Beranda blog Halaman 263

Tafsir Surah Fathir Ayat 40-41

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 40-41 dalam tafsir kali ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk berdiskusi dengan kaum kafir tentang alasan mereka menyembah berhala. Sejatinya, Allah telah mengetahui jalan pikiran mereka, akan tetapi di sini, Allah ingin mamatahkan argumen mereka dengan logika yang sering digaungkan. Terbukti, mereka hanya mengikuti kesesatan nenek moyang mereka, bukan dari kitab-kitab nabi terdahulu, yang bersih dari ajaran demikian.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 38-39


Tafsir Surah Fathir Ayat 40-41 menerangkan bahwa sesembahan tersebut hanyalah benda mati, yang tidak bisa apa-apa. Sementara Allah, adalah Tuhan yang Esa dengan segala macam kekuasaan-Nya, baik di langit atau di bumi, baik di dunia atau di akhirat, segalanya ada di bawah kuasa-Nya. Disamping itu, Allah tetap berlaku rahmat terhadap hamba-hamba-Nya.

Ayat 40

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar mengajak orang-orang musyrik itu untuk berdialog menjajaki jalan pikiran mereka yang salah. Apa sebab orang-orang musyrik itu meminta pertolongan kepada patung dan berhala yang mereka sekutukan kepada Allah. Adakah bukti yang menunjukkan bahwa berhala itu pantas disembah.

Orang-orang musyrik Mekah itu tidak paham benar akan hakikat tuhan mereka, bagaimana keadaannya. Seandainya mereka menyadari bahwa tuhan-tuhan mereka itu tidak sanggup berbuat apa-apa, tentulah mereka tidak menyembahnya. Tetapi sebaliknya, kalau memang betul berhala-berhala itu mempunyai kekuatan (untuk mencipta), tentulah mereka mampu memperlihatkan hasilnya.

Demikian juga, apabila Allah mempunyai sekutu dalam menciptakan langit, tentu sekutu itu juga berhak disembah seperti yang mereka duga. Apakah ada kitab suci (yang benar isinya) yang dapat menguatkan dalil-dalil tentang adanya sekutu bagi Tuhan itu?

Nabi Muhammad memberi kesempatan kepada kaum musyrik agar mengemukakan alasan penyembahan mereka terhadap berhala, terutama kemampuan tuhan-tuhan itu untuk menciptakan makhluk, sehingga ia berhak disembah dan dipersekutukan  dengan Allah dalam soal penciptaan.

Karena kepercayaan demikian hanya semata-mata warisan dari nenek moyang mereka (lihat Surah al-Baqarah/2: 170), maka tiada satu alasan yang dapat mereka kemukakan, baik alasan yang diterima dari dalil naqli (nas) maupun alasan aqli (logika).

Di mana pun tidak pernah ada dijumpai suatu kitab suci yang menyerukan manusia menyembah berhala, sebab semuanya hanyalah imajinasi dan khayalan orang-orang dahulu saja.

Setelah Al-Qur’an menyalahkan dan mematahkan jalan pikiran mereka, dan bahwa apa yang mereka turuti itu adalah jalan pikiran pemimpin-pemimpin mereka yang sesat, maka tentulah pendapat mereka batil dan membawa kepada kesengsaraan.


Baca Juga :Gambaran Delusi Para Penolak Kebenaran dalam Surah Al-Hajj Ayat 46


Ayat 41

Allah melukiskan kebenaran dan keagungan kekuasaan-Nya. Dengan kekuasaan-Nya, langit tercipta tanpa tiang, dan gunung-gunung berdiri dengan kokoh. Allah menyebarkan makhluk melata (dabbah), manusia, dan hewan di atas bumi, seperti bunyi ayat:

خَلَقَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا وَاَلْقٰى فِى الْاَرْضِ رَوَاسِيَ اَنْ تَمِيْدَ بِكُمْ وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۗ وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً فَاَنْۢبَتْنَا فِيْهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ كَرِيْمٍ

Dia menciptakan langit tanpa tiang sebagaimana kamu melihatnya, dan Dia meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi agar ia (bumi) tidak menggoyangkan kamu; dan memperkembangbiakkan segala macam jenis makhluk bergerak yang bernyawa di bumi. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik. (Luqman/31: 10)

Semuanya membuktikan kebesaran dan kekuasaan Allah Yang Maha-agung. Pengertian Allah menahan langit dan bumi ialah menahan langit itu dengan hukum gravitasi agar tidak guncang dan roboh, atau bergeser dari tempatnya.

Allah memelihara dan mengawasi keduanya dengan pengawasan yang Dia sendirilah yang mengetahuinya. Semua benda-benda langit di jagat raya ini beredar menurut garis edarnya masing-masing.

Para ahli ilmu astronomi dapat membuktikan bahwa tidak pernah terjadi benturan antara benda-benda angkasa itu satu dengan yang lain. Semuanya beredar menurut garis edarnya masing-masing. Keterangan lain yang menguatkan arti yang terkandung dalam ayat di atas yakni:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ تَقُوْمَ السَّمَاۤءُ وَالْاَرْضُ بِاَمْرِهٖۗ  ثُمَّ اِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةًۖ مِّنَ الْاَرْضِ اِذَآ اَنْتُمْ تَخْرُجُوْنَ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan kehendak-Nya. Kemudian apabila Dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu kamu keluar (dari kubur).  (ar-Rum/30: 25)

Kuatnya bangunan langit dan bumi itu sehingga tidak pernah mengalami kerusakan, keruntuhan, dan sebagainya adalah karena kekuasaan Allah juga. Jika Allah Yang Mahakuasa itu bermaksud menghancurkan bumi dan langit itu, tiada satu kekuatan pun dari makhluk yang sanggup mencegahnya. Demikianlah pula dijelaskan oleh ayat lain:

اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى الْاَرْضِ وَالْفُلْكَ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِاَمْرِهٖۗ وَيُمْسِكُ السَّمَاۤءَ اَنْ تَقَعَ عَلَى الْاَرْضِ اِلَّا بِاِذْنِهٖۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Tidakkah engkau memperhatikan bahwa Allah menundukkan bagimu (manusia) apa yang ada di bumi dan kapal yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit agar tidak jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia. (al-Hajj/22: 65)

Di samping sifat-Nya Yang Maha Perkasa itu, Allah juga mempunyai sifat rasa kasih sayang kepada hamba-Nya. Biarpun manusia di bumi ini kebanyakan kafir dan tidak mau tunduk pada pengajaran dan pedoman hidup menuju kesejahteraan dunia dan akhirat yang telah ditetapkan-Nya, namun azab dan murka Allah tiada segera diturunkan untuk menghukum kaum kafir dan pendurhaka.

Kasih sayang Allah itu ialah selain menunda siksaan bagi orang kafir dan ingkar, juga sangat mudah memberi ampunan kepada siapa yang mau tobat dari segala kesalahannya, bagaimanapun besarnya perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya.

Allah Maha Perkasa, Maha Pengasih, dan Penyayang kepada seluruh hamba-Nya, baik terhadap orang mukmin maupun kafir.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 42-43


 

Tafsir Surah Fathir Ayat 38-39

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 38-39 adalah kesekian kali Allah menerangkan bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan yang membawa risalah-Nya. Apa yang disampaikan Muhammad, baik peringatan ataupun kabar gembira, adalah benar. Salahnya, mereka – saat di dunia– menolak seruan itu, justru berbalik memerangi Muhammad, sikap yang justru memicu kemurkaan Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 37


Allah memperingati mereka melalui lisan Nabi Muhammad, bahwa ia mengetahui seagala sesuatu, termasuk isi hati mereka, baik yang sudah ataupun yang akan terlintas. Dan Allah, kian murka, ketika mereka semakin kufur, dan menjajikan kepada mereka siksaan yang pedih kelak di neraka.

Ayat 38

Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad agar memberi peringatan keras kepada orang-orang musyrik bahwa Allah Maha Mengetahui segala apa yang mereka sembunyikan. Allah juga Maha Mengetahui perasaan yang terkandung dalam hati mereka, dan rencana apa yang akan mereka kerjakan.

Allah pulalah yang mengetahui segala yang tak terlihat oleh pancaindra manusia, baik yang ada di langit maupun di bumi. Oleh karena itu, hendaklah orang-orang musyrik itu merasa takut kepada Allah, sebab segala gerak-gerik mereka di bawah pengawasan-Nya.

