafir. Dalam Surah al-A’raf ayat 91 disebutkan, bahwa azab tersebut adalah berupa “ar rajfah”, yaitu gempa yang dahsyat.

Sedangkan dalam Surah Hud ayat 94 disebutkan, bahwa azab tersebut adalah berupa “A¡ Chaihatu”, yaitu suara keras yang mengguntur. Namun kedua ayat itu tidaklah berlawanan, karena kedua macam azab ini dapat terjadi dalam satu rentetan dan menimbulkan akibat yang sama, suara kilat yang keras dan gempa telah membinasakan mereka, sehingga mereka mati bergelimpangan di bawah reruntuhan rumah-rumah mereka.

Kisah Nabi Syu’aib juga terdapat dalam surah asy-Syu’ara, di sini disebutkan bahwa Nabi Syu’aib diutus Allah kepada penduduk negeri Aikah (asy-Syu’ara/26: 176). Sedangkan dalam surah al-A’raf disebutkan bahwa Nabi Syu’aib adalah saudara sebangsa dari kaum Madyan, yaitu penduduk negeri Madyan.

Menurut keterangan Ishak Ibnu Basyar yang dikutip dari Ibnu Asakir, mengatakan bahwa Ibnu ‘Abbas telah memberikan penjelasan sebagai berikut: “Penduduk Aikah adalah orang-orang yang mendiami daerah rawa-rawa yang terletak antara pantai Laut Merah dan negeri Madyan”. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa Nabi Syu’aib telah diutus Allah kepada kaumnya yang telah mempunyai hubungan dengan mereka, sampai ke Laut Merah. Kedua kaum mempunyai kesamaan, baik mengenai kekafiran mereka, maupun mengenai berbagai perbuatan maksiat yang mereka lakukan, misalnya ketidakjujuran mereka dalam menimbang dan menakar ketika berjual beli.

Nabi Syu’aib menyiarkan agama kepada mereka semua. Azab Allah telah menimpa kedua golongan itu dalam waktu yang sama, atau dalam waktu yang berdekatan jaraknya, maka azab yang ditimpakan kepada penduduk Madyan adalah berupa “Ar rajfah”, yaitu gempa yang amat dahsyat yang disertai suara gemuruh yang amat keras, sedang azab yang ditimpakan kepada penduduk Aikah adalah berwujud angin samum dan udara yang sangat panas, yang berakhir dengan datangnya gumpalan awan.

Mereka lalu berkumpul di bawah awan yang menaungi mereka untuk mendapatkan udara yang sejuk, karena mereka menyangka awan itu akan menurunkan hujan akan tetapi gumpalan awan itu ternyata awan panas yang akan ditimpakan kepada mereka sehingga semuanya mati tertimpa awan panas. Sebagian ahli tafsir berpendapat bahwa azab yang ditimpakan kepada kedua golongan itu sama. (Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut ketika menafsirkan surah asy-Syu’ara)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Kisah Nabi Syuaib dan Penduduk Madyan dalam Al Quran


3 Macam Sikap Sabar yang Digambarkan dalam Al-Quran

0
Sikap Sabar
Sikap Sabar dalam al-Quran

Secara etimologi kata sabar berasal dari bahasa Arab shabara-yashbiru-shabran yang bermakna bersabar, tabah hati, dan berani. Dalam Bahasa Indonesia, sabar berarti “tahan menghadapi cobaan, tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, tidak terburu-buru nafsu.” Dengan demikian, sikap sabar berarti ketabahan dan ketenangan hati dalam menghadapi sesuatu.

Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah mengemukakan, sikap sabar adalah menahan jiwa untuk tidak berkeluh kesah mengenai masalah yang dihadapi, menahan lisan untuk tidak meratap dan menahan diri untuk tidak menampar pipi, merobek baju dan sebagainya. Pengertian ini merupakan kritik al-Qayyim terhadap budaya masyarakat Arab yang sering meratap dan menyakiti diri ketika ditimpa musibah.

Sedangkan menurut sebagian ulama – sebagaimana dikutip Syofrianisda dalam bukunya Tafsir Maudhu’iysikap sabar merupakan sikap mental dan jiwa yang terlatih dalam menghadapi segala bentuk cobaan, yang terlahir dan tumbuh atas dorongan agama, serta ketabahan dan menerima dengan ikhlas cobaan tersebut, menahan diri dari segala macam dorongan hawa nafsu dan senantiasa berusaha taat kepada Allah demi memperoleh ridha-Nya.

