Beranda blog Halaman 182

Mengulik Makna Tarbiyah dalam Pendidikan Islam

0
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam

Dalam Islam, secara umum istilah pendidikan diterminologikan ke dalam tiga term, yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib. Ketiga istilah ini memiliki definisi yang berbeda dan implikasi yang berlainan ketika diterapkan dalam proses pendidikan. Namun, dari ketiga istilah tersebut, istilah tarbiyah paling banyak digunakan dan dirujuk dalam konteks pendidikan.

Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa istilah tarbiyah untuk menggambarkan pendidikan Islam merupakan hal yang baru. Istilah ini, demikian kata Muhammad Munir Mursa dalam al-Tarbiyah al-Islamiyah: Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-Arabiyah.

Istilah tarbiyah muncul berkaitan dengan gerakan tajdid (pembaharuan) pendidikan di dunia Arab pada perempat kedua abad ke-20. Oleh karenanya, penggunaannya dalam konteks pendidikan dewasa ini tidak ditemukan dalam referensi-referensi klasik. Yang ditemukan adalah istilah-istilah seperti ta’lim, ‘ilm, ta’dib dan tahdzib.

Terminologi Tarbiyah dalam Al-Quran

Mengutip Ahmad Munir dalam Tafsir Tarbawi; Mengungkap Pesan Al-Quran Tentang Pendidikan, bahwa kata tarbiyah dengan berbagai derivasinya di dalam Al-Quran terulang sebanyak 952 kali yang terbagi menjadi dua bentuk sebagai berikut.

Pertama, berbentuk isim fa’il (rabbani). Bentuk ini terulang sebanyak 3 kali yang kesemuanya berbentuk jama’ yaitu rabbaniyyina dan rabbaniyyuna yang juga memiliki keterkaitan dengan term mengajar (ta’lim) dan belajar (tadris) sebagaimana ditunjukkan dalam Q.S. Ali Imran [3]: 79,

كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ

“…Jadilah kamu para penyembahku, bukan (penyembah) Allah,” tetapi (hendaknya dia berkata), “Jadilah kamu para pengabdi Allah karena kamu selalu mengajarkan kitab dan mempelajarinya!” (Q.S. Ali Imran [3]: 79).

Kata rabbani dalam ayat tersebut, sebagaimana penjelasan Ahmad Munir, dinisbahkan kepada kata rabba, artinya yang mendidik manusia dengan ilmu dan pengajaran semasa kecil. Ibn Abbas dalam tafsirnya menjelaskan kata rabbani berasal dari kata rabbaa, yang mendapat imbuhan alif dan nun yang menunjukkan makna mubalaghah.

Lebih dari itu, sebagian ulama berpendapat bahwa rabba bermakna tokoh ilmuwan (arbaba al-‘ilm) yang mendidik dan memperbaiki kondisi sosial masyarakatnya. Ada juga yang berargumen bahwa kata tersebut bermakna orang yang memiliki ekspertasi dan mengamalkan keilmuannya secara memadai.

Kedua, berbentuk mashdar (rabban). Bentuk ini, seperti yang dipaparkan Ahmad Munir, terulang dalam Al-Quran sebanyak 947 kali; empat kali berbentuk jama’ (arbaban) dalam Q.S. Yusuf [12]: 39, satu kali berbentuk tunggal dalam Q.S. al-An’am [6]: 164, dan selebihnya berupa isim sebanyak 141 kali yang mayoritas dikontekskan dengan alam, masalah nabi, manusia, sifat Allah, dan ka’bah.

Ketiga, berbentuk kata kerja (rabbaa). Bentuk ini terulang sebanyak 2 kali, yaitu dalam Q.S. al Isra [17]: 24 dan Q.S. al-Syu’ara [26]: 18.

Baca juga: Ragam Pemaknaan Kata Rabb dalam Surah al-Fatihah Ayat 2 dan Kaitannya dengan Pendidikan

Makna Tarbiyah

Istilah tarbiyah secara umum berakar pada tiga kata. Pertama, kata raba-yarbu, artinya bertambah dan tumbuh. Kedua, rabba/rabiya-yarba, artinya tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba-yarubbu yang berarti memperbaiki, menguasai, memimpin, menjaga, dan memelihara seperti yang dikemukakan Ahmad Syah dalam Term Tarbiyah, Ta’lim, dan Ta’dib dalam Pendidikan Islam: Tinjauan dari Aspek Semantik.

Term al-Rabba menurut al-Raghib al-Asfahani dalam Mufradat Alfadz al-Qur’an mempunyai padanan kata yang sama dengan term tarbiyah yang bermakna menumbuhkan atau membuat sesuatu menjadi sempurna secara berangsur-angsur. Pendapat lain mengatakan, al-Jauhari misalnya, kata tarbiyah dan berbagai bentuk derivasinya sebagaimana diriwayatkan al-Asma’i, bermakna rabban dan rabba, artinya memberi makan, memelihara, dan mengasuh. Makna ini mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh seperti halnya anak-anak, tanaman, hewan, dan seterusnya.

Hal senada juga dituturkan Ibn Manzur dalam Lisan al-Arab, kata tarbiyah secara bahasa berasal dari rabba-yurabbi-tarbiyah, artinya mendidik, mengampu dan memelihara. Tidak jauh berbeda, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengungkapkan kata tarbiyah seakar dengan kata rabbiyatu, yakni mengarahkan sesuatu tahap demi tahap menuju kesempurnaan kejadian dan fungsinya.

Abdurrahman al-Nahlawi dalam Ushul al-Tarbiyah mengemukakan kata tarbiyah berasal dari kata rabaa-yarbu, bermakna bertambah dan bertumbuh; rabiya-yarba artinya menjadi besar, dan rabba-yarubbu bermakna memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, mengasuh dan memelihara. Dengan demikian, menurutnya, tarbiyah mencakup sekurang-kurangnya empat hal, yakni (1) memelihara fitrah anak; (2) menumbuhkan bakat dan potensinya; (3) mengarahkan seluruh fitrah dan potensinya agar berkembang dengan baik dan terarah; dan (4) dalam proses perkembangannya dilakukan secara gradual atau bertahap.

Jika makna tarbiyah dihubungkan dengan Q.S. al-Isra [17]: 24, Muhammad al-Naquib al-Attas dalam The Concept of Education in Islam: A Frame Work for an Islamic Phylosophy of Education berpendapat bahwa kata “rabayani” di situ bermakna rahmah (ampunan atau kasih sayang), pakaian dan tempat berteduh, serta pemeliharaan yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya. Jadi, kata tarbiyah dalam konteks ayat tersebut (Q.S. al-Isra [17]: 24) bermakna rahmah (kasih sayang) atau maghfirah (ampunan).

Senada dengan al-Attas, Abdul Fattah Jalal, sebagaimana dikutip Ahmad Syah, menjelaskan yang dimaksud kata tarbiyah dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 24 dan Q.S. al-Syu’ara [26]: 18 adalah pendidikan yang berlangsung pada fase bayi dan kanak-kanak sehingga mereka sangat bergantung pada pemeliharaan dan kasih sayang kedua orang tuanya.

Penutup

Dari ulasan beberapa definisi tarbiyah di atas baik semantik maupun terminologis, maka tarbiyah merupakan serangkaian proses pendidikan dalam rangka menumbuhkan dan mengembangkan potensi manusia, baik potensi fisik, intelektual, sosial, estetika, spritual dan material, sehingga dapat berkembang dan terbina secara optimal. Langkah ini dapat ditempuh melalui cara pemeliharaan, pengasuhan, menjaga, merawat dan mendidik secara berkelanjutan dan gradual.

Karena itu, tarbiyah mencakup pendidikan jasmani, pendidikan akhlak, intelektual atau kecerdasan, perasaan, keindahan atau estetika, sosial-kemasyarakatan, spritual, maupun material. Istilah ini lebih representatif untuk menggambarkan konsep pendidikan Islam secara utuh. Wallahu A’lam.

