Beranda blog Halaman 511

Tuntunan dalam Membangun Relasi Antar Umat Beragama

0
relasi antar umat beragama
relasi antar umat beragama

Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu berinteraksi dan berelasi dengan individu atau kelompok yang lain. Tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam menjalin hungan justru menemui problem. Satu permasalahan pelik yang terjadi di Indonesia, dalam kalangan umat muslim dan nonmuslim, ialah terkait relasi antar umat beragama yang sebenarnya sudah terjadi sejak pertama kali Islam itu muncul.

Adanya persinggungan  masyarakat dari berbagai latar belakang terkadang mengakibatkan aktivitas ibadah terganggu. Ini merupakan sebagian contoh ketidak harmonisan hubungan antar pemeluk agama. Padahal Al-Quran telah memberi kebebasan dalam berelasi terhadap umat Islam termasuk kepada nonmuslim.

Baca juga: Makna Kebebasan Beragama menurut Wahbah az-Zuhaili

QS. al-Mumtahanah(60): 8-9, membangun relasi antar agama

Dalam menjelaskan hubungan antara umat muslim dengan nonmuslim, Allah SWT tidak melulu memerintahkan untuk memerangi mereka. Justru, dalam urusan-urusan lain Allah membolehkan umat muslim bekerjasama dengan mereka. Ini dijelaskan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 8 yakni:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kalian terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu untuk berbuat baik dan berlaku adil. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.

Sedangkan pada ayat ke 9, Allah memberi penegasan dan batasan bagi umat Islam dalam menjalin relasi. Ayat tersebut berbunyi:

إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Sesungguhnya Allah (hanya) melarang kamu (menjadikan mereka kawan) dari orang-orang yang memerangimu dalam urusan agama dan mengusirmu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu, barangsiapa menjadikan mereka kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim”

Pada ayat ke 8, Ibnu Kathir dalam tafisrnya menjelaskan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada orang kafir selagi mereka tidak memerangi. Karena agama seperti dari golongan perempuan atau orang-orang lemah dari kalangan mereka.

Ibnu Kathir menukil riwayat sebagai contoh yakni ketika Asma’ binti Abu Bakar didatangi ibunya yang masih dalam keadaan musyrik kemudian sahabat tersebut menanyakan kepada Rasul perihal bolehkah menyambung hubungan dengan ibunya. Maka Rasul membolehkannya untuk menyambung relasi keduanya.( Ibn Kathir, Tafsir al-Quranul Adzim, 8:90)

Baca juga: Pentingnya Berprasangka Baik Dalam Rangka Toleransi Beragama dalam Al-Quran

Dalam tafsirnya, al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini merupakan bentuk keringanan dari Allah dalam menyambung relasi orang mukmin terhadap orang-orang yang tidak memeranginya. Bahkan ayat tersebut juga menekankan untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap non muslim selama tidak mendzalimi umat islam. (Imam al-Qurthubi, al-Jami li Ahkamil Quran, 18:59)

Hamka menerangkan bahwa orang yang berhubungan baik dengan orang yang jelas memerangi Islam hingga mengusir atau membantu mengusir umat islam sudah jelas telah bertindak aniaya. Hubungan tersebut yang tidak diridlai oleh Allah karena jelas melanggar perintah-Nya. (Hamka, Tafsir al-Azhar, 28:107)

Dalam tafsir al-Munir, Wahbah az-Zuhaili juga senada dengan yang dijelaskan oleh Hamka. Wahbah tidak membolehkan umat Islam untuk berteman atau menolong orang-orang yang jelas memerangi umat Islam. (Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir, 28:137)

Baca juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 62: Benarkah Semua Agama Setara?

Membangun relasi baik terhadap nonmuslim

Dari berbagai tafsir yang dikemukakan, jelas bahwa orang-orang mukmin tidak dilarang untuk membangun relasi dan kerjasama dengan non muslim. hal ini menjadi kewajaran bagi manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan satu sama lain. justru kita dituntut untuk bebuat baik dan adil ketika melakukan kerjasama dengan mereka.

Namun sebagian golongan hanya fokus pada ayat ke sembilan perihal larangan menjalin hubungan dengan mengkaitkan pada maksud-maksud tertentu. Kesalahan persepsi ini lah yang membuat hubugan antar umat beragama semakin renggang. Padahal ayat tersebut hanya membolehkan untuk melakukan perlawanan jika umat islam benar-benar terancam. Sehingga jika tidak terjadi demikian, maka umat Islam boleh berelasi dengan non muslim.

Berbagai keteladanan dalam hal tersebut telah dicontohkan nabi. dalam berbagai kisahnya seperti saat hendak hijrah ke madinah, Rasul dibantu Abdullah ibn Uraiqith yang tak seiman sebagai penunjuk jalan. Ataupun saat Rasul membuat perjanjian Hudaibiyah dengan suku Quraisy. Kisah-kisah tersebut merupakan sebagian contoh akhlak Rasulullah dalam berelasi dengan non muslim

Menjaga kerukunan antara umat beragama

Berdasar pada dua ayat tersebut, bisa dipelajari tentang bagaimana seharusnya menjalin relasi dengan umat non muslim, terlebih bagi kita sebagai warga Indonesia yang tinggal di tengah keragaman agama ini. dengan adanya hubungan yang baik dalam bersosial, maka juga tercipta keseimbangan sehingga kerukunan lebih mudah digapai.

Dua kata kunci yang harus digenggam dalam menjaga kerukunan tersebut menurut surat al-Mumtahanah ayat 8 ialah berbuat baik dan berlaku adil. Segala bentuk kebaikan diperkenankan asal tidak membawa dampak negatif bagi umat islam. Adapun berlaku adil ialah yang bisa menyenangkan kedua pihak sehingga kedua belah pihak ridho akan keputusan yang diambil. Jika umat Islam benar-benar mengikuti petunjuk-Nya dengan benar, sudah semestinya kerukunan antar umat lebih mudah terwujud. Wallahu a’lam[]

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37

0
tafsir surat al ma'idah
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37 berbicara tentang pembunuhan, menyambung pembahasan sebelumnya tentang pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil kepada Habil serta pelarangan untuk membunuh sesama manusia karena tindakan itu setara dengan membunuh seluruh manusia.

Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 27-32

Sedangkan dalam Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37 ini, di awal dijelaskan tentang pembunuhan (qisas) yang diperbolehkan oleh syariat dengan ketentuan bahwa ia (pelaku pembunuhan) telah melakukan hal yang merugikan orang lain. Misalnya menggangu ketentraman dengan merampok atau membegal, ingkar terhadap hukum dengan menghalalkan pembunuhan dan lain sebagainya.

Ayat 33

Orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketenteraman, menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat, merusak kepentingan umum seperti membinasakan ternak, merusak pertanian dan lain-lain, mereka dapat dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang atau diasingkan.

Menurut jumhur, hukuman bunuh itu dilakukan terhadap pengganggu keamanan, perampokan dan semacamnya, yang disertai dengan pembunuhan, hukuman salib sampai mati dilakukan terhadap pengganggu keamanan yang disertai dengan pembunuhan dan perampasan harta, hukuman potong tangan bagi yang melakukan perampasan harta.

Sedangkan hukuman terhadap pengganggu keamanan yang disertai ancaman dan menakut-nakuti adalah pembuangan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hukuman pembuangan itu berarti hukuman penjara atau boleh diganti dengan penjara.

Hukuman pada ayat ini ditetapkan sedemikian berat, karena dari segi gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum juga kerapkali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, perusakan dan lain-lain.

Oleh sebab itu kejahatan-kejahatan ini oleh siapa pun tidak boleh diberi ampunan. Orang-orang yang mendapat hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat ini selain dipandang hina di dunia, mereka di akhirat diancam dengan siksa yang amat besar.

Ayat 34

Para pengganggu keamanan dan hukumannya telah dijelaskan pada ayat 33 di atas, jika mereka bertobat sebelum ditangkap oleh pihak penguasa, maka bagi mereka tidak berlaku lagi hukuman-hukuman yang tertera pada ayat 33, yang menurut istilah syariat disebut “hududullah”, dan juga tidak dilakukan lagi terhadap mereka hukuman yang lain seperti hukuman had, hukum sariqah dan hukum jinayah (pidana). Keringanan yang diberikan kepada orang yang bertobat itu sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.


