Beranda blog Halaman 384

Inilah Para Perawi Israiliyat yang Menjadi Sumber Rujukan di Kitab-Kitab Tafsir

0
perawi israiliyat di kitab-kitab tafsir
perawi israiliyat di kitab-kitab tafsir

Israiliyat merupakan salah satu bentuk ad-dakhil atau infiltrasi dalam kitab-kitab tafsir. Masuknya Israiliyat ini menurut Husein adz-Dzahabi sudah dimulai sejak masa sahabat. Namun para sahabat sangat selektif dan meminimalisir periwayatan dari tokoh-tokoh perawi Israiliyat. Para tokoh perawi Israiliyat ini kebanyakan adalah orang-orang yang dulunya adalah tokoh Yahudi dan Nasrani yang masuk Islam. Beberapa diantara mereka menjadi bagian dari sahabat nabi dan para tabiin senior.

Di antara faktor yang mendorong para sahabat untuk bertanya kepada mereka adalah karena kisah-kisah yang disebutkan secara global di dalam al-Quran, sementara kisah-kisah tersebut diceritakan secara terperinci di dalam kitab Taurat dan Injil.

Baca Juga: Israiliyat Dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Husein adz-Dzahabi menyebutkan dalam kitabnya At-Tafsir wa Al-Mufassirun bahwa penyebaran riwayat israiliyyat kebanyakan bersumber setidaknya dari empat orang di bawah ini. Mereka adalah:

  1. Abdullah bin Salam (w. 43H)

Perawi Israiliyat yang pertama ini nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Abdullah bin Salam al Israily al Anshary. Dia termasuk keturunan nabi Yusuf bin Ya’qub. Sebelum masuk Islam namanya Hushain bin Salam. Ketika Nabi datang ke Madinah, dia menyatakan diri masuk Islam setelah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Nabi yang sesuai dengan yang dia temukan di dalam kitab Taurat.

Dia merupakan orang yang paling mengetahui isi kitab Taurat di antara kaumnya. Kisah masuk Islamnya diceritakan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahihnya. Bahkan beberapa mufasir menyebutkan bahwa ayat 10 surat al Ahqaf,

…. وَشَهِدَ شَاهِدٞ مِّنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ ….

Turun berkenaan dengan masuk Islamnya Abdullah bin Salam. Setelah masuk Islam, namanya diganti oleh Nabi menjadi Abdullah.

Tingkat keilmuan Abdullah bin Salam diakui oleh para sahabat, di antaranya oleh Muadz bin Jabal. Muadz menyatakan bahwa ilmu dan iman itu bisa didapatkan pada empat orang, salah satunya adalah Abdullah bin Salam. Beberapa orang yang mengambil riwayat darinya adalah kedua anaknya yaitu Yusuf dan Muhammad, Abu Hurairah, Abu Bardah bin Abu Musa, Atha’ bin Yasar, dll. Syaikh Manna’ al Qaththan menyebutkan dalam Mabahits fi Ulum Al-Quran bahwa diantara para perawi Israiliyat, dia adalah yang memiliki kedudukan paling tinggi dan paling bersih dari berbagai tuduhan.

Baca Juga: Inilah Kisah-Kisah Israiliyat dalam Tafsir Al-Munir karya Syekh Nawawi Al-Bantany, Begini Penjelasannya

2. Ka’b Al-Ahbar (w. 32 H)

Namanya Abu Ishaq Ka’b bin Mati’ al Himyari. Dia dikenal dengan Ka’b Al-Ahbar atau Ka’b Al-Bahr karena keluasan ilmunya. Sebelum masuk Islam dia adalah seorang Yahudi dari Yaman. Ada perbedaan pendapat mengenai kapan dia masuk Islam, namun yang masyhur menurut Ibnu Hajar adalah pada masa kekhalifahan Umar. Setelah masuk Islam dia menetap di Madinah kemudian pindah ke Syam pada masa kekhalifahan Usman dan wafat di Homs pada tahun 32 H. Beberapa orang yang menerima riwayat darinya adalah Abu Hurairah, Ibnu Abbas, dan Atha’ bin Rabah.

Mengenai ketsiqahannya dalam ilmu riwayat, ada banyak tuduhan yang disandarkan kepadanya. Namun, Husein Adz-Dzahabi menyatakan bahwa terlepas dari segala tuduhan yang disandarkan kepadanya, dengan mempertimbangkan adanya pengambilan riwayat darinya oleh Ibnu Abbas dan Abu Hurairah yang memiliki kapasitas ilmu yang luar biasa, hal ini sudah cukup untuk menolak tuduhan beberapa orang kepadanya. Selain itu, Imam Muslim, Abu Dawud dan An-Nasai juga mencantumkan beberapa riwayat darinya.

3. Wahab bin Munabbih (w. 110 H)

Abu Abdillah Wahab bin Munabbih bin Sij bin Kinaz al Yamani as-Shan’ani termasuk orang pilihan dari para ulama tabiin. Dia banyak membaca kitab-kitab terdahulu dan menguasai kisah-kisah tentang awal penciptaan alam. Al Harawiy mengatakan Wahab lahir tahun 34 H pada masa kekhalifahan Usman. Dia wafat tahun 110 H.

Wahab menerima riwayat dari beberapa sahabat seperti Abu Hurairah, Abu Said al Khudry, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu Amr bin Ash, Jabir dan Anas. Sedangkan yang menerima riwayat darinya adalah kedua anaknya Abdullah dan Abdurrahman bin Wahab, Umar bin Dinar. Para Imam hadis juga menakhrij riwayatnya seperti Bukhari, Muslim, Nasai, Tirmidzi, dan Abu Dawud.

Seperti halnya Ka’b Al-Ahbar, Wahab bin Munabbih juga mendapat banyak tuduhan seperti kidzb, tadlis, merusak akal dan akidah umat Islam dengan riwayatnya. Di antara yang banyak mengkritik Wahab bin Munabbih dan Ka’b Al-Ahbar adalah Ahmad Amin dan Muhammad Rasyid Ridla.

Baca Juga: Benarkah Ahlu Kitab Musuh Umat Islam? Simak Penjelasan Surat Ali Imran Ayat 113

4. Ibnu Juraij (w. 150 H)

Perawi Israiliyat ini bernama lengkap Abu Khalid atau Abu al Walid Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Juraij, dulunya seorang Nasrani dari Romawi. Dia termasuk dari ulama dan ahli hadis Makkah. Ibnu Juraij adalah salah seorang yang pertama kali menyusun kitab di Hijaz. Dia merupakan sumber riwayat israiliyat di kalangan tabiin. Imam at-Thabari banyak mengambil riwayat Ibnu Juraij dalam tafsirnya Jami’ al Bayan untuk menjelaskan perihal yang berkenaan dengan Nasrani.

Ibnu Juraij menerima riwayat dari ayahnya, Atha’ bin Rabah, Zaid bin Aslam, az-Zuhry dan lainnya. Kemudian yang mengambil riwayat darinya diantaranya kedua anaknya; Abdul Aziz dan Muhammad, al Auza’iy, al Laits, Yahya bin Said al Anshary, Hammad bin Zaid, dan lainnya.

Ibnu Juraij lahir pada tahun 80 H. Tahun wafatnya masih diperselisihkan, ada yang menyebutkan tahun 150 H, ada juga yang mengatakan pada tahun 159 H.

Status ketsiqahannya diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang menilainya sebagai orang yang tsiqah, ada pula yang menyangsikan tingkat tsiqahnya. Banyak para ahli hadis menilai tadlis pada sebagian riwayatnya.

Demikianlah empat orang yang menjadi sumber riwayat israiliyat yang banyak tersebar di kitab-kitab tafsir. Para ulama telah membagi jenis-jenis israiliyat ke dalam tiga jenis dan cara menyikapinya; riwayat yang bertentangan dengan syariat harus ditolak, riwayat yang sejalan dengan syariat boleh diterima, dan riwayat yang tidak bisa dipastikan kebenaran dan kebatilannya maka disikapi dengan tawaqquf, tidak menerima dan tidak mengingkari.

Wallahu a’lam

Bolehkah Membaca Al-Qur’an Di Dekat Perempuan Yang Sedang Haid?

0
Membaca Al-Qur’an Di Dekat Perempuan Yang Sedang Haid
Membaca Al-Qur’an Di Dekat Perempuan Yang Sedang Haid

Perempuan yang sedang haid kadang dipandang sebelah mata. Dikarenakan ia dianggap sedang dalam keadaan terus menerus membawa najis berupa darah haid, serta syariat telah memutuskan ia dilarang untuk salat, menyentuh Al-Qur’an dan sekaligus membacanya, lelaki kadang merasa agak antipati terhadapnya. Para lelaki enggan mendekati mereka, bahkan menganggap membaca Al-Qur’an di dekat perempuan sebagai tindakan yang tak elok.

Jika ada anggapan bahwa membaca Al-Qur’an di dekat perempuan yang sedang haid adalah sesuatu yang dilarang, adalah anggapan yang keliru. Islam mengajarkan, bahwa meski perempuan yang sedang haid terdapat najis pada dirinya, bukan berarti bahwa seluruh badan serta pakaiannya juga ikut najis. Bahkan boleh hukumnya membaca Al-Qur’an di dekat perempuan yang sedang haid, meski itu berarti membaca Al-Qur’an di dekat sesuatu yang najis berupa darah haid.

