Beranda blog Halaman 373

Penelusuran Pengaruh Kajian Awal Rasm Turats Pinggiran

0
Pengaruh Kajian Awal Rasm Turats Pinggiran
Pengaruh Kajian Awal Rasm Turats Pinggiran

Pada tulisan sebelumnya yang berjudul Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia dalam Diskursus Rasm Mushaf Indonesia secara umum mengulas wacana-wacana yang muncul berkaitan dengan diskursus rasm dalam dunia permushafan Indonesia. Setidaknya di dalam tulisan tersebut ada dua wacana mainstream yang telah sebutkan di dalamnya. Sehingga, penulis ingin mengulas terkait pengaruh awal rasm turats pinggiran itu bisa ada.

Selain itu dalam tulisan sebelumnya yang lain, yakni berjudul Kontroversi Rasm Imam as-Suyuthi, juga sempat mengulas posisi Imam Al-Suyuthy dalam diskursus rasm mushaf Indonesia. Seorang tokoh besar dalam bidang ilmu Al-Qur’an yang cukup diperdebatkan jika berkaitan dengan masalah rasm.

Berangkat dari dua tulisan tersebut, penulis terpikir bahwa apakah telah terjadi dikotomi dalam literatur-literatur yang menjadi pijakan rasm ‘utsmany. Bukankah semua literatur yang berisi rasm dapat dipergunakan sebagai bahan rujukan? Jika tokoh sekelas Al-Suyuthy saja masih debatable, lalu apa sejatinya standar yang digunakan dalam menilai ke-mu‘tabar-an? Pertanyaan-pertanyaan tersebut masih belum menemukan jawabannya.

Baca juga: Vaksinasi Covid-19 dalam Tinjauan Maqashid Al-Qur’an

Klasifikasi Kajian Rasm Turats Pinggiran Masih Diperdebatkan

Jika merujuk penjelasan yang diberikan KH. Maftuh Basthul Birri dalam Mari Memakai Al-Qur’an Rasm ‘Usmaniy (RU), literatur-literatur seperti Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Al-Suyuthy, Al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Al-Zarkasyiy, yang keduanya cukup familiar di telinga pelajar Al-Qur’an Indonesia, atau yang tidak familiar seperti Siraj al-Qari’ karya Al-Syathiby, Manar al-Huda karya Al-Asymuny dan Al-Nasyr fi al-Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari, bukan rujukan standar dalam penulisan Al-Qur’an (rasm).

Beliau, Kyai Maftuh, lebih memilih literatur lain sebagai standar. Diantaranya seperti Al-Muqni‘ fi Rasm Mashahif al-Amshar karya Al-Dany, Maurid al-Dzam’an fi Rasm al-Qur’an karya Al-Kharraz dan Natsr al-Marjan fi Rasm Nadzm al-Qur’an karya Al-Arkaty.

Padahal jika membandingkan dengan kajian yang dilakukan Zainal Arifin dalam Kajian Ilmu Rasm Usmani dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Usmani Indonesia, disebutkan bahwa Al-Arkaty telah menganggap sejajar Al-Itqan milik Al-Suyuthy dengan karya-karya prestisius di bidang rasm.

Memang, sangat diakui bahwa Al-Itqan milik Al-Suyuthy atau Al-Burhan milik Al-Zarkasyiy bukan merupakan karya yang secara khusus membahas rasm ‘utsmany. Keduanya adalah karya mengumpulkan seluruh bidang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu Al-Qur’an dan tafsir. Sehingga wajar apabila tidak memberikan penjelasan secara detail terkait dengan rasm Al-Qur’an.

Baca juga: Hak Waris Bagi Suami Istri dan Saudara Menurut Al-Qur’an

Namun demikian, ketika penulis berkesempatan membaca Al-Muqni‘ karya Al-Dany dan disaat yang sama juga Al-Itqan milik Al-Suyuthy, konten yang disajikan juga cukup mendekati keseluruhan bab dan masalah dalam rasm. Boleh jadi yang terlewat hanya apa yang disebut sebagai farsy al-huruf atau huruf-huruf (dalam konteks rasm adalah penulisan-penulisan) yang tidak dapat dikaidahkan.

Sementara sisanya, pada penulisan yang dapat dikaidahkan, pola dan cara yang digunakan adalah sama. Bagimana Al-Suyuthy juga menyebutkan penulisan rasm yang berbeda dengan model penulisan konvensional lengkap dengan letaknya di dalam surat-surat dalam Al-Qur’an.

Memang apa yang dikatakan Ahmad Fathoni, bahwa ulasan yang hanya setebal 13 halaman tidak dapat menjawab seluruh persoalan yang dimiliki rasm utsmany, atau yang dikatakan KH. Maftuh Basthul Birri, bahwa ke-sekilas-an pembahasan dalam Al-Itqan menjadikannya sulit dipahami, ada benarnya.

Namun, hal itu tidak lantas menjadikan karya semacam Al-Itqan ‘tidak layak’ menjadi rujukan standar rasm ‘utsmany. Apalagi jika melihat secara langsung maqalah Al-Arkaty, yang menurut Kyai Maftuh adalah rujukan standar rasm, sebagaimana dikatakan Zainal Arifin, justru menganggapnya sebagai salah satu karya prestige.

وَاعْلَمْ أَنّيِ عَمِدْتُ فِي اسْتِخْرَاجِ مَا أُحَرِّرُ فِي هَذَا الْكِتَابِ عَلَى الكُتُبِ المُعْتَبَرَةِ مِنْهَا المُقْنِعُ لِلْإِمَامِ الحَافِظِ الكَبِيْرِ أَبِي عَمْرٍو عُثْمَانَ بْنِ سَعِيْدٍ الدَّانِي المُقْرِئِ المُتَوَفَّى لِسِتَّةِ شَوَّال سَنَةَ أَرْبَعٍ وَأَرْبَعِيْنَ وَأَرْبَعِمِائَةٍ مِنَ الْهِجْرَةِ بِدَانِيَةَ بَلَدٌ مِنَ الأَنْدَلُس –إلى أن قال- وَمِنْهَا الإِتْقَانُ فِيْ عُلُوْمِ الْقُرْآنِ لِلْإِمَامِ العَلَّامَةِ أَبِي الْفَضْلِ عَبْدُ الرَّحْمنِ السُيُوطِي الشَّافِعِي.

“Ketahuilah! Bahwa sesungguhnya saya (Al-Arkaty) dalam menuliskan apa telah saya susun dalam kitab ini berpijak pada kitab-kitab yang mu‘tabar. Diantaranya adalah Al-Muqni‘ karya Imam Al-Hafidz al-Kabir Abu ‘Amr ‘Utsman bin Sa‘id al-Dany yang juga seorang imam qira’ah yang wafat pada 6 Syawal tahun 444 H. di kota Daniyah, salah satu wilayah di negara Andalusia. –sampai pada- diantaranya lagi adalah Al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam ‘Allamah Abu al-Fadl ‘Abd al-Rahman al-Suyuthy al-Syafi‘iy.”

Baca juga: Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 26-28: Semua Makhluk Pasti Tiada, Hanya Allah Swt. yang Abadi

Seolah di sini telah terjadi semacam klasifikasi terhadap literatur-literatur rasm ‘utsmany menjadi literatur utama dan pinggiran. Dimana literatur pinggiran dikonotasikan sebagai ‘bukan rujukan yang terstandar’. Jika demikian, lantas unsur apa saja yang menjadi standarisasi penentuan literatur utama dan pinggiran, itu yang belum menemukan. Dan seperti halnya di dalam fikih yang terjadi perselisihan dalam standar ke-mu‘tabar-an suatu kitab, pun demikian halnya dengan rasm.

Akhirnya, munculah kesimpulan bahwa klasifikasi utama dan pinggiran adalah ranah furu‘ yang masih diperdebatkan. Kajian lebih lanjut tentunya sangat diharapkan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya arti mu‘tabar dalam literatur rasm ‘utsmany. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 66-67

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 66-67 berbicara mengenai pemberian keringanan saat perang dan kritikan Allah atas  umat Islam.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 64-65


Pembicaraan yang pertama dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 66-67 ini berkisar tentang keadaan capai dan tekanan psikologis umat Islam dalam peperangan. Allah memberikan pertolongan terhadap keadaan itu. kedua mengenai kritik Allah terhadap umat Islam. Khsususnya kepada Nabi Muhammad karena telah menerima tebusan perang.

 Ayat 66

Pada ayat ini Allah memberikan keringanan bagi kaum Muslimin dalam menghadapi musuh yang menyerang mereka.

