Beranda blog Halaman 265

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 (1)

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 bagian pertama ini berbicara mengenai Nabi Ibrahim a.s. Ia merupakan pemimpin orang-orang yang mencitai kebenaran serta dijuluki bapak para Nabi. Di sini disebutkan pula 5 dari 9 sifat mulia Nabi Ibrahim as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 118-119


120-122

Dalam ayat ini, Allah swt memuji hamba-Nya, Ibrahim a.s., sebagai rasul dan khalil-Nya. Beliau adalah imam kaum Hunafa atau pemimpin dari orang yang menyukai kebenaran dan bapak dari para nabi. Allah swt menyatakan dalam ayat ini ummah yang berarti pemimpin yang menjadi teladan. Menurut ‘Abdullah bin Mas’µd, ummah berarti guru kebijaksanaan. Sedangkan menurut Ibnu Umar, ummah berarti yang mengajar manusia tentang agama mereka.

Gelar demikian menunjukkan bahwa Nabi Ibrahim memiliki beberapa sifat yang mulia. Menurut ayat ini, sifat beliau sebagai berikut:

  1. Dialah sebenarnya satu-satunya Imam. Ibnu ‘Abbas r.a. berkata, “Se-sungguhnya beliau memiliki kebajikan sama dengan kebajikan yang dimiliki satu umat.” Dia pemimpin dari orang-orang yang mengesakan Tuhan. Dia yang menghancurkan patung-patung, menentang orang-orang kafir, dan mencari hakikat Allah Sang Pencipta melalui ayat-ayat-Nya di cakrawala.
  2. Dia adalah seorang yang patuh dan tunduk kepada Allah serta melaksanakan segala perintah dan menjauhkan diri dari larangan-Nya.
  3. Dia adalah orang yang jauh dari kebatilan, selalu mengikuti kebenaran, dan tidak menyimpang dari kebenaran itu.
  4. Dia tidak mengikuti agama kaumnya yang syirik, tetapi seorang yang mengesakan Allah sejak kecil sampai tuanya. Dialah orang yang berani berkata lantang di muka raja yang beragama syirik, sebagaimana diceritakan Allah dalam Al-Qur’an:

رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ

Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan. (al-Baqarah/2: 258);Dia pula yang menyatakan bahwa penyembahan patung dan bintang adalah keliru dengan kata-katanya yang dikutip dalam Al-Qur’an:

فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ

Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, ”Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (al-An’am/6: 76)

Dengan penjelasan pribadi Nabi Ibrahim yang demikian, kaum musyrik Quraisy terdesak karena menyatakan bahwa mereka menganut agama Nabi Ibrahim, padahal kenyataannya, ibadah mereka jauh dari yang dicontohkan Nabi Ibrahim. Demikian pula orang Yahudi dan Nasrani yang memuliakan Nabi Ibrahim, ternyata mereka banyak menyimpang dari ajaran tauhid.


Baca juga: Ayat-Ayat ‘Lucu’ Musailamah Al-Kadzdzab dalam ‘Menjawab’ Tantangan Al-Quran


Penjelasan Allah tentang Ibrahim mengungkap kebatilan dan kekeliruan kepercayaan mereka.

Firman Allah swt:

مَاكَانَ اِبْرٰهِيْمُ يَهُوْدِيًّا وَّلَا نَصْرَانِيًّا وَّلٰكِنْ كَانَ حَنِيْفًا مُّسْلِمًاۗ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Ibrahim bukanlah seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, tetapi dia adalah seorang yang lurus, muslim dan dia tidaklah termasuk orang-orang musyrik. (Ali ‘Imran/3: 67)

  1. Nabi Ibrahim a.s. adalah seorang yang mensyukuri nikmat Allah swt yang dianugerahkan kepadanya, sebagaimana dijelaskan pula dalam firman Allah:

وَاِبْرٰهِيْمَ الَّذِيْ وَفّٰىٓ ۙ

Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (an-Najm/53: 37)

Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim itu adalah seorang yang selalu melaksanakan segala perintah Allah. Keterangan Allah tentang sifat ini merupakan sindiran yang tajam kepada orang Quraisy karena mereka mengingkari nikmat Allah, sehingga mereka diazab dengan kelaparan dan ketakutan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 (2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Nusantara: Mengenal Tafsir Fatihah Karya Raden Haji Hadjid

0
Raden Haji Hadjid
Tafsir Surah Al-Fatihah Raden Haji Hadjid

Raden Haji Hadjid merupakan salah satu murid dari KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Beliau hidup pada rentang waktu 1898-1977 pada masa kolonial Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia. Beliau memiliki salah satu karya yang dapat digolongkan dalam tafsir Nusantara, yaitu Tafsir Fatihah.

Melalui tulisan ini, penulis bermaksud memperkenalkan Tafsir Fatihah karya RH Hadjid. Penulis menggunakan Metodologi Tafsir Islah Gusmian untuk membedah Tafsir Fatihah. Islah Gusmian dalam memetakan karya tafsir membagi dalam dua aspek, yaitu aspek teknis dan aspek hermeneutik. Aspek teknis meliputi sistematika penyajian tafsir, bentuk penyajian tafsir, gaya bahasa penulisan tafsir, bentuk penulisan tafsir, sifat mufasir, keilmuan mufasir, asal-usul literatur tafsir, dan sumber-sumber rujukan. Sedangkan aspek  hermeneuttik meliputi meode tafsir, nuansa tafsir, dan pendekatan tafsir (Gusmian, 2013).

Biografi Raden Haji Hadjid

Raden Haji Hadjid lahir pada 29 Agustus 1898 di Kauman, Yogyakarta. Beliau lahir dari pasangan RH Djaelani dan R.Nganten Muhsinah. RH Hadjid memulai pendidikan formal dari Sekolah Rakyat (SR). Di umurnya yang masih sangat muda, beliau diajak ayahnya berhaji ke Makkah. Kembali dari tanah suci, beliau nyantri di Pondok Jamsaren, Surakarka dan mengikuti Madrasah Menengah di sana mulai tahun 1910-1913. Setelah itu, beliau nyantri di Pondok Tremas, Pacitan, Jawa Timur pada tahun 1913-1916. Setelah tiga tahun di Pondok Termas, beliau melanjutkan rihlah intelektual di Madrasah al-Attas Jakarta selama dua tahun yaitu 1916-1917.

RH Hadjid kemudian kembali ke Kauman setelah mendengar berdirinya Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan. Selain sebagai murid muda KH. Ahmad Dahlan, beliau meniliki andil besar dalam perkembangan Muhammadiyah. Berkat pengalamannya menjadi guru Standart School Muhammadiyah, Hollandsch Indische School (HIS) Muhammadiyah, dan Kweek School Muhammadiyah, beliau mendapat kepercayaan sebagai Direktur Madrasah Muallimin Muhammadiyah (1924-1933) dan selanjutnya menjadi Direktur Madrasah Muallimat Muhammadiyah (1933-1941). Pada tahun 1951-1959, beliau menjadi Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah.

