Beranda blog Halaman 390

Imam An-Nawawi: Pembaca Al-Qur’an Perlu Membayangkan Allah Hadir Di Hadapannya

0
Imam An-Nawawi: Pembaca Al-Qur’an Perlu Membayangkan Allah Hadir Di Hadapannya
Imam An-Nawawi: Pembaca Al-Qur’an Perlu Membayangkan Allah Hadir Di Hadapannya

Beberapa ulama’ ahli ilmu Al-Qur’an memberikan ilustrasi, bahwa interaksi pembaca Al-Qur’an dengan Allah adalah gambaran seorang hamba yang berdialog dengan Allah. Namun Imam An-Nawawi menyatakan lebih dari itu. Interaksi pembaca Al-Qur’an dengan Allah adalah bentuk seorang hamba yang tidak sekedar berdialog saja, tapi membayangkan Allah berada di depannya. Dengan ini Imam An-Nawawi menyampaikan gagasan yang barangkali cukup jarang diungkapkan oleh ahli ilmu Al-Qur’an, yaitu membawa “ihsan” pada praktek membaca Al-Qur’an.

Menghadirkan Allah Tatkala Membaca Al-Qur’an

Mengumpamakan membaca Al-Qur’an sebagai bentuk interaksi dengan Allah, seperti dengan menyatakan bahwa membaca Al-Qur’an sama seperti berdialog dengan Allah, adalah sesuatu yang  tidak asing lagi di dalam kajian ilmu Al-Qur’an. Salah satu pernyataan yang cukup terkenal terkait hal ini berbunyi:

مَنْ أَرَادَ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللهُ فَعَلَيْهِ بِالْقُرْآنِ

Siapa yang ingin Allah berbincang-bincang dengannya, maka hendaknya membaca Al-Qur’an.

Baca juga: Memahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Belum ada keterangan yang jelas mengenai sumber pernyataan ini. Ada yang menyatakan bahwa ini adalah sabda Nabi, dan ada yang menyatakan bahwa ini adalah pernyataan ulama’ salaf. Yang jelas kandungan pernyataan ini sesuai dengan apa yang diterangkan para ulama’ mengenai bahwa salah satu adab di dalam membaca Al-Qur’an adalah, memberi tanggapan kepada ayat yang kebetulan dibaca. Keberadaan tanggapan-tanggapan inilah yang membuat pembacanya seakan berdialog dengan Allah.

Imam An-Nawawi di dalam kitab At-Tibyan dan Al-Adzkar juga menyinggung perihal interaksi seorang hamba dengan Allah di dalam praktik membaca Al-Qur’an. Imam An-Nawawi menyatakan, hal pertama yang harus dilakukan seseorang tatkala membaca Al-Qur’an adalah, berniat ikhlas karena Allah di dalam membaca Al-Qur’an.

Selanjutnya ia perlu menghadirkan kesadaran di dalam hatinya, bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah. Maka hendaknya ia bersikap layaknya orang yang dapat melihat Allah. Apabila tidak bisa, ia harus benar-benar meyakini bahwa Allah melihatnya (Al-Adzkar/106).

Lewat pernyataan ini Imam An-Nawawi seakan hendak menyampaikan, bahwa pembaca Al-Qur’an di dalam membaca Al-Qur’an tidak hanya perlu memposisikan dirinya sebagai hamba yang sedang berkomunikasi dengan tuhannya, tapi juga berhadapan langsung. Sehingga pembaca tidak hanya menfokuskan pikirannya saja di dalam memahami serta menanggapi setiap ayat yang dibaca, akan tetapi juga memposisikan tubuhnya untuk bersikap rendah hati sebab merasa berhadapan langsung dengan Allah.

Baca juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Kesucian Jiwa dalam Surah An-Nur Ayat 21-22

Hadirnya Allah Di Hati Sebagai Bentuk Keikhlasan

Pernyataan Imam An-Nawawi di atas mirip dengan praktik ihsan yang disinggung oleh Nabi Muhammad, di dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari Abi Hurairah dan berbunyi:

قَالَ مَا الإِحْسَانُ قَالَ « أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ »

Jibril berkata: “Apa ihsan itu?” Nabi berkata: “Hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Apabila engkau tidak dapat merasa melihat-Nya, maka sesungguhnya Ia melihatmu” (HR. Imam Bukhari).

Ihsan dapat diartikan mengerjakan sesuatu dengan cara yang paling baik. Imam Ibn Hajar tatkala membahas hadis di atas menyatakan, salah satu bentuk ihsan dalam beribadah adalah mengerjakan ibadah tersebut dengan ikhlas, mencurahkan perhatian serta mendekatkan diri kepada Allah. Dan hal itu dapat dicapai dengan salah satu dari dua cara.

Cara pertama dan yang paling utama adalah, menghadirkan Allah di dalam hati seperti seakan-akan si hamba menyaksikan Allah dengan mata kepalanya sendiri. Cara yang kedua adalah menghadirkan di dalam hati, bahwa Allah melihat dirinya dan setiap apa yang ia kerjakan. Dua cara inilah yang kemudian akan menarik rasa takut serta makrifat kepada Allah (Fathul Bari/1/80).

Baca juga: Insecure dengan Potensi Diri? Perhatikan Tafsir Surah Al-Isra Ayat 84!

Lewat penjelasan Ibn Hajar di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa membayangkan Allah ada di hadapan kita tatkala membaca Al-Qur’an, adalah satu cara untuk ikhlas dalam membaca Al-Qur’an. Dan ikhlas inilah yang menurut Imam An-Nawawi, hal yang pertama kali harus dilakukan oleh seseorang tatkala hendak membaca Al-Qur’an.

Imam An-Nawawi membawa kita untuk lebih dalam dalam membangun interaksi dengan Allah tatkala membaca Al-Qur’an. Dari yang sebelumnya berdialog dengan Allah, menuju berhadapan langsung dengan Allah. Wallahu a’lambishshowab.

Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Al-Quran

0
Konsep Sinonimitas (Taraduf)
Konsep Sinonimitas (Taraduf)

Konsep taraduf atau sinonimitas dalam Al-Qur’an merupakan bagian diskursus ulumul qur’an yang menarik untuk dikaji. Karena ini berkaitan dengan pemaknaan secara mendalam terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, terutama kata yang memiliki makna semantik serupa. Bisa dikatakan bahwa ilmu taraduf adalah salah satu kunci penting dalam memahami makna Al-Qur’an.

Kendati demikian, sebenarnya para ulama tidak memiliki definisi paten-yang disepakati mengenai konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an. Imam Sibawaih (w. 180 H), tokoh yang dianggap sebagai peletak konsep taraduf dalam ilmu bahasa, membagi konteks hubungan antara lafaz dan makna menjadi tiga macam, yakni: lafaz beragam yang memiliki beragam makna pula, satu lafaz yang memiliki beragam makna, dan beragam lafaz yang memiliki satu makna.

Menurut Muhammad Nuruddin dalam bukunya al-Taraduf fi al-Qur’an al-Karim, pembagian Imam Sibawaih tersebut kemudian berkembang menjadi konsep musytaraq lafzi dan mutaradif atau konsep sinonimitas.  Pada periode selanjutnya, konsep ini semakin berkembang dan mulai digunakan dalam studi Al-Qur’an. Misalnya, Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) mendefinisikan taraduf dengan beberapa kata yang memiliki makna serupa.

Baca Juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

Imam al-Suyuthi (w. 911 H) berpendapat bahwa mutaradif  ialah beberapa kata dengan satu arti, namun ia membatasi pada kelompok kata yang mempunyai batasan tertentu, seperti kata al-insan dengan al-basyar. Kedua kata ini mempunyai batasan dari segi zat dan sifatnya. Sedangkan bagi al-Jurjani (w. 392 H), mutaradif ialah setiap kata yang memiliki satu makna dan memiliki beberapa nama. Artinya, mutaradif merupakan antonim dari musytarak (Kitab al-Ta’rifat).

Dua Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Al-Qur’an

Kehadiran konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an menuai berbagai respons dari kalangan ulama, baik era klasik, pertengahan maupun kontemporer. Jika kita telusuri secara mendalam, maka setidaknya ada dua pandangan umum para ulama tentang konsep ini, yaitu: pandangan yang menetapkan adanya konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an dan pandangan yang menolak adanya konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an.

Secara teologis, kedua kelompok di atas memiliki argumentasi masing-masing. Bagi kalangan yang mendukung konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an, penggunaan banyak simbol untuk satu makna merupakan bagian dari kemukjizatan dan keindahan sastra Al-Qur’an. Sedangkan bagi kelompok lainnya, penggunaan banyak simbol untuk satu makna bertentangan dengan kemukjizatan Al-Qur’an. Karena tidak mungkin Allah menciptakan banyak simbol hanya untuk satu makna.

