Beranda blog Halaman 62

Ketakwaan dan Ketulusan sebagai Esensi Kurban

0
Ketakwaan dan ketulusan dalam ibadah kurban
Ketakwaan dan ketulusan dalam ibadah kurban

Iduladha merupakan hari yang istimewa dan bersejarah bagi kaum muslim. Ia menjadi simbol kemenangan umat Islam, terutama bagi para jemaah haji yang sedang melaksanakan ibadah haji di tanah suci. Selain itu, Iduladha juga mengandung simbol ketakwaan dan ketulusan dalam ritual kurban yang dilakukan pada momen tersebut.

Pada hari itu, umat muslim di seluruh dunia diperintahkan untuk melaksanakan salah satu perintah agama yaitu berkurban bagi yang mampu. Syariat kurban disebutkan dalam Alquran diantaranya Q.S. Alhajj ayat 36-37. Allah Swt. berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

“Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.”

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.”

Kurban pada syariat umat terdahulu

Dalam sejarah peradaban manusia, kurban ternyata tidak hanya ditemukan dalam syariat Islam. Akan tetapi, ia juga menjadi ajaran yang harus dilakukan dalam berbagai agama dan keyakinan. Kita saksikan misalnya banyak agama-agama lain yang mempersembahkan sesajen dengan segala isiannya dipersembahkan untuk tuhan-tuhan mereka.

Prof. Nadirsyah Hosen yang akrab disapa Gus Nadir mengatakan bahwa konon penganut ajaran Animisme meyakini bahwa persembahan darah merupakan asupan penguasa langit. Apabila penguasa langit lemah karena tidak diberi persembahan darah maka manusia akan sulit menguasai dan mendominasi bumi. Oleh karena itu, diadakanlah pengorbanan untuk dipersembahkan kepada penguasa langit dengan harapan mereka akan diberi kekuatan untuk memenagi peperangan dan semisalnya.

Baca juga: Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

Bentuk pengorbananya pun bermacam-macam. Ada yang hanya mengorbankan hewan ternak, ada pula yang bahkan sampai tingkat paling ekstrem yakni mengorbankan manusia. [Ngaji Fikih, hal. 52-53].

Masyarakat Arab Jahiliyah juga mengenal syariat kurban. Mereka menyembelih binatang ternak yang kemudian darah dan dagingnya dipersembahkan pada berhala-berhala mereka. Berhala-berhala tersebut kemudian mereka lumuri dengan darah dan daging hewan yang dikurbankan. Sebagian sahabat Nabi yang melihat tradisi tersebut kemudian tergerak hati untuk melakukan hal yang sama. Kemudian turunlah Surat Alhajj ayat ke 37 di atas.

Sabab nuzul

Imam Mujahid menjelaskan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan para Sahabat yang berniat melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang-orang musyrik. Mereka ingin melakukan hal yang sama untuk menyajikan daging kurban di sekeliling kabah dan melumuri dinding Kabah dengan darah hewan kurban tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada Baitullah. Lalu, turunlah ayat ini untuk menegaskan bahwa yang dinilai dari ibadah kurban ialah ketakwaan dan ketulusan, bukan daging dan darahnya sebagaimana pemahaman kaum musyrik. [Ruh al-Ma’ani, juz 9, hal. 151].

Tafsir ayat

Ayat di atas menjelaskan inti dari amal ibadah adalah keikhlasan. Rida Allah Swt. tidak akan digapai hanya dengan bekal daging dan darah kurban, melainkan dengan amal saleh dan disertai niat yang ikhlas karena Allah semata. [Tafsir al-Maraghi, juz 17, hal. 115].

Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah Swt. mensyariatkan kurban agar ketika proses penyembelihan, manusia mengingat Allah Swt. sebagai satu-satunya pencipta dan pembri rezeki. Allah Swt. sama sekali tidak butuh kepada pengorbanan manusia, sebab Dia adalah Dzat Yang Maha Kaya dan tidak butuh kepada makhluk. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 5 hal. 431].

Tujuan pensyariatan kurban sejatinya adalah melatih jiwa manusia untuk ikhlas dan tunduk pada perintah Allah Swt. Kita dituntut untuk mengambil ibrah dari asal-usul syariat kurban, yaitu kisah Nabi Ibrahim as. yang diperintahkan untuk menyembelih putranya sendiri. Dengan lapang dada dan penuh ketulusan, beliau bahkan mau mengorbankan putranya sendiri demi menjalankan perintah Allah Swt.

Baca juga: Fungsi Transformatif Islam dalam Ritual Kurban

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa tujuan utama dari penyembelihan binatang kurban bukanlah darah dan dagingnya. Akan tetapi, ia merupakan simbol dari kecenderungan hati kepada dunia yang harus dipangkas demi mencapai rida Allah. Hal ini akan digapai dengan niat yang tulus dan ikhlas. [Ihya ‘Ulumiddin, juz 4, hal. 368].

Lebih jauh lagi, dengan pendekatan sufistik, syekh Ibnu Ajibah menjelaskan bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa pada hakikatnya amal saleh saja belum tentu sampai kepada Allah Swt. Yang akan diterima adalah hati merana karena cinta dan disembelih dengan pedang kerinduan untuk kemudian dipersembahkan dalam mihrab cinta. [al-Bahr al-Madid, juz 3, hal 535].

Dari penjelasan para mufasir tersebut, dapat disimpulkan bahwa esensi pensyariatan kurban adalah niat yang didasarkan pada ketakwaan dan ketulusan untuk berkurban. Dengan demikian, ritual kurban dalam Islam meluruskan tradisi kurban umat terdahulu yang dihiasi oleh kesyirikan, dan mengarahkan kurban versi Islam sebagai simbol ketakwaan dan ketulusan dalam beribadah. Sementara daging kurban tidak dipersembahkan kepada Tuhan, melainkan dibagikan kepada sesama manusia. Wallahu a’lam[]

Penafsiran Literal dan Kontekstual Mufasir Klasik

0
penafsiran literal dan kontekstual mufasir klasik
penafsiran literal dan kontekstual mufasir klasik

Pada abad klasik (abad pertama hingga abad ketiga hijriah), para ulama telah menghasilkan banyak karya tafsir yang menjadi pijakan bagi perkembangan ilmu tafsir di masa selanjutnya. Sejak awal, karya-karya tafsir yang muncul, secara garis besar dapat dibedakan pada dua kecenderungan, yaitu penafsiran literal dan kontekstual. Dua kecenderungan penafsiran ini yang kemudian terus berlanjut hingga sekarang. Kecenderungan yang mana kemudian yang relevan dengan tuntutan zaman?

Pendekatan Literal dalam Penafsiran

Beberapa mufasir klasik mengakui pentingnya pendekatan literal dalam memahami ayat-ayat Alquran. Penafsiran literal adalah metode tafsir yang mengedepankan makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran (Didi Junaedi, Menafsir Teks Memahami Konteks, 69). Metode ini mencoba untuk memahami ayat-ayat Alquran berdasarkan makna kata per kata yang digunakan dalam bahasa Arab, serta memperhatikan tata bahasa dan struktur kalimat yang digunakan dalam ayat tersebut. Penafsiran literal ini dapat ditemukan pada karya-karya tafsir abad klasik seperti Tafsir Ibnu Mas’ud, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, dan lain sebagainya.

Pada abad klasik, penafsiran literal dalam tafsir Alquran menjadi salah satu metode yang paling umum diterapkan oleh para ulama (Badrudin, Metode Penafsiran Alquran, 93). Penafsiran literal ini didasarkan pada asumsi bahwa Alquran adalah kitab suci yang diturunkan langsung dari Allah SWT. Oleh karena itu, makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran adalah makna yang paling benar dan otentik.

Kekurangan tafsir literal dalam memahami Alquran adalah kurangnya perhatian terhadap konteks sosial, budaya, dan sejarah pada masa pewahyuan maupun pasca pewahyuan (era mufasir). Hal ini dapat menyebabkan pemahaman yang terbatas dan sering kali terdistorsi dari makna yang sebenarnya. Selain itu, penafsiran literal juga dapat menyebabkan ketidakfleksibelan dalam memahami Alquran, karena cenderung mengikuti interpretasi yang telah ditetapkan pada masa lalu tanpa memperhatikan konteks kekinian yang semakin kompleks dan beragam.