Baca juga: Tafsir Ahkam: Hati-Hati Terhadap Qadzaf!


Ayat 35

Allah memerintahkan orang-orang mukmin supaya selalu berhati-hati, mawas diri jangan sampai terlibat di dalam suatu pelanggaran, melakukan larangan-larangan agama yang telah diperintahkan Allah untuk menjauhinya.

Menurut sebagian mufasir, menjauhi larangan Allah lebih berat dibandingkan dengan mematuhi perintah-Nya. Tidak heran kalau di dalam Alquran, kata ittaqu yang maksudnya supaya kita menjaga diri jangan sampai melakukan larangan agama, disebut berulang sampai 69 kali, sedang kata ati’u yang berarti supaya kita patuh kepada perintah agama hanya disebutkan 19 kali.

Di samping menjaga diri memperketat terhadap hal-hal yang mungkin menyebabkan kita berbuat pelanggaran atau ketentuan-ketentuan agama, kita harus pula selalu mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yaitu dengan jalan melaksanakan perintah-Nya dan mengamalkan segala sesuatu yang diridai.

Ibnu Abbas, Mujahid, Abu Wali, al-Hasan, Zaid, Ata, as-Sauri dan lain-lain, mengartikan al-wasilah di dalam ayat ini dengan mendekatkan diri. Mengenai pengertian ini, Ibnu Kasir dalam tafsirnya (2/52), berkata:

وَهٰذَا الَّذِيْ قَالَهُ هٰؤُلاَءِ اْلأَئِمَّةُ لاَ خِلاَفَ بَيْنَ الْمُفَسِّرِيْنَ

Pengertian yang telah diberikan oleh para imam ini, tidak terdapat perbedaan antara para mufasir.

Kata wasilah ada kalanya berarti tempat tertinggi di surga, sebagaimana sabda Rasulullah saw:

اِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَيَّ فَسَلُوا الْوَسِيْلَةَ، قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ! وَمَا الْوَسِيْلَةُ؟ قَالَ: اَعْلَى دَرَجَةٍ فِى الْجَنَّةِ لاَ يَنَالُهَا اِلاَّ وَاحِدٌ وَاَرْجُوْ اَنْ اَكُوْنَ اَنَا هُوَ

(رواه أحمدعن أبي هريرة)

“Apabila engkau bersalawat kepadaku, maka mintakanlah untukku “wasilah”. Lalu beliau ditanya: “Wahai Rasullullah, apakah wasilah itu?.” Rasullulah menjawab, “Wasilah itu ialah derajat yang paling tinggi di Surga tidak ada yang akan mencapainya kecuali seorang saja dan saya berharap, sayalah orang itu.” (Riwayat Ahmad dari Abu Hurairah).

Menjauhi dan meninggalkan larangan Allah serta melaksanakan perintah-Nya adalah hal-hal yang tidak mudah, karena nafsu yang ada pada tiap manusia itu selalu mengajak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan yang baik, yaitu melanggar dan meninggalkan perintah Allah sebagaimana firman-Nya:

اِنَّ النَّفْسَ لَاَمَّارَةٌ ۢ بِالسُّوْۤءِ

“Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.” (Yusuf /12:53).

Oleh karena itu kita harus berjuang untuk mengekang hawa nafsu, mengatasi segala kesulitan dan mengelakkan semua rintangan yang akan menyebabkan kita bergeser dari jalan Allah agar kita berada di atas garis yang telah ditetapkan. Dengan demikian kita akan memperoleh kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah.

Ayat 36

Orang yang tidak mau bertakwa kepada Allah dan tidak mau membersihkan dirinya dari dosa-dosa yang diperbuatnya, serta tetap di dalam kekafiran mengingkari ketuhanan Allah lalu menyembah selain Allah dan sampai mati mereka tidak bertobat, maka di hari Kiamat mereka nanti akan menyesal.

Sekiranya semua yang ada di bumi ini adalah miliknya bahkan ditambah lagi sebanyak itu pula, dan ingin melepaskan diri dari azab yang menimpanya, maka semuanya itu tidak akan diterima-Nya.

Di dalam satu hadis Nabi Muhammad bersabda:

يُجَاءُ بِالْكَافِرِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُقَالُ لَهُ: اَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لَكَ مِلْءُ اْلأَرْضِ ذَهَبًا اَكُنْتَ تَفْتَدِيْ بِهِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ

(رواه البخاري عن انس)

Didatangkan seorang kafir di hari kiamat dan dikatakan kepadanya “Sekiranya engkau memiliki emas sepenuh bumi ini, apakah engkau ingin menjadikannya tebusan (atas siksa yang akan kamu terima). Ia menjawab Ya saya ingin.” (Riwayat al-Bukhari dari Anas r.a.).

Tetapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Bagaimanapun juga keinginan mereka, tidak akan diterima dan tetap akan menjalani hukuman berupa siksaan yang amat pedih, karena di akhirat tidak mungkin dosa itu dapat ditebus dengan harta benda. Tetapi jika bertobat di masa hidupnya dan membersihkan diri dengan amal saleh, maka Allah akan menerima tobatnya.

Ayat 37

Setelah mereka dimasukkan ke dalam neraka dan tidak tertahankan siksa yang dideritanya maka mereka ingin keluar, tetapi tidak ada jalan bagi mereka. Keadaan mereka sama halnya seperti yang disebutkan di dalam firman Allah:

كُلَّمَآ اَرَادُوْٓا اَنْ يَّخْرُجُوْا مِنْهَآ اُعِيْدُوْا فِيْهَا

“Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan (lagi) ke dalamnya.” (as-Sajdah/32:20).

Mereka akan merasakan sepanjang masa siksa yang kekal abadi yang tidak berkesudahan.

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37 diakhiri dengan kesimpulan bahwa apabila ia (pelaku pembunuhan) menyesali perbuatannya sebelum tertangkap oleh pihak berwenang dan bertaubat dengan sepenuh hati maka Allah Maha Pengampun bagi hambanya.

Dan sudah selayaknya seorang yang bertakwa tidak melakukan hal yang merugikan orang lain. Karena sejatinya ia mencelakakan dirinya dengan mejatuhkan diri sendiri kedalam neraka yang penyesalannya tiada akhir.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 38-40

(Tafsir Kemenag)

Mana yang Lebih Utama, Membaca Al-Quran dengan Hafalan atau dengan Melihat Mushaf?

0
mana yang lebih utama membaca Al-Quran dengan menghafat atau meliaht mushaf
mana yang lebih utama membaca Al-Quran dengan menghafat atau meliaht mushaf

Sering kali kita memperdebatkan perihal keutamaan dalam membaca Al Qur’an. Mana yang lebih utama, membaca Al Quran dengan hafalan atau melihat mushaf?

Perdebatan ini tentu dipicu atas dua kondisi yang berbeda. Orang yang membaca dengan hafalan tentu ingin menggunakan ingatannya sebagai sarana menadabburi ayat-ayat Allah. Sementara orang yang membaca dengan melihat mushaf dikatakan bahwa ia mendapatkan ganjaran dua kali lipat, yakni satu pahala atas bacaannya dan satu pahala atas melihat mushafnya.


Baca juga: Pentingnya Memahami Esensi Islam Sebagai Agama dan Pengaruhnya Bagi Penafsiran Menurut Prof. Quraish Shihab


Untuk menguraikan problem itu, yakni mana yang lebih utama dari kedua tersebut, kita perlu melihat secara utuh pendapat ulama. Setidaknya ada tiga pendapat perihal keutamaan membaca mushaf dengan hafalan atau dengan melihat mushaf. Hal ini diuraikan oleh Syekh Manna’ Khalil Qattan dalam kitabnya Mabahits fi Ulumil Qur’an.

Berikut 3 Pendapat Keutamaan Membaca mushaf dengan hafalan atau dengan melihat Mushaf:

Pertama, membaca dengan melihat mushaf disebut lebih utama. Hal ini karena ada dua ibadah yang sedang ia amalkan, yakni ibadah membaca Al Qur’an dan ibadah melihat mushaf Al Qur’an.

Perihal pendapat ini, mayoritas ulama merujuk pada hadis yang diriwayatkan At Thabrani dan Al Baihaqi. Arti dari hadis itu berbunyi, “Bacaan Al Quran seseorang tanpa menggunakan mushaf itu (pahalanya) seribu derajat, sementara bacaan Al Quran dengan mushaf dilipatgandakan menjadi dua ribu derajat.”

