Beranda blog Halaman 436

Tafsir Surah An Nasr Ayat 1-3

0
tafsir surat an nasr
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah An Nasr Ayat 1-6 merupakan surat yang termasuk dalam himpunan surah-surah makiyah. Surah ini terletak pada urutan ke 110 menurut susunan mushaf Usmani. Sebelumnya merupakan surat al Kafirun yang juga termasuk dalam surah-surah makiyah.

Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Kafirun Ayat 1-6

Tafsir Surah An Nasr 1-6 ini berisi tentang infomasi kemenangan Nabi Muhammad saw merebut Mekah. Dalam istilah lain disebut dengan Fathu Mekah. Dalam surat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk mengagungkan dan mensucikanNya. Allah swt juga memerintahkan para sahabat untuk bertaubat atas sikap ragu-ragunya terhadap datangnya pertolongan Allah swt.

Ayat 1-2

Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan apa yang harus dilakukan Nabi Muhammad pada saat pembebasan Mekah, yaitu apabila ia telah melihat pertolongan Allah terhadap agama-Nya telah tiba, dengan kekalahan orang-orang musyrik dan kemenangan di pihak Nabi, dan melihat pula orang-orang masuk agama Allah beramai-ramai dan berduyun-duyun, bukan perseorangan sebagaimana halnya pada permulaan dakwah.

Orang-orang Arab berkata, “Manakala Muhammad menang atas penduduk Mekah yang mana Allah telah selamatkan mereka dari pasukan bergajah, maka kalian tidak berdaya melawannya.” Akhirnya mereka masuk Islam berduyun-duyun, berkelompok-kelompok dan satu kelompok 40 orang.

Ayat 3

Bila yang demikian itu telah terjadi, Nabi diperintahkan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhannya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya, seperti menganggap terlambat datangnya pertolongan dan mengira bahwa Tuhan tidak menepati janji-Nya menolong Nabi atas orang-orang kafir.

Menyucikan Allah hendaknya dengan memuji-Nya atas nikmat-nikmat yang dianugerahkan-Nya dan mensyukuri segala kebaikan-kebaikan yang telah dilimpahkan-Nya dan menyanjung-Nya dengan sepantasnya. Bila Allah Yang Mahakuasa dan Mahabijaksana memberi kesempatan kepada orang-orang kafir, bukanlah berarti Dia telah menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beramal baik.

Kemudian Nabi Muhammad dianjurkan untuk meminta ampun kepada Allah untuk dirinya dan sahabat-sahabatnya yang telah memperlihatkan kesedihan dan keputusasaan karena merasa pertolongan Allah terlambat datangnya.

Bertobat dari keluh-kesah adalah dengan mempercayai penuh akan janji-janji Allah dan membersihkan jiwa dari pemikiran yang bukan-bukan bila menghadapi kesulitan. Hal ini walaupun berat untuk jiwa manusia biasa, tetapi ringan untuk Nabi Muhammad sebagai insan kamil (manusia sempurna). Oleh sebab itu, Allah menyuruh Nabi saw memohon ampunan-Nya.

Keadaan ini terjadi pula pada para sahabat yang memiliki jiwa yang sempurna dan menerima tobat mereka, karena Allah selalu menerima tobat hamba-hamba-Nya. Allah mendidik hamba-hamba-Nya melalui bermacam-macam cobaan dan bila merasa tidak sanggup menghadapinya harus memohon bantuan-Nya serta yakin akan datangnya bantuan itu. Bila ia selalu melakukan yang demikian niscaya menjadi kuat dan sempurnalah jiwanya.

Maksudnya, bila pertolongan telah tiba dan telah mencapai kemenangan serta manusia berbondong-bondong masuk Islam, hilanglah ketakutan dan hendaklah Nabi saw bertasbih menyucikan Tuhannya dan mensyukuri-Nya serta membersihkan jiwa dari pemikiran-pemikiran yang terjadi pada masa kesulitan.

Dengan demikian, keluh-kesah dan rasa kecewa tidak lagi akan mempengaruhi jiwa orang-orang yang ikhlas selagi mereka memiliki keikhlasan dan berada dalam persesuaian kata dan cinta sama cinta.

Baca juga: Surat Ali Imran Ayat 187: Larangan Monopoli Kandungan Kitab Suci

Dengan turunnya Surah an-Na¡r ini, Nabi memahami bahwa tugas risalahnya telah selesai dan selanjutnya ia hanya menunggu panggilan pulang ke rahmatullah.

قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَمَّا نَزَلَتْ (إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللهِ وَالْفَتْحُ) دَعَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ فَقَالَ: قَدْ نُعِيَتْ إِلَيَّ نَفْسِيْ فَبَكَتْ فَقَالَ لاَ تَبْكِيْ فَإِنَّكِ أَوَّلُ أَهْلِي لِحَاقًا بِيْ فَضَحِكَتْ فَرَآهَا بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلََّمَ فَقُلْنَ يَا فَاطِمَةُ رَأَيْنَاكِ بَكَيْتِ ثُمَّ ضَحِكَتْ قَالَتْ اِنَّهُ أَخْبَرَنِي اَنَّهُ قَدْ نُعِيَتْ إِلَيْهِ نَفْسُهُ فَبَكَيْتُ فَقَالَ لِيْ لاَ تَبْكِيْ فَإِنَّكِ أَوَّلَ أَهْلِيْ لاَحِقٌ بِيْ فَضَحِكْتُ.

(رواه الدارمي)

Ibnu Abbās berkata: “Ketika turun ayat Iza ja‘a nasrullahi wal fath, Rasulullah saw memanggil Fatimah, lalu berkata: “Kematian diriku sudah dekat.” Fatimah pun menangis. Rasulullah saw berkata, “Jangan menangis, karea kamu adalah anggota pertama dari keluargaku yang akan menyusulku.” Fatimah pun tertawa bahagia (mendengarnya). Para istri Nabi saw yang melihat hal itu berkata, “Wahai Fatimah, kami melihatmu menangis lalu tertawa.” Fatimah berkata, “Rasulullah saw memberitahuku bahwa kematian dirinya telah dekat, maka aku menangis. Namun, beliau mengatakan, “Jangan menangis, karena kamu adalah anggota pertama dari keluargaku yang akan menyusulku.” Maka aku pun tertawa bahagia. (Riwayat ad-Darimi)

Ibnu Umar berkata, “Surah ini turun di Mina ketika Nabi mengerjakan Haji Wada’, sesudah itu turun firman Allah:

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًا

Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu. (al-Ma’idah/5: 3)

Nabi hidup hanya delapan puluh hari setelah turun ayat ini. Kemudian setelah itu, turun ayat Kalalah, dan Nabi hidup sesudahnya lima puluh hari. Setelah itu turun ayat:

لَقَدْ جَاۤءَكُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ

Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri. (at-Taubah/9:128);Maka Nabi saw hidup sesudahnya tiga puluh lima hari. Kemudian turun firman Allah:

وَاتَّقُوْا يَوْمًا تُرْجَعُوْنَ فِيْهِ اِلَى اللّٰهِ

Dan takutlah pada hari (ketika) kamu semua dikembalikan kepada Allah. (al-Baqarah/2: 281)

Maka Nabi saw hidup sesudahnya hanya dua puluh satu hari saja.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Lahab Ayat 1-2

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 73-74: Lalat, Makhluk Lemah yang Memiliki Kelebihan

0
Al-Hajj ayat 73-74: kelebihan lalat
Al-Hajj ayat 73-74: kelebihan lalat

Lalat adalah hewan yang sering kita temui sehari-hari. Hewan yan tergolong mini dan kita anggap sebagai hewan jijik dan kotor ternyata terdapat dalam Al-Quran Surat Al-Hajj ayat 73-74. Dalam ayat tersebut, ternyata Allah tidak ragu dan sungkan untuk menjadikan lalat sebagai perumpamaan. Perumpamaan yang digunakan hujjah dari Allah untuk menyebutkan kelemahan-kelemahan kaum kafir. Terekamnya permisalan lalat dalam Al-Quran ini menjadikan ibrah bagi kita hari ini bahwa meski lalat adalah hewan yang kecil dan lemah ternyata juga memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri.

