Beranda blog Halaman 264

Tafsir Surah Fathir Ayat 23-26

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 23-26 menjelaskan bahwa tugas Nabi hanyalah memberi peringatan, mengabarkan keagungan Tuhan, memberi kabar gembira akan syurga dan ganjarannya, sekaligus mewanti-wanti akan azab Tuhan serta pedihnya siksaan kala di neraka.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 19-22


Manakah yang akan diperoleh tergantung jalan mana yang dipilih, apakah jalan keselamatan atau kesesatan. Pun demikian, masih saja ada yang ingkar dan membangkan, sementara Nabi, tidak memiliki hak untuk memberi hidayah, sebab itu merupakan kuasa mutlak Allah Swt.

Ayat 23

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa tugas Nabi Muhammad hanyalah memberi peringatan kepada manusia yang belum mendapat petunjuk. Ia tidak dibebani perintah untuk memaksa mereka menerima petunjuk dan agama yang dibawanya, karena petunjuk itu adalah sepenuhnya berada di tangan Allah.

Oleh karena itu, tidak pada tempatnya Nabi Muhammad bersedih hati dan merasa kecewa kalau mereka itu belum mau menyambut baik seruannya. Tugas ini ditegaskan oleh Nabi Muhammad sebagaimana firman Allah:

قُلْ اِنَّمَآ اَنَا۠ مُنْذِرٌ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya aku hanya seorang pemberi peringatan,”  (Shad/38: 65).

Dan firman-Nya:

اِنْ يُّوْحٰىٓ اِلَيَّ اِلَّآ اَنَّمَآ اَنَا۠ نَذِيْرٌ مُّبِيْنٌ

Yang diwahyukan kepadaku, bahwa aku hanyalah seorang pemberi peringatan yang nyata.” (Shad/38: 70)

Ayat 24

Ayat ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad diutus kepada manusia agar mereka beriman kepada Allah Yang Maha Esa disertai dengan syariat yang diwajibkan kepada hamba-Nya.

Nabi saw juga di-perintahkan untuk memberi kabar gembira kepada orang yang membenarkan risalahnya dan menerima baik agama yang dibawanya dari Allah, bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan dan kesenangan.

Juga memberi peringatan kepada orang yang mendustakannya dan menolak wahyu yang diturunkan dari Allah bahwa mereka akan dimasukkan ke dalam neraka yang penuh dengan azab dan siksa yang amat pedih. Pada ayat yang lain Allah menegaskan sebagai berikut:

وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا مُبَشِّرًا وَّنَذِيْرًا

Dan Kami mengutus engkau (Muhammad), hanya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. (al-Isra’/17: 105).

Tidak ada suatu umat pun sejak Nabi Adam kecuali Allah mengutus kepada mereka seorang utusan yang memberi peringatan. Dengan demikian, umat itu tidak mempunyai alasan lagi untuk membantah Allah sesudah diutus-Nya para rasul itu. Firman Allah:

رُسُلًا مُّبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللّٰهِ حُجَّةٌ ۢ بَعْدَ الرُّسُلِ

Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah setelah rasul-rasul itu diutus. (an-Nisa’/4: 165)

Dan firman-Nya:

وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا

Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul. (al-Isra’/17: 15).

Pada ayat lain ditegaskan juga sebagai berikut:

وَاِنْ يُّكَذِّبُوْكَ فَقَدْ كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوْحٍ وَّعَادٌ وَّثَمُوْدُ ۙ  ٤٢  وَقَوْمُ اِبْرٰهِيْمَ وَقَوْمُ لُوْطٍ ۙ ٤٣ وَّاَصْحٰبُ مَدْيَنَۚ وَكُذِّبَ مُوْسٰى فَاَمْلَيْتُ لِلْكٰفِرِيْنَ ثُمَّ اَخَذْتُهُمْۚ فَكَيْفَ كَانَ نَكِيْرِ   ٤٤

Dan jika mereka (orang-orang musyrik) mendustakan engkau (Muhammad), begitu pulalah kaum-kaum yang sebelum mereka, kaum Nuh, ‘Ad, dan Samud (juga telah mendustakan rasul-rasul-Nya), dan (demikian juga) kaum Ibrahim dan kaum Lut, dan penduduk Madyan. Dan Musa (juga) telah didustakan, namun Aku beri tenggang waktu kepada orang-orang kafir, kemudian Aku siksa mereka, maka betapa hebatnya siksaan-Ku. (al-Hajj/22: 42-44)


Baca Juga : Tafsir Surat Yasin Ayat 28-29: Akibat Mendustakan Rasul


Ayat 25-26

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa setelah mereka mengingkari kedatangan rasul dan mendustakan agama yang dibawanya, Dia mengazab orang-orang kafir itu dengan azab yang pedih.

Alangkah hebatnya kemurkaan Allah kepada mereka apabila mereka tetap dalam keadaan membangkang, serta tetap mengingkari kerasulan Muhammad saw dan agama yang dibawanya.

Mereka akan mengalami seperti apa yang telah dialami umat dahulu. Demikian sunatullah tetap berlaku dan tidak akan berubah. Sebagaimana firman Allah:

سُنَّةَ اللّٰهِ فِى الَّذِيْنَ خَلَوْا مِنْ قَبْلُ ۚوَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللّٰهِ تَبْدِيْلًا

Sebagai sunnah Allah yang (berlaku juga) bagi orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu), dan engkau tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah. (al-Ahzab/33: 62)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 27


 

Memahami Falsafah Jawa “Urip Iku Urup” Melalui Tafsir Surah Al-Isra Ayat 7

0
Memahami Falsafah Jawa “Urip Iku Urup” Melalui Tafsir Surah Al-Isra Ayat 7
Urip Iku Urup

Kian banyak mutiara terpendam dalam falsafah-falsafah jawa yang kaya akan makna kehidupan. Namun sayangnya hal itu belum banyak terdengar dalam dunia akademik. Demikian ini karena makna-makna falsafah jawa masih sayup-sayup terdengar. Alih-alih, hanya dikira mitos belaka oleh generasi kekinian.

Di antara falsafah tersebut adalah “Urip Iku Urup”. Sekilas ungkapan tersebut terdengar aneh, namun jika ditelisik memiliki makna kehidupan yang sangat mendalam. Tercatat dalam sejarah kuno bahwa kalimat tersebut berasal dari Sunan Kalijaga. Ia merupakan salah satu Walisongo yang menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Dalam catatan sejarah, dideskripsikan bahwa Sunan Kalijaga lahir pada tahun 1450 Masehi. Ia merupakan putra dari Raden Ahmad Sahuri (Adipati Tuban VIII) dan Dewi Nawangarum (putri Syaikh Abdurrahim Al-Maghrabi). Sunan Kalijaga dikenal oleh masyarakat Jawa akan kegigihannya dalam menyiarkan Islam melalui pendekatan kultural.

Jadi, tidak pelak ia memperlakukan adat-istiadat yang tidak bermoral dipoles menjadi adat-istiadat yang bermoral dan tentunya bermuatan ajaran Islami. Misalnya wayang kulit yang notabene adalah pertunjukkan tentang cerita Ramayana dan Mahabarata yang bernuasa Hindu, lalu dipoles menjadi cerita-cerita Islami dan menjadi media dakwah.

Baca juga: Tafsir Ahkam : Apakah Boleh Membaca Al-Qur’an dengan Dilanggamkan Atau Dilagukan?

