Beranda blog Halaman 153

Isyarat Al-Qur’an tentang Relasi Silih Asah Asih Asuh antara Suami Istri

0
Suami Istri
Suami Istri

Pernikahan merupakan pintu gerbang menuju bangunan kehidupan rumah tangga, ia sakral dan suci bagi pasangan suami istri. Sebagai ikatan yang sakral (mitsaqan ghalidzha), sebuah pernikahan bertujuan membangun hubungan suami istri yang sakinah dengan landasan mawaddah dan rahmah (Q.S. 30: 21). Oleh karena itu, keutuhan rumah tangga sangat ditentukan oleh hubungan suami istri sebagai unsur utama.

Keberhasilan sebuah pernikahan tidak akan tercapai kecuali jika kedua insan tersebut saling memperhatikan kewajiban dan haknya masing-masing. Hal ini berarti bahwa kebahagiaan, kenyamanan, ketentraman, dan kedamaian yang diidamkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh pola interaksi antara keduanya. Dengan kata lain, relasi yang terjalin dalam sebuah pernikahan perlu dibangun secara bijaksana di atas asas kebersamaan, keadilan, dan kesalingan.

Dalam Islam, ikatan pernikahan tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Lebih dari itu, pernikahan adalah fitrah dan ladang ibadah bagi manusia. Ibarat bahtera, rumah tangga yang dijalin terbangun dari berbagai aspek yang saling menyempurnakan untuk tetap berlayar di samudera kehidupan yang luas. Oleh karena itu, Al-Qur`an sebagai pedoman bagi umat Islam banyak memberikan tuntunan bagaimana mahligai pernikahan seharusnya dijalankan.

Silih Asah

Aspek pertama dalam asas kebersamaan yang harus dibangun dalam relasi suami istri adalah silih asah atau saling menajamkan pengetahuan, tukar pendapat, dan saling berbagi pengalaman. Aspek silih asah ini penting mengingat rumah tangga dalam pandangan Islam tidak sebatas jalinan asmara saja, namun juga berperan dalam pembangunan peradaban manusia.

Baca Juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Peradaban dalam konteks ini tentu saja menyangkut setidaknya dua hal, yakni peradaban intelektual dan peradaban spiritual. Sepasang suami istri memiliki tanggung jawab yang sama untuk saling berbagi pengetahuannya, khususnya perihal pemahaman keislaman. Sebab tanpa pengetahuan, agama dan ritual ibadah di dalamnya hanya akan tertolak (mardudatun) dan sia-sia belaka. Oleh karena itu, sepasang suami istri memiliki tanggung jawab untuk sama-sama menjaga dan membimbing rumah tangganya agar berhasil. Allah berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا…..  ٦

Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah dirimu beserta keluargamu supaya terhindar dari api neraka,….” (Q.S. Al-Tahrim [66]: 6)

Ayat tersebut  menunjukan kewajiban dalam membangun rumah tangga (keluarga) takwa, karena lafadz qu” di sana menurut Tafsir Al-Jalalain merupakan fi’l al-‘amr yang mengindikasikan perintah wajib. Upaya pembangunan keluarga takwa tersebut menurut Al-Tabari dan Ibnu Katsir adalah dengan saling mengingatkan dalam ketaatan dan mewujudkan pendidikan yang baik dan terarah.

Begitu juga menurut Al-Zuhaili, pada urgensi frase ayat ini sangat nampak pentingnya penanaman pendidikan dalam sebuah keluarga. Pendidikan tersebut bersifat mutualisme, artinya keseluruhan anggota keluarga memiliki tanggung jawab kemitraan untuk mewujudkan keluarga yang terdidik. Hal ini sebagaimana diungkapkan Quraish Shihab bahwa perintah dalam redaksi “qu” tersebut tidak hanya ditujukan untuk laki-laki (suami), namun juga kepada perempuan (istri). Syahdan, keduanya memiliki peran dan tanggung jawab yang sama untuk saling berbagi pengetahuan, pun mendidik anak-anaknya.

Silih Asih

Aspek kedua dalam asas kebersamaan yang harus dibangun adalah “silih asih” yang berarti saling memberi kasih, menebar cinta, dan berbagi sayang. Aspek ini menjadi penting mengingat bahwa cinta seringkali menjadi alasan utama sebuah pernikahan, bahkan ia menjadi tujuan dari pernikahan itu sendiri (QS. 30: 21). Karena cinta tidak sesederhana sebab kecantikan dan ketampanan, wangi tubuh, dan senyuman, lebih dari itu cinta menjelma sebagai dzat esoterik yang mendalam. Maka kedalaman tersebut senantiasa harus dijaga dalam hubungan suami istri.

Cinta atau kasih sayang dalam rumah tangga juga berarti interaksi dan pergaulan yang “baik” antara keduanya. Saling bersikap santun, bertutur kata lembut, dan memanjakan dengan halus. Oleh karena itu, cinta tidak mungkin dimaknai kebalikan dari semua hal itu, maka relasi rumah tangga yang cenderung mengarah pada “toxic relationship” tidak pantas dilabeli cinta. Berkenaan dengan hal ini, Allah berfirman:

 وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ ٢١

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Rum [30]: 21)

Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan mengenai konsepsi sebuah pernikahan. Menurut Ibnu Katsir, pernikahan bertujuan untuk membangun ketentraman hidup bagi seorang suami karena hadirnya seorang istri, begitupun sebaliknya. Sehingga keduanya dapat membangun rumah tangga yang serasi, saling mengasihi dan menyayangi, saling mengerti, dan saling membangun kesejahteraan bersama.

Hal senada juga diungkapkan Al-Zuhaili, menurutnya ayat tersebut bermakna bahwa Allah menciptakan pasangan bagi manusia dari jenisnya sendiri (manusia) dengan tujuan untuk menciptakan keserasian dan menjauhkan dari perasaang asing atau tidak dekat. Dengan kata lain, perasaan serasi dan dekat tersebut lah yang kemudian akan menumbuhkan kenyamanan (sakinah) dengan muara rasa cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Sehingga dengan perasaan tersebut akan terbangun keluarga yang indah.

Silih Asuh

Aspek ketiga dalam asas kebersamaan yang harus dibangun adalah “silih asuh” yang berarti saling berbagi bantuan, memberi perhatian dan pengertian, juga saling mengingatkan dalam kebaikan. Aspek ini dianggap penting mengingat rumah tangga merupakan bahtera yang mengarungi samudera kehidupan dengan berbagai cobaan dan rintangan. Artinya, sepasang suami istri seyogianya saling melengkapi dan menuntun rumah tangga tersebut menuju kehidupan yang aman, nyaman, dan tentram.

  Sikap silih asuh tersebut tercipta juga manakala interaksi dan pergaulan antara sepasang suami istri terjalin secara harmonis dan integratif. Hal ini sebagai firman Allah yang menyatakan, “bergaullah kalian dengan istri-istirmu dengan baik (ma’ruf)” (QS. 4: 19). Tentu saja pergaulan tersebut sifatnya sangat fleksibel dan kompleks, artinya tidak hanya sebatas pada ranah hubungan intim saja, namun juga dalam relasi interaksi antara keduanya yang harus dilandasi perasaan saling melengkapi. Dalam ayat lain Allah berfirman:

 اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ….  ١٨٧

“Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkan kamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 187)

Baca Juga: Tiga Fungsi Pohon dan Eksistensinya Menurut Al-Qur’an

Ayat tersebut menurut Al-Zuhaili memang secara umum menjelaskan mengenai kebolehan berhubungan intim pada “laylatu al-siyam”. Namun frasa “hunna libasun lakum, wa antum libasun lahun” menurut Quraish Shihab secara implisit menggambarkan bagaimana Al-Qur`an membimbing sepasang suami istri untuk senantiasa saling menjaga dan melengkapi. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan Imam Al-Jalalain bahwa ayat tersebut menggambarkan konsep relasi suami istri yang setidaknya terjalin atas tiga hal, yakni 1) kedekatan secara psikis dan psikologis; 2) saling mengayomi; dan 3) perasaan saling membutuhkan.

