Beranda blog Halaman 386

Tafsir Surat Al A’raf ayat 126-127

0
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102
Tafsir Surat Al A'raf ayat 101-102

Pada tafsir sebelumnya perjalanan hidup Nabi Musa hingga pertentangannya dengan Fir’aun. Dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 126-127 ini lebih menceritakan para penyihir yang akhirnya mengimani agama yang di bawa Musa. 

Meskipun Fir’aun mengancam untuk memotong silang tangan dan kaki mereka karena mengikuti Musa. Namun meskipun demikian dalam Tafsir Surat Al A’raf ayat 126-127 menjegaskan bahwa para penyihir tersebut tak gentar dan juga tak takut. Selengkapnya baca Tafsir Surat Al A’raf ayat 126-127 di bawah ini…


Baca Tafsir Sebelumnya: Tafsir Surat Al A’raf ayat 97-100


Ayat 126

Dalam ayat ini Allah menceritakan ucapan selanjutnya dari para pesihir kepada Fir’aun. Mereka menyingkapkan kejahatan Fir’aun terhadap mereka, yaitu bahwa Fir’aun ingin membalas dendam kepada mereka dengan menyiksa mereka secara kejam. Dan semuanya itu hanyalah karena mereka telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan ketika ayat-ayat tersebut datang kepada mereka.

Ucapan mereka ini mengandung arti bahwa Fir’aun tidak akan mempengaruhi mereka, karena keimanan kepada Allah adalah suatu yang amat berharga dan sesuai dengan fitrah manusia yang asli, dan menjadi pokok bagi kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat kelak.

Fir’aun mencela para pesihir sebab mereka telah sujud dan beriman kepada Allah tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Fir’aun. Di samping itu, Fir’aun telah menuduh mereka berkomplot dengan Nabi Musa untuk merebut kekuasaan dari tangannya, dan untuk mengusir bangsa Mesir dari tanah air mereka. Akhirnya Fir’aun mengancam untuk memotong tangan dan kaki mereka. ditambah dengan siksaan berupa penyaliban.

Semua itu pada hakikatnya merupakan kemurkaan Fir’aun terhadap mereka. Sesudah itu Fir’aun berusaha melakukan balas dendam dengan perbuatan mereka dan siapa saja yang beriman kepada Allah serta memenuhi seruan Nabi Musa. Usaha apapun yang dilakukan oleh Fir’aun  tetap tidak mendatangkan hasil baginya. Bahkan sebaliknya, Fir’aun  bersama para pembesarnya akan menemui nasib yang amat buruk.

Dalam ayat lain disebutkan firman Allah kepada Nabi Musa dan Harun sebagai berikut:

اَنْتُمَا وَمَنِ اتَّبَعَكُمَا الْغٰلِبُوْنَ

“Kamu berdua dan orang yang mengikuti kamu yang akan menang.” (al-Qashash/28: 35)

Selanjutnya Allah menceritakan tentang para pesihir tersebut, bahwa setelah mereka memberikan jawaban yang tegas seperti di atas, mereka lalu berdoa kehadirat Allah, semoga mereka diberi kesabaran, dan apabila Allah mewafatkan mereka hendaklah dalam keadaan berserah diri kepada-Nya. Doa mereka kepada Allah agar diberi kesabaran menunjukkan betapa pentingnya kesabaran dalam setiap perjuangan, terutama perjuangan melawan kezaliman.

Kesabaran tidak hanya berarti kemampuan menahan diri mereka dari kemarahan, akan tetapi juga berarti mawas diri, mengendalikan hawa nafsu, serta tangguh menghadapi segala rintangan dan penderitaan.

Orang yang sabar, tidak akan membalas dendam, walaupun ia mampu untuk melakukannya. Orang yang sabar senantiasa dapat memelihara pertimbangan akal yang sehat, sehingga ia tidak akan terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang dapat merugikan dirinya dan perjuangan umatnya.

Jalan untuk mencapai kesabaran ialah iman yang kokoh kepada Allah dan hari akhirat. Hal ini telah dibuktikan oleh kenyataan sejarah umat manusia, yaitu bahwa umat yang kuat imannya adalah merupakan umat yang paling sabar dan tangguh dalam perjuangan dan mempunyai keberanian yang tinggi. Karena kesabaran serta keberanian itu, timbullah ide dan usaha-usaha pada sementara pimpinan angkatan perang pada beberapa negara, untuk menggalakkan pendidikan agama dan binaan rohani bagi para prajurit dan perwira angkatan perang, agar mereka memiliki iman yang kokoh yang akan membuahkan sifat kesabaran dan keberanian.

Dalam pada itu, Allah berulang kali dalam firman-Nya menjanjikan pertolongan-Nya bagi orang-orang yang sabar, dan ia memberikan petunjuk agar manusia senantiasa bersabar dan menganjurkan orang lain untuk bersabar. Allah berfirman:

الَّذِيْنَ صَبَرُوْا وَعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَ

(Yaitu) orang-orang yang sabar dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (an-Nahl/16: 42)

Firman-Nya lagi:

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ ࣖ 

Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran, dan menasihati untuk kesabaran. (al-‘Ashr/103: 3)

Ajaran tentang kesabaran ini sangat dipentingkan agama Islam, sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sekitar 100 kali disebutkan, baik berupa perintah tentang bersabar, maupun berupa pujian bagi orang-orang yang bersabar, ataupun janji kemenangan, keberuntungan dan pertolongan Allah bagi orang-orang yang bersabar. Dan seringkali kata-kata sabar itu digandengkan dengan kata-kata iman, takwa, tawakal, kebenaran, perjuangan, kekuatan tekad dan sebagainya.

Dalam hadis-hadis Rasulullah pun banyak terdapat ajaran tentang kesabaran. Mengenai hubungan antara kesabaran dan keberanian beliau bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُرَعَةِ وَاِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ (رواه البخارى عن ابى هريرة)

“Orang yang kuat bukanlah orang yang dapat membanting orang, tetapi orang kuat adalah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika dia sedang marah”. (Riwayat Imam al-Bukhar³, dari Abu Hurairah ra)

Orang yang sabar senantiasa tenang dan mempunyai pikiran terang, sehingga segala ucapan dan tindak tanduknya dapat dikendalikan dengan baik. Pendiriannya tidak tergoyahkan oleh ancaman dan bujukan bagaimana pun juga. Oleh sebab itu, dalam suatu hadis yang lain Rasulullah saw bersabda:

 َالصَّبْرُ ِضَياء ٌ (رواه مسلم والترمذي وغيره) 

 “Kesabaran itu adalah sinar yang terang.” (Riwayat Muslim, at-Tirmidzi, dan lain-lain)

Sebaliknya orang yang tidak sabar tentu akan kehilangan akal sehat, serta mudah dipengaruhi setan, sehingga ucapan dan tindakannya tidak dapat dikendalikannya. Hal ini akan membawa kepada akibat yang jelek dan akan menimbulkan kerugian dan penyesalan. Oleh sebab itu Rasulullah saw memperingatkan dengan sabdanya :

اَلْعَجَلَةُ مِنَ الشَّيْطَانِ (رواه الترمذي)

“Sifat tergesa-gesa itu perbuatan setan.” (Riwayat at-Tirmidzi)

Karena pentingnya sifat kesabaran itu, maka tidaklah mengherankan mengapa orang-orang yang telah beriman kepada Nabi Musa as dalam kisah tersebut memohon kepada Allah agar dilimpahi kesabaran yang banyak, sehingga iman mereka tidak akan digoyahkan oleh ancaman Fir’aun dan pembesar-pembesarnya.

Ayat 127

Dalam ayat ini diceritakan bahwa orang-orang terkemuka dari kaum Fir’aun berkata kepadanya, “Hai Fir’aun apakah kamu akan membiarkan Musa dan kaumnya berbuat kerusakan di negeri ini? Serta meninggalkan kamu dan Tuhan-tuhanmu?”

Fitnahan ini untuk kesekian kalinya memperlihatkan kecemasan mereka akan kehilangan kekuasaan, pengaruh dan harta benda, karena mereka telah melihat gejala-gejala bahwa rakyat telah mulai memalingkan muka dari Fir’aun kepada Nabi Musa a.s, setelah menyaksikan kemenangan mukjizatnya. Apalagi setelah melihat para pesihir sudah bersujud menyatakan iman, dan tidak memperdulikan lagi ancaman Fir’aun terhadap mereka.

Dalam melancarkan fitnahan ini, para pembesar ini menggunakan unsur politik dan unsur agama. Mereka menuduh bahwa Musa akan meruntuhkan kedudukan Fir’aun sebagai penguasa tunggal di Mesir. Di samping itu, kedudukan Fir’aun sebagai orang yang dipertuhan selama ini dengan sendirinya akan lenyap pula.

