Beranda blog Halaman 387

Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

0
AG.H. Daud Ismail
AG.H. Daud Ismail

Pemilik kitab tafsir pertama 30 juz di Bugis ini bernama AG.H. Daud Ismail (akronim Anrégurutta, gelar untuk ulama). Dikenal sebagai salah seorang ulama fenomenal di Sulawesi Selatan, terutama di bilangan wilayah Wajo, Soppeng dan sekitarnya. Disebut juga berperan penting dalam pengembangan syiar Islam di Sulawesi Selatan. AG.H. Daud lahir di Cenrana, Lalabata, kab. Soppeng, 31 Desember  1907 M. Ayahnya bernama H. Ismail bin Baco dan ibunya Hj. Pompola binti Latalibe dan memiliki 11 orang saudara. 

AG.H Daud Ismail mengenyam pendidikan di Pesantren As’adiyah di Sengkang kab. Wajo. Sebelum itu juga pernah menimba ilmu pada banyak guru, baik di Soppeng maupun di Barru. AG.H. Daud Ismail belajar langsung kepada AG.H. Muhammad As’ad (w.1952 M): pendiri Pondok Pesantren As’adiyah di Sengkang selama 12 tahun (1929-1942). Kemudian beliau dipercayakan untuk mengajar pada tingkat Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, ketika itu belum ada tingkat aliyah. Di tahun 1942 Anrégurutta Daud meninggalkan kota Sengkang.

Baru kemudian kembali setelah diminta untuk melanjutkan pembinaan madrasah. Disebabkan karena wafatnya AG.H. Muhammad As’ad. Kembalinya pun juga merupakan wasiat untuk memimpin As’adiyah. Selama kurang lebih delapan tahun memimpin As’adiyah, tercatat hingga tahun 1961. Setelah itu kembali lagi ke Soppeng, Anrégurutta Daud mendirikan sekaligus menjadi ketua Yayasan Perguruan Islam Beowe (YASRIB).

Baca Juga: Mengenal Majid Tamim, Mufasir dan Penerjemah Kitab Klasik dari Madura

Dalam perjalanannya, Anrégurutta Daud pernah menjadi imam besar di Lalabata Soppeng, guru pribadi Datuk Pattojo, pernah diangkat menjadi qadi (hakim) kab. Soppeng, ketua MUI kab. Soppeng, juga pegawai di bidang kepenghuluan di Kementerian Agama. Mengenai waktu wafatnya, AG.H. Daud Ismail meninggal di hari senin tanggal 21 Agustus tahun 2006 di usianya yang ke 99 tahun.

Kitab Tafsir al-Munir: Kitab Tafsir Pertama 30 Juz di Bugis

Di antara banyak karyanya, tafsir al-Munir merupakan sebuah masterpiece yang memiliki tempat khusus dalam kajian tafsir. Apalagi kitab tafsir ini adalah kitab tafsir pertama lengkap 30 juz yang pernah ada Bugis dengan aksara lontara. Mulai ditulis pada tahun 1981, dengan tulis tangan, kemudian diterbitkan tahun 1985. Pada mulanya Tafsir al-Munir terdiri dari 30 jilid, tiap jilid terdiri dari satu juz Al-Qur’an.

Lalu usaha pengembangan berikutnya terdiri dari 10 jilid memuat 3 juz di setiap jilidnya. Diterbitkan oleh CV. Bintang Lamumpitue Jl. Tondongkura No.8 Ujung  Pandang. Bagian yang tidak biasa  tertera pada bagian halaman, jika pun terdiri dari tiga juz dalam satu jilid, tapi masing-masing satu juz tafsir tersebut memiliki halamannya sendiri-sendiri yang dimulai dari awal.

Latar belakang penulisan Tafsir al-Munir, menjadi salah satu upaya untuk memberikan kemudahan kepada masyarakat Bugis dalam memahami kandungan Al-Qur’an. Penggunaan aksara lontara Bugis  dalam penulisan tafsir dimaksudkan untuk melestarikan bahasa Bugis agar tidak lenyap. Usaha selanjutnya, agar karya tafsirnya disimpan di masjid-masjid, dengan begitu dapat memudahkan siapa saja untuk membacanya. Cara-cara demikianlah yang ditempuh dalam menjaga bahasa Bugis di dalam kehidupan sehari-hari. Penjelasan ini sebagaimana yang dipaparkan oleh Anrégurutta Daud dalam mukaddimah kitab tafsirnya.

Di mukaddimah tafsir al-Munir juga disebutkan sebab-sebab khusus dalam penulisannya. Setidaknya dipaparkan bahwa belum ada kitab tafsir di Bugis yang utuh dan lengkap 30 juz. Disamping itu pula, belum ditemukan juga kitab tafsir berbahasa Bugis yang tersebar luas dan mudah diakses di kalangan masyarakat Bugis.

Menurut Anrégurutta Daud akan sangat baik ketika ada kitab tafsir dengan bahasa Bugis sebagaimana di daerah-daerah lainnya di Nusantara. Sebab lainnya dengan keberadaan kitab tafsirnya, orang Bugis yang tidak memahami tafsir bahasa Arab sebagaimana tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, dimudahkan dengan adanya tafsir al-Munir.

Hal yang tidak kalah pentingnya yakni informasi kepada masyarakat suku lainnya tentang keberadaan suku Bugis dengan aksara yang dimilikinya. Lebih lanjut sebagai pedoman bagi anak cucu, bagaimana menerjemah dan memberi makna Al-Qur’an yang bahasa Arab menggunakan bahasa Bugis. Tentu dengan usaha-usaha tersebut dapat menjaga sekaligus melestarikan bahasa lokal.

Contoh Penafsiran yang termuat dalam Tafsir Al-Munir: 

QS Ar-Rahman (55) 5 Tafsir al-Munir Jilid 9 h 123
QS Ar-Rahman (55) 5 Tafsir al-Munir Jilid 9 h 123

“Nayi mata essoé neniya ulengngé pada loloi maccenné ri onrong onrong mattentunnatoha sibawa hisabé mattentu namarissengeng yinaé duwaé nassabari natakkatoro sininna urusang urusanna toripancaji monroé ritanaé nenniya yitonaé napakkéguna rupatauwwé riurusang urusang laonrrumana, padapadanna wettu napanona binéna nenniya wéttu mengngalana”

“Adapun matahari dan bulan beredar dalam garis edarnya masing-masing, dengan perhitungan yang tertentu pula. Dapat diketahui dari kedua hal ini yang menjadi sebab teraturnya segala urusan makhluk yang diciptakan di bumi. Dari dua hal ini juga dipergunakan oleh manusia dalam urusan-uruan pekerjaan mereka, dalam hal ini terkait bertani, baik ketika musim menabur benih maupun ketika musim panen”

Beberapa contoh penafsiran dalam al-Munir, berkaitan erat dengan realitas masyarakat Bugis. Seperti misalnya dalam penafsiran QS. Ar-Rahman (55):5  dengan menyinggung mengenai keteraturan benda langit pada orbitnya berkaitan dengan urusan bertani.

Baca Juga: Mengenal Muhammad Abduh Pabbajah, Mufasir Nusantara Asal Sulawesi

Tentu hal ini sesuai dengan mata pencaharian kebanyakan masyarakat Bugis ketika itu. Tidak hanya satu atau dua kali hal seperti ini disinggung dalam tafsir. Di beberapa tempat lainnya bahkan disinggung mengenai kebiasaan-kebiasaan dan hal-hal yang dekat dengan keseharian masyarakat Bugis.

Tafsir al-Munir jika diperhatikan, tampaknya lebih condong kepada tafsir dengan metode ijmāli. Di beberapa bagian tafsir ini juga menunjukkan ciri tafsir dengan corak al-adabi al-Ijtimā’i. Dua hal penting yang mendukung corak tersebut dalam tafsir al-Munir adalah unsur kebahasaan dan unsur praksis budaya. Wallahu a’lam []

Tafsir Surah Yusuf Ayat 15: Optimislah, Kabar Gembira Akan Segera Datang dari Allah

0
tafsir surah yusuf ayat 18
tafsir surah yusuf ayat 18

Saudara-saudara Nabi Yusuf telah sepakat untuk membuang Yusuf ke dalam sumur. Mereka benar-benar melaksanakan rencana mereka, maka hal inilah yang membuat Yusuf menderita. Kehilangan kasih sayang dari para kakak kandungnya, akhirnya Yusuf harus mendekam di dalam sumur. Kisah pembuangan Nabi Yusuf As. dan penderitaannya serta doa dan kabar gembira yang datang dari Allah terdapat dalam tafsir surah Yusuf ayat 15.

فَلَمَّا ذَهَبُوا بِهِ وَأَجْمَعُوا أَنْ يَجْعَلُوهُ فِي غَيَابَتِ الْجُبِّ وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ لَتُنَبِّئَنَّهُمْ بِأَمْرِهِمْ هَذَا وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ (15)

Maka mereka membawanya dan sepakat memasukkan ke dasar sumur, Kami mewahyukan kepadanya, “Engkau kelak pasti akan menceritakan perbuatan ini kepada mereka, sedangkan mereka tidak menyadari.” [15]

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 11-14: Waspadai Firasat Buruk Orang Tua terhadap Anaknya!

Pembuangan Nabi Yusuf As. dan Penderitaannya

Tafsir surah Yusuf ayat 15 menceritakan pembuangan Nabi Yusuf yang dilakukan oleh saudara-saudaranya yang menjadikan Yusuf harus menanggung penderitaan yang amat pedih. Mereka tidak hanya membuangnya, mereka juga menyiksa Nabi Yusuf tetapi beruntunglah ada Yahudza yang membelanya, sehingga mereka tidak membunuh Yusuf.

Menurut al-Tsa’laby dalam Tasir al-Tsa’laby, Nabi Yakub As. membiarkan Yusuf  kecil bersama saudara-saudara Nabi Yusuf. Kemudian mereka pergi dan menentukan untuk membuang Yusuf ke dasar sumur.

Wahab bin Munabbih dan lainnya berpendapat sebagaimana dikutip oleh al-Sam’ani dalam Tafsir al-Sam’ani. Dalam riwayat itu diceritakan bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf membawa Yusuf ke hutan dengan penuh kemarahan. Kemudian mereka melempar dan memukulnya, sedangkan Yusuf meminta pertolongan. Mereka tetap memukulnya hingga mereka hampir membunuhnya, namun Yahudza melarang saudara-saudaranya untuk melakukan itu. Mereka menyebutkan bahwa Yusuf adalah anak kecil yang berumur 12 tahun.