Ibarat pakaian—sebagaimana redaksi Al-Qur`an—sepasang suami istri harus mampu melindungi satu sama lain, dan saling menjaga dan menuntun dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, pesan Al-Qur`an dalam ayat tersebut sangat dekat dengan makna “silih asuh” yang memang berarti demikian.

Syahdan, konsep “silih asah asih asuh” ini harus dimaknai secara mendalam bagi setiap insan yang mengharapkan relasi cinta dalam rumah tangga yang baik dan berhasil. Tiga aspek tersebut menjadi dasar dan fondasi serta menara rumah tangga yang dapat memancarkan kesejahteraan bagi setiap pasangan, bahkan bagi tetangga, hingga banyak masyarakat di sekitarnya. Wallahu a’lam.

Surah Al-Baqarah Ayat 221: Hukum Nikah Beda Agama

0
Nikah Beda Agama
Nikah Beda Agama

Indonesia sebagai negara yang berasaskan Pancasila dengan penduduk dari latar belakang agama yang berbeda beda, sangat memungkinkan terjadinya nikah beda agama. Isu legalitas nikah beda agama seringkali sampai dan terdengar ke telinga kita. Misalnya, bolehkah jatuh hati pada pasangan non-muslim? Lebih dari itu, bagaimana bila menikahi dan membangun rumah tangga bersamanya?

Di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 221 Allah Swt mewanti-wanti umat muslim untuk tidak menikahi pasangan musyrik. Secara logika alasannya mudah ditebak. Pernikahan beda agama dapat menggoyahkan salah satu iman di antara mereka. Tarik-menarik satu sama lain agar mengikuti kepercayaan masing-masing tidak dapat terelakkan.

Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 221:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰۤىِٕكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّارِ ۖ وَاللّٰهُ يَدْعُوْٓا اِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِاِذْنِهٖۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ ࣖ

Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.

Pada ayat di atas ada dua pesan yang hendak Allah Swt sampaikan. Pertama, larangan bagi pria menikahi perempuan musyrik:

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ

Kedua, pantangan perempuan muslim menikahi laki-laki musyrik:

وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ

Makna Musyrik pada ayat al-Baqarah 221

Para mufasir berbeda pendapat mengenai arti kata musyrik pada ayat di atas. sebagian pendapat mengatakan bahwa maksud kata musyrik ialah para penyembah berhala. Menurut pendapat ini ahl kitab (Nasrani atau Yahudi) tidak tercakup di dalamnya. Alasannya, karena diksi musyrik yang diredaksikan al-Qur’an tidak lain hanya diperuntukkan terhadap perempuan penyembah berhala. Tatkala Allah Swt hendak menyinggung perempuan Nasrani atau Yahudi (ahl kitab) maka pilihan kata yang digunakan adalah ahl kitab atau mensifatinya dengan katak kufur bukan musyrik. Dengan begitu, kata musyrik yang terdapat pada ayat tersebut lebih pantas disandingkan kepada para penyembah berhala (al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, 01/488).

Baca Juga: Tafsir Surah at-Taubah Ayat 28: Benarkah Orang Musyrik Itu Najis?

Pendapat lainnya mengatakan bahwa lafal “musyrik” pada ayat di atas ditujukan kepada seluruh non-muslim, baik penyembah berhala maupun kafir ahl kitab. Pendapat kedua ini mengeneralisir kepada semua bentuk kekufuran sebagaimana yang dikehendaki oleh lafad yang ada. Selain itu menurut Syekh Muhammad Ali As-Shabhuni ahl kitab juga termasuk kategori musyrik sebagaimana yang terdapat pada surat at-Taubah ayat 30-31 (Rawai’ul Bayan, 234; al-Tafsir al-Munir, 02/290).

Hukum menikahi Wanita Musyrik

Melalui perbedaan penafsiran tersebut kemudian berimplikasi pada hukum yang berbeda pula. Menurut penafsiran pertama, larangan nikah beda agama hanya tertuju kepada penyembah berhala. dengan kata lain, menikahi Wanita ahl kitab tetap diperbolehkan. Selain itu, legalitas menikahi Wanita ahl kitab dijelaskan secara khusus oleh Allah Swt pada ayat lain khususnya pada surat al-Maidah ayat 05:

مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“(Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.”

Berbeda halnya dengan pendapat yang kedua, menurutnya menikahi perempuan non-muslim tidak diperkenankan secara mutlak, baik dari kalangan Nasrani, Yahudi, penyembah berhala, dan sebagainya. Pendapat ini dipelopori oleh Ibn Umar.

Dalam suatu Riwayat disebutkan, tatkala Ibn Umar ditanya mengenai seorang laki-laki yang hendak menikahi Wanita Nasrani atau Yahudi beliau menjawab: “tidak ada bentuk kemusyrikan yang lebih parah daripada perkataan salah seorang Wanita yang mngatakan; Tuhanku adalah Isa atau seorang hamba di antara hamba-hamba Allah”.

Selain itu, mengenai kandungan ayat 05 surat al-Maidah tentang kebolehan menikahi Wanita ahl kitab menurut pendapat ini ayat tersebut telah dinaskh oleh surat al-Baqarah ayat 221. Hanya saja, asumsi tersebut dibantah oleh mufasir yang lain.

Ulama menyelidiki bahwa surat al-Baqarah merupakan surat yang pertamakali turun di Madinah, sementara al-Maidah merupakan surat yang terakhir kali turu. Padahal, kaidah yang ada pada naskh-mansukh menyebutkan ayat terakhir menghapus hukum ayat yang turun lebih awal. Jadi menaskh kandungan surat al-Maidah menggunakan surat al-Baqarah secara teori tidak dibenarkan (Rawai’ul Bayan, 01/237-238; al-Tafsir al-Wasit li al-Qur’an al-Karim, 01/488).

Hukum Menikahi Laki-Laki Musyrik

Perdebatan di atas terjadi bila pernikahan yang terjadi antara laki-laki muslim dengan perempuan non-muslim. Ada pun pernikahan perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim ulama sepakat tidak memperbolehkan. Alasannya karena di dalam rumah tangga (pada biasanya) yang memiliki kendali penuh adalah laki-laki. Jadi, mempersilahkan pernikan tersebut sama halnya dengan membahyakan akidah si Wanita. Dan hal ini tidak boleh terjadi. Islam sangat memerhatikan dan memeluk erat-erat para pemeluknya, semangat mempertahankan akidah sangat dijaga dalam Islam (Rawai’ul Bayan, 01/239).

Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 28: Benarkah Non-Muslim Dilarang Masuk Masjid?

Alhasil, nikah beda agama masih diperinci sebagai berikut. Pertama, laki-laki muslim dengan perempuan musyrik, hukumnya masih diperselisihkan ulama: (1) ada yang menutup rapat-rapat, sama sekali tidak memperbolehkan baik mempelai Wanita dari kalangan Yahudi, Nasrani, penyembah berhala, dan lain lain. (2) sedikit memberi kelonggaran kepada umat muslim. Menikahi perempuan non-muslim diperbolehkan selama si Wanita dari kalangan ahl kitab (Yahudi atau Nasrani). Selain itu, tidak diperbolehkan.

Kedua, pernikahan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim. Bentuk pernikahan ini ulama sepakat tidak memperbolehkan. Larangan ini dilakukan guna membentengi akidah umat muslim agar tetap kokoh dan tidak runtuh. Wallahu A’lam.

Bentuk-Bentuk Resepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Penyembuhan Al-Qur’an

0
Bentuk-Bentuk Resepsi Masyarakat Terhadap Fungsi Penyembuhan Al-Qur’an
Praktik ruqyah Tim JRA Sidoarjo (Foto: NU Online/Yuli Riyanto).