Kalau pada ayat 65 Allah memerintahkan agar mereka berani menghadapi musuh yang berjumlah sepuluh kali lebih besar dari jumlah mereka, maka pada ayat ini dijelaskan bahwa mereka diberi keringanan karena mereka telah berada dalam keadaan lemah, baik dalam semangat maupun dalam persiapan perang.

Dalam keadaan seperti ini mereka diharuskan menghadapi musuh yang jumlahnya dua kali jumlah mereka. Ini adalah suatu tingkat minimal yang harus mereka pertahankan, karena keringanan yang diberikan ini sudah banyak sekali dibanding dengan perintah semula dan tak ada alasan lagi untuk meminta keringanan lebih banyak lagi.

Dengan keimanan yang kuat dan ketabahan serta keyakinan penuh akan mencapai kemenangan. Hal ini terbukti ketika mereka menghadapi kaum musyrikin pada Perang Badar. Kekuatan mereka kurang sepertiga kekuatan musuh, tetapi mereka dapat menghancurkan kaum musyrikin itu.

Pada Perang Yarmµk jumlah tentara yang dikumpulkan oleh kaisar Heraklius, kerajaan Romawi Timur, untuk menghadapi tentara kaum Muslimin, tidak kurang dari 200.000 (dua ratus ribu) orang, sedang tentara kaum Muslimin yang dikirim para sahabat hanya 24.000 (dua puluh empat ribu) orang saja.

Berkat keimanan yang kokoh, kuat, dan semangat yang tinggi kaum Muslimin dapat mengalahkan musuh yang banyak itu.

 Diriwayatkan bahwa tentara Romawi yang mati pada pertempuran itu berjumlah 70.000 (tujuh puluh ribu) orang. Semua kemenangan yang diperoleh kaum Muslimin itu adalah sesuai dengan kehendak dan seizin Allah sebagai bukti bagi kebenaran ini. Allah berfirman:

كَمْ مِّنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً ۢبِاِذْنِ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

Betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. (al-Baqarah/2: 249)


Baca juga: Sabar dan Tekad Kuat, Kunci Sukses Menjadi Pemimpin


Ayat 67

Ayat ini sebagai teguran terhadap keputusan Rasulullah menerima tebusan dari kaum musyrikin untuk membebaskan orang-orang mereka yang ditawan kaum Muslimin.

Beliau condong kepada pendapat kebanyakan para sahabat yang menganjurkan agar para tawanan itu jangan dibunuh dan sebaiknya diterima saja uang tebusan dari mereka dan hasil tebusan itu dapat dipergunakan untuk kepentingan perjuangan dan persiapan perang bila musuh menyerang kembali.

Karena itu Allah menegaskan dalam ayat ini bahwa tidak patut bagi seorang Nabi dalam suatu peperangan menahan para tawanan dan menunggu putusan, apakah mereka akan dibebaskan begitu saja atau dengan menerima tebusan dari keluarga mereka, kecuali bila keadaan pengikut-pengikutnya, sudah kuat kedudukannya, dan musuhnya tidak berdaya lagi.

Keadaan kaum Muslimin sebelum Perang Badar masih lemah dan kekuatan mereka masih terlalu kecil dibanding dengan kekuatan kaum musyrikin. Bila para tawanan itu tidak dibunuh, malah dibebaskan kembali meskipun dengan membayar tebusan, sedang mereka adalah pemuka dan pemimpin kaumnya, tentulah mereka akan kembali menghasut, dan mengumpulkan kekuatan yang besar untuk menyerang kaum Muslimin.

Hal ini sangat berbahaya bagi kedudukan kaum Muslimin yang masih lemah. Seharusnya mereka tidak ditawan, tetapi langsung dibunuh di medan perang, sehingga dengan tewasnya para pembesar dan pemimpin itu kaum musyrikin akan merasa takut dan tidak berani lagi menyerang kaum Muslimin.

Firman Allah dalam Surah Muhammad/47: 4:

فَاِذَا لَقِيْتُمُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا فَضَرْبَ الرِّقَابِۗ حَتّٰٓى اِذَآ اَثْخَنْتُمُوْهُمْ فَشُدُّوا الْوَثَاقَۖ فَاِمَّا مَنًّاۢ بَعْدُ وَاِمَّا فِدَاۤءً حَتّٰى تَضَعَ الْحَرْبُ اَوْزَارَهَا ەۛ ذٰلِكَ ۛ وَلَوْ يَشَاۤءُ اللّٰهُ لَانْتَصَرَ مِنْهُمْ وَلٰكِنْ لِّيَبْلُوَا۟ بَعْضَكُمْ بِبَعْضٍۗ وَالَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ فَلَنْ يُّضِلَّ اَعْمَالَهُمْ

Maka apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir (di medan perang) maka pukullah batang leher mereka. Selanjutnya apabila kamu telah mengalahkan mereka tawanlah mereka dan setelah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang selesai. Demikianlah, dan sekiranya Allah menghendaki niscaya Dia membinasakan mereka tetapi Dia hendak menguji kamu satu sama lain. Dan orang-orang yang gugur di jalan Allah, Allah tidak menyia-nyiakan amal mereka. (Muhammad/47: 4)

Ayat ini bukan saja merupakan teguran kepada Nabi Muhammad, tetapi juga merupakan teguran kepada para sahabat dan kebanyakan kaum Muslimin yang menganjurkan agar para tawanan itu jangan dibunuh, karena mereka itu adalah kaum kerabat dan famili dan mungkin kelak akan menjadi orang yang beriman, apalagi uang tebusan mereka dapat dipergunakan untuk kepentingan mereka sendiri.

Dengan anjuran ini mereka telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan siasat perang. Apa pun alasan yang mereka kemukakan, mereka telah dipengaruhi harta benda duniawi dan dengan tidak disadari mereka telah lupa dan tidak memikirkan lagi akibat dari pelaksanaan anjuran itu.

Oleh sebab itu Allah dengan tegas menyatakan bahwa mereka menginginkan harta benda dan kehidupan duniawi, sedang Allah menghendaki agar mereka mencari pahala untuk di akhirat nanti dengan berjuang di jalan-Nya, meninggikan kalimat-Nya sampai kemuliaan dan ketinggian agama-Nya tercapai, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

وَلِلّٰهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُوْلِهٖ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ

Padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin. (al-Munafiqµn/63: 8)

Inilah cara yang dikehendaki Allah bagi orang-orang yang beriman dan berjuang dengan harta, dan segala kemampuan yang ada pada mereka bahkan dengan jiwa untuk mencapainya. Allah senantiasa akan menolong mereka. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 68-71


(Tafsir Kemenag)

Vaksinasi Covid-19 dalam Tinjauan Maqashid Al-Qur’an

0
Vaksinasi Covid-19
Vaksinasi Covid-19 dalam tinjauan Maqashid al-Quran

Pada saat ini, umat manusia di seluruh dunia sedang diuji dengan kemunculan wabah pandemi yang disebabkan oleh virus Covid-19. Menurut berita cnbcindonesia.com, BPOM menyatakan bahwa para peneliti di seluruh dunia, bahkan WHO pun belum menemukan obat yang secara spesifik dapat melawan bagi virus Covid-19. Oleh karena itu, sembari menunggu terciptanya obat tersebut, para peneliti mengembangkan vaksin sebagai penambah daya tahan imunitas tubuh.

Fenomena vaksinasi di Indonesia telah menjadi bahan diskusi dalam berbagai bidang keilmuan, mulai dari aspek ilmu kedokteran, ekonomi, sosial, dan agama. Dalam bidang agama, fenomena vaksinasi seringkali hanya dikaji dari melalui pendekatan fikih, yaitu berkenaan dengan halal tidaknya vaksin tersebut. Oleh karena itu, dalam artikel sederhana ini, penulis ingin memberikan perspektif baru dalam memandang vaksinasi Covid-19 melalui sudut pandang maqashid al-qur’an.

Al-Qur’an dan Kesehatan Jasmani

Dalam buku yang berjudul Mafhum al-Ishlah fi al-Qur’an al-Karim: Dirasah fi Asbabihi wa Madhahirihi, Ismail al-Hasani menjelaskan bahwa Al-Qur’an sangat mengutamakan akan kemaslahatan dan kesehatan jasmani manusia. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya ayat Al-Qur’an yang mendorong umat manusia agar memiliki pola hidup yang sehat. Dalam hal pola makan misalnya, Al-Qur’an telah mengaturnya dalam QS. al-A’raf [7] ayat 31:

۞ يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ – ٣١

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan

Al-Qur’an melarang perilaku berlebihan (israf) dalam pola makan bukan tanpa alasan. Hal tersebut dilarang karena dapat menyebabkan munculnya berbagai penyakit yang tentunya merusak kesehatan jasmani manusia. Oleh karena itu, ayat tersebut dipandang oleh Ibnu ‘Asyur sebagai ayat yang mencakup dasar-dasar dalam menjaga pola hidup sehat (hifz al-shihhah).