Baca juga: Tafsir Al-Jalalain tentang Surah Al-Ahzab Ayat 37 dan Beberapa Komentar Atasnya

Rasulullah Membaca Al-Qur’an Di Dekat ‘Aisyah Yang Sedang Haid

Terkait permasalahan membaca Al-Qur’an di dekat perempuan yang sedang haid, Nabi sendiri pernah membaca Al-Qur’an dengan bersandar kepada ‘Aisyah yang sedang haid. Diriwayatkan dari ‘Aisyah bahwa ia berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَتَّكِئُ فِى حَجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ ، ثُمَّ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ

Sesungguhnya Nabi Muhammad –salallahualaihi wasallam- bersandar di pangkuanku sementara aku sedang menstruasi. Beliau lalu membaca Al-Qur’an (HR. Al-Bukhari).

Di dalam riwayat lain ‘Aisyah berkata:

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَرَأْسُهُ فِى حَجْرِى وَأَنَا حَائِضٌ

Nabi Muhammad –salallahualaihi wasallam- membaca Al-Qur’an sementara kepala Beliau di pangkuanku, dan aku sedang menstruasi (HR. Al-Bukhari).

Dari hadis di atas kita dapat memahami bahwa keberadaan ‘Aisyah yang sedang menstruasi tentu menunjukkan bahwa terdapat najis pada dirinya. Dan melihat Rasulullah tidak berkeberatan membaca di pangkuannya menunjukkan, bahwa najis pada diri ‘Aisyah tidak berpengaruh pada tindakan membaca Al-Qur’an yang dilakukan Nabi. Meski Nabi amat dekat dengan tempat tersebut.

Baca juga: Bolehkah Membaca Al-Qur’an Sembari Berdiri Atau Berbaring?

Imam Ibn Hajar menyatakan, hadis di atas menunjukkan bolehnya bersentuhan dengan perempuan yang sedang haid. Dan diri serta pakaian perempuan yang sedang haid dihukumi suci selama tidak terkena najis. Lewat pernyataan ini kita dapat melihat usaha Ibn Hajar untuk menepiskan anggapan, bahwa saat perempuan sedang haid maka otomatis seluruh tubuh dan pakaiannya najis. Serta sebaiknya tidak mendekatinya (Fathul Bari Libni Hajar/1/468).

Imam An-Nawawi di dalam Syarah Muslim berkomentar bahwa hadis di atas menunjukkan beberapa hal kepada kita. Yaitu membaca Al-Qur’an boleh dilakukan sembari berbaring atau bersandar. Dan membaca Al-Qur’an di dekat najis hukumnya diperbolehkan. Pendapat Imam An-Nawawi ini dikutip oleh Ibn Hajar di dalam Fathul Bari dan ‘Ali Al-Qari di dalam ‘Umdatul Qari (Syarah Sahih Muslim/3/211).

Ibn Rajab dalam Fathul Bari-nya memberikan perjelasan tentang hadis di atas dengan lebih detail. Ia menyatakan bahwa hadis di atas menunjukkan dekatnya si pembaca dengan perempuan haid dan juga tempat haidnya, tidak dapat menghalanginya dalam membaca Al-Qur’an. Dan juga, dekatnya mulut pembaca Al-Qur’an pada tempat haid tidaklah membuat si pembaca dilarang membaca Al-Qur’an (Fathul Bari Libni Rajab/2/81).

Baca juga: Bolehkah Perempuan Menjadi Pemimpin Publik? Qiraah Maqashidiyah atas Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, saat perempuan mengalami haid, bukan berarti hal itu secara otomatis membuat seluruh tubuh serta apa yang dipakainya menjadi najis serta selayaknya dijauhi. Yang najis adalah dari haidnya. Sedang tubuh serta pakaian perempuan itu tetap suci selama tidak terkena najis.

Membaca Al-Qur’an di dekat perempuan yang sedang haid juga bukan sesuatu yang dilarang. Meski itu berarti membaca Al-Qur’an di dekat sesuatu yang najis berupa darah haid. Kalau membaca Al-Qur’an dipangkuan seorang perempuan yang sedang haid saja diperbolehkan, mengapa untuk sekedar berada di dekat perempuan yang sedang haid atau berinteraksi dengannya kita enggan?. Wallahu a’lam[]

Eufemisme dalam Al-Qur’an: Pendekatan Sosiolinguistik Terhadap Al-Qur’an

0
Eufemisme dalam Al-Qur’an
Eufemisme dalam Al-Qur’an

Sosiolinguistik adalah salah satu cabang ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji, meneliti, dan mengembangkan relasasi antara bahasa dan masyarakat. Ilmu ini tidak berfokus pada struktur dari sebuah bahasa, melainkan berfokus pada bagaimana bahasa tersebut digunakan dalam konteks sosial dan budayanya. Dengan begitu, di dalam al-Qur’an pun ada juga yang disebut dengan eufemisme dalam al-Qur’an.

Misalnya, dalam bahasa Jawa ada tiga tataran dalam berkomunikasi: krama, madya dan ngoko atau dikenal dengan tingkat tinggi (high style), menengah (middle style), dan bahasa tingkat rendah (low style). Tataran ini bertujuan untuk mengatur tata cara berkomunikasi antar sesama dalam rangka menjunjung tinggi etika dan mempertimbangkan status hierarkhi. Dalam ilmu sosiolingistik tataran ini disebut dengan eufemisme.

Baca juga: 12 Golongan yang Terhindar dari Keresahan Hati; Telaah Makna Khauf  dalam Al-Quran (2)

Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dianggap kasar, merugikan atau tidak menyenangkan, misalnya ‘meninggal dunia’ untuk ‘mati’. Sehingga dalam berkomunikasi dapat memberi kesan sopan dan tidak membuat orang lain tersinggung.

Al-Qur’an merupakan alat untuk berinteraksi, yaitu interaksi antara Tuhan dan manusia. Imam Musbikin dalam bukunya Isthantiq Al-Qur’an menjelaskan, bahwa komunikasi linguistik antara Tuhan dan manusia berbeda tingkat ontologisnya, hal ini dapat terjadi melalui dua kemungkinan transformasi, yaitu (1) mitra tutur mengalami transformasi yang mendalam di bawah pengaruh kekuatan supranatural penutur atau (2) penutur turun menggunakan atribut pendengarannya.

Penjelasan ini sesuai dengan firman Allah pada surat Asy-Syura ayat 51: “Dan tidak mungkin bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.”

Menyandang status sebagai media untuk berinteraksi antara Tuhan dan hamban-Nya, maka Al-Qur’an juga memiliki tataran atau formula sendiri dalam menyampaikan pesan kepada pembaca, agar pesan tersebut benar-benar tersampaikan kepada pembaca. Dalam beberapa ayat terkadang Allah menyampaikan pesan dengan penegasan dan pertanyaan sesuai dengan konteks mitra bicara, akan tetapi di lain sisi Allah juga menyampaikan pesan dengan bahasa yang sangat santun dan lembut, sehingga terkesan tidak ingin menyinggung perasaan hamba-Nya. Berikut beberapa ayat yang menggunakan bahasa santun (eufemisme).

Ayat-Ayat Eufemisme dan Penafsirannnya

Surat Al-An’an: 152

وَلَا تَقْرَبُوا۟ مَالَ ٱلْيَتِيمِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ حَتَّىٰ يَبْلُغَ أَشُدَّهُۥ ۖ وَأَوْفُوا۟ ٱلْكَيْلَ وَٱلْمِيزَانَ بِٱلْقِسْطِ ۖ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۖ وَإِذَا قُلْتُمْ فَٱعْدِلُوا۟ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَىٰ ۖ وَبِعَهْدِ ٱللَّهِ أَوْفُوا۟ ۚ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.

Baca juga: Tradisi dan Metode Mengkhatamkan Al-Quran Menurut Para Ulama

Pada bagian teks wa la taqrabu mala al-yatimi (Dan jangan kamu mendekati harta anak yatim) merupakan ungkapan yang mengandung eufemisme atau bahasa halus. Dalam tafsir Jami’ al-Bayan fi Takwil Al-Qur’an, al-Thabari menjelaskan melalui sebuah riwayat dari Dhahak bin Mazahim, bahwa maksud dari jangan mendekati harta anak yatim adalah kamu tidak boleh mengambil harta mereka sedikit pun.

Kata ‘mendekati’ dalam konteks ayat di atas bermakna ‘mengambil. Jadi, ungkapan itu maksudnya sama dengan “Dan jangan kamu ambil harta anak yatim”. Makna yang tersirat dalam ungkapan tersebut memberi gambaran bahwa Allah Maha Lembut dalam menyampaikan pesan kepada hamba-Nya.

Walaupun ungkapan ‘jangan mendekati ’ terbilang lembut, namun ungkapan tersebut mampu menjangkau maksud ayat secara tepat, sebagaimana yang dijelaskan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah jilid 4 “mendekatinya saja tidak boleh apa lagi memakan dan menggunakannya”.

Surat An-Nisa Ayat: 6

وَٱبْتَلُوا۟ ٱلْيَتَٰمَىٰ حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُوا۟ ٱلنِّكَاحَ فَإِنْ ءَانَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَٱدْفَعُوٓا۟ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَآ إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا۟ ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَٰلَهُمْ فَأَشْهِدُوا۟ عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ حَسِيبًا

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).