Meskipun demikian, penafsiran literal dalam tafsir Alquran juga memiliki kelebihan. Metode ini dapat membantu para pembaca untuk memahami ayat-ayat Alquran dengan lebih mudah dan jelas. Selain itu, penafsiran literal juga dapat membantu para pembaca untuk memahami makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran yang seringkali menjadi dasar bagi penafsiran-penafsiran lainnya.

Baca Juga: Kontekstualitas Alquran

Pendekatan Kontekstual dalam Penafsiran

Sementara itu, penafsiran kontekstual adalah metode penafsiran yang mencoba untuk memahami pesan Alquran dengan memperhatikan faktor-faktor seperti latar belakang sejarah, konteks sosial, budaya, dan politik, serta berbagai aspek lainnya (Abdullah Saeed, Approaches to the Qur’an in Contemporary Indonesia, 132). Dalam penafsiran Alquran, tafsir kontekstual memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang pesan Alquran dan relevansinya dalam konteks zaman sekarang. Dengan memperhatikan konteks sejarah dan sosial pada saat ayat-ayat Alquran diturunkan, tafsir kontekstual dapat membantu umat Islam untuk memahami ajaran Islam dengan lebih baik dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Penafsiran kontekstual ini dapat ditemukan pada karya-karya tafsir abad klasik seperti Tafsir at-Thabari. Berikut adalah contoh penafsiran kontekstual dalam Tafsir al-Tabari terhadap QS. Al-Baqarah [1]: 190,

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

Artinya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

al-Thabari menafsirkan ayat ini secara kontekstual dengan memperhatikan latar belakang sejarah saat ayat ini diturunkan. Menurutnya pada saat itu, umat Islam sedang berada dalam masa awal-awal Islam di Makkah dan sedang menghadapi tekanan dan penganiayaan dari kaum musyrik. Ayat ini turun sebagai perintah kepada umat Islam untuk mempertahankan diri dan melawan kaum musyrik yang memerangi mereka (Ibnu Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, jilid 3, 561).

Dengan demikian, penafsiran kontekstual Surat al-Baqarah ayat 190 menunjukkan pentingnya memahami ayat-ayat Alquran dalam konteks sejarah dan sosial pada masa Nabi Muhammad SAW, sehingga dapat memahami makna ayat-ayat tersebut dengan lebih mendalam dan akurat.

Perdebatan antara penafsiran literal dan kontekstual dalam pemikiran tafsir abad klasik menghasilkan berbagai pandangan. Mereka yang menggunakan pendekatan literal menganggap bahwa makna ayat-ayat Alquran harus dipahami sesuai dengan arti harfiahnya, dan tidak boleh ditafsirkan secara terlalu luas atau metaforis.

Sementara ulama yang menggunakan pendekatan kontekstual menganggap bahwa pemahaman yang akurat tentang ayat-ayat Alquran harus memperhatikan konteks sejarah dan sosial pada saat ayat-ayat tersebut diturunkan. Mereka juga menggunakan berbagai metode tafsir untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif dan akurat tentang ayat-ayat Alquran.

Baca Juga: Kriteria-kriteria Tafsir Kontekstual Menurut Ali Mustafa Yaqub

Kesimpulan

Dalam kesimpulannya, antara penafsiran literal dan kontekstual sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagaimana diuraikan di atas. Namun, seiring perkembangan waktu, pemikiran tafsir abad klasik telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan zaman. Saat ini, para ahli tafsir cenderung menggabungkan kedua metode tersebut dalam memahami Alquran. Penafsiran literal tetap diperlukan untuk memahami makna harfiah dari kata-kata dalam Alquran, sementara penafsiran kontekstual diperlukan untuk membantu memperkaya wawasan keagamaan, serta mendorong diskusi yang lebih terbuka dan inklusif.

Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan? dari Kemuliaan Nasab hingga Toleransi

0
Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan?
Nabi Ishaq atau Nabi Ismail yang Dikurbankan?

Perbedaan pendapat adalah hal biasa di kalangan ulama meskipun terkait dengan kemuliaan nasab atau ras. Beberapa ulama justru menyatakan bahwa tokoh yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah Nabi Ishaq a.s., bukan Nabi Ismail a.s.

Disebutkan oleh al-Tsa’labi (w. 427 H) dalam kitab beliau, al-Kasyf wa al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an bahwa tokoh-tokoh pendukung pendapat pertama ini di antaranya adalah; dari kalangan sahabat yakni Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan al-Abbas bin Abd Muthalib; dari kalangan tabiin dan pengikut mereka yakni Ka’ab al-Ahbar, Sa’id bin Jubair, Qatadah, Ikrimah, Muqatil, al-Zuhri, dan al-Sudi. Kesadaran akan luhurnya identitas dari ras Nabi Ismail tidak menjadikan mereka menegasikan riwayat yang menyebut bahwa Nabi Ishaq as. adalah tokoh terhormat yang dimaksud.

Di sisi lain kalangan yang menyebut Nabi Ismail a.s. sebagai sosok yang dikurbankan adalah Abdullah bin Umar dan Abu Umair Amir bin Watsilah dari kalangan sahabat. Sementara dari kalangan tabi’in dan pengikut mereka adalah Said bin Musayyab, al-Sya’bi, al-Hasan al-Bashri, Yusuf bin Mahran, Mujahid, Rabi’ bin Anas, Ibn Ka’b al-Quradhi, dan al-Kalbi. Satu nama yang juga meriwayatkan akan pendapat ini yakni Ibn al-Abbas.

Baca Juga: Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 1)

Pendapat Berdasarkan Ilmu Bukan Nasab

Dapat dilihat bagaimana Abdullah bin Umar memilih berbeda pendapat dengan ayahanda beliau sendiri yang cenderung pada pendapat pertama. Tidak jauh berbeda dari Abdullah bin Umar, Ibn al-Abbas justru meriwayatkan kepada banyak murid beliau substansi yang bertentangan dengan pendapat yang diyakini oleh al-Abbas bin Abdul Muthalib, ayah beliau.

Bayangkan saja betapa teguhnya beliau berdua memegang pendapat pribadi yang diyakini. Pada zaman keduanya, tentu Umar bin Khattab dan al-Abbas bin Abdul Muthalib merupakan tokoh yang lebih populer dan heroik dibandingkan dua sahabat muda tersebut. Akan tetapi nasab dan ilmu adalah hal yang berbeda satu sama lain.

Abdullah bin Umar dan Ibn al-Abbas dengan berani memosisikan diri berbeda karena ilmu yang mengharuskan mereka demikian. Kalau saja pendapat keduanya tidak berbeda dengan ayah mereka masing-masing tentu diskusi akan ayat yang mubham akan berhenti dan memunculkan konsensus dogmatis. Kesadaran bahwa konteks pembicaraan terkait kurban murni merupakan pendapat keilmuan akan memunculkan toleransi. Jika dikaitkan dengan nasab bisa jadi tidak ada toleransi bagi dua sahabat muda yang berbeda dengan ayah mereka.

Adakalanya masalah keilmuan lebih diutamakan daripada nasab. Berdasarkan ilmu Nabi Ibrahim a.s. berbeda paradigma dengan ayah dan bangsanya. Sementara tanpa didasari ilmu Kan’an putera Nabi Nuh a.s. memilih tenggelam bersama orang-orang yang tidak beriman. Sekali lagi nasab dan ilmu adalah hal yang berbeda satu sama lain. Nasab tanpa ilmu tidak dapat mengantarkan pada kemuliaan pencarian akan hakikat kasih sayang Tuhan.

Begitu pula masalah siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim a.s. bukan semata perihal kemuliaan nasab bangsa Arab. Ibn Mas’ud menyatakan, “aku adalah fulan anak dari fulan anak dari para tetua yang mulia. Adapun dia adalah Yusuf anak dari Ya’qub anak dari Ishak dzabihullah (yang dikurbankan Allah) anak dari Ibrahim khalilullah (kekasih Allah). Pendapat Ibn Mas’ud ini disinyalir dari jalur periwayat yang tsiqah yakni Syu’bah, Abu Ishaq Amr bin Abdullah bin Ubaid al-Sabi’i, Abu al-Ahwash Auf bin Malik bin Nadhlah al-Jusyami.