Baca juga: Hari Guru Sedunia: Inilah 3 Artikel Serial Tafsir Tarbawi Tentang Guru…

Tafsir Ahkam: Kriteria Air yang Menjadi Najis Karena Terkena Najis (Mutanajjis)

0
Tafsir Ahkam: Kriteria Air yang Menjadi Najis Karena Terkena Najis (Mutanajjis)
Kriteria Air yang Menjadi Najis Karena Terkena Najis (Mutanajjis)

Menentukan najis tidaknya air semudah mengetahui apakah air tersebut terkena najis atau tidak. Menurut para ulama’, tidak setiap kali air terkena najis, ia otomatis menjadi najis. Ada Patokan-patokan tertentu untuk menentukan apakah air menjadi najis saat terkena najis, atau tidak. Mulai dari apakah najis tersebut ma’fu (dimaafkan) atau tidak, apakah air tersebut berjumlah banyak atau sedikit, serta apakah sifat-sifat air tersebut berubah atau tidak. Simak penjelasannya berikut ini:

Kriteria Air Yang Terkena Najis

Tidak setiap air yang terkena najis akan menjadi najis. Hal ini bisa disimpulkan salah satunya lewat penjelasan para ahli tafsir, di antaranya saat mereka menyinggung firman Allah:

 وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا ٦

Jika kamu sakit dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci) (QS. Al-Ma’idah [5]: 6).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Salat Orang yang Tidak Menemukan Air dan Debu untuk Bersuci

Imam Ar-Razi menyatakan bahwa banyak kalangan sahabat dan tabi’in, yang meyakini bahwa air tidak lantas menjadi najis hanya karena terkena najis. Selama sifat air tidak berubah, entah sedikit atau banyak jumlah air, maka air tersebut tetap suci. Sifat air yang dimaksud ialah unsur warna, rasa, dan bau air tersebut.

Adapun ulama’ mazhab menyatakan pendapat sedikit berbeda dengan mereka. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menyatakan bahwa bila jumlah air sedikit, maka air menjadi najis meski tidak berubah sifat-sifatnya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/496).

Imam Al-Qurthubi menjelaskan, para ulama’ penganut mazhab Imam Malik juga menyatakan hal serupa. Bahwa air yang banyak tidak menjadi najis selama tidak berubah sifat-sifatnya. Sedang air yang sedikit menjadi najis sebab terkena najis meski tidak berubah sifat-sifatnya. Beberapa ulama’ bahkan menyatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat Imam Malik sendiri (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/42).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menyatakan, mayoritas ulama’ meyakini bahwa air yang sedikit menjadi najis apabila terkena najis. Entah apakah air tersebut berubah sifatnya atau tidak. Hanya saja ulama’ berbeda-beda dalam memberi ukuran manakah yang dikategorikan air yang sedikit dan air yang banyak.

Mazhab Syafi’i memperkenalkan istilah dua qullah. Kurang dari dua qullah adalah air sedikit, dan dua qullah atau lebih adalah air yang banyak. Dua qullah bila dikonversi dalam satuan volume air berjumlah sekitar 270 liter air. Mazhab Abu Hanifah mengukur banyak-sedikitnya air dengan kemampuan najis tersebut menggerakkan kedua sisi air dengan najis yang jatuh di salah satu sisinya. Sedang Mazhab Maliki mengukur sedikit dan banyaknya air lebih kepada adat dan kebiasaan (Tafsir al-Munir/19/88).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Kesimpulan

Dari berbagai uraian di atas, kita bisa mengambil kesimpulan: Pertama, tidak setiap air yang terkena najis akan menjadi najis. Terkait masalah ini, ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah air yang sedikit menjadi najis sebab terkena najis, meski tidak berubah sifat-sifatnya? Kedua, air yang banyak tidak menjadi najis sebab terkena najis selama tidak berubah sifat-sifatnya. Dalam permasalahan ini banyak komentar yang menyatakan bahwa ulama’ sepakat soal hal ini (Mausu’atul Ijma’ fi Fiqhil Islami/1/98).

Penjelasan di atas sebenarnya hanyalah pembahasan air najis yang hanya ditinjau dari segi airnya saja. Sebab bila ditinjau dari najis yang mengenai air tersebut, maka akan ada pemilahan mengenai najis yang dapat membuat air menjadi najis dan yang tidak. Di antara yang dikategorikan najis tapi tidak membuat air menjadi najis adalah bangkai serangga yang keberadaannya sulit dihindarkan dari air (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/46). Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Najiskah Air Yang Kemasukan Bangkai Serangga?

Mengenal Al-Kiya Al-Harrasi, Pengarang Kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an

0
Pengarang Kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an
Pengarang Kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an

Banyak kitab tafsir dengan judul “Ahkam al-Qur’anyang kita ketahui saat ini. Di antaranya yaitu kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an karya Ibn Arabi, Al-Jashshash dan Al-Kiya Al-Harrasi. Jika kita telaah lagi, kitab-kitab ahkam Al-Qur’an ini memiliki kecondongan kepada madzhab dari mufassirnya masing-masing. Kitab Ahkam Al-Qur’an Al-Jashshash memiliki kecondongan kepada madzhab Hanafi, Ibn Arabi memiliki kecondongan kepada madzhab Maliki dan Al-Kiya Al-Harrasi memiliki kecondongan kepada madzhab Syafi’i. Dalam tulisan ini, akan sedikit diulas mengenai salah satu pengarang kitab Tafsir Ahkam Al-Qur’an tersebut, yaitu Al-Kiya Al-Harrasi.

Al-Kiya Al-Harrasi atau ‘Imaduddin Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad ibn Ali at-Thabari merupakan pengarang salah satu kitab Ahkam Al-Qur’an yang bermadzhab Syafi’i. Nama “Kiya” merupakan isilah Arab yang berarti “orang besar yang terkemuka di kalangan manusia”. Beliau merupakan ahli fiqh madzhab Syafi’i di Baghdad. Beliau lahir di Thabaristan, Khurasan pada bulan Dzul Qa’dah tahun 450 H dan  meninggal di Baghdad pada waktu ashar menjelang Muharram tahun 504 H (Muhammad Taufiki: Jurnal Kordinat).

Pendidikan dasar beliau ditempuh di tempat kelahirannya. Kemudian dilanjutkan di Naisabur, berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini. Setelah berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini, beliau mengajar di Baihaq. Selanjutnya, beliau menghabiskan hidupnya untuk mengajar di Madrasah Al-Nidhamiyyah, Baghdad (Muhammad Husein al-dzahabi: at-Tafsir wa al-Mufassirun). Adapun di antara murid-muridnya adalah Sa’d al-Khair ibn Muhammad al-Anshari dan al-Salafi.

Baca juga: Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an

Al-Kiya al-Harrasi dianggap sebagai salah satu murid terbaik Imam Haramain al-Juwaini setelah al-Ghazali. Al-Kiya Al-Harrasi merupakan seorang ulama yang mengabdi di dinasti Salajikah pada masa Ibn Maliksyah al-Saljuqi. Beliau berkedudukan sebagai salah satu hakim agung kerajaan yang juga merupakan ahli hadits. Beliau mamiliki kelebihan dalam hal menganalisis sesuatu. Dengan kepiawaian menganalisisnya, beliau menganalisis berbagai permasalahan di forum-forum lmiah.

Guru Al-Kiya Al-Harrasi, Imam al-Haramain merupakan seorang ulama yang memiliki kecondongan pada madzhab Syafi’i. Kecondongan serupa akhirnya terbawa pada Al-Kiya Al-Harrasi, dimana pada masa hidupnya madzhab Syafi’i dan madzhab Hanafi banyak dianut di Baghdad, Kuffah, dan Bashrah. Dengan banyaknya penganut dua madzhab tersebut, para pengikutnya pun saling memperlihatkan fanatisme mereka dengan madzhabnya. Hal ini menyebabkan pada masa itu muncul karya-karya yang condong membela masing-masing madzhab pengarangnya. Peristiwa ini dapat diketahui dari cara pengarang menyanggah dan mendebat pendapat madzhab lain di dalam karyanya.

Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Kitab Ahkam Al-Qur’an Karya Al-Kiya Al-Harrasi

Kitab Ahkam al-Qur’an karya al-Kiya al-Harrasi ini termasuk salah satu kitab yang penting bagi madzhab Syafi’i, khuhusnya dalam tafsir fiqhi. Hal ini dikarenakan dalam kitab ini, Al-Kiya al-Harrasi menafsirkan semua ayat hukum dan surat dalam Al-Qur’an. Dalam penafsirannya, beliau menggunakan metode tematik (Maudhu’i). Hal tersebut dapat kita ketahui dari cara menafsirkannya, yakni mengklasifikasikan ayat yang berkaitan dengan hukum sesuai dengan tema atau judulnya (Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an). Corak yang digunakan adalah corak fiqhi.  Dalam Karyanya ini, Al-Harrasi memfokuskan pembahasan pada pendapat madzhab al-Syafi’i, menguatkannya serta memberikan argumen-argumen untuk mendebat lawannya (Muhammad Taufiki: Jurnal Kordinat).

Terkait Fanatismenya, berikut terjemah dari pernyataan Al-Harrasi dalam Muqaddimah kitab tafsir Ahkam Al-Qur’annya.

Setelah memerhatikan pendapat madzhab-madzhab yang ada, saya berpendapat bahwa madzhab al-Syafi’i radliyallah ‘anh adalah yang paling benar, paling lurus, dan paling bijak, hingga sebagian besar bukan hanya pada tingkat kebenaran dhann saja; akan tetapi sampai ke tingkat kebenaran hakiki dan keyakinan pasti. Sebab, al-Syafi’i mendasarkan madzhabnya pada Kitabullah ta’ala, dan ia diberi kemudahan dalam memahami maknanya yang dan menyelam ke dalam gelombang lautannya untuk mengeluarkan (menyimpulkan) apa yang terkandung di dalamnya. Allah telah membukakan pintu-pintu untuknya, memudahkan sebab-sebabnya, menyingkap penutupnya, yang tidak dipermudah untuk orang lain selain dia”.

Dari Kutipan dalam muqaddimah Al-Harrasi tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwasanya Al-Kiya Al-Harrasi menyusun kitab tafsirnya untuk menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh Imam al-Syafi’i radliyallah ‘anh dalam menyimpulkan hukum dengan mengikuti cara berfikirnya.

Etika Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur’an

0
Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur'an
Bergaul dengan Non muslim dalam Pandangan Al-Qur'an

Dalam banyak hal, Nabi Muhammad telah mengajari kita bagaimana bergaul dengan nonmuslim. Tak hanya mengakui keberadaan mereka, tapi juga bagaimana menghormati dan menghargai mereka. Apa yang dilakukan Nabi Muhammad bukanlah semata ijtihad beliau sendiri, namun juga sesuai dengan pesan Al-Quran dalam bergaul dengan orang yang berbeda agama dan akidah. Berikut adalah surah tentang adab dan Nabi Muhammad ketika bergaul dengan non muslim.

Baca juga: Membaca Ayat Antopokosmik: Menjaga Alam Kewajiban Kita Bersama

Mengutamakan Adab

Dalam surah Saba’ [34]: 24-26 Allah mengajari bagaimana mestinya kita bersosial dengan liyan,

۞ قُلْ مَنْ يَّرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ قُلِ اللّٰهُ ۙوَاِنَّآ اَوْ اِيَّاكُمْ لَعَلٰى هُدًى اَوْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ ۩ قُلْ لَّا تُسْـَٔلُوْنَ عَمَّآ اَجْرَمْنَا وَلَا نُسْـَٔلُ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ۩ قُلْ يَجْمَعُ بَيْنَنَا رَبُّنَا ثُمَّ يَفْتَحُ بَيْنَنَا بِالْحَقِّۗ وَهُوَ الْفَتَّاحُ الْعَلِيْمُ ۩

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Siapakah yang menganugerahkan rezeki kepadamu dari langit dan bumi?” Katakanlah, “Allah.” Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik) benar-benar berada di dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.”(24)

“Katakanlah, “Kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kami kerjakan dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan.”(25)

“Katakanlah, “Tuhan kita (pada hari Kiamat) akan mengumpulkan kita, kemudian memutuskan (perkara) di antara kita dengan hak. Dialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”(26)

Melalui ayat tersebut, Rasulullah Saw dengan yakin mengabarkan bahwa beliau berada dalam kebenaran dan petunjuk. Namun Allah tetap memerintah beliau untuk bergaul dengan orang-orang musyrik sembari mengatakan kepada mereka; sesungguhnya kami atau kamu benar-benar berada di dalam petunjuk atau dalam kesesatan yang nyata.

Baca juga:  Aspek Kedua Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Beramal dan Berkarya

Kemudian Allah mengajari Nabi Muhammad agar berkomunikasi kepada mereka dengan adab yang agung. Simaklah sepenggal arti ayat 25; katakanlah (Muhammad), sesungguhnya kamu tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kami kerjakan dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kamu kerjakan.

Raghib al-Sirjani, dalam Fann al-Ta’amul al-Nabawiy ma’a Ghair al-Muslimin (2010), menjelaskan ayat tersebut. Bahwa ketika Nabi membicarakan diri sendiri, diksi yang dipakai adalah jurm yang berarti kesalahan dan kelalaian. Kemudian ketika membicarakan pihak lain, diksi yang dipakai adalah kata ‘amal yang bisa berarti kebaikan atau keburukan. Sehingga dapat dipahami begini; sesungguhnya kalian, wahai nonmuslim, tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan dan kekeliruan yang kami kerjakan, dan kami tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kebaikan dan keburukan yang kamu kerjakan.

Kemudian pada ayat selanjutnya, Nabi menyerahkan semua urusan kepada Allah dengan berkata, “…Tuhan kita (pada hari Kiamat) akan mengumpulkan kita, kemudian memutuskan (perkara) di antara kita dengan hak. Dialah Yang Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”

Itulah ajaran Al-Quran yang sangat agung dalam hidup berdampingan dengan liyan. Tiada ajaran fanatik buta. Semuanya dibalut dalam bingkai adab.

Uslub yang Indah

Dalam ayat lain, Al-Quran juga mengetengahkan bagaimana berkomunikasi dengan ahlul kitab dalam al-Ankabut [29]: 46,

۞ وَلَا تُجَادِلُوْٓا اَهْلَ الْكِتٰبِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۖ اِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ وَقُوْلُوْٓا اٰمَنَّا بِالَّذِيْٓ اُنْزِلَ اِلَيْنَا وَاُنْزِلَ اِلَيْكُمْ وَاِلٰهُنَا وَاِلٰهُكُمْ وَاحِدٌ وَّنَحْنُ لَهٗ مُسْلِمُوْنَ

“Janganlah kamu mendebat Ahlulkitab melainkan dengan cara yang lebih baik, kecuali terhadap orang-orang yang berbuat zalim di antara mereka. Katakanlah, “Kami beriman pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.”

Betapa indahnya pesan ayat tersebut. Tak hanya meminta kita untuk berkomunikasi, bergaul, dan hidup berdampingan dengan uslub (gaya) yang baik. Bahkan kita diminta untuk mencari cara yang lebih baik, lebih utama dan lebih indah, billati hiya ahsan. Adakah ucapan filsuf di dunia ini yang menyamai konsep srawung Al-Quran di atas?

Kemudian simaklah petikan arti ayat berikut dengan sepenuh sadar, “kami beriman pada (kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu. Hanya kepada-Nya kami berserah diri.” Alih-alih mengancam dan memusuhi orang liyan (non-muslim), sungguh Allah menekankan pentingnya saling menolong, welas-asih kepada mereka. Sesungguhnya tuhan kita satu, dan Dia telah menurunkan kepada kami (muslim) dan kepada kalian (ahlulkitab) kitab suci yang kami imani semuanya. Lalu buat apa bercerai-berai dan berselisih?