Baca Juga: Tinggalkan Rebahan, Mari Produktif di Tengah Pandemi: Tafsir Surat Al-Asr Ayat 1-3

Lebih jauh, menurut penelitian Hannan Lahham dalam karyanya Maqashid al-Qur’an al-Karim, ia menyebutkan bahwa terdapat 89 ayat Al-Qur’an yang mengupayakan terwujudnya kesehatan jasmani manusia (al-shihhah al-jasadiyah). Dalam perincianya, 89 ayat tersebut terbagi menjadi dua bagian, yaitu 56 ayat berbicara tentang perlindungan keberlangsungan kehidupan umat manusia dari hal-hal yang membahayakan, serta 33 ayat berkaitan dengan kesehatan seksual dan perlindungan hak mempunyai keturunan.

Dengan 89 ayat tersebut, Al-Qur’an telah mengupayakan agar terwujudnya kemaslahatan bagi kesehatan jasmani manusia dengan memerintahkan memakan makanan yang baik dan halal (QS. al-Baqarah [2]: 168), mengharamkan hal-hal yang dapat membahayakan tubuh manusia (QS. al-A’raf [7]: 157), memberikan keringanan (rukhsah) puasa bagi orang yang sakit (QS. al-Baqarah [2]: 184), pengharaman khamr sebagai upaya menjaga akal sehat manusia (QS. al-Ma’idah [5]: 90) dan masih banyak ayat lainya.

Vaksinasi Sebagai Upaya Mewujudkan Maqashid al-Qur’an

Tepat pada tanggal 13 Januari 2021, pemerintah Indonesia mulai melakukan rangkaian kegiatan vaksinasi Covid-19 terhadap masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, Presiden Joko Widodo menjadi orang Indonesia pertama yang disuntik vaksin Sinovac oleh wakil ketua tim dokter kepresidenan yaitu Abdul Muthalib. Hingga saat ini, menurut website covid19.go.id berdasarkan data terakhir dari Kementerian Kesehatan, jumlah penerima vaksin Covid-19 telah mencapai 4.116.862 orang. Jumlah tersebut masih 2,26 persen dari target vaksinasi sebanyak 181.554.465 penduduk Indonesia.

Pada awal bulan maret kemarin, dalam situs covid19.go.id, BPOM menyampaikan bahwa sebanyak 12 juta vaksin Covid-19 telah didistribusikan ke-34 provinsi serta 514 kabupaten dan kota. Ini merupakan salah satu ikhtiar dari pemerintah Indonesia dalam rangka melawan dan menekan penyebaran virus Covid-19. Selain itu, proses vaksinasi tersebut juga sebagai upaya dalam meningkatkan imunitas tubuh masyarakat Indonesia.

Jika demikian, maka vaksinasi tersebut termasuk dari upaya implementasi maqashid al-qur’an dalam hal menjaga kemaslahatan kehidupan manusia dari segi kesehatan jasmani. Hal ini dikonfirmasi oleh Abdul Karim al-Hamidi dalam karya magnum opusnya yaitu Maqashid al-Qur’an min Tasyri’ al-Ahkam. Abdul Karim al-Hamidi memasukkan urgensi menjaga kesehatan jasmani sebagai sebuah kebutuhan yang bersifat dharuriy, yaitu kebutuhan yang harus segera dipenuhi. Mengapa demikian?

Hal ini dikarenakan kesehatan jasmani sebagai salah satu aspek pendukung dalam sempurnanya pelaksanaan maqashid al-kubra Al-Qur’an dalam hal penciptaan manusia, yaitu sebagai khalifah di muka bumi, mendirikan keadilan, dan beribadah kepada Allah. Semua hal tersebut akan dapat terlaksana dengan sempurna apabila didukung dengan sehatnya kondisi jasmani manusia. Oleh karena itu, wajib bagi setiap individu untuk mewujudkan kemaslahatan kesehatan jasmani manusia tersebut. Pandangan yang demikian didasarkan pada kaidah ushul fikih berikut:

مَا لَايَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ

“Segala sesuatu yang mana sebuah kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan suatu hal, maka suatu hal tersebut wajib dikerjakan”

Selain untuk perlindungan diri, vaksinasi Covid-19 ini juga termasuk dari upaya dalam mewujudkan kemaslahatan umum. Hal ini dikarenakan kemungkinan orang yang sudah divaksin untuk menularkan virus Covid-19 terhadap orang lain sangatlah kecil. Tidak hanya itu, vaksinasi Covid-19 ini juga mendorong terbentuknya apa yang disebut dengan herd immunity, yaitu sebuah sistem kekebalan imunitas tubuh dalam bentuk kelompok masyarakat.

Baca Juga: Penjelasan Al Quran tentang Musibah dan Pandemi

Berdasarkan spirit tersebut, maka vaksinasi Covid-19 ini termasuk upaya yang nantinya menjadi salah satu penyebab dari terwujudnya kemaslahatan umat manusia, serta menghindarkan mereka dari kerusakan. Hal yang demikian termasuk dari maqashid al-qur’an, sebagaimana disampaikan oleh al-’Izz ibn ‘Abd al-Salam dalam kitab Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam berikut:

وَمُعْظَمُ مَقَاصِدِ الْقُرْآنِ الْأَمْرُ بِاكْتِسَابِ الْمَصَالِحِ وَأَسْبَابِهَا، وَالزَّجْرُ عَنْ اِكْتِسَابِ الْمَفَاسِدِ وَأَسْبَابِهَا

“Mayoritas tujuan Al-Qur’an (maqashid al-qur’an) adalah perintah untuk mewujudkan kemaslahatan dan hal-hal yang menyebabkanya, serta mencegah dari munculnya kerusakan dan hal-hal yang menyebabkanya”

Dengan demikian, maka sudah seharusnya kita mendukung penuh program-program pemerintah Indonesia yang mengupayakan terwujudnya kemaslahatan umum di era pandemi saat ini, baik dalam hal vaksinasi, maupun protokol kesehatan. Sehingga pandemi Covid-19 ini dapat segera berakhir dan kita bisa hidup secara normal kembali. Wallahu A’lam

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 64-65

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 64-65 ini berbicara mengenai dua hal. Pertama berbicara mengenai motivasi Allah kepada Nabi Muhammad agar tidak terlalu risau karena Allah pasti akan menolongnya dengan bantuan umat Islam yang benar-benar ikhlas.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 61-63


Pembicaraan kedua dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 64-65 ini berisi tentang perintah kepada Nabi Muhammad agar selalu mengobarkan semangat juang yang dimiliki oleh umat Islam.

Ayat 64

Pada ayat ini Allah mengulangi kembali jaminan-Nya kepada Nabi Muhammad, bahwa Allah akan menolongnya dengan bantuan kaum Muslimin yang benar-benar beriman dan yakin sepenuhnya bahwa Allah bersama mereka.

Menurut riwayat dari Ibn Abbas, ayat ini turun sehubungan dengan masuk Islamnya Umar, menyusul Islamnya 33 orang laki-kali dan enam orang perempuan, seperti dikemukakan Jubair (lihat Tafsir al-Kabir, Jilid VIII, hlm 197-198).

Dengan keimanan dan keyakinan itu tekad mereka tak akan digoyahkan oleh kejadian atau ancaman apa pun. Keimanan dan keyakinan itu digambarkan Allah dalam firman-Nya:

اَلَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ اِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ اِيْمَانًاۖ وَّقَالُوْا حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang ketika ada orang-orang mengatakan kepadanya, ”Orang-orang (Quraisy) telah mengumpul-kan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka,” ternyata (ucapan) itu menambah (kuat) iman mereka dan mereka menjawab, ”Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (Āli Imran/3: 173)

Maka dengan keyakinan dan tekad yang bulat yang ditimbulkan oleh keimanan dan jaminan Allah, kaum Muslimin siap untuk menerima perintah Allah, bagaimana pun berat dan sulitnya, meskipun dengan perintah itu mereka akan menghadapi musuh yang banyak atau bahaya yang besar.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al-Hajj Ayat 39-40: Membaca Pesan Perdamaian di Balik Ayat-Ayat Perang


Ayat 65

Allah  memerintahkan  kepada Rasul-Nya  agar  mengobarkan  semangat kaum Muslimin untuk berperang menghadapi musuh dalam peperangan.

Nabi melaksanakan  perintah  ini dengan  mendorong  para  sahabat  untuk maju berperang seperti dalam menghadapi Perang Badar.