Lebih dari itu, tuhan-tuhan yang menjadi sesembahan bangsa Mesir pada masa itupun akan ditinggalkan pula, misalnya Tuhan “Osiris” yang menurut anggapan mereka rohnya menjelma pada seekor sapi yang mereka sebut “Apis”, selain itu, mereka juga menyembah “segala macam hewan”. Demikian pula mereka menyembah kegelapan, serta patung Akron yang mereka anggap sebagai pengusir lalat.

Pendek kata rakyat Fir’aun pada masa itu telah berada di puncak kesesatan, karena mereka menyembah matahari, bulan dan bintang-bintang, serta manusia dan hewan, baik hewan yang besar maupun serangga yang paling kecil.

Fir’aun sendiri adalah penganut kepercayaan penyembah binatang, kemudian ditinggalkannya kepercayaan tersebut, lalu ia mengaku menjadi tuhan dan menyuruh rakyatnya untuk menyembah kepadanya. Ini setelah ia melihat dirinya mempunyai kekuasaan yang begitu besar di kalangan rakyatnya. (Keterangan ini terdapat dalam buku Al-Milal wan-Nihal oleh asy-Syahrastany)

Fitnah para pembesar Fir’aun telah berhasil mengenai sasarannya, yaitu mempengaruhi Fir’aun yang telah kehilangan keseimbangannya, sehingga membangkitkan emosi dan amarahnya. Oleh sebab itu, ia menjawab: “Baiklah, akan kita bunuh anak-anak laki-laki mereka, dan kita biarkan hidup anak-anak perempuan mereka, dan kita berkuasa penuh di atas mereka.

Maksudnya, bahwa dalam rangka untuk mencegah berkuasanya Nabi Musa as di Mesir, maka Fir’aun akan melakukan berbagai tindakan, antara lain ialah membunuh setiap anak laki-laki yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan Bani Israil, yaitu kaum yang sebangsa dengan Nabi Musa yang berdiam di Mesir waktu itu. Sedang anak-anak perempuan yang mereka lahirkan akan dibiarkan hidup untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh Fir’aun dan para pembesarnya sebagai budak.

Dengan tindakan ini Fir’aun mengharapkan dapat membendung tumbuhnya kekuasaan Nabi Musa di Mesir, karena ia akan tetap mempunyai tenaga laki-laki yang lebih banyak dan kekuasaan yang lebih besar, sedang sebaliknya, Nabi Musa dan Bani Israil umumnya semakin kekurangan tenaga laki-laki, sehingga mereka tidak akan menentang kekuasaan Fir’aun, dan membebaskan diri dari rantai perbudakannya.

Rencana jahat ini benar-benar dilaksanakan oleh Fir’aun dan para pembesarnya, sehingga Bani Israil yang berdiam di Mesir pada masa itu sangat menderita, lahir dan batin.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Surat Ar-Rum [30] Ayat 30: Mengesakan Allah SWT adalah Fitrah Manusia


Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan

0
Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan
Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan

Bolehkah di dalam membaca surat Al-Qur’an, kita membacanya tidak sesuai dengan urutan yang ada di dalam mushaf? Semisal setelah selesai Surat Al-Baqarah bolehkah kita langsung loncat ke Surat An-Naba’, lalu kembali ke Surat Ali-Imran dan meloncat kembali ke Surat Ad-Duha? Atau seperti mengajarkan Al-Qur’an kepada anak kecil, yang seringkali dimulai dari An-Nas kemudian naik sampai Ad-Duha, dan tidak sebaliknya seperti seharusnya?

Prilaku-prilaku seperti ini mungkin dianggap biasa oleh sebagian orang dan jarang yang berpikir tentang bagaimana hukumnya. Padahal para pakar ilmu Al-Qur’an seperti Imam An-Nawawi dan Imam As-Suyuthi sempat mengulas permasalahan ini di dalam kitab mereka secara panjang lebar. Berikut penjelasan para ulama’ terkait menjaga urutan surat Al-Qur’an tatkala membacanya.

Baca juga: Hukum Membaca Surat-Surat Al-Qur’an Tanpa Berurutan

Hikmah Di Balik Keberadaan Urutan Surat

Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan menyatakan, banyak ulama’ yang menyatakan bahwa ada hikmah di balik urutan surat-surat Al-Qur’an yang ditata sedemikian rupa sebagaimana yang ada di dalam mushaf yang kita terima sekarang. Oleh karena itu, maka sudah sepatutnya menjaga urutan-urutan tersebut tatkala membacanya. Kecuali ada dasar dari syariat yang membolehkannya seperti dalam masalah keutamaan membaca sebagian surat Al-Qur’an dalam keadaan tertentu.

Atas dasar kesimpulan di atas, Imam An-Nawawi lalu menyatakan beberapa poin hukum terkait membaca Al-Qur’an sesuai urutannya (At-Tibyan/76):

Pertama, disunnahkan membaca Al-Qur’an berdasar urutannya. Seperti usai membaca Al-Baqarah maka dilanjut Ali-Imran, berlanjut ke Al-Maidah, kemudian lanjut ke An-Nisa’ dan seterusnya. Tidak membaca dengan meloncat dari satu surat ke surat lain sesuka hati. Seperti setelah membaca Al-Baqarah lalu loncat ke Surat Ad-Duha, kemudian loncat ke Al-Maidah, dan seterusnya.

Kedua, kesunnahan di atas tidak hanya berlaku di saat membaca Al-Qur’an di luar salat. Namun juga berlaku di saat salat. Sehingga semisal salat di rakaat pertama membaca surat pendek berupa Surat Ad-Dhuha, maka di rakaat kedua membaca Surat Al-Insyirah. Bahkan Imam An-Nawawi meriwayatkan, sebagian ulama’ menyatakan kalau ada orang salat di rakaat pertama ia membaca Surat An-Nas, maka seharusnya di rakaat kedua ia membaca Surat Al-Baqarah.

Baca juga: 13 Tempat dalam Al-Qur’an yang Disunnahkan Baca Doa atau Wirid Khusus (Part 3)

Ketiga, kesunnahan membaca Al-Qur’an sesuai urutannya mengecualikan surat-surat yang memang ada anjuran dari syariat untuk dibaca di waktu tertentu. Sebagaimana di saat salat Subuh di hari Jum’at dianjurkan membaca Surat As-Sajdah di rakaat pertama dan Al-Qamar di rakaat kedua, dan di saat salat Sunnah rawatib sebelum salat Subuh dianjurkan membaca Surat Al-Kafirun di rakaat pertama dan Surat Al-Ikhlas di rakaat kedua.

Keempat, andai kata ada orang membaca surat-surat Al-Qur’an tidak sesuai urutannya, maka tindakannya tersebut tetap dihukumi boleh. Seperti membaca An-Nas di rakaat pertama salat lalu membaca Al-Ikhlas di rakaat kedua. Ada sebagian keterangan yang menyatakan bahwa sebagian sahabat membaca surat Al-Qur’an tidak sesuai urutannya. Namun cukup banyak juga ulama’ yang tidak menyukai hal itu.

Kelima, ulama’ bersepakat melarang membaca surat Al-Qur’an dengan cara terbalik. Yaitu dimulai dari akhir surat menuju ke awal surat. Seperti membaca Al-Fatihah dari ayat 7 menuju ke ayat 6, lanjut 5 dan seterusnya. Larangan ini disebabkan bahwa membaca Al-Qur’an dengan cara seperti ini dapat menghilangkan berbagai sisi keindahan Al-Qur’an serta hikmah keberadaan urutan ayat sebagaimana yang ada seperti sekarang.

Baca juga: Benarkah Mencium Mushaf Al-Quran Itu Bid’ah?

Keenam, mengajarkan anak kecil surat-surat pendek Al-Qur’an di mulai dari An-Nas dan naik menuju Ad-Dhuha, tidaklah termasuk menyalahi kesunnahan membaca Al-Qur’an sesuai urutannya. Sebab proses pengajaran surat-surat pendek itu mempertimbangkan tahapan-tahapan belajar anak dan terjadi dalam beberapa hari. Selain itu, cara tersebut justru membuat anak semakin cepat dalam menghafal surat-surat pendek (At-Tibyan/77).

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, membaca Al-Qur’an berdasar urutan surat yang ada di dalam mushaf tidaklah wajib. Namun juga tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebisanya urutan-urutan tersebut harus kita jaga meski pada saat di dalam salat.  Wallahu a’lam bishshowab.

Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

0
elajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman
elajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Sejatinya manusia tidak lain adalah makhluk ciptaan Allah yang terakhir. Sebelum penciptaannya, alam bumi seisinya lebih dahulu diciptakan. Maka seyogyanya dan seharusnya manusia bersikap tawadhu (rendah hati) kepada saudara tuanya, bumi seisinya. Sikap ini kemudian diejawantahkan oleh kisah Nabi Sulaiman kepada Allah swt ketika mendengar perkataan semut yang menyentuh sanubarinya.

