Beranda blog Halaman 201

Diskusi Rasm Tentang Makna Ke-ummiy-an Nabi Muhammad Saw

0
Diskusi Rasm Tentang Makna Ke-ummiy-an Nabi Muhammad Saw
Diskusi Rasm Tentang Makna Ke-ummiy-an Nabi Muhammad Saw

Diskusi tentang makna ke-ummiy-an Nabi Saw sejatinya telah banyak dilakukan ulama dan pakar Al-Qur’an. Seperti diskusi imajiner antara ‘Abd al-Hayy al-Farmawy dengan Dr. Nashir al-Din al-Asad yang diabadikan dalam Rasm al-Mushhaf wa Naqthuhu dan Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu‘iy. Atau dalam sajian yang lebih sederhana, tulisan dari Muhammad Anas Fakhruddin dalam tafsiralquran.id berjudul ‘Nabiyyil Ummiyyil’, Benarkah Berarti Nabi Tidak Bisa Baca Tulis?

Diskusi yang diangkat pada dasarnya berkutat pada pembahasan makna kata ummiy secara literal berikut perbandingan aplikasinya terhadap diksi-diksi ummiy dalam Al-Qur’an. Sementara arti literal dan yang masyhur di kalangan Arab menunjukkan pada ketiadaan kemampuan baca tulis, aplikasi dalam diksi Al-Qur’an tidak sepenuhnya demikian.

Diksi ummiy yang disebutkan sebanyak enam kali, yakni dalam QS. Al-A‘raf [7]: 157 dan 158, QS. Ali Imran [3]: 20 dan 75, QS. Al-Jumu’ah [62]: 2, serta QS. Al-Baqarah [2]: 78, dimaknai secara beragam. Beberapa diantaranya menerapkan makna literal yang ada. Sedangkan yang lain menggunakan makna takwil yang jauh berbeda.

Baca juga: Al-Qur’an dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

Pangkal permasalahan lahirnya perbedaan pemaknaan ummiy ini boleh jadi terletak pada upaya pengagungan Nabi Saw. dari sifat-sifat yang tidak selayaknya dimiliki. Dalam koridor diskusi ini merupakan ketidakmampuan membaca dan menulis. Meski nyatanya, tidak semua ulama dan pakar Al-Qur’an menganggap negatif keberadaan sifat ini bagi Nabi Saw.

Masalah kemudian merambah pada kelanggengan sifat ummiy Nabi Saw., apakah hingga akhir hayatnya beliau tetap buta huruf atau di penghujung hidupnya beliau mampu membaca dan menulis? Masalah yang juga mengalami perbedaan pendapat di kalangan ulama dan pakar berdasarkan perbedaan argumentasi yang telah disebutkan masing-masing.

Al-Suyuthiy, sebagaimana dinukil Muhammad Anas, agaknya memilih ketidaklanggengan sifat ini mengingat adanya sebuah riwayat yang dinukilnya dari ‘Abdullah bin ‘Utbah. Hal yang sama juga diakui oleh Al-Zarqaniy dalam Manahil al-‘Irfan, bahwa di penghujung hayatnya, Nabi Saw. mampu membaca dan menulis. Berbeda dengan pendapat yang diikuti Al-Qurthuby yang mengafirmasi kelanggengan ke-ummiy-an Nabi Saw.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui

Riwayat tentang kepiawaian Nabi Saw dalam menulis

Dalam frame diskusi yang sama, tetapi dengan landasan yang cukup berbeda, ilmu rasm memberikan argumentasi ‘segar’ dari yang selama ini sering dijadikan sebagai landasan. Riwayat yang dinisbatkan kepada Mu‘awiyyah, salah satu katib wahyu, dan Anas bin Malik yang berisi dhawuh pengajaran dari Nabi Saw.,

أَلِقِ الدَّوَاةَ، وَحَرِّفَ الْقَلَمَ، وَانْصِبِ الْبَاءَ، وَفَرِّقِ السِّيْنَ، وَلَا تُعَوِّر الْمِيْمَ، وَحَسِّن اللهَ، وَمُدَّ الرَّحْمنَ، وَجَوِّدِ الرَّحِيْمَ.

“Tetapkanlah tinta, miringkan (ujung) pena, tegakkan (tinggikan gerigi) huruf ba’, pisahkan (tegaskan gerigi) huruf sin, percantik (tulisan) Allah, panjangkan (tulisan) al-rahman, dan perindah (tulisan) al-rahim”

كَانَ النَّبِيُّ إِذَا دَعَا رَجُلًا إِلَى الْكِتَابَةِ يَقُوْلُ: أَلِقِ الدَّوَاةَ، وَحَرِّفِ الْقَلَمَ، وَجَوِّدْ بسم الله الرحمن الرحيم: أَقِم الْبَاءَ وَفَرِّج السِّيْن وَافْتَحْ الْمِيْم وَحَسِّن اللهَ وَجَوِّد الرَّحْمن الرَّحِيْم، فَإِنَّ رَجُلًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيْل كَتَبَهَا فَجَوَّدَها فَدَخَلَ الجَنَّةَ

“Nabi ketika memanggil salah seorang sahabat untuk menuliskan wahyu berkata: “Tetapkanlah tinta, miringkan (ujung) pena, perindah tulisan bismillahirrahmanirrahim: tegakkan (tinggikan gerigi) huruf ba’, pisahkan (tegaskan gerigi) huruf sin, lubangi huruf mim, percantik (tulisan) Allah, dan perindah (tulisan) al-rahman al-rahim. Karena seorang dari Bani Israil yang menulisnya lantas memperindahnya, ia kemudian masuk surga”

Penelusuran sederhana yang penulis lakukan melalui Al-Mausu‘ah al-Haditsiyyah, menunjukkan bahwa dua riwayat ini, yang disebutkan Al-Qasthalaniy dalam Al-Mawahib al-Ladunniyah dan Ibn Hajar al-‘Asqalaniy dalam Lisan al-Mizan, oleh mayoritas ulama memang dianggap sebagai riwayat yang dla’if. Riwayat kedua bahkan dikatakan bathil.

Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt

Namun demikian, dua riwayat ini dalam kajian ilmu rasm memiliki posisi yang cukup penting mengingat keduanya menjadi landasan ke-tauqifiy­-an rasm ‘utsmaniy. Adanya piwulang langsung dari Nabi Saw. ini menjadi legitimasi penting bahwa hakikat rasm ‘utsmaniy adalah tauqifiy dan bukan ijtihadiy sebagaimana klaim minor dari ulama dan pakar Al-Qur’an.

Sementara itu, berkaitan dengan masalah ke-ummiy-an Nabi Saw., riwayat ini agaknya memberikan takwilan lain, dimana pengajaran Nabi Saw. yang menjelaskan detail teknik kepenulisan menunjukkan adanya pengetahuan Nabi Saw. terhadap disiplin ilmu tulis-menulis. Redaksi semacam harrif al-qalam boleh jadi bahkan mengindikasikan kepiawaian Nabi Saw. dalam menulis.

baca juga; Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt

Hal ini berarti bahwa Nabi Saw. telah memiliki pengetahuan tentang tulis-menulis yang bahkan sejak awal diturunkannya wahyu, bukan menjelang akhir hayatnya, berpijak pada redaksi awal riwayat kedua. Takwilan ini yang barang kali cukup berbeda dari yang selama ini didiskusikan dalam ‘Ulum al-Qur’an. Meskipun Dr. Musa Syahin Lasyin, sebagaimana disebutkan Al-Farmawiy, tetap bersikukuh atas ke-ummiy-an Nabi Saw. mengingat dla‘if-nya riwayat yang dijadikan sebagai landasan.

‘Ala kulli hal, diskusi mengenai ke-ummiy-an Nabi Saw. tetap mengalami perdebatan sengit di dalamnya. Masing-masing pakar dan ulama Al-Qur’an memiliki argumentasi tersendiri yang mendukung pendapatnya. Apa yang telah penulis paparkan sebelumnya setidaknya dapat menghadirkan angle lain dari perdebatan yang ada. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 111-114

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 111-114 berbicara mengenai penolakan yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh as. Mereka secara terang-terangan mengatakan bahwa tidak ada alasan untuk mengikuti seruan Nabi Nuh as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 107-110


Ayat 111

Ayat ini menjelaskan sikap kaumnya terhadap seruan Nabi Nuh. Mereka mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi mereka untuk mengikuti seruan Nuh karena orang-orang yang cerdik pandai dan berakal di antara mereka tidak ada yang tertarik dengan seruan itu apalagi para pemimpin mereka.

Hanya orang-orang yang bodoh dan lemah atau orang-orang yang menginginkan sesuatu yang mau menjadi pengikut Nabi Nuh. Allah berfirman:;

فَقَالَ الْمَلَاُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَوْمِهٖ مَا نَرٰىكَ اِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرٰىكَ اتَّبَعَكَ اِلَّا الَّذِيْنَ هُمْ اَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِۚ وَمَا نَرٰى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍۢ بَلْ نَظُنُّكُمْ كٰذِبِيْنَ

Maka berkatalah para pemuka yang kafir dari kaumnya, “Kami tidak melihat engkau, melainkan hanyalah seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang yang mengikuti engkau, melainkan orang yang hina-dina di antara kamu yang lekas percaya. Kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami menganggap kamu adalah orang pendusta.”  (Hµd/11: 27)

Ayat 112

Pada ayat ini, Nabi Nuh menjawab bantahan kaumnya dengan mengatakan bahwa ia tidak mengetahui keadaan sebenarnya dari orang-orang yang mengikuti seruannya. Ia tidak ditugaskan Allah untuk menyelidiki asal-usul mereka atau kedudukan masing-masing di masyarakat.

Dia hanya ditugaskan menyampaikan agama Allah kepada kaumnya. Jika ada di antara mereka yang beriman, maka dia hanya memandang mereka menurut lahirnya saja, bukan menurut kedudukan mereka dalam masyarakat, kecakapan dan kepandaian mereka, dan bukan pula menurut kekayaan dan kemiskinan mereka.


Baca juga: Uraian Singkat Beberapa Mufasir Indonesia Modern dari A. Hassan hingga Quraish Shihab


Ayat 113

Nabi Nuh menyerahkan perhitungan tentang segala perbuatan yang dilakukan oleh para pengikutnya yang beriman sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Yang Mengetahui segala sesuatu. Dialah yang berwenang menilai perbuatan hamba-hamba-Nya, dan Dia pulalah yang memberi balasannya.

Perbuatan yang baik dibalas dengan pahala yang berlipat ganda, sedang perbuatan buruk dibalas dengan hukuman yang setimpal. Itulah hukum Allah. Mereka seharusnya mengetahui hukum Allah tersebut.

Ayat 114

Sekalipun Nabi Nuh telah berusaha siang dan malam menyeru kaumnya, namun mereka tetap tidak mengindahkannya. Menurut kaumnya, beriman dengan Nuh berarti merendahkan diri ikut bersama-sama orang-orang yang hina dina. Bahkan mereka memaksa Nuh segera mengusir orang-orang yang beriman dari negeri mereka, agar tidak merendahkan martabat dan agama nenek moyang mereka.

Nabi Nuh menjawab permintaan kaumnya dengan mengatakan bahwa dia tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman, sekalipun mereka itu orang-orang miskin, atau berasal dari golongan rendah menurut pandangan kaumnya. Mereka semua menurut pandangan Allah adalah orang-orang yang bertakwa. Keimanan dan ketaatan seseoranglah yang dijadikan ukuran, apakah ia orang yang baik dan mulia atau dia adalah orang yang hina.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 115-118


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 107-110

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 107-110 berbicara mengenai proses dakwah Nabi Nuh as yang penuh dengan tantangan dari kaumnya. Selain itu juga disampaikan mengenai inti ajaran yang disampaikan oleh Nabi Nuh as.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 103-106


Ayat 107

Nabi Nuh memberitahu kaumnya bahwa ia adalah seorang rasul Allah yang diutus kepada mereka. Dia dipercaya untuk menyampaikan perintah dan larangan Allah, tanpa menambah atau mengurangi sedikit pun.

Pada Surah Hµd/11: 31 diterangkan bahwa Nabi Nuh tidak mempunyai kekayaan yang akan diberikan kepada kaumnya.