Wa man kana ghaniyyan falyasta’fif (barang siapa mampu, maka hendaklah ia menahan diri memakan harta anak yatim) adalah bagian yang mengandung eufemisme. Zamakhsyari menjelaskan dalam tafsir al-Kasyaf, bahwa makna falyasta’fif adalah tidak memakan harta anak yatim karena Allah sudah mencukupkan rezeki untukmu.

Baca juga: Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani adalah Fiktif

Al-Baghawani juga menjelaskan yang hal serupa, bahwa orang yang mampu maka hendaklah dia menahan diri dari memakan harta anak yatim baik sedikit atau pun banyak. Jadi, maksud wa man kana ghaniyyan falyasta’fif  pada konteks ayat ini sama dengan’ jika kamu mampu, maka kamu tidak boleh memakan harta anak yatim’.

Ungkapan falyasta’fif (menahan diri) pada konteks ayat ini terdengar cukup santun untuk melarangan seseorang yang mampu (kaya) dari memakan harta anak yatim. Karena tujuan lain dari eufemisme ini adalah menyampaikan perintah dengan bahasa yang sopan. Artinya perintah tersebut tidak mengandung kata perintah atau larangan.

Ungkapan-ungkapan eufemisme pada ayat-ayat di atas semakin memperkuat legitimasi terhadap sifat Allah Yang Maha Lembut, secara tidak langsung ayat-ayat di atas juga mengajarkan kita sebagai hamba dari zat Yang Maha Lembut untuk bertutur kata dengan sopan dan santun. Dan pendekatan Al-Qur’an terhadap berbagai disiplin ilmu telah menujukkan bahwa Al-Qur’a adalah kitab yang sangat kompleks dan aktual sesuai dengan semangat zaman. Wallahu’alam.

 

 

 

Tafsir Surah Al A’la Ayat 1-12

0
tafsir surah al a'la
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al A’la Ayat 1-12 ini berbicara mengenai ke-Mahasucian Allah. Ia adalah yang menyempurnakan penciptaan manusia dengan begitu rupa baiknya. Dengan rahmatNya, Ia turunkan mukijzat kepada Nabi Muhammad Saw.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah At Tariq Ayat 6-17


Lebih lanjut dalam Tafsir Surah Al A’la Ayat 1-12 Allah menyatakan bahwa mukjizat berupa Alquran ini dalam rangka membuka hati dan menguatkan ingatan Nabi. Diimbangi dengan taufik dariNya, diharapkan Nabi dapat memberi peringatan kepada seluruh manusia. di akhir pembahasan ditegaskan bahwa orang yang ingkar terhadap risalah Nabi akan menghuni neraka.

Ayat 1

Allah memerintahkan Rasul-Nya agar menyucikan nama-Nya dari segala sesuatu yang tidak sesuai dengan kebesaran serta kemuliaan zat dan sifat-Nya. Nama Allah hanya diucapkan dalam rangka memuji-Nya, tidak boleh sesuatu dinamai dengan nama-Nya. Mahasuci Allah Yang Mahatinggi.

Ayat 2-5

Allah menerangkan bahwa Dialah yang menciptakan dan menyempurnakan penciptaan segala makhluk. Allah pula yang menentukan segala sesuatu menurut bentuk dan ukuran yang tepat dan seimbang.

Di samping itu, Dia menetapkan ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum yang berlaku bagi tiap-tiap makhluk-Nya, sehingga dapat hidup berkembang biak, dan menjaga hidupnya masing-masing.

Allah-lah yang menumbuhkan rumput-rumputan yang hijau dan segar untuk makanan binatang dan ternak yang kemudian dijadikan-Nya kering dengan warna kehitam-hitaman. Allah-lah yang menumbuhkan rumput-rumputan dan mengubahnya menjadi kering, bukanlah patung-patung yang disembah oleh orang kafir itu.

Ayat 6

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah menurunkan Alquran kepada Nabi Muhammad untuk dibacanya dan Ia akan membukakan hati Nabi-Nya dan menguatkan ingatannya. Dengan demikian, setelah mendengarnya satu kali, maka ia tidak akan lupa apa yang telah didengarnya. Allah berfirman:

فَتَعٰلَى اللّٰهُ الْمَلِكُ الْحَقُّۚ وَلَا تَعْجَلْ بِالْقُرْاٰنِ مِنْ قَبْلِ اَنْ يُّقْضٰٓى اِلَيْكَ وَحْيُهٗ ۖوَقُلْ رَّبِّ زِدْنِيْ عِلْمًا   ١١٤

Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Alquran sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (Taha/20: 114)

Dan firman-Nya:

لَا تُحَرِّكْ بِهٖ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهٖۗ  ١٦  اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهٗ وَقُرْاٰنَهٗ ۚ  ١٧

Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Alquran) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya. (al-Qiyamah/75: 16-17)


Baca juga: Studi Alquran: Mengenal Tafsir Era Kontemporer


Ayat 7

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa bila Ia menghendaki agar Nabi Muhammad melupakan apa yang telah diwahyukan, maka hal itu dapat dilakukan-Nya. Allah berfirman:

وَلَىِٕنْ شِئْنَا لَنَذْهَبَنَّ بِالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ بِهٖ عَلَيْنَا وَكِيْلًاۙ؉؉  ٨٦

Dan sesungguhnya jika Kami menghendaki, niscaya Kami lenyapkan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan engkau tidak akan mendapatkan seorang pembela pun terhadap Kami. (al-Isra’/17: 86)

Tidak lupa apa yang sudah didengar Nabi Muhammad satu kali itu adalah karunia dan kebaikan dari Allah. Sesungguhnya Dia mengetahui apa yang terang dan apa yang tersembunyi, apa yang disebutkan dan apa yang dirahasiakan.

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Ia akan memberi Nabi-Nya taufik kepada jalan yang mudah, yang membawa kepada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dialah yang memberinya agama yang mudah diterima jiwa dan tidak sukar dipahami oleh akal.

Ayat 9

Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Rasul-Nya agar memperingatkan umat manusia tentang yang telah ia terima dari-Nya. Allah menyatakan bahwa peringatan itu amat besar kegunaan dan faedahnya bagi manusia, karena peringatan itu memberi petunjuk kepadanya tentang cara-cara mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Akan tetapi, ternyata mereka tetap saja membangkang dan ingkar. Maka Rasulullah janganlah bersedih hati.

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa mereka yang beruntung adalah yang dapat menerima panggilan atau peringatan Rasul-Nya, serta takut kepada Allah dan siksaan-Nya. Mereka inilah yang mempergunakan pikiran mereka yang waras untuk mencapai kebenaran yang kelak akan menjadi pegangan hidup mereka.

Ayat 11-12

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi orang yang ingkar, durhaka, dan menjauhkan diri dari petunjuk-petunjuk yang diberikan Nabi Muhammad, tidak akan berfaedah peringatan yang disampaikan. Oleh karena itu, mereka tetap dalam kekafiran dan akan dilemparkan ke dalam neraka yang paling bawah.

Secara ringkas, orang yang menghadapi panggilan Nabi Muhammad ke jalan Allah itu ada tiga golongan:

  1. Golongan orang yang mengetahui dan yakin akan kebenarannya, tidak ada keraguan sedikit pun di dalam hatinya. Orang ini adalah orang mukmin yang sempurna (mu’min kamil) yang takut kepada Tuhannya.
  2. Golongan orang yang dalam menerima petunjuk, kemudian ia yakin akan petunjuk itu, lalu menyatakan keimanannya. Orang ini adalah golongan yang agak kurang nilainya dari yang pertama.
  3. Golongan yang durhaka dan ingkar, yang telah tertutup hatinya dari panggilan ke jalan Allah. Mereka ini adalah golongan yang paling jahat dan paling jauh dari kebaikan.

Baca setelahnya: Tafsir Surah Al A’la Ayat 13-19


(Tafsir Kemenag)

Tradisi dan Metode Mengkhatamkan Al-Quran Menurut Para Ulama

0
Mengkhatamkan Al-Qur'an
Mengkhatamkan Al-Qur'an

Tadarus Al-Qur’an atau mengkhatamkan Al-Quran istilah yang cukup populer di kalangan umat Islam. Tadarus Al-Qur’an dapat dimaknai sebagai kegiatan membaca, merenungi, dan, menelaah, dan memahami  ayat-ayat Al-Qur’an. Di Indonesia, ini biasanya dilakukan dengan cara membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir, yakni dari surah al-Fatihah hingga al-Nas.

Kegiatan ini merupakan tradisi turun temurun sejak masa nabi Muhammad saw. Disebutkan bahwa para sahabat memiliki kebiasaan mengkhatamkan Al-Qur’an dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kemampuan mereka. Ada yang mengkhatamkan Al-Qur’an dalam sehari, ada yang mengkhatamkannya dalam seminggu dan ada pula dalam jangka waktu sebulan.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya al-Adzkar menyebutkan bahwa tradisi tadarus Al-Qur’an kemudian berkembang pesat pada masa ulama salaf. Mereka memiliki target tertentu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an dan berlomba-lomba untuk menyelesaikannya sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat nabi Muhammad saw. Kita dapat melacak banyak kisah bagaimana para ulama begitu intens berinteraksi dengan Al-Qur’an.