Segala yang mereka rencanakan untuk menipu rasul dan melenyapkan kebenaran agama-Nya di bumi ini, atau usaha mereka untuk membantu sekutu mereka dalam menuhankan berhala, pasti diketahui Allah.

Allah Mengetahui segala perasaan yang terkandung dalam hati manusia, dan perbuatan apa saja yang mereka kerjakan.

Firman Allah “Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada dalam dada manusia” mengisyaratkan kepada pengertian sekalipun orang-orang kafir diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi, namun mereka tidak akan meninggalkan kekufurannya. Oleh karena itu, sia-sia Allah memanjangkan umurnya.


Baca Juga : Tafsir Ahkam: Batas Umur Anak yang Menyebabkan Sepersusuan


Ayat 39

Ayat ini menegaskan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah di bumi. Sebagai khalifah, yang dapat diartikan sebagai penguasa, manusia diberi kemampuan untuk memanfaatkan alam ini dengan sebaik-baiknya guna kesejahteraan hidup mereka.

Sebagian ahli tafsir menerangkan maksud khala’if fi al-ardh ialah sebagian manusia menggantikan manusia yang lain, satu generasi menggantikan generasi lain agar mereka mengambil pelajaran karena Allah telah membinasakan umat terdahulu disebabkan dosa yang mereka lakukan.

Semuanya bertujuan agar mereka menyadari siapakah mereka itu sebenarnya. Rasa keinsafan demikian insya Allah akan mendorong untuk mensyukuri segala nikmat-Nya yang tidak terhingga, mengesakan-Nya dari segala perbuatan dan kepercayaan yang berbau syirik, serta menaati segala perintah-Nya.

Semakin bertambah rasa kekafiran itu dalam lubuk hati mereka, makin bertambah pula kemarahan dan kemurkaan Allah. Akan tetapi, tidaklah berarti bahwa hal demikian akan mengurangi kebesaran dan keagungan Allah, sebab Dia tidak memerlukan puji dan syukur manusia untuk keagungan dan kemuliaan-Nya, seperti bunyi ayat:

وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Dan barang siapa bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa tidak bersyukur (kufur), maka sesungguhnya Allah Mahakaya, Maha Terpuji. (Luqman/31: 12)

Sebaliknya, kerugian akan menimpa mereka di hari akhirat kelak karena tidak mau kembali ke jalan yang benar, dan tetap berada dalam kekafiran. Mereka kekal dalam siksaan api neraka Jahanam seperti diuraikan di atas.

Sengaja kalimat, “tidaklah menambah kekafiran itu bagi orang-orang kafir” disebutkan dua kali karena mengandung maksud bahwa kufur yang menimbulkan kemarahan Allah dan kufur yang mendatangkan kerugian, keduanya terpisah dan mengandung makna sendiri-sendiri.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 40-41


 

Tafsir Surah Fathir Ayat 37

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 37

Tafsir Surah Fathir Ayat 37 menjelaskan keadaan orang kafir yang malang, dimana rasa penyesalan hadir dalam diri mereka. Namun, nahasnya, sekeras apapun mereka memohon hal itu tidak akan terwujud, sebab mereka telah diberi umur dan kesempatan ketika di dunia, sekarang pintu kesempatan itu telah ditutup, dan mereka akan kekal di dalam neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 35-36


Ayat 37

Lebih lanjut diterangkan bahwa orang yang bernasib malang itu memohon kepada Allah agar dilepaskan dari azab dan dikembalikan ke dunia lagi. Mereka berjanji akan menaati Allah yang selama di dunia mereka lalaikan.

Akan tetapi, seandainya permohonan itu dikabulkan—dan ini tidak mungkin sama sekali—tentulah mereka akan mengulangi kembali perbuatan lama yang terlarang. Perbuatan yang mereka sesali dan pernah mereka lakukan di dunia dulu adalah perbuatan syirik dan segala perbuatan jahat lainnya.

Allah menjawab dan menghardik mereka dengan ucapan yang menghina bahwa di dunia dulu kepada mereka telah diberikan kesempatan hidup dengan umur yang cukup panjang untuk memperbaiki kesalahan dan menerima kebenaran yang disampaikan rasul selaku orang yang memberi peringatan.

Dengan kata lain, permohonan demikian tidak diterima Allah sama sekali. Ayat lain menyatakan:

رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْهَا فَاِنْ عُدْنَا فَاِنَّا ظٰلِمُوْنَ  ١٠٧  قَالَ اخْسَـُٔوْا فِيْهَا وَلَا تُكَلِّمُوْنِ  ١٠٨

Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikanlah kami ke dunia), jika kami masih juga kembali (kepada kekafiran), sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim.” Dia (Allah) berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku.” (al-Mu’minun/23: 107-108)

Allah berfirman:

وَمَنْ يُّضْلِلِ اللّٰهُ فَمَا لَهٗ مِنْ وَّلِيٍّ مِّنْۢ بَعْدِهٖ ۗوَتَرَى الظّٰلِمِيْنَ لَمَّا رَاَوُا الْعَذَابَ يَقُوْلُوْنَ هَلْ اِلٰى مَرَدٍّ مِّنْ سَبِيْلٍۚ

Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada baginya pelindung setelah itu. Kamu akan melihat orang-orang zalim ketika mereka melihat azab berkata, “Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?”  (asy-Syura/42: 44)

Baca Juga :

Tentang umur yang dimaksudkan dalam ayat 37 ini, Ibnu ‘Abbas menerangkan dalam satu riwayat, yaitu 40 tahun, dan riwayat lain mengatakan 60 tahun. Ibnu Katsir dalam tafsirnya memilih riwayat yang paling sahih dari Ibnu ‘Abbas yakni 60 tahun.

Demikian pula hadis riwayat Imam Ahmad dari Abi Hurairah. Di antara sekian banyak lafaz hadis itu, ada yang berarti: Adapun orang yang memberi peringatan yang disebutkan dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad sendiri yang mengajarkan Kitabullah kepada umatnya, mengancam mereka dengan siksaan yang pedih bagi siapa yang tidak patuh kepada perintah Allah dan tidak mau menaati-Nya.

Ringkasnya, permohonan mereka itu tidak dikabulkan untuk kembali ke dunia ialah karena dua hal. Pertama, karena mereka rata-rata telah diberi kesempatan untuk hidup begitu lama antara 60 – 70 tahun, dan kedua, rasul sudah diutus kepada mereka untuk menyampaikan ajaran dan peringatan dari Tuhan.

Perhatikan firman Allah:

تَكَادُ تَمَيَّزُ مِنَ الْغَيْظِۗ كُلَّمَآ اُلْقِيَ فِيْهَا فَوْجٌ سَاَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ اَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيْرٌۙ

Hampir meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, “Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu (di dunia)?” (al-Mulk/67: 8)

Dalam Tafsir al-Wahidi dikatakan bahwa nazir (pemberi peringatan) dalam ayat ini berarti Rasulullah yang membawa Al-Qur’an, boleh pula diartikan sebagai umur tua dan kematian. Memang umur dan kematian tersebut adalah peringatan penting bagi manusia bahwa sebentar lagi dia akan meninggalkan dunia yang fana ini, dan diwajibkan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Jelaslah bahwa orang-orang kafir di atas kekal di dalam neraka dan tidak dikeluarkan selama-lamanya. Azab nerakalah yang mereka rasakan sepanjang masa sebagai imbalan yang setimpal bagi orang yang zalim yang tidak mau tunduk kepada ajaran rasul sebagai utusan Allah dalam kehidupan duniawinya.

Ayat ini menegaskan jangan diharap mereka akan memperoleh penolong yang akan menyelamatkan mereka dari azab neraka dari rantai dan belenggu yang terbuat dari api neraka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 38-39


 

Tafsir Surah Fathir Ayat 35-36

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 35-36 berbicara tentang dua sikap berbeda yang ditunjukkan oleh orang mukmin dan kafir. Orang Mukmin menyadari bahwa semua kenikmatan yang mereka rasakan adalah pemberian dari Allah sebagai bagian dari Rahmat-Nya. Sedangkan orang kafir, meski mereka menyadari hal serupa, namun mereka sembunyikan kebenaran yang telah terpikir tersebut. Karena itu, orang Mukmin akan memperoleh syurga, sementara orang kafir akan ditempatkan di neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 32-34


Ayat 35

Orang yang telah memperoleh nikmat dari Allah itu menyadari bahwa semua pemberian tersebut adalah semata-mata karena kasih sayang-Nya. Tidaklah seimbang besarnya pemberian Allah itu dengan perbuatan baik yang mereka kerjakan.