Selain ayat di atas, simaklah dua ayat masing-masing Ali ‘Imran [3]: 64 dan al-Baqarah [2]: 109 berikut,

قُلْ يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ تَعَالَوْا اِلٰى كَلِمَةٍ سَوَاۤءٍۢ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ اَلَّا نَعْبُدَ اِلَّا اللّٰهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهٖ شَيْـًٔا وَّلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا اَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ تَوَلَّوْا فَقُوْلُوا اشْهَدُوْا بِاَنَّا مُسْلِمُوْنَ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai Ahlulkitab, marilah (kita) menuju pada satu kalimat (pegangan) yang sama antara kami dan kamu, (yakni) kita tidak menyembah selain Allah, kita tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Jika mereka berpaling, katakanlah (kepada mereka), “Saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim.”

وَدَّ كَثِيْرٌ مِّنْ اَهْلِ الْكِتٰبِ لَوْ يَرُدُّوْنَكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِكُمْ كُفَّارًاۚ حَسَدًا مِّنْ عِنْدِ اَنْفُسِهِمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ ۚ فَاعْفُوْا وَاصْفَحُوْا حَتّٰى يَأْتِيَ اللّٰهُ بِاَمْرِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

“Banyak di antara Ahlulkitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu setelah kamu beriman menjadi kafir kembali karena rasa dengki dalam diri mereka setelah kebenaran jelas bagi mereka. Maka, maafkanlah (biarkanlah) dan berlapang dadalah (berpalinglah dari mereka) sehingga Allah memberikan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.”

Baca juga: Al-Quran Dituduh Terpengaruh Yahudi dan Kristen, Ini Tanggapan Fazlur Rahman

Meneladan Nabi

Masih ada banyak lagi ayat yang menerangkan etika bersosial dengan liyan. Dalam buku yang sama, Raghib al-Sirjani (2010) menyajikan kisah yang dapat kita baca, tentang bagaimana etika Nabi ketika berdialog dengan nonmuslim. Kita simak kisah itu secara singkat.

Datanglah Utbah bin Rabiah kepada Nabi Muhammad dengan niat membujuk beliau Saw untuk menyudahi dakwah Islamnya. Singkat cerita, setelah Utbah mengeluhkan perilaku Nabi yang dibenci pembesar Makkah, Utbah berkata, “dengarkanlah aku menjelaskan beberapa hal, barangkali engkau menerimanya.”

Nabi menjawab, “Katakanlah, wahai Abu al-Walid. Aku akan mendengarkannya.”

“Wahai putra saudaraku, jika engkau dengan ini semua hanya untuk memperoleh harta, kami penuhi hartamu hingga engkau menjadi terkaya di antara kami. Jika kemuliaan, akan kami jadikan engkau pemimpin kami. Jika ingin menjadi raja, akan kami tabalkan engkau sebagai raja kami. Apapun yang engkau inginkan, akan kami penuhi semuanya tanpa terkecuali, asal engkau hentikan dakwahmu itu,” ucap Utbah.

“Adakah yang mau disampaikan lagi?” tanya Nabi.

“Cukup,” jawab Utbah.

“Sekarang dengarkanlah aku..” sejurus kemudian Nabi membaca surah Fushilat [41]: 1-5. Kisah ini berakhir dengan Utbah yang terperangah takjub mendengar al-Quran, mengakuinya kalamullah, bukan syair, sihir atau tenung, serta mengingatkan kaum Quraisy untuk membiarkan Muhammad dengan agamanya.

Betapa indah etika sosial Nabi Muhammad! Alih-alih memotong pembicaraan dan menutup pintu dialog, beliau Saw memanggil Utbah dengan kunyah (julukan) yang disukainya, lalu mempersilakannya untuk menyampaikan keperluannya hingga rampung, memastikan lawan bicaranya benar-benar selesai, barulah Nabi Muhammad Saw berbicara. Wallahu a’lam[].

Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

0
Masa Iddah untuk Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?
Masa Iddah untuk Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Di Indonesia ini kejadian tentang seseorang yang menikah di usia muda sering terjadi, entah karena alasan apa atau dorongan yang lain. Maka dari itu perlu sekali bagi para remaja untuk memahami ilmu mengenai rumah tangga, selain tentang dampak apa saja yang akan terjadi ketika seseorang melakukan pernikahan dini, juga terkait usia berapa yang termasuk golongan dini, serta bagaimana dengan perempuan yang sudah menikah, akan tetapi belum mengalami haid (menstruasi ). Dengan begitu, adakah masa iddah perempuan yang bercerai dalam pernikahan dini?

Menyikapi permasalahan tersebut, sebelum masuk tentang masa iddah pernikahan dini, pada kesempatan kali ini penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai bagaimana konsep pernikahan dini dalam Al-Quran.

Baca juga: Muhammad Abduh: Surah Al-Fatihah Adalah Wahyu Pertama, Ini Argumennya

Pengertian Nikah dan Dalil terkait Pernikahan Dini dalam Al-Quran

Pada Fikih Munakahat karya Abdrrahman Ghazali, perkawinan disebut juga pernikahan berasal dari kata “nikah” (نكاح) yang menurut bahasa artinya “mengumpulkan,” “saling memasukkan,” dan digunakan untuk arti bersetubuh (watha’)
Adapun dalil terkait pernikahan dini yakni pada QS. At-Thalaq ayat 4:

وَٱلَّٰٓـِٔى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱلَّٰٓـِٔى لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُو۟لَٰتُ ٱلْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُۥ مِنْ أَمْرِهِۦ يُسْرًا

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.”

Pertama, penafsiran oleh At-Thabari. Dalam naskh, menurut at-Thabari lafadz wa al-La’i lam yahidn merupakan lafadz umum, yang merujuk pada perempuan yang tidak haid. Namun lafadz tersebut juga dapat dimaknai sebagai perempuan-perempuan yang belum baligh dikarenakan masih kecil. Secara tidak langsung, at-Thabari mengatakan bahwa lafadz wa al-La’i lam yahidn dapat menjadi indikasi adanya penyebutan pernikahan dini dalam Al-Quran.

Masa Iddah untuk Pernikahan Dini

Penafsiran tersebut didasarkan pada penjelasan ayat yang menyebutkan terkait masa iddah seorang perempuan yang masih kecil atau belum mengalami haid, yang menandakan terjadinya perceraian oleh perempuan yang belum baligh tersebut. Penjelasan yang dilakukan oleh at-Thabari ini senada dengan beberapa penafsiran lainnya seperti pada Kitab Tafsir Al-Quran Al-Adzim karya Ibnu Katsir, Tafsir Jalalain karya Jalal al-Din al-Mahalli dan as-Suyuti, serta Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi.

Kedua, penafsiran al-Tahrir wa al-Tanwir. Dalam menafsirkan QS. At-Thalaq ayat 4, Ibn ‘Ashur mengatakan bahwa yang dimaksud perempuan yang tidak mengalami haid adalah perempuan yang memang dalam hidupnya tidak mendapatkan balighnya atau haid, namun bisa juga diartikan sebagai perempuan-perempuan yang masih kecil atau belum baligh yang ketika bercerai, masa iddahnya disamakan dengan perempuan tua atau perempuan yang telah menopause.

Baca juga: Nalar Balaghah Sebagai Metodologi Penggalian Makna Ayat-ayat Hukum

Terkait penafsiran yang telah disebutkan, nyatanya memiliki pengaruh atau dampak bagi dua kalangan yakni ulama fiqh dan sosial. Pertama, dampak bagi ulama fiqh. Berkenaan dengan penafsiran yang telah disebutkan sebelumnya terkait iddah perempuan yang masih muda, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada batasan usia dalam sebuah pernikahan. Meskipun terdapat dalil yang menyatakan bahwa ada batasan usia ketika hendak menikah, misalnya hadis terkait pernikahan Aisyah yang pada saat itu berumur 9 tahun dengan Nabi Muhammad saw.

