Beranda blog Halaman 470

Mengenal Mustansir Mir dan Unsur-Unsur Sastra Dalam Al-Quran

0
Mustansir Mir
Mustansir Mir

Setelah Amin Al-Khulli, lahirlah banyak tokoh yang mencoba memahami Al-Quran dengan menggunakan pendekatan sastra. Salah satunya yaitu Mustansir Mir. Sama dengan Amin Al Khulli, seorang tokoh mufasir yang berpendapat bahwa Al-Quran merupakan kitab bahasa Arab paling besar dan paling agung, yang oleh karenanya dia mencoba memahami Al-Quran dengan sastra bukan lagi dengan pendekatan teologis seperti para mufasir sebelumnya, Mustansir Mir juga demikian.  

Muntansir Mir adalah Profesor Islamic Studies pada Youngstown State University, Ohio, US. Dia menyelesaikan sarjana dan magisternya di Punjab University, Lahore, Pakistan. Dia menyelesaikan magister keduanya dan mendapatlan gelar Ph.D dari University of Michigan, Ann Arbor dalam bidang Islamic Studies. Dia mengajar di Universitas Lahore, University of Michigan, University of Virginia, University of Oxford, Youngstown University dan International Islamic University di Malaysia.

Banyak karya yang ditulis oleh Mustansir Mir yang mana ia mengkhususkan kajiannya terhadap pendekatan sastra. Seperti Verbal Idioms of the Quran, The Quran as Literature dan lain sebagainya. Mir menggunakan pendekatan sastra untuk menjelaskan kisah Yusuf dalam Al-Quran.

Mustansir Mir menerapkan kritik sastra kepada Al-Quran dengan menganalisis struktur cerita. Menurutnya, Al-Quran adalah salah satu karya sastra besar seperti Alkitab. Namun demikian, penyajian kesusastraan Al-Quran tidak bervariasi sebanyak yang Alkitab lakukan. Dalam Alkitab, ada lagu-lagu rakyat, puisi-puisi yang berisi duka cita dan ratapan, kegairahan para nabi, puisi yang menggambarkan keindahan alam dan sebagainya.

Pesan dalam Al-Quran disajikan oleh perangkat dan teknik sastra, seperti cerita, perumpamaan, dan sketsa karakter, menggunakan kiasan dan sejenisnya. Beberapa mufasir sebelumnya juga telah menggunakan pendekatan sastra untuk menafsirkan Al-Quran, salah satunya Amin Al-Khulli.

Al-Khulli mengedepankan dua prinsip metodologis yang merupakan metode ideal untuk mengkaji teks sastra. Dua metode tersebut yaitu; pertama, kajian terhadap segala sesuatu yang berada di sekitar Al-Quran (dirasah ma haula Al-Quran) dan kedua, kajian terhadap Al-Quran itu sendiri (dirasah fi Quran nafsihi).

Baca Juga: Amin Al-Khuli: Mufasir Modern Yang Mengusung Tafsir Sastrawi

Kajian seputar Al-Quran terfokus pada pentingnya aspek historis, sosial, kutural dan antropologis wahyu bersamaan dengan masyarakat Arab abad ke 7 Hijriah sebagai objek langsung ketika Al-Quran diturunkan. Secara teknis kajian ini lebih dikenal dengan Ulumul Quran.

Kajian selanjutnya yaitu kajian Al-Quran terhadap dirinya sendiri (dirasah ma fil Quran nafsihi). Kajian ini dimulai dengan meneliti kosa kata Al-Quran dengan mencari bentuk tunggalnya (mufrad) agar dapat dipahami secara total. Setelah mengkaji makna kata dari segi bahasa dan perkembangannya dilanjutkan pada kajian terhadap makna berdasarkan pada pemakaiannya dalam Al-Quran.

Tidak hanya berhenti dalam kajian asal kata, Al-Khulli juga mengamati preferensi penggunaan kata atau struktur bahasa, mengidentifikasi sintaksis (tipe struktur kalimat), leksikal (diksi, penggunaan kata tertentu), deviasi (penyimpangan dari kaidah umum tata bahasa).

Usaha Al-Khuli mengembangkan metode sastra dalam tafsir ini merupakan langkah untuk menjauhkan penafsiran dari subyektifitas mufasir. Sama halnya dengan Al-Khulli, Mir juga berkeinginan untuk merubah pola penafsiran yang subjektif menjadi objektif, setidaknya melalui pendekatan sastra yang telah Mir rumuskan.

Pendekatan Sastra yang digunakan oleh Mir agak sedikit berbeda dengan Al-Khulli. Mir lebih banyak menambahkan hal-hal yang belum tersentuh pada metode sastra Al-Khulli.

Baca Juga: Bint ِِAs-Syathi: Mufasir Perempuan dari Bumi Kinanah

Unsur-unsur sastra Al-Quran

Unsur-unsur sastra Al-Quran menurut Mustansir Mir antara lain; Pertama yaitu word choice. Al-Quran memilih kata-katanya dengan cara yang sangat rinci dan rumit, sehingga maknanya hanya dapat dipahami setelah pembacaan yang teliti. Misalnya Surat Al-Ahzab [33]: 13.

Kedua, gambaran atau kiasan. Al-Quran menggunakan bahasa yang indah. Ekspresi alegoris dan perumpamaan sering digunakan di dalamnya. Keindahannya diakui dari caranya  menggambarkan fenomena alam dan situasi orang Arab abad ke-7. Misalnya dalam QS Al-Qamar [54]: 19-20.

Ketiga, humor, sindiran dan ironi. Dalam Al-Quran tidak terlalu banyak ayat yang mengandung humor. Seperti dalam surat Al-Kahfi [18]:62-64. Keempat, permainan kata dan ambiguitas. Salah satu contoh permainan kata dalam Al-Quran yaitu terkandung dalam QS al-Baqarah[2]:61.

Kelima, narasi. Al-Quran biasanya tidak menceritakan keseluruhan cerita tetapi menceritakan bagian-bagiannya saja dan dalam bab yang berbeda. Ini bertujuan untuk menekankan tujuan mengapa sebuah kisah diceritakan dalam sebuah bab. Sebagai contoh, kisah Ibrahim termuat dalam surat-surat berikut: Al-An’am [6], Al-Anbiya [21], Al-Dhariyat [51] dan Al-Mumtaḥanah [60].

Baca Juga: Mengenal Makna Majaz dalam Al-Quran

Keenam, dialog dramatis. Dialog dalam Al-Quran biasanya diberikan dalam teks sederhana yang berisi pemahaman mendalam tentang pikiran dan perilaku manusia. Dialog biasanya ditemukan dalam narasi cerita-cerita dalam Al-Quran, seperti dialog antara Musa dan Khidr (Surah Al-Kahfi [18]: 65-83), Musa dengan Firaun (Surah Al-Syu’ara [26]: 16- 37) dan lainnya.

Ketujuh, karakter. Karakter Dari aspek teologis, karakter-karakter yang disebutkan dalam Al-Quran muncul dari manifestasi sifat atau karakteristik tokoh yang diriwayatkan. Dibandingkan dengan yang lain, karakter para nabi, seperti Ibrahim, Musa, Yusuf, dan lainnya, kebanyakan disebutkan di dalamnya. Inilah unsur-unsur sastra dalam Al-Quran menurut Mustansir Mir.

Mengenal Tafsir al-Mahalli, Tafsir Al-Quran Beraksara Arab Pegon Karya Kiai Mujab Mahalli

0
tafsir al-mahalli
tafsir al-mahalli (iqra.id)

Kajian tafsir Al-Quran terutama di wilayah kebudayaan Jawa seringkali berhasil mengungkap beragam unsur lokalitas yang kental. Kajian tersebut menjadi unik karena ternyata masih banyak karya-karya tafsir ulama di Jawa yang belum tersentuh oleh para peneliti. Salah satu karya tafsir Al-Quran yang penulis baru ketahui ialah Tafsir Al-Mahalli karya Kiai Mujab Mahalli asal bantul, Yogyakarta.

Kiai kondang yang pernah menjadi politikus ini ternyata sangat produktif dalam menulis. Walaupun demikian popularitas kitab tafsir ini tidak kemudian melambung tinggi seperti penulisnya. Kiai yang dikenal sebagai Gus Dur-nya Jogja ini menulis kitab tafsir dengan gaya Jogja-nya yang kental.