Nabi Yusuf berumur 12 tahun pada waktu itu, ini adalah pendapat yang terkenal. Ada sebagian riwayat yang menyatakan umurnya enam tahun dan ada juga yang menyatakan 10 tahun, ini juga termasuk pendapat yang populer.

Berbeda dari al-Sam’ani, menurut al-Tsa’laby ketika mereka sampai pada padang pasir mereka menampakkan permusuhan kepada Yusuf. Salah satu dari mereka memukul Yusuf, kemudian Yusuf lari ke saudara yang lainnya, tetapi saudara lainnya memukulnya juga hingga Yusuf tidak menemukan pembela dan pelindung saat itu. Mereka hampir membunuh Yusuf, kemudian Yusuf berteriak, Wahai ayah, wahai Yakub, seandainya engkau mengetahui apa yang mereka perbuat kepada anakmu!

Ketika mereka hampir membunuh Yusuf, kemudian Yahudza mencegah mereka dan berkata, ‘bukankah kami telah berjanji kepada ayah kami untuk tidak membunuhnya?’

Mereka sepakat membuang Yusuf ke sumur, mereka mendatangi sebuah sumur yang luas dasarnya serta sempit lubangnya yang kemudian mereka menjatuhkan Yusuf di sana. Ada riwayat yang menyatakan, mereka berada di sekitar sumur dan mereka mengikat tangan Yusuf, lalu melemparkannya ke dalam sumur.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Dalam sebagian riwayat yang lain disampaikan bahwa mereka menurunkan Yusuf dengan timba dan mereka membiarkannya di sumur itu. Ketika Yusuf sampai ke air ternyata ada sebuah batu, maka Yusuf berdiri di atasnya. Mereka berkata: duduklah di atas batu itu, jika ada seseorang akan minum, maka bergantunglah pada timba itu sampai kamu bisa keluar.

Menurut al-Tsa’laby mereka menurunkan Yusuf melalui timba tetapi mereka melepaskannya pada pertengahan sumur, mereka berharap agar Yusuf meninggal. Yusuf terjatuh pada air dan dia berdiri pada sebuah batu.

Di dalam sumur, Yusuf menangis kemudian mereka memanggilnya, Yusuf mengira itu sebuah rasa kasihan dari mereka. Yusuf menjawab panggilan tersebut, bukannya rasa belas kasih yang diberikan, mereka malah ingin melemparkan batu kepadanya, maka Yahudza melarang dan berdiri seraya berkata, Bukankah kalian sudah benjanji kepadaku untuk tidak membunuhnya? Yahudza juga membawakannya makanan.

Doa Nabi Yusuf dan Kabar Gembira dari Allah

Selain menceritakan pembuangan Nabi Yusuf dan penderitaanya, tafsir surah Yusuf ayat 15 ini juga menceritakan keluh kesahnya kepada Allah dan kabar gembira dari Allah. Nabi Yusuf tidak putus asa dengan pertolongan Allah. Penderitaan yang dialami Yusuf, membuatnya hanya bisa mengeluh kepada Allah setelah perlakuan saudara-saudaranya yang tidak memberikan kasih sayang kepadanya.

Menurut Muhammad bin Muslim al-Thaify yang dikutip oleh al-Sam’ani dalam Tafsir al-Sam’ani, ketika Yusuf berada dalam sumur, dia berdoa kepada Allah: Wahai Dzat yang Maha menyaksikan yang tidak pernah absen, wahai Dzat yang Maha menang yang tidak pernah kalah dan wahai Dzat yang Maha dekat yang tidak pernah jauh, jadikanlah untukku kelapangan dan jalan keluar.

Menurut al-Sam’ani ada beberapa riwayat bertentangan mengenai berapa lama Yusuf berada dalam sumur. Mayoritas ulama berpendapat Yusuf berada dalam sumur selama 3 malam. Sedangakan pendapat lainnya menyatakan hanya semalam.

Saat Nabi Yusuf berada dalam sumur datanglah kabar gembira itu, seperti mayoritas mufasir berpendapat bahwa wahyu ini tertuju kepada Yusuf, Allah mengutus Jibril kepadanya. Malaikat Jibril menghibur dan memberikan kabar gembira bahwa ia akan keluar dari sumur. Malaikat Jibril juga memberitahunya bahwa Allah akan mengabarkan kepada mereka tentang apa yang telah mereka perbuat dan Allah akan membalas mereka (sedang mereka) tidak mengetahui.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf

al-Sam’ani juga mengutip pendapat lain bahwa wahyu ini adalah ilham sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Qashash ayat 7 ketika Allah memberi ilham kepada ibu Musa As,

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ… ألآية

Dan kami ilhamkan kepada ibunya Musa, Susuilah dia (Musa)…

Menurut pendapat kedua yang dikutip oleh al-Sam’ani, kedatangan malaikat Jibril adalah setelah peristiwa pembuangan tersebut.

al-Tsa’laby mengutip suatu riwayat, bahwa Allah memerintahkan batu sampai batu itu jadi menonjol dari dasar sumur, Yusuf pun berdiam di situ dalam keadaan telanjang, kemudian datang Jibril dengan membawa sebuah gamis dan memakaikannya kepada Yusuf. Gamis tersebut adalah gamis yang terbuat dari sutera surga yang juga dipakaikan oleh Jibril kepada Nabi Ibrahim ketika ia dilempar ke api dengan kondisi bajunya lepas dan menjadi telanjang.

Gamis itu menjadi milik Ibrahim, tatkala dia meninggal, dia mewariskannya kepada Ishaq, Ishaq mewariskannya kepada Yakub dan ketika Yusuf remaja, Yakub memakaikannya kepada Yusuf sebagai perlindungan dan Yakub tidak melepaskannya. Tatkala Yusuf dilemparkan ke dalam sumur dalam keadaan telanjang, maka datanglah Jibril dengan membawa gamis tersebut dan memakaikannya kepada Yusuf.

Maka seberapa besar penderitaan yang kita alami, selayaknya sebagai hamba Allah tetap mempunyai optimisme pada rahmat Allah. Setelah semuanya tidak dapat diharapkan bantuannya, hanya kepada Allah lah tempat mengeluh dan mengadu, seperti apa yang dicontohkan Nabi Yusuf yang tertuang dalam tafsir surah Yusuf ayat 15. Allah pasti mengabulkan setiap doa hambanya, meskipun membutuhkan waktu, sebagaimana Allah menjawab doa Nabi Yusuf dengan mengutus malaikat Jibril dengan membawa kabar gembira. Wallahu a’lam bis shawab.

Memahami Konsep Self Oriented Pada Tafsir Isyari

0
Konsep Self Oriented Pada Tafsir Isyari
Konsep Self Oriented Pada Tafsir Isyari

Dalam klasifikasi yang diberikan Al-Shabuny dalam Al-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an, tafsir isyari  merupakan salah dari sekian metode yang mungkin ditempuh dalam mengungkap makna Al-Qur’an. Menurut Al-Zarqany dalam Manahil al-‘Irfan, metode ini berbeda dari yang lainnya karena lebih menekankan pada aspek makna batin yang didasarkan pada isyarat dan intuisi penafsir atas kedekatannya dengan Pemilik kalam, Allah Swt.

Penekanan aspek batin ini mengesankan bahwa tafsir isyari merupakan bentuk resepsi (penerimaan) tersendiri kelompok sufi, atau mereka yang memiliki concern terhadap dunia tasawuf, atas unsur eksegetik Al-Qur’an. Oleh karenanya, tafsir isyari sebagai bentuk resepsi eksegetis, mau tidak mau mengharuskan langkah-langkah yang telah dijelaskan dalam dunia tasawuf.

Baca juga: Memahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Penulis sendiri memahami bahwa langkah-langkah yang dijelaskan dalam dunia tasawuf pada umumnya memiliki kecenderungan self oriented (fokus pada diri sendiri), sebagaimana terlihat dalam ulasan mengenai konsep islah al-nafs (perbaikan diri) atau konsep-konsep lainnya.

Dalam konteks tafsir isyari, self oriented ini sendiri ada pada bagaimana seorang penafsir menempatkan dirinya dihadapan Al-Qur’an sebagai kalam Tuhan. Hal ini seperti yang ditunjukkan Al-Ghazaly dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din-nya, dimana ia menuliskan satu bab khusus berjudul Etika-etika Membaca (tilawah) Al-Qur’an sebagai langkah awal melakukan interpretasi Al-Qur’an.

Dalam sebuah event yang digelar Fakultas Ushuluddin dan Humaniora UIN Walisongo Semarang bertajuk Thriving Peaceful Islam in Plural World: Esoteric Interpretation of the Doctrines and Practices for Just Peace pada 27 Oktober 2020, penulis mendapati sebuah pernyataan yang cukup menarik berkaitan dengan self oriented tafsir isyari.

Pernyataan Prof. Dr. Abdul Kadir Riyadi, seorang guru besar tasawuf dari UIN Sunan Ampel Surabaya, terkait dunia tasawuf yang menurutnya tidak memiliki wacana khusus berkenaan dengan isu-isu sosial (al-musykilah al-ijtima‘iyyah), karena kecenderungan self oriented (dalam bahasa penulis sendiri) yang dimilikinya.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

Sebuah pernyataan yang lantas mendapat respon yang cukup banyak dan positif dari audiens kala itu. Seperti respon mengenai peran dan kontribusi tafsir isyari dalam membangun perdamaian global, sebagaimana tajuk utama yang diangkat. Respon-respon yang kemudian mengerucut dalam satu wacana diskursus: tantangan penafsiran isyari dalam membangun perdamaian global.

Namun demikian, dari angle yang berbeda penulis justru melihat bahwa self oriented yang dimiliki tafsir isyari sejatinya justru dapat menjadi sebuah proposal yang cukup solutif terhadap perdamaian global.