Oleh karena itu, ia tidak dapat menjanjikan harta dan kekayaan untuk mereka. Ia juga tidak mengetahui hal-hal yang gaib, tidak pernah mengatakan bahwa ia adalah malaikat, dan tidak menjanjikan kesenangan dan kebahagiaan kepada orang-orang yang mengikuti seruannya.

Semuanya itu hanya Allah yang mengetahui, memiliki, dan menentukan, karena Dialah Yang Mahakuasa. Nuh hanya bertugas untuk menyampaikannya.

Ayat 108

Ayat ini menerangkan isi risalah yang disampaikan Nabi Nuh kepada kaumnya, yaitu agar bertakwa kepada Allah dan hanya menyembah kepada-Nya. Pada ayat 3 Surah Nuh disebutkan tiga hal yang diperintahkan Allah, yaitu agar menyembah hanya kepada Allah, bertakwa kepada-Nya, dan taat kepada Nabi Nuh

Pada ayat-ayat yang lain diterangkan bahwa risalah yang dibawa Nabi Nuh menyebutkan pula hal-hal sebagai berikut:

  1. Akibat baik yang akan diperoleh orang-orang yang bertakwa. Allah akan menambah rezeki mereka, dan menurunkan hujan. Kemudian dengan air itu, Allah menyuburkan bumi, dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.
  2. Mengemukakan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah, serta menerangkan bukti-bukti kebenaran risalah yang dibawanya. Di antaranya adalah tentang penciptaan manusia dalam beberapa proses kejadian mulai dari setetes mani sampai lahir sebagai manusia. Allah menciptakan langit dan bumi, bulan yang bersinar dan matahari yang bercahaya, menghidupkan dan mematikan manusia, kemudian seluruh manusia akan kembali kepada-Nya.

Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt


Ayat 109

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dalam melaksanakan tugas menyampaikan agama Allah, Nabi Nuh tidak akan meminta upah kepada siapa pun, dan tidak mengharapkan harta kekayaan, kekuasaan, dan kemegahan sedikit pun. Ia hanya mencari keridaan dan pahala dari Allah.

Ayat 110

Pada ayat ini, Nabi Nuh mengulang dan menegaskan kembali perintah Allah agar kaumnya bertakwa dan taat kepada-Nya.

Pengulangan ini adalah untuk menegaskan kepada kaumnya bahwa takwa kepada Allah itu merupakan hal yang sangat penting dan wajib dilakukan oleh setiap manusia, sebagai tanda syukur atas nikmat-nikmat yang tidak terhingga yang telah dilimpahkan-Nya kepada mereka.

Takwa itu merupakan sumber segala kebaikan dan merupakan kunci pembuka pintu gerbang kesenangan dan kebahagiaan yang ada di akhirat nanti.

Nabi Nuh berusaha sekuat tenaga menyampaikan risalahnya dengan mengemukakan janji dan ancaman Allah bagi orang-orang yang tidak mengikuti seruan rasul. Ia juga mengemukakan bukti-bukti kebenaran risalah yang dibawanya kepada mereka. Namun demikian, kaumnya tetap tidak menerimanya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 111-114


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 103-106

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 103-106 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai pesan kerasulan dari Nabi Ibrahim. Kedua berbicara mengenai kisah Nabi Nuh as yang juga ditentang oleh kaumnya.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 96-102


Ayat 103

Demikianlah beberapa keterangan Tuhan yang disampaikan Ibrahim kepada kaumnya. Dengan dalil-dalil di atas tadi, nyatalah bahwa inti ajaran yang beliau sampaikan kepada kaumnya adalah paham ketauhidan dan percaya akan adanya hari kebangkitan. Tidak ada zat yang patut disembah melainkan Allah Yang Maha Esa. Hanya kebanyakan orang tidak mau mengerti atau tidak mau menerima kebenaran itu.

Ayat 104

Allah dengan keperkasaan dan sifat Yang Maha Penyayang-Nya, senantiasa mengingatkan orang-orang yang sesat dan tidak mau beriman dengan ayat-ayat-Nya. Allah mengirimkan rasul kepada mereka supaya memperoleh hidayah dari-Nya. Allah mengutus para rasul itu dengan membawa ajaran-ajaran dan hukum-hukum agama, supaya dapat diikuti oleh mereka dan anak keturunannya.


Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt


Ayat 105-106

Ayat-ayat ini menerangkan bahwa Nabi Nuh telah didustakan kaumnya ketika ia menyampaikan agama Allah kepada mereka. Sekalipun yang mereka dustakan itu hanyalah Nabi Nuh sendiri, tetapi tindakan itu berarti mendustakan para rasul Allah yang lain, baik yang diutus sebelum maupun sesudah Nabi Nuh nanti. Ini disebabkan karena risalah yang dibawa para rasul pada dasarnya sama, yaitu akidah tauhid.

Nabi Nuh adalah nabi ketiga yang diutus Allah, setelah Nabi Adam dan Nabi Idris. Nabi Nuh juga merupakan rasul pertama, berdasarkan hadis qudsi:

قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: يَا نُوْحُ اَنْتَ اَوَّلُ رَسُوْلٍ تُبْعَثُ اِلَى اَهْلِ اْلأَرْضِ. (رواه مسلم عن أبى هريرة)

Dari Abµ Hurairah r.a. bahwa Nabi saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Ya Nuh, engkau adalah rasul yang pertama yang diutus ke bumi’.” (Riwayat Muslim dari Abµ Hurairah)

Maksud rasul pertama di sini ialah rasul Allah yang pertama diutus sesudah Nabi Adam dan Nabi Idris. Ia juga disebut bapak manusia kedua setelah Adam, karena sebagian mufasir berpendapat bahwa seluruh manusia musnah dan mati karena topan dan banjir, kecuali orang-orang yang berada di atas perahu bersama Nabi Nuh.

Di antara yang selamat itu, terdapat tiga orang putranya, yaitu Sam, Ham, dan Yafi£. Maka semua manusia yang ada sampai sekarang berasal dari keturunan ketiga putra Nabi Nuh itu.