Pada artikel sebelumnya dinyatakan bahwa salah satu fungsi Al-Qur’an adalah sebagai syifa’ (penyembuh) dari berbagai penyakit. Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadis seperti QS. Al-Isra: 82 dan HR. al-Daraquthni no. 3018. Diterangkan pula bahwa fungsi penyembuhan tersebut bermakna ganda, bisa berarti menyembuhkan dari penyakit jasmani maupun penyakit rohani.

Kali ini, penulis hendak memaparkan beberapa contoh praktik penyembuhan dengan Al-Qur’an yang diterapkan sebagai budaya lokal di Indonesia. Praktik-praktik ini jika diperhatikan cukup menarik dan unik yang mungkin saja tidak ditemukan di tempat lain.

Fenomena praktik tersebut dalam kajian sosiologi Al-Qur’an disebut dengan istilah living qur’an, yakni praktik di masyarakat yang terinspirasi dari nilai-nilai Al-Qur’an, sehingga seakan-akan Al-Qur’an “hidup” di tengah-tengah mereka. Fenomena living qur’an berkaitan dengan seperti apa dan sejauh mana Al-Qur’an diresepsi oleh masyarakat.

Resepsi Al-Qur’an sendiri menurut Ahmad Rafiq, salah seorang tokoh yang mempopulerkan kajian ini, ada tiga macam; resepsi eksegesis yang berkaitan dengan tafsir Al-Qur’an, resepsi estetis yang berkaitan dengan aspek keindahan Al-Qur’an, dan  resepsi fungsional yang berkaitan dengan fungsi Al-Qur’an sebagai sesuatu yang diamalkan oleh pembaca.

Berikut beberapa contoh praktik resepsi fungsi penyembuhan Al-Qur’an yang ada di masyarakat:

  1. Jampi-jampi dengan bacaan Al-Qur’an

Di Lombok, ada tradisi sebagian masyarakat yang ketika mengalami sakit, mereka tidak pergi ke rumah sakit atau membeli obat, melainkan meminta dijampi kepada tokoh agama. Jampi yang dibacakan berbeda-beda sesuai penyakit yang diderita.

Misalnya jika pasien mengalami masuk angin, ia dibacakan QS. Al-Anbiya’: 87. Jika merasa demam, dibacakan QS. Al-Fatihah: 1-7. Jika sakit kepala, dibacakan kaf ha’ ya’ ‘ain sad (QS. Maryam: 1). Jika sakit mata, maka dibacakan QS. Yusuf: 4. Sedangkan jika sakit gigi, ia dibacakan QS. Al-Baqarah: 72.

Tradisi di Lombok ini mengingatkan kita dengan apa yang dilakukan seorang sahabat bernama Abu Said al-Khudri yang telah diceritakan pada artikel sebelumnya. Beliau dalam HR. al-Bukhari no. 2115 diceritakan mengobati seorang kepala suku yang jatuh sakit dengan membacakannya surah Al-Fatihah. Perbuatannya ini kemudian diafirmasi oleh Nabi sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariat.

Baca juga: Maksud Al-Qur’an Penyembuh Bagi Mukmin dan Penambah Kerugian Bagi Kafir

  1. Ruqyah kerasukan jin atau gangguan sihir

Ini pernah dilakukan oleh Nabi sendiri. Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Nabi pernah membaca al-mu’awwizatain (surah Al-Falaq dan surah An-Nas) secara khusus ketika dirinya disihir (Asbab Nuzul al-Qur’an, hal. 515).

Di Indonesia, praktik ini biasa dikenal dengan nama ruqyah syar’iyyah. Misalnya apa yang dilakukan oleh para terapis di MABRUQ (Markaz Bekam Ruqyah) di Jambi. Mereka membacakan pasien ayat-ayat Al-Qur’an, mendoakannya, dan terkadang mengajak bicara jin yang diyakini berada di tubuh pasien supaya berhenti mengganggunya.

Ayat-ayat yang dibacakan kepada pasien antara lain QS. Al-Fatihah: 1-7; Al-Baqarah: 1-5, 102, 161-166, 255-258, 285-286; Ali Imran: 26-27; Al-A’raf: 117-122; Yunus: 79-81; Al-Isra: 81; dan Taha: 65-69.

Praktik ruqyah ini di beberapa tempat sudah terlembagakan, sehingga menjadi lebih sistematis dan memasyarakat. Selain MABRUQ (Markaz Bekam Ruqyah) di Jambi, lembaga serupa juga terdapat di Bandung dengan nama Bekam Ruqyah Center (BRC) Bandung.

  1. Terapi penyembuhan untuk orang sakit

Praktik terapi di sini mirip seperti praktik jampi-jampi yang disebutkan di awal, hanya saja bacaan Al-Qur’an yang dipilih lebih banyak dan biasanya sudah ada susunan patennya atau tidak ada bacaan khusus untuk penyakit tertentu. Ini misalnya praktik yang dilakukan di Ma’had Tahfidzul Qur’an Bahrusysyifa’ Bagusari Jogotrunan, Lumajang.

Di sana, terapi dilakukan dengan pertama-tama memberikan pasien minuman air putih yang telah dibacakan 30 Juz Al-Qur’an oleh pengasuh, para ustaz, dan para santri penghafal Qur’an. Kemudian bagian tubuh pasien yang sakit dibacakan beberapa ayat pilihan, yaitu QS. Al-Fatihah sebanyak 7 kali; Al-Baqarah: 1-5, 102-105, 283-286, ayat kursi; Ali-Imran: 1-3; Al-Hasyr: 20-24; Al-Kahfi; Al-Ikhlas; Al-Falaq; dan An-Nas.

Praktik terapi Al-Qur’an di Pesantren At-Tin, Doplang, Purworejo lebih unik lagi. Di sana pasien diminta membawa seekor ayam. Setelah dibacakan QS. Al-Isra: 82, QS. Asy-Syu’ara: 80, dan zikir lainnya, sang ustaz kemudian menyembelih ayam tersebut dan memperhatikan kondisi organ dalamnya. Dari situ ia mendiagnosis penyakit pasien dan menentukan obat herbal serta zikir yang perlu diamalkan oleh si pasien.

  1. Terapi murattal Al-Qur’an di rumah sakit

Di beberapa rumah sakit saat ini, terutama rumah sakit Islam, banyak yang telah menggunakan murattal Al-Qur’an sebagai salah satu bentuk terapi. Murattal Al-Qur’an diperdengarkan kepada pasien guna mempercepat pemulihan, menurunkan stres, memperlancar operasi, dan tujuan lain sebagainya. Beberapa rumah sakit yang melakukan terapi ini antara lain R.S. Roemani Muhammadiyah Semarang, R.S. Ridhoka Salma Cikarang, dan R.S. Ginjal Rasyida Medan.

Demikian sebagian ragam praktik resepsi atas fungsi syifa Al-Qur’an yang ditemukan di masyarakat Indonesia. Bagi sebagian kalangan mungkin saja hal ini tidak masuk akal, termasuk pemilihan ayat yang digunakan untuk penyembuhan, namun beginilah realitanya.

Al-Qur’an ditafsiri dan diresepsi sedemikian rupa oleh masyarakat sebagai bentuk optimisme mereka terhadap khasiat Al-Qur’an, sekaligus sebagai salah satu usaha membumikan kitab suci yang dianggap sakral tersebut. Semoga kita senantiasa mendapatkan keberkahannya, amin.

Baca juga: Beragam Bentuk Rajah dan Pandangan Para Ulama, Simak Penjelasannya

Tafsir Surah Al-Hadid Ayat 23: Kalah Tidak Perlu Sedih, Menang Jangan Sombong

0
Tafsir Surah Al-Hadid Ayat 23: Kalah Tidak Terlalu Sedih, Menang Tidak Sombong
emoticon senyum

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman bercerita tentang kehidupan percintaanya. Panjang kali lebar ia bercerita sembari menikmati secangkir kopi di pojok warung kopi. Hubungannya sedang berada di ambang batas. Ia pun mengalami kegalauan yang berkepanjangan. Beberapa hari kemudian, aku mengirimkan sebuah quote “Teori: tidak bersedih jika kalah, tidak sombong jika menang (Al-Hadid ayat 23). Aplikasi: diputus tidak sedih, dapet yang baru tidak sombong”. Sembari diikuti emoticon tertawa.

