Beranda blog Halaman 262

Tafsir Surah Yasin Ayat 6-8

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 6-8 menerangkan bahwa diantara hikmah diturunkannya al-Quran adalah untuk memberi peringatan dan petunjuk kepada manusia untuk memeperbaiki moral, serta memerintahkan manusia untuk taat kepada perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 1-5


Dalam Tafsir Surah Yasin Ayat 6-8 juga dijelaskan alasan mengapa Allah mengazab nenek moyang mereka adalah karena keingkaran mereka pada para utusan, dan Allah melalui ayat 8 megumpamakan mereka yang ingkar dan enggan beriman seperti orang yang terbelenggu lehernya sehingga sukar sekali untuk menerima kebenaran.

Ayat 6

Adapun hikmah penurunan Al-Qur’an antara lain untuk memberi peringatan kepada bangsa Arab yang belum pernah diutus kepada mereka seorang rasul. Dalam ayat ini disebutkan kerusakan moral bangsa Arab akibat sifat lalai dalam hati mereka. Hati yang lalai ialah hati yang tidak melaksanakan kewajiban yang harus dilaksanakan.

Mereka adalah bangsa Arab keturunan Nabi Ismail yang belum pernah dikirim seorang rasul pun kepada mereka. Oleh karena itu, mereka belum mengenal syariat yang membawa manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Adapun kata qaum yang mengandung pengertian khusus ditujukan kepada bangsa Arab saja, tidak mengubah maksud risalah yang sebenarnya, yakni tertuju kepada seluruh manusia, sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain:

قُلْ يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنِّيْ رَسُوْلُ اللّٰهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا

Katakanlah (Muhammad), “Wahai manusia! Sesungguhnya aku ini utusan Allah bagi kamu semua.  (al-A’raf/7: 158)


Baca Juga : Riwayat Hadis Tentang Perumpamaan Orang yang Membaca Al-Quran


Ayat 7

Telah menjadi ketetapan Allah untuk mengazab nenek moyang orang-orang kafir sebagaimana terjadi pada kebanyakan umat yang telah menolak kedatangan rasul yang diutus kepada mereka. Keingkaran dan kejahatan akhlak mereka menyebabkan hati mereka tidak mampu menghayati kebenaran dan tidak mau tunduk kepada Allah.

Ayat 8

Kemudian diberikan sebuah perumpamaan bagi orang-orang yang tidak mau beriman itu, seolah-olah belenggu telah dipasang di leher mereka, tangan diangkat sampai ke atas dagu. Hal demikian menyebabkan muka mereka selalu tertengadah.

Demikianlah gambaran orang yang tidak beriman karena dia tidak dapat menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mengambil perbandingan. Belenggu itu demikian erat, sehingga tidak memungkinkan kepalanya bergerak sama sekali. Di ayat lain terdapat pula keterangan:

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ اَهْوَاۤءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُ وَمَنْ فِيْهِنَّۗ بَلْ اَتَيْنٰهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُّعْرِضُوْنَ ۗ

Dan seandainya kebenaran itu menuruti keinginan mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya. Bahkan Kami telah memberikan peringatan kepada mereka, tetapi mereka berpaling dari peringatan itu. (al-Mu’minun/23: 71)

Menurut riwayat, ayat ini pada mulanya diturunkan sehubungan dengan niat Abu Jahal bersama dua orang temannya yang berasal dari Bani Makhzum. Abu Jahal pernah bersumpah bila melihat Muhammad sedang salat di Baitullah, ia akan menjatuhkan batu besar ke atas kepalanya.

Pada suatu hari, dilihatnya Nabi sedang sujud, di tangannya sudah tersedia batu yang cukup besar. Ketika batu itu diangkatnya dan akan dilemparkan ke arah Nabi yang sedang sujud itu, ia jadi ragu-ragu dan batu itu terlepas dari pegangan tangannya. Abu Jahal kembali kepada kaumnya dan menceritakan apa yang terjadi.

Kemudian ada pula seorang Bani Makhzum karena tertarik dengan cerita Abu Jahal, bermaksud pula melempar Nabi pada waktu beliau akan salat. Ketika ia hendak melaksanakan niat jahatnya, Allah membutakan matanya. Ia kembali kepada kaumnya dalam keadaan buta.

Dia menceritakan bahwa ketika hendak melaksanakan niatnya tiba-tiba muncul seekor binatang besar yang siap hendak menerkamnya. Seandainya batu itu ia lemparkan juga, binatang itu pasti menerkamnya.

Ada yang mengatakan bahwa makna belenggu di sini adalah arti majazi (kiasan). Jadi yang dimaksud dengan belenggu adalah penghalang yang menghalangi niat seseorang untuk beriman kepada Allah.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 9-11


Tafsir Surah Yasin Ayat 1-5

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Yasin merupakan surah Makkiyah yang terdiri dari 83 ayat, penafsiran surah yasin kali ini dimulai dengan Tafsir Surah Yasin Ayat 1-5. Salah satu ciri khas surah ini diantaranya adalah huruf muqatta’ah, yakni ya’ dan sin, sekaligus dijadikan sebagai nama surah. Ada beragam pendapat terkait penafsirannya, beberapa ulama mengatakan bahwa ya’ dan sin, berati Yaa Insan (wahai manusia) yang tertuju kepada Nabi Muhammad, ada juga makna lain yang akan dijelaskan berikut.

Ayat 1

Pada surah-surah sebelumnya telah dibicarakan mengenai awal surah yang dimulai dengan huruf-huruf abjad.

Pada kesimpulannya disebutkan bahwa pendapat yang terkuat menetapkan huruf-huruf abjad itu dimaksudkan sebagai peringatan untuk membangkitkan minat orang yang membacanya kepada hal-hal penting yang akan disebutkan dalam ayat-ayat sesudahnya.

Tetapi, dari riwayat Ibnu ‘Abbas diperoleh keterangan bahwa yasin bermakna ya insan (wahai manusia) yakni wahai Muhammad. Demikian pula pendapat Abu Hurairah, ‘Ikrimah, ad-Dahhak, Sufyan bin Uyainah dan Sa’id bin Jubair. Menurut mereka, yasin berasal dari logat Habsyah. Sedang Malik yang meriwayatkan dari Zaid bin Aslam menyebutkan arti yasin  adalah kependekan dari nama-nama Allah.

Ada lagi yang berpendapat yasin ringkasan dari kalimat “Ya Sayidal Basyar”, yakni Nabi Muhammad sendiri. Atau ia adalah salah satu nama dari Al-Qur’an. Namun demikian, mayoritas ulama menyerahkan arti yasin kepada Allah. (untuk lebih jelasnya, lihat tafsir surah al-Baqarah/2: 1)


Baca Juga : Empat Klasifikasi Ayat-Ayat Humanis dalam Surah Al-Insan Versi M. Abid Al-Jabiri


Ayat 2

Allah bersumpah dengan Al-Qur’an yang penuh hikmah. Ada beberapa arti hikmah yang disarikan dari pendapat-pendapat ahli tafsir yakni: kata “hikmah” di sini muhkam, berarti yang telah pasti benarnya, dan tidak mungkin terdapat di dalamnya sesuatu yang batil (tidak benar) baik makna lafazh, tujuan, hikmah, kisah, hukumnya, dan lain-lain walaupun ditinjau dari segi apa pun.