 Diantara tokoh yang mendukung adanya konsep sinonimitas dalam bahasa Arab adalah Ibnu Jinny (w. 392 H) dan gurunya Abu ‘Ali al-Farisy (w. 377 H). Menurut keduanya, dalam penggunaan sehari-hari jika setiap kata memiliki makna berbeda dengan lafaz lain, maka tidak mungkin mengungkapkan suatu hal dengan ungkapan selain lafaz yang seharusnya. Namun pada kenyataannya, suatu hal sering diungkapkan dengan banyak ungkapan sehingga mudah dipahami.

Untuk mendukung konsep sinonimitas, Ibnu Malik at-Tha’i al-Jayani (w. 672 H) pernah menghimpun kata-kata yang memiliki makna yang sama. Diantara contohnya adalah kata-kata yang merujuk pada makna qalīlun (sedikit), yaitu nazrun, ḥaqīrun, khasīsun, qalīlun, watḥun, tāfihun, yasīrun, syaqnun, naqidun, bakhsun, zamirun, jaḥidun, dan ṡamadun. Semua kata ini memiliki makna yang sama, yakni sedikit (Kitab al-Alfadz al-Mukhtalifah fi al-Ma’ani al-Mu’talifah).

Sedangkan tokoh yang menentang adanya konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an diantaranya adalah Ibnu al-A’raby (w. 231 H). Ia menyatakan bahwa setiap dua huruf diletakkan oleh orang Arab pada maknanya sendiri-sendiri, masing-masing dari kedunya mempunyai makna yang tidak ada pada yang lainnya, terkadang makna itu kita ketahui dan terkadang makna itu samar bagi kita. Namun tidak lazim bagi orang Arab tidak mengetahuinya.

Selanjutnya, Tsa’labi (w. 291 H) menyatakan – sebagaimana dikutip oleh al-Munajjad – bahwa semua yang disangka orang sinonim sesungguhnya itu berbeda yang dibedakan oleh sifat-sifatnya, seperti dalam kata al-insan dan kata al-basyar. Yang pertama adalah nama yang digambarkan pada sifat lupa atau sifat jinak dan senang, sedang yang kedua digambarkan bahwa ia memiliki kulit yang tampak jelas.

Pandangan inilah yang kemudian mempengaruhi mufasir-mufasir modern seperti Bint al-Syati’. Menurutnya – dalam al-I’jaz al-Bayan fi al-Qur’an jika ada dua lafaz yang digunakan untuk satu makna atau benda, niscaya masing-masing lafaz memiliki kekhususan dibandingkan yang lainnya. Sebab jika tidak demikian, maka lafaz yang lain itu sia-sia (kehadirannya tidak bermakna).

Baca Juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Singkatnya, meskipun dua lafaz digunakan untuk menyebutkan suatu hal yang sama, namun sebenarnya keduanya memiliki karakteristik tersendiri. Pada aspek tertentu mungkin kedua lafaz tersebut memiliki beberapa aspek kesamaan, namun pada aspek yang lain keduanya tetap berbeda. Bisa dikatakan bahwa keduanya memiliki tingkat kesamaan tertentu dan memiliki tingkat perbedaan tertentu pula.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa perbedaan pendapat antara ulama mengenai konsep sinonimitas dalam Al-Qur’an bermuara pada cara memaknai sinonimitas itu sendiri. Jika sinonimitas diartikan sebagai kesamaan mutlak, maka yang benar adalah tidak ada sinonimitas. Namun jika yang dimaksud dari sinonim adalah kesamaan pada kadar tertentu (tidak sama seutuhnya), maka bisa dikatakan bahwa sinonimitas itu memang ada. Wallahu a’lam.

Memahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

0
Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik
Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Dalam kajian dasar rasm Al-Qur’an, sebagaimana dijelaskan Al-Zarqany dalam Manahil al-‘Irfan dan Al-Farmawy dalam Rasm al-Mushaf wa Naqthuhu, sedikitnya ada dua topik yang terjadi selisih pendapat tentang rasm yang dilematik. Pertama berkaitan dengan aspek tauqify, dimana sebagian ulama menganggap rasm ‘usmany sebagai sesuatu yang tauqify, taken for granted, dan yang lain menganggapnya sebagai kajian kebahasaan umum.

Kedua, topik yang berkaitan dengan hukum penerapan rasm. Yakni mereka yang sebelumnya sepakat menganggap rasm adalah tauqify, tidak kemudian sepakat pada keharusan penerapan rasm dalam penulisan Al-Qur’an. Hingga muncullah empat pendapat berbeda: wajib, jawaz, tafsil dan haram.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf

Selisih pendapat semacam ini sangat penting terkait dengan praktik yang tersaji di lapangan. Penulisan Al-Qur’an, baik secara tradisional maupun modern, dalam mushaf atau pun turats lainnya, nyatanya banyak yang tidak menerapkan aturan dasar yang ada, namun justru sebaliknya, menganut sistem penulisan Arab konvensional (baca: rasm imla’i).

Indonesia mungkin cukup diuntungkan dengan selisih pendapat ini. Bagaimana tidak? Kesadaran ber-rasm baru muncul setelah tahun 1983, pasca disusunnya Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (MASI). Buktinya, diskusi mengenai rasm terus meningkat seiring bertambahnya waktu. Sebelumnya, ia hanya menjadi konsumsi kalangan tertentu saja.

Tak heran jika selisih pendapat ini menjadi payung hukum legal atas pemilihan model rasm. Sebuah maqalah menyebutkan, ikhtilaf al-a’immah rahmah (selisih pendapat para imam adalah rahmat). Sehingga, tidak jadi masalah mengikuti salah satu dari dua pendapat yang ada. Lagi pula, keduanya mu‘tabar karena ulama pengusungnya kredibel dan argumentatif sekelas Ibn Khaldun dan Abu Bakr al-Baqilany.

Baca juga: Jejak Manuskrip Al-Qur’an Nusantara dan Problem Penulisan Rasm Imla’i

Namun demikian, sangat disayangkan apabila selamanya berpijak pada pendapat imla’iy dan tidak sedikit pun berusaha ‘naik kelas’, menuju ‘usmany. Mengapa demikian? Ada sekian banyak tulisan ulama yang menyebutkan keistimewaan yang dimiliki rasm ‘usmany. Namun, karena terbatasnya ruang, berikut penulis nukilkan beberapa diantaranya.

Rasm ‘usmany memiliki sejarah panjang yang terkait langsung dengan proses kodifikasi Al-Qur’an di setiap fasenya: Rasulullah Saw., Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Usman. Mengaplikasikannya dalam penulisan akan menumbuhkan ghirah (sentimen) yang lebih dalam beragama hingga terbentuk lah kedekatan emosional terhadap Al-Qur’an sebagai produk rasm ‘usmany.

Historisitas ini juga menjelaskan pentingnya ketersambungan sanad Al-Qur’an yang dimiliki setiap muslim. Rasm ‘usmany memiliki karakteristik yang berbeda dari imla’i. Banyak diantaranya yang justru berseberangan dengan penulisan semestinya. Oleh karenanya, tidak tepat jika mendasarkan Al-Qur’an pada tulisan, akan tetapi pada talaqqy (bertemu langsung kepada guru) dan musyafahah (dari mulut ke mulut).

Dua hal ini yang kini menjadi problem dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. Banyak umat muslim yang mencukupkan pada tulisan Arab atau bahkan transliterasi latin. Alhasil, makhraj, sifat dan karakter hurufnya menjadi amburadul. Padahal sebuah hadis menyebutkan,

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berdusta atas diriku, hendaklah ia mempersiapkan tempatnya di neraka!”  (HR. Bukhari)

Dan membaca Al-Qur’an tidak seperti yang diajarkan Rasulullah Saw., adalah dusta atas diri beliau.

Keistimewaan lain yang dimiliki rasm ‘usmany adalah relevansinya dengan masalah qira’ah. Qira’ah di sini bukan sekedar bacaan, melainkan sebuah cara yang dipilih oleh seorang imam dalam membaca Al-Qur’an, yang membedakannya dengan imam lain. Dalam Al-Qur’an dikenal setidaknya tujuh cara pembacaan, yang kesemuanya sedapat mungkin terakumulasi dalam satu narasi penulisan rasm ‘usmany.

Baca juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Keistimewaan lain yang siginifikan dalam membedakannya dengan rasm imla’iy adalah rahasia di balik setiap huruf yang dituliskan. Ulama percaya bahwa inkonsistensi penulisan dalam rasm ‘usmany bukan sekedar variasi semata. Ia dimaksudkan karena suatu alasan yang tak seorang pun mampu menjangkaunya dengan nalar.

Inkonsistensi ini sebagaimana dapat dijumpai pada penulisan kata رَحْمَت, yang dituliskan dengan ta’ majrurah dalam tujuh tempat: QS. Al-Baqarah: 218, QS. Al-A‘raf: 56, QS. Hud: 73, QS. Maryam: 2, QS. Ar-Rum: 50, dan dua tempat di QS. Az-Zukhruf: 32.