Pendapat Tentang Batasan Usia dalam Pernikahan Dini

Adapun menurut ulama fiqh, jika terdapat batas usia dalam pernikahan, maka hal tersebut didasarkan pada apakah seseorang tersebut sudah baligh atau belum. Dimana baligh laki-laki ditandai dengan mimpi basah, sementara balighnya seorang perempuan ditandai dengan haid atau menstruasi. Namun, dalam fiqh terdapat penjelasan tambahan bahwa seorang perempuan baru bisa dikatakan haid jika telah mencapai usia 15 tahun, jika mengalami haid sebelum usia tesebut maka dianggap belum baligh.

Kedua, dampak sosial. Pernikahan dini dalam penilaian masyarakat sebenarnya tergantung pada kedewasaan individu-individu di dalamnya. Sebab, meskipun banyak orang yang mengkhawatirkan pasangan yang menikah di usia dini karena berbagai faktor seperti mental, kesehatan, ekonomi, maupun pendidikan sang anak kelak, nyatanya, keberhasilan dari pernikahan itu sendiri bergantung pada pasangan suami-istri yang terlibat di dalamya.

Baca juga: Membaca Ayat-Ayat Antropomorfis: Penafsiran Kalangan Sunni

Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan oleh sepasang laki-laki dan perempuan di bawah umur. Adapun terkait batasan usia dalam menikah beragam, ada yang mengatakan 9 tahun, 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Bahkan ada yang berpendapat tidak ada batasan usia yang pasti selain orang tersebut telah dianggap dewasa.

Saat ini, pernikahan dini marak terjadi di kalangan remaja. Alasannya pun beragam, mulai dari menghindari pergaulan bebas, MBA atau married by accident, adat istiadat, sampai karena kurangnya pengetahuan terkait pernikahan.

Adapun di dalam al-Quran yakni QS.at-Thalaq ayat 4 merupakan indikasi diperbolehkannya pernikahan dini dalam Islam. Hanya saja, perlu diingat bahwa menikah bukan hanya untuk melampiaskan nafsu semata, sebab di dalam pernikahan terdapat berbagai amanah baru yang harus dipertanggungjawabkan baik oleh suami maupun istri.

Tujuh Etika Bisnis dan Marketing dalam Al-Qur’an yang Harus Dipahami Pebisnis

0
Etika Bisnis dan Marketing dalam Al-Qur'an
Etika Berbicara

Dalam dunia bisnis, di dalamnya tentu ada kegiatan marketing atau pemasaran. Bisnis sendiri adalah kegiatan usaha dengan memanfaatkan sumber daya manusia, dalam rangka menghasilkan barang atau jasa yang bernilai dan berguna untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pihak lain atau masyarakat pada umumnya. Sedangkan marketing adalah usaha untuk memasarkan barang atau jasa untuk memperoleh keuntungan. Meskipun memiliki arti yang berbeda, tidak dipungkiri keduanya memiliki etika bisnis dan marketing yang terangkum dalam Al-Qur’an.

Padahal bisnis dan marketing dalam Islam tidak bebas nilai. Akan tetapi terikat dengan nilai etik atau akhlak yang bersumber pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Berbisnis dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mencari keuntungan duniawi, tetapi juga keuntungan dan kemenangan di negeri akhirat berupa surga (QS. Al-Qashas: 77). Keberhasilan meraih surga adalah keuntungan dan kemenangan besar yang diperuntukkan bagi mukmin yang istiqomah dalam keimanannya dan yang berjuang dengan segenap harta dan jiwa raganya. Inilah bisnis yang menyelamatkan orang beriman dari siksa yang pedih dan mendapatkan ampunan dosa berupa surga (QS. Al-Shaf: 10-12).

Baca juga: Membaca Ayat Antopokosmik: Menjaga Alam Kewajiban Kita Bersama

Dalam proses mencapai tujuan yang telah ditentukan, berbisnis dan memasarkan produk harus dengan cara atau metode yang sesuai dengan etika bisnis dan marketing dalam Islam. Tidak dibenarkan tujuan yang sangat mulia, tetapi diraih dengan cara yang tidak mulia, kotor, dan menghalalkan segala cara. Tujuan mulia juga harus ditempuh dengan cara mulia.

Salah satu rujukan utama dalam etika berbisnis dan marketing adalah Rasulullah Saw. Praktik bisnis dan marketing yang dicontohkan oleh Rasul selalu dilandasi dengan nilai-nilai akidah dan akhlak kenabian atau profetik yang secara garis besar sudah disebutkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Pertama, Berbisnis dalam Rangka Ibadah Karena Allah Semata

Dalam hidup ini, tentunya manusia tidak mengharapkan bagian dari hidupnya terlewat tanpa dihitung sebagai ibadah oleh Allah. Karena memang manusia diciptakan Allah tidak lain kecuali hanya untuk beribadah kepadanya sebagaimana bunyi QS. Adz-Dzariyat ayat 56.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (١٦٢)

“Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)

Adapun berbisnis bisa menjadi bagian dari ibadah jika diawali dengan niat atau motivasi  yang ikhlas hanya beribadah kepada Allah. Sebagaimana Nabi Saw bersabda,

Sesungguhnya amal itu disertai dengan niat dan sesungguhnya setiap perkara orang mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” (HR. Bukhori no. 1 dan Muslim no. 1907)

Kedua, Bertindak Benar dan Jujur

Dasar dari semua kebaikan adalah bertindak benar dan berkata jujur. Maksud bertindak benar di sini adalah bertindak sesuai dengan yang diperintahkan dan dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, bukan yang dilarang atau yang dibenci Allah dan Rasul-Nya sebagaimana bunyi QS. Al-Ahzab ayat 70-71.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (٧٠) يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا (٧١)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar (70) niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan kemenangan yang besar (71).”

Ketiga, Amanah dan Bersikap Adil

Modal dasar dari bisnis itu adalah amanah (trust/kepercayaan/dapat dipercaya/tanggung jawab). Amanah merupakan kunci utama kesuksesan dalam mengelola bisnis apapun. Pebisnis wajib menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya agar pelanggan atau konsumen tidak lari meninggalkannya. Sebagaimana firman Allah pada QS. Al-Baqarah ayat 283.

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ ۖ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ ۗ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ ۚ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ (٢٨٣)

“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya, dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan (283).”

Adapun salah satu perwujudan dari menunaikan amanah adalah bersikap dan berlaku adil atau proporsional (QS. An-Nisa: 58). Oleh sebab itu, berlaku adil termasuk hal yang diperintahkan Allah Swt sebagaimana firman Allah pada QS. An-Nahl ayat 90.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٩٠)

“Sesungguhnya Allah menyeru (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (90).”

Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 86: Prinsip Saling Menghormati dalam al-Qur’an

Keempat, Saling Rida

Asas dari berbisnis itu saling rela, tak boleh ada pemaksaan. Pemaksaan dalam berbisnis atau bermuamalah adalah kesalahan fatal sebagaimana bunyi QS. An-Nisa : 29.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (٢٩)

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta-harta kalian di antara kalian dengan cara yang batil, kecuali dengan perdagangan yang saling rida antara kalian. Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri, sesungguhnya Allah itu Maha Menyayangi kepada kalian (29).”

Kelima, Bersikap Baik, Sopan dan Menyenangkan

Termasuk hal penting untuk diperhatikan dalam melakukan suatu bisnis adalah bersikap baik dan menyenangkan terhadap pelanggan atau konsumen, seperti bersikap ramah, mau menyapa, tetapi tetap menjaga adab kesopanan. Jika tidak, dapat dipastikan konsumen akan berpaling meninggalkan kita. Oleh karena itu, bagi seorang pebisnis dianjurkan untuk mempunyai jiwa yang baik agar sikap yang muncul juga baik, lemah lembut, dan pemaaf. Seperti firman Allah pada QS. Ali Imran ayat 159.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ (١٥٩)

“Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal (159).”

