Beranda blog Halaman 385

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8 berbicara mengenai bantahan yang dilakukan oleh sebagian orang mukmin yang tipis imannya. Mereka lebih memilih nafsunya sendiri daripada mematuhi perintah Allah Swt dengan dalih kurangnya persiapan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5


Padahal Allah telah menjanjikan kemenangan bagi orang-orang mukmin, dan janji Allah sangat nyata. Selain itu Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8 juga berbicara mengenai kecenderungan nafsu orang-orang yang tipis imannya itu.  I’tikad perang mereka bukan semata ingin menegakkan agama, melainkan karna harta.

Ayat 6

Allah menjelaskan bahwa di antara orang-orang mukmin ada yang membantah keputusan yang telah ditetapkan, yaitu keputusan menyerang musuh yang datang dari Mekah di bawah pimpinan Abu Jahal, padahal keputusan itu adalah kebenaran yang sudah nyata dan mereka telah dijanjikan kemenangan oleh Allah di mana saja mereka berada.

Akan tetapi mereka mengelak dari keputusan itu, karena lebih menyukai menghadapi rombongan musuh di bawah pimpinan Abu Sufyan. Mereka mengelak untuk bertempur dengan pasukan musuh yang datang dari Mekah dan digambarkan oleh Allah, seolah-olah mereka itu dihalau kepada kematian.

Mereka memberikan alasan bahwa mereka belum mempersiapkan segala-galanya untuk berperang.

Dalam hal ini mereka seolah-olah berusaha membelokkan pengertian bahwa janji kemenangan yang akan diberikan Allah kepada orang-orang Muslimin ialah kafilah Abu Sufyan. Itulah sebabnya maka Allah menggambarkan keadaan mereka seolah-olah mereka melihat sebab-sebab kematian itu.

Apabila ditinjau dari segi strategi perang maka keputusan Nabi untuk menghadapi bala tentara Quraisy meskipun yang dilengkapi dengan perlengkapan perang yang cukup adalah tepat, karena seumpama serangan Rasul ditujukan kepada rombongan unta yang datang dari Syam, niscaya kaum Muslimin akan menjadi sasaran yang empuk bagi bala tentara Quraisy yang datang memberi perlindungan kepada Abu Sufyan.

Orang-orang Quraisy dapat memukul kaum Muslimin dari belakang. Hal ini karena bala tentara Quraisy sudah menduga sebelumnya bahwa orang-orang Islam sudah siap untuk menghadang rombongan unta Abu Sufyan.

Ayat 7

Dalam ayat ini Allah mengingatkan kaum Muslimin akan suatu peristiwa yang penting, yaitu pada saat Allah menjanjikan kemenangan kepada kaum Muslimin melawan salah satu dari dua golongan yang dihadapi yaitu salah satu diantara rombongan unta yang membawa harta dagangan atau bala tentara Quraisy yang membawa peralatan perang yang lengkap.

Pada saat itu kaum Muslimin cenderung memilih berhadapan dengan rombongan yang membawa dagangan yang jumlahnya tidak lebih dari 40 unta. Hal ini adalah sebagai sindiran kepada sebagian kaum Muslimin yang takut terlibat dalam peperangan, tetapi mereka ingin mendapat harta yang banyak.

Kecenderungan mereka ini jauh dari kebenaran, karena tujuan mereka telah berbalik pada kesenangan materiil. Mereka telah berbelok dari menegakkan tauhid dan menghancurkan kemusyrikan.

Itulah sebabnya Allah menjelaskan kepada meraka bahwa yang dikehendaki Allah tidak seperti yang mereka inginkan. Allah menghendaki agar kaum Muslimin menegakkan kebenaran sesuai dengan wahyu yang telah diturunkan kepada Rasul-Nya, yang menyatakan bahwa kemenangan itu akan diperoleh kaum Muslimin dari salah satu di antara dua rombongan.

Sasaran tempur yang harus dipilih itu tidak dijelaskan adalah untuk melatih kaum Muslimin agar dapat menentukan pilihan serta menetapkan strategi perang dengan jalan menanggapi situasi dan menilainya dengan jalan bermusyawarah serta mendidik mereka agar menaati hasil keputusan.

Kemudian Allah menandaskan kehendak-Nya, yaitu untuk memusnahkan orang-orang musyrikin yang membangkang kepada agama Allah secara keseluruhan termasuk pula pendukung-pendukung mereka.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun


Allah menggambarkan hancurnya keseluruhan bala tentara kafir Quraisy dengan ungkapan hancurnya barisan belakang adalah usaha yang paling sulit, yang hanya dapat dilaksanakan apabila barisan depan telah dihancurkan terlebih dahulu.

Tujuan utama perang ini ialah memusnahkan kaum musyrikin karena kemenangan kaum Muslimin melawan mereka dalam Perang Badar adalah kemenangan pertama yang akan disusul oleh kemenangan-kemenangan yang lain pada peperangan-peperangan berikutnya, dan berakhir dengan penaklukan Mekah sebagai kemenangan total yang gilang gemilang bag kaum Muslimin dan kehancuran orang-orang kafir Quraisy secara menyeluruh.

Ayat 8

Allah menjelaskan kepada kaum Muslimin bahwa kemenangan yang mereka peroleh itu tiada lain agar kebenaran agama Islam tegak menjulang dan lenyaplah kebatilan syirik dari muka bumi. Inilah tujuan utama yang harus dipilih kaum Muslimin pada waktu melakukan peperangan.

Tujuan untuk menegakkan agama Islam dan menghancurkan kemusyrikan itu tidak akan tercapai, kecuali apabila kaum Muslimin dapat mengalahkan bala tentara Quraisy yang datang dari Mekah dengan peralatan perang yang lengkap dengan tujuan menghancurkan kaum Muslimin.

Di akhir ayat Allah menegaskan bahwa tujuan untuk menegakkan agama Islam dan menghancurkan kemusyrikan itu pasti terwujud, betapapun sengitnya permusuhan dan kebencian orang-orang musyrikin.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 9-10


 (Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5  membicarakan sebagian orang yang berselisih paham dengan Nabi Muhammad Saw dalam situasi perang. Perselisihan tersebut terkait dengan keputusan Nabi untuk menyerang musuh ke luar kota karena kurangnya persiapan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4


Namun meskipun ada sebagian yang berselisih paham, dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5  ini paparkan pula pihak-pihak yang sepenuh hati percaya dan patuh terhadap perintah Allah dan Rasulnya.

Ayat 5

Allah menjelaskan bahwa Dia mengatur harta rampasan perang itu secara adil, sebagaimana juga Allah memerintahkan kepada mereka pergi bertempur untuk membela agama Allah secara adil pula.

Kemudian timbullah perselisihan pendapat mengenai harta rampasan perang sama halnya dengan perselisihan pendapat sewaktu mereka pergi untuk menghadapi kafilah yang dipimpin Abu Sufyan atau pasukan kafir Quraisy yang datang dari Mekah untuk membela kafilah Abu Sufyan itu.

Apabila ada sebagian orang yang tidak menyukai ketetapan Allah mengenai pembagian harta rampasan perang, maka hal itu adalah tanda bahwa iman mereka belum sempurna, sebagaimana juga halnya yang demikian itu terjadi pada saat menjelang Perang Badar.

Mereka tidak mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya enggan meninggalkan rumah untuk bertempur ke medan perang. Karena mereka masih belum menjadi orang mukmin yang sempurna imannya.

Di akhir ayat Allah menjelaskan bahwa sebagian dari orang mukmin ada yang tidak senang akan keputusan Nabi Muhammad untuk menyerang musuh ke luar kota. Hal ini disebabkan karena persiapan perang mereka belum lengkap.

Namun anggapan serupa ini tidak benar, karena betapapun juga kesulitan yang akan mereka hadapi, semestinya mereka tidak boleh mengelak lagi, karena hal itu telah menjadi keputusan yang harus ditaati.

