Beranda blog Halaman 471

Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran

0
Makna Islam
Makna Islam dalam al-Quran

Islam adalah agama yang menjunjung perdamaian. Namun belakangan ini Islam seakan dipojokkan oleh sebagian orang karena ulah oknum yang mengaku Islam tetapi tidak paham hakikat Islam. Dalam al-Quran, makna Islam sendiri bisa ditelusuri dengan melacak kata salam yang secara semantis sangat berhubungan (s-l-m).

Kata salam disebutkan dalam al-Quran sebanyak 157 kali dalam bentuk kata benda (ism) sebanyak 79 kali, kata sifat (na’at) sebanyak 50 kali, dan kata kerja (fi’il) sebanyak 28 kali. Seluruh derivasi sintaksis dari kata salam menunjuk makna “damai” (Taufiq, 2016: 4-5).

Jika ditelusuri, al-Quran bahkan tidak hanya berbicara tentang nilai-nilai perdamaian semata, tetapi juga menekankan kewajiban bagi seluruh umat manusia—umat muslim khususnya—untuk merengkuh perdamaian dan mentransformasikannya dalam kehidupan. Argumentasi Qur’ani yang menekankan hal tersebut, diantaranya terdapat pada Q.S al-Baqarah [2]: 208:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam kedamaian secara menyeluruh, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Rasyid Ridha menafsirkan bahwa Allah memerintahkan kaum beriman untuk masuk dalam kedamaian secara total. Allah telah memberi hidayah kepada manusia untuk mentransformasikan perdamaian (salam), kebajikan (sulh/sholah), dan kerukunan (wifaq) (Ridha, 1990: 204).

Dalam penafsirannya, Wahbah Zuhaili menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut terdapat munasabah antara bagian awal ayat dan bagian akhirnya. Ayat ini seolah memberikan pembagian kelompok manusia berdasarkan perilakunya. Kelompok manusia pertama adalah kelompok yang dalam setiap ‘amal atau perbuatan yang dilakukan, mereka selalu mengharapkan ridha Allah (al-firqah al-sholah). Sehingga mereka akan senantiasa  menghindari apa yang dilakukan oleh kelompok yang kedua (al-firqah al-fasad) dimana mereka gemar membuat kerusakan di muka bumi dengan menghancurkan gedung-gedung yang merupakan bukti kemajuan peradaban manusia.

Baca Juga: Wahbah az-Zuhaili: Mufasir Kontemporer yang Mendapat Julukan Imam Suyuthi Kedua

Maka apa yang diperbuat oleh kelompok yang kedua ini bukanlah bagian dari karakteristik dan makna Islam. Sederhananya, Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa bersatu dalam suatu kesatuan pandangan yang mengedepankan perdamaian dan menghindari hal yang dapat merusak perdaban manusia adalah ciri dari seorang muslim yang memahami hakikat dan makna Islam sebagai agama (Zuhaili, 2009: 63).

Sejalan dengan itu, Sayyid Quthb menjelaskan bahwa seorang muslim akan mengetahui makna Islam sejati tatkala ia mampu mentrasformasikan sifat-sifat Tuhannya. Dimana dengan sifat-sifat tersebut, akan mampu melembutkan hatinya, menenangkan jiwanya, membuatnya memiliki kepekaan untuk selalu melindungi sesamanya, memberikan kasih sayang, menjaga kemuliaan diri dan agama serta menjaga stabilitas kehidupan dan menebarkan perdamaian (Quthb, 1412: 207).

Dalam hadis Nabi terdapat juga riwayat yang menyatakan bagaimana karakteristik muslim yang sejati. Dalam bab Bayan Tafadhul al-Islam wa ay Umurihi Afdhal, di kitab Shahih Muslim dijelaskan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn ‘Umar, sebagai berikut (Muslim, 2000: 65):

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلَ اللَّهِ: أَيُّ الإِسْلَامِ خَيْرٌ قَالَ: المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِه و يَدِه

Dalam syarahnya akan hadis ini, Imam Nawani berpendapat bahwa seorang muslim yang sejati akan selalu berpegang pada nilai fundamental Islam yakni ifsya’ al-salam (menebarkan perdamaian) meskipun berada dalam suasana konflik dan perbedaan pendapat. Maka dengan demikian seorang muslim haruslah mampu menjadikan lisan dan perbuatannya sebagai sarana untuk meneguhkan perdamaian bukan sebaliknya, justru menjadi penyebab pecahnya konflik di antara manusia (Nawawi, 1392: 10).

Argumentasi Qur’ani lainnya yang memaparkan prinsip-prinsip dasar dan nilai-nilai fundamental dalam kaitannya dengan praktik perdamaian adalah Q.S al-Hujurat [49]: 9-10:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ. إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila ada dua orang golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Namun, kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah kamu perangi yang sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah kembali, damaikanlah anatar keduanya dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Oleh Karena itu, damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah kepada Allah, supaya kamu dirahmati.”

Dalam penafsirannya, Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa harf syarth disana memberikan faidah istiqbal pada fi’il madhi. Sehingga dapat dipahami bahwa konflik dan peperangan akan selalu menghantui kehidupan umat manusia. Oleh sebab itu umat muslim haruslah mampu menjadi penengah (provokator damai) akan problematika tersebut (Asyur, 1984: 244).

Baca Juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur

Selanjutnya, Ibn ‘Asyur juga menekankan bahwa perintah ishlah sifatnya tidaklah bermakna musyarakah. Jadi tak perlu menunggu adanya konflik untuk mentransformasikan perdamaian. Sebab perdamaian adalah—menurut pendapat Sayyid Quthb—bagian dari al-ashl yang harus ditegakkan (Quthb, 1412: 498). Adapun hal yang menunjang tegaknya perdamaian lainnya adalah menghormati dan berusaha untuk tidak mencederai hak-hak orang lain. Ini menunjukkan bahwa Ibn Asyur dalam penafsirannya, sudah mempertimbangkan isu egaliter dalam menciptakan perdamaian (Asyur, 1984: 245).

Menarik bahwa ayat tersebut menyebutkan kata ishlah
(perdamaian) sebelum kata ‘adl dan qisth. Penempatan itu bisa diterjemahkan sebagai sebuah proses dan hubungan sekaligus. Bila dipahami sebagai suatu proses, penyelesaian pertikaian haruslah dilakukan melalui proses yang berkeadilan. Jika dipahami sebagai sebuah hubungan, hasil keputusan harus dapat diterima oleh kedua belah pihak dengan penuh keridaan (Taufiq, 2016: 11).

Dalam hemat penulis, kata ishlah disana juga dapat dimaknai sebagai sebuah implementasi dari sikap tawasuth, sebagaimana Q.S al-Baqarah: 143, ayat ini menunjukkan bahwa salah satu ciri lainnya dari umat Islam adalah moderat (tengah-tengah). Umat Islam harus menjadi penengah dari segala pertikaian, persengketaan ataupun konflik yang terjadi di tengah masyarakat dengan berdasar pada nilai-nilai perdamaian al-Quran. Wallahu a’lam.

Mengenal Tafsir Nurul Bajan: Kitab Tafsir Berbahasa Sunda Karya Muhammad Romli

0
tafsir nurul bajan
tafsir nurul bajan

Muhammad Romli atau sering ditulis dengan nama Mhd. Romli merupakan salah satu mufassir berasal dari tatar Sunda. Ia adalah seorang aktifis Majlis Ahlus Sunnah Cilame (MASC) Garut, yaitu sebuah organisasi kaum reformis yang memperjuangkan ideologi al-ruju’ ila Al-Quran wa as-Sunnah. Tokoh perintis organisasi Persis (Persatuan Islam) ini memiliki sebuah karya tafsir Al-Quran berbahasa Sunda yaitu Tafsir Nurul Bajan.

Profil, Perjalanan Intelektual dan Karir Muhammad Romli

Mhd. Romli Bernama lengkap K.H Muhammad Romli, putra dari H.Sulaiman ini lahir di Kadungora Garut pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1889. Pendidikannya ditempuh di Sekolah Rakyat dan nyantri di beberapa pesantren di Jawa Barat termasuk di Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi yang dipimpin oleh ayahnya Ahmad Sanusi (pemilik Tafsir Raudatul Irfan fi Ma’rifatil Al-Quran) yaitu Kyai Abdurrakhim.