Pendapat Ibn Mas’ud tersebut jelas mengarah pada juktaposisi antara bangsa Arab dan bangsa Bani Israil. Beliau tidak takut kehilangan kemuliaan jika pun kehormatan sebagai yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim bukanlah Nabi Ismail a.s., moyang dari bangsanya. Tanpa ataupun dengan kehormatan dari leluhur tersebut seseorang akan tetap luhur sesuai dengan amal kebajikan yang dia kerjakan. Justru para ulama dapat menghormati tokoh dari ras atau bangsa lain jika benar tokoh tersebut telah melakukan pengabdian tulus karena Allah swt. semata.

Baca Juga: Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 2)

Toleransi dalam Perkara Furuk

Kita dapat meniru Ibn al-Abbas dan bagaimana sikap toleran beliau dalam hal ini. Riwayat beliau dari jalur Said bin Jubair menyebut bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq a.s. Sementara dari jalur Atha’ bin Rabah dan empat puluh tabi’in lainnya disebutkan bahwa beliau menyatakan yang dikurbankan adalah Nabi Ismail a.s.

Barangkali kita bisa bingung bagaimana bisa seorang tokoh memiliki dua pendapat yang berbeda dalam satu masalah yang sama seperti Ibn al-Abbas di atas. Fenomena ini tentu bukan karena beliau tidak konsisten apalagi bipolar, tentu tidak. Beliau justru secara tidak langsung berperan sebagai penafsir Alquran yang peka terhadap apa yang mubham atau tidak disebut jelas dalam Alquran. Timbulnya perbedaan pendapat di atas dikarenakan Alquran memang tidak menyebut secara jelas siapakah yang dikurbankan, lihat al-Shaffat ayat 102.

Dua pendapat yang berbeda memiliki kemungkinan kebenaran yang sama karena memang tidak disebutkan secara sharih penjelasannya, terlebih kedua Nabi tersebut sama-sama putera Nabi Ibrahim a.s. sehingga memiliki peluang yang sepadan. Oleh karenanya Ibn al-Abbas dalam hal ini dapat dikatakan netral karena isu ini bukanlah hal ushul atau tidak berpengaruh pada keimanan seseorang.

Riwayat Ibn al-Abbas dari jalur Said bin Jubair dapat dipahami sebagai bentuk toleransi akan pendapat penduduk Kufah. Wilayah tersebut menjadi sentral pengajaran dua tokoh besar pendukung pendapat pertama yakni Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas’ud. Sementara pendapat beliau yang kedua disebut oleh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari sebagai riwayat yang lebih populer. Diriwayatkan oleh empat puluh perawi lebih, yang mana mayoritas mereka berada di luar Kufah.

Artinya, Ibn al-Abbas dapat menyesuaikan diri dan toleran terhadap dua pendapat tersebut. Jika tidak ada yang salah dari dua pendapat yang berbeda, mengapa kita menutup diri dari kemungkinan akan kebenaran dari keduanya? Terlebih hal ini berada dalam ranah furuiyah. Selagi masing-masing pendapat memiliki dalil berdasarkan data dan logika yang dapat diuji validitasnya, bisa jadi kita membutuhkan lebih dari satu kebenaran untuk perbaikan peradaban kemanusiaan. Wallahu a’lam.

Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

0
kisah pemuda pemilik sapi
kisah pemuda pemilik sapi

Surah al-Baqarah merupakan surah terpanjang dalam Alquran yang memuat berbagai aturan-aturan dan hikmah-hikmah. Selain itu, dalam surah ini juga dijelaskan kisah-kisah yang mengandung banyak ibrah. Diantaranya adalah kisah Bani Israil pada masa Nabi Musa a.s. yang diperintahkan menyembelih seekor sapi. Termasuk juga kisah pemuda pemilik sapi yang di’cari-cari’ oleh Bani Israil tersebut.

Kisah tersebut diceritakan cukup pajang dalam Alquran surat al Baqarah dari ayat ke-67 sampai ayat ke-73. Ayat-ayat tersebut mengisahkan sikap Bani Israil yang terlalu banyak mempertanyakan kriteria sapi yang harus disembelih. Akibat pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya mereka harus menyembelih sapi dengan kriteria yang sangat langka. Sebenarnya, andai mereka tidak mempertanyakan lebih detail lagi kriteria sapinya, maka sapi mana pun yang disembelih sudah cukup untuk menunaikkan perintah Allah tersebut. Demikian penjelasan al-Thabari dalam tafsirnya. (Tafsir al-Thabari, juz 2, hal. 185).

Baca Juga: Rahasia Sapi Di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Dalam kitab Tafsirnya, Imam al-Baghawi menceritakan bahwa di kalangan Bani Israil ada seorang lelaki saleh yang mempunyai seorang anak kecil dan seekor anak sapi. Menjelang hari kematiannya, lelaki itu melepaskan anak sapi tersebut di sebuah hutan seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, aku titipkan anak sapi ini untuk anakku sampai ia dewasa nantinya”.

Allah swt. memperkenankan doa lelaki tersebut. Setelah dia meninggal dunia, anak sapi tersebut tidak pernah keluar hutan dan selalu lari bersembunyi tatkala ada yang melihatnya.

Waktu terus berlalu, anak tadi tumbuh menjadi seorang pemuda yang berbakti kepada ibunya. Aktivitas kesehariannya adalah mencari kayu bayar untuk kemudian dijual di pasar. Hasil dari penjualan kayu bakar tersebut dibaginya menjadi tiga bagian, satu bagian untuk sedekah, satu bagian untuk makan, dan yang terakhir untuk ibunya.

Di malam hari, dia juga membagi waktu malamnya menjadi tiga, sepertiga untuk beribadah, sepertiga lagi untuk tidur, dan sepertiganya lagi untuk bersimpuh menunggui ibunya.

Suatu hari ibunya berkata, “Sesungguhnya ayahmu meninggalkan anak sapi untukmu yang dilepaskan di sebuah hutan. Carilah sapi itu seraya berdoa kepada Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub supaya Dia mengembalikannya kepadamu. Ciri-cirinya adalah ketika melihatnya, kamu akan mengira bahwa sinar matahari memancar dari tubuhnya saking bagus dan bercahayanya sapi tersebut.”

Pemuda itu kemudian pergi ke hutan demi mencari anak sapi yang dimaksud. Atas izin Allah swt., dia berhasil menemukannya. Kemudian dia berkata, “Demi Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub, datanglah kepadaku.”

Anak muda itu kemudian menangkap sapi yang datang menghampirinya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba sapi tersebut berbicara, “Hai anak muda yang berbakti pada ibunya, naikilah aku supaya ringan bagimu.” Anak muda tadi berkata, “Tidak, sesungguhnya ibuku memerintahkanku untuk membawamu pulang dengan cara digiring, bukan ditunggangi.”

Sapi tersebut menjawab, “Demi Tuhan Bani Israil, jika engkau menunggangiku (berarti tidak mematuhi perintah ibunya), maka selamanya kamu tidak akan sanggup menaklukkanku. Maka berjalanlah, karena sesungguhnya andaikan engkau memerintahkan sebuah gunung untuk berjalan mengiringimu, niscaya gunung itu akan tunduk menuruti perintahmu disebabkan baktimu kepada ibumu.”

Sesampai di rumah, ibunya berkata, “Nak, kamu ini orang miskin yang tidak punya harta benda. Bekerja mencari kayu bakar di siang hari kemudian dilanjutkan dengan ibadah di malam hari pasti membuatmu merasa kepayahan. Maka dari itu, juallah sapi ini ke pasar seharga tiga dinar. Jangan kamu jual dengan harga lain kecuali atas persetujuanku.”

Baca Juga: Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya

Pemuda itu pun pergi ke pasar untuk menjual sapi. Lalu Allah swt. mengutus seorang malaikat yang menjelma menjadi sesosok manusia untuk memperlihatkan kekuasan-Nya dan memberitahukan bakti anak muda itu terhadap ibunya kepada makhlukNya.

“Berapa dinar engkau jual sapi ini?” tanya Malaikat.

