Beranda blog Halaman 435

Tafsir Surat Al-Fatihah Ayat 6-7: Tunjukkanlah Kami ke Jalan Orang Yang Diberi Nikmat, Begini Penjelasannya

0
jalan orang yang diberi nikmat
tunjukkanlah kami ke jalan orang yang diberi nikmat

Allah swt berfirman di dalam Surat Al-Fatihah, mendorong kita agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang diberi nikmat. Kita yang sedang mencoba mendalami firman Allah mungkin akan merasa janggal dengan hal ini, mengapa dalam persoalan penting seperti meminta agar diberi jalan yang lurus, justru kita diarahkan pada persoalan nikmat? Mengapa tidak kepada ajaran mulia para nabi dan orang-orang salih?

Apakah persoalan nikmat memang lebih penting daripada soal ajaran semisal Syariat Islam? Bukankah persoalan nikmat adalah persoalan kesenangan-kesenangan duniawi serta nikmat surgawi, yang seharusnya tak sebanding dengan syariat yang diajarkan oleh Allah dan rasul-Nya? Ataukah ada persoalan nikmat yang tidak kita ketahui?

Komentar Pakar Tafsir Terkait “Orang-Orang Yang Diberi Nikmat”

Allah berfirman di dalam Surat Al-Fatihah ayat 6-7:

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (٦) صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ

Tunjukilah Kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka (QS. Al-Fatihah [01] 7).

Komentar beberapa pakar tafsir tidak secara jelas mengulas mengapa justru nikmat yang disinggung, bukan persoalan ajaran agama. Mereka hanya berkomentar tentang apakah itu jalan yang lurus? Dan siapakah mereka yang dimaksud orang yang telah diberi nikmat?

Ibn Katsir semisal, berkomentar bahwa cukup beragam ungkapan para ahli tafsir terkait tafsir dari kata “jalan”. Ada yang mengartikannya sebagai Kitab Allah, ada yang mengartikannya sebagai Tali Allah, dan ada juga yang memakai ungkapan “jalan yang sama sekali tidak ada sesuatu bengkok padanya”. Namun semuanya bisa dikatakan memiliki satu kesimpulan, bahwa jalan yang dimaksud adalah mengikuti Allah dan para utusan-Nya (Tafsir Ibn Katsir/1/137).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 10 -13: Syukurilah Nikmat Allah SWT, Jangan Sampai Mendustakannya

Sedang terkait “orang-orang yang diberi nikmat”, banyak yang mengkaitkannya dengan Surat An-Nisa’ ayat 69:

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيقًا

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya (Q.S. An-Nisa’ [04] 69).

Ayat tersebut menyatakan, mereka orang-orang yang diberi nikmat adalah para nabi, para siddiqin, para syuhada’ dan orang-orang soleh. Usai menyatakan hal itu, mereka berlanjut menerangkan tentang orang-orang yang dibenci serta orang-orang yang tersesat (Tafsir Ibn Katsir/1/140).

Keimanan Adalah Sebuah Nikmat

Hanya beberapa pakar tafsir yang menyinggung secara langsung mengapa nikmat lebih didahulukan dari persoalan ajaran. Diantaranya adalah Sayyid Thantawi dalam Tafsir Al-Wasith yang menyatakan, Allah tidak menyatakan jalan para nabi dan orang-orang salih sebagai ganti “jalan orang-orang yang diberi nikmat”, untuk menunjukkan bahwa mengetahui ajaran yang benar kemudian mau mengamalkannya pada hakikatnya adalah suatu nikmat yang besar (Tafsir Al-Wasith/1/9).

Sayyid Thanthawi kemudian mengutip keterangan beberapa ulama tentang mengapa kata “jalan” di dalam surat ke-7 disandarkan kepada orang yang diberi nikmat, bukan yang lain. Alasannya diantaranya adalah untuk menunjukkan persoalan penting yang harus diketahui oleh orang yang hendak mengikuti Allah serta rasul-Nya. Bahwa kesempatan atau kemauan diri mengikuti Allah dan rasul-Nya, pada hakikatnya adalah nikmat besar dari Allah yang harus disadari, disyukuri dan senantiasa diingat. Dan jangan terlena dengan kesempatan dapat berkumpul dengan para nabi dan orang-orang soleh.

Baca juga: Tafsir Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain

Imam Ath-Thabari berkata, Surat Al-Fatihah ayat-7 merupakan bukti jelas bahwa kemauan melaksanakan perintah Allah dan menjahui larangan-Nya, merupakan nikmat serta taufiq dari Allah kepada orang-orang yang dapat menjalankannya. Bukankah dalam ayat tersebut, Allah menyandarkan persoalan petunjuk, ketaatan serta ibadah kepada bagaimana Allah memberi nikmat kepada hamba-Nya (Tafsir Ath-Thabari/1/179).

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, kita tidak boleh lupa bahwa kemauan diri untuk mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya, adalah salah satu bentuk dari nikmat Allah. Bahkan nikmat terbesar. Persoalan mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya memang penting. Namun kita tidak boleh lupa. Di samping harus sekuat tenaga mengikuti ajaran Allah dan rasul-Nya, kita harus bersyukur diberi nikmat oleh Allah berupa kemauan dan kesempatan untuk mengikuti Allah dan rasul-Nya. Wallahu A’lam.

Hasiyah Al-Sawi: Penjelas Tafsir Jalalain Paling Populer di Indonesia

0
Hasiyah Al-Sawi: Penjelas Tafsir Jalalain
Hasiyah Al-Sawi: Penjelas Tafsir Jalalain

Dari sekian kitab penjelas Tafsir Jalalain, Hasiyah Al-Sawi merupakan kitab yang paling populer di Indonesia. Kitab ini digunakan di beberapa pesantren untuk bahan kajian, terlebih saat bulan Ramadhan. Hasiyah ini juga menjadi satu-satunya kitab penjelas Tafsir Jalalain yang dicetak penerbit lokal Indonesia. Paling tidak, jika kita mengetik kata kunci Hasiyah Tafsir Jalalain di google, maka yang keluar adalah Hasiyah Al-Sawi. Popularitas yang begitu tinggi, tentu membawa pertanyaan apa keunikan kitab ini?

Pertama kita perlu tahu penulisnya. Ia adalah Ahmad bin Muhammad al-Sawi Al-Misri Al-Khalwati Al- Maliki salah seorang pimpinan ulama Al-Azhar Kairo. Ia lahir pada tahun 1175 H/1761 M. di desa So’ al-Hijr dan wafat pada tahun 1241 H/1825 M. di Madinah. Tumbuh menjadi penganut tarekat, ia pun dikenal sebagai pembesar sufi, sekaligus mufassir. Dalam catatan sanad pendidikannya, ia pun tersambung pada dua penulis Tafsir Jalalain, yakni Jalaluddin Al-Mahalli dan Al-Suyuthi.

Kedua kita perlu mengetahui juga, mengapa kitab Hasiyah Al-Sawi begitu populer di Indonesia? Padahal kitab ini ditulis oleh ulama dari madzhab fiqh Maliki, sementara muslim di Indonesia bermadzhab fiqh Syafi’i. Nampaknya, hasiyah ini memiliki keistimewaan khusus yang mendukung pembelajaran tafsir di pesantren. Selain itu, karya ulama Al-Azhar memang lazim menjadi bahan kajian tanpa membedakan latar belakang madzhabnya.

Baca juga: Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im

Sejarah Penulisan Kitab Hasiyah Al-Sawi

Dalam muqaddimahnya, Syekh Al-Sawi begitu memuliakan ilmu tafsir. Ia menyebut bahwa tafsir adalah ilmu pengetahuan yang paling agung derajatnya. Dan pada zamannya, Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang populer dan mendapat perhatian lebih dari para pengkaji dan peneliti. Hingga ia diminta oleh seorang da’I yang tidak disebutkan namanya untuk membacaka Tafsir Jalalain. Ia pun membaca dan menuliskannya menjadi kitab Hasiyah ini.