Baca Juga: Mengenal Terjemahan Tematik Berbasis Kata Kunci dalam “Kamus Pintar Al-Qur’an” Karya Muhammad Chirzin

Pada masa penjajahan Jepang, beliau ditunjuk untuk duduk di :Lembaga Agama. Pada masa awal kemerdekaan beliau diangkat menjadi Wakil Kepala Jawatan Agama DIY dan kemudian menjadi Kepala Pengadilan Agama DIY pada tahun 1948 hingga 1957. Setelah itu berlanjut beliau menjadi Pengurus Pusat Ikatan Hakim Islam pada tahun 1957 hingga 1970 (Muchlas Abror, Suara Muhammadiyah).

Beberapa karya tulisnya antara lain : Kalimah Syahadat Bahasa Jawa, Tafsir al-Fatihah, Pedoman Dakwah Umat Islam, Pedoman Tabligh Bahasa Jawa (Jilid I,II,III), Buku Fikih, Tafsir al-Quran juz 1-18, Tujuh Belas Ayat-ayat, Kitab Pertjontohan Pemoeda-Pemoeda Kita, Falsafah Ajaran KH. Ahmad Dahlan, Buku Belajar Huruf Hijaiyah, Piwoelang Islam, Goeroe Tabligh, dan Perkawinan Menurut Adat dan Asas Perkawinan Setjara Islam (Laka  H.S., dkk., Percikan Pemikiran Tokoh Muhammadiyah untuk Indonesia Berkemajuan, 159).

Aspek Teknis

Tafsir Fatihah karya Raden Haji Hadjid dilihat dari aspek teknisnya dapat dibedah sebagaimana akan dijelaskan. Dari segi sistem penyajianya menggunakan sistem penyajian tematik karena hanya fokus membahas surat al-Fatihah. Bentuk penyajiannya tergolong dalam benuk penyajian rinci, yaitu suatu bentuk uraian dengan menggunakan penjelasan yang detail. Tafsir Fatihah dimulai dengan mencantumkan surat al-Fatihah secara lengkap beserta artinya menggunakan tulisan Arab pegon.

Kemudian secara global menjelaskan seluk beluk surat al-Fatihah yang berisi ajaran tauhid, ibadah, janji dan ancaman, serta ibrah dari kisah sehingga surat al-Fatihah dikatakan sebagai ummul kitab (induk dari al-Qiran) di dalam sub judul “Bebuka (Mukadimah) Tafsir Fatihah” dan keterangan ini dirinci pada saat menafsirkan ayat per ayat. Selain itu, surat al-Fatihah dianalogikan seperti biji yang merupakan cikal bakal dari sebuah pohon sehingga tidak heran surat al-Fatihah menjadi surat pembuka (Tafsir Fatihah, 3).

Bentuk gaya bahasanya menggunakan gaya bahasa penulisan reportase dengan menggunakan kalimat sederhana , elegan, komunikatif dan human intens.  Sepanjang penafsiran, pembaca diminta untuk merenungi tiap makna yang terkandung dalam ayat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa Bentuk penulisan tafsirnya tergolong pada bentuk penulisan non ilmiah sehingga tidak didapati catatan kaki apapun yang menunjukkan referensi tafsir. RH Hadjid menulis sendiri tafsirnya  namun tidak diketahui kapan kitab tersebut dicetak.

Penulis hanya menemukan keterangan pada sampul terdapat tulisan “PENGETJAPAN ABDOELNGALEM-DJOGJA”. Dari segi keilmuan mufasir beliau merupakan seorang ahli fikih. Terkait sumber, dalam Tafsir al-Fatihah tidak dicantumkan sumber rujukan  baik dalam bentuk catatan kaki maupun keterangan langsung dalam kitab.

Aspek Hermeneutik

Metode Tafsir Fatihah yang digunakan adalah metode bi ra’yi. Raden Haji Hadjid hanya sedikit mencantumkan riwayat dalam menjelaskan makna-maknanya dan juga tidak terlihat menginduk pada kitab tafsir tertentu. Akan tetapi, penafsiran sebagaimana yang dilakukan oleh RH Hadjid dapat ditemukan pada kitab-kitab tafsir yang mu’tabar. .

Tafsir Fatihah bernuansa sosial kemasyarakatan dan bernuansa teologis. Penulisan tafsir Fatihah memang ditujukan kepada khalayak umum pada masanya untuk mengajak semua orang lebih mentadabburi makna surat al-Fatihah. Hal ini terlihat pada anjuran-anjuran yang beliau lontarkan untuk membacakan kitabnya ini sehari sekali, seminggu sekali, atau sebulan sekali di majlis-majlis pengajian.

Dari sisi teologis, ketika menafsirkan ayat 4 beliau mengkritik orang yang secara zahir sudah menjalankan syariat Allah padahal hatinya tidak mengakui Allah, maka dia termasuk munafik. Beliau juga mengkritik orang yang pasrah sepenuhnya kepada Allah  tapi secara zahir da tidak melaksanakan apa yang menjadi syariat Allah, yaitu berusaha. Ibadah yang sejati menurut beliau adalah dari batinnya dia pasrah sepenuhnya kepada Allah dan zahirnya melakukan apa yang sudah disyariatkan Allah, mengikuti tindak tanduk Rasulullah, dan mengamalkan isi al-Quran (Tafsir Fatihah, 21).

Baca Juga: Surah Al Fatihah dan Ijazah Doa KH Achmad Asrori  Al-Ishaqi

Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kontekstual. Beliau menyatakan dalam kitabnya bahwa bila ajaran tauhid dalam surat al-Fatihah dihayati, maka bisa menghindarkan orang dari penyembahan terhadap berhala, kuburan, kepercayaan pada gugon tuhon dimana masyarakat Jawa memang eratdengan budaya ini, dan menghindarkam diri dari takut terhadap raja-raja zalim.

Penutup

Tafsir Fatihah karya Raden Haji Hadjid memiliki nafas tadabbur ayat dalam setiap penafsiran ayatnya. Melalui tafsirnya ini, Raden Haji Hadjid berusaha berdakwah menyebarkan ajaran untuk mentauhidkan Allah. Salah satu keunikan dari Tafsir Fatihah adalah kemampuan Raden Haji Hadjid menemukan korelasi ayat per ayat sehingga penafsiran menjadi utuh dan tidak parsial.

Misalnya beliau menjelaskan bahwa alasan susunan ayat al-raḥmā al-rahīm kemudian māliki yaum al-dīn adalah agar manusia tidak terpaku pada sifat pengasih dan penyayang Allah sehingga dia semena-mena melanggar aturan Allah. Manusia harus ingat bahwa selain Pengasih dan Penyayang, Allah juga menguasai hari akhir sehingga mansia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan-Nya (Tafsir Fatihah, 16).  Wallahu a’lam.

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 118-119

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 118-119 berbicara mengenai dua hal. Pertama masih berkaitan dengan sebelumnya, yakni tentang sesuatu yang haram. Kedua mengenai kemurahan Allah SWT bagi semua makhluknya dengan memberi ampunan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 116-117


Ayat 118

Dalam ayat ini, Allah swt mengingatkan kembali apa yang di-haramkan kepada orang Yahudi. Hal-hal yang halal dan haram dalam agama Yahudi sebenarnya tidak sama dengan apa yang diharamkan atau dihalalkan oleh kaum musyrik.