Perselisihan yang terjadi di antara mereka disebutkan dalam riwayat di bawah ini:

“Setelah Rasulullah mendengar berita bahwa Abu Sufyan bin Harb membawa rombongan unta dari Syam, Nabi menggerakkan kaum Muslimin untuk menghadangnya.

Nabi bersabda, “Kafilah ini membawa harta benda (barang dagangan) maka pergilah kamu untuk menghadapinya boleh jadi Allah menjadikan harta benda itu sebagai rampasan perang bagi kamu.” Maka bergeraklah para sahabat.

Di antara kaum Muslimin itu ada yang tidak merasa keberatan, dan ada pula yang merasa keberatan, hal ini karena mereka tidak yakin bahwa Rasulullah saw akan menghadapi peperangan, sedang Abu sufyan ketika mendekati Hijaz telah mengerahkan beberapa orang yang mematai-matai, untuk memperoleh keterangan dengan jalan menanyakan kepada orang-orang yang berkendaraan yang ditemuinya, sehingga ia memperoleh berita dari mereka bahwa Muhammad telah mengerahkan para sahabatnya untuk menghadang kafilahnya.

Maka Abu Sufyan mengupah amdam bin Amr al-Giffari untuk pergi ke Mekah dan menyuruhnya agar menemui orang-orang Quraisy agar mereka mengirim orang-orang yang akan melindungi harta mereka dan agar disampaikan berita bahwa Muhammad telah menghadang harta benda itu.

Maka pergilah amdam bin Amr dengan segera ke Mekah, dan rasul pun pergi bersama para sahabatnya sehingga sampai ke lembah, yang disebut ¨afran. Setelah beliau sampai di wadi itu, sampailah berita keberangkatan orang-orang Quraisy kepada beliau untuk melindungi kafilah mereka.

Karena itu Rasulullah bermusyawarah dengan para sahabatnya. Lalu Abu Bakar bangkit dan berkata mengemukakan tanggapan yang baik pula. Sesudah itu Miqdad bin Amir bangkit dan berkata:

“Ya Rasulullah! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah, kami selalu menyertaimu. Demi Allah, kami tidak akan berkata kepadamu seperti apa yang telah dikatakan Bani Israil kepada Musa pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanyalah duduk menanti di sini saja, tetapi pergilah engkau bersama-sama Tuhanmu, maka sungguh kami akan menyertaimu demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar. Andaikata kamu pergi membawa kami ke Barkil Gimad (sebuah kota di Habasyah) niscaya kami tetap bersamamu menuju kota itu, sehingga engkau sampai ke sana.”


Baca juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [1]: Mempertahankan Agama Tidak Selalu Harus dengan Kekerasan


Kemudian Rasulullah saw mengucapkan perkataan yang baik dan berdoa untuknya dengan doa yang baik pula. Sesudah itu Rasullah saw bersabda:

“Wahai manusia, berilah pertimbangan kepadaku. Perkataan itu ditujukan kepada orang-orang Ansar. Hal ini karena mereka telah membaiat Nabi di Aqabah. Mereka berkata, “Hai Rasulullah! Sebenarnya kami telah melindungi engkau sebagaimana kami melindungi anak-anak kami dan isteri-isteri kami.”

Rasulullah saw sebenarnya khawatir bahwa orang-orang Ansar tidak merasa perlu membantunya, terkecuali apabila musuh menyerang ke dalam kota, dan mereka tidak merasa berkewajiban membela Nabi apabila Nabi menyerang.

Maka setelah Rasulullah saw mengatakan demikian, Sa’ad bin Mu’az berkata:

“Demi Allah! Rupanya yang engkau maksud ialah kami (para Ansar).”

Nabi menjawab:

“Ya”.

Kemudian Sa’ad berkata:

“Sebenarnya kami telah beriman kepadamu dan telah  membenarkan agamamu, serta menyaksikan bahwa apa yang engkau bawa itu telah memberikan perjanjian untuk dipatuhi, maka laksanakanlah apa yang telah diperintahkan Allah.

Maka demi Tuhan yang mengutusmu dengan benar, andaikata engkau mengajak kami menyeberang lautan, tentulah kami akan menyeberanginya, tidak ada seorangpun di antara kami yang berkeberatan dan tidak pula yang mengingkari, apabila engkau mengajak kami menghadap musuh esok pagi. Sebenarnya kami ini adalah orang-orang yang tabah dalam peperangan serta ikhlas menghadapi musuh.

Semoga Allah menampakkan kepadamu apa yang menyenangkan hatimu.” Maka pergilah bersama kami di bawah lindungan Allah. Rasulullah merasa gembira dengan pendapat Sa’ad dan ketangkasannya menghadapi perang.

Kemudian Rasulullah saw bersabda:

“Pergilah kamu di bawah lindungan Allah dan bergembiralah bahwa Allah telah menjanjikan kemenangan di antara dua barisan musuh. Demi Allah seolah-olah kami melihat musuh dalam keadaan tersungkur.” (Riwayat Ibnu Ishak dari Ibnu Abbas)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 6-8


(Tafsir Kemenag)

Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

0
Syifa dalam Al-Quran
Syifa dalam Al-Quran

Kata Asy-Syifa dalam Al-Quran disebut sebanyak 6 kali dengan berbagai bentuk derivasinya. Asy-Syifa (kemudian baca tanpa al-ma’rifah: syifa’) menarik untuk disoal karena ia juga dinobatkan sebagai salah satu laqab dari Al-Quran. Penobatan laqab syifa’ untuk Al-Quran menjadi satu informasi alternatif tentang sifat lain Al-Quran sebagai penyembuh.

Namun, makna kata syifa’ tidak diartikan hanya sependek itu. Menurut mufasir seperti Ibnu Katsir dan Fakhruddin Ar-Razi atau mufasir kontemporer seperti Quraish Shihab memaknai kata syifa’ secara rinci, bahkan Ar-Razi melebarkannya menjadi lebih komprehensif. Adanya diskurus pemaknaan yang lebih kaya dan komprehensif tersebut tentunya akan lebih memudahkan umat Islam dalam mengaplikasikan pesan-pesan Al-Quran.

Baca Juga: Nama-nama Al-Quran dan Tujuannya

Makna syifa’ sebagai laqab Al-Quran

Secara harfiyah kata syifa dalam kamus Alma’any diartikan sebagai kesembuhan, penyembuh, penawar, dan obat. Term As-Syifa’ menurut Ibnu Faris dalam Mu’jam Muqayyis Al-Lughah selalu disandingkan dengan marad (sakit) sebagai lawan katanya. Syifa’ dengan berbagai bentuk posisi katanya dalam Al-Quran disebut sebanyak 6 kali. Disebut dalam bentuk mashdar syifa’ pada surah Al-Isra’ ayat 82:

وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًا

“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.”

Atau dalam bentuk fi’il mudhari’ yasyfiin seperti dalam surah Asy-Syu’ara ayat 80:

وَإِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِينِ

“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku,”

Lafadz-lafadz syifa dalam Al-Quran jelas menunjukkan bahwa ia laqab dari Al-Quran, karena memiliki sifat dan fungsi yang disandarkan pada Al-Quran. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim bahwa Al-Quran adalah syifa’. Artinya, Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati seperti keraguan, kemunafikan, kemusyrikan, kesesatan, dan ketidak-istiqamahan.

Pendapat Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah juga seirama dengan Ibnu Katsir mengenai fungsi Al-Quran sebagai syifa’ atau penyembuh penyakit hati. Namun, penjelasan penyakit hati yang diungkapkan oleh Quraish Shihab lebih interdisipliner karena menyelaraskan dengan konteks keilmuan modern.

Secara praktis, Al-Quran memang tidak bisa instan mengobati penyakit jasmani. Namun, Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit rohani yaitu mencakup gangguan mental dan jiwa, dan hal ini akan sangat berdampak pada kesehatan jasmani seseorang.

Baca Juga: Al-Quran Sebagai Obat, Bagaimana Memahaminya?