Kemudian setelah itu Romli berangkat ke Makkah selama sebelas tahun. Mhd. Romli aktif di beberapa organisasi di antaranya sempat aktif di Syarikat Islam (SI/PSI). Sebelum Indonesia merdeka Romli beserta ulama Priangan lainnya seperti Yusuf Tojiri ikut aktif dalam organisasi MASC, yaitu sebuah organisasi keagamaan di Kabupaten Garut yang di dalamnya terdiri dari ulama-ulama modernis aktivis SI/PSI seperti K.H Muhammad Anwar Sanusi, K.H Muhammad Bakri dan K.H Muhammad Anwar Sanusi.

Organisasi MASC sama halnya dengan organisasi Persis (Persatuan Islam) yang memiliki semangat tinggi memperjuangkan ideologi al-ruju ilā Al-Qur’ān wa al-Sunnah (kembali kepada Al-Quran dan Sunnah) karena, secara ideologis Mhd. Romli memiliki kesamaan visi dalam pembaharuan Islam yang membuat ia sering bergaul dengan aktivis-aktifis Muhammadiyah dan Persis dan tentunya sempat berguru kepada A. Hasan (Tokoh Persis).

Romli pernah menjadi Camat di Kadungora pada tahun 1948 dan mendirikan Pondok Pesantren Nurul Bayan di kediamannya. Mhd. Romli wafat pada usia sekitar 92 tahun 1981 di Sindangpalay Bandung dan dimakamkan di Kampung Haurkuning Desa Hegarsari Kadungora Garut.

Baca juga: Mengenal Kitab Fathul Khabir dan Ulumul Qurannya Karya Syekh Mahfudz At Tarmasi

Karya-karya

Karya-karya dari Romli yang ditulis dalam bahasa Sunda di antaranya adalah al-Hujaj al-Bayyinah dina Hukum Salat Jum’ah (1975), Haqqul Janazah, al-Jami al-Shahih Mukhtashar Hadits Shahih Bukhari Terjemah Basa Sunda, Tuntunan Sholat (1982). Menerbitkan Tafsir Nurul Bajan sebanyak tiga jilid bersama H.N.S Midjaja. Pada tahun 1971 Romli kemudian menerbitkan lagi tafsir berbahasa Sunda dengan format lebih singkat yaitu Tafsir Al-Kitabul Mubin (1974). Sebelumnya Romli menerbitkan Qoeran Tadrjamah Soenda yang dipublikasikan sekitar tahun 1950, kitab tersebut merupakan karya pertama Romli dalam bidang Al-Quran. Disinyalir kedua kitab setelahnya merupakan reproduksi dari Qoeran Tadrjamah Soenda.

Sekilas Tentang Tafsir Nurul Bajan

Seperti tafsir berbahasa Sunda karya Moh. E. Hasim tafsir Ayat Suci Lenyeupaneun, Tafsir Nurul Bajan karya Muhammad Romli juga termasuk tafsir Sunda yang jelas mewakili kepentingan Islam modernis dan mengasumsikan adanya sebuah identitas Islam Sunda yang lebih murni dan modern. Melalui tafsir Nurul-Bajan, Romli mencoba meneguhkan ekspresi lokalitas Islam yang bebas dari dominasi mitos, tahayul dan kepercayaan lokal yang dianggapnya mengganggu kemurnian akidah.

Tafsir yang memiliki corak adab al-Ijtimā’i –tafsir yang merespon dan berhubungan langsung dengan realitas sosial masyarakat pada masanya- ini ditulis pada era Orde baru (sekitar tahun 1970-1990) dan tercatat sebagai karya yang paling banyak beredar di tatar Sunda. Karya Romli ini termasuk karya perintis  dalam genre cetak tafsir era 1970-an yang dicetak hingga cetakan ketiga. Tafsir Nurul Bajan ditulis menggunakan ejaan lama dari juz satu sampai tiga (Q.S Ali ‘Imran [3]: 91).

Tafsir Nurul Bajan dipublikasikan bersama N.H.S. Midjaja atau Hj. Neneng Sastra Mijaya (Jaksa Neneng). Neneng adalah seorang pengusaha percetakan “Perboe” (Perusahaan Bumi Putera). Sumber referensi yang digunakan dalam Tafsir Nurul Bajan di antaranya dari tafsir al-Manar, al-Maraghi, Fathul Qādir, al-Baidhāwi, Madārik al-Tanzil, Lubab al-Ta’wil, at-Tabari, Tafsir Al-Qur’ānul-Karim karya H.A. Halim Hasan, dan Tafsir Qur’ān Karim karya Mahmud Yunus.

Baca juga: Mengenal Tafsir Marah Labid, Tafsir Pertama Berbahasa Arab Karya Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al-Bantany

Romli juga menggunaka referensi dari tulisan-tulisan berbahasa Inggris dan Belanda.  Sebagaimana kitab-kitab rujukannya, sumber kitab tafsir ini didominasi oleh ijtihad pemikiran (bil ra’yi) dengan menggunakan metode tahlili (penafsiran sesuai urutan mushaf).

Sesuai dengan latar belakang keilmuan penulis kitab ini, Tafsir Nurul Bajan  menjadi sarana penyampaian gagasan-gagasan ideologi Islam pembaharu. Kuatnya ideologi pembaharuan Islam dalam kitab tafsir ini bisa dilihat dari pemaknaan lafad wa iyyāka nasta’in (al-Fatihah [01]: 5),Romli menyatakan sebagai berikut:

Njakitu deui anu sok ngagarunakeun djimat, anu ditekadkeun baris ngabantu kana kasalametan salirana, kanggo nguntungkeun dina pausahaanana, kanggo ngagampilkeun kana kabeungharan at.maksad anu sanesna, tangtos djadi musrikna, henteu benten sareng njembah berhala, matekong at.nagut, margi mertjanten kana anu henteu boga kakawasaan sapertos kakawasaan G. Allah swt malah barang paeh-paeh atjan. (Begitu pun yang suka menggunakan jimat-jimat, yang diyakini akan membantu keselamatan dirinya, asal menguntungkan perusahaanya, agar memudahkan mendapatkan kekayaan atau maksud-maksud lainnya, tentu saja menjadi musyri, tidak berbeda dengan menyembah berhala, patung atau menthagutkan, karena percaya pada yang tidak memiliki kekuasaan seperti kekuasaan Allah, bahkan hanya barang yang mati belaka).

Demikian sekilas tentang tafsir Nurul Bajan karya Mhd. Romli yang mempunyai semangat pembaharuan Islam dan penghapusan tradisi-tradisi Islam tradisional. Wallahu A’lam

Penafsiran “ Berkah” dalam Surat Al-Isra’ Ayat 1

0
Surat Al-Isra' ayat 1: makna berkah
Surat Al-Isra' ayat 1: makna berkah

Dalam proses mendapatkan rezeki dengan berbagai usaha, tidak serta merta hanya materi yang menjadi tujuan utamanya. Nilai keberkahan dari materi tersebut pun sangat perlu diperhatikan. Karena itu merupakan perwujudan kita terhadap dunia dan akhirat, jasmani dan ruhani, material dan spiritual. Dan seringkali kita mengatakan atau menginginkan keberkahan ketika sedang berguru, mencari rezeki dan masih banyak lagi. Untuk itu, bagaimana penafsiran konsep keberkahan menurut Al-Quran? Begini penjelasannya dari tafsir Surat Al-Isra’ ayat 1.

Berkah dalam Al-Quran

Setelah ditelusuri dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadh AlQur’an al-Karim. Kata Berkah atau yang semakna, di Al-Quran berjumlah 31 kata. Akan tetapi, pada tulisan ini tidak membahas semua, hanya saja fokus pada makna keberkahan pada surat al-isra’ ayat satu:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha suci Allah SWT yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari masjidil Haram  ke masjidil Aqsa yang telah kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”

Baca juga: Tafsir Surah Al Kahfi Ayat 82: Meraih Keberkahan hingga Tujuh Turunan

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 1

Pada kitab Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karangan Ibnu Asyur, ayat diatas menyebutkan awal perjalanan isra’ dan akhirnya, yakni perjalanan antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Hal tersebut adalah untuk mengisyaratkan bahwa perjalanan hidup manusia menuju Allah SWT hendaknya bermula dari masjid, yaitu kepatuhan kepada Allah dan berakhir pula dengan masjid yakni kepatuhan kepadaNya. Ibnu Ashur menjadikan perjalanan isra’ dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan kembali lagi ke Masjidil Haram untuk mengisharatkan bahwa islam adalah ajaran Tauhid yang dibawa oleh para nabi sejak masa Nabi Ibrahim As.