Hal ini menunjukkan bahwa penentuan halal dan haram oleh kaum musyrik terhadap hewan ternak mereka tidak bersumber dari syariat agama-agama terdahulu. Beberapa makanan telah diharamkan Allah kepada orang Yahudi, seperti yang diterangkan dalam firman Allah:

وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar. (al-An’am/6: 146)

Allah mengharamkan daging dan lemak binatang ternak khusus kepada orang Yahudi sebagai hukuman atas perbuatan mereka yang aniaya seperti membunuh nabi-nabi, memakan riba, dan memperoleh harta dengan cara yang haram.;Firman Allah swt:

فَبِظُلْمٍ مِّنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبٰتٍ اُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَثِيْرًاۙ

Karena kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan bagi mereka makanan yang baik-baik yang (dahulu) pernah dihalalkan; dan karena mereka sering menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. (an-Nisa’/4: 160)

Dari ayat ini, dapat dipahami perbedaan yang jelas antara alasan Allah mengharamkan beberapa jenis makanan kepada orang Yahudi dengan alasan yang diberlakukan kepada orang Islam.

Kepada orang Islam, Allah swt tidak mengharamkan makanan-makanan kecuali karena pada makanan itu terdapat suatu kemudaratan yang bisa mencelakakan dirinya. Sedangkan kepada orang Yahudi, Allah mengharamkan makanan yang baik-baik itu sebagai hukuman bagi mereka.

Maka tidaklah benar pendapat yang mengatakan bahwa Bani Israil sendiri yang mengharamkan makanan itu kepada diri mereka. Semua makanan, sebelum Taurat diturunkan kepada mereka, adalah halal, kecuali makanan yang diharamkan sendiri oleh Nabi Yakub (Israil) untuk dirinya.

Menurut riwayat, makanan yang diharamkan oleh Nabi Yakub itu ialah daging dan susu unta. Beliau berbuat demikian untuk mengekang nafsu dalam usaha membersihkan jiwa dan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Firman Allah swt:

۞ كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِّبَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ اِلَّا مَا حَرَّمَ اِسْرَاۤءِيْلُ عَلٰى نَفْسِهٖ مِنْ قَبْلِ اَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرٰىةُ

Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan. (Ali ‘Imran/3: 93)

Adapun makanan seperti daging binatang berkuku, lemak sapi, dan kambing, diharamkan kepada seluruh Bani Israil pada waktu Taurat sudah diturunkan sebagai hukuman kepada mereka.


Baca juga: Mengenal Istilah Mad Wajib Muttashil dan Mad Jaiz Munfashil


Ayat 119

Kemudian Allah menjelaskan kebesaran rahmat dan kasih sayang kepada hamba-Nya dengan memberi pengampunan bagi yang melakukan kejahatan pada umumnya, baik kejahatan berbuat nista kepada Allah maupun tindakan kejahatan dan maksiat lainnya. Akan tetapi, Allah swt mengaitkan beberapa ketentuan untuk memperoleh kasih dan pengampunan-Nya itu, seperti:

Pertama: Orang yang melakukan kejahatan karena kejahilan atau ketidaktahuannya terhadap hukum-hukum agama. Dia tidak tahu bahwa yang dilakukannya itu menyalahi perintah agama di samping memberi kemudaratan bagi dirinya sendiri.

Kedua: Timbul dalam dirinya rasa penyesalan yang mendalam sesudah melakukan kejahatan lalu mengucapkan istigfar dan segera bertobat kepada Allah swt. Tobat tidak boleh ditunda-tunda sesudah dia menyadari kesalahannya, karena hal demikian merusak iman dan jiwanya.

Firman Allah swt:

اِنَّمَا التَّوْبَةُ عَلَى اللّٰهِ لِلَّذِيْنَ يَعْمَلُوْنَ السُّوْۤءَ بِجَهَالَةٍ ثُمَّ يَتُوْبُوْنَ مِنْ قَرِيْبٍ فَاُولٰۤىِٕكَ يَتُوْبُ اللّٰهُ عَلَيْهِمْ ۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًا

Sesungguhnya bertobat kepada Allah itu hanya (pantas) bagi mereka yang melakukan kejahatan karena tidak mengerti, kemudian segera bertobat. Tobat mereka itulah yang diterima Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (an-Nisa’/4: 17)

Ketiga: Melakukan amal saleh dan menjauhi larangan Allah sebagai bukti dari penyesalannya. Dengan niat yang kuat dan hati yang tegar berjanji tidak lagi mengulangi kejahatan yang pernah dilakukan serta bertekad untuk taat kepada Allah swt.

Firman Allah swt:

وَمَنْ تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَاِنَّهٗ يَتُوْبُ اِلَى اللّٰهِ مَتَابًا

Dan barang siapa bertobat dan mengerjakan kebajikan, maka sesungguhnya dia bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya. (al-Furqan/25: 71)


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 120-122 (1)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 116-117

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 116-117 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai larangan untuk menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sesuai dengan hawa nafsu sendiri. Kedua berbicara mengenai kemubaziran bagi orang-orang yang menghalalkan dan mengharamkan sesuatu tanpa dalil syar’i.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 115


Ayat 116

Dalam ayat ini, Allah swt melarang kaum Muslimin mengharam-kan atau menghalalkan makanan menurut selera dan hawa nafsu mereka, sebagaimana orang-orang musyrik. Mereka mempunyai kebiasaan meng-haramkan atau menghalalkan binatang semata-mata didasarkan nama istilah yang mereka tetapkan sendiri untuk binatang itu, misalnya: bahirah, sa’ibah, wasilah, dan ham, sebagaimana firman Allah swt:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ مِنْۢ بَحِيْرَةٍ وَّلَا سَاۤىِٕبَةٍ وَّلَا وَصِيْلَةٍ وَّلَا حَامٍ ۙوَّلٰكِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يَفْتَرُوْنَ عَلَى اللّٰهِ الْكَذِبَۗ وَاَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ

Allah tidak pernah mensyariatkan adanya bahirah, sa’ibah, wasilah, dan ham. Tetapi orang-orang kafir membuat-buat kedustaan terhadap Allah, dan kebanyakan mereka tidak mengerti. (al-Ma’idah/5: 103)

Dalam menetapkan kehalalan atau keharaman suatu makanan atau minuman harus didasarkan pada dalil syara’ yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Penetapan hukum tanpa dalil-dalil syara’ tidak dibenarkan. Hal tersebut termasuk perbuatan yang mengada-ada dan melakukan kebohongan kepada Allah.

Dalam Al-Qur’an disebutkan tentang ucapan kaum musyrikin mengenai ketentuan anak hewan yang masih dalam kandungan induknya. Firman Allah swt:

وَقَالُوْا مَا فِيْ بُطُوْنِ هٰذِهِ الْاَنْعَامِ خَالِصَةٌ لِّذُكُوْرِنَا وَمُحَرَّمٌ عَلٰٓى اَزْوَاجِنَا

Dan mereka berkata (pula), ”Apa yang ada di dalam perut hewan ternak ini khusus untuk kaum laki-laki kami, haram bagi istri-istri kami.” (al-An’am/6: 139)

Karena berakibat sangat buruk terhadap kehidupan beragama, maka Allah memberikan ancaman yang keras kepada mereka yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Allah menegaskan bahwa mereka yang berbuat demikian tidak akan mencapai keberhasilan dalam kehidupan mereka, baik di dunia maupun di akhirat.