Tafsir Surat Al-Hajj ayat 73-74

Adapun bunyi Surat Al-Hajj ayat 73-74 adalah sebagai berikut:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥٓ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ لَن يَخْلُقُوا۟ ذُبَابًا وَلَوِ ٱجْتَمَعُوا۟ لَهُۥ ۖ وَإِن يَسْلُبْهُمُ ٱلذُّبَابُ شَيْـًٔا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ ضَعُفَ ٱلطَّالِبُ وَٱلْمَطْلُوبُ . مَا قَدَرُوا۟ ٱللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَقَوِىٌّ عَزِيزٌ

Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.”

Baca juga: Tafsir Surat An-Nahl Ayat 68-69: Keistimewaan Lebah dalam Al-Quran

Ayat tersebut adalah permisalan yang Allah berikan kepada kaum kafir Quraisy Makkah seperti yang disebutkan oleh Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn. Menurut Al-Mahalli dan As-Suyuthi, permisalan Allah tersebut berkenaan dengan kafir Quraisy Makkah yang masih saja menyembah berhala, hingga mereka melumurinya dengan minyak wangi seperti Za’faron. Padahal jelas-jelas berhala-berhala itu membuat makhluk yang dianggap paling kecil dan hina seperti lalat saja tidak bisa, meskipun mereka membuatnya dengan saling membantu satu sama lain.

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan bahwa permisalan Allah tersebut sebenarnya mengungkapkan kelemahan kafir Quraisy Makkah. Berhala ini sudah lemah, membuat seekor lalat pasti tidak bisa. Padahal lalat sendiri adalah makhluk yang lemah. Keduanya memang sama-sama lemah. Namun, berhala-berhala tersebut tampak lebih lemah sekali. Bagaimana mungkin berhala tersebut tetap saja disembah dan dimintai manfaat kecuali bagi orang-orang yang lemah akalnya seperti kafir Quraisy Makkah.

Baca juga: Belajar Organisasi dari Semut dalam Surat An-Naml Ayat 18-19

Dalam Tafsir Al-Wajiz, Wahbah Zuhayli menafsirkan ayat tersebut dengan memperinci kandungannya mengenai kelemahan-kelemahan semua pihak. Menurut Zuhayli, ayat tersebut menggambarkan keburukan peridatan kafir Quraisy Makkah yang menyembah berhala dan menjelaskan kecacatan akal mereka. Lalat adalah hewan yang lemah. Berhala lebih lemah karena tidak bisa menciptakan seekor lalat yang lemah. Namun, yang lebih parah adalah mereka yang masih saja menyembah berhala-berhala itu. Di sinilah puncak kelemahan mereka, lemahnya akal mereka. Padahal makhluk yang lemah seperti lalat saja jika merampas sesuatu pada mereka, mereka tidak bisa merebutnya. Dengan permisalan tersebut, maka nyatalah bahwa semuanya lemah dan hanya bisa bergantung pada Allah saja.

Lalat, makhluk lemah yang punya kelebihan

Dalam Surat Al-Hajj ayat 73-74 telah dijelaskan bagaimana Al-Quran berhujjah dengan permisalan dengan makhluk seperti lalat. Seekor makhluk yang kecil dan sangat lemah. Namun meski lalat adalah hewan yang sangat lemah, Allah tidak ragu untuk menjadikannya perumpamaan dan diabadikan dalam Al-Quran. Maka dari itu pasti terdapat kelebihan yang ada pada binatang kecil ini, apalagi telah Rasulullah pernah menyinggung hewan ini “Apabila ada lalat yang menghinggapi tempat minum kalian maka celupkanlah seluruh bagian/tubuh lalat tersebut (terlebih dahulu), (baru) kemudian buanglah lalat tersebut. Karena sesunggungnya pada salah satu sayapnya mengandung obat dan pada sayap yang lain mengandung penyakit” (HR. Bukhari)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 26: Ibrah dari Penciptaan Nyamuk dalam Al-Quran

Dalam dunia sains, perihal makhluk lalat ini telah diteliti melalui ilmu biologi. Dalam salah satu sayap lalat terdapat berbagai kuman dan mikroba yang jumlahnya mencapi 500 juta. Hal ini karena lalat seringkali masuk ke makanan-makanan basi dan tempat-tempat sampah. Jika lalat tersebut berpindah ke tempat yang bersih, maka bisa memindahkan kotoran yang ada pada sayapnya. Namun, di sisi sayap lalat yang lain, ternyata terdapat penangkal dan penawar dari kuman dan mikroba yang membawa penyakit tersebut. Maka benarlah hadis Rasulullah atas anjuran mencelupkan kedua sayap lalat jika masuk makanan atau minuman, yang padahal saat itu belum ada penelitian akan lalat.

Lalat juga merupakan seekor hewan yang sangat gesit. Seorang peneliti muslim, Zaghloul El-Naggar mengungkapkan bahwa dalam satu detik, lalat mampu mengepakkan sayapnya sebanyak 200 hingga 400 kali untuk mengecoh musuhnya. Kecepatan terbang yang tidak tertandingi untuk makhluk kecil seukuran lalat, hingga kapal maupun pesawat terbang secanggih apapun yang dibuat manusia tidak dapat menandinginya. Hal ini membuktikan betapa lemahnya manusia sebagaimana difirmankan Allah dalam Surat Al-Hajj ayat 73 “Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu.”

Wallahu a’lam.

7 Mukjizat Nabi Isa As Dalam Al-Qur’an: Bagian Kedua

0
Mukjizat Nabi Isa as
Mukjizat Nabi Isa as

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan tentang tiga mukjizat dari tujuh mukjizat nabi Isa dalam Al-Qur’an yang Allah swt berikan kepada beliau sebagai sarana untuk membantu kelancaran dakwah kepada bani Israil. Pada artikel ini akan dijelaskan empat mukjizat nabi Isa as dalam Al-Qur’an lainnya dan merupakan bagian terakhir dari kisah mukjizat nabi Isa.

Penjelasan empat mukjizat nabi Isa as ini Allah swt sebutkan dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 49 yang berbunyi:

وَرَسُوْلًا اِلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ەۙ اَنِّيْ قَدْ جِئْتُكُمْ بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ ۙاَنِّيْٓ اَخْلُقُ لَكُمْ مِّنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ فَاَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًاۢ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُبْرِئُ الْاَكْمَهَ وَالْاَبْرَصَ وَاُحْيِ الْمَوْتٰى بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚوَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُوْنَ وَمَا تَدَّخِرُوْنَ ۙفِيْ بُيُوْتِكُمْ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيَةً لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَۚ ٤٩

“Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (dia berkata), “Aku telah datang kepada kamu dengan sebuah tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah. Dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit kusta. Dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah, dan aku beritahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu orang beriman.” (QS. Ali ‘Imran [3] ayat 49)

Berdasarkan surat Ali ‘Imran [3] ayat 49 di atas, ada 4 mukjizat nabi Isa bagi kalangan nabi Israil sebagai tanda atau bukti kebenaran kerasulan beliau, yakni: menciptakan burung dari tanah liat, menyembuhkan orang buta dan penyakit kusta, menghidupkan orang mati, serta mengetahui apa yang dimakan dan disimpan bani Israil. Mukjizat-mukjizat tersebut diharapkan dapat membuat mereka beriman kepada Allah swt.

4. Nabi Isa mampu menciptakan burung dari tanah liat

Mukjizat nabi Isa as yang keempat adalah menciptakan burung dari tanah liat atas izin Allah swt. Dikisahkan bawah mukjizat ini merupakan bentuk pembuktian atas tantangan raja Herodes yang tidak percaya – bahkan mendustakan – terhadap ajaran-ajaran nabi Isa. Ia meminta agar nabi Isa mendatangkan mukjizat secara nyata dengan tujuan untuk mempermalukan beliau di tengah rakyatnya.

Alkisah, Herodes pun langsung mengumpulkan rakyatnya untuk melihat mukjizat Nabi Isa. Lalu beliau membuat sebuah patung dari tanah liat dengan bentuk burung. Kemudian dia meniup burung itu dan atas izin Allah swt burung dari tanah liat tersebut tiba-tiba hidup dan terbang. Banyak orang-orang yang berdecak kagum melihat kejadian itu dan gagallah rencana raja Herodes.