Pada kitab Tafsir al-Misbah Karya Prof Quraish Shihab, kata براكنا  Kami berkahi, berasal dari kata بركة yakni kebajikan yang banyak. Kemudian pada ayat tersebut ada tambahan kata حوله memberi kesan bahwa kalau sekitarnya saja telah diberkahi Allah, maka tentu lebih lagi lokasi masjid. Disini menurut Sayyid Qutb mengesankan bahwa keberkahan tersebut melimpah sehingga membanjiri sekitarnya. Jadi kata “barakah” dalam ayat ini mempunyai arti kebaikan yang bertambah.

Kemudian Imam An-Nawawi rahimahullah juga berkata : “asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi”.

Baca juga: Menikahlah, Maka Pintu Rezekimu Akan Terbuka Lebar

Usaha untuk mendapatkan keberkahan

Setelah memahami penafsiran ayat di atas, ada banyak cara untuk mendapatkan berkah dari Allah SWT. Salah satunya yang sudah jelas adalah dengan berdhikir kepada Allah dan membaca Al-Quran. Karena berdzikir merupakan proses untuk mendekatkan diri atau perjalanan menuju Allah SWT. Cara ini berlaku untuk semua perbuatan atau usaha. Baik itu untuk keberkahan mencari ilmu atau rezeki yang lain.

Jika kita menginginkan rezeki material yang berkah gunakan cara transaksi yang jujur. Karena keberkahan bersumber dari rezeki yang diperoleh melalui jalan yang halal (benar dan baik). Banyaknya perolehan harta dan tingginya kedudukan tidak menjadi ukuran. Pada Tafsir Al-Azhar juga menjelaskan bahwa keimanan dan takwa kepada Allah membukakan pintu rezeki. Sebab, kalau orang telah beriman dan bertakwa, fikirannya sendiri terbuka, rezeki akan terbuka, ilham pun datang.

Baca juga: Takwa dan Tawakkallah, Tips Mencari Rezeki Menurut Al-Quran

Selain berdhikir kepada Allah dan membaca Al-Quran, ada juga usaha untuk mendapatan keberkahan yakni sering berkumpul dengan orang shalih juga dapat mendatangkan berkah, yaitu salah satunya dengan mengambil manfaat dari do’a mereka.

Rezeki berupa berkah diperoleh dari perbuatan yang baik dan melahirkan keluarga yang berkualitas, tenang, rukun dan saling menyayangi. Anak dan istri atau suami taat beribadah dan berakhlak karimah. Senang berbagi nikmat kepada orang lain yang membutuhkan. Maka, berkah itu tidak berwujud, namun bisa kita rasakan, di dalam jiwa yang damai terdapat nilai keberkahan dalam hidup kita. Wallahu a’lam[]

Inilah Lima Keadaan Nabi Muhammad SAW Ketika Menerima Wahyu Al-Quran

0
menerima wahyu
gua hira tempat nabi saw menerima wahyu

Nabi Muhammad saw menerima wahyu Al-Quran dalam lima keadaan. Bagaimana keadaan saat wahyu diturunkan kepada Nabi Muhammad? Apakah Allah menyampaikan wahyu tersebut langsung kepada Nabi Muhammad, atau selalu melalui perantara Malaikat Jibril? Apakah wahyu diturunkan lewat mimpi, di alam nyata, atau bisa keduanya? Inilah mungkin sederet pertanyaan yang mungkin terbersit dibenak pembaca yang tertarik dengan tema proses pewahyuan Al-Quran.

Bagaimana proses tatkala wahyu diterima oleh Nabi Muhammad, adalah salah satu hal diperbincangkan oleh para ulama dalam kajian ilmu Al-Quran. Hal ini menjadi tambahan informasi, untuk mengetahui seperti apakah keadaan saat wahyu diterima oleh Nabi Muhammad. Salah satu ulama yang mengulasnya dengan cukup rinci adalah Imam As-Suyuthi dalam kitab Al-Itqan Fi Ulumil Qur’an (Al-Itqan/1/127).

Lima Gambaran Keadaan Nabi Tatkala Menerima Wahyu

Imam As-Suyuthi menjelaskan bahwa berdasar keterangan para ulama, ada 5 gambaran mengenai proses penerimaan wahyu:

Pertama, malaikat mendatangi Nabi Muhammad serupa suara lonceng. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayyidah ‘Aisyah bahwa Haris ibn Hisyam suatu kali bertanya kepada Nabi Muhammad, tentang bagaimana keadaan pada saat wahyu diterima oleh beliau? Lalu Nabi Muhammad menjawab:

أَحْيَانًا يَأْتِينِى مِثْلَ صَلْصَلَةِ الْجَرَسِ – وَهُوَ أَشَدُّهُ عَلَىَّ – فَيُفْصَمُ عَنِّى وَقَدْ وَعَيْتُ عَنْهُ مَا قَالَ ، وَأَحْيَانًا يَتَمَثَّلُ لِىَ الْمَلَكُ رَجُلاً فَيُكَلِّمُنِى فَأَعِى مَا يَقُولُ

Dalam satu waktu, malaikat mendatangiku serupa suara lonceng. Itu adalah keadaan terberat bagiku. Hal itu lalu selesai dan aku telah memahami apa yang ia ungkapkan. Dan dalam satu waktu, malaikat mendatangiku serupa lelaki. Ia mengajakku bicara, lalu aku faham dengan apa yang ia katakan (HR. Imam Bukhari).

Baca juga: Wahyu Al-Quran dan Keteladanan Nabi Muhammad Saw Sebagai Pejuang Kemanusiaan

Terkait gambaran ini, ada yang menyatakan bahwa suara lonceng tersebut adalah suara kepak sayap malaikat. Suara itu seakan menjadi tanda bagi Nabi Muhammad untuk memusatkan perhatiannya terhadap wahyu yang diturunkan kepada beliau. Sebagian ulama menyatakan, ini adalah gambaran turunnya wahyu tatkala wahyu tersebut berisi ancaman.

Kedua, wahyu disampaikan pada Nabi Muhammad dengan cara ditiupkan ke hati beliau. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Anas ibn Malik:

إنَّ رُوْحَ القُدْسِ نَفَثَ فِي رُوْعِي أَنَّهُ لَنْ تَمُوْتَ نَفْسٌ حَتَّى تَسْتَكْمِلَ رِزْقُهَا وَأَجَلُهَا

Sesungguhnya malaikat jibril membisikkan dalam hatiku, sesungguhnya seseorang tidak akan mati sampai sempurna rizki dan ajalnya (HR. Al-Hakim).

Terkait gambaran ini Imam As-Suyuthi berkomentar, bisa saja wahyu ditiupkan ke hati Nabi Muhammad usai malaikat mendatangi nabi serupa suara lonceng, atau menyerupai manusia (Al-Itqan/1/127). Artinya, bentuk dari gambaran ini terjadi tidak sendirian. Namun terjadi usai bentuk gambaran penerimaan wahyu yang pertama atau kedua.

Ketiga, malaikat mendatangi Nabi Muhammad dalam bentuk sesosok manusia. Ia lalu mengajak beliau bercakap-cakap. Hal sebagaimana ditunjukkan di dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari di atas. Dalam beberapa keterangan disebutkan, berdasar pengakuan Nabi, cara ini adalah cara paling nyaman yang dialami nabi.

Baca juga: Tadabbur Atas Surat Al-‘Alaq Ayat 1-5: Wahyu Pertama Perintah Membaca

Keempat, malaikat mendatangi Nabi tatkala Nabi tidur. Termasuk ayat yang diturunkan dalam keadaan seperti ini menurut sebagian ulama adalah Surat Al-Kautsar. Diriwayatkan dari sahabat Anas ibn Malik:

قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « أُنْزِلَتْ عَلَىَّ آنِفًا سُورَةٌ ». فَقَرَأَ « بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ (إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ) »

Anas berkata: suatu hari saat Rasulullah saw. berada di hadapan kami, beliau tertidur sebentar kemudian terjaga mengangkat kepala sembari tersenyum. Lalu kami bertanya: “Apa yang membuat anda tertawa, wahai Rasulullah?” Nabi menjawab: “Barusan sebuah surat diturunkan kepadaku”. Nabi kemudian membaca Surat Al-Kautsar” (HR. Imam at-tirmidzi).

Kelima, Allah swt berbicara langsung kepada Nabi Muhammad saw. baik di alam nyata sebagaimana dalam hadis yang menerangkan Isra’ Mi’raj, atau di alam mimpi. Wallahu A’lam.