Selain pendapat diatas, ada beberapa mufasir yang memaknai kata syifa’ secara komprehensif seperti Abu Hayyan al-Andalusy dalam Tafsir al-Bahr al-Muhit, Abd al-hamid Ibn Badis dalam Tafsir Ibn Badis, dan Fakhruddi Ar-Razi dalam Mafatih al-Ghayb. Interpretasi mereka yang demikian mengacu pada posisi nakirah yang disandang kata syifa dalam Al-Quran.

Fakhruddin Ar-Razi misalnya, mengatakan bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh baik itu dari penyakit ruhani maupun jasmani sekaligus. Ar-Razi sendiri membagi penyakit ruhani menjadi dua macam, yaitu akidah yang keliru dan akhlaq yang tercela. Sedangkan pendapatnya mengenai Al-Quran sebagai penyembuh jasmani, berbeda dengan Quraish Shihab yang memakai wasilah dari ruhaniyah dulu. Ar-Razi berpendapat bahwa Al-Quran dapat menjadi penyembuh penyakit jasmaniyah secara langsung.

Baca Juga: Al-Quran adalah Obat Bagi Penyakit Rohani: Tafsir Surat Al-Isra Ayat 82

Mekanisme dan konsep syifa sebagai penyembuh menurut mufasir

Al-Quran yang berfungsi sebagai syifa’ atau penyembuh, tentu tidak hanya sebatas pada hakikat filosofis lughawi saja. Ia juga memiliki prosedur tersendiri sehingga mekanisme penyembuhan tersebut benar-benar bekerja. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa dengan cara menumbuhkan rasa keimanan kepada Al-Quran, kecintaan untuk mewujudkan kebajikan, maka di sanalah Al-Quran menjadi obat atau penawar penyakit hati.

Quraish Shihab dan Fakhruddin Ar-Razi secara subtantif juga menyampaikan pendapat yang senada, bahwa Al-Quran dapat menghidarkan diri dari penyakit jika seseorang bertabarruk, membaca, dan mentadabburinya. Namun, sebagaimana keterangan awal Ar-Razi yang holistik mengenai makna syifa’, ia juga mengorelasikannya dengan beberapa variabel lain dalam Al-Quran. Salah satu variabel yang dimaksud Ar-Razi adalah surah Al-Fatihah yang bisa berfungsi sebagai syifa’ dari penyakit dan digunakan untuk ruqyah.

Variabel lain yang digunakan Ar-Razi terkait fungsi syifa’ Al-Quran adalah madu, yang sifatnya lebih kepada jasmaniyah. Madu dapat menunjang kesembuhan dan kesehatan pada fisik tubuh manusia. Pengaitan Ar-Razi tentang madu sebagai penyembuhan tersebut tidak lain didasarkan pada surah An-Nahl ayat 69, yang jelas tersurat lafadz syifa’ didalamnya.

Karena penafsiran makna syifa’ yang holistik, dalam Mafatih al-Ghayb, Ar-Razi merumuskan konsep syifa’ tersebut menjadi tiga bentuk klasifikasi. Pertama, syifa’ yang bersifat furu’iyyah atau jasmani. Contoh syifa’ jenis ini berkaitan dengan fungsi Al-Fatihah dan minuman madu sebagai penyembuh jasmaniyah.

Kedua, syifa’ ushuliyyah, yaitu berhubungan dengan kerusakan penyakit ruhani atau penyakit hati dan mental sebagaimana yang diungkap di awal. Ketiga, syifa’ ijmali atau bersifat global. Syifa’ jenis terakhir ini berkaitan dengan aktivitas perbaikan spiritualitas dan tindakan manusia demi terwujudnya kesempurnaan lahir batin di hadapan Allah maupun makhluk-Nya.

Adanya definisi makna Syifa dalam Al-Quran yang lebih luas sebagaimana yang dijelaskan oleh para mufassir di atas, otomatis akan memudahkan umat Islam dalam mengaplikasikan pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Quran. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4 ini merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya yang membahas tentang sifat-sifat orang mukmin sejati. Selain tiga sifat yang telah lalu, setidaknya ada dua sifat lain yang menggambarkan mukmin sejati.


Baca juga: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2


Empat sifat yang dimaksud dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4 itu adalah istikamah menunaikan salat lima waktu dan gemar menginfakkan harta di jalan kebaikan. Orang-orang yang memilliki sifat tersebut layak menjadi mukmin sejati.

Ayat 3

Allah menjelaskan sifat-sifat lahiriyah orang-orang mukmin sebagai kelanjutan dari sifat-sifat yang telah lalu.

  1. Selalu mendirikan salat lima waktu dengan sempurna syarat-syarat dan rukun-rukunnya, serta tepat pada waktunya, sedang jiwanya khusyu’ mengikuti gerak lahiriyah dan tunduk semata kepada Allah.
  2. Menginfakkan sebagian dari harta yang diberikan kepadanya. Yang dimaksud dengan membelanjakan harta dalam ayat ini ialah meliputi pengeluaran zakat, memberi nafkah kepada keluarga dekat ataupun jauh, atau membantu kegiatan sosial dan kepentingan agama, serta kemaslahatan umat.

Ayat 4

Allah menegaskan bahwa orang-orang yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut adalah orang-orang mukmin yang sejati.

Ibnu Hazm menjelaskan bahwa sifat-sifat ini adalah sifat-sifat yang dapat diketahui orang lain dari dirinya, maka apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya telah beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya Muhammad saw dan meyakini bahwa apa yang dibawa Nabi itu benar, sedang orang itu mengikrarkan semua pengakuannya itu dengan lisan, maka ia wajib  mengatakan bahwa ia telah menjadi orang mukmin yang benar.

Di akhir ayat Allah menjelaskan imbalan yang akan diterima oleh orang-orang mukmin yang benar-benar beriman dan menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang telah disebutkan, yaitu mereka akan memperoleh derajat yang tinggi dan kedudukan yang mulia di sisi Allah, karena kuasa Allah semata.

Baca juga:

Kalau Allah berkuasa menciptakan segala macam bentuk kehidupan. Maka Dia berkuasa pula memberikan keutamaan kepada makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya.

Derajat yang tinggi itu, dapat berupa keutamaan hidup di dunia dan dapat berupa keutamaan hidup di akhirat, atau kedua-duanya. Allah berfirman:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ بِاَمْوَالِهِمْ وَاَنْفُسِهِمْۙ اَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللّٰهِ ۗوَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفَاۤىِٕزُوْنَ

Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.(at-Taubah/9:20)

Dan firman Allah :

وَهُوَ الَّذِيْ جَعَلَكُمْ خَلٰۤىِٕفَ الْاَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ

Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat (derajat) sebagian kamu di atas yang lain. (al-An’am/6: 165)


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 5


(Tafsir Kemenag)

Beberapa Makna Istifham (Kalimat Pertanyaan) dalam Al-Quran

0
makna istifham dalam Al-Quran
makna istifham dalam Al-Quran

Salah satu bentuk gaya bahasa yang digunakan Al-Quran adalah kalimat tanya atau istifham. Dalam Al-Quran sendiri, kalimat pertanyaan atau istifham itu memiliki banyak makna yang disesuaikan dengan konteks kalimat atau pembahasannya. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani dalam karyanya, Zubdat al-Itqan fi Ulum Al-Quran menjelaskan beberapa makna istifham dalam Al-Quran serta menyebutkan contohnya.

Isitfham dalam ilmu balaghah termasuk dalam kalam insya, yaitu sesuatu yang apabila diucapkan atau diungkapkan tidak mengandung unsur kebenaran atau kebohongan. Berbeda dengan kalam khabar atau berita yang bisa mengandung unsur kebenaran atau kebohongan.

Sebelum dibahas lebih jauh apa saja makna istifham dalam Al-Quran, ada baiknya diketahui terlebih dahulu apa pengertian istifham tersebut serta adat al-istifham atau perangkat apa saja yang bisa digunakan sebagai pertanyaan dalam bahasa Arab.