Baca Juga: Menilik Akar Tradisi Tadarus Al-Quran dalam Al-Quran dan Hadis

Dahulu, sebagian ulama salaf biasanya mengkhatamkan Al-Qur’an setiap dua bulan sekali. Ada pula yang mengkhatamkan satu bulan sekali, setiap sepuluh hari sekali, setiap delapan hari sekali dan mayoritas ulama salaf mengkhatamkan Al-Qur’an satu minggu sekali. Selain itu, ada pula yang mengkhatamkan Al-Qur’an setiap enam hari sekali, ada yang lima hari sekali, empat hari sekali, dan tiga hari sekali.

Banyak diantara ulama salaf yang mengkhatamkan selama sehari semalam, ada pula yang dua kali khataman dalam sehari, tiga kali khataman dalam sehari semalam dan bahkan ada pula dari sebagian mereka yang mampu mengkhatamkan delapan kali dalam kurun waktu sehari semalam seperti as-Sayyid al-Jalil Ibnu al-Katib as-Sufi. Hal ini menunjukkan betapa tingginya antusias mereka dalam tadarus Al-Qur’an (Siyar A’lam Al-Nubala).

Opsi Metode Mengkhatamkan Al-Qur’an

Dalam kitab al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Quran karya Imam an-Nawawi telah disebutkan bahwa tradisi mengkhatamkan Al-Qur’an memiliki keragaman praktik di kalangan umat Islam, mulai dari masa nabi Muhammad saw hingga saat ini. Mungkin akan timbul pertanyaan, “sebaiknya berapa kali atau seberapa lama kita  mengkhatamkan Al-Qur’an?”

Berkenaan dengan pertanyaan tersebut, Imam Abu al-Laits dan Imam Abu Hanifah pernah memberikan patokan, yakni bahwa umat Islam setidaknya dapat mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak dua kali dalam satu tahun. Sedangkan Imam Ahmad berkata, “Makruh mengakhirkan mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari 40 Hari tanpa adanya uzur, berdasarkan hadits Ibnu Amr” (Fath al-Mu’in).

Dalam upaya tadarus Al-Qur’an ini, seseorang dapat menggunakan berbagai metode yang sesuai. Beberapa ulama seperti Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, Abu Bakar bin ‘Ayyasy, dan beberapa ulama yang lain telah membuat rumusan jitu untuk segenap umat Islam agar bisa mengkhatamkan Al-Quran sesuai dengan kemampuan dan alokasi waktu yang ia miliki, sebagai berikut:

Pertama, mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu 7 hari menggunakan metode Famy Bi Syawqin. Melalui metode ini seseorang dapat selesai membaca Al-Qur’an dalam waktu seminggu dengan membagi beberapa surah untuk dibaca, yaitu: fa, hari pertama membaca surah al-fatihah hingga akhir surah an-Nisa. Mim, hari kedua membaca surah al-Maidah hingga surah at-Taubah.

Selanjutnya, (ya) hari ketiga membaca surah Yunus hingga an-Nahl. Ba, hari keempat membaca surah al-Isra hingga surah al-Furqan.  Sya, hari kelima membaca surah asy-Syu’ara hingga surah Yasin. Wawu, hari keenam membaca surah ash-Shaffat hingga surah al-Hujarat. Terakhir, (Qaf) hari ketujuh membaca surah Qaf hingga akhir surah an-Nas.

Kedua, mengkhatamkan Al-Qur’an dengan metode 30 juz. Melalui metode ini, seseorang bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu satu hari saja, yakni dengan membaca 30 juz Al-Qur’an selama 24 jam. Metode ini juga bisa digunakan dalam rentan waktu sebulan, yakni dengan membaca satu juz setiap hari hingga juz yang ketiga puluh.

Ketiga, mengkhatamkan Al-Qur’an dengan metode hizb. Melalui metode ini, seseorang bisa mengkhatamkan Al-Qur’an dalam waktu dua bulan. Karena setiap juz terdapat dua hizb, jika dihitung setiap hari seseorang membaca satu hizb, maka tiga puluh juz akan selesai dalam waktu dua bulan. Hizb ini bisa kita temukan dalam mushaf Madinah atau mushaf-mushaf terkini Indonesia yang ditulis ala mushaf Bahriyah.

Keempat, mengkhatamkan Al-Qur’an dengan metode tsumun. Para ulama juga membagi setiap hizb menjadi empat bagian. Setiap juz memiliki delapan bagian (tsumun). Pembagian ini diharapkan agar seseorang bisa mengkhatamkan Al-Quran dalam kurun waktu delapan bulan. Tandanya biasanya menggunakan angka ½,  ¼, dan ¾ di atas tulisan hizb yang artinya ar-rub’ (seperempat), an-nisf (seperdua), dan ats-tsalasah (tiga perempat).

Selain itu, dengan metode tsumun ini seseorang bisa mengkhatamkan Al-Quran dalam sebulan melalui rakaat shalat. Caranya, setiap rakaat pertama dan kedua membaca Al-Quran sebanyak dua tsumun. Jika setiap hari terdapat lima kali waktu shalat, maka secara otomatis orang tersebut telah membaca 10 tsumun setiap harinya atau setara dengan 1 ¼ juz. Dengan demikian, ia dapat mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari sebulan.

Kelima, mengkhatamkan Al-Qur’an dengan metode ruku’. Metode ini adalah metode paling mudah dan diperuntukkan untuk orang-orang yang sangat sibuk. Mereka tidak memiliki cukup waktu untuk membaca Al-Quran. Ruku’ biasanya ditandai dengan huruf ‘ain (ع) di bagian samping mushaf. Dengan metode ini sesibuk apapun seseorang, ia akan tetap bisa tadarus Al-Quran.

Baca Juga: 3 Cara Tepat Membaca Al Quran

Jumlah ruku’ dalam Al-Quran adalah sebanyak 554 ruku’. Surah yang panjang biasanya berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’. Sehingga jika dijumlahkan, maka orang tersebut bisa mengkhatamkan Al-Quran dalam kurun waktu sekitar 18 bulan setengah jika ini dilakukan secara istikamah atau konsisten.

Terlepas dari metode mana yang digunakan, satu hal yang harus didasari ketika seseorang ingin melakukan tadarus Al-Qur’an, yakni bahwa kegiatan membaca ayat-ayat Allah swt bukan sekedar menyebutkan huruf demi huruf, melainkan juga sebuah usaha untuk memahami isi kandungannya yang begitu agung dan dalam. Melalui perenungan ini, seseorang akan mampu mendapatkan nilai lebih dari sekedar melafalkan (Hasyiyah I’anah at-Thalibin). Wallahu a’lam.

12 Golongan yang Terhindar dari Keresahan Hati; Telaah Makna Khauf  dalam Al-Quran (2)

0
Golongan yang Terhindar dari Keresahan Hati; Telaah Makna Khauf  dalam Al-Quran
Golongan yang Terhindar dari Keresahan Hati; Telaah Makna Khauf  dalam Al-Quran

Pada artikel sebelumnya, telah dijelaskan pengertian khauf beserta 4 dari 12 kriteria golongan yang terhindar dari keresahan hati. Adapun kali ini, akan dijelaskan 8 kriteria lain golongan yang terhindar dari keresahan tersebut:

5. Ikhlas Menginfaqkan Hartanya di Jalan Allah

Dalam surah Al-Baqarah ayat 262, Allah swt. berfirman:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ثُمَّ لَا يُتۡبِعُونَ مَآ أَنفَقُواْ مَنّٗا وَلَآ أَذٗى لَّهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati

Ayat ini berbicara tentang keutamaan infaq di jalan Allah. Orang yang menginfaqkan hartanya di jalan Allah akan mendapat pahala besar di dunia maupun di akhirat. Meskipun demikian, berinfaq atau bersedekah tersebut harus disertai dengan dua syarat penting. Abu Hasan Al-Wahidi dalam Al-Wajiz menyebutkan; Pertama, bersedekah harus disertai rasa ikhlas dalam hati. Keikhlasan ini berupa, tidak mengungkit-ungkit pemberian dengan tujuan mendapat pujian.

Baca juga: 12 Golongan yang Terhindar dari Keresahan Hati: Telaah Makna Khauf dalam Al-Quran (1)

Kedua, tidak menyakiti hati penerima infaq. Hal ini seperti menyebutkan kebaikan yang dilakukan di depan orang yang tidak suka kepadanya, merendahkan si penerima, menyebarkan aib kejelekannya,  maupun tindakan atau sikap lain yang melukai perasaan mereka.

Orang-orang yang berinfaq dengan kriteria demikian, maka  tidak akan dirugikan akibat infaqnya. Bahkan, sebagai balasannya, Allah akan melipatgandakan hartanya secara langsung ataupun nanti di kemudian hari. Selain itu, Allah juga menjanjikan pahala dan rasa tentram dalam hati, terhindar dari keresahan.

  1. Rendah Hati dan Tidak Menyakiti Hati Sesama

Tidak jauh berbeda dari kriteria pada ayat sebelumnya, kriteria lain bagi golongan yang terhindar dari rasa takut dan resah adalah orang yang rendah hati dan tidak menyakiti hati sesama. Hal ini tercantum dalam surah Al-Baqarah ayat 274:

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat ini juga berbicara tentang infaq, namun dalam konteks lebih umum. Artinya, orang yang berinfaq, dimanapun dan kapanpun, siang ataupun malam, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, maka akan menjadi orang-orang yang mendapat pahala di sisi Tuhannya. Ia tidak segan berbagi kebaikan kepada sesama yang membutuhkan, dengan tujuan membantu dan menyenangkan hati mereka. Ia pun tidak takut terhadap azab Allah ataupun terhadap berkurangnya harta akibat infaqnya. Ia hanya pasrah dan percaya atas balasan yang akan Allah berikan.