Meskipun jumlah tentara kafir Quraisy dari Mekah sangat banyak, dan perlengkapan mereka lebih baik, tetapi Nabi mendorong orang-orang yang beriman dengan mengatakan, “Qµmµ ila jannatin arsyuha as-samawat wa al-ard (Bangkitlah kamu semua maju ke medan perang yang menyediakan surga yang luas, seluas langit dan bumi).”

Dalam ayat ini Allah juga menegaskan bahwa kekuatan pasukan Muslim yang benar-benar beriman dan penuh tawakal kepada Allah akan dapat mengalahkan kekuatan musuh meskipun sepuluh kali lipat banyaknya.

Andaikata pasukan kaum Muslimin hanya terdiri dari dua puluh orang prajurit, mereka dapat mengalahkan pasukan musuh yang terdiri dari dua ratus orang.

Jika pasukan mereka terdiri dari seratus orang, mereka dapat mengalahkan pasukan musuh yang terdiri dari seribu orang, demikianlah seterusnya, setiap prajurit Allah dapat mengalahkan sepuluh musuh. Ini adalah satu perbandingan kekuatan yang tidak ada taranya dalam sejarah, karena cara peperangan pada masa itu bukan seperti peperangan pada masa kini.

Peperangan pada masa sekarang sangat tergantung kepada kekuatan persenjataan dan kesempurnaannya. Pasukan yang kecil jumlah orangnya, yang diperlengkapi dengan senjata modern yang ampuh dapat saja dengan mudah mengalahkan pasukan besar tetapi hanya mempunyai senjata biasa saja.

Peperangan pada masa itu benar-benar dengan mengadu kekuatan dan kecakapan karena alat-alat perang yang digunakan boleh dikatakan sama macam dan mutunya. Tidaklah mungkin rasanya suatu pasukan kecil akan dapat menang atas pasukan besar yang jumlahnya sepuluh kali lipat. Tetapi inilah yang ditegaskan Allah atau diperintahkan-Nya kepada kaum Muslimin.

Mereka tidak boleh merasa gentar dan takut menghadapi lawan yang berlipat-ganda, karena mereka adalah orang-orang beriman yang berjuang bukan untuk kepentingan diri sendiri, atau untuk mencari harta benda dan kemegahan duniawi, tetapi mereka adalah tentara Allah yang berjuang untuk membela kebenaran; untuk meninggikan kalimah Allah dan untuk kejayaan agama yang telah diridai-Nya.

Bila mereka gugur dalam pertempuran, mereka akan mati syahid, balasannya di sisi Allah tidak ternilai besarnya.

Lawan-lawan kaum Muslimin adalah orang-orang kafir yang hanya ingin mempertahankan kedudukan, pangkat dan harta benda.

Mereka tidak mempunyai tujuan hidup yang tinggi dan mulia karena mereka tidak percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tidak percaya kepada hari kebangkitan. Hidup mereka adalah untuk berbangga-bangga dan mengutamakan harta benda belaka.

Adapun orang Yahudi di Medinah meskipun percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi mereka tidak dapat lagi melihat kebenaran, karena mata mereka telah disilaukan oleh kesenangan dunia.

Mereka ingin hidup, kalau dapat seribu tahun, mereka telah karam dalam dunia kebendaan, tak dapat luput dari sifat loba dan serakah.

Kedua golongan ini benar-benar telah sesat dari jalan yang hak, tidak dapat lagi membedakan mana yang hak, mana yang batil, mereka tidak tahu lagi jalan yang membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Orang dengan sifat demikian ini bila dihadapkan kepada pertempuran yang dahsyat mereka akan lari tunggang langgang karena lebih mengutamakan hidup daripada mati. Hal ini dijelaskan Allah dengan firman-Nya:

لَاَنْتُمْ اَشَدُّ رَهْبَةً فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنَ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ

Sesungguhnya dalam hati mereka, kamu (muslimin) lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka orang-orang yang tidak mengerti. (al-Hasyr/59: 13)

Kalau Allah memerintahkan agar kaum Muslimin berani menghadapi musuh Allah yang berjumlah sepuluh kali jumlah mereka dan menyatakan bahwa mereka akan menang, maka kemenangan itu adalah pasti meskipun tidak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.

Karena itu mereka tidak boleh melarikan diri dari pertempuran dan harus bertempur mati-matian sampai tercapai kemenangan. Inilah derajat yang paling tinggi yang dapat dicapai oleh kaum Muslimin.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 66-67


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 61-63

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 61-63 berbicara mengenai kemungkinan lain yang bisa dicapai selain berperang. Jika permasalahan bisa diselesaikan dengan cara perundingan mengapa tidak. Namun jika tidak ada pilihan selain berperang, maka Allah menjamin kemenangan umat Islam.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 60


Ayat 61

Bila musuh-musuh Islam itu, baik orang Yahudi maupun orang-orang musyrikin condong kepada perdamaian, mungkin karena mereka benar-benar ingin damai atau karena melihat kekuatan dan kekompakan kaum Muslimin atau karena belum mengkonsolidasikan diri untuk berperang atau karena sebab-sebab lain, maka hendaklah dijajaki kemungkinan damai.

Sesudah ternyata bahwa berdamai tidak akan merugikan siasat perjuangan Islam, hendaklah diterima perdamaian itu, tentu saja dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang dapat menjamin kepentingan bersama dan tidak merugikan masing-masing pihak, karena dasar perjuangan Islam adalah perdamaian.

Hal ini telah dipraktikkan Rasulullah pada waktu beliau menerima perdamaian Hudaibiy±h antara kaum Muslimin dan kaum musyrikin pada tahun keenam Hijri.

Meskipun syarat-syarat perdamaian Hudaibiyah itu jika dilihat sepintas merugikan kaum Muslimin, sehingga banyak para sahabat yang merasa keberatan, tetapi Rasulullah, yang mempunyai pandangan jauh dan taktik serta siasat yang bijaksana, dapat menerimanya.

Ternyata kemudian sebagaimana diutarakan para ahli sejarah bahwa Perdamaian Hudaibiyah itu adalah merupakan landasan bagi kemenangan kaum Muslimin selanjutnya.

Setelah perjanjian damai diterima, hendaklah Nabi bersama kaum Muslimin bertawakal sepenuhnya kepada Allah, karena Dialah Yang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui hakikat yang sebenarnya dari perdamaian, apakah orang-orang Yahudi dan kaum musyrikin benar-benar jujur dan menginginkan terlaksananya perdamaian, atau hanya karena taktik dan siasat, atau karena hendak menipu atau menunggu lengahnya kaum Muslimin saja.

Ayat 62-3

Bila kaum Yahudi dan kaum musyrikin hendak menipu atau hendak mencari kesempatan untuk menyerang dengan adanya perdamaian, maka Allah memberikan jaminan kepada Nabi Muhammad saw bahwa hal itu tidak akan membahayakan kaum Muslimin.

Cukuplah Allah (sebagai pelindung), Allah senantiasa melindungi Rasul-Nya dan melindungi umat Islam dan akan memberikan kemenangan kepada mereka bila musuh-musuh itu menyerang kembali.

Allah telah memperkuat kedudukan Rasul-Nya dengan pertolongan yang diberikan-Nya kepada kaum Muslimin di masa-masa yang lalu seperti yang terjadi pada Perang Badar, di mana kaum Muslimin dalam keadaan lemah dan sedikit jumlahnya.

Mereka dapat mengalahkan kaum musyrikin yang berlipat ganda dan lengkap per-senjataannya.

Allah telah mempersatukan hati kaum Muslimin sehingga mereka hidup rukun dan damai, cinta mencintai, dan saling menolong, sehingga mereka merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, padahal mereka sebelumnya hidup bersuku-suku dan bermusuhan antara satu golongan dengan golongan yang lain.

Mereka pada mulanya terdiri dari kaum Muslimin yang datang ke Medinah dan kaum An¡ar penduduk Medinah yang menyambut kedatangan kaum Muslimin itu. Kaum An¡ar sendiri dahulunya terpecah-belah terdiri dari suku Aus dan Khazraj.

Antara kedua suku ini senantiasa terjadi permusuhan dan peperangan. Tetapi dengan kehendak Allah mereka semuanya menjadi umat yang bersatu di bawah panji-panji iman, bersedia mengorbankan harta dan jiwa untuk menegakkan kalimah Allah.

Ini adalah satu karunia dari Allah yang tidak ternilai harganya yang tidak dapat dicapai walaupun dengan mengorbankan semua harta dan kekayaan.


Baca juga: Para Tabi’in Utama Jebolan Madrasah Tafsir Ubay Ibn Ka’ab di Kota Madinah


Kesatuan hati, kesatuan tekad dan kesatuan cita-cita dan ideologi adalah hal yang amat penting dan berharga untuk mencapai satu cita-cita.