Hakim” adalah suatu sifat yang dimiliki oleh orang yang berakal (cerdas). Demikian halnya Al-Qur’an, dengan hikmah yang dikandungnya memberi bekal kehidupan manusia untuk menyucikan hati mereka dan memberi rasa kepuasan rohani.

Dengan kesucian hati dan kejernihan pikiran, akan terbuka rahasia-rahasia yang terkandung di alam ini.

Al-Qur’an memberi bimbingan hidup yang penuh dengan kebijaksanaan, segala ajarannya sejalan dan harmonis dengan pikiran yang sehat dan kehendak nafsu yang terkendali, yakni jalan pikiran yang menuju ke arah kemaslahatan manusia.

Ayat 3

Ayat ini menyatakan bahwa tujuan sumpah Allah dengan Al-Qur’an yang mengandung hikmah itu adalah pernyataan bahwa Nabi Muhammad merupakan salah seorang di antara para rasul Allah yang diutus membawa kebenaran. Hal ini merupakan penolakan tegas terhadap orang-orang yang tidak memercayai Muhammad sebagai rasul Allah.

Ayat 4

Ayat ini menegaskan bahwa Rasulullah berada pada jalan yang lurus. Hal ini sebagai penegasan bahwa agama dan syariat yang dibawa Nabi Muhammad itu adalah benar, lurus, berasal dari Allah. Salah satu ciri dari risalah Muhammad selalu berada pada jalan yang lurus.

Kebenaran yang dibawanya jelas, tanpa mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Syariat Muhammad saw tidaklah cenderung mengikuti keinginan hawa nafsu manusiawi, tetapi senantiasa mendorong manusia menuju kepada kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat. Firman Allah:

وَاِنَّكَ لَتَهْدِيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍۙ

Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang lurus. (asy-Syura/42: 52)

Ayat 5

Ayat ini dengan tegas menentukan kedudukan Al-Qur’an, yakni kitab suci yang berasal dari Allah, bukan kitab suci hasil karangan manusia. Allah telah menyatakan kepada para hamba-Nya agar memahami hakikat kitab suci yang diturunkan-Nya, yaitu dari Zat Yang Maha Perkasa, yang bertindak seperti apa yang dikehendaki-Nya, tetapi Dia juga Maha Penyayang kepada hamba-Nya.

Kasih sayang itu tertuang dalam Al-Qur’an yang mengandung rahmat bagi seluruh manusia.

Arti yang serupa dengan ayat ini adalah:

وَاِنَّهٗ لَتَنْزِيْلُ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ۗ

Dan sungguh, (Al-Qur’an) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam. (asy-Syu’ara’/26: 192)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 6-8


Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 2-3

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 2-3 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai dakwah Nabi Musa as yang dibekali dengan kitab Taurat. Kedua berbicara mengenai sejarah orang-orang yang diselamatkan bersama Nabi Nuh as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (3)


Ayat 2

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah telah menurunkan kitab Taurat kepada Musa a.s. sebagai pedoman hidup bagi Bani Israil. Allah swt menyuruh Musa a.s. agar mengatakan kepada kaumnya, “Janganlah kamu mengambil selain Allah sebagai penolong yang memberikan perlindungan dan menyelesaikan urusan-urusan kamu.”

Larangan yang ditujukan kepada kaumnya itu adalah larangan yang juga pernah disampaikan oleh rasul-rasul sebelumnya dengan perantaraan wahyu Allah. Terkandung pula dalam larangan di atas perintah agar manusia menyembah kepada Allah semata dan larangan menyekutukan sesuatu yang lain dengan-Nya. Terdapat juga larangan meminta bantuan dalam segala urusan kecuali kepada-Nya.

Pemberian kitab Taurat kepada Nabi Musa a.s. sebagai pedoman untuk kaumnya adalah untuk memberikan pengertian kepada kaum Muslimin, bahwa di antara tugas-tugas para rasul ialah menyampaikan agama tauhid, sebagaimana tugas Nabi saw kepada mereka.

Juga untuk mengingatkan mereka agar jangan meniru sikap umat-umat terdahulu, dimana sepeninggal rasul-rasulnya, mereka membuat-buat takwil terhadap firman-firman Allah menurut kehendaknya, dan bergelimang dalam lembah dosa dan kesesatan yang nyata.

Itulah sebabnya maka Allah swt menyebutkan berulang kali dalam Al-Qur’an keistimewaan Musa a.s. dan kelebihan Bani Israil dari bangsa-bangsa lain yang ada pada masa itu. Allah menyebutkan pula nikmat yang diberikan kepada mereka, dengan maksud agar hati nurani mereka tergugah, lalu kembali ke jalan yang benar, dan hidup sesuai dengan petunjuk-Nya.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 82: Al-Qur’an Sebagai Syifā’ (Penyembuh) Lahir dan Batin


Ayat 3

Allah swt menyebutkan juga nenek moyang mereka, yaitu orang-orang yang telah diselamatkan Allah bersama-sama Nuh a.s. dari topan. Mereka diselamatkan Allah dengan perantaraan wahyu-Nya kepada Nuh a.s. Nuh diperintahkan untuk membuat perahu, agar dia dan kaumnya yang setia terhindar dari azab Allah yang akan ditimpakan kepada kaumnya yang mengingkari kenabiannya.

Hal ini mengandung peringatan bagi Bani Israil agar mengambil contoh dan pelajaran dari peristiwa itu, dan mengikuti jalan yang ditempuh oleh Nabi Nuh. Hal itu juga sebagai pelajaran bagi kaum Muslimin agar tetap memelihara tauhid seperti Nuh a.s. dan pengikut-pengikutnya, serta orang-orang yang mensyukuri nikmat Allah.

Sebagai penjelasan dari penafsiran tersebut, perlu dikemukakan beberapa hadis yang menjelaskan bahwa Nabi Nuh a.s. adalah nabi yang sangat mensyukuri nikmat Allah, sebagaimana tersebut dalam hadis:

Pertama:

عَنْ مُعَاذِ بْنِ أَنَسٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  قَالَ: إِنَّمَا سَمَّى اللهُ تَعَالَى نُوْحًا عَبْدًا شَكُوْرًا لِأَنَّهُ كَانَ إِذَا أَمْسَى وَأَصْبَحَ قَالَ: سُبْحَانَ اللهِ حِيْنَ تُمْسُوْنَ وَ حِيْنَ تُصْبِحُوْنَ وَلَهُ الْحَمْدُ فِى السَّمٰوَاتِ وَ الْأَرْضِ وَعَشِيًّا وَحِيْنَ تُظْهِرُوْنَ. (رواه ابن مردويه)

Diriwayatkan Mu’az bin Anas Al-Juhaniy bahwa Nabi Muhammad saw bersabda, “Sesungguhnya Allah menamakan Nuh sebagai hamba yang sangat mensyukuri nikmat Allah karena apabila telah datang waktu sore dan pagi hari, dia berkata, Mahasuci Allah ketika kamu berada di waktu sore dan di waktu Subuh dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan bumi ketika berada di petang hari dan ketika kamu berada di waktu Zuhur.” (Riwayat Ibnu Mardawaih)

Kedua:

كَانَ نُوْحٌ إِذَا لَبِسَ ثَوْبًا أَوْ طَعِمَ طَعَامًا حَمِدَ اللهَ تَعَالَى فَسُمِيَّ عَبْدًا شَكُوْرًا (رواه ابن جرير الطبري والبيهقي والحاكم عن سلمان الفرسي)

Apabila Nabi Nuh telah mengenakan baju dan menyantap makanan dia memuji Allah swt. Maka dinamakanlah dia “hamba yang sangat mensyukuri nikmat Allah.  (Riwayat Ibnu Jarir at-Tabari, al-Baihaqi, dan al-Hakim dari Salman al-Farisi).