Masih dalam muqaddimah itu, Syekh Al-Sawi menyebut kitab ini sebagai ringkasan dari karya gurunya Syekh Sulaiman Al-Jamal. Memang Syekh Sulaiman Al-Jamal juga menuliskan hasiyah Tafsir Jalalain dengan judul Al-Futuhat al-Illahiyah bitaudihi al-jalalain bi Daqa’iq al-Khafiyyah. Ia meringkas kitab gurunya karena ia menganggap karangan gurunya itu telah merangkum 20 kitab tafsir yang ia punya.

Ia pun menyebutkan 20 tafsir itu terdiri dari: Tafsir Al-Baidawi, Al-Khazin, Al-Khatib, Al-Samin, Abu Su’ud, Al-KAwasyi, Al-Bahr, Al-Nahr, Al-Saqiyah, Al-Qurtubi, Al-Kasyaf, Ibn ‘Atiya, Al-Tahrir, dan Al Itqan.

Baca juga: Inilah 16 Kitab Hasiyah Tafsir Jalalain dari Berbagai Madzhab (Part 2)

Ada salah satu catatan menarik mengenai tafsir ini. Muhammad Ali Iyyazi dalam Al-Mufassirun Hayatuhum wamanhajuhum menyebut bahwa kitab ini baru dicetak pada tahun 1988 M. Artinya, terdapat jarak selama 181 tahun dari waktu rampungnya penulisan. Namun karena begitu populernya, Imam Zaki Fuad dalam penelitiannya Kajian atas Kitab Hasiyah Al-Sawi ala Tafsir Al-Jalalain berasumsi bahwa sebelum adanya percetakan, sudah terjadi pengajian dengan menyalin ulang secara manual.

Keistimewaan Hasiyah Al-Sawi 

Hasiyah Al-Sawi disusun dengan metode tahlili, sebuah metode dengan analisis yang mendalam. Ia menggunakan berbagai disiplin ilmu untuk menganalisa suatu penafsiran. Tak heran jika banyak bahasan  fikih, nahwu, saraf, dan qiraat dalam kitabnya.

Selain itu, Al-Sawi memberikan narasi-narasi yang beragam. Ia tak hanya meringkas dari karya gurunya, namun juga mensyarah, mengoreksi, dan membandingkan dengan penafsiran-penafsiran lainnya. Karakter pengkritik, pensyarah, ahli bahasa, hingga sufistik pun ia sertakan.  Setidaknya itulah beberapa keistemawaan Hasiyah Al-Sawi sehingga sangat populer di Indonesia. Tentu, alangkah baiknya jika kita membaca lebih lanjut penjelas tafsir Jalalain ini. Semoga bermanfaat!

Wallahu a’lam[]

 

 

 

 

Metode tahlili, corak tafsir bil ra’yi

 

 

 

 

 

Mengenal Muhammad Arkoun serta Pemahamannya tentang Al-Quran

0
muhammad Arkoun
muhammad Arkoun

Muhammad Arkoun lahir pada tanggal 1 februari 1928 di Taourirt-Mimoun, Kabilia Al-Jazair, sebuah pegunungan berpenduduk Barber (sebutan untuk penduduk yang tesebar di Afrika bagian Utara) yang menggantungkan hidupnya pada hasil pertanian, peternakan dan perdagangan kerajinan tangan. Adapun bahasa yang dipakai oleh penduduk Barber adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).

Muhammad Arkoun dilahirkan dari keluarga yang merupakan tokoh masyarakat di daerahnya dan masih menggunakan bahasa asli Kabilia. Walaupun demikian sebagai putra Kabilia, Arkoun mempunyai pemahaman yang sangat baik tentang bahasa tak tertulis Kabilia dan bahasa Arab yang merupakan bahasa keagamaan tertulis. Selain itu, dalam menulis gagasannya ia seringkali menggunakan bahasa Prancis.

Kabilia adalah tempat pertama pendidikan formal dari tingkat dasarnya dimulai. Selanjutnya, ia pergi ke kota Pelabuhan Oran untuk menempuh pendidikan tingkat menengahnya. Setelah lulus dari pendidikan menengahnya, ia memilih University of Algiers untuk melanjutkan studi Sarjananya dengan mengambil konsentrasi Bahasa dan Sastra Arab sampai tahun 1954.

Sorbonne University Prancis adalah tempat selanjutnya yang dipilih oleh Arkoun untuk menempuh program Pascasarjana dengan konsentrasi yang sama. Dikarenakan merasa betah di Prancis, kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan program Doktoralnya. Tepat pada tahun 1969, Arkoun telah resmi menyandang gelar Doktor dalam bidang Sastra dengan desertasinya yang berjudul “L’Humanisme Arabe au IVe/ Xe Sience: Miskawayh Philosope et Historian” (Humanisme dalam Pemikiran Etika Miskawayh seorang pemikir Arab abad X Masehi yang menekuni bidang kedokteran dan filsafat).

Baca juga: Mengenal Toshihiko Izutsu, Poliglot Asal Jepang, Pengkaji Semantik Al-Quran

Sejak tahun 1961-1969, Arkoun sudah dipercaya untuk menjadi dosen pada Universitas tempat ia belajar. Pada tahun 1970-1972, Arkoun mengajar di Universitas Lyon, sebelum kemudian kembali ke Paris karena diberikan kepercayaan sebagai guru besar sejarah pemikiran islam di Universitas Sarbonne Prancis. Pada tahun 1972-1977

Arkoun menjadi guru bahasa Arab dan peradaban Islam di Universitas Paris VIII. Tidak hanya itu, Arkoun juga sering diundang dan menjadi dosen tamu pada sejumlah Universitas di luar Perancis, seperti University of California di Los Angeles, Princeton University, dan Temple University di Philadelphia.

Muhammad Arkoun adalah seorang ilmuan yang terkenal sangat produktif dalam menghasilkan karya sejak tahun 1970an, diantara karya-karyanya yang penting diketahui adalah Al Fikr Al Islami; Naqd Wa Ijtihad diterbitkan di Beirut, Al Fikr Al Islami; Qira’ah ‘Ilmiyyah diterbitkan di Beirut, Rethinking Islam Today diterbitkan di Washington, Pour Une Critique De La Islamique diterbitkan di Paris, L’ Islam Religion At Societe diterbitkan di Paris, dan Essais Sur La Pensee Islamique diterbitkan di Paris.

Pemahaman Muhammad Arkoun tentang Al-Quran

Sebelum mengkaji lebih jauh tentang pola pemahaman Arkoun terhadap Al-Quran, kiranya perlu diketahui terlebih dahulu bahwa menurut Arkoun sebagaimana dikutip oleh Ahmad Munir dalam Kritik Nalar Islam, Al-Quran adalah wahyu yang berfungsi sebagai amanat yang sangat kaya dan luas sehingga dapat diberikan makna konkret dalam setiap keadaan berbeda yang dilalui umat manusia. Dalam hal ini, Arkoun membedakan tiga tingkatan tentang wahyu sebagaimana berikut:

Tingkatan pertama, wahyu sebagai firman Allah Swt yang transenden, tidak terbatas, serta tidak diketahui oleh manusia. Untuk menunjukkan realitas wahyu semacam ini Arkoun sering menyebutnya dengan anggitan al-Lauh al-Mahfudh atau Umm al Kitab.

Tingkat kedua, menunjukkan penampakan wahyu dalam sejarah. Berkenaan dengan Qur’an, anggitan ini menunjukkan pada realitas firman Allah Swt sebagaimana diwahyukan dalam bahasa Arab kepada Nabi Muhammad Saw selama kurang lebih dua puluh tahun.