Kisah ini diabadikan oleh Allah swt dalam firman-Nya Q.S. An-Naml [27]: 18-19,

حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهٗۙ وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ فَتَبَسَّمَ ضَاحِكًا مِّنْ قَوْلِهَا وَقَالَ رَبِّ اَوْزِعْنِيْٓ اَنْ اَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِيْٓ اَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلٰى وَالِدَيَّ وَاَنْ اَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضٰىهُ وَاَدْخِلْنِيْ بِرَحْمَتِكَ فِيْ عِبَادِكَ الصّٰلِحِيْنَ

Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar) perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (Q.S. An-Naml [27]: 18-19)

Tafsir Surat An-Naml Ayat 18-19

Dalam Tafsir Kemenag dijelaskan bahwa ayat ini menjelaskan tentang kisah Nabi Sulaiman yang berjalan dengan tentaranya pada suatu daerah. Menurut Qatadah, daerah itu merupakan tempat tinggal komunitas semut. Mendengar detak langkah kaki Nabi sulaiman dan pasukannya, maka sang Raja semut memerintahkan kepada rakyatnya untuk segera memasuki rumahnya masing-masing agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman beserta bala tentaranya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

Hal ini sangat wajar karena semut merupakan hewan yang amat kecil sehingga sangat memungkinkan sekali Nabi Sulaiman dan tentaranya tidak melihatnya. Pada satu sisi ayat ini memperlihatkan interaksi dan komunikasi di antara semut dan kehidupan sosialnya. Sedangkan pada sisi yang lain, semut menyadari bahwa dirinya amat kecil maka ia harus tahu diri dan berusaha mengamankan diri agar tidak terinjak oleh Nabi Sulaiman dan tentaranya.

Lalu pada ayat berikutnya (ayat 19), mendengar seruan sang Raja semut, maka Nabi Sulaiman tersenyum, seraya berdoa sebagaimana redaksi ayat 19. Al-Tabary dalam Jami’ul Bayan memaknai ayat itu dengan ilhamni (Ya Allah ilhamkanlah aku). Tidak jauh berbeda, Ibnu Abbas menafsirkannya dengan ij’alni (Ya Allah jadikanlah aku). Adapun Ibnu Zaid lebih condong kepada makna ilhamni wa harridhni (Ya Allah ilhamkanlah aku dan motivasilah aku).

Masih tentang penafsiran al-Tabary, redaksi wa an a’mala shalihan tardhahu, ia menafsirkannya dengan an a’mala bi tha’atika wa ma tardhahu (beramal dengan penuh ketaatan dan sesuatu yang diridhai-Nya).

Baca juga: Stilistika al-Qur’an, Wajah Modern dari Kajian Sastra Klasik

Penafsiran yang lain disampaikan oleh Ibnu Katsir dengan menukil satu riwayat yakni Ibnu Asakir telah meriwayatkan melalui Ishaq Ibn Basyir, dari Sa’id, dari Qatadah, dari al-Hasan, bahwa nama semut yang berbicara itu adalah Haras. Ia berasal dari klan Bani Syisan.

Dikatakan bahwa ukuran semut itu kala itu sepadan dengan seekor serigala, sedangkan semut yang berujar itu pincang kakinya. Semut yang pincang itu merasa khawatir jika makhluk jenisnya akan lenyap karena terinjak dan teracal-acak oleh bala tentara Nabi Sulaiman yang terdiri dari berbagai jenis hewan dan manusia. Maka ia menyerukan agar memasuki sarang-sarang mereka.

Dan Nabi Sulaiman mendengar pembicaraan itu. Ia sangat terenyuh, ternyata ada makhluk lain yang sangat amat menyadari posisinya sebagai makhluk yang amat kecil. Dia lalu menengadahkan tangan dan berdoa, “Ya Allah ilhamkan dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersyukur akan nikmat-Mu berupa anugerah kemampuan memahami bahasa burung dan semua hewan, juga kepada kedua orangtuaku, agar diriku menjadi hamba yang patuh, tunduk dan beriman kepada-Mu”.

Dalam Shahih Muslim, Abdurrazzaq dari Ma’mar, dari Hamman, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw bersabda, “seekor semut pernah menggigit salah seorang nabi dari kalangan nabi terdahulu, maka nabi itu memerintahkan agar seluruh kampung semut itu dibakar. Maka Allah swt menurunkan wahyu kepadanya (seraya menegurnya), “Apakah karena seekor semut yang menggigitmu, lantas kamu binasakan semua makhluk yang bertasbih, mengapa kamu tidak membunuh seekor semut saja?”.

Hadits ini memberikan kita ibrah (pelajaran) bahwa untuk tidak gebyar uyah podo asine (baca: dipukul rata atau digeneralisir) Artinya jangan sampai ada conflic of interest sehingga menyebabkan kita tidak berlaku adil. Harus selektif dan melihat akar persoalannya.

Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman

Dari kandungan ayat di atas, yaitu doa Nabi Sulaiman dapat kita pahami bahwa sosok Nabi Sulaiman yang dianugerahi segala kenikmatan baik kenikmatan keilmuan maupun duniawi tidak membuatnya sombong, ujub dan riya’, justru melalui doa itu Nabi Sulaiman menunjukkan sikap tawadhu’nya kepada Allah swt.

Baca juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

Semut itu memberikan pelajaran yang amat berharga baginya. Bahwa kedudukannya di mata Allah swt sangatlah kecil tidak ada sebiji atom. Karenanya, sangat tidak elok jika ia bersikap sombong, justru semakin berilmu semakin ‘alim seperti padi, kian berisi kian merunduk.

Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad menjelaskan tanda-tanda orang tawadhu dalam kitabnya, Risalah al-Mu’awwanah wa al-Mudhaharah wa al-Muwazarah,

من أمارات التواضع حبُّ الخمول وكراهية الشهرة وقبول الحق ممن جاء به من شريف أو وضيع. ومنها محبة الفقراء ومخالطتهم ومجالستهم. ومنها كمال القيام بحقوق الإخوان حسب الإمكان مع شكر من قام منهم بحقه وعذرمن قصَّر

Tanda-tanda orang tawadhu’ di antaranya adalah membenci kemasyhuran (lebih suka tidak terkenal daripada terkenal), bersedia menerima kebenaran dari semua kalangan (tidak mementingkan ego sektoral, merasa benar sendiri, dan sebagainya), mencintai fakir miskin dan tidak segan duduk bersamanya, tidak segan mengutamakan kepentingan bersama ketimbang pribadi, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang telah membantu kepentingannya, serta memaafkan bagi yang menyakitinya”.

Semoga kita semua mampu meneladani sikap tawadhu Nabi Sulaiman, meski dianugerahi jabatan strategis, dianugerahi segala kelebihan dan keutamaan dibanding yang lain, kita tetap tawadhu dan rendah hati. Aamiin. Wallahu A’lam.

Tafsir Surah Al Buruj Ayat 11-22

0
tasir surah al buruj
Tafsiralquran.id

Sebelumnya telah disinggung sedikit mengenai balasan bagi orang-orang kafir, dalam Tafsir Surah Al Buruj Ayat 11-22 lebih lanjut menjelaskan balasan bagi orang beriman dan orang kafir.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Buruj Ayat 1-10


Dalam Surah Al Buruj Ayat 11-22 ini dijelaskan bahwa orang mukmin akan mendapatkan kenikmatan surga. Sedangkan orang kafir akan menjadi pesakitan di neraka.

Ayat 11

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang beriman mengakui bahwa Tuhan Maha Esa. Oleh karena itu, mereka mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan perintah Allah dan menjauhkan diri dari semua larangan-Nya. Semua itu mereka lakukan untuk mengharapkan keridaan-Nya.

Di akhirat Allah akan memberi mereka kebun-kebun yang mengalir di bawahnya anak sungai, sehingga mereka hidup bahagia abadi di dalam surga, sebagai ganjaran atas keimanan dan kepatuhan mereka.

Ayat 12-13

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa siksa yang akan ditimpakan kepada orang-orang kafir yang menganiaya, menyiksa, dan membunuh orang-orang mukmin karena tidak mau meninggalkan agama mereka, sangatlah keras.

Perlu diingat bahwa Allah-lah yang telah menciptakan mereka, dan Dia pula yang menghidupkan mereka kembali.

Mereka akhirnya akan kembali kepada Allah. Apabila Ia belum menyiksa mereka di dunia ini, bukanlah berarti mereka tidak akan mendapat siksaan sama sekali. Akan tetapi, siksaan itu diundurkan waktunya sampai mereka kembali kepada-Nya, yaitu pada hari Kiamat.

Ayat 14-16

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali kepada-Nya dengan bertobat, Maha Pengasih bagi mereka yang sungguh-sungguh dan dengan ikhlas mencintai-Nya.

Allah juga mempunyai kekuasaan yang mesti berlaku, perintah-Nya tidak dapat dibantah, dan Ia berbuat apa yang Ia kehendaki. Apabila Allah menghendaki kebinasaan bagi mereka yang ingkar dan durhaka, tidak ada suatu kekuasaan pun yang dapat menghalangi-Nya.


