Beranda blog Halaman 460

Tafsir Fiqh (2): Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya

0
Ilkiya Al-Harasi
Ilkiya Al-Harasi

Edisi kedua dari “Tafsir Fiqh” kali ini akan membahas seorang faqih sekaligus mufassir kenamaan beserta karya tafsirnya yakni “Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an­-nya”. Mungkin bagi sebagian kalangan nama Ilkiya Al-Harasi cukup jarang di dengar dan kajian-kajian mengenai pribadinya maupun karyanya masih terbatas pada ranah elite intelektual semisal jurnal-jurnal ilmiah. Maka tulisan kali ini akan mencoba membahas keduanya secara ringkas namun tetap berusaha memuat berbagai informasi penting yang bisa dibagikan.

Ilkiya Al-Harasi memiliki nama lengkap Imadudin Abul Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ali al-Thabari al-Syafi’i. Nama tenarnya sendiri (Ilkiya) berasal dari bahasa A’jam (bahasa non-Arab) yang maknanya adalah seorang yang besar dan unggul. Ia adalah seorang faqih bermadzhab Syafi’i yang lahir pada tahun 450 H.

Sejak kecil Al-Harasi hidup di Khurasan dan kemudian memilih untuk berkelana ke Naisabur demi memperdalam ilmunya. Sesampainya di Naisabur, ia belajar kepada Imam Haramain, Imam al-Juwaini selama beberapa waktu sampai dirasa cukup dan mapan. Lalu ia melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke sebuah kota bernama Baihaq dan mengajar di sana beberapa waktu sampai akhirnya kembali mengembara dan sampai di Iraq.

Baca Juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya

Di kota Iraq inilah ia mendapatkan mandat untuk mengelola kegiatan pembelajaran yang berlangsung pada sebuah Madrasah di Baghdad (bisa dikatakan ia menjadi kepala sekolah). Ternyata Baghdad dan Iraq menjadi pelabuhan terakhir bagi pengembaraan intelektual Ilkiya Al-Harasi, yang kemudian wafat pada tahun 504 H.

Semasa hidupnya, Ilkiya Al-Harasi selain terkenal akan keluasan ilmunya juga terkenal akan kefasihannya dan keindahan retorikanya, bahkan dalam kondisi berdebat sekalipun. Maka tidak heran jika ia mampu menarik kawan maupun lawannya dalam nuansa retorisnya yang indah.

Melihat Sisi-Sisi Menarik dalam Ahkam al-Qur’an

Pada edisi pertama “Tafsir Fiqh” telah ditunjukkan sebuah karya tafsir yang menjadi rujukan penting bagi suatu madzhab fiqh tertentu. Nah, kali ini pun sama di mana karya tafsir Ilkiya Al-Harasi ini menjadi salah satu referensi penting dalam perbendaharaan madzhab Syafi’i. Ia bahkan disamakan dengan al-Jashash dalam kasus fanatisme ini baik dalam bentuk pembelaannya dan kritiknya yang pedas terhadap pendapat madzhab yang lain.

Al-Dzahabi dalam Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, menunjukkan bahwa saat membaca muqaddimah-nya saja hal ini bisa didapati di mana salah satu kutipannya sebagai berikut:

“Sesungguhnya madzhab Syafi’i adalah madzhab yang paling benar, sebab Imam Syafi’i dalam banyak pendapatnya dan pembahasannya telah melampaui tingkatan dzhan dan berada pada level yaqin. Hal ini karena Imam Syafi’i telah dibukakan atau di-futuh oleh Allah segala rahasia-rahasia khususnya pada makna-makna yang terdapat dalam kitab-Nya yang belum tentu bisa dicapai dan didapati oleh selainnya (Imam Syafi’i)”.

Hal menarik pertama yang dapat ditemukan dalam kitab ini ialah pada sisi pembahasannya yang hanya fokus membahas ayat-ayat yang memuat muatan hukum saja. Ia juga menyebutkan isi pokok atau garis besar pembahasan dalam sebuah surah dari sisi fiqhnya. Maka jika metode penafsirannya disebut sebagai tafsir tahlili sebenarnya tidak bisa dibenarkan sepenuhnya sebab meskipun ia menafsirkan dengan berpegang pada urutan surah-surah dalam mushaf, namun dalam pembahasannya ia cenderung maudhu’i karena banyaknya bab dan cabang-cabang bab pembahasan di dalamnya.

Hal menarik kedua yang bisa didapati dalam karya tafsir ini ialah perdebatan yang hampir selalu mewarnainya. Perdebatan itu baik berupa kritik Ilkiya Al-Harasi terhadap pendapat madzhab yang berbeda maupun berbentuk pembelaan “mati-matian” terhadap madzhab Imam al-Syafi’i. Kasus yang mungkin bisa dikatakan paling sering dijumpai adalah kritik pedasnya kepada al-Jashash yang baginya terlampau salah dalam memahami pendapat-pendapat imam Syafi’i sehingga, menurutnya, kerap kali mengkritik tanpa dasar ilmu atau karena tidak selevel dengan Imam Syafi’i.

Dari kedua sisi menarik dari karya tafsir ini mungkin bisa dikatakan bahwa karya ini unik sekaligus ekstrem. Unik dari sisi style penafsirannya yang hanya fokus pada ayat-ayat yang memuat muatan hukum (ayat ahkam), dan ekstrem jika ditinjau dari fanatisme pengarangnya yang sangat tinggi sehingga tidak segan-segan mengeritik atau bahkan merendahkan subjek yang dianggapnya sebagai lawan.

Baca Juga: Aplikasi Tafsir Maqashidi, Ulya Fikriyati: Beda Maqashidus Syariah dan Maqashidul Qur’an

Kedua sisi menarik ini sebenarnya lahir dari latar belakang penulisan kitab itu sendiri. Di mana motivasi Ilkiya Al-Harasi sendiri adalah melahirkan karya yang mampu untuk men-tarjih pendapat-pendapat madzbab lainnya serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang sebelumnya belum tuntas dibahas oleh Imam Syafi’i dengan berlandaskan pada metode yang digunakan Imam Syafi’i.

Sudah barang tentu jika sikap fanatismenya yang sangat tinggi (sampai merasa madzhabnya paling benar) tidak tepat untuk diikuti saat ini. Sebab Imam Syafi’i sendiri begitu low profile dan toleran dalam menghadapi perbedaan. Namun bagaimanapun Ilkiya Al-Harasi dan Ahkam al-Qur’an-nya telah menyumbang dan menjadi warisan berharga bagi khazanah keilmuan Islam hingga saat ini. Wallahu a’lam.

Mengenal Mushaf Pra-Utsmani (1): Sejarah Awal Mula Penulisan Mushaf dan Klasifikasinya

0
Mushaf pra-utsmani
Mushaf pra-utsmani

Kalau kita mendengar kata “mushaf” mungkin bayangan kita akan langsung merujuk pada mushaf Al-Qur’an yang saat ini banyak dibaca dan dijual-belikan oleh umat Islam. Mushaf tersebut merupakan hasil kodifikasi pada masa pemerintahan Utsman, sehingga dikenal dengan nama mushaf utsmani. Perlu diketahui, bahwa sebelum adanya proses unifikasi mushaf, sebagian besar para sahabat Nabi telah memiliki salinan Al-Qur’an masing-masing. Kumpulan salinan Al-Qur’an tersebut dikenal dengan nama mushaf pra-utsmani, karena dikumpulkan sebelum masa pemerintahan Utsman ibn ‘Affan.

Kajian tentang mushaf pra-utsmani ini penting dilakukan, guna mengetahui bagaimana dinamika proses penulisan wahyu di masa Nabi, sekaligus membandingkan perbedaan antara struktur mushaf pra-utsmani dengan mushaf yang berkembang saat ini. Oleh karena itu, dalam artikel berseri ini, penulis ingin membahas sedikit tentang sejarah awal mula penulisan mushaf pra-utsmani, beserta klasifikasinya.