Pemuda itu menjawab, “Tiga dinar, dan aku mengadakan perjanjian kepadamu dengan keridhaan ibuku.”

“Aku akan beli sapimu dengan harga enam dinar. Kamu tidak perlu meminta persetujuan ibumu.” Bujuk Malaikat itu.

“Bahkan andai engkau memberiku emas seberat lembu ini, takkan kuterima kecuali dengan persetujuan ibuku”.

Anak muda itu kemudian pulang ke rumah, dan menyampaikan bahwa sapinya ditawar enam dinar.

“Kembalilah ke pasar, dan juallah sampu itu dengan enam dinar atas keridhaanku.” Perintah ibunya.

Anak muda itu pun kembali ke pasar. Sesampainya dipasar, dia bertemu dengan Malaikat tadi, seraya berkata, “Sudahkah engkau minta persetujuan ibumu?”

“Ibuku memerintahkan aku agar menjual sapi ini tidak kurang dari enam dinar.” Kata sang pemuda.

Malaikat tersebuk kemudian berkata, “Aku akan memberimu 12 dinar, dan kamu tidak perlu meminta persetujuan ibumu.”

Pemuda itu kembali lagi kepada ibunya dan memberitahukan mengenai tawaran ini. Sang ibu berkata, “Sesungguhnya orang yang mendatangimu itu adalah Malaikat. Dia menjelma menjadi sosok manusia untuk mengujimu. Jika ia mendatangimu lagi, tanyakanlah, apakah engkau mengizinkan aku menjual lembu ini atau tidak?”

Pemuda itu pun melakukan apa yang diperintahkan ibunya. Akhirnya Malaikat tersebut mengatakan, “Pulanglah engkau dan katakan pada ibumu agar merawat sapi ini baik-baik. Kelak akan ada orang yang mati terbunuh di kalangan Bani Israil dan untuk itu Nabi musa bin ‘Imran akan membeli sapi ini darimu. Lalu, jangan kau jual sapi ini (kepada Nabi Musa as.) kecuali dengan uang dinar seberat sapi itu.”

Pemuda itu pulang dan merawat sapi tersebut baik-baik. Tidak lama kemudian Allah swt. mentakdirkan Bani Israil supaya menyembelih seekor sapi. Lalu mereka berkali-kali meminta supaya Nabi Musa a.s. menjelaskan secara detail kriteria sapi yang akan disembelih. Pada akhirnya, sapi milik pemuda itulah yang memenuhi syarat. Itu semua terjadi semata-mata karena amal bakti anak muda itu kepada ibunya.

Demikialah kisah yang dituturkan ulama dalam berbagai kitab tafsir. Menurut Imam Ibnu Katsir, kisah di atas berumber dari riwayat israiliyat yang belum bisa dibuktikan validitasnya, akan tetapi, beliau menegaskan bahwa kisah di atas termasuk kisah israiliyat yang boleh diceritakan meski tidak bisa dijadikan pedoman dalam menafsirkan ayat- ayat Alquran. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 298].

Terlepas dari validitas kisah di atas yang masih belum bisa dibuktikan, kita dapat mengambil banyak ibrah dan pelajaran dari kisah pemuda pemilik sapi tersebut, terutama kesalehan serta teladannya dalam berbakti kepada orang tuanya. Wallah a’lam.

Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 2)

0
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya, sudah diuraikan pendapat mufasir dari periode klasik dan beberapa mufasir dari periode pertengahan tentang perbedaan penafsiran tentang peristiwa kurban. Berikut sambungan dari penjelasan sebelumnya.

Ketiga, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. (Jilid 26, 346-348 ). Terkait persoalan ini, al-Razi cukup panjang lebar membahasnya. Di awal dia menyebutkan para tokoh yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. (‘Umar, ‘Ali, ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, Ibnu Mas’ud, Ka’ab al-Akhbar, Qatadah, Sa’id bin Jubair, Masruq, ‘Ikrimah, Zuhri, Saddi, dan Muqatil), atau Ismail as. (Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Musayyab, Hasan, asy-Sya’biyyi, Mujahid dan Kalbi).

Mereka yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as berdasarkan pada, pertama, berdasarkan sabda Nabi Saw. “أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ”. Kedua, Ishaq as. tidak pernah di Mekkah. Ketiga, berdasarkan surah Alanbiya’ [21]: 85 dan Maryam [19]: 54 merujuk pada Ismail as. Keempat, berdasarkan surah Hud [11]: 71, setelah Ishaq as. ada Ya’qub as., sehingga tidak mungkin yang dikurbankan adalah Ishaq as. kelima, surah Alshaffat [37]: 99-100 merujuk pada Isma’il as., bukan Ishaq as. keenam, tanduk domba jantan ada di Ka’bah, Mekah, yang menandakan bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as. Jika yang dikurbankan adalah Ishaq as., seharusnya terjadi di Syam.

Sedangkan yang mendukung Ishaq as. hanya ada dua argumen, yakni bahwa surah alshaffat [37]: 112-113 membicarakan tentang Ishaq as., maka kuat disinyalir yang dikurbankan ialah Ishaq as. Lalu, keterangan kitab Ya’qub as, kepada Yusuf as. yang menyebutkkan إِسْحَاقَ ذَبِيح اللَّه بْنِ إِبْرَاهِيمَ خَلِيل اللَّه.

Sebagai penutup dari persoalan ini, al-Razi mengutip perkataan dari al-Zajjaj bahwa, “Hanya Allah Swt. yang tahu siapa di antara keduanya yang dikurbankan. Mereka yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as., maka tempatnya di Mina. Sedangkan apabila yang dikurbankan Ishaq as., maka tempatnya di Syam atau pun Baitul Maqdis”.

Baca Juga: Fungsi Transformatif Islam dalam Ritual Kurban

Tafsir Periode Modern

Pertama, Tafsir al-Maraghi (Jilid 23, 74) karya dari Musthafa al-Maraghi. Dalam menafsirkan surah Alshaffat [37]: 102, al-Maraghi cukup singkat menjelaskannya. Bahwa ayat tersebut berkenaan dengan seseorang yang taat dan menepati janji. al-Maraghi pun mengaitkannya dengan surah Maryam [19]: 54, bahwa Ismail as. adalah orang yang benar-benar menepati janji.

Kedua, Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili (Jilid 12, 119-120). Dalam tafsirnya, al-Zuhaili membahas secara khusus siapakah sebenarnya putra yang dikurbankan? Terlihat jelas dalam uraiannya bahwa ia berpihak pada pendapat yang menyatakan bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as.

Untuk menjelaskan perkara tersebut, al-Zuhaili mengutip pendapat dari al-Baidhawi dengan lima argumennya, yakni Isma’il as. adalah anak yang dianugerahkan selepas Ibrahim as. hijrah, kelahiran Ishaq as. di’athafkan dengan kabar kelahiran Isma’il as. Kemudian, sabda Nabi Saw. “أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ”, dan dua tanduk domba tersebut ada di Makkah. Terakhir adalah kabar kelahiran Ishaq as. diikuti dengan kabar kelahiran Ya’qub as.

Sedangkan rujukan dari pendapat Ibnu Katsir adalah pendapat ulama atau bahkan sahabat yang menyebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. sama sekali tidak ada dasarnya, baik itu dalam Alquran maupun sunah. Justru pendapat itu diduga berasal dari para Ahlul Kitab.

Baca Juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Kesimpulan

Dari segi penyampaiannya, data yang ditemukan penulis dari beberapa sampel karya tafsir yakni, dalam periode klasik penyampaiannya diuraikan secara singkat, berdasarkan riwayat hadis tanpa adanya argumen lanjutan.

Sedangkan dalam periode pertengahan, mufasir menyantumkan banyak hadis sebagaimana at-Thabari. Ada pula yang menambahkan argumennya hingga beberapa poin, semisal al-Zamakhsyari dan al-Razi. Adapun dalam karya tafsir modern, penjelasan mufasir cenderung mengulang apa yang disampaikan oleh mufasir pada periode pertengahan.

Lalu, dari segi kecenderungan mufasir terkait sosok yang dikurbankan, pada karya tafsir klasik, mereka tidak banyak berkomentar. Kecenderungan mereka disampaikan melalui nukilan atas sebuah riwayat.