Inilah karunia Allah yang telah dimiliki oleh kaum Muslimin pada masa itu. Karena pentingnya karunia itu dan amat tinggi nilainya Allah mengingatkan mereka agar selalu mengingat Allah dengan firman-Nya:

وَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ

Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ali Imran/3: 103)

Maka dengan pertolongan Allah dan persatuan kaum Muslimin serta rasa cinta, kasih sayang yang terjalin antara sesama mereka, betapa pun kesulitan dan bagaimana pun besar bahaya yang akan menimpa tentu akan dapat ditanggulangi dan diatasi.

Allah memperingatkan pula dalam ayat ini bagaimana tingginya nilai persatuan itu, sehingga bila Nabi Muhammad sendiri menghabiskan semua kekayaan yang ada di bumi untuk mencapainya pasti dia tidak akan berhasil.

Tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka dengan iman yang kuat dan rasa kasih-sayang yang tinggi. Ini adalah satu tanda bahwa Allah meridai kaum Muslimin dan merestui perjuangan mereka dan mereka tidak perlu merasa khawatir sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.


Baca setelahnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 64-65


(Tafsir Kemenag)

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 60

0
tafsir surah al anfal
tafsir surah al anfal

Tafsir Surah Al Anfal Ayat 60 berbicara mengenai perintah Allah kepada umat Islam untuk bersiap-siap menghadapi orang-orang kafir, baik yang secara terang-terangan mengadakan permusuhan ataupun yang belum secara terang-terangan memusuhi.


Baca sebelumnya: Tafsir Surah Al Anfal Ayat 56-59


Persiapan yang yang dibicarakan dalam Tafsir Surah Al Anfal Ayat 60 ini adalah persiapan iman yang meliputi psikis dan juga persiapan fisik. Keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Ayat 60

Untuk menghadapi pengkhianatan kaum Yahudi dan persekongkolan mereka dengan kaum musyrikin dengan tujuan menghancurkan kaum Muslimin, Allah memerintahkan pada ayat ini agar kaum Muslimin menyiapkan kekuatan guna menghadapi musuh-musuh Islam, baik musuh yang nyata mereka ketahui, maupun yang belum menyatakan permusuhan-nya secara terang-terangan.

Yang harus dibina lebih dahulu adalah kekuatan iman yang akan menjadikan mereka percaya dan yakin bahwa mereka adalah pembela kebenaran, penegak kalimah Allah di muka bumi dan mereka pasti menang dalam menghadapi dan membasmi kezaliman dan keangkara-murkaan.

Kekuatan iman yang sempurna inilah yang dapat membina kekuatan mental yang selalu ditanamkan pada hati segenap rakyat agar mereka benar-benar menjadi bangsa yang tangguh dan perkasa dalam menghadapi berbagai macam kesulitan dan cobaan.

Bangsa yang kuat mentalnya tidak akan dapat dikalahkan oleh bangsa lain bagaimana pun sempurnanya peralatan dan senjata mereka.

Hal ini telah dibuktikan dalam Perang Badar di mana tentara kaum musyrikin yang jauh lebih besar jumlah dan persenjataannya dapat dipukul mundur oleh tentara Islam yang sedikit jumlahnya dan amat kurang persenjataannya, tetapi memiliki mental yang kuat dan iman yang teguh.

Di samping kekuatan iman/mental mereka, harus pula dipersiapkan kekuatan fisiknya karena kedua kekuatan ini harus digabung menjadi satu, kekuatan fisik saja akan kurang keampuhannya bila tidak disertai dengan kekuatan mental. Demikian pula sebaliknya kekuatan mental saja tidak akan berdaya bila tidak ditunjang oleh kekuatan fisik.

Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mempersiapkan tentara berkuda yang ditempatkan pada tempat strategis, siap untuk menggempur dan menghancurkan setiap serangan musuh dari manapun datangnya.

Pada   masa Nabi pasukan berkuda inilah yang amat strategis nilainya dan amat besar keampuhannya. Suatu negeri yang mempunyai pasukan berkuda yang besar akan disegani oleh negeri-negeri lain, dan  negeri lain itu akan berpikir lebih dulu bila akan menyerang negeri itu.

Pada masa sekarang pasukan berkuda (kavaleri) telah digantikan oleh pasukan tank baja, masalah peperangan pada masa kini sudah lain corak dan bentuknya dari peperangan masa dulu. Alat senjata yang dipergunakan sudah beragam pula, berupa armada udara, armada laut, bahkan sampai memper-gunakan persenjataan yang sangat canggih. Jika pada masa Nabi Muhammad saw.

Allah memerintahkan agar mempersiapkan pasukan berkuda, maka pada masa sekarang kaum Muslimin harus mempersiapkan berbagai senjata modern untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh.


Baca juga: Tafsir Surat Al-Hajj Ayat 39: Perang itu Diizinkan Bukan Diperintahkan


Sebagaimana diketahui senjata-senjata modern sekarang ini adalah hasil dari kemajuan teknologi. Maka umat Islam wajib berusaha mencapai ilmu pengetahuan setinggi-tingginya dan menguasai teknologi dan selalu mengikuti perkembangan dan kemajuannya.

Untuk mencapai ilmu dan teknologi yang tinggi kita memerlukan biaya yang sangat besar. Kita wajib mempercepat kemajuan ekonomi dan memperbesar penghasilan rakyat. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentingan dan pertahanan negaranya.

Suatu negara yang kuat mentalnya, kuat pertahanannya, dan kuat pula perekonomiannya pasti akan disegani oleh negara lain dan mereka tidak berani memusuhinya apalagi menyerangnya. Inilah yang dituntut Allah dari kaum Muslimin.

Anjuran menafkahkan harta f³ sab³lillah terdapat dalam beberapa ayat dalam Al-Qur′an di antaranya firman Allah:

وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ وَاَحْسِنُوْا ۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ

Dan infakkanlah (hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri, dan berbuat baiklah. Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. (al-Baqarah/2: 195)

Dan firman Allah swt:

وَمَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ وَتَثْبِيْتًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۢ بِرَبْوَةٍ اَصَابَهَا وَابِلٌ فَاٰتَتْ اُكُلَهَا ضِعْفَيْنِۚ فَاِنْ لَّمْ يُصِبْهَا وَابِلٌ فَطَلٌّ  ۗوَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Dan  perumpamaan  orang  yang menginfakkan hartanya untuk mencari rida Allah dan untuk memperteguh jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buah-buahan dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka embun (pun memadai). Allah  Maha  Melihat  apa yang kamu kerjakan.  (al-Baqarah/2: 265)

Allah menjanjikan pahala yang besar kepada setiap orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, dan dia tidak akan dirugikan sedikit pun karena menafkahkan hartanya. Sebaliknya perbuatan itu akan mendapat pahala yang berlipat ganda.


Baca setelahnya:  Tafsir Surah Al Anfal Ayat 61-63


(Tafsir Kemenag)

Hak Waris Bagi Suami Istri dan Saudara Menurut Al-Qur’an

0
Hak Waris bagi Suami Istri
Hak Waris bagi Suami Istri dan saudara

Pada artikel sebelumnya telah dijelaskan mengenai pembagian warisan bagi anak dan orang tua serta berbagai ketentuan hukum di dalamnya. Dalam kesempatan ini, penulis akan menerangkan secara  konkret tentang hak waris bagi suami istri dan saudara yang bersangkutan. Penjelasan tersebut didasarkan pada surah an-Nisa’ [4] ayat 12 yang berisi tentang aturan kewarisan.

Dalam ajaran Islam, ketika seseorang meninggal dunia dan ia meninggalkan beberapa harta, maka harta yang ditinggalkannya menjadi hak ahli waris (Fath al-Mu’in). Oleh karena itu, sebaiknya pembagian harta warisan dilakukan sesegera mungkin dan tidak dibenarkan adanya penundaan tanpa alasan yang signifikan sesuai kesepakatan ahli waris.

Satu hal yang harus dipahami, yakni harta warisan adalah hak bagi setiap orang yang secara sah menjadi ahli waris. Karena itu, orang yang bersangkutan dapat meminta haknya kapan pun ia mau, baik ketika membutuhkan atau tidak. Dengan demikian, penundaan pembagian hak waris tidak dibenarkan adanya, karena ini membuat hak orang lain tertunda atau terganggu.

Baca Juga: Ingin Memiliki Keluarga Sakinah? Amalkan Doa Surat Al-Furqan Ayat 74

Penundaan pembagian harta warisan bagi ahli waris di sisi lain juga dapat menimbulkan problem di kemudian hari. Misalnya, Ahmad Sarwat dalam buku 10 Penyimpangan Pembagian Waris di Indonesia menjelaskan berbagai dampak negatif penundaan seperti pertikaian, putusnya tali silaturrahmi dan tindak pidana. Dengan kata lain, penundaan penuaian hak – dalam konteks tertentu – merupakan sumber masalah.

