Beranda blog Halaman 261

Tiga Macam Bentuk Jadal (Perdebatan) Yang Direkam dalam Al-Quran

0
Bentuk Jadal
Ragam Bentuk Jadal dalam Al-Quran

Sebagai makhluk yang dianugrahi akal oleh Allah, manusia memiliki satu keistimewaan yaitu kemampuan untuk berpikir dan bernalar logis. Akal inilah yang menurut Hamka dalam Pandangan Hidup Muslim (hal. 62) membuat sosok manusia menjadi lebih utama daripada hewan. Semakin maju kehidupannya maka semakin maju pula akalnya, berbeda dengan hewan yang hanya memiliki insting.

Karena dianugrahi akal inilah manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, dan karenanya pula manusia cenderung suka berdebat atau dalam bahasa Arab disebut dengan kata jadal atau munazharah. Allah berfirman dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 54.

…وَكَانَ الْإِنْسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا

“…Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak debatannya.

Bahkan salah satu metode dakwah yang digariskan oleh Allah dalam Al-Quran adalah dengan metode debat ini, misalnya dapat dijumpai dalam firman Allah Q.S. Al-Nahl [16]: 125.

…وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ…

…dan debatlah mereka dengan cara yang baik…

Dalam tafsirnya (4/613), Ibn Katsir menjelaskan bahwa berdebat atau dialog adalah salah satu cara untuk mendakwahkan agama Allah, khususnya terhadap mereka yang menentang dan mendebat kebenaran Islam. Tentu saja disertai dengan cara yang baik dan adab-adabnya.

Baca Juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan

Nah, persoalan bagaimana bentuk dan metode yang digunakan Al-Quran ketika beradu argumen (jadal) dengan para penentangnya ini tak luput dari perhatian para ulama. Pembahasan ini dalam ulumul qur’an kemudian diberi tajuk jadal Al-Quran yang beberapa macamnya akan coba dibahas secara ringkas dalam artikel ini.

Macam-Macam Bentuk Jadal dalam Al-Quran

Ada banyak ragam bentuk jadal dalam Al-Quran, namun berikut akan ditampilkan beberapa contohnya saja.

1. Jadal antara Allah dengan Orang-Orang Kafir

Contohnya ketika orang-orang yang mengingkari nubuwah Muhammad serta risalah yang dibawanya, lalu mereka menuntut kepada Allah agar seandainya menurunkan utusan dari kalangan malaikat, tentu mereka akan beriman.

Namun hal ini langsung disanggah oleh Allah pada ayat selanjutnya, yakni Q.S. Al-An’am [6]: 9 yang berbunyi,

وَلَوْ جَعَلْنَاهُ مَلَكًا لَجَعَلْنَاهُ رَجُلًا وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِمْ مَا يَلْبِسُونَ

Dan sekiranya Kami jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan Kami akan menjadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu

Al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir (4/149) menjelaskan bahwa seandainya Allah mengutus malaikat, tentu malaikat itu akan ‘menyamar’ dalam bentuk manusia agar memungkinkan adanya interaksi dan penyampaian risalah kepada mereka. Mereka tak akan mampu melihat malaikat yang tercipta dari cahaya. Sehingga ujung-ujungnya akan sama saja keadaannya sebagaimana pengutusan nabi Muhammad.

Maka jelaslah hal di atas hanya alibi mereka karena tidak mau beriman kepada Rasulullah. Mereka mencari celah untuk mendukung ketidak berimanan mereka, namun Allah membantahnya pada ayat tesebut.

2. Jadal antara Nabi dengan Kaumnya

Bentuk jadal pada model kedua ini bisa ditemukan antara nabi Ibrahim dengan kaumnya yang dimunculkan pada beberapa tempat dalam Al-Quran, salah satunya ketika nabi Ibrahim as. berdialog dengan kaumnya seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 51-70.

Pada ayat-ayat tersebut dikisahkan bahwa nabi Ibrahim mengajak berpikir kaumnya tentang konsep ketuhanan, spesifiknya soal penyembahan berhala. Maka, pertama-tama nabi Ibrahim menghancurkan semua berhala-berhala kaumnya itu, hingga akhirnya beliau ‘disidang’ oleh kaumnya.

Mereka bertanya kepada Ibrahim, ‘apakah engkau yang melakukan ini kepada tuhan-tuhan kami wahai Ibrahim?’, nabi Ibrahim menjawab, ‘berhala paling besar yang melakukannya, tanyalah dia kalau dia memang bisa berbicara’. Seketika mereka pun sadar akan kekeliruannya dan mengakui bahwa berhala-berhala yang selama ini tidak memiliki kekuasaan apa-apa.

Nabi Ibrahim lalu menutup perdebatannya dengan pertanyaan seperti disebutkan pada ayat 66-67 yang berbunyi,

قَالَ أَفَتَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكُمْ شَيْئًا وَلَا يَضُرُّكُمْ أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ ۖ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Ibrahim berkata: Maka mengapa kamu menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat maupun mudharat sedikitpun kepada kamu? Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka tidakkah kalian berpikir?

Al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir (2/268) menyebutkan ada tiga kecacatan logika dalam penyembahan berhala, 1). Berhala itu berupa benda mati, 2). Mereka menyembah benda mati yang tidak bisa memberi manfaat atau membahayakan, 3). Berhala tidak bisa berbicara, bahkan tak bisa melindungi diri sendiri, maka bagaimana bisa melindungi mereka?

Anehnya, kaumnya ini malah kembali menentang nabi Ibrahim bahkan berkehendak membakar beliau, padahal sebelumnya mereka sadar akan kesalahannya dan argumentasinya sudah dikalahkan. Wa kana al-insanu akthara syai’in jadala.

3. Jadal antara Sesama Manusia

Contohnya adalah perdebatan pemilik dua kebun yang terdapat pada Q.S. al-Kahfi [18]: 32-44, al-Sya’rawi dalam Surah al-Kahfi (hal. 32-42) menyebutkan bahwa sang pemilik kebun dengan banyaknya nikmat yang diberikan kepadanya, malah membuatnya angkuh dan lupa diri kepada Dzat yang memberikannya kenikmatan tersebut, sampai-sampai mengklaim kekayaannya itu akan kekal abadi, bahkan ia mengingkari hari kiamat.

Logika yang dipakainya sangat materialistis, yakni kekayaan dan banyaknya anak di dunia ini adalah tanda ridha-Nya Allah, kalaupun benar nantinya mereka akan dibangkitkan, ia yakin di akhirat akan mendapatkan nikmat yang serupa. Padahal kenyataannya belum tentu begitu, keduanya bisa saja menjadi nikmat maupun azab dari Allah, tergantung bagaimana seseorang menyikapi amanah Allah tersebut.

Lalu sahabatnya mencoba mengajaknya merenung, sebagaimana digambarkan pada ayat 37 yang bunyinya,

قَالَ لَهُ صَاحِبُهُ وَهُوَ يُحَاوِرُهُ أَكَفَرْتَ بِالَّذِي خَلَقَكَ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ سَوَّاكَ رَجُلًا

Temannnya berkata kepadanya sambil berdialog dengannya: “Apakah kamu ingkar kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?