Surat An-Nisa Ayat 32: Larangan Iri Hati Terhadap Orang Lain

0
Iri Hati
Larangan Iri Hati

Ketika seseorang melihat orang lain mendapatkan rezeki, nikmat atau pemberian yang lebih baik daripada yang didapatkannya – mungkin – ia akan merasa tersaingi, kalah dan tidak lebih baik dari orang tersebut. Dalam ajaran Islam, sifat ini disebut iri hati dan merupakan salah satu sifat tercela (al-akhlaq al-madzmumah) yang harus dihindari.

Iri hati adalah sebuah emosi yang timbul karena merasa kurang senang, kurang bersyukur dengan apa yang dimilikinya dan cemburu dengan apa yang didapatkan atau dimiliki oleh orang lain karena dia anggap hal tersebut lebih dari apa yang dimilikinya. Iri dengki merupakan sebuah sifat yang termasuk kedalam salah satu penyakit hati.

Sifat iri hati terhadap orang lain bisa melanda siapa saja tanpa terkecuali. Rasa tidak suka melihat kelebihan orang lain, baik harta maupun karir, tentu bisa dialami oleh setiap orang. Penyakit hati ini dapat mengarahkan manusia untuk melakukan perbuatan negatif. Tindakan yang paling ringan adalah berbuat hasut ataupun memfitnah orang lain.

Baca Juga: Belajar Menyembunyikan Nikmat dari Pendengki, Hikmah Kisah Nabi Yusuf dan Nabi Yaqub

Karena kecenderungan tersebut, Islam melarang setiap muslim untuk iri hati terhadap orang lain. Jika perasaan itu muncul, sangat dianjurkan untuk dikendalikan. Meskipun demikian, ada iri yang dibolehkan oleh nabi Muhammad Saw. Iri hati yang dimaksud adalah keinginan untuk menyamai orang dermawan dan ahli Al-Qur’an. Dalam hadis riwayat Bukhari, nabi Saw bersabda:

عَن ابنِ عُمَرَ رَضي اللٌهُ عَنهاَ قَالَ:قَالَ رَسُولُ اللٌهِ صَلٌي اللٌهُ عَلَيهِ وَ سَلٌم لآحَسَدَ ألآ فيِ اثنَتَينِ رَجُلُ اتَاهُ اللٌهُ القُرانَ فَهُو يَقُومُ بِه انَأءَ اللًيلِ وَانَأءَ النَهَارِ وَرَجُلُ اعطَاهُ مَالآ فَهُوَ يُنفق مِنهُ انَأءَ الٌلَيِل وَانَأءَ النٌهَارِ.

(رواه البخارى ومسلم والترمذى والنسائى وأبن ماجه).

Dari Ibnu Umar ra berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Tidak diperbolehkan hasad (iri hati) kecuali terhadap dua orang: Orang yang dikaruniai Allah (kemampuan membaca/menghafal Alquran). Lalu ia membacanya malam dan siang hari, dan orang yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia menginfakannya pada malam dan siang hari.” (HR. Bukhari, Tarmidzi, dan Nasa’i)

Surah An-Nisa [4] Ayat 32: Larangan Iri Hati Terhadap Orang Lain

Di dalam Al-Qur’an juga banyak diterangkan tentang larangan iri hati terhadap orang lain. Salah satunya adalah surah An-Nisa [4] Ayat 32 yang berbunyi:

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللّٰهُ بِهٖ بَعْضَكُمْ عَلٰى بَعْضٍ ۗ لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوْا ۗ وَلِلنِّسَاۤءِ نَصِيْبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۗوَسْـَٔلُوا اللّٰهَ مِنْ فَضْلِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ٣٢

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Menurut Quraish Shihab, ayat ini adalah lanjutan ayat sebelumnya (31) yang melarang melakukan kegiatan ekonomi yang didasarkan pada kebatilan. Keinginan dan angan-angan memperoleh sesuatu, seringkali menimbulkan iri hati dan mendorong seseorang melakukan pelanggaran, apalagi jika yang bersangkutan membandingkan dirinya dengan orang lain.

Sikap tersebut dapat melahirkan persaingan tidak sehat yang mengantar kepada penyimpangan dan agresi, kezaliman, serta mendapat dosa besar. Karena itu, ayat ini (32) berpesan agar tidak berangan-angan dan berkeinginan yang dapat mengantar kepada pelanggaran-pelanggaran ketentuan-ketentuan Allah, termasuk ketentuan-Nya menyangkut pembagian waris di mana lelaki mendapat bagian lebih banyak dari perempuan (Tafsir Al-Misbah [2]: 418\7).

Baca Juga: Kisah Dua Anak Nabi Adam: Kedengkian Qabil Terhadap Habil Yang Membawa Petaka

Dalam ayat ini, seakan-akan Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu berangan-angan yang menghasilkan ketamakan terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu, seperti harta benda, bagian dalam warisan, harta anak yatim, kedudukan, kecerdasan, nama baik, jenis kelamin dan lain-lain yang kualitasnya lebih baik dan atau jumlahnya lebih banyak dari apa yang dianugerahkan-Nya kepada sebagian yang lain.”

“Allah Swt telah menganugerahkan kepada setiap orang dan jenis apa yang terbaik untuknya, guna melaksanakan fungsi dan misinya dalam hidup di dunia ini. Karena itu, jangan berangan-angan memperoleh sesuatu yang mustahil, atau berangan-angan yang membuahkan iri hati dan dengki, serta penyesalan di kemudian hari.” (Tafsir Al-Misbah [2]: 418).

Bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, sesuai dengan ketetapan Allah dan usahanya, dan bagi para wanita pun ada bagian dari apa yang mereka usahakan, itu juga sesuai dengan ketetapan Allah dan usaha mereka. Dan mohonlah kepada Allah apa yang kamu inginkan kiranya Yang Maha Kuasa itu menganugerahkan sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

At-Tirmidzi meriwayatkan melalui Mujahid bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ucapan istri Nabi Saw, Ummu Salamah, yang berkata kepada Rasul Saw, “Sesungguhnya pria berjihad mengangkat senjata melawan musuh, sedang perempuan tidak demikian. Kami juga selaku perempuan hanya mendapat setengah bagian lelaki……”

Menurut Ibn ‘Asyur, ayat ini seakan-akan menyatakan: “Setiap jenis kelamin, bahkan setiap orang baik lelaki maupun perempuan, memperoleh anugerah Allah Swt dalam kehidupan dunia ini sebagai imbalan usahanya atau atas dasar hak-haknya (seperti warisan). Karena itu, mengharapkan sesuatu tanpa usaha, atau tanpa hak merupakan sesuatu yang tidak adil. Dengan demikian, harapan dan angan-angan yang menimbulkan iri hati itu dilarang.”

Berdasarkan pendapat al-Ashfahani, ayat ini seakan-akan berkata: “Jangan mengangan-angankan keistimewaan yang dimiliki seseorang atau jenis kelamin yang berbeda dengan jenis kelaminmu, karena keistimewaan yang ada padanya itu adalah karena usahanya sendiri, baik dengan bekerja keras membanting tulang dan pikiran, maupun karena fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungan jenisnya.” Wallahu a’lam.

Implementasi Mental Heroik dalam Al-Quran; Refleksi Peringatan Hari Pahlawan

0
Membangun mental heroik
Membangun mental heroik/ Foto: kabarlumajang.pikiran-rakyat.com

Al-Quran menanamkan mental heroik yang luar biasa kepada umat Islam. Mental ini kemudian diimplementasikan oleh Rasulullah dan para sahabatnya dalam perjuangannya mendakwahkan Islam, baik itu dalam bentuk perundingan atau kesepakatan perjanjian maupun perang.

Para ulama di Indonesia juga demikian, mereka membangun mental heroik masyarakat Indonesia, terutama pada masa-masa memperjuangkan kemerdekaan maupun era mempertahankan kemerdekaan dengan ikut menyeru untuk melawan penjajah, juga mengobarkan semangat juang kepada rakyat Indonesia. Salah satu perjuangan bersejarah yang tidak bisa kita lupakan yaitu pertempuran 10 November yang sekarang diperingati sebagai hari pahlawan.

Pertempuran 10 November merupakan peristiwa penting yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai status sosial, termasuk para ulama, masyarakat awam, kaum muda dan seluruh masyarakat Indonesia. Para ulama menanamkan mental heroik kepada seluruh masyarakat Indonesia yang didasarkan pada Al-Quran surat al-Taubah ayat 20:

الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ أَعْظَمُ دَرَجَةً عِنْدَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَائِزُونَ

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya menurut Allah, dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.”