Demikianlah doa dan tasbih yang diucapkan oleh Nabi Nuh a.s. yang patut dicontoh dan diamalkan oleh kaum Muslimin.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 4-6


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (3)

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 melanjutkan pembicaraan sebelumnya, yakni memaparkan hadis-hadis yang berkaitan dengan isra’ mi’raj. Dalam artikel ini juga dipaparkan mengenai perbedaan pendapat mengenai perjalanan isra’ Nabi dengan jasad atau roh.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (2)


Ketiga:

إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أُتِيْتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُوْنَ الْبِغَالِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ فَرَكِبْتُهُ فَسَارَبِي حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ فَرَبَطْتُ الدَّابَّةَ بِالْحَلْقَةِ الَّتِى يَرْبِطُ فِيْهَا الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ دَخَلْتُ فَصَلَّيْتُ فِيْهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَأَتَانِى جِبْرِيْلُ بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيْلُ أَصَبْتَ الْفِطْرَةَ. (رواه أحمد عن أنس بن ملك)

Bahwa Rasulullah saw bersabda, “Didatangkan kepadaku Buraq, yaitu binatang putih lebih besar dari himar, dan lebih kecil dari bigal. Ia melangkahkan kakinya sejauh pandangan mata. Kemudian saya mengendarainya, lalu ia membawaku sehingga sampai ke Baitul Makdis. Kemudian saya mengikatnya pada tempat para nabi mengikatkan kendaraannya. Kemudian saya salat dua rakaat di dalamnya, lalu saya keluar. Kemudian Jibril membawa kepadaku sebuah bejana yang berisi minuman keras (khamar) dan sebuah lagi berisi susu; lalu saya pilih yang berisi susu, lantas Jibril berkata, “Engkau telah memilih fitrah sebagai pilihan yang benar.” (Riwayat Ahmad dari Anas bin Malik)

Dari hadis-hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Nabi Muhammad diperjalankan pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa atas izin Allah di bawah bimbingan malaikat Jibril.

Sebelum Nabi Muhammad saw diperjalankan pada malam itu, hatinya diisi iman dan hikmah, agar beliau tahan menghadapi segala macam cobaan dan tabah dalam melaksanakan perintah-Nya. Perjalanan itu dilakukan dengan mengendarai Buraq yang mempunyai kecepatan luar biasa sehingga Isra’ dan Mi’raj hanya memerlu-kan waktu kurang dari satu malam.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Salat Lima Waktu dalam Peristiwa Isra Mikraj


Dalam ayat ini tidak dijelaskan secara terperinci, apakah Nabi saw Isra’ dengan roh dan jasadnya, ataukah rohnya saja. Itulah sebabnya para mufasir berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Mayoritas mereka berpendapat bahwa Isra’ dilakukan dengan roh dan jasad dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidur. Mereka itu mengajukan beberapa alasan untuk menguatkan pendapatnya di antaranya:

  1. Kata subhana menunjukkan adanya peristiwa yang hebat. Jika Nabi di-isra’-kan dalam keadaan tidur, tidak perlu diungkapkan dengan meng-gunakan ayat yang didahului dengan tasbih.
  2. Andaikata Isra’ itu dilakukan dalam keadaan tidur, tentulah orang Quraisy tidak dengan serta merta mendustakannya. Banyaknya orang muslim yang murtad kembali karena peristiwa Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa itu bukanlah hal yang biasa. Kata-kata Ummu Hani yang melarang Nabi menceritakan kepada siapapun pengalaman-pengalaman yang dialami ketika Isra’ agar mereka tidak menganggap Nabi saw berdusta, juga menguatkan bahwa Isra’ itu dilakukan Nabi dengan roh dan jasadnya. Peristiwa ini yang menyebabkan Abu Bakar diberi gelar as-Siddiq karena dia membenarkan Nabi, dengan cepat dan tanpa ragu, ber-Isra’ dengan roh dan jasadnya, sedangkan orang-orang lain berat menerimanya.
  3. Firman Allah yang menggunakan bi’abdihi menunjukkan bahwa Nabi Isra’ dengan roh dan jasad karena kata seorang hamba mengacu pada kesatuan jasad dan roh.

Perkataan Ibnu Abbas bahwa orang-orang Arab menggunakan kata ru’ya dalam arti penglihatan mata, maka kata ru’ya yang tersebut dalam firman Allah berikut ini mesti dipahami sebagai penglihatan dengan mata.

وَمَا جَعَلْنَا الرُّءْيَا الَّتِيْٓ اَرَيْنٰكَ اِلَّا فِتْنَةً لِّلنَّاسِ

Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia. (al-Isra’/17: 60)

  1. Yang diperlihatkan kepada Nabi waktu Isra’ dan Mi’raj adalah penglihatan mata yang mungkin terjadi karena kecepatan yang serupa telah dibuktikan oleh manusia dengan teknologi modern.

Beberapa mufassir yang lain berpendapat bahwa Isra’ dilakukan Nabi dengan rohnya saja. Mereka ini menguatkan pendapatnya dengan perkataan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan ketika ditanya tentang Isra’ Nabi Muhammad saw, beliau menjawab:

كَانَ رُؤْيَا مِنَ اللهِ صَادِقَةً…

Isra’ Nabi itu adalah mimpi yang benar yang datangnya dari Allah.

Pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ hanya dilakukan dengan roh saja lemah, karena sanad hadis yang dijadikan hujjah atau pegangan tidak jelas.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 2-3


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Membasuh Jenggot Saat Wudhu

0
Hukum Membasuh Jenggot Saat Wudhu
Hukum Membasuh Jenggot Saat Wudhu

Diantara permasalahan yang menimbulkan perdebatan antara para ulama, yakni terkait membasuh wajah saat wudhu, tentang wajib tidaknya membasuh bagian wajah yang ditumbuhi rambut jenggot. Hal ini disebabkan bagaimanapun juga tempat tumbuhnya jenggot adalah bagian dari wajah. Sehingga seharusnya juga wajib membasuh jenggot saat wudhu.