Baca juga: Massimo Campanini; Pengkaji Al-Quran Kontemporer dari Italia

Tingkat ketiga, menunjuk wahyu sebagaimana sudah tertulis dalam mushaf dengan huruf dan berbagai macam tanda yang ada di dalamnya. Berkenaan dengan Al-Quran, anggitan ini sering disebut oleh Arkoun sebagai Kanon Resmi Tertutup (Official Closed Canons) atau mushaf utsmani yang dipakai orang muslim sampai saat ini.

Selanjutnya, Muhammad Arkoun menelaah secara kritis terhadap pola pembacaan para mufassir sebelumnya hingga akhirnya ia menemukan pemahaman yang terbentuk oleh kebiasaannya yaitu selalu melakukan dialog dan interaksi dengan komunitas lain yang menunjukkan realitas hakiki sebuah dinamika pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya yaitu linguistik khususnya semiotika dan filsafat bahasa.

Analisis semiotika dalam pandangan Muhammad Arkoun membuat para peneliti mendekati suatu teks tanpa interpretasi tertentu sebelumnya. Walaupun demikian, fungsi analisis semiotik masih terbilang sangat terbatas. Arkoun memberikan argumen bahwa sampai dengan hari ini, semiotika masih mengabaikan sifat khusus dari teks-teks keagamaan dan para ahli semiotika.

Baca juga: Dr. Laleh Bakhtiar, Muslimah Amerika Perintis Psikologi Al-Quran Telah Berpulang

Oleh karena itu, Moh.Fauzan dan Muhammad Alfan dalam Dialog Pemikiran Timur Barat menyebutkan bahwa Muhammad Arkoun menawarkan dua tahapan dalam semiotika sebagaimana berikut:

Tahapan linguistik kritis

Pada tahapan yang pertama ini, Arkoun menggunakan sejumlah unsur linguistik yang biasa disebutnya dengan istilah modalisateur du discours (memeriksa tanda-tanda bahasa), yaitu determinan (Isim ma’rifat), kata ganti orang (dhomir), kata kerja (fi’il), kata benda (isim dan musamma), struktur sintaksis, struktur persajakan.  Pemeriksaan terhadap unsur-unsur tersebut bertujuan untuk menganalisis aktan-aktan yaitu pelaku yang melakukan tindakan yang berada dalam sebuah teks atau narasi. Menurutnya, semakin kita menegaskan modalisateur du discour maka kita semakin memahami maksud dari penuturnya.

Tahapan hubungan kritis

Pada tahapan yang kedua ini, Arkoun mengarahkannya pada petanda terakhir, tapi bukan berarti bertujuan untuk menapak tilas lewat peran-peran yang ada dalam teks. Adapun jalan yang dapat ditempuh untuk menemukan petanda terakhir adalah dengan  melalui eksplorasi historis yang bertujuan untuk membaca kembali salah satu khazanah tafsir klasik serta mencari petanda terakhir di dalamnya dan eksplorasi antropologis yang bertujuan untuk mencari petanda terakhir dengan teori-teori tentang mitos yang memperlihatkan bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai jenis simbol.

Wallahu a’lam[]

Kitab Al-Mutawakkili Karya As-Suyuthi: Mengenal Kosakata Serapan dalam Al-Quran

0
Kitab Al-Mutawakkili 2
Kitab Al-Mutawakkili 2

Imam As-Suyuthi merupakan seorang ulama yang banyak dirujuk oleh para pemikir Islam setelahnya, baik mutaakhirin maupun kontemporer, terutama dalam diskursus studi Al-Quran. Karya besarnya tentang tema tersebut antara lain kitab Al-Mutawakkili. Kitab ini yang akan diulas dalam tulisan ini.

Karya-karya As-Suyuthi yang lain yang juga cukup terkenal adalah Al-Itqan fi Ulum al-Quran, Lubab An-Nuqul fi Asbab An-Nuzul, Al-Muhadzdzab fi ma waqa’a fi Al-Quran min Al-Mua’rrab, dan Asrar Tartib Al-Quran dan Mufhamat Al-Aqran fi Mubhamat Al-Quran.

Bisa dikatakan, Imam As-Suyuthi adalah seorang ulama ensiklopedi cum prolifik, yang sama sekali tidak meninggalkan suatu fan ilmu, kecuali ikut berkontribusi dalam menuangkan pandangannya. Misalnya kitab Al-Asybah wa An-Nadhair (ushul fiqh).

Sebagaimana karya-karya Imam As-Suyuthi lainnya, kitab ini menarik sebab—sependek pembacaan saya—belum ada ulama lain yang mengarang karya dengan tema seperti ini. Bahkan ia menulis dua risalah sekaligus dalam mengupas tentang kata serapan dalam Al-Quran, yaitu kitab Al-Muhadzdzab dan kitab Al-Mutawakkili. Namun yang menjadi korpus tulisan ini hanya seputar risalah yang terakhir.

Risalah Al-Mutawakkili adalah kitab kecil yang termasuk pada bagian yang saling terkait dalam tema ulum al-quran, yang menjelaskan bermacam-macam bahasa non-Arab yang digunakan di dalam al-Quran.

Begini tajuk lengkapnya, al-Mutawakkili fii maa warada fi al-Quran bi al-Lughah al-Habasyiyyah wa al-Farisiyyah wa al-Hindiyyah wa al-Turkiyyah wa al-Zanjiyyah wa al-Nabthiyyah wa al-Qibthiyyah wa al-Suryaniyyah wa al-‘Ibraniyyah wa al-Rumiyyah wa al-Barbariyyah. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam Al-Quran dari bahasa Habsyi, Persia, Hindia, Turki, Zanji, Nabth, Qibthi, Suryani, Ibrani, Romawi, dan Barbar.

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

Ihwal Penamaan Kitab Al-Mutawakkili

Dalam naskah (pdf) yang dipublikasikan Perpustakaan Universitas Princeton, yang diterbitkan (cetak) oleh Maktabah al-Qudsiy wa al-Buraid, Damaskus, 1348 Hijriah atau 1929 Masehi, tercantum keterangan Imam As-Suyuthi mengenai alasan penamaan kitab belieu tersebut.

Model penamaan kitab Al-Mutawakkili ini juga lazim dipakai oleh kebanyakan ulama klasik. As-Suyuthi menuturkan bahwa penulisan risalah tersebut merupakan permintaan Amirul Mukminin Al-‘Abbasiy Al-Mutawakkil, keturunan paman Nabi Muhammad Saw, Sayyidina Abbas, untuk menghimpun dan mengidentifikasi lafal-lafal dalam al-Quran yang diadopsi dari bahasa selain Arab seperti Habsy, Persia, Koptik dan lain sebagainya.

Sebab itulah, penamaan kitab tersebut dinisbatkan kepada sosok yang meminta beliau untuk menuliskannya, yang tak lain adalah Amirul Mukminin Al-Mutawakkil. Model tersebut terinspirasi oleh Imam Abu Bakr al-Syasyi, yang mengarang sebuah kitab fikih atas perintah Khalifah al-Mustadhir Billah. Lalu kitab itu diberi tajuk al-Mustadhiriy.

Ada pula Imam Haramain. Beliau mengarang dua kitab fikih yang diberi nama masing-masing al-Ghiyatsiy dan al-Nidzamiyyah, merujuk pada sosok gubernur Ghiyats al-Din Nidzam al-Mulk. Lalu Imam Ibn Faurak yang mengarang kitab ushul al-din berjudul al-Ghiyatsiy yang dinisbatkan kepada sosok yang sama dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Baca Juga: Kosa Kata Bahasa Asing dalam Al-Quran

Kontroversi Ta’rib dalam Al-Quran

Seperti bahasa pada umumnya, bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Quran tidak bisa lepas dari saling mempengaruhi dan menyerap dari bahasa asing yang lazim diistilahkan dengan at-ta’rib, arabisasi. Hal tersebut tidak lain disebabkan adanya persinggungan antara bangsa Arab dengan bangsa lainnya. Sebut satu contoh saja adalah adanya transaksi perdagangan antar bangsa.