Tapi apalah arti keistimewaan jika, sekali lagi, terjadi selisih pendapat di dalamnya. Mereka yang memilih imla’iy sudah barang tentu memiliki argumentasi dalam mendukung pilihannya, sekaligus counter terhadap argumentasi lawannya, ‘usmany, sebagaimana mereka yang memilih ‘usmany juga melakukan hal yang sama. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Pemikiran Tafsir Asghar Ali Engineer Tentang Perempuan dalam Al-Qur’an

0
Asghar Ali Engineer
Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer merupakan seorang pemikir, teolog, dan feminis yang berasal dari India. Engineer merupakan gelar insinyur yang melekat dan menjadi sebutan di belakang namanya serta memberikan kesan historis. Asghar Ali, lahir di Rajashtan, India pada tanggal 10 Maret 1939. Melalui ayahnya, Asghar Ali belajar tentang ilmu-ilmu keislaman seperti teologi, tafsir hadis serta fiqhi. Perjalanan pendidikannya diawali dari pendidikan formal tingkat dasar hingga universitas. Asghar Ali mendapat gelar dalam bidang tekhnik sipil di negara kelahirannya dan banyak berpartisipasi dalam berbagai gerakan perempuan.

Barangkali pemikiran Asghar Ali sedikit banyak terpengaruh dari latar sejarah kelahirannya yang dilahirkan pada waktu yang bersamaan dengan kondisi sosio-politik yang tidak menentu.

Asghar Ali hidup di tengah kemelut pergolakan etnis, konflik agama, pertikaian politik dan kesenjangan ekonomi di India. Dengan kondisi yang seperti itu bukan tidak mungkin memberikan atmosfir dalam perkembangan pemikirannya kemudian. Termasuk ketika membicarakan tentang perempuan.

Ada hal yang menarik dari pendapat Asghar yang juga senada dengan Amina Wadud dan Riffat Hassan, bahwa dalam pandangan mereka, laki-laki dan perempuan setara di mata Allah, hanya mufassirlah –yang hampir semuanya laki-laki- yang memberikan penafsiran terhadap Al-Qur’an yang kadang kurang tepat.

Baca juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Kesucian Jiwa dalam Surah An-Nur Ayat 21-22

Al-Qur’an Memuliakan Perempuan Setara dengan Laki-laki

Asghar Ali mengatakan bahwa Al-Qur’an memuliakan perempuan setara dengan laki-laki, namun semangat itu ditundukkan oleh patriarki yang telah mendarah daging dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan perempuan yang digambarkan dalam Al-Qur’an merupakan peningkatan nyata dari keadaan di Arab pra-Islam yang berlangsung sebelumnya. Hal tersebut menjadi salah satu sebab adanya penafsiran terhadap Al-Qur’an yang terkesan terlalu patriarki.

Berikut ini, menurut Asghar Ali tiga hal penting yang sangat disoroti ketika memahami Al-Qur’an dalam hubungannya dengan persoalan perempuan:

Pertama, Al-Qur’an mempunyai dua aspek, normatif dan kontekstual. Aspek normatif merujuk kepada sistem nilai dan prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an, persamaan, kesetaraan dan keadilan. Bersifat internal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai ruang dan waktu. Aspek kontekstual berkaitan dengan ayat-ayat yang turun untuk merespon problem sosial tertentu pada masa itu. Seiring waktu ayat ini dapat diabrogasi. Adapun aspek normatif dekat dengan kesucian dan aspek konstektual lebih dekat kepada manusia. Dilihat dari aspek normatif terlihat betapa Al-Qur’an menegakkan prinsip persamaan derajat. Namun, dilihat dari aspek kontekstual terdapat ruang Al-Qur’an mendudukkan laki-laki satu tingkat di atas perempuan.

Kedua, penafsiran al-Qur’an sangatlah tergantung pada persepsi, pandangan dunia, pengalaman dan latar belakang sosio-kultural sang penafsir. Penafsiran selalu tergantung pada posisi apriori seseorang. Sehingga penafsiran murni menjadi tidak mungkin karena terpengaruh oleh latar belakang sosio-historis yang berbeda.

Ketiga, Makna ayat-ayat Al-Qur’an terbentang dalam waktu. Sehingga penafsiran klasik dengan kontemporer sangatlah berbeda. Karena Al-Qur’an seringkali memakai bahasa metafora yang memiliki makna ambigu. Ambiguitas dimaksudkan untuk membuka peluang yang lebih fleksibel dalam melakukan perubahan yang kreatif dan konstruktif.

Baca juga: Prinsip Tafsir Husein Muhammad dalam Ayat Relasi Laki-laki dan Perempuan (2)

Pendapat ini menunjukkan elaborasinya tentang pembedaan antara ayat-ayat normatif dan konstektual sangatlah penting. Melalui pembedaan tersebut dapat dimengerti dan dapat dibedakan antara nilai-nilai fundamental yang menjadi spirit dasar Al-Qur’an dan nilai-nilai konstektual yang terikat oleh ruang dan waktu sehingga tidak berlaku universal.

Penafsiran Asghar Ali Terhadap Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34

 Contoh pemahaman Asghar Ali dalam QS. An-Nisa (4): 34

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ وَٱلَّٰتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَٱهۡجُرُوهُنَّ فِي ٱلۡمَضَاجِعِ وَٱضۡرِبُوهُنَّۖ فَإِنۡ أَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُواْ عَلَيۡهِنَّ سَبِيلًاۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيّٗا كَبِيرٗا ٣٤

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan (istri), oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.

Menurut Asghar Ali, QS. an-Nisa (4): 34, tidak boleh dilepaskan dari konteks sosial pada waktu diturunkannya. Menurutnya kesadaran sosial pada zaman Nabi Muhammad Saw tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Dalam pandangan Asghar Ali keunggulan laki-laki terhadap perempuan bukan lagi keunggulan jenis kelamin, tetapi keunggulan fungsional, karena laki-laki (suami) mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk perempuan (istri). Ketika Al-Qur’an menyebutkan keunggulan laki-laki di atas perempuan, menurut Asghar Ali disebabkan oleh dua hal.

Pertama, kesadaran perempuan pada masa itu masih rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajibannya. Kedua, laki-laki menganggap dirinya sendiri lebih unggul disebabkan kekuasaan dan kemampuannya mencari nafkah.

Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34: Mengakui Keberadaan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga

Ketika kesadaran sosial kaum perempuan sudah tumbuh bahwa peran domestik yang dilakukan perempuan harus dinilai dan diberi ganjaran sesuai dengan yang diajarkan Al-Qur’an, bukan semata-mata kewajiban yang harus dilakukan.

Maka perlindungan dan nafkah yang diberikan laki-laki kepada perempuan bukan lagi dianggap sebagai keunggulan laki-laki. Untuk itu peran domestik perempuan, diimbangi oleh laki-laki dengan pemberian nafkah dan perlindungan kepada istrinya. Dengan jalan pemikiran demikian Asghar Ali mengatakan bahwa pernyataan ar-rijālu qawwāmūna ‘ala an-nisā’ bukanlah pernyataan normatif, akan tetapi pernyataan kontekstual. wallahu a’lam []

Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Kesucian Jiwa dalam Surah An-Nur Ayat 21-22

0
tafsir sufistik Ibn Ajibah tentang kesucian jiwa
tafsir sufistik Ibn Ajibah tentang kesucian jiwa

Perkembangan penafsiran al-Qur’an dimulai sejak masa Islam awal, dimana Nabi Muhammad sebagai pemegang otoritas, hingga dewasa ini terus mengalami dinamika dan perkembangan yang disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan masyarakat. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah isyarat bathiniyah atau sering disebut dengan tafsir sufistik atau tafsir isyari. Salah satu tokoh tafsir yang memiliki corak tersebut yaitu Ibn Ajibah. Berikut contoh tafsir sufistik Ibn Ajibah

Az-Zarqani dalam Manāhil al-‘Irfān mendefinisikan tafsir isyari dengan usaha menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an bukan secara zahir, namun dengan isyarat tersembunyi yang menampakan pemeliharaan suluk dan tasawuf, serta memungkinkan untuk mengaplikasikan antara isyarat tersembunyi dan zahir. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibn ‘Ajibah dalam al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd (1, 35).

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (1): Definisi, Klasifikasi dan Prasyarat yang Harus Dipenuhi

Legalitas Isyarat Sebagai Tafsir Al-Quran

Dalam Manāhil al-‘Irfān (2, 81) disampaikan bahwa eksistensi tafsir sufistik yang beraliran isyari sebagai pendekatan dalam tafsir memang masih kontroversi, ada golongan yang menerima dan ada yang menolak meski demikian, legalitasnya telah diakui oleh ulama terdahulu dengan kriteria yang sangat ketat. Tujuan lahirnya aliran tafsir tersebut ialah sebagai pendidikan/pengembangan keyakinan melalui kalam Allah (Al-Qur’an).