Namun disisi lain, membasuh kulit bagian wajah yang ditumbuhi jenggot menimbulkan kesulitan tersendiri. Terlebih bila rambut jenggot yang tumbuh tersebut amat tebal sehingga pemiliknya kesulitan membuat air sampai pada area kulit tempat tumbuhnya jenggot. Lalu bagaimana sebenarnya hukum membasuh kulit tempat tumbuhnya jenggot saat wudhu? Apakah hukum membasuh rambut jenggot?. Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan pakar hukum fikih.

Baca juga: Ragam Makna Kata An-Nur dalam Al-Quran

Bagian dari Wajah

Imam Ibn Katsir memberikan penjelasan tatkala menguraikan tafsir firman Allah yang berbuyi:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ

Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki (QS. Al-Ma’idah [5] :6).

Bahwa ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum membasuh rambut janggut yang memanjang sehingga keluar dari area wajah yang seharusnya dibasuh. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa jenggot dalam kosakata Bahasa Arab juga tercakup dalam istilah wajah. Hal ini dibuktikan adanya suatu ungkapan diantara orang Arab yang diperuntukkan pada anak remaja yang baru tumbuh jenggotnya: “Wajahnya telah tampak”. Selain itu ada sebagian riwayat hadis yang menyatakan bahwa jenggot adalah termasuk wajah (Tafsir Ibn Katsir/3/48).

Sedang mengenai hukum membasuh kulit dagu atau tempat tumbuhnya jenggot serta rambut jenggot, ulama’ ahli tafsir di dalam kitab tafsir, mereka memberikan bermacam-macam perincian. Penjelasan mereka berbicara sekitar apakah jenggotnya tebal atau tipis? Apakah rambut jenggotnya memanjang sampai keluar wajah atau tidak? Sebab ulama’ yang meyakini bahwa rambut jenggot termasuk bagian dari wajah, menyatakan wajib menuangkan air ke jenggot meski ia memanjang sampai keluar dari batas wajah (Tafsir Al-Jami’ Liahkamil Qur’an/6/83 dan Tafsir Mafatihul Ghaib/5/485).

Baca juga: Ragu yang Diperbolehkan, Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 260

Hukum Membasuh Jenggot

Untuk menghindari kesulitan dalam memahami kesimpulan hukum dari perdebatan ulama’ terkait membasuh jenggot beserta kulit di bawahnya, maka kami akan memcoba memaparkannya langsung merujuk pada referensi kitab fikih:

Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ menjelaskan, apabila jenggotnya tidak lebat, maka menurut Mazhab Syafi’i, Imam Ahmad, Malik dan Dawud, wajib membasuh kulit dagu besertaan rambut jenggotnya. Sedang menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian pengikut Mazhab Syafi’i, tidak wajib membasuh kulit dagu.

Sedang apabila rambut janggutnya lebat, maka ulama’ sepakat membasuh rambut yang tampak saja. Sedang mengenai kulit dagu, Imam Syafi’i, Malik, Ahmad dan Abu Hanifah menyatakan tidak wajib dibasuh. Hanya sebagian ulama’ yang menyatakan wajib dibasuh. Di antaranya Imam Muzani dari kalangan Mazhab Syafi’i.

Untuk ukuran lebat atau tidaknya rambut janggut, ulama’ memiliki pandangan berbeda-beda. menurut pendapat yang disahihkan Imam An-Nawawi, apabila sampai menghalangi orang lain yang diajak bicara dari melihat kulit dagu, maka dikategorikan lebat. Apabila tidak, maka tidak lebat (Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab/1/374-375).

Baca juga: Tadabbur Al-Hujurat Ayat 6: Membangun Nalar Kritis di Tengah Krisis Literasi Digital

Lalu apabila rambut jenggot lebat, apakah wajib menyela-nyelai jenggot dengan air? Menurut Imam Syafi’i hukumnya sekedar Sunnah saja, tidak wajib. Sedang menurut Imam Muzani dan Abi Tsaur, hukumnya wajib (Al-bayan/1/116).

Sedang untuk rambut jenggot yang memanjang sampai keluar dari batas wajah, dalam Mazhab Syafi’i sendiri ada dua pandangan. Ada yang menyatakan wajib membasuh yang tampak, ada yang menyatakan tidak wajib membasuhnya. Hal ini disebabkan menurut ulama’ yang memandang saat jenggot lebat kewajiban membasuh berpindah dari kulit dagu menuju rambut janggut, maka otomatis rambut yang wajib dibasuh tidak terbatas pada yang ada pada batas wajah saja (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/485). Wallahu a’lam bish showab [].

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (2)

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 bagaian dua ini berbicara mengenai perbedaan pendapat tentang makna isra mi’raj di antara para ulama. Selain itu juga dipaparkan mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan isra’ mi’raj.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (1)


Ayat ini menyebutkan terjadinya peristiwa Isra’, yaitu perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa di waktu malam. Sedangkan peristiwa Mi’raj, yaitu naiknya Nabi Muhammad  dari Masjidil Aqsa ke Sidratul Muntaha (Mustawa) tidak diisyaratkan oleh ayat ini, tetapi diisyaratkan dalam Surah an-Najm.

Hampir seluruh ahli tafsir berpendapat bahwa peristiwa Isra’ terjadi setelah Nabi Muhammad diutus menjadi rasul. Peristiwanya terjadi satu tahun sebelum hijrah. Demikian menurut Imam az-Zuhri, Ibnu Sa’ad, dan lain-lainnya. Imam Nawawi pun memastikan demikian. Bahkan menurut Ibnu Hazm, peristiwa Isra’ itu terjadi di bulan Rajab tahun kedua belas setelah pengangkatan Muhammad menjadi nabi. Sedangkan al-Hafidz ‘Abdul Gani al-Maqdisi memilih pendapat yang mengatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj tersebut terjadi pada 27 Rajab, dengan alasan pada waktu itulah masyarakat melaksanakannya.


Baca juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan


Adapun hadis-hadis yang menjelaskan terjadinya Isra’ itu sebagai berikut:

Pertama:

قال أنس بن مالك: لَيْلَةَ اُسْرِيَ بِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ مَسْجِدِ الْكَعْبَةِ أَنَّهُ جَاءَهَ ثَلاَثَةُ نَفَرٍ قَبْلَ أَنْ يُوْحَى إِلَيْهِ وَهُوَ نَائِمٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَقَالَ أَوَّلُهُمْ: أَيُّهُمْ هُوَ؟ فَقَالَ أَوْسَطُهُمْ: هُوَ خَيْرُهُمْ. فَقَالَ اٰخِرُهُمْ: خُذُوْا خَيْرَهُمْ، فَكَانَتْ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فَلَمْ يَرَهُمْ حَتَّى أَتَوْهُ لَيْلَةً أُخْرَى فِيْمَا يَرَى قَلْبُهُ وَتَنَامُ عَيْنُهُ وَلاَ يَنَامُ قَلْبُهُ وَكَذٰلِكَ اْلأَنْبِيَاءُ تَنَامُ أَعْيُنُهُمْ وَلاَ يَنَامُ قَلْبُهُمْ- فَلَمْ يُكَلِّمُوْهُ حَتَّى احْتَمَلُوْا فَوَضَعُوْهُ عِنْدَ بِئْرِ زَمْزَمَ فَتَوَلاَّهُ مِنْهُمْ جِبْرِيْلُ فَشَقَّ جِبْرِيْلُ مَا بَيْنَ نَحْرِهِ إِلَى لِبَّتِهِ حَتَّى فَرَغَ مِنْ صَدْرِهِ وَجَوْفِهِ فَغَسَلَهُ مِنْ مَاءِ زَمْزَمَ بِيَدِهِ حَتَّى أَنْقَى جَوْفَهُ ثُمَّ أَتَى بِطَشْتٍ مِنْ ذَهَبٍ فِيْهِ نُوْرٌ مِنْ ذَهَبٍ مَحْشُوٍّ إِيْمَانًا وَحِكْمَةً فَحَشَابِهِ صَدْرَهُ وَلَغَادِيْدَهُ يَعْنِى عُرُوْقَ حَلْقِهِ ثُمَّ اَطْبَقَهُ. (رواه البخاري)