Imam Jalaluddin As-Suyuthi pun begitu, dalam kitab Al-Itqannya, secara lugas menyebut bahwa membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf lebih utama tinimbang dengan hafalan.

Kedua, membaca dengan hafalan lebih utama. Pendapat ini mengunggulkan pada sisi perenungan dan pemikiran. Syekh A’Izz bin Abdus Salam justru menolak pendapat yang pertama. Menurutnya, tujuan utama membaca Al Qur’an adalah tadabbur (memikirkan dan merenungkan). Syekh A’Izz bin Abdus Salam pun merujuk surat Shad [38]:29.

  لِّيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ

“Supaya mereka memperhatikan (tadabbur) ayat-ayatnya.”

Menurutnya, orang yang melihat kepada mushaf justru mengganggu tersampainya maksud ayat tersebut. Sehingga dalam konteks ini ia mengunggulkan bacaan Al Qur’an dengan hafalan.


Baca juga: Salim Fachry: Sang Penulis Mushaf Al-Quran Kenegaraan Pertama


Ketiga, pendapat yang menyebut keutamaan itu tergantung pada situasi dan keadaan masing-masing individu. Jika seseorang membaca dengan melihat mushaf lebih memunculkan perasaan khusyuk, mengalami proses pemikiran, perenungan, dan konsentrasi, maka bagi orang tersebut membaca dengan melihat mushaf lebih utama.

Namun jika sesorang cenderung lebih khusyuk, melalui proses pemikiran dan perenungan saat membaca Al Qur’an dengan hafalan, maka ia lebih utama membaca dengan hafalan. Sementara jika kedudukan perasaan khusyu’ dan tadabbur itu sama baik sedang membaca mushaf Al Qur’an maupun hafalan, maka yang lebih utama adalah membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf. Pendapat yang ketiga ini diuraikan imam An Nawawi beserta ulama salaf lainnya.


Baca juga: Empat Presiden Indonesia dan Warisan Mushaf Nusantara


Yang Lebih Utama dari Membaca Al Quran Itu Tadabburnya

Dari uraian tiga pendapat di atas, sebenarnya yang lebih utama bukanlah pada media atau sarananya, namun fokus pada pemahaman dan proses pemikirannya. Imam Jalaluddin As-Suyuthi dalam Al Itqan dan Syekh Manna’ Khalil Qatthan dalam Mabahits fi Ulumil Qur’an sepakat bahwa bertadabbur merupakan bagian dari adab membaca Al Qur’an.

Disebutkan bahwa cara pembacaan dengan memikirkan dan memahami ayat-ayat Allah merupakan cara yang sangat dikehendaki. Yaitu perlu adanya konsentrasi dalam hati, memikirkan makna, berinteraksi pada ayat-ayat yang dibaca dengan penuh kesadaran. Baik ayat itu berkaitan dengan doa, istighfar, rahmat atau pun azab.

Tentu terdapat catatan terkait penggunaan keutamaan menggunakan mushaf kala membbaca Al Quran.  Selain menambahkan pahala ibadah, menggunakan mushaf Al Quran juga sebagai sarana untuk berhati-hati agar tidak terjadi kesalahan saat membaca. Oleh karena itu, kita sering melihat orang yang sudah hafal Al Qur’an pun sering melakukan sima’an dengan orang yang memegang mushaf Al Qur’an.

Semoga kita semua mendapatkan keberkahan Al Qur’an.

Wallahu a’lam bi al-shawab

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 27-32

0
tafsir surat al ma'idah
tafsiralquran.id

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 27-32 berbicara tentang perintah Allah kepada Nabi Muhammad saw agar menceritakan kisah terkait pembunuhan antar saudara, yaitu antara Qabil dan Habil, putra Nabi Adam as.

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 27-32 ini berfokus pada kisah kejahatan pertama yang terjadi di bumi. Berbeda dengan ayat sebelumnya yang bercerita tentang kisah kaum Nabi Musa as yang membangkan.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Maidah Ayat 21-26


Ayat 27

Kepada Nabi Muhammad saw diperintahkan untuk membacakan kisah kedua putra Adam a.s. di waktu mereka berkurban, kemudian kurban yang seorang diterima sedang kurban yang lain tidak. Orang yang tidak diterima kurbannya bertekad untuk membunuh saudaranya, sedang yang diancam menjawab bahwa ia menyerah kepada Allah, karena Allah hanya akan menerima kurban dari orang-orang yang takwa.

Menurut riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan lain-lain, bahwa putra Adam yang bernama Qabil mempunyai ladang pertanian dan putranya yang bernama Habil mempunyai peternakan kambing. Kedua putra Adam itu mempunyai saudara kembar perempuan.

Pada waktu itu Allah mewahyukan kepada Adam agar Qabil dikawinkan dengan saudara kembarnya Habil. Dengan perkawinan itu Qabil tidak senang dan marah, saudara kembarnya lebih cantik. Keduanya sama-sama menghendaki saudara yang cantik itu.

Akhirnya Adam menyuruh Qabil dan Habil agar berkurban guna mengetahui siapa di antara mereka yang akan diterima kurbannya. Qabil berkurban dengan hasil pertaniannya dan yang diberikan bermutu rendah, sedang Habil berkurban dengan kambing pilihannya yang baik.

Allah menerima kurban Habil, yang berarti bahwa Habil-lah yang dibenarkan mengawini saudara kembar Qabil. Dengan demikian bertambah keraslah kemarahan dan kedengkian Qabil sehingga ia bertekad untuk membunuh saudaranya. Tanda-tanda kurban yang diterima itu ialah kurban itu dimakan api sampai habis.

Dari peristiwa yang terjadi ini dapat diambil pelajaran bahwa apa yang dinafkahkan seharusnya tidak sekedar untuk mengharapkan pujian dan sanjungan tetapi hendaklah dilakukan dengan ikhlas agar diterima oleh Allah.

Ayat 28

Ayat ini mewajibkan kita menghormati kehormatan jiwa manusia dan melarang pertumpahan darah. Kemudian Allah menerangkan bahwa Habil tidak akan membalas tantangan Qabil karena takutnya kepada Allah.

Habil tidak berniat menjawab tantangan Qabil, karena hal itu dianggapnya bertentangan dengan sifat-sifat orang yang takwa dan dia tidak ingin memikul dosa pembunuhan. Rasulullah bersabda:

عَنْ اَبِيْ بَكْرَةَ, قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفِهِمَا فَقَتَلَ اَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُوْلُ فِى النَّارِ، قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ ! هٰذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُوْلُ؟ قَالَ: اِنَّهُ كَانَ حَرِيْصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ

(رواه أحمد والبخاري والبيهقي والحاكم)

Dari Abi Bakrah, Rasulullah saw, bersabda, “Jika dua orang Muslim berkelahi masing-masing dengan pedangnya kemudian yang seorang membunuh yang lain, maka keduanya baik yang membunuh maupun yang dibunuh masuk neraka. Kepada Rasulullah ditanyakan: “Yang membunuh ini telah jelas (hukumnya) tetapi bagaimana yang dibunuh? Dijawab oleh Nabi “(Masuk neraka pula)” Karena dia pun berusaha keras untuk membunuh temannya.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, al-Baihaqi dan al-Hakim).


Baca juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka 


Ayat 29

Pada ayat ini Habil memberi jawaban kepada Qabil bahwa Habil berserah diri kepada Allah dan tidak mau menantangnya agar semua dosa, baik dosa Qabil maupun dosa-dosa yang lain sesudah itu, dipikul oleh Qabil sendiri.

Habil mendasarkan pernyataannya pada tiga hal yang sangat penting. Pertama, bahwa amal yang dapat diterima itu hanya dari orang yang bertakwa. Kedua, Habil tidak akan membunuh orang, karena takut kepada Allah dan ketiga, Habil tidak melawan, karena takut berdosa yang mengakibatkan akan masuk neraka.

Ayat 30

Pada mulanya Qabil takut membunuh Habil, tetapi hawa nafsu amarahnya selalu mendorong dan memperdayakannya, sehingga timbullah keberanian untuk membunuh saudaranya dan dilaksanakanlah niatnya tanpa memikirkan akibatnya.