Ibn Ajibah, mufasir aliran sufi menegaskan bahwa legalitas tafsir sufistik berdasarkan pada moralitas suluk, akhlak, maqamat, hasil (tsamrah) aktifitas bathiniyah, serta pendidikan kesufian secara sempurna. Dengan demikian, usaha menafsirkan dengan pendekatan isyari (sufi) hanya untuk membersihkan ruh dan jiwa seseorang, sekaligus menghidupkan hatinya dengan cahaya ma’rifatullah. Lebih lanjut tentang tafsir sufistik Ibn Ajibah, tergambar dalam penjelasan berikut

Pendapat Ibn Ajibah di atas secara tegas dan lugas digambarkan oleh beliau ketika menafsirkan Q.S Al-Nur [24]: 21-22 di dalam tafsirnya, al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd.

يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُواتِ الشَّيْطانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُواتِ الشَّيْطانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ بِالْفَحْشاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ مَا زَكى مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَداً وَلكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشاءُ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (21) وَلا يَأْتَلِ أُولُوا الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبى وَالْمَساكِينَ وَالْمُهاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (22)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan, barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, sesungguhnya setan itu selalu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang munkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan munkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui[21]. Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampuni?. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang [22]. (QS. An-Nur [24]: 21-22)

Baca Juga: Mengenal Corak Tafsir Sufistik (2): Sejarah dan Periodisasi Perkembangan Tafsir Sufistik

Konseptualisasi Kesucian Jiwa dalam QS. An-Nur [24]: 21-22

Tafsir sufistik Ibn Ajibah memaparkan bahwa secara global dua ayat tersebut berbicara terkait akhlak orang mukmin ketika mendengar berita bohong (hadits al-Ifki) dari orang-orang munafik. Selain itu, ada kewajiban untuk mendatangkan/berakhlak dengan apa yang telah disebutkan di dalam ayat tersebut. Wahbah Az-Zuhaili mencantumkan kedua ayat tersebut dengan 10 ayat sebelumnya, sekaligus memberi judul Qishatul Ifki (kisah berita bohong yang diarahkan sescara khusus kepada Aisyah).Tafsīr al-Munīr Lizuhailiy (18, 171-177).

Namun, di tangan Ibn ‘Ajibah ayat tersebut memberikan kesan sebagai proses menyucikan jiwa, meliputi: pertama, hendaknya seorang sālik (orang yang  menempuh pemurnian jiwa) tidak menempuh jalan yang digunakan oleh setan, bahkan dalam hal  ini wajib meninggalkannya. Karena jalan yang ditempuh oleh setan, di antaranya, kesombongan/keinginan kuat terhadap dunia dan sifat marah akan mencegah kebaikan, yang dimana tidak hanya merusakan jiwa, tetapi akan merusak hubungan sosial.

Larangan tersebut semakin kuat tatkala Allah melanjutkan redaksi ayat dengan وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُواتِ الشَّيْطانِ. Teks tersebut mempunyai makna taqrir (kepastian) dan mubalaghah (makna lebih/memperkuat). Larangan tersebut dikarenakan setan selalu mengerjakan perbuatan yang keji seperti pelit dan kikir; serta perbuatan yang munkar seperti sifat marah dan keinginan yang kuat kepada dunia.

Kesucian jiwa tidak hanya ditempuh melalui aktifitas vertikal –hubungan dengan Allah-, namun bisa dikerjakan dengan menjalin hubungan baik sesama makhluk hidup (horizontal). Kita dapat melihat bagaimana Ibn ‘Ajibah menafsirkan kata “al-Fahsya” dengan contoh kikir dan pelit.

Kedua, ke-tawadhu-an (rendah hati dan tidak sombong). Jalan kedua ini melihat dari hakikat seorang sālik yang tidak akan terlepas dari perlindungan, karunia, dan kemurahan Allah. Sifat yang harus dimiliki dalam poin ini ialah penghambaan yang serius, tidak merasa diri paling baik di antara yang lain; sehingga kesucian jiwa seorang sālik tidak akan melahirkan kesombongan dan tidak akan melihat dirinya lebih unggul dari pada yang lain, karena pada dasarnya apa pun yang terjadi di dunia merupakan kehendak dan kekuasaan Allah.

Oleh karena itu, apabila dihubungkan dengan Allah, maka kesucian jiwa merupakan kehendak Allah, baik jalan yang ditempuh melalui perantara dengan talaqqi bersama guru, atau tanpa perantara. Yang terpenting adalah semuanya bersumber dari Allah.

Ketiga, tidak boleh berjanji untuk tidak memerhatikan kerabat. Keempat, memaafkan dan berlapang dada. Dua poin terakhir ini termaktub dalam ayat 22. Ayat tersebut diturunkan ketika Abu Bakar as-Siddiq yang bersumpah tidak akan memberikan apa pun kepada saudaranya –Musthah ibn Usatsah- karena ia turut serta dalam kasus tuduhan berita bohong kepada Aisyah r.a. Turunnya ayat tersebut, sebagai teguran bahwa sikap yang lebih baik ialah memaafkan dan berlapang dada.

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nur Ayat 22 dan Kisah Kekecewaan Abu Bakar As-Siddiq

Adapun bagi seorang sufi, khususnya Ibn ‘Ajibah, ayat tersebut memberikan isyarat, penjelasan dan pendidikan dari Allah bagi seorang guru (Mursyid) supaya tidak meninggalkan sesama (murid) yang mempunyai keterbatasan/masalah dalam hal menuju Allah, dan selalu terbuka pintu maaf sekaligus mempunyai kepedulian lebih. Karena pada dasarnya orang yang mempunyai kecenderungan dan kesanggupan untuk memperhatikan sesama tidak akan mengasingkan dirinya untuk mendidik manusia menuju jalan ma’rifatullah.

Konsep kesucian jiwa (tazkityatun nafs) dalam tafsir sufistik Ibn Ajibah QS. An-Nur [24]: 21-22 ini tidak terlepas dari pokok-pokok ajaran tariqat yang ia anut yaitu Thariqat Syadziliyah. Meliputi, (1) taqwa kepada Allah secara konsisten, sabar, dan tabah; (2) berusaha mengikuti sunah-sunah Rasul; (3) mengosongkan hati dari selain Allah; (4) ridha kepada Allah (ikhlas, qana’ah, tidak rakus), menerima pemberian Allah; (5) mengembalikan semua urusan kepada Allah.

Disamping itu, apabila diperhatikan secara mendalam, konsep  tersebut tidak hanya berorientasi pada hubungan dengan Allah (hablum min Allah), tetapi mencakup hubungan dengan sesama (hablum min al-Nas). Maka, tidak berlebihan untuk menuju kesucian jiwa harus diperoleh dengan kesholehan spiritual dan sosial. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yasin Ayat 68: Tafakkur Siklus Umur Manusia

0
Surah Yasin ayat 68
Surah Yasin ayat 68

Sebelumnya telah dinyatakan bahwa Allah Swt Maha Kuasa terhadap para pendosa, bahkan seluruh manusia. Allah bisa saja seketika membutakan atau merubah wujud mereka yang berbuat dosa, namun Ia menundanya sampai Hari Pembalasan tiba. Sebagai gambaran kecil akan hal tersebut, Allah menyuruh kita merenungi perubahan manusia dalam siklus umurnya. Berikut tafsir Surah Yasin ayat 68:

وَمَن نُّعَمِّرْهُ نُنَكِّسْهُ فِي الْخَلْقِ ۖ  أَفَلَا يَعْقِلُونَ

Barangsiapa yang Kami panjangkan umurnya, niscaya Kami kembalikan dia kepada kejadian-(nya). Maka apakah mereka tidak memikirkan?

At-Tabataba’i menjelaskan, kata nu’ammir yang seakar dengan kata umur memiliki arti at-tathwil fil umur, yakni memanjangkan umur. Sementara kata nunakkis yang berasal dari kata tankis berarti membalikkan sesuatu dari atas ke bawah. Mengesankan bahwa orang yang berumur seperti terbalik penciptaannya. Fisik yang kuat akan kembali lemah. Ilmu dan ingatan akan mulai memudar.

Menurut Ar-Razi, ayat di atas turun berkaitan dengan ucapan orang kafir, “Kami menempati dunia hanya sebentar. Andaikan Engkau memanjangkan umur kami, maka Engkau tidak akan mendapati kekurangan pada diri kami.”

Maka melalui ayat tersebut Allah seakan-akan hendak mengatakan, “Apakah kamu tidak memikirkan bahwa ketika memasuki lanjut usia, kamu akan melemah. Kami telah memanjangkan umurmu yang memungkinkanmu untuk memahami kebenaran, namun kamu telah menyianyiakannya.”

Umur yang panjang memang seyogianya digunakan untuk berpikir lebih matang tentang makna kehidupan dan semisalnya. Dalam QS. Fatir: 37 Allah Swt berfirman:

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ

Apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?