Anas bin Malik menuturkan bahwa pada malam diperjalankannya Rasulullah saw dari Masjidilharam, datanglah kepadanya tiga orang pada saat sebelum turunnya wahyu, sedangkan Rasul pada waktu itu sedang tidur di Masjidilharam. Kemudian berkatalah orang yang pertama, “Siapakah dia ini?” Kemudian orang kedua menjawab, “Dia adalah orang yang terbaik di antara mereka (kaumnya).” Setelah itu berkatalah orang ketiga, “Ambillah orang yang terbaik itu.” Pada malam itu Nabi tidak mengetahui siapa mereka, sehingga mereka datang kepada Nabi di malam yang lain dalam keadaan matanya tidur sedangkan hatinya tidak tidur. Demikianlah para nabi, meskipun mata mereka terpejam, namun hati mereka tidaklah tidur. Sesudah itu rombongan tadi tidak berbicara sedikit pun kepada Nabi hingga mereka membawa Nabi dan meletakkannya di sekitar sumur Zamzam. Di antara mereka ada Jibril yang menguasai diri Nabi, lalu Jibril membelah bagian tubuh, antara leher sampai ke hatinya, sehingga kosonglah dadanya. Sesudah itu Jibril mencuci hati Nabi dengan air Zamzam dengan menggunakan tangannya, sehingga bersihlah hati beliau. Kemudian Jibril membawa bejana dari emas yang berisi iman dan hikmah. Kemudian dituangkanlah isi bejana itu memenuhi dada beliau dan urat-urat tenggorokannya lalu ditutupnya kembali. (Riwayat al-Bukhari)

Kedua:

اِذْ أَتَانِي اٰتٍ فَقَدَّ فَاسْتَخْرَجَ قَلْبِي، ثُمَّ أُتِيْتُ بِطَشْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مَمْلُوْءَةٍ إِيْمَانًا، فَغَسَلَ قَلْبِي ثُمَّ حُشِيَ (أُعِيْدَ) (رواه البخاري عن سعصعة)

Bahwa Nabi saw bersabda, “Tiba-tiba datang kepadaku seseorang (Jibril). Kemudian ia membedah dan mengeluarkan hatiku. Setelah itu dibawalah kepadaku bejana yang terbuat dari emas yang penuh dengan iman, lalu ia mencuci hatiku. Setelah itu menuangkan isi bejana itu kepadaku. Kemudian hatiku dikembalikannya seperti sediakala”. (Riwayat al-Bukhari dari Sa’sha’ah)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (3)


(Tafsir Kemenag)

Benarkah Mushaf Rotterdam Tertua Se-Nusantara? Ini Data Pembandingnya

0
Benarkah Mushaf Rotterdam Tertua Se-Nusantara? Ini Data Pembandingnya
Ilustrasi Mushaf Kuno

Zainal Abidin Sueb dalam Mushaf Nusantara: Jejak, Ragam, dan Para Penjaganya menyebutkan bahwa dalam penelitian benda-benda bersejarah sangat wajar jika terjadi revisi atau perubahan. Zainal mencontohkan dengan hasil kajian terhadap Mushaf Sultan Ternate yang sempat dianggap sebagai mushaf tertua di Nusantara.

Dalam konteks penjelasan Zainal ini, penulis ingin mengajukan pertanyaan terhadap hasil kajian yang telah dilakukan Zainal yang menyimpulkan bahwa mushaf berkode MS 96 D 16, yang tersimpan di perpustakaan di Rotterdam, Belanda, adalah mushaf tertua di Nusantara (baca selengkapnya di Tersimpan di Perpustakaan Rotterdam Belanda, Inilah Mushaf Al Qur’an Tertua dari Nusantara). Benarkah mushaf Rotterdam ini mushaf tertua se-Nusantara?

Kesimpulan Zainal ini, sebagaimana disebutkan dalam ulasannya, didasarkan pada catatan Pak Peter G. Riddell dalam Rotterdam MS 96 D 16: The Oldest Known Surviving Qur’an from The Malay World. Di sana disebutkan, antara bulan Mei hingga Agustus 1606 M. Kesultanan Johor yang terdesak serangan Portugis akhirnya menerima kesepakatan aliansi pihak Belanda dengan menyerahkan mushaf Rotterdam ini sebagai bukti iktikad baik persetujuan.

Riwayat ini sesuai dengan catatan kolofon mushaf, dengan bahasa Belanda, yang kurang lebih artinya menyebutkan, “Tahun 1606. Pada tanggal 20 Juli di lepas pantai Malaka, salinan Al-Qur’an ini didermakan atas desakan Mufti Kesultanan Johor kepada Laksamana Matelief de Jonge.”

Kesimpulan Zainal ini agaknya perlu ditinjau kembali. Dalam sebuah penelusuran terhadap awal kemungkinan adanya aktivitas penyalinan Al-Qur’an di Nusantara, penulis mendapati catatan menarik yang diberikan Ali Akbar dalam Kaligrafi dalam Mushaf Kuno Nusantara, tesis beliau yang kemudian diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2019. Beliau menyebutkan bahwa mushaf tertua yang diketahui saat ini berasal dari akhir abad ke-16, tepatnya pada Jumadal Ula 993 H. yang dikonversi ke dalam tahun masehi menjadi 1585. Sebuah mushaf koleksi William Marsden.

Informasi ini diperoleh dari hasil kajian yang dilakukan oleh Bu Annabel Teh Gallop pada naskah-naskah koleksi William Marsden yang tersimpan di perpustakaan School of Oriental and African Studies (SOAS), University of London. Mushaf ini memiliki kode MS 12716 dengan kolofon berbahasa Arab menyebutkan Jumadal Ula 993. Dari kertas, bentuk buku, dan kaligrafinya, Bu Annabel menyimpulkan bahwa mushaf ini berasal dari Indonesia, mungkin dari Sumatera.