Mengulik Makna Urip Iku Urup

Kembali pada fokus tulisan ini, yaitu kalimat “Urip Iku Urup” yang digaungkan oleh sang pujangga, Raden Mas Syahid tersebut. Kata pertama adalah “Urip” yang berarti hidup. Tentu siapa yang tidak kenal dengan namanya “hidup”? Barangkali orang-orang akan berkomentar; “Kenapa sih masih dibicarakan. Hidup ya hidup, tinggal dijalani saja, tidak perlu diambil pusing. Itu saja kok repot!”

Tentu pernyataan semacam itu cenderung pragmatis, tidak berpikir jauh dan lebih dalam terhadap arti sebuah kehidupan. Karena pada dasarnya manusia diciptakan oleh Allah Swt., selain ditugaskan untuk menyembahNya, juga untuk menjadi makhluk sosial, sebagaimana tertuang pada firmanNya, QS. Al-Maidah ayat 2:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

” … Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”.

Melangkah pada kata kedua, “Urup” yang menginformasikan bahwa hidup pada sejatinya adalah untuk “menerangi”. Menerangi di sini merupakan majaz atau perumpamaan bahwa, hidup itu memberi manfaat kepada alam sekitar. Nabi Muhammad saw., bersabda:

وَخَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ

“Sebaik-baik manusia adalah dapat memberikan kemanfaatan bagi yang lainnya” (HR. Ahmad dan Ad-Daruquthni).

Kalimat jargon Sunan Kalijaga tersebut juga mengandung nilai-nilai Al-Qur’an yang tidak lain merupakan kitab pedoman umat Islam. Salah satunya adalah surah Al-Isra’ ayat 7 yang berbunyi:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.

Baca juga: Surah al-Isra’ [17] Ayat 7: Hakikat Perbuatan Baik Bagi Manusia

Tafsir Surah Al-Isra’ Ayat 7

Berdasarkan bunyi ayat di atas, dipahami bahwa pada dasarnya jika seseorang berbuat baik, maka otomatis ia telah berbuat baik bagi dirinya dan orang lain. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 14:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ فَأَطَعْتُمُ اللهَ وَلَزِمْتُمْ أَمْرَهُ وَتَرَكْتُمْ نَهِيْهِ- أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ، لِأَنَّكُمْ تَنْفَعُوْنَهَا بِذَلِكَ فِى دُنْيَاهَا وَآخِرَتَهَا

Jika kalian berbuat baik, lalu kalian memelihara (petunjuk) Allah dan kalian penuhi perintahNya serta meninggalkan laranganNya. Maka, kalian telah berbuat baik bagi diri kalian sendiri. Karena, dengan itu semua, kalian dapat mengambil manfaat untuk kalian sendiri di dunia dan akhirat.

Balasan Allah Swt., kepada orang yang berbuat baik tidak hanya berupa pahala, tetapi juga dapat berupa rasa aman dan tenteram di dunia, serta mendapatkan rezeki dan kekuatan yang tidak disangka-sangka. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 14-15:

أَمَّا فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ اللهَ يَدْفَعُ عَنْكُمْ أَذَى مَنْ أَرَادَكُمْ بِسُوْءٍ، وَيَرَدُّ كَيْدَهُ فِى نَحَرِهِ، وَيُنَمِّى لَكُمْ أَمْوَالَكُمْ، وَيَزِيْدُكُمْ قُوَّةَ إِلَى قُوَّتِكُمْ

Dengan itu semua, dapat diambil manfaat untuk kalian sendiri di dunia dan akhirat. Sesungguhnya Allah akan menjauhkan kalian dari penganiayaan dari orang yang bermaksud jelek pada kalian, dan Allah akan menolak tipu daya orang yang akan (kalian) hadapi. Dan Allah juga mengembangkan harta kalian serta menambahkan kekuatan pada kalian.

Begitu pula di akhirat, seorang yang melakukan kebaikan akan ditunggu kelak di akhirat oleh surga-surga beserta ridhaNya Swt. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 15:

وَأَمَّا فِى الآخرةِ فَإِنَّ اللهَ يُثِيْبُكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِىْ مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ، وَيَرْضَى عَنْكُمْ (وَرِضْوانٌ مِنَ اللَّهِ أَكْبَرُ) .

Adapun di akhirat, sesungguhnya Allah akan membalas (kebaikan) kalian dengan surga-surga yang di bawahnya terdapat sungai-sungai (yang mengalir) dan Allah meridhai kalian. (sebagaimana firman Allah Swt), Ridhanya Allah itu lebih besar (dari segalanya).

Jika kita mencerna dengan baik-baik isi penafsiran al-Maraghi, serta menarik ke pembahasan utama, yakni pesan tersirat dari “Urip Iku Urup”, maka disimpulkan bahwa hidup itu sangat dianjurkan dapat memberi dampak positif pada sekitar. Karena kemanfaatan tersebut akan dibalas oleh Allah Swt., baik di dunia maupun di akhirat, dengan balasan yang tidak dapat diduga-duga.

Namun sebaliknya, jika tidak dapat memberi kebaikan kepada orang lain. Maka tentunya tidak boleh berbuat buruk kepada orang lain. Karena akan juga dibalas oleh Allah SWT. Sebagaimana interprestasi Imam Al-Maraghi dalam tafsirnya, juz 15, halaman 15:

وَإِنْ عَصَيْتُمْ رَبَّكُمْ وَفَعَلْتُمْ مَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَإِلَى أَنْفُسِكُمْ تُسِيْئُوْنَ، لِأَنَّكُمْ تُسْخِطُوْنَهُ، فَيُسَلِّطُ عَلَيْكُمْ فِى الدُّنْيَا أَعْدَاءَكُمْ، وَيُمَكِّنُ مِنْكُمْ مَنْ يَبْغِى بِكُمْ السُّوْءَ، وَيُلْحِقُ بِكُمْ فِى الآخرةِ العَذَابَ المُهِيْنَ.

Jika kalian durhaka kepada Tuhan kalian dan berbuat sesuatu yang dilarangnya. Maka, kalian berbuat buruk pada diri kalian sendiri. Karena, kalian membuat (Allah Swt) murka, sehingga Dia akan memberi celah kepada musuh-musuh kalian di dunia, serta memberi peluang kepada orang yang mencari-cari keburukan kalian, dan (pada akhirnya) Allah timpakan kepada kalian adzab yang sangat hina di akhirat kelak.

Penutup

Dari pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa kehidupan itu memiliki dua sisi, positif dan negatif. Seseorang dapat bebas memilih ke arah mana kehidupannya berlabuh, demikian pula akibat yang akan ia terima dari perbuatannya. Yang pasti, kebaikan seseorang di dunia, laksana lentera yang dapat menerangi perjalanannya dalam mengarungi gelapnya malam. Toh lenteranya kecil, tetapi setidaknya ia dapat berjalan bersama orang sekitarnya.

Baca juga: Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis

Tafsir Surah Fathir Ayat 19-22

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 19-22 menerangkan bahwa, tentu saja berbeda antara orang yang menutup dan membuka hatinya terhadap kebenaran, kafir dan mukmin, kebatilan dan kebaikan, yang demikian itu tidak bisa bersatu, namun bisa diubah. Sebab Islam membawa konsep hidayah, yang bisa menerangi tiap hati yang gersang dan gelap, yang dengan hidayah itu seseorang bisa kembali fitri sebagaimana awal hadirnya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 18


Ayat 19

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang tidak mengetahui atau mengingkari agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad tidak sama dengan orang-orang yang membuka matanya lebar-lebar sehingga dapat melihat dan mengetahui dengan jelas kebenaran agama yang dibawanya, lalu mereka mengikuti dan menaatinya.