Hal ini penulis dasarkan pada paparan Manna‘ Khalil dalam tulisannya, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, yang menyebutkan bahwa self oriented ini merupakan basis dalam membangun sebuah peradaban. Sebuah komunitas pembentuk peradaban yang baik adalah mereka yang memiliki nilai kualitas individu yang baik pula. Dan untuk membentuk individu yang baik, langkah dengan orientasi kepada kepribadian adalah keniscayaan.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Apa yang dinyatakan Manna‘ Khalil ini nampaknya juga mendapat sambutan positif dari ‘Abd al-Rahman al-Sa‘dy dalam Al-Qawa‘id al-Hisan, dimana dalam satu kaidahnya ia mengatakan bahwa self oriented merupakan salah satu langkah Al-Qur’an dalam mendasari setiap khithab atau perintahnya. Self oriented adalah sesuatu yang natural dan mendasar dalam setiap perkembangan peradaban umat manusia.

Berdasarkan pada data-data yang ada, penulis lantas sampai pada sebuah kesimpulan bahwa tafsir isyari sejatinya memiliki pesan mendalam untuk selalu melakukan perbaikan diri. Kendati orientasi sesungguhnya adalah mendapat petunjuk ilahi melalui kalam-Nya, namun di sisi lain, ia juga dapat menghantarkan pada sebuah keseimbangan sosial yang mengglobal. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

13 Tempat dalam Al-Qur’an yang Disunnahkan Baca Doa atau Wirid Khusus (Part 3)

0
Al-Qur’an Disunnahkan Baca Doa
Al-Qur’an Disunnahkan Baca Doa

Pada artikel sebelumya sudah dijelaskan terdapat 13 tempat dalam Al-Qur’an yang disunnahkan baca doa atau wirid khusus. Dan berikut ini adalah selengkapnya dari artikel sebelumnya.

Akhir Surah At-Tin

Disebutkan dalam kitab at-Tafsiir al-Mazhhari karya ulama sunni asal Panipati, India, bernama Syekh Muhammad Tsana’ullah an-Naqsyabandi al-Hanafi (w. 1225 H). Bahwa Abu Hurairah meriwayatkan sabda Rasulullah saw.,

مَنْ قَرَأَ مِنْكُمْ وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ فَانْتَهَى إِلَى آخِرِهَا أَلَيْسَ اللَّهُ بِأَحْكَمِ الْحَاكِمِينَ فَلْيَقُلْ بَلَى وَأَنَا عَلَى ذَلِكَ مِنَ الشَّاهِدِينَ

Siapa saja yang membaca wa at-tiin wa az-zaituun hingga akhir surah, yakni alaisa allahu bi-ahkam al-haakimiin (Bukankah Allah hakim yang paling adil?), maka ucapkanlah: balaa wa anaa ‘alaa dzalika min asy-syaahidiin (Tentu saja, dan saya termasuk orang-orang yang bersaksi atas itu). (HR. Imam Abu Daud).

Baca juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

Akhir Surah Al-Qari’ah

Ketika menafsiri surah ke-101 ini, Imam Jalaluddin as-Suyuthi (w. 911 H) dalam kitab tafsirnya berjudul ad-Durr al-Mantsuur fii at-Tafsiir bi al-Ma’tsuur, mengutipkan hadis cukup panjang yang bersumber dari Anas bin Malik. Hadis ini yang kemudian dijadikan sebagai dasar disunnahkan baca doa atau wirid khusus di akhir surah Al-Qari’ah

كانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا فَقَدَ الرَّجُلُ مِن إخْوانِهِ ثَلاثَةَ أيّامٍ سَألَ عَنْهُ

Kebiasaan Rasulullah saw. bilamana ada di antara para sahabat yang tidak pernah kelihatan hingga tiga hari, niscaya beliau akan menanyakannya.

فَإنْ كانَ غائِبًا دَعا لَهُ وإنْ كانَ شاهِدًا زارَهُ وإنْ كانَ مَرِيضًا عادَهُ

Jika orangnya tidak jelas berada di mana, Rasul mendoakannya. Jika orangnya ketahuan berada di mana, Rasul mendatanginya. Sedangkan jika sahabat tersebut sakit, Rasul menjenguknya.

فَفَقَدَ رَجُلًا مِنَ الأنْصارِ في اليَوْمِ الثّالِثِ فَسَألَ عَنْهُ فَقِيلَ يا رَسُولَ اللهِ تَرَكْناهُ مِثْلَ الفَرْخِ لا يَدْخُلُ في رَأْسِهِ شَيْءٌ إلّا خَرَجَ مِن دُبُرِهِ

Sekali waktu pernah ada seorang sahabat dari kalangan Anshar yang tidak pernah muncul sampai tiga hari. Rasul lantas bertanya mengenai sahabat tersebut. Para sahabat yang sedang membersamai beliau menjawab, “Wahai Rasulullah,  kondisinya sangat lemah; apa pun yang ia konsumsi seketika langsung keluar dari duburnya”.

قالَ عُودُوا أخاكم فَخَرَجْنا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نعُودُهُ

Mendengar itu Rasul pun memerintahkan, “Kalian jenguklah dia!” Kemudian, para sahabat bersama-sama dengan Rasulullah saw. pergi menjenguk sahabat Anshar tersebut.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Berbagai Pertanyaan dalam Larangan Jual Beli di Hari Jumat

فَلَمّا دَخَلْنا عَلَيْهِ قالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ تَجِدُكَ قالَ لا يَدْخُلُ في رَأْسِي شَيْءٌ إلّا خَرَجَ مِن دُبُرِي قالَ ومِمَّ ذاكَ

Setiba di sana, Rasulullah saw. bertanya pada sahabat Anshar tersebut. “Apakah yang sedang kau derita?” tanya beliau. Sahabat Anshar itu menjawab, “Apa pun yang saya konsumsi seketika langsung keluar dari dubur saya”. Rasul heran dan kembali bertanya, “Kok bisa begitu?”

قالَ يا رَسُولَ اللَّهِ مَرَرْتُ بِكَ وأنْتَ تُصَلِّي المَغْرِبَ فَصَلَّيْتُ مَعَكَ وأنْتَ تَقْرَأُ هَذِهِ السُّورَةَ القارِعَةُ ما القارِعَةُ إلى آخِرِها نارٌ حامِيَةٌ

Sahabat Anshar itu menjawab, “Duhai Rasulullah, saya pernah menjumpai Anda sedang menunaikan salat magrib. Lalu, saya ikut salat berjamaah bersama Anda. Ketika Anda baca surah Al-Qari’ah sampai ayat terakhirnya—

فَقُلْتُ اللَّهُمَّ ما كانَ مِن ذَنْبٍ أنْتَ مُعَذِّبِي عَلَيْهِ في الآخِرَةِ فَعَجِّلْ لِي عُقُوبَتَهُ في الدُّنْيا

—saya sontak berdoa: Allahumma maa kaana min dzanbin anta mu’adzdzibii ‘alaihi fii al-aakhirah fa-‘ajjil lii ‘uquubatahu fii ad-dunyaa (Ya Allah, apa saja dosa yang pernah saya perbuat, Engkau-lah Sang Pemberi Hukuman atas dosa-dosa itu kelak di akhirat. Karena itu, segerakanlah bagiku hukumannya sekarang saja di dunia).

فَنَزَلَ بِي ما تَرى قالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِئْسَ ما قُلْتَ

Selang beberapa lama setelah itulah saya menderita apa yang tampak di hadapan Anda ini. Rasulullah saw pun bersabda, “Betapa buruk doa yang telah kau panjatkan itu.

Baca juga: Bagaimana Hukum Melagukan Bacaan Al-Quran? Inilah Pandangan Para Ulama

ألا سَألْتَ اللَّهَ أنْ يُؤْتِيَكَ في الدُّنْيا حَسَنَةً وفي الآخِرَةِ حَسَنَةً ويَقِيكَ عَذابَ النّارِ

Ingatlah, hendaklah kau memohon kepada Allah agar memberimu kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, serta melindungimu dari siksa api neraka”.

فَأمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعا بِذَلِكَ ودَعا لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقامَ كَأنَّما نَشِطَ مِن عِقالٍ

Nabi saw. lantas menyuruhnya berdoa demikian dan sahabat Anshar itu pun berdoa seperti itu. Nabi saw. juga turut serta mendoakannya. Tidak lama kemudian sang sahabat itu bangkit berdiri seakan telah terbebas dari belenggu.

Berdasarkan hadis riwayat Imam Abu Ya’la al-Mushili (w. 307 H) di atas, barangkali dapat disimpulkan bahwa doa yang disunnahkan di akhir surah Al-Qari’ah adalah doa sapu jagat, yaitu:

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

Setiap Akhir Surah, Mulai Ad-Duha Sampai An-Nas

Disunnahkan baca doa dan takbir di tiap-tiap akhir surah, mulai akhir surah Ad-Duha sampai akhir surah An-Nas. Keterangan tentang ini salah satunya diterangkan oleh Imam Jalaluddin as-Suyuthi pada kitab tafsirnya yang telah disebutkan sebelumnya. Bahwa  Abu Hasan al-Bazzi (w. 250 H), tokoh qiraah asal Makkah itu menyatakan:

سَمِعْتُ عِكْرِمَةَ بْنَ سُلَيْمانَ يَقُولُ قَرَأْتُ عَلى إسْماعِيلَ بْنِ قُسْطَنْطِينَ فَلَمّا بَلَغْتُ والضُّحى قالَ كَبِّرْ عِنْدَ خاتِمَةِ كُلِّ سُورَةٍ حَتّى تَخْتِمَ

Saya telah mendengar ‘Ikrimah bin Sulaiman (w. 190 H) berkata, “Saya setoran bacaan Al-Qur’an di hadapan Isma’il bin Qusthanthin (w. 170 H). Tatkala saya sampai pada surah Ad-Duha, beliau berujar: ‘Bertakbirlah di pengujung setiap surah sampai kamu mengkhatamkan bacaan Al-Qur’an.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Berbagai Pertanyaan dalam Larangan Jual Beli di Hari Jumat

فَإنِّي قَرَأْتُ عَلى عَبْدِ اللهِ بْنِ كَثِيرٍ فَلَمّا بَلَغْتُ والضُّحى قالَ كَبِّرْ حَتّى تَخْتِمَ وأخْبَرَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ كَثِيرٍ أنَّهُ قَرَأ عَلى مُجاهِدٍ فَأمَرَهُ بِذَلِكَ

Sebab, sungguh saya setoran bacaan Al-Qur’an di depan ‘Abdullah bin Katsir (Ibnu Katsir al-Makki). Manakala saya sampai pada surah Ad-Duha, beliau juga memerintahkan hal serupa.’ Imam Ibnu Katsir al-Makki (w. 120 H) juga mengabarkan Isma’il bin Qusthanthin, bahwa dirinya pun telah setoran bacaan Al-Qur’an pada Imam Mujahid (w. 104 H) dan menyuruhnya melakukan hal itu.