Tidak ada keterangan yang pasti tentang jarak waktu antara Adam dan Idris dengan Nabi Nuh. Hanya terdapat beberapa keterangan yang berbeda-beda dalam Taurah Ibriyah, Taurah Samiriyah, dan terjemahan Taurat dalam bahasa Yunani.

Nabi Nuh diutus kepada saudaranya, maksudnya orang-orang yang masih dianggap kerabat dengan Nuh. Dalam surah-surah yang lain disebutkan bahwa Nuh diutus kepada kaumnya.

Kaum Nabi Nuh menyembah patung-patung dan berhala yang mereka anggap sebagai tuhan. Oleh karena itu, Nabi Nuh mengingatkan mereka agar bertakwa kepada Allah dan takut kepada azab-Nya yang dahsyat. Azab itu akan ditimpakan Allah kepada orang-orang yang mengingkari seruan nabi-Nya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 107-110


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 96-102

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 96-102 berbicara mengenai penyesalan orang-orang yang celaka ketika di akhirat. Mereka menyesali semua perbuatannya ketika di dunia. Namun semuanya sudah terlambat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 89-95


Ayat 96

Dalam neraka, para pemimpin yang menyesatkan dan para pengikutnya saling menyalahkan. Mereka saling mempertanyakan siapa yang telah membawa mereka melakukan kejahatan sehingga masuk neraka.

Ayat 97

Setelah bertengkar, mereka pun sama-sama menyadari bahwa tiada yang patut disalahkan kecuali diri mereka sendiri. Mereka mengakui bahwa kesesatan mereka sangat parah, yaitu mempersekutukan Allah.


Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt


Ayat 98

Mereka sangat menyesali kenapa menganggap berhala itu sama kekuasaannya dengan Allah, sehingga mereka menyembahnya.

Ayat 99

Di samping karena kesalahan sendiri, mereka juga terpengaruh oleh ajakan-ajakan jahat dari para pemimpin mereka. Para pemimpin itu  selalu berpropaganda melakukan berbagai perbuatan yang melanggar agama sehingga  mereka mengikutinya. Ini dikatakan lagi oleh Allah dalam ayat lain:

وَقَالُوْا رَبَّنَآ اِنَّآ اَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاۤءَنَا فَاَضَلُّوْنَا السَّبِيْلَا۠

Dan mereka berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati para pemimpin dan para pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar).  (al-Ahzab/33: 67)

Susunan ayat ini sangat lugas menjelaskan penyesalan dari orang-orang yang mengikuti seorang pemimpin tanpa menyadari ke mana mereka dibawa. Jadi, kita tidak harus menaati seorang pemimpin jika yakin bahwa pemimpin tersebut justru membawa kepada kedurhakaan.

Ayat 100

Orang-orang kafir dan musyrik itu baru menyadari bahwa di akhirat ini, tidak ada orang lain ataupun malaikat yang akan membantu mereka melepaskan diri dari azab Allah yang sudah di depan mata. Seandainya, di dunia dulu mereka beriman dan beramal saleh, pasti hal itu akan memberi syafaat kepada mereka

Ayat 101

Teman dekat atau keluarga sendiri juga mereka sadari tidak akan dapat menolong. Dalam ayat lain disebutkan:

فَهَلْ لَّنَا مِنْ شُفَعَاۤءَ فَيَشْفَعُوْا لَنَآ اَوْ نُرَدُّ فَنَعْمَلَ غَيْرَ الَّذِيْ كُنَّا نَعْمَلُ ࣖ

Maka adakah pemberi syafaat bagi kami yang akan memberikan pertolongan kepada kami atau agar kami dikembalikan (ke dunia) sehingga kami akan beramal tidak seperti perbuatan yang pernah kami lakukan dahulu?  (al-A’raf/7: 53).

Ayat 102

Mereka berharap dapat dikembalikan ke dunia. Jika keinginan itu terkabul, mereka berjanji akan beriman dan beramal saleh. Akan tetapi, hal itu tidak mungkin. Itu hanya alasan mereka, sebab sekiranya dikembalikan ke dunia sekalipun, mereka tetap akan ingkar kembali.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 103-106


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 89-95

0
Tafsir Surah Asy-Syu'ara
Tafsir Surah Asy-Syu'ara

Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 89-95 berbicara mengenai dua hal. Pertama mengenai orang- orang yang beruntung ketika di akhirat. Kedua berbicara mengenai orang-orang yang celakan ketika di akhirat.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 85-88


Ayat 89

Ayat ini menjelaskan bahwa kesenangan yang bakal diperoleh di akhirat, tidak dapat dibeli dengan harta yang banyak. Juga tidak mungkin ditukar dengan anak dan keturunan yang banyak. Sebab masing-masing manusia hanya diselamatkan oleh amal dan hatinya yang bersih. Tetapi orang yang diselamatkan hanyalah mereka yang akidahnya bersih dari unsur-unsur kemusyrikan dan akhlaknya mulia.

Ayat 90

Surga itu didekatkan sedemikian rupa kepada orang-orang yang bertakwa, sehingga dapat dilihat dengan nyata. Bagaimana surga itu didekatkan, diterangkan pada ayat lain:

وَاُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِيْنَ غَيْرَ بَعِيْدٍ;

Sedangkan surga didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh (dari mereka).  (Qaf/50: 31)

Mendekatkan surga kepada orang-orang bertakwa akan menggembirakan mereka karena ketaatan yang telah mereka kerjakan selama di dunia, segera akan membuahkan hasil. Mereka akan segera memasukinya.


Baca juga: Pentingnya Mengetahui Ilmu Asbab an-Nuzul dalam Memahami Al-Quran


Ayat 91

Sebaliknya, neraka juga diperlihatkan kepada orang-orang yang sesat. Mereka menyaksikan kedahsyatan kobaran apinya. Dalam Al-Qur’an dilukiskan bahwa kobaran api neraka itu dari jauh saja sudah terdengar gejolaknya. Itulah yang akan menjadi tempat kediaman mereka, tanpa dapat mengelak lagi.