Oleh karena itu, masuknya orang-orang mukmin ke dalam surga sama sekali bukanlah karena kebaikan yang mereka kerjakan, tetapi karena rahmat dan karunia Allah bagi orang yang mematuhi perintah-Nya.

 Rasulullah saw bersabda:

لَنْ يُدْخِلَ اَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ. قَالُوْا: وَلاَ اَنْتَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: وَلاَ اَناَ اِلاَّ اَنْ يَتَغَمَّدَنِي الله ُتَعَالَى بِرَحْمَةٍ مِنْهُ وَفَضْلٍ. (رواه مسلم عن جابر بن عبد الله)

Tiada masuk surga seorang di antara kamu karena perbuatannya. Mereka (para sahabat) bertanya, “Apakah engkau juga tidak begitu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Aku juga tidak, melainkan karena Allah memberi rahmat dan karunia kepadaku.” (Riwayat Muslim dari Jabir bin ‘Abdullah)

Di surga itu mereka tidak menemui kesulitan atau rintangan lagi sebagaimana yang mereka rasakan dalam kehidupan di dunia ini. Mereka juga tidak merasa lelah dan letih. Semuanya terasa nikmat dan menggembirakan.

Ringkasnya surga itulah tempat nikmat yang kekal dan abadi, di mana penghuninya dapat menikmati kesenangan itu sebagai ganjaran kepatuhan dan ketaatan mereka di dunia ini. Allah berfirman:

كُلُوْا وَاشْرَبُوْا هَنِيْۤـًٔا ۢبِمَآ اَسْلَفْتُمْ فِى الْاَيَّامِ الْخَالِيَةِ

(Kepada mereka dikatakan), “Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (al-Haqqah/69: 24)


Baca Juga : Tiga Faktor Terjadinya Perluasan Makna Kata dalam Al-Quran Menurut Mardjoko Idris


Ayat 36

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa bagi orang-orang kafir yang senantiasa menyembunyikan kebenaran agama yang buktinya telah diperoleh oleh akal mereka, baik dari keterangan ayat-ayat Al-Qur’an maupun melalui hasil pemikiran yang mendalam, bagi mereka disediakan neraka Jahanam. Keadaan mereka di sana antara hidup dan mati.

Mungkin kematian lebih baik daripada menanggung kesengsaraan seperti itu, tetapi Allah sengaja menetapkan siksaan demikian sebagai balasan kejahatan yang mereka lakukan. Dalam Surah al-A’la/87: 13 ditegaskan bahwa keadaan mereka tidak mati dan tidak hidup, sebagai tafsir dari kata “tidak ditetapkan kematian atas mereka”.

Di samping itu dijelaskan bahwa azab neraka Jahanam tidak pula dikurangi kepedihannya, sekalipun manusia-manusia malang yang sedang mengalami siksaan di sana menjerit-jerit meminta tolong.

Ada keterangan dari ayat lain yang menggambarkan bahwa kematian sangat mereka harapkan daripada keadaan mereka antara hidup dan mati, harapan kematian itu disimpulkan dari makna yang terkandung dalam ayat:

وَنَادَوْا يٰمٰلِكُ لِيَقْضِ عَلَيْنَا رَبُّكَۗ قَالَ اِنَّكُمْ مَّاكِثُوْنَ

Dan mereka berseru, “Wahai (Malaikat) Malik! Biarlah Tuhanmu mematikan kami saja.” Dia menjawab, “Sungguh, kamu akan tetap tinggal (di neraka ini).” (az-Zukhruf/43: 77)

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis tentang keadaan orang-orang kafir yang berbunyi sebagai berikut:

اَمَّا اَهْلُ النَّارِ الَّذِيْنَ هُمْ اَهْلُهَا فَإِنَّهُمْ لاَ يَمُوْتُوْنَ فِيْهَا وَلاَيَحْيَوْنَ.( رواه مسلم عن أبي سعيد الخدري)

Adapun penghuni neraka di mana mereka sebagai penduduknya, mereka tidak akan  mati di dalamnya dan juga tidak hidup. (Riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri)

Tentang siksaan yang tidak diringankan itu, bahkan makin ditambah lagi, juga diperoleh penjelasan dalam ayat lain, misalnya:

حَتّٰٓى اِذَا فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا ذَا عَذَابٍ شَدِيْدٍ اِذَا هُمْ فِيْهِ مُبْلِسُوْنَ

Sehingga apabila Kami bukakan untuk mereka pintu azab yang sangat keras, seketika itu mereka menjadi putus asa. (al-Mu’minun/23: 77)

Dan firman-Nya:

فَذُوْقُوْا فَلَنْ نَّزِيْدَكُمْ اِلَّا عَذَابًا

Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab. (an-Naba’/78: 30)

وَنَحْشُرُهُمْ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ عَلٰى وُجُوْهِهِمْ عُمْيًا وَّبُكْمًا وَّصُمًّاۗ مَأْوٰىهُمْ جَهَنَّمُۗ  كُلَّمَ خَبَتْ زِدْنٰهُمْ سَعِيْرًا

Dan Kami akan mengumpulkan mereka pada hari Kiamat dengan wajah tersungkur, dalam keadaan buta, bisu, dan tuli. Tempat kediaman mereka adalah neraka Jahanam. Setiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi nyalanya bagi mereka. (al-Isra’/17: 97)

Siksaan demikian itu balasan yang pantas bagi setiap orang yang mengingkari nikmat Allah, tidak mengakui kemahaesaan-Nya dan tidak percaya kepada rasul yang diutus-Nya.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 37


 

Ragam Makna Kata An-Nur dalam Al-Quran

0
makna kata an-nur dalam Al-Quran
makna kata an-nur dalam Al-Quran

Salah satu pendekatan yang sesuai dalam upaya menjelaskan makna kata-kata Al-Qur’an adalah semantik Al-Qur’an. Karakteristik kata atau lafad dalam Al-Qur’an salah satunya ialah satu kata mengandung memiliki ragam makna, seperti yang terlihat pada kata An-Nur. Lafad An-Nur disebutkan sebanyak 49 kali dari 39 ayat yang tersebar dalam 23 surat, 14 ayat dalam 10 surat termasuk kategori Makkiyah dan 25 ayat dalam 15 surat termasuk kategori Madaniyah

An-Nur merupakan salah satu nama dari 99 Asmaul Husna. Dalam Asmaul Husna, An-Nur diartikan sebagai Yang Maha Pemberi Cahaya. Dengan arti An-Nur sebagai cahaya, ini dimaknai bahwa Allah SWT. ialah satu-satunya Dzat pemberi cahaya dalam kehidupan umat manusia. Cahaya disini dapat diartikan dalam artian fisik maupun cahaya dalam artian sifat.

Arti kata An-Nur bertujuan untuk memberikan maksud bahwa sebagai umat Islam, kita harus meyakini didalam kehidupan yang fana’ ini, Allah lah satu-satunya cahaya yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang terang-benderang dan yang memberikan tuntunan agar hidup dijauhkan dari segala keburukan.

Baca Juga: Analisis Semantik Makna Kata Hubb dan Derivasinya dalam Al-Qur’an

Makna Dasar

Lafadz Nur (نور) terdiri dari huruf nun (ن), wauw (و), ra’(ر), yang artinya cahaya, gelombang, dan tidak adanya sebuah kepastian, kata ini juga bisa dibaca النور  dan النار. Akar kata dari huruf ini juga mempunyai makna gejolak, kurang stabil, dan tidak konsisten. Dalam lafadz lain, Al-qur’an juga menyebut cahaya dengan lafadz dhiya (ضياء) atau dengan kata munir (منير), akan tetapi lafadz dhiya’ dan munir digunakan untuk mensifati benda langit saja.