Baca Juga: Jadikan Sabar Dan Sholat Sebagai Penolongmu! Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 45

Sikap sabar adalah salah satu sikap paling penting yang harus dimiliki manusia guna menjalani kehidupan dunia. Sebab, manusia tak mungkin lepas dari berbagai cobaan, halangan, dan rintangan. Untuk melalui itu semua dengan baik, seseorang membutuhkan sikap sabar dan tawakal kepada Allah swt. Tanpanya, seseorang mungkin akan berputus asa menghadapi cobaan atau bahkan menyerah untuk bertahan hidup.

Bentuk-Bentuk Sabar Dalam Al-Qur’an

Jika kita telusuri berbagai ayat Al-Qur’an maupun hadis, maka akan kita dapati bahwa kata ‘sabar’ sering kali disebutkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Dalam Al-Qur’an misalnya, sikap sabar disebutkan pada 91 ayat dalam konteks yang berbeda-beda. Dari ayat-ayat tersebut, penulis menemukan setidaknya 3 bentuk sabar dalam Al-Qur’an yang semuanya bermuara pada satu tujuan, yakni kesuksesan dan kemenangan.

1. Sikap sabar dalam melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan.

Bentuk sabar dalam Al-Qur’an yang pertama adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan. Mengerjakan semua yang diperintah Allah dan menghindari larangan-Nya secara hakikat merupakan kewajiban manusia. Karena itu, tidak heran bila seseorang merasa berat sehingga memerlukan usaha yang gigih agar bisa melaksanakannya.

Allah swt berfirman:

رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهٖۗ هَلْ تَعْلَمُ لَهٗ سَمِيًّا ࣖ ٦٥

“(Dialah) Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguhhatilah dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang sama dengan-Nya?” (QS. Maryam [19]: 65).

Pada ayat tersebut, Allah swt memerintahkan manusia untuk bersabar dalam beribadah kepada-Nya. Fashthabir terambil dari kata shabara dengan penambahan tha’. Dengan penambahan itu maka ia mengandung makna kesungguhan, yakni bersabarlah secara bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah swt. Sebab kesabaran dan keteguhan hati ini adalah martabat tertinggi dalam ibadah seorang hamba (Tafsir Al-Misbah [8]: 222).

2. Sikap sabar terhadap musibah

Bentuk sabar dalam Al-Qur’an yang kedua adalah sikap sabar terhadap musibah, yakni dengan menahan diri dan tidak mengeluh ketika mendapat musibah. Ini adalah bentuk sabar yang paling sulit menurut sebagian manusia. Sebab banyak diantara kita yang sulit untuk bersabar dan tabah hati ketika tertimpa berbagai musibah serta cobaan hidup.

Bentuk sabar ini disebutkan oleh Allah swt dalam surat al-Baqarah [2] ayat 155-156 yang berbunyi:

وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوْفِ وَالْجُوْعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الْاَمْوَالِ وَالْاَنْفُسِ وَالثَّمَرٰتِۗ وَبَشِّرِ الصّٰبِرِيْنَ ١٥٥ اَلَّذِيْنَ اِذَآ اَصَابَتْهُمْ مُّصِيْبَةٌ ۗ قَالُوْٓا اِنَّا لِلّٰهِ وَاِنَّآ اِلَيْهِ رٰجِعُوْنَۗ ١٥٦

Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).” (QS. al-Baqarah [2] ayat 155-156).

Ayat ini menginformasikan kepada kita (manusia) bahwasanya hidup mungkin saja dipenuhi dengan berbagai ancaman bencana atau musibah yang menimpa jiwa, harta, keluarga maupun ketenangan dan kenyamanan jiwa. Melalui ayat ini Allah ingin menegaskan bahwa itu semua merupakan ujian yang Dia berikan kepada manusia. Karena itu, hendaklah mereka bersabar dan berteguh hati.

3. Sikap sabar terhadap perlakukan yang tidak baik dari orang lain

Bentuk sabar dalam Al-Qur’an yang ketiga adalah sikap sabar terhadap perlakuan yang tidak baik atau tidak menyenangkan dari orang lain. Sebab dalam hidupnya, seseorang berbaur dengan berbagai jenis manusia dengan akhlak dan tabiat yang beragam. Dari latar belakang tersebut, ada kemungkinan (cukup besar) bahwa ia akan mendapatkan tindakan yang tidak baik atau tidak menyenangkan dari orang lain.