Hal ini berbeda dengan mufasir periode pertengahan. Kecenderungan mereka diikuti dengan rentetan argumen, baik itu didasarkan pada hadis maupun Alquran. Ada yang secara tegas mengklaim bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as., sebagaimana penjelasan ath-Thabari.

Ada pula yang tidak menyatakan secara lugas, namun kecenderungannya bisa diamati dari argumen yang disampaikan, sebagaimana al-Razi dan al-Zamakhsyari. Sekalipun keduanya sama-sama menyantumkan pendapat yang condong pada Isma’il as. atau Ishaq as., sekaligus menyampaikan jalan tengah di akhir urainnya, namun kedua mufasir tersebut terlihat begitu antusias saat menjelaskan pendapatnya yang lebih mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as.

Hal ini jauh berbeda dengan tafsir modern, sebagaimana al-Maraghi dan al-Zuhaili. Ketika menjelaskan peristiwa kurban tersebut, keduanya langsung menyondongkan pendapatnya pada salah satu tokoh, yakni Isma’il as. Sekalipun argumen yang digunakan memang mengutip dari karya tafsir sebelumnya, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Zuhaili.

Namun dari pada itu, hal ini justru mengindikasikan bahwa mufasir modern seakan tidak tertarik pada perdebatan mengenai tokoh yang dikurbankan dalam peristiwa tersebut. Mereka langsung memberikan klaimnya dan beranjak menafsirkan yang lain.

“Ketidaktertarikan” ini bisa juga diamati dalam Tafsir al-Misbah, dimana M. Quraish Shihab sama sekali tidak menyinggung siapa yang dikurbankan Ibrahim as. saat itu. Beliau lebih tertarik pada pembahasan kosa kata dan sejarah pengorbanan manusia untuk Tuhan. Wallah a’lam bish shawab.

Unsur Keindahan Linguistik Ayat-Ayat dalam Surah Attakwir

0
Unsur Keindahan Linguistik Ayat-Ayat dalam Surah At-Takwir
Surah Attakwir

Terletak di urutan yang ke-81 dalam susunan Alquran, surah Attakwir merupakan salah satu surah yang tergolong ke dalam surah–surah Makkiyah dan terdiri dari 29 ayat. Surah Attakwir merupakan surah yang menjelaskan tentang peristiwa–peristiwa besar yang terjadi pada hari kiamat. Pada hari itu, setiap manusia akan mengetahui apa saja yang sudah dikerjakannya saat masih di dunia.

Surah Attakwir memiliki keistimewaan tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Nah untuk itu, agar dapat mengetahui keistimewaan tersebut, seseorang harus memahami terlebih dahulu ilmu–ilmu yang mempelajari kaidah bahasa Arab.

Ilmu yang dimaksud baik ilmu nahu-saraf yang mempelajari struktur dan susunan kata dalam sebuah kalimat serta bentuk dan perubahan kata, ataupun ilmu balaghah, yang membahas tentang tata cara mengolah kata atau susunan kalimat bahasa Arab yang indah dan memiliki arti yang jelas. Di antara keistimewaan surah Attakwir yaitu sebagai berikut.

  1. As-Syartu wa al-jawaabu

Di antara yang menjadikan surah Attakwir menarik adalah bahwa di dalam surah Attakwir terdapat banyak sekali kalimat syarat yang beruntun dari ayat pertama hingga ayat ketiga belas. Kemudian, disusul dengan satu kalimat jawab saja pada ayat keempat belas untuk melengkapi runtutan syarat tersebut. Selain itu, di dalam surah Attakwir juga ada keserasian sajak akhir ayat yang semuanya tersusun rapi.

إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ (1) وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ (2) وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ (3) وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ (4) وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ (5) وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ (6) وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ (7) وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ (10) وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ (11) وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12) وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ (13) عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ (14)

“Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan), dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan apabila neraka Jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. (Q.S. Attakwir [81]: 1-14).

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Dapat dipahami dari sini, isi kandungan surah Attakwir banyak menggunakan syarat beruntun untuk menggambarkan banyaknya peristiwa di hari kiamat. Jarang sekali ditemui di dalam Alquran adanya syarat beruntun, yang diakhiri dengan satu jawab saja. Kemudian, apabila semua peristiwa itu sudah terjadi keseluruhan, maka setiap manusia akan segera mengetahui apa saja yang telah dikerjakannya selama di dunia. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya:

وقوله: { عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ } هذا هو الجواب، أي: إذا وقعت هذه الأمور حينئذ تعلم كل نفس ما عملت وأحضر ذلك لها

“FirmanNya: (عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ) ini adalah jawab (dari runtutan syarat di ayat–ayat sebelumnya), yaitu apabila telah terjadi semua peristiwa ini, maka pada hari itu setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah dilakukannya, dan didatangkan peristiwa tersebut kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, hal. 335).

Banyaknya peristiwa yang terjadi pada hari kiamat yang disebutkan dalam surah Attakwir, membuat Wahbah Zuhaily menulis dalam tafsirnya tentang surah Attakwir ayat 1-12 yaitu Tafsir Al-Munir. Beliau membagi peristiwa tersebut menjadi dua, yaitu enam ayat pertama berisi peristiwa yang awal datangnya hari kiamat sebelum rusaknya dunia. dan enam ayat selanjutnya berisi peristiwa kiamat itu sendiri (hancurnya dunia).

  1. Syaj’u

Selain syarat yang beruntun, pola dalam penyusunan kata di akhir kalimat juga sangat indah, setiap akhir ayat memiliki kesamaan kata كُوِّرَتْ, انْكَدَرَتْ, عُطِّلَتْ, حُشِرَتْ, سُجِّرَتْ, زُوِّجَتْ, سُئِلَتْ, قُتِلَتْ, نُشِرَتْ, كُشِطَتْ, سُعِّرَتْ, أُزْلِفَتْ, أَحْضَرَتْ yang menjadikannya sangat serasi jika dibacakan; dan juga menggambarkan keindahan lafaznya. (Tafsir Al-Munir, juz 30, hal. 81).

Baca juga: Keistimewaan Surah Ala’la: Surah Favorit Rasulullah

  1. Jinas

Imam Ashobuni menulis dalam kitabnya, Shofwatu At-Tafaasir berbagai keindahan balaghah surah ini. Selain yang sudah dijelaskan di atas, Imam Ashobuni menambahkan adanya jinas. Menurut beliau, di dalam surah Attakwir terdapat jinas naqis, di ayat فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ (15) الْجَوَارِ الْكُنَّسِ (16) yaitu antara lafaz (الْخُنَّسِ) dan lafaz (الْكُنَّسِ). Lalu jinas ghoiru tam di ayat ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ (20) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ (21), yaitu antara lafaz (أَمِيْنٍ) dan (مَكِيْنٍ). (Shofwatu At-Tafaasiir Lishobuuni, juz 3, hal. 463-434).

  1. Isti’arah

Kemudian beliau menyebutkan lagi adanya untsur isti’arah, yaitu cara pengungkapan makna dalam bentuk gambaran imajinasi. Di antaranya ada isti’arah tashrihiyyah di lafaz وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ yang menyerupakan “waktu siang” dan “bersinarnya cahaya” dengan udara sepoi–sepoi yang menghidupkan hati. Selanjutnya isti’aroh lafaz  تنفّسuntuk menyerupakan “datangnya siang” setelah “gelap gulita”. Ini merupakan isti’arah yang sangat lembut dan menceritakan gambaran kesedihan dengan menyingsinya waktu subuh (Shofwatu At-Tafaasiir, juz 3, hal. 463).

  1. Kinayah

Beliau juga menyebutkan kinayah, yaitu mengucapkan lafaz tetapi yang dimaksud adalah kelaziman maknanya. Imam Ashobuni menyebutkan adanya kinayah latifah (sindiran yang lembut) dalam lafaz وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ yang makna “temanmu” di situ merujuk kepada Nabi Muhammad saw.