Dalam proses panjang kehidupan, kita sering kali mengalami hal-hal yang tidak kita inginkan atau sebaliknya. Terkadang sedih, gembira, sulit, gampang, menang, kalah, dan hal-hal lainnya. Baik kekalahan, maupun kemenangan haruslah kita terima lapang dada, sebab ia adalah bagian dari sunnatullah dalam kehidupan. Contoh sederhana ketika mengikuti perlombaan, misal, lomba lari, tentu tidak semua peserta yang mengikuti menjadi juara. Pasti ada yang mengalami kekalahan dan ada yang meraih kemenangan.

Sejalan dengan hal di atas, Al-Qur’an memberikan arahan untuk menyikapi kekalahan dan kemenangan. Dalam QS. Al-Hadid ayat 23 Allah Swt berfirman;

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ

Artinya: (Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Tafsir ayat

Ibn Kasir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim berpendapat bahwa terdapat ilmu dan ketetapan yang Allah tetapkan atas segala sesuatu sebelum kejadiannya, serta ukuran-ukuran telah dibuatkan kepada semua makhluk. Ini semua agar mereka mengetahui bahwa musibah yang menimpa dan yang luput dari mereka telah ditakdirkan. Jika itu ditakdirkan untuknya, maka akan terjadi kepadanya.

Sebaliknya, terhadap kabar gembira yang diberikan, janganlah membuatnya berbangga diri terhadap manusia dengan nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya (Tafsir Ibn Katsir, Juz. 13, hlm. 431).

Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah berpendapat bahwa kata mukhtalan terambil dari akar kata khayal. Kata khayal pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya, lanjut Shihab, orang semacam ini berjalan angkuh dan merasa diri memiliki kelebihan dibandingkan orang lain. Sehingga, keangkuhannya tampak secara nyata dalam keseharinnya.

Kata mukhtal dan fakhur memiliki makna kesombongan. Tetapi, kata pertama bermakna kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku, sedang yang kedua adalah kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan (Tafsir Al-Misbah, Vol. 13, Jilid 3, hlm. 446).

Dalam Tafsir Kementerian Agama disebutkan bahwa pada ayat ini Allah Swt menyatakan bahwa semua peristiwa itu telah ditetapkan sebelum kejadiannya, agar manusia bersabar menerima cobaan dari Allah. Cobaan Allah itu adakalanya berupa kesengsaraan dan malapetaka, serta adakalanya berupa kesenangan dan kegembiraan. Karena itu janganlah terlalu bersedih hati ketika menerima kesengsaraan dan malapetaka yang menimpa diri, sebaliknya jangan pula terlalu bersenang hati dan bergembira ketika menerima sesuatu yang menyenangkan hati.

Ayat ini bukan untuk melarang kaum muslimin bergembira dan bersedih hati, tetapi maksudnya ialah melarang kaum muslimin bergembira dan bersedih hati dengan berlebih-lebihan.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Hadid Ayat 22-23: Hikmah di Balik Musibah

Refleksi ayat

Ayat di atas mengafirmasi sikap kita terhadap kesulitan, kegagalan, kekalahan, keruwetan hidup, serta yang kita anggap tidak berpihak kepada kita, supaya tidak perlu merasa bersedih hati. Kalaupun harus bersedih, ya sekadarnya saja. Sebaliknya, terhadap kesuksesan, keberhasilan, keberpihakan yang kita anggap adalah hasil usaha kita, janganlah membuat kita sombong lagi jumawa. Kalaupun hal tersebut harus berpihak kepada kita, maka yang perlu dilakukan hanyalah terus bersyukur kepada Allah yang telah memberikan semua.

Tidak kalah pentingnya adalah jangan pernah berlebihan dalam menyikapi hidup yang kita alami. Terhadap kebaikan kita tetap bersyukur dan terhadap hal-hal yang belum Allah kehendaki untuk kita sebaiknya bersabar. Bukankah Allah tidak pernah menyia-nyiakan do’a dan usaha hambanya?

Menjelang pergantian tahun, selama setahun penuh 2021, terhadap capaian-capaian yang telah kita peroleh harus kita syukuri dan mengevaluasinya terhadap yang belum berhasil. Dan, untuk tahun yang akan datang, 2022, mari kita memperbaiki hal-hal yang belum tercapai di tahun 2021. Semoga pergantian tahun ini membuat kita semakin banyak bersykur, bersabar, dan bertawakal atas apa yang kita usahakan. Sekali lagi, terhadap kekalahan-kekalahan yang kita alami jangan membuat kita sedih, dan terhadap kemenangan-kemenangan yang kita peroleh jangan pernah sombong. Wallahu alam bish-shawab.

Baca juga: Surat Yunus [10] Ayat 6: Refleksi Pergantian Tahun

Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (4): Motivasi dan Sistematika Penulisan

0
Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (4): Motivasi dan Sistematika Penulisan
Tafsir Tarbawi Indonesia

Setiap mufassir tentu memiliki motivasi yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Motivasi penulisan tafsir ini biasanya berkaitan erat dengan keinginan atau harapan dan ‘kepentingan’ yang dibawa oleh sang mufassir. Selain itu, setiap mufassir juga memiliki pilihan sistematika sendiri dalam menyusun tafsirnya. Masih dengan tema besar “Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia”, kali ini penulis ingin melihat lebih jauh bagaimana karya-karya tafsir tarbawi di Indonesia lahir dari ragam motivasi serta bagaimana sistematika penulisan yang digunakan oleh mufassir.

Motivasi Penulisan Tafsir

Mengutip hasil pembacaan Sudarman dalam bukunya Tafsir Tarbawi di Indonesia, secara pragmatis motivasi penulisan karya-karya tafsir tarbawi di Indonesia lebih didorong oleh keinginan untuk menyediakan referensi mata kuliah Tafsir Tarbawi (tafsir ayat-ayat pendidikan). Penulis karya-karya tersebut sendiri berlatar belakang sebagai dosen pengampu mata kuliah tafsir tarbawi. Selebihnya tentu ada keinginan yang lebih substansial yakni menghadirkan konsep pendidikan Islam perspektif Al-Quran.

Tafsir-tafsir yang ditulis dalam rangka menyediakan referensi mata kuliah Tafsir Tarbawi—untuk menyebutkan beberapa—adalah Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir Ayat-ayat Tarbawiy) karya Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan karya Nurwadjah Ahmad, Tafsir Tarbawi: Mengungkap Pesan Al-Qur’an tentang Pendidikan karya Ahmad Munir, Tafsir Tarbawi: Pengantar ke Tafsir Tarbawi karya Suteja, dan Tafsir Ayat-ayat Pendidikan karya Listiawati.

Walau begitu, dari karya-karya tafsir tarbawi di Indonesia tersebut, tampak pula adanya usaha-usaha yang sedari awal diniatkan untuk menghadirkan konsep pendidikan Islam berdasarkan Al-Quran. Ini dapat dilihat dari kajian-kajian yang tidak hanya membahas ayat-ayat tertentu dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan di dalamnya. Lebih dari itu, ada upaya serius untuk melakukan penggalian dengan berbagai metode dan pendekatan perihal bagaimana konsep ideal tentang pendidikan Islam.

Beberapa mufassir yang secara khusus konsen pada penggalian konsep pendidikan Islam perspektif Al-Quran antara lain adalah Aam Abdussalam dengan karyanya Pembelajaran dalam Islam (Konsep Ta’lim dalam Al-Qur’an); Muh. Anis dengan karyanya Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Meretas Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an, dan Mahyudin dengan karyanya Tafsir Tarbawi: Kajian Ayat-ayat Al-Qur’an dengan Tafsir Pendidikan.