Tafsir al-Mahalli: Sebuah Kenang-Kenangan

Tafsir ini bernama lengkap, Tafsir Al-Mahalli li Ma’rifati Ayati Al-Qur’an wa Nuzuliha. Nama ini disematkan pada kitabnya untuk mengingat jasa besar sang ayah, Kiai Muhammad Mahali, dalam mendidik agama putra-putrinya. Kiai Mujab menghadiahkan kitab ini kepada istrinya tercinta, Nyai Nadhiroh binti Muslih sebagai kenang-kenangan pernikahannya. Dari sini penulis mengasumsikan penulisan kitab tafsir ini dimulai jauh sebelum Kiai Mujab menikah.

Tafsir Al-Mahalli ini masih belum ditemukan naskah aslinya. Dari penelusuran teman penulis yang juga mengembangkan penelitian mengenai kitab ini, diidapati fakta bahwa naskah yang didapat hanya juz 1 saja. Naskah yang lain masih belum dapar diakses. Penerbit kitab ini, yaitu Kota Kembang yang merupakan penyumbang penerbitan kitab ini ternyata juga sudah tutup.

Secara filologis, penulis masih belum pernah mengetahui kitab aslinya sehingga penulis hanya mendapati kitab yang telah di-copy. Kitab yang penulis dapati merupakan tafsir Al-Quran dari awal juz 1 hingga akhir juz 1 yakni awal Surat Al-Fatihah hingga ayat 141 Surat Al-Baqarah. Bila demikian bukan tidak mungkin kiai Mujab Mahalli menafsirkan seluruh Alquran sehingga kitabnya berjumlah 30 juz.

Baca juga: Mufasir Nusantara: Biografi KH. Mudjab Mahalli Al-Jogjawy

Kitab yang penulis dapati ini (juz 1) berjumlah 171 halaman. Halaman depannya berwarna kuning dengan tulisan Tafsir al-Mahalli: li ma’rifati ayati Alquran wa nuzuliha. Penerbitannya dilakukan oleh Penerbit kota kembang pada tahun 1989. Pada saat penerbitannya, kiai Mahalli masih disebut sebagai akhina syab oleh kiai Abdul Wahhab yang berarti beliau masih tergolong muda pada saat menuliskan tafsir ini. Penulisannya manual menggunakan pena khusus menulis aksara Arab.

Bahasa Jawa digunakan oleh kiai Mujab dalam menafsirkan Al-Quran. Tidak hanya bahasanya secara umum, namun dalam memberikan penjelasan-penjelasan yang spesifik atas diksi tertentu, kiai Mujab juga menggunakan diksi yang lumrah di masyarakat. Aksara yang digunakan oleh kiai Mujab dalam Tafsir Al-Mahalli ini ialah aksara Arab-pegon. Ia menggunakan Aksara Pegon dengan harakat dalam setiap menuliskan tafsirnya, baik pada makna gandulnya maupun pada penjelasan tafsirnya.

Jika ditelisik lebih dalam, ternyata ada sedikit perbedaan dalam penggunaan aksara Arab pegon ini dibanding dengan kitab tafsir karya kiai Bisri Musthofa. Kiai Bisri menggunakan Aksara Arab Pegon tanpa harakat dalam menuliskan makna gandulnya. Hal ini menjadi penting diperhatikan guna mengungkap siapakah yang menjadi objek pembaca kitab ini.

Dalam pandangan penulis, kiai Mujab memperhatikan pembaca yang tidak cukup familiar dengan aksara Arab pegon, sehingga dengan adanya harakat memberikan kemudahan kepada pembaca. Berbeda halnya dengan kiai Bisri yang menggunakan Arab pegon tanpa harakat dalam menuliskan makna gandulnya. Dapat dipahami bahwa dua kitab dengan karakter sama ini memiliki segmen pembaca yang berbeda

Dalam melakukan pembahasan, kiai Mujab memiliki cara tersendiri dalam nembentuk sistematikanya. Sistematika penulisan tersebut dapat diruntut ke dalam lima bagian. Pertama pendahuluan surat, di dalamnya kiai Mujab memberikan penjelasan mengenai nama dan asal usul surat tersebut. Seperti layaknua kitab-kitab klasik, nama, makki madani, isi kandungan surat disebutkan semuanya misalnya pada surat al-Baqarah yang berisi tentang keimanan, ksiah-kisah, hukum-hukum dan lain sebagainya.

Pada bagian kedua, kiai Mujab menuliskan ayat-perayat yang akan ditafsirkan sesuai dengan temanya. Jika dalam satu surat pendek, ia langsung menafsirkan semuanya, namun bila pada surat yang panjang semacam surat al-Baqarah, kiai Mujab mengklasifikasikan pada suatu topik tertentu.

Baca juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Topik bahasan yang terdapat dalam Tafsir Al-Mahalli ini berbeda dengan yang ada dalam kitab lain. Kiai Bisri misalnya menafsirkan ayat satu Surat Al-Baqarah. sebagai satu topik tertentu yang membahas secara rinci huruf muqathaah. Adapun yang terdapat dalam kitab Tafsir Al-Mahalli, kiai Mujab menyatukan satu sub bahasan dari ayat pertama hingga ayat kelima

Pada bagian kedua ini, kiai Mujab dalam Tafsir Al-Mahalli menerapkan tradisi memberikan makna gandul yang lumrah dikalangan santri. Pemberian makna gandul ini mengacu pada makna per-kata yang dapat menunjukkan jabatan setiap kata dalam kalimat sehingga baik penafsir maupun pembaca dapat mengetahui kaidah nahwu sharaf atas ayat yang ditafsirkan. Pemberian makna gandul ini juga tidak melibatkan simbol-simbol dalam maknani (baca: memberi terjemahan), yang biasanya merupakan singkatan dan kedudukan suatu kata misalnya mim untuk mubtada dan kha untuk khabar.

Pada bagian ketiga, kiai Mujab memberikan penjelasan mengenai kumpulan ayat dengan menujukkan pula nomor ayat yang ditafsirkan. Pada bagian ketiga ini kiai mahalli memberikan unsur-unsur lokalitas dimana posisi ke-jawaannya cukup kental. Misalnya pada pembahasan di Surat Al-Fatihah ayat ke 5 yang ditafsirkan per-kata dengan namung ing panjenengan nyembah sapa kita, lan namung ing panjenengan nyuwun putullung sapa kita. Hal ini berbeda ketika dijelaskan dalam pabian ketiganya dengan redaksi, dumateng paduka piyambak kita nyembah, lan dumateng paduka piyambak kita nywun pitulung

Selain itu unsur lokal muncul pula dalam penafsiran Q.S. Al-Baqarah ayat 61 dimana kata baqliha, qitsaiha, fumiha, adasiha dan basoliha dimaknai secara lebih bisa dipahami kalangan awam. Baqliha dimaknai sebagai jejanganan (sayur-mayur), qitsaiha dimaknai dengan mentimun, fumiha dimaknai dengan gandum, adasiha dimaknai dengan kedelai, dan basoliha dimaknai dengan brambang (bawang merah).

Makna kata adas dalam Tafsir Kemenag bukanlah kedelai namun disebut dengan kacang adas sedangkan kata fum dimaknai dengan bawang putih. Ada pula pemaknaan kata manna wa salwa di Q.S. Al-Baqarah ayat 57 yang berarti madu lan manuk salwa/manuk gemak. Manuk gemak di sini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan antara burung salwa dengan burung gemak

Seperti pada judul tafsirnya, Kiai Mujab juga menyertakan sabab nuzul untuk setiap ayat yang memiliki riwayat asbabun nuzul. Dalam mengungkapkan suatu sababun nuzul, Kiai Mujab membuat suatu sub dengan judul Asbabun Nuzul pada akhir keterangan kemudian menjelaskan sabab nuzul-nya tanpa memberikan riwayat-riwayat hadis yang biasanya dilakukan ulama klasik.

Pada akhir surat (yakni bagian ke empat sistematikanya), Kiai Mujab memberikan penutup sebagai bentuk kesimpulan dari apa yang telah ditafsirkan. Penutup ini juga memberikan penjelasan mengenai keterkaitannya dengan surat setelahnya. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 27-28

0
tafsir surat al baqarah
Penamaan “Surat Al-Baqarah”

Setelah berbicara mengenai makhluk-makhluk kecil yang Allah jadikan sebagai bahan introspeksi diri bagi orang-orang kafir, Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 27-28 bebicara mengenai sifat-sifat tercela orang-orang kafir.


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 26


Inti dari sifat-sifat orang-orang kafir dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 27-28 ini bahwa mereka seringkali merusak perjanjian yang telah dibuat dengan Allah SWT. Padahal Allah telah menganugerahkan akal, indra dan lain sebagainya pada mereka agar dapat memikirkan segala yang mereka lakukan.