Surah an-Nisa’ [4] Ayat 12: Hak Waris Bagi Suami Istri dan Saudara

Untuk menghindari berbagai persoalan problematik terkait harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal, sejak berabad-abad yang lalu Islam – melalui Al-Qur’an – telah memberikan aturan khusus terkait pembagian harta terebut; mulai dari hak waris bagi suami istri, anak, orang tua, hingga saudara yang bersangkutan jika tidak memiliki anak.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang berbicara mengenai hak bagi suami istri dan saudara adalah surah an-Nisa’ [4] ayat 12 yang berbunyi:

 وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَاجُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصِيْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ وَاِنْ كَانَ رَجُلٌ يُّوْرَثُ كَلٰلَةً اَوِ امْرَاَةٌ وَّلَهٗٓ اَخٌ اَوْ اُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا السُّدُسُۚ فَاِنْ كَانُوْٓا اَكْثَرَ مِنْ ذٰلِكَ فَهُمْ شُرَكَاۤءُ فِى الثُّلُثِ مِنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُّوْصٰى بِهَآ اَوْ دَيْنٍۙ غَيْرَ مُضَاۤرٍّ ۚ وَصِيَّةً مِّنَ اللّٰهِ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَلِيْمٌۗ ١٢

“Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.  Tetapi  jika  saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun.” (Q.S An-Nisa’ [4] ayat 12).

Imam al-Syaukani dalam tafsirnya, Fath al-Qadir, menyebutkan bahwa surah an-Nisa’ [4] ayat 12 merupakan salah satu poros agama Islam, salah satu tonggak hukum, dan induk dari Al-Qur’an, karena ia memuat inti dari ilmu faraid. Ilmu ini – menurutnya – adalah ilmu yang paling utama dan yang paling di kalangan sahabat. Kita dapat menemukan banyak riwayat berkaitan dengan diskusi mereka terkait ilmu tersebut.

Menurut Qiraish Shihab, ayat di atas merupakan kelanjutan dari rangkaian ayat-ayat sebelumnya yang berbicara mengenai hak waris dan pembagian warisan. Jika rangkaian ini diamati secara saksama, maka akan dapat dilihat bahwa ahli waris merupakan orang-orang yang memiliki keterkaitan secara langsung dengan almarhum atau almarhumah, baik faktor keturunan maupun pernikahan.

 Pada surah an-Nisa’ [4] ayat 12 ini dijelaskan tentang hak waris bagi suami istri dan saudara jika almarhum atau almarhumah tidak meninggalkan ayah dan anak (kalalah). Para suami yang istrinya meninggal – tanpa meninggalkan anak seorang pun, baik darinya atau dari orang lain – akan mendapatkan seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-nya tersebut.

Jika seorang istri meninggalkan anak yang berhak mendapatkan warisan, maka sang suami akan mendapatkan seperempat bagian dari harta yang ditinggalkan dengan catatan bahwa wasiat dan hutangnya (istri) telah dipenuhi. Jika belum, maka sebaiknya hutang atau wasiat itu ditunaikan terlebih dahulu, baru pembagian harta warisan dilaksanakan sesuai aturan yang berlaku (Tafsir Al-Misbah [2]: 365).

Kemudian – sebaliknya – jika seorang suami meninggal dan tidak memiliki anak, maka sang istri akan mendapatkan seperempat harta yang ditinggalkan. Namun, jika si suami memiliki anak yang berhak mendapatkan warisan, maka si istri hanya memperoleh seperdelapan dari harta yang ditinggalkan. Warisan ini baru bisa dibagikan setelah hutang dan wasiat suami telah terpenuhi.

Ada penafsiran menarik dari Muhammad Abduh – sebagaimana ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar – mengenai surah an-Nisa’ [4] ayat 12. Menurutnya, alasan kenapa pada ayat ini hanya mengindikasikan bagi untuk seorang istri – bukan dua, tiga atau empat – adalah karena Allah swt ingin mengisyaratkan kepada manusia pada hakikatnya pernikahan berlandaskan monogami, bukan poligami.

Baca Juga: Keluarga Ideal Menurut al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Selanjutnya, pada surah an-Nisa’ [4] ayat 12 juga dijelaskan tentang bagaimana pembagian harta warisan orang yang wafat – baik laki-laki maupun perempuan – tanpa meninggalkan ayah dan anak, namun ia memiliki seorang saudara laki-laki atau perempuan dari ibu. Dalam kasus ini, masing-masing saudara tersebut mendapatkan seperenam bagian dari harta warisan.

Jika saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu atau bersama-sama mendapatkan sepertiga dari warisan yang ditinggalkan dan harus dibagi secara merata. Pada kesempatan kali ini, Allah swt kembali mengingatkan bahwa harta warisan dibagikan setelah hutang, wasiat, atau sejenisnya telah lunas dan diselesaikan. Inilah wasiat-Nya bagi manusia yang harus dilaksanakan, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha penyantun. Wallahu a’lam.

Tafsir Surah Ar-Rahman Ayat 26-28: Semua Makhluk Pasti Tiada, Hanya Allah Swt. yang Abadi

0
tafsir surah Ar-Rahman ayat 26-28
tafsir surah Ar-Rahman ayat 26-28

Manusia dengan segala fasilitas nikmat yang ia rasakan, baik yang ada pada fisiknya maupun segala hal yang berada di sekitarnya, merupakan manifestasi dari sifat ar-Rahman dan ar-Rahim Allah Swt. Pada kondisi normal dan baik-baik saja, seringkali manusia lalai dan berbuat semaunya, seakan dia lah pemilik alam semesta ini, maka tidak heran jika manusia diingatkan oleh-Nya lewat ayat-ayat kauniyah seperti cobaan pandemi penyakit dan bencana alam, dan juga lewat ayat-ayat qauliyyah, yaitu bahwa dirinya tidaklah kekal, di dunia ini hanya sementara, seperti pada tafsir surah Ar-Rahman ayat 26-28 berikut:

كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ

Semua yang ada di bumi itu akan binasa.” (QS. Ar-Rahman : 26)

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 19-21: Fenomena Pertemuan Dua Lautan

Kenapa Allah Swt memberi peringatan semacam itu? Apa faidahnya bagi umat manusia? Imam Fakhruddin Ar-Razi di dalam masterpiece-nya, Mafatihul Ghaib juz 15, hlm. 109 menyampaikan tafsir surah Ar-Rahman ayat 26-28 ini dengan menjelaskan faidah-faidah dari adanya peringatan di ayat tersebut;

مِنْهَا: الْحَثُّ عَلَى الْعِبَادَةِ وَصَرْفِ الزَّمَانِ الْيَسِيرِ إِلَى الطَّاعَةِ،

‘Salah satunya adalah memotivasi manusia untuk beribadah dan memanfaatkan waktu yang singkat untuk berbuat taat (kepadaNya)’.

وَمِنْهَا: الْمَنْعُ مِنَ الْوُثُوقِ بِمَا يَكُونُ لِلْمَرْءِ

‘Mencegah dari sifat ketergantungan pada segala hal yang ada pada manusia’

وَمِنْهَا: الْأَمْرُ بِالصَّبْرِ إِنْ كَانَ فِي ضُرٍّ فَلَا يَكْفُرُ بِاللَّهِ مُعْتَمِدًا عَلَى أَنَّ الْأَمْرَ ذَاهِبٌ وَالضُّرَّ زَائِلٌ

‘Perintah agar bersabar jika dalam kesusahan, dan tidak kufur pada Allah Swt, karena berpedoman pada ‘segala suatu akan hilang, maka kesusahan pun akan hilang’.’

ومنها: حسن التَّوْحِيدِ وَتَرْكُ الشِّرْكِ الظَّاهِرِ وَالْخَفِيِّ جَمِيعًا لِأَنَّ الفاني لا يصلح لأن يعبد

‘Tauhid (meng-esa-kanNya) dengan benar, dan meninggalkan syirik (menyekutukanNya) baik secara dhohir maupun batin, karena sesuatu yang fana’ (rusak) tidak layak untuk disembah.’