Baca juga: Kabar Duka, Intelektual Lebanon Penyuara Pluralisme Agama Mahmoud Ayoub Wafat

Keenam, Memberikan Manfaat Bagi Orang Lain

Seorang muslim diperintahkan untuk selalu ingat kepada Allah. Baik dalam kondisi bisnis yang sukses atau pun gagal. Aktivitas bisnis harus sejalan dengan sistem moral yang terkandung dalam Al-Qur’an yaitu mengharuskan seorang bekerja keras di dunia untuk mendapatkan fasilitas terbaik di akhirat dengan cara memanfaatkan karunia Allah di muka bumi ini dengan memberikan manfaat kepada orang lain. Seperti firman Allah pada QS. Al-Qashas ayat 77.

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ (٧٧)

“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan (77).”

Ketujuh, Tidak memasarkan, Menjual dan Menyewakan Barang dan Jasa yang Haram

Salah satu aturan dalam bisnis antara lain barang yang diperdagangkan adalah barang-barang halal yang dibolehkan oleh Agama Islam, bukan hanya dilihat dari barang saja, tetapi dari bahan baku, proses produksi hingga menjadi barang jadi harus yang halal. Segala macam usaha yang halal, bukan hanya semata-mata makanan saja. Menurut jumhur ulama, makanan yang haram dimakan, haram pula diperjualbelikan. Dalam surat Al-Baqarah ayat 173 dijelaskan tentang hal-hal yang haram dimakan, yaitu bangkai, darah, babi, dan binatang yang disembelih tanpa menyebut Allah Swt.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (١٧٣)

“Sesungguhnya Allah mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang (173).”

Dari pemaparan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pebisnis dalam menjalankan bisnisnya harus bisa berkomitmen dalam menjalankan bisnisnya sesuai apa yang diajarkan oleh Rasul Saw, seperti niatnya untuk beribadah kepada Allah, bersikap benar dan jujur, amanah, ramah, bermanfaat, menjauhi bisnis dan pemasaran produk barang dan jasa yang jelas haram dan dilarang Allah dan Rasul-Nya. Wallahu’alam bi shawab

Membaca Ayat Antopokosmik: Menjaga Alam Kewajiban Kita Bersama

0
Membaca Ayat Antopokosmik: Menjaga Alam Kewajiban Kita Bersama
Menjaga Alam Kewajiban Kita Bersama

Semenjak tanggal 31 Oktober hingga 12 November 2021 mendatang, Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim Conference of the Parties, atau forum COP26 resmi diselenggarakan.

Kegiatan yang digelar di Glasgow, Skotlandia ini mengumpulkan para pemimpin dunia dalam rangka menuntaskan aksi dan kebijakan perubahan iklim internasional. Tidak terkecuali pimpinan bumi pertiwi, Presiden Joko Widodo, yang dengan karismatik menyampaikan fakta-fakta lingkungan hidup di Indonesia. Namun sayangnya, di tengah klaim dan negosiasi Presiden Republik Indonesia di hadapan dunia, masih berbanding terbalik dengan fakta lingkungan hidup yang terjadi.

Hingga saat ini, bencana ekologis terus berjalan di Indonesia, berita aktual beberapa hari lalu mengabarkan berita duka terjadinya banjir bandang di Desa Sumber Brantas, Kota Batu, Jawa Timur. Di lembar lain, mengutip dari WALHI, kebakaran hutan dan lahan masih banyak terjadi. Bahkan menurut cacatan FWI, masih terdapat 229 ribu Ha hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia sepanjang tahun 2021.

Sedihnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral (ESDM) malah memutuskan adanya peningkatan target produksi batu bara dari 550 juta ton menjadi 625 juta ton di tahun 2021. Artinya, suasana iklim dan lingkungan hidup Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Dalam kehidupan nyata, fakta krisis iklim benar adanya. Ini menjadi gelombang keresahan kedua setelah menyeruaknya wabah covid-19 di dunia. Namun sayangya, menurut Sahiron Syamsuddin dalam wawancara bersama Republika, tema ini malah jarang dijamah dalam diskursus keislaman.

Peran Indonesia sebagai negeri paru-paru dunia ini menjadi sangat penting untuk menekan suhu bumi. Upaya perlindungan planet bumi tidak boleh berhenti hanya di titik negosiasi pemimpin dunia, namun juga aksi nyata collaborative action, bumi harus segara dipulihkan bersama. Lantas, pada fakta ini, apa kaitan al-Quran dengan masa depan planet bumi?

Baca juga: Memperingati Earth Day: Simak Perhatian Al-Quran Terhadap Lingkungan

Merespons pernyataan di atas, Islam merupakan agama yang memiliki banyak perhatian terhadap alam. Tidak ada satu pun narasi Al-Quran atau hadis yang menuntun umatnya untuk bersikap apatis terhadap lingkungan. Gagasan al-Quran banyak mengajak manusia untuk menggunakan proses mental, yakni mengingat, memperhatikan, memikirkan, dan memahami “tanda” tentang ihwal Allah yang ada pada bumi. Sebagaimana pesan QS. Fussilat: 53 berikut:

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّ ۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagimu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

Baca juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Al-Quran

Ayat tersebut menghantarkan manusia pada pemahaman antropokosmik. Bahwa alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan yang saling bertaut. Bumi diciptakan sebagai sarana ibrah bagi manusia dalam menggali rahasia Allah. Ada banyak tanda-tanda Allah yang tersimpan pada semesta. Kemudian al-Quran, mengajak manusia melihat, memikirkan, dan mentadaburi wujud manifestasi tersebut secara kritis, yakni kebesaran Allah.

Pengakuan ini menggiring manusia menemukan citra Allah, dan menumbuhkan sebuah etika yang memandang lingkungan sebagai bagian dari dirinya. Hemat kata, manusia akan meraih hikmah besar jika mampu memanfaatkan alam semesta dengan bijaksana.

Menjaga lingkungan merupakan upaya mencegah sekaligus mengobati kondisi alam yang telah mengalami degradasi. Selain ketegasan pemerintah, kesadaran sosial dan gerakan-gerakan personal harus terus digalakkan di Indonesia melalui berbagai terobosan, strategi, pendekatan, Jika bukan di bumi ini, lalu di mana lagi? Wallahu a’lam bishawab.

Baca juga: Mengenal Green Deen: Persepektif Keberislaman yang Ramah Lingkungan dan Berbasis Nilai-Nilai Qur’ani

Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia

0
Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur'an Standar Indonesia
Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur'an Standar Indonesia

Pada tulisan yang lalu berjudul Problematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Qur’an, penulis telah menyinggung bahwa berdasar dhawuh Ibn al-Jazariy, tidak ada satu pun waqaf yang bersifat wajib dan mengikat.

وَلَيْسَ فِي الْقُرآنِ مِنْ وَقْفٍ وَجَبْ * وَلَا حَرَامٌ غَيْرَ مَا لَهُ سَبَبْ

“Tiada satu pun waqaf dalam Al-Qur’an yang wajib. Dan tiada pula satu pun waqaf yang haram, kecuali jika ada sebab tertentu yang mengharuskannya.”

Hal ini kemudian memancing pertanyaan terkait status waqaf lazim dalam mushaf Al-Qur’an yang oleh banyak para pembaca Al-Qur’an dipahami sebagai wajibnya waqaf (berhenti). Dua hal yang dalam pandangan sekilas tampak saling menafikan satu sama lain. Untuk itu, dalam tulisan kali ini penulis bermaksud mengetengahkan problematika waqaf lazim dalam mushaf Al-Qur’an.

Waqaf dalam Mushaf Al-Qur’an dan Literatur Tajwid

Seperti yang telah penulis sebutkan pada tulisan sebelumnya, ada begitu banyak ragam tanda waqaf yang digunakan dalam mushaf Al-Qur’an. Tanda-tanda ini dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (selanjutnya disingkat MASI) telah disederhanakan menjadi 7 macam: al-waqf al-lazim atau harus berhenti, ‘adam al-waqf atau tidak boleh berhenti, al-waqf ja’iz atau boleh berhenti, al-waqf aula atau lebih baik berhenti, al-washl aula atau lebih baik tidak berhenti, saktah yang berarti berhenti sejenak tanpa mengambil nafas, serta mu‘anaqah yang berarti berhenti pada salah satu tanda.

