Beranda blog Halaman 385

Penjelasan Para Mufasir tentang Hati yang Sakit dalam Surah al-Baqarah Ayat 10

0
Hati yang sakit
Hati yang sakit dalam Surah al-Baqarah ayat 10

Artikel ini akan menguraikan tentang hati yang sakit dalam Surah al-Baqarah ayat 10 dan bagaimana para mufasir memahaminya. Allah Swt berfirman:

فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ

“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu Allah menambah penyakitnya itu; dan mereka mendapat azab yang pedih, karena mereka berdusta.” (Q.S. Al-Baqarah : 10).

Imam Jalaluddin Al-Suyuthi dalam Al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur ketika menafsirkan kalimat “Dalam hati mereka ada penyakit”, mengutip hadis riwayat Ibn ‘Abbas yang menjelaskan bahwa makna kata “penyakit” dalam ayat tersebut adalah ‘al-syakk’, yaitu (keraguan), dan ‘al-nifaq’, yaitu kemunafikan.

Baca Juga: Insecure dengan Potensi Diri? Perhatikan Tafsir Surah Al-Isra Ayat 84!

Dari penjelasan Ibn Abbas tersebut dapat dipahami bahwa hati yang sakit adalah hati yang dihinggapi keraguan terhadap kebenaran serta diliputi kemunafikan. Sikap ragu dan munafik ini, yang terus menerus dilakukan, pada gilirannya akan menutup pintu hidayah.

Syeikh Nawawi Al-Bantani dalam Marah Labid Likasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid menegaskan bahwa, karena sikap ragu dan nifaq terhadap setiap ayat al-Qur’an yang diturunkan Allah kepada mereka (orang-orang kafir dan munafik), maka Allah pun menambah ‘penyakit’ di dalam hati mereka. Penyakit yang dimaksud menurut Syeikh Nawawi adalah penyakit keraguan dan kegelapan hati.

Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Qulub pada ayat di atas adalah ‘Uqul, jamak dari ‘aql. Sebuah ungkapan yang dikenal oleh masyarakat Arab untuk menunjukkan atsar atau wujud nyata sebuah tindakan hasil olah hati dan pikiran. Adapun mengenai hati atau akal yang sakit, menurut Al-Maraghi disebabkan oleh kebodohan, kemunafikan, keraguan, serta kedengkian (hasad). Pada gilirannya, keempat hal tersebut akan merusak akidah dan akhlak seseorang.

Dari sejumlah keterangan para mufasir di atas, jelaslah bahwa hati yang sakit itu disebabkan oleh sejumlah penyakit dalam diri seseorang, seperti : keraguan, kemunafikan, kebodohan, serta kedengkian.

Untuk mengobati hati yang sakit ini, menurut sejumlah keterangan para ulama tasawuf (sufi), mula-mula seseorang harus melakukan proses takhalli, yaitu mengosongkan hati atau membersihkannya dari penyakit-penyakit yang dideritanya. Caranya adalah melakukan sesuatu atau bersikap yang sebaliknya.

Jika kita sering dihinggapi keraguan, maka kita harus berusaha untuk menguatkan keyakinan dalam diri. Jika di dalam diri kita ada sikap iri dan dengki, maka yang harus kita lakukan adalah berusaha menghadirkan rasa syukur setiap saat. Jika masih tersimpan dendam dalam dada, maka yang harus kita lakukan adalah membuka pintu hati untuk memaafkan orang lain.

Baca Juga: Doa Al-Quran: Surat Ali Imran Ayat 8 untuk Ketetapan Hati dalam Iman

Jika di dalam diri ini masih terdapat kesombongan (takabur), maka yang harus kita lakukan adalah menghadirkan sikap rendah hati (tawaduk). Jika diri ini masih dihinggapi keengganan untuk berbagi (bakhil), maka yang harus kita lakukan adalah berusaha untuk selalu berbagi dengan orang lain.

Inilah cara mengobati penyakit hati menurut para ulama. Dengan cara melakukan sesuatu yang sebaliknya dari sikap yang membuat hati sakit, maka lambat laun penyakit-penyakit di dalam hati akan berangsur-angsur pulih. Walhasil, hati pun kembali sehat.

Semoga artikel ini bermanfaat. Wallahu A’lam.

Kisah Al-Quran tentang Tiga Bangsa Besar yang Dimusnahkan

0
kisah Al-Quran tentang tiga bangsa besar
kisah Al-Quran tentang tiga bangsa besar

Kisah tentang tiga bangsa besar berikut peradabannya yang dibinasakan oleh Allah Swt adalah sekelumit kisah Al-Quran yang banyak dilupakan. Kisah tersebut diingatkan kembali oleh Rais Aam PBNU, KH. Miftachul Akhyar pada khutbah iftitah (pidato pembuka) dalam rangka memperingati Harlah (hari lahir) NU ke-98 di Masjid Istiqlal Jakarta pada 16 Rajab 1442 H bertepatan dengan Sabtu tanggal 2 Februari 2021 kemarin. Pidato Kiai Miftach ini diunggah di channel YouTube NU Online bertajuk Bangsa yang Dihancurkan dalam Al-Quran-Pidato Iftitah Rais Aam PBNU KH Miftachul Akhyar.

“Kebesaran yang pernah terjadi di dunia ini. Hadharah atau peradaban yang pernah mengemuka, hanya karena sebuah kesalahan, atau dua kesalahan, atau tiga kesalahan, mereka bisa hancur berkeping-keping.” Begitulah Kiai Miftah memulai berkisah. Ia kemudian melanjutkan kisahnya dengan mengutip QS. Al Fajr [89]: 6-14:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِعَادٍ (6) إِرَمَ ذَاتِ الْعِمَادِ (7) الَّتِي لَمْ يُخْلَقْ مِثْلُهَا فِي الْبِلَادِ (8) وَثَمُودَ الَّذِينَ جَابُوا الصَّخْرَ بِالْوَادِ (9) وَفِرْعَوْنَ ذِي الْأَوْتَادِ (10) الَّذِينَ طَغَوْا فِي الْبِلَادِ (11) فَأَكْثَرُوا فِيهَا الْفَسَادَ (12) فَصَبَّ عَلَيْهِمْ رَبُّكَ سَوْطَ عَذَابٍ (13) إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ (14)

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap kaum ‘Ad? Yaitu penduduk Iram yang memiliki bangunan-banguan menjulang tinggi, yang belum pernah dibangun seperti itu di bangsa-bangsa lain. Dan kaum Tsamud yang memotong batu-batu besar di lembah. Dan kaum Fir’aun yang memiliki pasak-pasak, yang berbuat sewenang-wenang dalam bangsa. Lalu mereka berbuat banyak kerusakan dalam bangsa itu. Karena itu, Tuhanmu menimpakan kepada mereka cemeti azab.”

Dalam QS. Al Fajr [89] ayat 6 sampai 14 di atas, disebutkan bangsa-bangsa yang hancur adalah kaum ‘Ad, kaum Tsamud dan kaum Firaun. Kisah tiga bangsa besar ini sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Arab ketika QS. Al Fajr [89]: 6-14 diturunkan kepada mereka. Kaum ‘Ad dan Tsamud masing-masing bertinggal di tanah Arab. Peristiwa kehancuran kedua kaum ini mereka dengar secara mutawatir dari generasi ke generasi. Al-Quran juga telah memberitakan puing-puing kehancuran yang dialami dua kaum ini dalam QS. Al Ankabut [29]:38. Begitupun kisah kebinasaan Fir’aun dan bala tentaranya. Demikian masyhurnya berita tentang kehancuran bangsa-bangsa besar itu, seolah mereka menyaksikan sendiri bagaimana kejadiannya.

Baca Juga: Pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah Tentang Kisah Al-Quran

Kaum ‘Ad, Kaum Tsamud dan Kaum Fir’aun

Pertama, kisah tentang kaum ‘Ad. Menurut keterangan Al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, kaum ‘Ad merupakan kabilah dari suku bangsa Arab keturunan ‘Ad bin ‘Aus bin Iram bin Syalikh bin Arfakhsyaz bin Sam bin Nuh. Rasul yang diutus di tengah-tengah kaum ‘Ad adalah Nabi Hud AS, yang masih satu garis keturunan dengan mereka. Mereka hidup pada kisaran tahun 2450-2320 SM. Al-Baqi dalam Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim mencatat, kata ‘Ad dengan arti kaum ‘Ad terulang sebanyak 24 kali dalam Al-Quran.

Kaum ‘Ad adalah bangsa yang hebat. Mereka punya potensi dan juga kekuatan besar. Di antara yang mereka miliki adalah sumber daya alam melimpah seperti yang disebutkan dalam QS. Al Syu’ara [26] :132-134. Modal sumber daya alam dan didukung dengan sumber manusia yang maju, membuat kaum ‘Ad berambisi menjadi bangsa super power dengan peradaban yang kokoh. Ambisi itu mereka ejawantahkan dengan membangun kota Iram yang begitu menakjubkan dengan berbagai infrastrukturnya dan istana megah dengan tonggak-tonggak besar yang tak ada tandingannya. Dengan segala potensi-potensi itulah, mereka mampu membuat kemajuan dalam bidang tata bangunan.

Kisah kedua adalah tentang kaum Tsamud. Mereka merupakan suatu bangsa yang datang menggantikan kaum ‘Ad. Sama seperti kaum ‘Ad, kaum Tsamud pun memiliki kekuatan dan pengelolaan sumber daya yang mapan (QS. Al A’raf [7]:74). Nama Tsamud dinisbatkan kepada salah seorang leluhur mereka, yaitu Tsamud bin Amid bin Iram. Nama lain dari Tsamud adalah Ashab al-Hijr.