وأخْبَرَهُ مُجاهِدٌ أنَّ ابْنَ عَبّاسٍ أمَرَهُ بِذَلِكَ وأخْبَرَهُ ابْنُ عَبّاسٍ أنَّ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ أمَرَهُ بِذَلِكَ وأخْبَرَهُ أُبَيٌّ أنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أمَرَهُ بِذَلِكَ

Selanjutnya Mujahid bin Jabr mengabarkan pula bahwa Ibnu ‘Abbas (w. 68 H) menyampaikan perintah yang sama kepadanya. Ibnu ‘Abbas pun mengabarkan bahwa Ubayy bin Ka’ab (w. 30 H) juga memerintahkan demikian. Di samping itu, Ubayy bin Ka’ab mengabarkan pada Ibnu ‘Abbas bahwa sesungguhnya Nabi saw. yang telah memerintahkan padanya perihal tersebut.”

Baca juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

Akhirnya, lengkap sudah perincian ketiga belas tempat yang disunnahkan baca doa beserta bacaan doa atau wirid khususnya masing-masing. Untuk diketahui bahwa selain rujukan untuk bahasan pada surah Al-Gasyiyah, seluruh uraian tulisan ini penulis ambilkan terbatas pada referensi kitab-kitab tafsir saja. Sebab itu, jikapun terdapat keterangan yang terlewatkan di sini silakan saja ditambahkan.

Baca juga: Gagasan Istyqaq Kabir Ibn Jinni, Kritik dan Apresiasinya

Walakin, semoga saja tulisan prasaja tentang tempat-tempat yang disunnahkan baca doa dan wirid khusu ini bisa bermanfaat sehingga dapat Anda amalkan dalam keseharian. Tentunya terlebih bagi penulis sendiri.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Artikel sebelumnya…

Tafsir Surah An-Nisa’ Ayat 85: Dua Macam Pertolongan

0
dua macam pertolongan
dua macam pertolongan

Sebagai makhluk sosial, memberi pertolongan merupakan tindakan terpuji dan hal itu sudah sepatutnya dilakukan dalam kehidupan sosial. Namun demikian, ternyata tidak semua memberi pertolongan itu dibenarkan oleh Allah Swt. Dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa ada dua macam pertolongan, ada pertolongan baik dan buruk, yang keduanya sama-sama mendapatkan balasan dari Allah Swt. Hal ini telah dijelaskan dalam QS. An-Nisa’ [4]: 85.

مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا ۖ وَمَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً سَيِّئَةً يَكُنْ لَهُ كِفْلٌ مِنْهَا ۗ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ مُقِيتًا

Barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian dari (pahala)nya. Dan barangsiapa memberi pertolongan dengan pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dari (dosa)nya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.

Sebelum memasuki penafsiran, penting kiranya untuk mengetahui latar belakang turunnya ayat tersebut. Menurut Quraish Shihab, ayat ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yang memerintahkan Nabi Muhammad Saw. untuk mengajak umatnya terjun ke medan juang. Rupanya ajakan Nabi mendapatkan respon yang berbeda-beda. Ada sebagian dari mereka yang memiliki sahabat dan kerabat yang tidak bisa dan enggan untuk menerima ajakan Nabi, sehingga mereka diminta menjadi perantara kepada Nabi untuk diizinkan tidak ikut perang.

Namun di sisi lain, ada yang memiliki keinginan kuat untuk ikut ajakan Nabi, akan tetapi tidak cukup biaya dan senjata, hal ini membuat mereka bersedih hati dan berkeluh kesah. Sehingga datanglah beberapa orang yang berupaya memberikan pertolongan dengan cara menjadi perantara kepada orang yang mampu untuk melengkapi kebutuhan mereka. Oleh karena itu, Allah berjanji untuk memberikan balasan dan pahala kepada masing-masing orang tersebut sebagaimana QS. An-Nisa’ [4]:85 tersebut.

Baca Juga: Dia yang Berlaku Baik Kepadamu, Lebih Baiklah Kepadanya! Pesan Surat An-Nisa Ayat 86

Dua macam pertolongan: baik dan buruk

Menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah, ayat tersebut menjelaskan bahwa barangsiapa memberikan pertolongan yang baik kapanpun itu, dengan menjadi perantara sehingga orang lain dapat melaksanakan tuntunan agama atau dengan cara mengajak langsung maupun memberikan sesuatu sehingga orang lain berpeluang untuk berbuat baik, maka ia juga akan mendapatkan pahala karena telah berupaya menolong dan menjadi perantara.

Namun demikian, sebaliknya, barangsiapa yang memberikan pertolongan buruk, yakni dengan menjadi perantara seseorang berbuat keburukan, maka orang tersebut juga ikut menaggung bagian dosanya. Menurut Ibnu Katsir orang tersebut turut menanggung dosa karena juga berupaya dalam urusan tersebut dan telah diniatkan sejak semula.

Sedangkan dalam Tafsir Al-Jalalain dijelaskan bahwa yang dimaksudkan man yasyfa’ syafa’atan adalah memberi pertolongan kepada sesama manusia. Adapun yang dimaksud yasyfa’ hasanatan (memberikan pertolongan yang baik) adalah pertolongan yang sesuai syariat. Sedangkan yang dimaksud yasyfa’ sayyiatan (memberikan pertolongan yang buruk) adalah pertolongan yang tidak sesuai dengan syariat.

Menurut Al-Qurtubi, pertolongan yang baik adalah menolong dalam kabaikan dan taat. Sedangkan pertolongan yang buruk adalah menolong dalam kemaksiatan. Al-Qurtubi juga sejalan dengan Al-Jauzi yang menyatakan bahwa pertolongan yang baik adalah mendamaikan dua orang yang bertikai. Sedangkan pertolongan yang buruk adalah berusaha mengadu domba dan ghibah.

Al-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya, Al-Kasysyaf menyatakan bahwa yang dimaksud memberi pertolongan yang baik adalah menjaga hak orang Islam, menolak keburukan yang dapat membahayakan umat Islam, dan mendatangkan kebaikan kepadanya.  Dalam hal ini, memberikan pertolongan karena semata-mata mengharapkan ridho Allah, bukan karena disogok atau mengambil keuntungan. Sedangkan memberi pertolongan yang buruk adalah yang tidak sesuai dengan hal tersebut.

Baca Juga: Surat al-Mumtahanah Ayat 8-9: Perintah Berbuat Baik Kepada Siapa Pun

Menurut Al-Zamakhsyari, Al-Qurtubi, dan Al-Jauzi yang dimaksud memberikan pertolongan yang baik adalah mendoakan orang Islam (dalam kebaikan). Sebaliknya, mendoakan orang Islam dalam keburukan adalah memberi pertolongan yang buruk, sebagaimana hadis Nabi Muhammad Saw. yang mereka sebutkan dalam tafsirnya:

مَنْ دَعَا لِأَخِيْهِ اْلمُسْلِمِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ اسْتُجِيْبَ لَهُ قَالَ لَهُ اْلمَلِكُ:  وَلَكَ ِمِثْلُ ذَلِكَ, فَذَلِكَ النَّصِيْبُ

Artinya: “Barangsiapa yang mendoakan saudaranya sesama Muslim di luar kehadirannya, maka dikabulkan doanya. Malaikat akan menimpali dengan ucapan: semoga Anda memperoleh semacam itu” (H.R. Muslim).

Ibnu Katsir mengutip sebuah riwayat Ibnu Abi Hatim dalam menjelaskan ayat ini, khususnya tentang makna firman-Nya, ‘Allah maha kuasa atas segala sesuatu.’ Maksud akhir ayat ini yaitu Allah Maha Kuasa membalas setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.

Dari berbagai penafsiran di atas dapat dipahami bahwa  Allah Swt. tidak pernah menyia-nyiakan amal perbuatan hamba-Nya. Dalam artian, Allah memberikan balasan kepada hamba-Nya, baik berupa amal kebaikan maupun keburukan.

Dua macam pertolongan dalam ayat ini seperti menganjurkan kita untuk memastikan terlebih dahulu, apakah orang yang kita beri pertolongan tersebut dalam lingkup perkara yang baik atau buruk, pun orang yang memberi pertolongan terhadap kita itu ada niat baik atau buruk. Tidak hanya itu, hal lain yang jarang diperhatikan kebanyakan orang adalah memberi pertolongan kepada orang lain itu harus berdasarkan hati yang ikhlas agar perbuatan baiknya tidak berakhir sia-sia.

Pada intinya, Allah memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berbuat kebaikan, namun juga memberikan batasan-batasan dalam hal-hal tertentu yang harus kita perhatikan. Keduanya memiliki konsekuensi masing-masing yang baik dan buruknya tergantung jalan mana yang akan kita tempuh. Wallahu A’lam

Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?

0
kaidah nakirah dan ma'rifah/ foto: prezi.com
kaidah nakirah dan ma'rifah/ foto: prezi.com

Dalam pembahasan Ulum Al-Quran, ada kaidah-kaidah penting yang perlu diketahui oleh para pengkaji Al-Quran. Salah satu kaidah tersebut adalah kaidah Nakirah dan Ma’rifah. Di tulisan lain dengan tema yang sama telah ditulis mengenai kaidah nakirah dan ma’rifah dipandang dari segi tujuan atau fungsi penggunaan nakirah ma’rifah tersebut di dalam al-Quran.

Dalam tulisan ini, akan diulas mengenai bahasan lain yang berhubungan dengan kaidah nakirah dan ma’rifah yang bermula dari pertanyaan, bagaimana jika suatu isim disebutkan dua kali? Dan  apa dampaknya terhadap makna suatu ayat?

Nakirah dan Ma’rifah dalam Ilmu Nahwu dan Ilmu Al-Quran

Kaidah Nakirah dan ma’rifah merupakan bagian dari ilmu tata bahasa Arab atau ilmu nahwu. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengertian dari nakirah dan ma’rifah tersebut perlu menengok penjelasannya dalam ilmu nahwu. Bagaimanapun juga, pada dasarnya Al-Quran dan ilmu nahwu itu berkaitan.