Adapun menurut Quraish Shihab, QS. Yasin: 68 berkaitan dengan pernyataan dua ayat sebelumnya, bahwa bukti kuasa Allah dalam membutakan dan merubah tampilan manusia itu dapat dilihat ketika ia menua. Ketika masih bayi, fisiknya lemah dan tidak mengetahui apa-apa. Kemudian hari demi hari fisiknya semakin kuat dan pengetahuannya semakin bertambah. Lalu ketika mulai menua, ia menjadi pikun, lemah dan butuh bantuan banyak orang selayaknya sedia kala.

Sejalan dengan hal tersebut, Allah Swt berfirman dalam QS. Ar-Rum: 54 sebagai berikut:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً ۚ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ ۖ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ

Dialah Allah yang menciptakanmu dari keadaan lemah. Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat. Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.

Melalui fenomena tersebut, ٍSurah Yasin ayat 68 di atas hendak mengajak manusia berpikir bahwa Allah Swt berkuasa merubah keadaannya. Menusia tidak kuasa menghindari penuaan. Juga mengajak berpikir bahwa kehidupan dunia ini fana serta satu-satunya sandaran yang kuat, langgeng, lagi abadi hanyalah Allah Swt.

Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa Allah Swt memperingatkan manusia supaya jangan sampai menyianyiakan masa muda dan umur. Masa muda dan umur yang telah dilalui tidak akan pernah kembali barang sedetikpun, sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan waktu adalah modal manusia yang paling berharga.

Hamka menambahkan, bahwa umur yang panjang tidak ada nilainya bila tidak diisi dengan amal kebaikan. Dan bahwa salah apabila ada yang menunda beramal sampai masa tuanya, karena ketika telah tua kelak tenaganya akan semakin melemah. Oleh karena itu, hendaklah kita mulai beramal sedari masih muda.

Terkait dengan diksi fil khalq (dalam penciptaan) dalam redaksi ayat, al-Biqa’I berkomentar bahwa penurunan potensi jasmani bersifat mutlak, tidak dengan penurunan potensi ruhani. Artinya, penuaan tidak berpengaruh pada sisi spiritualitas. Bisa saja seseorang semakin bertambah umurnya, semakin bertambah pula ketaatan dan ketakwaannya pada Allah Swt.

Adapun berkaitan dengan perbedaan qiraat, Nawawi al-Bantani mengemukakan dua variasi bacaan untuk kata nunakkishu dan ya’qilun. Asim dan Hamzah membaca nunakkishu sebagaimana yang tertulis di atas, sementara selain keduanya membaca nankushu. Selanjutnya Nafi’ dan Ibn Dzakwan membaca kata paling akhir ayat dengan awalan ta’, ta’qilun. Sedangkan yang lain mengawalinya dengan ya’, ya’qilun.

Demikian tafsir Surah Yasin ayat 68 mengenai siklus umur manusia. Semoga kita termasuk orang-orang beruntung yang mampu menghargai waktunya sebaik mungkin. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Yusuf Ayat 11-14: Waspadai Firasat Buruk Orang Tua terhadap Anaknya!

0
tafsir surah yusuf ayat 11-14
tafsir surah yusuf ayat 11-14

Tafsir surah Yusuf ayat 11-14 menceritakan tentang perizinan saudara-saudara Nabi Yusuf kepada ayahnya, Nabi Yakub untuk membawa sang adik, Nabi Yusuf As. pergi. Di tiga ayat ini, tergambar dialog antara ‘ngeyel’nya saudara-saudara Nabi Yusuf dan keberatan Nabi Yakub As.

Berikut bunyi surah Yusuf [12] ayat 11-14,

قَالُوا يَاأَبَانَا مَا لَكَ لَا تَأْمَنَّا عَلَى يُوسُفَ وَإِنَّا لَهُ لَنَاصِحُونَ (11) أَرْسِلْهُ مَعَنَا غَدًا يَرْتَعْ وَيَلْعَبْ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (12) قَالَ إِنِّي لَيَحْزُنُنِي أَنْ تَذْهَبُوا بِهِ وَأَخَافُ أَنْ يَأْكُلَهُ الذِّئْبُ وَأَنْتُمْ عَنْهُ غَافِلُونَ (13) قَالُوا لَئِنْ أَكَلَهُ الذِّئْبُ وَنَحْنُ عُصْبَةٌ إِنَّا إِذًا لَخَاسِرُونَ (14)

“Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Mengapa engkau engkau tidak mempercayai kami terhadap Yusuf, padahal sesungguhnya kami menginginkan kebaikan baginya. [11] “Biarkanlah dia pergi bersama kami besok pagi, agar dia bersenang-senang dan bermain-main, dan kami pasti menjaganya.” [12] Yakub berkata, “Sesungguhnya kepergian kamu bersama dia (Yusuf) sangat menyedihkanku dan aku khawatir dia dimakan serigala, sedang kamu lengah darinya”. [13] Sesugguhnya mereka berkata, “Jika dia dimakan serigala, padahal kami kelompok (yang kuat), kalau demikian orang-orang yang rugi”. [14]”

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 9-10: Sifat Manusia dalam Rencana Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Rayuan Saudara-Saudara Nabi Yusuf dan Firasat Buruk sang Ayah

Saudara-saudara Nabi Yusuf yang ingin berbuat dhalim kepada Yusuf harus berlawanan dengan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Mereka meminta izin kepada ayah mereka untuk pergi ke hutan dan bermain disana. Namun mereka mendapatkan larangan, karena sebenarnya ayah mereka mengetahui rencana jahat mereka terhadap Nabi Yusuf.

Saudara-saudara Nabi Yusuf tidak mungkin langsung meminta izin sendiri kepada ayah mereka, terlebih ayah mereka mempunyai firasat yang tidak baik tentang Nabi Yusuf. Salah satu antisipasi yang mereka lakukan adalah dengan merayu Yusuf kecil terlebih dahulu agar meminta izin sendiri kepada ayahnya.

Rayuan saudara-saudara Nabi Yusuf  dan firasat buruk sang ayah dalam tafsir surah Yusuf ayat 11-14 ini terdapat dalam Maraah Labiid li Kasyfi Ma’n al-Qur’an al-Majid sebagai pengantar cerita yang dibuang. Jika dalam ayat langsung ditampilkan komplain yang disampaikan oleh saudara-saudara Nabi Yusuf, maka itu sebenarnya karena sang ayah sudah terlebih dahulu melarang dan tidak mengizinkan mereka untuk keluar dengan membawa serta Nabi Yusuf.

Keberatan yang ditampakkan oleh Nabi Yakub tidak lantas menyurutkan keinginan mereka. Mereka tetap meyakinkan ayahnya bahwa mereka bisa menjaga Nabi Yusuf dan membawanya kembali dengan selamat. Mereka beralasan bahwa mereka lebih tua, dan jumlahnya banyak. Di hadapan sang ayah, mereka menampakkan kasih sayang dan kemurahan hati pada Nabi Yusuf. Selain itu, tidak kekurangan trik, mereka juga merayu Nabi Yusuf langsung, sehingga terkesan Nabi Yusuf minta izin ke sang ayah atas kemauannya sendiri.

Sementara itu, kekawatiran Nabi Yakub As. bukan tanpa alasan. Ia dari awal kawatir karena Nabi Yusuf diketahuinya bukan anak kecil biasa, ditambah dengan melihat gelagat yang mencurigakan dari saudara-saudaranya, sebagaimana digambarkan di ayat-ayat sebelumnya. Bahkan dalam tafsir An-Nawawi di atas, dikatakan bahwa Nabi Yakub sudah mengetahui rencana jahat itu sebelumnya.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 8: Awal Kedengkian Saudara-Saudara Nabi Yusuf

Kasih Sayang Seorang Ayah Kepada Anaknya

Tafsir surah Yusuf ayat 11-14 ini juga menyiratkan tentang kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Kekawatiran Nabi Yakub atas tindakan saudara-saudara Nabi Yusuf itu sangat wajar, karena settiap orang tua pasti tidak ingin anaknya celaka, baik karena perbuatannya sendiri maupun sebab perbuatan orang lain. Jika direnungi lebih lanjut, Nabi Yakub tidak hanya kawatir akan Nabi Yusuf, tetapi juga kawatir terhadap perbuatan saudara-saudaranya yang tidak baik.

Kekawatiran Nabi Yakub As. dalam ayat ini dicontohkan seperti ‘dimakan serigala’ karena mereka izinnya hendak pergi bermain sambil belajar memanah dan berburu di hutan. Namun demikian, saudara-saudara Nabi Yusuf tersebut memaksa dengan gigih bahwa mereka akan bisa menjamin keselamatan adiknya, hingga akhirnya mereka tetap membawa Nabi Yusuf pergi ke hutan untuk bermain meski gestur tubuh ayah mereka kawatir dan tidak menyetujui hal itu.

Mereka (saudara-saudara Nabi Yusuf) juga mengatakan dengan jelas bahwa seandainya ketakutan Nabi Yakub itu terjadi, maka mereka itu benar-benar orang yang rugi dan tidak bertanggung jawab. Menyalahkan diri sendiri pun mereka tempuh agar ayah mereka mengizinkan.

Baca Juga: Tafsir Surah Yusuf Ayat 7: Belajarlah dari Kisah Nabi Yusuf!