Muhammad Bayumi Mahran dalam Dirasah Tarikhiyyah min al-Qur’an al-Karim fi Bilad al-‘Arab menjelaskan, kisah tentang kaum Tsamud lebih banyak diberitakan secara detail dalam kitab-kitab sebelum Al-Qur’an. Mereka hidup kira-kira sekitar abad ke-8 SM. Nabi Salih AS adalah rasul yang diutus kepada mereka untuk mendakwahkan tauhid. Selain memiliki kekuatan fisik, kaum Tsamud juga mahir di bidang seni pahat. Karena itu, mereka bisa memotong batu-batu besar di lembah untuk dijadikan tempat tinggal. Dengan kemampuan seni memahat, mereka mengukir relief-relief cantik di dinding istana-istana mereka.

Kisah yang terakhir yaitu tentang Fir’aun dan para pengikutnya. Nama Fir’aun adalah gelar yang disandangkan kepada para raja Mesir. Sementara yang dimaksud dalam QS. Al Fajr [89]: 10 adalah raja pada masa Nabi Musa AS, atau yang lebih dikenal dengan sebutan raja Ramses II. Al-Quran menyebut kata Fir’aun sebanyak 74 kali. Menurut Sa’id Muhammad dalam Asbab Halak al-Umam al-Salifah Kama Waradat fi al-Qur’an al-Karim, kisah seputar Fir’aun merupakan kisah yang paling sering diceritakan oleh Al-Quran dibandingkan dengan kisah-kisah yang lain.

Konon, Fir’aun memiliki pasukan dengan jumlah banyak, kuat dan solid. Ia berhasil menciptakan peradaban yang tak kan terlupakan oleh orang-orang yang hidup setelahnya. Kesuksesan Fir’aun ditopang oleh para teknokrat handal di bawah komando Haman. Tidak hanya itu, ia juga memiliki pakar ekonom, ahli futurologi, peramal dan ahli sihir yang semuanya membantu Fir’aun menyulap Mesir menjadi salah satu bangsa yang disegani.

Baca Juga: Hikmah Kisah-kisah dalam Al-Quran menurut Manna’ Al-Qaththan

Belajarlah dari Kisah Umat Terdahulu

Ada beberapa sebab mengapa tiga bangsa besar itu dimusnahkan oleh Allah SWT. “Kezaliman, ini pangkal kehancuran. Yang kedua al-tuqhyan, sewenang-wenang, penekanan-penekanan tanggan besi. Yang ketiga al-fasad, kerusakan. Merusak ini bukan menghancukan bangunan, tetapi mengisi kemaksiatan, memperbanyak kedurhakaan, mungkarat dan sebagainya. Yang keempat al-istikbar, kesombongan. Semua tadi telah diungkapkan dalam surah Al Fajr.” Kiai Miftach memungkas kisahnya.

Dari pernyataan Kiai Miftach ini, kita mengerti bahwa sebab dimusnahkannya tiga bangsa besar umat terdahulu itu adalah karena empat hal; kezaliman, arogansi, vandalisme, dan kesombongan. Kita sebagai generasi penerus dari bangsa yang besar ini, Indonesia dengan segala peradaban yang ada di dalamnya, harus belajar dari tragedi pemusnahan kaum ‘Ad, kaum Tsamud dan kaum Fir’aun serta semua peradaban maju dari kaum-kaum itu. Semoga kita bisa memetik hikmah dari kisah-kisah ini dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk terus berbenah diri demi keutuhan dan keselamatan bangsa tercinta. Amin.

Wallahu a’lam 

Tafsir Al-Jalalain tentang Surah Al-Ahzab Ayat 37 dan Beberapa Komentar Atasnya

0
Al-Ahzab ayat 37
Al-Ahzab ayat 37

Mayoritas pondok pesantren di Indonesia selalu menjadikan kitab Tafsir Al-Jalalain sebagai kitab utama pelajaran tafsir untuk pemula. Itu karena kitab ini memakai metode ijmaly yang ringkas dan global sehingga sangat cocok digunakan oleh pemula dalam memahami makna makna-makna al Quran. Inilah yang membuat kitab yang ditulis dua mufassir ini menjadi sangat populer di Indonesia. Hal ini bisa ditemukan salah satunya dalam Tafsir Al-Jalalain tentang surah Al-Ahzab Ayat 37.

Tidak dicantumkannya riwayat yang menjadi landasan penafsiran menjadi salah satu kekurangan yang dimiliki oleh kitab tafsir dengan metode ijmaly. Begitu juga dengan kitab tafsir jalalain ini, sehingga ada banyak tafsiran di dalamnya yang  tidak disertakan penjelasan riwayatnya. Sebagai contoh adalah penafsiran pada surat al Ahzab ayat 37 yang menceritakan perceraian Zaid dan Zainab:

وَإِذۡ تَقُولُ لِلَّذِيٓ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ وَأَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِ أَمۡسِكۡ عَلَيۡكَ زَوۡجَكَ وَٱتَّقِ ٱللَّهَ وَتُخۡفِي فِي نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ وَتَخۡشَى ٱلنَّاسَ وَٱللَّهُ أَحَقُّ أَن تَخۡشَىٰهُۖ فَلَمَّا قَضَىٰ زَيۡدٞ مِّنۡهَا وَطَرٗا زَوَّجۡنَٰكَهَا لِكَيۡ لَا يَكُونَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ حَرَجٞ فِيٓ أَزۡوَٰجِ أَدۡعِيَآئِهِمۡ إِذَا قَضَوۡاْ مِنۡهُنَّ وَطَرٗاۚ وَكَانَ أَمۡرُ ٱللَّهِ مَفۡعُولٗا

Dan (ingatlah), ketika engkau (Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak engkau takuti. Maka ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya terhadap istrinya. Dan ketetapan Allah itu pasti terjadi. (QS. Al-Ahzab: 37)

Ketika menafsirkan kalimat:

وَتُخۡفِي فِي نَفۡسِكَ مَا ٱللَّهُ مُبۡدِيهِ

“Engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah”.

Jalaluddin Al Mahalli (guru dari as-Suyuthi yang menulis tafsir jalalain dari surat al Kahfi sampai an-Nas dilanjutkan dengan al-Fatihah) berkata saat menafsirkan ayat ini:

مُظْهِره مِن مَحَبَّتها وأَنْ لَوْ فارَقَها زَيْد تَزَوَّجَتْها

“Allah menyatakan kecintaanmu kepada Zainab dan jikalau Zaid menceraikannya maka engkau menikahinya”

Dari sini tentu saja kita tidak mendapat informasi lebih lanjut mengenai riwayat yang melandasi penafsiran ini, dan apakah ada riwayat lain yang menafsirkan berbeda.

Ayat ini menceritakan tanggapan nabi ketika Zaid menyatakan keinginannya untuk menceraikan Zainab. Beliau bersabda “pertahankanlah istrimu dan bertakwalah kepada Allah”. Namun ada hal lain yang nabi simpan di dalam hatinya dan tidak beliau ungkapkan kepada Zaid karena khawatir dengan komentar manusia saat itu.

Jika kita merujuk kepada tafsir jalalain maka informasi yang kita dapatkan mengenai sesuatu yang disimpan oleh nabi dalam hatinya adalah perasaan cinta kepada Zainab yang saat itu masih menjadi istrinya Zaid, sedangkan Zaid adalah anak angkat nabi. Kitab tafsir jalalain tidak memperpanjang pembahasan riwayat dan perbedaan pendapat para mufassir dalam hal ini. Tentu saja hal itu disebabkan karena metode yang digunakan penulisnya yaitu metode ijmaly yang ringkas dan global.

Baca Juga: Tafsir Jalalain dan Sederet Fakta Penting Tentangnya

Komentar as-Shawi

Al ‘allamah as-Shawy mengomentari Tafsir Al-Jalalain tentang surah Al-Ahzab Ayat 37 ini dalam kitabnya Hasyiyah As-Shawy ala Tafsir Al-Jalalain:

ِهذا التفسيرُ غيرُ لائقٍ بمنصِبِ النُّبُوَّةِ لَا سِيَمَا بِجَانِبه الشَّرِيْف

“Tafsiran ini tidak layak dengan pangkat kenabian apalagi di sisi nabi yang mulia”

Lebih lanjut, As-Shawy memberikan pendapat yang dipegangnya, beliau berkata:

َوَالصَّوَابُ أَنْ يَقولَ: أَنَّ الَّذِي أَخْفَاهُ فِي نَفْسِهِ، هُوَ مَا أَخْبَرَ اللهُ بِهِ من أنَّها سَتَصِيْرُ إِحْدَى زَوْجَاتِهِ بَعْد طَلاقِ زَيْد لَهَا

“Yang benar adalah hendaknya mengatakan: bahwa yang nabi sembunyikan di dalam hatinya adalah apa yang Allah kabarkan yaitu bahwa sesungguhnya Zainab akan menjadi salah satu dari istri-istri nabi setelah diceraikan oleh Zaid…”

Baca Juga: Hasiyah Al-Sawi: Penjelas Tafsir Jalalain Paling Populer di Indonesia

Pendapat Mufassir Lain

Meski tidak langsung mengomentari Tafsir Al-Jalalain, keterangan dalam tafsir-tafsir yang lain bisa dibuat sebagai respon atas Tafsir Al-Jalalain tentang surah Al-Ahzab Ayat 37 di atas. Ada yang senada, ada pula yang berbeda.

Misal dalam Tafsir Jami’ al bayan ‘an Ta’wili Aay Al-Quran, At-Thabary berpendapat bahwa yang disimpan oleh Nabi dalam hatinya adalah beliau senang (lebih condong) kepada perceraian Zaid, agar nabi menikahi Zainab setelah ditalak oleh Zaid. Meskipun At-Thabary berpendapat demikian namun beliau kemudian menyertakan riwayat dari Qatadah yang melandasi tafsir beliau dan riwayat lain yang berbeda walaupun beliau tidak menguraikan pendapat-pendapat lainnya.