Ayat itu menggambarkan betapa cepat siksaan tersebut menimpa mereka. Sungguh hal itu tidak pernah mereka bayangkan ketika masih ada di dunia ini, karena mereka tidak peduli dengan azab Allah, seperti dijelaskan dalam ayat ini:

وَقِيْلَ الْيَوْمَ نَنْسٰىكُمْ كَمَا نَسِيْتُمْ لِقَاۤءَ يَوْمِكُمْ هٰذَاۙ وَمَأْوٰىكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِّنْ نّٰصِرِيْنَ

Dan kepada mereka dikatakan, “Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan) harimu ini; dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tidak akan ada penolong bagimu. (al-Jatsiyah/45: 34)

Ayat 92-93

Kemudian pada saat menghadapi neraka yang siap menerima orang-orang kafir dan musyrik, dilontarkan pertanyaan untuk mencemoohkan mereka, “Di manakah tuhan-tuhan berhala yang kamu sembah itu kini berada? Sanggupkah mereka menyelamatkan kamu dari siksaan Allah?” Jangankan untuk menyelamatkan orang lain, melepaskan diri mereka saja, tuhan-tuhan berhala itu tidak sanggup.

Ayat 94-95

Kemudian orang-orang yang sesat dan telah ditetapkan sebagai penghuni neraka dijungkirkan bersama-sama pimpinan mereka dan tentara iblis seluruhnya. Tentara iblis dalam ayat ini dimaksudkan ialah orang-orang yang suka mengikuti perbuatan maksiat. Baik mereka yang mengikuti atau pemimpin yang diikuti sama-sama dilemparkan ke dalamnya.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Asy-Syu’ara Ayat 96-102


(Tafsir Kemenag)

Al-Qur’an dalam Menjaga Harmonisasi dan Toleransi Antar Umat Beragama

0
Toleransi Antar Umat Beragama
Toleransi Antar Umat Beragama

Indonesia sebagai negara multi agama memberi banyak potret kerukunan umat yang hidup dalam berbagai perbedaan. Meski berbeda, asas-asas toleransi dan saling menghormati masih digaungkan. Hal ini akan menunjang harmonisasi dan toleransi antar umat beragama akan dicapai dengan baik oleh masyarakat yang multikultural ini.

Baru-baru ini, beredar berita tentang pembangunan terowongan yang menghubungkan masjid Istiqlal dan gereja katedral yang ada di Jakarta. Terowongan tersebut disebut dengan terowongan silaturahmi karena menghubungkan dua tempat ibadah yang berbeda.

Tujuan dari pembangunan terowongan tersebut adalah untuk memudahkan akses kedua jamaah rumah ibadah untuk memenuhi kebutuhan ruang parkir tanpa menganggu lalu lintas yang ada. Hal ini merupakan sebuah terobosan yang luar biasa dan sebagai wujud kerukunan umat beragama yang dapat menjadi percontohan bagi seluruh umat di Indonesia bahkan dunia.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Ini Perbedaan Wudhu dan Tayamum yang Wajib Diketahui

Semestinya, wujud kerukunan seperti itulah yang perlu dijaga dan dirawat ditengah banyaknya konflik yang melibatkan umat beragama pada masa sekarang. Sunnatullah yang berupa keberagaman bukan menjadi suatu persoalan yang patut dipermasalahan, tetapi bagaimana perbedaan itu dapat dihargai dan dimaklumi.

Terkait hal ini, Al-Qur’an sesungguhnya Al-Qur’an begitu mendukung kerukunan antar umat beragama salah satunya sebagaimana termaktub dalam QS. Al-Mumtahanah [60]: 8 sebagai berikut.

لَّا يَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمۡ يُقَٰتِلُوكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَلَمۡ يُخۡرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوٓاْ إِلَيۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

Terjemah: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil” (QS. Al-Mumtahanah [60]: 8)

Asbabun nuzul ayat ini berkaitan dengan Qatilah yang datang kepada Asma’ binti Abi Bakr. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Asma’ binti Abi Bakr bahwa Qatilah seorang non muslim datang kepada Asma’ binti Abi Bakr (anak kandungnya). Setelah itu Asma’ bertanya kepada Rasulullah “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah pun menjawab: “Ya (boleh).” Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa tersebut, yang menegaskan bahwa Allah tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama Allah.

Tafsir Surah al-Mumtahanah Ayat 8

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menerangkan ayat di atas bahwa Allah Swt tidak melarang umat (muslim) untuk berbuat baik kepada umat non muslim yang tidak memerangi atau mereka yang tidak mengganggu umat Islam. Sebab Allah hanya melarang berteman atau berhubungan dengan orang-orang yang melancarkan permusuhan kemudian memerangi dan mengusir serta bantu membantu untuk mengusir umat Islam sebagaimana diterangkan dalam ayat berikutnya.

Baca juga: Kunci Pertama Menggapai Kebahagiaan: Beriman Kepada Allah Swt

Al-Qurthubi dalam tafsirnya juga menjelaskan bahwa Allah tidak melarang orang-orang mukmin untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir kala itu yang tidak memerangi, yaitu kabilah Khuza’ah. Mereka dinyatakan telah berdamai dengan Nabi dan tidak akan memerangi serta tidak pula akan membantu orang-orang yang menantang beliau.

Allah kemudian juga memerintahkan untuk berlaku adil dengan memberikan sebagian dari harta sebagai upaya untuk membina hubungan silaturrahim. Ibnu Al-Arabi mengatakan bahwa yang dimaksud oleh firman Allah itu bukanlah bersikap adil. Sebab bersikap adil adalah sebuah keharusan baik terhadap yang memerangi maupun tidak.

Sementara menurut tafsir Kementerian Agama, ayat ini memberikan ketentuan umum dan prinsip agama Islam dalam menjalin hubungan dengan orang-orang yang bukan Islam dalam satu negara. Kaum Muslimin diwajibkan bersikap baik dan bergaul dengan orang-orang kafir, selama mereka bersikap dan ingin bergaul baik, terutama dengan kaum Muslimin.

Seandainya dalam sejarah Islam, terutama pada masa Rasulullah dan masa para sahabat, terdapat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kaum Muslimin kepada orang-orang musyrik, maka tindakan itu semata-mata dilakukan untuk membela diri dari kezaliman dan siksaan yang dilakukan oleh pihak musyrik.