Ada penafsiran menarik dalam Mafaatih al-Ghaib. Maksud dari idzal lakhaasiruun di akhir ayat disampaikan oleh Fakhruddin Ar-Razy, bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak diseru pada kerugian dan malapetaka. Bisa dikatakan Allah membuat mereka rugi dan binasa ketika serigala benar-benar memangsa Yusuf sedangkan mereka berada disana. Hampir sama dengan pendapat an-Nawawy, namun perbedaannya tafsir yang disampaikan Fakhruddin al-Razy lebih meyakinkan karena menyebut Allah yang akan menghukum mereka.

Pendapat Fakhruddin al-Razy ini sama dengan pendapat al-Nawawy bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf menjawab alasan yang kedua dari ketakutan ayah mereka, dan menurut Ar-Razy, mereka tidak menjawab alasan pertamanya, yakni kasih sayang ayah mereka kepada Yusuf. Alasan inilah yang membuat kebencian dan kemarahan mereka. Ketika mereka mendengar alasan ini, maka mereka melupakannya dan tidak menjawabnya. Mereka pun hanya mengomentari ketakutan yang kedua, yaitu takut akan dimakan serigala.

Kita mengetahui kasih sayang seorang ayah pada anaknya adalah fitrah, terlebih anaknya memiliki kelebihan dan  membutuhkan kasih sayang karena masih kecil. Sampai kapanpun anak itu terlihat kecil di mata orang tua, kecil secara usia juga pengalaman hidupnya. Seorang anak bepergian saja, kehawatiran orang tua sudah bukan kepalang, apalagi ada bahaya yang sudah diketahui secara pasti, kesedihannya akan berlarut-larut sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yakub.  Wallahu a’lam bis shawab.

Hikmah Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Quran

0
Hikmah Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Quran
Hikmah Taqdim dan Ta’khir dalam Al-Quran

Al-Quran memiliki keindahan susunan kata dan bahasa. Keindahan ini juga ternyata menyimpan rahasia berupa makna dan pesan-pesan tertentu. Salah satu keindahan tersebut adalah adanya lafaz/kata yang harus atau boleh didahulukan (taqdim) dan diakhirkan (ta’khir) atas yang lain. Pada tulisan ini juga mengungkap hikmah taqdim dan ta’khir dalam Al-Qur’an.

Quraish Shihab dalam Kaidah Tafsir menyebutkan bahwa penyebutan suatu kata lumrahnya disebutkan di awal kalimat. Namun, jika kemudian diletakkan di akhir kalimat, maka ada maksud dan pesan tertentu yang ingin disampaikan ayat tersebut. Maksud tersebut adakalanya: untuk menghindari kesalahpahaman; memberi makna takhsis; mengundang rasa takut; menjaga keindahan nada susunan; serta maksud-maksud lainnya. Perubahan susunan kata tersebut tetap dibenarkan oleh tata bahasa selama tidak berakibat pada hilangnya keindahan susunan kata atau bahkan kerancuan makna.

Baca juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

10 Hikmah Suatu Kata Didahulukan dalam Ayat Al-Qur’an

Sayyid Muhammad bin Sayyid ‘Alawi Al-Maliki juga menjelaskan secara detail dalam Zubdat al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an. Beliau mengatakan bahwa terdapat sepuluh rahasia atau hikmah suatu kata didahulukan dalam sebuah ayat di Al-Quran, di antaranya:

  1. Meminta Keberkahan (التَّبَرُّك); seperti mendahulukan nama Allah pada saat-saat tertentu, contohnya pada surah Al-Anfal ayat 41.
  2. Mengagungkan (التَّعْظِيْم); seperti pada surah Al-Ahzab ayat 56.
  3. Memuliakan (التَّشْرِيْف); seperti mendahulukan laki-laki daripada perempuan (surah Al-Ahzab ayat 35) dan penyebutan hamba sahaya yang diakhirkan dari orang merdeka (surah Al-Baqarah ayat 178).
  4. Kesinambungan konteks kalimat (المُنَاسَبَة لِسِيَاق الكَلاَم); seperti pada surah Al-Nahl ayat 6.
  5. Anjuran untuk segera dilaksanakan, karena khawatir akan disepelekan (الحَثُّ عليه والحَضُّ على القِيام به); seperti pada surah Al-Nisa ayat 11.
  6. Penyebutan sesuatu yang wujudnya lebih dulu ada (السّبق); seperti didahulukan penyebutan Malaikat dari manusia dari segi keberadaannya (surah Al-Hajj ayat 45) dan penyebutan wajah daripada tangan dalam urutan membasuh anggota wudhu (surah Al-Maidah ayat 6).
  7. Adanya ketentuan sebab-akibat (السّبَبِيَة); seperti didahulukan ibadah daripada meminta pertolongan, karena ibadah adalah sebab mendapatkan pertolongan (surah Al-Fatihah ayat 5).
  8. Menunjukkan arti lebih banyak (الكَثْرَة); seperti penyebutan kata rahmah (الرّحمة) dalam Al-Quran yang banyak didahulukan dari kata ‘adzab (العذاب), sesuai dengan apa yang disebutkan dalam hadis: ‘sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku (إنَّ رَحْمَتِيْ غَلَبَتْ غَضَبِيْ)’.
  9. Kenaikan dari bawah ke atas (الترَقّي مِن الأدْنَى إلى الأعْلَى); seperti penyebutan yad/tangan yang diakhirkan dari rijl/kaki, karena tangan lebih mulia daripada kaki (surah Al-A’raf ayat 195).
  10. Penurunan dari atas ke bawah (التّدَلِّي مِن الأعْلَى إلى الأَدْنَى).

Berdasarkan makna dan sebab-sebab tersebut, berikut ini adalah contoh dari satu kata, baik kata asli maupun kata ganti, yang didahulukan di suatu ayat tertentu dan diakhirkan di ayat lainnya. Ayat-ayat tersebut ternyata juga memiliki maksud dan pesan tertentu yang ingin disampaikan di dalamnya.

Baca juga: Meneladani Rasa Cinta Tanah Air dari Nabi Muhammad SAW. dan Nabi Ibrahim AS.

Kata La‘ibun (لَعِبٌ) dan Lahwun (لَهْوٌ)

Dalam Al-Quran, kedua kata ini disebutkan berdampingan dengan cara di-‘athaf-kan. Namun, penyebutannya dengan dua bentuk yang berbeda. Di beberapa surah, seperti Al-An‘am ayat 32 dan 70, surah Muhammad ayat 36 dan surah Al-Hadid ayat 20, kata la‘ibun (لَعِبٌ) didahulukan dari kata lahwun (لَهْوٌ);

وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۖ  (آل عمران : 32)

إِنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞۚ  (محمّد : 36)

Sedangkan di beberapa ayat lainnya kata lahwun (لَهْوٌ) didahulukan dari kata la‘ibun (لَعِبٌ);

وَمَا هَٰذِهِ ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا لَهۡوٞ وَلَعِبٞۚ (العنكبوت: 64)

ٱلَّذِينَ ٱتَّخَذُواْ دِينَهُمۡ لَهۡوٗا وَلَعِبٗا (الأعراف: 51)

Pada kelompok pertama, kata la‘ibun yang berarti ‘permainan’ didahulukan, karena dunia permainan identik mewarnai masa kecil seseorang. Sedangkan kata lahwun yang berarti ‘bersenda gurau’ diakhirkan, karena digunakan untuk menunjukkan masa remaja atau dewasa yang sarat dengan gaya hidup mewah, berfoya-foya dan menyia-nyiakan waktu yang ada. Oleh karenanya, didahulukan kata la‘ibun daripada lahwun untuk menunjukkan masa kecil lebih dahulu terjadi (السّبق) daripada masa remaja dan dewasa yang datang kemudian.

Adapun pada kelompok ayat selanjutnya, kata la‘ibun diakhirkan dari kata lahwun. Hal ini dikarenakan kedua ayat tersebut berbicara dalam konteks hari kiamat. Kehidupan pasca hari kiamat digambarkan seperti masa remaja atau dewasa yang lebih lama, bahkan terasa abadi jika dibandingkan dengan kehidupan dunia. Seperti halnya masa kecil seseorang yang tidak terasa telah cepat berlalu. Oleh karenanya, kata lahwun didahulukan daripada la‘ibun. Tujuannya adalah untuk menunjukkan waktu dan keadaan yang lebih lama dan kekal di akhirat kelak (الكَثْرَة), daripada kehidupan dunia yang bersifat sementara, singkat dan penuh dengan tipu daya.