Baca Juga: Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

Sejarah Penulisan Mushaf Pra-Utsmani

Dalam banyak literatur Islam klasik dijelaskan bahwa tatkala wahyu Al-Qur’an turun, para sahabat Nabi merekam wahyu tersebut melalui dua cara, yaitu: (1) menjaga wahyu tersebut dengan cara dihafalkan; dan (2) melalui bentuk penulisan wahyu di beberapa media tulisan berupa riqa’ (lembaran lontar atau perkamen), likhaf (batu tulis berwarna putih), ‘asib (pelepah kurma), aktaf (tulang belikat unta), adlla’ (tulang rusuk unta), dan adim (lembaran kulit binatang).

Isyarat tentang adanya kegiatan penulisan wahyu tersebut dapat dilacak dalam hadis Nabi no. 579 yang tertulis dalam kitab Jami’ al-Masanid wa al-Sunan, karya Ibnu Katsir, sebagaimana berikut:

حدثنا إسماعيل أخبرنا همام بن يحي عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لَاتَكْتُبُوْا عَنِّيْ شَيْئاً سِوَى القُرْآنِ مَنْ كَتَبَ شَيْئًا سِوَى القُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ

Diceritakan oleh Ismail, dikabarkan oleh Hammam ibn Yahya dari Zaid ibn Aslam dari ‘Atha’ ibn Yasar dari Abi Sa’id berkata: Rasulullah SAW bersabda: (Jangan tulis sesuatu dariku kecuali Al-Qur’an, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an, maka hapuslah tulisan tersebut)

Baca Juga: Sejarah Penomoran Ayat Mushaf Al-Quran dari Jerman hingga Turki

Bukti lain terkait adanya penulisan Al-Qur’an pada masa awal Islam juga dapat ditemukan dalam kisah masuk islamnya Umar ibn al-Khaththab. Karena pada saat itu Umar melihat adik perempuanya sedang membaca surah Thaha dari sebuah shahifah (lembaran). Semenjak Nabi hijrah ke Madinah, Proses penulisan Al-Qur’an ini terus mengalami perkembangan. Hal ini dikarenakan pada saat itu Nabi mulai mengutus beberapa sahabat untuk menjadi penulis wahyu (kuttab al-wahy).

Dalam data az-Zanjani, kurang lebih terdapat 34 nama sahabat Nabi yang bertugas menulis wahyu. Nama-nama sahabat tersebut antara lain adalah Abu Bakr al-Shiddiq, Umar ibn al-Khaththab, Utsman ibn ‘Affan, ‘Ali ibn Abi Thalib, Mu’awiyah, Ubay ibn Ka’ab, Zaid ibn Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asya’ari, dan banyak lainya. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan adanya proses transmisi dari lisan menuju tulisan inilah yang kemudian melahirkan adanya berbagai mushaf atau kumpulan salinan Al-Qur’an dari para sahabat.

Baca Juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam

Klasifikasi Mushaf Pra-Utsmani

Dalam buku Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an karya Taufik Adnan Amal, dijelaskan bahwa Arthur Jeffery mengklasifikasikan mushaf-mushaf pra-utsmani menjadi dua kategori utama, yaitu mushaf primer dan sekunder. Maksud dari istilah “mushaf primer” adalah kumpulan mushaf independen yang ditulis dan dikumpulkan secara individual oleh beberapa sahabat Nabi. Kumpulan mushaf pra-utsmani yang masuk dalam kategori primer antara lain adalah:

  1. Mushaf Salim ibn Ma’qil (w. 12 H)
  2. Mushaf Umar ibn al-Khaththab (w. 23 H)
  3. Mushaf Ubay ibn Ka’b (w. 29 H)
  4. Mushaf Abdullah ibn Mas’ud (w. 32 H)
  5. Mushaf Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H)
  6. Mushaf Abu Musa al-Asy’ari (w. 52 H)
  7. Mushaf Hafshah bint Umar (w. 45 H)
  8. Mushaf Zaid ibn Tsabit (w. 45 H)
  9. Mushaf Aisyah bint Abu Bakr (w. 58 H)
  10. Mushaf Ummu Salamah (w. 59 H)
  11. Mushaf Abdullah ibn Amr (w. 74 H)
  12. Mushaf Abdullah ibn Abbas (w. 68 H)
  13. Mushaf Abdullah ibn Zubair (w. 73 H)
  14. Mushaf Ubaid ibn ‘Umair (w. 74 H)
  15. Mushaf Anas ibn Malik (w. 91 H)

Sedangkan “mushaf sekunder” merupakan produk mushaf yang muncul pada generasi selanjutnya, dimana mushaf tersebut sangat bergantung pada mushaf generasi awal yaitu mushaf primer. Beberapa mushaf yang masuk dalam kategori sekunder yaitu:

  1. Mushaf Alqama ibn Qais (w. 62 H)
  2. Mushaf al-Rabi’ ibn Khutsaim (w. 64 H)
  3. Mushaf al-Harits ibn Suwaid (w. 70 H)
  4. Mushaf al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H)
  5. Mushaf Hiththan (w. 73 H)
  6. Mushaf Thalhah ibn Musharrif (w. 112 H)
  7. Mushaf al-A’masy (w. 148 H)
  8. Mushaf Sa’id ibn Jubair (w. 94 H)
  9. Mushaf Mujahid (w. 101 H)
  10. Mushaf Ikrimah (w. 105 H)
  11. Mushaf Atha’ ibn Abi Rabah (w. 115 H)
  12. Mushaf Shalih ibn Kaisan (w. 144 H)
  13. Mushaf Ja’far al-Shadiq (w. 148 H)

Namun sayangnya, hanya sedikit dari kumpulan mushaf hasil salinan para sahabat tersebut yang dapat memberikan pengaruh luas di dalam masyarakat Islam saat itu. Dalam kurun waktu sekitar 20-an tahun, semenjak wafatnya Nabi hingga kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman ibn ‘Affan, hanya terdapat sekitar empat mushaf sahabat yang masih digunakan oleh masyarakat Arab saat itu.

Keempat mushaf tersebut adalah (1) mushaf Ubay ibn Ka’ab, yang tersebar di sebagian besar daerah Syiria; (2) mushaf Ibnu Mas’ud, yang banyak digunakan oleh penduduk Kufah; (3) mushaf Abu Musa al-Asy’ari, yang memperoleh pengakuan dari masyarakat Bashrah; dan (4) mushaf Miqdad ibn Aswad, yang banyak dibaca oleh penduduk kota Hims. Alasan Arthur Jeffery tidak memasukkan mushaf Miqdad ibn Aswad dalam skema tersebut dimungkinkan karena mushaf tersebut sulit ditelusuri dalam berbagai sumber literatur Islam awal. Wallahu A’lam

Tafsir Surat Al An’am Ayat 157-159

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Al An’am Ayat 157-159 melanjutkan pembahasan yang telah lalu, yakni membahas mengenai hikmah diturunkannya Alquran. Adanya hikmah ini sebagai bentuk penolakan atas keangkuhan orang-orang Yahudi yang membangga-banggakan kaumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 152-156


Setalah dijelaskan mengenai hikmah diturunkannya Alquran, Tafsir Surat Al An’am Ayat 157-159 ini mengingatkan orang-orang yang berani mendustakan Alquran. Allah juga menegaskan bahwa mereka yang mendustakan Alquran akan mendapat siksa yang bertubi-tubi.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 157-159 diakhiri dengan pembahasan mengenai banyaknya perselisihan antara umat yang disebabkan oleh terpecahnya umat. Hal itu juga menimbulkan permusuhan di antara sesamanya.

Ayat 157

Permulaan ayat ini adalah kelanjutan dari ayat 156 yang menerangkan sebab-sebab diturunkannya Alquran agar kaum musyrikin Mekah tidak mengatakan:

“andaikata diturunkan kepada kami kitab sebagaimana diturunkan kepada kedua golongan (Yahudi dan Nasrani) sebelum kami, dan kami diperintahkan ataupun kami dilarang menuruti isinya serta dijelaskan kesalahan-kesalahan kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari orang-orang Yahudi dan Nasrani, sebab kami lebih cerdas dan lebih sungguh-sungguh dalam melaksanakan hukum-hukum Allah ini.”

Perkataan serupa itu selalu diucapkan oleh orang-orang Arab jahiliah sebagaimana dikisahkan oleh Allah dalam Alquran antara lain dalam Surah Fatir/35 ayat 42. Tetapi orang yang mengatakan demikian, setelah petunjuk atau peringatan datang sebagaimana mereka minta, mereka tidak mempedulikannya bahkan mereka tambah ingkar dan sesat.