Al Baidhawi dalam tafsirnya Anwar At-Tanzil wa Asrar At-Ta’wil menafsirkan bahwa Nabi menyimpan dalam hati tentang pernikahan beliau dengan Zainab dan harapan beliau akan perceraian Zaid. Dalam tafsir ini, Baidhawi mengambil riwayat yang menceritakan dimana Nabi ketika melihat Zainab mengucapkan “Subhanallahi muqallibal qulub”, Zainab mendengar ucapan Nabi dan menyampaikannya kepada Zaid kemudian Zaid menyatakan keinginannya mentalak Zainab kepada nabi.

Baca Juga: Surah Al-Ahzab [33] Ayat 4-5: Hukum Mengadopsi Anak Menurut Al-Quran

Komentar yang berbeda dengan Tafsir Al-Jalalain tentang surah Al-Ahzab Ayat 37 disampaikan oleh Amin As-Syinqithy. Dalam tafsirnya, Adhwaul Bayan ia mengkritisi pendapat-pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menyimpan  rasa cinta kepada Zainab atau menyembunyikan harapan beliau akan perceraian Zaid itu sebagai riwayat yang tidak sahih, dan juga tidak layak kepada Nabi. Menurutnya, orang-orang yang menggunakan pendapat bahwa Nabi berkeinginan menikahi Zainab itu adalah orang yang jahil terhadap kema’shuman Nabi dan merendahkan kemuliaannya.

Lebih lanjut beliau mengutip dari Al-Qurthubi bahwa pendapat yang paling baik adalah yang dipegang oleh para ahli tahqiq dari para mufasir dan para ulama yang mendalam ilmunya seperti Az-Zuhry, Qadhi Bakr bin ‘alaa’ al Qusyairy dan Qadhi Abu Bakr bin Araby. Mereka berpegang pada riwayat dari Ali bin Husain yang menyatakan bahwa yang Nabi simpan dalam hatinya adalah bahwa Allah telah mewahyukan kepadanya perihal Zainab yang akan ditalak oleh Zaid dan akan menjadi salah satu istrinya nabi.

Hikmah Ayat

Melalui peristiwa ini, Allah Swt. hendak memperjelas status anak angkat dalam Islam serta menghapus pandangan dan anggapan para sahabat ketika mereka di masa jahiliyah. Dulu mereka beranggapan bahwa anak angkat itu sama statusnya dengan anak kandung. Dengan pernikahan antara Nabi dan Zainab yang merupakan bekas istri dari anak angkat Nabi yaitu Zaid bin Haritsah maka umat Islam tidak lagi merasa berat ketika ingin menikahi bekas istri anak angkat mereka.

Demikianlah pendapat para mufassir berdasarkan perbedaan riwayat yang mereka pegang dalam tafsirnya. Dalam hal ini harus mendahulukan kaidah kema’shuman nabi dari sifat-sifat yang mencederai kemuliaan beliau.

Wallahu a’lam

Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

0
Ibn Ajibah
Tafsir Ibn Ajibah dalam Surah Luqman Ayat 27-28

Berbicara tentang al-Quran tidak akan terhenti oleh terbatasnya ruang dan waktu, baik al-Quran dipandang sebagai teks kitab atau kalamullah sebagai sifat-Nya. Namun, bagi Ibn Ajibah kedua pandangan tersebut bertujuan untuk  memperkuat wujud kesempurnaan Allah. Maka, wujud kesempurnaan Allah tertuang di dalam memahami al-Quran. Kenapa demikian? Karena al-Quran memiliki sifat “tidak terbatas” khususnya dalam memahaminya. Istilah yang Ibn Ajibah gunakan adalah mafāhīm al-Qurān lā tatanāhā “memahami al-Qur’an itu tidak ada akhirnya/batasnya”.

Pernyataan Ibn Ajibah tersebut mengindikasikan bahwa di dalam al-Quran terdapat rahasia, makna, dan isyarat yang sangat luas dan tidak terbatas. Artinya, setiap makna yang terkandung dibelakang teks zahir, di dalamnya terdapat makna bathin; dimana tidak semua orang memiliki kemampuan menyingkap makna bathin tersebut. Diperlukan perasaan dan pengalaman spiritualitas yang sangat kuat.

Sebagai langkah awal untuk menyingkap makna bathin ialah dengan mengamalkan apa yang telah difahami selama proses memahami al-Quran. Karena di dalam prosesnya, Allah akan membuka makna bathin itu kepada orang yang dikehendaki-Nya, dengan barokah mengamalkan al-Quran. Di dalam kitab al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd (1,35) Ibn Ajibah mengatakan:

فَإِنَّ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Sesungguhnya orang yang mengamalkan apa yang telah ia ketahui, maka Allah akan mewarisinya pengetahuan yang ia belum ketahui.

Baca Juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Kesucian Jiwa dalam Surah An-Nur Ayat 21-22

Oleh kerena itu, orang yang mempunyai seribu pemahaman dari setiap huruf al-Quran, itu tidak terlepas dari kehendak dan karunia Allah; karena pada hakikatnya al-Quran adalah sifat Allah, yaitu kalam; dan kalamullah tidak terbatas. Allah swt berfirman dalam Q.S Luqman [31]: 27-28

وَلَوْ أَنَّما فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ ما نَفِدَتْ كَلِماتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (27) ما خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلاَّ كَنَفْسٍ واحِدَةٍ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (28)

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana[27] Menciptakan dan membangkitkan kamu (bagi Allah) hanyalah seperti menciptakan satu jiwa saja (mudah). Sesungguhnya Allah Maha Mendengan, Maha Melihat[28]. (Q.S Luqman [31]: 27-28)

Tafsir Sufistik Sebagai Seni Memahami al-Quran

Karakteristik tafsir sufistik Ibn Ajibah ialah menonjolkan tafsir bathiniyah setelah mengungkap makna zahirnya, di antaranya dengan pendekatan bahasa. Jalan yang ditempuh olehnya sebagai proses memahami sifat dan kesempurnaan Allah, yang hanya bisa ditempuh dengan tafsir bathin dan tidak melupakan makna zahir. Karena kedua makna tersebut adalah sebuah keniscayaan. Rasulallah saw bersabda yang diriwatkan oleh Ibn Mas’ud. Al-Mu’jam al-Kabīr li At-Thabrani (10,105) :

وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، وَلِكُلِّ آيَةٍ مِنْهَا ظَهْرٌ وَبَطْنٌ

Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf, setiap satu ayat di dalamnya terdapat makna zahir dan bathin. (H.R Al-Thabrani)

Atas dasar hadis di atas, para ulama membagi makna al-Quran kepada dua, yaitu zahir dan bathin. Namun, yang dimaksud –dalam perkataanya- bukan pada hakikat al-Qur’an itu sendiri, karena hakikat al-Quran adalah satu. Timbulnya pembagian tersebut karena dihubungkan dengan tingkatan manusia.

Ibn Ajibah mengklasifikasikan manusia berdasarkan seni memahami al-Quran ke dalam lima tingkatan; pertama, kafir,  mereka memandang al-Quran hanyalah kerugian. Kedua, munafik, al-Quran hanya menambah penyakit saja. Ketiga, muslim, al-Quran dipahami dengan sederhana. Keempat, mukmin, membaca al-Quran disertai fikiran yang teliti, mencerahkan, dan mendalam. Kelima, muhsin, yaitu orang-orang seakan-akan ia melihat Allah, sehingga ia membaca al-Quran seakan-akan ia mendengar dari Tuhannya. al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd (1,36)

Dari lima tingkatan tersebut, tiga golongan yaitu kafir, munafik, dan muslim memahami al-Quran dengan zahirnya saja; dua golongan dengan menghimpun makna zahir dan bathin yaitu mukmin dan muhsin. Dua golongan terakhir inilah yang akan menemukan wujud kesempurnaan Allah.

Makna Isyari Surah Luqman ayat 27-28

Pada mulanya ayat 27 tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan orang Yahudi, yang bertanya kepada Rasulallah saw terkait Q.S Al-Isra [17] ayat 85, “Kalian hanya diberi ilmu itu hanya sedikit”. Mereka (Yahudi) merespon ayat tersebut, “Apakah itu untuk kami atau kaummu? Padahal kami mempunyai taurat (hikmah) dan di dalamnya terdapat keterangan untuk semua perkara” Rasulullah menjawab, “Semua itu jika dibandingkan dengan ilmu Allah sangat sedikit”. Maka turunlah surah Luqman ayat 27.

Di sisi lain, ayat 27 tersebut merupakan bentuk ketegasan Allah bahwa kalamullah (Al-Quran) tidak akan terjangkau oleh siapa pun dan tidak akan ada orang yang puas dalam memahami al-Qur’an, karena pada hakikatnya memahami al-Quran adalah proses memahami sifat Allah yang sempurna.

Oleh karena kesempuranaan milik Allah, bagi makhluk yang dianggap “serupa” mempunyai sifat seperti Allah hanyalah sebutan saja dan dinisbatkan kepada “makna bahasa” semata. Perkataan “orang itu bisa berbicara, mampu, berilmu dan lain sebagainya” itu semua tidak akan terwujud apabila Allah tidak memberikan sifat tersebut kepada makhluk-Nya. Sehingga semua sifat yang ada dalam diri makhluk itu terbatas dan tidak sempurna.