Baca juga: Tafsir Maqashidi dan Makna Dharaba dalam Surah An-Nisa’ Ayat 34

Hidup Berdampingan dalam Perbedaan

Al-Mumtahanah [60]: 8 yang juga dilanjutkan oleh ayat 9 sebagai sebuah informasi dari Allah Swt. untuk memupuk sikap rukun antar umat beragama. Sebab selama orang-orang yang berbeda agama tersebut tidak menganggu atau tidak memusuhi umat Islam, maka tidak ada celah sedikit pun bagi umat muslim untuk bersikap tidak hormat apalagi mengganggu mereka.

Bahkan Allah menekankan untuk berbuat baik kepada umar-umat di luar Islam yang toleran. Hal ini juga sebagai bukti bahwa Islam bukan agama yang berciri kekerasan sebagaimana yang selama ini dituduhkan.

Program yang telah direalisasikan oleh pemerintah dalam menyediakan terowongan yang menghubungkan antara Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral telah menerapkan anjuran Allah sebagaimana terdapat dalam ayat di atas. Hal ini sebagai wujud harmonisasi yang dirangkul dalam keberagaman umat.

Agama bukan sebagai penghalang untuk tetap berhubungan baik satu sama lain. Dalam kehidupan sosial, setiap elemen masyarakat semestinya saling bersinergi untuk memupuk persatuan dan kesatuan. Maka ketika fasilitas terowongan Istiqlal dan Katedral ini dapat menggambarkan kehidupan sosial yang saling mendukung serta menjadi bukti bahwa umat yang penuh perbedaan tetapi dapat hidup berdampingan.

Baca juga: Belajar Menjadi Pendidik Profesional Melalui Kisah Dakwah Nabi Yunus

Dukungan Allah terhadap harmonisasi umat beragama adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah dalam Al-Qur’an. Sebab sejatinya Allah menciptakan manusia dalam bingkai keberagaman yang menuntut upaya penyesuaian dan persatuan meski dipisahkan oleh perbedaan. Hal ini kemudian diwujudkan dalam berbagai bentuk yang dapat menciptakan kerukunan antar umat beragama.

Hadirnya terowongan silaturahmi yang berjarak 32 meter dari Katedral dan berjarak 16 meter dari Istiqlal menjadi buah harmonisasi umat beragama yang kini diwujudkan. Semoga dengan adanya kerukunan ini dapat menjadi awal yang baik untuk menciptakan perdamaian antar umat di Indonesia bahkan dunia. Wallahu a’lam[]

 

 

Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 10-11

0
Tafsir Surah al-Munafiqun
Tafsir Surah al-Munafiqun

Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 10-11 menganjurkan orang-orang mukmin untuk membagi sebagian rezekinya kepada orang lain sebagai bentuk syukur atas nikmat yang telah diberi Allah. Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 10-11 ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah Maha Mengetahui segala sesuatu dan kelak Allah akan membalas setiap perbuatan manusia semasa di dunia.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9, Anjuran Hidup Seimbang


Ayat 10

Pada ayat ini, Allah menganjurkan agar orang-orang mukmin membelanjakan sebagian rezeki yang telah dikaruniakan kepadanya, sebagai tanda syukur atas nikmat-Nya. Hal itu bisa berupa menyantuni anak-anak yatim, orang-orang fakir miskin, dan sebagainya. Hal ini merupakan bekal untuk akhirat untuk dinikmati di hari kemudian.

Janganlah kekayaan itu hanya ditumpuk untuk diwarisi oleh para ahli waris yang belum tentu akan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya serta mendatangkan kegembiraan, atau untuk disia-siakan yang akan mengakibatkan kekecewaan. Kekayaan yang ada pada seseorang, bagaimanapun banyaknya, hanya tiga macam yang menjadi miliknya, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda:

عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقْرَأُ أََلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ. يَقُوْلُ ابْنُ اۤدَمَ مَالِيْ مَالِيْ، قَالَ وَهَلْ لَكَ يَاابْنَ اۤدَمَ مِنْ مَالِكَ اِلاَّ مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ. (رواه مسلم)

Mutharrif bin Syu’bah meriwayatkan dari ayahnya berkata, “Aku mendatangi Nabi saw, sedangkan beliau sedang membaca ayat alhakumut-takatsur.” Lalu Nabi saw bersabda, “(Ada seorang) manusia mengatakan ‘hartaku-hartaku’.” Nabi saw bersabda lagi, “Wahai manusia, kamu tidaklah memiliki harta (yang kamu kumpulkan), melainkan apa yang kamu makan maka telah habis, apa yang kamu pakai maka telah lusuh, dan apa yang kamu sedekahkan maka telah berlalu.” (Riwayat Muslim).

Membelanjakan harta benda untuk kemanfaataan dunia dan akhirat, janganlah ditunda-tunda sampai datang sakaratul maut. Dan jangan berandai-andai kalau-kalau umurnya masih bisa diperpanjang atau kematiannya masih bisa ditunda. Ia harus membelanjakan harta bendanya kepada yang diridai Allah, dan beramal baik sehingga ia dapat digolongkan bersama orang-orang yang saleh sebelum ajal tiba, karena apabila ajal telah sampai pada batasnya, tak dapat lagi diubah, dimajukan, atau ditangguhkan.

Ayat 11

Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan menunda kematian seseorang apabila telah sampai ajalnya. Oleh karena itu, bersiap-siaplah untuk menghadapi maut itu. Kumpulkanlah sebanyak-banyaknya bekal berupa amal saleh yang akan dibawa dan yang bermanfaat di akhirat nanti. ;;

Firman Allah:

فَاَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهٗۙ  ٦  فَهُوَ فِيْ عِيْشَةٍ رَّاضِيَةٍۗ  ٧  وَاَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِيْنُهٗۙ  ٨  فَاُمُّهٗ هَاوِيَةٌ  ۗ  ٩  وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا هِيَهْۗ  ١٠  نَارٌ حَامِيَةٌ ࣖ  ١١

Maka adapun orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan (senang). Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukah kamu apakah neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas. (al-Qari‘ah/101: 6-11).

Ayat yang kesebelas ini ditutup dengan penegasan bahwa Allah itu Maha Mengetahui apa yang diperbuat hamba-Nya. Semua itu akan dibalas di hari kemudian, sesuai dengan amal perbuatannya. Kalau baik dimasukkan ke dalam surga, dan kalau jahat akan dimasukkan ke dalam neraka.