Oleh karena itu, pada ayat ini Allah menyudutkan mereka dengan pernyataan, “Kalau benar apa yang kamu katakan, maka sesungguhnya telah datang kepadamu kitab dari Tuhanmu yang membawa kebenaran dengan keterangan yang lengkap dan dengan dalil-dalil yang kuat, tentang akidah, ibadah, muamalah, fadhilah, akhlak, dan hukum syariat yang diperlukan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Khalik dan hubungan manusia dengan sesama manusia, sehingga apabila manusia mematuhinya ia akan hidup aman dan damai bahagia dunia akhirat.”

Setelah Allah menjelaskan bagaimana besarnya petunjuk yang dibawa oleh Alquran, maka Allah memperingatkan akibat mendustakan Alquran dengan firman-Nya yang berbentuk pertanyaan, “… maka siapakah yang lebih zalim dari pada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling dari padanya? …”

Selanjutnya akhir ayat ini menegaskan bahwa Allah akan memberikan siksa yang bertubi-tubi kepada orang yang berpaling dari ayat-ayat-Nya dan menyelewengkan maknanya.

اَلَّذِيْنَ كَفَرُوْا وَصَدُّوْا عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ زِدْنٰهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُوْا يُفْسِدُوْنَ

Orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan demi siksaan disebabkan mereka selalu berbuat kerusakan. (an-Nahl/16: 88);

Ayat 158

Secara ringkas ayat tersebut menerangkan sikap orang-orang musyrik yaitu mereka tidak akan mau beriman, bahkan dengan cara menantang, meminta atau menunggu salah satu dari tiga perkara; yaitu: Pertama,  kedatangan malaikat untuk mencabut nyawa mereka sebagaimana mereka sarankan kepada Nabi Muhammad saw.

Kedua, datangnya siksaan Allah sesuai dengan permintaan mereka untuk mempercepat datangnya siksa yang disebut Alquran sebagai ancaman bagi mereka. Ketiga, datangnya tanda-tanda hari Kiamat.

Oleh karena semua permintaan itu hanyalah menunjukkan pembangkangan yang terus berlanjut, maka pada akhir ayat ini Allah memperingatkan mereka dengan ancaman, ”Katakanlah hai Muhammad kepada mereka: Tunggulah apa yang kamu tunggu itu dan kami pun menunggu apa yang akan kami peroleh kelak.” Ini diterangkan dalam firman Allah:

اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ

Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barang siapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi. (al-Baqarah/2: 121)


Baca juga: Tafsir Fiqh: Mengenal Al-Jashash dan Ahkam al-Quran-nya


Ayat 159

Ayat ini menerangkan bahwa berpecah-belahnya umat Islam menjadi bermacam-macam golongan dan kelompok yang sangat fanatik, maka akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan akibat perbedaan paham dan pendapat.

Masing-masing merasa benar sendiri, masing-masing mencari jalan untuk menang bukan untuk mencari kebenaran, baik dengan cara mempergunakan hadis-hadis yang tidak patut dipergunakan, dan menakwilkan Alquran menurut selera dan kemauannya sendiri. Orang seperti ini berada di luar tanggung jawab Nabi Muhammad tetapi urusan Allah untuk memberi balasan yang sewajarnya.

Menurut sunatullah di dalam dunia ini, bahwa dua pihak yang berkelahi akan menjadi mangsa bagi pihak ketiga yang mencari keuntungan. Ini adalah balasan di dunia dan mereka akan merasakan balasan lainnya di akhirat setimpal dengan apa yang mereka perbuat.

Menurut Tafsir al-Maragi, sebab-sebab perpecahan di kalangan umat Islam dalam pemahaman agama yang mengakibatkan kelemahan mereka dalam urusan dunia ada lima yaitu: ;

  1. Pertentangan (perebutan) kekuasaan dan ini terjadi semenjak permulaan Islam sampai sekarang.
  2. Fanatik kebangsaan (rumpun keturunan), karena setiap bangsa dan rumpun keturunan (ras) tidak senang dikuasai oleh yang lain.
  3. Fanatik mazhab dan pendapat tentang pokok agama dan cabang-cabangnya.
  4. Fatwa agama menurut pikiran dan selera saja. Karenanya banyak orang yang berani memberikan fatwa di dalam agama Islam, padahal ia belum bisa mengambil suatu hukum dari Alquran dan hadis.
  5. Usaha dan tipu daya memecah belah dari kelompok musuh-musuh Islam, sehingga banyak hadis maudµ’ (palsu) disebabkan mereka yang dapat mempengaruhi umat (pemimpin Islam) mempergunakannya sebagai dalil-dalil agama Islam.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 160-163


(Tafsir Kemenag)

Abu Aswad Ad-Du’ali dan Kisah Pemberian Tanda Baca dalam Mushaf Al-Quran

0
Abu Aswad ad-Du'ali
Abu Aswad ad-Du'ali

Sekarang ini umat Islam begitu mudah membaca mushaf Al-Quran. Kemudahan ini dikarenakan mushaf yang digunakan menunjukkan kejelasan perihal tanda baca dan titik pembeda huruf. Misalkan kita hidup di era-era awal penulisan mushaf, tentu sangat sulit bagi orang ‘ajam seperti kita membaca Kalam Ilahi itu. Selain tidak ada tanda baca, huruf-huruf yang memiliki bentuk yang sama pun tak ada pembedanya. Semuanya polos hingga akhirnya Abu Aswad Ad-Du’ali membubuhkan tanda baca itu.

Abu Aswad Ad-Du’ali merupakan murid kinasih Ali bin Abi Thalib. Nama aslinya ialah Dzalam bin Amru bin Sufyan bin Jandal bin Yu’mar bin Du’ali. Sementara Abu Aswad adalah nama kuniyahnya. Ia dilahirkan di Basrah pada tahun 603 M dan wafat pada 69 Hijriyah. Meski lahir sebelum Hijriyah, Abu Aswad masuk Islam pada akhir masa kenabian dan tak sempat melihat Rasulullah. Sehingga ia pun dikenal sebagai tabi’in.

Karir akademiknya sangat moncer, terlebih di bidang tata Bahasa Arab. Ia pun dikenal sebagai peletak dasar ilmu Nahwu. Selain itu, karir politiknya juga bagus. Tercatat saat masa Khalifah Umar bin Khattab, ia menjabat sebagai hakim di Basrah. Setelah itu, di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-41 H) ia juga diangkat sebagai gubernur di Basrah. Namun saat Muawiyah menggeser tampuk kekuasaan Ali, Abu Aswad Ad-Du’ali tidak lagi menjabat sebagai Gubernur Basrah. Meski demikian, kelihaian Abu Aswad dalam ilmu tata Bahasa Arab masih dibutuhkan di masa Dinasti Umayyah.

Baca juga: Kenali Ayatul Qurra (Ayat Para Pembaca Al-Quran), Begini Penjelasannya

Kisah pemberian tanda baca dalam Mushaf Al-Quran

Banyak riwayat yang menjelaskan awal mula pembubuhan titik yang dilakukan oleh Abu Aswad Du’ali. Ada yang menyebut saat era kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, namun ada juga yang menyebut saat awal Dinasti Umayyah.

Alkisah saat awal Dinasti Umayya, Abu Aswad Ad-Du’ali diminta Ziyad Gubernur Basrah untuk menyusun suatu kaidah yang memudahkan orang-orang non-Arab untuk membaca Al-Qur’an. Karena rasa keberpihakan terhadap gurunya (Ali bin Abi Thalib) masih kuat, ia semula tak mau mengungkapkan pengetahuan dari gurunya itu. Namun Ziyad tak mau kehabisan akal, ia pun mengirim seseorang yang membuntuti Abu Aswad.

Seorang utusan Ziyad itu pun suatu ketika dengan sengaja membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan salah.

أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ  وَرَسُولُهُۥ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin”

Ayat ini, oleh utusan Ziyad itu dibaca wa rasulihi (kasrah), bukan wa rasuluhu (dummah). Saat mendengar bacaan itu, Abu Aswad Ad-Du’ali tercengang. Ia pun berkomentar, mana mungkin Allah berlepas diri dari rasul-Nya. Karena kejadian inilah akhirnya Abu Aswad Ad-Du’ali menghadap ke Ziyad dan mulai membuat tanda baca untuk mushaf Al-Quran.