5. Nabi Isa dapat menyembuhkan orang buta dan penyakit kusta

Mukjizat nabi Isa as yang kelima adalah menyembuhkan orang yang terkena penyakit kusta dan mengembalikan penglihatan orang buta. Dikisahkan bahwa nabi Isa as pernah berjalan di suatu tempat. Kemudian, ia melihat seorang laki-laki yang buta, lumpuh, dan kulit dagingnya mengelupas karena mengidap penyakit kusta yang parah.

Nabi Isa kemudian mendekati laki-laki tua itu. Ketika mengetahui dengan hatinya bahwa ada yang datang mendekat dan itu bukan orang sembarangan, lelaki tersebut lantas mengatakan suatu hal yang membuat Nabi Isa heran. “Puji syukur kepada Allah yang menyelamatkanku dari musibah, yang menimpa sekian banyak dari makhluk-Nya,” kata lelaki itu.

Setelah beberapa saat bercakap-cakap, hati nabi Isa kemudian tergerak karena melihat ketegaran dan keimanan si laki-laki. Beliau lalu berkata, “Engkau benar, ulurkanlah tanganmu.” Lelaki itu pun mengulurkan tangannya dan itu dipegang oleh nabi Isa as. Pada saat itu – atas izin Allah – penyakit yang dideritanya sembuh seketika dan parasnya berubah layaknya orang sehat pada umumnya.

Menurut Ibnu Katsir, pada zaman nabi Isa, kemajuan ilmu kedokteran menjadi suatu kebanggaan. Bani Israil sebagai kaum Nabi Isa pun menaruh hormat terhadap profesi dokter.  Oleh karena itu, salah satu mukjizat Nabi Isa adalah kemampuan menyembuhkan – dengan izin Allah – penyakit orang lain, yakni penyakit yang dianggap sebagai penyakit yang tak bisa disembuhkan seperti kebutaan dan kusta.

6. Nabi Isa mampu menghidupkan orang mati

Mukjizat nabi Isa as yang keenam adalah menghidupkan orang mati. Jika kita melihat kepada ayat Al-Qur’an, setidaknya ada dua ayat yang dapat dijadikan rujukan mukjizat ini, yakni: surat Ali ‘Imran [3] ayat 49 yang menyatakan bahwa nabi Isa dapat menghidupkan orang yang baru saja mati, dan surat al-Maidah [5] ayat 110 yang menyatakan bahwa nabi Isa mampu menghidupkan orang yang telah lama mati.

Berkenaan dengan mukjizat nabi Isa yang mampu menghidupkan orang mati, dalam kitab Tafsir Jalalain disebutkan bahwa Nabi Isa – dengan izin Allah – menghidupkan sahabatnya bernama Azir dan juga seorang gadis kecil. Mereka berdua terus hidup hingga mempunyai keturunan. Di sana juga dijelaskan bahwa nabi Isa mampu menghidupkan Sam bin Nuh yang telah lama mati lalu ia diwafatkan kembali.

7. Nabi Isa mengetahui apa yang dimakan dan disimpan kaumnya

Mukjizat nabi Isa as yang ketujuh adalah mampu mengetahui apa yang dimakan dan disimpan bani Israil. Beliau mampu mengetahui rahasia orang lain, dan apa yang dimakan atau disimpan dalam rumah tanpa melihat atau menengok ke dalamnya. Namun sayangnya, kaum nabi Isa yang ditunjukkan begitu banyak mukjizat tetap saja menolak risalah beliau. Mereka bahkan berusaha membunuh nabi Isa as. Na’udzu billahi min dzalik.

Dari penjelasan tentang tujuh mukjizat nabi Isa di atas, setidaknya ada dua hal yang dapat kita pelajari, yakni: 1) Nabi Isa as sangat sabar dalam berdakwah kepada kaumnnya meskipun berulang kali ajaran-ajarannya yang disertai mukjizat ditolak; 2) Terkadang – mungkin – hidayah dan kebenaran agama Allah swt telah nyata terpampang di hadapan kita, hanya saja kita menolaknya sebagaimana penolakan bani Israil. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Kafirun Ayat 1-6

0
tafsir surat al kafirun
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Kafirun Ayat 1-6 merupakan surat yang terhimpun dalam golongan surah-surah makiyah, yaitu surat yang turun sebelum Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah. Posisi surah ini berada pada nomor 109 secara urutan mushaf usmani. Adapun nomor 108 merupakan surah al Kausar yang berjumlah enam ayat.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Kausar Ayat 1-3

Tafsir Surah Al Kafirun Ayat 1-6 ini berisi tentang perintah Allah swt kepada Nabi Muhamad saw untuk menyatakan bahwa Tuhan yang ia sembah berbeda dengan tuhan yang orang-orang kafir. Perbedaannya terletak pada kesuciannya. Allah swt Maha Suci dan Maha Kuasa atas segalanya. Sedangkan tuhan orang-orang kafir tidak bisa berbuat apa-apa.

Ayat 1-2

Dalam ayat-ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyatakan kepada orang-orang kafir bahwa “Tuhan” yang mereka sembah bukanlah “Tuhan” yang ia sembah, karena mereka menyembah “Tuhan” yang memerlukan pembantu dan mempunyai anak atau menjelma dalam  suatu bentuk atau dalam sesuatu rupa atau bentuk-bentuk lain yang mereka dakwakan.

Sedang Nabi saw menyembah Tuhan yang tidak ada tandingan-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya; tidak mempunyai anak dan istri. Akal tidak sanggup menerka bagaimana Dia, tidak ditentukan oleh tempat dan tidak terikat oleh masa, tidak memerlukan perantaraan dan tidak pula memerlukan penghubung.

Maksud pernyataan itu adalah terdapat perbedaan sangat besar antara “Tuhan” yang disembah orang-orang kafir dengan “Tuhan” yang disembah Nabi Muhammad. Mereka menyifati tuhannya dengan sifat-sifat yang tidak layak sama sekali bagi Tuhan yang disembah Nabi.

Ayat 3

Selanjutnya Allah menambahkan lagi pernyataan yang diperintahkan untuk disampaikan kepada orang-orang kafir dengan menyatakan bahwa mereka tidak menyembah Tuhan yang didakwahkan Nabi Muhammad, karena sifat-sifat-Nya berlainan dengan sifat-sifat “Tuhan” yang mereka sembah dan tidak mungkin dipertemukan antara kedua macam sifat tersebut.

Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 7-8: Orang-Orang yang Terbelenggu dalam Kekafiran

Ayat 4-5

Sesudah Allah menyatakan tentang tidak mungkin ada persamaan sifat antara Tuhan yang disembah oleh Nabi saw dengan yang disembah oleh orang-orang kafir, maka dengan sendirinya tidak ada pula persamaan dalam hal ibadah.

Tuhan yang disembah Nabi Muhammad adalah Tuhan yang Mahasuci dari sekutu dan tandingan, tidak menjelma pada seseorang atau memihak kepada suatu bangsa atau orang tertentu.

Sedangkan “Tuhan” yang mereka sembah itu berbeda dari Tuhan yang tersebut di atas. Lagi pula ibadah nabi hanya untuk Allah saja, sedang ibadah mereka bercampur dengan syirik dan dicampuri dengan kelalaian dari Allah, maka yang demikian itu tidak dinamakan ibadah.

Pengulangan pernyataan yang sama seperti yang terdapat dalam ayat 3 dan 5 adalah untuk memperkuat dan membuat orang yang mengusulkan kepada Nabi saw berputus asa terhadap penolakan Nabi menyembah tuhan mereka selama setahun. Pengulangan seperti ini juga terdapat dalam Surah ar-Rahman/55 dan al-Mursalat/77. Hal ini adalah biasa dalam bahasa Arab.