Al-Quran merupakan mukjizat yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. dengan menggunakan bahasa Arab. Mustahil al-Quran diturunkan tanpa memerhatikan kaidah tata bahasa Arab yang digunakan sebagai bahasa sehari-hari oleh bangsa Arab. Bahkan, Al-Quran menjadi sumber utama dan dijadikan patokan dalam perumusan ilmu tata bahasa Arab, karena secara substansi kesusastraan Al-Quran telah melampaui bangsa Arab pada saat itu.

Dalam buku Teori Dasar Nahwu & Sharf Tingkat Pemula karya Abdul Haris dijelaskan mengenai pengertian isim nakirah dan isim ma’rifah.

Isim nakirah adalah isim yang pengertiannya masih bersifat umum dan tidak diketahui batasannya. Sedangkan isim ma’rifah adalah isim yang pengertiannya sudah jelas dan diketahui batasannya. Isim ma’rifah ini dibagi menjadi enam, yaitu isim dlamir (kata ganti), isim isyarah (kata tunjuk), isim maushul (kata penghubung), isim + ال, isim alam (menunjukkan nama), dan al-mudlaf ila al-ma’rifah (isim yang dimudlafkan kepada isim ma’rifah). Selain isim-isim tersebut maka termasuk dalam kategori isim nakirah.

Baca Juga: Melihat Al-Quran sebagai Pembungkam Nalar Sastra Arab

Bagaimana jika isim (kata benda) disebutkan dua kali?

Kembali ke pertanyaan awal, bagaimana jika suatu isim (kata benda) disebutkan dua kali? Dan apa dampaknya terhadap makna suatu ayat al-Quran?

Jika suatu isim disebutkan dua kali, maka ada empat kemungkinan, yaitu keduanya ma’rifah, keduanya nakirah, yang pertama nakirah & yang kedua ma’rifah, dan yang pertama ma’rifah & dan yang kedua nakirah.

  1. Keduanya ma’rifah

Jika suatu isim disebutkan dua kali dan keduanya disebutkan dalam kondisi ma’rifah, maka secara umum isim yang kedua merupakan isim yang pertama. Maksudnya tidak ada perbedaan makna secara substansial dari kedua isim tersebut. Contohnya adalah lafad صِرَاطَ yang bermakna jalan dalam QS. Al-Fatihah [1]: 6-7.

ٱهۡدِنَا ٱلصِّرَٰطَ ٱلۡمُسۡتَقِيمَ  ٦ صِرَٰطَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ غَيۡرِ ٱلۡمَغۡضُوبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا ٱلضَّآلِّينَ  ٧

Lafad صِرَاطَ yang pertama termasuk isim ma’rifah, yaitu isim + ال. Dan lafad صِرَاطَ yang kedua juga termasuk dalam kategori isim ma’rifah, yaitu al-mudlaf ila al-ma’rifah. Oleh karena disebutkan dua kali dan keduanya dalam kondisi ma’rifah, maka صِرَاطَ atau jalan tersebut adalah jalan yang sama. Bukan jalan A dan jalan B. Tetapi keduanya adalah jalan A. Sehingga, jalan yang lurus yang dikehendaki dalam ayat tersebut adalah jalan orang-orang yang oleh Allah Swt. beri nikmat.

  1. Keduanya nakirah

Kemungkinan yang kedua adalah isim yang disebutkan dua kali tersebut sama-sama nakirah. Jika hal ini terjadi, maka isim yang kedua bukan termasuk isim yang pertama. Contohnya terdapat dalam QS. Ar-Rum [30]: 54

ٱللَّهُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعۡفٖ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ ضَعۡفٖ قُوَّةٗ ثُمَّ جَعَلَ مِنۢ بَعۡدِ قُوَّةٖ ضَعۡفٗا وَشَيۡبَةٗۚ يَخۡلُقُ مَا يَشَآءُۚ وَهُوَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡقَدِيرُ  ٥٤

Makna dari setiap kata ضَعۡفٌ pada ayat tersebut berbeda-beda. Kata ضَعۡفٌ yang pertama bermakna النطفة (air mani), yang kedua الطفولية (masa kanak-kanak), dan yang ketiga bermakna الشيخوخة (lansia). Karena ketiganya disebutkan dalam kondisi nakirah, maka makna ketiganya berbeda semua.

Kedua kaidah ini berlaku dalam QS. Al-Insyiraah [94]: 5-6

فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا  ٥ إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرٗا  ٦

Kata العسر yang bermakna kesulitan disebutkan dua kali dalam kondisi ma’rifah. Sebaliknya, kata يسر disebutkan dua kali dalam kondisi nakirah. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saw. bersabda:

لَنْ يَغْلِبَ عُسْرٌ يُسْرَيْنِ

Artinya: “Satu kesulitan itu tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan.”

Baca Juga: Isytiqaq Saghir: Cara Kerja dan Perannya dalam Melacak Makna Bahasa

  1. Pertama nakirah, kedua ma’rifah

Kondisi ketiga: ketika isim yang pertama nakirah dan yang kedua ma’rifah. Maka substansi isim yang kedua itu sama dengan isim yang pertama. Contohnya terdapat dalam firman Allah QS. Al-Muzzammil [73]: 15-16

إِنَّآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَيۡكُمۡ رَسُولٗا شَٰهِدًا عَلَيۡكُمۡ كَمَآ أَرۡسَلۡنَآ إِلَىٰ فِرۡعَوۡنَ رَسُولٗا  ١٥ فَعَصَىٰ فِرۡعَوۡنُ ٱلرَّسُولَ فَأَخَذۡنَٰهُ أَخۡذٗا وَبِيلٗا  ١٦

Rasul yang diutus kepada Firaun dan didurhakainya itu adalah Nabi Musa as.

  1. Pertama ma’rifah, kedua nakirah

Kemungkinan terakhir jika suatu isim disebutkan dua kali adalah yang pertama ma’rifah dan yang kedua nakirah. Jika kondisi demikian terjadi, maka tidak bisa dihukumi sepihak bahwa isim tersebut sama atau berbeda secara substansinya. Tetapi harus dilihat konteks kalimatnya apakah menunjukkan kesamaan antara kedua isim tersebut atau malah lebih condong kepada perbedaan. Contoh yang lebih cocok diartikan sama terdapat pada lafad ٱلۡقُرۡءَانِ di QS. Az-Zumar [39]: 27-28

وَلَقَدۡ ضَرَبۡنَا لِلنَّاسِ فِي هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانِ مِن كُلِّ مَثَلٖ لَّعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ  ٢٧ قُرۡءَانًا عَرَبِيًّا غَيۡرَ ذِي عِوَجٖ لَّعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ  ٢٨

Sedangkan contoh yang lebih cocok untuk diartikan berbeda terdapat pada lafad  ٱلۡكِتَٰبِ dalam Q.S. An-Nisa’ [4]: 153

يَسۡئَلُكَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ أَن تُنَزِّلَ عَلَيۡهِمۡ كِتَٰبٗا مِّنَ ٱلسَّمَآءِۚ

Demikian penjelasan mengenai kaidah nakirah dan ma’rifah yang disarikan dari kitab al-Qawaid al-Asasiyyah fi Ulum al-Quran dan Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani serta kitab al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Ingin Curhat? Mari Belajar Curhat dari Nabi Yakub As. dalam Surah Yusuf Ayat 86

0
belajar dari curhat Nabi Yakub
belajar dari curhat Nabi Yakub

Setiap orang di dunia ini pasti memiliki permasalahan dalam kehidupannya, baik itu permasalahan secara individu dengan teman, sahabat, keluarga atau dengan pasangannya, atau permasalahan secara kelompok. Curahan hati atau yang populer dengan istilah ‘curhat’ sering menjadi cara untuk meringankan beban pikiran. Kepada siapa sebaiknya kita curhat? Mari belajar dari kisah curhat Nabi Yakub As.

Fenomena yang terjadi saat ini, curhat banyak juga dilakukan di media sosial. Tidak jarang kita temui banyak curhatan kegalauan hidup seperti permasalahan dengan teman, rekan kerja, bahkan masalah rumah tangga pun diceritakan di medsos. Walaupun curhat dianggap bisa meringankan masalah, namun kita harus belajar di mana dan kepada siapa sebenarnya curhat yang paling tepat.

Meskipun curhat dianggap dapat meringankan masalah, namun tidak jarang kita dapati malah memperbesar masalah. Bisa jadi curhat kepada orang yang tidak tepat malah berujung membicarakan keburukan orang lain (ghibah) dan bisa  menjadi pintu masuk untuk mengungkap aib diri sendiri. Lantas bagaimana sebaiknya? Dalam tulisan ini kita akan belajar dari sikap Nabi Yakub As ketika menyikapi kesedihan dalam hidup. Pelajaran tersebut disuguhkan dalam QS. Yusuf [12]: 86.

Baca Juga: Kisah Kesabaran Nabi Ya’kub : Tafsir Surat Yusuf ayat 18

Kisah Curhat Nabi Yakub As.

Seorang Nabi Allah, Yakub Alaihissalam pernah ditimpakkan ujian yang begitu berat. Kesedihan yang teramat sangat di dalam jiwa Nabi Yakub karena kehilangan anak kesayanganya, Nabi Yusuf As. Kemudian disusul dengan kehilangan Binyamin saudara Yusuf. Al-Quran surah Yusuf ayat 86 memuat jawaban Nabi Yakub atas perkataan saudara-saudara Yusuf. Mereka mengasihani ayahnya (Yakub) karena terus mengingat Yusuf. Ayat ini kemudian menjadi petunjuk bagi seorang muslim kepada siapa sesungguhnya tempat berkeluh kesah. Surah Yusuf ayat 86 berbunyi:

قَالَ اِنَّمَآ اَشْكُوْا بَثِّيْ وَحُزْنِيْٓ اِلَى اللّٰهِ وَاَعْلَمُ مِنَ اللّٰهِ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ

Dia (Yakub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.