Selanjutnya, setelah Allah memperkenalkan sifat kalam dan ‘ilmu, pada ayat 28 berbicara terkait kemampuan dan kekuasaan Allah yang digambarkan dengan penciptaan, baik menciptkan atau membangkitkan bagi-Nya sangat mudah. Artinya, sedikit atau banyaknya perkara tidak ada bedanya dihadapan Allah, sehingga tidak mungkin disibukan dengan dua perkara yang berbeda. Karena semua perkara ada dalam qudratullah (kekuasaan/kemampuan Allah).

Baca Juga: Imam An-Nawawi: Pembaca Al-Qur’an Perlu Membayangkan Allah Hadir Di Hadapannya

Ibn Ajibah menafsirkan qudratullah dengan memberikan imajinasi berupa lebih cepat dari kedipan mata. Allah menciptakan dan membangkitkan  makhluk tidak sampai sekejap mata, bahkan lebih cepat dari itu. Rahasia dari perkataan tersebut mencakup dua poin, yaitu untuk menunjukkan kesempuraan Allah dan ketidak mampuan manusia mengukur kekuasaan Allah.

Oleh sebab itu, masyhur dikalangan sufi perkataan, “Sesungguhnya aku memperoleh manfaat dari diriku sama halnya kalian memperoleh manfaat dariku, dan itu semua limpahan (karunia) Tuhan”. Nampaknya, dalam perkataan tersebut ada upaya untuk mengonstruksi hakikat Allah –yang maha sempurna- dan hakikat makhluk –serba terbatas-. Salah satu untuk memperoleh manfaat ialah dengan memahami al-Quran, dan kegiatan itu pada hakikatnya sebagai prosesi memahami wujud kesempurnaan Allah. Wallahu ‘alam.

12 Golongan yang Terhindar dari Keresahan Hati: Telaah Makna Khauf dalam Al-Quran (1)

0
Khauf dalam Al-Quran
Khauf dalam Al-Quran

Perasaan takut, cemas dan resah hati, dalam istilah bahasa Arab disebut khauf (خوف). Dalam kamus al-munjid, khauf berarti perasaan gelisah atau cemas terhadap sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, maupun terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Kata khauf dalam Al-Quran telah disebutkan di berbagai ayat dan surat. Kata khauf selanjutnya diadopsi oleh ahli sufi sebagai salah satu tahapan-tahapan (maqamat) dalam menempuh jalan spiritual.

Ditemukan sekitar 120 kata khauf dalam Al-Quran dengan berbagai macam derefasinya. Namun secara keseluruhan, khauf  dalam Al-Quran berarti perasaan takut terhadap sesuatu di dunia maupun kelak di akhirat. Ketika berhubungan dengan konteks di dunia, maka khauf berarti takut terhadap ancaman atau serangan dari makhluk lain. Bahkan disebutkan juga takut terhadap suatu hal yang akan menimpanya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam ke dua ayat berikut:

فَمَآ ءَامَنَ لِمُوسَىٰٓ إِلَّا ذُرِّيَّةٞ مِّن قَوۡمِهِۦ عَلَىٰ خَوۡفٖ مِّن فِرۡعَوۡنَ وَمَلَإِيْهِمۡ أَن يَفۡتِنَهُمۡۚ

Maka tidak ada yang beriman kepada Musa, melainkan pemuda-pemuda dari kaumnya (Musa) dalam keadaan takut bahwa Fir´aun dan pemuka-pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. (Qs. Yunus: 83)

Baca juga: Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia: dari Perdebatan Awal hingga Revisi Terjemahan Secara Berkala

Pada ayat tersebut, khauf berarti rasa takut yang dilanda oleh umat Nabi Musa as. Mereka takut akan ancaman dan siksaan Fir’aun apabila ketahuan mengimani dan mengikuti Nabi Musa as.

ٱلَّذِيٓ أَطۡعَمَهُم مِّن جُوعٖ وَءَامَنَهُم مِّنۡ خَوۡفِۢ

 Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan. (Qs. Quraisy: 4)

Ketakutan (khauf) dalam ayat ini adalah ketakutan yang dialami oleh orang-orang Quraisy dalam perjalan rutinnya di musim dingin dan musim panas. Hal ini disebabkan, pada saat perjalanan, banyak kendala yang dijumpai. Oleh karenanya, Allah memberikan rasa aman dan menghilangkan ketakutan mereka melalui pertolongan-Nya, serta jaminan keamanan dari penguasa negara-negara lain.

Adapun dalam konteks akhirat, khauf berarti perasaan takut dan cemas terhadap ancaman azab dan siksaan Allah. Khauf ini muncul di hati orang-orang yang tidak beriman teguh kepada Allah dan melanggar perintah-perintah-Nya. Namun, jika rasa takut ini membawa seseorang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, maka khauf yang demikian dapat menuju ke tingkat khasyah.

Khasyah merupakan rasa takut yang tumbuh dari pengetahuan yang benar dan sempurna tentang Allah swt., bukan praduga atau khayalan semata. Rasa takut yang diiringi dengan ma’rifatullah inilah yang menjadikan seseorang lebih dekat kepada Allah swt. Sehingga, ia menjadi patuh terhadap perintah dan hukum-Nya.

Baca juga: Benarkah Mencium Mushaf Al-Quran Itu Bid’ah?

Selain banyak menyebutkan khauf dalam konteks akhirat, Al-Quran juga menjelaskan golongan yang dijamin oleh Allah akan terhidar dari keresahan hati tersebut. Berikut adalah kriteria dari 12 golongan yang tidak akan merasakan ketakutan, kecemasan, dan keresahan dalam hatinya terhadap azab dan siksaan Allah.

Berikut 12 Golongan yang Mampu Menghindari Rasa Ketakutan

  1. Mengikuti Petunjuk Allah (Al-Quran) serta Mengamalkannya

Hal ini disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 38:

قُلۡنَا ٱهۡبِطُواْ مِنۡهَا جَمِيعٗاۖ فَإِمَّا يَأۡتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدٗى فَمَن تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”

Ayat  ini turun berkaitan dengan penurunan Nabi Adam as. dari surga. Ia diturunkan karena melanggar perintah Allah dan terbujuk oleh rayuan Iblis. Allah kemudian menjanjikan, Nabi Adam as. dan seluruh keturunannya yang mengikuti petunjuk Allah (Al-Quran), maka tidak akan merasakan keresahan hati atas azab Allah. Sedangkan, mereka yang mendustakan ayat-ayat-Nya, akan merasakan azab dan siksa yang kekal di neraka.

  1. Beriman kepada Allah dan Hari Akhir dengan Sebenar-benarnya Iman

Kriteria ini disebutkan oleh Allah di beberapa surat. Salah satunya adalah di surah Al-Baqarah ayat 62:

إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱلَّذِينَ هَادُواْ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِ‍ِٔينَ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحٗا فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati

Ayat ini berkaitan dengan balasan dan pahala bagi orang beriman, orang Yahudi, Nashrani, dan Shabiin (mereka yang beriman akan keesaan Allah sebelum datangnya Nabi Muhammad saw), yang beriman kepada Allah dengan sebenar-benarnya. Selain itu, ayat ini juga ditujukan bagi mereka yang percaya dan mengimani adanya hari kiamat.

  1. Berbuat Kebajikan (ihsan) dan Senantiasa Beramal Shaleh

Kriteria pada golongan sebelumnya sering disandingkan dengan kriteria ini, yaitu orang-orang yang senantiasa beramal shaleh dan berbuat kebajikan. Karena, mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir, akan senantiasa berbuat kebajikan dan beramal shaleh. Orang dengan kriteria ini akan mendapatkan pahala dari Allah serta tidak akan merasakan ketakutan dan keresahan di dalam hatinya.

Baca juga; Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Al-Quran

  1. Bertawakkal dan Berpasrah Diri kepada Allah

Kriteria golongan ini disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 112:

بَلَىٰۚ مَنۡ أَسۡلَمَ وَجۡهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحۡسِنٞ فَلَهُۥٓ أَجۡرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Melalui ayat ini, Allah memberi kriteria bagi siapa yang akan merasakan tentram dalam hati tanpa ada rasa takut dan khawatir. Mereka itu adalah orang-orang yang berpasrah diri (aslama) kepada Allah, dengan mengikuti perintah maupun menjauhi larangan-Nya. Selain itu, ayat ini juga menegaskan kembali kriteria sebelumnya tentang mereka yang berbuat kebajikan (ihsan).

Di antara perbuatan kebajikan tersebut adalah tidak menyekutukan Allah dan berbakti kepada kedua orang tua, seperti disebutkan dalam surah Al-Nisa ayat 36. Dengan demikian, mereka yang telah memenuhi kriteria ini sudah pasti akan mendapatkan pahala dari Allah berupa surga-Nya, serta tidak akan mengalami rasa takut maupun keresahan akan azab-Nya.

Bersambung….

 

Ilmu Isytiqaq dan Diskursus Klasik Pelacakan Makna Term Al-Qur’an

0
Pelacak Makna Term Al-Qur'an
Pelacak Makna Term Al-Qur'an

Bagi Muslim, al-Qur`an merupakan kitab suci yang dijadikan sebagai teks-teks keagamaan selain Hadis. Menurut Abū Audah dalam Al-Tathawwur al-Dala`il baina Lughat Al-Syi’r wa Lughat al-Qur`an, masyarakat pra-Arab tidak mengenal kata “al-Qur`an” maupun kata “qara’a”. Maka pada artikel ini, akan mengulas diskursus klasik pelacak makna term al-Qur’an.

Karenanya, terjadi proses panjang perjalanan pendefinisian al-Qur`an, yang oleh Fadhli Lukman, dalam buku Menyingkap Jati Diri Al-Qur`an: Sejarah Perjuangan Identitas Melalui Teori Asma` al-Qur`an disebutkan mengalami dua fase: al-Qur`an sebagai sebagai musytaq, dan al-Qur`an sebagai ism ‘alam.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Fase I Pelacakan Self Identity: “Qur`an” sebagai Musytaq

Fase pertama diisi dengan perdebatan mengenai penamaan al-Qur`an yang bersifat etimologis. Pembacaan mengenai kata “al-Qur`an” pada fase ini sangat dilandasakan pada ilmu istyqaq.