Imam Al-Baydhawi dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa ayat ini turun pada Abu Bakar Al-Siddiq. Ia mempunyai 40.000 dinar. 10.000 disedekahkan di malam hari dan 10.000 di siang hari. 10.000 yang lain disedekahkan secara sembunyi-sembunyi dan 10.000 sisanya secara terang-terangaan. Maka, orang-orang yang memiliki kerendahan hati seperti inilah yang menjadi salah satu kriteria golongan yang terhindar dari keresahan dan kecemasan dalam hatinya.

7. Meninggalkan Perbuatan Riba dan Gemar Bersedekah

Kriteria selanjutnya tersirat pada surah Al-Baqarah ayat 277:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ لَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat ini berisi tentang balasan bagi orang yang beriman dan beramal shaleh. Yaitu pahala di sisi-Nya serta tidak ada rasa takut dan sedih dalam hatinya. Adapun maksud amal shaleh pada ayat ini, berkaitan  dengan dua ayat sebelumnya (Al-Baqarah 275-276) yang berbicara tentang perintah menjauhi riba dan rajin melaksanakan sedekah.

Abu Bakar Al-Jazairi menerangkan, bahwa ayat ini dan dua ayat sebelumnya mengajak untuk bersedekah, karena akan dilipatgandakan pahalanya. Sebaliknya, diperintahkan menjauhi riba karena menyimpang dari kebaikan. Oleh karenanya, bagi mereka yang meninggalkan segala bentuk riba, serta gemar bersedekah dengan ikhlas, mereka tidak akan merasakan gelisah dan keresahan dalam hatinya.

Baca juga: Tafsir Al-Jalalain tentang Surah Al-Ahzab Ayat 37 dan Beberapa Komentar Atasnya

8. Mendirikan Shalat dan Menunaikan Zakat

Dalam Al-Quran, perintah mendirikan shalat hampir selalu bersandingan dengan perintah menunaikan zakat. Kriteria pada golongan sebelumnya juga sering disandingkan dengan kriteria ini. Hal ini dikarenakan, mereka yang beramal shaleh dengan berbagai bentuknya, akan selalu menjalankan kewajiban utama sebagai hamba dengan melaksanakan shalat dan menunaikan zakat. Hatinya diliputi ketentraman, sebab shalatnya menjadi tameng dari berbuat keji dan munkar.

Dalam Aysar al-Tafasir dijelaskan, mereka tidak resah dan khawatir atas balasan yang akan mereka terima, baik di dunia maupun di akhirat. Orang dengan kriteria ini akan mendapat pahala dari Allah serta tidak ada rasa khauf dalam hatinya, seperti disebutkan pada ayat di kriteria sebelumnya.

  1. Gugur dalam Berjihad di Jalan Allah

Allah berfirman dalam surah Ali Imran ayat 170:

فَرِحِينَ بِمَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦ وَيَسۡتَبۡشِرُونَ بِٱلَّذِينَ لَمۡ يَلۡحَقُواْ بِهِم مِّنۡ خَلۡفِهِمۡ أَلَّا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bersuka ria terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat tersebut berkaitan erat dengan ayat sebelumnya (Ali Imran: 169), tentang keadaan orang-orang yang gugur dan mati di jalan Allah. Pada dasarnya, mereka tidaklah mati, namun tetap hidup di sisi Allah dan diberi rezeki. Lalu pada ayat ini, Allah secara spesifik menyebutkan keadaan mereka, yaitu dalam keadaan gembira karena karunia yang Allah berikan. Hati mereka juga senang, tentram, tanpa ada rasa takut dan sedih di dalamnya.

Al-Biqa’i dalam Nadzm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar menambahkan, mereka juga bergembira terhadap orang-orang yang belum dan akan menyusul mereka. Karena mereka tau karunia yang akan Allah berikan kepadanya dan orang-orang yang akan menyusul di belakangnya.  Oleh karena itu, kriteria lain orang yang akan mendapat balasan dari Allah dan tidak ada keresahan dalam hatinya adalah orang-orang yang jihad dan berjuang di jalan Allah, hingga mereka gugur di dalamnya.

  1. Beriman kepada Rasul-Rasul Allah dan Mengimani Ajaran-Ajarannya

Disebutkan dalam surah Al-an’am ayat 48:

وَمَا نُرۡسِلُ ٱلۡمُرۡسَلِينَ إِلَّا مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَۖ فَمَنۡ ءَامَنَ وَأَصۡلَحَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Dan tidaklah Kami mengutus para rasul itu melainkan untuk memberikan kabar gembira dan memberi peringatan. Barangsiapa yang beriman dan mengadakan perbaikan, maka tak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.

Ayat ini berkaitan dengan tugas diutusnya Rasul kepada umat manusia. Tugas tersebut berupa memberi kabar gembira dan peringatan bagi umatnya. Adapaun orang yang beriman dan senantiasa berusaha berbuat baik, ia akan mendapatkan ketentraman dan tidak akan diliputi rasa takut dan sedih hati atas azab maupun ancaman dari Allah. Perbuatan baik tersebut sebagai hasil dari keimanan dan kepatuhan mereka terhadap ajaran-ajaran Rasulnya.

Baca juga: Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

  1. Tidak Berbuat Dosa dan Maksiat (Fasiq)

Masih berkaitan dengan surah Al-An’am ayat 48 di atas, kriteria ini tersurat pada ayat setelahnya. Allah menjelaskan, orang yang mengingkari dan mendustakan apa yang telah datang dari Allah melaui Rasul-Nya serta ayat-ayat Nya, maka akan diberi azab  oleh Allah. Pendustaannya ini lalu berimbas pada dirinya yang senantiasa berbuat fasiq atau dosa. Oleh karena itu, orang yang tidak berbuat dosa atau maksiat, menjadi kriteria golongan yang tidak akan merasakan keresahan dalam hati terhadap azab Allah yang akan menimpanya.

  1. Beriman dan Senantiasa Bertaqwa kepada Allah

Allah berfirman dalam surah Yunus ayat 62:

أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Ayat ini menjelaskan bahwa, pari wali Allah atau kekasih Allah tidak akan merasakan rasa takut dan cemas dalam hatinya. Mereka juga tidak akan merasa sedih akan adzab atau ancaman dari Allah. Adapun yang dimaksud wali Allah pada ayat ini, telah dijelaskan pada ayat selanjutnya (Yunus: 63). Wali Allah adalah mereka yang beriman kepada-Nya dan senantiasa bertaqwa kepada-Nya.

Para wali inilah yang dijamin kebahagiannya di akhirat kelak tanpa ada rasa takut dan khawatir akan ancaman dan azab Allah. Imam Al-Thabari dalam tafsirnya menambahkan, para wali tidak merasa  takut dan resah di akhirat kelak terhadap siksaan Allah. Mereka juga tidak bersedih hati atas apa yang tertinggal di dunia.

Itulah 12 kriteria golongan yang terhindar dari khauf  atau keresahan hati. Mereka dengan kriteria-kriteria tersebut, tidak akan merasa cemas, takut dan khawatir akan azab, ancaman, dan siksa Allah. Hal ini karena mereka telah dijamin mendapat pahala yang besar di sisi Allah, berupa surga-Nya. Sebaliknya, mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut, maka hidupnya, bisa jadi, akan selalu dirundung rasa cemas, takut, dan khawatir. Baik takut karena ancaman makhluk Allah maupun ancaman langsung dari Sang Penciptanya di akhirat kelak. Dengan demikian, rasa khauf sejatinya tidak boleh ada dalam diri kita, kecuali hanya kepada Allah. Terlebih lagi, khauf tersebut meningkat menjadi rasa khasyah yang membuatnya semakin dekat dengan Allah SWT. Wallahu A’lam.

Artikel sebelumnya…

Tafsir Surah At Tariq Ayat 6-17

0
tafsir surah at thariq
Tafsuralquran.id

Tafsir Surah At Tariq Ayat 6-17 mula-mula berbicara mengenai penciptaan manusia setelah pada pembahasan sebelumnya disinggung sedikit mengenai perintah untuk memikirkan sebuah penciptaan manusia.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah At Tariq Ayat 1-5


Selanjutnya dalam Tafsir Surah At Tariq Ayat 6-17 dijelaskan mengenai kuasa Allah untuk membangkitkan manusia dari kematian. Agar manusia mempunyai gambaran tentang hal tersebut, Allah jelaskan mengenai proses tumbuhnya pepohonan di bumi.

Ayat 6-7

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan bahwa manusia dijadikan-Nya dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang punggung (as-sulb) dan tulang dada laki-laki. Pernyataan Allah ini adalah sebagai jawaban atas pertanyaan pada ayat terdahulu.