Baca juga: Urgensi Taubat dari Perbuatan Dosa dalam Surat Al-Furqan Ayat 68 – 70


Ayat 17-19

Dalam ayat-ayat ini, Allah menerangkan dalam bentuk pertanyaan kepada Nabi Muhammad bahwa apakah telah sampai kepadanya tentang kisah Fir’aun dan kaumnya yang telah mendustakan kenabian Nabi Musa, kisah tentang kesombongan Fir’aun, dan kekufuran kaumnya, serta akibat dari perbuatan mereka, yaitu ditenggelamkan ke dalam laut.

Demikian pula dengan kaum Samud yang telah mendustakan Nabi Saleh sebagai utusan Allah. Mereka telah menyembelih unta yang menjadi tanda kenabiannya. Sebagai akibatnya, Allah menurunkan siksaan-Nya kepada mereka dengan menghancurkan negeri mereka serta memusnahkan semua yang ada.

Ringkasnya, orang-orang kafir itu sejak dahulu tidak berubah. Mereka selalu mengingkari kebenaran agama yang dibawa oleh para nabi utusan Allah. Mereka tentu akan menerima balasannya sebagaimana kaum-kaum sebelum mereka, bila mereka tidak bertobat dan kembali kepada jalan yang diridai Allah.

Ayat 20

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa mereka tidak akan lepas dari kekuasaan-Nya, dan tidak akan dapat lari dari jangkauan-Nya.

Ayat 21-22

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa Alquran adalah kitab Allah yang mulia, tersimpan dalam Lauh Mahfuz. Tidak ada yang dapat menandingi isi dan susunan kata-katanya, terpelihara dari pemalsuan dan perubahan. Ini sebagai jawaban kepada orang-orang kafir yang mendustakan Alquran dengan mengatakan bahwa ia adalah cerita-cerita orang dahulu kala.


Baca setelahnya: Tafsir Surah At Tariq Ayat 1-5


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Ahkam: Hukum Memberikan Zakat Kepada Orang Tua dan Kerabat Dekat

0
hukum zakat kepada orang tua
hukum zakat kepada orang tua

Al-Quran, surah At-Taubah ayat 60 telah menjelaskan bahwa hanya delapan golongan saja yang berhak mendapatkan zakat. Namun, ayat ini hanya menyebutkan sifat orang-orangnya saja, tidak menunjuk jenis orangnya, maka kemudian muncul pertanyan, bolehkah memberikan zakat kepada orang tua atau kerabat dekat? dan lebih utama mana memberi zakat kepada kerabat dekat atau ke orang lain yang tidak dikenal? Berikut penjelasan tafsir Al-Quran surah At-Taubah ayat 60.

اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat

Hukum zakat kepada orang tua atau kerabat

Imam Syamsuddin Al-Qurtubi (w. 671 H) menjelaskan dalam tafsirnya juz 7 halaman 191. “ketahuilah sesungguhnya firman Allah (لِلْفُقَراءِ) kalimatnya berbentuk mutlak tidak ada persyaratan, tidak pula membatasi. Ini menjadi dalil kebolehan memberikan zakat kepada orang fakir dari Bani Hasyim atau selainnya. Namun, Hadis Nabi memberikan pertimbangan beberapa syarat diantaranya: mereka bukan dari Bani Hasyim, bukan orang yang wajib dinafkahi oleh yang berzakat dan yang terakhir mereka bukan orang kuat yang mampu bekerja”.

Masih menurut al-Qurtubi beliau berkata dengan lebih jelas,

وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ مِنَ الزَّكَاةِ مِنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَهُمُ الْوَالِدَانِ وَالْوَلَدُ وَالزَّوْجَةُ

Artinya: “Tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada orang yang wajib diberi nafkah. Mereka adalah kedua orang tua, anak dan istri”.

Keterangan di atas memberikan jawaban bahwa memberikan zakat kepada orang tua, anak dan istri itu tidak diperbolehkan. Alasan ketidak bolehannya karena melihat tujuan diberikanya zakat adalah sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan mereka, sementara kebutuhan mereka telah terpenuhi oleh yang berzakat (muzaki).

Hal ini sama saja dengan ia (muzaki) mengambil manfaat untuk dirinya sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya

رَأَى الْفُقهاءُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ دَفْعَ الزَّكاةِ إلىَ مَنْ تَلْزَمُ الْمُزَكِّي نَفَقَتَهُ مِنَ الْأقَارِبِ (وَهُمْ الأُصولُ والْفُرُوع) وَالزَّوْجَاتِ لِأنَّ الزَّكَاةَ لِدَفْعِ الْحَاجَةِ، وَلَا حَاجَةَ بِهِمْ مَعَ وُجُودِ النَّفَقَةِ لَهُمْ وَلِأنه بِالدَّفْعِ إِلَيْهِمْ يَجْلِبُ لِنَفْسِه نَفْعًا

Artinya: ”fuqoha’ berpendapat, sesungguhnya tidak diperbolehkan menyerahkan zakat kepada orang yang wajib diberi nafakah oleh pemberi zakat. Mereka adalah kerabat; orang tua, anak dan istri, karena zakat untuk memenuhi kebutuhan, sementara kebutuhan mereka telah terpenuhi oleh yang berzakat. Dengan memberikan kepada merak(kerabat) sama saja dengan ia (muzaki) mengambil manfaat untuk dirinya sendiri”. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Munir, juz 10, halaman 264.)

Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 92: Anjuran untuk Wakaf

Dalam literatur fikih semisal Hasyiyah Bujairimi Ala Al-Khotib juz 2 halaman 367, Syekh Bujairimi menjelaskan, muzaki tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada mereka orang-orang yang wajib ia (muzaki) nafkahi atas nama bagian orang fakir atau miskin, sebab mereka sudah tercukupi oleh muzaki. Muzaki diperbolehkan memberikan zakat kepada mereka (kerabat) dengan atas nama lain selain atas nama fakir dan miskin, jika memang mereka termasuk dari golongan itu. Namun, di sini tetap wanita tidak diperbolehkan sebagai amil zakat, tidak pula ikut berperang (ghoziah).

Fakir yang dimaksud di sini yaitu orang yang tidak mempunyai harta atau mata pencaharian yang layak yang bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik sandang, papan dan pangan. Sedang miskin adalah orang yang mempunyaai harta atau mata pencaharian tetapi tetap tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Di sini ada catatan bahwa pengangguran yang mampu bekerja dan ada lowongan pekerjaan halal yang dan layak tetapi tidak mau bekerja karena malas, bukan termasuk fakir/miskin

Dari penjelasan di atas menjadi jelas dan dapat disimpulkan bahwa tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada orang tua dan siapapun yang menjadi tanggung jawab muzaki untuk diberi nafkah (anak dan istri).

Siapa yang lebih diutamakan, kerabat dekat atau orang lain?

Kerabat dekat di sini yaitu selain orang-orang yang wajib dinafkahi (orang tua, anak dan istri), misal saudara kandung, seayah, seibu dan seterusnya. Memberi zakat terhadap mereka dibolehkan, bahkan lebih diutamakan, asal mereka termasuk dalam kategori mustahiq (orang yang berhak menerima) zakat. Kerabat yang paling diutamakan ialah yang masih mahrom (haram dinikahi) sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarh Muhadzab juz 6 halaman 220,

 قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ الِاسْتِحْقَاقِ وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَبْدَأَ بِذِي الرَّحِمِ الْمَحْرَمِ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ وَيُقَدِّمُ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ

Artinya: “Ashabu Syafi’i (Ulama-ulama Madzhab Syafi’i) berkata: disunahkan dalam sedekah sunah, zakat, dan kifarat untuk diserahkan kepada kerabat, jika mereka termasuk yang berhak menerima. Mereka lebih diutamakan dibandingkan orang lain. Yang paling utama ialah saudara kandung dan mahromnya seperti saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung, saudara laki-laki ayah, saudara perempuan ayah, saudara laki-laki ibu dan saudara perempuan ibu. Didahulukan saudara yang paling dekat dan seterusnya”. (An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzab, juz 6, halaman 220.)

Demikian penjelasan terkait zakat. Sejatinya zakat ataupun sadaqah sunnah lainnya bertujuan untuk berbagi dengan orang lain yang bukan tanggungan wajib seorang tersebut. Islam sudah mengaturnya dengan sangat rapi. Wallahu A’lam

Pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah Tentang Kisah Al-Quran

0
Muhammad Ahmad Khalafullah
Muhammad Ahmad Khalafullah

Muhammad Ahmad Khalafullah adalah seorang pemikir Mesir yang progresif dan inovatif. Beliau lahir pada tahun 1916 dan para ahli berbeda pendapat mengenai tahun kewafatannya, yakni 1983, 1991 atau 1997. Ahmad Khalafullah merupakan salah satu sarjana Muslim modern yang concern terhadap kajian-kajian keislaman, terutama dalam bidang Qashash al-Qur’an (kisah-kisah Al-Qur’an).