At-Thabari dalam tafsirnya, Jami’ al Bayan Jilid 14, 915 menghimpun beberapa riwayat mengenai ayat ini, salah satunya dari As-Suyuti dalam Ad-Durr Al-Mantsur (4/571) sebagai berikut: “Yakub bin Ishaq kedatangan seorang tetangga, lalu ia berkata kepadanya, ‘Wahai Yakub, aku tidak melihatmu merasa lemah dan renta, serta tidak mencapai umur seperti bapakmu? ‘ Ia menjawab, ‘Ujian Allah kepadaku membuatku lemah dan renta karena kesedihan dan ingat akan Yusuf. Allah lalu memberikan wahyu kepadanya, ‘Wahai Yakub, apakah kamu mengadukan-Ku kepada makhluk-Ku?’ Yakub menjawab, ‘Wahai Tuhan, itu dosa yang aku perbuat, ampunilah aku’. Allah berfiman. Aku telah mengampunimu’. Setelah itu, bila Yakub ditanya, maka ia akan berkata ‘Sesungguhnya hanyalah kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku, dan aku mengetahui, dari Allah apa yang kamu tiada mengetahuinya”

Dikatakan juga bahwa Nabi Yakub As. tidak pernah ditimpa bencana sama sekali kecuali ia selalu berpasangka baik kepada Allah. Kesedihan membuat kedua mata Nabi Yakub menjadi putih dan penglihatannya menjadi  kabur.  Namun, betapapun sedih dan besar malapetaka yang dialaminya, Nabi Yakub tetap tidak melakukan hal-hal yang tidak direstui Allah swt.

Baca Juga: Kisah Kesabaran Nabi Yusuf Yang Membuat Kagum Nabi Muhammad

Rasa yang teramat sedih Nabi Yakub tercermin dalam kata batstsi. Kata batstsi -kesusahanku- pada ayat 86, menurut Quraish Shihab dalam tafsirnya Al-Misbah jilid 6,513 bermakna sebuah kesusahan yang sangat besar. Sehingga, orang yang mengalaminya senantiasa menyebut dan menyampaikannya kepada siapa saja akibat tidak dapat memikulnya sendiri, inilah penyebab curhat Nabi Yakub. Kesedihan Nabi Yakub bahkan membuat penglihatannya menjadi kabur. Kesedihan tersebut dirasakan oleh Nabi Yakub As, dan ia akhirnya memilih untuk mengadu hanya kepada Allah swt.

Kisah curhat Nabi Yakub As menggambarkan juga betapa hebatnya perjuangan batin Nabi Yakub yang telah lanjut usia. Sebagai seorang nabi Allah, ia mengetahui perbuatan saudara-saudara yusuf, dan Nabi Yakub yakin bahwa Yusuf belum meninggal. Dia tetap bersabar dan menahan perasaan, batinnya kuat meski jasmaninya melemah. Pada akhirnya segala bentuk pengharapan kepada Allah dan kesabaran Nabi Yakub membuat penglihatannya kembali dan mengantarkan Ia bertemu lagi dengan kedua anaknya, Yusuf dan Bunyamin. (Q.S Yusuf 94-100).

Berdasar pada ayat tersebut setidaknya kita belajar bahwa tempat curhat terbaik adalah kepada Allah swt. Namun, bukan  berarti curhat kepada manusia dilarang sama sekali. Selama tujuan curhat untuk meminta nasihat, mencari solusi, bermusywarah tanpa membuka aib diri sendiri atau orang lain tentunya boleh dilakukan. Sebab, Al-Qur’an juga mengajarkan manusia untuk bermusyawarah dan saling menasehati dalam hal kebaikan.

Curhat Nabi Yakub yang akhirnya hanya kepada Allah Swt mencerminkan ukuran tingginya tauhid kepada Allah. Memprioritaskan Allah dalam segala urusan adalah sikap yang harus diasah dan diusahan seorang muslim sepanjang perjalan hidupnya. Dalam Al-Qur’an, Allah senantiasa mengingatkan kita untuk terus berharap, dan berdoa kepadaNya (al-Baqarah [2]:186).

Allah juga telah memberi tahu kepada kita dalam surah Qaf ayat 16, bahwa Ia mengetahui semua bisikan hati, dan lebih dekat kepada kita daripada urat leher. Dekat dalam arti dengan pengkabulan doa, pertolongan, ilmu dan taufikNya.

Allah juga telah menjajikkan dalam sejumlah firmanNya, bahwa Ia yang memperkenankan doa orang-orang yang dalam kesulitan dan menghilangkan kesusahannya (Q.S An-Naml: 62), Allah yang akan mencukupi setiap hamba-Nya (Q.S Az-Zumar: 36), dan memberikan pahala tiada batas kepada orang-orang yang bersabar (Q.S Az-Zumar:10).

Kita selalu membenarkan firman-firman Allah tersebut dengan berkata shadaqallahu ‘adzim (Maha benar Allah atas segala firmanNya) di setiap selesai membaca Qur’an. Pembenaran tersebut harus diyakini dengan keyakinan dalam hati. Semoga kita senantiasa terus belajar untuk menggali hikmah dari kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Qur’an dan meneladani sifat-sifat manusia yang dekat dengan Allah swt seperti Nabi Yakub As. Wallahu’alam.

Kisah Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam

0
Air Zamzam
Jamaah Haji Meminum Air Zamzam

Air zamzam adalah suatu keajaiban dunia yang dianggap sebagai air suci oleh umat Islam. Sumur Zamzam merupakan mata air yang terletak di kawasan Masjidil Haram, sebelah tenggara Kakbah, dengan kedalaman 42 meter. Setiap tahun banyak peziarah yang melakukan ibadah Haji dan Umrah berkunjung ke sumur zamzam ini. Sebagian besar dari mereka membawa pulang air Zamzam sebagai oleh-oleh.

Secara etimologi, kata zamzam berasal dari bahasa Arab  “zamzam” (زمزم)‎ yang berarti banyak, melimpah-ruah. Istilah ini didasarkan pada perkataan malaikat Jibril ketika mata air zamzam muncul dan melimpah ruah. Dia (Jibril) berkata, “Zam zam yang berarti berkumpullah”. Maka atas izin Allah swt, mata air Zamzam mengumpul. Sampai sekarang, mata air itu tidak pernah berhenti mengeluarkan air (Sejarah Zamzam).

Dalam Al-Qur’an istilah air zamzam memang tidak disebutkan secara eksplisit. Namun, terdapat ayat yang bersinggungan erat dengan peristiwa kemunculan air zamzam, yakni kisah Siti hajar dan nabi Ismail yang dipindahkan oleh nabi Ibrahim ke sebuah gurun pasir yang sekarang dikenal sebagai kota Mekah. Kisah ini tertuang dalam surah Ibrahim [14] ayat 37 yang berbunyi:

رَبَّنَآ اِنِّيْٓ اَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِيْ بِوَادٍ غَيْرِ ذِيْ زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِۙ رَبَّنَا لِيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ فَاجْعَلْ اَفْـِٕدَةً مِّنَ النَّاسِ تَهْوِيْٓ اِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِّنَ الثَّمَرٰتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُوْنَ ٣٧

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Menurut Quraish Shihab, surah Ibrahim [14] ayat 37 ini merupakan doa nabi Ibrahim as kepada Allah swt agar melimpahkan anugerah dan kesejahteraan bagi anak istrinya, yakni nabi Ismail dan Siti Hajar yang telah ia kirim ke suatu lembah pasir nun gersang dekat Baitullah (kota mekah). Hal ini ia lakukan agar keduanya dapat melaksanakan shalat secara bersinambung lagi baik dan sempurna.

Baca Juga: Epidemiologi Al-Qur’an (2): Virus Sampar Dalam Kisah Nabi Shalih dan Kaum Tsamud

Pandangan serupa disampaikan oleh as-Sa’adi. Menurutnya, ayat ini dilantunkan oleh nabi Ibrahim manakala beliau membawa anak istrinya, nabi Ismail dan Siti Hajar, ke kota Mekah yang masih dalam keadaan tandus (tidak layak ditanami tumbuhan) dan tidak berpenghuni. Dalam doa tersebut, nabi Ibrahim berharap kepada Allah swt agar kebutuhan keduanya terpenuhi, terutama nabi Ismail yang masih dalam usia balita (Tafsir as-Sa’adi).

Berdasarkan ayat di atas, Quraish Shihab berargumen bahwa seseorang perlu/boleh berhijrah ke suatu tempat yang aman bagi keberlangsungan pendidikan agama untuk anak atau dalam rangka memelihara akidahnya. Sedangkan sebagian ulama – melalui ayat ini – melarang keluarga muslim bermukim atau bertempat tinggal di daerah yang dapat mengakibatkan kekaburan ajaran agama atau kedurhakaan kepada Allah swt (Tafsir Al-Misbah [7]: 71).

Nabi Ismail, Siti Hajar dan Asal Usul Air Zamzam

Sejarah asal-usul air Zamzam bermula setelah nabi Ibrahim dan Siti Hajar dikaruniai seorang anak, yakni nabi Ismail, pasca penantian yang panjang. Ketika Ismail balita – atas perintah Allah swt dan dengan berbagai pertimbangan – nabi Ibrahim kemudian memindahkan  anak dan istrinya tersebut ke lembah yang berdekatan dengan Kakbah. Lalu beliau bertolak kembali ke negeri Syam.

Melihat kepergian suaminya, Siti Hajar bertanya, “Pergi ke mana engkau Ibrahim? Apakah kau tega meninggalkan kami di tempat yang sunyi dan juga tandus ini?”. Karena tidak juga dijawab oleh suaminya, Siti Hajar kembali bertanya, “Adakah kepergianmu ini adalah perintah dari Allah?”. Nabi Ibrahim kemudian mengiyakan pertanyaan dari istrinya tersebut. Siti Hajar kemudian kembali berkata, “Jikalau demikian, pasti Allah tak akan menyia-nyiakan nasib kita.”.

Di atas bukit yang jauh dari tempat istri dan anaknya ditinggalkan, nabi Ibrahim menahan rasa sedihnya. Sungguh berat rasanya meninggalkan mereka di tempat yang begitu sepi tanpa makanan dan minuman yang memadai serta tanpa seseorang yang menemani. Di saat inilah beliau mengangkat lengannya dan memanjatkan doa kepada Sang Khalik untuk keselamatan keduanya sebagaimana yang tertuang dalam surah Ibrahim [14] ayat 37.

Setelah kepergian Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan nabi Ismail mulai merasa kelaparan dan kehausan. Bekal yang diberikan oleh Nabi Ibrahim pun sudah habis. Karena tidak tega melihat anaknya kehausan dan kelaparan, ia akhirnya memutuskan untuk pergi mencari makanan atau minuman. Siti Hajar kemudian bergegas menuju Bukit Shafa. Namun sesampainya di atas, Siti Hajar tidak menemukan apapun (Sejarah Zamzam).