Lebih jauh, sejak zaman jahiliyah atau sebelum turunnya Al-Quran, bahasa Arab telah mengalami proses ta’rib. Hal itu dapat dilihat dari bahasa syair-syair jahili. Kendati demikian, keberadaan kosakata serapan dalam Al-Quran yang merupakan kalamullah masih menjadi perdebatan yang panjang di kalangan cendekiawan muslim.

Baca Juga: Kata-Kata Asing dan Cikal Bakal Kamus Al-Quran

Secara garis besar, perbedaan pendapat tersebut dapat dibagi menjadi empat kelompok. Pertama, mereka yang menolak adanya ta’rib dalam Al-Quran seperti Imam As-Syafii, Abu Ubaidah, Qadhi Abu Bakar dan Ibnu Faris. Mereka mendasarkan pendapat mereka pada firman Allah QS. Yusuf [12]: 2,

 إِنَّآ أَنزَلۡنَٰهُ قُرۡءَٰنًا عَرَبِيّٗا لَّعَلَّكُمۡ تَعۡقِلُونَ ٢

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.”

Kedua, mereka yang berpendapat bahwa ada kata-kata asing (gharib) dalam al-Quran, tetapi tidak berarti keluar dari kearabannya, sebagaimana kata Arab dalam syair Persia, misal, tidak menjadikannya keluar dari ke-persia-annya. Mereka berargumen dengan firman Allah QS. Ibrahim [14]: 4,

وَمَآ أَرۡسَلۡنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوۡمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمۡۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهۡدِي مَن يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ ٤

“Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.”

Ketiga, Mereka yang mengatakan bahwa ada kesamaan bahasa antara bangsa-bangsa non-Arab ketika itu. Ibnu Jarir, sebagai yang memegang pendapat ini mengatakan bahwa kata-kata asing (gharib) dalam al-Quran bukanlah asing dalam arti sebenarnya, namun itu hanyalah fenomena kesamaan bahasa, di mana bangsa-bangsa lainnya juga menggunakannya.

Keempat, mereka adalah golongan yang menengahi ketiga pendapat sebelumnya. Mereka merumuskan bahwa semua kata-kata al-Quran adalah bahasa Arab, termasuk yang telah di-ta’rib, karena kata-kata asing itu telah mengalami arabisasi dan jamak dipakai oleh bangsa Arab jauh sebelum turunnya al-Quran.

Golongan ini juga membagi ta’rib menjadi dua; ta’rib makna (membuat isim Arabiy sebagai ganti isim A’jamiy) dan ta’rib isti’mal (membuat isim A’jamiy menjadi A’rabiy dengan mengikuti pakem pola Arab).

Baca Juga: Mengenal Kamus Fathurrahman, Memudahkan Melacak Kosakata Dalam Al-Quran

Kosakata Mu’arrab dalam Al-Quran

Di antara keempat golongan di atas, Imam As-Suyuthi adalah salah satu ulama yang menempati golongan keempat, yang menjadi penengah. Selanjutnya beliau mengklasifikasi tipologi kosakata mu’arrab berdasarkan bangsa asal kosakata tersebut. Ada sebelas bangsa yaitu, Ethiopia (Habsy), Persia, Romawi, India, Suryani, Ibrani, Nabtain (Lebanon), Koptik, Negro dan Turki serta Barbar.

Klasifikasi tersebut dilakukan Imam As-Suyuthi secara teliti dan mendalam. Beliau bukan hanya mendasarkan klasifikasinya itu pada syair-syair, atau atas persepsi subyektifnya, akan tetapi juga mendasarkan pada keterangan sanad dan riwayat dair para Sahabat, Tabiin, dan generasi-generasi selanjutnya.

Kita sebut beberapa contoh saja. Di antara kosakata al-Quran yang berasal dari Persia adalah Sijjil (QS. Al-Fil [105]: 4), Abariq (QS. Al-Waqiah [56]: 18), Zanjabil (QS. Al-Insan [76]: 17), dan Kafur (QS. Al-Insan [76]: 5).

تَرۡمِيهِم بِحِجَارَةٖ مِّن سِجِّيلٖ ٤

بِأَكۡوَابٖ وَأَبَارِيقَ وَكَأۡسٖ مِّن مَّعِينٖ ١٨

وَيُسۡقَوۡنَ فِيهَا كَأۡسٗا كَانَ مِزَاجُهَا زَنجَبِيلًا ١٧

 إِنَّ ٱلۡأَبۡرَارَ يَشۡرَبُونَ مِن كَأۡسٖ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا ٥

Dari semua riwayat yang tertulis dalam kitab Al-Mutawakkili, kurang lebih 129 kosakata mu’arrab dirangkum oleh Imam As-Suyuthi menjadi sebuah gubahan nazam dalam kitab Al-Muhadzdzab fi Maa Waqa’a fi al-Quran min Al-Mu’arrab. Wallahu a’lam.

Mengenal Kitab Ilmu At-Tafsir: Referensi Dasar Ilmu Tafsir

0
Ilmu At-Tafsir
Ilmu At-Tafsir

Salah satu kitab dasar dalam bidang ilmu tafsir yang dipakai oleh lembaga pendidikan pesantren, adalah kitab berjudul Ilmu At-Tafsir. Kitab karya Imam As-Suyuthi ini merupakan sebuah kitab yang cukup lengkap mengulas poin-poin penting dalam Ilmu Tafsir, meski secara ukuran tidak terlalu tebal dan paparannya cenderung ringkas, tidak terlalu mendetail.

Kitab ini menjadi materi pelajaran paling dasar tentang Ilmu Tafsir di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Tulisan ini akan mencoba mengulas lebih dalam seluk beluk tentang kitab ini.

Baca Juga: Mengenal Alfiyah di Bidang Ilmu Tafsir Karya Al-Iraqi

Karya Cuplikan

Kitab Ilmu At-Tafsir yang penulis ulas dalam tulisan ini adalah kitab yang dipakai dan dicetak sendiri oleh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Kitab ini terdiri dari 76 halaman dengan sebuah pendahuluan di depannya dan tulisan di sampul yang berbunyi manqul min kitab itmam ad-dirayah (dicuplik dari kitab Itmam Ad-Dirayah).

Di bagian pendahuluan, sang penukil juga memberikan keterangan bahwa kitab tersebut adalah muqtathafat atau beberapa cuplikan dari kitab Itmam Ad-Dirayah (Ilmu At-Tafsir/4).

Dua fakta ini menunjukkan bahwa karya ini disusun pada mulanya tidaklah tipis seperti sekarang. Namun merupakan bagian dari kitab cukup tebal berjudul Itmam Ad-Dirayah yang merupakan karya Imam As-Suyuthi (w. 911 H.). Itmam Ad-Dirayah sendiri adalah sebuah kitab syarah dari kitab matan berjudul An-Nuqayah yang juga merupakan karya Imam As-Suyuthi.

Bila kitab Ilmu At-Tafsir dicuplik dari kitab Itmam Ad-Dirayah, apakah berarti Itmam Ad-Dirayah sebuah kitab khusus tentang ilmu tafsir? Jawabannya adalah “tidak”. An-Nuqayah yang merupakan kitab matan dari Itmam Ad-Dirayah, merupakan sebuah kitab yang berusaha mengenalkan 12 bidang ilmu kepada pembacanya.

