Beranda blog Halaman 459

Surat Maryam Ayat 96: Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh

0
Iman dan Amal
Rasa Cinta Buah dari Iman dan Amal

Sebagian Orang bertanya, “Apa buah dari iman dan amal saleh? Apakah hanya terbatas pada pahala dan ketenangan hati secara psikologis?” Jika kita berbicara mengenai hal tersebut, maka akan didapati bahwa buah atau manfaat dari iman dan amal saleh bersifat terikat-tak terbatas, seperti rasa cinta. Artinya, manfaat keduanya bisa dirasakan sesuai kepercayaan masing-masing individu dan tidak terbatas sesuai kehendak Allah Swt.

Iman dan amal saleh adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tanpa salah satunya keislaman seseorang tidak sempurna atau bahkan sama sekali tidak ada. Tanpa iman segala amal saleh tidak akan bermakna sekalipun secara materi dapat memberikan manfaat baik bagi dirinya ataupun orang lain. Sedangkan iman tanpa amal saleh seperti lebah madu yang tidak bisa menghasilkan madu dan tidak pula menghasilkan apapun.

Iman dan Amal adalah layaknya roh dan jasad bagi manusia. Tanpa kehadiran ruh, jasad hanya sebatang tubuh tak bernyawa yang terdiri dari berbagai organ dan sel-sel mati. Adapun ruh yang tak memiliki jasad akan kehilangan eksistensi di alam material. Tanpa itu, ruh hanya akan menjadi “sesuatu” yang transenden, tak tersentuh, tak bisa dirasa dan hampir mustahil untuk dipahami makhluk lain.

Rasa Cinta Adalah Buah dari Iman dan Amal Saleh

Ketika iman dan amal saleh bersatu padu, keduanya akan mewujudkan satu kata – sebuah nama yang sebelumnya menjadi tanggungjawab para nabi dan rasul untuk menyampaikannya – yakni Islam. Dengan demikian, ber-Islam berarti beriman dan beramal saleh. Bahkan seringkali Nabi Muhammad Saw mengindikasikan keislaman seseorang melalui penyandingan iman dan amal saleh.

Dalam sebuah hadis, beliau bersabda: “Barang Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbuat baik kepada tetangganya. Barang Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya. Barang Siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam.” (HR. Muslim).

Baca Juga: Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

Allah Swt juga menyebutkan dalam Al-Qur’an berkenaan dengan iman dan amal saleh, bahwa keduanya akan menghasilkan buah manis yang menjadi keinginan setiap hamba, yakni rasa cinta dari-Nya. Ini tertuang dalam surah Maryam [19] ayat 96 yang berbunyi:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا ٩٦

“Sungguh, orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak (Allah) Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa cinta (dalam hati mereka).” (QS. Maryam [19]: 96).

Menurut Quraish Shihab, ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya (Maryam [19]: 95) yang menjelaskan bahwa setiap makhluk berakal akan mendatangi Allah Swt dalam keadaan hina. Lalu pada surah Maryam [19]: 96 Allah memberikan pengecualian terhadap orang-orang yang beriman dan beramal saleh sebagai ganjaran keimanan dan amal saleh mereka.

Pada ayat ini, seakan-akan Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dengan iman yang benar dan membuktikan ketulusan iman mereka dengan beramal saleh, maka hendaknya mereka tidak perlu cemas mengenai hari kiamat karena Ar-Rahman sebentar lagi akan menjadikan bagi mereka rasa cinta. Sedang orang yang tidak beriman dan beramal saleh, Allah akan menjadikan bagi mereka kebencian (Tafsir Al-Misbah [8]: 357).

Senada dengan Qurasih Shihab, Ibnu Asyur mengatakan bahwa dua ayat ini mengisahkan peristiwa hari kiamat, di mana pada saat itu setiap orang mengharapkan dukungan dan syafaat. Surah Maryam [19]: 96 menegaskan tentang keadaan orang-orang beriman dan beramal saleh yang berada dalam posisi terhormat lagi dicintai. Ar-Rahman (Allah Swt) menyiapkan bagi mereka malaikat-malaikat yang ramah serta menjalin rasa cinta dan kasih sayang diantara mereka.

Kata wuddan diambil dari akar kata yang terdiri dari huruf wauw, dan dal berganda. Kata ini mengandung makna cinta dan harapan. Menurut al-Biqa’i, rangkaian huruf tersebut juga mengandung arti kelapangan dan kekosongan. Ia adalah kelapangan dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Al-Biqa’i mengatakan bahwa kata wuddan bukan hanya bermakna cinta biasa, tetapi cinta plus, yakni cinta yang tampak buahnya dalam sikap dan perlakuan.

Sebagian ulama memahami surah Maryam [19]: 96, yakni Allah Yang Maha Pengasih akan menanamkan rasa cinta, dengan arti menanamkan “rasa cinta yang mendalam pada hati manusia sehingga mereka (orang-orang beriman dan beramal saleh) akan dicintai tanpa harus berpayah-payah berusaha menarik simpati dan cinta manusia.” (Tafsir Al-Misbah [8]: 358).

Baca Juga: Amal Banyak Tapi Sering Menyebut Kebaikannya, Bagaimana Menurut Al-Quran?

Pendapat ini didasarkan pada sebuah hadis yang menyatakan bahwa, “Jika Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menyeru malaikat dan berfirman: “Wahai Jibril, sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia,” lantas Jibril pun mencintanya. Kemudian Jibril berseru kepada penghuni langit: “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah dia,” maka penghuni langit pun mencintainya, lalu dijadikanlah untuknya penerimaan baik (simpati) di bumi. (HR, Bukhari dan Muslim melalui Abu Hurairah).

Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa surah Maryam [19]: 96 menginformasikan kepada kita tentang buah dari iman dan amal saleh, yakni cinta dari Allah Swt pada hari kiamat di mana semua orang membutuhkan pertolongan dan syafaat. Namun di sisi lain, ayat ini juga mengindikasikan bahwa orang yang beriman dan beramal saleh hatinya akan dipenuhi rasa cinta, tidak ada kebencian dan tidak ada pula kedengkian. Wallahu a’lam.

Al-Alaq ataukah Al-Muddatstsir, Surat Yang Pertama Kali Diturunkan?

0
surat yang pertama kali diturunkan
surat yang pertama kali diturunkan

Di antara 114 surat yang ada di dalam Al-Quran, manakah yang pertama kali diturunkan? Mungkin akan ada banyak yang menjawab bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah surat Al-Alaq. Namun mungkin jarang yang tahu bahwa di dalam sebuah hadis sahih, sahabat Jabir ibn ‘Abdullah pernah ditanya tentang surat yang pertama kali turun, dan sahabat Jabir menjawab bahwa surat itu adalah Surat Al-Muddatstsir. “Apa bukan Al-Alaq?” sanggah si penanya. Jabir lalu menceritakan sabda Nabi tentang surat yang pertama kali beliau terima adalah Al-Muddatstsir.

Hadis Dari Jabir Tentang Surat Yang Pertama Kali Turun

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis sahih dari Abu Salamah, bahwa Abu Salamah berkata:

سَأَلْتُ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ أَىُّ الْقُرْآنِ أُنْزِلَ قَبْلُ قَالَ يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ. فَقُلْتُ أَوِ اقْرَأْ قَالَ جَابِرٌ أُحَدِّثُكُمْ مَا حَدَّثَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « جَاوَرْتُ بِحِرَاءٍ شَهْرًا فَلَمَّا قَضَيْتُ جِوَارِى نَزَلْتُ فَاسْتَبْطَنْتُ بَطْنَ الْوَادِى فَنُودِيتُ فَنَظَرْتُ أَمَامِى وَخَلْفِى وَعَنْ يَمِينِى وَعَنْ شِمَالِى فَلَمْ أَرَ أَحَدًا ثُمَّ نُودِيتُ فَنَظَرْتُ فَلَمْ أَرَ أَحَدًا ثُمَّ نُودِيتُ فَرَفَعْتُ رَأْسِى فَإِذَا هُوَ عَلَى الْعَرْشِ فِى الْهَوَاءِ – يَعْنِى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ – فَأَخَذَتْنِى رَجْفَةٌ شَدِيدَةٌ فَأَتَيْتُ خَدِيجَةَ فَقُلْتُ دَثِّرُونِى. فَدَثَّرُونِى فَصَبُّوا عَلَىَّ مَاءً فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ( يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ قُمْ فَأَنْذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)