Setelah hal itu benar-benar terjadi, maka sebagai akibatnya Qabil menjadi orang yang rugi di dunia dan di akhirat. Di dunia ia rugi karena membunuh saudaranya yang saleh dan takwa. Dan di akhirat ia akan rugi karena tidak akan memperoleh nikmat akhirat yang disediakan bagi orang-orang muttaqin.

Imam as-Suddi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Murrah bin Abdillah, dan dari beberapa sahabat Nabi Muhammad saw bahwa Qabil setelah teperdaya oleh hawa nafsunya dan bertekad membunuh saudaranya, ia mencari Habil dan menemukannya di atas gunung sedang menggembala kambing, tapi ia sedang tidur, maka Qabil mengambil batu besar lalu ditimpakan kepadanya di sebuah tempat yang terbuka bernama Arak.

Ayat 31

Pembunuhan ini adalah yang pertama terjadi di antara anak Adam, Qabil sebagai pembunuh belum mengetahui apa yang harus diperbuat terhadap saudaranya yang telah dibunuh (Habil), sedangkan ia merasa tidak senang melihat mayat saudaranya tergeletak di tanah.

Maka Allah mengutus seekor burung gagak mengorek-ngorek tanah dengan cakarnya untuk memperlihatkan kepada Qabil bagaimana caranya mengubur mayat saudaranya.

Setelah Qabil menyaksikan apa yang telah diperbuat oleh burung gagak, mengertilah dia apa yang harus dilakukan terhadap mayat saudaranya. Pada waktu itu, Qabil merasakan kebodohannya mengapa ia tidak dapat berbuat seperti burung gagak itu, lalu dapat menguburkan saudaranya.

Karena hal yang demikian itu Qabil sangat menyesali tindakannya yang salah. Dari peristiwa itu dapat diambil pelajaran, bahwa manusia kadang-kadang memperoIeh pengetahuan dan pengalaman dari apa yang pernah terjadi di sekitarnya.

Penyesalan itu dapat merupakan tobat asalkan di dorong oleh takut kepada Allah dan menyesali akibat buruk dari perbuatannya itu. Rasulullah bersabda,

عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: النَّدَمُ تَوْبَةٌ

(رواه أحمد والبخاري والبيهقي والحاكم)

“Penyesalan itu adalah tobat.” (Riwayat Ahmad, al-Bukhari, al-Baihaqi dan al-Hakim).

لاَ تُقْتَلُ نَفْسٌ ظُلْمًا اِلاَّ كَانَ عَلَى ابْنِ اٰدَمَ الاَوَّلِ كِفْلٌ  مِنْ ذَنْبِهَا ِلاَنَّهُ اَوَّلُ مَنْ سَنَّ الْقَتْلَ

(رواه البخاري ومسلم)

Tidak dibunuh seseorang dengan zalim melainkan  anak Adam yang pertama mendapat bagian dosanya karena dia orang yang pertama melakukan pembunuhan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Ayat 32

Pada ayat ini diterangkan suatu ketentuan bahwa membunuh seorang manusia berarti membunuh semua manusia, sebagaimana memelihara kehidupan seorang manusia berarti memelihara kehidupan semua manusia.

Ayat ini menunjukkan keharusan adanya kesatuan umat dan kewajiban mereka masing-masing terhadap yang lain, yaitu harus menjaga keselamatan hidup dan kehidupan bersama dan menjauhi hal-hal yang membahayakan orang lain.

Hal ini dapat dirasakan karena kebutuhan setiap manusia tidak dapat dipenuhinya sendiri, sehingga mereka sangat memerlukan tolong-menolong terutama hal-hal yang menyangkut kepentingan umum.

Sesungguhnya orang-orang Bani Israil telah demikian banyak kedatangan para rasul dengan membawa keterangan yang jelas, tetapi banyak di antara mereka itu yang melampaui batas ketentuan dengan berbuat kerusakan di muka bumi. Akhirnya mereka kehilangan kehormatan, kekayaan dan kekuasaan yang kesemuanya itu pernah mereka miliki di masa lampau.

Tafsir Surat Al Maidah Ayat 27-32 di akhiri dengan kesimpulan bahwa tindakan pembunuhan meskipun hanya dilakukan pada satu orang namun keburukannya semisal membunuh seluruh manusia. Maka dari itu sangat penting untuk saling menjaga keharmonisan antar manusia karena anatara satu sama lain manusia saling membutuhkan.

Baca setelahnya:Tafsir Surat Al Maidah Ayat 33-37

(Tafsir Kemenag)

Pentingnya Memahami Esensi Islam Sebagai Agama dan Pengaruhnya Bagi Penafsiran Menurut Prof. Quraish Shihab

0
Esensi Islam sebagai Agama
Esensi Islam sebagai Agama

Sebelum masuk pada upaya memahami al-Quran, seseorang harus mampu memahami esensi Islam sebagai agama itu sendiri. Mengapa? Sebab tanpa memahaminya, seseorang dapat dengan mudah terjerumus dalam kesalahan dalam memahami isi kandungan dari al-Qur’an. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Prof. Quraish Shihab dalam sebuah acara Webinar yang diadakan oleh Wamimma TV.

Agama dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dimaknai dengan ajaran/ sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta manusia dengan lingkungannya.

Dari definisi tersebut bisa didapati bahwa secara fungsional, agama selain memberi panduan tentang tata cara peribadatan juga berperan dalam membentuk karakter sosial seorang manusia. Nah pertanyaan selanjutnya, dari mana pemahaman terhadap agama itu didapat?

Dalam Islam, pemahaman diperoleh melalui sumber utama ajarannya yakni melalui al-Quran dan Hadis. Namun tidak semua orang yang mempelajarinya mampu mendapatkan pemahaman yang baik atau yang sesuai dengan esensi Islam sebagai agama. Pada kasus-kasus tertentu semisal dalam memahami ayat-ayat pedang, tak jarang umat Islam tergelincir dalam pemahaman yang salah mengenainya.

Prof. Quraish Shihab, sebagai pakar tafsir terkemuka di Indonesia maupun dunia, memberikan beberapa panduan agar terhindar dari kesalahpahaman dalam memahami ayat-ayat yang berpotensi melahirkan paham keras atau radikal. Ia mengutip penggalan Q.S. al-Baqarah [2]: 38:

فَاِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِّنِّيْ هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ

Artinya: Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.


Baca Juga: Kepada Semua yang Ingin Mempelajari Al Quran….


Menurutnya ayat ini memberi penjelasan mengenai esensi Islam sebagai agama. Secara fungsional, agama datang dengan tujuan untuk memberikan kedamaian bagi pemeluknya. Hal ini sebagaimana makna Islam itu sendiri di mana jika dikaji secara bahasa memiliki makna “memberi kedamaian” dan muslim sendiri memiliki makna “pemberi kedamaian”.

Kemudian Prof. Quraish Shihab melanjutkan bahwa pokok dalam kedamaian itu ialah kedamaian hati setiap orang. Sebab bagaimana mungkin seseorang memberikan kedamaian jika dirinya sendiri tidak damai. Ia menganalogikannya dengan seorang yang sedang sakit gigi, maka betapapun merdunya suara ia tidak akan merasa senang sebab dirinya sedang tidak damai (sedang bermasalah).

Dalam konteks kehidupan beragama, Prof. Quraish menyinggung bahwa masing-masing orang harus menerima pilihan agama orang lain. Sebab dengan begitu, masing-masing orang dapat merasakan kedamaian dari pilihan yang ia pilih sehingga bisa menebarkan kedamaian bagi yang lainnya.

Prof. Quraish juga menjelaskan bahwa kedamaian itu ada dua macam yakni yang bersifat pasif dan aktif. Damai yang sifatnya pasif berupa kesadaran untuk tidak mengganggu, mengambil hak serta memaki orang lain. Sedangkan damai yang sifatnya aktif dapat berupa kesadaran untuk selalu mengikuti tuntunan agama semisal mengucapkan salam (mendoakan keselamatan) kepada orang lain dan inilah sebenarnya yang diinginkan oleh agama.

Terakhir dalam konteks penafsiran al-Qur’an, ia menekankan bahwa jika seseorang hatinya sudah gemar ribut, ayat-ayat damai pun bisa berpotensi disalahtafsirkan. Oleh sebab itu, penafsiran al-Qur’an banyak berkaitan dengan kecendrungan manusia. Maka carikan jalan supaya kedamaian itu wujud dalam kehidupan, karena damai itu dambaan baik di dunia maupun di akhirat. Wallahu a’lam.