Secara etimologis, cahaya adalah sesuatu yang menyinari suatu objek sehingga objek tersebut menjadi jelas dan terang. Menurut Ibrahim Anis sebagai tata pakar bahasa Arab dalam al-Mu’jam al-Wasith menyebutkan bahwa nur adalah cahaya yang menyebabkan mata dapat melihat. Sementara itu, seorang ahli tasawuf yang bernama Muhammad Mahmud Hijazi mengatakan, nur adalah cahaya yang tertangkap oleh indra manusia dan dengannya mata dapat melihat sesuatu. Selanjutnya pengertian ini berkembang dengan makna petunjuk dan nalar.

Baca Juga: Kajian Semantik Makna Kata Khauf dalam Al-Quran

Makna Kontekstual

Setidaknya terdapat 3 makna kata an-Nur di dalam Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut:

  1. An-Nur atau Cahaya untuk Melawan Kesesatan

Dalam Al-Qur’an, terdapat beberapa ayat yang di dalamnya an-nur selalu disandingkan dengan adz-dzulumat (kegelapan). Ditinjau dari segi relasi makna, kata ad-dzulumat merupakan lawan dari kata An-Nur. Berikut contoh ayat yang menggunakan An-Nur dan Adz- Dzulumat:

ٱللَّهُ وَلِىُّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ يُخۡرِجُهُم مِّنَ ٱلظُّلُمَـٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ‌ۖ وَٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْ أَوۡلِيَآؤُهُمُ ٱلطَّـٰغُوتُ يُخۡرِجُونَهُم مِّنَ ٱلنُّورِ إِلَى ٱلظُّلُمَـٰتِ‌ۗ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ أَصۡحَـٰبُ ٱلنَّارِ‌ۖ هُمۡ فِيها خَـٰلِدُونَ ٢٥٧

 “Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah (2): 257)

Ada beberapa mufassir yang telah menafsirkan makna kata an-Nur sebagai antonim dari kata ad-dzulumat. Satu diantaranya ialah Imam Ibnu Katsir. Ia menafsirkan bahwa maksud kata ad-dzulumat ialah jalan kekufuran yang bertentangan dengan agama. Sedangkan tafsir an-Nur menurut Muhammad ‘Ali As-Shobuni dalam kitab Rowa’iul Bayan Tafsiiru Ayati Al-Ahkam ialah cahaya iman dan petunjuk.

Pemaknaan ini diambil dari konteks ketika Allah ingin menyelamatkan dan menolong orang-orang mukmin, serta menjaga dan mengurus urusan-urusan mereka, Allah lantas mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya iman melalui taufik dan kehendak-Nya.

Senada dengan itu, Az-Zamakhsari menafsirkan Adz-Dzulumat sebagai lambang dari kesesatan dan An-Nur sebagai lambang dari petunjuk yang dengan izin Allah mereka (orang-orang mukmin) mendapat kemudahan untuk melepaskan diri dari belenggu dan penutup (ad-dzulumat).

Kemudian At- Thabari juga berpendapat bahwa An-Nur adalah petunjuk bagi mereka dari kegelapan, kesesatan, dan kekufuran (ad-dzulumat) menuju cahaya iman dan memperlihatkan kepada orang bodoh dan buta tentang jalan lurus dan petunjuk.

Menurut beberapa penafsiran dari ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa An-Nur yang disebutkan dalam Al-Qur’an dengan redaksi sebagai antonim dari kata ad-dzulumat mempunyai arti iman, tauhid, ilmu, petunjuk, jalan lurus, atau ketaatan. Sedangkan makna ad-dzulumat ialah kebodohan, kekafiran, kesesatan, atau kedurhakaan.

Pemaknaan kata An-Nur yang disertai dengan kata ad-dzulumat selalu ditandai dengan poses transformasi, yakni bagaimana cara Allah untuk mengubah, membawa dan mengeluarkan sesuatu dari buruk ke sesuatu yang baik.

Baca Juga: Kajian Semantik Kata Nisyan (Lupa) dan Berbagai Konteksnya dalam Al-Quran

  1. An-Nur Sebagai Agama Allah

Selanjutnya makna kata An-Nur dalam konteks sesuatu yang datang dari Allah (sebagai karunia Allah) terdapat dalam QS. An-Nisa (4): 174. Wahbah Zuhaili dalam Tafsir al-Wasith menafsirkan An-Nur yang disebutkan pada ayat tersebut adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an ialah cahaya nyata sebagai mukjizat nabi Muhammad SAW yang paling utama.

Disebut cahaya karena menjelaskan hukum-hukum syari’at yang benar, petunjuk bagi kesesatan menuju cahaya. Itulah petunjuk Allah yang bermuara pada Al-Qur’an dan syari’at yang dikukuhkan dalam hati manusia. Petunjuk adalah pemberitaan yang benar dan iman yang lurus serta ilmu yang bermanfaat. Agama yang benar adalah amal-amal yang benar serta bermanfaat di dunia dan akhirat. Dengan demikian, kata An-Nur dalam konteks cahaya yang berasal dari Allah dapat dimaknai sebagai kitab Allah atau agama Allah.

Berdasar kedua arti tersebut nantinya akan merujuk pada arti iman dan petunjuk. Artinya, dengan agama Allah yang disempurnakan bersama mukjizat nabi Muhammad yaitu Al-Qur’an, di dalamnya akan diperoleh iman serta petunjuk dari Allah.

  1. Allah Sebagai An-Nur

Allah sebagai an-Nur. Penjelasan ini tercantum dalam QS. An-Nur:35. Sebagaimana dalam ayat “Allah Nur al-Samawat wa al-Ardh”, maka yang dimaksud bukanlah cahaya empirik dan kasat mata. Fakhruddin ar-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib menyebutkan bahwa yang dimaksud cahaya di sini ialah Dzat Ilahi, Dzat yang nampak dan menampakkan, terang dan menerangi, tampak dan terangnya segala sesuatu bersumber dari pancaran Dzat-Nya, akan tetapi Dia sendiri adalah tampak dan benderang, tiada sesuatu yang membuatnya nampak dan benderang. Dengan demikian, dapat dikatakan “Tuhan adalah Cahaya.”

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menjelaskan makna kata an-nur dalam QS. An-Nur ayat 35 yang berarti sesuatu yang menjelaskan atau menghilangkan kegelapan, sesuatu yang sifatnya gelap ( tidak jelas). Nur digunakan dalam pengertian hakiki untuk menunjukkan sesuatu yang memungkinkan mata menangkap bayangan benda-benda disekitarnya. Nur merupakan sesuatu yang dapat dilihat mata, pun bersifat terang menerangi.

Pada akhirnya, dapat penulis simpulkan sebagaimana telah dijelaskan pada uraian di atas dengan sejumlah data tekstual yang bersumber dari Al-Qur’an, bahwa kata An-Nur memiliki makna yang berbeda-beda. Penulis mengelompokkan makna kata tersebut menjadi tiga kategori.

Setiap poin dari kategori tersebut mempunyai penafsiran makna. Pertama, An-Nur sebagai lawan dari kata ad-dzulumat sering diartikan sebagai iman, tauhid, ilmu, petunjuk, jalan lurus, dan ketaatan. An-Nur juga merupakan hasil transformasi dari ad-dzulumat (kegelapan) yang menandakan Allah selalu menunjukkan hamba-Nya pada jalan yang benar.

Kedua, An-Nur yang datang dari Allah banyak diartikan sebagai Al-Qur’an yaitu mukjizat Nabi Muhammad yang paling sempurna serta agama Allah yaitu Islam. Sedang yang ketiga Allah sebagai An-Nur, merupakan puncak dari makna kata An-Nur itu sendiri. Allah adalah cahaya diatas cahaya yang telah disebutkan, di atas seluruh alam semesta, Maha Kuasa atas segalanya.

Pernyataan ini dapat diperkuat dengan bentuk tunggal kalimat tersebut. Di dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata An-Nur dalam bentuk jama’, sedangkan Ad-Dzulumat sebagai lawannya disebut berulang kali dalam bentuk jama’, yaitu Ad-Dzulumat. Hal ini menandakan kekuasaan Allah SWT sebagai Tuhan semesta Alam, dan Dia-lah satu-satunya sumber cahaya. Wallahu a’lam

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 127-128

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 127-128 berbicara mengenai dua hal. Pertama tentang kesabaran dalam berdakwah. Kedua berbicara mengenai larangan untuk berkecil hati terhadap tantangan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 126


Ayat 127

Allah mempertegas lagi perintah-Nya kepada Rasul agar bersifat sabar dan tabah dalam menghadapi gangguan orang kafir Quraisy dan hambatan mereka terhadap dakwahnya. Namun Allah menyatakan kepada Nabi bahwa kesabaran itu terwujud dalam batin disebabkan Allah memberikan pertolongan dan taufik kepadanya.