Siti Hajar turun kembali menuju Bukit Marwah. Namun, tidak juga ia menemukan makanan ataupun minuman.  Kemudian ia kembali ke bukit Shafa, kembali lagi ke bukit Marwah. Begitu seterusnya hingga tujuh kali. Perjalanan Siti Hajar dari bukit Shafa ke bukit Marwah tersebut terhitung sebanyak tujuh kali. Apa yang dilakukan Siti Hajar itu kini menjadi salah satu rukun haji yang wajib dilaksanakan umat Islam yang melaksanakan haji, yaitu sa’i.

Ketika sedang berada di atas bukit Marwah, Siti Hajar tiba-tiba mendengar suara. Setelah berlari ke sana kemari tanpa menemui seorang pun, ia beranggapan bahwa itu suara hatinya saja. “Rasa letih mungkin membuat pikirannya kacau”, ujarnya di dalam hati. Tapi suara itu terdengar kembali lagi dan lagi. Ternyata, beliau memang benar-benar mendengar sebuah suara. Ia segera kembali ke tempat nabi Ismail berada.

Ketika ia sampai, nabi Ismail sedang menangis sembari menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Dari hentakan kaki Ismail tersebut, kemudian mengalirlah air dari dalam tanah. Siti Hajar kemudian berkata, “berkumpulah”, yang dalam bahasa Arab adalah zam-zam. Akhirnya Hajar dapat minum air dan menyusui anaknya kembali. Kemudian malaikat berkata kepadanya:

لَا تَخَافُوا الضَّيْعَةَ فَإِنَّ هَا هُنَا بَيْتَ اللَّهِ يَبْنِي هَذَا الْغُلَامُ وَأَبُوهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَهْلَهُ

Janganlah kamu takut diterlantarkan, karena di sini adalah rumah Allah, yang akan dibangun oleh anak ini dan ayahnya. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.” (99 Kisah Menakjubkan Dalam Al-Qur’an).

Baca Juga: Abu Manshur Al-Khayyat, Pendikte Al-Quran yang Masuk Surga sebab Mengajarkan Al-Fatihah

Alkisah, nabi Ismail dan Siti Hajar kemudian bermukim di sekitar lembah tersebut. Karena adanya sumber mata air Zamzam, maka orang-orang mulai berdatangan dan tinggal di sana. Diantaranya adalah suku Jurhum yang datang dari jalur bukit Kadaa untuk mencari air. Melalui mereka inilah nabi Ismail belajar bahasa Arab. Selain itu, ia juga belajar di bawah bimbingan ibunya hingga bertemu kembali dengan nabi Ibrahim.

Dari kisah di atas, ada pelajaran yang bisa kita ambil, yakni: seseorang harus patuh dan taat terhadap perintah Allah swt meskipun terkesan sulit untuk dijalani. Yakinlah bahwa ada skenario terbaik yang disiapkan oleh-Nya dibalik perintah tersebut. Jika kita mau sabar dan berusaha, niscaya Allah swt akan memberikan pertolongannya sebagaimana yang diberikan kepada nabi Ismail dan Siti Hajar. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Berbagai Pertanyaan dalam Larangan Jual Beli di Hari Jumat

0
larangan jual beli di hari jumat
larangan jual beli di hari jumat

Dasar hukum larangan jual beli di hari jumat disebutkan dalam surah Al-Jumuah ayat 9. Larangan jual beli dalam ayat ini berlaku sehari penuh, dari pagi hingga malam hari atau hanya di waktu-waktu tertentu, apakah pula semua orang termasuk yang tidak berkewajiban salat jumat juga dilarang untuk melakukan jual beli, dan apakah hanya jual beli yang dilarang?

Jual beli adalah kegiatan yang lumrah dilakukan oleh siapapun, bahkan hal ini sudah menjadi kebutuhan. Namun karena sifat ‘kebutuhan’ tersebut, terkadang seseorang tidak memperhatikan waktu transaksinya. Ada waktu dimana melakukan jual beli tersebut dilarang sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surah Al-Jumuah ayat 9 berikut,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Arrinya: “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kalian unutuk mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Salat Jumat dan Alasan Pemilihan Harinya

Dalam ayat diatas Allah menerangkan bahwa apabila muazin mengumandangkan azan pada hari Jumat, maka hendaklah meninggalkan jual beli dan segala usaha dunia serta bersegera ke masjid untuk mendengarkan khutbah dan melaksanakan salat Jumat, dengan cara yang wajar, tidak berlari-lari, tetapi berjalan dengan tenang sampai ke masjid, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوْهَا تَسْعَوْنَ وَأْتُوْهَا تَمْشُوْنَ عَلَيْكُمُ السَّكِيْنَةَ فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوْا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوْا. (رواه البخاري و مسلم عن أبي هريرة)

Artinya: “Apabila salat telah diiqomahkan, maka janganlah kamu mendatanginya dengan tergesa-gesa. Namun datangilah salat dalam keadaan berjalan biasa penuh ketenangan. Lalu, berapa rakaat yang kamu dapatkan maka ikutilah, sedangkan rakaat yang ketinggalan maka sempurnakanlah”. (Riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari Abū Hurairah)

Waktu yang diharamkan

Ada perbedaan ulama dalam masalah waktu larangan tersebut, kapan dimulai dan kapan pula berakhir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Qurtubi dalam tafsirnya juz 18, hal 108,

وَفِي وَقْتِ التَّحْرِيمِ قَوْلَانِ: إِنَّهُ مِنْ بَعْدِ الزَّوَالِ إِلَى الْفَرَاغِ مِنْهَا، قَالَهُ الضَّحَّاكُ وَالْحَسَنُ وَعَطَاءٌ. الثَّانِي- مِنْ وَقْتِ أَذَانِ الْخُطْبَةِ إِلَى وَقْتِ الصَّلَاةِ، قَالَهُ الشَّافِعِيُّ.

Artinya: “Terkait waktu keharaman jual beli, ada dua pendapat. Pertama, dimulai sejak matahari tergelincir sampai shalat Jumat selesai dilaksanakan. Ini adalah pendapat al-Dhahhak, Hasan dan Atha’. Kedua, dimulai sejak azan khutbah sampai waktu shalat. Ini adalah pendapat Imam Syafii.”

Adapun jual beli yang dilakukan sebelum azan khutbah namun matahari telah tergelincir, hal itu dihukumi makruh, sebab telah masuk waktu pelaksanana salat Jum’at sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya Nihayatu Zain hal 145.

وَيكرهُ ذَلِك قبل الْأَذَان الْمَذْكُور بعد الزَّوَال لدُخُول وَقت الْوُجُوب

Artinya: “Dan dimakruhkan melaksanakan transaksi sebelum azan khutbah setelah tergelincirnya matahari, karena telah masuknya waktu wajib”.

Berdasar keterangan di atas, diketahui bahwa larangan jual beli di hari Jumat itu tidak berlaku untuk sehari penuh, hanya di waktu-waktu yang ditentukan saja, yaitu setelah tergelincirnyna matahari hingga selesai salat jumat dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa larangan tersebut dikarenakan agar seorang muslim menunaikan salat jumat, tidak meninggalkannya dengan alasan jual beli.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pandangan Mata Ketika Shalat, ke Depan atau ke Tempat Sujud?

Siapa saja yang dilarang bertransaksi

Tidak semua orang di waktu Jumat dilarang melakukan jual beli, Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya memaparkan bahwa larangan jual beli di hari Jumat berlaku hanya untuk orang yang berkewajiban salat Jumat. Sedangkan yang bukan wajib salat jumat maka tidak dilarang.

Dalam literatur fikih disampaikan bahwa orang-orang yang berkewajiban salat jumat antara lain laki-laki, bermuqim (tidak dalam keadaan bepergian), sedangkan perempuan dan musafir (laki-laki yang sedang bepergian) maka tidak wajib untuk salat jumat, bisa melakukan salat duhur.

Di bagian (وَذَرُوا الْبَيْعَ) “dan tinggalkanlah jual beli” yang hanya menyebut kata ‘jual’ menurut Al-Qurthubi sudah otomatis mencakup kata ‘beli’ (شراء). Oleh karena itu, pengharaman jual beli tersebut berlaku untuk orang yang berkewajiban salat Jumat, baik sebagai penjual maupun pembeli. Tidak akan terjadi transaksi jika salah satu dari keduanya tidak ada.

Selain itu, masih menurut Al-Qurthubi (Tafsir Al-Qurtubi juz 18 halaman 107), kata الْبَيْعَ “jual” dimention secara khusus karena jual beli merupakan transaksi yang paling banyak menyibukkan orang-orang di pasar. Dengan demikian, berarti bahwa kesibukan yang lain yang sekiranya dijadikan alasan untuk meninggalkan salat Jumat maka hukumnya juga dilarang.

Bagaimana dengan jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak wajib salat Jumat (perempuan misalnya) dengan orang yang wajib salat Jumat (laki-laki)? Syaikh Bakri Syatho dalam I’anatu Thalibin juz 2, hal 110 tetap menghukuminya haram, karena dianggap membantu pekerjaan yang dilarang.

أَمَا إِذَا تَبايَعَ مَعَ مَنْ تَلْزَمُهُ حَرُمَ عَلَيْهِ أَيْضًا، لِإِعَانَتِهِ عَلَى اْلحَرَامِ. وَقِيْلَ: كُرِهَ لَهُ ذَلِكَ.

Artinya:“Adapun bila jual beli dilakukan dengan orang yang wajib melaksanakan sholat Jum’at hukumnya juga haram karna membantunya melakukan perkara haram. Demikian itu ada yang mengatakan hukumnya makruh”.

Ada tambahan lagi, keharaman ini berlaku bagi orang yang berjual beli di selain Masjid. Misal ada orang yang mendengaar adzan, kemudian bergegas ke masjid, dan ketika sedang menunggu salat di masjid ia membeli sesuatu, maka yang demikian itu itu tidak diharamkan. Namun perlu diingat juga jual beli di masjid hukumnya makruh, jadi lebih baik tidak dilakukan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Jual Beli dengan Label Harga, Sah kah?

Apakah hanya jual beli yang dilarang?