Golongan pertama termasuk orang-orang yang jahat dan tidak mengetahui, sedang golongan kedua adalah orang-orang yang baik dan mengetahui. Firman Allah:

قُلْ لَّا يَسْتَوِى الْخَبِيْثُ وَالطَّيِّبُ

Katakanlah (Muhammad), “Tidaklah sama yang buruk dengan yang baik.” (al-Ma’idah/5: 100)

Dan firman-Nya:;

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ

Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (az-Zumar/39: 9)

Ayat 20

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa kekafiran tidak sama dengan iman, karena kekafiran adalah kegelapan, tidak mengetahui peraturan Allah. Orang kafir berjalan dalam kegelapan, tidak dapat keluar darinya, bahkan hanyut dalam kesesatan di dunia dan akhirat.

Adapun cahaya iman menerangi orang Islam kepada jalan yang benar dan membawa kebahagiaan dunia dan akhirat.  Sebagian mufasir mengartikan “gelap gulita” di sini dengan “kebatilan”, dan “cahaya” dengan “kebenaran”, kebatilan dan kebenaran tidak sama.

Ayat 21

Selanjutnya, Allah menerangkan bahwa yang terlindung tidak sama dengan yang terkena panas. Sebagian ulama tafsir mengartikan Zhill (teduh/naungan) di sini dengan surga, karena surga itu mempunyai naungan yang menyebabkan hawa sejuk. Sebagaimana firman Allah:

مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِيْ وُعِدَ الْمُتَّقُوْنَۗ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُۗ  اُكُلُهَا دَاۤىِٕمٌ وَّظِلُّهَا

Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang yang bertakwa (ialah seperti taman), mengalir di bawahnya sungai-sungai; senantiasa berbuah dan teduh. (ar-Ra’d/13: 35).

Sedang Harr (panas) diartikan dengan neraka, karena ia memang satu tempat yang amat panas dan penuh dengan api yang menyala-nyala, jauh lebih panas dari api yang dikenal di dunia. Sepercik bunga api neraka saja jatuh di dunia, maka dunia akan panas seluruhnya sebagaimana dijelaskan di dalam suatu hadis.

لَوْ اَنَّ شَرَرَةَ مِنْ شَرَرِ جَهَنَّمَ بِالْمَشْرِقِ لَوَجَدَ حَرَّهَا مَنْ بِالْمَغْرِبِ. (رواه الطبراني عن انس بن مالك)

Sekiranya sepercik api dari bunga-bunga api neraka (berada) di timur, maka akan dirasakan panasnya (oleh orang-orang yang berada) di barat. (Riwayat at-Thabrani, dari Anas bin Malik)


Baca Juga : Tafsir Surat Yasin Ayat 7-8: Orang-Orang yang Terbelenggu dalam Kekafiran


Ayat 22

Pada awal ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang hatinya hidup karena beriman kepada Allah dan rasul-Nya, serta mengetahui Al-Qur’an dan isinya, tidak sama dengan orang yang mati hatinya akibat ditutupi kekafiran.

Mereka yang terakhir ini tidak mau mengetahui perintah dan larangan Allah, tidak dapat membedakan antara petunjuk dan kesesatan. Ini adalah perumpamaan bagi orang-orang yang mukmin dan bagi orang-orang kafir. Firman Allah:

اَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَاَحْيَيْنٰهُ وَجَعَلْنَا لَهٗ نُوْرًا يَّمْشِيْ بِهٖ فِى النَّاسِ كَمَنْ مَّثَلُهٗ فِى الظُّلُمٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا

Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? (al-An’am/6: 122) ;Dan firman-Nya:

مَثَلُ الْفَرِيْقَيْنِ كَالْاَعْمٰى وَالْاَصَمِّ وَالْبَصِيْرِ وَالسَّمِيْعِۗ هَلْ يَسْتَوِيٰنِ مَثَلًا ۗ

Perumpamaan kedua golongan (orang kafir dan mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Samakah kedua golongan itu? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran? (Hud/11: 24).

Orang mukmin itu melihat, mendengar, dan bermandikan cahaya terang-benderang ketika melintasi Shiratal Mustaqim sampai ke surga yang sejuk, mempunyai naungan, dan mata air yang banyak.

Sedangkan orang kafir buta dan tuli berjalan di dalam gelap gulita tidak dapat keluar daripadanya, bahkan selalu bersikap sombong di dalam kesesatannya di dunia dan akhirat sampai diberi keputusan masuk neraka yang sangat panas, penuh api menyala-nyala.

Allah memberi petunjuk kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, mau mendengar hujjah atas kebenaran rasul, dan menerima agama yang dibawanya yaitu Islam dengan baik.

Sebagaimana halnya orang yang telah mati dimasukkan dalam kubur, tidak dapat mendengar nasihat-nasihat dan saran-saran yang akan membimbingnya ke jalan yang benar, begitu pula orang yang mati hatinya. Tidak akan bermanfaat baginya peringatan-peringatan Allah. Mereka  tidak dapat memahami isi Al-Qur’an dan ajaran-ajaran agama.

 

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 23-26


 

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 126

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 126 berbicara mengenai dakwah. Dakwah yang dimaksud adalah dengan memegangi dua prinsip. Pertama berdakwah dengan suasana damai, yakni dengan lisan serta saling menyampaikan hujjah. Kedua berdakwah dengan tegas apabila kehormatan terganggu. Namun tegas di sini tetap berdasarkan konsep keadilan dalam Islam.


Baca juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 125


Ayat 126

Berdasarkan riwayat Abu Hurairah bahwa sesungguhnya Nabi saw berdiri di hadapan Hamzah ketika terbunuh sebagai syahid dalam Perang Uhud. Tidak ada pemandangan yang paling menyakitkan hati Nabi daripada melihat jenazah Hamzah yang dicincang (mutilasi).

Lalu Nabi bersabda, “Semoga Allah mencurahkan rahmat kepadamu. Sesungguhnya engkau—sepengetahuanku—adalah orang yang senang silaturrahim dan banyak berbuat kebaikan. Kalau bukan karena kesedihan berpisah denganmu, sungguh aku lebih senang bersamamu sampai di Padang Mahsyar bersama para arwah. Demi Allah, aku akan membalas dengan balasan yang setimpal tujuh puluh orang dari mereka sebagai penggantimu.”

Maka Jibril turun dengan membawa ayat-ayat di akhir Surah an-Nahl, “Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang yang sabar.” Pada saat itu Rasulullah berdiri di hadapan jenazah Hamzah.

Dalam ayat ini Allah swt menegaskan kepada kaum Muslimin, yang akan mewarisi perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama Islam, untuk menjadikan sikap Rasul di atas sebagai pegangan mereka dalam menghadapi lawan.

Pedoman dakwah yang diberikan Allah pada ayat yang lalu, adalah pedoman dalam medan dakwah dengan lisan, hujjah lawan hujjah. Dakwah berjalan dalam suasana damai. Akan tetapi, jika dakwah mendapat perlawanan yang kasar, misalnya para dai disiksa atau dibunuh, Islam menetapkan sikap tegas untuk menghadapi keadaan demikian dengan tetap menjunjung tinggi kebenaran.


Baca juga: Kisah Al-Quran: Biografi Nabi Ibrahim dan Perjalanan Dakwahnya


Dua macam jalan yang diterangkan Allah dalam ayat ini, pertama: membalas  dengan  balasan  yang  seimbang. Kedua: menerima  tindakan  permusuhan  itu  dengan  hati  yang  sabar dan memaafkan kesalahan itu jika bisa memberi pengaruh yang lebih baik bagi jalannya dakwah.