Muhammad Ahmad Khalafullah lahir di provinsi Syarkiyyah, Mesir. Ia dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang religius dan merupakan pemikir modernis kontemporer, alumni Fakultas Sastra, Universitas Mesir, pada tahun 1939. Kemudian, Khalafullah menyelesaikan program magisternya dengan judul tesis “Jadal al-Qur’an al-Karim” (Dialektika Al-Qur’an Yang Mulia).

Baca Juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Setelah menyelesaikan program magister, Ahmad Khalafullah menjadi staf pengajar di universitas tersebut. Pada tahun 1947, ia mengajukan disertasi doktoral tentang kisah-kisah Al-Qur’an berjudul al-Fann al-Qashash fi al-Qur’anul Karim (Seni cerita dalam Al-Qur’an) di Fakultas Sastra Jurusan Bahasa Arab. Namun hal ini ditanggapi dengan penuh tendensius oleh kaum tradisionalis dan revivalis. Akhirnya, pada tahun 1948 ia mengundurkan diri dari tempat mengajarnya.

Karya Ahmad Khalafullah tersebut menuai banyak polemik di Mesir. Amin al-Khulli, sang pembimbing disertasinya, bahkan mengatakan, “Saya menyaksikan sendiri   karya   Khalafullah   ini   menjadi polemik besar di Mesir, beragam hujatan, cemooh  dan  kritik  argumentatif  bertubi-tubi  menimpa  Khalafullah.” Kendati demikian, beliau tetap mendukung secara penuh hasil karya tersebut.

Di sisi lain, karya Ahmad Khalafullah mendapatkan apresiasi dari beberapa kalangan. Misalnya, J.M.S Baljon menyebutkan bahwa karya tersebut sangat memuaskan, mengandung pengamatan yang sangat tajam. Khalil Abdul Karim juga mengatakan buku Khalafullah itu sangat berwibawa dan dapat dianggap sebagai peretas pembaharuan pemikiran Islam dalam dunia tafsir.

Macam-Macam Kisah Al-Qur’an Menurut Muhammad Ahmad Khalafullah

Muhammad Ahmad Khalafullah memahami kisah-kisah dalam Al-Qur’an melalui pendekatan sastra serta memanfaatkan pendekatan psikologi dan sosial. Ia berpendapat bahwa kisah-kisah Al-Qur’an bukan semata-mata data historis. Kisah dalam Al-Qur’an seringkali tidak disebutkan secara spesifik latar belakang sosio-historisnnya, karena tujuan utama dari kisah tersebut adalah aspek psikologis, yaitu peringatan dan pelajaran.

Bagi Ahmad Khalafullah, kebenaran kisah Al-Qur’an tidak terletak pada apakah itu fakta sejarah atau bukan, melainkan pada aspek pengaruh kisah tersebut bagi si pendengar. Dengan kata lain, tidak semua kisah Al-Qur’an bisa dibuktikan sebagai fakta sejarah – seperti perumpamaan – namun di dalamnya tetap terkandung nilai kebenaran (haqq) seperti peringatan, kabar gembira, intimidasi dan janji (al-Fann al-Qashash fi al-Qur’anul Karim: 152).

Dalam upayanya tersebut, Khalafullah membagi kisah Al-Qur’an kepada tiga macam, yaitu: kisah bercorak sejarah (al-qishshah al-tarikhiyyah), kisah bercorak perumpamaan (al-qishshah al-matsliyyah), dan kisah bercorak legenda atau mitos (al-qishshah al-usturiyyah). Ketiga model kisah ini – meskipun secara spesifik berbeda – memiliki tujuan yang sama, yakni peringatan dan pelajaran.

Pertama, kisah bercorak sejarah adalah kisah Al-Qur’an berkenaan dengan tokoh-tokoh sejarah seperti para nabi, rasul dan kisah-kisah umat terdahulu. Dalam konteks ini, Khalafullah memposisikan kisah bercorak sejarah sebagai peristiwa yang benar-benar terjadi. Kisah semacam ini bertujuan agar para pembaca mengambil pelajaran, petunjuk atau informasi mengenai sebuah realitas sejarah sebagaimana kisah tentang kaum ‘Ad dalam surah al-Qamar [54] ayat 18-21.

Kedua, kisah bercorak perumpamaan ialah kisah yang menurut orang terdahulu kejadiannya dimaksudkan untuk menjelaskan suatu hal atau nilai. Peristiwa kisah tersebut bisa saja bukan merupakan realitas sejarah dan mungkin berupa cerita fiktif (kisah yang tidak benar-benar terjadi). Kisah semacam ini berfungsi sebagai perumpamaan bagi pembaca Al-Qur’an merenungkan dan merefleksikan nilai-nilainya.

Contoh dari kisah bercorak perumpamaan ini adalah kisah pertikaian dua anak nabi Adam as – yakni Habil dan Qabil – dalam surah al-Maidah [5] ayat 27-31. Disebutkan bahwa kisah ini berawal dari ketidaksenangan Qabil karena korbannya tidak diterima, sedangkan korban Habil diterima oleh Allah swt. Kisah ini berujung kepada pembunuhan Habil oleh Habil yang dikuasai oleh amarah dan iri dengki.

Dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut, Muhammad Ahmad Khalafullah mengutip Muhammad Abduh yang berpendapat bahwa sebenarnya esensi dari kisah Habil dan Qabil ialah penjelasan Allah swt tentang kesiapan manusia untuk menghadapi perang batin antara kesetiakawanan dan persaudaraan yang dimiliki dengan keinginan atau hasrat untuk melebihi, mengungguli, mendominasi dan mengusai saudaranya (Tafsir al-Manar).

Ketiga, kisah al-qishshah al-usturiyyah atau kisah yang didasarkan pada mitos ayau legenda. Menurut Khalafullah sebagaimana dikutip oleh Agus Imam Kharomen dalam tulisannya, “Kajian Kisah Al-Qur’an Dalam Perspektif Muhammad Ahmad Khalafullah”, kisah ini bertujuan untuk memperkuat satu pemikiran atau menafsirkan suatu problem pemikiran atau menguraikan persoalan yang sukar diterima akal.

Khalafullah menegaskan bahwa unsur mitos dalam kisah semacam ini tidak berfungsi sebagai fokus utama, tetapi sebagai instrumen tambahan kisah agar menarik pendengar atau pembaca. Kisah-kisah ini mayoritas berasal dari orang-orang yang menentang adanya hari akhir. Lalu, Al-Qur’an mengingkari keberadaan mitos tersebut dijadikan bukti atau alasan untuk mengatakan Al-Qur’an ciptaan Muhammad dan bukan dari Allah swt.

Dari pemaparan di atas, ada satu poin yang mesti diingat dengan biak, yakni pandangan universal Muhammad Ahmad Khalafullah tentang kisah Al-Qur’an. Baginya, itu adalah bentuk satra yang tidak memastikan ada tidaknya fakta sejarah yang harus diimani. Al-Qur’an telah mengenalkan model susastra yang membersihkan kisah dari kejadian, tokoh, dan berita historis sehingga pembaca bisa fokus terhadap nasihat dan pelajaran yang terkandung di dalamnya.

Selain itu, menurut Khalafullah, maksud dari kata al-haqq pada surah Ali ‘Imran [3] ayat 62 yang menyatakan kebenaran qashash al-Qur’an adalah kisah-kisah Al-Qur’an mengandung pesan-pesan agama dan menunjukkan kepada al-haqq serta membujuk pendengarnya untuk mencari kebahagiaan. Hal ini berbeda dengan pandangan kebanyakan mufasir klasik dan pertengahan yang beranggapan seluruh kisah Al-Qur’an merupakan fakta sejarah.

Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi

Sebagai contoh, Khalafullah kemudian menerangkan tentang kisah ashabul kahfi. Kisah ini – jika dilihat berdasarkan asbabun nuzul ayat-nya – turun karena adanya pertanyaan orang-orang musyrik Makkah kepada nabi Muhammad saw untuk membuktikan kebenaran risalahnya. Dalam konteks ini ukuran kebenaran bagi mereka adalah kisah ashabul kahfi. Jika nabi saw menjawab dengan kisah tersebut, maka mereka akan mengakui kenabian beliau.

Kemudian Al-Qur’an turun untuk memberikan legitimasi terhadap kebenaran kenabian Muhammad saw melalui kisah ashabul kahfi sesuai dengan pemahaman orang-orang musyrik tersebut. Hal ini dapat dilihat pada narasi Al-Qur’an yang hanya memaparkan pendapat-pendapat masyarakat yang berkembang pada masa itu dan justru Allah swt memerintahkan nabi untuk mengatakan, “Tuhanku lebih mengetahuinya.”

Kenyataan teks Al-Qur’an seperti ini kemudian membuat Khalafullah memahami bahwa al-haqq (benar dan kebenaran) dalam konteks kisah Al-Qur’an bukanlah terletak pada kebenaran kisah tersebut sebagai sebuah realitas historis. Namun terletak pada fungsi kisah tersebut secara kesusastraan, yakni mampu menjadi mediator bagi Al-Qur’an untuk menjelaskan pesan-pesan kebenaran yang dibawanya bagi seluruh manusia di dunia.