Di dunia, mereka yang suka membuat-buat hukum tanpa dalil yang benar akan dikecam dan ditinggalkan oleh masyara-kat. Kebohongan mereka akan diketahui oleh masyarakat dan mereka akan menjadi sasaran ejekan dan penghinaan.

Dalam Tafsir Ibnu Kafir diungkapkan bahwa termasuk dalam pengertian ayat ini ialah setiap orang yang menciptakan bidah (urusan agama) yang tidak punya landasan syara’, atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan atau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah semata-mata berdasarkan pikiran dan seleranya sendiri.


Baca juga: Surah Fathir Ayat 28, Siapakah Ulama yang Dimaksud dalam Al-Quran?


Ayat 117

Allah menegaskan lagi bahwa mereka yang mengada-adakan ketentuan dan hukum yang sama sekali tidak ada dasarnya dari kitab Allah dan rasul-Nya, tapi semata-mata dari hawa nafsu, pasti tidak akan memperoleh keberhasilan dunia dan akhirat. Jika ada keuntungan dari kelakuan itu, maka keuntungannya sangatlah sedikit dibandingkan dengan kerugian dan bahaya yang diakibatkan dari perbuatan itu.

Dalam sejarah banyak peristiwa menyedihkan terjadi akibat pendapat-pendapat keagamaan yang tidak bersumber dari kitab suci. Pendapat itu kadang-kadang diadakan hanyalah untuk memenuhi keinginan dan kepentingan penguasa yang menjadikan agama sebagai alat memperkuat kekuasaan dan penguat hawa nafsunya.

Yang halal diharamkan dan yang haram dihalalkan oleh orang yang hendak memperoleh keuntungan duniawi. Mereka lupa bahwa kesenangan duniawi itu sedikit dan terbatas pada umur mereka yang pendek.

Tetapi di dalam kehidupan akhirat yang abadi, mereka akan menerima azab dari Allah disebabkan kelancangan lidah mereka ketika berbohong kepada Allah. Mereka telah melakukan tindak kejahatan, yang mengotori jiwa sendiri dengan dosa dan dusta terhadap Tuhan.

Bahkan orang lain ikut jatuh ke dalam dosa dan kesalahan disebabkan fatwanya yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal itu. Dosa akan menumpuk ke pundak mereka karena menginginkan keuntungan dunia yang kecil.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 118-119


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 115

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 115 berbicara mengenai makanan yang haram untuk dimakan. Makanan ini misalnya seperti bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang tidak disembelih secara syar’i. Alasan pengaharaman ini tidak lain adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.


Baca juga: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 114


Ayat 115

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan makanan yang diharamkan bagi orang-orang Islam. Makanan yang diharamkan dalam ayat ini ialah bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih atas nama berhala atau lainnya selain nama Allah. Pengharaman terhadap makanan tersebut semata-mata hak dan kebijaksanaan Allah swt dalam membimbing hamba-hamba-Nya. Sebagaimana firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ

Sesungguhnya Allah menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia kehendaki. (al-Ma’idah/5: 1)

Di antara hikmah atau maksud pelarangan terhadap makanan itu ada yang dapat dijangkau oleh akal (ta’aqquli), ada pula yang tidak terjangkau oleh akal (ta’abbudi). Bagi setiap orang Islam wajib menaati larangan Allah dengan ikhlas dan penuh keimanan.

Bangkai ialah hewan yang mati wajar oleh sebab alamiah, atau mati karena tidak disembelih menurut aturan Islam. Termasuk dalam pengertian bangkai di sini ialah binatang yang mati tercekik, mati terjepit (terpukul), mati terjatuh, ditanduk, dan dimakan oleh binatang buas.

Firman Allah swt:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِ#يْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih, dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. (an-Nahl/16:115)

Semua bangkai haram dimakan kecuali bangkai ikan, sebagaimana firman Allah swt:

اُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهٗ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ

Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. (al-Ma’idah/5: 96)

Darah yang diharamkan ialah darah yang mengalir atau darah yang dibekukan (marus). Hati dan ginjal tidak dipandang darah yang haram dimakan. Hadis Nabi saw:

أُحِلَّ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ، فَاَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْجَرَادُ وَالْحُوْتُ وَاَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّهَالُ.

(رواه أحمد وابن ماجه عن ابن عمر)

Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan darah. Dua bangkai itu adalah bangkai ikan dan belalang, dan dua darah itu adalah hati dan limpa. (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah dari Ibnu ‘Umar)

Termasuk dalam pengertian daging babi ialah lemak, tulang dan seluruh bagian-bagiannya serta semua produk yang dibuat dari unsur babi dan turunannya. Babi tergolong binatang ternak yang paling kotor cara hidup dan makannya. Dagingnya mengandung bibit cacing pita yang banyak menimbulkan penyakit pada tubuh manusia.


Baca juga: Realisasi Lafadz Ishlah dalam Al-Quran: Sembilan Cara Merawat Bumi


Allah mengharamkan binatang yang disembelih yang dengan sengaja menyebut nama selain Allah, seperti nama patung, jin, dewa, wali, dan sebagainya. Pelarangan itu bertujuan untuk mencegah hal-hal yang cenderung kepada syirik.

An-Nawawi dalam kitab Syara¥ Muslim mengatakan bahwa jika maksud penyembelih menyebut nama selain Allah itu untuk membesarkan nama tersebut dan meniatkannya sebagai ibadah kepadanya, maka perbuatan itu dipandang syirik. Jika penyembelih bersikap demikian, dapat dinilai keluar dari agama (murtad). Demikian penjelasan an-Nawawi ketika memberikan uraian pada Hadis Nabi saw:

لَعَنَ اللهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللهِ

(رواه مسلم عن عليّ بن أبي طالب)#

Allah mengutuk orang-orang yang menyembelih hewan untuk selain Allah. (Riwayat Muslim dari Ali bin Abi Talib)

Agama Islam adalah agama yang selalu memberi kelapangan kepada penganutnya. Tidak  ada dalam Islam hal-hal yang menyusahkan dan mempersulit keadaan. Oleh karena itu, segala makanan yang diharamkan boleh dimakan bilamana seseorang berada dalam keadaan terpaksa atau darurat.

Misalnya, seorang pemburu di tengah hutan dalam keadaan perut kosong jika dibiarkan dapat membinasakan dirinya sedang makanan lainnya tidak ada, dia diizinkan memakan makanan yang haram untuk mengatasi keadaannya, dengan syarat tidak didorong oleh keinginan untuk memakan makanan yang haram itu sendiri.

 Jika dia memakan makanan itu melebihi apa yang diperlukan, tidak dibenarkan. Sebab, hal itu dapat menimbulkan kesulitan baru bertalian dengan makanan yang mengandung penyakit itu. Sesungguhnya Allah swt mengampuni apa yang diperbuat hamba-Nya sewaktu dalam kesulitan, dan mengasihi mereka dengan memberi kelonggaran dalam kehidupan mereka di dunia.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 116-117


(Tafsir Kemenag)

Makna dan Urgensi Perumpamaan dalam Al-Quran

0
perumpamaan dalam Al-Quran
perumpamaan dalam Al-Quran

Tidak diragukan lagi, bahwa Al-Quran merupakan kitab petunjuk yang sempurna. Petunjuk yang sempurna harus mampu diakses setiap manusia tanpa terkecuali. Bahkan, ia bisa menjangkau manusia sepanjang masa dan di setiap penjuru dunia. Artinya, Al-Quran mengandung nilai-nilai universal dan disampaikan dengan beragam metode penyampaian (uslūb).