Kesabaran merupakan daya perlawanan terhadap gejala emosi manusia dan perlawanan terhadap nafsu yang bergejolak. Itulah hidayah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.

Pernyataan Allah ini membesarkan hati Nabi saw, kesulitan-kesulitan menjadi terasa ringan berkat anugerah Allah. Rasul saw tidak perlu merasa risau, cemas dan bersedih hati terhadap sikap lawannya yang menjauh dari seruannya, atau sikap permusuhan mereka yang mendustakan dan mengingkari wahyu yang diturunkan kepada-Nya.

Apalagi jika Rasul saw merasa kecil hati dan putus asa terhadap keingkaran yang mereka lakukan, seperti beliau dituduh penyihir, dukun, penyair dan sebagainya, hal demikian lebih tidak dibenarkan oleh Allah. Sebenarnya segala tuduhan itu bermaksud menghalangi orang lain untuk beriman kepada Rasul saw. Dalam ayat yang lain Allah melarang Nabi berkecil hati terhadap gangguan orang kafir. Firman-Nya:

كِتٰبٌ اُنْزِلَ اِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِيْ صَدْرِكَ حَرَجٌ مِّنْهُ لِتُنْذِرَ بِهٖ وَذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad) maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman. (al-A’raf/7: 2)

Meskipun pelajaran-pelajaran di atas ditujukan kepada Nabi saw, namun berlaku bagi para pengikutnya.


Baca juga: Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260


Ayat 128

Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan alasan mengapa Nabi diperintahkan bersabar dan dilarang untuk cemas dan berkecil hati. Allah swt menegaskan bahwa Dia selalu ada bersama orang yang bertakwa dan orang yang berbuat kebaikan sebagai penolong mereka. Allah selalu memenuhi permintaan mereka, memperkuat, dan memenangkan mereka melawan orang-orang kafir.

Orang-orang yang takwa selalu bersama Allah swt karena mereka terus menyucikan diri untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan melenyapkan kemasygulan yang ada pada jiwa mereka. Mereka tidak pernah merasa kecewa jika kehilangan kesempatan, tetapi juga tidak merasa senang bila memperoleh kesempatan.

Demikian pula Allah selalu menyertai orang yang berbuat kebaikan, melaksanakan kewajiban mereka kepada-Nya, dan selalu menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Pernyataan Allah kepada mereka yang takwa dan berbuat ihsan (kebaikan) dalam ayat ini mempunyai pengertian yang sama dengan pernyataan Allah dalam firman-Nya kepada Nabi Musa dan Harun a.s.:

قَالَ لَا تَخَافَآ اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى

Dia (Allah) berfirman, ”Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Taha/20: 46)

Juga mempunyai pengertian yang sama dengan firman Allah kepada malaikat:

اِذْ يُوْحِيْ رَبُّكَ اِلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ اَنِّيْ مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ

(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ”Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” (al-Anfal/8: 12)


Tafsir Surah An-Nahl Ayat 127-128 berbicara mengenai dua hal. Pertama tentang kesabaran dalam berdakwah. Kedua berbicara mengenai larangan untuk berkecil hati terhadap tantangan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 126


Ayat 127

Allah mempertegas lagi perintah-Nya kepada Rasul agar bersifat sabar dan tabah dalam menghadapi gangguan orang kafir Quraisy dan hambatan mereka terhadap dakwahnya. Namun Allah menyatakan kepada Nabi bahwa kesabaran itu terwujud dalam batin disebabkan Allah memberikan pertolongan dan taufik kepadanya.

Kesabaran merupakan daya perlawanan terhadap gejala emosi manusia dan perlawanan terhadap nafsu yang bergejolak. Itulah hidayah Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.

Pernyataan Allah ini membesarkan hati Nabi saw, kesulitan-kesulitan menjadi terasa ringan berkat anugerah Allah. Rasul saw tidak perlu merasa risau, cemas dan bersedih hati terhadap sikap lawannya yang menjauh dari seruannya, atau sikap permusuhan mereka yang mendustakan dan mengingkari wahyu yang diturunkan kepada-Nya.

Apalagi jika Rasul saw merasa kecil hati dan putus asa terhadap keingkaran yang mereka lakukan, seperti beliau dituduh penyihir, dukun, penyair dan sebagainya, hal demikian lebih tidak dibenarkan oleh Allah. Sebenarnya segala tuduhan itu bermaksud menghalangi orang lain untuk beriman kepada Rasul saw. Dalam ayat yang lain Allah melarang Nabi berkecil hati terhadap gangguan orang kafir. Firman-Nya:

كِتٰبٌ اُنْزِلَ اِلَيْكَ فَلَا يَكُنْ فِيْ صَدْرِكَ حَرَجٌ مِّنْهُ لِتُنْذِرَ بِهٖ وَذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

(Inilah) Kitab yang diturunkan kepadamu (Muhammad) maka janganlah engkau sesak dada karenanya, agar engkau memberi peringatan dengan (Kitab) itu dan menjadi pelajaran bagi orang yang beriman. (al-A’raf/7: 2)

Meskipun pelajaran-pelajaran di atas ditujukan kepada Nabi saw, namun berlaku bagi para pengikutnya.


Baca juga: Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260


Ayat 128

Dalam ayat ini, Allah swt menjelaskan alasan mengapa Nabi diperintahkan bersabar dan dilarang untuk cemas dan berkecil hati. Allah swt menegaskan bahwa Dia selalu ada bersama orang yang bertakwa dan orang yang berbuat kebaikan sebagai penolong mereka. Allah selalu memenuhi permintaan mereka, memperkuat, dan memenangkan mereka melawan orang-orang kafir.

Orang-orang yang takwa selalu bersama Allah swt karena mereka terus menyucikan diri untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan melenyapkan kemasygulan yang ada pada jiwa mereka. Mereka tidak pernah merasa kecewa jika kehilangan kesempatan, tetapi juga tidak merasa senang bila memperoleh kesempatan.

Demikian pula Allah selalu menyertai orang yang berbuat kebaikan, melaksanakan kewajiban mereka kepada-Nya, dan selalu menaati perintah dan menjauhi larangan-Nya. Pernyataan Allah kepada mereka yang takwa dan berbuat ihsan (kebaikan) dalam ayat ini mempunyai pengertian yang sama dengan pernyataan Allah dalam firman-Nya kepada Nabi Musa dan Harun a.s.:

قَالَ لَا تَخَافَآ اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى

Dia (Allah) berfirman, ”Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. (Taha/20: 46)

Juga mempunyai pengertian yang sama dengan firman Allah kepada malaikat:

اِذْ يُوْحِيْ رَبُّكَ اِلَى الْمَلٰۤىِٕكَةِ اَنِّيْ مَعَكُمْ فَثَبِّتُوا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۗ

(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat, ”Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman.” (al-Anfal/8: 12)


Baca setelahnya: Tafsi Surah Al Isra’ Ayat 1 (1)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fathir Ayat 32-34

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa al-Quran adalah ajaran yang benar. Maka, pada Tafsir Surah Fathir Ayat 32-34 kali ini dijelaskan tentang tingkatan mukmin yang mengamalkan al-Qur’an, dan mereka termasuk dari golongan yang istimewa, sebaba dijanjikan ganjaran besar dari Allah Swt.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 28-31


Dikatakan dalam Tafsir Surah Fathir Ayat 32-34 bahwa mereka ini akan mendapatkan balasan berupa syurga ‘Adn dari Allah, sebagi tempat yang akan mereka diami. Selain itu, mereka juga akan dikenakan pakaian yang indah dan mewah yang terbuat dari perhiasan dan sutra, semua itu sebagai bentuk kemulian bagi mereka.

Ayat 32

Allah mewahyukan Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad. Kemudian ajaran-ajaran Al-Qur’an itu diwariskan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Mereka itu adalah umat Nabi Muhammad, sebab Allah telah memuliakan umat ini melebihi kemuliaan yang diperoleh umat sebelumnya.