Dalam Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 27-28 ini Allah sekali lagi memberikan bahan introspeksi diri kepada orang-orang kafir dan seluruh manusia bahwa mereka berasal dari tanah dan kembali ke tanah. Selain itu Allah juga mengaskan tentang penganugrahan bumi dan seisinya untuk diambil manfaat oleh mereka.

Ayat 27

Sifat-sifat orang fasik dan juga orang kafir yang tersebut pada ayat di atas, yaitu:

  1. Melanggar perjanjian dengan Allah sesudah perjanjian itu teguh;
  2. Memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya;
  3. Membuat kerusakan di muka bumi.

Orang-orang yang merusak perjanjian Allah yaitu merusak perjanjian Allah dengan makhluk-Nya, bahwa seluruh makhluk-Nya akan beriman hanya kepada-Nya, kepada para malaikat, kepada para rasul, kepada kitab-kitab-Nya, kepada hari kemudian dan kepada adanya qada dan qadar Allah, mengikuti semua perintah dan menghentikan semua larangan-Nya.

Untuk itu Allah swt menganugerahkan kepada manusia akal, pikiran, anggota badan dan sebagainya agar manusia selalu ingat akan janjinya itu. Tetapi orang-orang fasik tidak mau mengindahkannya sesuai dengan firman Allah:

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِۖ  لَهُمْ قُلُوْبٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اَعْيُنٌ لَّا يُبْصِرُوْنَ بِهَاۖ وَلَهُمْ اٰذَانٌ لَّا يَسْمَعُوْنَ بِهَاۗ اُولٰۤىِٕكَ كَالْاَنْعَامِ بَلْ هُمْ اَضَلُّ  ۗ اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْغٰفِلُوْنَ

… Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah. (al A′raf/7: 179)

“Dan mereka juga memutuskan apa yang telah diperintahkan Allah untuk menghubungkannya” ialah segala macam pemutusan hubungan yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya, seperti memutuskan hubungan silaturrahim antara sesama kaum Muslimin (an Nisa′/4: 1), membeda-bedakan para nabi dan rasul yaitu mengimani sebagiannya dan mengingkari sebagian yang lain (al-Baqarah/2: 285) dan sebagainya.


Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34: Mengakui Keberadaan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga


Termasuk pula di dalam memutuskan apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya ialah mengubah, menghapus atau menambah isi dari kitab-kitab Allah yang telah diturunkan kepada para rasul-Nya yang berakibat putusnya hubungan antara agama Allah yang dibawa para rasul.

Orang-orang fasik membuat kerusakan di bumi, karena mereka itu tidak beriman, menghalang-halangi orang lain beriman, memperolok-olokkan yang hak, merusak akidah, merusak atau melenyapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk memakmurkan alam ini buat kemaslahatan manusia serta merusak lingkungan hidup. Mereka orang-orang yang rugi di dunia karena tindakan-tindakannya dan rugi di akhirat dengan mendapat kemarahan Allah.

Ayat 28

Sebelum menjadi makhluk hidup, manusia adalah makhluk mati yang berasal dari tanah. Setelah manusia hidup Allah melanjutkan keturunannya dengan mempertemukan sperma laki-laki dan ovum perempuan di dalam rahim perempuan. Setelah melalui beberapa proses, kedua sel ini menjadi bentuk tertentu. Lalu Allah swt meniupkan roh ke dalamnya, sehingga ia menjadi ia manusia.

Pada saat manusia lahir ke dunia, Allah menganugerahkan pendengaran, penglihatan, hati dan akal (as Sajdah/32: 7-11), menjadikan makhluk yang paling sempurna bentuknya (at Tin/95: 4), dan paling mulia di sisi-Nya (al Isra′/17: 70).

Allah menjadikan bumi ini untuk manusia untuk diambil manfaatnya, agar manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah, memberi rezeki untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya sampai waktu yang ditentukan (Hud/11: 3).

Kemudian malaikat maut mencabut nyawanya, sehingga dia menjadi mati kembali. Pada saatnya, Allah swt menghidupkannya kembali untuk meminta pertanggungjawabannya. Orang yang beriman dibalas dengan surga dan orang-orang kafir dimasukkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.

Ayat ini mengingatkan kepada orang yang beriman tentang beberapa hal:

  1. Allah Mahakuasa menghidupkan dan mematikan, kemudian membangkit-kannya kembali setelah mati. Hanya kepada-Nyalah semua makhluk kembali.
  2. Agar manusia jangan terlalu cenderung kepada dunia. Hidup yang sebenarnya ialah di akhirat nanti. Hidup di dunia merupakan hidup untuk mempersiapkan hidup yang lebih baik nanti.
  3. Allah-lah yang menentukan ukuran, dan batas waktu kehidupan makhluk, seperti kapan suatu makhluk harus ada, bagaimana keadaannya, kapan akhir adanya dan sebagainya.

Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 29


(Tafsir Kemenag)

Ucapan Umar bin Khattab (Khulafaur Rasyidin) yang Diabadikan dalam Ayat Al-Quran

0
Umar bin Khattab (Khulafaur Rasyidin) yang Ucapannya Diabadikan Al-Quran
Umar bin Khattab (Khulafaur Rasyidin) yang Ucapannya Diabadikan Al-Quran

Nama Umar bin Khattab tentu tidak asing lagi di telinga kita. Khalifah yang kedua setelah Abu Bakar As-Siddiq ini memang terkenal karena wibawanya. Kewibawaan Umar bahkan telah nampak sebelum ia mengikrarkan dua kalimat syahadat. Salah satu keistimewaan lainnya yang mungkin jarang kita ketahui adalah, diabadikannya ucapan Khalifah Umar bin Khattab dalam ayat Al-Quran.

Tentu kita bertanya kok bisa ucapan Umar bin Khattab diabadikan dalam Al Qur’an? Mengenai hal ini, Kitab Al Itqan fi Ulumil Qur’an anggitan Imam Jalaluddin As-Suyuti memasukkan pembahasan ini dalam ayat-ayat Al Qur’an yang diturunkan berdasarkan lisan sebagian sahabat. Jadi, maksud dari ucapan Umar diabadikan dalam Al Qur’an adalah, ucapan Umar menjadi sebab musabab turunnya ayat Al Quran. Tak hanya itu, ayat yang turun pun terkadang serupa dengan apa yang diucapkannya.


Baca juga: 5 Prinsip Etika Berkomunikasi Menurut Al-Quran


Sebelum mengetahui ayat apa saja yang turun sebab ucapan Umar, kita perlu tahu terlebih dahulu definisi asbabun nuzul. Asbabun nuzul merupakan sebab-sebab turunnya Al Qur’an baik berupa peristiwa maupun pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad. Dari definisi ini kita bisa mengetahui bahwa ucapan sahabat pun bisa menjadi sebab turunnya ayat. Apalagi ucapan itu datang karena merespon suatu peristiwa.

Perihal sosok Umar bin Khattab, memang tidak hanya sekali ucapannya terekam dan menjadi sebab turunnya ayat. Dalam berbagai riwayat, ada yang menyebut tiga bahkan empat kali. Maka tak heran jika Rasulullah Saw pernah bersabda,

إن الله جعل الحق على لسان عمر و قلبه

“Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran (al-haq) melalui lisan Umar dan hatinya”

Hadis yang dikeluarkan oleh Imam at-Tirmidzi dari riwayat Ibnu Umar ini memang menjadi penguat betapa layaknya ucapan Umar bin Khattab terdokumentasi sebagai sabab nuzulnya ayat Al Qur’an.


Baca juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran


Ayat-ayat yang Turun atas Ucapan Umar bin Khattab

Imam Bukhari beserta imam hadis lainnya pernah mengeluarkan sebuah riwayat dari Anas tentang Umar bin Khattab. Kala itu Umar bin Khattab menyebut, “Aku pernah sependapat dengan Tuhanku dalam tiga hal.” Setelah itu Umar bin Khattab menyebut ayat-ayat yang serupa dengan apa yang pernah ia ucapkan.

Pertama, Khalifah Umar pernah bertanya pada Nabi Muhammad, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita menjadikan Maqam Ibrahim sebagai mushala (tempat shalat)?” Istimewanya, Allah menurunkan wahyu yang serupa yakni QS. Al Baqarah: 125.

وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ

Kedua, Umar juga pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya yang masuk ke rumah istri-istrimu itu ada yang baik dan ada yang jahat. Karena itu perintahkanlah kepada mereka untuk berhijab?” Setelah itu turunlah ayat tentang hijab.