Sebagaimana telah diketahui, Al-Quran memiliki beragam cara untuk berkomunikasi dengan manusia. Jika dicermati lebih jauh, maka Al-Quran menggunakan berbagai pendekatan. Seperti, melalui perintah dan larangan, peringatan dan kabar gembira, atau kisah dan perumpamaan. Ini semua adalah bukti bahwa Al-Quran ingin menyapa seluruh manusia dengan ragam cara yang kompatibel dengan manusia.

Nah, salah satu model yang menarik untuk dicermati adalah perumpamaan. Lalu, apa yang dimaksud dengan perumpamaan? Dan mengapa Al-Quran menggunakannya sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesannya sebagai petunjuk manusia? Mari simak penjelasannya berikut!

Baca Juga: Empat Model Al Quran dalam Menyampaikan Informasi

Makna Perumpamaan dalam Al-Quran

Secara bahasa, perumpamaan di dalam bahasa Arab disebut dengan mathal (مثل) dan bentuk pluralnya adalah amthāl (أمثال). Menurut Ar-Rāghib al-Asfahāni dalam Mufradāt fī Gharīb Al-Quran, kata mathal bermakna ungkapan penyerupaan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Dalam Kaidah Tafsir, Quraish Shihab menyatakan bahwa mathal dalam banyak ayat Al-Quran digunakan dalam arti sifat atau keadaan yang menakjubkan atau mengherankan, selain itu juga mempunyai arti keserupaan. Keserupaan di sini dimaksudkan agar para pembaca Al-Quran bisa mencerna dan menghadirkan gambaran visual dari apa yang diserupakan dalam Al-Quran.

Dengan demikian, filosofi dari metode perumpamaan dalam Al-Quran adalah untuk menyederhanakan konsep-konsep yang abstrak sesuai dengan pemikiran manusia. Metode semacam ini menempati posisi yang sentral dalam penyampaikan pesan. Dengan begitu, Al-Quran dapat menyampaikan nasihat dan dapat mempengaruhi jiwa-jiwa manusia yang secara sadar menghayati ayat-ayat Al-Quran.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Pentingnya Metode Perumpamaan dalam Pendidikan Islam

Tiga Tujuan Perumpamaan dalam Al-Quran

Apabila kita cermati di berbagai ayat tentang perumpamaan, maka ada tiga tujuan utama perumpamaan di dalam Al-Quran. Hal ini dapat dilihat dari tiga ayat berikut:

Dalam surat Ibrahim ayat 25, setelah menyerupakan perkataan yang baik dengan pohon yang baik, disebutkan bahwa:

تُؤْتي‏ أُكُلَها كُلَّ حينٍ بِإِذْنِ رَبِّها وَ يَضْرِبُ اللهُ الْأَمْثالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ

Artinya: Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”.

Selanjutnya, dalam surat al-Hasyr ayat 21, setelah menyerupakan sebagian hati dengan gunung, dan menyebutkan bahwa keterpengaruhan pada gunung lebih besar ketimbang pada hati, lalu menyebutkan bahwa:

لَوْ أَنْزَلْنا هٰذَا الْقُرْآنَ عَلى‏ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خاشِعاً مُتَصَدِّعاً مِنْ خَشْيَةِ اللهِ وَ تِلْكَ الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Kalau sekiranya Kami menurunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk umat manusia supaya mereka berpikir.

Adapun yang terakhir, dalam surat al-Ankabut ayat 40-43, setelah menyerupakan para pemimpin/pelindung (auliya’) selain Allah dengan laba-laba yang membuat rumah yang rapuh, kemudian disebutkan bahwa:

وَ تِلْكَ الْأَمْثالُ نَضْرِبُها لِلنَّاسِ وَما يَعْقِلُها إِلاَّ الْعالِمُونَ

 Artinya: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang mendayagunakan akalnya”.

Berdasarkan tiga ayat di atas, ada tiga tujuan utama dari perumpamaan di dalam Al-Quran, yaitu: supaya manusia mengingat (تذكر), supaya manusia berpikir (تفكر) dan supaya manusia mendayagunakan akalnya (تعقل). Artinya, melalui perupamaan, manusia diingatkan, diminta berpikir dan mendayakan akalnya, agar pesan-pesan Al-Quran dapat dipahami dengan baik oleh manusia.

Baca Juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 9-10: Perumpamaan Bagi Orang yang Tidak Beriman

Tiga tingkatan perumpamaan

Selain itu, melalui uraian tiga ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tingkatan perumpamaan yang dapat memberi pengaruh positif pada jiwa-jiwa manusia. Pertama, tingkatan “Pengingat” melalui penyampaian pesan ilahi pada pikiran manusia. Kedua, tingkatan “Berpikir” melalui pemahaman atas tema perumpamaan beserta hikmahnya. Ketiga, tingkatan “Berakal” melalui mendayagunakan akal untuk mencerna hakikat dari perumpamaan tersebut.

Tingkatan pertama untuk orang-orang yang lupa, sehingga perlu diingatkan. Tingkatan kedua untuk orang yang ingat namun belum berpikir lebih jauh. Sementara tingkatan yang ketiga adalah untuk orang yang sudah selalu ingat dan berpikir, sehingga menggunakan pikiran dan hatinya dalam membaca ayat-ayat Al-Quran.

Dengan demikian, mari kita menghayati lagi pesan perumpamaan di dalam Al-Quran. Misalkan, saat membacanya dan menemukan ayat-ayat perumpamaan, kita bisa lebih sadar untuk mengingat, berpikir dan mendayakan akal kita, sehingga pelan-pelan kita mampu menangkap pesan-pesan yang tersirat di dalam Al-Quran.

Wallahu a’lam bisawab.

Surah Fathir Ayat 28, Siapakah Ulama yang Dimaksud dalam Al-Quran?

0
Surah Fathir Ayat 28
Surah Fathir Ayat 28

Beberapa waktu lalu sempat viral statemen seseorang yang kontroversial tentang pengertian ulama. Contoh perindividu yang disebutkan pun sangat menghebohkan publik. Pasalnya, pengertian ulama yang disampaikannya tidak ditemukan penjelasannya oleh para ulama salaf, padahal secara nalar pun sebetulnya tidak bisa diterima. Hal ini terjadi karena produk pemahamannya terhadap Al-Quran yang tidak di dasari ilmu. Lalu bagaimana penjelasan Mufasir terkait pengertian ulama yang dimaksud dalam Al-Quran, terutama dalam Surah Fathir Ayat 28?

Ayat Al-Quran yang maknanya disalahpahami olehnya adalah Surah Fathir ayat 28:

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَآبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

Dan demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Maha Pengampun.