Pemaknaan pertama dimulai oleh Ibn ‘Abbas dan Qatādah yang mengasalkan kata isi dalam bentuk maḥmūz, yakni  qara`a (قرأ)  yang artinya bacaan (qirā`ah). Hal ini sebagaimana paparan Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir al-Thabari dalam kitab Jami’ al-Bayan ‘an Ta`wil Ay al-Qur`an.

Sedikit berbeda, al-Asy’arī menyebutkan bahwa kata “al-Qur`an” merupakan bentuk maṣdar, yang artinya kumpulan atau himpunan (al-jam’ wa al-ḍamm). Dinamakan demikian karena ia mengumpulkan huruf, kata, ayat, dan surat yang di dalamnya terhimpun intisari kitab-kitab terdahulu, bahkan mencakup semua aspek ilmu. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Muhammad ibn Ali al-Syaukani dalam Irsyad al-Fuhul Tahqiq al-Haq min ‘Ilm al-Ushul, juga Manna’ Khalil al-Qattan dalam kitab Mabahis fi Ulum al-Qur`an-nya.

Baca juga: Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia: dari Perdebatan Awal hingga Revisi Terjemahan Secara Berkala

Sementara itu al-Farrā` menganggap bahwa ia derivasi dari kata al-qarā`in (bentuk plural dari kata qarīnah), yang artinya ialah bukti. Ada juga yang mengasalkannya langsung pada kata qarana (:memperhubungkan) atau qarā`in (:saling menghubungkan). Dinamakan demikian karena sisi internalnya saling terhubung.

Fase II Pelacakan Self Identity: “Qur`an” Sebagai Non-Musytaq

Berbeda dengan pendapat para ulama di atas, sebagaimana dilansir oleh Ibn Kaṡīr, al-Syafi’ī berpendapat bahwa kata al-Qur`an tidak berbentuk musytaq, melainkan ism ‘alam (proper name). Bagi al-Syafi`ī, penamaan al-Qur`an merupakan pemberian langsung dari Allah sebagai kitab yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad, sebagaimana Injīl pada Nabi ‘Isā dan Taurat pada Nabi Mūsā.

Pendangan al-Syafi’ī yang berbeda ini menjadi menarik. Ia menjadi pendobrak untuk memasuki fase kedua pencarian jati diri al-Qur`an. Fase ini diisi dengan diskusi penamaan al-Qur`an yang bersifat paradigmatik, dengan menghadirkan term lain yang asosiatif, seperti term al-kitāb, al-zikr, dan al-furqān sebagai perbandingannya.

Pemaknaan mengenai term al-kitāb mempunyai kaitan erat ketika ditulis dan dikumpulkan, merujuk pada pernyataan Raghib al-Aṣfahānī dan Ibn Manẓūr.

Kemudian term al-dzikr berkaitan erat dengan signifikansi al-Qur`an terhadap sisi psikologi manusia, baik sebagai nasihat (mau’iẓah), peringatan (taḥdzīr), dan sebagainya. Bisa dibilang kalau term al-dzikr berkaitan dengan ḥikam (wisdom, kebijaksanaan),

Sedangkan term al-furqān berkaitan erat dengan aḥkām (hukum). Dengannya, dapat diketahui mana yang benar dan yang salah, karena al-furqān merupakan representasi dari infiṣāl (keterpisahan).

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

Pembacaan “al-Qur`an” dari sudut Internal

Diskursus mengenai pembacaan sebelumnya kemudian berlanjut pada pembacaan term “al-Qur`an” melalui teks internalnya. Dalam Al-Burhan fi Ulum al-Qur`an karya Badr al-Din Muhammad Al-Zarkasyi tertulis bahwa Abū al-Ma’ālī al-‘Uzāizī menyebutkan ada 55 nama al-Qur`an, di antaranya ialah ia menyebut dirinya sebagai kitāb karīm (QS. [56]:77), kitāb ‘aẓīm (QS. [15]: 87), kitab azīz (QS. [41]:41), kitāb mubīn (QS.[5]:15), kitāb ḥakīm (QS. [36]: 2), dan lain sebagainya.

Menurut Ali Romdhoni sendiri, dalam buku Al-Qur`an dan Literasi: Sejarah Rancang-Bangun Ilmu-ilmu Keislaman, nama-nama al-Qur`an di atas selalu identik dengan suatu hal yang dibaca, ditulis dan sumber pengetahuan dan kebenaran. Pengertian ini mencerminkan gagasan besar al-Qur`an untuk membudayakan membaca sebagai titik awal pengetahuan. Dan menulis ialah proses untuk mengabadikan ilmu pengetahuan yang sudah berhasil dipelajari manusia. Wallahu a’lam[].

Kisah Kecintaan Sahabat Nabi Muhammad Saw Terhadap Surah Al-Ikhlas

0
Surah Al-Ikhlas
Surah Al-Ikhlas

Surah al-Ikhlas adalah surah ke 122 dalam Al-Qur’an dan tergolong ke dalam surah makkiyah. Surah yang terdiri dari empat ayat ini dinamakan juga surah at-Tauhid, karena isinya menjelaskan tentang keesaan Allah swt sembari menolak segala bentuk penyekutuan terhadap-Nya. Nilai-nilai inilah yang menjadi inti atau esensi ajaran Islam (Shafawat al-Tafasir).

Ada beberapa riwayat hadis berkenaan dengan asbabun nuzul surah al-Ikhlas. Namun, semua riwayat itu mengerucut pada inti yang sama, yakni jawaban atas permintaan penggambaran sifat-sifat Allah swt, segala sesuatu tergantung pada-Nya, Dia tidak beranak dan diperanakkan serta tidak ada yang setara dengan dia. Singkatnya, surah al-Ikhlas turun dalam rangka membumikan ke-tauhid-an.

Catatan paling awal berkenaan dengan asbabun nuzul surah al-Ikhlas adalah riwayat Abdullah bin Mas’ud. Ia mengatakan bahwa sekelompok Quraisy pernah meminta nabi untuk menjelaskan leluhur Allah swt dan kemudian turunlah surah ini. Riwayat lain dari Ubay bin Ka’ab dan Jarir bin Abdillah menyebutkan bahwa kaum Musyrikin berkata kepada Nabi Muhammad, “Jelaskan kepada kami sifat-sifat Tuhanmu.” Lalu turunlah surah ini (Mengungkap Rahasia Al-Qur’an).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Menurut Abul A’la Maududi, surah al-Ikhlas turun pada periode awal Islam di Mekah berkenaan dengan pertanyaan kaum Quraisy tentang leluhur Allah swt. Namun dalam sepanjang perjalanan dakwah nabi Muhammad saw, surah ini diwahyukan kembali guna menjawab problematika saat itu. Jika ada yang mengajukan pertanyaan serupa, maka ayat yang sama akan disebutkan kembali (The Holy Qur’an, Madudi’s Introduction of Al-Ikhlas).

Dalam sejarah kehidupan muslim di dunia, surah al-Ikhlas kerap kali diamalkan dalam bentuk yang bermacam-macam, mulai dari dibaca hingga dijadikan sebagai zikir tertentu. Kita bisa menemukan banyak riwayat mengenai kisah para ulama dengan surah itu, bahkan jumlahnya tak terhitung. Fenomena ini seringkali diasosiasikan dengan keutamaan surah al-Ikhlas dalam hadis nabi Muhammad saw.

Kisah Sahabat Nabi Saw Yang Rutin Membaca Surah Al-Ikhlas Dalam Setiap Shalat

Salah satu riwayat tersohor berkenaan dengan interaksi muslim dengan surah al-Ikhlas adalah kisah sahabat nabi Muhammad saw yang rutin membaca surah al-Ikhlas dalam setiap shalat. Dikisahkan bahwa hal ini ia lakukan atas dasar cinta mendalam terhadap Allah swt dan ia menyukai isi kandungan surah al-Ikhlas yang menjelaskan sifat-sifatnya.

Kisah ini diriwayatkan oleh Imam al-Bukahri dalam kitab Sahih al-Bukhari. Disebutkan bahwa Aisyah dulu nabi Muhammad saw pernah mengangkat seorang lelaki sebagai pemimpin pasukan khusus untuk melakukan suatu tugas. Alkisah, mereka melaksanakan tugas dengan baik, namun ada kejadian yang cukup janggal, yakni sang pemimpin selalu mengakhiri bacaan shalatnya dengan surah al-Ikhlas.

Sepulang dari tugas, anggota pasukan khusus tersebut menceritakan kejadian yang janggal itu kepada nabi Muhammad saw. Beliau bersabda, “Tanyakanlah kepadanya, mengapa dia melakukan hal itu,” lalu mereka bertanya kepadanya, dan ia menjawab, “Karena di dalamnya disebutkan sifat Tuhan Yang Maha Pemurah, dan aku suka membacakannya dalam shalatku.”

Setelah hal itu disampaikan kepada Nabi Saw, maka beliau bersabda:

أَخْبِرُوهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يُحِبُّهُ

Artinya: “Sampaikanlah kepadanya, bahwa Allah menyukainya.”

Dalam Sahih-nya – yakni “kitab shalat” – Imam al-Bukhari juga menyebutkan kisah lain berkenaan kecintaan salah seorang sahabat terhadap surah al-Ikhlas. Kisah ini diriwayatkan dari Ubaidillah dari Sabit, dari Anas ra. Disebutkan bahwa dahulu pernah ada seorang lelaki menjadi imam suatu jamaah di Masjid Quba dan ia selalu membaca surah al-Ikhlas pada setiap rakaat.