Baca juga: Penafsiran “ Berkah” dalam Surat Al-Isra’ Ayat 1


Ketiga, Umar berkata kepada istri-istri Nabi yang saling cemburu. “Jika Allah memisahkan Nabi dengan kalian maka Allah akan memberikan pengganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian.”  Maka turunlah QS. At Tahrim: 5.

عَسٰى رَبُّهٗٓ اِنْ طَلَّقَكُنَّ اَنْ يُّبْدِلَهٗٓ اَزْوَاجًا خَيْرًا مِّنْكُنَّ

Begitupun dengan Imam Muslim, Ibn Abi Hatim, dan Abdullah bin Abi Laila yang meriwayatkan ucapan Umar sebagai sebab turunnya ayat. Misalnya Ibn Abi Hatim dan Abdullah bin Abi Laila yang juga meriwayatkan ayat lain yang tidak disebutkan Imam Bukhari tadi. Alkisah, Setalah turunnya QS. Al Mu’minun: 12 yang berbunyi,

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ مِنْ سُلٰلَةٍ مِّنْ طِيْنٍ ۚ

Seketika Umar bin Khattab mengucapkan fatabarakallahu ahsanul khaliqin. Dan lagi-lagi turunlah ayat serupa dengan ucapan Umar. Ayat ini terdapat dalam QS. Al Mu’minun: 14.

فَتَبَارَكَ اللّٰهُ اَحْسَنُ الْخٰلِقِيْنَۗ

Riwayat terakhir, dari Abdurrahman bin Abi Laila yang mengisahkan, ada seorang Yahudi yang bertemu dengan Umar bin Khathab. Namun orang Yahudi itu justru berkata, “Sesungguhnya Jibril yang telah disebut-sebut oleh temanmu (Muhammad) itu adalah musuh kita.” Merespon ucapan itu, Umar bin Khattab melontarkan ucapan yang kemudian terdokumentasi dalam QS. Al Baqarah: 98.

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّلّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَرُسُلِهٖ وَجِبْرِيْلَ وَمِيْكٰىلَ فَاِنَّ اللّٰهَ عَدُوٌّ لِّلْكٰفِرِيْنَ

Yang artinya: “Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.”


Baca juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh


Dalam hal ini, memang bukan hanya ucapan Umar bin Khattab yang diabadikan dalam ayat Al Qur’an. Ada sahabat lain seperti Sa’ad bin Mu’adz, Zaid bin Haritsah, Abu Ayyub dan sahabat lainnya. Namun karena ada beberapa ayat yang turun sebab Umar bin Khattab (tidak hanya satu), nampaknya patut disebut bahwa ini adalah keistimewaan. Terlebih Rasulullah menyebut adanya kebenaran (al-haq) melalui lisan dan qalbu Umar.

Apapun itu, yang terpenting bagi kita adalah mengambil pelajaran dari ini semua.

Wallahu a’lam bis shawab[]

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 34: Mengakui Keberadaan Perempuan Sebagai Kepala Keluarga

0
perempuan kepala keluarga
perempuan kepala keluarga (komunita.id)

Pernikahan seringkali diibaratkan sebagai sebuah bahtera. Di mana tentu akan menemui pasang-surut ombak laut hingga badai-topan bumi Tuhan. Berjalan berdampingan juga saling bahu-membahu merawat pernikahan adalah hal yang selalu diusahakan oleh semua pasangan suami-istri. Sebagai perjanjian yang disetujui oleh mempelai perempuan juga laki-laki, pernikahan adalah komitmen yang dibuat oleh dua pihak, tentu harus merangkul atas keadilan terhadap keduanya.

Namun, standarisasi budaya telah lebih kuat mengakar dalam pola kehidupan masyarakat. Salah satu potretnya adalah laki-laki harus mapan secara finansial atau mempunyai peran yang lebih, dalam tugas publik. Lain halnya dengan perempuan, mereka harus lebih mapan dalam hal keahlian atau skill, yang seringkali dikaitkan dengan persoalan domestik. Sebut saja contohnya seperti memasak, mencuci baju, mengurus rumah hingga menyiapkan kebutuhan keluarga atau rumah tangga.

Relasi suami-istri sangat erat dengan bagaimana konsep nafkah dijalankan. Siapa yang akan menafkahi, apa pekerjaan yang dilakukan pemberi nafkah, bagaimana sirkulasi keuangan keluarga atau rumah tangga setiap harinya, hingga pundi rupiah yang disimpan untuk mengawal tumbuh kembang buah hati kelak pun tidak luput dari perbincangan harian suami-istri.

Yang menjadi pertanyaan adalah jika dalam hukum mainstream, laki-laki (suami) sebagai pencari nafkah utama, bagaimana dengan nasib para perempuan kepala keluarga atau yang lebih akrab disapa “janda”? apakah keberadaannya diakui? Sedangkan dalil agama secara jelas mengatakan bahwa al-rijālu qawwāmūna ‘ala al-nisā.

Baca juga: Tafsir Surah An Nisa Ayat 34: Peran Suami Istri dari Pemutlakan hingga Fleksibilitas Kewajiban

Penafsiran Surat An-Nisa [4]: 34

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاء بِمَا فَضَّلَ اللّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُواْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ

“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dan hartanya …”(Q.S. An-Nisa’ [4]: 34)

Menurut Thahir Ibn Asyur yang dikutip oleh M. Quraish Shihab (Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 2, 2003, hlm. 404) bahwa kata al-rijal secara gramatikal bahasa Arab, tidak selalu diartikan sebagai suami. Tidak seperti kata al-nisa atau imra’ah yang senantiasa ditujukan kepada makna istri atau perempuan. Oleh karenanya, awal ayat dari al-Nisa [4] 34 ini berlaku umum, laki-laki dan perempuan.

Meskipun demikian, dalam penafsiran Quraish Shihab secara utuh yang bersifat linguistik-ideologis, tetap memaparkan uraian ayat dalam balutan tektualis, yakni laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan.

Quraish Shihab menguatkan tafsirnya dengan menampilkan deretan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari tinjauan psikologis. Bahwa laki-laki memiliki kriteria kepribadian yang sebagian besar menjurus kepada sifat mengayomi dan menjaga. Yang mana berbeda dengan perempuan yang lebih cenderung lembut dan “keibuan”.

Baca juga: Keluarga Ideal Menurut Al-Quran dan Perannya Demi Keutuhan Bangsa

Sejalan dengan argumen Ibn Asyur, hemat penulis kata al-rijal dalam ayat tersebut merupakan sebuah sifat yang senantiasa dilekatkan kepada sosok laki-laki (gender), bukan secara tersurat menyebutkan laki-laki dalam lingkup jenis kelamin. Sifat yang dimaksud, diantaranya pemberani, bertanggung jawab, adil, bijaksana dan sifat lainnya yang disematkan kepada laki-laki atas dasar standarisasi gender.

Oleh karenanya, ayat ini pun dapat menaungi para perempuan yang dipaksa oleh kondisi untuk menjadi kepala keluarga. Faktor yang menjadi penyebab diantaranya karena suami mereka meninggal, penyandang disabilitas, di PHK tanpa pesangon, bahkan hilang kabar dengan alasan bekerja. Mereka harus berperan sebagai seorang ibu juga ayah (kepala keluarga), yang secara otomatis wilayah domestik juga publik turut menjadi kendali mereka. Wallahu A’lam.

Tafsir Surat An-Nisa Ayat 36: Allah Tidak Menyukai Sifat Sombong dan Angkuh

0
Allah tidak suka sikap sombong dan angkuh
Allah tidak suka sikap sombong dan angkuh

Ajaran Islam telah melarang umatnya untuk bersikap sombong. Hal ini karena sifat sombong dan angkuh bisa menciptakan jurang pemisah antar orang sehingga sulit bergaul atau membangun relasi dengan yang lain dalam lingkungan masyarakat. Selain itu, umat Islam sudah sepatutnya menyadari bahwa segala yang terjadi dalam hidupnya ialah tidak ada apa-apanya kecuali sebab Rahmat Allah swt.

Berbagai ayat dalam Al-Quran juga telah mengigatkan umat Islam agar menghindari perilaku sombong, angkuh dan lain sebagainya. Kata al-Kibr, bathar, ‘utuw, ‘uluw dan ‘ajab/’ujub ialah beberapa istilah yang kemudian dimaknai dengan sifat sombong. Selain itu, Allah melalui firman-Nya juga menyebut mereka dengan istilah mukhtalan Fakhura,dan itu bisa ditemukan dalam surat an-Nisa’ ayat 36 yakni:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا

“Dan sembahlah Allah dan jangan kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan berbuat baiklah kepada  kedua orang tua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri”

Baca juga: Tafsir Surat Luqman ayat 18: Jauhi Sikap Sombong dan Angkuh!