Jika seseorang merasa risau atau merasa terganggu secara berlebihan terhadap perbuatan tidak menyenangkan, maka ia akan selalu menuai kekecewaan dan kerugian. Sebaliknya, jika ia mampu menahan diri, bersabar, memaafkan, dan lapang dada, maka ia akan beruntung dan hidup dengan penuh kebahagiaan serta sarat dengan nuansa cinta kasih. Dalam Al-Qur’an Allah swt berfirman:

وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِكُمْ كُفَّارًاۚ حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۚ فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ ١٠٩

Banyak di antara Ahli Kitab menginginkan sekiranya mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman, menjadi kafir kembali, karena rasa dengki dalam diri mereka, setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Surat al-Baqarah [2] ayat 109).

Baca Juga: Surat Ali ‘Imran [3] Ayat 134: Anjuran Menahan Marah dan Bersabar

Pada ayat ini – melalaui kalimat maka maafkanlah dan berlapangdadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya – Allah swt secara eksplisit ingin memerintahkan manusia untuk bersabar dan berteguh hati terhadap tindakan yang tidak baik atau tidak menyenangkan dari orang lain hingga Dia mendatangkan perintah-Nya, yakni ganjaran yang sesuai bagi orang-orang yang mampu bersabar dan berlapangdada.

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa bentuk-bentuk sabar dalam Al-Qur’an ada tiga, yakni: sabar dalam melaksanakan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan; sikap sabar terhadap musibah; dan sikap sabar terhadap perlakuan yang tidak baik atau tidak menyenangkan dari orang lain. Tiga bentuk sabar ini merupakan contoh utama sikap sabar menurut Al-Qur’an, sedangkan praktiknya mungkin akan beragam dan bermacam-macam. Wallahu a’lam.

Kajian Semantik Pasangan dalam Al-Quran: Perbedaan Al-Ba‘l dan Al-Zauj

0
Pasangan dalam al-Quran
Pasangan dalam al-Quran

Pasangan dalam Al-Quran memakai dua kata yang berbeda yakni al-ba‘l dan al-zauj. Dalam beberapa kamus, umumnya kata al-bal dan al-zauj selalu dimaknai sama. Namun ternyata dalam al-Quran keduanya memiliki tempat penggunaanya masing masing.

Kedua kata ini memang mempunyai indikasi makna pasangan, akan tetapi perbedaan keduanya akan terlihat mencolok tatkala kita menjumpai bagaimana al-Quran memilih kedua diksi ini dan membuatnya nampak jelas bahwa memang sinonimitas tidak berlaku dalam al-Qur’an.

Dalam kamus Lisanul ‘Arab, kata al-bal memiliki makna asal “sesuatu yang tinggi”. Adapun lebih spesifiknya lagi dikatakan bahwa al-ba’l memang dimaknai suami yang telah dukhul (mencampuri istrinya).

Jika telaah berdasarkan ayat al-Qur’an, kata al-ba’l ditampilkan dalam beberapa derivasi, diantaranya ba’lan (Q.S. al-Shaffat: 125), ba’liha (Q.S. al-Nisa: 128), ba’lii (Q.S. Hud 72), bu’ulatuhunna (Q.S. al-Baqarah: 228; al-Nur: 31). Keseluruh derivasi makna tersebut memiliki makna suami, kecuali pada Q.S al-Shaffat: 125, dimana kata ba’lan disana merupakan nama Tuhan atau berhala yang dahulu disembah oleh masyarakat Madinah (Thabari, 1999: 37).

Terkait kata zauj, dalam kamus Lisanul ‘Arab dijelaskan bahwa al-zauj belahan atau pecahan dari segala sesuatu. Maka segala sesuatu yang memiliki pecahan atau belahan baik itu belahannya maupun sesuatu itu sendiri (yang telah dibagi) disebut dengan al-zauj.

Makna pasangan dalam Al-Quran menggunakan kata al-zauj tidak hanya ditujukan untuk manusia (Q.S. al-Baqarah: 230). Melainkan juga digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang lain seperti halnya buah-buahan (Q.S. al-Rahman: 52), hewan (Q.S. Hud: 40), dan al-Qur’an bahkan mengatakan bahwa segala sesuatu diciptakan berpasangan (Q.S. al-Dzariyat: 49).