Ayat 6

Kemudian dalam ayat ini, Allah mengancam orang-orang kafir dengan firman-Nya yaitu, “Bagi kamu balasan atas amal perbuatanmu dan bagiku balasan atas amal perbuatanku.” Dalam ayat lain Allah berfirman:

وَلَنَآ اَعْمَالُنَا وَلَكُمْ اَعْمَالُكُمْ

Bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu. (al-Baqarah/2: 139)

Baca setelahnya: Tafsir Surah An Nasr Ayat 3

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surat Thaha Ayat 44: Nilai Kelembutan dalam Berdakwah

0
kelembutan dalam berdakwah
kelembutan dalam berdakwah

Kelembutan adalah sikap syahdu yang selalu diminati oleh setiap orang. Kelembutan dalam berdakwah merupakan modal utama bagi muballigh atau muballighah. Melekatkan diri dengan sikap tersebut adalah sebuah keharusan. Sehingga, pendengar dapat merasa damai dan mudah mencerna apa yang disampaikan. Surat Thaha ayat 44 sangat populer dengan pesan kelembutan dalam berdakwah.

Dewasa ini, kita melihat problematika terkait metode penyampaian dalam berdakwah yang justru berisi ketidak-elokan. Rasanya cukup miris jika firman Allah SWT atau sabda Rasulullah SAW disandingkan dengan ungkapan yang tidak mengelokkan. Hal ini menjadi perhatian banyak kalangan, karena dirasa tidak selaras dengan ajaran agama Islam yang mengajarkan kedamaian.

Nilai kelembutan adalah bagian dari keindahan ajaran agama Islam. Islam mengajarkan kita tentang nilai kelembutan yang senantiasa melahirkan kedamaian bagi semesta alam, utamanya kelembutan dalam berdakwah. Bukankah Rasulullah SAW pun mengajarkan hal itu kepada kita semua. Seperti di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

إِنَّ الرِّفْقَ لاَيَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَ عُ مِنْ شَيءٍ إِلاَّ شَانَهُ

Artinya: “Sungguh, tidak ada sesuatu yang dihiasi dengan kelembutan kecuali akan nampak indah. Sebaliknya, sesuatu tanpa kelembutan tidak akan ada kecuali nampak buruk.” (HR. Muslim)

Dari hadis ini kita belajar tentang pentingnya nilai kelembutan. Setiap dari kita hendaknya mengaplikasikan nilai ini ke dalam kehidupan, khususnya dalam dakwah yang kita lakukan. Kelembutan akan senantiasa melahirkan kebaikan. Sebaliknya, kasar atau kekerasan akan senantiasa melahirkan keburukan.

Kelembutan dalam berdakwah ini sebagaimana telah disampaikan dalam firman Allah Q.S. Thaha [20] ayat 44:

فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى ٤٤

Artinya: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” (Q.S. Thaha [20]: 44)

Baca Juga: Tafsir Surah Thaha Ayat 43-44: Cara Menasehati Orang Lain

Belajar dari dakwah Nabi Musa terhadap Fir’aun    

Ayat ini (Q.S. Thaha [20]: 44) bertendensi pada kisah perjalanan Nabi Musa as yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk memberikan pengajaran yang baik kepada Fir’aun. Langkah tersebut adalah bagian dari ikhtiar yang harus dilakukan oleh Nabi Musa as untuk mengajak Fir’aun ke jalan yang benar. Maka, turunlah ayat ini sebagai metode yang dapat digunakan Nabi Musa as dalam menyampaikan dakwahnya.

Ayat ini (Q.S. Thaha [20]: 44) menjelaskan tentang pentingnya memilih metode yang tepat dalam menyampaikan dakwah Islam, yakni dengan retorika atau perkataan yang lembut. Kelembutan dalam berdakwah yang melekat pada setiap ungkapan akan melahirkan kebaikan bagi pendengar, karena pada dasarnya setiap manusia senang terhadap kebaikan.

Ibnu Katsir di dalam kitabnya Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, ia mengungkapkan bahwa ayat ini menceritakan tentang kisah Nabi Musa as yang merupakan manusia terbaik saat itu. Ia menyampaikan ajaran Islam yang penuh dengan nilai kelembutan kepada raja Fir’aun dengan cara yang lembut pula. Dengan nilai kelembutan akan senantiasa melahirkan efektifitas dalam berdakwah.

Baca Juga: Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani

Lalu, Asy Sya’rawi di dalam kitabnya Tafsir Asy Sya’rawi, menjelaskan bahwa di ayat ini Nabi Musa as secara tidak langsung diperintahkan oleh Allah untuk memberi jeda berpikir kepada raja Fir’aun dalam mempertimbangkan firman-firman Allah SWT. Nilai kelembutan ini dilekatkan oleh Nabi Musa as dalam dakwahnya terhadap Fir’aun kala itu. Setiap nasihat, tentunya amat berat ketika langsung diterima. Maka, hendaknya dengan nilai kelembutan dan kesabaran nasihat itu disampaikan.

Kemudian, perkataan lembut di ayat ini menurut Ibnu Asyur dalam kitabnya Tafsir At Tahrir Wat Tanwir, ialah yang senantiasa melahirkan kegembiraan, informasi yang mudah dipahami.  Perkataan tersebut menjadi manifestasi dari cara berpikir pendakwahnya sehingga dapat diterima dengan baik. Lalu, perkataan lembut yang dimaksud pun ialah yang tidak berisi kebohongan dan penghinaan.

Sebagaimana dimaklumi bersama, kisah Nabi Musa as dan Fir’aun ini sering sekali dipahami sebagai simbol atau representasi dari dua karakter manusia, baik dan buruk, atau lebih tepatnya sangat baik dan sangat buruk. Jika terhadap orang yang sangat buruk seperti Fir’aun saja masih diperintah untuk mengajaknya dengan lembut, maka terhadap yang lain seharusnya juga berlaku yang sama.

Semangat yang sama juga terlihat pada ayat lain, Q.S. An Nahl [16] ayat 125 

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ ١٢٥

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (Q.S. An Nahl [16]:125)

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Dakwah Rasulullah itu Menyampaikan Kebenaran dengan Cara yang Benar Pula

Muhammad Quraish Shihab dalam kitabnya Tafsir Al Mishbah mengklasifikasi cara berdialog, menyesuaikan dengan objeknya. Pertama, terhadap kaum cendekiawan untuk berdialog secara baik dan halus hingga menghasilkan solusi yang baik. Kedua, terhadap kaum awam untuk diberikan nasihat yang baik dan halus hingga dapat dipahami dan diterima dengan baik. Ketiga, berdialog atau berdebat dengan perwakilan agama selain Islam dengan cara yang baik dan halus hingga melahirkan solusi yang tepat. Setelah semuanya dilakukan, maka kita serahkan semuanya kepada Allah Yang Maha Lembut.

Di era media sosial, objek bicara sudah tidak bisa terbatas, semuanya bisa mengakses ungkapan dan perkataan siapapun. Oleh sebab itu, meneruskan semangat telaah dari M. Quraish Shihab di atas, berdakwah atau berdialog dalam media sosial harus hati-hati, harus bisa mengakomodir semua objek bicara, dan perkataan yang lembut dan santun akan bisa masuk ke hati semua orang, siapapun dia.  

Dapat disimpulkan, bahwa nilai kelembutan merupakan ajaran agama Islam yang dapat melahirkan beragam kebaikan. Ibarat alunan syair yang syahdu, nilai kelembutan akan melahirkan ketenangan dan kedamaian baik bagi penyairnya sendiri, maupun orang yang mendengarkannya. Wallahu A’lam

Riwayat Hadis Tentang Perumpamaan Orang yang Membaca Al-Quran

0
Hadis Tentang Perumamaan Orang yang Membaca Al-Quran
Hadis Tentang Perumamaan Orang yang Membaca Al-Quran

Membaca al-Quran yang selama ini kita anggap menjadikan kedamaian hati, dan kita percaya tidak ada yang bisa menggambarkan rasanya seperti apa. Namun, ternyata Rasulullah memberikan perumpamaan bagi orang yang membaca al-Quran. Baik itu orang yang membaca al-Quran dan mengamalkannya, atau orang yang membaca al-Quran dan mengetahui maknanya, akan tetapi ia hanya bisa menggunakan pengetahuannya untuk menasehati orang lain saja. Sabda Nabi ini termaktub dalam hadis riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim pada kitabnya Shahih Bukhory dan Shahih Muslim:

عن أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم قَالَ :مَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، مَثَلُ الْأُتْرُجَّةِ: رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا طَيِّبٌ. وَمَثَلُ الْمُؤْمِنِ الَّذِي لاَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ، مَثَلُ التَّمْرَةِ: لَا رِيحَ لَهَا وَطَعْمُهَا حُلْوٌ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُـرْآنَ، مَثَلُ الرَّيْحَانَـةِ: رِيحُهَا طَيِّبٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ. وَمَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي لَا يَقْـرَأُ الْقُرْآنَ، كَمَثَلِ الْحَنْظَلَةِ: لَيْسَ لَهَا رِيحٌ وَطَعْمُهَا مُرٌّ .