Baca juga: Balaghah Alquran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Alquran

  1. Ittibaq

Ittibaq adalah perbandingan antara dua lafaz yang berlawanan. Terdapat penyebutan ittibaq (perbandingan) dalam ayat وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12) وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ (13) yaitu antara lafaz (الْجَحِيْمُ) dan lafaz (الْجَنَّةُ). (Shofwatu At-Tafaasiir, juz 3, hal. 463-464).

Demikianlah segelintir penjelasan dari keistimewaan surah Attakwir, salah satu surah yang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan keindahannya. Surah dengan kalimat syarat terbanyak dalam Alquran dan mengandung informasi berbagai peristiwa besar yang akan datang pada hari kiamat nanti. Wallahu a’laam bish showwab.

Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

0
Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan
Setisp hukum syariat berorientasi pada kemaslahatan dan keadilan.

Syariat Islam hadir untuk membawa kemaslahatan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Semua hukum Islam yang terdapat dalam Alquran dan hadis diperuntukkan bagi kepentingan hidup manusia, baik dalam aspek jiwa, harta benda, dan lain sebagainya.

Selain prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan dalam dua tulisan sebelumnya, ada dua prinsip lagi yang menjadi ruh dalam setiap bentuk penetapan dan penerapan ajaran Islam. dua prinsip tersebut adalah al-maslahah (berorientasi maslahat) dan al-musawah wa al-‘adalah (kesetaraan dan keadilan).

Al-Maslahah (Berorientasi Maslahat)

Ulama sepakat bahwa semua hukum dan aturan dalam syariat pasti memiliki hikmah dan berorientasi maslahat bagi kehidupan manusia. Jangankan aturan-aturan syariat yang memang diproyeksikan untuk membimbing manusia, segala ciptaan Allah yang ada di alam raya ini pasti mengandung hikmah dan tidak ada yang sia-sia. Hal ini dijelaskan misalnya dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 16

{ وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ }

Artinya: “Kami tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya sebagai suatu permainan dan hal yang sia-sia belaka.

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)

Eksistensi maslahah dalam setiap hukum syariat dibuktikan dengan rumusan yang dilakukan oleh para ulama ketika mengkaji setiap hukum yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis.

Ada banyak hukum partikular-kasuistik dalam Alquran yang mengindikasikan bahwa dalam setiap aturan syariat terdapat hikmah dan maslahat di dalamnya. Dari ayat-ayat dan hadis-hadis partikular inilah para ulama kemudian melakukan proses deduksi yang menghasilkan suatu rumusan bahwa setiap hukum syariat berorientasi maslahat.

Salah satu ayat yang secara tegas menyebutkan ada maslahat di balik suatu syariat hukum adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 179:

{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ }

Artinya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam syariat qishash terdapat hikmah besar dan maslahat bagi semua pihak. Qishash mengandung kehidupan bukan berarti dengan pelaksanaan qishash akan menciptakan kehidupan baru. Akan tetapi, syariat qishash berpotensi menyelamatkan kehidupan orang yang berniat membunuh dan orang yang diincar oleh pembunuh.

Pasalnya, jika seseorang tau bahwa ketika ia membunuh akan mendapat hukuman qishash, barangkali ia akan mengurungkan niatnya untuk membunuh. Hal ini, selain menyelamatkan nyawanya sendiri dari hukuman qishahs, juga akan menyelamatkan nyawa orang lain dari tindakan pembunuhan yang semula akan ia lakukan.

Baca juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Dalam diskursus ilmu usul fikih, kemaslahatan yang terkandung dalam setiap hukum Islam tersebut dirumuskan dalam sebuah kajian tersendiri yang disebut maqasid syariah.

Maqasid syariah sendiri dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan syariat. Dalam hal ini, tujuan syariat adalah membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik, bermartabat, dan tentunya menggapai keselamatan di dunia dan di akhirat.

Secara umum, ulama membagi kepentingan manusia yang menjadi objek maqasid syariah menjadi tiga bagian; kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Dalam usul fikih, ketiga istilah di atas lebih familier dikenal dengan istilah al-dharuriat, al-hajiyat, dan al-tahsiniat.

Al-Musawah wa al-‘Adalah (Kesetaraan dan Keadilan)

Salah satu prinsip yag tak kalah penting dalam proses perumusan hukum syariat adalah konsep al-musawah wa al-‘adalah. Dalam tataran aplikatif, Islam sangat menjunjung tinggi aspek kesetaraan dan kesamaan. Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan ras, suku, bangsa, dan bahasa. Di hadapan syariat Islam, semuanya berkedudukan sama.

Prinsip al-musawah ini di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13:

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ}

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Menurut sebagian riwayat, ayat di atas turun untuk menegur sebagian orang yang bersikap rasis terhadap sahabat Bilal bin Rabah r.a.

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal r.a. naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan azan. Orang-orang Quraish yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan azan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal r.a. [Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, juz 1, hlm. 437].

Kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip utama dalam syariat Islam, baik menyangkut soal ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa mempertimbangkan latar belakang ras, suku, dan bangsa.

Selain prinsip kesamaan, prinsip serupa yang tak lalah pentingnya dalam syariat Islam adalah keadilan. Di antara ayat Alquran yang membicarakan soal prinsip ini misalnya dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 58:

{وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ}

“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa seseorang harus mampu berlaku adil terkait menunaikkan hak orang lain. Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum. tidak hanya kepada seorang hakim, perintah untuk berlaku adil dalam memberi keputusan menyangkut hak-hak orang lain juga berlaku bagi seluruh umat muslim. [Tafsir al-Sya’rawi, juz 4, hal. 2350-2351].

Baca juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Kesetaraan dan keadilan merupakan prinsip utama dalam yang melandasi setiap kebijakan-kebijakan dalam syariat. Dengan dua prinsip ini, nilai-nilai keislaman akan mudah diterima oleh manusia secara umum sebab keduanya memang sejalan dengan fitrah manusia untuk diberlakukan secara setara dan adil.

Akhir kata, dengan adanya prinsi-prinsip yang telah dirumuskan oleh ulama tersebut, dipahami bahwa betapa Islam merupakan agama universal yang membawa rahmat dan keselamatan bagi seluruh alam. Sekian.

Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 1)

0
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)

Perbedaan pendapat tentang siapa putra yang dikurbankan oleh Ibrahim as. dalam peristiwa kurban tidak hanya terjadi antaragama Kristen, Yahudi dan Islam. Di antara internal Islam pun, yakni antarmufasir juga dijumpai perdebatan terkait peristiwa sakral tersebut. Dalam Alquran, kisah itu diabadikan dalam surah Alshaffat [37]: 102.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Artikel ini, dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan periodesasi karya tafsir, mulai dari klasik, pertengahan, hingga modern. Berikut penjelasannya.

Baca juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Tafsir Periode Klasik

Pada era klasik ini, kitab tafsir diwakili oleh riwayat-riwayat dari para sahabat yang berhasil dikumpulkan, disistematiskan, hingga dibukukan. Di antaranya adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas yang disusun oleh al-Fairuz Abadi dan Tafsir Ibnu Mas’ud yang disusun oleh Muhammad Ahmad Isawi. Selain dari para sahabat, juga dari kalangan tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Dalam Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas (hal. 377) hanya disebutkan satu periwayatan, sebagaimana berikut ini;

{ فلما بلغ معه السعي } العمل لله بالطاعة ويقال المشىء معه إلى الجبل { قال } إبراهيم لابنه إسمعيل ويقال إسحاق { يا بني إني أرى في المنام } أمرت فى المنام { أني أذبحك فانظر ماذا ترى } تشير وتأمر { قال يا أبت افعل ما تؤمر } من الذبح { ستجدني إن شاء الله من الصابرين } على الذبح

Bahwa ketika surah Alshaffat [37]: 102 turun, yakni perintah untuk mengurbankan salah satu dari putranya, Ibrahim as. menyampaikan hal tersebut kepada Ishaq as. dan Isma’il as.
Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Mas’ud (hal. 851) disebutkan dua riwayat hadis dengan substansi yang berbeda. Pertama, hadis yang didapat dari al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain yang dinilai sahih, disebutkan bahwa anak yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim as. adalah Nabi Ismail as. Kedua, hadis yang dirujuk dari ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq as.
Setelah penyebutan kedua hadis ini, tidak ada suatu pernyataan untuk menegaskan mana yang benar. Ahmad Isawi hanya memberikan keterangan lebih lanjut dalam catatan kaki, yang mana dari kedua hadis itu sama-sama mengklaim sahih.
Ada pula karya tafsir dari tabi’ tabi’in yakni al-Farra’ dalam Ma’anil Qur’an (Jilid 2, 389) yang disebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Isma’il as. saat usianya mencapai 13 tahun.