Kalau hendak disimpulkan, motivasi penulisan tafsir tarbawi dalam kontes Indonesia dapat dipetakan menjadi dua; untuk keperluan sebagai bahan ajar dan referensi mata kuliah Tafsir Tarbawi, dan secara khusus mendalami konsep pendidikan Islam dalam sorotan Al-Quran. Meskipun motivasi yang pertama tampak lebih dominan daripada motivasi yang kedua. Dengan kata lain, dapat dipahami bahwa tafsir-tafsir tarbawi di Indonesia mayoritas disusun untuk menyediakan bahan bacaan pada mata kuliah Tafsir Tarbawi.

Baca juga: Khazanah Tafsir Tarbawi di Indonesia (1): Embriologi dan Perkembangannya

Sistematika Penulisan Tafsir

Masih menurut Sudarman dalam bukunya Tafsir Tarbawi di Indonesia, jika dilihat dari segi sistematika penulisan, cara kerja karya-karya Tafsir Tarbawi yang muncul di Indonesia terbagi menjadi dua kategori atau dua tipologi; sistematika tafsir dan sistematika non-tafsir. Pertama, sistematika tafsir. Apa yang dimaksud dengan sistematika tafsir di sini adalah langkah-langkah dalam menyajikan penafsiran sebagaimana umumnya ditempuh oleh para mufassir; mulai dari penyebutan ayat, terjemah, makna global, makna rinci (mufradat), asbab al-nuzul, munasabah, ulum al-Qur’an, pendapat tokoh-tokoh tafsir, dan interteks.

Tafsir-tafsir yang masuk dalam katagori pertama ini di antaranya adalah karya Abudin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawiy); Nurwajdah, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan; Muh. Anis, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan: Meretas Konsep Pendidikan dalam Al-Qur’an; Syukri, Tafsir Ayat-ayat Pembelajaran dalam Al-Qur’an; Aam Abdussalam, Pembelajaran dalam Islam (Konsep Ta’lim dalam Al-Qur’an); dan Mahyudin, Tafsir Tarbawi: Kajian Ayat-ayat Al-Qur’an dengan Tafsir Pendidikan.

Kedua, sistematika non-tafsir. Karya-karya yang disusun dengan tidak mengikuti cara kerja mainstream tafsir ini di antaranya adalah Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-ayat Berdimensi Pendidikan karya Ahmad Izzan dan Saehudin. Dalam karya ini, Izzan dan Saehudin memaparkan konsep peserta didik, mulai dari pengertian, macam-macam karakter peserta didik, faktor-faktor yang memengaruhinya, hingga kepribadian dan etika peserta didik. Akan tetapi, sistematika penulisannya tampak tidak seperti kerja tafsir pada umumnya karena nyaris tidak ditemukan analisis penafsiran. Kalaupun ada ayat Al-Quran atau hadis, itu lebih sebagai dalil penguat saja.

Kecenderungan tersebut juga dapat dilihat dalam Al-Islam Studi Al-Qur’an (Kajian Tafsir Tarbawi) milik Arief Hidayat Afendi. Dalam karya ini, pertama-tama Afendi memang mencantumkan ayat sebagai bahan untuk dikaji, namun kemudian hampir tidak ada analisis terhadap makna ayat yang dikaji. Sebaliknya, karya ini dipenuhi oleh kutipan-kutipan dari sumber lain yang bukan rujukan-rujukan tafsir Al-Quran biasanya. Sehingga ketika membaca karya ini memberikan kesan tidak sedang membaca sebuah karya tafsir.

Lebih jauh, Sudarman juga menyebutkan bahwa dari sekian banyak karya-karya tafsir tarbawi yang ada di Indonesia, beberapa lebih tepat disebut sebagai ‘karya tafsir’ dan sebagian yang lain lebih tepat disebut dengan “karya pendidikan Islam”. Penyebutan yang diberikan Sudarman ini pada prinsipnya melihat juga mempertimbangkan sistematika penulisan serta tingkat keluasan penafsiran dan analisis dari masing-masing karya tafsir tarbawi tersebut. Wallahu a’lam []

Baca juga: Mengenal Al-Tafsir Al-Tarbawi li Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir Tarbawi Pertama Lengkap 30 Juz

Membaca Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0: Sajian Ringan Generasi Terkini

0
buku Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0
buku Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0

Penerbit Quanta di tahun 2021 ini menerbitkan salah satu bacaan yang ciamik untuk generasi muda. Terbitan itu bukan sekadar buku religi populer biasa, melainkan berbasis pada bidang ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Buku tersebut berjudul “Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0: Sehimpun Esai Qur’ani untuk Generasi Terkini” yang ditulis oleh sarjana alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Saymsuri.

Penulis muda asal Madura ini mendapatkan apresiasi dari Sang Guru KH. Dr. Ahsin Sakho Muhammad, Ulama Ahli Al-Qur’an ternama di Indonesia. Dalam pengantarnya, Kiai Ahsin Sakho menyaksikan perkembangan pada diri Syamsuri yang ia kenal sebagai mahasiswa aktif dan rajin di perkuliahan hingga lulus dan menulis buku ini.

Sedikit kutipan pengantar dari Kiai Ahsin untuk buku ini, “Buku yang ada di tangan pembaca ditulis dengan baik oleh Sdr Syamsuri. Judul bukunya menarik dan menantan. Betapa tidak? Penulis telah memilih topik-topik yang bernuansa kekinian. Penulis telah berupaya untuk mengurai setiap topik dengan gaya bahasa yang lugas dan jelas disertai dengan argumentasinya,” kata Kiai Ahsin Sakho.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Anjuran Membersihkan Ruas Jari Saat Bersuci

Isi Buku Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0

Syamsuri yang merupakan alumni pesantren Al-Mardliyah, Pesantren Tahfiz Al-Qur’an As-Sa’idiyah Sampang Madura, dan Pesantren Darullughah Waddirasatil Islamiyah Pamekasan menyajikan bahasa yang ringan namun bernas dalam buku ini. Buku dengan cover warna biru ini menhimpun 46 esai dengan pembahasan isu yang beragam. Namun di balik keragaman isu tersebut, Syamsuri menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan rambu-rambu yang mengatur keharmonisan jalannya kehidupan. Tanpa rambu, manusia akan melampaui batas. Tak akan pernah ada toleransi, tak akan tercipta sebuah keharmonisan, jika seseorang mengabaikan petunjuk-petnujuk Al-Qur’an.

Penegasan ini secara gamblang ia sebutkan di sinopsis bukunya. Selain itu, ia juga membubuhkan satu esai tersendiri terkait hal ini di bab pertama dengan judul Al-Qur’an sebagai Rambu-Rambu Kehidupan. Sebagai bab pertama, Syamsuri seakan-akan memondasi bangunan rumahnya dengan sangat baik, sebelum ia susun bab-bab selanjutnya.

Sementara pada bab-bab selanjutnya, pembahasan lebih meriah dengan judul-judul yang dalam bahasa periklanan sungguh eye catching. Misalnya saja Benarkah Al-Qur’an Sumber Autentik Pluralisme?, Jangan Merasa Berjasa Terhadap Agama, Dosa atas Nama Agama, Jihad yang Disalahpahami, Benarkah ‘Jidat Hitam’ Tafsir dari ‘Atsar As-Sujud’?, Berdoa atau Mengatur Tuhan?, hingga Boleh Sombong Asal…

Baca juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Judul-judul esai tersebut hanyalah contoh sebagian saja dari total keseluruhan yang ada. Pola yang disajikan oleh Syamsuri bukan terfokus pada satu ayat yang kemudian dibahasnya, melainkan mendekatkan dengan persoalan sembari ia bahas ayat-ayat yang bersangkutan. Dalam beberapa tulisan, ia menyebutkan kutipan dari tafsir ternama. Misalnya saja pada judul Menelisik Makna Wasilah dalam Al-Qur’an.