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini mempunyai makna dan tujuan yang sama dengan beberapa ayat dalam Al-Qur’an yaitu mengandung keharusan adil dan dorongan berbuat keutamaan, seperti firman Allah:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَا ۚفَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِ ۗاِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barang siapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zalim. (asy-Syµra/42: 40)

Firman Allah swt:

وَالْجُرُوْحَ قِصَاصٌۗ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهٖ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهٗ  ۗ

…Dan luka-luka (pun) ada kisasnya (balasan yang sama). Barang siapa melepaskan (hak qisas)nya, maka itu (menjadi) penebus dosa baginya. (al-Ma’idah/5: 45)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 127-128


(Tafsir Kemenag)

Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan

0
Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan
Al-Quran Mukjizat Terbaik

Imam al-Suyuthi dalam Kitab al-Itqan fi ‘ulum al-Quran menuliskan satu bab yang secara khusus membahas perihal kemukjizatan Al-Quran (i’jaz Al-Quran). Pada mulanya, al-Suyuthi menyebut bahwa terdapat beberapa ulama yang membuat karangan tersendiri yang membahas khusus perihal kemukjizatan Al-Quran. Ini menandakan betapa banyaknya aspek kemukjizatan Al-Quran yang dapat dikaji oleh para ulama. Al-Suyuthi menyebutkan beberapa ulama, antara lain adalah al-Khattabi (Bayan I’jaz Al-Quran), al-Rummani (al-Nukat fi I’jaz Al-Quran), Imam al-Razi, dan Qodli Abu Bakar al-Baqilani (I’jaz Al-Quran).

Hakikat Mukjizat

Secara kebahasaan, kata mukjizat merupakan kata benda subjek (isim fa’il) dari kata a’jaza-yu’jizii’jaz yang memiliki arti melemahkan atau membuat sesuatu atau seseorang menjadi lemah dan tidak mampu (al-Munjid fi al-lughah, hal 488).

Imam al-Suyuthi sendiri mendefinisikan mukjizat sebagai,

اَمْرٌ خَارِقٌ لِلْعَادَةِ مَقْرُوْنٌ بِالتَّحَدِّى سَالِمٌ مِنَ الْمُعَارَضَةِ

“Mukjizat adalah perkara yang di luar nalar yang dibersamai dengan tantangan kepada manusia untuk membandinginya dan bebas dari sanggahan-sanggahan.” (Al-Itqan, hal 484).

Perlu diketahui bahwa kepentingan adanya mukjizat adalah sebagai bukti verifikasi kenabian seseorang. Ahli Kitab dahulu selalu meminta bukti tersebut dari seorang yang mengaku sebagai nabi. Kebiasaan mereka adalah meminta nabi itu berkurban, baru ketika kurban tersebut dimakan oleh api, mereka mau percaya (Q.S. Ali ‘Imran (3): 183). Sehingga mukjizat akan selalu berupa hal-hal yang di luar nalar manusia, karena yang dapat melakukannya hanya Allah Swt. semata. Ini akan membuktikan kebenaran risalah seorang nabi.

Selanjutnya, mukjizat akan selalu membuka tantangan kepada manusia untuk membandinginya. Ini sebagai bukti validitas selanjutnya, bahwa perkara di luar nalar tersebut tidak bisa dibuat-buat oleh manusia, melainkan benar-benar dari Allah semata (Q.S. Hud (11): 13-14). Oleh karenanya, mukjizat tidak akan pernah mendapat sanggahan bandingan dari siapapun, manusia bahkan jin seluruhnya sekalipun tidak mampu untuk berbuat demikian (Q.S. Al-Isra’ (17): 88).

Baca juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya

Macam Mukjizat: Empiris dan Rasional

Setelah menjelaskan hakikat mengenai mukjizat, Imam al-Suyuthi membagi macam-macam mukjizat yang jarang kita ketahui. Berikut kata al-Suyuthi,

وَهِيَ اِمَّا حِسِّيَّةً وَاِمَّا عَقْلِيَّةً, وَاَكْثَرُ مُعْجِزَاتِ بَنِى اِسْرَائِلَ كَانَتْ حِسِّيَّةً لِبَلَادَتِهِمْ وَقِلَّةِ بَصِيْرَتِهِمْ وَاَكْثَرُ مُعْجِزَاتِ هَذِهِ الْاُمَّةِ عَقْلِيَّةٌ لِفَرَطِ ذُكَّائِهِمْ وَكَمَالِ اَفْهَامِهِمْ

“Mukjizat adakalanya bersifat empiris dan adakalanya bersifat rasional (maksudnya fenomena mukjizat adakalanya merupakan pengalaman empiris yang melibatkan indra manusia yang menyaksikannya, dan adakalanya fenomena yang murni menggunakan akal untuk dapat direnungi). Kebanyakan mukjizat Bani Israil adalah mukjizat empiris, karena kebebalan mereka dan pendeknya nalar mata hati mereka, sedangkan kebanyakan mukjizat umat ini (Islam) adalah mukjizat rasional karena kecerdasan pikiran mereka dan kesempurnaan pemahaman mereka.” (Al-Itqan, hal 482).

Berubahnya tongkat Nabi Musa menjadi ular, terbelahnya Laut Merah untuk memberi jalan kepada Bani Israil, Nabi Isa yang dapat berbicara ketika masih bayi, dan mampu menghidupkan orang mati dengan izin Allah adalah sederet fenomena-fenomena di luar nalar yang dapat diketahui dengan indra penglihatan. Mukjizat-mukjizat ini hanya dapat disaksikan oleh orang-orang yang hadir saat itu.

Singkatnya, kesemua mukjizat ini mempunyai masa berkala (expired date), sebab generasi setelahnya tidak dapat menyaksikan lagi mukjizat tersebut, yang lumrahnya juga akan muncul lagi pertanyaan akan kebenaran mukjizat dari mereka ketika hanya mendengar cerita tersebut.

Baca juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam

Sedangkan yang dimaksudkan Imam al-Suyuthi sebagai mukjizat rasional tak lain dan tak bukan adalah Al-Quran. Jelas beliau berikut,

وَمُعْجِزَةِ الْقُرْآنِ تُشَاهَدُ بِالْبَصِيرَةِ فَيَكُونُ مَنْ يَتْبَعُهُ لِأَجْلِهَا أَكْثَرَ لِأَنَّ الَّذِي يُشَاهَدُ بِعَيْنِ الرَّأْسِ يَنْقَرِضُ بِانْقِرَاضِ مُشَاهِدِهِ وَالَّذِي يُشَاهَدُ بِعَيْنِ الْعَقْلِ بَاقٍ يُشَاهِدُهُ كُلُّ مَنْ جَاءَ بَعْدَ الْأَوَّلِ مُسْتَمِرًّا

“Mukjizat Al-Quran dapat disaksikan dengan mata hati (bashirah). Sehingga orang yang mengikuti Al-Quran sebab tuntutan mata hati akan lebih banyak, karena mukjizat yang hanya bisa disaksikan dengan mata kepala akan dapat habis dengan matinya orang-orang yang menyaksikannya. Sedangkan mukjizat yang disaksikan dengan mata akal (bashirah) akan selalu ada, akan selalu dapat disaksikan oleh setiap orang pada generasi selanjutnya.” (Al-Itqan, hal 483).

Inilah keistimewaan Al-Quran dibandingkan mukjizat-mukjizat nabi yang lain. Seperti dijelaskan Imam al-Suyuthi bahwa kemukjizatan Al-Quran bersifat rasional. Artinya untuk dapat menghayati nilai-nilai Al-Quran diperlukan akal pikiran dan hati (bashirah) yang matang. Jadi siapapun itu, selama ia memiliki kedua perangkat ini akan selalu merasa takjub pada kemukjizatan Al-Quran, kapanpun, bahkan sampai hari kiamat kelak.