Anas ibn Malik berkata , Abu Musa al-Asy’ari berkata: Perumpamaan orang mu’min yang membaca al-Qur’an bagaikan buah Utrujah, rasa buahnya enak dan baunya wangi. Dan perumpamaan orang mu’min yang tidak membaca al-Qur’an bagaikan buah Kurma, rasanya enak namun tidak berbau. Sedangkan perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an, bagaikan buah Raihanah, baunya enak namun rasanya pahit. Dan perumpaman orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an, bagaikan buah Hanzalah, rasanya pahit tetapi tidak berbau. (H.R Mutafaqun alaih)

Hadis di atas yang diriwayatkan oleh al-Bukhari (hadis no. 4632) dan Muslim (hadis no. 1328) memiliki derajat sahih.

Kemudian Maulana Muhammad Zakariyya Al-Khandahlawi dalam kitabnya Fadhilah Amal menjelaskan, hadits di atas menunjukan perumpamaan orang yang membaca al-Quran dengan yang tidak membacanya. Dan pada karyanya ia menjelaskan tentang perumpamaan tersebut, meskipun kenikmatan ketika membaca al-Quran tidak bisa diperumpamakan dengan kelezatan buah atau makanan yang lainnya. Akan tetapi sabda Rasulullah yang akan membuka pemikiran dan pemahaman kita yang begitu luasnya.

Baca juga: Penjelasan Fenomena Mendung, Petir, dan Guruh dalam Al-Quran

Refleksi Buah Utrujah

Pada hadis di atas disebutkan ada tiga kategori buah yang menggambarkan orang yang membaca al-Quran dan yang tidak membaca al-Quran. Antara lain buah tersebut adalah buah Utrujah, Raihanah, Hanzalah. 

Ibnu Hajar mengatakan bahwa orang yang membacakan al-Quran diperumpamakan dengan buah utrujah merupakan buah yang rasanya sungguh lezat, bentuknya juga menawan, warnanya kuning terang menyenangkan mata, kemudian untuk teksturnya lembut membuat setiap orang ingin memakannya. Seperti itulah muslim yang membaca al-Quran. Sedangkan muslim yang tidak membaca al-Quran, bagaikan buah kurma, rasanya manis tapi ia tidak berbau harum.

Maulana Muhammad Zakariyya Al Khandahlawi dalam kitabnya Fadhilah Amal, buah Utrujah ini seperti mendekati buah jeruk, baunya yang mengharumkan mulut, menguatkan pencernaan dan sebagainya. Begitu juga dengan membaca  al-Quran memiliki manfaat ketika membacanya manfaat yang kita rasakan begitu besar, yaitu mewangikan mulut, membersihkan batin,dan menguatkan ruhani.

Keistimewaan lainnya dari buah jeruk adalah bahwa mitosnya jin tidak dapat memasuki rumah, jika di dalamnya terdapat jeruk. Jika benar maka hal ini merupakan suatu kemiripan khusus ketika sedang membaca kitab suci al-Quran.  Selanjutnya hadis riwayat Ali r.a  dalam kitab  al-Ihya Ulumuddin disebutkan bahwa ada tiga hal dapat menguatkan ingatan, yaitu bersiwak, shaum dan membaca al-Quran.

Baca juga: Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran

Sebaliknya, jika buah Raihanah, buah ini sejenis dengan buah yang mengandung racun akan tetapi memiliki bau yang harum. Seperti itulah gambaran untuk orang munafik yang rajin membaca al-Quran.

Adapun ciri orang munafik yang disebut dalam hadis di atas menurut Imam Nawawi adalah orang yang membaca al-Quran, akan tetapi tidak mengamalkannya. Kemudian ia menasehati orang lain tapi sadar untuk memberi nasehat pada dirinya sendiri. Selanjutnya,  dari luar orang  tersebut tampak seperti orang suci yang semerbak wangi imannya, namun lalai untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya.

Kemudian yang ketiga adalah buah Hanzalah, buah ini memiliki refleksi rasa yang begitu pahit tetapi tidak berbau. Ibnu Hajar menyebutnya buah ini seperti buah kurma, yakni mirip dengan orang munafik yang tidak membaca al-Quran. Tidak adanya rasa manis, hal ini menyerupai tidak adanya iman dalam dirinya.

Meskipun ini hanya diperumpamaan buah, akan tetapi kita merasa perumpamaan ini sangat berarti dalam hidup kita. Dengan adanya perumpamaan tersebut, sebagai hamba Allah, semakin menyadarkan kita, bahwa khasiat dari membaca al-Quran ini sungguh luar biasa. Dan menjadikan kita menginsyafi bahwa membaca al-Quran itu bukan untuk menjadikan diri kita terlihat baik di mata orang lain, akan tetapi hati yang lapang dan tentram adalah kenikmatan tiada tara setelah kita membacanya dengan ikhlas dan tulus. Wallahu a’lam [].

Empat Ragam Pendapat Tentang Sab’atu Ahruf, Begini Penjelasannya

0
sab'atu ahruf
sab'atu ahruf

Subhi al-Shalih dalam Mabahits fi ‘Ulum Al-Quran menjelaskan bahwa jumhur ulama berpendapat bahwa rasm yang digunakan dalam mushaf Usmani telah mencakup sab’atu ahruf. Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Thayyib al-Baqilani menuturkan bahwa sab’atu ahruf ini muncul dan tersiar dari Rasulullah saw dan dikukuhkan oleh para imam, lalu dipraktikkan oleh Usman bin Affan dan para sahabat dalam mushaf, mereka menegaskan keshahihannya dan tidak mau menggunakan harf yang tidak diriwayatkan secara mutawatir.

Mungkin kita bertanya-tanya, lantas apa perbedaan sab’atu ahruf dan qiraat sab’ah? Secara general, kedua istilah tersebut merupakan suatu hal yang termaktub dalam pembahasan ulumul Quran. Namun demikian, keduanya memiliki perbedaan yang tidak terlalu jauh. Istilah sab’atu ahruf telah ada sejak Al-Quran diturunkan kepada Rasul saw sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam artikel sebelumnya. Adapun maknanya, para ulama menafsirkannya berbeda-beda, ada yang berpendapat tujuh huru, tujuh ragam pembacaan, tujuh wajah dan sebagainya.

Sementara, Qiraat Sab’ah adalah istilah yang mencuat berkaitan kemunculan para Imam Qurra dalam melafalkan ayat-ayat Al-Quran, yang kemudian diteliti oleh para imam dengan kaidah-kaidah yang mereka sepakati termasuk syarat mutawatir sehingga kemudian menghasilkan apa yang kita kenal dengan Qiraat Sab’ah bahkan ‘Asyrah.

Pengertian Sab’atu Ahruf

Al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran menerangkan pengertian Sab’atu Ahruf dengan didukung pendapat Jumhur Ulama adalah pendapatnya Abu Fadil al-Razi. Menurutnya “Sab’atu Ahruf” tidak terlepas dari perbedaan yang berkutat pada tujuh wajah. Dalam artian, pembacaan terhadap Al-Quran dari awal sampai akhir tidak keluar dari tujuh wajah perbedaan, yaitu

  1. Perbedaan bentuk Isim mufrad, mutsanna, jama’ muzakkar maupun muannas sebagaimana tertulis Q.S. al-Mu’minun ayat 8.
  2. Perbedaan bentuk fi‘il madli, mudlari’ dan ‘amr seperti dalam Q.S. Saba’ ayat 19.
  3. Perbedaan dalam bentuk i’rab seperti termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 282.
  4. Perbedaan mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir) seperti dalam Q.S. Qaf ayat 19.
  5. Perbedaan dalam menambah (ziyadah) dan mengurangi (naqash) sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Lail ayat 3.
  6. Perbedaan dalam masalah ibdal (pergantian) sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Baqarah ayat 259.
  7. Perbedaan dalam hal lahjah seperti al-Imalah, al-Fath, tarqiq, tafkhim, idzhar, idhgam dan lainnya. Contoh dalam bacaan al-Imalah dan al-Fath pada Q.S. Thaha ayat 15.