Zaghlul al-Najjar, Geolog Asal Mesir Pakar Tafsir Sains Al-Quran

0
Zaghlul al-Najjar
Zaghlul al-Najjar/ Foto: almesryoon.com

Zaghlul al-Najjar dengan karya tafsirnya, Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim meramaikan dunia penafsiran dengan warna yang berbeda. Di tafsir ini kita bisa melihat penafsiran Al-Quran dari seorang ahli geologi.

Kajian penafsiran Al-Quran senantiasa berkembang seiring berubahnya zaman dan realitas yang ada di masyarakat. Pesatnya perkembangan keilmuan dan teknologi mengakibatkan munculnya metode tafsir yang mengadopsi ilmu-ilmu sains modern dalam proses interpretasi ayat Al-Quran. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga relevansi Al-Quran dalam menjawab tantangan zaman. Metode tafsir tersebut dalam kajian Al-Quran disebut dengan istilah Manhaj at-Tafsir al-’Ilmy.

Tafsir Ilmy adalah suatu bentuk model penafsiran yang menfokuskan pada kajian di bidang ilmiah (sains), untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat kauniyah atau hal-hal yang berkaitan dengan alam. Salah satu tokoh ilmuwan muslim kontemporer yang menggeluti bidang ini adalah Guru Besar Geologi asal Mesir, Zaghlul al-Najjar.

Biografi Singkat

Pakar tafsir sains Al-Quran yang bernama lengkap Zaghlul Raghib Muhammad al-Najjar ini dilahirkan pada tanggal 17 November tahun 1933, di Desa Mashal, Mesir. Pendidikan awal tentang Al-Quran ia dapatkan dari orang tuanya. Berkat didikan ayahnya tersebut, al-Najjar mampu mengkhatamkan Al-Quran sebelum genap berusia 9 tahun.

Setelah dewasa, ia menempuh pendidikan sarjana dalam keilmuan Geologi di Fakultas Sains, Cairo University. al-Najjar lulus dan mendapatkan gelar sarjana pada tahun 1955, dengan predikat summa cumlaude (martabah al-syarf). Tidak berhenti disitu, al-Najjar kemudian melanjutkan studi doktoral di University of Wales, Inggris dan lulus pada tahun 1963. Kemudian, pada tahun 1972, al-Najjar mencapai puncak karir akademiknya sebagai guru besar ilmu geologi di Kuwait University.


Baca Juga: Syekh Tantawi Jauhari: Sang Pelopor Tafsir Ilmi Modern


Sebagai pakar geologi, al-Najjar telah mengajar di berbagai kampus top dunia, antara lain seperti Ain Shams University, King Saud University, University College of Wales, University of Qatar, dan King Fahd University of Petroleum and Minerals. Selain mengajar, ia juga aktif menjabat berbagai jabatan ilmiah dan mendapat banyak penghargaan. Salah satu penghargaan yang ia dapatkan adalah grant award berupa medali emas dari Presiden Sudan, dan masuk dalam 500 tokoh paling berpengaruh di dunia edisi tahun 2020.

Zaghlul al-Najjar dikenal sebagai ilmuwan muslim yang sangat produktif. Lebih dari 200 artikel ilmiah, dan 25 buku telah ia terbitkan. Ia juga telah membimbing 45 tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi. Beberapa karya al-Najjar antara lain: al-Ardh fi al-Qur’an al-Karim, Risalati ila al-Ummah, ‘Ulum al-Ardh fi Hadarah al-Islamiyyah, Madkhal ila Dirasah al-I’jaz al-’Ilmy, dan banyak lainya. Dari banyak karya tersebut, salah satu karya monumentalnya adalah Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim.

Sekilas tentang Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim

Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim merupakan produk tafsir yang mengkaji makna ayat-ayat Al-Quran melalui pendekatan ilmiah. Menurut Syekh Tanthawi Jauhari, total jumlah ayat kauniyah dalam Al-Qur’an adalah 750 ayat. Namun dalam karya tersebut diringkas oleh al-Najjar menjadi 176 ayat dalam 66 surat. Ayat-ayat ini kemudian yang dijadikan sebagai tema utama dalam kajiannya. Sedang ayat-ayat kauniyah lain yang memiliki kesamaan tema akan dimerger ke dalam pembahasan 176 ayat tersebut.

Karya tafsir tersebut terbagi menjadi 4 jilid pembahasan. Jilid pertama membahas ayat-ayat kauniyah dalam surat Al-Baqarah sampai surat Al-Isra. Jilid kedua terdiri dari surat Al-Kahfi hingga surah Luqman. Jilid ketiga berisi surat As-Sajadah sampai surat Al-Qamar. Dan yang terakhir, jilid keempat yaitu surat Ar-Rahman hingga Surat Al-Qari’ah.

Sebelum menafsirkan satu persatu ayat, al-Najjar terlebih dahulu memberikan pendahuluan berupa penjelasan seputar kajian tafsir ilmiy, seperti definisi dan macam-macam i’jaz dalam Al-Quran, sejarah metode tafsir ilmiy, pentingnya tafsir ilmiy, serta berbagai hal yang melatar belakangi penggunaan pendekatan ilmiah dalam proses penfsiran Al-Qur’an. (Zaghlul al-Najar, Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim, hal. 25-55) Setelah menjelaskan hal tersebut, al-Najjar kemudian menafsirkan satu persatu ayat kauniyah yang sudah dipilih.

Karya tafsir tersebut pada dasarnya merupakan model tafsir yang bersifat maudhu’i (tematik). Dalam proses penafsiranya, al-Najjar menguraikan ayat-ayat kauniyah yang dipilih sesuai urutan tartib mushafi dan dijelaskan secara tahlili (komprehensif).

Sebagai contoh penafsirannya dapat kita lihat di surat Ali Imran [3] ayat 59:

اِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهٗ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهٗ كُنْ فَيَكُوْنُ –

“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.”

gambar proses perkembangan janin
visualisasi perkembangan janin dalam penafsiran Zaghlul al-Najjar

Setiap memasuki tema ayat yang berbeda, al-Najjar selalu memberikan visualisasi berupa gambar ilmiah terkait tema yang akan dibahas. Misal ketika membahas ayat tentang proses penciptaan manusia, al-Najjar menyajikan gambar biologis tentang janin, rahim, embrio, dan lain sebagainya.


Baca Juga: Menilik Kehadiran Tafsir Ilmi


Dalam menafsirkan ayat tentang penciptaan manusia tersebut, Zaghlul al-Najjar menguraikan terlebih dahulu ayat-ayat yang memiliki tema pembahasan yang sama tentang penciptaan manusia, seperti Q.S. al-Kahfi [18]: 37, Q.S. al-Hajj [22]: 5, Q.S. al-Rum [30]: 20, Q.S. Fathir [35]: 11, Q.S. Ghafir [40]: 67 dan seterusnya. Setelah itu, Zaghlul al-Najjar menjelaskan proses penciptaan manusia dalam ayat tersebut melalui pendekatan ilmiah yaitu menggunakan ilmu biologi. Sehingga, banyak ditemukan penggunaan istilah-istilah biologi dalam tafsir ayat tersebut, seperti istilah Nucleotides, Dnacodon, Alpha Type, Polypeptides, dan Peptide Bond. (Zaghlul al-Najar, Tafsir al-Ayat al-Kauniyah fi al-Qur’an al-Karim, hal. 142-143)

Demikian sekilas tentang Zaghlul Al-Najjar dan contoh penafisirannya. Sangat inspiratif!

Wallahu A’lam

Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

0
fathul kabir
fathul kabir

Syekh Mahfudz At Tarmasi dikenal sebagai ulama produktif dan berkontribusi besar dalam pengembangan konsep ulumul quran di Nusantara. Melalui magnum opusnya, Kitab Fathul Khabir, tampak begitu kentara konsep ulumul quran di dalamnya yang dalam konteks itu menjadi pionir pengembangan ulumul quran berikutnya.