Baca juga: Tafsir Surah Yasin Ayat 66-67: Kuasa Allah atas Para Pendosa

Kata Ganti Mukhattab (كُمْ) dan Kata Ganti Ghaib (هُمْ)

Selain pada sebuah kata, taqdim dan ta’khir juga terjadi pada kata ganti suatu kata. Seperti disebutkan dalam kedua ayat berikut:

نَّحۡنُ نَرۡزُقُكُمۡ وَإِيَّاهُمۡۖ (الأنعام: 151)

نَّحۡنُ نَرۡزُقُهُمۡ وَإِيَّاكُمۡۚ (الإسراء: 31)

Pada surah Al-An‘am, kata ganti ‘kalian’ (dhamir mukhatab) didahulukan daripada kata ganti ‘mereka’ (dhamir ghaib). Adanya taqdim ini adalah untuk menekankan larangan membunuh anak sendiri sebab takut dirinya ditimpa kemiskinan. Ayat ini juga sekaligus menjadi jaminan bagi keluarga kurang mampu yang merasa terbebani dalam menghidupi anak-anaknya. Karena rezeki mereka dan anak-anaknya sudah pasti ditanggung oleh Allah, sehingga Allah menegaskan: “Kamilah yang memberi rezeki kalian dan juga mereka”.

Adapun pada surah Al-Isra’, kata ganti ‘mereka’ (dhamir ghaib) didahulukan dari kata ganti ‘kalian’ (dhamir mukhatab). Taqdim dalam ayat ini juga berbicara tentang larangan membunuh anak. Namun, bedanya, dalam ayat ini kemiskinan bagi sang anak yang justru dikhawatirkan oleh ayahnya, bukan dirinya.

Baca juga: Balaghah Al-Quran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Al-Quran

Oleh karena itu, Allah menjelaskan bahwa “Kamilah yang memberi rezeki mereka dan juga rezeki kalian”. Kalimat ini ditujukan juga bagi keluarga yang berkecukupan agar tidak perlu khawatir terhadap masa depan anak-anak dan keturunan mereka. Karena, Allah telah menjamin rezeki mereka, selain juga telah memberi kemapanan kepada orang tua mereka.

Demikian beberapa poin yang berkaitan dengan mendahulukan (taqdim) dan mengakhirkan (ta’khir) suatu kata dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Taqdim ta’khir  ini ternyata memiliki banyak makna dan hikmah tersembunyi, di samping keindahan susunan pada katanya. Wallahu A’lam.

 

Mengaplikasikan Ilmu Isytiqaq pada Lafadz Salat dalam Al-Quran

0
Ilmu Isytiqaq pada Lafaz Salat
Ilmu Isytiqaq pada Lafaz Salat

Pada tahun 2019, penulis menyelesaikan tugas akhir di Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan melakukan penelitian tentang pembacaan lafadz Salat (صلاة) yang sudah pahami secara umum dan pakem. Hanya saja, ketika wacana ini dibaca melalui Ilmu Isytiqaq akan memunculkan banyak ruang kosong, di antaranya ialah munculnya derivasi yang tidak familiar untuk dikaji.

derivasi lafad salat
derivasi lafad salat

Makna keseluruhan dari tasrîf-an di atas mayoritas menunjukkan makna ibadah shalat dan derivasi makna lain yang masih dalam ranah jenis ibadah. Sedangkan bentuk masdar-nya menunjukkan makna yang berbeda, yakni makna terbakar.

Jika wazan tsulasî mazid itu dikembalikan kepada wazan yang asal (tidak ada tambahan, tsulasî mujarrad), maka keseluruhan maknanya menunjukkan makna terbakar, baik bentuk fi’il-nya, fâ’il-nya, masdar-nya, dan sebagainya.

derivasi lafad salat 2
derivasi lafad salat 2

Tashrif tersebut menunjukkan bahwasanya ada hubungan antara derivasi-derivasi kelas makna shalat dan ayat-ayat tasliyah (terbakar) yang muncul melalui pendekatan teori isytiqâq saghîr terhadap kosa kata sad-lam-wawu.

Baca juga: Sihir itu Nyata ataukah Hayalan? Inilah Tafsir Ayat tentang Sihir

Akan tetapi, meskipun derivasi tashliyah disebutkan sebanyak 25 kali dalam al-Quran, sayangnya dari beberapa kamus dan tafsir, belum ada penjelasan dengan jelas mengenai hubungan antara keduanya dari sekian banyak ayat yang mempunyai kosa kata yang berasal dari sad-lam-wawu, kecuali Raghib Al-Ashfahani dalam Mu’jam-nya. Al-Ashfahani memaknai shalat sebagai bentuk penegasian (al-salb) dari tashliyah.

Pembacaan Umum Mengenai Shalat

Shalat menurut ulama Fikih dimaknai sebagai suatu ibadah yang dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam. Tidak hanya dilakukan oleh umat muslim, shalat juga dilakukan oleh umat-umat agama lain dengan bentuk shalat yang berbeda-beda.

Meski berbeda cara dan bentuk, shalat bagi tiap-tiap agama mempunyai esensi yang sama, yakni suatu tindakan yang merepresentasikan praktik ritual keagamaan agar mendekatkan diri dan berdoa kepada Tuhan untuk mendapatkan kebaikan-Nya. Hal ini sesuai dengan wacana Islam, di mana shalat secara etimologi ialah doa, pujian, pengagungan, permohonan ampunan, dan hubungan makhluk dengan Allah. Di mana kesemuanya tercakup dalam ruang lingkup jenis ibadah.

Pecahan-pecahan (Musytaqat) Shalat dalam al-Quran

Berdasarkan Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim, penyebutan kosa kata bermateri sad-lam-wawu ada sebanyak 124 kali dalam 22 bentuk musytaq (pecahan)-nya. Secara garis besar, terbagi menjadi 2 kelas makna: 1) Kelas makna jenis ibadah, sebanyak 99 kali penyebutan, dan 2) Kelas makna terbakar, sebanyak 25 kali penyebutan.

Pembacaan Isytiqaq Tashliyah dalam Al-Qur`an

Pada kelas makna kedua, kata tasliyyah dan segala pecahannya mempunyai kesan makna terhadap suatu proses atau aktivitas yang berkaitan dengan unsur panas api untuk merasakan dampaknya, entah metodenya sekedar mendekatkan saja, menyentuhnya atau bahkan memasukkan ke dalam tengah-tengahnya. Dampak panas api yang dikehendaki juga berbeda-beda, entah bertujuan untuk sekedar membuat sesuatu menjadi hangat, masak dan matang, atau bahkan menghanguskannya.

Wacana yang digunakan secara umum terbagi menjadi dua dimensi: 1). Aktivitas masyarakat yang memanfaatkan api, seperti memanggang, menyate dan membakar, juga 2). Proses penyiksaan, yang dibawa ke dalam wacana eskatologi. Sehingga kata “membakar” sebagai makna leksem dari kata salâ ini, mempunyai dua sisi kesan sekaligus: Pertama, kesan positif seperti membersihkan dan membunuh kuman (dengan panasnya api), dan kedua, kesan negatif yang mengarah kepada hangus, hilang, binasa, dan kerugian.

Baca juga: Melihat Al-Quran sebagai Pembungkam Nalar Sastra Arab

Ada beberapa poin menarik dalam sintagma kelas makna ini dalam al-Qur`an: 1). ketika membicarakan isytiqâq tasliyah dalam inter-strukturnya, al-Qur`an juga menampilkan ayat-ayat oposisi (pembanding) untuk membantu pemaknaan melalui mafhûm mukhâlafah. 2). Kebanyakan ayat-ayat yang berbicara mengenai balasan surga atau neraka ber-qarinah dengan frase khâlidîna fîhâ, fîhâ khâlidûn, (kekal di dalamnya) dan sejenisnya.

Akan tetapi sintagma tasliyyah dalam al-Qur`an sama sekali tidak menggunakan frase tersebut. Hal ini menunjukkan bahwasanya bisa jadi aktivitas tasliyyah (membakar) tidak bersifat kekal, atau hanya tidak ada sangkut pautnya dengan kekal tidaknya balasan tersebut.

Poin terakhir aktivitas tasliyyah dalam sintagma al-Qur`an senantiasa ber-qarinah dengan suatu kasus atau perilaku yang dilakukan oleh agensi tertentu yang melatarbelakangi adanya “pembakaran” sebagai hasil yang didapat. Hal yang melatarbelakangi hukuman “pembakaran” tersebut ialah buruknya hubungan spiritual, sehingga hubungan kepada Tuhan tidak dijadikan prioritas bahkan tujuan, disebabkan mereka terjebak dengan kenikmatan duniawi. Karenanya, berbagai cara mereka lakukan untuk mendapatkan kenikmatan duniawi tersebut, bahkan itu jika bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama. Kesemuanya itu mengarahkannya kepada kebinasaan, kerugian, dan kehancuran.

Relasi Makna Shalat dan Tashliyah

Secara strukturalnya, kata salâh dan pecahannya merujuk kepada suatu tindakan yang menjaga dan memelihara hubungan spiritual antara manusia sebagai hamba dengan Penciptanya secara baik.

Hubungan spiritual tersebut merepresentasikan nilai penyerahan, kerendahan diri dan kekaguman terhadap Allah swt. Selain itu, hubungan tersebut merupakan ekspresi religiusitas pada level sosial.