Baca juga: Qiraat dan Tajwid, Apakah Kita Perlu Belajar Semuanya?

Menurut Manna Khalil Al-Qattan dalam Mabahits-nya menjelaskan bahwa pendapat ini disepakati oleh para ulama dan dipilih dengan beberapa alasan;  pertama, pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Nabi saw; kedua, pendapat tersebut berangkat dari hasil riset mendalam terhadap semua perbedaan qiraat yang ternyata tidak terlepas atau keluar dari tujuh wajah.

Empat Ragam Pendapat

Setidaknya ada empat ragam pendapat yang dapat disimpulkan terkait pengertian pendapat terkait sab’atu ahruf,

Pertama, Tujuh bahasa. Pendapat ini diambil dari Abu Ubadi yang mengatakan bahwa sab’atu ahruf adalah tujuh bahasa. Pendapat ini tidak dapat diterima. Sebab jika yang dimaksudkan tujuh bahasa, maka tidak mungkin terjadi perselisihan di antara kaum muslimin, sebab bahasa yang dipergunakan adalah bahasa mereka sendiri. Demikian pula Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim, keduanya berasal dari Quraisy, namun mengapa masih juga terjadi perbedaan bacaan antara kedua sahabat itu.

Kedua, Tujuh qiraat. Pendapat ini pun juga tidak dapat diterima, sebab istilah tujuh qiraat atau qiraat sab’ah muncul belakangan yang dihubungkan dengan imam tujuh, yaitu Imam Nafi’, Ashim, Hamzah, Ibnu ‘Amir, Ibnu Katsir, Al-A’la, dan al-Kisa’i. Sedang ketujuh imam itu belum lahir.

Ketiga, Tujuh wajah (segi). Yang dimaksud tujuh wajah adalah dari segi i’rab, perbedaan huruf, isim, penggantian suatu kata, segi taqdim atau ta’khir, dan penambahan atau pengurangan huruf dan segi lahjah. Pendapat ini banyak kelemahannya, sebab beberapa segi di antaranya menimbulkan perubahan makna, yang seharusnya dihilangkan, untuk tetap menjaga kemurnian Al-Quran. Karena perubahan segi juga berimplikasi pada perubahan makna dan penafsiran.

Keempat, Tujuh lahjah (dialek). Barangkali pendapat yang terkahir ini lebih mendekati kepada kebenaran. Karena pada yang terakhir ini tampak sekali hikmah diturunkannya Al-Quran dengan tujuh harf, juga memudahkan umat Islam membaca sesuai dialeknya sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah saw ketika masa sahabat yang terdiri dari berbagai macam etnis dan budaya.

Baca juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?

Terkait lahjah bahasa, lahjah Quraisy lah yang dapat mewakili lahjah bahasa suku-suku bangsa Arab secara keseluruhan sebagaimana yang Allah swt kehendaki. Sebab menurut pakar bahasa Arab, Bahasa Quraisy itu lebih kaya, lebih mampu mengungkapkan keindahan seni dan gaya bahasa yang berbeda-beda, lebih lembut dan lebih sempurna uslubnya.

Meski demikian, kesempurnaan bacaan itu tidak semerta-merta menegasikan keanekaragaman lahjah yang ada pada bangsa Arab, sebab mereka tidak dapat dipaksa untuk menanggalkan lahjahnya. Perlu digarisbawahi bahwa maksud diturunkannya Al-Quran dengan tujuh harf atau sab’atu ahruf itu bukan berarti tiap-tiap kata, tiap ayat dapat dibaca dengan tujuh macam lahjah.

Kadang-kadang satu redaksi atau satu kalimat hanya dapat dibaca dengan satu lahjah, ada juga tiga lahjah, dan seterusnya. Dalam artian, tujuh lahjah tersebut diterapkan secara terpisah. Hal ini sesuai dengan tujuan diturunkannya Al-Quran, yaitu memberikan hidayah dan rahmat kepada seluruh manusia, agar mereka mudah membaca dan memahaminya. Wallahu A’lam.

Qiraat Al-Quran (2) : Sejarah dan Perkembangan Qiraat di Era Sahabat

0
qiraat al-quran
qiraat Alquran

Melanjutkan pembahasan dari artikel terdahulu bahwa penyebaran qiraat di era sahabat telah dilakukan oleh dua khalifah awal, yaitu Abu Bakar as-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Sekarang kita tilik bagaimana perkembangan qiraat di era khulafaur Rasyidin lainnya.

Ekspansi wilayah yang diwariskan oleh Umar bin Khattab, tetap diteruskan oleh pemerintahan khalifah Utsman bin Affan, di mana kekuasaan Islam semakin meluas sampai Armenia dan Azerbaijan. Di sanalah kemudian Huzaifah bin al-Yaman mulai melihat perbedaan qiraat umat Islam. Guna meminimalisir perbedaan tersebut di samping menjaga kesucian teks Al-Quran, ia mengusulkan kepada khalifah Utsman untuk menyeragamkan Al-Quran menjadi satu huruf atau satu mushaf karena khawatir terjadi disintegarsi sebagaimana yang terjadi pada orang Yahudi.

Akhirnya khalifah Utsman menerima usulan tersebut dengan membentuk tim kodifikasi Al-Quran yang dikomandani Zaid bin Tsabit dan dibantu tiga orang Quraisy (Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al-‘As, dan Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam). Setelah kodifikasi Al-Quran selesai, Utsman bin Affan memerintahkan untuk membakar semua catatan pribadi (Al-Quran) yang dimiliki oleh kaum Muslimin.

Mungkin terlintas di benak kita, mengapa khalifah Utsman memerintahkan untkuk membakarnya? Serta mengapa hanya menunjuk Zaid bin Tsabit yang secara usia terbilang cukup muda dibanding sahabat senior lainnya. Hal ini dikarenakan beberapa sahabat yang bertugas sebagai penulis wahyu pada masa Rasulullah seperti Ubay bin Ka’ab tidak diikutkan. Menurut pendapat yang kuat, dikarenakan ia wafat pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

Baca juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal

Di samping itu, Ibnu Mas’ud merupakan orang yang sangat berhati-hati dalam merespon titah Khalifah Utsman terkait pembakaran Al-Quran. Ia merasa keberatan merusak ayat dan surat yang telah didapatkan dari Rasulullah saw terutama yang ia tulis dan hafalkan. Ia ingin menyimpan mushaf itu sampai hari kiamat.

Keberatan tersebut tampaknya cukup beralasan sebab Muhammad al-Mukhtar Walid Abah dalam Tarikh al-Qiraat fi al-Masyriq wa al-Maghrib menyebutkan bahwa ada kemungkinan keberatan Ibnu Mas’ud dikarenakan ia tidak hadir ketika proses kodifikasi Al-Quran lantaran sedang ada di Kufah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib termasuk sahabat yang membenarkan apa yang dilakukan oleh Utsman bin Affan yaitu mengkodifikasi Al-Quran dan membakar mushaf selain mushaf yang disusunnya. Ali juga mengakui mushaf yang disusun Utsman tidak berbeda dengan apa yang ada di dalam mushaf pribadinya.

Setelah kodifikasi Al-Quran rampung dan penggadaan selesai, Khalifah Utsman mendistribusikan mushaf tersebut ke daerah-daerah disertai para huffadz dan qurra’ untuk mengajarkannya. Para huffadz yang dikirim itu adalah Zaid bin Tsabit untuk mengajarkan qiraat di Madinah, Abdullah bin al-Saib dikirim ke Makkah, Al-Mughirah bin Syihab dikirim ke Syam, Abu Abdurrahman al-Salmi dikirim ke Kuffah, Amir bin Abd al-Qais dikirim ke Basrah.

Tidak berhenti di situ, seiring penyebaran mushaf ke daerah-daerah berkembang pula madrasah-madrasah yang mengajarkan qiraat yang bersandar pada bacaan sahabat yang dikirim bersama dengan mushaf tersebut. Di antara madrasah-madrasah tersebut yang berkembang di masa itu ialah,

Baca juga: 7 Bacaan Gharib dalam al-Quran menurut َQiraat Ashim Riwayat Hafs

Pertama, Madrasah Hijaz (Makkah dan Madinah), diasuh oleh Ubay bin Ka’ab al-Anshari dan Zaid bin Tsabit al-Anshari. Di antara para sahabat yang belajar kepada keduanya ialah Abu Hurairah, Ibn ‘Abbas, dan Abdullah bin al-‘Iyasy. Abdullah bin ‘Iyasy selain belajar kepada Ubay, ia juga mendengar qiraat dari Umar bin Khattab. ‘Iyasy ini adalah guru pertama dari para ahli qiraat yang ada di Madinah, seperti Abu Ja’far, Yazid bin Ruman, Syaibah bin Nasah, Muslim bin Jundub dan Abdurrahman bin Hurmuz al-‘Araji. Mereka adalah guru daripada Imam Nafi’ bin Abdurrahman.

Kedua, Madrasah Syam. Didirikan oleh ‘Umair bin Zaid al-Anshari yang masyhur dikenal dengan Abu al-Darda’. Dia merupakan seorang qadi di Damaskus dan biasa mengajarkan Al-Quran secara rutin. Di antara muridnya ialah Imam Abdullah bin Amir al-Yasabi. Ketiga, Madrasah Kufah. Di Kuffah inilah memegang peranan penting dalam perkembangan qiraat. Para qurra di sana mengambil qiraat dari Imam Ali bin Abi Thalib.

Jadi, di era sahabat, qiraat sudah berekspansi ke berbagai penjuru dunia sesuai dengan geliat dakwah para sahabat itu sendiri. Mereka mengajarkan Al-Quran sesuai qiraat yang mereka kuasai di tempat yang baru sehingga antara satu tempat dengan tempat lain terjadi perbedaan dalam hal qiraat. Pada masa sahabat ini pula mulai muncul tempat-tempat yang secara spesifik mengajarkan qiraat Al-Quran. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al Kausar Ayat 1-3

0
tafsir surah al kautsar
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Kausar Ayat 1-3 ini termasuk dalam himpunan surat-surat makiyah dan berjumlah paling sedikit, yaitu tiga ayat. Surat ini berada pada urutan surat nomor 108 dari 114 surat dalam Alquran. Adapun surat sebelumnya merupakan surat al Ma’un yang berjumlah tujuh ayat.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Ma’un Ayat 1-7

Dalam Tafsir Surah Al Kausar Ayat 1-3 ini berisi tentang nikmat dan anugerah Allah swt yang telah dilimpahkan kepada Nabi Muhammad saw. adapun nikmat paling tinggi adalah berupa kenabian serta jalan yang lurus. Dalam pembahasan ini juga diperintahkan untuk ikhlas beribadah, seperti salat dan berkurban.

Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Dia telah memberi Nabi Muhammad nikmat dan anugerah yang tidak dapat dihitung banyaknya dan tidak dapat dinilai tinggi mutunya, walaupun (orang musyrik) memandang hina dan tidak menghargai pemberian itu disebabkan kekurangan akal dan pengertian mereka.

Pemberian itu berupa kenabian, agama yang benar, petunjuk-petunjuk dan jalan yang lurus yang membawa kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

Orang-orang musyrik di Mekah dan orang-orang munafik di Medinah mencemoohkan dan mencaci-maki Nabi saw sebagai berikut:

Pertama, Pengikut-pengikut Muhammad saw terdiri dari orang-orang biasa yang tidak mempunyai kedudukan. Kalau agama yang dibawanya itu benar, tentu yang menjadi pengikut-pengikutnya orang-orang mulia yang berkedudukan di antara mereka. Ucapan ini bukanlah suatu keanehan, karena kaum Nuh juga dahulu kala telah menyatakan yang demikian kepada Nabi Nuh as sebagaimana firman Allah:

فَقَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ مَا نَرٰىكَ اِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرٰىكَ اتَّبَعَكَ اِلَّا الَّذِيْنَ هُمْ اَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِۚ وَمَا نَرٰى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍۢ بَلْ نَظُنُّكُمْ كٰذِبِيْنَ  ٢٧

Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.” (Hµd/11 : 27)

Sunnatullah yang berlaku di antara hamba-hamba Allah bahwa mereka yang cepat menerima panggilan para rasul adalah orang-orang biasa atau orang lemah karena mereka tidak takut kehilangan pangkat atau kedudukan, karena tidak mempunyai keduanya. Dari itu pertentangan terus-menerus terjadi antara yang merasa terpandang dengan para rasul, tetapi Allah senantiasa membantu para rasul-Nya dan menunjang dakwah mereka.

Begitulah sikap penduduk Mekah terhadap dakwah Nabi Muhammad. Pembesar-pembesar dan orang-orang yang berkedudukan tidak mau mengikuti Nabi karena benci kepada beliau dan terhadap orang-orang biasa yang menjadi pengikut beliau.

Kedua, orang-orang Mekah bila melihat anak-anak Nabi Muhammad meninggal dunia, mereka berkata, “Sebutan Muhammad akan lenyap dan ia akan mati punah.” Mereka mengira bahwa kematian itu suatu kekurangan lalu mereka mengejek Nabi dan berusaha menjauhkan manusia dari beliau.

Ketiga, orang-orang Mekah bila melihat suatu musibah atau kesulitan yang menimpa pengikut-pengikut Nabi, bergembira dan bersenang hati. Mereka menunggu kehancuran para pengikut Nabi, sehingga kedudukan mereka semula yang telah diguncangkan oleh agama baru itu kembali mereka peroleh.

Pada surah ini, Allah menyampaikan kepada rasul-Nya, bahwa tuduhan-tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang musyrik itu adalah suatu prasangka yang tidak ada artinya sama sekali.

Namun semua itu adalah untuk membersihkan jiwa-jiwa yang masih dapat dipengaruhi oleh isu-isu tersebut dan untuk mematahkan tipu daya orang-orang musyrik, agar mereka mengetahui  bahwa perjuangan Nabi saw pasti akan menang dan pengikut-pengikut beliau pasti akan bertambah banyak.

Al-Kautsar diartikan sebagai sungai di surga yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Muhammad, dan ada pula yang berpendapat bahwa al-kautsar bermakna kebaikan yang banyak.

Baca juga: Hubungan Unik Surat Al-Ma’un dan Al-Kautsar

Ayat 2

menyembelih hewan kurban karena Allah semata, karena Dia sajalah yang mendidiknya dan melimpahkan karunia-Nya. Dalam ayat lain, Allah berfirman:

قُلْ اِنَّ صَلَاتِيْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِيْ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ  ١٦٢

  لَا شَرِيْكَ لَهٗ ۚوَبِذٰلِكَ اُمِرْتُ وَاَنَا۠ اَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ   ١٦٣

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).” (al-An’am/6: 162-163)

Ayat 3

Sesudah Allah menghibur dan menggembirakan Nabi Muhammad serta memerintahkan supaya mensyukuri anugerah-anugerah-Nya dan sebagai kesempurnaan nikmat-Nya, maka Allah menjadikan musuh-musuh Nabi itu jadi hina dan tidak berdaya.

Siapa saja yang membenci dan mencaci Nabi akan hilang pengaruhnya dan tidak ada kebahagiaan baginya di dunia dan di akhirat. Sedang kebaikan dan hasil perjuangan akan tetap  jaya sampai hari Kiamat.