Istifham (اِسْتِفْهَامٌ) berasal dari asal kata اِسْتَفْهَمَ yang berarti mencari atau meminta kepahaman. Mencari atau meminta kepahaman tersebut biasanya dengan bertanya. Sehingga, kata اِسْتِفْهَامٌ yang merupakan bentuk masdhar dari kata اِسْتَفْهَمَ tersebut diartikan dengan pertanyaan. Kata tersebut juga dapat diartikan dengan mencari sebuah berita.

Adat al-istifham atau perangkat yang bisa digunakan sebagai kata tanya dalam bahasa Arab ada berbagai macam, di antaranya adalah:

الْهَمْزَةُ،َ هَلْ، مَا، مَنْ، أَيُّ، كَمْ، كَيْفَ، أَيْنَ، أَنَّى، مَتَى، أَيَّانَ

Baca Juga: Bahasa Al-Quran dan Perdebatan Ulama’ Tentang Kosa Kata Non Arab

Beberapa makna Istifham dalam Al-Quran

Ada 18 makna istifham dalam Al-Quran yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi dalam kitabnya tersebut. Berikut ini penjelasan satu per satu makna tersebut:

  1. Al-Inkar (الْإِنْكَارُ)

Istifham ini disebut dengan istifham inkari. Makna yang terkandung dalam istifham ini adalah penafian atau pengingkaran. Sehingga lafad yang jatuh setelah adat al-istifham adalah sesuatu yang dinafikan. Contohnya seperti terdapat di surah Asy-Syu’ara [26]: 111.

قَالُوا أَنُؤْمِنُ لَكَ وَاتَّبَعَكَ الْأَرْذَلُونَ

Artinya: Mereka berkata: “Apakah kami akan beriman kepadamu, padahal yang mengikuti kamu ialah orang-orang yang hina?.”

Maksud yang terkandung dari pertanyaan dalam ayat tersebut adalah ‘kami tidak akan beriman kepadamu.’

Istifham dengan makna ini juga seringkali disertai dengan adat al-istitsna (perangkat yang digunakan untuk mengecualikan) إلا setelahnya. Seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-Ahqaf [46]: 35:

فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya: Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.

  1. At-Taubikh (التوبيخ) atau at-Taqri’ (التقريع)

Makna istifham dalam Al-Quran yang kedua adalah التوبيخ atau التقريع yang berarti celaan atau teguran. Celaan atau teguran itu seringkali terjadi pada sesuatu hal yang nyata. Dan yang dicela adalah perbuatannya. Contohnya seperti terdapat dalam Q.S. Ash-Shaffat [37]: 125:

أَتَدْعُونَ بَعْلًا وَتَذَرُونَ أَحْسَنَ الْخَالِقِينَ

Artinya: Patutkah kamu menyembah Ba’l dan kamu tinggalkan sebaik-baik Pencipta,

Atau celaan tersebut karena meninggalkan perintah Allah Swt. seperti yang terdapat di dalam Q.S. An-Nisaa’ [4]: 97:

قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا

Artinya: Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”

Baca Juga: Kompleksitas Bahasa Arab Sebagai Bahasa Al-Quran

  1. At-Taqrir (التقرير)

Kalimat tanya yang bermakna taqrir berarti mendorong mukhotob (orang yang diajak berbicara) untuk berikrar dan mengakui peristiwa yang telah terjadi padanya.

Pertanyaan yang bermakna taqrir hukumnya adalah mujab (positif), bukan manfi (negatif) meskipun ada huruf nafinya. Sehingga, kalimat positif bisa diathafkan kepadanya. Contohnya seperti terdapat dalam Q.S. Al-Insyirah [94]: 1-2

أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ (1) وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ (2)

Artinya: Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu, dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,

Hakikat dari istifham taqrir sebenarnya adalah istifham inkar. Karena istifham inkar – yang bermakna nafi (negatif) – masuk pada kalimat yang dinafikan dengan menggunakan huruf nafi atau kalimat yang secara makna memang bermakna nafi, maka hukumnya menjadi positif.

Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Insyirah [94]: 1-2 di atas atau di dalam Q.S. Ad-Dhuha [93]: 6 berikut:

أَلَمْ يَجِدْكَ يَتِيمًا فَآوَى

Artinya: Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?

Hakikat istifham dalam ayat tersebut adalah istifham inkar. Namun, karena istifham inkar masuk pada lafad لَمْ يَجِدْكَ yang bermakna nafi disebabkan adanya huruf nafi لم, maka maknanya berubah menjadi taqrir dan positif. Sama seperti dalam rumus matematika, negatif bertemu dengan negatif maka hukumnya positif.

Contoh di atas itu untuk kalimat yang dinafikan dengan menggunakan huruf nafi. Sedangkan contoh istifham inkar yang masuk pada kalimat yang memang bermakna nafi seperti terdapat dalam Q.S. Al-A’raf [7]: 172

أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

Artinya: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”

Lafad  لَسْتُ yang berasal dari  لَيْسَ + تُsecara arti memang telah menunjukkan negatif atau peniadaan, yaitu aku bukanlah.

Baca Juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

  1. Ta’ajjub atau Ta’jib (التعجب او التعجيب)

Ta’ajjub artinya adalah heran, kagum, takjub. Istifham yang bermakna ta’ajjub berarti pertanyaan yang menunjukkan arti keheranan, kekaguman. Salah satu contoh istifham jenis ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 28 dan Q.S. An-Naml [27]: 20

كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28)

Artinya: Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?

وَتَفَقَّدَ الطَّيْرَ فَقَالَ مَا لِيَ لَا أَرَى الْهُدْهُدَ أَمْ كَانَ مِنَ الْغَائِبِينَ (20)

Artinya: Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: “Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir.

Di antara beberapa makna istifham yang telah disebutkan di atas, ada ayat Al-Quran yang mengandung makna istifham tersebut lebih dari satu. Salah satu contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 44

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ (44)

Artinya: Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?

Imam Zamakhsyari mengatakan bahwa hamzah yang berfungsi sebagai istifham atau pertanyaan dalam ayat tersebut bermakna taqrir beserta dengan taubikh dan ta’ajjub.

Itu adalah empat makna istifham dalam Al-Quran dari 18 makna yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi dalam Zubdat al-Itqan-nya. InsyaAllah makna-makna yang belum disebutkan dalam artikel ini akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya. Semoga bermanfaat.

Macam-Macam Khawatimus Suwar dalam Ulumul Qur’an

0
Macam-Macam Khawatimus Suwar
Macam-Macam Khawatimus Suwar

Khawatim merupakan bentuk jamak dari kata khatimah yang memiliki arti penutup, akhir atau penghabisan. Secara etimologi, khawatimus suwar bermakna penutup atau akhir surah-surah Al-Qur’an. Sedangkan menurut terminologi, khawatimus suwar ialah suatu ungkapan yang menjadi penutup dari surah-surah Al-Qur’an. Biasanya, khawatimus suwar memberi isyarat bahwa pembicaraan atau topik tertentu telah berakhir.

Berbeda dengan fawatihus suwar yang banyak dibahas oleh ulama tafsir, pembahasan khawatimus suwar atau awakhirus suwar tidak terlalu panjang. Misalnya Imam al-Suyuthi, sang ensiklopedis ulumul qur’an, hanya membahas sedikit terkait khawatimus suwar dalam kitabnya al-Itqan Fi Ulumil Quran. Kendati demikian, itu sudah cukup untuk dipahami sebagai pengantar dalam memahami diskursus ini.

Setelah Imam al-Suyuthi melakukan pengamatan dan analisa mendalam terhadap setiap akhir surah Al-Qur’an, ia memahami bahwa itu semua memiliki pola serupa nun konsisten. Ia memiliki kesimpulan bahwa akhir surah Al-Qur’an atau khawatimus suwar terdiri dari salah satu di antara beberapa bentuk kalimat, yaitu: doa, wasiat faraid, tahmid, tahlil, nasihat-nasihat, janji, ancaman dan lain-lain.