Kemuliaan itu tergantung kepada sejauh manakah ajaran Rasulullah itu mereka amalkan, dan sampai di mana mereka sanggup mengikuti petunjuk Allah. Berikut ini dijelaskan tingkatan-tingkatan orang mukmin yang mengamalkan Al-Qur’an:

  1. Orang yang zalim kepada dirinya. Maksudnya orang yang mengerjakan perbuatan wajib dan juga tidak meninggalkan perbuatan yang haram.
  2. Muqta¡id, yakni orang-orang yang melaksanakan segala kewajiban dan meninggalkan larangan-larangannya, tetapi kadang-kadang ia tidak mengerjakan perbuatan yang dipandang sunah atau masih mengerjakan sebagian pekerjaan yang dipandang makruh.
  3. Sabiqun bil-khairat, yaitu orang yang selalu mengerjakan amalan yang wajib dan sunah, meninggalkan segala perbuatan yang haram dan makruh, serta sebagian hal-hal yang mubah (dibolehkan).

Menurut al-Maragi pembagian di atas dapat pula diungkapkan dengan kata-kata lain, yaitu:

  1. Orang yang masih sedikit mengamalkan ajaran Kitabullah dan terlalu senang menuruti hawa nafsunya, atau orang yang masih banyak perbuatan kejahatannya dibanding dengan amal kebaikannya.
  2. Orang yang seimbang antara amal kebaikan dan kejahatannya.
  3. Orang yang terus-menerus mencari ganjaran Allah dengan melakukan amal kebaikan.

Para ulama tafsir telah menyebutkan beberapa hadis sehubungan dengan maksud di atas. Salah satunya adalah hadis riwayat Ahmad dari Abu ad-Darda’, di mana setelah membaca ayat 32 Surah Fathir di atas, Rasulullah bersabda:

فَأَمَّا الَّذِيْنَ سَبَقُوْا بِالْخَيْرَاتِ فَاُولَئِكَ الَّذِيْنَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ اَمَّا الَّذِيْنَ اقْتَصَدُوْا فَاُولَئِكَ الَّذِيْنَ يُحَاسَبُوْنَ حِسَابًا يَسِيْرًا وَاَمَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا اَنْفُسَهُمْ فَاُولَئِكَ الَّذِيْنَ يُحْبَسُوْنَ فِى ذَلِكَ الْمَكَانِ حَتىَّ يُصِيْبَهُمُ الْحَزَنُ فَيَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ. ثُمَّ تَلاَ: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ اَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ اِنَّ رَبَّنَا لَغَفُوْرٌ شَكُوْرٌ. (رواه احمد)

Adapun orang yang berlomba dalam berbuat kebaikan mereka akan masuk surga tanpa hisab (perhitungan), sedang orang-orang pertengahan (muqtashid) mereka akan dihisab dengan hisab yang ringan, dan orang  yang menganiaya dirinya sendiri mereka akan ditahan dulu di tempat (berhisabnya), sehingga ia mengalami penderitaan kemudian dimasukkan ke dalam surga.cKemudian beliau membaca “al-hamdulillah al-ladzi azhaba ‘anni al-Hazana inna rabbana lagafurun syakur, (Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami, sesungguhnya Tuhan kami Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri). (Riwayat Ahmad).

Warisan mengamalkan kitab suci dan kemuliaan yang diberikan kepada umat Nabi Muhammad itu merupakan suatu karunia yang amat besar dari Allah, yang tidak seorang pun dapat menghalangi ketetapan itu.


Baca Juga : Surah Ar-Ra’d Ayat 26: Rezeki adalah karunia Allah swt yang Harus Diusahakan


Ayat 33-34

Kemudian Allah menerangkan pahala yang akan diterima orang mukmin di atas yakni surga ‘Adn, tempat tinggal abadi buat selama-lamanya, yang akan mereka diami kelak di akhirat ketika mereka telah menghadap Allah. Mereka dianugerahi perhiasan dari emas dan pakaian dari sutra. Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda:

تَبْلُغُ الْحِلْيَةُ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ حَيْثُ يَبْلُغُ الْوُضُوْءُ. (رواه البخاري)

Sebagian dari orang mukmin itu akan memperoleh perhiasan (di surga) diletakkan pada anggota badan yang terbasuh (air) wudu. (Riwayat al-Bukhari)

 Dalam hadis lain, Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّ أَبَا أُمَامَةَ حَدَّثَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَهُمْ وَذَكَرَ حُلِيَّ أهلِ الْجَنَّةِ، فَقَالَ: مُسَوَّرُوْنَ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، مُكَلَّلَةٌ بِالدُّرِّ وَعَلَيْهِمْ اَكَالِيْلُ مِنْ دُرٍّ وَيَاقُوْتٍ مُتَوَاصِلَةٍ، وَعَلَيْهِمْ تَاجٌ كَتَاجِ الْمُلُوْكِ شَبَابٌ حُرْدٌ مُرْدٌ مُكْحَلُوْنَ.( رواه ابن أبي حاتم)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Abu Umamah meriwayatkan hadis bahwa Rasulullah mengatakan kepada para sahabat, dan menyebutkan perhiasan penghuni surga. Beliau berkata, “Mereka diberi gelang emas dan perak yang bertatahkan mutiara, mereka juga memakai mahkota dari mutiara yaqut yang bersambung. Mereka memakai mahkota seperti mahkota raja-raja. Mereka muda-muda, tidak berjenggot dan berkumis, dan mata mereka bercelak. (Riwayat Ibnu Abi Hatim).

Atas anugerah Allah yang berlipat ganda itu, mereka memuji kebesaran-Nya dan bersyukur atas keselamatan mereka dari kesedihan dan kepedihan. Ibnu ‘Abbas mengartikan kesedihan (hazan) itu dengan api neraka, karena kepedihan akibat dosa atau kepedihan akibat hebatnya siksaan di padang mahsyar.

Lepasnya mereka dari segala siksaan dan ketakutan adalah semata-mata karena ampunan Allah bagi orang yang berbuat kesalahan (dosa) dan balasan syukur bagi orang yang selalu menaati-Nya. Diriwayatkan dalam sebuah hadis dari Ibnu Umar dimana Nabi saw bersabda:

لَيْسَ عَلَى اَهْلِ لاَاِلَهَ اِلاَّ الله ُوَحْشَةٌ فِى الْمَوْتِ فِى قُبُوْرِهِمْ وَلاَ فِى نُشُوْرِهِمْ وَكَاَنِّى بِأَهْلِ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَنْفُضُوْنَ التُّرَابَ عَنْ رُؤُسِهِمْ وَيَقُوْلُوْنَ: اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ اَذْهَبَ عَنَّا الْحَزَنَ اِنَّ رَبَّنَا لَغَفُوْرٌ شَكُوْرٌ. ( رواه الطبراني عن ابن عمر)

Orang (yang selalu mengucapkan)“La ilaha illallah” tidak akan merasa kesepian di dalam kematiannya, di dalam kuburnya, dan juga pada hari Kebangkitan. Seolah-olah aku berada dengan mereka di mana mereka membersihkan kepalanya dari tanah/debu, dan mereka berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah melenyapkan kedukaan dari kami! Sesungguhnya Tuhan kami Maha Pengampun lagi Maha Penerima syukur.” (Riwayat at-Thabrani dari Ibnu ‘Umar).

Ringkasnya, mereka terlepas dari segala ketakutan dan siksaan yang telah diancamkan pada orang-orang yang berdosa akibat bisikan dan rayuan setan ketika hidup di dunia ini.

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 35-36


 

Ghazwul Fikri Pada Umat Islam dan Peringatan Al-Qur’an Tentang Ajakan Para Penolak Kebenaran

0
Ghazwul Fikri Pada Umat Islam dan Peringatan Al-Qur’an Tentang Ajakan Para Penolak Kebenaran
Image by Gerd Altmann from Pixabay

Kini, Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Pengakuan ini merupakan suatu kebanggaan bagi kita yang bukan berasal dari Bangsa Arab, tetapi banyak yang beragama Islam. Namun jumlah yang banyak ini tidak menjamin seluruh umat menjalankan ajarannya dengan baik. Sebab, sejatinya di masyarakat banyak beredar pemahaman yang keliru mengenai Islam itu sendiri, hal ini menyebabkan masyarakat terkena ghazwul fikri (perang pemikiran). Terlebih pada pemilihan poin-poin ajaran yang dianggap mudah saja, kemudian meninggalkan yang dianggap sulit untuk dilaksanakan. Fenomena ini tidak luput dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang liberal tentang Islam.