An-Nuqayah mengenalkan: 1) Ilmu Usuluddin; 2) Ilmu Tafsir; 3) Ilmu Hadis; 4) Ilmu Usul Fikih; 5) Ilmu Faraid; 6) Ilmu Nahwu; 7) Ilmu Tashrif; 8) Ilmu Khath; 9) Ilmu Ma’ani; 10) Ilmu Bayan; 11) Ilmu Badi’; dan 12) Ilmu Tasawuf. Pada perkembangannya Imam As-Suyuthi menambahkan 13) Ilmu Kedokteran; dan 14) Ilmu Anatomi.

Baca Juga: Jalaluddin As-Suyuthi: Pemuka Tafsir yang Multitalenta dan Sangat Produktif

D. Mamduh Al-Qahthani, seorang peneliti tentang kajian ilmu tafsir dalam kitab Itmam Ad-Dirayah menemukan infomasi menarik, berdasar informasi tahun lahir Imam As-Suyuthi dan tahun dimana kitab An-Nuqayah di tulis, diperkirakan Imam As-Suyuthi menyusun kitab tersebut pada umur 22 tahun.

Hal ini cukup mengejutkan mengingat kitab yang ditulis di umur yang masih amat muda tersebut, masih menjadi karya penting yang dikaji oleh banyak orang hingga sekarang. Ditambah lagi banyaknya ulama’ yang menggubahnya menjadi syair, memberi syarah sampai memberi hasyiyah (Ilmu At-Tafsir Min An-Nuqayah/11).

Keistimewaan Kitab “Ilmu At-Tafsir”

D. Mamduh Al-Qahthani menyatakan bahwa ulasan ilmu tafsir yang ditulis oleh Imam As-Suyuthi di dalam An-Nuqayah, banyak terpengaruh oleh Mawaqi’ Al-Ulum Fi Mawaqi’ An-Nujum karya Jalaluddin Al-Bulqini (w. 824 H.)

Namun sepertinya Imam As-Suyuthi banyak melakukan modifikasi terhadap kitab Mawaqiul Ulum yang mencakup tambahan keterangan serta kritikan. Selain itu, An-Nuqayah merupakan karya ilmu tafsir yang disusun Imam As-Suyuthi sebelum karya lainnya berjudul Tahbir dan Al-Itqan yang cukup terkenal di bidang ilmu tafsir.

Ini menunjukkan bahwa keterangan ilmu tafsir dalam kitab An-Niqayah merupakan hasil penelitian intensif Imam As-Suyuthi terhadap kajian ilmu tafsir di masanya, sekaligus rintisan awalnya terhadap karya-karyanya dalam bidang ilmu tafsir yang lahir setelah An-Nuqayah.

Bentuk An-Nuqayah yang seperti ini kemudian disempurnakan oleh kitab syarah yang disusunnya sendiri berjudul Itmam Ad-Dirayah, sebelum kemudian kajian tafsir di dalamnya disendirikan menjadi kitab Ilmu At-Tafsir.

Berbagai uraian di atas memberi tahu kita tentang beberapa hal. Di antaranya adalah, bahwa kitab Ilmu At-Tafsir penting untuk dijadikan pertimbangkan sebagai materi dasar pengenal ilmu tafsir kepada para pengkaji ilmu-ilmu keislaman.

Selain itu, kita tidak perlu ragu untuk sekedar mencuplik beberapa keterangan untuk dijadikan materi bahan ajar, seperti inisiatif dari sang penukil dari kitab Ilmu At-Tafsir ini. Wallahu A’lam.

Kajian Semantik Kata Nikmat dalam Al-Quran: Perbedaan Kata An-Ni’mah dan An-Na’im

0
Nikmat dalam Al-Quran
Nikmat dalam Al-Quran

An-Ni’mah dan An-Na’im merupakan dua kosa kata yang kerap digunakan oleh Al-Quran. Kedua kosa kata ini jika ditelusuri dalam kamus-kamus bahasa Arab maka ditemukan bahwa keduanya merupakan kata yang berasal dari maddah al-kalimah (struktur pembentuk kata) yang sama yakni na-‘a-ma dan makna yang sama. Keduanya punya semangat makna yang sama pula yaitu nikmat. Seperti apa spesifikasi nikmat dalam Al-Quran yang dibedakan dalam dua istilah di atas?

Keduanya menunjukkan pada istilah nikmat dalam Al-Quran. Namun apabila keduanya ditelusuri penggunaannya secara spesifik di dalam Al-Quran dengan mempertimbangkan siyaq al-nash (konteks kebahasaan dalam teks) maka dapat dijumpai perbedaan keduanya secara jelas.

Baca Juga: Kajian Semantik: Makna Kata Jannah dalam Al-Qur’an

Nikmat dalam Al-Quran yang disampaikan melalui kata an-ni’mah baik itu berbentuk mufrad ataupun jama’ menurut Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi dalam karyanya al-I’jaz al-Bayani lil Qur’an memiliki arti spesifik yaitu kenikmatan duniawi yang bermacam-macam bentuknya. Kata an-ni’mah sendiri ini juga terdapat di 15 tempat dalam Al-Quran.

Salah satu contohnya pada QS. Al-Muzammil [73]: 11:

وَذَرْنِيْ وَالْمُكَذِّبِيْنَ اُولِى النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيْلًا

Dan biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki segala kenikmatan hidup, dan berilah mereka penangguhan sebentar.

Al-Thabari menafsirkan اُولِى النَّعْمَةِ sebagai orang yang memiliki segala kenikmatan hidup di dunia. Berbeda halnya dengan lafad an-na’im yang dalam Al-Quran dipergunakan untuk menunjukkan kenikmatan akhirat dan kebanyakan dipasangkan dengan kata jannah. Kata an-na’im sendiri terulang sebanyak 16 kali dalam Al-Quran. Inilah bagian kedua term tentang nikmat dalam Al-Quran.

Salah satu contohnya dalam QS. Luqman [31]: 8:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَهُمْ جَنّٰتُ النَّعِيْمِۙ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka akan mendapat surga-surga yang penuh kenikmatan

Baca Juga: Kajian Semantik Pasangan dalam Al-Quran: Perbedaan Al-Ba‘l dan Al-Zauj

Secara dzahir ayat dapat diketahui bahwa makna an-na’im dalam ayat tersebut menunjuk pada kenikmatan yang didapatkan di surga kelak.

Namun teori tersebut mengalami anomali tatkala menjumpai QS. At-Takatsur [102]: 8:

ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ

kemudian kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).

Dalam Gharib Al-Quran dikatakan bahwa an-na’im dalam ayat tersebut dimaknai sebagai kenikmatan yang diberikan Tuhan kepada manusia berupa keamanan, keluarga, makanan dan segala jenis kenikmatan dunia lainnya. Maka ayat ini mungkin bisa saja menjadi penggagal dari hipotesis yang menyatakan bahwa kata an-na’im selalu dimakna sebagai kenikmatan ukhrawi dalam Al-Quran.

Namun Aisyah Abdurrahman Bintu Syathi menyatakan bahwa sejatinya ayat ini jika dicari sirr al-bayan-nya (penjelasan tersirat), maka didapati bahwa kata al-na’im tetap merujuk pada makna kenikmatan ukrawi.

Ia menjelaskan bahwa orang-orang yang telah tersilaukan dengan kemegahan duniawi, nantinya saat mereka telah melihat neraka Jahim dengan mata kepala mereka sendiri, akan ditanyai tentang apa itu kenikmatan yang haqq (sesungguhnya).

Maka pada saat itu pula mereka juga akan mendapat ilma al-yaqin (pengetahuan yang sebenar-benarnya) bahwa kenikmatan yang sesungguhnya itu ialah kenikmatan akhirat yang telah mereka sia-siakan karena tersilaukan dengan kemegahan dunia.

Baca Juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Oleh karena itu meskipun secara umum, kata an-ni’mah dimaknai sebagai kenikmatan dunia yang membuat seseorang melupakan kenikmatan sejati yakni akhirat, namun dari sirr al-bayan yang dijabarkan Bintu Syathi bisa menjadi salah satu referensi menarik bahwa ternyata teorinya bahwa an-na’im selalu dimaknai dengan kenikmatan ukhrawi mungkin tepat.