Penulis sendiri belum menjumpai referensi yang menjelaskan sumber pembagian tanda-tanda waqaf tersebut ke dalam 7 macam. MASI cetakan tahun 1986, yang menjadi salah satu rujukan Zainal Arifin dalam Mengenal Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia, yang penulis rujuk secara langsung juga tidak menyebutkan dengan pasti rujukan terkait pembagian tanda waqaf ini.

Beberapa petunjuk yang mengarah pada penjelasan pembagian ini adalah redaksi yang menyebutkan bahwa tanda waqaf ini dirumuskan sesuai keputusan musyawarah ulama Al-Qur’an, “Hasil keputusan musyawarah ulama Al-Qur’an” dan redaksi yang menjelaskan bahwa MASI mengikuti mushaf terbitan Makkah dan Mesir yang juga menggunakan pembagian yang sama, “sesuai dengan tanda-tanda waqaf Al-Qur’an terbitan Makkah dan Mesir”.

Setelah memeriksa secara langsung mushaf Makkah yang dimaksud, penulis juga tidak mendapati literatur Al-Qur’an yang dijadikan sebagai pedoman dalam penentuan dan pembagian tanda waqaf ini. Mushaf terbitan Makkah hanya mencantumkan tanda-tanda waqaf yang digunakan berikut contoh-contoh penerapannya tanpa disertai referensi yang menjadi rujukan.

Sementara itu dalam disiplin ilmu tajwid, waqaf hanya dibagi menjadi 4 macam, yakni al-waqf al-ikhtiyariy, al-waqf al-idlthirariy, al-waqf al-intizhariy, dan al-waqf al-ikhtibariy. Waqaf yang pertama, yakni al-ikhtiyariy, kemudian dibagi lagi menjadi empat bagian, al-waqf al-tam, al-waqf al-kafiy, al-waqf al-hasan, dan al-waqf al-qabih. Pendapat yang lain membaginya ke dalam 5 bagian, dengan penambahan al-waqf al-lazim. Dari sini, terlihat ada masalah yang timbul di mana ditemukan perbedaan antara pembagian waqaf dalam ilmu tajwid dan aplikasinya dalam mushaf Al-Qur’an.

Sehingga kendati sama-sama ditemukan informasi mengenai keberadaan waqaf lazim, patut dipertanyakan apakah keduanya merujuk pada hakikat yang sama, antara ilmu tajwid dan aplikasinya dalam mushaf Al-Qur’an, atau tidak. Akan tetapi jika melihat poin-poin klasifikasi yang diberikan, pertimbangan yang digunakan dalam klasifikasi ini agaknya berbeda.

Dalam ilmu tajwid, waqaf lazim disejajarkan dengan 4 waqaf lainnya yang menekankan kesempurnaan struktur dan pemaknaan. Sedangkan dalam mushaf, waqaf lazim disejajarkan dengan 6 waqaf lain yang penulis sendiri belum mendapati aspek pertimbangan pembagiannya.

Baca juga: Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia

Konteks Kelaziman Waqaf Lazim

Waqaf lazim didefinisikan sebagai waqaf pada kalimat sempurna yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan kesalahpahaman pada makna semestinya yang dikehendaki. Adanya potensi kekeliruan makna yang timbul menjadikan hukum waqaf ini ialah luzum atau wujub (harus) yang lantas diadopsi sebagai sebuah nama menjadi al-waqf al-lazim atau al-waqf al-wajib.

Apabila mengamati definisi dan implikasi hukum dari waqaf lazim ini, dapat dipahami bahwa kelaziman waqaf sejatinya tidak murni berdasar pada sudut pandang keilmuan Al-Qur’an, yang dalam masalah waqaf ini adalah ilmu tajwid, melainkan lebih menekankan aspek pemaknaan dan pemahaman terhadap teks Al-Qur’an yang dibaca.

Hal ini berarti bahwa konteks yang mendasari kelaziman waqaf merupakan faktor eksternal yang berkaitan dengan keserasian bacaan yang dalam Al-Raudlah al-Niddiyyah syarah Matn al-Jazariyyah disebut dengan jaudah al-qira’ah dan jamal al-tartil.

Untuk lebih jelasnya, lihat ayat 145-146 dari Surah Al-Baqarah di bawah ini.

وَلَئِنْ أَتَيْتَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ بِكُلِّ آيَةٍ مَا تَبِعُوا قِبْلَتَكَ وَمَا أَنْتَ بِتَابِعٍ قِبْلَتَهُمْ وَمَا بَعْضُهُمْ بِتَابِعٍ قِبْلَةَ بَعْضٍ وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ إِنَّكَ إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ (145) الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ وَإِنَّ فَرِيقًا مِنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ (146)

Waqaf lazim dalam potongan ayat di atas terletak setelah kata al-zhalimin, akhir ayat 145. Kelaziman waqaf pada kata ini disebabkan adanya potensi kesalahpahaman makna yang timbul jika dibaca washal. Dimana rangkaian struktur alladzina yang menjadi awal ayat 146 akan diposisikan sebagai sifat (klausa adjektiva) dari kata al-zhalimin. Padahal dua ayat di atas menjelaskan dua hal berbeda yang saling berkebalikan.

Dalam penjelasan sederhana Gus Baha’, waqaf dan ibtida’ semacam ini merupakan unsur yang berkaitan dengan aspek pemaknaan dan pemahaman terhadap teks. Jika dianalogikan dengan sebuah percakapan, ia mirip dengan jeda yang diberikan supaya lawan bicara dapat dengan sempurna memahami maksud dan tujuan yang ingin disampaikan oleh mutakallim.

Kesimpulan

Dari ulasan ini terlihat bahwa kelaziman waqaf lazim menyimpan beberapa problematika berkaitan dengan aspek cantolan rujukan yang dimiliki dan konteks yang mendasari kelazimannya untuk berhenti (waqaf). Poin kedua yang menjelaskan konteks kelaziman waqaf, sekaligus menjawab pandangan sekilas yang menyiratkan adanya unsur kontradiksi dalam dhawuh Ibn al-Jazariy yang penulis sebutkan pada bagian awal tulisan ini. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Baca juga: Faktor Terjadinya Inkonsistensi Penggunaan Kaidah Rasm dalam Manuskrip Mushaf Al-Qur’an di Nusantara

Aspek Kedua Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Beramal dan Berkarya

0
Beramal
Beramal dan Berkarya

Aspek kedua yang harus dibangun untuk pribadi muslim yang unggul itu adalah kemampuan untuk beramal, berkarya, dan mewujudkan teknologi yang berguna untuk kehidupannya. Setiap pribadi muslim tidak hanya dibangun untuk memiliki pengetahuan yang luas dan dalam dengan kecerdasan yang tinggi, tetapi juga yang harus dibangun adalah kemampuannya untuk beramal yang salih, mengamalkan, dan menerapkan ilmunya untuk kemaslahatan kehidupan manusia.

Di dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an, Allah selalu menggandengkan istilah iman dan amal dalam satu rangkaian, seperti yang tergambarkan di dalam QS. Al-Ashr [103]: 1-2: “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasihati supaya menetapi kesabaran.”

Allah SWT. menyatakan di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 25 bahwa orang yang beramal saleh menjadi manusia yang unggul di akhirat kelak karena Allah memasukkan mereka ke dalam surga. Allah Swt berfirman:

وَبَشِّرِ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ كُلَّمَا رُزِقُوا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِزْقًا قَالُوا هَذَا الَّذِي رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَأُتُوا بِهِ مُتَشَابِهًا وَلَهُمْ فِيهَا أَزْوَاجٌ مُطَهَّرَةٌ وَهُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

“Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”. Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci dan mereka kekal di dalamnya.”

Baca Juga: Aspek Pertama Membentuk Pribadi Manusia Unggul: Ilmu Pengetahuan

Perkembangan dunia yang begitu cepat dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang begitu cepat lagi dahsyat harus disertai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat demi menjalani kehidupannya yang maju. Tanpa ilmu pengetahuan dan pengamalannya, maka manusia akan ditinggalkan oleh dunianya.