Ia menampilkan QS. Al-Isra’ [17]: 57 yang berbunyi,

﴿ اُولٰۤىِٕكَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ يَبْتَغُوْنَ اِلٰى رَبِّهِمُ الْوَسِيْلَةَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ وَيَرْجُوْنَ رَحْمَتَهٗ وَيَخَافُوْنَ عَذَابَهٗۗ اِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوْرًا ٥٧ ﴾

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu yang (harus) ditakuti.”

Kata wasilah dalam ayat ini bermakna jalan agar lebih dekat menuju Tuhan. Syamsuri dalam penafsiran ini, menampilkan juga pendapat Ibnu Jarir at-Thabari. Kemudian Syamsuri membahas contoh-contoh jalan menuju Tuhan melalui berbagai perantara. Ia mencontohkan bisa melalui uzlah (menyendiri dari keramaian),  zikir bi al-sir (zikir dalam hati) layaknya yang diajarkan oleh Sykeh Bahauddin An-Naqsyabandi, zikir bi al-jahr (zikir dengan nyaring) seperti yang diajarkan oleh Sykeh Abdul Qadir Al-Jaylani. Ia juga megutip salah satu qasidah burdah yang berisi tawassul terhadap kemuliaan Nabi Muhammad. Dalam pembahasan ini, Syamsuri tampak menampilkan paham keagamaan yang dekat dengan tradisi masyarakat Indonesia, yakni dekat dengan sufi-tarekat.

Penulis juga mengamati ada banyak esai yang menjadi alternatif-penawar dari problem dewasa ini. Saat ini kita memang dimudahkan teknologi, namun disisi lain juga mudah berpenyakit hati. Beberapa esai dalam buku ini mungkin bisa menjadi jawabannya, seperti Jangan Bangga dengan Pujian  Jangan Sedih dengan Cacian, Benarkah Sabar ada Batasnya, Jangan Menjadi Diri Sendiri, dan Musuh Jangan Dicari Ketemu Musuh Jangan Lari.

Baca juga: Pemikiran Roberto Tottoli Tentang Perkembangan Istilah Asbabun Nuzul

Di penghujung buku ini, Syamsuri menutupnya dengan menarik. Ia menulis sutu judul Pada Akhirnya Semua Masuk Surga. Syamsuri membuka buku dengan menyebut Al-Qur’an sebagai rambu-rambu kehidupan, dan menutupnya bahwa surga bukan milik perorangan dan sekelompok tertentu. Surga milik Allah dan hanya Dia yang menentukan siapa yang berhak menempatinya. Di sini ia ingin menunjukkan betapa luas kasih sayang Allah.

Demikian sedikit ulasan tentang buku Tafsir di Era Revolusi Industri 4.0 karya Syamsuri. Semoga bermanfaat

Wallahu a’lam bi al-shawab[].

Tafsir Ahkam: Anjuran Membersihkan Ruas Jari Saat Bersuci

0
Membersihkan Ruas Jari
Membersihkan Ruas Jari

Islam mengkategorikan rutinitas membersihkan diri seperti memotong kuku, mencabut bulu ketiak, membersihkan ruas jari dan kebiasaan membersihkan tubuh lainnya sebagai “fitrah” atau tradisi dalam Islam yang ada semenjak nabi-nabi terdahulu. Hal ini diungkapkan dalam hadis Nabi yang sering disinggung oleh ahli tafsir dalam tafsir surat Al-Baqarah ayat 124.

Namun yang jarang diketahui termasuk dari fitrah yang memperoleh perhatian oleh Islam adalah membersihkan ruas jari. Ruas jari adalah bagian tubuh yang dianjurkan oleh Islam untuk senantiasa diperhatikan kebersihannya. Sebab kotoran-kotoran yang kadang berkumpul di celah ruas jari dan menjadi sumber penyakit serta menghalangi air menyentuh kulit saat wudhu maupun mandi besar. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca juga: Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

Membersihkan Ruas Jari

Allah berfirman:

۞ وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهٖمَ رَبُّهٗ بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ

 (Ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “(Aku mohon juga) dari sebagian keturunanku.” Allah berfirman, “(Doamu Aku kabulkan, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2] 124).

Sebagian ahli tafsir mengartikan “kalimat” dalam ayat di atas sebagai hal-hal yang termasuk fitrah atau tradisi nabi-nabi terdahulu. Mereka kemudian mengutip hadis tentang hal-hal yang dikategorikan fitrah (Tafsir Munir/1/312):

« عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَالسِّوَاكُ وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ وَقَصُّ الأَظْفَارِ وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَحَلْقُ الْعَانَةِ وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ »

Sepuluh hal yang termasuk fitrah adalah mencukur kumis, membiarkan jenggot, bersiwak, menyedot air ke hidung, memotong kuku, membasuh ruas jari, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan bercebok (HR. Imam Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi dan selainnya).

Dalam hadis di atas terdapat keterangan tentang anjuran membersihkan ruas jari. Di lain tempat, Imam Al-Qurthubi mengutip keterangan Imam At-Tirmidzi yang menyebutkan sebuah hadis:

قصوا أظافيركم وادفنوا قلاماتكم ونقوا براجمكم

Potong kuku-kuku kalian, kubur sisa potongannya dan bersihkan ruas jari kalian (HR. Imam At-Tirmidzi)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Efek Membasuh Telapak Tangan Sebelum Wudhu

Imam At-Tirmidzi kemudian mendefinisikan Baraajim sebagai kerutan-kerutan yang ada di tempat bertemunya sendi jari. Dimana kerutan tersebut adalah tempat berkumpulnya kotoran. Tempat tersebut diperintahkan untuk dibersihkan agar kotoran yang ada tidak menghalangi sampainya air ke kulit sehingga membuat hadas besar tidak hilang tatkala mandi (Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/2/102).

Ibn Hajar mengutip keterangan beberapa ulama’ bahwa anjuran membersihkan ruas jari berkaitan dengan kebiasaan orang Arab dahulu yang tidak mencuci tangan setelah makan. Sehingga menggumpallah kotoran di kerutan ruas jari. Beberapa riwayat hadis menyebutkan agar lebih memperhatikan lagi bagian ruas jari tatkala wudhu. Namun ulama’ menegaskan bahwa membersihkan ruas jari tidak hanya dianjurkan tatkala berwudhu saja, tapi juga tatkala mandi dan membersihkan tubuh (Fathul Bari/16/479).

Membersihkan ruas jari adalah kesunnahan. Beberapa ulama’ kemudian menyamakan hukum membersihkan tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat berkumpulnya kotorang di tubuh, dengan hukum membersihkan ruas jari. Di antaranya lipatan-lipatan kulit di area telinga dan bagian dalam hidung (Syarah Sahih Muslim Lin Nawawi/1/414).

Sebagai penutup, Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu menyatakan bahwa ulama’ sepakat tentang kesunnahan membasuh ruas jari. Ia juga menegaskan bahwa kesunnahan tersebut tidaklah khusus tatkala wudhu saja (Al-Majmu’/1/288). Wallahu a’lam bish showab[].

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Marak e-commerce, Antara Kemudahan dan Keborosan: Refleksi Surah Al-Furqan Ayat 67

0
Marak E-Commerce dan pengaruhnya
Marak E-Commerce dan pengaruhnya

12-12- memang sudah lewat, tapi kegemaran berbelanja online tetap terus berlanjut, tidak peduli tentang tanggal yang tidak ‘cantik lagi’. Kehadiran e-commerce sebagai buah tangan teknologi modern sangat memudahkan kita dalam proses kehidupan ekonomi. Kemudahan tersebut secara alami memantik perilaku konsumtif yang cukup masif. Apalagi dengan adanya wadah bernama “media sosial”, konten-konten iklan penjualan bertebaran di beranda setiap orang. Ini semakin memantik psikologis untuk berperilaku konsumtif.