Baca juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

William Marsden sendiri merupakan seorang sejarawan Inggris berdarah Irlandia yang lahir di Dublin. Ia juga terkenal sebagai ahli bahasa, pakar jurnalistik, dan pelopor ethnohistory Hindia Belanda. Ia lahir pada 16 November 1754. Bersama saudaranya, John, ia sempat melayani East India Company di Sumatera bagian barat sebelum akhirnya berangkat ke Inggris pada tahun 1779. Namanya melejit melalui karya fenomenalnya, The History of Sumatra. Beberapa karyanya yang lain seperti A Grammar of The Malayan Language dan A Dictionary of the Malayan Language (Komunitas Bambu dan Britannica).

Melihat perjalanan hidupnya dan beberapa karya yang dituliskannya, boleh jadi memang mushaf koleksi William Marsden ini berasal dari Indonesia, tepatnya Sumatera, sebagaimana disebutkan oleh Bu Annabel. Catatan lain Ali Akbar dalam blognya berjudul Qur’an Nusantara Koleksi Inggris juga sempat menyinggung mushaf koleksi William Marsden ini. “Selain mushaf-mushaf tersebut, ada satu buah fragmen mushaf dalam koleksi William Marsden.

Maka berdasarkan informasi-informasi ini boleh jadi mushaf tertua dari Nusantara adalah koleksi William Marsden, bukan mushaf Rotterdam sebagaimana disimpulkan oleh Zainal.

Namun di sisi lain, kesimpulan yang diberikan Zainal di atas juga barangkali ada benarnya. Mushaf Rotterdam memiliki dua catatan kolofon. Catatan pertama, sebagaimana disebutkan di atas lebih kepada informasi mengenai perpindahan kepemilikan mushaf, bertahun 1606. Sedangkan catatan kedua dengan bahasa Jawa beraksara Arab yang menyebutkan, “Tamat dina tsalats wulan Ramadlan”, boleh jadi merupakan informasi kepenulisan mushaf.

Sehingga jika mushaf dipindahkan kepemilikannya pada tahun 1606, boleh jadi ia telah ditulis jauh sebelum tahun itu. Mengingat bahwa catatan kepenulisan ini menggunakan bahasa Jawa dan dimiliki oleh Kesultanan Johor. Namun hipotesis ini hanya penulis dasarkan pada informasi sekunder yang disebutkan oleh Zainal dalam ulasannya.

Alhasil dari beberapa informasi yang ada, tanggal dan tahun yang tertulis, menunjukkan bahwa mushaf koleksi William Marsden agaknya memang lebih tua jika dibandingkan mushaf Rotterdam. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Baca juga: Naskah-Naskah Mushaf Makna Antarbaris di Nusantara

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (1)

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 bagian satu ini berbicara mengenai penjelasan pemakaian kata ‘subhana’ di awal ayat surah al Isra’ ini. selain itu juga dipaparkan mengenai pemaknaan kata asra.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah An Nahl Ayat 127-128


Ayat 1

Allah swt menyatakan kemahasucian-Nya dengan firman “subhana”, agar manusia mengakui kesucian-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak dan meyakini sifat-sifat keagungan-Nya yang tiada tara. Ungkapan itu juga sebagai pernyataan tentang sifat kebesaran-Nya yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam, dengan perjalanan yang sangat cepat.

Allah swt memulai firman-Nya dengan subhana dalam ayat ini, dan di beberapa ayat yang lain, sebagai pertanda bahwa ayat itu mengandung peristiwa luar biasa yang hanya dapat terlaksana karena iradah dan kekuasaan-Nya.

Dari kata asra dapat dipahami bahwa Isra’ Nabi Muhammad saw terjadi di waktu malam hari, karena kata asra dalam bahasa Arab berarti perjalanan di malam hari. Penyebutan lailan, dengan bentuk isim nakirah, yang berarti “malam hari”, adalah untuk menggambarkan bahwa kejadian Isra’ itu mengambil waktu malam yang singkat dan juga untuk menguatkan pengertian bahwa peristiwa Isra’ itu memang benar-benar terjadi di malam hari.

Allah swt meng-isra’-kan hamba-Nya di malam hari, karena waktu itulah yang paling utama bagi para hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan waktu yang paling baik untuk beribadah kepada-Nya.

Perkataan abdihi (hamba-Nya) dalam ayat ini maksudnya ialah Nabi Muhammad saw yang telah terpilih sebagai nabi yang terakhir. Beliau telah mendapat perintah untuk melakukan perjalanan malam, sebagai penghormat-an kepadanya.

Dalam ayat ini tidak diterangkan waktunya secara pasti, baik waktu keberangkatan maupun kepulangan Nabi Muhammad saw kembali ke tempat tinggalnya di Mekah.

Hanya saja yang diterangkan bahwa Isra’ Nabi Muhammad saw dimulai dari Masjidilharam, yaitu masjid yang terkenal karena Ka’bah (Baitullah) terletak di dalamnya, menuju Masjidil Aqsa yang berada di Baitul Makdis. Masjid itu disebut Masjidil Aqsa yang berarti “terjauh”, karena letaknya jauh dari kota Mekah.


Baca juga: Menguak Sisi Sains Skenario Perjalanan Isra Mikraj dalam Al-Quran


Selanjutnya Allah swt menjelaskan bahwa Masjidil Aqsa dan daerah-daerah sekitarnya mendapat berkah Allah karena menjadi tempat turun wahyu kepada para nabi. Tanahnya disuburkan, sehingga menjadi daerah yang makmur. Di samping itu, masjid tersebut termasuk di antara masjid yang menjadi tempat peribadatan para nabi dan tempat tinggal mereka.

Sesudah itu, Allah menyebutkan alasan mengapa Nabi Muhammad saw diperjalankan pada malam hari, yaitu untuk memperlihatkan kepada Nabi tanda-tanda kebesaran-Nya.

Tanda-tanda itu disaksikan oleh Muhammad saw dalam perjalanannya dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa, berupa pengalaman-pengalaman yang berharga, ketabahan hati dalam menghadapi berbagai macam cobaan, dan betapa luasnya jagat raya serta alangkah Agungnya Allah Maha Pencipta.

Pengalaman-pengalaman baru yang disaksikan Nabi Muhammad sangat berguna untuk memantapkan hati beliau menghadapi berbagai macam rintangan dari kaumnya, dan meyakini kebenaran wahyu Allah, baik yang telah diterima maupun yang akan diterimanya.

Di akhir ayat ini, Allah swt menjelaskan bahwa Dia Maha Mendengar bisikan batin para hamba-Nya dan Maha Melihat semua perbuatan mereka. Tak ada detak jantung, ataupun gerakan tubuh dari seluruh makhluk yang ada di antara langit dan bumi ini yang lepas dari pengamatan-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 1 (2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fathir Ayat 44-45

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 44-45 menjelaskan bahwa seharusnya orang kafir mampu belajar melalui sejarah dan peninggalan kuno, dimana kaum tedahulu pernah mendapat azab akibat menolak kebenaran. Dan seharusnya, mereka tidak mengulangi perbuatan mereka, supaya Allah tidak menurunkan murka-Nya yang mampu membuat mereka binasa.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 42-43


Tafsir Surah Fathir Ayat 44-45 juga meyerukan kepada manusia agar tidak menunda taubatnya, sebab tidak akan diketahui kapan Allah akan menurunkan azab. Jikapun, Allah belum menurunkan azab, itu dikarenakan sifat Rahmat-Nya yang luas, dan menunda azab pada waktu yang ia kehendaki, maka selagi ada kesempatan, laksanakan taubat dan taati perintah-Nya.