Terlepas dari perdebatan tentang konsep kisah Al-Qur’an sebagai realitas sejarah atau bukan, pandangan Muhammad Ahmad Khalafullah telah memberi wawasan kepada kita bahwa ada yang lebih penting untuk diperhatikan dalam kisah Al-Qur’an, yakni peringatan dan pelajaran. Selain itu, fokus kisah Al-Qur’an bukanlah kronologis kisah itu sendiri yang acapkali kita perdebatkan berdasarkan sumber-sumber israiliyyat yang validitasnya perlu dipertanyakan. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yasin ayat 69-70: Al-Quran Bukan Syair, Ini Penjelasannya

0
Yasin ayat 69-70
Yasin ayat 69-70

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pada tafsir surah yasin ayat 68 bahwa manusia tidak bisa mengelak dari kuasa Allah yang bernama “penuaan”. Kian hari umur manusia terus bertambah dan masa hidupnya pun berkurang. Tak ada tawar menawar terkait usia, semua sudah memiliki kadarnya masing-masing. Karena itu, waktu begitu berharga, menyia-nyiakan waktu, sama halnya hidup tiada berguna.

Adapun pembahasan kali ini tentang tafsir surah yasin ayat 69-70 membicarakan tentang kerasulan Muhammad bersamaan dengan al-Qur’an sebagai kitab suci yang diwahyukan kepadanya, sekaligus membantah anggapan bahwa al-Qur’an adalah syair yang dikarang oleh Muhammad Saw. Berikut firman Allah Swt. :

وَمَا عَلَّمْنٰهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْۢبَغِيْ لَهٗ ۗاِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَّقُرْاٰنٌ مُّبِيْنٌ ۙ

لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكٰفِرِيْنَ

  1. Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang jelas,
  2. agar dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan agar pasti ketetapan (azab) terhadap orang-orang kafir.

Melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa al-Qur’an bukanlah karangan nabi, ini tidak hanya ditujukan kepada kaum kafir ketika masa awal Islam, akan tetapi ber;aku hingga saat ini bahkan sampai hari akhir nanti.

Menurut Ibnu Asyur ada banyak penolakan kaum kafir atas al-Qur’an, diantaranya menganggap al-Qur’an adalah syair yang dibuat oleh Muhammad Saw. Anggapan ini dibantah lansung oleh Allah Swt dengan menantang mereka untuk membuat yang serupa dengan al-Qur’an (QS. 17: 88), atau sepuluh surah (QS. 11: 13), jikapun tidak bisa dan masih ragu bahwa al-Qur’an bukan karya nabi, Allah menantang cukup satu surah saja (QS. 2: 23, QS. 10: 37).

Baca Juga: Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur dan Empat Prinsip Penafsirannya

Terkait ayat QS. 2: 23-24, Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya alasan mengapa Allah menantang demikian adalah, pertama tantangan tersebut bersifat continue, meski asbabun-nuzul ayat diera nabi, namun redaksinya berlaku hingga hari kiamat. Kedua, kaum kafir Quraish adalah afshoh al-umam (kaum yang paling fasih bahasa Arabnya), jika mereka tidak bisa, apalagi yang lain.

Ketiga, penegasan Allah pada ayat 24 bahwa seberapapun mereka berusaha dan saling membantu, hasilnya tetap sama “tidak bisa”. Ini bisa dilihat dari huruf lan لَنْ dalam diksi, fain lam taf’alu walan taf’alu (فَاِنْ لَّمْ تَفْعَلُوْا وَلَنْ تَفْعَلُوْا), yang berfungsi untuk meniadakan usaha mereka secara mutlak.

Karena itu, anggapan kalau al-Qur’an adalah karya nabi hanyalah untuk menyudutkan Muhammad. Padahal beberapa ahli Syair dikalangan mereka seperti Anis (saudara Abu Dzar) dan ‘Utbah bin Rabi’ah ketika mendengar ayat al-Qur’an justru menilai kalau itu bukanlah syair. Sampai-sampai ‘Utbah selepas mendengar surah fushshilat, berkata: “Demi Allah, itu (al-Qur’an) bukanlah sya’ir, bukan pula mantra sihir, atau ucapan pendeta”.

Alasan ‘Utbah sampai berkata demikian menurut Zamakhsyari, karena sya’ir merupakan susunan kalimat yang bersifat ritmis lagi berbeda dengan al-Qur’an. Bahkan, beberapa penyair (syu’ara>’) mengatakan, sekalipun ada orang yang membuat susunan yang serupa dengan syair namun ia tidak bermaksud demikian, maka tidak bisa dinamai syair. Sebagaimana dikutip dalam tafsir al-Jami’ li ahkam al-Quran karya Qurthubi.

Umum diketahui bahwa bangsa Arab memang senang bersyair, bahkan mereka sampai hafal syair-syair yang disenandungkan dan siapa pembuatnya. Jika syair dinilai bagus, maka akan ditempel dipintu Ka’bah sebagai bentuk apresiasi.

Perlu diketahui bahwa ayat 69 dalam surah yasin ini hanya membantah tudingan kalau al-Qur’an adalah syair karya nabi, bukan untuk melarang bersyair. Kata wama ‘allamnahu (وَمَا عَلَّمْنٰهُ)  menurut mayoritas ulama tafsir menujukkan bahwa nabi tidak diajarkan untuk bersyair, juga tidak melarang untuk bersyair, sebagaimana pendapat Abu Ishaq dan Abu Nuhas yang dikutip oleh Qurthubi.

al-Khalil menyebutkan bawa Nabi sangat menyukai syair, namun tidak bisa membuatnya. Pernah suatu ketika, al-Hasan cucunya, mendengar nabi spontan menyenandungkan kalimat:

كفى با لاسلام و الشيبِ للمرءِ نَاهيا

“Cukuplah dengan Islam dan uban bagi seseorang sebagai pencegahnya (dari sesuatu yang buruk”

 Mendengar itu, Abu Bakar  tersenyum dan berkata,”Wahai Rasul, beginilah syairnya”:

هَريرَةَ وَدِّعْ اِنْ تَجَهَّزَتْ غَادِيًا

كَفَى الشَّيْبُ والْاِسلامُ نَاهِيًا

“Penyesalan akan menimpamu jika kamu tidak mempersiapkan untuk hari esok. Cukuplah uban dan Islam yang akan mencegahnya”

Syair tersebut merupakan respon nabi terhadap kebiasaan syair orang Arab yang jauh dari nilai kebaikan. Kandungan syair mereka cenderung bersifat negatif, seperti; cinta, kemolekan wanita, minum-minuman, hawa nafsur, harta, dan sebagainya.

Ini juga yang menurut Quraish menjadi alasan Allah tidak menjadikan nabi bisa bersyair. Ia menafsirkan kata yanbaghi (يَنْبَغِي), sebagai penegasan bahwa nabi tidak bisa bersyair karena bawaan dan perangai beliau berlainan dengan penyair dizamannya (sebagaimana disebutkan diatas).

Zuhaili dalam tafsir al-Munir, juga mencantumkan usaha nabi untuk membuat syair, sebagaimana riwayat dari ‘Aisyah, nabi berucap:

سَتَبْديْ لَكَ الْأيَّام مَا كنْتَ جَاهِلاً

وَيَاْتيْكَ من لمْ تَزود بالأخبَار

Hari-hari (masa) akan menampakkan kepadamu banyak hal yang belum kamu ketahui. Dan seseorang akan mendatangimu untuk memberi kabar hal yang belum kamu persiapkan (untuk menyambutnya).”

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Lagi-lagi Abu Bakar tersenyum dan berkata, “Wahai Nabi, itu bukanlah syair”. Nabi menjawab: “ Sungguh aku tidak bisa bersyair, dan Allah tidak memantaskannya untukku”.

Meski demikian, bukan berarti nabi tidak fasih, justru sebaliknya, Ibnu ‘Asyur menafsirkan kata al-mubin (pada akhir ayat) dengan fashohah wa balaghah yang berarti jelas dan tersampaikan, artinya nabi adalah manusia yang paling fasih dan juga mampu memahamkan. Baik ketika melafalkan ayat-ayat al-Qur’an, ataupun ketika berinteraksi dengan manusia, beliau dapat memilih kata-kata yang tepat, indah dan mudah dipahami oleh mitra bicaranya.

Kaitan dengan ayat selanjutnya, menurut Thabari, kata liyundzira man kana hayya (لِّيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا) menunjukkan bahwa nabi bertugas untuk memberi peringatan kepada mereka (orang kafir) yang masih mau membuka hatinya (sebagian menafsirkan fikirannya), tidak untuk mereka yang hatinya sudah mati. Sekaligus memastikan azab bagi orang-orang yang inkar.

Ini mengindikasikan bahwa tugas memberi peringatan atau menyampaikan kebenaran bukanlah perkara mudah. Ia membutuhkan sosok yang cakap dalam berdialetika, menyusun kata dan mempengaruhi lawan bicaranya. Kriteria yang demikian tentu ada dalam diri Muhammad Saw, tidak hanya sebagai utusan Tuhan, namun juga sebagai sosok pemimpin  untuk ummatnya.