Sebelum ulasan lebih lanjut mengenai penjelasan para ahli tafsir, penulis akan mengawali penjelasan kata “Ulama” dari segi bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “Ulama” diartikan sebagai ‘orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam’. Dalam bahasa Indonesia kata ulama digunakan untuk bentuk tunggal. Kata ini merupakan serapan dari bahasa Arab Ulama yang merupakan bentuk jamak dari kata ’Alim. Kata ini berasal dari akar kata alima ya’lamu ilman. Di dalam berbagai bentuknya kata ini terulang sebanyak 863 kali dalam Al-Quran.

Baca Juga: Kekhawatiran Ulama Era Awal Terhadap Modifikasi Mushaf Al-Qur’an

Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kitabnya Al-Mufradat fi Gharib Al-Qur’an menyebutkan pengertian al-ilm adalah pengetahuan tentang hakikat sesuatu. Dengan demikian secara leksikal kata Alim yang bentuk jamaknya adalah kata Ulama berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis maupun yang bersifat praktis.

Penjelasan Mufasir Tentang Pengertian Ulama

Di kalangan para Mufassir tidak ditemukan satupun dari mereka yang menjelaskan bahwa hewan-hewan termasuk kategori ulama, sebagaimana yang telah disalahpahami. Memang, pada Surah Fathir ayat 28 terdapat penyebutan tentang manusia, makhluk yang bergerak di bumi dan hewan-hewan ternak yang berbagai macam jenisnya. Namun keterangan ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya (Surah Fathir ayat 27) sekiranya Allah swt. ingin menunjukkan kepada manusia atas kekuasaan dan ke-EsaaNya, dan yang paling mengetahui tentang hakikat kekuasanNya sehingga lahir rasa Khasyah (takut) yang sebenar-benarnya hanyalah ulama.

Ketika menafsiri ayat tersebut, al-Qurthubi menjelaskan kata ulama dengan pengertian: orang-orang yang takut atas kekuasaan Allah swt. Pengertian yang senada juga diriwayatkan ar-Razi dalam tafsirnya Mafatihul Ghaib (26/236), ‘bahwa ahli ilmu adalah orang yang mengenal Allah, kemudian timbul rasa takut kepadanya dan mengharap (rahmatNya). Dalam hal ini Ibnu Abbas memiliki dua Riwayat, yang keduanya  dikutip Ibnu Katsir, Riwayat pertama: ‘bahwa ulama adalah orang-orang yang mengetahui bahwa Allah swt. kuasa atas segala hal’, dan Riwayat kedua: ‘orang yang mengenal Allah adalah orang yang tidak menyekutukanNya dengan apapun’. Ibnu Katsir (6/544)

Menurut Ibnu ‘Ajibah, alasan kelaziman rasa Khasyah bagi ulama dikarenakan mereka adalah orang-orang yang mengambil I’tibar dari masterpiece ciptaan Allah, tanda-tanda kebesaran-Nya, kemudian dapat mengenal keagungan, kekuasaan dan keindahan-Nya. Selain itu mereka adalah orang-orang yang mengambil I’tibar terhadap balasan berupa siksaan bagi siapapun yang bermaksiat dan pahala bagi yang taat kepada-Nya. (al-Bahr al-Madid fi Tafsir Al-Qur’an al-Majid, 4/537). Dalam hadits yang diriwayatkan ‘Aisyah, Rasulullah saw bersabda:

عن عائشة أم المؤمنين: “… فَوَاللَّهِ إنِّي لَأَعْلَمُهُمْ باللَّهِ، وأَشَدُّهُمْ له خَشْيَةً”.

“Sungguh, aku yang paling mengetahui tentang Allah dan yang paling takut kepada-Nya dibanding kalian”. (HR. Bukhari: 6101)

Keutamaan ulama

Pada Surah Fathir ayat 28 di atas, banyak para mufassir yang menjelaskan bahwa ayat ini menjadi dalil keutamaan ilmu dan tingginya derajat ulama. Diantara mereka adalah As-Sa’di, Fakhruddin Ar-Razi dan Nawawi al-Bantani. Keterangan ini diperjelas oleh Wahbah Az-zuhaily, bahwa Ahli ilmu lebih mulia daripada ahli ibadah, karena Allah swt telah menjelaskan kadar tingginya kemuliaan seseorang berdasarkan kadar ketakwaan, dan takwa berdasarkan kadar keilmuan. Tafsir al-Munir (22/260)

Baca Juga: Diskursus Maqashid Al-Quran di Kalangan Ulama Klasik

Mungkin dari sini muncul pertanyaan, mengapa ulama lebih utama daripada ahli ibadah?. Jawabannya adalah karena amalan ibadah di sisi Allah tidak akan diterima disisi Allah jika tanpa didasari ilmu, bahkan akan berdampak negatif kepada dirinya sendiri dan orang lain. Maka dari itu, Ibnu Ruslan menyebutkan dalam matan zubadnya, “bahwa seseorang yang beramal tanpa ilmu maka amal ibadahnya tidak diterima”.

Dari ulasan di atas bisa disimpulkan, bahwa ulama merupakan manusia pilihan yang memiliki derajat tinggi disisi Allah dibanding orang awam. Dan manusia secara umum diciptakan lebih utama daripada makhluk lainnya dari jenis hewan, sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran (QS. Al-Isra: 70). Menurut ad-Dlahhak, keutamaan ini terdapat pada manusia karena dapat berbicara dan berfikir, sehingga dapat membedakan antara yang benar dan salah. Maka statemen bahwa diantara binatang-binatang ada yang masuk kategori ulama adalah kesalahan yang nyata. Wallahu a’lam

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 114

0
tafsir surah an-nahl
tafsir surah an-nahl

Tafsir Surah An-Nahl Ayat 114 berbicara mengenai perintah Allah SWT kepada umat Islam untuk selalu memakan makanan yang halal. Selain itu Allah juga memerintahkan untuk memelihara sumber-sumber kehidupan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 113


Ayat 114

Dalam ayat ini, Allah menyuruh kaum Muslimin untuk memakan makanan yang halal dan baik dari rezeki yang diberikan Allah swt kepada mereka, baik makanan itu berasal dari binatang maupun tanaman.

Makanan yang halal ialah makanan dan minuman yang dibenarkan oleh agama untuk dimakan dan diminum. Makanan yang baik ialah makanan dan minuman yang dibenarkan untuk dimakan atau diminum oleh kesehatan, termasuk di dalamnya makanan yang bergizi, enak, dan sehat.

Makanan yang halal lagi baik inilah yang diperintahkan oleh Allah untuk dimakan dan diminum. Makanan yang dibenarkan oleh ilmu kesehatan sangat banyak, dan pada dasarnya boleh dimakan dan diminum.

Firman Allah swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُلُوْا مِنْ طَيِّبٰتِ مَا رَزَقْنٰكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu  (al-Baqarah/2: 172)

Firman Allah swt:

يَسْـَٔلُوْنَكَ مَاذَآ اُحِلَّ لَهُمْۗ  قُلْ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِيْنَ تُعَلِّمُوْنَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّٰهُ

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), ”Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah,”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. (al-Ma’idah/5: 4)

Makanan dan minuman yang baik-baik tidak haram dimakan, kecuali bilamana Allah swt atau rasul-Nya mengharamkannya.