Ayat 44

Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya memperingatkan kaum pendusta (musyrik), apakah mereka tidak pernah melakukan perjalanan untuk menyaksikan betapa dahsyatnya azab yang diturunkan pada bangsa-bangsa dahulu akibat keingkaran mereka pada kebenaran ajaran Allah.

Semula ayat ini ditujukan kepada kaum musyrik Mekah, yang umumnya bermata pencaharian berdagang. Pada musim-musim tertentu, kafilah Quraisy berangkat menuju Syam (Syiria) dan Iraq.

Pada daerah-daerah gurun pasir yang mereka lewati, banyak terdapat bekas-bekas negeri yang pernah dihuni manusia di zaman kuno, akibat kedurhakaan penduduknya kepada rasul utusan Allah.

Mereka disiksa, dan bumi tempat mereka berpijak dijungkirbalikkan sehingga hancur sama sekali. Allah memperingatkan kaum pedagang Quraisy, andaikata mereka juga mengikuti jejak bangsa yang mendustakan-Nya, maka kepada mereka pasti akan berlaku sunatullah. Mereka akan merasakan siksaan dan azab yang tidak sanggup mereka tolak.

Untuk meyakinkan mereka, ayat 44 ini lebih lanjut memberi penjelasan bahwa umat-umat yang telah merasakan balasan akibat sikap dan tindak-tanduk mereka yang menentang ajaran rasul itu adalah umat yang perkasa, berani, punya harta, dan anak keturunan yang banyak sekali. Namun demikian, keperkasaan, kekayaan, dan keturunan mereka yang besar itu ternyata tidak sanggup membela dan melindunginya dari azab Allah.

Maksud berjalan di muka bumi, menurut penafsiran Sayid Qutub dalam Tafsir fi Zilal al-Qur’an, adalah berjalan dengan mata hati terbuka dan pikiran yang segar sambil merenungkan peristiwa-peristiwa yang pernah menimpa umat dahulu, betapa dan bagaimana keadaan mereka sewaktu ditimpa azab Allah.

Perjalanan demikian, menurutnya, menambah perasaan takwa kepada Allah, membangunkan hati dari kelalaian dan kelengahan akan sunatullah yang pasti berlaku itu.

Mereka diingatkan bahwa Allah Yang Mahakuasa itu tidak pernah kewalahan untuk melaksanakan keputusan-Nya, apabila Dia telah menginginkan. Sebab dengan tegas dikatakan tiada satu daya dan kekuatan yang sanggup melemahkan Allah, baik kekuatan itu terdapat di langit maupun di bumi. Bagaimana Allah itu lemah?

Bukankah ilmu dan kekuasaan-Nya meliputi kerajaan langit dan bumi? Bagaimana mungkin makhluk ciptaan-Nya, Sekalipun seluruh manusia bersatu menandingi kekuasaan Allah, tidak akan sanggup menjatuhkan atau menandingi kekuasaan-Nya, sedang semuanya dijadikan dengan fisik yang lemah? Allah berfirman:

يُرِيْدُ اللّٰهُ اَنْ يُّخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْاِنْسَانُ ضَعِيْفًا

Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, karena manusia diciptakan (bersifat) lemah. (an-Nisa’/4: 28)

Perhatikanlah akhir ayat ini dengan penegasan bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa terhadap segala makhluk ciptaan-Nya.

Dalam Tafsir al-Maragi dijelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui dan Mahakuasa terhadap orang-orang yang harus mendapatkan siksaan dengan segera. Sebaliknya, orang yang tobat, dan ingin kembali kepada Tuhan dari kesesatannya, Dia memberi petunjuk kepadanya sehingga beriman sepenuhnya.

Ketika orang-orang musyrik meminta kepada Nabi Muhammad agar azab yang dijanjikan itu segera diturunkan, maka diterangkan kepada mereka bahwa Allah menentukan peraturan-Nya bagi umat ini, yakni siksaan tidak segera diturunkan kepada mereka yang melakukan kedurhakaan atau keingkaran terhadap ajaran rasul. Sebab diharapkan sebagian di antara mereka mungkin masih ada yang insaf dan kembali kepada ajaran Tuhannya.


Baca Juga : Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah


Ayat 45

Ayat ini menjelaskan manifestasi dari sifat rahman dan rahim dari Allah. Jika Allah langsung menyiksa orang-orang musyrik itu seperti apa yang mereka kehendaki, pasti mereka dan binatang-binatang mati kehausan akibat kurang minum.

Tetapi, Allah tidak bertindak begitu sekalipun Dia berkuasa, sebaliknya Dia tetapkan suatu ketentuan yakni siksaan itu ditunda sampai pada waktu yang hanya diketahui-Nya sendiri. Akan tetapi, kalau azab itu telah menimpa, tidak akan dikurangi dan mereka tidak akan bisa melepaskan diri.

Ketentuan Allah yang demikian itu hanya berlaku bagi umat Nabi Muhammad saja, sedang pada umat sebelumnya bila mereka bersalah, langsung dihukum tanpa penundaan.

Dalam Tafsir al-Wadih dijelaskan bahwa ketentuan itu adalah kemuliaan yang dikaruniakan Allah kepada Nabi Muhammad, sebagai suatu hukum bagi beliau dan umatnya. Dengan harapan agar orang-orang yang masih belum mau beriman segera tobat, kembali kepada petunjuk dan ajaran-Nya.

Tetapi, bila janji Allah telah datang, tidak ada waktu lagi untuk menundanya. Di situlah nanti masing-masing orang akan diperhitungkan perbuatannya. Yang baik dibalas dengan ganjaran kebaikan, yang jahat dibalas dengan azab.

Dengan kasih dan sayang Allah, Al-Qur’an menyerukan supaya manusia bertobat dan kembali kepada-Nya. Biarpun azab itu telah ditunda kedatangannya, namun kapan waktunya yang pasti, tiada seorang pun yang mengetahuinya.

Orang yang merasa dirinya bersalah tidak perlu berputus asa, sebab betapapun besarnya kesalahan, jika diakhiri dengan penyesalan dan tobat yang sesungguhnya, pasti akan diampuni Allah. Dialah Yang Maha Pengampun dan Penyayang. Dialah Yang Maha Mengetahui dan memperhatikan sekalian hamba-Nya.

(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Fathir Ayat 42-43

0
Tafsir Surah Fathir
Tafsir Surah Fathir

Tafsir Surah Fathir Ayat 42-43 menerangkan awal mula doa orang kafir yang meminta seorang Rasul dan berjanji akan mentaatinya. Doa pun terkabul, alih-alih taat mereka justru ingkar terhadap Rasul itu, bersikap sombong, bahkan sampai memerangi dakwah yang ia jalankan.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Fathir Ayat 40-41


Tafsir Surah Fathir Ayat 42-43 juga menjelaskan bahwa Allah mengecam sikap demikian, bagi Allah siapapun yang berusaha memadakan cahaya yang hadir di dunia, maka Allah pun akan memusuhi mereka, kecuali mereka yang hendak bertaubat dan kembali kepada cahaya tersebut.