Sekian kiranya tafsir surah yasin ayat 69-70. Nantikan series tafsir yasin selanjutnya. Wallahu a’lam.

Benarkah Mencium Mushaf Al-Quran Itu Bid’ah?

0
mencium mushaf Al-Quran
mencium mushaf Al-Quran

Mencium mushaf Al-Quran merupakan tradisi yang telah berkembang dan sering kita jumpai dalam dinamika keseharian masyarakat muslim di Indonesia. Prosesi mencium mushaf tersebut biasanya dilakukan setelah kegiatan membaca Al-Quran. Hal ini dilakukan sebagai bentuk sikap pengagungan dan penghormatan terhadap untaian kalam ilahi yang termaktub dalam bentuk mushaf Al-Quran.

Namun, akhir-akhir ini banyak beredar di media sosial pemahaman yang mengatakan jika kegiatan mencium mushaf Al-Quran merupakan perilaku bid’ah. Pandangan yang demikian muncul dari kalangan para ulama yang memiliki paham salafi-wahabi.

Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baz misalnya, ia tidak menganjurkan untuk mencium mushaf Al-Quran dikarenakan tidak memiliki sandaran dalil riwayat dari Nabi maupun sahabat. Sebagaimana ia sampaikan dalam karyanya Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah berikut:

هَذَا العَمَلُ لَيْسَ لَهُ أَصْلٌ وَتَرْكُهُ أَحْسَنُ، لِأَنَّهُ لَيْسَ عَلَيْهِ دَلِيْلٌ

“Perbuatan ini (mencium mushaf) tidak memiliki dasar rujukan sehingga lebih baik untuk meninggalkan perbuatan tersebut, dikarenakan pebuatan tersebut tidak memiliki dalil”

Baca Juga: Ketahui Sembilan Adab Ketika Membaca Al-Quran

Selain itu, Abdul Aziz juga menyampaikan bahwa riwayat yang sering dijadikan rujukan dibolehkanya mencium mushaf, yaitu tentang sahabat Ikrimah, dinilai oleh mereka sebagai riwayat yang tidak shahih. Benarkah demikian?

Pertama, Dalam kitab al-Wadhih fi ‘Ulum Al-Quran karya Musthafa Dib al-Bugha dan Muhyiddin Mastu, dijelaskan bahwa pendapat yang mengatakan jika mencium mushaf bagian dari perilaku bid’ah merupakan pendapat yang lemah (qaul dha’if). Hal ini dikarenakan perilaku mencium mushaf Al-Quran merupakan sebuah kegiatan yang telah dilakukan oleh para sahabat Nabi, seperti Umar ibn Khattab dan Utsman ibn ‘Affan. Sebagaimana dalam riwayat berikut:

رَوَى عَنْ عُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُلَّ غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ وَيَقُوْلُ: عَهْدُ رَبِّيْ وَمَنْشُوْرُ رَبِّيْ عَزَّ وَجَلَّ. وَكَانَ عَثْمَانُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يُقَبِّلُ الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ

“Diriwayatkan dari Umar ibn al-Khattab r.a., sesungguhnya Umar senantiasa mengambil mushaf dan menciumnya setiap pagi, seraya berkata: janji Tuhanku, dan maklumat Tuhanku ‘azza wa jalla. Begitu juga dengan Utsman r.a., ia mencium mushaf dan mengusapkanya ke atas wajahnya”

Berdasarkan riwayat tersebut, maka kegiatan mencium mushaf Al-Quran merupakan perkara yang baik untuk dilakukan (mustahsan). Selain itu, perbuatan mencium mushaf Al-Quran tersebut juga sebagai bentuk dari pelaksanaan perintah Nabi agar mencontoh perilaku para sahabat, khususnya dari kalangan para empat khalifah setelah Nabi, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah berikut:

عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ

“Hendaklah kalian mengikuti sunnah-ku dan sunnah dari para Khulafa’ al-Rasyidin setelahku”

Baca Juga: Bolehkah Membaca Al-Qur’an Sembari Berdiri Atau Berbaring?

Kedua, terkait tingkat kesahihan riwayat tentang sahabat Ikrimah, Ahmad Salim Mulhim dalam karyanya Faidh al-Rahman fi al-Ahkam al-Fiqhiyah al-Khashshah bi Al-Quran menyampaikan bahwa riwayat tersebut merupakan riwayat yang memiliki derajat sanad yang sahih, sebagaimana ia sampaikan:

إِنَّ تَقْبِيْلَ الْمُصْحَفِ، وَجَعَلَهُ عَلَى الجَبْهَةِ عِنْدَ تَنَاوُلِهِ مُبَاحٌ لَمَّا رَوَى الدَّارِمِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيْحٍ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ أَبِيْ جَهْلِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ وَيَقُوْلُ: كِتَابُ رَبِّيْ كِتَابُ رَبِّيْ

“Sesungguhnya perilaku mencium mushaf, dan meletakkanya di atas dahi tatkala membacanya adalah perilaku yang dibolehkan (mubah). Sebagaimana diriwayatkan oleh al-Darimi dengan sanad yang shahih, bahwasanya Ikrimah ibn Abi Jahl r.a. meletakkan mushaf di atas wajahnya seraya berkata: kalam Tuhanku.. kalam Tuhanku..”

Selain itu, Ahmad Salim juga berargumen bahwa hukum mencium mushaf Al-Quran adalah boleh, berdasarkan qiyas terhadap dibolehkanya mencium hajar aswad, tangan orang shalih, guru, dan orang tua. Sedangkan sudah jamak diketahui bahwa Al-Quran lebih mulia dari semua hal tersebut. Maka dari itu sudah sewajarnya memberikan perlakuan yang istimewa terhadap suatu hal yang mulia (Al-Quran) melalui menciumnya atau mengusapkanya ke wajah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kegiatan mencium mushaf bukanlah perilaku bid’ah, karena hal tersebut telah dilakukan oleh para sahabat Nabi berdasarkan riwayat yang sahih. Selain itu, dari sisi hukum, kegiatan mencium mushaf Al-Quran adalah perilaku yang dibolehkan, bahkan dianjurkan oleh para ulama. Wallahu A’lam

Stilistika al-Qur’an, Wajah Modern dari Kajian Sastra Klasik

0
Stilistika al-Qur’an
Stilistika al-Qur’an

Dalam kajian ulumul Qur’an terdapat salah satu pembahasan yang cukup menarik untuk dibahas, yaitu stilistika al-Qur’an (ushlub al-Qur’an) sebuah wajah modern dari kajian sastra klasik. Oleh karena itu penulis mencoba membahas mengenai pengertian, klasifikasi, karakteristik dan objek kajiannya.

Pengertian Stilistika al-Qur’an

Adapun pembicaraan tentang stilistika berhubungan dengan style dari kata stylistic dan menjadi stilistika dalam bahasa Indonesia. Secara bahasa stilistika berarti ilmu gaya bahasa. Sedangkan stilistika menurut As Hornby adalah kajian tentang gaya bahasa lisan atau tulisan dan tentang bagaimana menggunakannya untuk menimbulkan pengaruh tertentu. Sedangkan dalam kamus Linguistik bahwa stilistika adalah ilmu yang menyelidiki bahasa yang digunakan dalam karya sastra, ilmu interdisipliner antara linguistik dan kususastraan.

Dalam literatur Arab, stilistika lebih dikenal dengan istilah ilmu al-ushlub atau al-Ushlubiyah. Adapun maknanya menurut az-Zarqony dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, mengatakan bahwa stlistika (Ushlub) adalah cara berbicara yang ambil penulis dalam mengungkapkan ide, gagasan, kalimat dan memilih lafal-lafal. Sedangkan dalam kitab Mu’jam al-Wasith dikatakan akhadzna fi asaliba min al-qaul (aku mengambil metode-metode dalam bertutur kata.

Baca juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 15: Optimislah, Kabar Gembira Akan Segera Datang dari Allah

Dari beberapa pengertian stlistika atau ushlub yang dipaparkan di atas kelihatan ada dua aspek yang mencolok dalam kajian stilistika yaitu aspek estetika dan aspek linguistik. Adapun aspek estetika berkaitan dengan cara khas yang digambarkan penutur bahasa atau penulis karya. Sedangkan aspek linguistik berkaitan dengan ilmu-ilmu gaya bahasa.