Baca juga: Sejarah Penomoran Ayat Mushaf Al-Quran dari Jerman hingga Turki

Akhirnya Abu Aswad memilih Abdi al-Qais, dari 30 juru tulis yang disiapkan oleh Ziyad untuk membantu penyusunan tanda baca itu. Abu Aswad pun memerintahkan Abdi al-Qais untuk menyiapkan mushaf Al-Quran dan tinta warna merah.

Ia pun mulai mendikte Abdi al-Qais.

“Apabila saya membuka muluku (fathah), buatlah satu titik di atas huruf. Apabila saya membuka mulut ke bawah (kasrah), buatlah satu titik di bawah huruf. Apabila saya kedepankan mulutku (dlummah)”, maka buatlah satu titik di depan huruf. Kemudian apabila saya ikuti ghunnah, yakni tanwin dari harakat tersebut, maka buatkanlah dua titik,” ungkap Abu Aswad pada Abdi al-Qais.

Dari kisah itu, usaha Abu Aswad berhasil memudahkan orang non-Arab untuk membaca Al-Qur’an. Seiring berkembangnya waktu, tanda baca dengan titik merah itu ternyata belum memuaskan para pembaca. Hingga muridnya pun turut melengkapi, yakni Nashr ibn Ashim al-Laitsi dan Yahya ibn Ya’mur al-Udwan al-Laitsi. Kedua murid ini turut membubuhi titik pada huruf-huruf yang berbentuk sama, seperti ba’, ta’, tsa’, jim, ha’, kha’, dal, dzal, dan lain sebagainya.

Baca juga: Sejarah Jual-Beli Mushaf Al-Quran di Era Awal Islam

Dalam penelitian lebih lanjut, Mustafa Al A’zami menyebut, pemberian titik sebenarnya sudah ada jejaknya dalam penulisan pra-Islam. Sehingga ada yang menyebut usaha Abu Aswad Ad-Du’ali mengadopsi dari tradisi penulisan sebelumnya. Namun dalam konteks Mushaf Al-Quran, upaya yang dilakukannya merupakan hal baru. Oleh karena itu, pemberian tanda baca oleh Abu Aswad Ad-Du’ali merupakan langkah kongkret yang patut diapresiasi.

Berkat inovasi-inovasi seperti ini, akhirnya mushaf Al-Quran semakin dinamis demi kemudahan baca oleh para pemeluk Islam non-Arab.

Wallahu a’lam[]

Mengenal Tafsir Ayat Al-Ahkam Karya Muhammad Ali Al-Sayis

0
tafsir ayat al-ahkam
tafsir ayat al-ahkam

Muhammad Ali al-Sayis merupakan salah satu tokoh mufassir pada era modern yang mengarang kitab At-Tafsir Ayat Al-Ahkam. Seperti dilihat dari nama kitab tersebut telah terlihat corak Tafsir Ayat Al-Ahkam ini menjelaskan tentang ayat-ayat hukum.

Kitab Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali Al-Sayis merupakan kitab yang disusun oleh Muhammad Ali al-Sayis untuk kalangan mahasiswa Fakultas Syari’ah di Universitas Kairo, Mesir. Tetapi setelah mengalami beberapa penyempurnaan dan pengeditan, kitab ini kemudian dibukukan dan beredar luas di seluruh negara muslim termasuk Indonesia.

Karakteristik Tafsir Ayat AlAhkam

Kitab Tafsir Ayat al-Ahkam karya Ali al-Sayis ini merupakan salah satu referensi yang laris terutama untuk kajian tafsir ahkam. Dalam pendahuluan kitab Tafsir Ayat al-Ahkam (al-Sayis, 2002), Ali al-Sayis mengatakan bahwasanya kitab ini merupakan kitab yang disusun dengan sistematis dan dikuatkan oleh beberapa produk penafsiran para mufassir lain. Di antaranya :

Melalui tafsir bil ma’tsur yang merupakan penafsiran yang berdasarkan pada riwayat hadis. Hal ini dapat dilihat pada salah satu rujukan yang digunakan oleh Ali al- Sayis, yaitu tafsir Imam al-Suyuti dan Ibn Jarir al-Thabari.

Melalui tafsir bil ra’yi yang merupakan penafsiran berdasarkan pengambilan hukum dengan pemikiran akal. Hal ini dapat dilihat pada salah satu rujukannya, yaitu tafsir al-Razi, Mafatihul Ghaib, tafsir al-Zamakhsyari, dan sebagainya. Dari segi hukum-hukum, kitab tafsir ini dikuatkan dengan kitab Imam al-Qurtubi dan Imam al-Jassas.

Baca juga: Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany

Detailnya, tafsir Ayat al-Ahkam ini sebagaimana penjelasan Ali Al-Sayis dalam Tafsir Ayat Al-Ahkam, berjumlah 814 halaman yang terbagi dalam empat sanah, yang pertama 176, yang kedua 238, yang ketiga 192 dan yang ke empat 208. Tafsir Ayat al-Ahkam ini menjelaskan tentang ayat-ayat hukum yang ada dalam Al-Quran atas dasar faham ahlu sunnah wa al jama’ah.

Jilid pertama dimulai dengan penyebutan daftar ayat dalam surat al-Baqarah, pada jilid kedua dimulai dengan runtutan ayat dari Surat al-Imran, Surat an-Nisa, Surat al-Maidah, Surat al-An’am dan juga Surat al-A’raf. Pada jilid yang ketiga di mulai dengan penyebutan ayat dari Surat al-Anfal, Surat at-Taubah, Surat an-Nahl, Surat al-Isra’, Surat al-Hajj, Surat an-Nur, sedang yang terakhir terbagi dalam dua bagian: bagian yang pertama ayat-ayat ahkam dari surat Lukman sampai pada surat al-Hujurat, sedang bagian yang kedua dari surat al-Waqi’ah sampai pada surat al-Muzammil.

Namun dalam kitab ini tidak terdapat daftar isi dan daftar kitab rujukan (footnote), yang ada hanya tema-tema dan ayat-ayat saja yang seharusnya menjadi kemudahan bagi para pembaca. Sehingga mempersulit para pembacanya dalam mengorek informasi dari penafsiran ataupun  pendapat ulama dan sebagainya.

Akan tetapi tafsir ini juga mempunyai kelebihan tersendiri, yaitu menjadi salah satu kitab tafsir ayat ahkam yang pernah ada dan kitab ini adalah yang membahas ayat-ayat hukum secara jelas dan bermanfaat sekaligus banyak mengangkat tema kontemporer.

Metode Penafsiran

Secara umum, sistematika yang digunakan Ali al-Sayis dalam kitab tafsir ini adalah ia mengawali penafsiran dengan menyebut satu sampai tiga ayat hukum yang hendak dikaji. Beliau tidak memulai dengan tema-tema kajian dahulu (seperti Rawai’ul Bayaan karya Ali  Ash-Shabuni) baru kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tema, melainkan menyebutkan sesuai urutan surat dan ayatnya lebih dahulu. Seperti pada Surat  Al-Baqarah, ayat 102-103, yang merupakan ayat tentang sihir.

Baca juga: Mengenal Tafsir Iklil, Kitab Tafsir Berbahasa Jawa Pegon dan Makna Gandul

Kemudian ia mengurai kata-kata teknis yang harus dipahami terlebih dahulu. Tahap ini dapat disebut pula dengan tafsir al-mufradat. Langkah berikutnya, ia mulai menafsirkan frasa-frasa ayat yang memiliki kandungan hukum. Dalam hal ini, Ali al-Sayis mengolaborasi kajian dengan mengungkapkan pendapat para mufasssir baik dari kalangan mufassir klasik maupun kontemporer. Pada bagian akhir, Ali al-Sayis melakukan istinbath hukum yang disederhanakan dari ulasan ayat-ayat tersebut.

Telah dijelaskan bahwa tidak ada informasi tentang metode yang dipakai, akan tetapi melihat dari isi kitab tersebut dapat diketahui bahwa Ali al-Sayis menggunakan metode tahlili (analisis), hal ini dilihat dari penyebutan suatu ayat dalam Al-Quran, kemudian ayat tersebut ditafsirkan sesuai dengan permasalahan yang terkait.

Meskipun al-Sayis belum menyebutkan metode penafsiran seperti apa yang digunakan, namun diperoleh beberapa langkah yang digunakan dalam penafsiran tersebut.

  1. Disebutkan ayat tertentu dalam surat tertentu. Apabila ayat tersebut terdapat asbabun nuzul, hal itu diutamakan dalam penafsiran.
  2. Terkait dengan gramatika bahasa, suatu ayat yang disebutkan dan dijelaskan berdasarkan kata perkata yang merupakan kalimat inti secara rinci.
  3. Terdapat pemaparan aspek balaghiyah (bahasa), sehingga mampu memperindah dalam pemaknaan.
  4. Disebutkan munasabah dengan ayat dan surat lain baik yang sebelum atau yang sesudahnya.
  5. Untuk memperkuat argumen yang muncul dalam penafsiran disebutkan hadis-hadis shahih terkait dengan ayat yang ditafsirkan.
  6. Terdapat pendapat ulama yang disebutkan, terkait dengan pembahasan suatu hukum yang terdapat dalam ayat yang menjadi pokok bahasan.
  7. Terdapat syair-syair yang digubah dari penyair.
  8. Disebutkan istinbath hukum (kesimpulan) yang terdapat dari ayat yang ditafsirkan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 152-156

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah pada pembahasan sebelumnya menjelaskan lima bagian pertama dari 10 ajaran inti agama Islam, dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 152-156 memuat lima ajaran dari 10 ajaran tersebut.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 151


Dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 152-156 ini Nabi Muhammad juga diperintahkan untuk menyampaikan kebenaran wahyu yang ia bahwa. Karena hanya dengan itu kebahagiaan akan diperoleh.

Pembahasan Tafsir Surat Al An’am Ayat 152-156 ini ditutup dengan pemaparan tentang hikmah diturunkannya Alquran kepada manusia dan jin. Alquran merupakan petunjuk untuk mendapatkan petunjuk untuk membersihkan jiwa dan keridhaan Allah.

152

Pada ayat 151 telah disebutkan lima dari sepuluh “al-Wasaya al-Asyr”, sedang dalam ayat 152 ini disebutkan lima atau empat wasiat (menurut sebagian mufassirin) sedang yang sisanya (yang kesepuluh) terdapat pada ayat 153. Wasiat-wasiat itu adalah :

(6) Jangan mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat.

(7/8)Keharusan menyempurnakan takaran dan timbangan.

(9)  Berlaku adil dalam perkataan, meskipun terhadap keluarga.

(10) Memenuhi janji Allah.

Adapun larangan mendekati harta anak yatim, maksudnya, siapapun tidak boleh mendekati, menggunakan atau memanfaatkan harta anak yatim, baik dari pihak wali maupun dari pihak lain kecuali pendekatan itu bertujuan untuk memelihara dan mengembangkan harta anak yatim.

Jika anak yatim itu sudah dewasa barulah diserahkan harta tersebut kepadanya. Mengenai usia, para ulama menyatakan sekitar 15-18 tahun atau dengan melihat situasi dan kondisi anak, mengingat kedewasaan tidak hanya didasarkan pada usia tapi pada kematangan emosi dan tanggung jawab sehingga bisa memelihara dan mengembangkan hartanya dan tidak berfoya-foya atau menghamburkan warisannya.

Tentang keharusan menyempurnakan takaran dan timbangan, perintah ini berulang kali disebutkan pada beberapa surah dalam Alquran dengan bermacam cara, bentuk dan hubungannya dengan persoalan yang bermacam-macam pula, antara lain firman Allah:

وَاَوْفُوا الْكَيْلَ اِذَا كِلْتُمْ وَزِنُوْا بِالْقِسْطَاسِ الْمُسْتَقِيْمِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا

Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan timbangan yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (al-Isra′/17: 35)

Perintah Tuhan untuk menyempurnakan takaran dan timbangan adalah sekadar menurut kemampuan yang biasa dilaksanakan dalam soal ini, karena Tuhan tidak memberati hamba-Nya melainkan sekadar kemampuannya. Yang penting tidak ada unsur atau maksud penipuan.

Yang dimaksud tentang keharusan berkata dengan adil kendati pun terhadap keluarga ialah setiap perkataan terutama dalam memberikan kesaksian dan putusan hukum. Dan ini sangat penting bagi setiap pembangunan terutama di bidang akhlak dan sosial, tanpa membedakan orang lain dengan kaum kerabat. Hal ini telah diterangkan pula dalam firman Allah:

وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنْهُمْ مَّغْفِرَةً وَّاَجْرًا عَظِيْمًا

Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar. (al-Fath/48: 29)

Adapun yang dimaksud dengan janji Allah, ialah semua janji baik terhadap Tuhan seperti firman Allah:

اَلَمْ اَعْهَدْ اِلَيْكُمْ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ اَنْ لَّا تَعْبُدُوا الشَّيْطٰنَۚ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan? Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu. (Yasin/36: 60)

Firman Allah yang lain:

وَالْمُوْفُوْنَ بِعَهْدِهِمْ اِذَا عَاهَدُوْا

Dan orang-orang yang menepati janji apabila berjanji. (al-Baqarah/2: 177)

Ayat ini diakhiri dengan ungkapan “semoga kamu ingat”, sebab semua perintah atau larangan yang tersebut dalam ayat ini pada umumnya diketahui dan dilaksanakan orang-orang Arab Jahiliyah, bahkan mereka bangga karena memiliki sifat-sifat terpuji itu. Jadi ayat ini mengingatkan mereka agar tidak lupa, atau agar mereka saling ingat-mengingatkan pentingnya melaksanakan perintah Allah tersebut.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik


153

Ayat ini menerangkan bahwa Rasulullah saw diperintahkan untuk menjelaskan kepada kaumnya bahwa Alquran yang mengajak kepada jalan yang benar, menghimbau mereka agar mengikuti ajaran Alquran demi kepentingan hidup mereka, karena Alquran adalah pedoman dan petunjuk dari Allah untuk memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridai-Nya.

Inilah jalan yang lurus, ikutilah dia, dan jangan mengikuti jalan yang lain yang akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Dalam Sunan Ahmad, an-Nasa′i, Abu Syaikh dan al-Hakim dari Abdullah bin Mas’µd, diriwayatkan dalam sebuah hadis yang maksudnya: Aku dan beberapa sahabat lainnya duduk bersama Rasulullah, lalu Rasulullah, membuat garis lurus dengan tangannya dan bersabda, “Ini jalan Allah yang lurus”, kemudian beliau menggariskan beberapa garis lagi dari kanan-kiri garis pertama tadi lalu bersabda, “ini jalan-jalan yang sesat.” Pada setiap ujung jalan dari jalan-jalan itu ada setan yang mengajak manusia untuk menempuhnya, kemudian Rasulullah membaca ayat ini (al-An’am/6: 152).

Para ahli tafsir mengatakan, bahwa bercerai-berai dalam agama Islam, karena perbedaan pendapat dan mazhab dilarang oleh Allah, karena melemahkan persatuan mereka dan sangat membahayakan agama itu sendiri. Kemudian ayat 153 ini, diakhiri dengan anjuran bertakwa karena dengan bertakwalah dapat dicapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang diridai Allah.

154

Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad saw, agar mengatakan kepada orang-orang Yahudi bahwa Allah telah memberikan Kitab kepada Musa, yaitu Kitab Taurat untuk menyempurnakan nikmatnya kepada orang yang berbuat kebaikan dan untuk menjelaskan segala hukum dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi Bani Israil (umat Nabi Musa) mudah-mudahan mereka percaya bahwa mereka akan kembali menemui Tuhannya sesudah mati.

155

Ayat ini kembali menerangkan sifat-sifat dan kedudukan Alquran yang mencakup segala macam petunjuk dan hukum syariat yang dibutuhkan oleh umat manusia seluruhnya dan jin, untuk mencapai kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi.

Kitab Taurat yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa penuh berisi ajaran-ajaran syariat dan petunjuk-petunjuk yang hanya dibutuhkan oleh Bani Israil untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat, sedangkan Alquran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, berisi lebih banyak petunjuk dan lebih luas jangkauannya dari Kitab Taurat.

Oleh karena itu, ikutilah petunjuknya dan laksanakan semua perintah dan larangan yang ada di dalamnya, agar kamu diberi rahmat, dan kamu diberi hidayah di dunia ini.

156

Ayat ini menjelaskan hikmah diturunkannya Alquran yaitu sebagai petunjuk untuk mengesakan Allah dengan cara membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran syirik dan menjauhkan diri dari perbuatan fasik dan kejahatan-kejahatan lainnya.

Dan agar orang-orang Arab yang selalu menentang Alquran tidak dapat lagi mengatakan di hari akhirat, bahwa kitab-kitab Allah hanya diturunkan kepada dua golongan saja (Yahudi dan Nasrani) sebelum kami dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang ada dalam kitab yang diturunkan kepada mereka, karena bahasanya lain dari bahasa kami, sedang umumnya kami adalah orang-orang ummi (tidak tahu tulis baca) dan kami tidak diperintahkan untuk mengikuti isi kitab-kitab itu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 157-159


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

0
Tafsir Ayat Poligami
Tafsir Ayat Poligami

Topik poligami selalu menarik untuk diperbincangkan, bukan hanya karena bahasan tafsir ayat poligami yang tidak pernah usai, tetapi juga karena keragaman pandangan tentangna. Dikatakan oleh Abd. Moqsith dalam salah satu tulisannya, Tafsir Atas Poligami Dalam Al-Quran bahwa tidak ada pandangan tunggal tentang kebolehan poligami dalam konteks sekarang.

Ayat Al-Quran yang biasa digunakan sebagai dasar teologis poligami ini sudah sangat populer, yaitu surat An-Nisa’ ayat 3

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Mengikut pada Faqihuddin Abdul Kodir dalam Memilih Monogami, ayat poligami ini diterjemahkan seperti berikut:

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuanperempuan (lain) yang suka kepada kamu; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Tafsir Ayat Poligami; dari Boleh hingga Terlarang

Melanjut penjelasan Abd. Moqsith di atas, perbedaan tafsir ayat poligami di atas bersimpul pada tiga pandangan ulama.

Pertama, ulama pro poligami, mereka membolehkan poligami dengan batas maksimal sembilan istri sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Zhahiriyah, Ibn As-Sabbagh, Al-Umrani, Al-Qasim bin Ibrahim dan sebagian kelompok Syiah. Meskipun ada hadis yang melarang sahabat Nabi untuk menikah lebih dari empat istri, kelompok ini tetap pada pendapatnya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Menurut mereka hadis tersebut harus dipahami dalam satu konteks, misalnya ada hubungan nasab, susuan dan sebab syar’i lainnya. Maka tidak heran jika Nabi memerintah para sahabat saat itu untuk menceraikan istri-istrinya hingga tersisa empat.

Kedua, ulama yang menoleransi poligami dalam keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud berbeda-beda, misal sang sitri mandul, sang istri sakit atau ada dalam keadaan yang membuatnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya. Al-Maraghi dan M. Quraish Shihab menambah kriteria darurat tersebut dengan keadaan seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri sudah menopause sementara suami masih ‘segar’, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.

Ketiga, ulama yang hanya menoleransi poligami pada zaman Nabi. Para pemikir Islam di kelompok ini beralasan bahwa toleransi ini diberikan bukan karena adanya keadaan darurat seperti pandangan kelompok kedua, tetapi lebih karena Al-Quran tidak mungkin menghapus praktik poligami secara sekaligus. Oleh karena itu cara yang strategis adalah dengan pelan-pelan, dimulai dengan membatasi jumlah poligami serta dengan syarat yang tidak mudah.

Nama-nama tokoh seperti Fazlur Rahman, Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir ada di kelompok ketiga. Mereka juga berpandangan bahwa tujuan syariah dari pernikahan itu monogami, bukan poligami.

Hal ini didasarkan pada ayat 129 surat An-Nisa’,

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat 129 ini juga menjadi tafsir ayat poligami di ayat sebelumnya, yaitu ayat 3. Berdasar pada ayat ini, diketahui secara tekstual bahwa adil sebagai syarat poligami di ayat 3 sangat sulit atau bahkan tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh seorang suami.

Tafsir ayat poligami dalam kisah Imam Abu Hanifah dan Khalifah Al-Mansur

Buya Husein Muhammad dalam Pendar-Pendar Kebijaksanaan menukil cerita tentang Imam Abu Hanifah, Khalifah Al-Mansur dan istrinya.

Suatu hari hubungan sang Khalifah dan istrinya terganggu . Hampir sertiap hari mereka bertengkar, bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun, dan stelah ditelisik ternyata sang suami ingin berpoligami, menikah lagi. Menghadapi masalah tersebut, keduanya sepakat melibatkan orang lain untuk memediasi mereka berdua, dan akhirnya orang yang terpilih adalah Imam Abu Hanifah.

Siapa yang tak kenal Abu Hanifah, ulama besar, cerdas dan dikenal bijak bestari. disebutkan bahwa Sang khalifah dan istrinya sangat hormat kepada sang Imam. Di waktu yang telah ditentukan, Imam Abu Hanifah tiba di istana dan disambut dengan penuh ta’dhim.

Setelah cukup memberikan muqaddimah tentang permasalahan pasangan suami istri tersebut, Khalifah Al-Mansur kemudian mengajukan pertanyaan ke sang Imam, “Berapakah batas seorang laki-laki berhak menikahi perempuan dalam satu waktu?”

“Empat” jawab Abu Hanifah

“Berapa banyak dia boleh menikahi budak perempuan?”

“Terserah, berapa saja dia mau.”

“Apakah seorang muslim boleh menentang pandangan Anda ini?”

“Tidak.” tegas Abu Hanifah

Khalifah tampak sumringah mendengar jawaban tegas dari Imam, dia merasa imam bersamanya, mendukungnya. sang Khalifah mulai percaya diri sambil berbisik pada istrinya, “Kamu sudah mendengar, apa yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah tadi?”

Baca Juga: Al-Mar’ah fil Islam: Antologi Kesetaraan Perempuan dalam Al-Quran, Hadis, dan Sejarah Nabi

Belum sempat sang istri menimpali, Abu Hanifah segera melanjutkan, “Ya, benar demikian aturannya yang mulia Khalifah. Akan tetapi, hal itu hanya dibolehkan bagi orang yang bisa berlaku adil. Namun jika tidak, maka dia hanya boleh memiliki satu saja. Allah sudah mengatakan, “jika kamu kawatir tidak bisa berbuat adil, maka satu saja.” Sudah seharusnya kita mengikuti etika Allah dan mengambil pengetahuan dari kata-kataNya.”

Mendengar penjelasan imam yang terakhir ini, Khalifah diam, membisu seribu bahasa, lama sekali, wajahnya tidak lagi ceria seperti sebelumnya. Sementara wajah sang istri berbinar-binar.

Kisah ini juga merupakan tafsir ayat poligami yang disampaikan oleh salah satu pendiri madzhab fikih. Sampai kapanpun tafsir ayat poligami tidak akan pernah usai.

Wallahu A’lam

Surat Maryam Ayat 96: Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh

0
Iman dan Amal
Rasa Cinta Buah dari Iman dan Amal

Sebagian Orang bertanya, “Apa buah dari iman dan amal saleh? Apakah hanya terbatas pada pahala dan ketenangan hati secara psikologis?” Jika kita berbicara mengenai hal tersebut, maka akan didapati bahwa buah atau manfaat dari iman dan amal saleh bersifat terikat-tak terbatas, seperti rasa cinta. Artinya, manfaat keduanya bisa dirasakan sesuai kepercayaan masing-masing individu dan tidak terbatas sesuai kehendak Allah Swt.

Iman dan amal saleh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa salah satunya keislaman seseorang tidak sempurna atau bahkan sama sekali tidak ada. Tanpa iman segala amal saleh tidak akan bermakna sekalipun secara materi dapat memberikan manfaat baik bagi dirinya ataupun orang lain. Sedangkan iman tanpa amal saleh seperti lebah madu yang tidak bisa menghasilkan madu dan tidak pula menghasilkan apapun.

Iman dan Amal adalah layaknya roh dan jasad bagi manusia. Tanpa kehadiran ruh, jasad hanya sebatang tubuh tak bernyawa yang terdiri dari berbagai organ dan sel-sel mati. Adapun ruh yang tak memiliki jasad akan kehilangan eksistensi di alam material. Tanpa itu, ruh hanya akan menjadi “sesuatu” yang transenden, tak tersentuh, tak bisa dirasa dan hampir mustahil untuk dipahami makhluk lain.

Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh

Ketika iman dan amal saleh bersatu padu, keduanya akan mewujudkan satu kata – sebuah nama yang sebelumnya menjadi tanggungjawab para nabi dan rasul untuk menyampaikannya – yakni Islam. Dengan demikian, ber-Islam berarti beriman dan beramal saleh. Bahkan seringkali Nabi Muhammad Saw mengindikasikan keislaman seseorang melalui penyandingan iman dan amal saleh.

Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: “Barang Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barang Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Muslim).

Baca Juga: Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

Allah Swt juga menyebutkan dalam Al-Qur’an berkenaan dengan iman dan amal saleh, bahwa keduanya akan menghasilkan buah manis yang menjadi keinginan setiap hamba, yakni rasa cinta dari-Nya. Ini tertuang dalam surah Maryam [19] ayat 96 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا ٩٦

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa cinta (dalam hati mereka).” (QS. Maryam [19]: 96).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya (Maryam [19]: 95) yang menjelaskan bahwa setiap makhluk berakal akan mendatangi Allah Swt dalam keadaan hina. Lalu pada surah Maryam [19]: 96 Allah memberikan pengecualian terhadap orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai ganjaran keimanan dan amal saleh mereka.

Pada ayat ini, seakan-akan Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan iman yang benar dan membuktikan ketulusan iman mereka dengan beramal saleh, maka hendaknya mereka tidak perlu cemas mengenai hari kiamat karena Ar-Rahman sebentar lagi akan menjadikan bagi mereka rasa cinta. Sedang orang yang tidak beriman dan beramal saleh, Allah akan menjadikan bagi mereka kebencian (Tafsir Al-Misbah [8]: 357).

Senada dengan Qurasih Shihab, Ibnu Asyur mengatakan bahwa dua ayat ini mengisahkan peristiwa hari kiamat, di mana pada saat itu setiap orang mengharapkan dukungan dan syafaat. Surah Maryam [19]: 96 menegaskan tentang keadaan orang-orang beriman dan beramal saleh yang berada dalam posisi terhormat lagi dicintai. Ar-Rahman (Allah Swt) menyiapkan bagi mereka malaikat-malaikat yang ramah serta menjalin rasa cinta dan kasih sayang diantara mereka.

Kata wuddan diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf wauw, dan dal berganda. Kata ini mengandung makna cinta dan harapan. Menurut al-Biqa’i, rangkaian huruf tersebut juga mengandung arti kelapangan dan kekosongan. Ia adalah kelapangan dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Al-Biqa’i mengatakan bahwa kata wuddan bukan hanya bermakna cinta biasa, tetapi cinta plus, yakni cinta yang tampak buahnya dalam sikap dan perlakuan.

Sebagian ulama memahami surah Maryam [19]: 96, yakni Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa cinta, dengan arti menanamkan “rasa cinta yang mendalam pada hati manusia sehingga mereka (orang-orang beriman dan beramal saleh) akan dicintai tanpa harus berpayah-payah berusaha menarik simpati dan cinta manusia.” (Tafsir Al-Misbah [8]: 358).

Baca Juga: Amal Banyak Tapi Sering Menyebut Kebaikannya, Bagaimana Menurut Al-Quran?

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa, “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menyeru malaikat dan berfirman: “Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia,” lantas Jibril pun mencintanya. Kemudian Jibril berseru kepada penghuni langit: “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia,” maka penghuni langit pun mencintainya, lalu dijadikanlah untuknya penerimaan baik (simpati) di bumi. (HR, Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa surah Maryam [19]: 96 menginformasikan kepada kita tentang buah dari iman dan amal saleh, yakni cinta dari Allah Swt pada hari kiamat di mana semua orang membutuhkan pertolongan dan syafaat. Namun di sisi lain, ayat ini juga mengindikasikan bahwa orang yang beriman dan beramal saleh hatinya akan dipenuhi rasa cinta, tidak ada kebencian dan tidak ada pula kedengkian. Wallahu a’lam.

Al-Alaq ataukah Al-Muddatstsir, Surat Yang Pertama Kali Diturunkan?

0
surat yang pertama kali diturunkan
surat yang pertama kali diturunkan

Di antara 114 surat yang ada di dalam Al-Quran, manakah yang pertama kali diturunkan? Mungkin akan ada banyak yang menjawab bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq. Namun mungkin jarang yang tahu bahwa di dalam sebuah hadis sahih, sahabat Jabir ibn ‘Abdullah pernah ditanya tentang surat yang pertama kali turun, dan sahabat Jabir menjawab bahwa surat itu adalah Surat Al-Muddatstsir. “Apa bukan Al-Alaq?” sanggah si penanya. Jabir lalu menceritakan sabda Nabi tentang surat yang pertama kali beliau terima adalah Al-Muddatstsir.

Hadis Dari Jabir Tentang Surat Yang Pertama Kali Turun

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis sahih dari Abu Salamah, bahwa Abu Salamah berkata:

سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ أَىُّ الْقُرْآنِ أُنْزِلَ قَبْلُ قَالَ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. فَقُلْتُ أَوِ اقْرَأْ قَالَ جَابِرٌ أُحَدِّثُكُمْ مَا حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « جَاوَرْتُ بِحِرَاءٍ شَهْرًا فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِى نَزَلْتُ فَاسْتَبْطَنْتُ بَطْنَ الْوَادِى فَنُودِيتُ فَنَظَرْتُ أَمَامِى وَخَلْفِى وَعَنْ يَمِينِى وَعَنْ شِمَالِى فَلَمْ أَرَ أَحَدًا ثُمَّ نُودِيتُ فَنَظَرْتُ فَلَمْ أَرَ أَحَدًا ثُمَّ نُودِيتُ فَرَفَعْتُ رَأْسِى فَإِذَا هُوَ عَلَى الْعَرْشِ فِى الْهَوَاءِ – يَعْنِى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فَأَخَذَتْنِى رَجْفَةٌ شَدِيدَةٌ فَأَتَيْتُ خَدِيجَةَ فَقُلْتُ دَثِّرُونِى. فَدَثَّرُونِى فَصَبُّوا عَلَىَّ مَاءً فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)

Aku bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah mengenai mana surat dari Al-Qur’an yang turun pertama kali. Ia menjawab: “ya ayyuhal muddatstsir”. Lalu aku berkata: “Apa bukan iqra’?” Jabir berkata: “Akan aku sampaikan apa yang Rasulullah salallahualaihi wasallam sampaikan padaku. Beliau bercerita: ‘Aku berdiam di gua Hira’ selama sebulan. Selesai berdiam, aku pun turun. Lalu sampailah aku di bagian dalam jurang. Lalu ada yang memanggilku. Aku melihat arah depan, belakang, kanan dan kiri, aku tidak melihat seorang pun. Lalu kembali ada yang memanggilku. Aku melihat dan tidak mendapati seorang pun. Lalu ada yang memanggilku kembali. Aku mengangkat kepala. Ternyata ia (yaitu Malaikat Jibril) di atas arsy, di awang-awang. Aku gemetar dengan hebat. Aku lalu mendatangi Khadijah. Aku berkata: ‘selimuti aku!’ Mereka lalu menyelimutiku dan menuangkan air kepadaku. Lalu Allah azza wa jalla menurunkan: ‘ya ayyuhal muddatstsir. Qum faangdzir. Wa rabbakan fakabbir. Wa tsiyabaka fathahhir (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: Tadabbur Atas Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5: Wahyu Pertama Perintah Membaca

Hadis ini menjadi pijakan sebagian ulama yang menyatakan bahwa surat yang pertama kali turun bukanlah Surat Al-Alaq, melainkan Surat Al-Muddatstsir. Hasan Al-Musawa dalam Nahjut Taisir menyatakan, cukup banyak yang meyakini pendapat ini. Hanya saja, pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah Surat Al-‘Alaq, adalah pendapat yang lebih kuat daripada pendapat ini (Nahjut Taisir/57).

Pendapat tersebut lebih kuat disebabkan, selain dikarenakan ada hadis sahih yang menyatakan bahwa wahyu yang pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad adalah Surat Al-‘Alaq ayat 1-7, juga ada dugaan kuat bahwa yang dimaksud oleh Jabir ibn Abdullah di dalam hadis di  atas bukanlah mengenai surat yang pertama kali diturunkan secara mutlak, melainkan yang pertama diturunkan setelah sempat berhentinya wahyu turun selama 3 tahun.

Oleh karena itu, Imam Al-Bulqini menyatakan bahwa antara dua hadis sahih yang sekilas tampak bertentangan dan menjadi pijakan dua pendapat di atas, masih bisa disatukan. Yaitu hadis yang menyatakan bahwa Surat Al-‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan, maksudnya pertama kali diturunkan secara mutlak. Sedang hadis Jabir di atas, menyinggung surat yang pertama kali diturunkan setelah sempat terhentinya wahyu (Nahjut Taisir/57).

Baca Juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah

Pendapat Lain Tentang Surat Yang Pertama Kali Diturunkan

Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan ternyata telah mendokumentasikan adanya silang pendapat mengenai surat yang pertama kali diturunkan. Tidak hanya dua pendapat saja. Namun sampai empat pendapat. Satu pendapat lain selain yang sudah disinggung di atas menyatakan, bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah Surat Al-Fatihah. Satu pendapat lagi menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah basmalah.

Di antara empat pendapat tersebut, Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa surat Al-‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan adalah pendapat yang benar. Hal ini disebabkan dasar yang menjadi pijakan pendapat yang menyatakan Al-Muddatstsir serta Al-Fatihah adalah yang pertama kali diturunkan, meski sahih tapi menyimpan indikasi bahwa yang dimaksud bukan pertama kali diturukan secara mutlak.

Mengenai pendapat yang menyinggung basmalah, As-Suyuthi menyatakan bahwa argument pendapat itu rapuh. Bahkan tidak bisa disebut sebagai sebuah pendapat. Sebab sudah pasti semua surat yang diturunkan di awali dengan basmalah (Al-Itqan/1/75).

Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani

0
Seni Berdakwah Qur'ani
Seni Berdakwah Qur'ani

Allah melalui firman-Nya dalam Surat Thaha ayat 44 menyampaikan etika seseorang ketika berdakwah. Yakni, dengan qawlan layyinan (berkata lemah lembut). Ini menjadi salah satu seni berdakwah Qur’ani, yang seharusnya diterapkan tiap pendakwah agar berdakwah tidak ngegas dan sarat provokasi, melainkan damai dan sejuk.

Ada kisah menarik soal surat Thaha ayat 44 dalam konteks pemerintahan Harun Ar-Rasyid (785-809 M), Raja Kesultanan ‘Abbasyiah. Kisah ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Baha’uddin Nur Salim di salah satu pengajiannya.

Baca juga: Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Dialog menohok Harun Ar-Rasyid dengan seorang ustadz

Suatu ketika, Harun Ar-Rasyid didatangi oleh seorang ustadz yang ekstrem. Ustadz ini bersetu:

يا آمر المؤمنين إني ناصح إليك فلا تجدن علي في نفسك شيئا!

“Wahai pemimpin orang mukmin, sesungguhnya saya mau menasehatimu, tapi jangan masukkan hati!”

Ustadz ini juga mengatakan bahwa nasehatnya akan sangat kritis dan sangat penting bagi Raja Harun Ar-Rasyid, yang menurutnya tidak becus memimpin rakyat. Pernyataan menohok ini lalu disikapi dengan cerdas oleh Raja Harun Ar-Rasyid.

Raja kelima Dinasti ‘Abbasiyyah ini menimpali:

أسكت يا جيل!

“diamlah kamu, bodoh!”

Mengapa saya bodoh”, tanya ustadz tersebut.

Kemudian ia membacakan Surat Thaha ayat 44:

فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut,  Mudah-mudahan dia sadar atau takut”

Kemudian ia menjelaskan ayat itu:

إن الله قد أرسل من هو خير منك إلى من هو شر مني ومع ذلك قال تعالى فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ

“Sungguh, Allah pun pernah mengutus orang yang lebih baik dibanding kamu (yakni Nabi Musa dan Harun) kepada orang yang lebih buruk dariku (yakni Fir’aun), lalu Allah berfirman Surat Thaha ayat 44 tersebut di atas”

Artinya, jelas Gus Baha’, seorang Nabi yang dimandatkan untuk berdakwah kepada orang yang sangat buruk, masih Allah perintahkan menjaga etika berdakwah dengan halus, lembut, dan berperadaban. Kok, ini setingkat ustadz saja berkata kasar. Ustadz amatir lagi.

Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Nur Muhammad SAW Ada Sebelum Nabi Adam Diciptakan

Qawlan layyinan, seni berdakwah Qur’ani

Frasa qawlan layyinan merupakan salah satu seni berdakwah yang sangat urgen untuk keoptimalan dakwah. Qawlan layyinan yang secara bahasa berarti ucapan halus, akan lebih menarik bagi orang lain dari pada ucapan sarkastik.

Dalam konteks ayat ini, Ibnu ‘Asyur dalam at-Tharir wat-Tanwir memaknai qawlan layyinan sebagai ucapan yang mengajak pada kebaikan dan disampaikan dengan cara baik pula. Misalnya, dengan memberi tawaran atau mengajak berbuat baik. Seorang pendakwah yang menerapkan qawlan layyinan akan mensyiarkan ajaran Islam dengan rasional. Dan, tentu saja dengan memberi kesan baik. Tidak ada unsur ucapan yang menyinggung massanya, misalnya, membodoh-bodohkan. Sehingga, substansi baik tidak tercederai dengan kesan buruk.

Seni berdahwa dengan qawlan layyinan tidak pandang bulu. Mau sebrutal apa pun dan sebodoh apa pun yang diajak pada kebaikan, harus tetap diajak dengan cara yang baik, dengan kata-kata yang lemah lembut. Karena, kita bisa lihat dari kisah di balik penurunan ayat ini. Waktu itu, Nabi Musa begitu juga Nabi Harun yang merupakan manusia pilihan karena kenabian dan kerasulannya, berderajad mulia, diutus berdakwah kepada seorang raja yang terlampau keji, karena tindak anarkis dan sombongnya sampai di titik mengkultuskan diri sendiri sebagai tuhan.

Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Kendati begitu, Allah tetap menyeru Musa ra. dan Harun ra. untuk qawlan layyinan, yang oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim dimaknai dengan alla yukhathiba Fir’auna illa bil mulathafah wallayn (jangan berbicara pada Fir’aun kecuali dengan perkataan yang lemah lembut.

Berdakwah dengan lemah lembut sungguh penting. Bahkan Imam Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menyebut bahwa seni dakwah ini termasuk haqqut tarbiyyah (hak mendidik), yang pasti berpengaruh langsung pada keberhasilan tujuan dakwah. Dua hal yang menjadi tujuan itu antara lain ada pada penggalan ayat berikutnya, yakni yatadzakkaru aw yakhsya (sadar atau takut). Artinya, masih menurut Al-Baghawi, pendengar bisa mengambil nasehat dari apa yang disampaikan da’i, serta takut untuk melakukan hal buruk.

Berdakwah seringkali bertujuan baik, karena memang esensinya untuk menebar ajaran Islam, yang notabene sarat kebaikan. Tetapi, esensi itu akan rusak bila cara dakwahnya salah. Orang tidak akan menerima sesuatu bila disampaikan dengan cara yang sarkastik, menjatuh-jatuhkan pihak lain, atau bahkan menyesatkannya seakan sendirinya yang paling benar. Orang hanya menerima sesuatu bila disampaikan dengan cara yang baik. Karena, Substansi baik, akan mudah diterima bila memberi kesan baik pula. Wallahu a’lam[]