Di dalam ayat yang lain di dalam QS. Al-Nahl [16]: 97 dinyatakan bahwa orang yang beramal saleh akan mendapatkan kehidupan yang baik: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat yang lain di dalam QS. Al-Nisa’ [4]: 124 Allah Swt berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا

“Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun.”

Baca Juga: Kunci Ketigabelas Menggapai Kebahagiaan: Bertaubat dari Segala Dosa

Di dalam suatu hadisnya Rasulullah menyatakan bahwa orang yang selalu beramal saleh akan dimasukkan ke dalam surga, dan yang beramal buruk akan dimasukkannya ke dalam neraka. Hadis itu menyatakan: “Dari Anas bin Malik, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda:

“Tidak perlu bagi kalian untuk mengagumi seseorang sehingga kalian memandang kepada apa yang dia ditutup dalam kehidupannya. Sesungguhnya seseorang yang beramal selama beberapa waktu dalam kehidupannya, atau sejenak dari masa hidupnya dengan suatu amal saleh, jika mati dengan amal salehnya itu, maka dia masuk surga. Kemudian dia berubah, lalu dia beramal dengan amal yang buruk. Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan sekejap dari masa kehidupannya dengan amal yang buruk, sekiranya dia mati dalam amal yang buruk itu, maka di akan masuk neraka. Kemudian dia berubah lagi, lalu dia melakukan amal yang saleh, dan apabila Allah menghendaki seorang hamba dengan suatu kebaikan, Allah akan memanfaatkannya sebelum kemudiannya. Sahabat bertanya kepada Rasulullah: “Bagaimana cara Allah memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab: “Allah memberikan taufik kepadanya untuk suatu amal yang saleh, kemudian Allah menahannya untuk terus melakukan amal saleh itu hingga akhir hayatnya.” (H.R. Ahmad)

Demikianlah penjelasan mengenai aspek kedua dalam membangun pribadi manusia unggul. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Surah An-Nisa Ayat 86: Prinsip Saling Menghormati dalam al-Qur’an

0
Saling Menghormati
Saling Menghormati

Manusia adalah makhluk sosial yang memerlukan interaksi. Setiap orang memerlukan penghargaan dan pengakuan dari sesamanya. Saling menghormati antar sesama manusia merupakan kewajiban dan kebutuhan. Menjaga hubungan antar manusia sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Allah Swt memerintahkan kepada kita untuk menjaga hubungan baik dengan manusia atau dalam istilah Islam yakni hablu min al-nas. Salah satu ayat yang membahas tentang saling menghormati adalah Surah An-Nisa ayat 86:

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)]. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.”

Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah (2002, hal 537) mengemukakan bahwa kata hayya/ hidup berarti do’a untuk memperpanjang usia. Kata tersebut pada mulanya tidak diucapkan kecuali pada raja atau penguasa. Bahkan dalam shalat diajarkan untuk mengucapkan al-tahiyyah (penghormatan) yang di tujukan hanya kepada Allah SWT. Hal ini untuk mengambarkan bahwa hidup dan sumber hidup yang tiada hentinya adalah Allah SWT. Oleh karena itu kata tersebut diartikan kerajaan, seakan-akan kehidupan raja itulah kehidupan sempurna.

Kata tersebut kemudian digunakan untuk menggambarkan segala macam penghormatan, baik dalam bentuk ucapan, maupun selainnya. Pada masa Jahiliah, masyarakat bila bertemu saling mengucapkan salam antara lain yang berbunyi hayyaka Allah yakni “semoga Allah memberikan untukmu kehidupan”. Adapun kata tahiyyah ini secara umum dipahami sebagai ucapan salam.

Baca Juga: Maqashid Al-Quran dari Ayat-Ayat Perang [3]: Menghormati Jiwa Hingga Menjaga Alam

Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-Thabari (2015, hal. 406) dalam Tafsir Ath-Thabari menjelaskan bahwa maksud ayat “Wa idza huyyitum bitahiyyatin (apabila kamu diberi penghormatan dengan suatu penghormatan),” adalah apabila seseorang didoakan dengan panjang umur, selamat, dan sejahtera, maka selayaknya orang yang didoakan mendoakan dengan lebih baik atau minimal setara.

Secara garis besar bentuk saling menghormati yang dilakukan seseorang kepada orang lain bisa dalam dua bentuk: saling menghormati melalui ucapan dan saling menghormati melalui perbuatan.

Saling menghormati dalam bentuk ucapan

Salah satu bentuk saling menghormati melalui ucapan di antaranya adalah makna tekstual dari Surah An-Nisa Ayat 86 yakni mengucapkan salam apabila berjumpa. Bentuk penghormatan melalui ucapan yang lazim ditemui di tengah-tengah kita adalah saat seseorang hendak memulai pidato. Pada umumnya, sebelum memulai pidato diawali dengan ucapan “yang terhormat, yang kami muliakan, yang kami banggakan”. Tidak hanya itu, terdapat berbagai ucapan lain yang kerap kali dijadikan sebagai penghormatan kepada orang lain, seperti kanda, dinda, tuan guru, kiai, ustadz.

Termasuk bentuk penghormatan dalam ucapan kepada Rasulullah saw adalah dengan bershalawat kepadanya sebagai bentuk kecintaan umatnya kepadanya. Bahkan Allah Swt serta para malaikat bershalawat kepada Nabi Muhammad. Ini menjadi indikasi kecitaan Allah kepada Nabi Muhammad, hal tersebut tertuang dalam Surah Al-Ahzab Ayat 56.

Allah Swt juga memerintahkan kepada kita untuk berkata baik kepada orang tua. Bahkan Allah Swt melarang penggunaan kata “ah” sebagai bentuk penentangan yang tidak meiliki etika kepada orang tua. Hal tersebut Allah sebutkan dalam Q.S al-Isra/16:23.

Saling Menghormati dalam Bentuk Perbuatan

Selain dalam bentuk ucapan, ungkapan atau ekspresi saling menghormati adalah dalam bentuk perbuatan. Ada beberapa bentuk yang bisa dinilai sebagai ekspresi saling menghormati dalam bentuk ini.

Mencium tangan

Mencium tangan adalah adat yang banyak dilakukan oleh berbagai bangsa. Di antaranya yakni, Indonesia, Arab, India, dan lainnya, juga sering melakukan kebiasaan mencium tangan. Umumnya orang yang usianya lebih muda akan menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan, saat tangannya telah dijabat oleh orang tua, guru, sanak keluarga, atau orang yang usianya lebih tua. Seketika itu orang yang usianya lebih muda akan menciumi tangan  orang tua, guru, sanak keluarga, atau orang yang lebih tua sebagai bentuk penghormatan.

Berdiri menyambut tamu

Berdiri untuk menyambut seseorang tidak hanya dilakukan sebagai bentuk penghormatan, melainkan dapat juga dilakukan sebagai bentuk kasih sayang, terhadap seseorang.

Baca Juga: Teladan Cinta Kasih Nabi Muhammad Kepada Sesama dan Alam Semesta

Islam senantiasa mengajarkan untuk memberikan penghormatan, sekalipun orang yang telah meninggal dunia. Saat  keranda yang membawa jenazah tersebut melintas di hadapan umat Islam, maka syariatkan untuk berdiri hingga keranda yang membawa jenazah tersebut berlalu. Seperti Rasulullah Saw sabdakan dalam hadis yang diceritakan oleh Suraij binYunus dan Ali bi Hajr yang terdapat dalam kitab Shahih Muslim.

إِذَا رَأَيْتُمْ الْجَنَازَةَ فَقُومُوا فَمَنْ تَبِعَهَا فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى تُوضَع

“Jika kalian melihat jenazah, maka berdirilah. Dan siapa yang mengikutinya, maka janganlah ia duduk hingga jenazah itu diletakkan.” (H.R Mutafaq Alaih)

Demikianlah beberapa hal yang terkait dengan prinsip saling menghormati dalam Al-Quran. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.