Firman Allah swt:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تُحَرِّمُوْا طَيِّبٰتِ مَآ اَحَلَّ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوْا ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِيْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengharamkan apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (al-Ma’idah/5: 87)


Baca juga: Kritik Sayyid Abdullah al-Ghumari Terhadap Kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an


Makanan yang tersebar di muka bumi dari jenis hewan dan tanaman merupakan nikmat Allah swt yang besar. Manusia seharusnya mensyukuri-nya dengan jalan mengucapkan “Alhamdulillah” dan memanfaatkannya sesuai petunjuk Allah dan rasul-Nya, seperti memakan atau memperjual-belikannya. Nabi saw bersabda:

إِنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يُّحْمَدَ

(رواه الطبراني عن الأسود بن سريع)

Sesungguhnya Allah benar-benar senang terhadap hamba yang mengucap-kan “Alhamdulillah”. (Riwayat at-Tabrani dari al-Aswad bin Sari’)

Termasuk dalam arti bersyukur ialah memelihara dan mengembangkan sumber-sumber bahan makanan agar jangan sampai punah dari permukaan bumi dan untuk memenuhi kebutuhan gizi makanan umat manusia. Dalam memelihara dan mengembangkan hewan atau tanaman itu, kaum Muslimin hendaknya tunduk kepada hukum-hukum Allah yang berlaku, umpamanya tentang ketentuan zakat dan fungsi sosialnya.

Mensyukuri nikmat Allah berarti mengucapkan kalimat syukur ketika memanfaatkan, memelihara, dan mengembangkannya berdasarkan petunjuk-petunjuk Allah, karena Dialah yang memberi anugerah dan kenikmatan itu. Tiap orang mukmin hendaklah menaati ketentuan-ketentuan dan perintah Allah, serta menjauhi larangan-Nya jika benar-benar beriman kepada-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah An-Nahl Ayat 115


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fathir Ayat 18

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 18 menerangkan tentang kedahsyatan hari Kiamat. Dimana semua orang kalang kabut untuk menyelamatkan dirinya masing-masing, tak sempat memikirkan, istri, anak, orang tua, dan lainnya, yang dipikirkan adalah amal yang hendak ia setorkan dihadapan Allah Swt. Maka, beruntunglah mereka yang suci hatinya, dan giat menjalankan amal saleh semasa di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 14-17


Ayat 18

Pada ayat ini, Allah menerangkan kedahsyatan hari Kiamat. Pada hari itu setiap orang memikul dosanya masing-masing. Seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Jika ada yang merasa dosanya berat sekali, lalu meminta bantuan kepada orang lain untuk memikul sebagian dosanya, maka dosa itu tidak akan dipukulkan kepada yang diminta, sekalipun itu kaum kerabatnya, seperti ayah, anak, dan lain sebagainya.

Setiap orang di hari Kiamat itu sibuk dengan urusannya masing-masing memikirkan dan merenungkan apa gerangan yang akan menimpa dirinya. Firman Allah:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوْا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَّا يَجْزِيْ وَالِدٌ عَنْ وَّلَدِهٖۖ وَلَا مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَّالِدِهٖ شَيْـًٔاۗ اِنَّ وَعْدَ اللّٰهِ حَقٌّ فَلَا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيٰوةُ الدُّنْيَاۗ وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللّٰهِ الْغَرُوْرُ

Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutlah pada hari yang (ketika itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya, dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sungguh, janji Allah pasti benar, maka janganlah sekali-kali kamu teperdaya oleh kehidupan dunia, dan jangan sampai kamu teperdaya oleh penipu dalam (menaati) Allah. (Luqman/31: 33)

Ayat lain menjelaskan:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ  ٣٤  وَاُمِّهٖ وَاَبِيْهِۙ  ٣٥  وَصَاحِبَتِهٖ وَبَنِيْهِۗ  ٣٦  لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ  ٣٧

Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. (‘Abasa/80: 34-37).

Dalam tafsir al-Qurthubi diriwayatkan dari Ikrimah bahwa seorang bapak menggantungkan harapan kepada anaknya di hari Kiamat dan berkata, “Wahai anakku! Bagaimana aku sebagai bapakmu,” lalu anak itu memujinya dengan pujian yang baik.

Bapak itu berkata lagi kepada anaknya, “Wahai anakku! Aku benar-benar memerlukan dari amal baikmu sekalipun hanya seberat zarah, supaya aku selamat dari keadaanku sebagaimana yang engkau lihat.”

Anaknya menjawab, “Wahai bapakku! Alangkah sedikitnya yang engkau minta, tetapi aku sendiri khawatir terhadap diriku sebagaimana bapak khawatir terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, saya tidak dapat memberikan apa-apa barang sedikit pun.” Kemudian ia beralih kepada istrinya yang menggantungkan harapannya dan berkata, “Wahai Fulanah! Bagaimanakah aku sebagai suamimu?”

Lalu dipuji-pujinya suaminya itu dengan pujian yang baik. Berkatalah suami itu kepada istrinya, “Aku meminta kepadamu satu saja dari amal baikmu, semoga dengan pemberianmu aku selamat dari keadaanku, sebagaimana yang kamu saksikan ini.”

Istrinya menjawab, “Alangkah sedikitnya yang engkau minta, namun aku tidak bisa memberikannya karena aku khawatir juga seperti apa yang engkau khawatirkan.”


Baca Juga : Benarkah Kata Hisab dalam Al-Quran Hanya Bermakna Perhitungan Amal?


Kandungan ayat ini sebagai penghibur hati Rasulullah karena dakwahnya yang tidak mendapat sambutan baik dari kaumnya dan mereka tetap keras kepala. Allah menjelaskan bahwa yang dapat menerima nasihat dan peringatan-Nya hanyalah orang-orang yang takut kepada Allah dan azab-Nya yang pedih di hari kemudian, sekalipun mereka tidak melihatnya.

Tidak seperti halnya orang-orang yang telah dipatri hatinya oleh Allah sehingga mereka tidak tahu apa-apa. Mereka mengerjakan salat yang diwajibkan sesuai dengan rukun dan syaratnya, mensucikan hati mereka, dan mendekatkan diri kepada Allah.

Barang siapa menyucikan dirinya dari syirik, perbuatan dosa, dan kedurhakaan, seperti ria, ujub, dusta, dan menipu, kebaikannya akan kembali kepada dirinya sendiri. Begitu pula sebaliknya, kalau ia berbuat maksiat bergelimang dosa, maka mudaratnya itu kembali kepada dirinya.

Ayat ini ditutup dengan satu penjelasan bahwa semua urusan dikembalikan kepada Allah. Tiap-tiap orang akan dibalas sesuai dengan amal perbuatannya di dunia. Kalau baik akan dibalas dengan baik, begitu pula sebaliknya, kalau amalnya jahat akan dibalas dengan balasan yang setimpal. Firman Allah:

وَاِلَى اللّٰهِ تُرْجَعُ الْاُمُوْرُ

Hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan. (al-Anfal/8: 44)

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 19-20

 

Tiga Faktor Terjadinya Perluasan Makna Kata dalam Al-Qur’an Menurut Mardjoko Idris

0
Mardjoko Idris
Mardjoko Idris

Makna sebuah kata dalam ayat Al-Qur’an seringkali dijumpai berbeda-beda, baik ditemui dalam tradisi penafsiran, terjemahan, maupun dalam bentuk lainnya. Perbedaan tersebut merupakan bentuk perluasan makna dar asalnya, yang disebabkan oleh beberapa faktor. Di sini, Mardjoko Idris termasuk sarjana bidang Ilmu Balaghah, yang mengurai tiga faktor terjadinya perluasan makna, sebagaimana dalam bukunya Pertentangan dan Perbedaan Makna dalam Al-Qur’an.