Baca juga: Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260

Dilansir dari republika, bahwa saat ini banyak musuh-musuh Islam yang menghancurkan Islam melalui perang pemikiran atau ghazwul fikri. Jika dulu para penolak kebenaran memusuhi Islam dengan perang secara fisik, maka kini ini mereka menghancurkan pelan-pelan tanpa disadari dengan mencuci otak kaum Muslimin.

Serangan atau serbuan pemikiran ini bertujuan mengubah pola pikir dan sikap seorang muslim untuk pelan-pelan mengikuti pemikiran dari musuh-musuh Islam, di antaranya Barat, dalam menghancurkan kaum Muslimin. Upaya yang dilakukan misalnya pendangkalan pemahaman ajaran agama, yaitu membuat umat ragu-ragu terhadap agamanya.

Selain itu, langkah-langkah yang dilakukan misalnya dengan pengkaburan terhadap kebenaran-kebenaran Islam dan pelan-pelan memengaruhi umat melalui budaya-budaya Barat yang menggiurkan. Ironisnya, misi ghazwul fikri ini begitu halus sehingga kadang tidak disadari kehadirannya.

Melihat fenonema ini, penting kiranya untuk setiap muslim berhati-hati terhadap berbagai pemikiran yang akan merusak ajaran Islam itu sendiri. Al-Qur’an sejatinya telah memperingatkan hal serupa mengenai orang-orang kafir yang berupaya mengajak umat muslim mengikuti ajaran nenek moyang mereka.

Al-Qur’an mengabadikan kisah tersebut dalam QS. Al-Jatsiyah ayat 18

ثُمَّ جَعَلۡنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡرِ فَٱتَّبِعۡهَا وَلَا تَتَّبِعۡ أَهۡوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَ

Terjemah: “Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 18)

Baca juga: Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

Tafsir Surah Al-Jatsiyah Ayat 18

Imam Al-Qurthubi (2009 425-427) menjelaskan bahwa kata Asy-syarii’ah menurut bahasa adalah al-madzhab (peraturan) dan al-millah (kepercayaan/agama). Dengan demikian syarii’ah merupakan apa yang Allah berlakukan kepada hamba-hamba-Nya yang berupa agama. Qatadah berkata bahwa syariah adalah perintah dan larangan, hukuman dan ketentuan.

Ayat ini memerintahkan manusia untuk melaksanakan syariat yang telah ditetapkan tersebut. Oleh karenanya, dilarang untuk meniru atau mengikuti ajakan orang-orang musyrikin. Ayat ini diturunkan ketika orang-orang Quraisy menyeru Nabi SAW untuk menganut agama nenek moyang mereka yakni Bani Quraizhah dan Bani Nazhir.

Shihab (2009: 354) menegaskan bahwa ayat tersebut mengingatkan kepada Rasulullah beserta umatnya untuk tetap berada pada syariat yang jelas, luas, dan mudah berupa bimbingan dan peraturan yang menyangkut urusan agama. Selain itu juga terdapat larangan untuk mengikuti Bani Israil yang berselisih karena pada hakikatnya mereka hanya mengikuti hawa nafsunya. Kemudian lanjutan ayat tersebut memberikan ancaman berupa siksaan dari Allah jika mengikuti langkah-langkah mereka.

Baca juga: Surah Fathir Ayat 28, Siapakah Ulama yang Dimaksud dalam Al-Quran?

Sementara Syaikh Ali Shabuni (2011: 788) mengutip pendapat Al-Baidhawi berkata, “Yakni, janganlah mengikuti pendapat orang-orang bodoh yang mengikuti kesenangan”. Mereka terdiri dari para petinggi Quraisy yang mengajak untuk kembali kepada agama nenek moyang mereka. Hal ini berarti orang-orang Quraisy yang mempengaruhi Rasulullah beserta umatnya hanya akan membawa kepada keburukan dan akan mendatangkan siksa dari Allah SWT.

Ibrah Ayat dan Kaitannya dengan Ghazwul Fikri

Ayat di atas sejatinya memperingatkan kita tentang menghindari ajakan-ajakan para penolak kebenaran untuk mengikuti ajaran mereka. Hal itu ditegaskan bahwa hendaknya umat Islam tetap berpegang pada syariat yang jelas dan senantiasa menghindari pendapat-pendapat orang-orang yang tidak mengetahui. Orang-orang yang dimaksud adalah kaum kafir tersebut.

Namun, di era sekarang ajakan-ajakan para penolak kebenaran tersebut terkadang dikemas dengan sangat rapi. Salah satunya melalui ghazwul fikri yang kadang begitu meyakinkan untuk diikuti. Sehingga umat Islam kini harus berhati-hati dengan segenap pemikiran yang terlihat bebas dan tanpa dasar yang jelas.

Baca juga: Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

Ghazwul fikri menjadi fenomena yang tidak bisa kita hindari pada era sekarang. Ijtihad mempelajari agama kepada yang ahli menjadi kunci dalam menghindari kesalahpahaman ini. Sebab musuh-musuh Islam tak akan bisa berbangga diri sebelum umat Islam goyah dengan ajarannya sendiri.

Keterbukaan pemikiran memang sangatlah penting, tetapi menerima semua pemikiran yang masuk bukanlah langkah tepat. Maka umat harus cermat dalam memilah, berupaya meneliti sebelum menjalani. Sehingga ghazwul fikri dan ajakan para penolak kebenaran dapat difilterisasi agar tidak merusak ajaran Islam yang telah mapan. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Fathir Ayat 28-31

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 28-31 diawali dengan penjelasan kesempurnaan keuasaan Allah, setelah itu, dijelaskan pula perumpamaan Allah dengan “pedagang yang tidak merugi”, yakni merekalah orang yang menghafal al-Quran, menafkahi hartanya, dan menyebarkan ilmu yang ia dapatkan. Dan menegaskan bahwa al-Quran adalah Kitabullah yang nyata dan benar, serta merangkum kitab-kitab Allah sebelumnya, dan tidak bertentangan dengan ajaran tersebut.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 27


Ayat 28

Pada ayat ini, Allah menambah penjelasan lagi tentang hal-hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya. Allah menciptakan binatang melata dan binatang ternak, yang bermacam-macam warnanya sekalipun berasal dari jenis yang satu.

Bahkan ada binatang yang satu, tetapi memiliki warna yang bermacam-macam. Mahasuci Allah pencipta alam semesta dengan sebaik-baiknya. Sejalan dengan ini firman Allah:

وَمِنْ اٰيٰتِهٖ خَلْقُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافُ اَلْسِنَتِكُمْ وَاَلْوَانِكُمْۗ

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah penciptaan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. (ar-Rum/30: 22)

Demikianlah Allah menunjukkan tanda-tanda kekuasaan-Nya seperti tersebut di atas untuk dapat diketahui secara mendalam. Hanya ulama yang benar-benar menyadari dan mengetahui tanda-tanda kekuasaan Allah, sehingga mereka benar-benar tunduk kepada kekuasaan-Nya dan takut kepada siksa-Nya.

Ibnu ‘Abbas berkata, “Yang dinamakan ulama ialah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah itu Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Di dalam riwayat lain, Ibnu ‘Abbas berkata, “Ulama itu ialah orang yang tidak mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu apa pun, yang menghalalkan yang telah dihalalkan Allah dan mengharamkan yang telah diharamkan-Nya, menjaga perintah-perintah-Nya, dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan-Nya yang akan menghisab dan membalas semua amalan manusia.”

 Ayat ini ditutup dengan suatu penegasan bahwa Allah Mahaperkasa menindak orang-orang yang kafir kepada-Nya. Dia tidak mengazab orang-orang yang beriman dan taat kepada-Nya, tetapi Maha Pengampun kepada mereka.

Dia kuasa mengazab orang-orang yang selalu berbuat maksiat dan bergelimang dosa, sebagaimana Dia kuasa memberi pahala kepada orang-orang yang taat kepada-Nya dan mengampuni dosa-dosa mereka, maka sepatutnya manusia itu takut kepada-Nya.


Baca Juga : Tafsir Surah Yusuf Ayat 16-18: Cara Nabi Yakub Memverifikasi Berita


Ayat 29-30

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang selalu membaca Al-Qur’an, meyakini berita, mempelajari kata dan maknanya lalu diamalkan, mengikuti perintah, menjauhi larangan, mengerjakan salat pada waktunya sesuai dengan cara yang telah ditetapkan dan dengan penuh ikhlas dan khusyuk.