Selepas melaksanakan shalat, para sahabat bingung dan penasaran kenapa sang imam membaca surah al-Ikhlas pada setiap rakaat bahkan sekalipun pada saat yang bersamaan ia juga membaca surah lain. Lantas sebagian sahabat nabi Muhammad saw berinisiatif untuk menanyakan hal tersebut kepadanya dengan tujuan mencari penjelasan logis dan argumentatif.

Mereka berkata sang imam, “Sesungguhnya engkau telah membaca surat ini (surah al-Ikhlas), tetapi kelihatannya engkau merasa tidak cukup dengannya, lalu engkau baca surat lainnya sebagai tambahan. Maka alangkah lebih baik jika engkau baca surat ini saja, atau engkau tinggalkan surat ini dan membaca surat lainnya tanpanya.”

Lelaki itu menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya (surah al-Ikhlas) apapun alasannya. Jika kalian mau menjadikan diriku sebagai imam kalian, maka aku akan tetap melakukannya. Dan jika kalian tidak suka, maka aku tidak mau menjadi imam kalian.” Mereka kemudian tetap menjadikannya sebagai imam, karena lelaki ini adalah orang yang paling mulia diantara mereka, dan mereka tidak suka bila diimami oleh selainnya.

Pada suatu ketika, nabi Muhammad saw berkunjung kepada para jamaah masjid Quba. Mereka kemudian memanfaatkan momen ini untuk bertanya kepada beliau tentang peristiwa yang mereka alami. Setelah mendengarkan dengan saksama, nabi muhammad saw lalu memanggil sang imam untuk memberikan klarifikasi.

Baca Juga: Empat Klasifikasi Ayat-Ayat Humanis dalam Surah Al-Insan Versi M. Abid Al-Jabiri

Beliau berkata, “Hai Fulan, apakah yang mencegahmu hingga tidak mau melakukan apa yang diminta oleh teman-temanmu, dan mengapa engkau selalu membaca surat ini dalam tiap rakaat shalatmu?” Lelaki itu menjawab, “Aku menyukainya.” Mendengar jawaban tersebut, beliau lantas bersabda:

حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ

Artinya: “Kecintaanmu kepada surat (al-lkhlas) ini dapat memasukkanmu ke dalam surga.” (Sahih al-Bukhari).

Dari kisah di atas, kita dapat mempelajari dua hal, yakni: Pertama, surah al-Ikhlas memiliki beberapa keutamaan sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis-hadis sahih; Kedua, kecintaan seseorang kepada Allah swt dan hal-hal yang berkaitan dengan-Nya – jika dilakukan dengan tulus dan sepenuh hati – dapat mengantarkan seseorang kepada rida-Nya. Setiap orang tentu menginginkan rida tersebut untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam.

Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia: dari Perdebatan Awal hingga Revisi Terjemahan Secara Berkala

0
dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia
dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia

Sampai di seri yang ke enam, tepatnya ahad malam (28/2), tafsiralquran.id kembali menggelar Serial Diskusi Tafsir. Kali ini mengambil topik ‘Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia’. Terjemah Al-Quran memegang peran yang sangat penting dalam pembelajaran Al-Quran. Ia dianggap sebagai pintu masuk awal dalam mempelajari Al-Quran, khususnya untuk pembaca non Arab.

Pendapat di atas pernah disampaikan oleh Hamam Faizin, Dosen STAI Al Hikmah Depok dan mahasiswa doktoral UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta  dalam tulisannya yang pernah dimuat di website ini sebelumnya. Konsentrasi penelitiannya tentang penerjemahan Al-Quran membuat panitia penyelenggara mendapuknya sebagai pembicara. Sebagai pembicara yang kedua yaitu Dosen UIN Sunan Gunung Djati, Bandung yang juga pernah terlibat dalam penerjemahan Al-Quran ke bahasa Sunda, yaitu Dr. Izzah Faizah.

Baca Juga: Perkembangan Penerjemahan Al-Quran di Indonesia dari Masa ke Masa

Jalan tengah perdebatan boleh-tidaknya penerjemahan Al-Quran

Kontroversi boleh atau tidaknya penerjemahan Al-Quran terlebih dahulu dijelaskan oleh pak Hamam –panggilan akrab Hamam Faizin-. Alasan teologis ayat-ayat universalitas ajaran Al-Quran dan kerasulan Muhammad dijadikan sebagai pertimbangan kebolehan penerjemahan Al-Quran, sedang alasan teologis ayat-ayat i’jaz kebahasaan Al-Quran menjadi alasan larangan penerjemahan Al-Quran.

Tentu ada alasan-alasan lainnya juga, seperti data historis yang bercerita tentang penerjemahan Al-Quran ke dalam bahasa Persia yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi, seorang sahabat Nabi. Di saat yang sama ilmu linguistik mengatakan bahwa tidak akan pernah ada terjemah yang benar-benar mengalih bahasakan satu bahasa ke bahasa lainnya, terlebih bahasa Al-Quran.

Menarik untuk disimak kutipan pak Hamam dari Nouman Ali Khan yang menunjukkan bahwa Al-Quran sebenarnya juga melakukan penerjemahan bahasa dalam menceritakan kisah-kisah tokoh atau Nabi sebelum Nabi Muhammad, ‘Fir’aun was not Arabic but he speaks Arabic in the Quran, Musa was not Arabic but he speaks Arabic in the Quran, Ibrahim server all over the places, he travel in Iraq, he travel in Palestine, he travel all over, we don’t know what he spoke but he spoke Arabic in the Quran…. this mean Allah translating, isn’t he?

Melihat dialog ulama-ulama ini, ada jalan tengah yang diupayakan oleh para pengkaji Al-Quran selanjutnya, sehingga semangat dari keduanya dapat diakomodir. Boleh melakukan penerjemahan Al-Quran dengan beberapa kondisi. Kondisi tersebut ditulis oleh pak Hamam yaitu, pertama, terjemah bukanlah Al-Quran; kedua, penerjemah harus memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan; ketiga, melarang terjemah harfiyyah membolehkan terjemah tafsiriyah; keempat, setiap penerjemah pasti akan mengalami masalah baik leksikal, semantik, retoris, budaya, bias ideologi maupun lainnya.

Baca Juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Tantangan penerjemahan Al-Quran di Indonesia

‘Setiap terjemah selalu membawa konsekuensi di dalamnya, seorang penerjemah sebenarnya selalu merasa kecewa dan menyesal karena harus memilih satu dari banyak kata yang dianggap cocok dan dapat mewakili lafad yang diterjemahkan, ia akan mengalami lost in translation’ tutur pak Hamam ketika mengungkapkan tantangan seorang penerjemah.

‘Oleh sebab itu, seorang penerjemah harus siap dikritik, dipersekusi bahkan dieksekusi’ lanjut pak Hamam sembari tertawa ringan

Hal yang sama juga terjadi ketika menerjemahkan Al-Quran ke bahasa lokal, sebagaimana disampaikan oleh bu Izzah –panggilan akrab Dr. Izzah Faizah. Ia menuturkan bahwa ia dan tim penerjemah Al-Quran ke bahasa Sunda kesulitan ketika hendak menerjemahkan potongan ayat tentang surga, jannatin tajri min tahtihal anhar, khususnya di lafad tajri yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan ‘mengalir jernih dan tenang‘.

‘bahasa Sunda yang katanya punya banyak pilihan kata ternyata malah membuat kami sulit untuk menerjemahkan kata tajri. Mau diterjemahkan dengan satu istilah dalam bahasa Sunda artinya air pasang yang besar, mau diterjemahkan dengan istilah lain juga dirasa tidak tepat, kawatir tajri yang visualisasinya air yang mengalir jernih dan tenang malah menjadi berbeda dan menjadi menakutkan ketika diterjemahkan dengan keduanya’ cerita bu Izzah

Sebab penerjemahan itu juga produk zaman (ibn al-waqt), maka revisi atau perubahan terjemah Al-Quran secara berkala harus dilakukan, sebagaimana yang sudah ditunjukkan oleh terjemah Quran Kemenag RI.

Pak Hamam dan bu Izzah, keduanya lantas memaparkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam terjemah Al-Quran Kemenag. Misal terjemah Al-Quran Kemenag edisi 1990 pada surah Maryam ayat 23, tepatnya di frasa ‘dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan’ mengalami perubahan di terjemah Kemenag edisi 2002 dengan ‘dan aku seseorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan’. Ini hanya satu contoh dari banyak contoh. Di sini kita melihat dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia.

Dinamika penerjemahan Al-Quran di Indonesia juga bisa dilihat dalam perbedaan tantangan yang dihadapi oleh penerjemah kolektif dan individu. Tantangan lain yang dihadapi oleh penerjemahan, terutama penerjemahan kolektif yang dilakukan oleh tim seperti tim penerjemah Kemenag adalah selain siap menerima kritik, mereka juga harus mampu mengambil kesepakatan dari banyak pendapat yang ada dalam tim, hal ini berbeda dan tidak didapati dalam penerjemahan Al-Quran secara individu.

‘terjemahan dari banyak kepala tentu akan berbeda dengan hasil terjemahan satu kepala’ demikian pak Hamam menganalogikannya.

Berbeda pula dengan tantangan penerjemahan Al-Quran yang harus dihadapi oleh beberapa tokoh ketika masa sebelum kemerdekaan. ‘Kiai Sanusi misalnya, ia harus sembunyi-sembunyi dari penjajah dan bahkan harus berseberangan pendapat dengan rekannya sendiri pada masa itu untuk melakukan penerjemahan Al-Quran’ bu Izzah mencoba mengenang penulisan kitab Raudlatul Irfan, tafsir berbahasa Sunda karya KH. Ahmad Sanusi.