Aku bertanya kepada Jabir bin ‘Abdullah mengenai mana surat dari Al-Qur’an yang turun pertama kali. Ia menjawab: “ya ayyuhal muddatstsir”. Lalu aku berkata: “Apa bukan iqra’?” Jabir berkata: “Akan aku sampaikan apa yang Rasulullah salallahualaihi wasallam sampaikan padaku. Beliau bercerita: ‘Aku berdiam di gua Hira’ selama sebulan. Selesai berdiam, aku pun turun. Lalu sampailah aku di bagian dalam jurang. Lalu ada yang memanggilku. Aku melihat arah depan, belakang, kanan dan kiri, aku tidak melihat seorang pun. Lalu kembali ada yang memanggilku. Aku melihat dan tidak mendapati seorang pun. Lalu ada yang memanggilku kembali. Aku mengangkat kepala. Ternyata ia (yaitu Malaikat Jibril) di atas arsy, di awang-awang. Aku gemetar dengan hebat. Aku lalu mendatangi Khadijah. Aku berkata: ‘selimuti aku!’ Mereka lalu menyelimutiku dan menuangkan air kepadaku. Lalu Allah azza wa jalla menurunkan: ‘ya ayyuhal muddatstsir. Qum faangdzir. Wa rabbakan fakabbir. Wa tsiyabaka fathahhir (HR. Bukhari dan Muslim).

Baca Juga: Tadabbur Atas Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5: Wahyu Pertama Perintah Membaca

Hadis ini menjadi pijakan sebagian ulama yang menyatakan bahwa surat yang pertama kali turun bukanlah Surat Al-Alaq, melainkan Surat Al-Muddatstsir. Hasan Al-Musawa dalam Nahjut Taisir menyatakan, cukup banyak yang meyakini pendapat ini. Hanya saja, pendapat yang menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah Surat Al-‘Alaq, adalah pendapat yang lebih kuat daripada pendapat ini (Nahjut Taisir/57).

Pendapat tersebut lebih kuat disebabkan, selain dikarenakan ada hadis sahih yang menyatakan bahwa wahyu yang pertama kali diterima oleh Nabi Muhammad adalah Surat Al-‘Alaq ayat 1-7, juga ada dugaan kuat bahwa yang dimaksud oleh Jabir ibn Abdullah di dalam hadis di  atas bukanlah mengenai surat yang pertama kali diturunkan secara mutlak, melainkan yang pertama diturunkan setelah sempat berhentinya wahyu turun selama 3 tahun.

Oleh karena itu, Imam Al-Bulqini menyatakan bahwa antara dua hadis sahih yang sekilas tampak bertentangan dan menjadi pijakan dua pendapat di atas, masih bisa disatukan. Yaitu hadis yang menyatakan bahwa Surat Al-‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan, maksudnya pertama kali diturunkan secara mutlak. Sedang hadis Jabir di atas, menyinggung surat yang pertama kali diturunkan setelah sempat terhentinya wahyu (Nahjut Taisir/57).

Baca Juga: Inilah Tiga Keutamaan Surat Al Fatihah

Pendapat Lain Tentang Surat Yang Pertama Kali Diturunkan

Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan ternyata telah mendokumentasikan adanya silang pendapat mengenai surat yang pertama kali diturunkan. Tidak hanya dua pendapat saja. Namun sampai empat pendapat. Satu pendapat lain selain yang sudah disinggung di atas menyatakan, bahwa surat yang pertama kali diturunkan adalah Surat Al-Fatihah. Satu pendapat lagi menyatakan bahwa yang pertama kali turun adalah basmalah.

Di antara empat pendapat tersebut, Imam As-Suyuthi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa surat Al-‘Alaq adalah surat yang pertama kali diturunkan adalah pendapat yang benar. Hal ini disebabkan dasar yang menjadi pijakan pendapat yang menyatakan Al-Muddatstsir serta Al-Fatihah adalah yang pertama kali diturunkan, meski sahih tapi menyimpan indikasi bahwa yang dimaksud bukan pertama kali diturukan secara mutlak.

Mengenai pendapat yang menyinggung basmalah, As-Suyuthi menyatakan bahwa argument pendapat itu rapuh. Bahkan tidak bisa disebut sebagai sebuah pendapat. Sebab sudah pasti semua surat yang diturunkan di awali dengan basmalah (Al-Itqan/1/75).

Kisah Dialog Harun Ar-Rasyid dengan Seorang Ustadz dan Seni Berdakwah Qur’ani

0
Seni Berdakwah Qur'ani
Seni Berdakwah Qur'ani

Allah melalui firman-Nya dalam Surat Thaha ayat 44 menyampaikan etika seseorang ketika berdakwah. Yakni, dengan qawlan layyinan (berkata lemah lembut). Ini menjadi salah satu seni berdakwah Qur’ani, yang seharusnya diterapkan tiap pendakwah agar berdakwah tidak ngegas dan sarat provokasi, melainkan damai dan sejuk.

Ada kisah menarik soal surat Thaha ayat 44 dalam konteks pemerintahan Harun Ar-Rasyid (785-809 M), Raja Kesultanan ‘Abbasyiah. Kisah ini sebagaimana yang disampaikan oleh Gus Baha’uddin Nur Salim di salah satu pengajiannya.

Baca juga: Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

Dialog menohok Harun Ar-Rasyid dengan seorang ustadz

Suatu ketika, Harun Ar-Rasyid didatangi oleh seorang ustadz yang ekstrem. Ustadz ini bersetu:

يا آمر المؤمنين إني ناصح إليك فلا تجدن علي في نفسك شيئا!

“Wahai pemimpin orang mukmin, sesungguhnya saya mau menasehatimu, tapi jangan masukkan hati!”

Ustadz ini juga mengatakan bahwa nasehatnya akan sangat kritis dan sangat penting bagi Raja Harun Ar-Rasyid, yang menurutnya tidak becus memimpin rakyat. Pernyataan menohok ini lalu disikapi dengan cerdas oleh Raja Harun Ar-Rasyid.

Raja kelima Dinasti ‘Abbasiyyah ini menimpali:

أسكت يا جيل!

“diamlah kamu, bodoh!”

Mengapa saya bodoh”, tanya ustadz tersebut.

Kemudian ia membacakan Surat Thaha ayat 44:

فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut,  Mudah-mudahan dia sadar atau takut”

Kemudian ia menjelaskan ayat itu:

إن الله قد أرسل من هو خير منك إلى من هو شر مني ومع ذلك قال تعالى فَقُولَا لَهُۥ قَوۡلٗا لَّيِّنٗا لَّعَلَّهُۥ يَتَذَكَّرُ أَوۡ يَخۡشَىٰ

“Sungguh, Allah pun pernah mengutus orang yang lebih baik dibanding kamu (yakni Nabi Musa dan Harun) kepada orang yang lebih buruk dariku (yakni Fir’aun), lalu Allah berfirman Surat Thaha ayat 44 tersebut di atas”

Artinya, jelas Gus Baha’, seorang Nabi yang dimandatkan untuk berdakwah kepada orang yang sangat buruk, masih Allah perintahkan menjaga etika berdakwah dengan halus, lembut, dan berperadaban. Kok, ini setingkat ustadz saja berkata kasar. Ustadz amatir lagi.

Baca juga: Ngaji Gus Baha’: Nur Muhammad SAW Ada Sebelum Nabi Adam Diciptakan

Qawlan layyinan, seni berdakwah Qur’ani

Frasa qawlan layyinan merupakan salah satu seni berdakwah yang sangat urgen untuk keoptimalan dakwah. Qawlan layyinan yang secara bahasa berarti ucapan halus, akan lebih menarik bagi orang lain dari pada ucapan sarkastik.

Dalam konteks ayat ini, Ibnu ‘Asyur dalam at-Tharir wat-Tanwir memaknai qawlan layyinan sebagai ucapan yang mengajak pada kebaikan dan disampaikan dengan cara baik pula. Misalnya, dengan memberi tawaran atau mengajak berbuat baik. Seorang pendakwah yang menerapkan qawlan layyinan akan mensyiarkan ajaran Islam dengan rasional. Dan, tentu saja dengan memberi kesan baik. Tidak ada unsur ucapan yang menyinggung massanya, misalnya, membodoh-bodohkan. Sehingga, substansi baik tidak tercederai dengan kesan buruk.