Baca Juga: Ingin Memiliki Keluarga Sakinah? Amalkan Doa Surat Al-Furqan Ayat 74

Jika keduanya bermakna suami, maka keduanya juga memiliki perbedaan. Bila merujuk kepada kepada al-Qur’an yakni surah al-Baqarah: 230 dan 228, akan didapati sebuah spesifikasi. Dalam al-Baqarah: 230:

فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهٗ مِنْۢ بَعْدُ حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ ۗ فَاِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ اَنْ يَّتَرَاجَعَآ اِنْ ظَنَّآ اَنْ يُّقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ وَتِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan bekas istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.

Kalimat حَتّٰى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهٗ yang dalam konteks ayatnya menjelaskan bahwa seorang suami yang telah bercerai dengan istrinya (3 kali talaq maka ia tidak diperbolehkan untuk mencampuri istrinya kembali sampai istrinya menikah dengan suami yang lain dan kemudian bercerai kembali dengan suaminya itu (al-Qurthubi, 1964: 147). Disana jelas al-Qur’an menggunakan kata zauj pada suami yang akan dinikahi.

Berbeda halnya dengan dengan Q.S. al-Baqarah: 228:

وَالْمُطَلَّقٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلٰثَةَ قُرُوْۤءٍۗ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللّٰهُ فِيْٓ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِيْ ذٰلِكَ اِنْ اَرَادُوْٓا اِصْلَاحًا ۗوَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ

Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah  dalam  rahim  mereka,  jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan para suami mereka lebih berhak kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.

Didapati kalimat وَبُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ di mana konteks ayat ini mengisyaratkan kebolehan suami untuk mencampuri istrinya jika mereka sepakat untuk rujuk. Maka dari kedua ayat ini bisa temukan adanya perbedaan penggunaan pada kata zauj dan ba’l. Dimana kata zauj digunakan pada suami yang belum mencampuri istrinya sedangkan kata bu’l digunakan pada suami yang telah mencampuri istrinya.

Baca Juga: Surat Al-Baqarah Ayat 187: Isyarat Relasi Kesetaraan Antara Suami dan Istri

Jadi bisa disimpulkan bahwa kedua kata yang diindikasi bermakna pasangan dalam al-Quran memang memiliki persamaan makna di satu sisi. Namun di sisi lain keduanya keduanya memiliki ciri khasnya masing-masing di mana kata al-bu’lu dalam al-Qur’an secara khusus dinisbatkan kepada manusia sedangkan kata al-zauj dinisbatkan kepada segala sesuatu secara umum.

Serta adanya perbedaan penggunaanya saat sama-sama bermakna suami. Di mana al-ba’l dalam konteks dimaknai sebagai suami, maka secara khusus dimaknai suami yang telah mencampuri istrinya. Sedangkan kata al-zauj jika berada pada konteks dimaknai dengan suami maka yang dimaksud adalah suami yang belum mencampuri istrinya. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al A’raf ayat 85-88

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Setelah sebelumnya membahas kisah Nabi Nuh, Hud dan Nabi Luth tafsir surat Al A’raf ayat 85-88 ini menceritakan kaum Madyan yaitu kaum Nabi Syu’aib. Dalam tafsir surat Al A’raf ayat 85-88 ini dijelaskan bahwa kaum Madyan merupakan orang-orang yang tidak bersyukur dan berakhlak tercela.


Baca Juga Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 83-84 Kisah Nabi Luth


Ayat 85

Ayat ini menceritakan bahwa kaum Madyan yaitu kaum Nabi Syu’aib tidak bersyukur kepada Allah disamping mereka mempersekutukan-Nya. Akhlak mereka sangat buruk sehingga kehidupan mereka bergelimang dalam penipuan, sampai kepada urusan tukar-menukar, timbang-menimbang. Menurut suatu riwayat jika orang asing datang berkunjung, mereka sepakat menuduh bahwa uang yang dibawa orang asing itu palsu, dengan demikian mereka menukarnya dengan harga (kurs) yang rendah sekali. Kepada kaum ini Allah mengutus Nabi Syu’aib agar dia menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dan meninggalkan kecurangan dalam takaran dan timbangan.