Baca Juga: Hikmah Penggunaan Huruf-Huruf Hijaiyah Pada Fawatihus Suwar

Abdul Djalal dalam Ulumul Qur’an menerangkan – berdasarkan penelitian yang ada – bahwa pola kalimat dari khawatimus suwar setidaknya terdiri dari 16 macam. Bentuk-bentuk itu biasanya memiliki hubungan erat dengan topik surat sebelumnya atau sesudahnya. Namun, kadangkala hubungan ini (baca: munasabah) tidak bisa dilihat secara langsung, yakni implisit.

Macam-macam bentuk khawatimus suwar adalah sebagai berikut:

  1. Ta’ẓim

Bentuk yang pertama adalah ta’ẓim, yakni penutup surah dengan mengagungkan Allah swt. Bentuk ini terdapat dalam 17 surah, yatitu: surah al-Maidah, surah al-Anfal, surah al-Anbiya’, surah an-Nur, surah Luqman, surah Fathir, surah Fussilat, surah al-Hujurat, surah al-Hadid, surah al-Hasyr, surah al-Jumu’ah, surah al-Munafiqun, surah at-Taghabun, surah at-Thalaq, surah alJin, surah al-Muddassir, surah al-Qiyamah, dan surah at-Thin.

  1. Tasbīh

Bentuk yang kedua adalah tasbih, yakni penutup surah dengan anjuran ibadah dan tasbih. Khawatimus suwar dalam bentuk ini setidaknya terdapat pada 6 surah Al-Qur’an, yaitu: surah al-A’raf, surah Hud, surah al-Hijr, surah al-Thur, surah an-Najm, dan surah al-‘Alq.

  1. Tahmīd

Bentuk yang ketiga adalah tahmid, yakni penutup surah dengan frasa pujian kepada Allah swt. Bentuk ini ada dalam 11 surah Al-Qur’an, yaitu: surah al-Isra’, surah an-Naml, surah Yasin, surah as-Saff, surah as-Saffat, surah az-Zumar, surah al-Jatsiyah, surah ar-Rahman, surah al-Waqiah, surah al-Haqqah, dan surah an-Nashr.

  1. Doa

Bentuk yang keempat adalah doa, yakni akhir surah yang memuat doa-doa kepada Allah swt. Model khawatimus suwar semacam ini terdapat dalam dua surah Al-Qur’an, yaitu surah al-Baqarah dan surah al-Mukminun.

  1. Wasiat

Bentuk yang kelima adalah wasiat, yakni penutup surah yang mengandung wasiat dari Al-Qur’an kepada umat Islam. Model semacam ini terdapat pada 7 surah Al-Qur’an, yaitu: surah ar-Rum, surah ad-Dukhan, surah as-Saff, surah al-A’la, surah al-Fajr, surah ad-Dhuha dan surah al-‘Ashr.

  1. Takwa

Bentuk yang keenam ialah takwa, yakni Allah swt memerintahkan hambanya (pembaca Al-Qur’an) untuk bertakwa kepada-Nya. Bentuk khawatimus suwar ini ada dalam tiga surah, yakni surah Ali Imran, surah an-Nahl, dan surah al-Qamar.

  1. Penutup surah mengenai masalah waris (faraidh), yakni surah an-Nisa’
  2. Penutupan surah dengan janji dan ancaman, yakni surah al-Muzammil dan al-Humazah
  3. Penutup surah dengan frasa hiburan bagi nabi Muhammad saw, yakni surah al-Kautsar dan al-Kafirun.
  4. Penutupan surah dengan sifat-sifat Al-qur’an seperti yang ditemukan dalam surah Yusuf, surah Shad, dan surah al-Qalam.Penutup surah dengan frasa bantahan seperti surah ar-Ra’d
  5. Penutupan surah dengan ketauhidan, terdapat dalam surah at-Taubah, surah Ibrahim, surah al-Kahfi, dan surah al-Qasas
  6. Penutup surah dalam bentuk kisah seperti dalam surah Maryam, surah at-Tahrim, surah ‘Abasa, dan surah al-Fil.
  7. Penutupan surah dengan anjuran jihad seperti dalam surah al-Haj
  8. Penutup surah dalam bentuk takhsis atau perincian maksud ayat sebelumnya. Ini terdapat dalam surah al-Fatihah, surah as-Syura, surah at-Takwir, dan lain-lain.
  9. Penutup surah dalam bentuk pertanyaan seperti dalam surh al-Mulk dan surah al-Mursalat.

Penetapan bentuk khawatimus suwar biasanya didasarkan pada ijtihad masing-masing mufasir. Oleh karena itu, bisa jadi antara satu mufasir dengan mufasir yang lain memiliki perbedaan pembagian atau bentuk khawatimus suwar. Namun menurut penulis, mayoritas ulama tafsir menggunakan ilmu munasabah untuk mengklasifikasikan macan-macam penutup surah Al-Qur’an.

Baca Juga: Kisah Malik bin Anas dan Keistimewaan Huruf-Huruf Muqaththa’ah

Diskursus khawatimus suwar dapat kita temukan dalam berbagai kitab tafsir tahlili seperti Marah Labid karya Syekh Nawawi al-Bantani, Tafsir Al-Qur’an al-Azhim karya Ibnu Katsir, dan Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Biasanya, penjelasan khawatimus suwar dalam tafsir tersebut dijelaskan dalam rangka menerangkan munasabah atau kaitan akhir surah dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

Menurut Juhana Nasrudin dalam bukunya, Kaidah Ilmu Tafsir Al-Qur’an, eksistensi khawatimus suwar memiliki hikmah tersendiri, yakni memberi kesan bagi pembaca berkaitan dengan surah yang dibaca dan merangsang mereka untuk mengetahui hal-hal yang dibacakan sesudahnya. Dengan demikian, pembaca bisa menangkap lebih jeli tentang pesan Al-Qur’an yang ingin disampaikan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2 berbicara mengenai sifat-sifat yang terkandung dalam diri orang-orang mukmin. Ada tiga ciri-ciri orang mukmin. Pertama bergertanya hati ketika mendengar nama Allah.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 1


Ciri selanjutnya dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2 ini adalah bertambahnya iman ketika mendengar ayat-ayat Allah dibacakan. Dan yang terakhir adalah berserah diri sepenuh hati hanya kepada Allah.

Ayat 2

Allah menjelaskan bahwa orang-orang mukmin ialah mereka yang menghiasi dirinya dengan sifat-sifat seperti tersebut dalam ayat ini. Tiga sifat disebutkan dalam ayat ini, sedang dua sifat lagi disebutkan dalam ayat berikutnya.;

  1. Apabila disebutkan nama Allah bergetarlah hatinya karena ingat keagungan dan kekuasaan-Nya.

Pada saat itu timbul dalam jiwanya perasaan penuh haru mengingat besarnya nikmat dan karunia-Nya. Mereka merasa takut apabila mereka tidak memenuhi tugas kewajiban sebagai hamba Allah, dan merasa berdosa apabila melanggar larangan-larangan-Nya.

Bergetarnya hati sebagai perumpamaan dari perasaan takut, adalah sikap mental yang besifat abstrak, yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersangkutan dan hanya Allah sendiri yang mengetahuinya. Sedang orang lain dapat mengetahui dengan memperhatikan tanda-tanda lahiriah dari orang yang merasakannya, yang terlukis dalam perkataan atau gerak-gerik perbuatannya.

Sikap mental itu adakalanya tampak dalam perkataan, sebagaimana tergambar dalam firman Allah:

وَالَّذِيْنَ يُؤْتُوْنَ مَآ اٰتَوْا وَّقُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ اَنَّهُمْ اِلٰى رَبِّهِمْ رٰجِعُوْنَ ۙ  ٦٠

“Dan mereka yang memberikan apa yang mereka berikan (sedekah) dengan hati penuh rasa takut, (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya”. (al-Mu’minµn/23: 60)

Dan adakalanya tampak pada gerak-gerik dalam perbuatan, firman Allah :

اِذْ دَخَلُوْا عَلَيْهِ فَقَالُوْا سَلٰمًاۗ قَالَ اِنَّا مِنْكُمْ وَجِلُوْنَ

“Ketika mereka masuk ke tempatnya, lalu mereka mengucapkan, “salam.” Dia (Ibrahim) berkata, “Kami benar-benar merasa takut kepadamu.” (al-Hijr/15: 52)


Baca juga: Surah Al-Ashr Ayat 1-3: Empat Prinsip Hidup Bagi Orang-Orang Mukmin


  1. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah, maka akan bertambah iman mereka.