(Tafsir Kemenag)


Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73


Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9

0
Tafsir Surah al-Munafiqun
Tafsir Surah al-Munafiqun

Dikisahkan dalam Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9 bahwa orang-orang munafik menganjurkan kaum Anshar untuk tidak memberi nafkah kaum Muhajirin yang datang bersama Rasulullah. Pada penutupnya Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9 ini Allah mengingatkan untuk bersikap seimbang antara dunia dan akhirat.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 4-6, Sikap Orang Munafik


Ayat 7

Allah menjelaskan bahwa orang-orang munafik itu selalu menganjurkan agar orang-orang Ansar tidak memberi nafkah kepada orang-orang Muhajirin yang datang bersama-sama Muhammad saw dari Mekah dan membiarkan mereka menderita kelaparan, sehingga mereka akan meninggalkan Nabi saw.

Anjuran dan anggapan orang-orang munafik itu keliru. Mereka tidak mengetahui bahwa semua yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah. Di tangan-Nya-lah kunci perbendaharaan rezeki manusia. Tidak seorang pun yang dapat memberikan sesuatu kepada yang lain kecuali dengan kehendak-Nya.

Mereka tidak mau memahami sunatullah yang berlaku bagi makhluk-makhluk-Nya. Allah telah menjamin rezeki hamba-hamba-Nya di mana pun mereka berada. Setiap mereka bekerja dan berusaha, mereka akan memperoleh rezekinya.

Ayat 8

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa ‘Abdullah bin Ubay dan pengikut-pengikutnya merencanakan apabila kembali ke Medinah dari peperangan Bani Mushthaliq, mereka akan mengusir orang-orang mukmin dari Medinah.

Mereka merasa dan menganggap bahwa merekalah yang kuat, perkasa, dan mulia, sedangkan orang-orang mukmin itu lemah dan hina. Mereka tidak menyadari bahwa kekuatan, keperkasaan, dan kemuliaan berada di tangan Allah dan rasul-Nya, serta orang-orang mukmin yang telah dimuliakan-Nya.

Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah putra ‘Abdullah bin Ubay adalah orang yang benar-benar beriman. Ia pernah mencabut pedang mengancam ayahnya, ‘Abdullah bin Ubay, ketika mereka sudah dekat di Medinah dan berkata, “Demi Allah, saya tidak akan memasukkan pedangku ini ke dalam sarungnya, sehingga engkau mengucapkan, ‘Bahwa Muhammad itulah yang mulia dan sayalah yang hina’.” ‘Abdullah putra ‘Abdullah bin Ubay tetap pada sikapnya, sehingga ayahnya mengucapkan pengakuan tersebut yaitu Muhammadlah yang mulia dan dia yang hina.

Orang-orang munafik tidak mengetahui bahwa sesungguhnya kemuliaan itu ada pada Allah, rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Kemenangan terakhir ada pada orang-orang yang bertakwa dan Allah akan memberi pertolongan kepada orang-orang yang menegakkan agama-Nya, sebagaimana diterangkan dalam ayat lain:

كَتَبَ اللّٰهُ لَاَغْلِبَنَّ اَنَا۠ وَرُسُلِيْۗ اِنَّ اللّٰهَ قَوِيٌّ عَزِيْزٌ   ٢١

Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa. (al-Mujadalah/58: 21).

Ayat 9

Allah mengingatkan bahwa kesibukan mengurus harta benda dan memperhatikan persoalan anak-anak jangan membuat manusia lalai dari kewajibannya kepada Allah atau bahkan tidak menunaikannya. Hendaknya perhatian mereka terhadap dunia dan akhirat seimbang, sebagaimana tertuang dalam sebuah riwayat:

فَاعْمَلْ عَمَلَ امْرِئٍ يَظُنُّ أَنْ لاَ يَمُوْتَ أَبَدًا وَاحْذَرْحَذْراً يَخْشَى أَنْ يَمُوْتَ غَدًا. (رواه البيهقى عن عبد الله بن عمرو بن العاص)

Beramallah (amalan duniawi) seperti amalan seseorang yang mengira bahwa ia tidak akan meninggal selama-lamanya. Namun, waspadalah seperti kewaspadaan seseorang yang akan meninggal besok. (Riwayat al-Baihaqi dari Abdullah bin Ibnu Amru bin al-Āsh).

Dalam hadis lain, Nabi bersabda:

لَيْسَ بِخَيْرِكُمْ مَنْ تَرَكَ دُنْيَاهُ لِاۤخِرَتِهِ وَلاَ اۤخِرَتَهُ لِدُنْيَاهُ حَتَّى يُصِيْبَ مِنْهُمَا جَمِيْعًا فَإِنَّ الدُّنْيَا بَلاَغٌ اِلَى اْلاۤخِرَةِ وَلاَ تَكُوْنُوْا كَلاًّ عَلَى النَّاسِ. (رواه ابن عساكر عن انس بن مالك)

Bukanlah orang yang terbaik di antara kamu seseorang yang meninggalkan (kepentingan) dunianya karena akhirat, dan sebaliknya meninggalkan (kepentingan) akhiratnya karena urusan dunianya, sehingga ia mendapatkan (bagian) keduanya sekaligus, ini dikarenakan kehidupan dunia merupakan wasilah yang menyampaikan ke kehidupan akhirat dan janganlah kamu menjadi beban terhadap orang lain. (Riwayat Ibnu ‘Asakir dari Anas bin Malik).

Di sinilah letak keistimewaan dan keunggulan agama yang dibawa oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw yaitu agama Islam. Agama yang tidak menghendaki umatnya bersifat materialistis, yang semua pikiran dan usahanya hanya ditujukan untuk mengumpulkan kekayaan dan kenikmatan dunia, seperti halnya orang-orang Yahudi.

Islam juga agama yang tidak membenarkan umatnya hanya mementingkan akhirat saja, tenggelam dalam kerohanian, menjauhkan diri dari kelezatan hidup, membujang terus dan tidak kawin, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani. Allah berfirman:

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْا

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. (al-A’raf/7: 31).