Jika kita hanya membaca Al-Quran tanpa berusaha untuk merenungkan makna-maknanya, kemukjizatan Al-Quran tidak akan sampai kepada kalbu kita karena ia bersifat mukjizataqliyah. Oleh karenanya, sebagai generasi qurani sudah menjadi tugas kita untuk senantiasa mengasah nalar rasional untuk dapat mengambil pelajaran dan ibrah dari Al-Quran. Wa Allahu a’lam.

Baca juga: 3 Aspek Kemukjizatan Al-Qur’an Menurut Manna’ Khalil al-Qathan

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 125

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 125 berbicara mengenai dakwah. Terkait masalah ini Allah memberikan pedoman bagaimana mengajak manusia (dakwah). Di sini dipaparkan pula lima dasar yang wajib menjadi pegangan umat Islam.


Baca juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 123-124


Ayat 125

Dalam ayat ini, Allah swt memberikan pedoman kepada Rasul-Nya tentang cara mengajak manusia (dakwah) ke jalan Allah. Jalan Allah di sini maksudnya ialah agama Allah yakni syariat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.

Allah swt meletakkan dasar-dasar dakwah untuk pegangan bagi umatnya di kemudian hari dalam mengemban tugas dakwah.

Pertama, Allah swt menjelaskan kepada Rasul-Nya bahwa sesungguhnya dakwah ini adalah dakwah untuk agama Allah sebagai jalan menuju rida-Nya, bukan dakwah untuk pribadi dai (yang berdakwah) ataupun untuk golongan dan kaumnya. Rasul saw diperintahkan untuk membawa manusia ke jalan Allah dan untuk agama Allah semata.

Kedua, Allah swt menjelaskan kepada Rasul saw agar berdakwah dengan hikmah. Hikmah itu mengandung beberapa arti:

  1. Pengetahuan tentang rahasia dan faedah segala sesuatu. Dengan pengetahuan itu sesuatu dapat diyakini keberadaannya.
  2. Perkataan yang tepat dan benar yang menjadi dalil (argumen) untuk menjelaskan mana yang hak dan mana yang batil atau syubhat (meragukan).
  3. Mengetahui hukum-hukum Al-Qur’an, paham Al-Qur’an, paham agama, takut kepada Allah, serta benar perkataan dan perbuatan.

Arti hikmah yang paling mendekati kebenaran ialah arti pertama yaitu pengetahuan tentang rahasia dan faedah sesuatu, yakni pengetahuan itu memberi manfaat.

Dakwah dengan hikmah adalah dakwah dengan ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan rahasia, faedah, dan maksud dari wahyu Ilahi, dengan cara yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi, agar mudah dipahami umat.

Ketiga, Allah swt menjelaskan kepada Rasul agar dakwah itu dijalankan dengan pengajaran yang baik, lemah lembut, dan menyejukkan, sehingga dapat diterima dengan baik.

Tidak patut jika pengajaran dan pengajian selalu menimbulkan rasa gelisah, cemas, dan ketakutan dalam jiwa manusia. Orang yang melakukan perbuatan dosa karena kebodohan atau ketidaktahuan, tidak wajar jika kesalahannya itu dipaparkan secara terbuka di hadapan orang lain sehingga menyakitkan hati.

Khutbah atau pengajian yang disampaikan dengan bahasa yang lemah lembut, sangat baik untuk melembutkan hati yang liar dan lebih banyak memberikan ketenteraman daripada khutbah dan pengajian yang isinya ancaman dan kutukan-kutukan yang mengerikan. Namun demikian, menyampaikan peringatan dan ancaman dibolehkan jika kondisinya memungkinkan dan memerlukan.


Baca juga: Pesan Dakwah Gus Baha’ Tentang Syarat yang Harus Dimiliki Seorang Mufassir


Untuk menghindari kebosanan dalam pengajiannya, Rasul saw menyisipkan dan mengolah bahan pengajian yang menyenangkan dengan bahan yang menimbulkan rasa takut. Dengan demikian, tidak terjadi kebosanan yang disebabkan uraian pengajian yang berisi perintah dan larangan tanpa memberikan bahan pengajian yang melapangkan dada atau yang merangsang hati untuk melakukan ketaatan dan menjauhi larangan.

Keempat, Allah swt menjelaskan bahwa bila terjadi perdebatan dengan kaum musyrikin ataupun ahli kitab, hendaknya Rasul membantah mereka dengan cara yang baik.

Suatu contoh perdebatan yang baik ialah perdebatan Nabi Ibrahim dengan kaumnya yang mengajak mereka berpikir untuk memperbaiki kesalahan mereka sendiri, sehingga menemukan kebenaran.

Tidak baik memancing lawan dalam berdebat dengan kata yang tajam, karena hal demikian menimbulkan suasana yang panas. Sebaiknya dicipta-kan suasana nyaman dan santai sehingga tujuan dalam perdebatan untuk mencari kebenaran itu dapat tercapai dengan memuaskan.

Perdebatan yang baik ialah perdebatan yang dapat menghambat timbulnya sifat manusia yang negatif seperti sombong, tinggi hati, dan berusaha mempertahankan harga diri karena sifat-sifat tersebut sangat tercela. Lawan berdebat supaya dihadapi sedemikian rupa sehingga dia merasa bahwa harga dirinya dihormati, dan dai menunjukkan bahwa tujuan yang utama ialah menemukan kebenaran kepada agama Allah swt.

Kelima, akhir dari segala usaha dan perjuangan itu adalah iman kepada Allah swt, karena hanya Dialah yang menganugerahkan iman kepada jiwa manusia, bukan orang lain ataupun dai itu sendiri. Dialah Tuhan Yang Maha Mengetahui siapa di antara hamba-Nya yang tidak dapat mempertahankan fitrah insaniahnya (iman kepada Allah) dari pengaruh-pengaruh yang menyesatkan, hingga dia menjadi sesat, dan siapa pula di antara hamba yang fitrah insaniahnya tetap terpelihara sehingga dia terbuka menerima petunjuk (hidayah) Allah swt.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 126


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 123-124

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 123-124 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai hubungan erat antara agama yang Nabi Ibrahim dan agama Nabi Muhammad SAW. Kedua berbicara mengenai perselisihan tentang hari Sabtu.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 (2)


Ayat 123

Dalam ayat ini ditegaskan hubungan yang erat antara agama Nabi Ibrahim dan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw. Firman Allah swt:

قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ەۚ دِيْنًا قِيَمًا مِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), ”Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus, agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (al-An’am/6: 161)

Di antara syariat Nabi Ibrahim yang masih berlaku pada masa Nabi Muhammad saw ialah pelaksanaan khitan. Beberapa ulama menetapkan hukum wajib khitan karena syariat khitan ini tidak dihapus oleh syariat Nabi Muhammad saw.