Klasifikasi Stilistika al-Qur’an

Dalam kitab al-Balaghah al-Wadhihah dijelaskan untuk mengetahui posisi stilistika al-Qur’an (ushlub al-Qur’an), maka harus diketahui klasifikasi stilistika (ushlub) yang berlaku dikalangan bangsa Arab. Secara global, stilistika dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

  • Al-Ushlub al-Khithabi (Stilistika retorika). Adapun retorika merupakan salah satu seni dalam pidato, yang mempunyai karakteristik kandungan makna yang kuat, memakai lafal yang serasi dan argumentasi yang relevan untuk bisa membuat audiens memahami yang disampaikannya.
  • Al-Ushlub al-‘Ilmi (Stilistika Ilmiah). Harus jauh dari aspek subjektif dan emotif penuturannya, karena eksperimen ilmiah itu objektif dan tidaka ada kaitannya dengan asepk psikis dll. Akan tetapi stitistika ilmiah ini membutuhkan logika yang baik dan pemikiran yang lurus yang auh dari emosi dan hawa nafsu.
  • Al-Ushlub al-Adabi (Stilistika Sastra). Berbeda dengan yang ilmiah tadi, stilistika sastra ini lebih subjektif, karena ia merupakan ungkapan jiwa pengarangnya, pemikirannya dan emosinya.

Oleh karena itu, tema yang ada harus mempunyai relevansi yang erat dengan jiwa seseorang pengarang dan mengesampingkan teori ilmiah, argumentasi logis dan terminologi ilmiah yang ada.

Baca juga: Ingin Curhat? Mari Belajar Curhat dari Nabi Yakub As. dalam Surah Yusuf Ayat 86

 5 Karakteristik Stilistika al-Qur’an

Adapun mengenai karakteristik stilistika al-Qur’an (ushlub al-Qur’an) menurut az-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, sebagai berikut

Pertama, Sentuhan lafal al-Qur’an. Dari segi lafal ini dibagi dua yaitu, segi keindahan intonasi al-Qur’an. Adapun maksdunya adalah keserasian al-Qur’an dan keterpaduan yang indah dalam harakat, sukun, mad dan ghunnahnya, sehingga memberikan ritmis  yang dapat dinikmati pendengar dan memberikan ketentraman jiwa yang tidak dapat dimiliki oleh bahasa apapun. Dari segi keindahan bahasa al-Qur’an.

Adapun maksudnya adalah performa yang mengagumkan yang menjadi ciri khas al-Qur’an dalam keserasian huruf-hurufnya kemudian kalimat-kalimatnya, sehingga jika al-Qur’an dibaca sesuai dengan (makharij al-ahruf), maka akan tampak keindahan dan kelezatannya.

Kedua, al-Qur’an dapat diterima dan dipahami oleh semua lapisan masyarakat, baik dari sisi sosial atau pendidikan mereka, karena al-Qur’an memakai gaya yang elastis. Dengan demikian al-Qur’an dapat dipahami sesuai kapasitas seseorang yang membacanya.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Berbagai Pertanyaan dalam Larangan Jual Beli di Hari Jumat

Ketiga, Stilistika al-Qur’an (ushlub al-Qur’an) dapat memberikan efek stimulus terhadap pemikiran untuk memperhatikan audiensnya (Khithab) dan sekaligus memyentuh emosi atau perasaan.

Keempat, Keserasian rangkaian kalimat al-Qur’an. Kalimat dalam al-Qur’an merupakan kalimat-kalimat suatu ayat yang terjalin secara akrab dan serasi yang saling mendukung keindahan ayat dan kedalaman maknanya.

Kelima, Kekayaan seni redaksinonal. Al-Qur’an mempunyai berbagai cara yang sangat variatif dalam mengungkapkan satu makna.

Objek Kajian Stilistika   

Adapun kajian stilistika menurut al-Qolyubi terdapat empat objek kajian, yaitu fonologi al-Qur’an, preferinsi lafal, preferensi kalimat dan deviasi.

Pertama, fonologi al-Qur’an. Menurut az-Zarqany keserasian dalam tata bunyi al-Qur’an adalah keserasian dalam pengaturan  harakah, sukun, mad dan ghunnah sehingga enak untuk didengar dan diresapkan.

Kedua, Preferensi lafal. Adapun objek Ini bagi tiga, yaitu: Pengunaan lafal yang berdekatan secara maknannya, pengunakan lafal dengan sisi homonim atau lebih jelasnya kata yang sama bunyi tapi berbeda dalam artinya, pengunakan lafal yang tepat yang memperhatikan konteks tertentu sesuai dengan makna yang dibutuhkan.

Baca juga: Memahami Konsep Self Oriented Pada Tafsir Isyari

Ketiga, preferensi kalimat. Dalam pemilihan kalimat yang dipilih al-Qur’an sebagai media penyampai pesan-pesan yang juga memiliki pengaruh terhadap makna-maknaya.

Keempat, Prinsip deviasi adalah kebalikan dari prinsip ekuivalensi, jika ekuvalensi adalah keteraturan dan keselarasan kaidah bahasa, maka deviasi adalah kebalikanya yang sengaja digunakan untuk kesegaran dan menghindari kejenuhan pembaca.

Demikian penjelasan tentang Stilistika al-Qur’an (ushlub al-Qur’an) semoga dengan hadirnya artikel ini menambah rasa cinta dalam mempelajari ilmu-ilmu al-Qur’an.

 Semoga bermanfaat. Walllahu a’lam

Tafsir Surah Al Buruj Ayat 1-10

0
tasir surah al buruj
Tafsiralquran.id

Tafsir Surah Al Buruj Ayat 1-10 berisi tentang sumpah Allah. Ada tiga macam objek sumpah yang dipakai dalam surah ini. selain itu dipaparkan pula mengenai binasanya sebuah kota, yaitu najran. Masyaratk di dalamnya kejam terhadap orang-orang mukmin dan kelak akan mendapat balasan setimpal di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Insyiqaq Ayat 10-25


Ayat 1

Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan langit yang mempunyai gugusan bintang-bintang yang luar biasa besarnya dan tak terhitung jumlah bintang di dalamnya. Sebagian sangat jauh jaraknya dari bumi sehingga cahayanya dalam perhitungan biasa baru sampai kepada kita setelah ribuan tahun lamanya, bahkan ada pula yang setelah miliaran tahun.

Allah bersumpah dengan gugusan bintang karena mempunyai keajaiban yang luar biasa dan mengandung hikmah yang besar dan banyak serta sangat berguna bagi manusia dalam kehidupannya.

Berbagai keajaiban dan hikmah itu menunjukkan kepada kita tentang kebesaran penciptanya yang Mahakuasa dan Mahatinggi ilmu-Nya serta Mahabijaksana.

Ayat 2

Dalam ayat kedua, Allah bersumpah dengan hari yang dijanjikan-Nya, yaitu hari Kiamat, serta hari kepastian dan pembalasan. Ketika itu, hanya kekuasaan dan hukum Allah-lah yang berlaku.

Ayat 3

Dalam ayat yang ketiga, Allah bersumpah dengan alam semesta ini yang dapat memalingkan perhatian.

Ringkasnya, Allah bersumpah dengan alam semesta agar dapat memalingkan manusia memikirkan kebesaran dan keagungan-Nya, agar mereka dapat mengambil manfaat dari apa yang dapat mereka lihat itu dan agar mereka mencurahkan perhatiannya untuk dapat memperoleh hakikat dan rahasia alam yang masih tersembunyi.

Ayat 4-8

Dalam ayat-ayat ini diterangkan bahwa Allah telah membinasakan Najran, sebuah kota di Yaman, karena penduduknya telah menyiksa dan membunuh para pengikut Nabi Isa (orang-orang Nasrani) yang meninggalkan agama pembesar-pembesar negeri itu, yaitu agama Yahudi dan memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Isa dengan memasukkan mereka ke dalam parit-parit yang telah mereka gali dan diberi api yang menyala-nyala.

Orang-orang kafir negeri itu duduk di sekitar parit-parit itu menyaksikan siksaan yang tidak berperikemanusiaan itu.

Siksaan itu sebenarnya tidak patut mereka lakukan sebab orang-orang itu tidak mempunyai kesalahan yang besar. Mereka menyiksa hanya karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Mahaperkasa lagi Maha Terpuji, yang mempunyai kerajaan langit dan bumi serta berkuasa atas semua yang ada pada keduanya. Sungguh tidak ada jalan bagi orang yang zalim itu untuk lari dari kekuasaan-Nya.

Bagi orang-orang mukmin siksaan dan pembunuhan ini hanyalah merupakan cobaan dan ujian yang akan membawa mereka kepada kebahagiaan abadi apabila mereka tetap sabar dengan tetap beriman kepada Allah.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 7-8: Orang-Orang yang Terbelenggu dalam Kekafiran


Ayat 9

Pada akhir ayat ini, Allah menerangkan bahwa Ia telah menyaksikan segala sesuatunya dan dengan demikian akan memberikan balasan yang setimpal atas kekejaman yang telah dilakukan oleh orang-orang kafir itu.

Ayat 10

Dalam ayat ini, Allah menerangkan bahwa bagi orang-orang kafir yang menganiaya dan menyiksa orang-orang mukmin dan mereka tidak mau meninggalkan agamanya, tetap dalam kekufuran, tidak bertobat sebelum mereka meninggal, telah disediakan api neraka untuk mengazab mereka di akhirat nanti.


Baca setelahnya: Surah Al Buruj Ayat 11-22


(Tafsir Kemenag)