Berbuat baik kepada lingkungan sekitar

Melalui ayat tersebut, Allah memerintahkan kepada umat yang beriman agar hanya beribadah/menghamba kepada Allah dan jangan sekali-kali menyekutukan-Nya. Kemudian dilanjut dengan perintah untuk mempersembahkan kebaikan yang sempurna.

Quraish Shihab mengurutkan tentang siapa saja yang dijadikan objek kebaikan yang tercantum dalam ayat tersebut. Yakni kedua orang tua, kerabat dekat, anak yatim (mereka yang ayahnya meninggal sedang ia belum dewasa), orang miskin, tetangga (baik dekat maupun jauh), teman sejawat (baik dalam suatu perjalanan atau dalam keseharian), ibn Sabil (anak-anak jalanan dan orang yang habis bekalnya saat dalam perjalanan). Dan, hamba sahaya (baik laki maupun perempuan). (Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 2:256)

Tentang kata ihsan, Quraish Shihab menyebutkan bahwa kata itu disebut dalam al-Quran sebanyak enam kali, dan lima diantaranya ialah berkaitan dengan konteks berbakti kepada orang tua. Ihsan yang berakar pada kata husn bisa diartikan dengan segala hal yang mencakup suatu yang menggembirakan dan disenangi. Hasanah sendiri menggambarkan tentang ada yang menggembirakan manusia karena mendapatkan kenikmatan.

Al-Raghib al-Asfahani juga menerangkan bahwa ihsan bisa digunakan untuk dua hal, pertama memberi nikmat kepada yang lain, dan kedua ialah perbuatan baik. Oleh karenanya ihsan bisa diartikan lebih luas lagi (bukan sekedar memberi nikmat). Bahkan ihsan bisa dikatakan lebih tinggi makna adil. Ini karena adil ialah memperlakukan orang lain sama dengan perlakuannya dengan diri sendiri, sedangkan ihsan ialah memperlakukan orang lain lebih baik dibanding perlakuan terhadap diri sendiri.

Baca juga: Pakaian Isbal, Indikator Kesombongan, dan Tafsir Ayat-Ayat Takabur dalam Al-Quran

Allah tidak menyukai orang yang sombong dan angkuh

Setelah semua objek (sasaran) perbuatan baik sudah disebutkan, lantas ayat tersebut ditutup dengan statemen bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat mukhtalan fakhura.

Abu al-Husain Ahmad dalam Mu’jam Maqayish al-Lughah bahwa kata مُخْتَالًا sering diartikan dengan sombong, sedangkan berdasar pada asal katanya yakni ختل yang memiliki arti penipu atau memperdaya. Adapun kata فَخُورًا ialah berasal dari fakhara yang memiliki arti seorang yang suka menonjolkan atau membanggakan diri.

Berbeda dengan Quraish Shihab yang mengatakan bahwa mukhtal terambil dari kata خيل. Ini karena pada mulanya orang yang sombong, perilakunya didasari oleh khayalan bukan realita yang ada pada dirinya. Seorang yang mukhtal akan menuntunnya pada sikap berbangga diri dengan apa yang ia miliki, bahkan yang hakikatnya tidak ia miliki. Sikap ini juga tergambar pada kata fakhura.

Meskipun kedua kata tersebut memiliki konotasi yang sama (sombong), namun menurut al-Maraghi kata mukhtal cenderung pada kesombongan yang terlihat dari tingkah laku atau gerak perbuatannya. sedangkan Fakhura ialah yang terdengar dari ucapan-ucapannya. Orang tersebut suka menyebut apa yang ia kira sebagai kelebihannya dengan berbangga diri dan merendahkan yang lain. (Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi).

Baca juga: Surat An-Nisa Ayat 32: Larangan Iri Hati Terhadap Orang Lain

Dampak dari sikap Sombong dan membanggakan diri

Al-Maraghi melanjutkan keterangannya bahwa orang yang sombong lagi membanggakan diri tidak menunaikan ibadah dengan sungguh dan benar. Hal ini karena ibadah yang benar dilakukan dengan hati yang khusyu’ dan kekhusyu’an ini menyebar pula ke seluruh anggota tubuh. Ia juga tidak melaksanakan hak kedua orang tua, kerabat dekat, anak yatim dan sebagainya (yang telah disebutkan pada ayat diatas).

Sayyid Quthub cukup tegas menyatakan bahwa seorang memiliki sombong dan membanggakan diri karena tidak adanya iman kepada Allah dan hari akhir, malahan mengikuti setan dan berteman dengannya. Oleh karenanya pada ayat tersebut disebutkan bahwa Allah tidak mengasihi orang-orang yang memiliki sifat sombong. (Sayyid Quthub, Tafsir Di Dzilal al-Quran, 3:365)

Bagi Quraish Shihab, sifat angkuh, sombong dan sebagainya ialah rintangan paling besar dan sulit bagi para pencari ilmu. Mereka yang sombong dan angkuh akan kesulitan mendapatkan ilmu yang akan mengantar mereka pada kebajikan dan kebijaksanaan. Sehingga yang mereka dapatkan justru kebodohan dan mengantarkan pada perilaku tercela dan jahat.

Baca juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

Yang terakhir, perlu ditekankan bahwa penggabungan dua sifat itu bukan bermakna bahwa Allah tidak menyukai orang-orang yang memiliki kedua sifat tersebut secara bersamaan. Namun bila seseorang hanya memiliki salahsatu dari kedua sifat itu, maka itu sudah mengundang kemurkaan-Nya. Namun memang pada realitanya dua sifat itu seringkali beriringan. Wallahu a’lam[]

Tafsir Taj Al-Muslimin min Kalami Rabbi Al-Alamin: Karya Tafsir Kedua KH. Misbah Mustafa

0
Tafsir Taj Al-Muslimin
Tafsir Taj Al-Muslimin

Dalam dunia penafsiran Al-Quran, ketika menyebut KH. Misbah Mustafa, pasti langsung teringat pada karya tafsirnya, yaitu Tafsir Iklil. Namun ternyata karya tafsir beliau tidak hanya itu, karya tafsir Al-Qurannya yang lain yaitu Kitab Taj Al-Muslimin min Kalami Rabbi Al-Alamin.

Tradisi penulisan tafsir di Indonesia diawali dejak ditemukannya sebuah tafsir Surah Al-Kahfi pada abad ke-16 yang ketika itu tidak diketahui nama pengarangnya. Satu abad kemudian ditemukan kitab tafsir Tarjuman al-Mustafid yang ditulis oleh Abdul Rauf Singkel, juga Tafsir Marah Labib fi Kasyfi Ma’na Al-Quran al-Majid karya Syekh Nawawi Al-bantani yang diterbitkan di Makkah dan ditulis dalam Bahasa Arab (Yunan, 1991: 36).

Pada tahun 1920-an Cokroaminoto memperkenalkan terjemahan tafsir karangan Maulvi Mohammed Ali dari Ahmadiyah Lahore. Kemudian sekitar tahun 1930, Mahmud Yunus menerbitkan tafsir Al-Quran Al-Karim. Pada tahun 1937 M, Halim Hasan telah mempersiapkan karyanya di Masjid Raya Binjel, Sumatera Utara. Bagian-bagian dari karya tersebut muncul dalam bentuk majalah pada bulan April 1937 (Federspiel, 1996: 38-39).

Munculnya tafsir Melayu inilah yang kemudian menginspirasi banyak mufasir di Indonesia, sehingga lahirlah kitab-kitab dengan bahasa lokal. Salah satunya kitab Taj Al-Muslimin min Kalami Rabbi Al-Alamin. Karya ini merupakan karya kedua KH Misbah Mustafa setelah tafsir Al-Iklil fi Ma’ani Al-Tanzil.

Baca Juga: Mufasir Indonesia: Kiai Misbah, Penulis Tafsir Iklil Beraksara Pegon dan Makna Gandul

Kitab ini ditulis tepat dua tahun setelah karya pertama beliau selesaikan yaitu pada tahun 1987 M/ 1408 H. Dalam Muqaddimah Tafsir Taj Al-Muslimin Min Kalami Rabbi Al-Alamin, KH Misbah Mustafa menyampaikan keprihatinan beliau dengan keadaan orang Islam.

Banyak orang yang mengaku Islam, berkali-kali mengucapkan kalimat syahadat akan tetapi tidak memahami Al-Quran yang berbahasa Arab. Banyak orang yang lalai dan enggan mempelajari Al-Quran setelah kenikmatan dunia diraihnya. Bahkan tidak jarang kebanyakan umat Islam lebih memilih taklid kepada seseorang yang biasa dipanggil Kyai daripada belajar untuk memahami Al-Quran (Taj Al-Muslimin: 2-5).

Pemberian nama kitab Tafsir Taj Al-Muslimin Min Kalami Rabbi Al-Alamin, diberikan sendiri oleh KH Misbah Mustafa. Masih dalam muqaddimah kitabnya, beliau menjelaskan makna dari Tafsir Taj Al-Muslimin Min Kalami Rabbi Al-Alamin, adalah mahkota untuk orang Islam. KH Misbah Mustafa berharap, dengan adanya kitab ini orang Islam mampu terangkat derajatnya karena memahami firman-firman Allah.

Baca Juga: Mengenal Tafsir Iklil, Kitab Tafsir Berbahasa Jawa Pegon dan Makna Gandul

Sistematika dan Metode Penulisan Kitab

Sistematika penulisan dan metode penafsiran tafsir Taj Al-Muslimin Min Kalami Rabbi Al-Alamin sedikit berbeda dengan kitab tafsir pada umumnya. Kitab ini ditulis dengan bahasa Jawa, dengan aksara Arab Pegon dan makna gandul yang menjadi ciri khas karya-karya ulama Jawa. Setiap ayat diterjemahkan secara harfiah dengan menggunakan makna gandul yang ditulis miring ke bawah setiap kata, kemudian diterjemahkan per ayat di bagian bawah.

Halaman kitab ini secara keseluruhan berjumlah 1689  halaman. Juz 1 dimulai dari halaman 1 sampai hamalan 428 (428 halaman), juz 2 melanjutkan halaman pada juz 1 yakni dimulai dari halaman 429 dan diakhiri halaman 793 (364 halaman), juz 3 dari halaman 794 sampai halaman 1189 (395 halaman), dan terakhir juz 4 dimulai dari halaman 1189 sampai halaman 1689 (500 halaman).

KH Misbah Mustafa memulai penafsirannya dengan memuji Allah dan salawat untuk Nabi Muhammad SAW. Dalam muqaddimah kitabnya, KH Misbah Mustafa menulis keutamaan Al-Quran disertai dengan ayat dan hadis yang menjadi landasannya. Ada beberapa keunikan pada penafsiran yang dilakukan oleh KH Misbah Mustafa, yakni, pertama, pada setiap penafsirannya, KH Misbah Mustafa selalu menulis nama surat yang hendak ditafsirkan lengkap dengan tempat turunnya, jumlah ayat, jumlah kalimat dan jumlah huruf.

Seperti ketika menafsirkan QS. Al-Fatihah beliau menulis “Surah Al-Fatihah iki temurun ono ing Makkah, ayate ono pitu, kalimahe ono pitulikur, hurufe ono satus patang puluh” (Surah Al-Fatihah ini turun di Makkah, berjumlah tujuh ayat, dua puluh tujuh kalimat, dan seratus empat puluh huruf).

Kedua, beliau menulis ayat yang hendak ditafsirkan lengkap dengan makna gandul per kata dan ditulis miring. Ketiga, di bawah makna gandul yang ditulis miring beliau menampilkan terjemahan global ditulis dengan lurus, dan terakhir beliau menampilkan tafsiran ayatnya.

Baca Juga: Masih Relevankah Metode Tafsir Ijmali Era Rasulullah SAW? Berikut Penjelasannya

Dalam menafsirkan, beliau selalu menulis ayat yang hendak ditafsirkan dan diberi tanda garis bawah. Karakteristik lainnya, ketika beliau hendak menulis hal-hal yang penting ditandai dengan menulis “Masalah-masalah kang perlu dimangerteni” (Masalah atau persoalan yang perlu diketahui) dan dalam lain kesempatan hanya ditulis dengan istilah “Maslahatun”.

Memperhatikan penafsiran KH Misbah Mustafa dalam kitab Tafsir Taj Al-Muslimin Min Kalami Rabbi Al-Alamin dapat disimpulkan bahwa kitab tersebut menggunakan metode ijmali dengan penjelasannya yang agak panjang dan disusun dengan tartib mushafi.

Dari segi kepenulisannya, kitab tafsir karya kedua KH Misbah Mustafa ini agaknya tidak jauh berbeda dengan karya pertamanya. Menurut beberapa sumber mengatakan bahwa KH Misbah Mustafa menuliskan tafsir keduanya ini dikarenakan adanya ketidak relaannya terhadap penerbit yang telah merubah subtansi dari isi kitab tafsir pertamanya. Wallahu A’lam.

Bagaimana Kisah Harut dan Marut Sebenarnya dalam Al-Quran?

0
Harut dan Marut
Harut dan Marut

Harut dan Marut adalah dua nama yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan juga dikenal dalam kisah-kisah umat terdahulu. Namun sebagian orang masih bertanya-tanya tentang siapakah mereka sebenarnya? Bagaimana kisah lengkapnya? Dalam artikel singkat ini akan dijelaskan mengenai bagaimana kisah Harut dan Marut sebenarnya berdasarkan riwayat yang ada.

Kisah kedua sosok ini sempat diceritakan dalam Al-Qur’an, tepatnya pada surah al-Baqarah ayat 102. “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya setan-setan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yakni Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir.’ Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dan istrinya.”

Lalu Siapakah Harut dan Marut?

Sejumlah ulama mencoba menafsirkan ayat di atas. Ada yang berpendapat, mereka benar-benar malaikat, tetapi ada pula yang menilai kedua nama itu merupakan orang yang sangat saleh seperti malaikat. Bahkan, ada pendapat mengatakan, Harut dan Marut merupakan orang jahat yang pura-pura saleh seperti malaikat.

Jikalau dilihat secara tekstual, maka Harut dan Marut adalah dua orang malaikat, dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babilonia, yakni Harut dan Marut. Pendapat ini dipegang oleh imam Qatadah sebagaimana dikutip oleh imam at-Thabari, “Mereka berdua adalah malaikat. Mereka turun untuk menegakkan hukum di tengah manusia (Tafsir ath-Thabari [2]: 420).

Ibnu Zaid mengatakan bahwa yang dimaksud dari ayat ini adalah kisah setan-setan dan dua malaikat mengajarkan sihir kepada manusia (Tafsir ath-Thabari [2]: 420). Sedangkan al-Qasimi mengatakan bahwa mereka adalah dua orang manusia. Ia berkata, “Menurut pendapat ulama hakikat, Harut dan Marut adalah dua orang manusia yang salih dan takwa di Babilonia (Tafsir al-Qasimi: 220).

Baca Juga: Isyarat Pelestarian Alam Dibalik Kisah Nabi Shalih, Unta dan Kaum Tsamud

Dari keterangan-keterangan tersebut, pendapat paling kuat adalah pandangan yang mengatakan bahwa mereka adalah dua orang malaikat. Dalam Majmu’ Fatawa wal Maqalat Mutanawwi’ah (8:115) diterangkan bahwa “para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Yang paling rajih, Harut dan Marut adalah dua malaikat yang turun untuk menguji dan mengetes manusia.”

Tujuan Harut dan Marut Turun Ke Dunia

Kisah Harut dan Marut memang memiliki banyak versi. Salah satu yang terkenal, yakni keduanya merupakan malaikat yang diutus Allah turun ke Kota Babil. Saat itu warga di sana diliputi kegelisahan sekaligus kesyirikan akibat tersebarnya sihir. Kala itu, Kota yang dipimpin oleh Raja Nebucadnezar berantakan. Sihir yang menyebar bahkan menimbulkan penyakit serta perceraian suami istri.

Penyebaran sihir berawal saat Raja Nebudcanezar menahan orang-orang Yahudi setelah menyerang Palestina. Ketika sampai di Babil, para tawanan itu mulai memainkan sihir. Mereka lalu membuat warga Babil takut dengan membuat lingkaran besar sebagai lingkaran sihir. Lalu diutuslah Harut dan Marut untuk mengajarkan sihir kepada warga Babil. Hanya saja bukan untuk berbuat jahat, melainkan hanya untuk menjelaskan hakikat sihir.

Mereka mendatangi warga Babilonia dan menjalankan tugas mereka. Mereka juga mengingatkan masyarakat di sana agar tidak menyalahgunakan sihir yang dipelajari untuk berbuat syirik dan mendurhakai Allah Swt. Keduanya berkata, “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagi kamu semua. Maka, sebab itu janganlah kamu kafir.”