Firman Allah swt:

وَجَاهِدُوْا فِى اللّٰهِ حَقَّ جِهَادِهٖۗ هُوَ اجْتَبٰىكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍۗ مِلَّةَ اَبِيْكُمْ اِبْرٰهِيْمَۗ هُوَ سَمّٰىكُمُ الْمُسْلِمِيْنَ ەۙ مِنْ قَبْلُ وَفِيْ هٰذَا لِيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ شَهِيْدًا عَلَيْكُمْ وَتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِۖ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَاعْتَصِمُوْا بِاللّٰهِ ۗهُوَ مَوْلٰىكُمْۚ فَنِعْمَ الْمَوْلٰى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ ࣖ   ۔

Dan berjihadlah kamu di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu, dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kamu orang-orang muslim sejak dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur’an) ini, agar Rasul (Muhammad) itu menjadi saksi atas dirimu dan agar kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia. Maka laksanakanlah salat; tunaikanlah zakat, dan berpegangteguhlah kepada Allah. Dialah Pelindungmu; Dia sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong. (al-Hajj/22: 78)

Berulang kali pula dalam Al-Qur’an, Allah swt menegaskan bahwa Ibrahim itu bukanlah orang musyrik sebagaimana halnya orang musyrikin Quraisy yang mengakui diri mereka pengikut dan keturunan Nabi Ibrahim.


Baca juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?


Ayat 124

Dalam ayat ini, Allah swt mengecam orang Yahudi karena mereka berselisih tentang kedudukan hari Sabtu. Hari Sabtu adalah hari jatuhnya murka Allah kepada sebagian Bani Israil karena kedurhakaan mereka melanggar kewajiban pada hari itu, seperti diterangkan Allah swt:

وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِيْنَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِى السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُوْنُوْا قِرَدَةً خَاسِـِٕيْنَ

Dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan pelanggaran di antara kamu pada hari Sabat, lalu Kami katakan kepada mereka, ”Jadilah kamu kera yang hina!” (al-Baqarah/2: 65)

Allah swt mewajibkan kepada Bani Israil untuk melaksanakan ibadah pada hari Sabtu serta melarang mereka dan hewan-hewan mereka melakukan pekerjaan lain. Akan tetapi, sebagian mereka tidak menaati larangan Allah dan mencari-cari jalan untuk membenarkan perbuatan mereka pada hari itu. Karena mereka menghalalkan yang haram, jatuhlah azab Tuhan dengan mengubah mereka menjadi seperti kera.

Ketetapan hari Sabtu sebagai hari mulia dan untuk ibadah bukanlah warisan dari syariat Nabi Ibrahim, tetapi ketentuan syariat Nabi Musa, sebagaimana hari Ahad bagi syariat Nabi Isa dan hari Jumat bagi syariat Nabi Muhammad saw.

أَضَلَّ اللهُ عَنِ الْجُمُعَةِ مَنْ كَانَ قَبْلَنَا، فَكَانَ لِلْيَهُوْدِ يَوْمُ السَّبْتِ وَ كَانَ لِلنَّصَارَى يَوْمُ اْلأَحَدِ فَجَاءَ اللهُ بِنَا فَهَدَانَا اللهُ لِيَوْمِ الْجُمُعَةِ فَجَعَلَ الْجُمُعَةَ وَالسَّبْتَ وَاْلأَحَدَ، وَكَذٰلِكَ هُمْ تَبَعٌ لَنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ، نَحْنُ اْلأَخِرُوْنَ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا وَاْلأَوَّلُوْنَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْمَقْضِيُّ بَيْنَهُمْ قَبْلَ الْخَلاَئِقِ. (رواه مسلم عن أبي هريرة وحذيفة)

Allah menyesatkan orang-orang sebelum kita dari hari Jumat, maka untuk orang Yahudi hari Sabtu dan untuk orang Nasrani hari Ahad, maka datanglah Allah kepada kita yang diberi-Nya kita petunjuk untuk hari Jumat lalu Allah menjadikan hari Jumat, Sabtu, dan Ahad. Dan demikianlah mereka menjadi pengikut kita pada hari kiamat. Kitalah orang yang terakhir dari penghuni dunia tapi orang pertama pada hari kiamat dan diadili di antara mereka sebelum makhluk-makhluk lain diadili. (Riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan Hudzaifah)

Keterangan hari-hari mulia itu tidak merupakan masalah pokok dari syariat yang diturunkan Allah kepada para nabi, tetapi termasuk masalah furµ’iyah (cabang). Masing-masing mereka mempunyai ketentuan sendiri. Nabi Muhammad saw tidaklah diperintahkan untuk mengikuti syariat Nabi Musa a.s., tetapi beliau diperintahkan mengikuti Nabi Ibrahim a.s.

Perselisihan di antara golongan dalam agama Yahudi tidak dapat diselesaikan antara mereka sendiri, karena sudah mengakar dan meluas. Hanya Allah swt yang menentukan keputusan di antara mereka pada hari kiamat kelak, tentang masalah-masalah yang mereka perselisihkan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 125


(Tafsir Kemenag)

Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260

0
surah Al-Baqarah Ayat 260, ragu yang diperbolehkan
surah Al-Baqarah Ayat 260, ragu yang diperbolehkan

Dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita dituntut untuk senantiasa bersikap yakin dan tak ragu. Namun dalam beberapa kesempatan, sikap ragu dibolehkan, bahkan dianjurkan. Salah satu ayat Al-Qur’an yang membicarakan perihal keraguan adalah surah Al-Baqarah ayat 260. Ayat tersebut kemudian diinterpretasikan oleh masing-masing mufassir dan menjadi diskursus yang meramaikan khazanah penafsiran Al-Qur’an.

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّ اَرِنِيْ كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتٰىۗ قَالَ اَوَلَمْ تُؤْمِنْ ۗقَالَ بَلٰى وَلٰكِنْ لِّيَطْمَىِٕنَّ قَلْبِيْ ۗقَالَ فَخُذْ اَرْبَعَةً مِّنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ اِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلٰى كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِيْنَكَ سَعْيًا ۗوَاعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖ

“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Dia (Allah) berfirman, “Belum percayakah engkau?” Dia (Ibrahim) menjawab, “Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.” Dia (Allah) berfirman, “Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu dekatkanlah kepadamu (potong-potonglah). Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari tiap-tiap burung. Selanjutnya, panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 260)

Baca Juga: Ketika Nabi Ibrahim Menanyakan Allah tentang Cara Menghidupkan Orang Mati

Dua macam ragu

Syahrur, seorang pemikir muslim kontemporer, dalam karyanya Al-Kitâb wa Al-Qur’ân, memasukkan ayat ini dalam pembahasan tentang qolbun salîm. Menurutnya, salah satu indikator seseorang memiliki qolbun salîm adalah salâmah tafkir yang dipahami oleh Buya Syafi’i Ma’arif sebagai “kemurnian berpikir.” (Membumikan Islam, 22)

Lebih lanjut, Syahrur menjelaskan Nabi Ibrahim merupakan salah satu hamba Allah yang diberi anugerah berupa kemurnian berpikir. Hal tersebut terlihat dari dialog antara Nabi Ibrahim dengan Allah swt. yang mempertanyakan bagaimana Allah swt. menghidupkan makhluk yang sudah dimatikan. Dialog tersebut menunjukkan kepada pembaca sebuah metode utama yang menjadi kunci untuk memajukan ilmu pengetahuan, yakni “metode ragu” atau yang diistilahkan oleh Syahrur sebagai Manhaj asy-Syakk Li al-Wushûli Ila al-Yaqîn.