Tafsir Periode Pertengahan

Beberapa karya tafsir pada periode pertengahan ini yaitu, pertama, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Jilid 19, 578) karya ath-Thabari. Dalam persoalan siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim as., ath-Thabari dengan jelas mengatakan bahwa dia adalah Ishaq as.

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: فَبَشَّرْنَا إِبْرَاهِيمَ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ، يَعْنِي بِغُلَامٍ ذِي حِلْمٍ إِذَا هُوَ كَبُرَ، فَأَمَّا فِي طُفُولَتِهِ فِي الْمَهْدِ، فَلَا يُوصَفُ بِذَلِكَ وَذُكِرَ أَنَّ الْغُلَامَ الَّذِي بَشَّرَ اللَّهُ بِهِ إِبْرَاهِيمَ إِسْحَاقَ

Ath-Thabari menyuguhkan setidaknya 5 hadis yang secara khusus menyinggung peristiwa kurban, namun tidak ada satupun yang memberikan pernyataan bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as.
Kedua, tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Qur’an (Jilid 4, 56-58) karya al-Zamakhsyari. Dalam penafsirannya, al-Zamakhsyari mengakui adanya perbedaan pendapat terkait siapa yang dikurbankan. Sehingga, dia sama-sama memaparkan pendapat dari golongan yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as. atau Ishaq as. dengan masing-masing argumennya.
Mereka yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as., yakni dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka’ab al-Quradzi dan para pengikutnya. Pertama, berdalih dengan sabda Nabi saw. yakni ana ibnu dzabihaini (aku adalah putra dari dua yang dikurbankan, yakni pada peristiwa ‘Abdul Muthallib yang hendak mengurbankan ‘Abdullah (ayah Nabi saw.), namun digantikan dengan seratus unta dan peristiwa pengurbanan Ismail as.

Baca juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban 
Kedua, mengutip dari cerita ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia telah mengutus seseorang agar menanyakan kebenaran peristiwa tersebut kepada orang Yahudi yang telah masuk Islam. Menurut penuturannya, sebenarnya orang Yahudi mengetahui bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as., namun mereka iri kepada orang Arab. Sehingga, mereka membakar tanduk domba sesembelihan Ibrahim as. yang ada di Ka’bah.
Kemudian, pihak yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, al-‘Abbas, ‘Atha’, Ikrimah, dan para pengikutnya. Pernyataan tersebut didasarkan pada catatan Ya’qub as. kepada Yusuf as., dimana di dalamnya tertulis ada kata dzabihullah yang disematkan pada nama Ishaq as.;

من يعقوب إسرائيل الله بن إسحاق ذبيح الله ابن ابراهيم خليل الله

Sebagai penutup dari penjelasan tafsir surah Alshaffat [37]: 102 ini, al-Zamakhsyari melempar dengan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah, “Apa faedah dari peristiwa ini, sedangkan pengurbanan salah satu anak Ibrahim as. telah diganti dengan seekor hewan sesembelihan?”
Ia menjelaskan, “Faedah dari peristiwa tersebut ialah ditemukannya pengganti sesembelihan kurban, sehingga sempurnalah janji nazar Ibrahim as. untuk mengurbankan salah satu anaknya.”

Prinsip Pensyariatan Hukum Islam (Bag. 2): Asas Gradualitas

0
Prinsip Pensyariatan Hukum Islam (Bag. 2): Asas Gradualitas
Minuman keras diharamkan dalam hukum Islam secara bertahap.

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa syariat Islam diproyeksikan untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan jargon rahmatan lil ‘alamin  yang diusung oleh agama Islam itu sendiri.

Dalam tulisan sebelumnya sudah diterangkan bahwa setidaknya ada lima prinsip yang menjadi acuan dalam penetapan hukum Islam. Lima hal tersebut adalah ‘adam al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadrij fi al-tasyri’, al-maslahah, dan al-musawat wa al-‘adalah. Dua di antaranya sudah dijelaskan, yakni ‘adam al-haraj dan taqlil al-takalif yang bermuara pada kemudahan dalam beragama.

Berikut ini akan dipaparkan mengenai prinsip al-tadrij fi al-tasyri’, yakni penetapan hukum Islam secara bertahap.

Al-Tadrij fi al-Tasyri’ (Penetapan Hukum secara Bertahap)

Dalam proses perumusan hukum, Islam tidak abai terhadap adat istiadat dan kondisi sosial di masyarakat. Ketika menetapkan suatu hukum yang itu mengusik adat istiadat suatu kaum, Islam tidak langsung memvonis salah terhadap adat kebiasaan tersebut. Akan tetapi, proses penetapan hukumnya ditempuh secara gradual dan dialogis.

Dalam usul fikih, adanya tahapan-tahapan dalam penetapan hukum bertujuan supaya manusia memiliki kesiapan untuk menerima syariat tersebut serta memahami apa hikmah yang terkandung di dalamnya. Manakala ia sudah siap secara psikologis, selanjutnya syariat tersebut akan dilaksanakan dengan penuh ketundukan. Berbeda jika syariat tiba-tiba datang melabrak suatu adat yang sudah mengakar di masyarakat. Hal tersebut tentu akan mendapat penolakan dari masyarakat  sehingga syariat Islam akan sulit diaplikasikan dalam kehidupan nyata [Al-Muhadzzab fi Ushul al-Fiqh al-Muqarin, juz 2, hal. 550].

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)

Di dalam Alquran akan dijumpai banyak contoh bagaimana Islam menerapkan prinsip gradual dalam pensyariatan hukum. Di antaranya adalah ketika syariat mengharamkan minuman keras (khamr). Dahulu, minum minuman keras di kalangan masyarakat Arab merupakan suatu kebiasaan yang lumrah mereka lakukan.

Empat Tahapan Pengharaman Khamar

Demi mengharamkan minuman keras tersebut, para ahli tafsir menyebutkan bahwa setidaknya ada empat ayat yang diturunkan secara bertahap perihal status hukum khamar. Secara bertahap, keemat ayat tersebut adalah Q.S. An-Nahl ayat 67, Q.S. Al-Baqarah ayat 219, Q.S. An-Nisa’ ayat 43, dan pamungkas yang secara tegas mengharamkan khamar yaitu Q.S. Al-Maidah ayat 90 [Tafsir al-Baghawi, juz 1, hal. 294].

Berikut redaksi dari keempat ayat Alquran di atas. Pertama, Q.S. An-Nahl ayat 67:

{وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} [النحل: 67]

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

Q.S. Al-Baqarah ayat 219:

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا} [البقرة: 219]

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”

Baca juga: Mengenal Diksi Tanya Jawab dalam Alquran

Q.S An-Nisa’ ayat 43:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ } [النساء: 43]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.

Dan Q.S. Al-Maidah ayat 90:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 90]

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Dalam Q.S. An-Nahl di atas, Allah Swt. menjelaskan bagaimana masyarakat Arab pada waktu itu mendapatkan rezeki dan membuat minuman keras dari khamar. Pada saat itu, kaum muslim masih banyak yang minum khamar karena memang belum ada larangan.

Kemudian Allah Swt. menjelaskan bahwa meski dalam khamar terkandung manfaat, tetapi di dalamnya juga terdapat keburukan yang besar. Masih belum ada larangan tegas dalam ayat ini. Namun, pada tahap ini, terdapat sebagian sahabat yang sudah meninggalkan tradisi minum khamar dengan pertimbangan mafsadat yang dapat ditimbulkan. Di antara mafsadat tersebut adalah dapat merusak akal sehat.

Baca juga: Kegelisahan Umar bin Khattab dan Turunnya Ayat Pengharaman Khamar

Pada ayat ke 43 surah An-Nisa, Allah Swt. melarang kaum muslim melaksanakan salat dalam keadaan mabuk yang secara tidak langsung merupakan larangan minum minuman keras di waktu-waktu menjelang salat. Pada fase ini, larangan minum khamar masih belum tegas. Pasalnya, kaum muslim masih diperbolehkan minum khamar ketika waktu pelaksanaan salat masih lama, semisal setelah salat Isya atau setelah salat Subuh.