Sebagaimana biasanya bahwa Allah memperkuat kenabian setiap Nabi-Nya dengan mukjizat seperti diketahui dari hadis Abu Hurairah, yaitu:

مَا مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ َنبِيٌّ إِلاَّ أُعْطِيَ مِنَ الاٰيَاتِ مِثْلُهَا اٰمَنَ عَلَيْهِ الْبَشَرُ وَإِنَّمَا كَانَ الَّذِيْ أُوْتِِيْتُ وَحْيًا أَوْحَى الله ُإِلَيَّ فَأَرْجُوْ أَنْ أَكُوْنَ أَكْثَرَهُمْ تَابِعًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه البخاري ومسلم)

“Tidak seorang Nabi pun dari kalangan nabi-nabi kecuali diberikan kepadanya tanda-tanda kenabiannya yang menjadikan manusia percaya kepadanya. Sesungguhnya yang diberikan kepadaku ialah wahyu yang disampaikan kepadaku yaitu (Al-Qur′an). Maka aku mengharap bahwa aku akan mempunyai pengikut yang lebih banyak dari pada pengikut-pengikut nabi-nabi pada hari Kiamat”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)

Tidak terdapat satu ayat pun dalam Al-Qur′an yang menerangkan tentang mukjizat yang diberikan kepada Nabi Syu’aib. Fakhrur Razi dalam tafsirnya, mengutip az-Zamakhsyari dalam tafsirnya “Al-Kasysyaf” mengatakan bahwa di antara mukjizat Nabi Syu’aib, yaitu dia memberikan tongkatnya kepada Nabi Musa. Tongkat itulah membinasakan ular-ular besar milik tukang-tukang sihir Fir’aun. Juga dia berkata kepada Nabi Musa, bahwa kambing-kambing ini akan beranak semuanya berbulu hitam putih, kemudian ternyata benar sebagaimana yang diucapkannya itu.

Ayat 86

Sesudah Nabi Syu’aib melarang kaumnya membuat kerusakan di bumi, maka ayat ini menerangkan bahwa Nabi Syu’aib juga melarang mereka duduk di jalan untuk mengganggu orang yang lewat. Terhadap orang yang beriman mereka ancam nyawanya dan terhadap orang yang belum beriman jika ia bermaksud mengunjungi Nabi Syu’aib mereka mengatakan bahwa Syu’aib itu seorang pendusta yang hendak menggoda orang agar meninggalkan agama nenek moyangnya.

Pada akhir ayat Nabi Syu’aib mengajak mereka mengenang masa-masa yang lalu ketika mereka masih sedikit jumlahnya, kemudian Allah mengembangbiakkan keturunan mereka dan memberi rezeki yang banyak. Karenanya hendaklah mereka bersyukur kepada Allah dengan meninggalkan kemusyrikan dan perbuatan kezaliman dan hendaklah mereka mengambil pelajaran dari kejadian-kejadian pada kaum-kaum yang berbuat kezaliman, antara lain meninggalkan agama yang benar dari umat-umat sebelum mereka, seperti kaum Nuh, kaum ‘Ad, dan kaum Tsamud.

Hendaklah mereka mengambil pelajaran dari apa yang menjadi sebab Allah membinasakan umat-umat sebelum mereka itu. Dengan demikian Nabi Syu’aib secara tidak langsung telah memperingatkan kaumnya agar mereka tidak mengalami nasib seperti mereka yang telah dibinasakan oleh Allah itu.

Ayat 87

Ayat ini mengutarakan keahlian Nabi Syu’aib dalam menyampaikan ajaran-ajaran Allah yang dikemukakan dengan kata-kata yang tegas, bijaksana dan mengesankan. Nabi Syu’aib berkata kepada mereka jika ada golongan di antara mereka yang membenarkan seruannya agar menyembah Allah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan perbuatan zalim seperti mengurangi hak manusia dalam menimbang dan menakar, maka mereka akan terhindar dari siksa Allah.

Sebaliknya, sekiranya ada golongan di antara mereka yang masih belum menyambut seruannya dan masih tetap kufur dan zalim, maka Nabi Syu’aib mengancam mereka agar menunggu keputusan Tuhan yang seadil-adilnya, yaitu membela hamba-hamba-Nya yang beriman dan membinasakan golongan kafir yang berbuat kezaliman.

Ayat 88

Ayat ini menerangkan bahwa para pemimpin suku Madyan berkata kepada Nabi Syu’aib, bahwa mereka akan mengusir Syu’aib dan para pengikutnya dari negeri mereka, apabila Nabi Syu’aib tidak mau kembali kepada agama nenek moyang mereka, serta menghentikan dakwahnya kepada kaumnya.