Sebenarnya upaya untuk menjelaskan perbedaan kosa kata yang sering dianggap memiliki makna yang sama (taraduf) dalam Al-Quran adalah untuk menunjukkan dan meneguhkan aspek al-i’jaz al-balaghy (mukjizat kebahasaan) dalam Al-Quran.

Hal ini juga mencegah terjadinya simplifikasi pemaknaan atau penerjemahan Al-Quran. Di mana dalam tulisan ini dibuktikan bahwa dua kata yang berasal dari maddah al-kalimah yang sama saja, bisa memiliki spesifikasi makna yang berbeda dan tidak bisa dipukul rata pemaknaannya. Wallahu A’lam.

Bacaan Ayat Al-Quran Agar Hubungan Suami Istri Harmonis

0
Keharmonisan Suami Istri
Keharmonisan Suami Istri

Hubungan suami istri yang harmonis adalah impian setiap pasangan, baik yang baru menikah ataupun yang sudah lama menikah. Sebab, dengan keharmonisan suami istri berbagai masalah rumah tangga akan mudah dihadapi secara bersama-sama. Namun pada faktanya, keharmonisan suami istri ini seringkali tidak bisa tercapai karena alasan-alasan tertentu seperti kesibukan, kurangnya komunikasi dan sebagainya.

Ada banyak hal yang mencegah atau merusak keharmonisan suami istri, misalnya – sebagaimana disebutkan dokter Ryan Thamrin (alm) – pertama, rasa jenuh dengan pasangan. Kedua, suasana monoton yang muncul akibat kebersamaan yang cukup lama. Sedangkan faktor ketiga adalah fisik, yakni hilangnya daya tarik terhadap pasangan. Faktor keempat lebih bersifat psikologis yakni komunikasi dengan pasangan.

Dari keempat faktor tersebut, yang paling mendasar dan berbahaya adalah faktor komunikasi. Ada banyak permasalahan rumah tangga yang berawal dari kurangnya komunikasi antara suami istri dan itu seringkali tidak didasari oleh keduanya jika tidak ada tindakan introspeksi. Karena itu, faktor ini kerap dianggap sebagai silent killer (pembunuh diam-diam) terhadap keharmonisan suami istri.

Keharmonisan suami istri sebenarnya merupakan salah satu tujuan berumah tangga dalam Islam. Oleh karenanya, baik suami maupun istri harus berusaha sebaik mungkin untuk mencapai tujuan tersebut. Keduanya tidak boleh melakukan hal-hal yang dapat mendistorsi atau mereduksi keharmonisan rumah tangga apalagi melakukan sesuatu yang dilarang oleh Agama.

Upaya menjaga kemesraan dan ikatan emosional dengan pasangan, dapat dilakukan dengan berbagai cara. Mulai dari hal sederhana, seperti mengucap kata sayang, mendengar keluh kesah pasangan, memberi sentuhan mesra satu sama lain, hingga memuji kelebihan pasangan. Selain itu, suami istri harus terbuka dan menjalin komunikasi yang baik. Karena inilah kunci utama membangun keharmonisan rumah tangga.

Baca Ayat ini Agar Hubungan Suami Istri Harmonis

Selain usaha membangun keharmonisan rumah tangga melalui komunikasi yang baik, interaksi yang berkesan, dan saling mengasihi, kita (umat Islam) juga dapat menambah usaha tersebut dengan berdoa kepada Allah swt agar  Dia memberikan kedamaian, ketenangan dan berbagai kebaikan yang semestinya ada dalam rangka menjaga keharmonisan rumah tangga.

Imam al-Ghazali menyebutkan dalam kitab adz-Dzahabul Ibris bahwa ayat Al-Qur’an dapat digunakan sebagai sarana atau washilah doa guna menjaga keharmonisan rumah tangga. Ayat yang dapat dibaca adalah surat adz-Dzariyat [51] ayat 47 untuk suami dan surat adz-Dzariyat [51] ayat 48 untuk istri. Melalui bacaan tersebut diharapkan Allah swt mewujudkan keharmonisan suami istri.

Amalan ini al-Ghazali dapatkan dari kisah Hasan al-Bahsri. Diriwayatkan bahwa ia pernah diadukan mengenai seorang laki-laki yang menikahi perempuan lalu ia berpaling dan tidak mau menggaulinya. Melalui seorang perantara, sang suami serta istri mengadu dan meminta saran kepada beliau agar masalah tersebut dapat diselesaikan dengan baik, tanpa merusak hubungan keduanya.

Mendengar cerita ini, Hasan al-Bashri lantas berkata, “Bawakan kepada saya dua buah telur yang dipanggang.” Dua buah telur lalu diberikan kepada Hasan al-Bashri dan beliau membelah keduanya tepat di tengah-tengah. Beliau kemudian menuliskan pada salah satu telur tersebut surat adz-Dzariyat [51] ayat 47 yang berbunyi:

وَالسَّمَاۤءَ بَنَيْنٰهَا بِاَيْىدٍ وَّاِنَّا لَمُوْسِعُوْنَ ٤٧

Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. adz-Dzariyat [51] ayat 47).

Kemudian Hasan al-Bashri memberikan telur itu kepada lelaki (sang suami). Lalu beliau menuliskan pada telur yang lain urat adz-Dzariyat [51] ayat 48 yang berbunyi:

وَالْاَرْضَ فَرَشْنٰهَا فَنِعْمَ الْمٰهِدُوْنَ ٤٨

Dan bumi Kami hamparkan; maka (Kami) sebaik-baik yang telah menghamparkan.” (QS. adz-Dzariyat [51] ayat 48).

Kemudian Hasan al-Bashri memberikan telur terakhir kepada perempuan (sang istri). Beliau meminta kepada keduanya agar memakan kedua telur tersebut. Ketika keduanya memakan terlur itu, Hasan al-Bashri berkata, “Pergilah kalian berdua dan carilah apa yang dicari manusia.” Lantas keduanya pergi dan seolah-olah lepas dari ikatan belenggu. Sehingga keduanya mencapai apa yang mereka inginkan selama ini.

Dari riwayat kisah tersebut, imam al-Ghazali berkesimpulan bahwa bacaan surat adz-Dzariyat [51] ayat 47 untuk suami dan bacaan surat adz-Dzariyat [51] ayat 48 untuk istri dapat membantu keharmonisan rumah tangga. Melalui dua ayat tersebut (sebagai doa), diharapkan Allah swt memberikan ketenangan, kedamaian, dan berbagai kebaikan guna mewujudkan keharmonisan suami istri.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa keharmonisan rumah tangga dapat dicapai melalui berbagai cara. Mulai dari hal sederhana, seperti mengucap kata sayang, mendengar keluh kesah pasangan, memberi sentuhan mesra satu sama lain, hingga memuji kelebihan pasangan. Selain itu, suami istri harus terbuka dan menjalin komunikasi yang baik.

Disamping itu semua, pasangan suami istri harus mengatasi berbagai faktor yang dapat merusak keharmonisan rumah tangga, seperti rasa bosan, komunikasi yang buruk, egosentris, tindakan kasar, tidak perhatian dan sebagainya. Keduanya juga dapat berdoa kepada Allah swt agar Dia memberikan ketenangan, dan ketentraman dalam segala kondisi serta berbagai kebaikan supaya keduanya bisa harmonis dan langgeng dunia akhirat. Aamiin, wallahu a’lam.

Inilah Ragam Pendapat Ulama Tentang Muhkam dan Mutasyabih

0
muhkam dan mutasyabih
muhkam dan mutasyabih

Dalam pembahasan ulumul Quran, kita mengenal istilah muhkam dan mutasyabih. Apa itu muhkam dan mutasyabih dan bagaimana pendapat ulama terkait keduanya? Berikut ulasannya di bawah ini.