Barulah pada Q.S. Al-Maidah ayat 90, Allah Swt. dengan tegas melarang minum-minuman keras dalam kondisi apapun.

Menurut Imam al-Qaffal yang dikutip oleh Imam Fakhruddin al-Razi, hikmah di balik tahapan-tahapan larangan minum khamar tersebut adalah agar tidak memberatkan umat Islam. Hal itu disebabkan karena pada mulanya khamar memang menjadi kebiasaan yang telah melekat dalam tradisi budaya masyarakat Arab pada saat itu. Di samping itu ia juga kerap kali dimanfaatkan oleh umat Islam dalam berbagai hal. Sehingga, melarang minum khamar secara spontan akan dirasa berat oleh mereka [Mafatih al-Ghaib, juz 6, hal. 396].

Baca juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?

Selain penetapan larangan minum minuman keras, ada banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana Islam sangat memperhatikan aspek gradual-dialogis dalam mensyariatkan suatu hukum. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada umatnya agar umatnya tidak kaget dengan syariat yang baru ditetapkan, terlebih jika syariat itu bertentangan dengan adat kebiasaan yang dilakukan.

Penetapan hukum dalam Alquran yang dilakukan secara bertahap menunjukkan bahwa hukum Islam selalu berpedoman kepada spirit meringankan beban manusia. hal ini dikarenakan proses pengharaman suatu perkara yang telah menjadi kebiasaan dapat diterima dengan penuh kesadaran dan ketundukan.

Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2

0
Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran
Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran

Alquran menerangkan tentang kehidupan umat terdahulu sebagai ibrah bagi kaum Muslim dalam beragama. Peristiwa masa lalu adalah hal yang tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan begitu saja. Setiap momen dapat memiliki makna tertentu terlebih apabila hal tersebut tersusun dalam Alquran. Bagaimana jika kisah masa lalu memiliki keterkaitan dengan kejadian pada masa Nabi Muhammad saw.? Tentu keterangan akan kisah tersebut menjadi penjelasan yang nyata karena sang pelaku sejarah mengalami hal terkait akan itu. Adapun salah satu ayat yang menurut para mufasir terkait antara kejadian pada masa Nabi Muhammad dan kisah Nabi sebelumnya yakni surah Alisra’ ayat 2.

وَآتَيْنا ‌مُوسَى ‌الْكِتابَ ‌وَجَعَلْناهُ هُدىً لِبَنِي إِسْرائِيلَ أَلَاّ تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلاً

“Dan kami berikan kitab itu kepada Musa dan kami menjadikannya petunjuk bagi Bani Israil, “Jangan sampai kalian mengambil Pelindung selain Aku.”
Ayat ini menurut Ibn Asyur adalah ‘athaf terhadap ayat satu yang merupakan pendahuluan, sehingga menurut Ibn Asyur, pemaknaannya adalah Allah memperjalankan hamba-Nya, Muhammad dan memberikan kepada Musa sebuah kitab. Keduanya adalah anugerah yang agung bagi manusia.
Kaitan kedua ayat ini menurut Ibn Asyur juga terlihat melalui penyebutan Masjid al-Aqsha yang merupakan pusat peradaban Bani Israil. Bagaimana naik turunnya peradaban mereka dapat menjadi ibrah bagi umat Muslim untuk bersiap dan waspada.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Ayat 2 ini juga terkait dengan kalimat agar kami tunjukkan padanya ayat-ayat kami pada ayat satu. Menurut Ibn Asyur hal ini karena ayat-ayat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. adalah ayat Alquran. Jadi, menurut beliau dapat dikatakan bahwa yang dimaksud kami berikan kepadanya Alquran dan kami berikan kepada Musa Kitab yakni Taurat.
Ibn Asyur menghubungkan ayat kedua ini dengan ayat 9 yang menyebutkan tentang Alquran yang menunjukkan pada yang lebih tegak. Maksudnya adalah petunjuk kepada jalan yang lebih tegak daripada jalan yang ditunjukkan dalam Taurat.
Ayat 2 ini juga dapat dihubungkan dengan ayat 73 yang menyebutkan tentang tendensi kaum Musyrikin yang hendak membujuk Nabi untuk mengubah apa yang diwahyukan kepada beliau. Bani Israil disebut telah melakukan perubahan atau tahrif pada kitab suci mereka.
Perilaku menyimpang Bani Israil tersebut dapat menjadi peringatan bagi kaum Muslim untuk menjaga Alquran yang merupakan warisan dari Nabi Muhammad saw. Kita mesti mempelajari dan mengajarkannya dengan tidak mengubah atau mengarahkannya pada pemaknaan tendensius yang condong pada kezaliman. Pada ayat 82 disebutkan.

وَنُنزلُ ‌مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا

“Dan kami turunkan sebagian Alquran yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sementara tidaklah bertambah bagi orang-orang yang zalim kecuali kerugian.”
Ibn Asyur menyebut ayat 82 ini terkait dengan ayat 73 bahwa kaum musyrikin yang menghendaki agar Nabi tidak menyebut buruk berhala mereka hanya akan mendapatkan kerugian. Kata syifa dalam ayat ini menurut beliau dapat berarti majaz dari hilangnya kekurangan, kesesatan, kurangnya kebermanfaatan, akidah-akidah tiada guna, amal yang rusak, maupun akhlak tercela. Kesemuanya itu disamakan dengan sakit ataupun luka.
Ketika disebutkan Bani Israil pada ayat dua sekilas akan terbayang pula bagaimana gambaran bangsa yang pernah sakit. Bagaimana peradaban mereka yang timbul tenggelam karena perhatian yang juga pasang surut akan Kitab suci.

Baca juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

Kata nunazzil menurut beliau menunjukkan makna pembaruan, pengulangan, dan perbanyakan sehingga ia adalah janji bahwa turunnya Alquran berjalan dalam waktu yang panjang. Berbeda dengan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa sekaligus. Panjangnya waktu berarti panjanganya masa perjuangan dan presistensi untuk tetap berada di jalan yang ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya pada ayat 86-87 disebutkan.

وَلَئِنْ شِئْنا ‌لَنَذْهَبَنَّ ‌بِالَّذِي أَوْحَيْنا إِلَيْكَ ثُمَّ لا تَجِدُ لَكَ بِهِ عَلَيْنا وَكِيلاً(86) إِلا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّ فَضْلَهُ كَانَ عَلَيْكَ كَبِيرًا ‌‌(87)

“Jika kami berkehendak sungguh kami akan menghilangkan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) kemudian engkau tidak akan mendapati seorang pelindungpun terhadap kami. Kecuali rahmat dari Tuhanmu sungguh karunia-Nya atasmu sangatlah besar.”
Ayat 86-87 ini menurut Ibn Asyur terkait dengan ayat 82 yang masih berkaitan dengan ayat kedua surah Alisra’. Jika Taurat yang asli masih menjadi perdebatan keberadaannya di mana, Alquran menjadi kitab suci yang sampai pada abad ini dengan keasliannya yang disepakati. Demikian pada ayat 105 sebelum akhir surat disebutkan.

وَبِالْحَقِّ أَنزلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نزلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ‌‌

“Dan kami turunkan (Alquran) dengan sebenarnya dan (Alquran) turun dengan kebenaran. Dan tiadalah kami mengutus engkau kecuali sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”
Ibn Asyur menyatakan ayat ini berkaitan dengan turunnya Alquran, proses ketika ia sampai kepada manusia dengan benar. Adapun makna hak yang kedua yakni lawan dari kebatilan, ia adalah kebenaran yang ditegakkan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
Jika sebagian Bani Israil menghendaki keuntungan dengan mengubah atau menganggap remeh kitab suci, maka ayat dua ini adalah peringatan dan janji pertolongan bagi kaum Muslim yang memegang teguh Alquran sebagai kitab sucinya. Semoga kita yang diberi rahmat melalui Alquran. Wallahu a’lam[]