Ayat 42

Orang-orang musyrik itu bersumpah dengan sepenuh hati, seandai-nya Allah mengirimkan seorang rasul yang memperingatkan kesesatan jalan pikiran dan kerusakan moral masyarakatnya, pasti merekalah yang paling mudah menerima petunjuk rasul itu, dibanding dengan umat mana pun yang pernah ada sebelum mereka. Penjelasan ayat ini diperkuat pula oleh ayat lain yang berbunyi:

لَوْ اَنَّ عِنْدَنَا ذِكْرًا مِّنَ الْاَوَّلِيْنَۙ  ١٦٨  لَكُنَّا عِبَادَ اللّٰهِ الْمُخْلَصِيْنَ  ١٦٩  فَكَفَرُوْا بِهٖۚ فَسَوْفَ يَعْلَمُوْنَ  ١٧٠

Sekiranya di sisi kami ada sebuah kitab dari (kitab-kitab yang diturunkan) kepada orang-orang dahulu, tentu kami akan menjadi hamba Allah yang disucikan (dari dosa). Tetapi ternyata mereka mengingkarinya (Al-Qur’an); maka kelak mereka akan mengetahui (akibat keingkarannya itu). (As-Shaffat/37: 168-170)

Dalam tafsir al-Khazin diriwayatkan bahwa orang-orang kafir Mekah ketika mengetahui Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) mendustakan para rasul yang diutus kepada mereka, mereka pun bersumpah dengan nama Allah seandainya kepada mereka diutus pula rasul seperti yang pernah diutus kepada Bani Israil itu, tentulah mereka akan menjadi bangsa yang lebih banyak memperoleh petunjuk dibanding dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Sikap demikian itu mereka tunjukkan sebelum Muhammad saw diutus sebagai rasul.

Tetapi, setelah beliau betul-betul diutus ke tengah mereka, mereka pun mendustakannya sebagaimana sikap Ahli Kitab terhadap rasul-Nya. Untuk memperingatkan kaum Muslimin akan sikap orang-orang kafir yang telah memperoleh kebenaran murni tentang Nabi Muhammad dan risalahnya itu, Allah menurunkan ayat-ayat di atas.

Setelah impian mereka menjadi kenyataan, yakni dengan diutusnya Muhammad saw sebagai rasul di tengah masyarakat mereka untuk menyampaikan kebenaran dari Allah, yang tercantum dalam Al-Qur’an al-Karim, maka dengan serta merta mereka mendustakannya.

Bahkan sikap keingkaran dan kesombongan mereka makin menjadi-jadi. Mereka bukannya makin dekat kepada kebenaran, bahkan semakin jauh dengan alasan menjaga kehormatan dan martabat kaumnya.

Tegasnya, para pemimpin musyrik Mekah itu enggan mengikuti ajaran Nabi Muhammad. Keadaan mereka serupa dengan unta liar yang kabur, semakin dikejar oleh pemiliknya, semakin cepat larinya dan semakin tersesat jalannya, sehingga sukar ditangkap.

Ayat 43

Ayat ini masih menjelaskan sikap orang musyrik Mekah terhadap dakwah Nabi saw. Dengan segala daya dan pikiran, dengan harta dan kekayaan yang dimiliki, mereka menentang dakwah Nabi Muhammad, bahkan beliau diboikot dan dihalangi.

Tetapi, segala rencana jahat guna mematahkan dakwah Islam itu pada akhirnya menjadi bumerang bagi mereka. Kegagalan kaum kafir Mekah mencegah tersiarnya dakwah Islam telah tertulis dengan tinta emas dalam sejarah Islam.

Setiap usaha dan rencana jahat untuk memadamkan cahaya agama Allah di bumi ini, pasti akan gagal, sebab Allah selalu akan memelihara eksistensi agama-Nya di bumi ini, sampai akhir zaman, biarpun tidak disukai oleh orang-orang musyrik, sebagaimana disebutkan dalam ayat:;

يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِـُٔوْا نُوْرَ اللّٰهِ بِاَفْوَاهِهِمْۗ وَاللّٰهُ مُتِمُّ نُوْرِهٖ وَلَوْ كَرِهَ الْكٰفِرُوْنَ

Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya. (as-Shaf/61: 8)


Baca Juga : Matahari Juga Sebagai Sumber Energi Cahaya, Berikut Penjelasan Tafsirnya


Dalam Aisar at-Tafasir disebutkan satu riwayat bahwa Ka’ab berkata kepada Ibnu ‘Abbas, “Dalam Taurat diterangkan bahwa siapa yang menggali lubang untuk kawannya, dialah yang masuk ke dalamnya.”

Ibnu ‘Abbas menjawab, “Hal itu aku temukan dalam Al-Qur’an.” Ka’ab bertanya, “Di mana?” Ibnu ‘Abbas menjawab, “Bacalah wa la yahiqul-makrus-sayyi’ illa bi ahlih (Rencana yang jahat itu hanya akan menimpa orang yang merencanakannya sendiri.)”

Seperti diuraikan di atas, kadang-kadang Allah menunda kedatangan siksa sebagai bukti kasih sayang-Nya kepada orang-orang kafir. Tetapi, jangan dikira bahwa Allah tidak akan menyiksa mereka bila mereka tidak tobat, sebab bila mereka di dunia belum merasakan siksaan, di akhirat kelak pasti akan mereka alami juga.

Di akhirat nanti baru mereka yakini ke mana orang yang zalim itu ditempatkan Allah sesuai dengan ancaman Allah ketika mereka masih di dunia.

وَسَيَعْلَمُ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْٓا اَيَّ مُنْقَلَبٍ يَّنْقَلِبُوْنَ

Dan orang-orang yang zalim kelak akan tahu ke tempat mana mereka akan kembali. (asy-Syu’ara’/26: 227)

Sekalipun azab itu sudah pasti datang, orang-orang yang tidak meng-imaninya masih saja menentang kedatangannya dengan tidak menghentikan segala perbuatan jahatnya.

Dalam ayat ini, Allah mengungkapkan nasib mereka kelak dengan mengatakan bahwa tidak ada yang mereka tunggu-tunggu itu melainkan siksaan seperti apa yang telah menimpa manusia dahulu kala disebabkan keingkaran mereka terhadap risalah para rasul.

Tetapi, ujung ayat ini menegaskan bahwa sunah Allah menentukan bahwa setiap orang yang mendustakan ajaran-Nya pasti akan disiksa dengan azab yang tidak akan berubah dan tidak akan dipindahkan kepada orang lain. Allah tidak akan melimpahkan rahmat-Nya pada seseorang yang sudah tercatat sebagai pembangkang dan pendosa, serta tidak akan memikulkan dosanya kepada diri orang lain.

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰى

Dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain. (al-An’am/6: 164)

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Saba’ Ayat 44-45