Firman Allah:

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِ

 Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? (al-A‘raf/7: 32).

Allah menegaskan pada akhir ayat 9 ini bahwa orang-orang yang sangat mementingkan urusan dunia dan meninggalkan kebahagiaan akhirat, berarti telah mengundang murka Allah. Mereka akan merugi karena menukar sesuatu yang kekal abadi dengan sesuatu yang fana dan hilang lenyap.

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 10-11, Anjuran Untuk Berbagi Rezeki


Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 4-6

0
Tafsir Surah al-Munafiqun
Tafsir Surah al-Munafiqun

Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 4-6 menjelaskan tentang sikap orang-orang munafik yang sangat menakjubkan. Tutur Bahasa mereka bagus dan menarik, sehingga tidak membosankan untuk didengar. Namun ditegaskan pula dalam Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 4-6 bahwa perilaku orang-orang munafik tersebut tidak akan di ampuni Allah.


Baca Sebelumnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 1-3, Kisah Orang Munafik


Ayat 4

Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang munafik itu terlihat sangat menakjubkan. Tubuh mereka tegap-tegap, simpatik, dan lancar berbicara serta mengasyikkan. Apabila mereka berkata, orang senang mendengarnya karena tutur bahasanya yang teratur, menarik, dan tidak membosankan.

Mereka tidak ubahnya seperti kayu yang tersandar, benda yang mempunyai bentuk, tetapi tidak bernyawa. Ini biasa dipakai sebagai perumpamaan bagi orang yang kelihatannya bagus, tetapi amal perbuatannya jelek. Lahiriahnya elok, tetapi hatinya busuk, tidak ubahnya dengan kayu yang di dalamnya kosong melompong, kelihatannya indah, tetapi tidak dapat digunakan, tidak dapat diharapkan daripadanya hal yang baik dan bermanfaat.

Setiap ada kata-kata yang sifatnya amar ma‘ruf nahi mungkar, mereka menyangka bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya. Mereka takut kalau-kalau kedudukan dan pangkatnya terancam dan rahasianya terbongkar. Cercaan dan cemoohan terhadap mereka akan datang dan mereka akan menjadi bulan-bulanan. Allah berfirman:

اَشِحَّةً عَلَيْكُمْ ۖ فَاِذَا جَاۤءَ الْخَوْفُ رَاَيْتَهُمْ يَنْظُرُوْنَ اِلَيْكَ تَدُوْرُ اَعْيُنُهُمْ كَالَّذِيْ يُغْشٰى عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِۚ فَاِذَا ذَهَبَ الْخَوْفُ سَلَقُوْكُمْ بِاَلْسِنَةٍ حِدَادٍ

Mereka kikir terhadapmu. Apabila datang ketakutan (bahaya), kamu lihat mereka itu memandang kepadamu dengan mata yang terbalik-balik seperti orang yang pingsan karena akan mati, dan apabila ketakutan telah hilang, mereka mencaci kamu dengan lidah yang tajam. (al-Ahzab/33: 19)

Mereka itu sebenarnya adalah musuh, karena itu berhati-hatilah menghadapinya, jangan terpengaruh dengan keramah-tamahan mereka, dan jangan termakan dengan bujuk rayu mereka. Mereka kelihatan tersenyum, tetapi di dalam hatinya terpendam dendam yang mendalam, iktikad jahat yang membawa maut.

Mereka itu dilaknat Allah dan jauh dari rahmat-Nya, karena perbuatan mereka yang sangat jahat. Penerangan dan penjelasan tentang kebenaran telah cukup diberikan kepada mereka, tetapi mereka itu membuang kebenaran itu, dan melaksanakan kebatilan yang dilarang oleh Allah.

Ayat 5

Orang-orang munafik itu apabila diajak mendatangi Rasulullah saw agar beliau memintakan ampunan kepada Allah atas dosa-dosa yang telah diperbuat, mereka itu menolak mentah-mentah ajakan itu. Mereka memalingkan mukanya dengan gaya yang menunjukkan keangkuhan dan kesombongan. Hal ini disebutkan pula dalam firman Allah:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا اِلٰى مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ وَاِلَى الرَّسُوْلِ رَاَيْتَ الْمُنٰفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًاۚ  ٦١

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (patuh) kepada apa yang telah diturunkan Allah dan (patuh) kepada Rasul,” (niscaya) engkau (Muhammad) melihat orang munafik menghalangi dengan keras darimu. (an-Nisa’/4: 61).


Baca Juga: Alegori Keadaan Orang Munafik dalam Surah Al-Baqarah Ayat 17-20


Ayat 6

Allah menerangkan bahwa bagi orang-orang munafik, dimintakan ampunan atau tidak, sama saja. Allah tidak akan mengampuni mereka. Dia telah menetapkan mereka termasuk orang-orang yang celaka karena perbuatan mereka yang bergelimang dosa dan menunjukkan dengan jelas kemunafikan serta keingkaran di dalam hati mereka yang disembunyikan.

Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang fasik yang kerjanya hanya berbuat jahat, tidak memperhatikan nasihat-nasihat yang baik, dan tidak akan menyadari peringatan yang diberikan kepadanya. Perkataannya penuh kebohongan dan keingkaran yang keterlaluan, sebagaimana Allah berfirman:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ

Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada pendusta dan orang yang sangat ingkar. (az-Zumar/39: 3).

Firman Allah:

اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ  ٢٨

Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang melampaui batas dan pendusta. (Gafir/40: 28).

Dan firman Allah:

اِسْتَغْفِرْ لَهُمْ اَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْۗ اِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِيْنَ مَرَّةً فَلَنْ يَّغْفِرَ اللّٰهُ لَهُمْ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْفٰسِقِيْنَ ࣖ   ٨٠

(Sama saja) engkau (Muhammad) memohonkan ampunan bagi mereka atau tidak memohonkan ampunan bagi mereka. Walaupun engkau memohonkan ampunan bagi mereka tujuh puluh kali, Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka. Yang demikian itu karena mereka ingkar (kafir) kepada Allah dan rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (at-Taubah/9: 80)

(Tafsir Kemenag)


Baca Setelahnya: Tafsir Surah al-Munafiqun ayat 7-9