Di akhir diskusi, bu Izzah juga memberi pesan, empat hal yang harus diperhatikan dalam penerjemahan Al-Quran. Kejujuran, kebenaran dan keindahan bahasa harus tetap dipegang teguh oleh setiap penerjemah. Satu lagi yang juga harus diperhatikan menurutnya adalah kondisi sosial masyarakat. Terjemah yang tujuan awalnya adalah memudahkan masyarakat untuk memahami Al-Quran kawatir akan mendatangkan keributan dan keresahan di masyarakat.

‘Menerjemahkan Al-Quran juga harus mempertimbangkan kondisi sosial masyarakat, kawatir masyarakat tidak siap’ pesannya.

Sementara itu, penelitiannya tentang terjemahan Al-Quran yang masih berlangsung hingga sekarang membuat pak Hamam berkesimpulan bahwa penerjemahan Al-Quran, khususnya di Indonesia adalah ladang riset yang sangat terbuka dan cukup menantang bagi para pengkaji Al-Quran, banyak sisi yang bisa diteliti dan dikaji lebih dalam lagi.

Sebagai peneliti, melalui diskusi ‘Dinamika Penerjemahan Al-Quran di Indonesia’ ini ia memberi rekomendasi pada Kemenag RI bahwa revisi terjemah Quran Kemenag RI sudah seharusya menjadi agenda rutin tim penerjemah Al-Quran. Sekian, semoga bermanfaat.

Sampai jumpa di Serial Diskusi Tafsir berikutnya.

Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

0
waqaf dalam surah Al-Fatihah
waqaf dalam surah Al-Fatihah

Waqaf dalam surah Al-Fatihah juga menjadi perhatian para ulama, baik ulama fikih maupun ulama pengkaji Al-Quran, terlebih karena surah Al-Fatihah adalah surah Al-Quran yang wajib dibaca dalam salat. Namun demikian, perbincangan ini bukan tentang boleh atau tidaknya waqaf, tetapi lebih tentang baik atau tidak baiknya ayat dalam surah Al-Fatihah untuk dibaca waqaf

Membaca surah Al-Fatihah dalam salat merupkan suatu keharusan (rukun). Tidak sah salat apapun, salat fardu atau sunah tanpa membaca Al-Fatihah. Selaras dengan sabda Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dan Muslim.

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: “tidak sah salatnya orang yang tidak membaca Al-Fatihah”

Membaca surah Al-Fatihah dalam salat dianggap sah bila memenuhi sarat-saratnya yaitu: pembaca mendengarkan bacannya sendiri, dibaca berurutan (tartib) dengan memperhatikan Makroj serta tasydidnya, dan tidak keliru dalam membaca (lahn) sehingga dapat merubah makna. Tidak kalah penting untuk diperhatikan ialah terkait waqof. Waqof dan Ibtida’ (tempat berhenti dan memulai membaca ayat al-Qur’an) merupakan salah satu bahasan penting dalam Ulumul Qur’an sebab dengan mengatahui Waqof dan Ibtida’ makna ayat akan terselamatkan dari kesalahan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2: Mengulik Makna Hamdalah dan Mengamalkannya

Pertemuan pendapat ulama ilmu Al-Quran, ulama qura’ dan ulama fikih

Waqof dalam Al-Fatihah yang disunahkan ialah setiap akhir ayat, termasuk basmalah karna basmalah dihitung satu ayat, dan tidak membaca waqaf pada (أَنْعَمت عَلَيْهِم). Berbeda dengan pendapat Ibnu Hajar yang mengatakan yang paling utama ialah menyambung antara basmalah (bismillahirrahmanirrahim) dan hamdalah (alhamdulillahi rabbil alamin).

Syekh Nawawi Al-Jawi menjelaskan dalam Nihayatu Az-Zain,

وَ سُنّ (وَقْفُ عَلىَ رَأس كُلِّ آيَة مِنْهَا) أَي الْفَاتِحَة وَقَالَ ابْن حجر فِي فَتْحِ الْجَوادِ وَالْأَوْلَى أَن يَصِلَ بَين الْبَسْمَلَة والحمدلة نعم الْأَفْضَل الْوَقْف على رَأس كل آيَة من بَقِيَّة الْفَاتِحَة لِلِاتِّبَاعِ وَالْأَوْلَى أَن لَا يَقِفَ على أَنْعَمت عَلَيْهِم لِأَنَّهُ لَيْسَ بِوَقفٍ تَامٍّ وَلَا مُنْتَهى آيَة عندنَا

Artinya:” dan disunahkan membaca waqaf pada akhir ayat surat al-Al-Fatihah. Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Jawad yang paling utama ialah menyambungkan bacaan  basmalah dan al-Hamdulillah. Ya, yang paling utama membaca waqof pada setiap ayat surat al-Al-Fatihah karena mengikuti Nabi (i’tiba’). Dan yang paling utama tidak membaca waqaf pada (أَنْعَمت عَلَيْهِم) karena pada kalimat ini bukanlah waqof tam bukan pula akhir ayat”. (Syekh Nawawi al-Jawi, Nihayatu Az-Zain, halaman 63.)

Membaca waqaf dalam surah Al-Fatihah di setiap akhir ayatnya ternyata bukan waqaf yang baik menurut ulama ahli Qira’ah. Semisal membaca الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ kemudian memulai lagi الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ membaca dengan cara dengan demikian, tidak dianggap baik sebab ayat الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ masih berhubungan dengan ayat sebelumnya; baik secara makna, maupun lafad.

Baca Juga: Mengenal Nama-nama Lain Surah Al-Fatihah dan Penjelasan Hadisnya

Az-Zarkasyi menjelaskan dalam kitabnya Al-Burhan Fi Ulumil Qur’an sebagai berikut,

وَالْحَسَنُ هُوَ الَّذِي يَحْسُنُ الْوُقُوفُ عَلَيْهِ وَلَا يَحْسُنُ الِابْتِدَاءُ بِمَا بَعْدَهُ لِتَعَلُّقِهِ بِهِ فِي اللَّفْظِ وَالْمَعْنَى نَحْوَ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} وَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} وَالْوَقْفُ عَلَيْهِ حَسَنٌ لِأَنَّ الْمُرَادَ مَفْهُومٌ وَالِابْتِدَاءُ بِقَوْلِهِ: {رَبِّ الْعَالَمِينَ} وَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} وَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} لَا يَحْسُنُ لِأَنَّ ذَلِكَ مَجْرُورٌ وَالِابْتِدَاءُ بِالْمَجْرُورِ قَبِيحٌ لِأَنَّهُ تَابِعٌ

Artinya: “Waqaf hasan adalah lafad yang bagus berhenti dilafad itu, namun tidak bagus memulai dengan ayat setelahnya karena masih adanya keterkaitan lafad dan makna dengan ayat sebelumnya semisal الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ kemudian memulai lagi dari الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ“. waqaf pada kalimat tersebut bagus, karena maksud ayat dapat dipahami. Namun memulai dengan {رَبِّ الْعَالَمِينَ} dan{الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}dan {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}tidaklah bagus karena ayat tersebut dijarkan (majrur) sedangkan memulai dengan majrur tidak baik sebab berupa na’at (Az-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulumil Quran, halaman 352)

Serupa dengan permasalahan di atas, yaitu kesunahan untuk tidak mewaqafkan pada lafad أَنْعَمت عَلَيْهِم, namun bila terlanjur membaca waqaf itupun tidak menjadi masalah. Tapi setelah itu lebih baik untuk tidak memulai dari ayat sebelumnya (صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ), melainkan memulai dari ayat setelahnya (غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ).

Namun demikian, sebenarnya hal tersebut tidak dianggap baik menurut ulama qura’ (ahli dalam bacaan Al-Quran). Menurut ulama qura’ bila berhenti membaca Al-Quran tapi waqafnya tidak pas, maka harus mengulang dari ayat sebelumnya, tapi jika hal itu dilakukan maka bisa membatalkan salat karna sama saja mengulang rukun qouli dalam salat. Di sinilah akhirnya ulama qura’ dan ulama fikih bertoleransi terhadap pendapat mereka.

Baca Juga: Variasi Qiraat Al-Quran dan Contohnya dalam Surat Al-Fatihah Ayat 4

Syekh Bakri Syato menjelaskan perihal di atas,

لِأَنَّ ذَلِكَ وَإِنْ لَمْ يَحْسُنْ فِي عُرْفِ الْقُرَّاءِ إلَّا أَنَّ تَرْكَهُ يُؤَدِّي إلَى تَكْرِيرِ بَعْضِ الرُّكْنِ الْقَوْلِيِّ ، وَهُوَ مُبْطِلٌ فِي قَوْلٍ فَتَرْكُهُ أَوْلَى خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ

Artinya: “Karena yang demikian itu (memulai membaca lagi dari غيرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ tidak mengulangi dari (صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ) meskipun tidak dianggap baik menurut kebiasaan ulama quro’ hal demikian bila tidak dilakukan akan mengakibatkan mengulangi sebagian rukun qouli dan hal itu menurut sebuah pendapat dapat membatalkan salat. Maka, lebih baik dibindari untuk keluar dari perbedaaan pendapat”. (Syekh Bakri Syatho, I’anatuttholibin, juz 1, halaman 172.)