Dewasa ini e-commerce benar-benar menjadi primadona bagi manusia. Bagaimana tidak, iklan-iklan promo selalu menjadi makanan setiap hari bagi kita semua. Setiap bulan, banyak diantara kita yang melakukan transaksi pembelian dengan tanpa pertimbangan yang cukup matang dan lebih mengedepankan trend dan gengsi sosial. Alhasil, perilaku konsumtif tersebut menyebabkan maraknya pinjaman-pinjaman online yang cukup meresahkan, bahkan cenderung memberatkan bagi kita di kemudian hari.

Maka dari itu, filterisasi informasi benar-benar dibutuhkan di zaman serba mudah ini. Khususnya dalam masalah ekonomi, utamanya tentang e-commerce, seyogyanya kita senantiasa mengedepankan sikap efisien dalam membelanjakan harta kita. Hal ini juga yang banyak disinggung dalam Al-Quran, bagaimana sepatutnya manajemen ekonomi yang efisien dan terukur selalu kita perhatikan.

Baca Juga: Self Reward Berujung Pemborosan, Begini Manajemen Harta ala Al-Qur’an

Efisiensi adalah Ekonomi itu Sendiri

Term efisiensi seringkali digunakan dalam dunia bisnis dan organisasi. Dalam dunia ekonomi, efisiensi memegang peranan krusial. Hal ini sebagaimana menurut Samuelson, seorang pakar ekonomi, ia mengatakan bahwa “economy is producting efficiently..” Tesis tersebut menunjukkan bahwa efisien merupakan ruh dan prinsip pokok ekonomi itu sendiri. Apabila sebuah tujuan tercapai secara maksimal dengan waktu dan sumber daya yang minimal, maka hal ini dapat dikatakan terjadi secara efisien. Dengan kata lain, efisien dapat juga dikatakan sebagai pola hidup hemat dan terukur.

Begitu juga dalam pandangan Islam, Al-Quran menyatakan bahwa core dari ekonomi atau bahkan kehidupan secara umum adalah efisiensi. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. surah Al-Furqan ayat 67.

 وَالَّذِيْنَ اِذَآ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَانَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَامًا  (67)

“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (Q.S. Al-Furqan [25]: 67)

Lafaz “anfaqu” dalam ayat ini menurut Imam Jalalain bermakna membelanjakan atau menfkahkan. Ayat ini secara umum berupa peringatan bagi kita agar selalu mengedepankan efisiensi dalam membelanjakan harta.

Komentar senada juga diungkapkan Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir, menurutnya ayat ini secara eksplisit menuntun kita untuk bersikap adil dalam menggunakan harta, tidak berlebihan, dan sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sebagaimana nilai yang terkandung dalam ayat tersebut, yakni posisi antara berlebihan dan kikir yang dapat dimaknai sebagai sikap hemat. Artinya, konsep ekonomi yang baik adalah ekonomi yang mengedepankan efisiensi, bukan hanya sebatas ego dan gengsi.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah 87-88: Sikap Seseorang sebagai Konsumen

Hubungan Efisiensi dengan Al-Iqtishad

Dalam kajian ekonomi Islam, ekonomi itu sendiri dikenal dengan istilah “al-iqtishad”. Secara morfologi istilah tersebut berasal dari kata qashdu yang berarti al-i’tidal wa al-tawashuth atau seimbang. Hal ini sebagaimana menurut Ibnu Mandzur dalam Lisan al-‘Arab, menurutnya kata qashdu berarti istikamah, seimbang, adil, dan hemat.

Term al-iqtishad ini secara general memiliki korelasi filosofis yang erat dengan efisiensi yang mana merupakan ruh dari ekonomi itu sendiri. Dengan demikian maka para ulama mendefinisikan ekonomi sebagai al-iqtishad, yakni cara mendistribusikan harta dengan nilai keadilan dan seimbang. Sehingga harta yang digunakan tersebut akan memiliki nilai manfaat yang lebih dominan daripada mafsadatnya.

Semangat aliqtishad ini tentunya dapat dikatakan juga sebagai dasar prinsip perekonomian Islam (al-iqtishadiyah islamiyah) sehingga manusia memiliki kehidupan yang layak. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW, “ma ‘ala man iqtashada” yang berarti tidak akan (mengalami) kekurangan orang yang berhemat. Hadits ini mengindikasikan bagaimana manajemen ekonomi yang sesuai nilai dan prinsip Islam adalah efisiensi dalam pendistribusian harta.

Maka dari itu, Islam secara prinsip benar-benar melarang manusia untuk bersikap konsumtif tanpa pertimbangan, yakni berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta (Q.S. 7: 31; 17: 26-27). Sementara di lain sisi, Allah SWT memberikan pedoman kepada manusia agar  senantiasa hemat (Q.S. 25: 67), efektif dan efisien (Q.S. 25: 67; 103: 1-3), serta seimbang antara produktif dan konsumtif (Q.S. 20: 105).

Dengan demikian, kehadiran teknologi perbelanjaan (e-commerce) yang semakin mudah kini harus senantiasa kita sikapi dengan selektif. Jangan sampai terbuai dengan ego dan gengsi yang hanya akan menjerumuskan kita kepada jurang kemiskinan. Seyogyanya perilaku konsumtif kita batasi dengan hanya belanja dengan prinsip “by need” bukan ”by want” atau bahkan “by feed”. Wallahu a’lam.

Tafsir Ahkam: Efek Membasuh Telapak Tangan Sebelum Wudhu

0
Membasuh Telapak Tangan
Membasuh Telapak Tangan

Ibn Katsir dalam Tafsir Al-Qur’anul Adhim menyinggung perihal kesunnahan membasuh telapak tangan saat hendak wudhu, sebelum memasukkan keduanya ke wadah air. Kesunnahan tersebut didasarkan oleh sebuah hadis yang menyatakan, apabila bangun tidur dan akan wudhu hendaknya ia membasuh tangannya terlebih dahulu. Sebab ia tidak tahu kemana arah tangannya saat tidur.

Ada anggapan bahwa hadis di atas adalah dasar kesunnahan membasuh tangan saat hendak wudhu. Sehingga ada yang merasa janggal, bukankah hadis di atas berbicara tentang saat bangun dari tidur, lalu kenapa membasuh tangan di sunnahkan sebelum wudhu meski saat tidak sedang bangun dari tidur? Faktanya hadis tentang membasuh tangan sebelum wudhu tidak hanya satu. Lebih lengkapnya, simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini:

Baca juga:  Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Membasuh Tangan Sebelum Wudhu

Imam Ibn Katsir tatkala menguraikan tafsir Surat Al-Maidah ayat 6 menyebutkan salah satu kesunnahan dalam berwudhu, yaitu disunnahkan membasuh kedua tangan tatkala hendak memasukkannya ke wadah air. Terlebih saat bangun dari tidur. Kesunnahan ini didasarkan pada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah dan berbunyi (Tafsir Ibn Katsir/3/47):

وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

Dan Ketika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya, hendaknya ia membasuh tangannya sebelum memasukkannya ke air wudhunya. Sesungguhnya salah seorang kalian tidak mengerti kemana semalam tangannya berada (HR. Bukhari).

Bila menyimak hadis di atas, sekilas dapat diperoleh kesimpulan bahwa kesunnahan membasuh tangan sebelum wudhu hanya berlaku saat bangun dari tidur dan hendak memasukkan tangannya ke wadah air saat hendak wudhu. Beberapa kitab syarah hadis memang menyatakan demikian. Imam Syaukani di dalam Subulus Salam tatkala mengulas hadis di atas menjelaskan, bahwa hadis tersebut hanya menyinggung orang yang dalam wudhunya hendak mencelupkan tangannya ke sebuah wadah air untuk wudhu. Bukan mengambil airnya lewat gayung semisal, atau orang yang wudhunya pada kolam besar.