Ayat 8

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Ia benar-benar berkuasa untuk mengembalikan manusia hidup sesudah mati. Allah berfirman:

قُلْ يُحْيِيْهَا الَّذِيْٓ اَنْشَاَهَآ اَوَّلَ مَرَّةٍ ۗوَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيْمٌ ۙ  ٧٩

Katakanlah (Muhammad), “Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Yasin/36: 79)

وَهُوَ الَّذِيْ يَبْدَؤُا الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيْدُهٗ وَهُوَ اَهْوَنُ عَلَيْهِۗ وَلَهُ الْمَثَلُ الْاَعْلٰى فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۚ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ ࣖ   ٢٧

Dan Dialah yang memulai penciptaan, kemudian mengulanginya kembali, dan itu lebih mudah bagi-Nya. Dia memiliki sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana. (ar-Rµm/30: 27)

Ayat 9-10

Dalam ayat-ayat ini diterangkan bahwa Allah akan membangkitkan manusia kembali pada hari yang ditampakkan segala rahasia, yaitu hari Kiamat.

Ketika itu, tidak seorang pun dapat luput dari apa yang sudah ditentukan sebagai balasan atas perbuatannya, yaitu surga bagi yang beramal saleh dan neraka bagi yang durhaka dan melanggar perintah Allah.

Ketika di akhirat, semua manusia akan memperoleh balasan sesuai dengan perbuatan masing-masing. Jadi, setiap orang akan memperoleh sebagaimana amal yang telah dilakukan di dunia. Tidak ada satu kekuatan pun yang dapat mengubahnya dan tidak ada penolong yang dapat membantunya kecuali kekuasaan Allah semata, sebagaimana firman-Nya:

وَلَمْ تَكُنْ لَّهٗ فِئَةٌ يَّنْصُرُوْنَهٗ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَمَا كَانَ مُنْتَصِرًاۗ    ٤٣

Dan tidak ada (lagi) baginya segolongan pun yang dapat menolongnya selain Allah; dan dia pun tidak akan dapat membela dirinya. (al-Kahf/18: 43)

Ayat 11

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan langit yang mengandung hujan yang sangat diharapkan manusia, karena hujanlah yang menjadikan tanah tandus menjadi subur, yang membuat makhluk yang berada di bumi hidup dan yang menjadikan udara panas menjadi sejuk.

Ayat 12

Allah bersumpah dengan bumi yang mempunyai tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan yang sangat diperlukan untuk kehidupan manusia dan binatang ternak mereka.

Ayat 13-14

Allah menegaskan bahwa sumpah-Nya dengan langit dan bumi itu menyatakan bahwa sesungguhnya Alquran yang dibawa oleh Nabi Muhammad benar-benar firman Allah yang memisahkan antara yang hak dan yang batil, dan sama sekali bukanlah senda gurau.

Dengan demikian, sudah seharusnya Alquran menjadi petunjuk bagi seluruh manusia. Allah menjelaskan di dalam Alquran tentang yang hak dan batil karena keterbatasan kemampuan akal manusia untuk mengetahuinya.

Baca juga: Pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah Tentang Kisah Al-Quran

Ayat 15

Allah menerangkan bahwa orang kafir merencanakan tipu daya yang jahat dengan mengatakan tidak ada hari kebangkitan, sebagaimana diterangkan Allah dalam ayat-ayat berikut ini tentang apa-apa yang telah mereka katakan:

وَقَالُوْٓا اِنْ هِيَ اِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوْثِيْنَ   ٢٩

Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), “Hidup hanyalah di dunia ini, dan kita tidak akan dibangkitkan.” (al-An’am/6: 29)

وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَّنَسِيَ خَلْقَهٗۗ قَالَ مَنْ يُّحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ   ٧٨

Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadiannya; dia berkata, “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” (Yasin/36: 78)

Tipu daya itu adakalanya berupa fitnah yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad tukang sihir, penyair, atau gila. Pada puncaknya, mereka merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad, sebagaimana firman Allah:

وَاِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيُثْبِتُوْكَ اَوْ يَقْتُلُوْكَ اَوْ يُخْرِجُوْكَۗ وَيَمْكُرُوْنَ وَيَمْكُرُ اللّٰهُ ۗوَاللّٰهُ خَيْرُ الْمَاكِرِيْنَ  ٣٠

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya. (al-Anfal/8: 30)

Ayat 16

Ayat ini menerangkan bahwa Allah menghadapi rencana jahat mereka itu dengan menolong Rasul-Nya dan mengangkat agama-Nya.

Ayat 17

Allah menyuruh Nabi Muhammad agar meneruskan dakwahnya dan tidak mengharapkan agar orang kafir cepat-cepat mendapat siksa. Allah menangguhkan siksa-Nya agar dosa mereka bertambah banyak, sehingga bila Allah menurunkan azab-Nya nanti, tidak akan ada seorang pun lagi yang menaruh kasihan kepada mereka. Allah berfirman:

نُمَتِّعُهُمْ قَلِيْلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ اِلٰى عَذَابٍ غَلِيْظٍ

Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam azab yang keras. (Luqman/31: 24)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al A’la Ayat 1-12


(Tafsir Kemenag)

Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani adalah Fiktif

0
Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani
Sudut Pandang John Wansbrough tentang Mushaf Usmani

John Edward Wansbrough, selain dikenal sebagai kritikus al-Qur’an, ia juga merupakan tokoh revisionis yang skeptis terhadap sejarah Islam awal. Pada KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) dijelaskan bahwa revisionis adalah  orang yang dianggap menyimpang atau mengubah suatu ajaran. Dengan begitu, ada potensi bahwa sudut pandang Wansbrough tentang mushaf usmani adalah fiktif.

John Edward merupakan sarjana barat yang lahir di Peoria, Illionis pada tanggal 19 Februari 1928. Ia merupakan sarjana barat pada bidang sejarah. Masa studinya ia tempuh di Universitas Harvard. Ia mencapai puncak karier akademiknya pada School of Oriental and African Studies University of London (SOAS University of London). Kemudian Ia diangkat menjadi direktur program studi Kajian Oriental dan Afrika. Hingga sisa karir akademiknya ia habiskan di SOAS.

Sekitar tahun 1970-an Wansbrough melakukan penelitian tentang naskah-naskah Islam awal. Ia mengasumsikan mengenai monoteis agama dalam Islam adalah adaptasi dari Yahudi-Kristen. Dan mengandaikan teori ini diambil dari al-Qur’an. Menurut Wansbrough awal mula munculnya Islam berasal dari sekte Yahudi-Kristen yang disebarkan di tanah Arab. Seiring berjalannya waktu konsep tersebut berevolusi dengan perspektif Arab dan menyesuaikan apa yang ada di dalam al-Qur’an.

Baca juga: Penjelasan Para Mufasir tentang Hati yang Sakit dalam Surah al-Baqarah Ayat 10

Apa yang telah dilakukan Wansbrough adalah bukti bahwa Ia adalah tokoh revisionis yang skeptis terhadap sejarah Islam awal. Bukti tersebut diklarifikasi oleh Yehuda D. Nevo dalam artikelnya “Towards A Prehistory of Islam” (1994). Nevo menjelaskan bahwa bukti sejarah Islam awal itu muncul diluar jazirah arab. Setelah penelitiannya yang ia lakukan di Negev (wilayah Israel) dan beberapa lokasi di Suriah. Nevo mengkonfirmasi kebenaran argumen Wansbrough bahwa sejarah Islam awal itu muncul diluar jazirah Arab. Yang berimplikasi adanya akulturasi dengan ajaran Yahudi-Kristen.

Kemudian Donner menjelaskan secara merinci asumsi-asumsi pendekatan skeptis sebagai berikut : yang pertama, tidak adanya sumber kajian yang dapat digunakan untuk merekonstruksi Islam awal. Bahkan proses kodifikasi al-Qur’an baru terjadi pada abad kedua bukan pada awal abad pertama (beberapa tahun setelah wafatnya Muhammad SAW). Dan tidak dapat dijadikan sebagai sumber sejarah awal kemunculan Islam karena tidak sezaman dengan Nabi.

Yang kedua, buku sejarah dan sirah yang ditulis orang Islam tidak dapat membuktikan sejarah yang sebenarnya. Karena, hal tersebut adalah bukti “sejarah keselamatan” (Salvation history), sejarah yang ditulis orang Islam yang hanya menyajikan narasi ideal seorang Muhammad sebagai Nabi kaum muslim. Tidak menyajikan informasi historis yang benar-benar terjadi pada saat itu, akan tetapi kisah-kisah belakangan yang disebutkan. Yang ketiga, semua bukti sejarah munculnya agama Islam tidak lebih dari interpretasi seseorang atas kejadian sebenarnya. Bukan, disandarkan pada sumber sejarah yang otentik.

Baca juga: Mengenal Tokoh Revisionis John Wansbrough, yang Mempertanyakan Kemurnian Al-Qur’an

Perspektif Wansbrough Terhadap Al-Qur’an

Sebelum melihat lebih jauh pemikiran Wansbrough. Mari kita lihat sudut pandang Wansbrough dalam melihat al-Qur’an. Wansbrough mengunakan analisis sastra (method of literary analysis) dan pendekatan objektif terhadap al-Qur’an. Pendekatan objektif dengan tujuan untuk memisahkan teks (al-Qur’an) terhadap pengarang (author of the text) dan pembaca (reader of the text).