Ayat tersebut secara teks hanya menyebutkan jual beli, namun maksudnya adalah segala macam transaksi. Seorang Mufasir kontemporer Syaikh Ali Assobuni dalam Rowa’iul Bayan juz 2 hal 571 menafsirkan {وَذَرُواْ البيع} dengan mengutip pendapat Al-Alusi berkata: “Tinggalkanlah mua’amalah, mencakup jual beli, ijaroh dan lain sebagainya dari berbagai macam transaksi”. Al-Qurtubi berkata: “Kata الْبَيْعَ “jual” secara khusus disebutkan karna  jual beli merupakan kegiatan yang paling banyak menyibukan orang-orang di pasar”

Syaikh Nawawi al-Bantani dalam Nihayatu Zain hal 145 juga menjelaskan hal yang sama.

(و) حَرُمَ على مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمُعَةُ (نَحْوُ مُبَايَعَةٍ) أَي فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّشَاغُلُ عَنْ الْجُمُعَةِ بِأَنْ يَتْرُكَ السَّعْي إِلَيْهَا بِالْبيعِ أَو غَيرِهِ مِنْ سَائِرِ الْعُقُوْدِ وَالصَنَائِعِ وَغيْرِ ذَلِكَ

Artinya: “Dan haram bagi orang yang berkewajiban melaksanakan salat Jumat melakukan semisal  jual beli. Maksudnya haram baginya tersibukkan dengan suatu hal yang dapat memalingkan dari salat Jumat dengan tidak melakukan upaya melaksanakannya, yakni  dengan melakukan transaksi jual beli atau akad-akad yang lain, perindustrian dan sebagainya”

Walhasil, larangan jual beli di hari Jumat dalam ayat tersebut berbatas waktu, yakni sejak tergelincirnya matahari sampai selesai salat Jumat. Adapun yang dilarang jual beli di hari Jumat hanya orang yang berkewajiban melaksanakan salat Jum’at saja. Tansaksi yang diharamkan dalam ayat Al-Jumu’ah ayat 9 tidak hanya jual beli saja, melainkan seluruh transaksi yang menyebabkan seseorang lalai untuk salat Jumat. Wallahu A’lam.

Melacak Sumber Angka 6666 dalam Penghitungan Ayat Al-Quran

0
penghitungan ayat al-Quran
penghitungan ayat al-Quran

Meski sudah terlanjur populer di masyarakat Indonesia sebagai jumlah ayat Al-Quran, tak ada literatur ulum Al-Quran secara umum maupun referensi ilmu ‘add al-ây (penghitungan ayat al-Quran) secara khusus yang menyebutkannya. Ada riwayat Ibnu Abbas yang disebutkan oleh kitab al-Itqan karya as-Suyuthi (w. 911 H) dan at-tahrir wa at-tanwir karya Ibn Asyur (w. 1973 M) itu pun berjumlah 6616 ayat, tidak sampai mencapai 6666.

Sebenarnya dari mana sumber 6666 itu. Apakah angka tersebut memiliki riwayat yang valid dalam ilmu-ilmu ke-Al-Quran-an. Mari kita coba tracking sumber datanya. Baik melalui pelacakan literatur yang muda hingga yang tua.

Pertama Tafsir al-Munir fî al-‘Aqîdah wa asy-Syarî’ah wa al-Manhaj karya Wahbah az-Zuhaili (w. 2015 H), meski mencamtumkan angka 6666 ayat dan rincian angka tema bahasannya, tapi tak ada sandaran riwayatnya. Apalagi dibarengi data angka madzhab Kufah, 6236 ayat. Pun ditambah kitab ini muncul belakangan ketimbang popularitas 6666 ayat dan belum memiliki keterpengaruhan secara massif di bumi Indonesia.

Kedua, Nihâyah az-Zain karya Nawawi al-Jawi (w. 1316 H) meski bergenre fikih, kitab ini mencamtumkan data-data unik nan langka khas ala ulama produktif asal Banten ini. Cakupan 6666 ayat tersebut dipreteli dan dibagi seribuan dengan tema tertentu hingga genap angka 6666. Bisa jadi kitab inilah yang banyak mempengaruhi persepsi penghitungan ayat bagi masyarakat Indonesia, mengingat karya-karya Nawawi al-Jawi (w. 1316 H) menjadi best seller dan bak sego-jangan bagi para santri di Nusantara. Sayangnya data yang dicantumkan di dalamnya tanpa catatan kaki.

Baca juga: Belajar dari Sikap Nabi Yusuf As. dalam Menyikapi Hoaks, Perhatikan Surah Yusuf Ayat 26 dan 29

Ketiga, Hâsyiyah ash-Shâwî ‘alâ Tafsîr al-Jalalain karya Ahmad ash-Shawi (w. 1241 H), seorang ulama Mesir yang bermadzhabkan Maliki dan bertarekatkan Khalwatiyah. Meski tergolong literatur tafsir, karya yang mengomentari Tafsir al-Jalalain ini hanya menyebutkan bilangan saja dalam Mukadimah kitab, tanpa adanya footnote rujukan. Meski yang laris di persada Nusantara adalah tafsir al-Jalalain, komentar-komentar Hâsyiyah ash-Shâwî menjadi andalan rujukan para pengampu kajian tafsir ringkas tersebut. Secara tidak langsung Hâsyiyah ash-Shâwî punya sumbangsih besar dalam memasyarakatkan angka 6666 di Indonesia.

Keempat, Nihâyah al-Îjâz fî Sîrah Sâkin al-Hijâz karya ath-Thahthâwi (w. 1290 H). Buku bergenre sejarah ini melaporkan data angka 6666 dengan mencamtumkan rujukan nama Abû Ishâq ats-Tsa’labî (w. 427 H) tanpa catatan nama buku. Padahal ats-Tsa’labî (w. 427 H) tercatat mempunyai kitab tafsir al-Kasyf wa al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân dan buku ‘Arâis al-Majâlis tentang sejarah para nabi, namun data 6666 ini belum ditemukan di dua buku tersebut.

Lalu rincian data 6666 dalam Nihâyah al-Îjâz sama persis dengan uraian az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir. Anehnya ada perbedaan rincian data mereka berdua yakni 100 ayat berisikan tasbih-tahlil doa dan 66 ayat nasikh-mansukh dengan data milik Nawawi al-Bantani yaitu 100 ayat nasikh mansukh dan 66 ayat dzikir dan doa.

Kelima dan keenam, dua kitab fikih Hanafi yang bernama Hâsyiyah ‘alâ Marâqî al-Falâh Syarh Nûr al-Îdhâh karya Ahmad Thahthawi (w. 1231 H) dan Tabyîn al-Haqâiq Syarh Kanz ad-Daqâiq karya az-Zaila’i (w. 743 H). Dua literatur ini punya tiga kesamaan. Sama-sama buku bergenre fikih madzhab Hanafi. Sama-sama mengurai angka 6666 dengan rincian yang sama persis dengan az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir. Terakhir sama-sama menisbatkan data ini kepada buku yang bernama al-Kasysyâf tanpa menyebutkan nama penulisnya. Meski secara otomatis otak kita langsung tertuju pada sebuah tafsir mahakarya az-Zamakhsyari (w. 538 H). Namun data yang menunjuk angka 6666 tidak ditemukan di sana.

Ketujuh, Ghidzâ‘ al-Albâb Syarh Manzhûmah al-Âdâb karya As-Safârînî (w. 1188 H). Buku tentang asupan jiwa dan menata hati ini memang menyebutkan data angka 6666 saja. Tapi tanpa menafikan adanya pendapat lainnya.

Baca juga; Tafsir Surah Yasin Ayat 41-42: Ketika Manusia Terselamatkan dari Banjir Bandang

Kedelapan, Kasysyâf Ishthilâhât al-‘Ulûm wa al-Funûn karya at-Tahanawi (w. 1158 H). Ada dua poin penting yang dikemukakan mengenai data 6666 dalam buku bergenre ensiklopedi istilah-istilah ini. Pertama angka 6666 masyhur di kalangan Qurra dan Huffazh. Kedua, bilangan 6666 merupakan angka penarik jiwa sebagaimana yang diungkapkan oleh syair berbahasa Persia yang dinukilnya.

Tidak menutup kemungkinan yang dimaksud dua buku fikih Hanafi yang jadi sumber rujukan itu buku Kasysyâf ini, bukan karya az-Zamakhsyari (w. 538 H). Kalau memang benar buku Kasysyâf ini akan ditemukan kejanggalan. Tahun wafat penulis Kasysyâf ini adalah 1158 H, tapi salah satu dari dua penulis buku fikih Hanafi yang menukilnya, az-Zaila’i wafat tahun 743 H. Aneh jika yang penukil wafat 4 abad lebih dahulu ketimbang yang dinukil.

Kesembilan, al-Kâmil fî al-Qirâât al-‘Asyr wa al-Arba’în az-Zâidah ‘alaihâ karya al-Hudzali (w. 465 H). Buku ini ada sejak abad kelima hijriah, berarti kitab ini bisa dikatakan sezaman dengan tafsir al-Kasyf wa al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân karya Abû Ishâq ats-Tsa’labî (w. 427 H). Bisa disimpulkan angka cantik 6666 ternyata sudah ada sejak abad kelima. Tapi keberadaan angka cantik 6666 dalam kitab dinilai tidak muktabar, bahkan ditolak mentah-mentah. Gawatnya lagi angka cantik 6666 ini dinisbatkan pada sekte Syiah Rafidhah. Alhasil angka 6666 ayat sudah dikritisi habis sejak abad 5 hijriah.

Bilangan 6666 ayat memang angka cantik dan mudah diingat. Namun literatur sumber datanya mayoritas berasal dari luar disiplin ulum Al-Quran. Apalagi secara spesifik literatur ilmu ‘add al-ây (penghitungan ayat). Nyaris hanya Tafsîr Al-Munîr, Hâsyiyah ash-Shâwî, dan al-Kâmil fî al-Qirâât yang berada konsen di wilayah keilmuan Al-Quran. Data yang disajikan di dalamnya pun disinyalir kurang valid asal periwayatnnya. Terlebih lagi dalam al-Kâmil fî al-Qirâât bukannya bisa dijadikan pijakan, malah dat angka 6666 “diinjak-injak”. Penulis menyimpulkan validitas sumber data angka 6666 dalam penghitungan ayat Al-Quran perlu dikaji ulang. [] Wallâhu A’lam