Menurut Mardjoko Idris bahwa yang dimaksud perluasan makna adalah adanya makna selain makna yang asli, leksikal atau kamus. Dalam linguistik Arab, makna selain makna yang asli disebut ta’adudul-makna (berbilangnya makna). Ini terjadi karena kemungkinan tiga faktor, yakni (1) Konteks bahasa, (2) Gaya bahasa majaz, dan (3) Perbedaan mufrad. Tulisan ini akan menjelaskan secara ringkas tiga faktor tersebut.

Tentang Mardjoko Idris dan Kajiannya

Mardjoko Idris merupakan dosen di fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Beliau menempuh jenjang pendidikan S1 hingga S3 di kampus tempat mengajarnya tersebut, UIN Sunan Kalijaga. Sebelumnya, beliau belajar pada Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah di Ngesrep, kemudian di SMA Al-Islam/MAAIN Surakarta (tidak selesai), kemudian di KMI Pondok Modern Gontor Ponorgo.

Baca Juga: Empat Catatan Muchlis M. Hanafi atas Perkembangan Tafsir Tematik di Indonesia

Mardjoko Idris termasuk sarjana yang produktif menghasilkan tulisan, baik berupa artikel jurnal, buku, dan lainnya. Di antara tulisan-tulisannya yang terkait isu makna Al-Qur’an adalah Ilmu Balaghah (2007), Semantik Al-Qur’an (2008), Stilistika Al-Qur’an (2009), Gaya bahasa Nida dalam Al-Qur’an (2014), Kalimat Perintah dalam Al-Qur’an (2013), Tuturan dalam Al-Qur’an: Tinjauan Direct-Indirect Speech Act (2009), Pertentangan dan Perbedaan Makna dalam Al-Qur’an (2014).

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa isu faktor perluasan makna sebuah ayat termuat dalam buku Pertentangan dan Perbedaan Makna dalam Al-Qur’an, yang diterbitkan pada 2014 di KaryaMedia Yogyakarta. Isu tersebut dibahas pada bab lima.

Bab satu adalah pengantar, bab dua adalah Pandangan Para Linguis terhadap Pertentangan Makna, bab tiga adalah Prinsip Dasar Pertentengan Makna dalam Balaghah, bab empat adalah Prinsip Dasar Pertentangan Makna dalam Linguistik Umum, bab lima adalah Faktor-faktor Perluasan Makna dalam Al-Qur’an, dan bab enam adalah Pertentangan Makna dalam Al-Qur’an.

Tiga Faktor Perluasan Makna

Sebagiaman telah dikemukakan terdahulu bahwa minimal terdapat tiga faktor yang menyebabkan terjadinya perluasan makna.: (1) Konteks bahasa yang mengitarinya, (2) Gaya bahasa majas, (3) Perbedaan mufrad. Yang dimaksud perluasan makna karena faktor konteks bahasa adalah terjadinya perbedaan konteks yang mengitarinya, atau dikenal Ikhtilafu Al-Siyaq Al-Lughawi.

Misalnya, kata Al-Bathil yang memiliki makna asal kebatilan atau sebagai lawan kebenaran. Dalam Q.S Al-Baqarah: 188, kata Al-Bathil tidak atau kurang tepat bermakna kebatilan, melainkan Al-Tahrif dan Al-Tazwir, yakni membelokkan arah. Dalam Q.S Al-Anfal: 8, kata Al-Bathil bermakna Al-Kufr dan Al-Dhalalah, yakni kekafiran dan kesesatan. Dalam Q.S Shaf: 27, kata Al-Bathil bermakna Al-‘Abas, yakni tidak ada tujuan atau main-main.

Contoh lainnya adalah kata Al-Fakhisyah yang memiliki makna asal yaitu menunjuk pada suatu perbuatan atau perkataan yang sangat keji. Dalam Q.S Al-Naml: 54, Al-Fakhisyah tidak atau kurang tepat bermakna perbuatan yang sangat keji, melainkan bermakna Al-Liwath, yakni bersetubuh dengan lakil-laki. Dalam Q.S Al-Nisa: 15, Al-Fakhisyah bermakna Al-Zina, yakni perbuatan zina.

Yang dimaksud perluasan makna pada faktor gaya bahasa majaz adalah penggunaan kata bukan dimaksudkan untuk makna yang sebenarnya, karena adanya hubungan antara makna hakiki dengan makna majazi hubungan yang langsung.

Misalnya, kata Al-Abu yang memiliki makna asal yaitu ayah. Dalam QS. Al-Zukhruf: 22, Al-Abu lebih tepat dimaknai nenek atau paman atau guru/pendidik. Ini karena adanya hubungan antara makna hakiki dengan makna majazinya, yakni keduanya sama-sama memelihara, serta memberi perhatian yang besar terhadapnya.

Yang dimaksud perluasan makna pada faktor perbedaan mufrad adalah adanya kata secara sepintas lalu memiliki kesamaan, tetapi sebenarnya memiliki asal kata yang berbeda. Misalnya, kata Asfar yang memperlihatkan perluasan atau perbedaan makna antara yang terdapat pada QS. Al-Jumu’ah: 5 dengan yang terdapat pada QS. Al-Saba’: 19.

Baca Juga: Mengenal Badriyah Fayumi, Mufasir Perempuan Indonesia Pejuang Keadilan Gender

Pada QS. Al-Jumu’ah: 5, Asfar merupakan bentuk jamak dari kata (mufrad) sifrun yang bermakna buku-buku. Sementara pada QS. Al-Saba’: 19, Asfar merupakan bentuk jamak dari kata (mufrad) safar yang bermakna jarak perjalanan.

Contoh lainnya adalah kata Amtsal yang memperlihatkan perluasan atau perbedaan makna antara yang terdapat pada QS. Al-Waqi’ah: 23 dengan QS. Ibrahim: 25. Pada QS. Al-Waqi’ah: 23, Amtsal merupakan bentuk jamak dari (mufrad) mitslun yang bermakna bagaikan/seperti atau bak. Sementara pada QS. Ibrahim, Amtsal merupakan bentuk jamak dari (mufrad) matsal yang bermakna contoh atau perumpamaan.

Sampai di sini, tiga faktor di atas memberi pemahaman bahwa sangat mungkin satu kata dalam Al-Qur’an dipahami dengan beragam makna. Keragaman tersebut menunjukkan kekayaan kosa kata dan maknanya yang dimiliki oleh bahasa Al-Qur’an. Lebih jauh, sebenarnya masih banyak faktor lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya keragaman makna, sebagaimana diakui sendiri oleh Mardjoko Idris. Meski demikian, tiga faktor ini setidaknya penting dipahami oleh kita bahwa keragaman makna adalah hal penting dalam Al-Qur’an.[] Wallahu A’lam.