Sebagaimana diterangkan dalam Manuskrip Fath al-Khabir bi Sharh Miftaf al-Tafsir, Fathul Khabir bi Syarh Miftah at-Tafsir merupakan sharh atas kitab Miftah al-Tafsir atau disebut sebagai Alfiyah ilm Tafsir karya al-Fudi al-Nigiri. Dalam mensyarahi kitab tersebut, Syekh Mahfudz merujuk kepada dua kitab terdahulu yaitu Itmam al-Dirayah dan al-Itqan fi ulum al-qur’an. Kitab ini juga mencatat bahwa Syekh Mahfudz merampungkan tulisannya tersebut di Makkah dalam kurun waktu 4 bulan kurang 2 hari, yaitu pada 24 Rabiul Awal 1337 H dan selesai pada Kamis ba’da dzuhur pada 23 Rajab 13337 H.

Kitab ini sampai saat ini masih dalam bentuk manuskrip dan jarang sekali dikaji oleh akademisi Muslim, padahal konsep ulumul quran di dalamnya sangat kentara. Semoga penelitian lanjutan terhadap kitab ini dapat segera ditindaklanjuti oleh peneliti muslim mulai dari S1, S2 hingga S3. Syekh Mahfudz dalam manuskrip ini menggunakan diksi kalimat berbahasa Arab yang indah dan sangat memperhatikan nadzam bahasa serta terdapat bait puisi di sela-sela penjelasannya.

Baca juga: Ulumul Quran: Asal Usul dan Sinonimitas Kata Alquran

Seperti yang diterangkan oleh Zainur Awari dalam abstrak tesisnya Ba’dhu Al-Qadhaya Al-Balaghiyyah Al-Muta’alliqah Fi Al-Qur’an AlKarim Tahqiq Wa Dirasah Li Ahad Al-Abwab Al-Waridah Fi Kitabi Fath Al-Khabir, bahwa Fathul Kabir sangat cocok dan relevan untuk dikaji dalam bidang ilmu ma’an al-Qur’an, karena konten yang terdapat dalam kitab tersebut lebih menonjolkan aspek-aspek retorika.

Ciri Khas dan Keunikan Kitab Fathul Khabir

Selain hal-hal di atas, Fathul Khabir mempunyai ciri khas atau keunikan dalam sistematika penulisannya, salah satunya tentang gaya penulisan dengan memberikan tinta merah pada kata-kata yang dianggap penting atau kata yang menjadi pokok bahasan dalam satu paragraf (kata kunci). Kata-kata tersebut berasal dari nadzm atau bait puisi Syekh al-Fudi dalam Alfiyah li ‘Ilm Tafsir.

Lebih dari itu, Syekh Mahfudz juga menggunakan bahasa Arab riq’ah atau biasa disebut khat Turki Utsmani, khat yang begitu indah, beliau tulis dengan rapi sehingga mudah untuk dibaca.  Sepesifikasi khat ini lebih pada gaya penulisan yang cepat dan pendek serta biasa digunakan sebagai catatan tangan pada saat didikte. Sehingga khat ini tidak memiliki penulisan yang rumit.

Kitab ini terdiri dari 302 halaman berbentuk manuskrip dan sampai sekarang masih belum dicetak secara modern dan belum ditahqiq. Setidaknya terdapat kurang lebih 1202 bait puisi dengan irama rajaz atau rumus irama syair yang mengikuti wazan mustaf’lun sebanyak enam kali, ‘Arud yang digunakan dalam puisis tersebut a rud tam shahih, dan menggunakan darb tam shahih yang berisikan kajian ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu tafsir seperti asbab al-nuzul, Makki wa madani  dan lain sebagainya.

Baca juga: Pentingnya Ulumul Quran Sebagai Sarana Menggali Pesan Tuhan

Sebagai contohnya bait puisi itu adalah

والجنان والنار مخلوقاتان اللانا ففي السماء جنة والخلف والنار جم والأصح الوقف والروح باقى بعد الموت البدن في فرح للسعداء والحزن بالفسق والبدعة لا تكفر اللا بمن علم الله ينكر

Nadzam atau bait puisi ini adalah hasil ringkasan al-Fudi dalam kitabnya Alfiyah li Ilm Tafsir terhadap kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya as-Suyuthi. Selanjutnya dari nadzam tersebut dijelaskan oleh Syekh Mahfudz yang merujuk kembali kepada kitab induknya. Apabila di beberapa bait yang dirasa susah dalam memaknainya, Syekh Mahfudz memberikan penjelasan lebih mengarah kepada motivasi atau anjuran yang berarti bab itu sangatlah penting.

Ciri khas selanjutnya ialah dalam mengawali setiap pembahasan diawali kalimat ay hadza mabhathuha. Rujukan yang digunakan oleh Syekh Mahfudz bersumber dari al-Itqan, namun dalam beberapa qaul-nya Syekh Mahfudz lebih mengadopsi qaul masyhur dalam karya as-Suyuthi atau jika tidak ada qaul tersebut, maka beliau memilih qaul yang dianggapnya cukup kuat dalam memberikan rujukan atas penjelasan yang telah dipaparkan.

Sistematika penulisan kitab ini beliau membagi menjadi tiga bagian; pembukaan, pembahasan dan penutup. Dalam pembukaan, Syekh Mahfudz menuliskan lafal basmalah, hamdalah dan shalawat atas Nabi, muqaddimah ilmu ushuluddin ilahiyat, nubuwat dan sam’iyyat. Alasan mengapa di awal penulisan mencantumkan tentang ushuluddin, sebab ini adalah dasar ketika Syekh Mahfudz akan mempelajari ilmu agama, seperti ulumul quran ini.

Baca juga: Munasabah Al-Quran: Inspirator Teori Baru dalam Penafsiran

Ginanjar Sya’ban dalam Mahakarya Islam Nusantara: Kitab Naskah, Manuskrip, dan Korespondensi Ulama’ Nusantara meneranhkan dalam isi pembahasan beliau memaparkan tentang kajian ulumul quran secara komprehensif mulai asbabun nuzul, qira’at, makki madani dan lainnya. Dalam penutup beliau mejelaskan tentang tabaqat mufasir, tabaqat tabi’in, daftar karya-karya Syekh Mahfudz at-Tarmasi, dan daftar isi.

Sedangkan konsep ulumul quran yang Syekh Mahfudz maksudkan dalam kitab ini adalah ulumul quran sebagaimanan di atas di mana segala komponen ilmu tentang ulumul quran dan ilmu tafsir dibahas sedetail mungkin dengan menambahkan footnote atau rujukan pendapat para ulama sebelumnya dan pendapatnya sendiri yang relevan dengan konteks saat itu. Wallahu A’lam.

Ini Daftar 15 Bayi yang bisa Bicara Menurut Para Mufassir

0
bayi yang bisa bicara
bayi yang bisa bicara

Kitab tafsir merupakan khazanah Islam yang mendokumentasikan kisah mengagumkan. Salah satunya tentang adanya bayi yang bisa bicara. Hal ini tidak lepas dari beberapa ayat Al-Quran yang menyinggung bayi-bayi yang bisa bicara. Selain itu juga, persinggungan ahli tafsir dengan kisah yang bersumber dari ahli kitab, tentang keberadaan bayi yang bisa bicara sebelum datangnya Islam.

Beberapa ulama kemudian berusaha mendokumentasikan kisah-kisah tersebut, lewat bait-bait syair yang menyebutkan nama-nama terkait kisah bayi yang bisa bicara. Bait-bait ini tidak hanya mendokumentasikan berdasar kitab tafsir, tapi juga hadis serta kisah karomah para kekasih Allah setelah masa hidup Nabi Muhammad SAW. Berikut ulasannya.