Sehingga teks memiliki otoritas mandiri yang dapat ditelusuri melalui pendekatan objektif. Kritik terhadap teks memiliki dua bentuk kritik yang umumnya dilakukan oleh pengkritik sastra. Yakni, kritik ekstrinsik (naqd al-dakhili) adalah kritik yang objek kajiannya adalah faktor-faktor eksternal munculnya suatu karya berupa kritik sosio-grafis, religio kultural. Dan yang kedua adalah kritik intrinsik (naqd al-khariji). Dengan objek kajiannya kepada kritik redaksi dan teks sastra. Yang mana memposisikan teks menjadi sebuah karya sastra yang mandiri tanpa adanya tendensi sosio-historis pengarang (author of the text) dan pembaca (reader of the text). Hal tersebut yang dilakukan oleh Wansbrough dalam menganalisis teks al-Qur’an.

Wansbrough menganalisis teks al-Qur’an berdasarkan metode yang telah disebutkan di atas. Ia menganggap al-Qur’an sebagai teks sastra biasa. Pernyataan yang fatal merujuk pada QS. al-A’raf (7) 71 dan as-Saffat (31): 156. Wansbrough memberi arti kata al-Kitab / Kitabullah dengan ketetapan (dorcee), otoritas (authority) / usulan bukan dengan kitab suci.

Kemudian Ia mengasumsikan bahwa resensi penyalinan al-Qur’an menjadi bentuk mushaf yang dilakukan Usmān ibn Affān, merupakan fiksi belaka dikarenakan tidak adanya bukti literal. Pendapat Wansbrough bahwa satu-satunya yang menjadi bukti literal Islam awal klasik hanya al-Qur’an dalam penelitiannya menggunakan pendekatan objektif.

Baca juga: Kisah Al-Quran tentang Tiga Bangsa Besar yang Dimusnahkan

Tiga Prinsip Wansbrough dalam Penafsiran Al-Qur’an

Menurut Dadan Rusmana, Wansbrough mengadopsi dari asumsi Regis Blachere dan memposisikan al-Qur’an sama dengan Taurat dan Injil dalam proses kodifikasi al – Qur’an. Selanjutnya dapat disimpulkan dalam Qur’anic Studies, Wansbrough merumuskan prinsip-prinsip penafsiran terhadap al-Qur’an.

Pertama metode analisis sastra (method of literary analysis) sebagai metode yang digunakan sebagai proses analisis menyingkap makna di dalam al-Qur’an. melalui pendekatan analisis bentuk (form criticism) dan analisis redaksi (redaction criticism).

Kedua dengan melihat aspek yang terkandung dalam tipe penafsiran dan teks al-Qur’an. Penafsiran al-Qur’an harus dimulai dari analisis struktur linguistik dan analisis sastra. Dan ketiga, penafsiran al-Qur’an hendaknya melihat sosio-historis tradisi Yahudi,Kristen, dan umat Islam awal. Karena didalam al-Qur’an berisi adopsi dari sosio-historis agama Yahudi dan Kristen.

I’Jaz Al-Qur’an Menurut Abdul Qahir Al-Jurjani, Ulama Penggubah Ilmu Balaghah

0
Abdul Qahir Al-Jurjani
Abdul Qahir Al-Jurjani

I’jaz Al-Qur’an merupakan kekuatan Al-Qur’an yang punya potensi untuk melakukan I’jaz (memperlemah) kondisi hati seseorang, baik kekuatan tersebut datang dari unsur Dzahiri (bahasa) maupun Bathiny (Kandungan). Di kalangan linguis Arab sendiri, masih menjadi perdebatan dimana letak I’jaz dalam tubuh Al-Qur’an itu sendiri. Semua memiliki pendapat masing – masing yang diperkuat dengan argumentasi yang logis dan dapat dipertanggung jawabkan baik secara konkret maupun perasaan. Diantara para linguis tersebut adalah Abdul Qahir Al-Jurjani, dikenal sebagai ulama yang berjasa dalam menetapkan pondasi ilmu Balaghah

Sebagaimana bahasa Al-Qur’an memiliki power yang unik, yang mampu menghancur leburkan (I’jazi) nalar sastra bangsa Arab Jahiliyah yang kala itu dinilai telah mencapai level tertinggi dalam peradaban bahasa dan sastra. Banyak sekali bukti kehebatan Al-Qur’an hingga mampu memikat manusia – manusia di sekitarnya, bahkan dari segi bahasanya saja. Salah satunya adalah Walid bin Mughirah yang pernah terlena dengan indahnya bahasa Al-Quran, beliau pernah menceritakan pada kaumnya (Bani Makhtum) tentang betapa indahnya bacaan Rasulullah

وَاللهُ لَقَدْ سَمِعْتُ أَنْفاً مِنْ مُحَمَّدٍ كَلَاماً مَا هُوَ كَلَامُ الْإِنْسِ. إِنَّ لَهُ لَحَلَاوَةٌ وّإِنَّ عَلَيْهِ لَطَلَاوَةٌ وَإِنَّ أّعْلَاهُ لَمُثْمِرٌ، وَإِنَّ اَسْلَفَهُ لَمُغْدِقٌ، وَإِنَّهُ يَعْلُوْ وَلَا يُعْلَى

“Sungguh barusan aku mendengar Muhammad melantunkan sebuah ucapan yang tak mungkin berasal dari manusia, dan tak mungkin pula berasal dari jin. Betapa manisnya, betapa indahnya, betapa renyahnya, betapa hancur kary – karya lama dibuatnya. Sungguh itu tinggi, taka da lagi tandingannya”.

Sebagai bagian dari bangsa Arab Jahiliyah, statement Al-Walid bisa dinilai valid karena ia sendiri pasti memiliki rasa sastra yang tinggi.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Riwayat Hidup Abdul Qahir Al-Jurjani

Abdul Qahir Al-Jurjani lahir pada abad 11 masehi di Gorgan (Jurjan) sebuah kota terkenal di antara Tibris dan Khurasan. Gorgan dikenal sebagai salah satu kota yang mencetak banyak sekali sastrawan. Nilai seorang sastrawan di masa – masa itu sama nilainya dengan harga seorang panglima perang. Sehingga sastrawan banyak sekali diperebutkan oleh para bangsawan dan pejabat kala itu. Dengan lingkungan yang demikian, Abdul Qahir memilih untuk mendalami keilmuan bahasa Arab, sama dengan rata – rata pemudan Gorgan pada saat itu.

Beliau banyak belajar pada linguis – linguis besar generasi sebelumnya, seperti Sibawaih, Al-Jahidz, Abu Ali Al-Farisi, Abu Hilal Al-‘Askari, dan lain sebagainya. Beliau akhirnya menjadi pakar dalam keilmuan Balaghah dan Sastra. Menulis 2 karya fenomenal yang hingga sekarang menjadi Big book nya balaghah, yakni Dalail Al-I’jaz, dan Asrar Al-Balaghah.

Baca juga: Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan

Perdebatan tentang letak I’Jaz Al-Qur’an

Atas perhatiannya yang besar terhadap ilmu balaghah, Al-Jurjani jadi tertarik soal perdebatan para ulama terdahulu tentang titik poin I’jaz Al-Qur’an.  Perhatiannya tersita karena saat itu sedang ramai – ramainya perselisihan antara Mu’tazilah dan Ahlussunnah Asy’ariyah yang semakin memanas. Persaingan itu tidak hanya dalam hal teologi, tapi juga linguistik. Orang – orang mu’tazilah memiliki pengetahuan linguistik yang cukup berpengaruh pada saat itu, yang tentunya akhirnya memberikan mereka pemahaman tentang teks suci.

Id Raja’ dalam bukunya Falsafat Al-Balaghah : Bayna At-Taqniyyah Wa At-Thatawwur menyebutkan bahwa Al-Qhadi Abdul Jabbar seorang mu’tazilah berpendapat bahwa I’jaz Al-Qur’an terletak pada teknik peletakan kalimat dan metode pengungkapannya, bukan pada kata secara independen, makna, maupun formatnya. Al-Jurjani membantah pendapat tersebut, logika yang beliau gunakan, adalah kalimat dan kata tidak dapat dipandang secara parsial. Keduanya memiliki hubungan yang erat.

Maka mustahil kemukjizatan Al-Quran muncul dari kalimatnya saja, tidak dari katanya secara independen. Bagi Al-Jurjani semua unsur dalam Al-Qur’an itu bersatu padu, baik dalam lafadz maupun makna. Dimana tiap lafadz memiliki makna yang sangat kompleks jika ditinjau secara analitik.

Teori Nadzm dalam I’jaz Al-Qur’an menurut Abdul Qahir Al-Jurjani

Beranjak dari bantahan Al-Jurjani terhadap Al-Qadhy Abdul Jabbar, Al-Jurjani dalam karya masterpiece-nya Dalail Al-I’jaz menyebutkan bahwa Al-Qur’an baru terlihat luar biasa dalam kebahasaan bila dibedah melalui teori Nadzm yang beliau kemukakan.

وَاعلَمْ أَنَّكَ إِذَا رَجَعْتَ إِلَى نَفْسِكَ عَلِمْتَ عِلْماً لَا يَعْتَرِضُهُ الشَّكُّ. أَنَّ لَا نَظْمَ فِيْ الْكَلِمِ وَلَا تَرْتِيْبَ حَتَّى يُعَلَّقُ بَعْضُهَا بِبَعْضٍ، وَيُبْنِيَ بَعْضُهَا عَلَى بَعْضٍ وَتَجْعَلُ هَذِهِ بِسَبَبِ مِنْ تِلْكَ. هَذَا مَا لَا يَجْهَلُهُ عَاقِلٌ وَلَا يَخْفَى عَلَى أَحَدٍ مِنَ النَّاسِ. وَإِذَا كَان َكَذَلِكَ فَبِنَا أَنْ نَنْظُرَ إِلَى التَّعْلِيْقِ فِيْهَا وَالْبِنَاءِ. وَجَعَلَ الْوَاحِدَةَ مِنْهَا بِسَبَبِ مَنْ صَاحَبَتْهَا. مَا مَعْنَاهُ وَمَا مَحْصُوْلُهُ. وَإِذَا كَانَ لَا يَكُوْنُ فِيْ الْكَلِمِ النَّظْمُ وَلَا تَرْتِيْبُ إِلَّا بِأَنْ يَصْنَعَ بِهَا الصَّنِيْعُ وَنَحْوُهُ. كَانَ ذَلِكَ كُلَّهُ مِمَّا لَا يَرْجِعُ مِنْهُ إِلَّا اللَّفْظَ شَيْءٌ

“Jika kalian menoleh kembali pada diri kalian sendiri, kalian akan tahu dengan sungguh tanpa keraguan lagi. Bahwa sungguh tiada nadzm atau tartib hingga satu kata dikaitkan dengan kata yang lain, saling membangun satu sama lain. menjadikan yang ini sebab terjadinya yang it. Ini adalah suatu yang tak pernah luput dan disembunyikan oleh siapapun. Jika sudah demikian, marilah kita melirik pada keterkaitan dan kontruksi diantaranya. Dan menjadikan satu kata sebagai sebab hadirnya kata yang menyertainya. Apa maknanya, dan apa hasilnya. Jika pada satu kalam tidak ada nadzm atau tartib, kecuali jika dibuat oleh penulisnya, maka tidak ada lagi yang bisa dirujuk darinya sedikitpun kecuali lafadz”

Baca juga: Muhsin al-Musawa, Ulama Nusantara Pengarang Kitab Nahj al-Taisir Syarh Mandzumah al-Tafsir

Teori Nadzm sendiri merupakan teori yang menyatakan bahwa meredaksikan ungkapan sesuai dengan aturan sintaksis yang berlaku. Teori ini bicara soal kompleksitas pemaknaan Al-Quran. Bahwa memaknai Al-Qur’an berarti memetakan Al-Quran secara zoom out. Misalkan untuk membedah lafadz :

الحمد لله

Lafadz Alhamdu saja bila dibedah melalui teori nadzm memiliki 2 fungsi yang berbeda, fungsi Alhamdu sebagai kata yang indpenden, memiliki arti puji syukur. Serta fungsi kedua sebagai komponen sintaksis dari kalimat tersebut.  Alhamdu secara susunan gramatikal berposisi sebagai Mubtada’ , maka sifat Alhamdu sebagai kata independen tidak boleh dipisahkan dari perannya sebagai komponen sintaksis.

Bila fungsi Alhamdu sebagai komponen sintaksis direduksi, maka akan berpengaruh pada pemaknaan.  Nadzm antara Alhamdu dengan lafadz – lafadz setelahnya, dinilai Al-Jurjani sebagai poin penting bentuk kehebatan Al-Qur’an dalam memproyeksikan sesuatu, hingga sastra Arab yang dinilai punya peradaban puisi tertinggi saat itu tunduk dibawah kedigdayaan I’jaz Al-Qur’an

Wallahu A’lam

Tafsir Surah At Tariq Ayat 1-5

0
tafsir surah at thariq
Tafsuralquran.id

Tafsir Surah At Tariq Ayat 1-5 mula-mula memaparkan objek sumpah Allah serta alasan-alasan penggunaannya. Setelah itu berbicara mengenai penjaga-penjaga manusia sejak lahir hingga wafat.


Baca sebelumnya: Surah Al Buruj Ayat 11-22


Dalam Tafsir Surah At Tariq Ayat 1-5 ini juga dijelaskan mengenai pengertian kata tariq dan tsaqib dari segi bahasa. Lalu dari situ dikaitkan dengan bintang pulsar berdasarkan penjelasan dari salah satu ilmuan dari universitas Cambridge.

Ayat 1-3

Dalam ayat-ayat ini dan pada beberapa ayat lain, Allah bersumpah dengan langit, matahari, bulan, dan malam karena terdapat padanya hal-hal, bentuk-bentuk, perjalanan-perjalanan, terbit dan tenggelamnya; maka keadaan yang ajaib dan luar biasa ini adalah bukti bagi orang yang berpikir dan memperhatikan bahwa ada penciptanya Yang Mahakuasa, tidak ada sekutu dalam penciptaannya.

Dalam ayat-ayat ini, Allah bersumpah dengan langit dan bintang yang terbit pada malam hari. Sinarnya memecahkan kegelapan, dan menjadi petunjuk jalan kepada manusia pada waktu gelap di bumi dan di laut.

Dari bintang itu, manusia dapat mengetahui musim hujan dan hal-hal lain yang diperlukannya dalam kehidupan. Ada beberapa arti yang dikemukakan oleh para mufasir mengenai bintang tersebut. Pendapat yang terbaik adalah yang mengartikannya sebagai bintang yang bercahaya.

Ayat 4

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa setiap orang ada penjaga dan pengatur keperluannya dalam seluruh perjalanan hidupnya hingga ajalnya tiba. Mengenai penjaga manusia ini, terdapat dua pengertian, yaitu:

  1. Penjaga dari malaikat yang memperhatikan dan menghitung perbuatan manusia, sebagaimana firman Allah:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ اِلَّا لَدَيْهِ رَقِيْبٌ عَتِيْدٌ   ١٨

Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat). (Qaf/50: 18)

  1. Penjaga dari malaikat yang selalu mendampingi setiap saat dan memelihara kehidupan sehari-hari, sebagaimana firman Allah:

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ

Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. (ar-Ra’d/13: 11)

Kata tariq, nama surah ke-86 ini, berasal dari akar kata taraqa yang makna dasarnya adalah memukul dengan cukup keras untuk menimbulkan suara. Dengan mempertimbangkan akar kata yang dapat diartikan sebagai berdenyut/berdetak, memukul keras.

Adapun tsaqib yang berasal dari kata tsaqaba memiliki arti melubangi atau menembus sesuatu yang padat. Alquran tampaknya mengarahkan kita pada sebuah kenyataan ilmiah penting, yakni menuju ke arah  apa yang pada saat ini dikenal dengan bintang pulsar, yang diambil dari kata kerja bahasa Inggris to pulse, yang berarti bergetar, berdenyut dengan irama teratur.

Dengan demikian, surah di atas berbunyi atau berarti sebuah bintang yang mengetuk di malam hari dan membuat lubang.

Melalui penelitian oleh Jocelyn Bell Burnell, mahasiswa doktoral bersama pembimbingnya Antony Hewish di Universitas Cambridge pada tahun 1967, ditemukan adanya  sinyal radio yang terpancar secara teratur dari luar angkasa.


Baca juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit


Namun demikian, pada saat itu belum diketahui benda langit mana yang menjadi sumber getaran tersebut. Jocelyn Bell (ketika itu belum menyandang nama Burnell, suaminya) menandai rekaman yang diperolehnya dengan LGM, kependekan dari Little Green Men, sebab sinyal tersebut seperti sebuah pesan datang dari sebuah pemancar yang disampaikan oleh makhluk cerdas (intellegent life).

Tidak lama kemudian, pulsar ini diinterpretasikan berasal dari bintang  neutron yang berotasi dan terisolasi. Massa bintang yang sedang menuju ‘kematiannya’ ini sangat padat dimana digambarkan materi pulsar seukuran satu sendok teh memiliki berat 1 miliar ton, dan memiliki gravitasi yang demikian besar.

Bintang-bintang ini, yang berubah menjadi pulsar melalui ledakan supernova, termasuk benda-benda langit yang paling terang dan bergerak paling cepat di ruang angkasa. Sejumlah pulsar berputar 600 kali per detik. Bila bintang ini terus menuju keruntuhannya, maka lahirlah apa yang dikenal sebagai  black hole (lubang hitam).

Apabila teleskop radio ini dihubungkan dengan loud speaker maka akan terdengar seperti suara orang mengetuk pintu (at-Tariq), yang berasal dari bintang sedang membuat lubang, untuk kemudian menjadi lubang hitam.

Akhirnya Allah mengingatkan bahwa setiap jiwa ada penjaganya. Bahwa apa yang difirmankan Allah sebelumnya, tentang bintang-bintang,  adalah ¥aqq, maka firman Allah bahwa setiap jiwa ada penjaganya adalah Haqq. Ayat ini merupakan peringatan bagi manusia untuk selalu sadar bahwa Allah senantiasa mengamati.

Ayat 5

Pada ayat ini, Allah mengingatkan manusia agar memperhatikan dari apakah ia diciptakan. Hal ini berarti bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berpikir dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh dari apa ia dijadikan.

Dengan demikian, ia dapat mengetahui kekuasaan penciptanya dan mengetahui pula bahwa bila penciptanya dapat menciptakannya dari bahan yang tidak memiliki tanda-tanda kehidupan sedikit pun, maka tentulah Ia akan lebih mudah menghidupkannya kembali.


Baca setelahnya: Tafsir Surah At Tariq Ayat 6-17


(Tafsir Kemenag)