Termasuk menafkahkan harta bendanya tanpa berlebih-lebihan dengan ikhlas tanpa ria, baik secara diam-diam atau terang-terangan, mereka adalah orang yang mengamalkan ilmunya dan berbuat baik dengan Tuhan mereka.

Mereka itu ibarat pedagang yang tidak merugi, tetapi memperoleh pahala yang berlipat ganda sebagai karunia Allah, berdasarkan amal baktinya. Firman Allah:

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۚ

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. (an-Nisa’/4: 173).

Selain dari itu, mereka juga akan memperoleh ampunan atas kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri hamba-hamba-Nya, memberikan pahala yang sempurna terhadap amal-amal mereka, memaafkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya. Sejalan dengan ini firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ غَفُوْرٌ شَكُوْرٌ

Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri. (asy-Syura/42: 23)

Ayat 31

Sesungguhnya Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Kitabullah yang benar-benar diturunkan dari Allah. Oleh karena itu, Allah mewajibkan kepada Nabi dan kepada segenap umatnya untuk mengamalkan ajarannya dan mengikuti pedoman-pedoman hidup yang terdapat di dalamnya.

Bila seorang muslim telah mematuhi secara sempurna ajaran Al-Qur’an itu, maka ia tidak perlu lagi mengamalkan kitab-kitab suci sebelumnya, sekalipun diwajibkan untuk mengimaninya. Sebab apa yang pernah diterangkan dalam kitab-kitab sebelumnya, telah dibenarkan oleh Al-Qur’an.

Dengan kata lain, beriman dengan kitab-kitab suci yang pernah diturunkan kepada para rasul sebelum Nabi Muhammad bukan berarti mengamalkan ajarannya, tetapi cukup mengimani kebenarannya, sebab intisari dari apa yang tercantum dalam kitab-kitab itu telah tertera pula dalam Al-Qur’an. Allah Maha Mengetahui perihal hamba-Nya.

Allah Mahateliti akan aturan-aturan hidup yang perlu bagi mereka. Atas dasar itulah Dia menetapkan aturan dan hukum-hukum yang sesuai dengan kehidupan mereka, di mana dan kapan mereka berada.

Guna kesejahteraan manusia seutuhnya, Allah mengutus para rasul dengan tugas menyampaikan syariat-Nya, di mana Nabi Muhammad adalah rasul terakhir yang diutus untuk sekalian manusia sampai hari Kiamat. Risalah dan syariat yang dibawanya kekal dan abadi sampai tibanya hari Kiamat.

Firman Allah:

اَللّٰهُ اَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِسٰلَتَهٗۗ

Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya. (al-An’amm/6: 124)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa maksud pengetahuan Allah yang Mahaluas mengenai perihal hamba-Nya itu ialah Dia mengangkat derajat para nabi dan rasul melebihi manusia keseluruhannya. Bahkan di antara mereka (para nabi) itu sendiri berbeda-beda tingkat ketinggiannya, dan kedudukan Nabi Muhammad melebihi semua mereka.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 32-34


Tafsir Surah Fathir Ayat 27

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Diantara tanda kekuasaan Allah akan diurai dalam Tafsir Surah Fathir Ayat 27 berikut, bahwa kekuasaan-Nya amatlah sempurna, dan bisa dinikmati manusia kapan  saja. Baik itu dari hal yang remeh, sampai hal yang nyeleneh, karena akal tak mampu menjangkaunya, dari sesuatu yang biasa, sampai yang memukau mata. Sejatinya, apapun bentuk ciptaan Allah, jika ditelusuri, semuanya akan menjadi luar biasa, bahkan men-tadabbur-nya saja, adalah bentuk (tanda) dari kekuasan-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 23-26


Ayat 27

Pada ayat ini, Allah menguraikan beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya, yang dapat dilihat manusia setiap waktu. Jika mereka menyadari dan menginsyafi semuanya itu, tentu mereka akan menyadari pula keesaan dan kekuasaan Allah Yang Maha Sempurna itu.

Di antara tanda-tanda itu adalah Allah menjadikan sesuatu yang beraneka ragam macamnya yang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan hujan dari langit, sehingga tanaman bisa tumbuh dan mengeluarkan buah-buahan yang beraneka ragam warna, rasa, bentuk, dan aromanya, sebagaimana yang kita saksikan.

Buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, merah, hijau, dan sebagainya. Hal yang sama dijelaskan pula di dalam ayat yang lain. Firman Allah:

وَفِى الْاَرْضِ قِطَعٌ مُّتَجٰوِرٰتٌ وَّجَنّٰتٌ مِّنْ اَعْنَابٍ وَّزَرْعٌ وَّنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَّغَيْرُ صِنْوَانٍ يُّسْقٰى بِمَاۤءٍ وَّاحِدٍۙ وَّنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلٰى بَعْضٍ فِى الْاُكُلِۗ اِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ

Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan, kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, pohon kurma yang bercabang, dan yang tidak bercabang; disirami dengan air yang sama, tetapi Kami lebihkan tanaman yang satu dari yang lainnya dalam hal rasanya. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti. (ar-Ra’d/13: 4).

Allah juga menciptakan gunung-gunung yang kelihatan seperti garis-garis, ada yang kelihatan putih, merah, dan hitam pekat. Di antara gunung-gunung itu terbentang pula jalan-jalan yang beraneka ragam pula warnanya.

Menurut para saintis, garis-garis berwarna pada batuan paling umum dijumpai pada jenis batuan sedimen. Batuan sedimen terbentuk dari hasil pengendapan bahan yang terangkut oleh aliran air atau angin.

Bahan yang diendapkan adalah butiran-butiran halus berupa pasir, debu, atau lempung sebagai hasil pelapukan batuan di tempat lain, yang kemudian terlepas dari batuan induknya dan terangkut oleh aliran air atau tiupan angin.

Tempat pengendapan bahan sedimen ini umumnya terletak pada bagian-bagian yang rendah di mana kecepatan tenaga pengangkut (arus air, hembusan angin) berkurang. Daerah-daerah yang umum dikenal sebagai  tempat pengendapan  adalah dataran, pesisir terutama daerah delta, dan dasar laut.


Baca Juga : Agen dalam Mekanisme Pewahyuan Al-Quran: Tuhan, Jibril ataukah Keduanya?


Pada proses pengangkutan (transportasi) dan pengendapan (sedimentasi) terjadi pula mekanisme pemilahan (sorting) di mana pada umumnya bahan dengan karakteristik fisik yang sama (misalnya dalam hal ukuran butir atau berat jenis) akan diendapkan pada lingkungan pengendapan yang sama.

Proses pelapukan, pengangkutan, dan pengendapan ini berjalan terus- menerus sepanjang sejarah bumi yang dapat memakan waktu ribuan bahkan jutaan tahun.

Selama proses ini berjalan terdapat pula perubahan-perubahan baik dalam hal lingkungan pengendapan maupun jenis bahan yang diendapkan, sehingga pada batuan sedimen terbentuk lapisan-lapisan yang juga melukiskan urutan sejarah (waktu) pengendapan.

Mekanisme geologi lain yang biasa terjadi pada batuan sedimen adalah mengalami pengangkatan oleh adanya gaya tektonik sehingga batuan sedimen yang biasanya terbentuk di tempat-tempat yang rendah bisa dijumpai di puncak-puncak gunung. Pada puncak-puncak gunung yang tertoreh, baik oleh pengikisan maupun oleh terjadinya rekahan, lapisan-lapisan sedimen ini akan tampak ke permukaan.

Setiap lapisan pada batuan sedimen dapat memiliki warna yang berbeda karena tersusun dari material yang berbeda. Perbedaan warna ini terutama dicirikan oleh perbedaan susunan mineralogisnya.

Misal: mineral-mineral yang mengandung senyawa besi oksida (hematit) berwarna merah, mineral yang berwarna putih antara lain alumino-silika (kaoline), mineral-mineral logam hidroksida (goethite, brucite, diaspore, boehmite) dapat memberikan berbagai warna (kuning, hijau, abu-abu, hitam, merah muda), yang berwarna bening antara lain silika (kuarsa). Batuan atau mineral keras yang berwarna-warni biasa digosok menjadi batu perhiasan.

 

 (Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 28-31