Baca juga: Bayi Menangis? Bacalah Doa Ibu Maryam ini dalam Al-Quran

Catatan Tentang Bayi-bayi Yang Bisa Bicara

Salah satu yang pernah mencatat keberadaan bayi-bayi yang bisa bicara dalam sejarah Islam adalah Imam As-Suyuthi. Imam as-Suyuthi mendokumentasikan bayi-bayi yang bisa bicara lewat syair beliau yang terdiri dari empat bait syair. Di dalam syair tersebut Imam As-Suyuthi mencatat ada 11 bayi bisa bicara. Bait ini termaktub diantaranya dalam kitab Tafsir Ruhul Ma’ani karya Imam Al-Alusi dan Tafsir Bahrul Madid karya Ibn Ajibah:

تكلم في المَهدِ النَّبيُّ مُحَمدٌ #  ويحيى وعيسى والخليلُ ومريمُ

“Berbicara saat masih bayi Nabi Muhammad #  dan Yahya, ‘Isa, Ibrahim dan Maryam”

وصَبِيّ جُريْجٍ ثم شاهِدُ يوسِفُ # وطِفلٌ لدى الأُخدود يَرويهِ مُسلِمُ

“Bayi Juraij lalu saksi Yusuf # dan bayi Dzil Ukhdud yang diriwayatkan Muslim”

وطفلٌ عَلَيهِ مُرَّ بالأمَةِ الَّتي # يُقالُ لَها تَزنِي ولا تَتَكَلَّمُ

“Dan bayi yang seorang budak ditemui bersamanya # ia dituduh zina dan tidak menjawab”

وماشِطَةٌ فِي عَهدِ فرعون طِفلُها # وفي زَمَنِ الهادي المُبَاركُ تُختَمُ

“Bayi Masyithah di masa Fir’aun # dan di zaman Nabi ada Mubarak yang menutup jumlah tadi” 

Baca juga: Ini Cara Berdialog dengan Allah Melalui Al-Quran

Setelah As-Suyuthi rupanya ada ulama yang memberi tambahan dan menyusun syair baru yang mendokumentasikan bayi-bayi yang bisa bicara. Ulama tersebut adalah Imam Ahmad ibn Musa Al-Bili Al-‘Aduwwi wafat 1213 H. Imam Al-Bili menambahkan tiga orang. Sehingga semuanya berjumlah 14 bayi yang bisa bicara. Imam Al-Bili menyatakan dalam Risalatu Man Takallama Fil Mahdi:

محمد في المهد قد تكلما  #  نوح وإبراهيم موسى فاعلما

“Nabi Muhammad saat bayi berbicara # dan Nuh, Ibrahim, serta Musa. Maka ketahuilah!”

يحيى وعيسى طفل ذي الأخدود  #  وشاهد يوسف ومريما

“Yahya. ‘Isa dan anak Dzil Ukhdud # dan saksi Yusuf serta Maryam”

مُبرّي جُريج هكذا مُبرئ الأمة  #  مبارك اليمامة الذي انتما

“Bayi pembebas Juraij serta bayi pembebas budak perempuan # Dan Mubarak yang berbangsa Yamamah”

ماشطة بنت فرعون  ابنها  #  وبنت محيى الدين جاءت فاختما

“Anak Masyithah yang merupakan anak perempuan Fir’aun # dan anak perempuan Muhyiddin ia datang lalu selesailah daftarnya” 

Baca juga: Tafsir Surah Maryam Ayat 33: Tiga Bentuk Keselamatan Yang Diminta oleh Nabi Isa

Daftar 15 Bayi yang Bisa Bicara

Kisah-kisah tentang bayi yang bisa bicara cukup banyak disinggung dalam khazanah kitab tafsir. Namun, ada pula yang bersumber dari hadis atau kisah yang berkembang diantara para ulama’. Berikut rincian daftar ke-15 bayi tersebut, bersama karya tafsir atau selainnya yang mendokumentasikannya:

  1. Nabi Muhammad. Nabi Muhammad pernah berbicara tatkala masih bayi dan berada dalam asuhan Halimah As-Sa’diyah. Kisah ini diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas.
  2. Nabi Nuh. Kisah tentang Nabi Nuh berbicara saat kecil disebutkan Imam Isma’il Haqqi dalam Tafsir Ruhul Bayan atau lebih dikenal dengan Tafsir Haqqi, di sela-sela beliau menafsiri Surat Yusuf ayat 26.
  3. Nabi Ibrahim. Kisah tentang Nabi Ibrahim berbicara saat masih bayi disebutkan diantaranya di dalam Tafsir Khazin, Tafsir Baghawi dan Tafsir Sirajul Munir. Rata-rata kisah tersebut disebutkan saat menafsiri surat Al-An’am ayat 74.
  4. Nabi Musa. Kisah tentang Nabi Ibrahim berbicara saat masih bayi disebutkan di Kitab Nihayatul Arb karya An-Nuwairi dan Isma’il Haqqi dalam tafsirnya.
  5. Nabi Yahya. Kisah tentang Nabi Yahya berbicara saat masih bayi disebutkan di dalam Tafsir Durrul Manshur di sela-sela menafsiri surat Maryam ayat 16.
  6. Nabi ‘Isa. Kisah Nabi ‘Isa ini terekam di Surat Maryam ayat 27-30.
  7. Bayi Dari Kaum Dzil Ukhdud. Bayi Dzil Ukhdud adalah kisah yang masyhur dan dikisahkan oleh Nabi Muhammad lewat hadis riwayat Imam Muslim.
  8. Bayi Yang Menjadi Saksi Nabi Yusuf. Kisah ini terekam dalam Al-Quran Surat Yusuf ayat 26.
  9. Siti Maryam. Kisah Siti Maryam berbicara tatkala masih bayi adalah versi lain terkait kisah yang terekam di Al-Quran Surat Al-Imron ayat 37. Versi ini diriwayatkan Imam As-Suyuthi dari Al-Hasan.
  10. Bayi Yang Membebaskan Imam Juraij. Kisah ini kisah masyhur dan Diriwayatkan Imam Bukhari serta Imam Muslim.
  11. Bayi Seorang Budak Yang Dituduh Berzina. Kisah ini kisah masyhur dan Diriwayatkan Imam Muslim.
  12. Mubarak Al-Yamamah. Kisah ini didokumentasikan oleh Imam Al-Baihaqi dalam Dalailun Nubuwwah.
  13. Bayi Masyithah. Masyithah ini adalah perempuan yang menjadi tukang sisir raja Fir’aun. Ia beriman kepada Allah secara diam-diam sebelum diketahui oleh Fir’aun
  14. Bayi perempuan Muhyiddin. Muhyiddin ini adalah Muhyiddin ibn ‘Arabi 1165-1240 M. Seorang tokoh tasawuf yang masyhur. Dan penyusun Kitab Futuhat Makiyyah.

Imam Isma’il Haqqi di dalam Tafsir Haqqi, di sela-sela menafsiri Surat Yusuf ayat 26, menceritakan bahwa termasuk bayi yang dapat bicara adalah Nabi Yusuf. Nabi Yusuf berbicara saat masih di dalam kandungan ibunya. Dengan ini jumlah bayi yang bisa bicara bertambah satu. Dan total ada 15. Wallahu a’lam[]

Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi

0
syekh mahfudz at tarmasi
fathul khabir, kitab ulumul quran syekh mahfudz at tarmasi

Ulama tafsir Indonesia memang tersohor di kancah global dan bahkan karya-karyanya menjadi bahan ajar dan rujukan di berbagai belahan dunia, salah satu ulama cum mufasir Indonesia itu adalah Syekh Mahfudz At Tarmasi. Syekh Mahfudz adalah seorang ulama Nusantara abad ke-14 yang terkenal dan memiliki kontribusi besar dalam bidang ulumul quran dan hadits, beliau juga memiliki sanad keilmuan yang muttashil hingga ke Rasulullah saw. Salah satu magnum opusnya dalam bidang ulumul quran adalah Fathul Khabir yang sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip, juga menjadi warisan intelektual Nusantara.

Biografi Syekh Mahfudz At Tarmasi

Dalam Hasyiyah at-Tarmasi dan Kifayah al-Mustafid li-ma ‘ala min al-Asanid dijelaskan bahwa beliau mempunyai nama lengkap, Muhammad Mahfudz bin Abdullah bin Abd al-Manan at-Tarmasim al-Jawi al-Shafi’i. Beliau lahir pada 31 Agustus 1868 bertepatan dengan 12 Jumadil Ula 1285 H di Desa Termas, Pacitan, Jawa Timur. Ketika beliau dilahirkan, ayahnya sedang berada di Makkah al-Mukarramah.

Baca juga: Moh. E. Hasim, Tokoh Mufasir Sunda Aktifis Muhammadiyah

Saat beliau berusia 6 tahun, tepat pada 1291 H/ 1874 M, beliau dikirim ke Makkah bersama ayahnya untuk menimba ilmu di sana. Adapun guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri dengan metode yang dikenal dengan qiraah as-syaikh. Selain belajar di Makkah, beliau sempat tinggal di Semarang dan belajar banyak kepada gurunya bernama KH. Shaleh bin Umar atau KH. Shaleh Darat.