Keduanya turut mengajarkan warga Babil cara menghilangkan lingkaran besar sihir buatan Yahudi. Setelah tugas selesai, Harut dan Marut kembali ke langit, tetapi warga Babil malah tidak mengikuti peringatan para malaikat tersebut. Warga justru merusak dengan ilmu sihir yang diajarkan. Sampai akhirnya Kota Babil semakin berantakan.

Dari kisah tersebut dapat dipahami bahwa tujuan utama mereka turun ke dunia adalah memperlihatkan hakikat sihir kepada warga Babilonia agar mereka tidak diperdaya oleh setan dengan segala tipu muslihat sihir. Namun pada akhirnya, ajaran keduanya diselewengkan dan peringatan mereka tidak dihiraukan yang berakibat pada kekacauan.

Namun patut diperhatikan, sebagian besar kisah Harut dan Marut tersebut berdasarkan riwayat israiliyyat. Kisah yang beredar tentang keduanya, bahwa mereka adalah malaikat yang dihukum oleh Allah kemudian mereka melakukan zina, mabuk dan membunuh, semuanya itu merupakan kisah israiliyat yang tidak boleh diyakini. Ini merupakan pandangan Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir [1]: 360).

Senada dengan pendapat Ibnu Katsir, as-Sa’di juga mengatakan bahwa semua kisah tersebut adalah kisah israiliyat. Menurutnya, “Semua kisah Harut dan Marut – selain yang ada dalam surah al-Baqarah ayat 102 – berasal dari Israiliyat. Semua kisah itu dibantah secara umum oleh dalil-dalil tentang ma’shum-nya malaikat.” (Tafsir as-Sa’di: 61).

Baca Juga: Surat Al-Mu’awwidzatain Dan Memahami Kisah Disihirnya Nabi Muhammad

Berkenaan dengan tujuan utama Harut dan Marut turun ke dunia, imam al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa mereka merupakan dua malaikat yang menjelaskan bahaya sihir sebagai ujian fitnah bagi manusia. Dan bagi Allah, lanjut al-Qurthubi, sangat berhak untuk menguji hamba-Nya menurut kehendak-Nya sebagaimana Dia telah menguji Thalut.

Namun perlu dipahami, meskipun Harut dan Marut mengajarkan hakikat sihir, bukan berarti sihir dibolehkan. Karena sihir pada saat itu diajarkan sebagai ujian dan dengan tujuan agar dihindari, tidak diamalkan. Imam at-Thabari berkata, “Mengetahui ilmu sihir itu tidak berdosa, sama seperti tidak berdosanya seseorang yang melihat cara membuat minuman keras, memahat patung. Letak dosa itu manakala ia mengamalkan dan mempraktikkannya.” Wallahu a’lam.

5 Prinsip Etika Berkomunikasi Menurut Al-Quran

0
Prinsip Etika Berkomunikasi Menurut Al-Quran
Prinsip Etika Berkomunikasi Menurut Al-Quran

Kemampuan berbicara merupakan anugerah yang diberikan oleh Allah swt kepada manusia. Dengan kemampuan berbicara, manusia dapat membangun hubugan sosialnya. Dalam hal ini, kemampuan berbicara berarti kemampuan untuk berkomunikasi. Sebut saja dibutuhkan suatu prinsip etika berkomunikasi dengan baik.

Lebih dari itu, kemampuan komunikasi secara baik yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi panutan bagi masyarakat. Akan tetapi, akan berakibat fatal apabila salah dalam berkomunikasi misal, berbicara tentang suatu hal yang tidak sesuai dengan faktanya. Bahkan, hal ini dapat menumbuh suburkan perpecahan, merintangi kemajuan dan menghambat pemikiran.

Oleh sebab itu, melalui Al-Qur’an Allah swt memberikan sugesti dan perhatian yang sangat besar mengenai etika berkomunikasi. Bahkan Allah swt berfirman dalam Q.S. al-Baqarah (3): 263 bahwa ucapan yang baik dipandang lebih baik dari pada sedekah yang dapat menyakiti hati penerima.


Baca juga: Inilah Tiga Prinsip Kesetaraan Gender dalam Al Quran


Untuk itu, dalam hal ini penulis akan menjelaskan prinsip-prinsip etika berkomunikasi dalam Al-Qur’an walaupun Al-Qur’an tidak membahasnya secara spesifik namun, jika diteliti, banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan prinsip-prinsip komunikasi, diantaranya ialah sebagai berikut:

  1. Prinsip Qaulan Balighan yang terdapat pada Q.S. al-Nisa’ [5]: 63.

أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا

“Mereka adalah orang-orang yang (sesungguhnya) Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Kerena itu, berpalinglah kamu dari mereka dan berilah mereka nasihat, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwa” (Q.S. al-Nisa’ [5]: 63)

Menurut Ibnu Asyur lafal “Balighun” mengikuti wazan Failun (فعيل) yang memiliki makna orang yang menyampaikan dengan penyampaian yang kuat yakni ucapan yang disampaikan dapat masuk dan membekas pada jiwa dan lubuk hati. Sementara Imam al-Jazairi dalam tafsirnya Aysiru al-Tafasir memberikan penyebab kenapa ucapan tadi masuk ke dalam lubuk hati yaitu karena balaghah dan fasihnya ucapan tersebut (al-Jazairi, 2003 [1]: 499).


Baca juga: Mengkhatamkan Al-Quran dan Prinsip-Prinsipnya Menurut Para Ulama


Jadi, salah satu perintah Allah kepada Nabi Muhammad dalam ayat di atas ialah agar beliau menghindar dari orang-orang munafik serta memberikan nasihat yang mengena dan merasuk ke dalam jiwa mereka.

  1. Prinsip Qaulan Karima dalam Q.S. al-Isra’ [15]: 23.

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Q.S. al-Isra’ [15]: 23)

Pada ayat ini, Allah swt memberikan didikan pada hambanya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tuanya.

Menurut Syaikh Wahbah Zuhaili (2001, [15]: 52) dalam kitab Tafsir al-Munir ayat ini mengandung beberapa hal tentang adab seorang anak kepada orang tua di antaranya ialah Allah melarang mengucapkan kata Ah pada keduanya yakni jangan sampai keduanya mendengar kata-kata risau, gelisah atau ucapan yang dapat menyakiti hati keduanya, dalam kondisi apapun. Kemudian, larangan membentak keduanya yakni larangan memperlakukan keduanya dengan perlakuan yang keji seperti berselisih dalam ucapan, bohong dan lain sebagainya.


Baca juga: Penafsiran “ Berkah” dalam Surat Al-Isra’ Ayat 1


Selanjutnya Allah swt memberikan perintah agar mengucapkan kepada keduanya dengan ucapan yang mulia. Dalam hal ini Syaikh Wahbah Zuhaili menafsiri “Qaulan Karima” dengan ucapan yang lemah-lembut dan baik yang disertai dengan rasa rendah diri, hormat, malu dan adab yang luhur kepada kedua orang tua..

  1. Prinsip Qaulan Maysura dalam Q.S. al-Isra’ [15]: 28.

وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِنْ رَبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُلْ لَهُمْ قَوْلًا مَيْسُورًا

“Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang lemah-lembut” (Q.S. al-Isra’ [15]: 28)

Dalam hal ini Ibnu Asyur juga berpendapat bahwa Qaulan Maysuran adalah ucapan yang baik dan lembut serta menyenangkan dan dapat dipahami oleh orang yang berbicara. Namun, ada juga ulama’ yang menafsiri Qaulan Maysuran dengan do’a. Misalnya perkataan, “Semoga Allah saw memberimu kecukupan” dan “Semoga Allah melipahkan rizki pada kami dan kalian semua” (al-Baidhawi, 1997 [3]: 253).

  1. Prinsip Qaulan Ma’rufan yang termaktub dalam Q.S. al-Nisa’ [4]: 5.

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (Q.S. al-Nisa’ [4]: 5)

Al-Maraghi menyebutkan, Khitab (pembicaraan) pada ayat 5 surat al-Nisa’ di atas ialah untuk seluruh umat yakni perintah agar memberikan harta kepada anak yatim yang sudah baligh atau dewasa dan memberikan mahar kepada istri, kecuali salah satu dari keduanya (anak yatim dan istri) termasuk orang safih (dungu) yang tidak dapat menggunakan harta benda dengan baik.