Orang-orang kafir Mekah mencaci Nabi Muhammad bukanlah karena mereka tidak senang kepada pribadi Nabi, tetapi karena beliau mencela kebodohan mereka dan mencaci berhala-berhala yang mereka sembah serta mengajak mereka untuk meninggalkan penyembahan berhala-berhala itu.

Sungguh Allah telah menepati janji-Nya dengan menghinakan dan menjatuhkan martabat orang-orang yang mencaci Nabi Muhammad, sehingga nama mereka hanya diingat ketika membicarakan orang-orang jahat dan kejahatannya. Adapun kedudukan Nabi saw dan orang-orang yang menerima petunjuk beliau serta nama harum mereka diangkat setinggi-tingginya oleh Allah sepanjang masa.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Kafirun Ayat 1-6

(Tafsir Kemenag)

Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran

0
Kisah pengkhianatan Samiri
Kisah pengkhianatan Samiri

Samiri disebut Al-Quran sebagai sebuah nama perorangan dan bukan julukan seperti Al-Quran menyebut Fir’aun yang merujuk pada julukan raja Mesir. Namun disebutkannya nama Samiri di dalam Al-Quran bukan dalam konotasi positif, yaitu menjadi teladan. Penyebutan nama Samiri dalam Al-Quran ternyata sebagai contoh seorang yang ingkar kepada Allah. Al-Quran bahkan mengisahkannya sebagai seorang penghasut kesesatan bagi teman-temannya, umat Nabi Musa, sehingga ia disebut sebagai penghianat. Kisah Pengkhianatan Samiri dalam Al-Quran terdapat pada rangkaian surah Thaha ayat 85-98.

Identitas Samiri menurut para mufassir

Lakon kisah Samiri dalam Al-Quran diceritakan dengan lakon Nabi Musa dan juga Nabi Harun. Ini menandakan bahwa Samiri hidup pada zaman Nabi Musa. Menariknya Al-Quran menyebut nama Samiri ini sebagai nama seseorang atau individu. Para mufassir pun mulai menyingkap identitas Samiri hingga beberapa riwayat israiliyyat juga ikut meramaikannya. Namun, di sini penulis hanya mengambil penjelasan mufassir yang mengenyampingkan riwayat israiliyyat.

Mengenai penafsiran ayat Al-Quran yang menyebutkan lafadz “samiry”, Quraish Shihab menjelaskan kata tersebut diambil dari lafadz “samirah”. Kata “samirah” tersebut adalah nama dari salah satu suku Bani Israil, sehingga Samiri merujuk pada salah seorang dari suku Samirah. Disebutkan juga oleh Ibnu Asyur dalam kitab tafsirnya al-Tahwir wa al-Tanwir bahwa suku tersebut bermukim di Palestina. Kemudian mereka berbaur dengan Bani Israil lalu mengikuti ajaran Nabi Musa meskipun dengan beberapa cara yang berbeda dengan Bani Israil.

Baca juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran menyatakan tiga pendapat mengenai Samiri ini. Pertama, ia merujuk riwayat Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa dulunya Samiri berasal dari suatu kaum yang menyembah anak sapi. Kemudian ia datang ke Mesir dan masuk agama Bani Israil meskipun dalam batinnya mereka masih senang menyembah anak sapi. Pendapat kedua mengatakan bahwa Samiri berasal dari suku Qibti, ia tetangga Nabi Musa, lalu beriman kepadanya dan ikut bersama Nabi Musa lari dari kejaran Fir’aun. Pendapat ketiga menyebutkan bahwa Samiri adalah seorang pemuda Bani Israil yang berasal dari kabilah Samirah, yaitu penduduk Karman yang tinggal di Syam.

Terlepas dari perbedaan asal mengenai Samiri, Buya Hamka dalam Tafsir al-Azhar menyimpulkan inti bahwa Samiri merupakan orang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Nabi Musa secara lahir saja. Dalam hatinya Samiri bermaksud melakukan tipu daya terhadap pengikut Nabi Musa yang lemah imannya untuk diajak menyembah selain Allah, yaitu anak sapi.

Kisah Pengkhianatan Samiri terhadap ajaran Nabi Musa

Dalam surah Thaha ayat 85 Allah mengisahkan cerita Nabi Musa yang menurut Al-Qurthubi sedang mengalami ujian dari-Nya, berupa fitnah. Quraish Shihab menyatakan bahwa lafadz “fatannaa” pada surah Thaha ayat 85 tersebut adalah jamak, yang itu mengisyaratkan bahwa adanya keterlibatan makhluk Allah dalam ujian tersebut. Artinya, bukan Allah yang menyesatkan kaum tersebut secara langsung melainkan adanya hasutan dari Samiri.

Fitnah tersebut dimulai tatkala Nabi Musa menunaikan janjinya kepada Rabbnya untuk bermunajat yang menurut penuturan Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Quran al-‘Ahdim selama empat puluh malam seraya berpuasa sepanjang hari. Sekembalinya Nabi Musa dari bermunajat, ia sangat marah karena mendapati kaumnya yang tidak lagi menyembah Allah, malah menyembah patung anak sapi.

Baca juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa

Sebagaimana dalam surah Thaha ayat 92-93, Nabi Musa marah kepada Nabi Harun. Ia bertanya kepada saudaranya tersebut mengapa ia membiarkan ketika melihat kesesatan kaumnya, padahal Nabi Harun sebelumnya telah diamanahi tampuk kepemimpinan risalah sepanjang Nabi Musa bermunajat. Namun, dalam surah Thaha ayat 94, Nabi Harun pun menjawab ajuan pertanyaan Nabi Musa tersebut dengan penuh hormat. Menurut penuturan Ibnu Katsir, Nabi Harun meminta meminta maaf akan hal tersebut seraya memberi penjelasan bahwa jika ia datang menemui Nabi Musa untuk melaporkan hal ini, bisa dipastikan kaumnya Bani Israil akan terpecah belah.

Dalam surah Thaha ayat 95, Nabi Musa kemudian bertanya kepada Samiri mengenai alasan perbuatannya. Seperti dalam surah Thaha ayat 95-95, Samiri menjawab “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak Rasul lalu aku melemparkannya dan demikianlah nafsuku membujukku”

Ath Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Takwil al-Qur’an menjelaskan ketika kaum Nabi Musa menyeberangi laut mereka tidak kuat membawa banyak perhiasan dari Bani Qibti Mesir, harta yang mereka ambil dari bala tentara Fir’aun yang tenggelam. Samiri mengambil kesempatan ini dan membujuk Bani Israil untuk membuang perhiasan tersebut untuk diserahkan kepada Samiri. Oleh Samiri perhiasan tersebut dilelehkan dengan api dan dibuat menjadi patung anak sapi emas. Sesuai dengan penjelasan Samiri kepada Nabi Musa, bahwa ia menggosokkan “jejak rasul” kepada patung tersebut yang akhirnya membuat patung itu bisa bersuara.

Baca juga: Kisah Masa Kecil Nabi Isa as dan Awal Mula Wahyu Turun Kepadanya

Ath-Thabari dan Al-Qurthubi memberikan pendapat senada bahwa “jejak rasul” yang dimaksud Samiri adalah ia melihat bekas kaki Jibril pada saat lautan terbelah oleh tongkat Nabi Musa dan menggelamkan bala tentara Fir’aun. Namun Buya Hamka dan menjelaskan bahwa yang diungkapkan Samiri kepada Nabi Musa adalah bohong. Buya Hamka berargumentasi bahwa tidak mungkin Samiri yang berhati kotor dapat melihat malaikat Jibril. Quraish Shihab mengatakan bahwa yang dilakukan Samiri hanyalah tipu daya semata.

Al-Quran menjelaskan akhir kisah ini dalam surah Thaha ayat 97. Di sana diceritakan bahwa setelah Samiri menjelaskan perbuatannya, Nabi Musa marah, lalu menyuruhnya pergi. Al-Qurthubi memberikan keterangan bahwa Samiri melarikan diri ke hutan belantara, ia hidup bersama hewan dan biantang di sana. Ia seperti hidup di pengasingan, karena manusia tidak ada yang menjamahnya. Sedangkan terhadap patung anak sapi tersebut, Nabi Musa memerintahkan untuk membakarnya dan membuang abunya ke laut.

Wallahu a’lam[]