Hal ini terjadi karena ayat-ayat itu mengandung dalil-dalil yang kuat, yang mempengaruhi jiwanya sedemikian rupa, sehingga mereka bertambah yakin dan mantap serta dapat memahami kandungan isinya, sedang anggota badannya tergerak untuk melaksanakannya.

Dalam ayat ini terdapat petunjuk bahwa iman seseorang dapat bertambah dan dapat berkurang sesuai dengan ilmu dan amalnya, Rasulullah bersabda:

َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ شُعْبَةً، أَعْلاَهَا شَهَادَةُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ الله ُوَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذٰى عَنِ الطَّرِيْقِ

(رواه البخاري ومسلم عن أبي هريرة)

“Iman itu lebih dari 70 cabang, yang tertinggi adalah pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan yang terendah adalah menyingkirkan ganguan dari jalan.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

Dengan demikian bertambahnya iman pada seseorang dapat diketahui apabila ia lebih giat beramal. Iman dan amal adalah merupakan satu kesatuan yang bulat yang tak dapat dipisahkan.

 Firman Allah swt:

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, “Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (Ali Imran/3: 173)

Dan firman Allah:

وَلَمَّا رَاَ الْمُؤْمِنُوْنَ الْاَحْزَابَۙ قَالُوْا هٰذَا مَا وَعَدَنَا اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ وَصَدَقَ اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗ  ۖوَمَا زَادَهُمْ اِلَّآ اِيْمَانًا وَّتَسْلِيْمًاۗ

Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka. (al-Ahzab/33: 22)

  1. Bertawakal hanya kepada Allah Yang Maha Esa, tidak berserah diri kepada yang lain-Nya.

Tawakal merupakan senjata terakhir seseorang dalam mewujudkan serangkaian amal setelah berbagai sarana dan syarat-syarat yang diperlukan itu dipersiapkan. Hal ini dapat dipahami, karena pada hakikatnya segala macam aktifitas dan perbuatan, hanya terwujud menurut hukum-hukum yang berlaku yang tunduk dibawah kekuasaan Allah. Maka tidak benar apabila seseorang itu berserah diri kepada selain Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 3-4


(Tafsir Kemenag)

Bahasa Al-Quran dan Perdebatan Ulama’ Tentang Kosa Kata Non Arab

0
Bahasa Al-Quran
Bahasa Al-Quran

Al-Quran memang diturunkan di daerah Arab. Karena itu, bahasa Al-Quran mengikuti bahasa yang digunakan oleh orang Arab. Meskipun pada hakikatnya yang tahu betul bahasa Al-Quran adalah Allah swt semata, wujud Al-Quran adalah media sampainya perintah-perintah Allah kepada ummat manusia yang diwujudkan dalam bingkai bahasa dan konteks Arab.

Terpilihnya bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran bukan tanpa alasan. Prof Quraish Shihab menuturkan bahwa hanya bahasa Arab yang memiliki kosakata terbanyak di dunia. Semakin variatif kosakatanya maka semakin canggih dan bernilai pesan yang disampaikan. Makna yang dikandung semakin luas, menyeluruh, dan mampu beradaptasi dengan segala konteks zaman.

Pada faktanya, tidak semua ulama’ sepakat jika seluruh bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab. Ada dua mazhab perihal ini. Mazhab pertama mengatakan bahwa sudah jelas dan disepakati kalau Al-Quran berbahasa Arab. Pendapat ini dianut mayoritas ulama’, seperti ath-Thabari, al-Qurthubi, dan al-Baqilani. Sementara Mazhab kedua menyanggah bahwa tidak semua kosakata di Al-Quran berbahasa Arab. Pendapat ini hanya dianut oleh sebagian ulama’ saja.

Baca Juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

Perdebatan panjang ini diuraikan oleh Syekh Muhammad ‘Ali ash-Shabuni dalam kitabnya at-Tibyan Fi Ulumil Qur’an. Mazhab pertama berargumen bahwa jika memang di dalam Al-Quran ada kosakata yang dianggap mengandung unsur non Arab, itu hanya kebetulan saja. Kebetulan beberapa bahasa Arab yang digunakan Al-Quran bentuknya sama dengan bahasa lainnya seperti bahasa Persia dan Habasyah. Intinya bangsa Arab dan non Arab menggunakan kosakata yang sama dalam berbicara.

Mazhab ini menjabarkan sejumlah dalil untuk meyakinkan kalau memang Al-Quran benar-benar berbahasa Arab murni. Pertama. Al-Quran sendiri telah menegaskan bahwa Al-Quran benar-benar bahasa Arab dari segi lafadznya, susunan kalimat, hingga gaya bahasanya sangat Arab.

Firman Allah ta’ala [قُرآنًا عَرَبِيًّا] yang telah diulang berkali-kali di Al-Quran merupakan dalil kuat. Semakin sering sebuat kalimat diulang, semakin kuat maksud kalimat itu untuk diyakini dan dijalankan. Kata qur’anan di sini berupa isim nakiroah [umum]. Artinya, kata itu mencakup segala sisi Al-Quran tanpa kecuali. Maka tidak benar jika ada satu kata saja dalam Al-Quran yang tidak berbahasa Arab.

Kedua. Maksud turunnya Al-Quran berbahasa Arab adalah agar masyarakat Arab-yang menjadi khithab turunnya al-Qur’an- bisa memahami, mentadabburi, hingga merenungkan makna-makna yang terkandung di dalamnya. Maksud ini dapat dibaca misalnya pada Q.S. Yusuf [12]: 2 dan Fushshilat [37]: 3.

Di surat Yusuf, penegasann tujuan Al-Quran diturunkan berkaitan dengan harapan agar manusia mau merenungkan dan memahami al-Qur’an. Sedangkan di Surat Fushshiilat, penegasan maksud penurunan Al-Quran berkenaan dengan kemampuan kelompok masyarakat yang mampu memahami bahasa al-Qur’an.

Ketiga. Dipilihnya bahasa Arab oleh Al-Quran adalah untuk menolak klaim kelompok musyrikin terhadap Al-Quran yang dikira bahasanya mirip dan bahkan tidak jauh berbeda dengan bahasa ahlul Kitab di era kekaisaran Romawi. Ini tidak lain karena Nabi Muhammad saw diduga memperoleh Al-Quran dari para ahlul kitab itu. Akhirnya, Al-Quran dihadirkan dengan bahasa yang jelas-jelas jauh berbeda-tidak identik sama sekali-dari bahasa orang Romawi.

Keempat. Jika al-Qur’an; sebagian atau seluruhnya, menggunakan bahasa non Arab, sementara masyarakat yang menerima misi al-Qu’ran pertama kali berbahasa Arab, maka pasti akan lebih banyak timbul pertentangan. Mungkin akan muncul dua model pertanyaan sebagaimana diuraikan al-Mawardi, dalam an-Nukat wa al-‘Uyun [Tafsir al-Mawardi]. Kok bisa Al-Quran itu tidak berbahasa Arab, sedangkan Muhammad saja orang Arab, ini kan aneh? Atau, Bagaiman sih, kok Al-Quran bahasanya non Arab, sedangkan kita orang Arab? Bagaimana mungkin kita bisa memahaminya?

Menariknya, selama ini kita memahami kalau penolakan terhadap Al-Quran terjadi bukan karena perbedaan bahasa. Tetapi karena misi kritik tauhid, sosial, hingga budaya terhadap orang-orang musyrik Mekkah. Berbahasa sama saja dikritik, apalagi berbeda bahasa bahasa. Dan sejarah tidak pernah mencatat penolakan orang-orang musyrik terhadap Al-Quran hanya perkara perbedaan bahasa.

Kelima. Di dalam Al-Quran memang terdapat beberapa kata yang biasa diucapkan oleh orang-orang non Arab, seperti orang Persia, Habasyah, dan lain-lain.Tetapi itu bukan berarti kosakata itu bisa diklaim sebagai kata non Arab. Ia tetap Arab. Hanya saja ia bisa diucapkan oleh orang-orang non Arab, misalnya kata Israil [إسرائيل ], Jibril [جبريل], Imran [عمران], Nuh [نوح], dan Lut [لوط].

Mazhab kedua justru sebaliknya. Mazhab ini beranggapan bahwa keberadaan kosakata non Arab di Al-Quran benar adanya. Ini tidak lain karena meskipun masyarakat Arab saat itu terpencil dari peradaban, pengaruh bahasa non Arab yang terjadi dari proses komunikasi perdagangan dan interaksi lain jelas tidak bisa dihindari.

Mazhab kedua ini memberikan beberapa contoh kosakata beserta makananya. Kosakata yang terdeteksi asalnya dari Habasyah adalah seperti kata misykah (مشكاة) [Q.S. An-Nur [24]:35] yang bermakna lubang (الكوة), kata al-kifl (الكفل) [Q.S. Al-Anbiya’ [21]: 85 dan Shad [38]:48] yang maknanya bagian (ضعف), dan kata qaswraah (قسورة) [Q.S. al-Mudatsir[74]: 51] yang makananya berani ( الأسد).

Ada juga beberapa kosakata lain yang dianggap berasal dari daerah selain Habasyah. Misalnya kata al-qisthas (القسطاس) [ yang maknanya timbangan (الميزان) berasal dari Romawi. Lalu, kata sijjil (سجيل) yang bermakna batu (الحجارة) dan tanah liat (الطين) dideteksi asalanya dari Persia. Adapun kata ghassaq (الغساق) yang bermakna dingin (البارد) dan busuk (المنتن) berasal dari bahasa Turki. Termasuk juga kata al-yammu (اليم) [Q.S. Al-A’raf [8]: 136, Ta-Ha [20]: 39 dan 97, Al-Qashash [28]: 7 dan 40, dan Adz-Dzariyat [51]: 40] yang maknanya lautan (البحر) dan kata ath-Thur (الطور) [Q.S. Al-Baqarah [2]: 63 dan 93, An-Nisa [4]: 154 dan 52, Ta-Ha [20]: 80, Al-Qashash [28]: 29 dan 46, dan Ath-Thur [52]: 1] yang makannya gunung (الجبل).

Baca Juga: Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa

Ibnu ‘Athiyyah menegaskan bahwa beberapa kosakata di atas memang asalnya bukan dari Arab. Tapi karena orang Arab sering menggunakannya entah dalam budaya syair mereka yang kuat atau sekedar percakapan sehari-hari, akhirnya kosakata tersebut dianggap menjadi bagian bahasa Arab. Dari sinilah kemudian terjadi penyerapan bahasa asing. Peristiwa ini memang tidak bisa dipungkiri karena orang Arab –dan ini juga terjadi di berbagai bahasa lain di dunia- berkomunikasi dengan orang non Arab.

Terlepas dari perbedaan pendapat itu, setidaknya kita bisa mengetahui sejauh mana bahasa-bahasa non Arab berpengaruh terhadap kosakata al-Qur’an. Mungkin dari sini kita bisa mengerti bahwa dari perdebatan aspek pengaruh bahasa dalam Al-Quran menunjukkan kepada kita kalau Al-Quran secara budaya memiliki keterkaitan dengan budaya-budaya bangsa dan agama sebelumnya, di mana Al-Quran tetap melakukan seleksi ketat dan kritik terhadapnya. Terlebih lagi, beberapa kosakata yang diklaim akarnya dari non Arab itu ditemui di beberapa surat yang berkisah tentang umat-umat terdahulu. Wallahu A’lam.

Tafsir Ahkam: Larangan Melakukan Bunuh Diri dalam Al-Quran

0
Bunuh Diri
Larangan Bunuh Diri

Beratnya problem kehidupan terkadang mendorong orang yang mengalaminya untuk merasa putus asa dalam menjalani hidup, dan kemudian tergerak untuk bunuh diri. Mereka berpikir, dengan bunuh diri segala masalah akan berakhir. Selain itu, bunuh diri adalah tindakan yang bisa dibilang tidak mengganggu orang lain. Sehingga bunuh diri menjadi pilihan hidup yang menurut mereka, seharusnya tidak bisa diganggu siapapun.

Islam menyatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan yang terlarang. Islam mendorong pemeluknya untuk tidak putus asa dalam menjalani hidup, serta menghargai kehidupan sebagai sebuah pemberian dari Allah, agar kita memperoleh berbagai nikmat baik di dunia maupun akhirat.

Larangan Bunuh Diri Dalam Al-Qur’an

Larangan bunuh diri dalam Al-Qur’an disinggung di dalam firman Allah yang berbunyi:

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا ٢٩ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ عُدْوَانًا وَّظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيْهِ نَارًا ۗوَكَانَ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرًا ٣٠

  1. Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. 30. Siapa yang berbuat demikian dengan cara melanggar aturan dan berbuat zalim kelak Kami masukkan dia ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah (QS. An-Nisa’ [4] 29-30).

Imam Ibn Katsir tatkala memberikan penafsiran terhadap ayat di atas menyatakan, diantara bentuk membunuh diri sendiri adalah melakukan hal-hal yang diharamkan atau bersifat mendurhakai Allah, serta memakan harta dengan jalan yang tidak dihalalkan.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Qasas Ayat 14-15: Tragedi Pembunuhan Juru Masak Fir’aun

Ibn Katsir kemudian mengutip beberapa riwayat hadis yang terkait dengan ayat di atas. Salah satunya hadis yang diriwayatkan dari ‘Amr ibn ‘Ash (Tafsir Ibn Katsir/4/80):

قَالَ احْتَلَمْتُ فِى لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ فِى غَزْوَةِ ذَاتِ السَّلاَسِلِ فَأَشْفَقْتُ إِنِ اغْتَسَلْتُ أَنْ أَهْلِكَ فَتَيَمَّمْتُ ثُمَّ صَلَّيْتُ بِأَصْحَابِى الصُّبْحَ فَذَكَرُوا ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « يَا عَمْرُو صَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ ». فَأَخْبَرْتُهُ بِالَّذِى مَنَعَنِى مِنَ الاِغْتِسَالِ وَقُلْتُ إِنِّى سَمِعْتُ اللَّهَ يَقُولُ (وَلاَ تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا) فَضَحِكَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا.

Berkata ‘amr ibn ‘ash: Aku mimpi basah di suatu malam yang dingin, saat perang dzatis salaasil. Lalu aku merasa khawatir bila aku mandi, maka aku mati. Lalu akupun bertayamum dan salat subuh bersama kawan-kawanku. Perbuatanku itu kemudian dilaporkan oleh para sahabatku kepada Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam, nabi lalu bersabda: “Hai ‘amr, apakah engkau salat bersama kawan-kawanmu dalam keadaan hadas besar?”

lalu aku mengungkapkan alasanku tidak mandi kepada beliau. Dan aku berkata: “Aku mendengar allah berfirman: ‘Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Rasulullah salallahualaihi wasallam pun tertawa dan tidak mengatakan apapun (HR. Abi Dawud, al-Hakim dan selainnya).

Lewat pernyataan dan riwayat hadis di atas, Ibn Katsir secara tidak langsung mengatakan bahwa termasuk hal yang dilarang lewat ayat di atas adalah praktik bunuh diri atau membuat diri sendiri dalam bahaya. Hanya saja, Ibn Katsir memberikan gambaran bunuh diri secara luas dan tidak hanya soal menghilangkan nyawa dari diri sendiri. Namun juga membuat diri jatuh pada kubangan dosa.

Imam Al-Alusi menyatakan bahwa ada sekitar 6 pendapat mengenai makna “membunuh diri” di ayat di atas. Beberapa di antaranya adalah membuat diri dapat dengan mudah dibunuh oleh musuh di dalam peperangan. Imam Al-Alusi juga menyebutkan hadis yang disebutkan Ibn Katsir di atas, sebagai salah satu penafsiran (Ruhul Ma’ani/4/30).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili berkomentar terkait ayat di atas, bahwa secara zahir, ayat di atas menyinggung praktik bunuh diri atau mengilangkan nyawa dari diri sendiri. Hanya saja, para pakar tafsir telah bersepakat bahwa makna ayat di atas adalah larangan saling bunuh satu sama lain. Dan frase “diri kalian sendiri” merupakan sebuah kiasan belaka.

Baca Juga: Kritik Al-Quran Terhadap Fenomena Pembunuhan Anak Di Masa Jahiliyah

Hanya saja, Syaikh Wahbah menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan ayat di atas menyinggung larangan membunuh diri sendiri, serta orang lain. Juga larangan membuat diri dalam bahaya seperti memakan makanan yang berbahaya, meminum racun, dan sebagainya (Tafsir Munir/5/29).

Penutup

Tatkala memberikan tafsir Surat Al-Mulk ayat 2, Imam Ar-Razi menyatakan bahwa kehidupan yang diberikan kepada manusia adalah sebagai sumber segala nikmat.  Sumber segala nikmat di dunia, dan juga di akhirat. Di dunia, manusia berkesempatan merasakan nikmat makanan dan sebagainya. Sedang di akhirat, manusia berkesempatan memperoleh nikmat sebagai balasan amal baik di dunia. (Mafatihul Ghaib/15/395).

Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk lebih menghargai hidup sebagai kesempatan merasakan berbagai nikmat. Cara menghargainya adalah dengan tidak secara sengaja menghilangkan kehidupan dari diri sendiri dengan cara bunuh diri. Larangan melakukan bunuh diri secara tidak langsung mendorong diri untuk lebih menghargai hidup. Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 1

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Surah Al Anfal merupakan surah yang ke-8 dalam susunan mushaf Usmani. Surah yang berjumlah 75 ayat ini termasuk dalam kelompok surah-surah madaniyah. Di dalamnya banyak termuat kisah-kisah peperangan. Sesuai namanya al-Anfal berarti rampasan perang.

Adapun Tafsir Surah Al Anfal Ayat 1 ini berbicara mengenai persilisihan pendapat di antara para sahabat mengenai pembagian harta rampasan. Atas terjadinya perselisihan tersebut Allah menegur bahwa harta rampasan itu adalah karunia Allah. Dengan ini sebenarnya Allah ingin mengajarkan keikhlasan dan ketakwaan kepada orang-orang mukmin.

Ayat 1

Ayat ini membicarakan persoalan harta rampasan perang yang diperoleh kaum Muslimin setelah usainya Perang Badar Kubra. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin. Mereka memperoleh harta rampasan perang yang banyak.

Al-Anfal (al-Ganimah) ialah segala macam harta yang diperoleh kaum Muslimin dari musuh dalam medan pertempuran. Harta rampasan perang ini dinamakan al-Anfal (bentuk jamak dari Nafal) karena harta-harta ini menjadi harta kekayaan kaum Muslimin.

Setelah kaum Muslimin memperoleh harta rampasan perang itu, terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka yang ikut berperang. Perselisihan itu mengenai cara-cara pembagiannya, dan pihak-pihak manakah yang berhak mendapatkan.

Pihak pemuda ataukah pihak orang-orang tua, pihak-pihak orang Muhajirin atau pihak An¡ar, ataukah pula masing-masing pihak sama-sama mendapat bagian. Persoalan itu dibawa kepada Rasulullah saw agar mendapat keputusan yang adil.

Sebagai jawaban atas pertanyan kaum Muslimin itu, Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk menetapkan hukumnya, bahwa harta rampasan perang itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya.

Oleh sebab itu yang menentukan pembagian harta rampasan itu bukan kelompok pemuda atau kelompok orang tua, bukan orang Muhajirin atau orang Ansar, bukan pula tim penyerang, tim pelindung, atau tim pengumpul harta rampasan perang, tetapi Allah-lah yang menentukan dengan wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya.

Rasulullah membagi harta rampasan perang itu secara merata di antara kaum Muslimin.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang


Dalam ketentuan ini terkandung pelajaran yang tinggi bagi kaum Muslimin agar mereka tidak beranggapan, bahwa harta rampasan perang yang mereka peroleh itu, merupakan imbalan jasa peperangan, tetapi semata-mata mereka peroleh karena karunia Allah.

Kalau mereka beranggapan bahwa harta rampasan perang itu mereka peroleh sebagai imbalan jasa, maka perjuangan mereka tidak murni karena Allah dan mengikuti perintah Rasul-Nya.

Ayat ini memberi dorongan pula kepada kaum Muslimin, agar mereka dalam menghadapi  tanggung jawab yang berat, hendaklah mereka hadapi secara  bersama-sama, dan apabila mendapat kenikmatan, agar dirasakan bersama-sama pula.

Mengenai pembagian harta rampasan perang secara rinci akan diuraikan penafsirannya pada ayat 41 surah ini.

Allah memerintahkan pula kepada Rasulullah saw agar kaum Muslimin bertakwa, menjauhi perselisihan dan persengketaan yang menimbulkan kesusahan dan menjerumuskan mereka kepada kemurkaan Allah.

Takwa diperlukan dalam setiap keadaan, terlebih dalam perang dan pembagian harta rampasan perang, akibat perselisihan dapat dirasakan, yaitu terganggunya persatuan dan timbulnya perpecahan yang mengakibatkan kekalahan.

Sesudah itu Allah memerintahkan agar kaum Muslimin memperbaiki hubungan sesama muslim, yaitu menjalin cinta kasih dan memperkokoh kesatuan pendapat. Hal inilah yang dapat mengikat mereka dalam kesatuan gerak dalam mencapai cita-cita bersama, yaitu mempertinggi kalimat Allah.

Persatuan dan kesatuan ini menjadi dasar kekuatan umat dalam segala bidang. Itulah sebabnya, memperbaiki hubungan di antara sesama muslim diwajibkan, agar kaum Muslimin menyadari akan pentingnya menghindari bahaya yang mengancam mereka, bahaya keretakan yang menggoyahkan kesatuan umat.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan


Hal ini jelas tergambar pada saat terjadinya perselisihan yang terjadi di antara kelompok-kelompok karena yang satu merasa lebih berjasa dari kelompok yang lain. Demikian pula hal ini terjadi karena mereka melupakan tugas mereka yang penting, yaitu bahwa tugas mempertahankan kebenaran itu adalah tugas bersama.

Pada akhir ayat, Allah menegaskan agar kaum Muslimin menaati Allah dan Rasul, dalam hal ini menaati ketentuan perang, yang disampaikan kepada Rasulullah saw dengan perantaraan wahyu.

Ketentuan Allah wajib ditaati, Dia adalah Tuhan seru sekalian alam dan Yang Mahakuasa, sedang taat kepada Rasul, dalam urusan agama, berarti taat kepada Allah karena dialah yang menyampaikan agama itu dan memberikan penjelasan yang tertuang dalam perkataan, perbuatan serta keputusannya.

Perintah ini ditegaskan pada saat kaum Muslimin dalam keadaan bersengketa mengenai pembagian harta rampasan perang, untuk mengingatkan mereka bahwa dalam saat-saat bagaimanapun juga kaum Muslimin harus tetap menaati Allah dan Rasul-Nya, agar mereka tidak menimbulkan perpecahan karena ambisi golongan dan kemauan hawa nafsu, yang biasanya menjerumuskan mereka kepada kehancuran.

Di dalam ayat ini terdapat beberapa unsur penting yang dapat memelihara kesatuan umat yaitu; takwa, memperbaiki hubungan sesama muslim, dan menaati Allah dan Rasul di dalam setiap keadaan.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 2


(Tafsir Kemenag)