Baca Juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Masih menukil al-Sya’rawi, temannya itu seakan-akan berkata kepadanya, ‘apakah kamu lupa siapa dirimu sebenarnya sampai berkata demikian? bukankah dulu kau hanyalah bongkahan tanah, lalu Allah meniupkan ruh kepadamu? Lalu dia juga yang menciptakanmu dari air mani hingga menjadi manusia yang utuh? Atau seakan-akan ia mengatakan apakah kamu yang menumbuhkan sendiri tanaman di kebunmu itu ataukah Allah yang menumbuhkannya?

Si pemilik kebun terdiam dan tidak bisa membantah argumentasi temannya tersebut. Namun ia tetap dalam kekufuran, hingga akhirnya azab Allah menimpanya dan ia ‘terpaksa’ sadar dan mengakui ke Maha Kuasa-an Allah serta kelemahan dirinya.

Sebetulnya masih ada lagi bentuk perdebatan yang lain dalam Al-Quran, seperti ketika Allah menyebutkan ayat-ayat kauniyah sebagai dalil untuk menyadarkan lawan debat seperti pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 21-22, ada juga membatalkan pendapat lawan dengan membuktikan sebaliknya seperti pada Q.S. Al-An’am [6]: 91, menghimpun dan memerinci seperti tercantum dalam Q.S. Al-An’am [6]: 143-144 dan masih banyak lagi yang tentu menarik untuk dieksplorasi lebih lanjut. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 (2)

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 berbicara mengenai hitungan hari antara wamariah dan syamsiah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 (1)


Dari saat matahari terbenam pada suatu saat, hingga matahari terbenam pada hari berikutnya disebut satu hari satu malam menurut kebiasaan dan anggapan dalam perhitungan tahun qamariah. Tetapi dalam perhitungan tahun syamsiah, yang disebut sehari semalam ialah waktu dari pertengahan malam hingga pertengahan malam berikutnya.

Dengan ditegaskannya tentang pergantian siang dan malam sebagai dasar untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungannya dalam mengharap keutamaan Allah, jelaslah bahwa ayat ini menyiratkan keluwesan penang-galan dalam Islam. Sistem penanggalan yang didasari pada penggantian siang dan malam disusun berdasarkan hanya pergerakan (semu) dari matahari terhadap bumi.

Sistem ini sama sekali tidak melibatkan pergerakan bulan terhadap bumi. Ini adalah sistem penanggalan matahari (tahun syamsiah/ solar year) yang menyatakan bahwa satu tahun sama dengan 365 ditambah seperempat kali malam berganti siang dan sebaliknya.

Oleh karena itu, menurut sistem ini satu tahun lamanya 365 hari untuk tahun-tahun basitah dan 366 hari untuk tahun-tahun kabisah.  Secara umum, satu tahun syamsiah adalah lamanya waktu dari tanggal 1 Januari hingga tanggal 31 Desember.

Penghitungannya didasarkan pada waktu yang dibutuhkan bumi untuk mengelilingi matahari. Sistem penanggalan ini identik dengan tahun Masehi yang sekarang digunakan secara meluas dalam pergaulan internasional.

Satu tahun dalam perhitungan tahun qamariah ialah lama waktu dari tanggal 1 Muharram hingga tanggal 30 Zulhijjah, yang lamanya 354 hari untuk tahun-tahun basitah atau 355 hari untuk tahun-tahun kabisah. Perhitungan serupa ini dinamakan hisab ‘urfi.

Perhitungan tahun qamariah didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi. Dari bulan sabit ke bulan sabit berikutnya disebut 1 bulan, dan apabila telah 12 kali terjadi bulan sabit dianggap telah genap satu tahun qamariah.


Baca juga: Ramadhan sebagai Bulan Pewahyuan Al-Qur’an Perspektif Ibnu Ishaq


Ayat ini menegaskan bahwa sistem penanggalan Masehi atau tahun syamsiah boleh digunakan umat Islam dalam pergaulan internasional, terutama dalam melakukan transaksi dan bisnis (muamalah) seperti biasa dengan umat manapun secara nasional.

Sistem penanggalan Hijriah yang bersifat tahun bulan (lunar year) secara terbatas dapat digunakan untuk menentukan saat-saat beribadah, yaitu penentuan waktu 1 Ramadan, 1 Syawal, dan 10 Zulhijah. Tidak perlu dipaksakan penggunaan tahun Hijriah ini untuk kehidupan muamalah dalam pergaulan dan transaksi sehari-hari secara nasional dan internasional.

Pada kenyataannya penanggalan atau tahun Masehi juga dipakai untuk menentukan waktu ibadah lain, yaitu waktu salat, karena waktu salat ini sepenuhnya ditentukan oleh pergerakan (semu) matahari dan sama sekali tidak berurusan dengan pergerakan bulan terhadap bumi.

Jadi walaupun ada ayat Al-Qur’an yang menyiratkan penggunaan tahun Hijriah (yang notabene tahun qamariah) tetapi ayat ini memfirmankan perintah Allah untuk menggunakan tahun matahari yang manapun untuk muamalah dan secara umum untuk pergaulan dengan umat lain.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 13-14


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 (1)

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 bagian satu berbicara mengenai tanda-tanda kekuasaan Allah SWT. tanda-tanda tersebut agar dipikirkan baik-baik oleh manusia. salah satu contohnya adalah adanya siang dan malam.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 9-11


Ayat 12

Kemudian Allah swt menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang ada di alam semesta, dengan maksud agar manusia memikirkan dan merenungkan semua ciptaan-Nya di alam ini. Allah swt menjelaskan bahwa Dia menciptakan malam dan siang, masing-masing sebagai tanda kekuasaan-Nya.

Siang dan malam merupakan dua peristiwa yang selalu silih berganti yang sangat berguna bagi kemaslahatan hidup manusia dalam menjalankan kewajiban agama dan urusan-urusan duniawi. Pergantian yang teratur seperti itu merupakan tanda kekuasaan Allah yang sangat jelas bagi manusia.

Barang siapa yang memperhatikan dan memikirkan pergantian siang dan malam tentu yakin bahwa alam semesta ini ada yang mengaturnya dengan aturan-aturan yang sangat baik dan tepat, dan juga menunjukkan bahwa pengaturnya sangat teliti. Dengan demikian, manusia akan terbimbing untuk mengakui adanya Pencipta jagat raya ini dan seluruh isinya.

Di samping itu, adanya pergantian siang dan malam merupakan anugerah yang dapat dirasakan secara langsung oleh manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Di waktu malam mereka dapat beristirahat untuk melepaskan lelah. Allah juga menjadikan tanda-tanda malam datang yaitu hilangnya cahaya matahari dari ufuk barat, sehingga lama kelamaan hari menjadi gelap gulita.

Hal ini merupakan tanda kekuasaan-Nya. Allah menjadikan siang yang terang benderang sebagai tanda kekuasaan-Nya pula guna memberikan kesempatan kepada manusia untuk mencari kebutuhan hidup diri mereka sendiri dan keluarganya.

Di sisi lain, perubahan siang dan malam itu sangat berguna bagi manusia untuk mengetahui bilangan tahun, bulan, dan hari serta perhitungannya, terkecuali di daerah kutub utara dan selatan.

Dalam Al-Qur’an, Allah tidak saja memberitahu manusia mengenai ciptaan-Nya, namun juga memberikan indikasi-indikasi untuk memanfaat-kannya untuk kesejahteraan manusia.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membasuh Bagian Dalam Mata Saat Wudhu


Dalam kaitan dengan matahari dan bulan, Allah memberikan petunjuk yang sangat jelas bahwa siang dan malam, atau dengan kata lain peredaran matahari dan bulan, akan sangat berguna untuk dijadikan patokan dalam membuat penanggalan atau kalender.

Ayat yang secara jelas menyatakan mengenai penganggalan adalah ayat 36 Surah at-Taubah/9, yang penggalannya  berikut:

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya terdapat empat bulan haram. Itulah agama yang lurus……”

Satu ayat lain yang serupa adalah ayat 5 dari Surah Yµnus/10:

“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan waktu …………”

Siang dan malam terjadi karena perputaran bumi pada porosnya yang bergerak dari barat ke timur, yang memberikan kesan kepada manusia seolah-olah matahari bergerak dari timur ke barat. Apabila matahari muncul di ufuk timur disebut hari telah siang dan apabila matahari terbenam di ufuk barat disebut hari telah malam.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 (2)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 9-11

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 9-11 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keistimewaan al-Qur’an. kedua bebicara mengenai orang-orang yang sering mengutuk dirinya sendiri.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 8


Ayat 9-10

Allah swt menyatakan keistimewaan-keistimewaan kitab-Nya yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yaitu kitab Al-Qur’an, dengan menunjukkan fungsi dari kitab itu sendiri serta faedahnya bagi seluruh umat manusia. Di antara faedah Al-Qur’an yang disebutkan dalam ayat ini adalah:

Pertama, Al-Qur’an memberi petunjuk kepada orang yang mau menjadi-kannya sebagai pedoman ke jalan yang lurus. Yang dimaksud jalan yang lurus dalam ayat ini ialah agama Islam, yang berpangkal pada ajaran tauhid, yaitu keyakinan bahwa tidak ada kekuatan yang dapat menciptakan dan menguasai alam semesta ini kecuali Allah swt.

Kekuasaan-Nya tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Dia adalah Penguasa alam yang sebenarnya, dan Zat yang mempunyai kekuasaan Yang Mahabesar.

Kedua, Al-Qur’an memberi kabar gembira kepada orang-orang yang percaya kepada Allah swt dan rasul-Nya, berbuat amal baik, melakukan apa saja yang diperintahkan Allah, dan menghindarkan diri dari berbuat sesuatu yang dilarang-Nya.

Kabar gembira itu berupa pahala yang berlimpah yang akan diterima di akhirat, sebagai imbalan dari amal saleh yang mereka lakukan di dunia.

Ketiga, Al-Qur’an adalah peringatan bagi orang-orang yang tidak mem-percayai hari pembalasan dan tidak mengakui adanya pahala dan siksa yang akan diberikan Allah di hari kiamat sebagai balasan bagi perbuatan mereka ketika hidup di dunia.

Ancaman yang ditujukan kepada mereka ialah azab yang pedih sebagai balasan dari perbuatan maksiat yang menodai jiwa mereka. Termasuk di dalamnya orang-orang ahli kitab yang tidak mengakui kerasulan Nabi Muhammad saw.


Baca juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan


Ayat 11

Kemudian Allah swt menjelaskan bahwa di antara manusia ada yang mengutuk dirinya, keturunannya, bahkan hartanya dengan sumpah serapah dan doa yang berisi keinginan-keinginan yang jelek pada saat marah, seperti doa, “Wahai Tuhan! Turunkanlah laknat kepadaku, binasakanlah aku!”

Mereka mengucapkannya sebagaimana ketika berdoa kepada Allah dengan doa yang baik, agar diberikan kesehatan dan dilimpahkan keselamatan kepadanya, keturunan, dan harta bendanya.

Seandainya Allah swt mengabulkan doa mereka yang jelek itu, niscaya mereka tidak bisa menghindarkan diri dari akibatnya. Akan tetapi, Allah swt tidak berbuat demikian. Hal ini tidak lain hanyalah karena kasih sayang Allah yang Mahabesar. Allah swt berfirman:

۞ وَلَوْ يُعَجِّلُ اللّٰهُ لِلنَّاسِ الشَّرَّ اسْتِعْجَالَهُمْ بِالْخَيْرِ لَقُضِيَ اِلَيْهِمْ اَجَلُهُمْۗ

Dan kalau Allah menyegerakan keburukan bagi manusia seperti permintaan mereka untuk menyegerakan kebaikan, pasti diakhiri umur mereka. (Yµnus/10: 11)

Di akhir ayat, Allah swt menjelaskan bahwa manusia mempunyai sifat tergesa-gesa. Apabila ia menginginkan sesuatu sesuai kehendak hatinya, pikirannya tertutup untuk menilai apa yang diinginkannya itu, apakah bermanfaat bagi dirinya atau merugikan.

Hal itu semata-mata didorong oleh sifat tergesa-gesa untuk mencapai tujuannya, tanpa dipikirkan dengan matang terlebih dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya manusia tertarik pada keadaan lahiriah dari sesuatu tanpa meneliti lebih mendalam hakikat dan rahasia dari sesuatu itu.

Dalam ayat ini terdapat sindiran terhadap orang-orang musyrik Arab yang mendustakan kebenaran Al-Qur’an, karena mereka tidak mau mempercayai adanya Hari Pembalasan. Mereka lebih menyenangi dunia yang dapat mereka nikmati langsung, daripada memikirkan janji dan ancaman yang akan mereka terima di Hari Pembalasan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 12 (1)


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 8

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 8 berbicara mengenai perintah Allah kepada Bani Israil. Mereka diperintah agar benar-benar bertaubat dan sadar serta berpegang teguh kepada Taurat.


Baca sebelumnya: Tafsi Surah Al Isra’ Ayat 7


Ayat 8

Kemudian Allah swt memerintahkan agar mereka benar-benar sadar, bertobat, dan berpegang pada ajaran Taurat serta menjauhi perbuatan maksiat. Dengan demikian, Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada mereka. Janji Allah seperti ini tentu akan terlaksana dan pasti mereka rasakan.

Tersebut dalam sejarah bahwa pada tahun 614 M yakni sesudah 483 tahun dari peristiwa penghancuran Yerusalem oleh Hadrianus, bangsa Persia di bawah pimpinan Kisra Barwiz merebut kota-kota di Palestina dari tangan bangsa Romawi.

Mereka melawan orang Romawi menindas orang Yahudi, dan membatalkan kebiasaan orang-orang Nasrani membuang sampah ke Kuil Sulaeman. Mereka juga menjual orang-orang Nasrani yang berdiam di Yerusalem ke kota orang-orang Yahudi, dan membakar gereja-gereja mereka.

Kemudian pada tahun 624 M, bangsa Romawi di bawah pimpinan Kaisar Heraclius I dapat merebut Palestina kembali dari tangan bangsa Persia. Bahkan, Heraclius dapat memasuki pedalaman kerajaan Persia, dan memadamkan api yang disembah Persia.

Kemenangan bangsa Romawi ini bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang Badar melawan kaum musyrikin Mekah (Ramadan tahun 2 H) atau Januari 624 M, kurang lebih 9 tahun sesudah bangsa Romawi dikalahkan oleh bangsa Persia.

Akan tetapi, perdamaian antara bangsa Romawi dan Persia baru terjadi pada tahun 928 M, sesudah Kisra Evermiz dibunuh oleh perwiranya sendiri. Pada tahun tersebut, seluruh Palestina kembali berada di bawah kekuasaan Romawi dan palang salib pun dikembalikan ke Yerusalem.

Nabi Muhammad saw, yang diutus sejak tahun 610 M sebagai nabi pembawa rahmat bagi seluruh alam, pada tahun 622 M hijrah ke Medinah. Setibanya di Medinah, beliau mengadakan perjanjian dengan orang-orang Yahudi yang ada di kota itu. Perjanjian itu yang dikenal dengan Piagam Medinah.

Isinya menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi adalah warga kota Medinah di samping kaum Ansar dan Muhajirin. Mereka dibiarkan tetap menganut agama mereka. Akan tetapi, mereka berkhianat dan mengadakan makar untuk membunuh Rasulullah. Mereka lalu diperangi oleh Rasulullah, dan di antaranya ada yang diusir dari Medinah, yaitu Bani Na«ir.

Setelah Umar bin Khattab menjadi khalifah, beliau menaklukkan negeri Syam (Suria) pada tahun 636 Masehi. Penduduk Yerusalem (Baitul Makdis) di bawah pimpinan Patrip Suverianus menyerahkan kota itu kepadanya, dan piagam perdamaian disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.


Baca juga: Benarkah Mushaf Rotterdam Tertua Se-Nusantara? Ini Data Pembandingnya


Umar bin Khattab lalu mendirikan masjid di tempat Kiblat Masjidil Aqsa (Kuil Sulaeman), dan membersihkan kota Yerusalem. Maka kota Yerusalem yang sudah hilang selama ini muncul kembali dengan megah.

Setelah negeri Syam seluruhnya termasuk Palestina jatuh ke tangan kaum Muslimin, Kaisar Romawi Heraclius I naik ke suatu bukit dan menghadap ke Suria. Lalu ia melambaikan tangannya dengan mengucapkan, “Selamat tinggal Suria untuk selama-lamanya.”

Dengan demikian, bangsa Yahudi lepas dari cengkeraman, aniaya, dan penindasan bangsa Romawi. Mereka kembali bebas beribadah di sekeliling Kuil Sulaiman (Masjidil Aqsa). Inilah rahmat dari Allah swt yang Maha Besar.

Demikianlah keterangan yang disebutkan dalam buku-buku sejarah. Adapun dalam Al-Qur’an, tidak diterangkan dengan rinci, karena Al-Qur’an bukan buku sejarah.

Sementara itu Allah swt tetap mengingatkan bahwa apabila mereka kembali mengulangi kedurhakaan mereka, seperti yang pernah dilakukan oleh nenek moyang mereka, niscaya Allah swt akan menurunkan azab-Nya kembali dengan yang lebih pedih.

Di samping itu, Allah menyediakan azab api neraka Jahanam sebagai penjara yang abadi bagi mereka di akhirat, karena hukuman itulah yang pantas dijatuhkan terhadap orang-orang yang tidak mau beriman.


Baca setelahnya: Tafsi Surah Al Isra’ Ayat 9-11


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 7

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 7 berbicara mengenai hal-hal yang awalnya dikhususkan kepada Bani Israil namun hal tersebut juga berlaku terhadap seluruh manusia sepanjang masa. Misalnya apabila berbuat baik maka akan mendapat balasan baik dst.


Baca sebelumnya: Tafsi Surah Al Isra’ Ayat 4-6


Ayat 7

Allah menegaskan bahwa apabila Bani Israil berbuat baik, maka hasil kebaikan itu untuk mereka sendiri. Namun demikian, ketentuan yang terdapat dalam ayat ini tidak khusus untuk mereka sendiri, melainkan berlaku umum untuk seluruh manusia sepanjang masa. Dengan demikian, apabila manusia berbuat baik atau berbuat kebajikan, maka balasan dari kebajikan itu akan dirasakannya, baik di dunia maupun di akhirat.

Kebaikan yang akan mereka terima di dunia ialah mereka akan menjadi umat yang kuat mempertahankan diri dari maksud jahat yang direncanakan oleh para musuh mereka. Mereka akan memperoleh kesempatan untuk melipatgandakan harta sebagai sarana hidup, dan melanjutkan keturunan sebagai khalifah di muka bumi.

Mereka akan menjadi bangsa yang kuat, yang dapat mewujudkan budaya yang tinggi untuk lebih menggairahkan kehidupan mereka, dan menjamin kelancaran usaha dan ibadah mereka kepada Allah swt. Sedangkan kebahagiaan yang abadi adalah surga yang penuh dengan kenikmatan yang disediakan dan dijanjikan kepada mereka, sebagai bukti keridaan Allah swt atas kebajikan yang mereka lakukan.

Apabila mereka berbuat jahat dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan wahyu dan fitrah kejadian mereka sendiri, seperti menentang kebenaran dan norma-norma dalam tata kehidupan mereka sendiri, maka akibat dari perbuatan mereka itu adalah kemurkaan Allah kepada mereka.

Dengan demikian, mereka akan menjadi bangsa yang bercerai-berai karena diperbudak hawa nafsu, sehingga kelompok yang satu berusaha menundukkan kelompok yang lain. Itulah sebabnya mereka tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan diri mereka dari kehancuran dan maksud-maksud jahat musuh.

Mereka akan menjadi bangsa yang tertindas dan terjajah. Sedang keburukan yang mereka rasakan di akhirat ialah azab api neraka sebagai siksaan yang paling pedih.

Lalu Allah mengungkapkan kembali hukuman sebagai akibat kejahatan yang dilakukan Bani Israil untuk kedua kalinya. Pada saat itu, Allah membiarkan mereka dalam keadaan kacau-balau ketika musuh-musuh datang untuk menaklukkan mereka.


Baca juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan


Kekalahan kedua ini benar-benar mereka rasakan sebagai penderitaan yang tiada tara dan mempermalukan mereka. Musuh memasuki Masjidil Aqsa secara paksa dan sewenang-wenang untuk merampas kekayaan yang mereka simpan dan menghancurkan syiar-syiar agama mereka, seperti yang dilakukan pada penaklukan pertama.

Dengan demikian, mereka merasakan penderitaan yang berlipat ganda. Mereka mengalami penderitaan materil berupa kehilangan kekuasaan, harta benda, dan wanita-wanita yang dijadikan tawanan oleh musuh. Mereka juga mengalami penderitaan moril karena tempat-tempat suci dan lambang-lambang kesucian agama mereka dilecehkan dan dihancurkan.

Menurut sejarah, yang menghancurkan mereka untuk kedua kalinya adalah bangsa Romawi yang kemudian menguasai Palestina. Mereka membunuh dan menawan orang-orang Yahudi serta menghancurkan Baitul Makdis dan kota-kota yang lain.

Kaisar Romawi pertama yang memasuki Baitul Makdis adalah Kaisar Titus pada tahun 70 Masehi. Ia membakar Masjidil Aqsa, dan merampas barang-barang berharga yang terdapat di dalamnya, sehingga dalam peristiwa ini kurang lebih 1 juta orang Yahudi tewas.

Selanjutnya Kaisar Hadrianus yang memerintah dari tahun 117 sampai dengan 158 Masehi, juga menguasai Baitul Makdis dan melakukan berbagai tindakan perusakan di masjid itu.

Hadrianus mengubah kota ini menjadi Aelina Capitolian (kota Aelina). Masjidil Aqsa diruntuhkan dan di atasnya didirikan sebuah bangunan yang dinamai Yupiter Capitolina. Lalu kerajaan Yahudi juga dihancurkan sehingga bangsa Yahudi tidak mempunyai kerajaan lagi. Mereka bercerai-berai ke segenap penjuru dunia. Peristiwa ini terjadi tahun 132 Masehi.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 8


(Tafsir Kemenag)

Perjalanan Teks Al-Quran: Transisi Media dan Otoritas

0
Teks Al-Quran
Teks Al-Quran

Bagi sebagian teman yang belum belajar lebih dalam tentang sejarah al Quran, mungkin belum tahu bagaimana perjalanan teks al-Quran dan transisi otoritas dari masa ke masa. Al-Quran yang kita kenal saat ini melewati dinamika sejarah panjang sejak diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Artikel ini akan mengungkap aspek sejarah al-Quran terutama kaitannya dengan proses transisi media untuk mengenal al-Quran di masyarakat.

Perjalanan teks Al Quran berawal secara dominan dari teks lisan, terlepas dari perdebatan sejarah bagaimana teks tulisan itu pertama kali ada. Sebagai teks lisan karakternya tentu berbeda dengan teks tulisan seperti yang kita pahami sekarang. Sebagai teks lisan maka al-Quran bagian dari alat komunikasi. Al-Quran menjadi bagian dari keseharian, bagian dari kehidupan Orang Arab saat itu bersama dengan Nabi.

Al-Quran selama 22 tahun lebih, hampir 23 tahun,  dengan karakter kelisanannya, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat awal penerima wahyu. Tanpa diminta untuk merasakannya pun, al-Quran menjadi bagian dari kedirian Orang Arab saat itu.

Sebagai teks lisan, Nabi sebagai penerima wahyu menjadi otoritas tunggal untuk melakukan konfirmasi terhadap setiap informasi, kegamangan, dan kegalauan yang mereka temukan dari al-Quran atau bahkan kegalauan yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari hari.

Ada problem apa pun datang ke Nabi. Maka Nabi saw akan jawab dengan al-Quran. Kalau tidak ada ayat al-Qurannya, maka Nabi menjawab dengan pernyataaannya sendiri. Pernyataan ini yang kemudian menjadi hadis.

Jadi di dalam praktik keseharian Nabi dan para sahabat pada saat itu teks Al-Quran menyetubuh. Artinya menjadi bagian yang tak terpisahkan. Lalu ada otoritas tunggal, yaitu Nabi sebagai sumber rujukan untuk semuanya.

Tetapi semuanya mulai bergeser. Karena kelisanan itu membuka ruang dinamika yang sangat terbuka dan membuka berbagai kemungkinan. Ini yang terjadi dalam sejarah al-Quran. Ada ragam cara baca dan ragam cara pemahaman. Tidak jarang perbedaan itu membawa problem-problem sosial, bahkan membawa problem politik.

Maka sesudah Nabi Saw meninggal, orang membutuhkan media tambahan. Media tulisan yang dulu sekedar pendamping, menjadi sesuatu yang sangat krusial. Mulai dari masa kodifikasi di masa Utsman bin Affan kemudian secara khat penulisan terus disempurnakan dari masa ke masa mulai dari Abul Aswad Al-Duwali, Yahya bin Ya’mur sampai masa al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi.

Baca Juga: Sebagian Karakteristik Ortografi Mushaf Utsmani

Umat Musllim dan masyarakat pada umumnya di masa ini mulai mengenal teks tertulis dari al-Quran yang relatif sempurna. Sempurna dalam arti bila dibandingkan dengan teks-teks sebelumnya yang hanya berfungsi nemonik. Tetapi teks ini masih berupa teks tulisan yang fungsinya masih kolaborasi. Artinya dia adalah teks penyerta dari teks lisan yang menjadi acuan utama al-Quran untuk ditransmisikan dan diajarkan. Jadi tetap otoritas lisan dan personal para sahabat, para tabiin, para guru-guru Quran itu menjadi rujukan utama.

Waktu terus berjalan panjang. Singkat cerita masuklah ke fase baru, yaitu fase percetakan. Masuk ke masa cetak, dari sini perjalanan teks Al-Quran mulai berubah. Sebelum masa percatakan dibutuhkan konfirmasi personal secara langsung dengan orang, setelah ditemukan mesin cetak orang mulai mengenal konsep intertekstualitas. Setiap pertanyaan bisa dikonfirmasi dengan teks. Dunia pengetahuan sendiri mulai mengalami masifikasi, syarah dan sebagainya mulai berkembang lebih kuat karena dibantu oleh masifikasi percetakan.

Disadari atau tidak, ada proses transisi otoritas di dalam pemaknaan al-Quran saat itu. Jadi kalau dulu orang masih mengandalkan kepada kepada otoritas lisan, sekarang orang bisa melalukan crossing dengan teks-teks yang lain karena masifikasi teks yang begitu cepat.

Sampai titik itu saja sudah mengalami pergeseran yang luar biasa. Sekarang tafsiralquran.id berada di fase keempat bahkan fase kelima. Berada di fase yang jauh lebih berbeda dengan fase pertama.

Kita masuk di fase digital. Di fase digital ini ada masifikasi yang jauh lebih masif dibandingkan dunia printing. Tidak hanya itu, kalau pada masa printing kita mengalami transisi dari otoritas personal ke otoritas teks, maka pada fase digital, kita mengalami fase yang lain lagi.

Di dalam dunia digital kita mengenal orang-orang yang disebut dengan digital native, sebagian besar temen-temen mungkin digital native. Orang-orang yang berumur 40-an tahun ke atas, bisa dikatakan digital imigrants. Berbeda dengan digital native, orang-orang digital immigrants sedikit banyak masih dipengaruhi oleh kultur-kultur yang ada disekitarnya.

Bagaimana pun masifikasi tulisan tadi, digital immigrants tidak sepenuhnya mematikan otoritas otoritas lisan yang personal. Maka mereka ini, sekalipun sudah punya buku, dalam kesempatan lain masih mengandalkan otoritas personal. Karena sisi kelisanan tidak sepenuhnya hilang. Karena budaya membaca, budaya literasi juga tidak banyak. Artinya, karakter kelisanan itu masih ada.

Nah bagaimana digital immigrants seperti banyak orang tua kita? Sekalipun ada dunia digital, tetapi mereka tetap akan mengkonfirmasi pengetahuan kepada sumber-sumber personal.

Baca Juga: Konsep Sunnah Muttaba‘ah dalam Al-Qur’an: Talaqqi Digital

Berbeda dengan digital native, bagi mereka konfirmasi pengetahuan itu juga adanya di dunia digital. Maka, penting apa yang disampaikan Prof. Quraish, bahwa rumus masuk dunia digital itu adalah maa laa yudraku kulluh laa yutraku kulluh (apa yang tidak bisa didapatkan seluruhnya, maka tidak ditinggalkan seluruhnya).

Karena digital native yang mungkin akan membaca tulisan di tafsiralquran.id. Mereka akan mengkonfirmasi pengetahuan itu juga ke dunia digital. Padahal pada saat yang sama, sifat kolom dalam dunia digital itu berbeda sekali dengan sifat artikel jurnal, apalagi dengan sifat buku. Empat halaman berbanding dua puluh tiga puluh halaman, berbanding tiga ratusan halaman. Tentu empat halaman, beberapa karakter itu, tidak akan bisa mengungkapkan semuanya. Wallahu A’lam.

(Artikel ini disarikan dari materi yang disampaikan Ahmad Rafiq, Ph.d pada saat launching tafsiralquran.id)

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 4-6

0
tafsir surah al isra'
tafsir surah al isra'

Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 4-5 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai keburukan yang akan dilakukan oleh Bani Israil. Kedua berbicara mengenai sejarah Bani Israil yang mengambil alih kekuasaan di Palestina.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 2-3


Ayat 4-5

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah telah mewahyukan kepada Musa a.s., sebagaimana termaktub dalam Kitab Taurat, bahwa Bani Israil akan membuat keonaran dua kali di bumi Palestina, sehingga Allah meng-gerakkan musuh-musuh mereka untuk membunuh, merampas, dan meng-hancurkan negeri mereka.

Sesudah bertobat, mereka dilepaskan Allah dari kesengsaraan ini, kerajaan mereka dikembalikan, dan dianugerahi kekayaan dan kekuatan, baik dalam bidang harta benda, maupun kekuatan dalam bidang keturunan dan pertahanan negara.

Akan tetapi, mereka kembali membuat keonaran, maka Allah swt mengerahkan kembali musuh-musuh mereka untuk menghancurkannya. Ini sebagai azab di dunia, dan di akhirat kelak mereka akan mendapat azab neraka Jahanam.

Di antara pembangkangan mereka ialah:

Pertama, tidak mengindahkan perintah Allah dan mengubah isi kitab Taurat.

Kedua, Kekejian mereka membunuh Zakaria dan Yahya serta usaha mereka untuk membunuh Nabi Isa a.s.

Mereka melakukan pembangkangan itu dengan menyombongkan diri dan menampakkan keangkuhan. Ini menunjukkan bahwa kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan itu telah melampaui batas peri kemanusiaan.

Allah lalu menjelaskan akibat yang akan menimpa mereka, karena pembangkangan yang pertama, yaitu mereka akan mengalami kehancuran pada saat hukuman yang telah dijanjikan Allah tiba sebagai balasan yang setimpal atas kejahatan-kejahatan mereka.

Baik juga diterangkan di sini, bahwa Bani Israil mulai tahun 975 SM telah terbagi menjadi dua kerajaan. Pertama, kerajaan Yahu©a di bagian selatan, yang terdiri atas dua suku Bani Israil, yaitu suku Yahu©a dan Benyamin. Rajanya yang pertama ialah Rehoboam, putera Nabi Sulaiman. Kedua, kerajaan Israil di bagian utara yang terdiri atas 10 suku lainnya. Rajanya yang pertama bernama Jeroboam bin Nebat.

Pada tahun 70 SM kerajaan Israil diserang oleh raja Asyur yang bernama Sanharib. Raja ini dapat memasuki kota Samurra ibu kota kerajaan Israil, menawan Bani Israil, dan membawa mereka ke ‘Asyur. Dengan demikian, runtuhlah kerajaan Bani Israil sesudah hidup selama 250 tahun.

Disebabkan oleh keonaran Bani Israil yang tidak juga berhenti, maka Allah mengerahkan tentara Babilonia di bawah pimpinan rajanya Bukhtana¡¡ar yang dikenal juga dengan nama Nebukadnezar. Tentara ini memperluas negerinya dengan jalan membunuh, merampas, dan merampok penduduk-penduduk negeri yang ditaklukkan. Mereka menyerang Bani Israil, membunuh para ulama dan pembesar dari kalangan mereka, merusak dan membakar kitab Taurat, dan bahkan menghancurkan kota suci mereka, Baitul Makdis (Yerusalem).

Itulah nasib yang diderita Bani Israil karena telah menyimpang dari bimbingan wahyu Allah, dan cenderung menuruti kehendak hawa nafsu. Bahkan mereka mengalami nasib yang lebih jelek lagi, yaitu di antara Bani Israil ada yang dibawa ke Babilonia. Tiga kali mereka ditawan oleh Nebukadnezar. Penawanan yang ketiga dan terakhir terjadi pada tahun 558 SM. Akibat dari serangan Nebukadnezar ini runtuhlah kerajaan Yahuza.


Baca juga: Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya


Ayat 6

Kemudian dijelaskan bahwa Allah memberikan giliran bagi orang-orang Bani Israil untuk berkuasa kembali. Sesudah Cyrus Kisra Persia yang pertama dari keluarga Sasan dapat mengalahkan Babilonia, dia memerdeka-kan para tawanan dari Bani Israil yang berada di sana, dan mengirimkan mereka kembali ke Palestina pada tahun 536 SM.

Dengan demikian, orang-orang Bani Israil menguasai kembali negerinya. Karunia Allah itu diberikan kepada Bani Israil ketika mereka telah bertobat, mematuhi kembali ajaran Taurat, dan menyadari kecerobohan yang telah dilakukan. Mereka dapat membangun kembali negerinya dan menyelamatkan keluarga dan harta benda mereka.

Dengan demikian, mereka kembali menjadi bangsa yang merdeka serta dapat menguasai kembali negerinya dan menjadi bangsa yang kuat dan bersatu seperti sediakala, yang mereka namai dengan kerajaan Yahudi. Hal itu adalah karena ampunan dan rahmat Allah semata.

Ayat ini menjelaskan bahwa selama manusia berada di bawah bimbingan wahyu dan berjalan sesuai petunjuk-Nya, mereka akan dapat merasakan nikmat Allah yang disediakan di dunia ini. Mereka juga dapat merasakan ketenangan dan kebahagiaan, ketenteraman hidup, ataupun kemakmuran negeri.

Sebaliknya, apabila manusia menyimpang dari tuntunan wahyu dan lebih mengikuti kehendak hawa nafsu, tentu mereka akan mengalami nasib yang buruk. Mereka tidak lagi merasakan nikmat yang disediakan Allah di alam dunia ini, bahkan nikmat-nikmat itu akan berubah menjadi bencana. Mereka tidak akan mengalami kebahagiaan dan kemakmuran dalam hidup ber-masyarakat, tetapi akan menjadi umat yang tertindas dan terusir dari negeri mereka sendiri.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Isra’ Ayat 7


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Yasin Ayat 12

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 12 menernagkan tentang kuasa Allah Swt. diantaranya, Dia mampu menghidupkan kembali orang yang telah mati, kemudian orang-orang tersebut akan dihisab (dihitung) segala amal perbuatan semasa di dunia, dari yang terkecil sampai terbesar, yang merugikan/bermanfaat, diikuti generasi setelahnya ataupun tidak, semuanya tercatat dengan baik dalam sebuah kitab.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 9-11


Kitab yang dimkasud dalam Tafsir Surah Yasin Ayat 12 menurut beberapa Mufassir adalah lauhul mahfuzh, yang tidak ada satu keterangan pun tertinggal, luput, apalagi keliru, semuanya reliabel. Dan manusia, kelak, tidak bisa menghindari dari catatan tersebut.

Ayat 12

Kemudian disebutkan pula bahwa orang harus merasa takut kepada Tuhannya, karena Allah akan menghidupkan kembali semua orang yang telah mati dan membangkitkan mereka dari kuburnya masing-masing pada hari Akhirat.

Ketika itu manusia memperoleh catatan dari seluruh perbuatan, baik besar maupun kecil, yang pernah dikerjakan di dunia dahulu. Tiada satu pun perbuatan yang luput dari catatan. Semuanya tertulis dalam buku itu dengan teliti dan. Al-Qur’an menyatakan:

وَوُضِعَ الْكِتٰبُ فَتَرَى الْمُجْرِمِيْنَ مُشْفِقِيْنَ مِمَّا فِيْهِ وَيَقُوْلُوْنَ يٰوَيْلَتَنَا مَالِ هٰذَا الْكِتٰبِ لَا يُغَادِرُ صَغِيْرَةً وَّلَا كَبِيْرَةً اِلَّآ اَحْصٰىهَاۚ وَوَجَدُوْا مَا عَمِلُوْا حَاضِرًاۗ وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ اَحَدًا

Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun. (al-Kahf/18: 49)

Tidak hanya perbuatan mereka yang tertulis dalam buku itu, tetapi juga segala amal yang mereka tinggalkan, yang diikuti dan masih dimanfaatkan orang banyak setelah ia meninggal dunia, seperti ilmu pengetahuan yang diajarkannya, harta benda yang diwakafkan, atau rumah sakit yang didirikannya untuk kesehatan masyarakat.

Demikian pula perbuatan jahat yang ditinggalkan, seperti fitnah yang pernah ditebarkannya sehingga mengakibatkan orang saling berselisih atau berpecah-belah.

Ringkasnya,  setiap perbuatan yang menimbulkan pengaruh, baik yang bermanfaat atau menimbulkan mudarat, tertulis semua dalam buku itu. Ayat ini sejalan dengan hadis Rasulullah yang berbunyi:

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ اُجُوْرِهِمْ شَيْئًا. وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً كاَنَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَيَنْقُصُ مِنْ اَوْزَارِهِمْ شَيْئًا ثُمَّ تَلاَ (وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوْا وَاٰثَارَهُمْ). (رواه البخارى عن أبي موسى الأشعري)

Barang siapa membuat tradisi (kebiasaan) yang baik ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sesudah ia meninggal tanpa dikurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barangsiapa membuat suatu tradisi (kebiasaan) yang buruk, ia akan memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya setelah (ia) meninggal dunia tanpa dikurangi sedikit pun dosa mereka. Kemudian Rasulullah membaca ayat “wanaktubu maqaddamu wa atsarahum” (dan Kami-lah yang mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka (tinggalkan).” (Riwayat al-Bukhari dari Abu Musa al-Asy’ari).

Sehubungan dengan makna firman Allah “Dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan”, Imam at-Tirmizi meriwayatkan sebuah kisah, seperti yang dimuat oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya, di mana diceritakan ada orang-orang dari Bani Salamah tinggal di pinggiran kota Medinah.

Mereka merasa betapa jauhnya tempat kediaman mereka dari masjid Nabi. Agar mereka dapat datang berjamaah lebih awal untuk memperoleh keutamaan salat berjamaah, mereka berniat untuk memindahkan rumah mereka ke daerah sekitar masjid, maka turunlah ayat ini. Setelah Rasulullah memanggil mereka, beliau pun bersabda, “Niatmu yang baik itu akan ditulis.” Akhirnya mereka tidak jadi pindah.

Ibnu Jarir at-Thabari meriwayatkan pula bahwa rumah sebagian orang Anshar jauh dari masjid Rasulullah. Mereka ingin memindahkannya, maka turunlah ayat ini. Mereka akhirnya membatalkan maksud tersebut.

Barangkali yang mendorong orang-orang Bani Salamah atau segolongan sahabat Anshar hendak memindahkan rumah mereka adalah hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa salat berjamaah itu 27 kali lipat pahalanya dibanding dengan salat yang dikerjakan sendirian.

Rasulullah bersabda:

اَعْظَمُ النَّاسِ اَجْرًا فِى الصَّلاَةِ اَبْعَدُهُمْ مَمْشًى فَأَبْعَدُهُمْ وَالَّذِيْ يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ حَتَّى يُصَلِّيْهَا مَعَ اْلاِمَاِم اَعْظَمُ اَجْرًا مِنَ الَّذِيْ يُصَلِّى ثُمَّ يَنَامُ. (رواه البخاري و مسلم عن أبي موسى)

Manusia yang paling banyak pahalanya dalam salat ialah orang yang paling jauh berjalan dengan kaki, kemudian yang paling jauh, dan orang yang menunggu salat sehingga ia mengerjakannya bersama imam lebih besar pahalanya daripada orang yang mengerjakan salat (sendiri) kemudian ia tidur.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa)

Kemudian lebih ditegaskan lagi bahwa tidak hanya perbuatan Bani Adam yang tertulis dalam buku itu dengan teliti, tetapi juga apa yang terjadi di bumi ini. Menurut penjelasan ahli tafsir yang dimaksud dengan imamum mubin (kitab induk yang nyata) ialah Lauh Mahfuzh. Ayat ini diperkuat lagi dengan keterangan ayat-ayat lain yang berbunyi:

قَالَ عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّيْ فِيْ كِتٰبٍۚ  لَا يَضِلُّ رَبِّيْ وَلَا يَنْسَىۖ

Dia (Musa) menjawab, “Pengetahuan tentang itu ada pada Tuhanku, di dalam sebuah Kitab (Lauh Mahfuz), Tuhanku tidak akan salah ataupun lupa.” (Thaha/20: 52)

Dan ayat:

وَكُلُّ صَغِيْرٍ وَّكَبِيْرٍ مُّسْتَطَرٌ

Dan segala (sesuatu) yang kecil maupun yang besar (semuanya) tertulis. (al-Qamar/54: 53)

Demikian penjelasan ayat-ayat di atas yang memastikan datangnya hari Kiamat, di mana manusia akan menerima balasan dari semua usahanya, baik jahat maupun baik. Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kabar gembira berupa ampunan dan surga bagi orang yang takwa kepada Tuhan dan mengikuti petunjuk Al-Qur’an ditetapkan Allah nanti setelah hari Kebangkitan.

(Tafsir Kemenag)

Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 13-17

Tafsir Surah Yasin Ayat 9-11

0
Tafsir Surah Yasin
Tafsir Surah Yasin

Tafsir Surah Yasin Ayat 9-11 melanjutkan pembahasan sebelumnya, sebab kenapa orang-orang kafir enggan beriman, karena mereka menganggap bahwa perbuatan yang di klaim Islam burut, adalah baik bagi mereka. Tidak heran jika mereka sombong, angkuh, dan memerangi Nabi sebagai utusan. Mereka sudah terpenjara oleh kebodohan nenek moyang terdahulu, tidak mau merenungi, atau sudah terlanjur nyaman dengan kesesatan itu meski sadar akan kesalahannya.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah Yasin Ayat 6-8


Dijelaskan pula dalam Tafsir Surah Yasin Ayat 9-11 bahwa mereka itulah yang tidak akan bisa menerima petunjuk, dimana telinga, hati, dan pikiran mereka sudah begitu pekat, cara apapun gagal untuk menyadarkan mereka. Sedangkan mereka yang hatinya tersadar akan kebenaran yang disampaikan, merekalah orang beriman yang kelak akan menempati surga Allah Swt.

Ayat 9

Kemudian digambarkan pula bahwa orang-orang yang tidak beriman itu memandang baik perbuatan jahat yang mereka kerjakan. Hal demikian menyebabkan mereka menjadi sombong, sehingga mereka enggan mengikuti ajaran rasul. Pikirannya tertutup dari kebenaran, dari apa yang dapat mendatangkan manfaat.

Oleh karena itu, tidak ada yang bisa mereka pahami kecuali apa yang telah diwariskan dari nenek moyang mereka. Ringkasnya, mereka selalu berada dalam penjara kebodohan, seolah-olah hati mereka dipisahkan oleh dinding, sehingga mereka tidak bisa berpikir dan merenungkan dalil-dalil kebenaran ajaran yang dibawa rasul.

Ada pula yang mengartikan dinding yang menghalangi itu dengan hijab; hingga berarti Allah menjadikan hijab yang menghalangi orang-orang musyrik untuk menyakiti Rasul. Sedang mata yang tertutup diartikan, mereka tidak bisa mengindra dengan baik sesuatu yang dilihatnya, dan tidak satu pun petunjuk yang dapat meluruskan pikiran mereka.

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak bisa menerima petunjuk itu walaupun diancam dengan siksaan yang pedih, tidak akan berubah. Sebab hati mereka sebenarnya sudah terpatri mati dan tidak dapat menerima petunjuk.

Hal yang demikian disebabkan pikiran mereka tidak sanggup lagi memikirkan kebenaran yang disampaikan, dan mata mereka sudah buta dari kebenaran itu. Ringkasnya, siapa yang telah ditetapkan Allah kesesatannya tidak mungkin lagi bermanfaat baginya segala nasihat yang disampaikan orang. Allah berfirman:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا سَوَاۤءٌ عَلَيْهِمْ ءَاَنْذَرْتَهُمْ اَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ  ٦  خَتَمَ اللّٰهُ عَلٰى قُلُوْبِهِمْ وَعَلٰى سَمْعِهِمْ ۗ وَعَلٰٓى اَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ࣖ   ٧

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (al-Baqarah/2: 6-7)

 Dan firman-Nya:

اِنَّ الَّذِيْنَ حَقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ

Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman. (Yunus/10: 96)


Baca Juga : At-Tibyan Fi Adab Hamalat Al-Quran, Pengantar Petunjuk Adab Berinteraksi dengan Al-Quran


Ayat 11

Pada ayat ini, Allah menjelaskan bahwa hanya orang yang dapat menerima petunjuk Nabi Muhammad yang takut mendengar ancaman Allah, yakni orang-orang yang beriman pada Al-Qur’an dan mau melaksanakan pedoman yang telah digariskannya.

Mereka merasa sadar, gentar, dan ngeri bila mendengar ancaman dan siksaan Allah. Allah Mahabesar rahmat-Nya dan Mahapedih siksa-Nya, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain:

نَبِّئْ عِبَادِيْٓ اَنِّيْٓ اَنَا الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُۙ  ٤٩  وَاَنَّ عَذَابِيْ هُوَ الْعَذَابُ الْاَلِيْمُ   ٥٠

Kabarkanlah kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Akulah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang, dan sesungguhnya azab-Ku adalah azab yang sangat pedih. (al-Hijr/15: 49-50)

Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman bahwa mereka akan mendapat magfirah (ampunan) dan pahala yang mulia, yaitu nikmat yang abadi yang tidak dapat dilukiskan, tidak pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga, dan terlintas dalam hati. Ayat lain menyatakan:

اِنَّ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَّغْفِرَةٌ وَّاَجْرٌ كَبِيْرٌ

Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak terlihat oleh mereka, mereka memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (al-Mulk/67: 12)

Maksud firman Allah “takut kepada Tuhan Yang Maha Pengasih walaupun tidak melihatnya” ialah selalu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya di saat ada atau tidak orang yang mengetahui, atau ia bertakwa kepada Allah baik waktu ia sendirian maupun bersama orang lain.

Orang-orang beriman dan berkepribadian seperti di ataslah yang diberi Allah kabar gembira melalui Nabi Muhammad. Kabar gembira itu adalah segala dosa yang pernah mereka kerjakan akan diampuni Allah dengan magfirah-Nya, dan mereka akan menikmati pahala yang mulia yakni surga yang luasnya seluas langit dan bumi, seperti yang dinyatakan oleh ayat:

وَسَارِعُوْٓا اِلٰى مَغْفِرَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمٰوٰتُ وَالْاَرْضُۙ  اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ

Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.  (‘Ali ‘Imran/3: 133)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya : Tafsir Surah Yasin Ayat 12