Sebaliknya, kata tasliyyah dan pecahannya merujuk kepada kerugian dan kehancuran yang dihasilkan dari suatu tindakan yang merusak dan memutuskan hubungan spiritual. Tindakan negatif pada dasarnya bersifat seperti api, yaitu membakar segala sesuatu yang tersentuhnya. Akibat dari persentuhan tersebut dapat berupa kerusakan sampai pada pemutusan hubungan spiritual antara makhluk dan Penciptanya.

Baca juga: Sejarah Lembaga Tahfiz Al-Qur’an di Indonesia

Kaitan makna antara salâh dan tasliyyah terletak pada perbedaan ekspresi dan amaliyah keberagamaan seseorang. Struktur sad-lam-wawu pada pecahan kata makna salâh terhadap keberagamaan seseorang diilustrasikan sebagai mukmin yang menjaga hubungan spiritual. Pada posisi ini kehidupan dunia didudukkan sebagai salah satu media untuk memelihara hubungan spiritual tersebut. Alhasil, dia menjadi berorientasi pada kebaikan di dunia dan akhirat.

Sebaliknya, struktur sad-lam-wawu pada pecahan kata makna tasliyyah terhadap keberagamaan seseorang diilustrasikan sebagai manusia secara umum yang tidak menjaga hubungan spiritual secara baik. Konsekuensi dari sikap seperti ini, kehidupan dunia didudukkan sebagai tujuan hidup itu sendiri.  Sehingga akibatnya dapat memutuskan tali hubungan spiritual tersebut. Alhasil, dia bisa celaka di dunia maupun di akhirat.

Adapun relasi kedua kategori makna dari pecahan sad-lam-wawu ini, penulis memahami bahwa pendapat al-Râghîb al-Asfahânî tentang fungsi pencegahan tasliyyah dengan salâh, terkonfirmasi.

Bentuk relasi ini disebut dengan relasi oposisi direksional konversal menurut Cruse, yakni hubungan antar bentuk yang beroposisi makna berdasarkan hubungan arah. Bentuk penegasian ini meliputi: 1). Aspek spiritual seperti menumbuhkan rasa taat dan tunduk kepada Tuhan yang didasari kerendahan hati dan kekaguman kepada-Nya, 2). Aspek psikis seperti memunculkan rasa optimisme dan ketenangan diri, juga melatih dan mengubah kesadaran berpikir atau mind control terhadap tujuan hidup dan kebahagiaan hakiki, dan 3). Aspek fisik seperti menjaga cekatan, kelenturan, kesigapan dan selalu muda dan kuat.

Insecure dengan Potensi Diri? Perhatikan Tafsir Surah Al-Isra Ayat 84!

0
Insecure dengan potensi diri
Insecure dengan potensi diri

Pada era milenial ini, kata insecure sering kita dengar di dunia maya maupun pada circle pertemanan. Akan tetapi bisa jadi kata insecure muncul dari dan untuk diri kita sendiri. Insecure diartikan dengan perasaan tidak aman dan tidak nyaman yang membuat seseorang menjadi merasa takut, gelisah, galau, malu hingga tidak percaya diri. Sebenarnya, banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang merasa insecure, baik insecure dengan potensi diri sendiri maupun lingkungannya. Merasa rendah dari orang lain, merasa gagal, banyak kekurangan atau merasa tidak mempunyai potensi apapun merupakan salah satu penyebab hadirnya perasaan insecure dari diri sendiri. Sementara itu, pandangan orang lain yang meremehkan, mencemooh juga memandang sebelah mata bisa jadi penyebab muncul perasaan insecure.

Baca juga: Kegundahan Nabi Muhammad Saw Dibalik Turunnya Surah Ad-Dhuha

Jika tidak diatasi, kondisi tersebut dikhawatirkan membuat potensi seseorang tidak berkembang. Dilansir dari laman Alodokter, rasa insecure bisa diatasi di antaranya dengan berusaha untuk selalu berfikir positif, berhenti menyalahkan diri sendiri, tidak membandingkan diri dengan orang lain, menghindari orang-orang yang membuat insecure, dan melakukan hal-hal yang membuat diri kita bahagia.

Dalam Al-Quran pun, Allah menyangkal sikap-sikap yang mengakibatkan insecure, misalnya dengan mengajarkan selalu bersyukur (Q.S Ibrahim [14]: 7), larangan bersikap lemah dan bersedih hati (Q.S Ali Imran [3]: 139), menumbuhkan percaya diri (Q.S Fussilat [41]: 30) dan memahami akan potensi manusia yang berbeda-beda (Q.S Al-Isra [17]: 84).

Mentadabburi ayat-ayat di atas merupakan salah satu bentuk usaha kita untuk menghindari perasaan insecure. Terkait dengan insecure dalam hal potensi diri, kali ini mari kita perhatikan surah Al-Isra ayat 84, bagaimana para mufassir mengungkap makna dan pesan di dalamnya.

Tafsir Surah Al-Isra ayat 84

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا

Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaanya masing-masing.”Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.

Hamka dalam tafsirnya Al-Azhar Juz 15, 4108 memaknai ayat ini dengan potensi manusia bekerja menurut bakatnya masing masing.  Lafad syakilatihi diartikan dengan bawaan atau bakat. Menurut Hamka, setiap orang dilahirkan bersama dengan pembawaanya, bahkan sudah ditentukan sejak dalam rahim. Pembawaan tersebut bermacam-macam seperti dalam hal warna kulit, rupa, ataupun perangai. Hal tersebut mengindikasikan seseorang tidak serupa dengan yang lain. Setiap manusia membuat syakilah-nya masing-masing. Syakilah tersebut di antaranya dibentuk dengan daerah tempat ia dilahirkan, pergaulan di waktu kecil, lingkungan orang tua, pendidikan, pengalaman, perantauan, maupun perlawatan. Semua hal tersebut membentuk jiwa setiap manusia.

Menurut Hamka, melalui ayat ini Allah memerintahkan manusia bekerja sesuai dengan bakat (bawaan) nya masing-masing. Sebab itu, sudah seharusnya manusia mengenal siapa dirinya dan memaksimalkan potensi di dalam dirinya. Dengan demikian, siapapun bisa mencapai amal kebaikan di hadapan Allah dengan potensinya masing-masing. Oleh sebab itu dalam rangka mengenal diri sendiri menjadi syarat mutlak dalam mendekati Allah swt.

Baca juga: Dua Potensi Manusia yang Dijelaskan dalam Al-Quran: Tafsir Surat Asy-Syams Ayat 7 – 10

Sementara itu, mufasir lain seperti al-Quthubi memaknai lafad syakilatihi dengan ‘keadaanya’. Menurutnya, tiap-tiap orang berbuat atas keadaanya masing-masing. Qurthubi dalam kitabnya, al-Jami’ li Ahkam Al-Quran (Tafsir Al-Qurthubi), juga menghimpun beberapa pendapat mufasir lain terkait makna syakilatihi. Di antaranya Mujahid “Menurut tabi’at dan kemampuannya”, al-Farra’, “sesuai dengan cara dan jalan yang telah diciptakan sebagai bawaan dirinya”. Ada juga yang berpendapat, “Katakanlah, masing-masing tetap mengerjakan apa-apa yang sulit baginya dengan cara yang dia yakini paling tepat baginya”, “Engkau tidak seperti bentukku dan tidak pula seperti keadaanku” Setiap orang sesuai dengan pekerjaanya, seseorang tidak melakukkan selain keahliannya.

Berdasar pada berbagai penjelasan di atas, setidaknya memberikan penjelasan kepada kita bahwa potensi diri setiap orang itu berbeda-beda, jadi sepantasnya kita tidak merasa insecure perihal potensi diri. Kita harus menyadari bahwa Allah menghendaki setiap orang berbeda dan memiliki potensi yang berbeda pula.

Baca juga: Misteri Kata “Dzalika” dalam Surah Al-Baqarah Ayat 2

Setiap orang, dari pada mengeluh atau sangat senang ketika keadaan sangat baik dan tertekan apabila keadaan buruk, kenyataanya adalah setiap orang memiliki jatah keadaan baik dan buruk. Kita semua perlu melewati semua itu sesuai dengan syakilah masing-masing. Hal tersebut juga berkolerasi dengan bagaimana hubungan kita dengan menjalankan perintah Allah, karena Allah mengetahui siapa yang lebih benar jalannya (ujung ayat 84).

Setiap manusia mempunyai kapasitas yang berbeda-beda untuk beribadah dan menjalankan semua perintah Allah sesuai dengan porsi dan posisi masing-masing. Sebagaimana menurut Hamka di awal, yang perlu kita lakukan adalah mengenal diri sendiri dan memaksimalkan potensi yang ada. Dan yang paling penting adalah bagaimana potensi yang kita miliki menjadi sebuah amal kebaikan yang bisa memberikan kemanfaatan buat diri sendiri dan orang lain. Sehingga pada akhirnya diharapkan kita bisa merubah  sikap insecure menjadi secure. Wallahu’alam.