Baca Juga: Tafsir Surat Ar-Rahman Ayat 14-16: Asal Mula Penciptaan Manusia dan Jin

Setelah Allah Swt memperingatkan manusia dengan mengingatkan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini akan musnah, selanjutnya Allah Swt menegaskan kembali bahwa hanya DzatNya lah yang kekal abadi :

وَيَبْقى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالْإِكْرامِ

Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)

Mengapa ayat ini perlu di-firman-kan? Bukankah jika sudah ada ayat sebelumnya yang menjelaskan semua makhluk di muka bumi ini akan musnah, secara otomatis mengandung mafhum mukholafah bahwa pasti hanya Dzat Allah lah yang kekal? Namun kenyataannya toh ayat ini ada. Syekh Sulaiman Al-Jamal mencoba membuat jawaban dari pertanyaan di atas, dengan berargumen:

في وصفه بالبقاء بعد ذكر فناء الخلق إيذان بأنه تعالى يفيض عليهم بعد فنائهم اثار لطفه وكرمه

“MenyifatiNya dengan kekal setelah menjelaskan ke-fana’-an makhluk adalah pemberitahuan bahwa sesungguhunya Allah Swt akan mencurahkan sifat kasih sayang dan kemuliaanNya kepada mereka, setelah mereka fana’ (rusak).” (Syekh Sulaiman Al-Jamal, Hasyiyah Al-Jamal ‘Ala Al-Jalalain, juz 7, hlm. 368)

Syekh Al-Jamal dalam redaksi tafsir surah Ar-Rahman ayat 26-28 di atas mau menyampaikan alasan mengapa setelah Allah Swt menjelaskan ketidak abadian makhlukNya, lalu diiringi dengan penjelasan sifat abadiNya serta sifat Kebesaran dan KemuliaanNya adalah karena menurut beliau, meskipun Allah Swt sudah memperingatkan dengan tegas bahwa makhluk tidak lah abadi, namun Dia tetap memberi harapan besar bahwa Dia sangat menyayangi makhlukNya.

Allah tetap abadi untuk kemudian menunjukkan kasih sayang kepada makhlukNya setelah ketiadaan mereka. Jadi, sifat fana’ (rusak/tiada) yang dimiliki oleh makhluk tidak menjadi alasan berhentinya kasih saying Allah, karena Allah abadi.

Sampai di sini dapat diambil benang merah bahwa Allah Swt pada awalnya memperingatkan hambaNya bahwa mereka semua dan segala yang ada di alam ini akan musnah, tapi di sisi lain Allah Swt juga memberi harapan besar kepada makhlukNya dengan menampakkan sifat Maha Kasih SayangNya, dan sifat KemuliaanNya agar makhlukNya tetap optimis dalam beramal.

Lalu bagaimana sikap kita setelah memahami kedua ayat di atas? Sudahkah kita berusaha untuk menjadi lebih baik? Bukankah sudah sering kali diberi pertanyaan dengan ayat:

فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُما تُكَذِّبانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 28)

Wallahu A’lam

Beberapa Makna Istifham (Kalimat Pertanyaan) dalam Al-Quran (2)

0
makna istifham dalam Al-Quran
makna istifham dalam Al-Quran

Dalam artikel sebelumnya telah dijelaskan pengertian dari istifham, macam-macam adat al-istifham (perangkat yang digunakan untuk bertanya), dan 4 makna istifham dari 18 makna istifham yang disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam karyanya Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran. Artikel ini akan melanjutkan pembahasan sebelumnya tentang makna-makna istifham tersebut.

Baca Juga: Beberapa Makna Istifham (Kalimat Pertanyaan) dalam Al-Quran

  1. Al-‘Itab (العتاب)

Itab artinya adalah sindiran atau teguran. Makna istifham seperti ini salah satunya terdapat dalam Q.S. Al-Hadid [57]: 16.

أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ

Artinya: Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah

Dalam al-Quran QS. At-Taubah [9]: 43, Allah menegur Nabi Muhammad Saw. atas pemberian izinnya terhadap orang munafik yang tidak ingin ikut perang Tabuk dengan selembut-lembutnya teguran. Teguran tersebut Allah sampaikan dengan menggunakan kalimat pertanyaan. Allah Swt. berfirman:

عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ (43)

Artinya: Semoga Allah memaafkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?

  1. At-Tadzkir (التذكير)

Makna istifham yang keenam adalah at-Tadzkir, yaitu memberi peringatan. Salah satu contohnya terdapat dalam al-Quran Q.S. Al-Baqarah [2]: 33

قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ غَيْبَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَأَعْلَمُ مَا تُبْدُونَ وَمَا كُنْتُمْ تَكْتُمُونَ (33)

Artinya: Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?”

Baca Juga: Empat Model Al Quran dalam Menyampaikan Informasi

  1. Al-Iftikhar (الإفتخار)

Al-Iftikhar artinya membanggakan diri. Contoh dari istifham yang memiliki makna al-Iftikhar adalah Q.S. Az-Zukhruf [43]: 51

أَلَيْسَ لِي مُلْكُ مِصْرَ وَهَذِهِ الْأَنْهَارُ تَجْرِي مِنْ تَحْتِي أَفَلَا تُبْصِرُونَ (51)

Artinya: Bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?

  1. At-Tafkhim (التفخيم)

At-Tafkhim berarti mengagungkan atau membesar-besarkan. Istifham seperti ini salah satunya terdapat dalam Q.S. Al-Kahfi [18]: 49

مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا

Artinya: Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya;

  1. At-Tahwil (التهويل) & At-Takhwif (التخويف)

At-Tahwil dan at-Takhwif memiliki arti yang sama, yaitu menakut-nakuti. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Haqqah [69]: 1-2 dan Al-Qariah []: 1-2

الْحَاقَّةُ (1) مَا الْحَاقَّةُ (2)

Artinya: Hari kiamat, apakah hari kiamat itu?

الْقَارِعَةُ (1) مَا الْقَارِعَةُ (2)

Artinya: Hari Kiamat, apakah hari Kiamat itu?

  1. At-Tashil (التسهيل) & At-Takhfif (التخفيف)

Makna istifham yang kesepuluh adalah At-Tashil & at-Takhfif, yang artinya memudahkan dan meringankan. Makna istifham ini adalah lawan atau antonim dari makna istifham nomor sembilan, yaitu menakut-nakuti. Contohnya terdapat dalam Q.S. An-Nisa [4]: 39

وَمَاذَا عَلَيْهِمْ لَوْ آمَنُوا بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقَهُمُ اللَّهُ وَكَانَ اللَّهُ بِهِمْ عَلِيمًا (39)

Artinya: Apakah kemudharatannya bagi mereka, kalau mereka beriman kepada Allah dan hari kemudian dan menafkahkan sebahagian rezki yang telah diberikan Allah kepada mereka? Dan adalah Allah Maha Mengetahui keadaan mereka.

  1. At-Tahdid (التهديد) & Al-Wa’id (الوعيد)

At-Tahdid & al-Wa’id artinya adalah mengancam atau ancaman. Contoh istifham yang memiliki makna ancaman terdapat dalam Q.S. Al-Mursalat [77]: 16

أَلَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ (16)

Artinya: Bukankah Kami telah membinasakan orang-orang yang dahulu?

  1. At-Taswiyyah (التسوية)

At-Taswiyyah artinya adalah menyamaratakan. Istifham jenis ini adalah istifham yang masuk pada jumlah (kalimat) yang posisinya dapat digantikan oleh masdhar. Contoh istifham ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 6

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ

Artinya: Sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman.

  1. Al-Amru (الامر)

Istifham yang memiliki makna al-Amru berarti istifham tersebut menunjukkan perintah. Contohnya terdapat dalam Q.S. Ali Imran [3]: 20

وَقُلْ لِلَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ وَالْأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ

Artinya: Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu (mau) masuk Islam.”

Maksud dari kalimat pertanyaan أَأَسْلَمْتُمْ itu adalah ‘masuk islamlah kalian.

Istifham ini juga terdapat dalam Q.S. Al-Furqan [25]: 20

وَجَعَلْنَا بَعْضَكُمْ لِبَعْضٍ فِتْنَةً أَتَصْبِرُونَ وَكَانَ رَبُّكَ بَصِيرًا

Artinya: Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu maha Melihat.

Maksud dari kalimat tanya pada ayat tersebut adalah ‘bersabarlah.’

  1. At-Tanbih (التنبيه)

AtTanbih berarti memberi peringatan. Istifham yang bermakna tanbih itu juga termasuk dalam bagian perintah (الامر). Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Furqan [25]: 45

أَلَمْ تَرَ إِلَى رَبِّكَ كَيْفَ مَدَّ الظِّلَّ

Artinya: Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang

Karena istifham yang memberikan peringatan juga bermakna perintah, maka istifham pada ayat di atas dapat diartikan dengan ‘lihatlah.’

Baca Juga: Kontribusi Al-Qur’an terhadap Perkembangan Bahasa Arab

  1. At-Targhib (الترغيب)

At-Targhib artinya adalah menumbuhkan kecintaan, membujuk, atau memberi sesuatu yang ia sukai. Contohnya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 245

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

Artinya: Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak.