Seni berdahwa dengan qawlan layyinan tidak pandang bulu. Mau sebrutal apa pun dan sebodoh apa pun yang diajak pada kebaikan, harus tetap diajak dengan cara yang baik, dengan kata-kata yang lemah lembut. Karena, kita bisa lihat dari kisah di balik penurunan ayat ini. Waktu itu, Nabi Musa begitu juga Nabi Harun yang merupakan manusia pilihan karena kenabian dan kerasulannya, berderajad mulia, diutus berdakwah kepada seorang raja yang terlampau keji, karena tindak anarkis dan sombongnya sampai di titik mengkultuskan diri sendiri sebagai tuhan.

Baca juga: Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

Kendati begitu, Allah tetap menyeru Musa ra. dan Harun ra. untuk qawlan layyinan, yang oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quranul ‘Adzim dimaknai dengan alla yukhathiba Fir’auna illa bil mulathafah wallayn (jangan berbicara pada Fir’aun kecuali dengan perkataan yang lemah lembut.

Berdakwah dengan lemah lembut sungguh penting. Bahkan Imam Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menyebut bahwa seni dakwah ini termasuk haqqut tarbiyyah (hak mendidik), yang pasti berpengaruh langsung pada keberhasilan tujuan dakwah. Dua hal yang menjadi tujuan itu antara lain ada pada penggalan ayat berikutnya, yakni yatadzakkaru aw yakhsya (sadar atau takut). Artinya, masih menurut Al-Baghawi, pendengar bisa mengambil nasehat dari apa yang disampaikan da’i, serta takut untuk melakukan hal buruk.

Berdakwah seringkali bertujuan baik, karena memang esensinya untuk menebar ajaran Islam, yang notabene sarat kebaikan. Tetapi, esensi itu akan rusak bila cara dakwahnya salah. Orang tidak akan menerima sesuatu bila disampaikan dengan cara yang sarkastik, menjatuh-jatuhkan pihak lain, atau bahkan menyesatkannya seakan sendirinya yang paling benar. Orang hanya menerima sesuatu bila disampaikan dengan cara yang baik. Karena, Substansi baik, akan mudah diterima bila memberi kesan baik pula. Wallahu a’lam[]

 

 

Pengertian Akhlak Menurut Para Mufasir dan Hakikat Perbuatan Manusia

0
Pengertian Akhlak
Pengertian Akhlak

Kata “akhlak” suatu kata baku dalam bahasa Arab yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, kata ini sudah menjadi milik bahasa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan dimasukkannya kata itu ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Untuk mengulasnya lebih lanjut, artikel ini akan menjelaskan pengertian akhlak menurut pendapat para ulama dari berbagai perspektif.

“Akhlak” di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan sangat sederhana, yaitu “budi pekerti, kelakuan”. “Budi pekerti” disinonimkan dengan kata-kata “tingkah laku, perangai, dan watak”. Dari sini dapat dikatakan bahwa akhlak dalam pengertiannya yang sederhana ialah segala perilaku, tindakan, dan sikap, baik yang berbentuk ucapan maupun perbuatan yang dilakukan oleh manusia.

Di dalam bahasa Arab kata “akhlak” (أخلاق) adalah bentuk jamak dari kata “khuluq” (خلق), yang berakar dari kata kerja “khalaqa” (خلق), yang berarti “menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, dan kelakuan.

Baca Juga: Teladan Akhlak Nabi Muhammad SAW Kepada sang Ibunda: ‘Saya Anak dari Seorang Perempuan’

Ada beberapa pengertian akhlak yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya sebagai berikut:

  1. Al-Qurthubi (Tafsir al-Qurthuby, Juz VIII, hal. 6706) memberikan pengertian akhlak sebagai berikut, “akhlak adalah segala sesuatu yang dijadikan manusia di dalam dirinya sebagai tata krama, kesantunan, (adab) sebagai bagian dari penciptaannya”.
  2. Muhammad bin Ilaan ash-Shadieqy (Dalil al-Falihin, Juz III, hal. 76) mengatakan pengertian akhlak adalah kemampuan yang terdapat di dalam jiwa manusia yang menyebabkan ia mampu melahirkan perbuatan-perbuatan baik dengan cara yang mudah (tanpa dorongan dari orang lain).”
  3. Ibn Maskwayh di dalam Muhammad Yusuf Musa, Falsafat Akhlak fi al-Islam, hal. 81) mengatakan: “Akhlak ialah keadaan yang dimiliki jiwa yang dapat mendorongnya untuk melakukannya tanpa ada pemikiran dan pertimbangan.”
  4. Abu Bakr Jabir al-Jazairiy (Minhaj al-Muslim, h. 154) menguraikan pengertian akhlak ialah keadaan yang sangat kokoh di dalam jiwa yang menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang dikehendaki dan yang diinginkan, baik perbuatan yang baik maupun yang buruk, perbuatan yang indah maupun yang jelek.”
  5. Imam al-Ghazaliy (Ihya’ Ulumiddin, Jilid III, hal. 52) mengatakan: “Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dengan kokoh di dalam jiwa manusia, yang menjadi sumber kahirnya perbuatan-perbuatan, tindakan-tindakan dengan gampang dan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan yang terpuji dan indah, baik menurut akal maupun hukum, disebut akhlak yang baik (khuluq hasan). Jika keadaan itu menjadi sumber lahirnya perbuatan-perbuatan jelek dan kotor, maka ia disebut akhlak kotor (khuluq sayyi’).

Pengertian akhlak di atas menunjukkan bahwa akhlak adalah suatu keadaan yang terdapat di dalam manusia yang melahirkan berbagai macam sikap, perbuatan, kelakuan, dan tindakan, baik yang bersifat baik maupun buruk. Akhlak itu berkaitan dengan keadaan jiwa seseorang. Jadi, akhlak adalah segala tindakan, perbuatan, dan perilaku yang lahir dari keadaan jiwa. Keadaan jiwa seseorang belum dapat dikatakan akhlak karena masih tersembunyi dan belum terwujud dan tampak dalam perbuatan. Yang sudah terwujud dalam bentuk perbuatan itulah yang disebut akhlak.

Menurut para ahli hikmah, ada tiga keadaan jiwa yang mendorng manusia untuk melakukan perbuatan, yaitu:

  1. Tabiat (pembawan), yang sifat yang dibawa sejak lahir, yang disebut “al-akhlaq al-fihtriyyah), yaitu suatu dorongan jiwa yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan manusia, tetapi disebabkan oleh naluri (gharizah) dan faktor warisan sifat-sifat dari orang tuanya atau nenek moyangnya. Ini bersifat turunan (geneologik).
  2. Akal-pikiran, yang dikenal dengan istilah “al-‘Aql”, yaitu dorongan jiwa yang dipengaruhi oleh lingkungan manusia setelah melihat sesuatu, mendengarkannya, merasakannya serta merabanya. Alat kejiwaan ini hanya dapat menilai sesuatu yang lahir (yang nyata).
  3. Hati nurani, yang dibseut “al-bashirah”, yaitu dorongan jiwa yang hanya terpengaruh oleh faktor intuitif (wijdan). Alat kejiwaan ini dapat menilai hal-hal yang bersifat abstrak (bathin).

Istilah “akhlak” seringkali disinonimkan dengan beberapa istilah lain, yaitu etika dan moral, serta kesosilaan dan kesopanan. Istilah-istilah secara sepintas sama, tetapi secara hakiki sangatlah berbeda.

Baca Juga: Akhlak Nabi saw yang Mempersatukan Umat dan Tafsir Surat At-Taubah Ayat 107-109

Istilah “akhlak” (أخلاق) berasal dari kata Arab, yaitu sebuah istilah agama yang digunakan untuk menilai perbuatan manusia, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jika kata ini dikaitkan dengan kata “ilmu” sehingga menjadi ilmu akhlak, maka akhlak menjadi sebuah bidang ilmu pengetahuan agama Islam yang memberikan tuntunan kepada manusia tentang cara-cara berbuat baik dan menghindarkan perbuatan buruk.

Etika dan moral adalah dua istilah yang berasal dari bahasa asing. Etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ethos”, yang berarti adat, watak atau kesusilaan. Etika digunakan untuk mengkaji sistem nilai yang ada, karena etika merupakan suatu ilmu. Sedangkan moral berasal dari bahasa Latin, yaitu “mos”, yang juga berarti adat atau cara hidup. Moral digunakan untuk memberikan kriteria perbuatan yang sedang dinilai. Moral bukanlah sebuah ilmu, tetapi merupakan suatu perbuatan manusia.