Imam Syaukani juga menjelaskan, bahwa membasuh tangan sebelum memasukkannya ke wadah air tatkala bangun dari tidur, baik di malam atau siang hari, menurut Imam Ahmad hukumnya wajib. Sedang selain Imam Ahmad memandangnya sebagai kesunnahan belaka yang apabila meninggalkannya hanya menyebabkan hukum makruh (Subulus Salam/1/124).

Baca juga: Keutamaan dan Perintah Memberi dalam al-Quran

Meski penjelasan di atas sekilas menunjukkan kesunnahan membasuh tangan di luar keadaan tersebut hukumnya tidak sunnah, tapi Imam Syaukani juga menjelaskan bahwa membasuh tangan selain keadaan di atas hukumnnya sunnah berdasar hadis lain. Imam An-Nawawi dalam Kitab Al-Majmu’ syarah Muhadzdzab juga mengingatkan bahwa hadis di atas hanya menyinggung anjuran membasuh telapak tangan tatkala bangun dari tidur. Bukan dasar kesunnahan membasuh tangan sebelum wudhu pada setiap keadaan. Sebab membasuh tangan tatkala hendak wudhu disunnahkan dalam segala keadaan berdasar hadis sahih yang diriwayatkan oleh sahabat Utsman dan Ali tentang sifat wudhu Nabi (Al-Majmu’/1/347).

Dari berbagai uraian di atas kita dapat mengetahui bahwa sebenarnya ada dua macam redaksi hadis tentang kesunnahan membasuh tangan sebelum wudhu yang sekilas tampak bertentangan, tapi sebenarnya tidak. Beberapa ulama’ seperti Imam Mawardi kemudian memberi kesimpulan bahwa dianjurkan membasuh tangan sebelum wudhu dalam semua keadaan. Hanya saja, ada perdebatan cukup panjang pada kasus orang yang bangun dari tidur dan hendak wudhu dengan mencelupkan tangannya pada sebuah wadah yang airnya sedikit.

Mayoritas ulama’ menganggap hukum mencuci tangan sebelum memasukkannya ke wadah dalam kasus di atas hukumnya tetap sunnah. Sedang Imam Hasan Al-Basri, Dawud serta Ahmad ibn Hanbal menganggapnya sebagai sebuah kewajiban. Perbedaan pendapat ini dipengaruhi adanya kemungkinan tangan menyentuh najis, sebab umum ditemui di masa Nabi orang yang bercebok atau istinja’ sebatas menggunakan batu (Al-Hawi Al-Kabir/1/160). Wallahu a’lam bish showab[].

Baca juga: Berbagai Alasan Memilih Childfree dan Pertimbangannya Menurut Tafsir

Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani Pada Kitab Marah Labid

0
Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani
Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani

Tafsir Maqasidi bukan lagi istilah yang asing di telinga para pengkaji studi Al-Qur’an beberapa tahun terakhir. Beberapa tokoh modern ternama, seperti Ibnu ‘Asyur, Rasyid Ridha, Muhammad al-Ghazali, Yusuf al-Qaradhawi, dan Taha Jabir al-Alwani memberi banyak kontribusi terhadap pendekatan maqasidi dalam membaca teks-teks Al-Qur’an dan hadis.

Sederhananya, Tafsir Maqasidi bisa dipahami sebagai tafsir yang menguak makna-makna logis yang terkait ayat-ayat Al-Qur’an. Embrio Tafsir Maqasidi sudah bisa ditemukan sejak masa Nabi saw. dan para sahabat. Praktik Nabi saw. yang pernah tidak menjatuhkan hukum potong tangan menjadi salah satu argumentasi penting akan keniscayaannya. Kala itu Nabi saw. mempertimbangkan mudarat yang lebih besar jika sang pencuri dijatuhi hukuman potong tangan, ia akan melarikan diri ke kubu musuh lalu membocorkan rahasia-rahasia umat Islam yang kala itu sedang berperang dengan orang kafir.

Era sahabat pun demikian, Umar dengan berbagai kebijakannya dalam menerapkan beberapa hukum, seperti menolak pembagian ganimah karena ingin membaginya ke khalayak lebih luar agar tidak segelintir orang saja yang menikmatinya dan tidak memberi hukuman potong tangan kepada pencuri saat masa paceklik. Setelah masa sahabat, diskusi mengenai Maqasid ini semakin berkembang hingga dirumuskan konsep al-Maslahah al-Mursalah, lalu dirumuskannya konsep al-Darurat oleh al-Juwaini dan al-Ghazali, hingga dimatangkan oleh al-Syatibi. Demikian perkembangan singkat konsep Maqasid yang kala itu bernuansa fikih, perkembangan mutakhir kemudian mengambil konsep Maqasid ini untuk digunakan dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga tidak lagi terbatas dalam kajian fikih belaka.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Basmalah Sebelum Wudhu

Penafsiran Maqasidi Syekh Nawawi al-Bantani

Jika merunut ke konteks yang dekat dengan Indonesia, penulis menemukan Syekh Nawawi al-Bantani, salah satu mufassir ternama Nusantara juga menggunakan penafsiran yang menguak Maqasid ayat-ayat Al-Qur’an dalam salah satu kitabnya, Marah Labid. Namun, harus digaris bawahi penafsiran tersebut tidak secara eksplisit menggunakan terma Maqasid maupun derivasinya. Seperti ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 238 tentang perintah menjaga salat secara konsisten. Dengan analisis bahasa, Syekh Nawawi menafsirkan bahwa kata hafizu yang pada ayat tersebut yang memiliki wazan musyarakah memiliki arti kesalingan antara hamba dan Tuhan dalam menjaga. Ketika hamba menjaga salatnya, maka Tuhan pun akan menjaga hambanya (Marah Labid, 1:84).

Maqasid ayat juga dijelaskan Syekh Nawawi ketika menafsirkan QS. al-Baqarah [2]: 115 dan 142 tentang peralihan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Ia menjelaskan bahwa tidak ada kekhususan satu arah dalam ibadah karena sejatinya semua arah adalah milik Allah swt. Kiblat bukanlah tujuan ibadah, namun Allah swt. sebagai pemberi perintah menghadap kiblatlah yang menjadi tujuan ibadah. Di sini Syekh Nawawi menegaskan bahwa yang disembah ketika salat bukanlah Ka’bah, melainkan menyembah Dia yang memberi perintah menghadap Ka’bah (Marah Labid 1:40-41 dan 49).

Dalam ayat-ayat tentang puasa, Syekh Nawawi juga menggunakan penafsiran yang menguak Maqasid. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 183, dijelaskan bagaimana puasa bisa mencapai derajat takwa. Puasa sebagai sarana untuk melawan nafsu makan dan nafsu syahwat bisa mengantar kepada derajat takwa yang kedua nafsu ini notabene adalah godaan terberat bagi manusia. Ketika dua godaan ini sudah teratasi, maka godaan-godaan lainnya pun akan terasa lebih mudah dihindari. Demikianlah Syekh Nawawi menguak bagaimana puasa menjadi salah satu sarana penting dalam pemeliharaan jiwa (Tarbiyah al-Nafs) (Marah Labid 1: 60).

Baca juga: Kisah Ibu Para Nabi dalam Al-Quran (1): Perjuangan Siti Hajar, Ibu Nabi Ismail

Demikianlah beberapa penafsiran Maqasidi ala Syekh Nawawi. Pada titik ini, penulis ingin menekankan keniscayaan Tafsir Maqasidi, sehingga penafsiran tidak lagi hanya terbatas pada penjelasan makna, namun lebih jauh menelusuri apa sebenarnya tujuan dan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini pula yang nampaknya ingin disampaikan Syekh Nawawi dalam tafsir Marah Labidnya, ia tidak hanya membatasi penafsiran makna-makna luar saja. Namun, penafsiran logis yang menjelaskan tujuan suatu ayat juga tak lupa ditampilkan dalam tafsirnya.