Baca juga: Inilah Lima Keadaan Nabi Muhammad SAW Ketika Menerima Wahyu Al-Quran


Oleh karena itu, cegahlah agar harta-harta mereka tidak sia-sia dan jagalah hartanya hingga, mereka mendapat petunjuk (tidak safih lagi). Lalu, hendaklah setiap wali memberikan nasihat terhadap yang diasuhnya.

Dalam hal ini al-Marahi menafsirinya dengan nasihat atau wejangan yang bijak seperti memberi tau akibat uang yang digunakan dengan sia-sia akan membuatnya fakir dan ucapan selainnya yang dapat memberi petunjuk pada mereka. Sehingga, dengan nasihat, petunjuk dan didikan tidak menjadikannya safih lagi dan justru menjadi orang yang memberi petunjuk pada orang lain. Demikian gambaran “Qaulan Ma’rufan” pada ayat di atas.

  1. Prinsip Qaulan Sadidan dalam Q.S. al-Ahzab [22]: 70.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar” (Q.S. al-Ahzab [22]: 70)

Dalam ayat tersebut, selain Allah swt memberikan perintah kepada hambanya agar senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya, juga memberikan perintah agar mengucapkan perkataan lurus yang diridhai oleh Allah swt (tidak melanggar syari’at). Dalam hal ini Syaikh Ali al-Sabuni dalam tafsirnya“Sofwah al-Tafasir” juga mengutip pendapat Imam al-Tabari bahwa maksud “Qaulan Sadidan” ialah ucapan yang sesuai dengan kenyataan, benar dan tidak batil.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan mengenai prinsip etika berkomunikasi dapat disimpulkan bahwa etika komunikasi dalam Islam yakni harus selektif, menghindari kata-kata yang jelek dan menggunakan kata-kata yang baik serta menjauhi kata-kata yang melanggar syari’at. Kata-kata baik tersebut ialah kata-kata yang dapat diterima dan tidak menyinggung orang lain.

Selain itu, dari beberapa penjelasan tadi menuntut kita sebagai orang muslim agar memperhatikan tatakrama dalam berbicara serta menyesuaikannya dengan lingkungan, kondisi dan situasi dimana kita bertempat. wallahu a’lam[]

Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

0
Makna Islam
Makna Islam dalam al-Quran

Islam adalah agama yang menjunjung perdamaian. Namun belakangan ini Islam seakan dipojokkan oleh sebagian orang karena ulah oknum yang mengaku Islam tetapi tidak paham hakikat Islam. Dalam al-Quran, makna Islam sendiri bisa ditelusuri dengan melacak kata salam yang secara semantis sangat berhubungan (s-l-m).

Kata salam disebutkan dalam al-Quran sebanyak 157 kali dalam bentuk kata benda (ism) sebanyak 79 kali, kata sifat (na’at) sebanyak 50 kali, dan kata kerja (fi’il) sebanyak 28 kali. Seluruh derivasi sintaksis dari kata salam menunjuk makna “damai” (Taufiq, 2016: 4-5).

Jika ditelusuri, al-Quran bahkan tidak hanya berbicara tentang nilai-nilai perdamaian semata, tetapi juga menekankan kewajiban bagi seluruh umat manusia—umat muslim khususnya—untuk merengkuh perdamaian dan mentransformasikannya dalam kehidupan. Argumentasi Qur’ani yang menekankan hal tersebut, diantaranya terdapat pada Q.S al-Baqarah [2]: 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam kedamaian secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Rasyid Ridha menafsirkan bahwa Allah memerintahkan kaum beriman untuk masuk dalam kedamaian secara total. Allah telah memberi hidayah kepada manusia untuk mentransformasikan perdamaian (salam), kebajikan (sulh/sholah), dan kerukunan (wifaq) (Ridha, 1990: 204).

Dalam penafsirannya, Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat munasabah antara bagian awal ayat dan bagian akhirnya. Ayat ini seolah memberikan pembagian kelompok manusia berdasarkan perilakunya. Kelompok manusia pertama adalah kelompok yang dalam setiap ‘amal atau perbuatan yang dilakukan, mereka selalu mengharapkan ridha Allah (al-firqah al-sholah). Sehingga mereka akan senantiasa  menghindari apa yang dilakukan oleh kelompok yang kedua (al-firqah al-fasad) dimana mereka gemar membuat kerusakan di muka bumi dengan menghancurkan gedung-gedung yang merupakan bukti kemajuan peradaban manusia.

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Maka apa yang diperbuat oleh kelompok yang kedua ini bukanlah bagian dari karakteristik dan makna Islam. Sederhananya, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa bersatu dalam suatu kesatuan pandangan yang mengedepankan perdamaian dan menghindari hal yang dapat merusak perdaban manusia adalah ciri dari seorang muslim yang memahami hakikat dan makna Islam sebagai agama (Zuhaili, 2009: 63).

Sejalan dengan itu, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa seorang muslim akan mengetahui makna Islam sejati tatkala ia mampu mentrasformasikan sifat-sifat Tuhannya. Dimana dengan sifat-sifat tersebut, akan mampu melembutkan hatinya, menenangkan jiwanya, membuatnya memiliki kepekaan untuk selalu melindungi sesamanya, memberikan kasih sayang, menjaga kemuliaan diri dan agama serta menjaga stabilitas kehidupan dan menebarkan perdamaian (Quthb, 1412: 207).

Dalam hadis Nabi terdapat juga riwayat yang menyatakan bagaimana karakteristik muslim yang sejati. Dalam bab Bayan Tafadhul al-Islam wa ay Umurihi Afdhal, di kitab Shahih Muslim dijelaskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Umar, sebagai berikut (Muslim, 2000: 65):

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلَ اللَّهِ: أَيُّ الإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ: المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِه و يَدِه

Dalam syarahnya akan hadis ini, Imam Nawani berpendapat bahwa seorang muslim yang sejati akan selalu berpegang pada nilai fundamental Islam yakni ifsya’ al-salam (menebarkan perdamaian) meskipun berada dalam suasana konflik dan perbedaan pendapat. Maka dengan demikian seorang muslim haruslah mampu menjadikan lisan dan perbuatannya sebagai sarana untuk meneguhkan perdamaian bukan sebaliknya, justru menjadi penyebab pecahnya konflik di antara manusia (Nawawi, 1392: 10).

Argumentasi Qur’ani lainnya yang memaparkan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai fundamental dalam kaitannya dengan praktik perdamaian adalah Q.S al-Hujurat [49]: 9-10:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila ada dua orang golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Namun, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah kamu perangi yang sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah kembali, damaikanlah anatar keduanya dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Oleh Karena itu, damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu dirahmati.”

Dalam penafsirannya, Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa harf syarth disana memberikan faidah istiqbal pada fi’il madhi. Sehingga dapat dipahami bahwa konflik dan peperangan akan selalu menghantui kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu umat muslim haruslah mampu menjadi penengah (provokator damai) akan problematika tersebut (Asyur, 1984: 244).

Baca Juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

Selanjutnya, Ibn ‘Asyur juga menekankan bahwa perintah ishlah sifatnya tidaklah bermakna musyarakah. Jadi tak perlu menunggu adanya konflik untuk mentransformasikan perdamaian. Sebab perdamaian adalah—menurut pendapat Sayyid Quthb—bagian dari al-ashl yang harus ditegakkan (Quthb, 1412: 498). Adapun hal yang menunjang tegaknya perdamaian lainnya adalah menghormati dan berusaha untuk tidak mencederai hak-hak orang lain. Ini menunjukkan bahwa Ibn Asyur dalam penafsirannya, sudah mempertimbangkan isu egaliter dalam menciptakan perdamaian (Asyur, 1984: 245).

Menarik bahwa ayat tersebut menyebutkan kata ishlah
(perdamaian) sebelum kata ‘adl dan qisth. Penempatan itu bisa diterjemahkan sebagai sebuah proses dan hubungan sekaligus. Bila dipahami sebagai suatu proses, penyelesaian pertikaian haruslah dilakukan melalui proses yang berkeadilan. Jika dipahami sebagai sebuah hubungan, hasil keputusan harus dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan penuh keridaan (Taufiq, 2016: 11).

Dalam hemat penulis, kata ishlah disana juga dapat dimaknai sebagai sebuah implementasi dari sikap tawasuth, sebagaimana Q.S al-Baqarah: 143, ayat ini menunjukkan bahwa salah satu ciri lainnya dari umat Islam adalah moderat (tengah-tengah). Umat Islam harus menjadi penengah dari segala pertikaian, persengketaan ataupun konflik yang terjadi di tengah masyarakat dengan berdasar pada nilai-nilai perdamaian al-Quran. Wallahu a’lam.