Metode ragu yang dimaksud adalah metode percobaan ilmiah yang bertujuan untuk menyesuaikan antara realitas objektif dengan teori. Itulah yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim yang mencoba mencocokkan antara janji hari kebangkitan dengan realitas penghidupan makhluk yang telah dimatikan guna mendapatkan keyakinan yang mantap. (Al-Kitâb wa Al-Qur’ân, 274)

Sepintas, penafsiran di atas bertentangan dengan kebanyakan penafsiran lain yang menyatakan bahwa Nabi Ibrahim tidak sedang dalam keadaan ragu. Diantara penafsiran yang menyatakan demikian adalah seperti yang termaktub dalam Tafsir An-Nur. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menegaskan bahwa permintaan nabi Ibrahim tersebut bukan berarti beliau meragukan kekuasaan Allah swt. Hal tersebut dilakukan bertujuan untuk memperoleh tambahan pengetahuan dan ingin mengetahui rahasia-rahasia suatu peristiwa. Lebih lanjut, Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa manusia yang paling sempurna ilmunya adalah mereka yang paling gemar memeriksa masalah-masalah yang belum diketahuinya. (Tafsir Al-Qur’an Majid An-Nuur [1]: 461)

Masih dalam kesepakatan tentang ketidakraguan Nabi Ibrahim, Ibnu ‘Asyur dalam Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr menjelaskan bahwa permintaan Nabi Ibrahim dalam surah Al-Baqarah ayat 260 tersebut lahir dari rasa cintanya yang berlebihan untuk membuktikan tentang adanya kebangkitan. Peristiwa tersebut menjadi peralihan tingkat pengetahuan dari yang semula bersifat nazhari dan burhani, beralih menuju pengetahuan yang bersifat dharuri. Jawaban balik Nabi Ibrahim, “Balâ Wâlakin Liyathma’inna Qalbî” “(Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang)” merupakan ucapan hati yang yakin dan pemahaman yang terlepas dari keraguan (Tafsir at-Tahrîr wa at-Tanwîr [3]: 38)

Baca Juga: Kisah Nabi Ibrahim Mencari Tuhan Melalui Matahari dalam Al-Quran

Jika ditelaah lebih lanjut, sebenarnya tidak terdapat pertentangan antar penafsiran tersebut.. Hanya saja kita perlu mendudukkan kembali definisi “ragu” yang dimaksudkan oleh masing-masing mufassir. Dalam hal ini,  penjelasan Quraish Shihab dalam salah satu karya yang bercorak Ulumul Qur’an, Kaidah Tafsir, dapat dijadikan sebagai penengah kesimpangsiuran makna “ragu” yang dimaksud.

Quraish Shihab menguraikan keraguan menjadi dua macam. Pertama, ragu yang timbul karena kecurigaan dan sifatnya subjektif. Ragu jenis ini merupakan jenis keraguan yang dilarang sebab hanya akan membuahkan pembenaran dari kecurigaannya. Kedua, ragu yang terjadi karena bukti yang dihidangkan belum menyentuh hati dan pikiran. Ragu jenis ini merupakan bagian dari proses pencarian kebenaran dan keyakinan. Keraguan jenis kedua merupakan ragu yang dibolehkan bahkan dianjurkan sebab akan menghantarkan pelakunya menuju keyakinan dan sikap objektif. (Kaidah Tafsir, 20)

Dari klasifikasi keraguan oleh Quraish Shihab di atas, kita dapat memetakan maksud ragu yang dimaksud oleh Syahrur dan mufassir lainnya. Ragu yang dikatakan Syahrur sebagai metode yang menjadi kunci utama memajukan ilmu pengetahuan adalah klasifikasi jenis ragu yang kedua, yakni ragu yang menjadi proses pencarian kebenaran dan keyakinan. Sedangkan yang dimaksud oleh mayoritas mufassir lain, seperti Ibnu ‘Asyur dan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy termasuk dalam klasifikasi jenis keraguan yang pertama, yakni keraguan yang timbul karena kecurigaan dan hanya bertujuan mencari pembenaran.

Demikian Quraish Shihab menengahi keraguan Nabi Ibrahim dalam surah Al-Baqarah ayat 260 ini, keraguan dibolehkan untuk menuju keyakinan yang hakiki. Wallahu a’lam

Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

0
Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital
Membangun nalar kritis

Terhitung sejak tanggal 2 Maret 2020, ketika pemerintah Indonesia menginformasikan dua kasus pasien yang dinyatakan positif Covid-19, hingga saat ini yang berimbas pada mobilitas warganya dibatasi dan mengharuskan bekerja dan beraktivitas di rumah saja (Kompas.com, 11 Mei 2020).

Dengan beralihnya berbagai aktivitas dari offline ke online, tentunya kebutuhan akan dunia digital semakin besar. Hal ini, terlihat data bahwa jumlah pengguna Internet Indonesia pada tahun 2021 tembus hingga 202 Juta dari jumlah penduduknya yang terdiri dari 274, 9 juta jiwa. Jumlah ini bukan hanya masalah bilangan belaka. Dengan intensifnya penggunaan internet, informasi serta berita bertebaran di dunia maya dengan sangat mudahnya. Sehingga tak sedikit kita menemukan berbagai berita hoax, ujaran kebencian, adu domba dll.

Pengalaman kontemporer mengindikasikan bagaimana perkembangan media baru tidak saja membawa pada dampak positif, tetapi juga dampak negatif. Dampak negatifnya menurut penulis adalah fenomena nihilisme yang bersifat individual dan kolektif, yakni kaburnya orientasi moral-keagamaan. Kenapa? dominasi media digital tak dibarengi dengan literasi media. Sementara informasi digital membombardir masyarakat, menyelinap masuk tidak saja pada aspek kognisi masyarakat, tetapi juga pada bawah alam bawah sadar masing-masing mereka.

Agama yang lebih dekat dengan keyakinan dan emosi banyak orang sering dimanfaatkan untuk tujuan tertentu yang bersifat politis. Sebut saja sentimen agama yang dianggap sebagai alat ampuh untuk memotivasi dan memobilisasi masyarakat beragama. Sementara media internet telah terpenetrasi begitu luas di masyarakat, kepentingan politik praktis menggunakannya untuk menggiring opini masyarakat dengan bahasa agama. Misalnya fenomena kemunculan buzzer yang tugasnya menggiring opini publik (yang sering berwatak politis-partisan) lewat media sosial.

Berdasarkan kenyataan di atas, membangun nalar kritis dan kesadaran literasi media digital penting untuk dilakukan. Harapannya, masyarakat mampu memfilter diri dari propaganda keagamaan dan mengaplikasikan pemikiran kritis terhadap media untuk membangun kesadaran dan tanggung jawab sebagai penganut agama dan warga negara.

Baca juga: Resolusi Al-Quran Menghadapi Tantangan Digital di Era Post-Truth

Membangun Nalar Kritis, Pesan QS. Al-Hujurat: 6

Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 6 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ

Artinya: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seorang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya akan kamu sesali.

Berangkat dari ayat di atas, tulisan ini akan memaparkan esensi makna yang terkandung di dalamnya. Penulis menemukan bagaimana sebenarnya dalam menerima sebuah berita itu harus dikembangkan dengan pola pikir kritis untuk menyikapi informasi yang bertebaran di media digital. Ini tentunya dalam rangka menguatkan literasi digital kita. Setidaknya ada dua hal penting yang harus dilakukan.

Pertama, mulailah dengan sifat keraguan atau sering disebut dengan skeptis, bukan keyakinan. Setiap informasi yang datang harus diragukan kebenarannya. Ragu mendorong kita untuk berpikir kritis terhadap setiap informasi yang kita terima dari berbagai lini yang ada, terkhusus agama. Informasi yang tidak dipikirkan secara kritis bukan informasi yang layak untuk dipercaya, apalagi diikuti. Kritisisme bisa dilakukan dengan cara mengevaluasi berbagai argumen yang melandasi sebuah pesan tulisan di media.