Term muhkam dan mutasyabih merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Muhammad Bakar Isma’il dalam Dirasat fi ‘Ulum Al-Quran mengatakan menurut ahli tafsir, muhkam secara bahasa berasal dari kata al-Itqan dan al-Ihkam. Al-Itqan artinya lafal yang mengokohkan sesuatu atau perkatan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah atau urusan yang lurus dari yang sesat.

Sedangkan muhkam yang berasal dari kata al-Ihkam, menurut Manna Khalil Qattan dalam Mabahits-nya, artinya seperti lafal “saya menahan binatang itu”. Al-Hukm berarti memutuskan dua perkara, maka kata “hakim” bearti orang yang mencegah kezaliman dan memisahkan atau mendamaikan kedua pihak yang bersengketa atau berseteru. Pengertian tersebut senada dengan Nashiruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, di mana seseorang dapat tercegah dari berbuat sesuatu di luar ketentuan tersebut dan ketentuan itu harus sesuatu yang jelas.

Adapun term mutasyabih secara etimologi berasal dari kata at-tama’sil. Dalam term yang lain disepadankan dengan kata tasyabuh (menyerupai yang lain). Jika diderivasikan, syubhah adalah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakann dengan yang lain karena ada kemiripan (similatiry).

Menurut Az-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran, mutasyabih juga berarti samar, yang membawa pada keraguan. Munculnya keraguan karena adanya kemiripan kedua benda tersebut sehingga sulit untuk mencari perbedaannya. Sebagai contoh, firman Allah swt yang berbicara tentang buah-buahan di surga, itu serupa atau sepadan dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat.

Baca juga: Ayat-ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah

Ragam Pendapat Ulama

Dalam kajian ilmu tafsir, persoalan muhkam dan mutasyabih telah memunculkan banyak pendapat dan opini dikalangan ahli tafsir. Al-Quran telah memuat kedua terminologi tersebut yaitu Q.S. Ali Imran [3]: 7,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Ayat di atas memuat istilah muhkamat dan mutasyabihat dalamm posisi paradoks. Istilah pertama berkonotasi pada sesuatu yang jelas dan terang dalalahnya, sementara yang kedua menunjukkan kepada sesuatu yang samar dalalahnya.

Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah apakah Al-Quran seluruhnya muhkam atau semuanya mutasyabih atau mengandung muhkam mutasyabih secara bersamaan? Bermula dari pertanyaan ini, para ulama berbeda-beda menyikapinya. (Amir ‘Abdul Aziz dalam Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, Subhi as-Salih dalam Mabahis fi ‘Ulum Al-Quran, Muhammad ‘Abdul ‘AzIm az-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum Al-Quran)

Pertama, Al-Quran mengandung muhkam dan mutasyabih. Asumsi ini didasarkan pada Q.S. Ali Imran: 7,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ

Ayat tersebut secara jelas memuat istilah muhkamat dan mutasyabihat. Hal ini secara jelas pula mengungkapkan pola yang terkandung dalam Al-Quran.

Kedua, bahwa Al-Quran seluruhnya bersifat muhkam. Dasar asumsi ini berasal dari Q.S. Hud [11]: 1,

الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اُحْكِمَتْ اٰيٰتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍۙ

Asumsi ini juga bermakna bahwa Al-Quran seluruhnya muhkam dalam artian kata-katanya tetap fasih, membedakan yang hak dan batil, antara yang benar dan dusta. Menurut al-Qattan, inilah yang dimaksud dengan al-Ihkam al-‘amm atau muhkam dalam pengertian yang umum.

Baca juga: Ketahui Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabihat dalam Al-Quran

Ketiga, bahwa Al-Quran seluruhnya bersifat mutasyabih. Asumsi ini didasarkan pada Q.S. Az-Zumar: 23,

اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ۚ

Maksud dari asumsi ini adalah Al-Quran sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain dalam hal kesempurnaan dan keindahan, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, serta sesuai pula maknanya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam artian umum.

Dari ketiga pendapat tersebut, nampaknya asumsi atau pendapat pertamalah yang banyak dibahas lebih mendalam dan mendetail oleh para ahli tafsir. Persoalan yang kemudian muncul dari asumsi tersebut adalah terkait pengertian muhkam dan mutasyabih, bagaimana cara berinteraksi atau berdialektika dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Dari sini juga memunculkan ragam pendapat yang tak kalah serunya.

Ibnu Abbas, misalnya, berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat adalah menjelaskan apa yang dihalalkan dan diharamkan, yang belum dibatalkan dan yang harus diimplementasikan (mubayyinat bil halal wal haram lamm tunsakh yu’malu biha). Contoh kategori ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung prinsip bagi manusia, seperti anti kemusyrikan, berbakti kepada orang tua, larangan membunuh, berzina, mencuri dan seterusnya.

Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung huruf terpisah, seperti huruf muqatha’ah, alif-lam-mim-, shad, nun yang berada pada awal surat Al-Quran dan dikenal dengan fawatih al-suwar. Selain itu ayat-ayat yang sudah dibatalkan dan yang tidak dilaksanakan juga termasuk dalam kategori mutasyabihat.

Pendapat yang berbeda pun dikemukakan oleh Al-Qaradawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a Al-Quran al-Adzim, ia berpendapat bahwa muhkam adalah ayat yang jelas dengan sendirinya menunjukkan pada maknanya dengan terang, dan tidak memperlihatkan kesamaran baik dari segi lafal ataupun dari segi makna. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah lafal yang sukar dalam penafsirannya karena adanya keserupaan dengan yang lain, baik dari segi lafal ataupun makna. Wallahu A’lam.

Tafsir al-Azhar (2): Bolehkah Malafalkan Bacaan Salat Selain Bahasa Arab?

0
Bolehkah Malafalkan Bacaan Salat Selain Bahasa Arab?
Bolehkah Malafalkan Bacaan Salat Selain Bahasa Arab?

Jika dalam pembahasan sebelumnya memaparkan penjelasan Buya Hamka pada kitab Tafsirnya terkait penggunaan bahasa lokal untuk mengagungkan Allah, tulisan sebelumnya ada di sini, lalu apakah boleh menggunakan bahasa lokal atau selain bahasa Arab ketika salat?

Pembahasan ini masih dalam tafsiran surat al-Fatihah. Di pembahasan ini juga, Buya Hamka memberikan penjelasan dengan memotret peristiwa yang terjadi saat itu. Buya Hamka mengaitkannya dengan isu yang beredar, yakni sebuah “usulan” dari luar, untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam bacaan salat. Dengan dalih guna mempertahankan bahasa nasional.

Jika “usulan” tersebut disetujui, maka terancamlah kita, kata Buya Hamka. Karena akan memutuskan umat muslim dari pangkal agama dan keorisinalitasan ayat seperti yang diterima oleh Nabi Muhammad Saw.

Baca juga: Tafsir Al-Azhar (1): Penggunaan Bahasa Lokal dalam Mengagungkan Nama Allah

Menurut Buya Hamka, “usulan” untuk menggunakan bahasa selain bahasa Arab ketika melangsungkan salat merupakan sisa-sisa dari bentuk penjajahan yang berupaya merubah cara berpikir kita. Itu memang tujuan dari bangsa penjajah, yakni terus mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab, agar bahasanya sendiri bisa membumi.

Pada saat itu, tidak hanya bahasa Arab yang ingin dihilangkan oleh para bangsa penjajah, namun juga bahasa nasional kita, bahasa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan Buya Hamka,

Di dalam bangsa penjajah mencoba menghilangkan pengaruh bahasa Arab itu, penjajah berusaha keras memasukkan bahasanya sendiri. Sampai saat sekarang ini (1965), sudah 20 tahun kita mencapai kemerdekaan bangsa, masih ada orang yang sukar bercakap dalam bahasa nasionalnya dan lebih gampang lidahnya bercakap dalam bahasa Belanda”.