Dengan perkataan lain, mereka menyuruh Nabi Syu’aib dan para pengikutnya untuk memilih apakah mereka akan tetap dalam agama baru dan melanjutkan dakwah tetapi diusir dari negeri mereka, ataukah bersedia kembali kepada agama nenek moyang dan menjadi anggota masyarakat dari kaumnya yang musyrik.

Perlu diketahui bahwa kata-kata “kembali kepada agama nenek moyang” memberi kesan, seolah-olah Nabi Syu’aib pernah menjadi penganut agama kaumnya, dan tentu pernah juga turut menyembah sembahan yang mereka sembah. Hal ini tidak benar, karena para nabi dan rasul Allah senantiasa terhindar dari dosa-dosa besar, termasuk dosa yang disebabkan kemusyrikan kepada Allah.

Pada akhir ayat tersebut diterangkan, bahwa Nabi Syu’aib menjawab tantangan mereka dengan mengajukan pertanyaan, apakah mereka akan tetap memaksa dirinya dan para pengikutnya untuk kembali kepada agama mereka atau mereka akan mengusir dirinya dan para pengikutnya dari negeri Madyan bila ia menolak anjuran itu.

Nabi Syu’aib menegaskan kepada kaumnya, bahwa ia dan para pengikutnya tidak merasa gentar diusir dari negeri mereka, dan mereka akan tetap dalam agama Allah serta melanjutkan dakwah mereka. Kecintaan Nabi Syu’aib kepada agama Allah lebih tinggi dari pada kecintaan kepada tanah air yang penduduknya ingkar kepada Allah.

Ia dan para pengikutnya mengutamakan hidup dalam keridaan Allah, sehingga mereka benar-benar dapat memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama dan keimanan adalah urusan hati yang tidak dapat dipaksakan bagaimanapun juga. Ia dan para pengikutnya benci kepada kemusyrikan, karena kemusyrikan merupakan dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

Seorang rasul yang mengemban amanat menyiarkan agama Allah tidak keberatan meninggalkan tanah tumpah darahnya, apabila situasi dan keadaan di tempat itu tidak memungkinkan untuk melaksanakan tugas. Seperti diketahui, Nabi Ibrahim telah melaksanakan hijrah, meninggalkan tanah tumpah darahnya yaitu kota Ur di Kaldea, demi untuk menegakkan agama Allah. Demikian pula Nabi Muhammad telah hijrah dari Mekah ke Medinah karena kecintaannya kepada agama Allah melebihi kecintaan kepada tanah air dan lain-lainnya. Orang-orang yang enggan hijrah karena Allah, akan dimurkai Allah, sebagaimana firman Allah :

اِنَّ الَّذِيْنَ تَوَفّٰىهُمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ ظَالِمِيْٓ اَنْفُسِهِمْ قَالُوْا فِيْمَ كُنْتُمْ ۗ قَالُوْا كُنَّا مُسْتَضْعَفِيْنَ فِى الْاَرْضِۗ  قَالُوْٓا اَلَمْ تَكُنْ اَرْضُ اللّٰهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوْا فِيْهَا ۗ فَاُولٰۤىِٕكَ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُ ۗ وَسَاۤءَتْ مَصِيْرًاۙ    ٩٧  اِلَّا الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ حِيْلَةً وَّلَا يَهْتَدُوْنَ سَبِيْلًاۙ    ٩٨  فَاُولٰۤىِٕكَ عَسَى اللّٰهُ اَنْ يَّعْفُوَ عَنْهُمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَفُوًّا غَفُوْرًا   ٩٩

“Sesungguhnya orang-orang yang dicabut nyawanya oleh malaikat dalam keadaan menzalimi sendiri, mereka (para malaikat) bertanya: “bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Kami orang-orang yang tertindas di bumi (Mekah)”.

Mereka (para malaikat) bertanya: “Bukanlah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah (berpindah-pindah) di bumi itu?” Maka Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahanam, dan (Jahanam) itu seburuk-buruknya tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau perempuan dan anak-anak yang tidak berdaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah), maka mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun”. (an-Nisa/4: 97-99)

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Tafsir Surat Al-A’raf Ayat 80-81: Benarkah Kaum Nabi Luth Homoseksual?