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 154: Merenungi dan Meneladani Spirit Hari Pahlawan

Ayat ini menjadi spirit bagi kaum muslimin untuk berjuang dengan harta dan jiwa mereka. Al-Quran menekankan betapa pentingnya berkontribusi dengan harta dan jiwa untuk bangsa dan agama. Kontribusi kecil maupun besar sangat penting, khususnya dalam konteks memperjuangkan kedaulatan bangsa.

Al-Quran membangun sejak dini, betapa pentingnya berkontribusi dalam membangun sebuah peradaban. Ayat ini turun untuk menentang pendapat orang kafir bahwa menjaga Masjidil haram lebih utama dibandingkan berjuang bersama Nabi. Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa derajat orang yang berkontribusi untuk agama lebih besar derajatnya menurut Allah. (Al-Tsa’labi, Al-Kashfu wa al-Bayan)

Seseorang yang telah berkontribusi kepada agama dan bangsa, pada hakikatnya ia telah mendapatkan kemenangan, yaitu kemenangannya secara pribadi>. Ia berarti telah berkontribusi, ikut berpartisipasi aktif, di saat yang sama ia tidak berharap pada pemberian negara atau orang lain terhadap dirinya. Itulah mental yang ditanamkan Al-Quran kepada umat muslim dalam menghadapi perang.

Sekecil apapun kontribusi yang diberikan, Al-Quran sangat mengapresiasi hal tersebut, seperti pembelaan Al-Quran terhadap Abu Aqil yang hanya menyumbang satu sha’ kurma dalam persiapan perang Tabuk dari celaan orang-orang munafik. Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al-Taubah ayat 79:

الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ سَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Orang-orang munafik itu mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela orang-orang yang tidak memperoleh untuk disedekahkan selain sekedar kesanggupannya. Maka orang-orang munafik itu menghina mereka, Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka Azab yang pedih.”

Baca Juga: Jangan Ragu Untuk Bersedekah! Inilah 4 keutamaan Sedekah Menurut Al-Quran

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun merespon peristiwa sebelum berangkat perang Tabuk. Pada saat itu Rasulullah meminta seluruh umatnya agar bersedekah seraya bersabda “kumpulkan sedekah kalian menjadi satu”

Kemudian Abdurrahman bin Awf datang membawa 4000 dirham. Melihat ini Rasulullah kemudian menangapi ‘banyak sekali, apakah kau meninggalkan sesuatu untu keluargamu?’ Abdurrahman pun menjawab “ya Rasulullah, aku memiliki delapan ribu dirham, yang empat ribu untuk kebutuhan keluargaku dan empat ribu untuk kepentingan agamaku dan Rabbku”

Kemudian Rasullulah mendoakannya “semoga Allah memberkahimu dengan sesuatu yang telah engkau simpan dan dengan sesuatu yang telah engkau sedekahkan.” Setelah itu sahabat Umar RA datang dengan memberikan sedekahnya, Usman pun sama.

Selain ketiga sahabat itu, ada pula Ashin bin ‘Addi al-Anshari datang dengan membawa tujuh puluh karung kurma dan Abu ‘Aqil dengan satu sha’ kurma sambil berkata “wahai Rasulullah, semalam aku mendapat upah dari menyutera hingga dua sha’ kurma. Satu sha’ kurma aku simpan untuk kebutuhan keluargaku, dan sisanya aku kontribusikan untuk agamaku.” Rasulullah menunjukkan kekagumannya terhadap sahabatnya ini.

orang-orang munafik yang melihat hal tersebut mencela mereka dengan menyatakan: demi Allah Sedekah mereka pasti karena riya’ dan sum’ah, dan mereka mencela Abu ‘Aqil “dia datang dengan hanya membawa satu sha’ kurma, sesungguhnya Allah lebih kaya dari satu sha’nya Abu ‘Aqil.” Kemudian turunlah ayat 79 surat At-Taubah ini sebagai respon penghinaan orang munafik terhadap orang muslim. (Imam Thabrani, Tafsir al-Kabir)

Baca Juga: Tafsir Surat An-Naml Ayat 34: Penjajahan Menyalahi Fitrah Kemerdekaan Manusia

Al-Quran tidak menuntut seberapa besar seseorang untuk berkontribusi, namun sebesar apa tekad dan keikhlasannya untuk berkontribusi. Masyarakat Indonesia di era kolonial didominasi oleh masyarakat miskin yang berpendidikan rendah. Berkat penanaman mental heroik yang dilakukan oleh para ulama, mereka dengan sukacita berkontribusi sesuai kadar kesanggupan mereka.

Makanan-makanan pokok yang mereka miliki seperti ketela, gaplek, jagung, beras dan lainnya disumbangkan untuk pertempuran memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berkat kerjasama dan sikap gotong royong seluruh bangsa Indonesia, kita sekarang dapat hidup dengan aman dan dengan leluasa dapat mengembangkan potensi yang telah kita miliki.

Dengan demikian, kita dapat melanjutkan perjuangan para pahlawan dengan berkontribusi sesuai kesanggupan kita, dengan mental heroik yang ingin selalu memberi untuk bangsa dan negara, bukan sebaliknya. Karena pada dasarnya, kontribusi adalah bentuk wujud kita melanjutkan perjuangan para pahlawan kita untuk menjaga eksistensi negara, bangsa dan agama.

Wallahu A’lam

Pentingnya Niat dan Keimanan dalam Mewujudkan Kebermaknaan Suatu Amalan

0
niat dan keimanan
Niat dan keimanan

Niat dan keimanan menjadi prasyarat bagi kebermaknaan suatu amalan. Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad yang masyhur di telinga umat Islam, Nabi bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكٌلِّ امْرِىءٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَ رَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِِ فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى الدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى اِمْرَأَةٍ يُنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Artinya: “Sesungguhnya nilai setiap amalan atau bentuk kerja seseorang itu tergantung pada niat-niat yang dimiliki oleh pelakunya, jika tujuannya “tinggi” yakni meraih ridho Tuhan dan Nabi-Nya maka ia pun meraih nilai yang tinggi disisi Tuhan dan Nabi-Nya, dan jika tujuannya “rendah” yakni hanya meraih dunia ataupun wanita yang ingin dinikahinya maka ia nilai yang “rendah” itulah yang ia peroleh”. (Al-Mundziri, 1388: 97).

Apa yang disabdakan Nabi Muhammad memberikan penegasan bahwa dalam setiap hal yang dikerjakan oleh manusia, terdapat niat atau komitmen yang menjadikannya itu memiliki nilai baik rendah maupun tinggi. Adapun niat atau komitmen itu merupakan pilihan personal masing-masing pelaku amalan, sehingga signifikansinya berjalan lurus dengan pilihan yang dipilih.

Niat dan keimanan dapat menjadi atau berfungsi sebagai dorongan khusus bagi seseorang untuk memilih untuk mengerjakan sesuatu atau tidak dan menentukan level amalannya sesuai niat yang telah diikrarkan. Sebab semakin tulus niat dan tingginya nilai yang ingin dicapai maka turut akan mendorong seseorang untuk mengerjakan suatu amalan dengan tingkat kesungguhan yang tinggi.

Salah satu yang perlu dipahami dalam hadis di atas adalah bahwa nilai tertinggi dari sebuah niat tatkala ditujukan untuk memperoleh ridha Tuhan dan rasul-Nya. Dalam Islam, kesungguhan niat yang tidak didasari dengan tujuan teologis berimplikasi pada penilaian yang kurang maksimal dalam sebuah pekerjaan. Sebaik apapun amalan yang nampak dari luar tanpa diiringi niat yang mencari ridha Tuhan akan berimplikasi pada hilangnya nilai kebaikan dalam amalan, sehingga amalan itu menjadi tidak bermakna.

Ketidakbermaknaan inilah yang menyebabkan sebuah amalan/ pekerjaan “gagal” memberikan signifikansi bagi kehidupan (Al-Sa’di, 1999: 101). Salah satu contohnya diungkapkan dalam al-Qur’an:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. Q.S al-Baqarah [2]: 264.

Dalam ayat al-Qur’an lainnya digambarkan bahwa seseorang yang melakukan amalan tanpa didasari niat dan keimanan yang luhur yakni untuk meraih ridha Tuhan, bagaikan amalan seorang yang ingkar yang amal perbuatannya diibaratkan sebagai fatamorgana.

وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ

Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. Q.S al-Nur [24]: 39.

Apa yang telah disampaikan dalam al-Qur’an dalam dua ayat di atas mengindikasikan bahwa suatu pekerjaan yang didasarkan atas niat dan keimanan akan menghantarkan pada kebermaknaan dalam suatu pekerjaan.

Baca Juga: Pentingnya Menata Niat Bagi Pengajar dan Pelajar Al-Quran

Bahkan dalam Q.S al-A’raf [7]: 96, Tuhan telah mengikrarkan janjinya kepada orang yang beriman keberlimpahan berkah yang datang dari langit dan bumi. Maka sudah semestinya suatu pekerjaan yang dilakukan didasarkan pada niat dan keimanan, sebab tanpanya sebuah pekerjaan tidak akan bernilai dan mengalami kemuspraan serta tidak bermakna.

Ihsan dalam Melaksanakan Amalan

Seperti yang telah disinggung di atas bahwa niat dan keinginan meraih nilai yang tinggi dalam suatu amalan mendorong seseorang untuk mengerjakan suatu pekerjaan dengan tingkat kesungguhan yang tinggi. Maka perlu adanya elaborasi lebih lanjut mengenai signifikansi niat bagi kualitas suatu amalan.

Niat  dan keimanan yang didasarkan atas keluhuran demi meraih ridha Tuhan, mengantarkan pelakunya untuk tidak melakukan amalan dengan “seenaknya”. Untuk meraih yang Maha Sempurna, maka manusia harus berusaha sesempurna mungkin. Sebab tanpa itu, manusia dapat dikatakan telah ingkar dari apa yang diikrarkannya. Dalam al-Qur’an, perilaku yang demikian itu dianggap sebagai perilaku yang paling dibenci oleh Tuhan (kabura maqtan/ Q.S al-Shaffat(61): 3) .

Upaya mengoptimalkan amalan sangat berkaitan dengan ajaran Islam tenang ihsan. Dalam suatu hadis Nabi Muhammad, Tuhan telah menekankan kepada segenap manusia untuk berlaku ihsan atas segala sesuatu yang diperbuat (Al-Mundziri, 1388: 98).

إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَه

Artinya: “Sesungguhnya Allah mewajibkan perilaku ihsan atas segala sesuatu (yang diamalkan/ dikerjakan). Maka tatkala kalian berperang, berperanglah dengan ihsan (mematuhi etika-etika berperang dalam syara’), kemudian tatkala kalian menyembelih hewan, sembelihlah dengan ihsan (mengikuti ketentuan penyembelihan hewan dalam syara’), (yang salah satunya) hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan mata pisau yang akan digunakan dan menenangkan hewan yang akan disembelih”.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, hadis ini memberikan beberapa isyarat bagi manusia dalam kaitannya dengan mencapai kesempurnaan dalam suatu amalan, diantara: 1) hadis ini mengisyaratkan kewajiban kepada manusia untuk berlaku ihsan dalam setiap pekerjaan; 2) dalam hadis dikatakan bahwa sebelum melakukan penyembelihan, diwajibkan menajamkan atau mengasah pisau, ini merupakan isyarat untuk memaksimalkan daya guna instrumen penunjang sebuah amalan sehingga berimplikasi pada efisiensi sebuah amalan; 3) konten hadis yang menganjurkan menenangkan sesembelihan, merupakan sebuah isyarat untuk menunjukkan rasa kasih sayang (kecintaan) dalam setiap yang diamalkan (Madjid, 2005: 408).

Baca Juga: Unsur-Unsur dan Dimensi-Dimensi Perbuatan Ihsan

Pensyarahan hadis yang dilakukan oleh Madjid memberikan setidaknya sebuah kesimpulan bahwa keseimbangan antara aspek material dan spiritual merupakan jalan menuju kebermaknaan sebuah amalan bagi individu yang beragama. Baik amalan yang dilakukan berupa ibadah yang merupakan wujud dari hablum min Allah maupun berupa kerja-kerja sosial yang mewakili aspek hablum min an-nas.

Keduanya harus diiringi aspek material dan spiritual. Sebab ibadah tanpa aspek material (hanya niat) tentu hanya sebuah ilusi, begitu juga kerja-kerja sosial yang dilakukan tanpa aspek spiritual (niat mendapat ridha dan rahmat serta kemudahan Tuhan) tentu hanya menjadi sebuah fatamorgana (terlihat bermanfaat di mata manusia namun nyatanya kosong tak bernilai di mata Tuhan). Wallahu a’lam.

Hukum Bacaan Tarqiq dan Tafkhim dalam Ilmu Tajwid

0
Tafkhim dan Tarqiq
Tafkhim dan Tarqiq

Hukum bacaan dalam ilmu Tajwid terdiri dari berbagai macam. Hukum tersebut perlu dipahami secara utuh supaya dapat membaca al-Qur’an dengan benar sesuai kaidah. Setelah mengetahui hukum bacaan Nun Sukun dan hukum Mad, kali ini kita akan belajar tentang hukum bacaan Tarqiq dan Tafkhim serta perbedaan keduanya.

Pengertian Tafkhim dan Tarqiq

Tafkhim secara bahasa bermakna menggemukkan, menebalkan. Sedangkan secara istilahnya diibaratkan oleh Muhammad Shadiq Qamhawi seperti memasukkan minyak samin ke dalam bacaan huruf, sehingga mulut terlihat penuh saat membacanya. Lawan dari bacaan Tafkhim adalah Tarqiq.

Secara bahasa, Tarqiq berarti menipiskan. Adapun secara istilah diibaratkan seperti terdapat pergeseran dalam suara huruf, sehingga kondisi mulut tidak terlihat penuh saat membacanya.

Kedua bacaan ini, tafkhim dan tarqiq, secara garis besar berlaku pada huruf ل dan ر. Namun, ternyata sebagian Imam Qurra juga mencatumkan huruf Isti’la termasuk dalam bacaan Tafkhim. As-Syathibi dan Al-Jazari juga memiliki pandangan yang sama tentang pembahasan ini. Terlepas dari itu, metode penyampaian keduanya dalam karyanya masing-masing tetap memiliki kesan yang berbeda.

Karakteristik Tafkhim dan Tarqiq

Terdapat pembagian bacaan yang termasuk dalam kategori Tafkhim atau Tarqiq. Ciri-ciri umum dari Tafkhim adalah, setiap Huruf Ra’ yang berharakat Dhammah dan Fathah, serta Lam pada lafad Allah. Sedangkan Tarqiq adalah setiap huruf Ra’ yang berharakat Kasrah, dan Huruf Lam yang berharakat Fathah, Dhomah, Kasrah dan Sukun. Kategorisasi tersebut menurut Qira’at ‘Ashim. Berikut ini akan penulis paparkan karkateristik keduanya.


Baca Juga: Mengapa Kita Membaca Al-Quran dengan Qiraat Ashim Riwayat Hafs?


Huruf-huruf yang dibaca Tafkhim

  • Huruf Ra’ yang berharakat Fathah atau Dhommah. Contohnya lafad

فَمَا رَبِحَتْ , رُسُلِهِ

  • Semua huruf Isti’la tanpa terkecuali, baik yang berharakat Fathah, Kasrah, atau Dhommah. Huruf Isti’la ialah huruf خ, ص, ض, غ, ط, ق, ظ
  • Ra’ Sukun yang sebelumnya huruf berharakat Kasrah atau Ya’ dan setelahnya berupa huruf Isti’la. Contohnya lafad و إرْصَادًا
  • Ra’ Sukun yang sebelumnya huruf berharakat Kasrah ‘Aridh atau Hamzah Washal. Contoh: إنِ ارْتَبْتُمْ
  • Lafad Allah yang sebelumnya Huruf berharakat Fathah atau Dhommah. Contohnya:

وَاللهُ غَفُوْرٌ, إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ

  • Ra berharakat Fathah, Dhommah, Sukun yg sblmnya bukan huruf berharakat Kasrah asli (dalam satu kalimat). Ini merupakan pandangan as-Syathibi sebagaiman ditulis ad-Dani dalam At-Tahdid fi al-Itqon wa at-Tajdid. Contohnya:

بِرُؤُوْسِكُمْ, بِرَسُوْلٍ

  • Ra’ berharakat Dommah yang diwaqafkan, baik ketika sblmnya brupa huruf berharaat Dhommah, Fathah, atau Kasrah lazim atau Ya’ yang disukun. Contoh: مُزْدَجَرٌ
  • Jika diantara Ra’ dan huruf berharakat Kasrah ada sebuah huruf yang disukun, maka Ra’nya dibaca Tafkhim menurut Qira’at ‘Ashim. Contoh: الذِّكْرُ, حِذْرَكُمْ
  • Ra’ Kasrah yg sebelumnya huruf berharakat Dhommah atau Fathah yang dibaca waqaf (sukun). Contoh:

مِنْ مَطَرٍ, بِالنُّذُرِ

Huruf-huruf yang Dibaca Tarqiq

  • Ra’ berharakat Kasrah. Contoh: بِا الذِّكْرِ
  • Ra’ Sukun yang sebelumnya huruf berharakat Kasrah. Contoh: وَاسْتَغْفِرْ
  • Ra yang berharakat Kasrah yang sebelumnya bukan huruf berharakat Dhommah atau Fathah, baik washal atau waqaf. Contoh: مِنْ نَذِيْرِ
  • Lafad Allah (Jalalah) yang sebelumnya huruf berharakat Kasrah.