Maka dari itu, Buya Hamka memberikan kritik atas bahasa Belanda. Singkatnya, transliterasi yang tepat untuk bahasa Indonesia adalah bahasa Arab bukan bahasa Belanda. Seperti contoh, bahasa Arab dari rumahku adalah baiti. Sedangkan dalam bahasa Belanda Mijn Huis, yang kalau diartikan dalam bahasa Indonesia menjadi saya rumah atau aku rumah.

Lebih dari itu, Buya Hamka menaruh rasa keheranan, kenapa hendak ingin merubah bacaan bahasa Arab dalam salat. Padahal, di sekiar abad 3 dan 4 Hijriyah, ada gerakan di Persia namanya Syu’ubiyah. Tujuan dari gerakan ini yaitu menafikan kelebihan bangsa Arab dari pada bangsa-bangsa yang lain. Sekalipun demikian, tidak ada dari mereka keinginan untuk merubah bacaan salat ke dalam bahasa Persia.

Baca juga: Teori Semantik Al-Quran Toshihiko Izutsu dan Kontribusinya dalam Studi Al-Quran

Imam Hanafi memang pernah memberikan sebuah ijtihad, bahwa diperbolehkannya untuk sementara waktu memakai bahasa Persia dalam salat bagi mereka yang baru saja memeluk agama Islam (muallaf). Namun, ijtihad itu tidak mendapatkan sambutan, bahkan para muridnya memberikan bantahan akan hal tersebut. Jadi, lebih baik mendengarkan bacaan imamnya, sebelum pandai membaca, dari pada melafalkannya dengan bahasa lain. Karena itu bisa membuat salat tidak sah.

Buya Hamka memberikan contoh peristiwa yang terjadi di Turki. Yakni, Mustafa Kemal Attarturk yang senantiasa berusaha men-Turkikan segala hal yang berbau Arab. Attarturk juga penah memerintahkan untuk mengganti lafal azan dengan bahasa Turki. Namun, keadaan itu tak berlangsung lama. Semua kembali ke semula setelah Partai Demokrasi Jalal Bayar berhasil menduduki Turki.

Dengan demikian, Buya Hamka berpendapat bahwa tidak diperbolehkannya seorang muslim mengganti bacaan salat dengan bahasa selain bahasa Arab yang telah ditentukan. Karena itu bisa membuat salat yang kita lakukan menjadi tidak sah.

Jadi, sikap kita mencintai bahasa ibu/ bahasa pertiwi untuk menumbuhkan rasa nasionalisme itu boleh, dan bahkan sebuah keharusan. Namun, jangan sampai hal itu merusak pusaka akidah yang kita anut. Demikian Buya Hamka berpesan kepada kita, generasi bangsa. Wallahu a’lam []

 

Tafsir Surat Al-Fajr Ayat 27-30: Wahai Jiwa Yang Tenang, Keteduhan Panggilan Allah SWT Kepada Manusia

0
jiwa yang tenang
wahai jiwa yang tenang, keteduhan panggilan allah kepada manusia

Mulanya, kita semua lahir ke dunia ini dalam kondisi suci (fitri). Jiwa ‎kita masih bersih, tak bernoda. Kemudian seiring berjalannya waktu, kita pun ‎beranjak dewasa, yang dalam bahasa agama disebut dengan baligh. Suatu ‎masa di mana kita sudah disebut mukallaf, yaitu seorang muslim yang sudah ‎dikenai kewajiban (taklif) untuk menjalankan perintah agama dan menjauhi ‎larangannya. Dari sinilah kemudian seseorang mulai dikenai pahala dan dosa. ‎Pahala atas kebaikan yang dilakukannya, dan dosa atas keburukan serta ‎kejahatan yang diperbuatnya.‎

يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ

Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Q.S. Al-Fajr [89]: 27-30)

Jiwa-jiwa yang ketika lahir suci, bersih tak bernoda, kini mulai tampak ‎kotor penuh noda dan dosa. Kondisi ini terus berlanjut sepanjang hayat, ‎hingga ajal menjemput kita. Hanya ada dua kemungkinan, apakah sepanjang ‎hayat, sejak usia baligh hingga ajal menjemput, kita isi dan penuhi hari-hari ‎kehidupan kita dengan aktivitas positif (amal saleh), ataukah justru ‎sebaliknya, kita mengisi dan memenuhi hari-hari kehidupan kita dengan ‎aktivitas negatif, perilaku buruk dan perbuatan jahat?‎

Pilihan ada pada kita. Tentu, setiap pilihan ada konsekuensi yang ‎melingkupinya. “In khairan fa khairun, wa in syarran fa syarrun”. Jika kita ‎berbuat baik, maka kita akan mendapat balasan kebaikan. Jika kita berbuat ‎jahat, kita pun akan memperoleh buah dari kejahatan yang kita lakukan. ‎Dalam bahasa Al-Quran dikatakan, “in ahsantum ahsantum li anfusikum wa in asa’tum fa laha…” (Q.S. Al-Isra’ : 7). Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu ‎berbuat baik bagi dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka ‎‎(kejahatan) itu bagi dirimu sendiri.‎

Baca juga: Kriteria Akhlak Mulia dalam Islam dan Empat Sifat Sebagai Pilarnya

Dalam firman-Nya yang lain, Allah Swt. bersumpah dengan jiwa.

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ

“… ‎dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah ‎mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. ‎Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan ‎sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Al-Syams [91]: 7-10).‎

Ayat ini menegaskan bahwa Allah Swt. mengilhamkan dua jalan ‎kepada setiap jiwa, yakni jalan kefasikan dan ketakwaan. Keberuntungan dan ‎kebahagiaan akan menyertai orang-orang yang menyucikan jiwanya. Kerugian ‎dan kesengsaraan akan menghampiri orang-orang yang mengotori jiwanya.‎

Di dalam Al-Quran, kata yang biasa dipakai untuk menunjukkan ‎makna jiwa adalah kata ‘nafs’. Secara eksplisit, Al-Quran menyebut tiga jenis ‎nafs, yaitu: 1) al-nafs al-muthmainnah, terdapat dalam Q.S. Al-Fajr: 27; 2) al-nafs al-lawwamah, terdapat dalam Q.S. al-Qiyamah: 1; 3) al-nafs al-ammarah bi al-su’, terdapat dalam Q.S. Yusuf: 53. ‎

Selain ketiga jenis nafs di atas, Al-Quran juga menyebut istilah nafs ‎zakiyyah, seperti terdapat dalam Q.S. al-Kahfi: 74. (Dikutip dari Buku penulis ‎berjudul “Qur’anic Inspiration: Meresapi Makna Ayat-Ayat Penggugah Jiwa”, ‎Quanta, 2014)‎.

Dari beragam bentuk nafs yang disebutkan oleh Al-Quran itu, kita ‎berharap memiliki bentuk nafs yang paling tinggi dan paling mulia, yaitu al-nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang.‎

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30: Agama Sebagai Fitrah Manusia

Dalam kitab Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, Al-Baghdadi ‎menjelaskan bahwa makna al-nafs al-muthmainnah adalah jiwa yang tetap ‎pada keimanan dan keyakinan, membenarkan firman Allah, meyakini bahwa ‎Allah adalah Tuhannya, tunduk serta taat kepada perintah Allah, ridla dengan ‎ketetapan (qadla) serta takdir (qadar) Allah, yang selamat dari adzab Allah, ‎yang selalu tenang dan damai dengan terus berdzikir kepada Allah.‎

Jiwa yang demikian inilah yang kelak ketika kembali kepada Allah akan ‎disambut dengan sapaan mesra: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada ‎Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam ‎jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam surga-Ku.” Wallahu A’lam.