Skeptis berbeda dengan sinis. Skeptisisme adalah satu sikap yang meyakini adanya objektivitas. Skeptisme mendorong orang untuk terus mencari dan mengumpulkan fakta yang ada. Sedangkan sinisme adalah sikap tidak percaya pada informasi, bukan karena materi dan pembuktiannya, tetapi berdasarkan sumber informasinya. Fanatisme golongan dan kelompok menjadi penyebab tumbuh suburnya fenomena sinisme terhadap informasi dan pengetahuan. Sehingga bermula dengan sinisme, pencarian bukti menjadi sangat tidak relevan.

Kedua, temukan bukti untuk menjawab keraguan. Bukti haruslah bersifat empiris dan diupayakan dari sumber primer. Primer yang dimaksud di sini ialah sumber yang belum diinterpretasikan oleh pihak manapun. Sumber sekunder bisa saja sudah mengalami pereduksian makna. Bukti dalam kategori primer ini bisa berupa: otoritas, hasil penelitian, statistik, dan lainnya. Hingga nantinya bukti harus dinilai dan ditimbang sebagai landasan untuk mencari sebuah keputusan. Quraish Shihab memaknai hal ini sebagai bentuk klarifikasi (tabayyun) atas informasi yang telah didapatkan. Sebagaimana dalam Peradilan Islam, al-bayyinah adalah sebuah langkah dan unsur yang penting dalam memutuskan sebuah perkara.

Relevansinya akan cara kedua sebenarnya sudah ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam salah satu hadisnya yang diriwayatkan dari al-Mughirah Ibnu Syu’bah, sebagai berikut:

إنَّ اللَّهَ عزَّ وجلَّ حَرَّمَ علَيْكُم: عُقُوقَ الأُمَّهاتِ، ووَأْدَ البَناتِ، ومَنْعًا وهاتِ، وكَرِهَ لَكُمْ ثَلاثًا: قيلَ وقالَ، وكَثْرَةَ السُّؤالِ، وإضاعَةَ المالِ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian durhaka kepada ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan suka menahan (hak orang lain), tapi menuntut (hak diri sendiri); dan Dia tidak suka kalian sering mengutip perkataan orang lain, banyak bertanya, dan menghambur-hamburkan harta.” (HR. Muslim no. 593; Bulugh al-Maram, no. 1485).

Di sini Rasulullah sangat tidak suka dengan kegiatan sering mengutip perkataan orang lain atau informasi yang mempunyai unsur “kata-nya”, sebab kemungkinan besar sumbernya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Baca juga: Krisis Kemanusiaan, Gus Mus Serukan Para Kyai Memviralkan Kandungan Surat Al-Hujurat

Penutup

Nalar Kritis tidaklah terbentuk dengan sendirinya, tetapi ia merupakan skill yang perlu untuk dilatih dan dikembangkan. Kemampuan baca-tulis adalah kunci utama dan penting guna membangun nalar kritis. Al-Qur’an sendiri pada ayat pertamanya bahkan memberikan sinyal akan pentingnya aktivitas membaca. Ketika kita banyak membaca, maka segala bentuk disinformasi bisa diminimalisir serta dapat diselesaikan secara lebih bijak. Wallahu A’lam.

Baca juga: Tadabbur Atas Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5: Wahyu Pertama Perintah Membaca

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 (2)

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 bagian ke dua ini berbicara mengenai lanjutan dari 5 sifat mulia Nabi Ibrahim as yang sudah disebutkan sebelumnya. Selain itu dalam artikel ini juga disebutkan tentang tiga sifat lain dari Nabi Ibrahim as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 (1)


  1. Dia sesungguhnya adalah pilihan Allah swt untuk kenabian, sebagaimana firman-Nya:

۞ وَلَقَدْ اٰتَيْنَآ اِبْرٰهِيْمَ رُشْدَهٗ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهٖ عٰلِمِيْنَ

Dan sungguh, sebelum dia (Musa dan Harun) telah Kami berikan kepada Ibrahim petunjuk, dan Kami telah mengetahui dia. (al-Anbiya’/21: 51)

  1. Bahwasanya Allah swt membimbing Ibrahim ke jalan yang lurus, yaitu menyembah hanya kepada-Nya, tiada patut disembah kecuali Dia, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Selanjutnya Ibrahim memberi pengajaran kepada manusia ke jalan tauhid dan mengajak manusia kepada agama Allah.

Firman Allah swt:

وَاذْكُرْ عِبٰدَنَآ اِبْرٰهِيْمَ وَاِسْحٰقَ وَيَعْقُوْبَ اُولِى الْاَيْدِيْ وَالْاَبْصَارِ  ٤٥  اِنَّآ اَخْلَصْنٰهُمْ بِخَالِصَةٍ ذِكْرَى الدَّارِۚ ٤٦ وَاِنَّهُمْ عِنْدَنَا لَمِنَ الْمُصْطَفَيْنَ الْاَخْيَارِۗ  ٤٧

Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Yakub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi). Sungguh, Kami telah menyucikan mereka dengan (menganugerahkan) akhlak yang tinggi kepadanya yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sungguh, di sisi Kami mereka termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. (as-Sad/38: 45- 47)

  1. Ibrahim dijadikan Allah sebagai nabi kesayangan umat manusia dan diakui oleh semua penganut agama besar di dunia. Orang Yahudi, Nasrani, dan Islam mengakui kenabian Ibrahim a.s. Bahkan orang-orang kafir Quraisy sangat membanggakan doa Nabi Ibrahim agar menjadi kesayangan manusia di kemudian hari.

Firman Allah swt:

رَبِّ هَبْ لِيْ حُكْمًا وَّاَلْحِقْنِيْ بِالصّٰلِحِيْنَ ۙ  ٨٣  وَاجْعَلْ لِّيْ لِسَانَ صِدْقٍ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۙ   ٨٤

(Ibrahim berdoa), ”Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku ilmu dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang datang) kemudian. (asy-Syu’ara’/26: 83-84)

  1. Bahwasanya dia di akhirat dimasukkan ke dalam barisan orang-orang saleh dan menempati derajat yang tinggi dalam surga, sesuai dengan permohonannya sendiri.

Demikian beberapa sifat yang sempurna dari pribadi Nabi Ibrahim. Secara singkat dapat dikatakan bahwa beliau mempunyai sifat kepemimpin-an, seorang yang patuh (disiplin), berakhlak mulia (moralis), teguh (konsekwen) dalam kebenaran, seorang muwahhid (monoteis) yang bersih, suka bersyukur dan tahu berterima kasih, seorang guru, dan punya nama yang harum dan masyhur di tengah-tengah umat manusia, dan termasuk orang-orang yang saleh.


Baca juga: Tafsir Surah Ad-Duha Ayat 11: Apa itu Tahadduts bi an-Ni’mah?


Selain sifat-sifat umum seperti tersebut di atas, masih ada sifat Nabi Ibrahim yang sangat menonjol, sebagaimana diterangkan dalam Al-Qur’an, yaitu:

  1. Orang yang berhasil menemukan keesaan Allah setelah proses pencarian yang panjang melalui tanda-tanda kekuasaan Allah di cakrawala. Oleh karena itu, beliau digelari dengan Bapak Tauhid (Monoteisme).
  2. Orang yang sangat gigih dan ulet dalam menegakkan ketauhidan dan menghancurkan kemusyrikan, tanpa mengenal lelah dan putus asa.
  3. Orang yang sangat pasrah dan menyerahkan diri kepada Allah swt. Sebagai contoh kepasrahannya yang sempurna kepada Allah swt ialah pada waktu dia menerima perintah untuk mengurbankan putranya, Ismail as, sedikit pun dia tidak ragu melaksanakannya.

Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 123-124


(Tafsir Kemenag)