Aturan tentang waqaf dalam surah Al-Fatihah di atas tidak lebih dari bentuk kehati-hatian para ulama dalam membaca Al-Quran dan salat, baik ulama Al-Quran (ahli dalam ilmu Al-Quran), ulama Qura’ (ahli dalam bacaan Al-Quran), maupun ulama fikih (ahli dalam hukum ibadah dan muamalah). Tentu tujuan mereka adalah untuk memberikan kualitas ibadah yang terbaik terhadap Allah Swt, bukan untuk bersitegang sesame manusia karena perbedaan pendapat yang disampaikan. Semoga kita dapat mengikuti teladan para ulama. Amin

Wallahu A’lam

Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

0
Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab
Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

Selain punya peran sebagai sumber hukum primer dalam kajian keislaman, Al-Qur’an juga punya kontribusi yang penting dalam perkembangan bahasa Arab. Bahasa Arab merupakan bahasa yang dipilih Allah SWT sebagai sarana penyampaian firmanNya dalam Al-Quran. Faktor terkuatnya, adalah alasan geografis. Karena Nabi saat itu diturunkan di Jazirah Arabia, maka wahyu juga harus menggunakan bahasa yang paling banyak digunakan disana. Selain faktor geografis, Al-Quran sendiri sering menyebutkan bahwa bahasa Arab punya potensi riset yang tinggi dalam kajian bahasa, diantaranya dalam surah Yusuf ayat 2:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya : “Sungguh kami turunkan pada Muhammad, Al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab agar kalian semua berpikir” (QS. Yusuf : 2)

Hal tersebut memungkinkan para pemerhatinya untuk membedah secara ilmiah dalam tataran yang cukup rinci. Hal ini tentu berpengaruh pada penafsiran Al-Quran, dimana bahasa punya andil yang penting di dalamnya.

Baca juga: Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan

Hubungan antara bahasa Arab dengan Al-Quran tidak hanya terjadi satu arah. Al-Quran tidak hanya “mempergunakan” bahasa Arab sebagai wasilah untuk menyampaikan wahyu. Al-Quran juga punya jasa yang besar dalam pengembangan bahasa Arab di masa mendatang. Sebuah peribahasa berkata

لَوْ لَا الْقُرْآنَ لَضَاعَتِ الْعَرَبِيَّةُ

“Kalau bukan karena jasa Al-Quran, Bahasa Arab pasti sudah hilang”

Al-Quran menyelamatkan bahasa Arab dari kepunahan

Salah satu jasa terbesar Al-Quran adalah menjaga bahasa Arab dari potensi kepunahan. Berkat Al-Quran, bahasa Arab dipelajari oleh banyak orang. Tentu saja hal ini terjadi Karen syarat utama memahami Al-Quran adalah dengan belajar bahasa Arab. Karena saat itu bahasa Arab sudah terpecah menjadi berbagai dialek, antar kabilah satu dengan yang lain punya dialek yang bebeda. Perpecahan dialek yang terlalu banyak dan tidak adanya patokan dialek standar akan membawa bahasa pada kepunahan, karena penutur fasihnya sudah tidak eksis. Uril Bahruddin dalam Fiqh Al-Lughah Al-‘Arabiyah menyebutkan bahwa :

فَإِنَّ بَقَاءَ اللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ إِلَى الْيَوْمِ وَإِلَى مَا شَاءَ اللهُ رَاجِعٌ إِلَى الدِّفَاعِ عَنِ الْقُرآنِ. لِأَنَّ الدِّفَاعِ عَنْهُ يَسْتَتَّبِعُ الدَّفَاعَ عَنْهَا لِأَنَّهَا سَبِيْلُ إِلَى فَهْمِهِ. بَلْ لِأَنَّهَا سَبِيْلٌ إِلَى الْإِيْمَانِ بِأَنَّ الْإِسْلَامَ دِيْنُ اللهِ. وَأَنَّ الْقُرْآنَ مِنْ عِنْدِ اللهِ لَا مِنْ وَضْعِ النَّبِيِّ وَأَصْحَابِهِ. فَالْقُرآنُ الْكَرِيْمِ بِحُكْمٍ إٍنَّهُ لِسَانُ الْإِسْلَامِ النَّاطِقِ وَمُعْجِزَاتِهِ الْبَاقِيَّةِ. هُوَ الَّذِيْ حَفِظَهَا مِنَ الضِّيَاعِ

“Maka sungguh bahasa Arab bisa langgeng (eksistensinya) hingga saat ini, dan hingga nanti sesuai kehendak Allah disebabkan penjagaan terhadap Al-Quran. Karena menjaga Al-Quran sama nilainya dengan menjaga bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah jalan menuju memahami Al-Quran. Bahkan, bahasa Arab adalah jalan menuju iman dan Islam agama Allah. Dan karena Al-Quran berasal dari Allah, bukan buatan Nabi dan para sahabat. Al-Quran secara de-jure adalah lisan Islam yang bergumam serta mukjizat Islam yang abadi. Al-Quranlah yang menjaga bahasa Arab dari kepunahan”

Bahkan tidak sampai pada kepunahan, Al-Quran mampu menyelamatkan bahasa Arab dari transisinya menuju bahasa liturgis. Bahasa liturgis merupakan bahasa yang sudah mati sebagai alat komunikasi, hanya dijumpai dalam ritual keagamaan. Beberapa bahasa liturgis yang kita kenal adalah bahasa Koptik yang digunakan umat Kristiani – Koptik di Alexandria, Mesir. Serta bahasa Sansekerta yang masih tertulis dalam kitab suci hindu-buddha.

Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Al-Quran sebagai Standarisasi Dialek

Bahasa Arab pernah mengalami fase perbedaan lahjat (dialek) yang cukup ekstrem. Pada masanya, ada ratusan kabilah dengan dialek berbeda – beda. Perbedaan dialek ini berarti bahasa Arab tidak punya sistem standarisasi yang mampu mempersatukan satu kabilah dengan kabilah lain. Walaupun tidak menimbulkan efek yang cukup besar, namun standarisasi dalam sebuah bahasa adalah hal penting. Tanpa adanya standarisasi, kita tidak akan pernah tahu mana bahasa resmi yang digunakan, mana yang bahasa slang. Sehingga peradaban bangsa tersebut akan stuck  disitu saja, tak akan bisa berkembang.

Al-Quran menawarkan gagasan standarisasi bahasa yang akhirnya dijadikan sebagai patokan utama dalam dialek. Al-Quran menggunakan dialek Quraisy, sehingga dialek Quraisy menjadi patokan dialek standar dalam bahasa Arab.  Banyak faktor yang diduga menjadi alas an kuat penggunaan dialek Quraisy sebagai dialek Al-Quran. Diantaranya adalah tingkat kesulitannya yang cenderung kecil, keindahan, dan kegamblangannya serta kondisi demografi objek dakwah yang kala itu kebanyakan hidup di lingkungan Quraisy.

Munculnya inisatif penyusunan disiplin ilmu Bahasa Arab

Nooruddin Attar dalam bukunya Al-Quran Al-Karim wa Ad-Dirasaat Al-Adabiyah menyatakan

وَالسِّرُّ فِيْ ذَلِكَ أَنَّ رَسْمُ الْقُرآنِ جَعَلَ أَصْلاً لِلْكِتَابَةِ الْعَرَبِيَّةِ، ثُمَّ تَطَوَّرَتْ قَوَاعِدُ الْإِمْلَاءِ الْعَرَبِيَّةِ بِمَا تُنَاسَبُ مَعَ مَزِيْدِ الضَّبْطِ وَتَقْرِيْبِ رَسْمِ الْكَلِمَةِ مِنْ نُطْقِهَا. فَكَانَ الْقُرآنُ الْكَرِيْمُ الْفَضْلَ فِيْ حِفْظِ رَسْمِ الْكَلِمَةِ عَنْ الْاِنْفِصَامِ عَنْ رَسْمِ الْقُدَمَاءِ

“Rahasianya adalah bahwa  teknik kepenulisan Al-Quran menjadi standar kepenulisan bahasa Arab. Kemudian berkembanglah Qawaid Al-Imla’ dengan berbagai penyesuaian, seperti aturan tambahan, dan perkiraan tulisan yang berasal dari perkataan. Maka Al-Quran Al-Karim unggul dalam menjaga standar kepenulisan kata dari missing link dengan penulisan klasik”

Dengan adanya Al-Quran, para cendekiawan jadi tahu bagaimana standarisasi bahasa yang tepat dan benar. Maka Al-Quran dijadikan korpus data untuk mengembangkan keilmuan bahasa Arab yang lebih komperhensif. Sebelumnya, bahasa Arab belum mengenal  sistem gramatika. Al-Quran lah yang dijadikan patokan utama para linguis untuk menyusun standar gramatika. Bagaimana susunan yang seperti ini bisa terjadi, dan apakah Al-Quran pernah menggunakannya.

Baca juga: Melacak Sumber Angka 6666 dalam Penghitungan Ayat Al-Quran

Dengan adanya hal ini, bahasa Arab jadi punya nilai intelektualitas yang lebih dari sebelumnya. Orang – orang barat yang tertarik dengan Islam akhirnya juga belajar bahasa Arba. Sehingga bahasa Arab pada akhirnya mampu menjadi salah satu bagian dari Bahasa Internasional yang dilindungi dibawah naungan PBB. Dengan adanya standarisasi Qawaid¸keilmuan bahasa Arab bisa dikonsumsi secara internasional dan dipelajari setiap orang.

Dari uraian diatas, perlu kita garis bawahi bahwa yang sebenarnya terjadi adalah tanpa Al-Quran, mungkin kini bahasa Arab telah punah atau setidaknya sulit berkembang. Arus global yang kian cepat mengikis habis bahasa – bahasa yang sepi penutur. Bias budaya dalam level internasional ini bahkan memungkinkan dunia hanya akan menggunakan satu bahasa terkuat. Oleh karenanya bahasa Arab sebagai salah satu produk budaya dapat berkembang hingga saat ini, semuanya tak lepas dari andil besar Al-Quran di dalamnya.

Wallahu A’lam