فيِ سَبِيْلِ اللهِ

  • Seluruh huruf Lam selain Lam Jalalah yang berharakat Dhommah dan Fathah. Contoh:

يقبل, الذين, للمتقين

  • Huruf Ra’ Sukun yang sebelumnya berupa huruf berharakat Kasrah dalam satu kalimat

تُنْذِرْهُمْ

Wallahu A’lam. Semoga Bermanfaat.

Tafsir Surat Al-Isra’ Ayat 70: Kemuliaan Bani Adam dalam Al-Quran

0
Kemuliaan bani Adam dalam Al-Quran
Kemuliaan bani Adam dalam Al-Quran

Manusia dengan segala pemikiran dan perilakunya merupakan sebuah subjek (sekaligus objek) yang selalu menarik untuk dikaji. Begitu halnya dalam Al-Quran, selain lafadz insan, an-nas, ins juga basyar, manusia sering disebut dengan dzurriyat Adam atau Bani Adam.

Manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan material dan organik, kemudian ia menunjukan eksistensinya dalam aktivitas di kehidupan jasmaniyah. Meskipun demikian, manusia juga memiliki kesamaan dengan binatang, yakni dalam ranah kesadaran indrawi dan nafsu. Akan tetapi adanya sisi kehidupan spiritual dan intelektual, menjadikannya tetap berbeda dengan hewan. Oleh karenanya ia dikatakan sebagai hayawan an-natiq (hewan yang berfikir).

Baca juga: Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 41: Menyoal Manusia dan Krisis Ekologis

Tafsir QS Al-Isra’ ayat 70: Allah memuliakan manusia

Berbagai keistimewaan yang dimiliki manusia semata-mata karena rahmat Allah yang begitu luas. Dalam Al-Quran pun disebutkan bahwa Allahlah yang memuliakan Bani Adam dan itu tertuang dalam firman-Nya yang berbunyi:

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, dan Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”

Dalam Mafatih al-Ghaib, ar-Razi mengatakan bahwa yang dimaksud حَمَلْنَاهُمْ memiliki makna bahwa Allah mengangkat dan membawa manusia melewati daratan dan lautan dengan artian bahwa Allah telah menundukan keduanya untuk kebaikan manusia agar mereka bisa menikmati dan memanfaatkan potensi yang ada di daratan juga lautan.

Berbeda dengan Ibn ‘Asyur, dalam at-Tahrir wat Tanwir dijelaskan bahwa kata hamala ia artikan dengan maksud bahwa Allah telah mengilhami manusia untuk mengoptimalkan potensi yang ada di daratan dan lautan. Baik dengan sumber daya yang tersedia ataupun berbagai mode transportasi yang bisa dijalankan di atas keduanya.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 21: Nabi Muhammad Saw Adalah Suri Tauladan Bagi Manusia

Pada lafad وَرَزَقْنَاهُمْ dijelaskan oleh ibn Manzur dalam lisan al-‘Arab bahwa itu merupakan suatu pemberian yang hanya datang dari Allah. Sedangkan secara wujudnya, rezki terbagi menjadi dua yakni yang dzahir (tampak) dan yang batin (abstrak) sehingga bentuk rezki tidak hanya terikat pada jasmani (kesehatan, kekuatan), namun juga pada hati dan rohani (ketenangan, pemahaman dan sebagainya).

Sedangkan الطَّيِّبَاتِ sendiri merupakan bentuk negasi dari kata al-Khabits yang bemakna suatu yang buruk, sehingga bisa diartikan dengan segala kebaikan dari kenikmatan. Baik yang diusahakan manusia secara mandiri maupun yang tanpa melalui usaha.

Adapun pada kata تَفْضِيلًا sebenarnya hampir sama dengan al-takrim yakni sama-sama kemuliaan/keutamaan yang datang dari Allah. Namun al-Alusi dalam Ruh al-Ma’ani mencoba membedakan dua kata tersebut. Menurutnya al-Takrim ialah suatu bentuk kemuliaan dari-Nya yang membedakan manusia dengan makhluk lain, baik kemampuan dari segi fisik dan mental.

Sedangkan al-Tafdil ialah kemuliaan yang diberikan kepada manusia berupa potensi yang diberikan guna mengelola dan mengeksplorasi anugerah yang telah diberikan Allah swt. Sederhanya, menurut al-Alusi al-takrim ialah pemberian, sedangkan al-Tafdil ialah kemampuan untuk mengelola pemberian tersebut.

Empat kemuliaan manusia

Ayat ini mengandung beberapa keistimewaan yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. untuk lebih mudahnya maka setidaknya kemuliaan itu bisa terbagi dalam empat hal

Pertama, (sungguh Kami telah muliakan bani Adam). Ini menggambarkan makna yang cukup dalam tentang kemuliaan manusia karena diawali لَقَدْ yang berfungsi sebagai penguat keyakinan. az-Zamakhsyari sendiri dalam Tafsir al-Kasyaf mengutip riwayat yang mengatakan bahwa Allah memuliakan manusia dengan kemampuan khusus. Kemampuan tersebut seperti bisa membedakan perkara yang baik dan buruk, memaksimalkan panca indera, hingga mampu mengatur segala urusan dunia. Inilah kemuliaan yang tidak dimiliki makhluk lain.

Kedua, ( dan telah Kami bawa mereka di darat dan laut). Ini juga sebagai implementasi dari kemuliaan yang Allah berikan kepada manusia. riwayat ibn ‘Abbas yang kemudian dikutip oleh ar-Razi mengatakan bahwa Allah membawa manusia untuk melintasi keduanya dengan ragam kendaraan. Saat di daratan, manusia bisa menggunakan kuda, unta dan sebagainya (transportasi masa sekarang). Sedangkan saat di lautan, manusia dengan potensinya bisa membuat perahu dan kapal.

Baca juga: Keseimbangan Hidup Manusia Menurut Al-Quran: Tafsir QS. Al-Qasas Ayat 77

Kalimat tersebut juga bisa dimaknai bahwa Allah telah menundukan apa yang ada di darat dan laut (segala sumber daya) semata-mata untuk keperluan manusia dalam menjalani kehidupannya.

Ketiga, (dan Kami rezekikan mereka dengan yang baik). Seperti yang disebutkan sebelumnya bahwa rezki ini bisa dalam bentuk dzahir maupun batin. Bisa dalam bentuk makanan, pakaian, kesehatan hingga ketenangan.

Keempat, (dan Kami istimewakan mereka atas kebanyakan makhluk lain). Dijelaskan bila kalimat ini seakan-akan mengulangi yang pertama, namun bagi al-Alusi, kalimat pertama menginfokan tentang kemuliaan yang diberikan Allah swt dalam berbagai sarana, sedangkan pada kalimat ini Allah menekankan pada keunggulan manusia untuk melangsungkan kehidupan dengan memanfaatkan sarana-sarana kemuliaan tersebut.

Semua kemuliaan sejatinya kembali kepada Allah

Semua kemuliaan dan keistimewaan yang telah Allah berikan kepada manusia memang sudah sejatinya kembali kepada Allah al-Karim, Dzat yang Maha Mulia. Maksudnya ialah dengan anugerah yang telah diberikan-Nya, sudah seyogianya manusia memanfaatkan karunia itu dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya. Adanya nikmat sehat bisa digunakan untuk menunaikan ibadah. Adanya rezki yang berlimpah selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, juga disedekahkan dalam rangka menjalakan perintah-Nya.