Kata “kesusilaan” berasal dari bahasa Sansekerta, yang terdiri atas dua kata, yaitu “su”, yang berarti “lebih baik”, dan “sila” yang berarti “prinsip, dasar atau aturan hidup”. Kesusilaan adalah dasar-dasar atauran hidup yang lebih baik. Kesopanan adalah bahasa Indonesia, yang artinya “tenang, beradab, baik, dan halus baik dalam perkataan maupun perbuatan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 151

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Setelah pada ayat yang lalu membahas mengenai perintah Allah swt untuk menantang orang-orang musyrik, dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 151 Allah swt memerintahkan Nabi Muhammad untuk membacakan wahyu yang diturunkan kepadanya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 148-150


Perintah yang tercantum dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 151 ini adalah 10 ajaran pokok inti agama Islam. 10 ajaran inti tersebut juga terdapat dalam ajaran agama-agama samawi lainnya.

10 ajaran yang tecantum dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 151 dibagi menjadi dua bagian. Lima bagian pertama tercantum dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 151 dan lima bagian kedua tecantum dalam ayat 152 dan 153 yang akan dibicarakan dalam pembahasan selanjutnya.

Ayat 151

Di dalam permulaan ayat ini, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada kaum musyrikin yang menetapkan hukum menurut kehendak hawa nafsunya bahwa ia akan membacakan wahyu yang akan diturunkan Allah kepadanya.

Wahyu itu memuat beberapa ketentuan tentang hal-hal yang diharamkan kepada mereka. Ketentuan-ketentuan hukum itu datangnya dari Allah, maka ketentuan-ketentuan itulah yang harus ditaati, karena Dia sendirilah yang berhak menentukan ketentuan hukum dengan perantara wahyu yang disampaikan oleh malaikat kepada Rasul-Nya, yang memang diutus untuk menyampaikan ketentuan-ketentuan hukum kepada umat manusia.

Ketentuan-ketentuan hukum yang disampaikan Rasul kepada kaum musyrikin itu berintikan 10 ajaran pokok yang sangat penting yang menjadi inti dari agama Islam dan semua agama yang diturunkan Allah ke dunia. Lima ketentuan di antara  sepuluh ketentuan itu terdapat dalam ayat ini, empat buah di antaranya terdapat dalam ayat berikutnya (152), sedang satu ketentuan lagi terdapat dalam ayat berikutnya lagi (153).

Para ulama menamakan sepuluh ajaran pokok itu “al-Wasaya al-‘Asyr” (sepuluh perintah), yang mana dalam ayat 151 ini disebutkan lima yaitu:

(1) Jangan mempersekutukan Allah,

(2) Berbuat baik kepada kedua orangtua (ibu dan bapak),

(3) Jangan membunuh anak karena kemiskinan,

(4) Jangan mendekati (berbuat) kejahatan secara terang-terangan maupun secara tersembunyi,

(5) Jangan membunuh jiwa yang diharamkan membunuhnya oleh Allah. Adapun larangan tidak boleh mempersekutukan Allah adalah pokok pertama yang paling mutlak, baik dengan perkataan atau iktikad. Seperti mempercayai bahwa Tuhan itu bersekutu, atau dengan perbuatan seperti menyembah berhala-berhala atau sembahan-sembahan lainnya.

Setelah Allah memerintahkan manusia agar bertauhid dan jangan mempersekutukan-Nya, maka Allah memerintahkan manusia agar berbuat baik terhadap kedua orang tua.

Urutan ini jelas menerangkan bagaimana pentingnya berbuat baik terhadap kedua orangtua, meskipun mereka salah atau menyuruh anaknya mempersekutukan Tuhan, namun si anak tetap harus berbuat baik terhadap mereka di dunia ini dan harus menolak dengan sopan suruhan atau ajakan orangtua untuk mempersekutukan Tuhan, sebagaimana firman Allah:

وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖ

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang engkau tidak mempunyai ilmu tentang itu, maka janganlah engkau menaati keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik. (Luqman/31: 15)

Di dalam hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Maµd. Dia menyampaikan hadis yang maksudnya sebagai berikut:

أَيُّ الْعَمَلِ اَفْضَل قَالَ اَلصَّلاَةُ عَلَى مِيْقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ اَلجِْهَادُ فِى سَبِيْلِ الله.

(رواه البخارى ومسلم)

 “Saya bertanya kepada Rasulullah, tentang amal yang paling afdal?” Rasulullah menjawab, “salat tepat pada waktunya,” apalagi sesudah itu? Jawabnya, “berbuat baik terhadap kedua orang tua,” apalagi sesudah itu? Jawabnya, “berjihad di jalah Allah.” (Riwayat al-Bukhāri dan Muslim)

Yang dimaksud dengan berbuat baik terhadap kedua orang tua ialah menghormati keduanya, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan penuh rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena takut atau terpaksa. Penghormatan tersebut wajib, di samping kewajiban anak membelanjai ibu bapaknya yang tidak mampu, sesuai dengan kesanggupan anak itu.


Baca juga: Mengenal Imam An-Naisaburi dan Kitabnya Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan


Perintah berbuat baik kepada orang tua diikuti dengan larangan kepada orang tua membunuh anak mereka disebabkan kemiskinan yang menimpa mereka, karena Tuhan akan memberi rezeki kepada mereka dan anak-anak mereka.

Firman Allah:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَوْلَادَكُ#مْ خَشْيَةَ اِمْلَاقٍۗ نَحْنُ نَرْزُقُهُمْ وَاِيَّاكُمْۗ اِنَّ قَتْلَهُمْ كَانَ خِطْـًٔا كَبِيْرًا

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar. (al-Isra′/17: 31);Larangan membunuh anak pada ayat ini berbeda dengan larangan membunuh anak pada ayat lain (dalam Surah al-Isra′ ayat 31).

Pada ayat 151 Surah al-An’am, larangan membunuh anak karena takut kemiskinan yang sedang diderita (menimpa). Pada ayat (نحن نرزقكم) ini dijelaskan bahwa Allah akan memberi rezeki kepada orang tua yang membelanjai anaknya, dan kata (واياهم) berarti bahwa Allah akan memberi rezeki kepada mereka (anak-anakmu).

Sedangkan dalam Surah al-Isra′, Allah menjelaskan pada ayat (نحن نرزقهم)  artinya “Kami akan memberi rezeki kepada mereka (anak-anak)” dan kata (واياكم) artinya “Allah akan memberi rezeki kepadamu (orang tua). Didahulukannya anak-anak dalam pemberian rezeki menunjukkan perhatian Allah yang begitu besar terhadap anak, akibat sikap orang tua yang takut punya anak karena takut menjadi miskin.

Pada ayat ini Allah melarang mendekati perbuatan-perbuatan keji apalagi mengerjakannya, baik berupa perbuatan, seperti berzina, atau menuduh orang berzina, baik perbuatan itu dilakukan dengan terang-terangan atau dengan sembunyi.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini, pada masa Jahiliyah orang-orang tidak memandang jahat melakukan zina secara tersembunyi, tetapi mereka memandang jahat kalau dilakukan secara terang-terangan. Maka dengan ayat ini Allah mengharamkan zina secara terang-terangan atau tersembunyi. Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang nampak (terang) ialah semua perbuatan dengan anggota tubuh, sedangkan yang tersembunyi adalah perbuatan hati, seperti takabur, iri hati, dan sebagainya.

Pada ayat ini Allah melarang pula membunuh jiwa tanpa sebab yang benar menurut ajaran Tuhan. Rasulullah bersabda:

لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمِ إِلاَّ بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: كُفْرٍ بَعْدَ إِسْلاَمٍ اَوْ زِنًا بَعْدَ إِحْصَانٍ اَوْ قَتْلِ نَفْسٍ بِغَيْرِ نَفْسٍ

(رواه أبو داود)

“Tidak boleh membunuh jiwa seorang muslim, terkecuali disebabkan salah satu dari tiga perkara, yaitu: karena murtad (muslim yang berbalik jadi kafir), zina, muhsan (zina orang yang sudah pernah kawin) dan membunuh manusia tanpa sebab yang benar.” (Riwayat Abu Daud).

Demikian juga orang-orang kafir yang ada perjanjian damai dengan kaum Muslimin tidak boleh dibunuh atau diganggu, sesuai dengan sabda Rasulullah:

لَهُمْ مَالَنَا وَعَلَيْهِمْ مَاعَلَيْناَ

(رواه الترمذي)

“Mereka mempunyai hak sebagaimana hak yang ada pada kami (kaum muslimin) dan mempunyai kewajiban sebagaimana kewajiban yang ada pada kami (kaum muslimin).” (Riwayat At-Tirmizi)

Setelah diterangkan lima dari ajaran pokok yang sangat penting itu, maka Allah mengakhiri ayat ini dengan suatu penegasan yang maksudnya: Demikian itulah yang diperintahkan Tuhan kepadamu, agar kamu memahami tujuannya bukan seperti tindakanmu yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu menurut hawa nafsu.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 152-156


(Tafsir Kemenag)

Kisah Nabi Idris: Pelopor Berbagai Ilmu dan Inovasi Umat Manusia

0
Nabi Idris, pelopor ilmu dan inovasi umat manusia
Nabi Idris, pelopor ilmu dan inovasi umat manusia

Peradaban manusia dewasa ini terus berkembang. Majunya ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi terus diciptakan. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang hari ini semakin kompleks sejatinya bertujuan untuk memudahkan urusan manusia itu sendiri. Ia menjadi solusi bagi problem manusia dari zaman ke zaman. Namun apabila kita membaca sejarah umat manusia, siapakah sebenarnya yang pertama kali mulai mengembangkan ilmu dan inovasi teknologi?

Jika menggali kisah dalam Al-Quran, disebutkan nama seorang Nabi dari generasi awal yang menurut para mufassir adalah pelopor ilmu dan inovasi bagi umat manusia. Dia adalah Nabi Idris. Secara silsilah, beliau ini cucu dari Nabi Adam dan Kakek dari Nabi Nuh. Nabi Idris juga seorang Nabi periode awal, ia Nabi ketiga setelah Nabi Adam an Nabi Syit.

Nama Nabi Idris tersebut dua kali dalam Al-Quran yaitu pada surah Maryam ayat 56 dan surah Al-Anbiya’ ayat 85. Di dalam berbagai kitab tafsir dijelaskan bahwa Nabi Idris ini adalah sosok yang berilmu, banyak beramal, dan selalu berdzikir kepada Allah. Beliau dalam peradaban manusia ini banyak melahirkan inovasi-inovasi berkat ilmu pengetahuan yang dimiliki. Sehingga apa yang telah dipelopori olehnya bisa dilanjutkan dan dimanfaatkan oleh manusia hingga hari ini.

Baca juga: Surat Asy-Syuara Ayat 65 – 68: Kisah Kehancuran Firaun dan Tentaranya

Dari Ahli Nujum, Menciptakan Pena, Hingga Menciptakan Baju Jahitan

Nabi Idris adalah seorang yang diberikan mukjizat oleh Allah berupa dapat mengetahui ilmu nujum (perbintangan). Akhsin Sakho mengatakan bahwa Nabi Idris adalah orang pertama yang berbicara ilmu astronomi. Namun, Nur Hidayatullah Al-Banjary mengatakan Nabi Idris bukan ahli astronomi, melainkan astrologi. Di luar perdebatan tersebut Nabi Idris tetaplah seorang ahli nujum yang menjadi pelopor bagi ilmu falak hari ini.

Nabi Idris sangat ahli di di bidang ilmu hisab dan peredaran bintang. Ia sering melakukan observasi terhadap arah rasi bintang, dan tanda-tanda alam. Beliau adalah penemu rasi bintang orion dan bintang waluku sebagai penunjuk musim. Melalui pengetahuannya tersebut Nabi Idris bisa memprediksi datangnya banjir besar yang akan terjadi pada kaumnya melalui isyarat langit. Nabi Idris juga menemukan arah mata angin sebelah uatara padahal waktu itu kompas belum ditemukan. Ilmu nujum Nabi Idris ini sayangnya disalahgunakan oleh para penyihir yang berguru pada Harut dan Marut.

Selain ahli dalam ilmu nujum, Nabi Idris juga seorang yang yang pertama menulis dengan pena. Pada zaman dahulu memang belum tercipta alat tulis, meskipun terdapat beberapa orang berilmu yang fasih dalam secara lisan. Jadi ilmu pada waktu itu tidak bisa diabadikan secara turun temurun. Berkat inovasinya ini, ilmu mulai ditulis dan tulisan mulai berkembang.

Baca juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Nabi Idris adalah seorang yang gemar mendalami kitab-kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Adam dan Nabi Syit. Dalam Tafsir Al-Qurthuby dijelaskan bahwa Nabi Idris menerima 30 suhuf dari Allah. Beliau memanglah seorang yang gemar belajar dan terus menuntut ilmu pengetahuan, baik dari kalam Allah, maupun ayat kauniyah-Nya.

Nabi Idris adalah manusia yang mula-mula memakai baju berjahit, yang pada waktu itu masih terbuat kulit binatang. Menurut penjelasan Ibnu Katsir Nabi Idris selalu berdzikir di setiap ia memasukkan jarum ke bajunya. Tak hanya itu Nabi Idris juga menemukan obat-obatan dan membuat takaran timbangan. Ia adalah orang yang bersemangat mencari hikmah kehidupan serta berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan agar bermanfaat bagi umat manusia.

Diangkat Derajatnya oleh Allah sampai di Langit Keempat

Nabi Idris adalah orang yang saleh. Ia giat bekerja keras, memperbanyak amal, dan senantiasa berdzikir kepada Allah. Allah menyebutnya dalam Al-Quran sebagai orang yang jujur sebagimana firman-Nya:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيقًا نَّبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di dalam Al Quran. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan dan seorang nabi.” (Q.S. Maryam: 56).

Dalam ayat lain nama Nabi Idris juga disebutkan Al-Quran setelah Nabi Ismail dan Dzulkifli:

وَاِسْمٰعِيْلَ وَاِدْرِيْسَ وَذَا الْكِفْلِ ۗ كُلٌّ مِّنَ الصّٰبِرِيْنَ

 “Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Anbiya: 85).

Baca juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Beliau adalah orang yang sabar. Sabar meghadapi berbagai cobaan kehidupan maupun sabar dalam menuntut ilmu. Atas kasalehannya tersebut Allah mengangkat derajat Nabi Idris ke tempat yang begitu mulia, seperti yang difirmankan Allah dalam surah Maryam ayat selanjutnya:

وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا

“Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (Q.S. Maryam: 57).

Pada Tafsir Jalalayn dijelaskan dalam ayat tersebut yang dimaksud diangkat martabatnya adalah naiknya Nabi Idris ke langit. Beliau berkedudukan di langit keempat. Pada hadis-hadis tentang Isra’ Mi’raj juga diterangkan bahwa Rasulullah SAW menemui Nabi Idris di langit ke empat.

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Yusuf, Penjara sebagai Sarana Mendekatkan Diri kepada Allah

Ada satu cerita menarik yang diriwayatkan Ibnu Katsir dari Ibnu Abbas. Ia mengisahkan bahwa Nabi Idris diberikan izin oleh Allah untuk mengetahui neraka dan mencicipi surga. Beliau juga pernah memintakepada Allah agar diperpanjang usianya sehingga bisa memperbanyak amal dan dzikir. Ia juga bersahabat dengan malaikat maut, sedang keinginannya dikabulkan oleh Allah. Nabi Idris tidak dicabut nyawaya di dunia melainkan dibawa naik ke langit. Dan ketika sampai di langit keempat, barulah nyawaya dicabut.

Kisah Nabi Idris ini begitu mulia. Ia bisa dijadikan teladan bagi kita hari ini untuk giat mencari ilmu dan inovasi. Karena janji Allah memanglah benar, Allah akan mengangkat derajat seorang yang tekun mencari ilmu ke tempat yang mulia di sisi-Nya. Wallahu a’lam[]

Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan Sikap Fanatisme dan Ekstrim

0
Sikap Fanatisme
Larangan Sikap Fanatisme

Sikap fanatisme adalah perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan. Sikap ini biasanya dianut oleh mayoritas orang yang terlalu jatuh cinta terhadap sesuatu yang diikutinya, baik itu orang, kelompok, sekte atau negara. Orang yang memiliki sikap fanatisme dan ekstrim seringkali menunjukkan dukungan mutlak kepada sesuatu yang disukainya tersebut, sampai-sampai melampaui kebenaran.

Sikap fanatik dan ekstrim yang telah jatuh ke dalam fanatisme tidaklah bagus, karena itu bisa menjadi jembatan menuju perpecahan. Bukan hanya itu, sikap fanatisme dapat merubah worldview (pandangan hidup) seseorang menjadi sinis dan skeptis. Winston Churchiil menyebutkan bahwa “seorang fanatik tulen tidak akan bisa merubah pola pikir dan tidak akan bisa merubah haluannya secara mandiri.”

Tidak jarang orang mencela sikap fanatisme atau orang yang bersikap fanatik. Celaan itu bisa pada tempatnya dan bisa juga tidak, karena fanatisme dalam pengertian bahasa – berdasarkan KBBI – adalah “keyakinan atau kepercayaan yang terlalu kuat terhadap ajaran politik, agama, sekte, dan sebagainya. Singkatnya fanatik memiliki makna konotasi positif dan negatif.

Sebenarnya, apabila sifat fanatik berada pada diri seseorang yang beragama dan keyakinannya dapat dibenarkan, maka sifat fanatiknya tersebut merupakan sikap terpuji. Karena ia telah menjadi seorang hamba yang taat kepada Tuhannya. Hanya saja, sikap fanatik menjadi sikap tercela manakala itu membuatnya menjelekkan atau melecehkan orang lain dan merebut hak mereka menganut ajaran, kepercayaan dan pendapat tertentu.

Surat Saba [34] Ayat 24-25: Isyarat Larangan sikap Fanatisme dan Ekstrim

Umat Islam, walaupun dituntut untuk meyakini seyakin-yakinnya ajaran Islam, konsisten (istikamah), dan berpegang teguh dengannya – atau dengan kata lain bersikap fanatik terhadap ajaran agamanya – namun pada saat yang bersamaan, umat Islam diperintahkan untuk menghormati dan menghargai penganut agama lain dan tidak mencampuri urusan mereka. Firman Allah Swt, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. al-Kafirun [109]: 6).

Pada ayat lain, Allah juga mengisyaratkan larangan sikap fanatisme dan ekstrim, yakni pada surah Saba [34] ayat 24-25 yang berbunyi:

 قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ٢٤ قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ٢٥

Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah, “Kamu tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kami kerjakan dan kami juga tidak akan dimintai tanggung jawab atas apa yang kamu kerjakan.”

Menurut Quraish Shihab, ayat di atas merupakan perintah Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw agar beretorika dengan kaum musyrikin tentang hakikat alam semesta dan siapa yang memberi rezeki bagi penghuninya. Pertanyaan ini bertujuan agar penduduk Mekah mau memikirkan kembali (re-thinking) tentang kebenaran kepercayaan dan keyakinan mereka, bahwa sesembahan mereka selama ini bukanlah pemberi rezeki sesungguhnya.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Esensi Islam Sebagai Agama dan Pengaruhnya Bagi Penafsiran Menurut Prof. Quraish Shihab

Di satu sisi, surah Saba [34] ayat 24 mengajak orang musyrik Mekah untuk berdialog dan memikirkan realitas kehidupan dan siapa dalang utama dibalik keberlangsungan kehidupan itu. Namun di sisi lain, ayat ini juga secara tegas menampik kepercayaan orang kafir Quraisy yang menganggap bahwa berhala-berhala merekalah yang memberikan manfaat dan mudharat, termasuk memberi rezeki kepada mereka (Tafsir Al-Misbah [11]: 380).

Setelah menegaskan bahwa Allah adalah Sang Maha Pemberi Rezeki, ayat di atas kemudian memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk menyampaikan suatu pernyataan objektif, yaitu, “Dan disamping itu, sesungguhnya kami yakni kaum Muslimin yang mengesakan Allah Swt atau kamu orang-orang  musyrik yang mempersekutukan-Nya pasti salah satu dari kita berada di atas kebenaran serta mengikutinya dengan mantap atau dalam kesesatan yang nyata.

Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa salah satu dari kedua belah pihak – muslim atau musyrik – ada yang benar dan ada yang salah. Namun permasalahan itudikesampingkan terlebih dahulu, tidak perlu diperdebatkan dan dipertentangkan lebih jauh, karena pada konteks saat itu dialog yang diajukan orang musyrik tidak lagi bertujuan untuk mencari kebenaran dan mungkin hanya akan melahirkan ketersinggungan dan pertikaian.

Pada akhir surah Saba [34] ayat 25, Allah memerintahkan Nabi Saw untuk mengatakan bahwa orang muslim dan musyrik berjalan pada jalan yang berbeda. Seakan Allah Swt berfirman, “Katakanlah (Muhammad): kamu (kaum muysrik) tidak ditanyai yakni dituntut untuk mempertanggungjawabkan menyangkut dosa yang telah kami perbuat jika kamu menganggap keislaman kami adalah dosa dan kami tidak akan ditanya pula tentang apa yang kamu sedang dan akan perbuat.

Baca Juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Dua ayat di atas menggambarkan bagaimana seharusnya seorang muslim berinteraksi dengan penganut agama dan kepercayaan berbeda dengannya. Tidak dapat disangkal bahwa setiap penganut agama – termasuk agama Islam – meyakini sepenuhnya tentang kebenaran anutannya serta meyakini kesalahan anutan yang bertentangan dengannya atau dengan kata lain bersikap fanatik terhadap ajaran agama Islam (Tafsir Al-Misbah [11]: 381).

Namun meskipun demikian, hal tersebut adalah keyakinan di dalam hati seorang muslim dan tidak perlu ditonjolkan keluar apalagi kumandangkan serta digaungkan di tengah masyarakat plural. Biarkan masing-masing orang untuk meyakini keyakinannya dan mengikuti ikutannya, selama itu tidak merugikan orang lain. Surah Saba [34] ayat 25 pada konteks ini merupakan isyarat larangan sikap fanatisme dan ekstrim.

Jika kita hendak menampilkan keyakinan dan kesilaman dalam rangka berdakwah terhadap orang lain, itu semua harus dilakukan dengan cara sebaik-baiknya, tanpa paksaan dan diskriminasi. Karena kita sebagai muslim hanya berkewajiban untuk beriman, mengamalkan agama, menyampaikan kebenaran, dan menampilkan keislaman sebaik mungkin. Sedangkan persoalan apakah dakwah akan diterima atau apakah orang lain bakal mendapat hidayah, itu adalah hak prerogatif Allah Swt. Wallahu a’lam.

Tafsir Surat Al An’am Ayat 148-150

0
tafsir surat al an'am
tafsiralquran.id

Pada pembahasan yang lalu telah dibahas mengenai hewan-hwan yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah sebagai pembanding atas apa yang telah dibuat-buat oleh orang-orang musyrik, dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 148-150 ini berbicara mengenai sikap mereka yang mendasari perbuatan mereka atas nama Allah swt.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 145-147


Dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 148-150 ini dipaparkan bahwa prilaku mereka semua berdasarkan kehendak Allah swt. Jika Allah tidak menghendaki maka mereka tidak akan melakukan hal tersebut. Padahal tidak begitu adanya. Allah memberikan contoh mengenai kaum-kaum terdahulu yang di azab oleh Allah.

Jika perilaku kaum-kaum terdahulu itu diridhai oleh Allah mestinya mereka tidak akan diazab oleh Allah. Mereka di azab karena prilaku mereka menyimpang dari ajaran utusan-utusan Allah swt. Dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 148-150 ini juga ditegaskan bahwa hanya Allah yang Maha Mengetahui segala yang ada di Alam semesta. Termasuk yang ada di hati orang-orang musyrik.

Selain itu dalam Tafsir Surat Al An’am Ayat 148-150 ini juga memaparkan perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw untuk menantang orang-orang musyrik atas kebenaran yang mereka yakini. Perintahnya agar mereka mendatangkan saksi atas kebenaran tersebut. Namun mereka tidak dapat mendatangkannya.

Ayat 148

Allah menerangkan dalam ayat ini bahwa orang musyrik akan mengatakan kepada Nabi Muhammad bahwa kalau Allah menghendaki tentulah mereka tidak akan mempersekutukan-Nya dengan yang lain, tidak akan mengagungkan dan memuja berhala-berhala dan sembahan-sembahan lainnya yang dipuja oleh nenek moyang mereka.

Dan mereka juga mengatakan kalau Allah menghendaki tentulah mereka tidak akan mengharamkan daging binatang tertentu di mana mereka mengatakan bahwa semua tindakan dan perbuatan itu adalah kehendak Allah, agar mereka dapat mendekatkan diri kepada-Nya.

Allah-lah yang menghendaki mereka mengharamkan saibah dan bahirah dan Allah telah meridai ketetapan-ketetapan yang mereka tetapkan itu. Padahal Allah bebas dari semua tuduhan tersebut.

Hal seperti ini tersebut dalam firman Allah:

وَقَالَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا لَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ مَا عَبَدْنَا مِنْ دُوْنِهٖ مِنْ شَيْءٍ نَّحْنُ وَلَآ اٰبَاۤؤُنَا وَلَا حَرَّمْنَا مِنْ دُوْنِهٖ مِنْ شَيْءٍ ۗ كَذٰلِكَ فَعَلَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْ ۚفَهَلْ عَلَى الرُّسُلِ اِلَّا الْبَلٰغُ الْمُبِيْنُ

Dan orang musyrik berkata, ”Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.” Demikianlah yang diperbuat oleh orang sebelum mereka. Bukankah kewajiban para rasul hanya menyampaikan (amanat Allah) dengan jelas. (an-Nahl/16: 35)

Berbagai ucapan kaum musyrikin itu dibantah oleh Allah dengan menjelaskan bahwa umat-umat sebelum mereka yang mempersekutukan Allah dan mendustakan Rasul-Nya dan mengharamkan sesuatu tanpa izin-Nya telah ditimpa siksaan Allah dan telah dibinasakan-Nya sebagai balasan atas kekafiran dan keingkaran mereka. Kalau apa yang mereka lakukan itu diridai Allah, tentulah Dia tidak akan menyiksa dan menghancurkan mereka.

Kemudian Allah menentang mereka dengan memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar mengatakan kepada mereka, “Apakah engkau hai kaum musyrikin mempunyai ilmu pengetahuan tentang hukuman yang kalian tetapkan itu, yang dapat kamu ajarkan kepada kami? Kalau memang ada pengetahuan itu maka kemukakanlah agar dapat kami pertimbangkan dan bandingkan dengan ayat-ayat yang diturunkan kepada kami atau dengan syariat nabi-nabi sebelum kami.”

Tentu saja mereka tidak dapat menjawab tantangan itu, karena memang apa yang mereka katakan hanyalah buatan mereka sendiri tidak didasarkan kepada pengetahuan syariat umat-umat yang terdahulu. Karena itu dengan tegas Allah mencap mereka sebagai orang yang mengikuti sangkaan dan dugaan belaka dan berdusta terhadap Allah.

Ayat 149

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar menegaskan kepada orang-orang musyrik yang mendasarkan tindakan dan ketetapan mereka kepada sangkaan, bukan kepada ilmu pengetahuan dan syariat nabi-nabi yang terdahulu bahwa Allah-lah yang mempunyai ilmu pengetahuan, hujah, dan dasar-dasar yang kuat.

Dialah yang berhak memberi petunjuk kepada yang benar yang harus diikuti dengan patuh oleh hamba-Nya yang beriman dan bertakwa. Barang siapa di antara hamba-Nya yang taat kepada-Nya dan menjalankan petunjuk yang diberikan-Nya, niscaya ia akan menjadi hamba yang saleh dan bahagia.

Tetapi bila ada di antara hamba-Nya yang membangkang, mengingkari petunjuk-petunjuk itu, bahkan berani menyamakan dirinya dengan Allah, maka akan celakalah dia di dunia dan di akhirat. Semuanya terserah kepada manusia apakah dia akan memilih jalan lurus yang membawa kebahagiaan dengan menjalankan petunjuk Tuhan-nya atau jalan sesat yang membawa celaka dengan mengingkari petunjuk itu dan memperturutkan hawa nafsunya.

Inilah jalan yang ditetapkan Allah bagi manusia dan jin seluruhnya. Jika Allah menghendaki tentulah Dia dapat menjadikan kamu seperti malaikat yang selalu patuh kepada Tuhannya sesuai dengan tabiatnya, seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya:

لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ

… Tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (at-Tahrim/66: 6)

Sudah menjadi sunah dan ketetapan Allah bahwa manusia harus mempergunakan akalnya untuk memilih jalan mana yang ditempuhnya. Bila dia memilih jalan yang benar akan berbahagialah dia, dan bila memilih jalan yang salah dan menyesatkan akan celakalah dia. Demikianlah sunatullah dan tiada seorang pun yang dapat mengubahnya.


Baca juga: Tabayyun, Tuntunan Al-Quran dalam Klarifikasi Berita


Ayat 150

Pada ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk  menantang kaum musyrikin agar mendatangkan saksi-saksi yang berani mengakui bahwa Allah telah mengharamkan beberapa binatang ternak, seperti sāibah dan bahirah.

Pastilah mereka tidak akan dapat menghadirkan saksi-saksi itu karena mustahil seseorang dapat berhadapan muka dengan Allah kecuali di akhirat sehingga dia dapat menyaksikan dengan mata kepalanya apakah benar Allah telah mengharamkan binatang ternak itu bagi mereka atau mereka hanya mengada-ada ketetapan itu menurut kemauan mereka sendiri. Tantangan ini telah membantah segala hujah yang mereka kemukakan dan pastilah mereka tidak dapat menjawabnya.

Seandainya mereka menghadirkan saksi-saksi yang sudah pasti saksi-saksi itu adalah saksi palsu, maka Allah melarang Nabi Muhammad membenarkan kesaksian mereka, bahkan Allah menyuruh Nabi untuk menolaknya dengan tegas, karena mereka adalah kaum yang telah mempersekutukan Allah dan tidak segan-segan mengadakan kebohongan terhadap Allah apalagi terhadap Nabi Muhammad.

Di samping itu Allah melarang Nabi mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat yang diturunkan kepada-Nya, tidak percaya kepada hari akhirat dan selalu mempersekutukan Allah dengan berhala-berhala dan sesembahan lainnya.

Nabi diperintahkan agar bersikap tegas terhadap kaum musyrikin bahkan terhadap semua orang yang menyeleweng dari jalan Allah. Berlaku lemah lembut terhadap mereka apalagi mengadakan kompromi dengan mereka, akan membawa kepada kesesatan yang nyata sesuai dengan firman Allah:

وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى الْاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلَّا يَخْرُصُوْنَ

Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Yang mereka ikuti hanya persangkaan belaka dan mereka hanyalah membuat kebohongan. (al-An’am/6: 116)


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al An’am Ayat 151


(Tafsir Kemenag)

Tuntunan Membina Keluarga dalam Al-Quran: Surat At-Taghabun Ayat 6

0
Membina Keluarga
Membina Keluarga dalam Surat At-Tahrim Ayat 6

Keluarga yang terbentuk dari pasangan suami-istri itu seharusnya menjadi keluarga-keluarga yang saleh yang dapat menjalankan ajaran-ajaran Allah dengan baik. Allah Swt memberi peringatan keluarga untuk senantiasa menjaga dan membina keluarga.

Membina keluarga dalam arti bersama-sama menjaga diri dari azab Allah Swt. Hal ini antara lain digambarkan oleh Allah di dalam Surat At-Tahrim [66]: 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

Allah memperingatkan kepada orang-orang yang beriman dari pasangan suami-istri, ayah-ibu untuk memelihara, menjaga, dan membina keluarga mereka dari siksaan api neraka. Suami menjaga istri agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan melanggar perintah Allah yang menyebabkan istrinya masuk ke dalam neraka.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34: Mengakui Keberadaan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga

Sebaliknya, istri juga menjaga suaminya agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dan melanggar perintah Allah yang menyebabkan suaminya masuk ke dalam neraka.

Ayah dan ibu kedua orang tua juga harus secara bersama-sama menjaga anak-anaknya dari melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar perintah Allah yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka. Ini menunjukkan bahwa dengan tegas memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar dapat menyelamatkan keluarga mereka dari azab neraka.

Di ayat lain di dalam Surat At-Taghabun [64]: 14 Allah mengingatkan orang-orang yang beriman bahwa ada di antara pasangan hidup mereka, suami, atau istri dan anak-anak menjadi musuh dalam kehidupan rumah tangga. Allah menyatakan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Ayat di atas menyatakan bahwa di antara suami ada yang menjadi musuh bagi istrinya. Ada istri yang menjadi musuh bagi suaminya. Bahkan ada di antara anak-anak yang kita lahirkan menjadi musuh bagi kita, kedua orang tuanya.

Yang dimaksud dengan musuh di sini, adalah pasangan-pasangan hidup, suami atau istri dan anak-anak menjerumuskan kita dalam melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan Allah, yang menyebabkan kita melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang dari ajaran-ajaran Allah. Ini menyebabkan kita terjerumus ke dalam perbuatan dosa dan maksiat.

Ada beberapa Nabi yang mendapatkan ujian yang berat yang disebabkan perbuatan-perbuatan yang menyimpang yang dilakukan pasangan hidup (istri-istri) mereka. Hal ini seperti yang dialami oleh Nabi Nuh dan Nabi Luth.

Kisah yang berkaitan keluarga Nabi Nuh dan Nabi Luth, misalnya digambarkan oleh Allah di dalam Al-Qur’an surah al-Tahrim [66]: 10:

“Allah membuat istri Nuh dan istri Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada suaminya (masing-masing), maka suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): “Masuklah ke dalam jahanam bersama orang-orang yang masuk (jahanam)”.

Di dalam Tafsir Ringkas Kementerian Agama disebutkan bahwa: Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir bahwa menjadi istri nabi itu tidak otomatis dijamin masuk surga apabila tidak beriman kepada Allah seperti istri Nabi Nuh dan istri Nabi Lut.

Keduanya sebagai istri berada di bawah pengawasan suami masing-masing, dua orang hamba yang saleh, yaitu Nabi Nuh dan Lut, di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, istri Nabi Nuh menuduh suaminya gila dan istri Nabi Lut memberitahukan kehadiran para tamu ganteng kepada orang banyak yang homoseks, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun untuk menyelamatkannya dari siksaan Allah karena kekufuran mereka;

Dan dikatakan kepada kedua istri Nabi itu di akhirat, “Masuklah kamu berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka karena kekufuran mereka kepada Allah.”

Begitu juga sebaliknya,  istri yang beriman tidak bisa juga menyelamatkan suaminya yang kafir dari azab Allah. Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman bahwa perempuan beriman, meskipun menjadi istri seorang kafir yang pada waktu dibolehkan, akan memperoleh keselamatan di akhirat.

Baca Juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Seperti istri Firaun, ketika dia berkata dalam doanya kepada Allah waktu menghadapi siksaan suaminya yang memaksanya untuk murtad, “Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga, karena tidak nyaman berada di istana Firaun; dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya yang terus menyiksa; dan doanya kepada Allah, selamatkanlah aku dari kaum yang zalim, balatentara Firaun yang terus menyiksanya hingga wafat sehingga ia tidak merasakan siksaan mereka.” Wallahu A’lam.

Kontroversi Bolehnya Penamaan “Surat Al-Baqarah”. Berikut Penjelasannya!

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Di dalam kitab suci Al-Quran, tiap-tiap suratnya biasa disebut atau dinamai dengan semacam Surat Al-Fatihah, Surat Al-Baqarah, Surat An-Nisa’ dan selainnya. Namun tahukah anda, bahwa ada sebagian ulama yang melarang menyebut penamaan “surat al-Baqarah” dan memilih untuk menyebut surat-surat tersebut dengan sebutan semacam “surat yang di dalamnya ada kisah al-baqarah (sapi)”? Bagaimana bisa ada ulama yang melarang menyebut surat tersebut sebagai Surat Al-Baqarah? Simak uraiannya berikut ini.

Keterangan Tentang Larangan Menyebut “Surat Al-Baqarah”

Imam As-Suyuthi di dalam Al-Itqan mengungkapkan, sebagian ulama berpendapat tidak diperbolehkan menunjuk sebuah surat dengan sebutan atau penamaan semacam Surat Al-Baqarah, Surat An-Nisa’ dan Surat Ali-Imran. Melainkan menyebut dengan surat yang di dalamnya ada kisah al-baqarah (sapi), surat yang di dalamnya banyak disebutkan an-nisa’ (para perempuan), dan surat yang didalamnya disebutkan ali-imran (keluarga Imran).

Baca juga: Inilah 9 Ayat yang Menjelaskan Nabi Muhammad saw Sebagai Sosok Panutan

Pendapat ini berdasar sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan dari sahabat anas dan berbunyi:

 لَا تَقُوْلُوا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ وَلَا سُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ وَلَا سُوْرَةَ النِّسَاءِ وَكَذَا الْقُرْآنَ كُلَّهُ وَلٰكِنْ قُوْلُوْا السُّوْرَةَ الَّتِي تُذْكَرُ فِيْهَا الْبَقَرَةُ وَالسُّوْرَةُ الَّتِي يُذْكَرُ فِيْهَا آلُ عِمْرَانَ وَكَذَا الْقُرْآنَ كُلَّهُ

Jangan kalian berucap Surat Al-Baqarah, Surat An-Nisa’, Surat Ali-Imran begitu pada Al-Qur’an secara keseluruhan. Namun ucapkan surat yang di dalamnya ada kisah al-baqarah (sapi), surat yang didalamnya disebutkan ali-imran (keluarga Imran) begitu pada Al-Qur’an seluruhnya (HR. Al-Baihaqi dan At-Thabrani).

Hanya saja, berdasar keterangan Imam As-Suyuthi, Ibn Katsir dan selainnya, hadis tersebut adalah hadis bersanad dhaif. Hal ini disebabkan di dalam jajaran rawinya ada nama Yahya ibn Maimun yang riwayatnya dianggap lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah (Al-Itqan/1/60 – Tafsir Ibn Katsir/1/156). Imam Al-Baihaqi sendiri berkomentar, ada ketidak tepatan periwayatan dalam hadis di atas. Yang tepat adalah, riwayat tersebut berdasar ucapan Ibn ‘Umar. Diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dengan sanad sahih dari Nafi’ bahwa Ibn ‘Umar berkata:

لَا تَقُوْلُوْا سُوْرَةَ الْبَقَرَةِ وَ لٰكِنْ قُوْلُوْا السُّوْرَةَ الَّتِي يُذْكَرُ فِيْهَا الْبَقَرَةُ

Jangan kalian berucap “Surat Al-Baqarah”. Namun, ucapkan surat yang di dalamnya dituturkan al-baqarah (Syai’bul Iman/2/519).

Sikap Ulama Terkait Larangan Menyebut “Surat Al-Baqarah”

Menanggapi adanya pendapat tentang larangan menyebut “Surat Al-Baqarah” dan sebagainya, para ulama memilih menjadikan pendapat tersebut sebagai hanya pendapat sebagian ulama saja. Tidak lantas menyebutnya sebagai pendapat yang tidak perlu dipertimbangkan sebab berlandaskan sebuah hadis dhaif. Hal ini mungkin disebabkan memang ada riwayat yang sahih bahwa sahabat Ibn ‘Umar termasuk yang melarang sebutan tersebut.

Baca juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Namun mereka juga menerangkan bahwa mayoritas ulama meyakini sebaliknya, yaitu boleh menyebut semacam “Surat Al-Baqarah” dan selainnya. Imam As-Syaukani dalam Tafsir Fathul Qadir menyatakan, banyak riwayat dari kalangan para sahabat yang isinya bertolak belakang dengan pendapat Ibn ‘Umar tersebut. Diantaranya adalah ucapan Sahabat Hudzaifah dalam riwayat sahih yang menyatakan:

صليت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ليلة من رمضان فافتتح البقرة

Aku salat bersama Rasulullah salallahualaihi wasallam di suatu malam, di bulan Ramadhan. Beliau lalu mulai membaca Surat Al-Baqarah (Fathul Qadir/1/43).

Imam An-Nawawi berkomentar, boleh menyebut semacam “Surat Al-Baqarah” dan selainnya. Dan tidak dihukumi makruh melakukan hal itu. Memang ada sebagian ulama salaf yang menyatakan makruh dan menganjurkan ucapan “surat yang di dalamnya ada kisah al-baqarah (sapi)” serta selainnya. Namun pendapat pertama itulah pendapat yang benar. Pendapat ini yang diyakini mayoritas ulama baik dari kalangan salaf (lama) maupun yang sekarang. Dan keterangan yang mendukung pendapat ini, baik berupa hadis nabi maupun atsar sahabat, amat sangat banyak (Al-Adzkar/252).