  1. An-Nahy (النهي)

An-Nahy berarti menunjukkan makna larangan. Contohnya terdapat dalam Q.S. At-Taubah [9]: 13

أَتَخْشَوْنَهُمْ فَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَوْهُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Artinya: Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman.

Dalil yang mendasari istifham tersebut bermakna nahy adalah Q.S. Al-Maidah [5]: 44

فَلَا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ

Artinya: Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.

  1. Ad-Du’a (الدعاء)

Makna istifham selanjutnya adalah doa. Doa itu sebenarnya sama dengan larangan, yaitu sama-sama permintaan. Perbedaannya adalah larangan itu permintaan dari orang yang derajatnya lebih tinggi kepada orang yang lebih rendah, sedangkan doa itu sebaliknya. Contoh istifham bermakna doa adalah Q.S. Al-A’raf [7]: 155

أَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ السُّفَهَاءُ مِنَّا

Artinya: Apakah Engkau membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang kurang akal di antara kami?

Maksud dari pertanyaan Nabi Musa tersebut sebenarnya adalah doa, yaitu ‘janganlah Engkau membinasakan kami’

  1. Al-Istirsyad (الاسترشاد)

AlIstirsyad berarti meminta petunjuk. Istifham seperti ini salah satunya terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 30

قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ

Artinya: Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,

Itulah 18 makna istifham yang disarikan dari Kitab Zubdat al-Itqan fi Ulum al-Quran karya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki. Masih ada beberapa makna lain dari istifham yang disebutkan dalam kitab yang lebih panjang penjelasannya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Bulan Sya’ban Tiba, Begini Peristiwa Penting dan Amalannya dalam Al-Quran

0
Bulan Sya’ban Tiba, Begini Peristiwa Penting dan Amalannya dalam Al-Quran
Bulan Sya’ban Tiba, Begini Peristiwa Penting dan Amalannya dalam Al-Quran

Alhamdulillah, tanpa terasa kini kita sudah memasuki bulan Sya’ban. Bulan yang menjadi ‘pintu gerbang’ menuju bulan suci Ramadhan. Selain memiliki keistimewaan dan keutamaan khusus, di bulan Sya’ban ini ternyata terjadi peristiwa-peristiwa bersejarah. Sayyid Muhammad bin Abbas al-Maliki dalam salah satu kitabnya Ma Dzha fi Sya’ban menyebutkan dua peritiwa penting dalam sejarah kehidupan umat Islam. Apa saja itu? Simak penjelasan berikut ini.

Turunnya Ayat Anjuran Bershalawat kepada Nabi Saw.

Ketika berbicara tentang anjuran bershalawat kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw. pijakan nash yang seringkali dirujuk adalah QS. Al Ahzab [33]: 56:

إِنَّ ٱللَّهَ وَمَلَٰٓئِكَتَهُۥ يُصَلُّونَ عَلَى ٱلنَّبِيِّۚ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ صَلُّواْ عَلَيۡهِ وَسَلِّمُواْ تَسۡلِيمًا  ٥٦

“Sesungguhnya Allah Swt. dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang beriman, bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”

Para ulama menyepakati bulan Sya’ban adalah bulan shalawat. Karena di bulan ini, Allah Swt. menurunkan sebuah ayat yang menganjurkan umat Islam untuk membaca shalawat kepada baginda Nabi Saw. Menurut keterangan Imam al-Qasthalani dalam kitab al-Mawahib, QS. Al Ahzab [33]: 56 ini diwahyukan tepat pada bulan Sya’ban tahun ke 2 Hijriyah. Pendapat ini juga dipegangi oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.

Baca juga: Perdebatan Nabi Musa dengan Fir’aun tentang Hakikat Tuhan

Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan, ayat ini memberi bukti bahwa Allah Swt. sendiri memberi pujian, sanjungan dan penghormatan kepada Nabi Saw di depan para malaikat-Nya. Malaikat-malaikat langit pun mengucapkan shalawat untuk Nabi sebagai bentuk dan ungkapan doanya.

Sementara menurut Ibnu Kastsir dalam Tafsir Ibn Katsir bahwa melalui ayat ini, Allah Swt. hendak mengabarkan kepada setiap hamba-Nya tentang kemuliaan Nabi Saw. Ayat ini juga menjadi perintah bagi penduduk bumi (alam bawah) untuk melakukan hal yang sama (bershalawat), agar menyatu antara pujian penghuni langit dan penghuni bumi seluruhnya.

Ada sebuah hadis riwayat Imam al-Dailami dari Sayyidah Aisyah yang berbunyi:

شَعْبَانُ شَهْرِي وَرَمَضَانُ شَهْرُ اللَّهِ وَشَعْبَانُ الْمُطَهِّرُ وَرَمَضَانُ المُكَفِّرُ

“Sya’ban adalah bulanku, dan Ramdhan adalah bulan Allah. Bulan Sya’ban menyucikan (dosa) dan bulan Ramadhan menggugurkan (dosa).”

Berdasar pada turunnya ayat tentang anjuran bershalawat serta hadis Aisyah di atas, ulama kemudian mengistilahkan bulan Sya’ban dengan Syahrun Nabi (bulannya Nabi). Maka sudah sepatutnya di bulan penuh berkah ini, kita memperbanyak membaca shalawat kepada Nabi Saw.

Baca juga: Menyoal Makna Syifa dalam Al-Quran

Peralihan Arah Kiblat

Melansir keterangan Bisri Musthafa dalam Tafsir al-Ibriz, ketika Nabi hijrah ke Madinah, arah kiblat dialihkan ke Bayt al-Muqaddas (Masjid al-Aqsha). Namun setelah enam belas atau tujuh bulan lamanya, Nabi rindu kampung halamannya, Makkah dan juga Ka’bah. Pada akhirnya Allah SWT merestui keinginan Nabi dan mengembalikan arah kiblat menghadap Ka’bah seperti sedia kala. Peristiwa ini diabadikan dalam QS. Al Baqarah [2]: 144:

قَدۡ نَرَىٰ تَقَلُّبَ وَجۡهِكَ فِي ٱلسَّمَآءِۖ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبۡلَةٗ تَرۡضَىٰهَاۚ فَوَلِّ وَجۡهَكَ شَطۡرَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِۚ وَحَيۡثُ مَا كُنتُمۡ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ شَطۡرَهُۥۗ وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ لَيَعۡلَمُونَ أَنَّهُ ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّهِمۡۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا يَعۡمَلُونَ  ١٤٤

“Sungguh Kami melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah wajahmu ke arahnya. Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya, dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”

Menurut penjelasan Imam al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an yang ia kutip dari Abu Hatim al-Basti, perintah peralihan arah kiblat ini terjadi pada malam selasa bulan Sya’ban, yang bertepatan dengan malam nisfu Sya’ban

Baca juga: Potret Penafsiran Al-Quran Hari Ini: Era Modern-Kontemporer

Hikmah: Amalan-amalan di Bulan Sya’ban

Bulan Sya’ban memiliki keistimewaan dan keutamaan tersendiri yang amat sayang jika dilewatkan. Selama ini kita tahu, di bulan Sya’ban, semua catatan-catatan amal manusia diserahkan kepada Allah Swt. Kita mengenal peristiwa ini dengan malam Nisfu Sya’ban. Ia adalah malam pengampunan dosa dan malam pembebasan. Di malam itu, kita dianjurkan berjaga sepanjang malam untuk beribadah; berzikir, membaca Al-Quran, shalat malam, membaca shalawat, berdoa dan lain sebagainya.

Nabi Saw. bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh al-Dailami dan al-Baihaqi:

خَمْسُ لَيَالٍ لَا تُرَدُّ فِيْهِنَّ الدَعْوَةُ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبَ وَلَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَلَيْلَةُ الجُمْعَةِ وَلَيْلَتَيِ العِيْدَيْنِ

“Ada lima malam di mana doa tidak akan tertolak pada malam-malam itu, yaitu malam pertama bulan Rajab, malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at, malam Idul Fitri dan Idul Adha.”

Baca juga: Kajian Semantik Asal Usul Kata Salat dalam Al-Quran

Salah satu kesunnahan di bulan Sya’ban adalah berpuasa. Dengan puasa sunnah di bulan ini, umat Islam dapat melatih dan mempersiapkan diri untuk menjemput bulan suci Ramadhan dengan penuh suka cita serta pengharapan tinggi atas anugerah Allah Swt. Di bulan ini pula, Allah Swt membuka pintu-pintu rahmat-Nya berupa syafaat, ampunan (maghfirah), dan pembebasan dari siksa api jahannam (‘itqun min ‘adzab al-nar). Semoga momentum di bulan Sya’ban ini, Allah Swt. berkenan memberikan hidayah kepada kita sehingga mampu memuliakannya dengan ibadah dan amal saleh. Amin.

Wallahu a’lam []