Secara keseluruhan, ayat tersebut berimplikasi pada seruan untuk senantiasa bersyukur. Mengoptimalkan segala kemuliaan dan anugerah yang telah Allah berikan dengan baik merupakan cara bersyukur yang paling utama. Seperti halnya yang disebutkan dalam Tafsir al-Maraghi bahwa pada ayat tersebut manusia diperintahkan bersyukur dan selalu mengEsakan Allah swt. Wallahu a’lam[]

Jangan Keliru! Jumlah 6666 Ayat Itu Perspektif Kandungan Al-Quran, Bukan Jumlah Matematis

0
Jumlah 6666 Ayat Itu Perspektif Kandungan Al-Quran, Bukan Jumlah Matematis
Jumlah 6666 Ayat Itu Perspektif Kandungan Al-Quran, Bukan Jumlah Matematis

Kajian tentang jumlah ayat Al Qur’an dalam ulumul Qur’an masuk kategori ‘addul ayi (hitungan ayat). Hitungan ini berdasarkan jumlah matematis, yakni tiap ayat dalam satu surat dijumlahkan secara keseluruhan. Dari hitungan menurut ilmu ini, ada tujuh versi jumlah ayat Al Qur’an yakni 6217, 6214, 6219, 6225, 6236, 6205, dan 6232. Namun, di tengah masyarakat yang masyhur justru jumlah 6666 ayat dan versi jumlah yang bahkan tidak masuk tujuh versi tadi.

Tentu kita perlu menguraikan bagaimana keragaman jumlah ini terjadi. Paling tidak ada dua hal yang perlu dibahas. Pertama, ragam jumlah ayat versi ‘addul ayi (hitungan ayat), kedua jumlah ayat versi 6666 ayat.

Kajian yang secara khusus dan mendalam berkaitan ‘addul ayi ada di berbagai kitab. Mengutip Zainal Arifin Madzkur peneliti Lajnah Pentashihan Al Qur’an , rujukan itu seperti kitab al-Bayan fi ‘Addi Ayil Qur’an karya Abu Amr ad-Dani (w. 444 H/1052 M), Nadzimatuz-Zahr karya as-Syatibi (w. 590 H/1194 M), al-Faraidul Hisan fi ‘Addi Ayil-Qur’an karya Abdul Fatah Abdul-Gani al-Qadhi (w. 1403 H/1982 M), dan al-Muharrar al-Wajiz fi ‘Addi Ayil Kitabil-Aziz karya Abdur-Razaq Ali Ibrahim Musa.


Baca juga: Ini 10 Dasar Penting dalam Ilmu Tafsir


Adapun ragam jumlah ayat berdasarkan ‘addul ayi sebenarnya telah ada kesepakatan antar ulama. Sayangnya kesepakatan ini hanya menyebut angka di atas 6000 ayat, bukan jumlah yang paten satu versi. Tentu hal ini sebagai jembatan atas keragaman pendapat yang ada di antara para ulama.  Misalnya as-Suyuti (w. 911 H/1505 M) dalam al-Itqan fi Ulumil-Qur’an-nya juga menyebut kesepakatan ini dengan mengutip Abu Amr ad-Dani (w. 444 H/1052 M).

Perbedaan jumlah ini terjadi karena beberapa hal. KH Mustain Syafi’i menyebut bahwa karena perbedaan basmalah, huruf muqatha’ah, dan waqf Nabi. Perihal basmalah ada yang memasukkan sebagai ayat, namun ada juga yang tidak. Huruf muqatha’ah ada yang mengkhususkan sebagai ayat tunggal, namun ada juga yang menggabungkan dengan bacaan selanjutnya. Sedangkan waqf Nabi, berbeda karena terkadang bacaan nabi berhenti di suatu lafadz, namun di kesempatan berikutnya Nabi tidak berhenti di lafadz tersebut.


Baca juga: Sejarah Penomoran Ayat Mushaf Al-Quran dari Jerman hingga Turki


Selain itu, ada juga pendapat kuat bahwa perbedaan jumlah ayat berkaitan erat dengan mushaf-mushaf yang dikirimkan Usman bin Affan ke berbagai daerah. Dari mushaf-mushaf inilah jumlah 6217, 6214, 6219, 6226, 6236, 6204, dan 6232 ayat diketahui. Tentu dalam konteks ini, periwayatan menjadi hal yang penting sebagai penguat pendapat.

Jumlah 6217 merupakan pendapat yang disandarkan pada riwayat Abu Amr ad-Dani. Riwayat ini disebut sebagai Madani awal yang mana periwayatan Ad-Dani berasal dari Imam Nafi yang ujung periwayatannya sampai pada Ummu Salamah.

Jumlah kedua 6214 disebut sebagai riwayat Madani akhir, riwayat ini sama dari ad-Dani dari Imam Nafi’. Namun Nafi’ mengambil dari riwayat Ismail bin Ja’far dari Sulaiman bin Jammaz dari Abu Ja’far dan Syaibah bin Nashah secara marfu’. Jumlah ketiga 6219 disebut Al-Makki. Riwayat ini disandarkan pada riwayat Abu Amr ad-Dani namun dari jalur Abdullah bin Katsir al-Makki bersambung hingga Ubay bin Ka’ab.


Baca juga: Riwayat Israiliyyat Batil dalam Kisah Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis


Kemudian jumlah keempat 6225 disebut sebagai As-Syami yang bersandar pada riwayat Abu Amr ad-Dani dengan jalur Yahya bin Harits ad-Dimari dan Hisyam dari Abu Ayyub bin Tamim al-Qari. Jumlah kelima 6236 ayat disebut Al Kufi, yang mana disandarkan dari riwayat Abu Amr ad-Dani dengan jalur Hamzah bin Hubaib yang bersambung hingga Ali bin Abi Thalib.

Jumlah keenam 6204 ayat yang disebut Al-Bashri. Riwayat ini disandarkan pada riwayat Abu Amr ad-Dani dengan jalur ‘Ashim al-Jahdari dan Atha bin Yasar. Terakhir berjumlah 6232 ayat yang disebut Al-Himsyi, menurut al-Mutawalli disandarkan dari riwayat Syuraikh bin Yazid al-Himsyi al-Hadrami.

Namun dari beberapa riwayat di atas, saat ini hanya ada dua yang dijadikan sandaran penyalinan mushaf yaitu jumlah 6236 dan 6217. Jumlah 6236 ini menjadi jumlah yang banyak digunakan, seperti di Arab Saudi dan Indonesia. Sementara jumlah ayat 6217 contohnya digunakan di Libya.


Baca juga: Tafsir Surat Yasin Ayat 36: Setiap Makhluk Memiliki Pasangan


Lantas bagaimana dengan pendapat bahwa Al Qur’an berjumlah 6666 ayat?

Jumlah 6666 Ayat Perspektif Kandungan Al Qur’an

Jika sebelumnya diuraikan jumlah ayat berdasarkan ‘addul ayyi, yang bersandar pada riwayat. Jumlah 6666 ayat ini justru berdasarkan kandungan Al Qur’an. Salah satu rujukan yang dmenjelaskan hal ini adalah Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1316 H/1897 M) dalam kitabnya Nihayatuz-Zain fi Irsyadil-Mubtadiin. Selain itu juga Wahbah az-Zuhaily dalam at-Tafsir al-Munir fil-‘Aqidah wasy-Syari’ah wal-Manhaj.

6666 ayat ini menurut Syekh Nawawi terdiri dari 1000 ayat tentang perintah, 1000 ayat tentang larangan, 1000 ayat tentang janji, 1000 tentang ancaman, 1000 ayat tentang kisah dan kabar, 1000 ayat tentang ‘ibrah dan tamsil, 500 ayat tentang halal dan haram, 100 tentang nasikh dan mansukh, dan 66 ayat tentang du’a, istighfar dan dzikir. Adapun pendapat Wahbah Az-zuhaily berbeda pada 100 ayat du’a, istighfar dan dzikir, dan 66 ayat nasikh mansukh.


Baca juga: Tafsir Surah Al-Kahfi Ayat 50-51: Tidak Ada Peluang untuk Menyekutukan Allah


Dari keterangan di atas, tentu kita tak perlu lagi menyalahkan pendapat mana yang jumlahnya tepat. Secara runtut dan substansi, mushaf Al Qur’an tetaplah sama. Dan Khusus jumlah 6666 ayat bukanlah hitungan matematis, melainkan hitungan kandungan Al Qur’an.

Wallahu a’lam bi al-shawab[]