Selanjutnya, penekunan Syekh Mahfudz – sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedia Ulama Nusantara karya Bibit Suprarto – dalam bidang ilmu hadits atas perintah ayahnya di Mekkah semenjak ia kecil. Di Makkah, selain menekuni bidang hadits, Syekh Mahfudz juga menekuni bidang Fiqih dan Ulumul quran khususnya Qiraat, dalam bidang hadits inilah, Syekh Mahfudz mendapatkan sanad yang muttashil.

Salah satu magnum-opusnya dalam bidang ulumul quran adalah Fathul Kabir, yang sampai sekarang masih dalam bentuk manuskrip, juga menjadi warisan intelektual nusantara. Fathul Kabir merupakan syarah atas kitab Alfiyah li Ilm Tafsir karya Abdullah al-Nijiri, karya seorang ulama’ Nigeria, Syeih Abdullah ibn Muhammad ibn Uthman ibn Shalih atau masyhur dengan sebutan al-Fudi atau yang biasa disebut sebagai istilah kiyai, memberikan pandangan baru yang lebih komprehensif tentang Ulumul Qur’an. Dalam syarah ini, Syekh Mahfudz merujuk kembali kepada buku aslinya yaitu al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an, yang pada abad ke 13- H al-Fudi juga mensyarah kembali kitab as-Suyuthi tersebut.

Syekh Mahfudz memiliki kontribusi besar dalam keilmuan ulumul quran dan hadits di Indonesia dan dunia. Bahkan beberapa ulama besar Nusantara sebagian besar adalah murid-murid yang pernah diajar olehnya seperti KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nadhdlatul Ulama), KH,. Wahab Hasbullah, KH. Mas Mansur dan beberapa ulama dan tokoh Indonesia lainnya.

Baca juga: Mufasir-Mufasir Indonesia: Biografi Syekh Nawawi Al-Bantani

Beberapa Karya Syekh Mahfudz

Syekh Mahfudz juga merupakan ulama kutubi (ulama penulis) dan ulama produktif, tercatat ada 17 kitab karangan beliau, sebagai berikut.

  1. Al-Siqayah al-Mardhiyah fi Asma’ al-Kutub al-Fiqhiyyah fi Ashhab al-Nas al-Shafi’iyah
  2. Muhibbah dzi al-Fadli ‘ala Sharh al-‘Alamah ibn Hajar Muqaddimah ba Fadl
  3. Kifayah al-Mustafidz Lima ‘ala min al-Asanid
  4. Manhaj Dzawi al-Nadzar fi Sharh Mandzumah ‘Ilm Athar
  5. Nail al-Ma’mul, dan Is’af al-Mutali
  6. Al-Khil’ah al-Fikriyah fi Sharh Minhah al-Khairiyah
  7. Al-Badr al-Munir fi Qira’ah ibn Kathir
  8. Tawir al-Sdr fi Qira’ah ibn Amr
  9. Inshirah Fawaid fi Qira’ah Hamzah
  10. Ta’mim al-Manafi’ fi Qira’ah Naf’
  11. Al-Fuad fi Qira’ah Imam Hamzah
  12. Tamim al-Mana fi’ fi Qira’ah al-Imam Nafi’
  13. Aniyah al-Talbah bi Sharh Nadzam al-Tayyibah fi Qira’ah al-Ash’ariyah
  14. Al-Saqayah al-Mardiyah fi Asma’ Kutub Ashabina alSafi’iyah
  15. Al-Fawa’idz al-Tarmasiyah fi Asma’i al-Qira’ah al-Ash’ariyah
  16. Is’af al-Matali’ Shahr al-Badr al-Lasm
  17. Al-Minahah al-Khairiyah.

Beberapa kitab di atas adalah beberapa karangan dan tulisan Syekh Mahfudz At Tarmasi yang sebagian masih dalam manuskrip tulis tangan beliau, dan sebagian sudah penah ditahqiq dan dikaji oleh beberapa sarjana Muslim baik Nusantara maupun sarjana-sarjana dunia lainnya. Wallahu A’lam.

Menjadi Guru Itu Profesi Mulia Menurut Al Quran

0
Guru Itu Profesi Mulia
Guru Itu Profesi Mulia/ VOA

Menjadi seorang guru itu profesi yang mulia. Kemuliaan seorang guru datang karena ia merupakan sosok yang berperan dalam membawa masa depan peserta didiknya. Tugas seorang guru sangatlah berat, selain berperan mengajarkan ilmu pengetahuan, ia bertanggungjawab dalam menanamkan aspek nilai-nilai luhur kepada peserta didiknya. Sangking mulianya, Allah swt melukiskan pentingnya menjadi seorang guru yang ikhlas lillahi ta’ala dalam firman-Nya Q.S. Ali Imran [3]: 79,

مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيِّيْنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ

Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!” (Q.S. Ali Imran [3]: 79)


Baca juga: Inilah Keutamaan Shalat Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Ankabut [29] Ayat 45


Tafsir Surat Ali Imran Ayat 79

Dalam Kitab Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul karangan al-Suyuthi dijelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani Najran. Menurut Ibnu Ishaq dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas bahwa pada satu kesemoatan orang-orang Yahudi dan Nasrani Najran berkumpul di hadapan Rasulullah saw.

Ketika Rasul mengajak mereka memeluk Islam, seseroang bernama Abu Rafi’ al-Quradzi berkata, “Ya Muhammad an na’budaka kama ta’buda an-Nashara ‘Isa?” (Wahai Muhammad, Apakah engkau mau jika kami menyembahmu sebagaimana orang-orang Nashrani menyembah Isa?). Rasulullah saw menjawab, “Aku berlindung kepada Allah Ta’ala dari hal itu.” Lantas, Allah swt menurunkan ayat ini.

Adapun dalam riwayat yang lain, Abdurrazaq dalam kitab Tafsirnya menyebutkan bahwa al-Hasan dan dalam kitab al-Kasyaf menyampaikan telah datang kepadanya seorang laki-laki kepada Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, ucapan salam kami kepada engkau sama dengan ucapan salam kami kepada teman-teman kami. Bagaimana jika kami (memuliakanmu dengan) bersujud kepada engkau?” Beliau menimpali, “Jangan! Cukuplah kalian menghormati Nabi kalian dan ketahuilah hak-hak keluarganya. Karena, sungguh tak pantas seseorang bersujud kepada selain Allah swt.”

Muhammad ‘Ali al-Shabuny dalam Shafwah at-Tafasir menjelaskan tidak sah, tidak elok bagi seorang manusia yang telah diberikan kitab Allah dan nubuwwah (tanda kenabian), lantas mengatakan kepada manusia “u’buduni min duunillah (sembahlah aku selain Allah swt)”. Akan tetapi ia mengatakan sebagaimana Ibnu Abbas menafsirkan kata rabbaniyyina dengan hukama (ahli hukum), ulama (ahli ilmu), dan hulama (ahli bijaksana).

Artinya, ia hanyalah seorang fuqaha yang taat kepada Allah swt, tidak lebih dari itu. Sedangkan Ibnu Asyur memaknai rabbaniyyina dengan mukhlisina lillahi duna ghairihi (orang-orang yang ikhlas karena Allah swt). Abu Sa’ud al-Imadiy mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata rabbani adalah seorang yang sempurna dalam ilmu dan mengamalkannya serta berpegang kuat pada ketaatan kepada Allah Swt dan agama-Nya.


Baca juga: Ini Cara Berdialog dengan Allah Melalui Al-Quran


Pentingnya Berprofesi Sebagai Guru

Ayat di atas merujuk pada pentingnya berprofesi sebagai guru. Hal ini tercermin dalam kata rabbaniyyina. Apabila seseorang telah dikaruniai ilmu pengetahuan, hendaklah ia mau mengajarkan apa yang telah diperolehnya kepada masyarakat agar masyarakat mendapatkan manfaat dari ilmu yang diperolehnya. Selain itu, penggunaan kara rabbani oleh ayat tersebut mengindikasikan bahwa pentingnya kualifikasi yang mesti dimiliki oleh seorang pendidik yakni ahli hukum, bijaksana, sikap ikhlas, dan sejenisnya.

Inilah betapa pentingnya berprofesi sebagai guru. Sebab suatu pahala tetap mengalir kepada seseorang melainkan tiga hal, salah satunya ialah ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang bermanfaat ialah ilmu yang terus senantiasa diajarkan, dan diamalkan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Wallahu A’lam.


Artikel terkait: