Beranda blog Halaman 64

Bani Israil dan Kisah Pemuda Pemilik Sapi

0
kisah pemuda pemilik sapi
kisah pemuda pemilik sapi

Surah al-Baqarah merupakan surah terpanjang dalam Alquran yang memuat berbagai aturan-aturan dan hikmah-hikmah. Selain itu, dalam surah ini juga dijelaskan kisah-kisah yang mengandung banyak ibrah. Diantaranya adalah kisah Bani Israil pada masa Nabi Musa a.s. yang diperintahkan menyembelih seekor sapi. Termasuk juga kisah pemuda pemilik sapi yang di’cari-cari’ oleh Bani Israil tersebut.

Kisah tersebut diceritakan cukup pajang dalam Alquran surat al Baqarah dari ayat ke-67 sampai ayat ke-73. Ayat-ayat tersebut mengisahkan sikap Bani Israil yang terlalu banyak mempertanyakan kriteria sapi yang harus disembelih. Akibat pertanyaan-pertanyaan tersebut akhirnya mereka harus menyembelih sapi dengan kriteria yang sangat langka. Sebenarnya, andai mereka tidak mempertanyakan lebih detail lagi kriteria sapinya, maka sapi mana pun yang disembelih sudah cukup untuk menunaikkan perintah Allah tersebut. Demikian penjelasan al-Thabari dalam tafsirnya. (Tafsir al-Thabari, juz 2, hal. 185).

Baca Juga: Rahasia Sapi Di Balik Penamaan Surah Al-Baqarah

Kisah Pemuda Pemilik Sapi

Dalam kitab Tafsirnya, Imam al-Baghawi menceritakan bahwa di kalangan Bani Israil ada seorang lelaki saleh yang mempunyai seorang anak kecil dan seekor anak sapi. Menjelang hari kematiannya, lelaki itu melepaskan anak sapi tersebut di sebuah hutan seraya berdoa, “Wahai Tuhanku, aku titipkan anak sapi ini untuk anakku sampai ia dewasa nantinya”.

Allah swt. memperkenankan doa lelaki tersebut. Setelah dia meninggal dunia, anak sapi tersebut tidak pernah keluar hutan dan selalu lari bersembunyi tatkala ada yang melihatnya.

Waktu terus berlalu, anak tadi tumbuh menjadi seorang pemuda yang berbakti kepada ibunya. Aktivitas kesehariannya adalah mencari kayu bayar untuk kemudian dijual di pasar. Hasil dari penjualan kayu bakar tersebut dibaginya menjadi tiga bagian, satu bagian untuk sedekah, satu bagian untuk makan, dan yang terakhir untuk ibunya.

Di malam hari, dia juga membagi waktu malamnya menjadi tiga, sepertiga untuk beribadah, sepertiga lagi untuk tidur, dan sepertiganya lagi untuk bersimpuh menunggui ibunya.

Suatu hari ibunya berkata, “Sesungguhnya ayahmu meninggalkan anak sapi untukmu yang dilepaskan di sebuah hutan. Carilah sapi itu seraya berdoa kepada Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub supaya Dia mengembalikannya kepadamu. Ciri-cirinya adalah ketika melihatnya, kamu akan mengira bahwa sinar matahari memancar dari tubuhnya saking bagus dan bercahayanya sapi tersebut.”

Pemuda itu kemudian pergi ke hutan demi mencari anak sapi yang dimaksud. Atas izin Allah swt., dia berhasil menemukannya. Kemudian dia berkata, “Demi Tuhan Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub, datanglah kepadaku.”

Anak muda itu kemudian menangkap sapi yang datang menghampirinya untuk dibawa pulang. Tiba-tiba sapi tersebut berbicara, “Hai anak muda yang berbakti pada ibunya, naikilah aku supaya ringan bagimu.” Anak muda tadi berkata, “Tidak, sesungguhnya ibuku memerintahkanku untuk membawamu pulang dengan cara digiring, bukan ditunggangi.”

Sapi tersebut menjawab, “Demi Tuhan Bani Israil, jika engkau menunggangiku (berarti tidak mematuhi perintah ibunya), maka selamanya kamu tidak akan sanggup menaklukkanku. Maka berjalanlah, karena sesungguhnya andaikan engkau memerintahkan sebuah gunung untuk berjalan mengiringimu, niscaya gunung itu akan tunduk menuruti perintahmu disebabkan baktimu kepada ibumu.”

Sesampai di rumah, ibunya berkata, “Nak, kamu ini orang miskin yang tidak punya harta benda. Bekerja mencari kayu bakar di siang hari kemudian dilanjutkan dengan ibadah di malam hari pasti membuatmu merasa kepayahan. Maka dari itu, juallah sapi ini ke pasar seharga tiga dinar. Jangan kamu jual dengan harga lain kecuali atas persetujuanku.”

Baca Juga: Mengenal Surah Al-Baqarah (Bag. 1): Karakteristik dan Nama Lainnya

Pemuda itu pun pergi ke pasar untuk menjual sapi. Lalu Allah swt. mengutus seorang malaikat yang menjelma menjadi sesosok manusia untuk memperlihatkan kekuasan-Nya dan memberitahukan bakti anak muda itu terhadap ibunya kepada makhlukNya.

“Berapa dinar engkau jual sapi ini?” tanya Malaikat.

Pemuda itu menjawab, “Tiga dinar, dan aku mengadakan perjanjian kepadamu dengan keridhaan ibuku.”

“Aku akan beli sapimu dengan harga enam dinar. Kamu tidak perlu meminta persetujuan ibumu.” Bujuk Malaikat itu.

“Bahkan andai engkau memberiku emas seberat lembu ini, takkan kuterima kecuali dengan persetujuan ibuku”.

Anak muda itu kemudian pulang ke rumah, dan menyampaikan bahwa sapinya ditawar enam dinar.

“Kembalilah ke pasar, dan juallah sampu itu dengan enam dinar atas keridhaanku.” Perintah ibunya.

Anak muda itu pun kembali ke pasar. Sesampainya dipasar, dia bertemu dengan Malaikat tadi, seraya berkata, “Sudahkah engkau minta persetujuan ibumu?”

“Ibuku memerintahkan aku agar menjual sapi ini tidak kurang dari enam dinar.” Kata sang pemuda.

Malaikat tersebuk kemudian berkata, “Aku akan memberimu 12 dinar, dan kamu tidak perlu meminta persetujuan ibumu.”

Pemuda itu kembali lagi kepada ibunya dan memberitahukan mengenai tawaran ini. Sang ibu berkata, “Sesungguhnya orang yang mendatangimu itu adalah Malaikat. Dia menjelma menjadi sosok manusia untuk mengujimu. Jika ia mendatangimu lagi, tanyakanlah, apakah engkau mengizinkan aku menjual lembu ini atau tidak?”

Pemuda itu pun melakukan apa yang diperintahkan ibunya. Akhirnya Malaikat tersebut mengatakan, “Pulanglah engkau dan katakan pada ibumu agar merawat sapi ini baik-baik. Kelak akan ada orang yang mati terbunuh di kalangan Bani Israil dan untuk itu Nabi musa bin ‘Imran akan membeli sapi ini darimu. Lalu, jangan kau jual sapi ini (kepada Nabi Musa as.) kecuali dengan uang dinar seberat sapi itu.”

Pemuda itu pulang dan merawat sapi tersebut baik-baik. Tidak lama kemudian Allah swt. mentakdirkan Bani Israil supaya menyembelih seekor sapi. Lalu mereka berkali-kali meminta supaya Nabi Musa a.s. menjelaskan secara detail kriteria sapi yang akan disembelih. Pada akhirnya, sapi milik pemuda itulah yang memenuhi syarat. Itu semua terjadi semata-mata karena amal bakti anak muda itu kepada ibunya.

Demikialah kisah yang dituturkan ulama dalam berbagai kitab tafsir. Menurut Imam Ibnu Katsir, kisah di atas berumber dari riwayat israiliyat yang belum bisa dibuktikan validitasnya, akan tetapi, beliau menegaskan bahwa kisah di atas termasuk kisah israiliyat yang boleh diceritakan meski tidak bisa dijadikan pedoman dalam menafsirkan ayat- ayat Alquran. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 1, hal. 298].

Terlepas dari validitas kisah di atas yang masih belum bisa dibuktikan, kita dapat mengambil banyak ibrah dan pelajaran dari kisah pemuda pemilik sapi tersebut, terutama kesalehan serta teladannya dalam berbakti kepada orang tuanya. Wallah a’lam.

Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 2)

0
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)

Pada artikel sebelumnya, sudah diuraikan pendapat mufasir dari periode klasik dan beberapa mufasir dari periode pertengahan tentang perbedaan penafsiran tentang peristiwa kurban. Berikut sambungan dari penjelasan sebelumnya.

Ketiga, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. (Jilid 26, 346-348 ). Terkait persoalan ini, al-Razi cukup panjang lebar membahasnya. Di awal dia menyebutkan para tokoh yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. (‘Umar, ‘Ali, ‘Abbas bin ‘Abdul Muthallib, Ibnu Mas’ud, Ka’ab al-Akhbar, Qatadah, Sa’id bin Jubair, Masruq, ‘Ikrimah, Zuhri, Saddi, dan Muqatil), atau Ismail as. (Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Sa’id bin Musayyab, Hasan, asy-Sya’biyyi, Mujahid dan Kalbi).

Mereka yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as berdasarkan pada, pertama, berdasarkan sabda Nabi Saw. “أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ”. Kedua, Ishaq as. tidak pernah di Mekkah. Ketiga, berdasarkan surah Alanbiya’ [21]: 85 dan Maryam [19]: 54 merujuk pada Ismail as. Keempat, berdasarkan surah Hud [11]: 71, setelah Ishaq as. ada Ya’qub as., sehingga tidak mungkin yang dikurbankan adalah Ishaq as. kelima, surah Alshaffat [37]: 99-100 merujuk pada Isma’il as., bukan Ishaq as. keenam, tanduk domba jantan ada di Ka’bah, Mekah, yang menandakan bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as. Jika yang dikurbankan adalah Ishaq as., seharusnya terjadi di Syam.

Sedangkan yang mendukung Ishaq as. hanya ada dua argumen, yakni bahwa surah alshaffat [37]: 112-113 membicarakan tentang Ishaq as., maka kuat disinyalir yang dikurbankan ialah Ishaq as. Lalu, keterangan kitab Ya’qub as, kepada Yusuf as. yang menyebutkkan إِسْحَاقَ ذَبِيح اللَّه بْنِ إِبْرَاهِيمَ خَلِيل اللَّه.

Sebagai penutup dari persoalan ini, al-Razi mengutip perkataan dari al-Zajjaj bahwa, “Hanya Allah Swt. yang tahu siapa di antara keduanya yang dikurbankan. Mereka yang berpendapat bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as., maka tempatnya di Mina. Sedangkan apabila yang dikurbankan Ishaq as., maka tempatnya di Syam atau pun Baitul Maqdis”.

Baca Juga: Fungsi Transformatif Islam dalam Ritual Kurban

Tafsir Periode Modern

Pertama, Tafsir al-Maraghi (Jilid 23, 74) karya dari Musthafa al-Maraghi. Dalam menafsirkan surah Alshaffat [37]: 102, al-Maraghi cukup singkat menjelaskannya. Bahwa ayat tersebut berkenaan dengan seseorang yang taat dan menepati janji. al-Maraghi pun mengaitkannya dengan surah Maryam [19]: 54, bahwa Ismail as. adalah orang yang benar-benar menepati janji.

Kedua, Tafsir al-Munir karya Wahbah al-Zuhaili (Jilid 12, 119-120). Dalam tafsirnya, al-Zuhaili membahas secara khusus siapakah sebenarnya putra yang dikurbankan? Terlihat jelas dalam uraiannya bahwa ia berpihak pada pendapat yang menyatakan bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as.

Untuk menjelaskan perkara tersebut, al-Zuhaili mengutip pendapat dari al-Baidhawi dengan lima argumennya, yakni Isma’il as. adalah anak yang dianugerahkan selepas Ibrahim as. hijrah, kelahiran Ishaq as. di’athafkan dengan kabar kelahiran Isma’il as. Kemudian, sabda Nabi Saw. “أَنَا ابْنُ الذَّبِيحَيْنِ”, dan dua tanduk domba tersebut ada di Makkah. Terakhir adalah kabar kelahiran Ishaq as. diikuti dengan kabar kelahiran Ya’qub as.

Sedangkan rujukan dari pendapat Ibnu Katsir adalah pendapat ulama atau bahkan sahabat yang menyebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. sama sekali tidak ada dasarnya, baik itu dalam Alquran maupun sunah. Justru pendapat itu diduga berasal dari para Ahlul Kitab.

Baca Juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Kesimpulan

Dari segi penyampaiannya, data yang ditemukan penulis dari beberapa sampel karya tafsir yakni, dalam periode klasik penyampaiannya diuraikan secara singkat, berdasarkan riwayat hadis tanpa adanya argumen lanjutan.

Sedangkan dalam periode pertengahan, mufasir menyantumkan banyak hadis sebagaimana at-Thabari. Ada pula yang menambahkan argumennya hingga beberapa poin, semisal al-Zamakhsyari dan al-Razi. Adapun dalam karya tafsir modern, penjelasan mufasir cenderung mengulang apa yang disampaikan oleh mufasir pada periode pertengahan.

Lalu, dari segi kecenderungan mufasir terkait sosok yang dikurbankan, pada karya tafsir klasik, mereka tidak banyak berkomentar. Kecenderungan mereka disampaikan melalui nukilan atas sebuah riwayat.

Hal ini berbeda dengan mufasir periode pertengahan. Kecenderungan mereka diikuti dengan rentetan argumen, baik itu didasarkan pada hadis maupun Alquran. Ada yang secara tegas mengklaim bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as., sebagaimana penjelasan ath-Thabari.

Ada pula yang tidak menyatakan secara lugas, namun kecenderungannya bisa diamati dari argumen yang disampaikan, sebagaimana al-Razi dan al-Zamakhsyari. Sekalipun keduanya sama-sama menyantumkan pendapat yang condong pada Isma’il as. atau Ishaq as., sekaligus menyampaikan jalan tengah di akhir urainnya, namun kedua mufasir tersebut terlihat begitu antusias saat menjelaskan pendapatnya yang lebih mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Isma’il as.

Hal ini jauh berbeda dengan tafsir modern, sebagaimana al-Maraghi dan al-Zuhaili. Ketika menjelaskan peristiwa kurban tersebut, keduanya langsung menyondongkan pendapatnya pada salah satu tokoh, yakni Isma’il as. Sekalipun argumen yang digunakan memang mengutip dari karya tafsir sebelumnya, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Zuhaili.

Namun dari pada itu, hal ini justru mengindikasikan bahwa mufasir modern seakan tidak tertarik pada perdebatan mengenai tokoh yang dikurbankan dalam peristiwa tersebut. Mereka langsung memberikan klaimnya dan beranjak menafsirkan yang lain.

“Ketidaktertarikan” ini bisa juga diamati dalam Tafsir al-Misbah, dimana M. Quraish Shihab sama sekali tidak menyinggung siapa yang dikurbankan Ibrahim as. saat itu. Beliau lebih tertarik pada pembahasan kosa kata dan sejarah pengorbanan manusia untuk Tuhan. Wallah a’lam bish shawab.

Unsur Keindahan Linguistik Ayat-Ayat dalam Surah Attakwir

0
Unsur Keindahan Linguistik Ayat-Ayat dalam Surah At-Takwir
Surah Attakwir

Terletak di urutan yang ke-81 dalam susunan Alquran, surah Attakwir merupakan salah satu surah yang tergolong ke dalam surah–surah Makkiyah dan terdiri dari 29 ayat. Surah Attakwir merupakan surah yang menjelaskan tentang peristiwa–peristiwa besar yang terjadi pada hari kiamat. Pada hari itu, setiap manusia akan mengetahui apa saja yang sudah dikerjakannya saat masih di dunia.

Surah Attakwir memiliki keistimewaan tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Nah untuk itu, agar dapat mengetahui keistimewaan tersebut, seseorang harus memahami terlebih dahulu ilmu–ilmu yang mempelajari kaidah bahasa Arab.

Ilmu yang dimaksud baik ilmu nahu-saraf yang mempelajari struktur dan susunan kata dalam sebuah kalimat serta bentuk dan perubahan kata, ataupun ilmu balaghah, yang membahas tentang tata cara mengolah kata atau susunan kalimat bahasa Arab yang indah dan memiliki arti yang jelas. Di antara keistimewaan surah Attakwir yaitu sebagai berikut.

  1. As-Syartu wa al-jawaabu

Di antara yang menjadikan surah Attakwir menarik adalah bahwa di dalam surah Attakwir terdapat banyak sekali kalimat syarat yang beruntun dari ayat pertama hingga ayat ketiga belas. Kemudian, disusul dengan satu kalimat jawab saja pada ayat keempat belas untuk melengkapi runtutan syarat tersebut. Selain itu, di dalam surah Attakwir juga ada keserasian sajak akhir ayat yang semuanya tersusun rapi.

إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ (1) وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ (2) وَإِذَا الْجِبَالُ سُيِّرَتْ (3) وَإِذَا الْعِشَارُ عُطِّلَتْ (4) وَإِذَا الْوُحُوشُ حُشِرَتْ (5) وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ (6) وَإِذَا النُّفُوسُ زُوِّجَتْ (7) وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ (8) بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (9) وَإِذَا الصُّحُفُ نُشِرَتْ (10) وَإِذَا السَّمَاءُ كُشِطَتْ (11) وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12) وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ (13) عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ (14)

“Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang berjatuhan, dan apabila gunung-gunung dihancurkan, dan apabila unta-unta yang bunting ditinggalkan (tidak diperdulikan), dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan, dan apabila lautan dipanaskan, dan apabila ruh-ruh dipertemukan (dengan tubuh), apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh, dan apabila catatan-catatan (amal perbuatan manusia) dibuka, dan apabila langit dilenyapkan, dan apabila neraka Jahim dinyalakan, dan apabila surga didekatkan, maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. (Q.S. Attakwir [81]: 1-14).

Baca juga: Serba-serbi Seputar Surah Alfatihah

Dapat dipahami dari sini, isi kandungan surah Attakwir banyak menggunakan syarat beruntun untuk menggambarkan banyaknya peristiwa di hari kiamat. Jarang sekali ditemui di dalam Alquran adanya syarat beruntun, yang diakhiri dengan satu jawab saja. Kemudian, apabila semua peristiwa itu sudah terjadi keseluruhan, maka setiap manusia akan segera mengetahui apa saja yang telah dikerjakannya selama di dunia. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya:

وقوله: { عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ } هذا هو الجواب، أي: إذا وقعت هذه الأمور حينئذ تعلم كل نفس ما عملت وأحضر ذلك لها

“FirmanNya: (عَلِمَتْ نَفْسٌ مَا أَحْضَرَتْ) ini adalah jawab (dari runtutan syarat di ayat–ayat sebelumnya), yaitu apabila telah terjadi semua peristiwa ini, maka pada hari itu setiap jiwa akan mengetahui apa saja yang telah dilakukannya, dan didatangkan peristiwa tersebut kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, hal. 335).

Banyaknya peristiwa yang terjadi pada hari kiamat yang disebutkan dalam surah Attakwir, membuat Wahbah Zuhaily menulis dalam tafsirnya tentang surah Attakwir ayat 1-12 yaitu Tafsir Al-Munir. Beliau membagi peristiwa tersebut menjadi dua, yaitu enam ayat pertama berisi peristiwa yang awal datangnya hari kiamat sebelum rusaknya dunia. dan enam ayat selanjutnya berisi peristiwa kiamat itu sendiri (hancurnya dunia).

  1. Syaj’u

Selain syarat yang beruntun, pola dalam penyusunan kata di akhir kalimat juga sangat indah, setiap akhir ayat memiliki kesamaan kata كُوِّرَتْ, انْكَدَرَتْ, عُطِّلَتْ, حُشِرَتْ, سُجِّرَتْ, زُوِّجَتْ, سُئِلَتْ, قُتِلَتْ, نُشِرَتْ, كُشِطَتْ, سُعِّرَتْ, أُزْلِفَتْ, أَحْضَرَتْ yang menjadikannya sangat serasi jika dibacakan; dan juga menggambarkan keindahan lafaznya. (Tafsir Al-Munir, juz 30, hal. 81).

Baca juga: Keistimewaan Surah Ala’la: Surah Favorit Rasulullah

  1. Jinas

Imam Ashobuni menulis dalam kitabnya, Shofwatu At-Tafaasir berbagai keindahan balaghah surah ini. Selain yang sudah dijelaskan di atas, Imam Ashobuni menambahkan adanya jinas. Menurut beliau, di dalam surah Attakwir terdapat jinas naqis, di ayat فَلَا أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ (15) الْجَوَارِ الْكُنَّسِ (16) yaitu antara lafaz (الْخُنَّسِ) dan lafaz (الْكُنَّسِ). Lalu jinas ghoiru tam di ayat ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ (20) مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ (21), yaitu antara lafaz (أَمِيْنٍ) dan (مَكِيْنٍ). (Shofwatu At-Tafaasiir Lishobuuni, juz 3, hal. 463-434).

  1. Isti’arah

Kemudian beliau menyebutkan lagi adanya untsur isti’arah, yaitu cara pengungkapan makna dalam bentuk gambaran imajinasi. Di antaranya ada isti’arah tashrihiyyah di lafaz وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ yang menyerupakan “waktu siang” dan “bersinarnya cahaya” dengan udara sepoi–sepoi yang menghidupkan hati. Selanjutnya isti’aroh lafaz  تنفّسuntuk menyerupakan “datangnya siang” setelah “gelap gulita”. Ini merupakan isti’arah yang sangat lembut dan menceritakan gambaran kesedihan dengan menyingsinya waktu subuh (Shofwatu At-Tafaasiir, juz 3, hal. 463).

  1. Kinayah

Beliau juga menyebutkan kinayah, yaitu mengucapkan lafaz tetapi yang dimaksud adalah kelaziman maknanya. Imam Ashobuni menyebutkan adanya kinayah latifah (sindiran yang lembut) dalam lafaz وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُوْنٍ yang makna “temanmu” di situ merujuk kepada Nabi Muhammad saw.

Baca juga: Balaghah Alquran: Seni Tata Krama dalam Bahasa Alquran

  1. Ittibaq

Ittibaq adalah perbandingan antara dua lafaz yang berlawanan. Terdapat penyebutan ittibaq (perbandingan) dalam ayat وَإِذَا الْجَحِيمُ سُعِّرَتْ (12) وَإِذَا الْجَنَّةُ أُزْلِفَتْ (13) yaitu antara lafaz (الْجَحِيْمُ) dan lafaz (الْجَنَّةُ). (Shofwatu At-Tafaasiir, juz 3, hal. 463-464).

Demikianlah segelintir penjelasan dari keistimewaan surah Attakwir, salah satu surah yang memiliki ciri khas tersendiri dalam mengungkapkan keindahannya. Surah dengan kalimat syarat terbanyak dalam Alquran dan mengandung informasi berbagai peristiwa besar yang akan datang pada hari kiamat nanti. Wallahu a’laam bish showwab.

Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan

0
Prinsip Syariat Islam (Bag. 3): Berorientasi Maslahat dan Keadilan
Setisp hukum syariat berorientasi pada kemaslahatan dan keadilan.

Syariat Islam hadir untuk membawa kemaslahatan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat. Semua hukum Islam yang terdapat dalam Alquran dan hadis diperuntukkan bagi kepentingan hidup manusia, baik dalam aspek jiwa, harta benda, dan lain sebagainya.

Selain prinsip-prinsip yang sudah dijelaskan dalam dua tulisan sebelumnya, ada dua prinsip lagi yang menjadi ruh dalam setiap bentuk penetapan dan penerapan ajaran Islam. dua prinsip tersebut adalah al-maslahah (berorientasi maslahat) dan al-musawah wa al-‘adalah (kesetaraan dan keadilan).

Al-Maslahah (Berorientasi Maslahat)

Ulama sepakat bahwa semua hukum dan aturan dalam syariat pasti memiliki hikmah dan berorientasi maslahat bagi kehidupan manusia. Jangankan aturan-aturan syariat yang memang diproyeksikan untuk membimbing manusia, segala ciptaan Allah yang ada di alam raya ini pasti mengandung hikmah dan tidak ada yang sia-sia. Hal ini dijelaskan misalnya dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 16

{ وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ }

Artinya: “Kami tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya sebagai suatu permainan dan hal yang sia-sia belaka.

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)

Eksistensi maslahah dalam setiap hukum syariat dibuktikan dengan rumusan yang dilakukan oleh para ulama ketika mengkaji setiap hukum yang ditetapkan dalam Alquran dan hadis.

Ada banyak hukum partikular-kasuistik dalam Alquran yang mengindikasikan bahwa dalam setiap aturan syariat terdapat hikmah dan maslahat di dalamnya. Dari ayat-ayat dan hadis-hadis partikular inilah para ulama kemudian melakukan proses deduksi yang menghasilkan suatu rumusan bahwa setiap hukum syariat berorientasi maslahat.

Salah satu ayat yang secara tegas menyebutkan ada maslahat di balik suatu syariat hukum adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 179:

{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ }

Artinya: “Dan dalam qisas itu ada (jaminan) kehidupan bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa dalam syariat qishash terdapat hikmah besar dan maslahat bagi semua pihak. Qishash mengandung kehidupan bukan berarti dengan pelaksanaan qishash akan menciptakan kehidupan baru. Akan tetapi, syariat qishash berpotensi menyelamatkan kehidupan orang yang berniat membunuh dan orang yang diincar oleh pembunuh.

Pasalnya, jika seseorang tau bahwa ketika ia membunuh akan mendapat hukuman qishash, barangkali ia akan mengurungkan niatnya untuk membunuh. Hal ini, selain menyelamatkan nyawanya sendiri dari hukuman qishahs, juga akan menyelamatkan nyawa orang lain dari tindakan pembunuhan yang semula akan ia lakukan.

Baca juga: Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

Dalam diskursus ilmu usul fikih, kemaslahatan yang terkandung dalam setiap hukum Islam tersebut dirumuskan dalam sebuah kajian tersendiri yang disebut maqasid syariah.

Maqasid syariah sendiri dapat diartikan sebagai tujuan-tujuan syariat. Dalam hal ini, tujuan syariat adalah membawa manusia menuju kehidupan yang lebih baik, bermartabat, dan tentunya menggapai keselamatan di dunia dan di akhirat.

Secara umum, ulama membagi kepentingan manusia yang menjadi objek maqasid syariah menjadi tiga bagian; kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Dalam usul fikih, ketiga istilah di atas lebih familier dikenal dengan istilah al-dharuriat, al-hajiyat, dan al-tahsiniat.

Al-Musawah wa al-‘Adalah (Kesetaraan dan Keadilan)

Salah satu prinsip yag tak kalah penting dalam proses perumusan hukum syariat adalah konsep al-musawah wa al-‘adalah. Dalam tataran aplikatif, Islam sangat menjunjung tinggi aspek kesetaraan dan kesamaan. Islam tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan ras, suku, bangsa, dan bahasa. Di hadapan syariat Islam, semuanya berkedudukan sama.

Prinsip al-musawah ini di antaranya dapat dilihat dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 13:

{يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ}

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Menurut sebagian riwayat, ayat di atas turun untuk menegur sebagian orang yang bersikap rasis terhadap sahabat Bilal bin Rabah r.a.

Baca juga: Jasser Auda dan Tawaran Teori Sistem dalam Hukum Islam

Kisahnya, ketika penaklukkan Kota Makkah, Nabi saw. memerintahkan sahabat Bilal r.a. naik ke atas Ka’bah guna mengumandangkan azan. Orang-orang Quraish yang menyaksikan kejadiaan tersebut kemudian berkata, “Apakah Muhammad tidak menemukan orang lain untuk mengumandangkaan azan selain budak hitam ini?” Kemudian turunlah ayat ini sebagai teguran atas sikap rasis mereka terhadap sahabat Bilal r.a. [Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas, juz 1, hlm. 437].

Kesetaraan di hadapan hukum merupakan prinsip utama dalam syariat Islam, baik menyangkut soal ibadah mahdah maupun ibadah ghairu mahdah. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa mempertimbangkan latar belakang ras, suku, dan bangsa.

Selain prinsip kesamaan, prinsip serupa yang tak lalah pentingnya dalam syariat Islam adalah keadilan. Di antara ayat Alquran yang membicarakan soal prinsip ini misalnya dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 58:

{وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ}

“Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.”

Ayat di atas menjelaskan bahwa seseorang harus mampu berlaku adil terkait menunaikkan hak orang lain. Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum. tidak hanya kepada seorang hakim, perintah untuk berlaku adil dalam memberi keputusan menyangkut hak-hak orang lain juga berlaku bagi seluruh umat muslim. [Tafsir al-Sya’rawi, juz 4, hal. 2350-2351].

Baca juga: Nilai Kesetaraan Hingga Evaluasi Diri; Qiraah Maqashidiyah Kisah Nabi Adam

Kesetaraan dan keadilan merupakan prinsip utama dalam yang melandasi setiap kebijakan-kebijakan dalam syariat. Dengan dua prinsip ini, nilai-nilai keislaman akan mudah diterima oleh manusia secara umum sebab keduanya memang sejalan dengan fitrah manusia untuk diberlakukan secara setara dan adil.

Akhir kata, dengan adanya prinsi-prinsip yang telah dirumuskan oleh ulama tersebut, dipahami bahwa betapa Islam merupakan agama universal yang membawa rahmat dan keselamatan bagi seluruh alam. Sekian.

Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bag. 1)

0
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)
Perdebatan Mufasir tentang Peristiwa Kurban (Bagian 2)

Perbedaan pendapat tentang siapa putra yang dikurbankan oleh Ibrahim as. dalam peristiwa kurban tidak hanya terjadi antaragama Kristen, Yahudi dan Islam. Di antara internal Islam pun, yakni antarmufasir juga dijumpai perdebatan terkait peristiwa sakral tersebut. Dalam Alquran, kisah itu diabadikan dalam surah Alshaffat [37]: 102.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Artikel ini, dikelompokkan menjadi tiga bagian berdasarkan periodesasi karya tafsir, mulai dari klasik, pertengahan, hingga modern. Berikut penjelasannya.

Baca juga: Nilai-Nilai Sufistik dalam Penyembelihan Hewan Kurban

Tafsir Periode Klasik

Pada era klasik ini, kitab tafsir diwakili oleh riwayat-riwayat dari para sahabat yang berhasil dikumpulkan, disistematiskan, hingga dibukukan. Di antaranya adalah Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas yang disusun oleh al-Fairuz Abadi dan Tafsir Ibnu Mas’ud yang disusun oleh Muhammad Ahmad Isawi. Selain dari para sahabat, juga dari kalangan tabi’in, dan tabi’ tabi’in.
Dalam Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn ‘Abbas (hal. 377) hanya disebutkan satu periwayatan, sebagaimana berikut ini;

{ فلما بلغ معه السعي } العمل لله بالطاعة ويقال المشىء معه إلى الجبل { قال } إبراهيم لابنه إسمعيل ويقال إسحاق { يا بني إني أرى في المنام } أمرت فى المنام { أني أذبحك فانظر ماذا ترى } تشير وتأمر { قال يا أبت افعل ما تؤمر } من الذبح { ستجدني إن شاء الله من الصابرين } على الذبح

Bahwa ketika surah Alshaffat [37]: 102 turun, yakni perintah untuk mengurbankan salah satu dari putranya, Ibrahim as. menyampaikan hal tersebut kepada Ishaq as. dan Isma’il as.
Sedangkan dalam Tafsir Ibnu Mas’ud (hal. 851) disebutkan dua riwayat hadis dengan substansi yang berbeda. Pertama, hadis yang didapat dari al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain yang dinilai sahih, disebutkan bahwa anak yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim as. adalah Nabi Ismail as. Kedua, hadis yang dirujuk dari ath-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an yang menjelaskan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Ishaq as.
Setelah penyebutan kedua hadis ini, tidak ada suatu pernyataan untuk menegaskan mana yang benar. Ahmad Isawi hanya memberikan keterangan lebih lanjut dalam catatan kaki, yang mana dari kedua hadis itu sama-sama mengklaim sahih.
Ada pula karya tafsir dari tabi’ tabi’in yakni al-Farra’ dalam Ma’anil Qur’an (Jilid 2, 389) yang disebutkan bahwa yang dikurbankan adalah Nabi Isma’il as. saat usianya mencapai 13 tahun.

Tafsir Periode Pertengahan

Beberapa karya tafsir pada periode pertengahan ini yaitu, pertama, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an (Jilid 19, 578) karya ath-Thabari. Dalam persoalan siapa yang dikurbankan oleh Nabi Ibrahim as., ath-Thabari dengan jelas mengatakan bahwa dia adalah Ishaq as.

يَقُولُ تَعَالَى ذِكْرُهُ: فَبَشَّرْنَا إِبْرَاهِيمَ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ، يَعْنِي بِغُلَامٍ ذِي حِلْمٍ إِذَا هُوَ كَبُرَ، فَأَمَّا فِي طُفُولَتِهِ فِي الْمَهْدِ، فَلَا يُوصَفُ بِذَلِكَ وَذُكِرَ أَنَّ الْغُلَامَ الَّذِي بَشَّرَ اللَّهُ بِهِ إِبْرَاهِيمَ إِسْحَاقَ

Ath-Thabari menyuguhkan setidaknya 5 hadis yang secara khusus menyinggung peristiwa kurban, namun tidak ada satupun yang memberikan pernyataan bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as.
Kedua, tafsir al-Kasysyaf ‘an Haqa’iq al-Qur’an (Jilid 4, 56-58) karya al-Zamakhsyari. Dalam penafsirannya, al-Zamakhsyari mengakui adanya perbedaan pendapat terkait siapa yang dikurbankan. Sehingga, dia sama-sama memaparkan pendapat dari golongan yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as. atau Ishaq as. dengan masing-masing argumennya.
Mereka yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as., yakni dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Muhammad bin Ka’ab al-Quradzi dan para pengikutnya. Pertama, berdalih dengan sabda Nabi saw. yakni ana ibnu dzabihaini (aku adalah putra dari dua yang dikurbankan, yakni pada peristiwa ‘Abdul Muthallib yang hendak mengurbankan ‘Abdullah (ayah Nabi saw.), namun digantikan dengan seratus unta dan peristiwa pengurbanan Ismail as.

Baca juga: Kisah Rencana Penyembelihan Nabi Ismail dan Asal-Usul Ibadah Kurban 
Kedua, mengutip dari cerita ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, dia telah mengutus seseorang agar menanyakan kebenaran peristiwa tersebut kepada orang Yahudi yang telah masuk Islam. Menurut penuturannya, sebenarnya orang Yahudi mengetahui bahwa yang dikurbankan adalah Ismail as., namun mereka iri kepada orang Arab. Sehingga, mereka membakar tanduk domba sesembelihan Ibrahim as. yang ada di Ka’bah.
Kemudian, pihak yang mendukung bahwa yang dikurbankan adalah Ishaq as. adalah ‘Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, al-‘Abbas, ‘Atha’, Ikrimah, dan para pengikutnya. Pernyataan tersebut didasarkan pada catatan Ya’qub as. kepada Yusuf as., dimana di dalamnya tertulis ada kata dzabihullah yang disematkan pada nama Ishaq as.;

من يعقوب إسرائيل الله بن إسحاق ذبيح الله ابن ابراهيم خليل الله

Sebagai penutup dari penjelasan tafsir surah Alshaffat [37]: 102 ini, al-Zamakhsyari melempar dengan beberapa pertanyaan, salah satunya adalah, “Apa faedah dari peristiwa ini, sedangkan pengurbanan salah satu anak Ibrahim as. telah diganti dengan seekor hewan sesembelihan?”
Ia menjelaskan, “Faedah dari peristiwa tersebut ialah ditemukannya pengganti sesembelihan kurban, sehingga sempurnalah janji nazar Ibrahim as. untuk mengurbankan salah satu anaknya.”

Prinsip Pensyariatan Hukum Islam (Bag. 2): Asas Gradualitas

0
Prinsip Pensyariatan Hukum Islam (Bag. 2): Asas Gradualitas
Minuman keras diharamkan dalam hukum Islam secara bertahap.

Sudah menjadi kesepakatan umum bahwa syariat Islam diproyeksikan untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan jargon rahmatan lil ‘alamin  yang diusung oleh agama Islam itu sendiri.

Dalam tulisan sebelumnya sudah diterangkan bahwa setidaknya ada lima prinsip yang menjadi acuan dalam penetapan hukum Islam. Lima hal tersebut adalah ‘adam al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadrij fi al-tasyri’, al-maslahah, dan al-musawat wa al-‘adalah. Dua di antaranya sudah dijelaskan, yakni ‘adam al-haraj dan taqlil al-takalif yang bermuara pada kemudahan dalam beragama.

Berikut ini akan dipaparkan mengenai prinsip al-tadrij fi al-tasyri’, yakni penetapan hukum Islam secara bertahap.

Al-Tadrij fi al-Tasyri’ (Penetapan Hukum secara Bertahap)

Dalam proses perumusan hukum, Islam tidak abai terhadap adat istiadat dan kondisi sosial di masyarakat. Ketika menetapkan suatu hukum yang itu mengusik adat istiadat suatu kaum, Islam tidak langsung memvonis salah terhadap adat kebiasaan tersebut. Akan tetapi, proses penetapan hukumnya ditempuh secara gradual dan dialogis.

Dalam usul fikih, adanya tahapan-tahapan dalam penetapan hukum bertujuan supaya manusia memiliki kesiapan untuk menerima syariat tersebut serta memahami apa hikmah yang terkandung di dalamnya. Manakala ia sudah siap secara psikologis, selanjutnya syariat tersebut akan dilaksanakan dengan penuh ketundukan. Berbeda jika syariat tiba-tiba datang melabrak suatu adat yang sudah mengakar di masyarakat. Hal tersebut tentu akan mendapat penolakan dari masyarakat  sehingga syariat Islam akan sulit diaplikasikan dalam kehidupan nyata [Al-Muhadzzab fi Ushul al-Fiqh al-Muqarin, juz 2, hal. 550].

Baca juga: Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)

Di dalam Alquran akan dijumpai banyak contoh bagaimana Islam menerapkan prinsip gradual dalam pensyariatan hukum. Di antaranya adalah ketika syariat mengharamkan minuman keras (khamr). Dahulu, minum minuman keras di kalangan masyarakat Arab merupakan suatu kebiasaan yang lumrah mereka lakukan.

Empat Tahapan Pengharaman Khamar

Demi mengharamkan minuman keras tersebut, para ahli tafsir menyebutkan bahwa setidaknya ada empat ayat yang diturunkan secara bertahap perihal status hukum khamar. Secara bertahap, keemat ayat tersebut adalah Q.S. An-Nahl ayat 67, Q.S. Al-Baqarah ayat 219, Q.S. An-Nisa’ ayat 43, dan pamungkas yang secara tegas mengharamkan khamar yaitu Q.S. Al-Maidah ayat 90 [Tafsir al-Baghawi, juz 1, hal. 294].

Berikut redaksi dari keempat ayat Alquran di atas. Pertama, Q.S. An-Nahl ayat 67:

{وَمِنْ ثَمَرَاتِ النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ} [النحل: 67]

Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rezeki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.

Q.S. Al-Baqarah ayat 219:

{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا} [البقرة: 219]

Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.”

Baca juga: Mengenal Diksi Tanya Jawab dalam Alquran

Q.S An-Nisa’ ayat 43:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ } [النساء: 43]

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.

Dan Q.S. Al-Maidah ayat 90:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [المائدة: 90]

Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.

Dalam Q.S. An-Nahl di atas, Allah Swt. menjelaskan bagaimana masyarakat Arab pada waktu itu mendapatkan rezeki dan membuat minuman keras dari khamar. Pada saat itu, kaum muslim masih banyak yang minum khamar karena memang belum ada larangan.

Kemudian Allah Swt. menjelaskan bahwa meski dalam khamar terkandung manfaat, tetapi di dalamnya juga terdapat keburukan yang besar. Masih belum ada larangan tegas dalam ayat ini. Namun, pada tahap ini, terdapat sebagian sahabat yang sudah meninggalkan tradisi minum khamar dengan pertimbangan mafsadat yang dapat ditimbulkan. Di antara mafsadat tersebut adalah dapat merusak akal sehat.

Baca juga: Kegelisahan Umar bin Khattab dan Turunnya Ayat Pengharaman Khamar

Pada ayat ke 43 surah An-Nisa, Allah Swt. melarang kaum muslim melaksanakan salat dalam keadaan mabuk yang secara tidak langsung merupakan larangan minum minuman keras di waktu-waktu menjelang salat. Pada fase ini, larangan minum khamar masih belum tegas. Pasalnya, kaum muslim masih diperbolehkan minum khamar ketika waktu pelaksanaan salat masih lama, semisal setelah salat Isya atau setelah salat Subuh.

Barulah pada Q.S. Al-Maidah ayat 90, Allah Swt. dengan tegas melarang minum-minuman keras dalam kondisi apapun.

Menurut Imam al-Qaffal yang dikutip oleh Imam Fakhruddin al-Razi, hikmah di balik tahapan-tahapan larangan minum khamar tersebut adalah agar tidak memberatkan umat Islam. Hal itu disebabkan karena pada mulanya khamar memang menjadi kebiasaan yang telah melekat dalam tradisi budaya masyarakat Arab pada saat itu. Di samping itu ia juga kerap kali dimanfaatkan oleh umat Islam dalam berbagai hal. Sehingga, melarang minum khamar secara spontan akan dirasa berat oleh mereka [Mafatih al-Ghaib, juz 6, hal. 396].

Baca juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?

Selain penetapan larangan minum minuman keras, ada banyak contoh lain yang menunjukkan bagaimana Islam sangat memperhatikan aspek gradual-dialogis dalam mensyariatkan suatu hukum. Hal ini merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada umatnya agar umatnya tidak kaget dengan syariat yang baru ditetapkan, terlebih jika syariat itu bertentangan dengan adat kebiasaan yang dilakukan.

Penetapan hukum dalam Alquran yang dilakukan secara bertahap menunjukkan bahwa hukum Islam selalu berpedoman kepada spirit meringankan beban manusia. hal ini dikarenakan proses pengharaman suatu perkara yang telah menjadi kebiasaan dapat diterima dengan penuh kesadaran dan ketundukan.

Kaitan antara Taurat dan Alquran: Kajian Surah Alisra’ Ayat 2

0
Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran
Menjawab Tuduhan Regis Blachere atas Kodifikasi Alquran

Alquran menerangkan tentang kehidupan umat terdahulu sebagai ibrah bagi kaum Muslim dalam beragama. Peristiwa masa lalu adalah hal yang tidak dapat ditinggalkan atau dilupakan begitu saja. Setiap momen dapat memiliki makna tertentu terlebih apabila hal tersebut tersusun dalam Alquran. Bagaimana jika kisah masa lalu memiliki keterkaitan dengan kejadian pada masa Nabi Muhammad saw.? Tentu keterangan akan kisah tersebut menjadi penjelasan yang nyata karena sang pelaku sejarah mengalami hal terkait akan itu. Adapun salah satu ayat yang menurut para mufasir terkait antara kejadian pada masa Nabi Muhammad dan kisah Nabi sebelumnya yakni surah Alisra’ ayat 2.

وَآتَيْنا ‌مُوسَى ‌الْكِتابَ ‌وَجَعَلْناهُ هُدىً لِبَنِي إِسْرائِيلَ أَلَاّ تَتَّخِذُوا مِنْ دُونِي وَكِيلاً

“Dan kami berikan kitab itu kepada Musa dan kami menjadikannya petunjuk bagi Bani Israil, “Jangan sampai kalian mengambil Pelindung selain Aku.”
Ayat ini menurut Ibn Asyur adalah ‘athaf terhadap ayat satu yang merupakan pendahuluan, sehingga menurut Ibn Asyur, pemaknaannya adalah Allah memperjalankan hamba-Nya, Muhammad dan memberikan kepada Musa sebuah kitab. Keduanya adalah anugerah yang agung bagi manusia.
Kaitan kedua ayat ini menurut Ibn Asyur juga terlihat melalui penyebutan Masjid al-Aqsha yang merupakan pusat peradaban Bani Israil. Bagaimana naik turunnya peradaban mereka dapat menjadi ibrah bagi umat Muslim untuk bersiap dan waspada.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Ayat 2 ini juga terkait dengan kalimat agar kami tunjukkan padanya ayat-ayat kami pada ayat satu. Menurut Ibn Asyur hal ini karena ayat-ayat Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad saw. adalah ayat Alquran. Jadi, menurut beliau dapat dikatakan bahwa yang dimaksud kami berikan kepadanya Alquran dan kami berikan kepada Musa Kitab yakni Taurat.
Ibn Asyur menghubungkan ayat kedua ini dengan ayat 9 yang menyebutkan tentang Alquran yang menunjukkan pada yang lebih tegak. Maksudnya adalah petunjuk kepada jalan yang lebih tegak daripada jalan yang ditunjukkan dalam Taurat.
Ayat 2 ini juga dapat dihubungkan dengan ayat 73 yang menyebutkan tentang tendensi kaum Musyrikin yang hendak membujuk Nabi untuk mengubah apa yang diwahyukan kepada beliau. Bani Israil disebut telah melakukan perubahan atau tahrif pada kitab suci mereka.
Perilaku menyimpang Bani Israil tersebut dapat menjadi peringatan bagi kaum Muslim untuk menjaga Alquran yang merupakan warisan dari Nabi Muhammad saw. Kita mesti mempelajari dan mengajarkannya dengan tidak mengubah atau mengarahkannya pada pemaknaan tendensius yang condong pada kezaliman. Pada ayat 82 disebutkan.

وَنُنزلُ ‌مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ وَلا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلا خَسَارًا

“Dan kami turunkan sebagian Alquran yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. Sementara tidaklah bertambah bagi orang-orang yang zalim kecuali kerugian.”
Ibn Asyur menyebut ayat 82 ini terkait dengan ayat 73 bahwa kaum musyrikin yang menghendaki agar Nabi tidak menyebut buruk berhala mereka hanya akan mendapatkan kerugian. Kata syifa dalam ayat ini menurut beliau dapat berarti majaz dari hilangnya kekurangan, kesesatan, kurangnya kebermanfaatan, akidah-akidah tiada guna, amal yang rusak, maupun akhlak tercela. Kesemuanya itu disamakan dengan sakit ataupun luka.
Ketika disebutkan Bani Israil pada ayat dua sekilas akan terbayang pula bagaimana gambaran bangsa yang pernah sakit. Bagaimana peradaban mereka yang timbul tenggelam karena perhatian yang juga pasang surut akan Kitab suci.

Baca juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

Kata nunazzil menurut beliau menunjukkan makna pembaruan, pengulangan, dan perbanyakan sehingga ia adalah janji bahwa turunnya Alquran berjalan dalam waktu yang panjang. Berbeda dengan Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa sekaligus. Panjangnya waktu berarti panjanganya masa perjuangan dan presistensi untuk tetap berada di jalan yang ditentukan oleh Allah. Oleh karenanya pada ayat 86-87 disebutkan.

وَلَئِنْ شِئْنا ‌لَنَذْهَبَنَّ ‌بِالَّذِي أَوْحَيْنا إِلَيْكَ ثُمَّ لا تَجِدُ لَكَ بِهِ عَلَيْنا وَكِيلاً(86) إِلا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ إِنَّ فَضْلَهُ كَانَ عَلَيْكَ كَبِيرًا ‌‌(87)

“Jika kami berkehendak sungguh kami akan menghilangkan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) kemudian engkau tidak akan mendapati seorang pelindungpun terhadap kami. Kecuali rahmat dari Tuhanmu sungguh karunia-Nya atasmu sangatlah besar.”
Ayat 86-87 ini menurut Ibn Asyur terkait dengan ayat 82 yang masih berkaitan dengan ayat kedua surah Alisra’. Jika Taurat yang asli masih menjadi perdebatan keberadaannya di mana, Alquran menjadi kitab suci yang sampai pada abad ini dengan keasliannya yang disepakati. Demikian pada ayat 105 sebelum akhir surat disebutkan.

وَبِالْحَقِّ أَنزلْنَاهُ وَبِالْحَقِّ نزلَ وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا مُبَشِّرًا وَنَذِيرًا ‌‌

“Dan kami turunkan (Alquran) dengan sebenarnya dan (Alquran) turun dengan kebenaran. Dan tiadalah kami mengutus engkau kecuali sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.”
Ibn Asyur menyatakan ayat ini berkaitan dengan turunnya Alquran, proses ketika ia sampai kepada manusia dengan benar. Adapun makna hak yang kedua yakni lawan dari kebatilan, ia adalah kebenaran yang ditegakkan untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.
Jika sebagian Bani Israil menghendaki keuntungan dengan mengubah atau menganggap remeh kitab suci, maka ayat dua ini adalah peringatan dan janji pertolongan bagi kaum Muslim yang memegang teguh Alquran sebagai kitab sucinya. Semoga kita yang diberi rahmat melalui Alquran. Wallahu a’lam[]

Maksud Diksi “Tarjamah” dalam Faid al-Rahman fi Tarjamah Tafsir Kalam Malik al-Dayyan

0
Maksud Diksi Tarjamah dalam Tafsir Faid al-Rahman Karya Kyai Sholeh Darat
Maksud Diksi Tarjamah dalam Tafsir Faid al-Rahman Karya Kyai Sholeh Darat

Salah satu pertanyaan yang diberikan kepada penulis dalam satu kesempatan diskusi tafsir Kyai Sholeh Darat adalah maksud dari diksi tarjamah (terjemah) yang digunakan dalam penamaan tafsirnya. Tafsir Kyai Sholeh memiliki nama lengkap Faid al-Rahman fi Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan.
Bagi beberapa pengkaji, penggunaan diksi ini cukup problematik. Pasalnya, Faid al-Rahman lebih masyhur dikenal sebagai tafsir, bukan terjemah. Kajian ilmu Alquran sendiri membedakan antara terjemah dan tafsir. Lantas, apa maksud dari penggunaan diksi ini?
Penggunaan diksi terjemah sejatinya tidak hanya ditemukan dalam tafsir Kyai Sholeh saja. Beberapa tafsir kenamaan juga menambahkan diksi ini pada namanya, seperti Al-Iklil fi Ma‘ani al-Tanzil karya Mbah Misbah Musthofa yang menambahkan redaksi mawi tarjamah bahasa Jawi (menggunakan terjemah bahasa Jawa).

Baca juga: Menelusuri Jejak Tafsir ‘Faidl al-Rahman’ Kiai Sholeh Darat

Diskusi mengenai terjemah dan tafsir pada dasarnya telah banyak dilakukan. Beberapa tulisan singkat yang dapat dirujuk adalah milik Ulin Nuha berjudul Apakah Terjemahan Al-Quran Dapat Disebut Karya Tafsir? Inilah Pemetaan Levelisasi Mufasir Menurut Para Ahli yang kemudian direspon oleh Hamam Faizin dengan Uraian Lengkap Soal Terjemah Al-Quran dan Perbedaannya dengan Tafsir.
Faizin dalam disertasinya, Sejarah Penerjamahan Al-Qur’an di Indonesia, juga telah memberikan paparan yang sangat lengkap terkait dengan istilah terjemah. Dalam paparannya, dia menghimpun setidaknya tujuh pendapat pakar ilmu Alquran berikut dengan dinamika kajiannya. Secara umum, pendapat-pendapat tersebut mengerucut pada dua jenis terjemah, yakni al-tarjamah al-harfiyyah dan al-tarjamah al-tafsiriyyah.
al-Tarjamah al-Harfiyyah atau terjemah harfiah adalah memindahkan satu bahasa ke dalam bahasa lain dengan mempertahankan struktur (al-nazhm wa al-tartib) bahasa asli. Sedangkan al-tarjamah al-tafsiriyyah adalah menjelaskan (bayan) makna kalam dari satu bahasa ke bahasa lain tanpa terpaku pada struktur aslinya. Demikian setidaknya menurut Manna‘ Khalil al-Qaththan.
Dalam konteks Alquran, diksi tarjamah sendiri banyak diartikan sebagai tafsir oleh para pakar. al-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan, Al-‘Alusyi dalam Ahkam Tarjamah al-Qur’an, dan Najdah Ramadan dalam Tarjamah al-Qur’an al-Karim wa Atsaruha fi Ma‘aniha mengartikan kata tarjamah al-Qur’an dengan tafsir al-Qur’an. Ini berarti bahwa terjemah Alquran pada dasarnya adalah tafsir Alquran itu sendiri.
Namun demikian, menurut Faizin, perlu dicatat bahwa kendati terjemah dan tafsir adalah sama (dengan pengertian yang mirip), keduanya memiliki perbedaan dalam segi luas-lebarnya penjelasan. Terjemah bagaimanapun juga akan lebih sempit ketimbang sebuah tafsir yang memiliki ruang cukup luas untuk berbagai sisi Alquran.
Untuk dapat menangkap maksud penggunaan diksi terjemah dalam kitab-kitab tafsir terlebih dahulu mengharuskan pembacaan terhadap kitab tafsir yang dimaksud. Faid al-Rahman misalnya, merupakan tafsir bernuansa sufi yang ditulis mengikuti model tartib mushhafiy. Sajian yang disuguhkan terbagi dalam tiga bagian, yakni ayat Alquran yang hendak ditafsirkan, terjemahan ayat, dan tafsir sufistik.

Baca juga: Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang

Melihat unsur sajian yang telah menyertakan terjemahan ayat secara langsung, dapat disimpulkan sementara bahwa maksud diksi tarjamah dalam Faid al-Rahman adalah benar-benar terjemah. Artinya bukan terjemah yang menggunakan arti tafsir secara istilah. Hal ini dikarenakan Faid al-Rahman memiliki bagian tafsir tersendiri di luar terjemahan ayat. Meskipun kemungkinan adanya terjemah tafsiriyyah tetap muncul sesuai pilihan terjemah yang diberikan nantinya.
Namun setelah membaca salah satu terjemahan yang diberikan dalam salah satu ayatnya, dapat diketahui bahwa varian terjemahan yang digunakan adalah tafsiriyyah. Hal ini mengacu pada pemaknaan terjemahan yang tidak terpaku pada struktur dan makna leksikalnya serta beberapa tambahan penjelasan yang tidak ditemui dalam letterlijk redaksi ayat.
Dalam Surah Al-Baqarah [2] ayat 253 misalnya, Kiai Sholeh menuliskan,
“Lan lamun kersaha Allah Swt. ing yento nuduhaken ing manusa kabeh maka yekti ora ana pada sulaya manusa kabeh sangking sawuse para rasul kabeh. Olehe pada sulaya sawuse wus teka ing manusa kabeh apa ayat kang (per)tela2 (?) kang nuduhaken wahdaniyyah Allah. Lan tetapine pada sulaya manusa kabeh kerana ana dene kersane Allah Ta‘ala ing mangkono2 sulaya. Maka setengah sangking manusa iku maka ana ingkang netepi imane sawuse ilange rasul. Lan tetapine manusa iku ana ingkang pada kufur kaya kaum Nashara kufur sawuse Nabi ‘Isa. Artine sawuse ilange Nabi ‘Isa. Lan lamun kersa Allah maka yekti ora ana pada sulaya ing dalem perkarane agamane. Maka ana sulayane kelawan kersane Allah Swt. lan tetapine setuhune Allah Swt. agawe barang kang sa’ kersane sangking kersa paring taufiq ing wongkang sa’ kersane lan paring khidzlan ing wongkang sa’ kersane. Artine paring iman ing ‘Umar bin al-Khaththab lan paring kufur ing Abu Jahl sartane karo pada wus ningali pira2 ayat lan pira2 mu‘jizat. Yahdi man yasya’ wa yudlill man yasya’.”
Sementara dalam Qur’an Kemenag, ayat tersebut diterjemahkan dengan,
“Seandainya Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan saling membunuh setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Akan tetapi, mereka berselisih sehingga ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) yang kufur. Andaikat Allah menghendaki, tidaklah mereka saling membunuh. Namun, Allah melakukan apa yang Dia kehendaki.”
Perbandingan dua terjemahan ini menunjukkan terdapat perbedaan yang mencolok terutama dalam contoh dan implikasi makna ayat yang diberikan Kiai Sholeh, yang tentu berimbas pada luas-lebarnya terjemahan. Kendatipun, terjemahan Kiai Sholeh ini tetap dapat dikategorikan sebagai terjemahan, bukan tafsir.
Dari paparan ini dapat diketahui bahwa maksud penggunaan diksi tarjamah dalam nama tafsir Faid al-Rahman karya Kiai Sholeh Darat adalah terjemah tafsiriyyah, yakni terjemah ayat Alquran yang tidak terpaku pada struktur bahasa asli Alquran, yakni bahasa Arab. Maksud penggunaan diksi yang sama dalam kitab lain juga dapat ditelusuri melalui kajian yang serupa. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Beberapa Prinsip Pensyariatan Hukum dalam Alquran (Bag. I)

0
prinsip penyariatan hukum
prinsip penyariatan hukum

Alquran merupakan sumber hukum utama dan paling asasi dalam proses istinbath al-ahkam yang dilakukan oleh para mujtahid. Sebagai kitab suci terakhir, diksi dan redaksi yang berisi hukum dan aturan yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan fleksibel. Hal ini bertujuan agar postulat-postulat hukum yang disarikan darinya mampu berdialog dengan perkembangan zaman (shalih li kulli zaman wa makan) sehingga tetap eksis menebar maslahat.

Para ulama dan cendikiawan muslim bisa dikatakan sebagai pihak yang punya tanggung jawab mendakwahkan syariat Islam. Selain harus memahami sumber-sumber hukum, para ulama tersebut juga dituntut untuk peka terhadap kondisi sekitar. Hal ini bertujuan agar hasil rumusan hukum yang diperoleh dari proses pembacaan teks tidak acuh terhadap konteks sosial masyarakat.

Untuk mewujudkan tujuan, menghadirkan hukum yang fleksibel dan membawa maslahat tersebut, Alquran menggariskan beberapa prinsip dalam pensyariatan hukum sebagai pedoman bagi para mujtahid. Setidaknya, ada lima prinsip yang menjadi pedoman dalam pensyariatan hukum dalam Islam, yaitu; ‘Adam al-haraj, taqlil al-takalif, al-tadrij fi al-tasyri’, al-maslahah dan al-musawat wa al-‘adalah.

Baca Juga: Mengenal Ijma’ Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Para Mufasir

­‘Adam al-Haraj (Tidak Menyulitkan)

Prinsip pensyariatan hukum Islam yang pertama adalah ‘tidak menyulitkan’. Kemampuan manusia sebagai mukalaf menjadi salah satu pertimbangan penting dalam penetapan hukum syariat. Artinya hukum-hukum yang ditetapkan pasti tidak keluar dari batas kesanggupan yang dimiliki manusia. Prinsip untuk memberikan melonggarkan dan tidak menyulitkan ini ditegaskan misalnya dalam surah Al-Baqarah [02]: 286:

{لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Q.S. Al-Baqarah [2]: 286.

Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa seluruh keputusan hukum dalam syariat Islam, baik berupa perintah maupun larangan, semuanya tidak keluar dari batas kemampuan manusia. Ketiadaan pembebanan yang melebihi kapasitas kemampuan manusia merupakan salah satu wujud keadilan dan kasih sayang Allah swt. kepada makhlukNya. [Tafsir al-Wasith li al-Thanthawi, juz 1, hal.660].

Selain ayat di atas, ada banyak ayat lain yang menegaskan bahwa Islam memang agama yang menghendaki kemudahan. Di antaranya, Allah swt. berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 185:

{يُرِيدُ اللَّه بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ}

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” Q.S. Al-Baqarah [2]: 185

Dalam ayat lain, Allah swt. berfirman:

{وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ}

dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” Q.S. Al-Hajj [22]: 78

Imam Fakhruddin al-Razi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas adalah tersedianya dispensasi-dispensasi dalam agama. Misalnya, manakala seseorang tidak mampu solat berdiri maka syariat membolehkannya solat dalam kondisi duduk. Apabila seseorang tidak mampu berpuasa dikarenakan sedang musafir atau sakit misalnya, maka dia boleh tidak berpuasa di hari itu dan diganti dengan puasa di hari lain. [Mafatih al-Ghaib, juz 23, hal. 255]

Akan tetapi, jangan disalahpahami bahwa syariat Islam sama sekali menegasikan beban hukum taklif bagi manusia. Pasalnya, kewajiban dan larangan yang ada, seperti salat, puasa, larangan zina dan lain sebagainya berisi beban taklif juga. Hanya saja, beban-beban seperti itu masih berada dalam kesanggupan manusia, yang dinegasikan dalam syariat adalah hal-hal yang tingkat kesulitannya tidak wajar menurut kebiasaan umum.

Baca Juga: Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran

Taqlil al-Takalif (Mengurangi Beban)

Prinsip pensyariatan hukum Islam yang kedua ini pada dasarnya identik dengan yang pertama. Keduanya sama-sama menghendaki adanya kemudahan, akan tetapi, prinsip taqlil al-takalif ini lebih berorientasi pada pemberian kelonggaran atas beban taklif yang terlalu banyak. Dalam hal ini syariat lebih memilih memberikan beban taklif minimalis agar tidak terlalu memberatkan objek yang diberi ‘beban’.

Terkait hal ini, Allah swt. melarang umatNya untuk mempertanyakan sesuatu yang berpotensi menyusahkan diri mereka sendiri. Dalam surah al-Maidah ayat 101, Allah swt. berfirman:

{يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِنْ تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ}

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al-Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” Q.S. Al-Maidah [5]: 101.

Ada beberapa riwayat yang menerangkan terkait sebab turunnya ayat tersebut. Salah satu riwayat tersebut, mengatakan bahwa ayat di atas turun ketika beberapa orang mendatangi Nabi Muhammad saw. untuk mengajukan beberapa pertanyaan dngan tujuan mengolok-olok. Di antara mereka ada yang bertanya, “Dimana ayah saya?”, ada pula yang bertanya, “Dimana unta saya”, maka turunlah ayat ini untuk melarang umat Islam agar tidak menanyakan hal-hal yang tidak perlu.

Dalam riwayat lain, dari Sahabat Abu Hurairah ra., bahwa suatu ketika Rasulullah saw. pernah bersabda di hadapan para sahabat mengenai kewajiban haji. Lantas ada seorang sahabat yang bertanya, “Apakah di setiap tahun?”. Tiga kali sahabat tersebut bertanya namun tidak mendapat respon dari Nabi saw. Kemudian Rasulullah saw. bersabda

فَقَالَ: “وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ قُلْتُ: نَعَمْ لوَجَبَتْ، وَلَوْ وَجَبَتْ عَلَيْكُمْ مَا أَطَقْتُمُوهُ، وَلَوْ تَرَكْتُمُوهُ لَكَفَرْتُمْ”، فَأَنْزَلَ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ} حَتَّى خَتَمَ الْآيَةَ

“Demi jiwaku yang ada dalam genggamannya, andai aku katakan “iya”, niscaya haji akan diwajibkan (setiap tahun). dan apabila sudh wajib, maka kalian tidak akan mampu melaksanakannya. Dan jika kalian meninggalkannya maka kalian telah akan telah kafir. Lalu kemudian turun surah al-Maidah ayat 101 hingga akhir ayat. [Tafsir Ibnu Katsir, juz 03, hal. 205].

Ayat di atas memberi pemahaman bahwa orang yang beriman dilarang untuk menanyakan hal-hal terkait beban taklif yang belum ada hukumnya. Pasalnya, mengajukan banyak pertanyaan akan berpotensi memperbanyak beban taklif, dan itu akan memberatkan umat Islam itu sendiri.

Terkait hal ini, Rasulullah saw. bersabda,

إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيّعوها، وحدّ حدوداً فلا تعتدوها، وحرّم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان فلا تبحثوا عنها

Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban maka janganlah engkau menyepelekannya, dan Dia telah menentukan batasan-batasan maka janganlah engkau melanggarnya, dan Dia telah pula mengharamkan beberapa hal maka janganlah engkau jatuh ke dalamnya. Dia juga mendiamkan beberapa hal–karena kasih sayangnya kepada kalian bukannya lupa–, maka janganlah engkau membahasnya.” H.R al-Daruquthni.

Dengan demikian, Islam tidak menghendaki adanya beban taklif yang terlalu banyak, sebab itu akan menyusahkan bagi manusia. Meski demikian, Islam tetap tegas dengan aturan-aturan yang ada. Islam adalah agama yang mudah, tetapi jangan pernah dipermudah.

Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil Bagian II: Kebodohan akan Kitab Suci Mereka Sendiri

0
Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan
Ilustrasi Bani Israil

Performa membaca murid di Indonesia disebut oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 berada di peringkat 71 dari 76 negara yang mereka survey, padahal UNESCO menyebut pada tahun yang sama yakni 2018 tingkat literasi atau melek aksara di Indonesia adalah 96%. Melalui dua data ini kita dapat melihat bahwa kemampuan membaca tidak berbanding lurus dengan kualitas pemahaman bacaan masyarakat Indonesia.

Fenomena minat atau pemahaman terhadap literasi yang rendah sangat berpotensi menjadi aspek yang dapat merugikan peradaban kebangsaan, terlebih jika dibarengi dengan kalangan intelektual yang dapat memanfaatkan keadaan ini secara bengis. Keadaan yang memperihatinkan ini sebelumnya telah dialami oleh bangsa Bani Israil ketika mayoritas mereka, meskipun dapat membaca dan mendengarkan kitab suci namun tidak mengerti akannya. Hal ini diterangkan dalam surah al-Baqarah ayat 78.

‌وَمِنْهُمْ ‌أُمِّيُّونَ لا يَعْلَمُونَ الْكِتابَ إِلَاّ أَمانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَاّ يَظُنُّونَ

“Dan sebagian dari mereka buta huruf tidak mengetahui Kitab kecuali hanya angan-angan dan tidaklah mereka (mengetahui) kecuali mereka hanya mengira-ngira”.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Al-Razi dan Ibn Asyur sepakat bahwa golongan ini adalah bagian lain dari Bani Israil di luar kalangan ilmuwan yang sesat menyesatkan. Ibn Asyur menyebut golongan ini sebagai al-jahl al-murokkab atau kebodohan yang bertumpuk-tumpuk karena disinyalir mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak tahu.

Ibn Asyur menyatakan bahwa ayat ini adalah kelanjutan dari ayat 75 yang telah kami catat pada artikel sebelumnya tentang para ilmuwan yang tendensius, sehingga ayat ini adalah sisi lain dari penyebab perpecahan dan kemunduran yang dialami oleh kaum Bani Israil.

Para mufasir dalam memahami ayat ini menyoroti tiga kata signifikan yang akan membantu kita untuk mengerti konteks Bani Israil lebih jauh. Tiga kata tersebut adalah ummiyy, amaniyy, dan dzann.

  1. Keterbatasan dalam Keluasan

Bani Israil yang juga disebut sebagai ahli kitab semestinya menguasai kitab suci karena di antara mereka juga lahir beberapa Nabi. Karena kebiasaan ini al-Razi menyebut bahwa kata ummy pada ayat di atas bukanlah secara mutlak buta huruf akan tetapi taraf pemahaman akan bacaan yang tidak baik.

Bagaimana mungkin umat dengan banyak Nabi yang menerangkan kitab suci justru tidak mengerti akan kandungan kitab suci itu? Melalui sumber yang seharusnya tidak terbatas, karena langsung dapat bertanya kepada Nabi mereka, semestinya bacaan akan kitab suci justru semakin baik dan luas pemahamannya.

Kebodohan mereka tersebut disinyalir dalam Alquran bahwa kedatangan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. Oleh karenanya mereka mendustakan para Rasul tersebut di samping sebagian lagi dibunuh. Hal ini tercantum dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 87.

وَلَقَدْ آتَيْنا مُوسَى الْكِتابَ وَقَفَّيْنا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّناتِ وَأَيَّدْناهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّما جاءَكُمْ رَسُولٌ بِما لا تَهْوى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقاً كَذَّبْتُمْ ‌وَفَرِيقاً ‌تَقْتُلُونَ

“Dan sungguh telah kami berikan kepada Musa al-Kitab dan kami susulkan setelahnya dengan Rasul-Rasul, dan kami berikan kepada Isa bin Maryam penjelasan-penjelasan dan kami menguatkannya dengan ruh al-Qudus. Apakah setiap kami datangkan kepada kalian utusan yang tidak sesuai dengan kemauan nafsu kalian maka kalian menyombongkan diri sehingga sebagian kalian dustakan dan sebagiannya lagi kalian bunuh?”

Menurut Ibn Asyur, Bani Israil memiliki sifat sombong atau merasa lebih tinggi untuk mengikuti para Rasul tersebut. Mereka heran bagaimana mungkin keadaan mereka yang lebih mulia mesti menjadi pengikut para Rasul itu. Oleh kerenanya sebagian mereka dustakan dan sebagian lagi dibunuh seperti halnya Nabi Zakariya dan Yahya as.

Kedatangan seorang Rasul semestinya menjadi berkah bagi suatu kaum, karena seorang Rasul adalah penyampai risalah Ilahi, pengajar kitab suci dan kebijaksanaan yang sebelumnya tidak diketahui. Seperti yang telah disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 151.

Perasaan lebih mulia dari seorang Rasul dapat dipicu dari modal sosial dan materil yang dimiliki oleh para pendusta agama tersebut. Sayangnya provokasi dari para pemilik modal tersebut menjadikan kaum yang disebut Alquran ummy ini terjerumus dalam dosa mengeliminasi para Rasul yang mengajarkan kebaikan dan kebenaran.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

2. Mengkhayalkan Keyakinan

Kaum dengan bacaan yang tidak berkualitas akan dengan mudah terprovokasi hal yang bersifat materil. Oknum dengan kepentingan tertentu bersatu dengan para ilmuwan yang dapat dibeli dengan materi juga menjadikan satu rangkaian setan yang membahayakan. Pada akhirnya narasi ilusif dengan berdasar pada hal materil menjadi satu-satunya wacana keyakinan. Amaniyy menjadi diksi yang tepat untuk menggambarkan keadaan mereka.

Kata amanyy memiliki banyak makna menurut al-Razi. Pertama adalah khayalan seseorang di mana ia menempatkan dirinya di posisi imajinatif itu seakan keadaannya demikian. Beliau mengutip surah al-Nisa ayat 120

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَما يَعِدُهُمُ الشَّيْطانُ إِلَّا غُرُوراً

“Dia menjanjikan mereka dan menjadikan mereka berangan-angan dan tidaklah yang dijanjikan setan kepada mereka kecuali tipuan.”

Dengan menggunakan term khayalan untuk memaknai amaniyy ini menurut al-Razi dapat dikatakan bahwa mereka berkhayal jika Allah tidak akan menghukum mereka karena kesalahan yang mereka perbuat dan moyang mereka yang merupakan Nabi akan memberi syafaat kepada mereka. Kemudian para rahib mereka menghembuskan narasi fiktif bahwa neraka tidak akan menyentuh mereka kecuali beberapa saat saja. Hal ini menurut beliau berdasarkan surah al-Baqarah ayat 111, al-Nisa ayat 123, dan al-Jatsiyah ayat 24.

Makna kedua dari amaniyy adalah kebohongan. Berbagai kebohongan yang mereka dengar dari rahib diterima begitu saja karena tidak ingin susah untuk membaca dan berpikir.

Adapun makna ketiga dari amaniyy adalah tilawah atau membaca. Seakan dapat dimaknai bahwa mereka tidak mengetahui Kitab kecuali hanya yang dibacakan dan diperdengarkan kepada mereka untuk kemudian begitu saja diterima tanpa mendalami dan menelitinya. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Qurtubi berdasarkan surat al-Hajj ayat 52.

Amaniyy menjadi diksi yang tepat untuk menggambarkan kondisi mereka yakni yang hanya membaca tanpa pengertian dan pendalaman, tertipu oleh kebohongan, dan terciptanya khayalan akan dunia materi yang membahagiakan. Sementara janji Allah melalui para Rasul-Nya mereka abaikan begitu saja.

Baca Juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

3. Meyakini Kebohongan

Demikian keyakinan mereka bersumber dari amaniyy yang telah dijelaskan di atas maka kualitas keimanan hanya sampai pada level dzann atau sangkaan. Menurut al-Qurtubi hal ini karena mereka tidak mengetahui kebenaran dari apa yang dibaca. Pun mereka hanya mengikuti rahib yang membacakan kitab secara semena-mena.

Mengutip Abu Bakar al-Anbari, al-Qurtubi menjelaskan bahwa kaum Arab menyebut dzann dalam tiga pemaknaan yakni ilmu, keraguan, dan kebohongan. Jika bukti keilmuan tegak lebih banyak daripada bukti keraguan maka dzann di sini adalah keyakinan. Hal ini dapat didasarkan pada surah al-Baqarah ayat 46.

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ ‌مُلاقُوا ‌رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ راجِعُونَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa kepada-Nyalah mereka kembali”.

Kata dzann pada ayat di atas dimaknai dengan keyakinan karena pertemuan dengan Tuhan membutuhkan banyak ilmu seraya mengeliminir keraguan. Oleh karenanya pada ayat ini kata dzann tidak dapat dimaknai lain kecuali keyakinan.

Kedua, jika bukti keyakinan sama posisinya dengan bukti keraguan maka dzann di sini adalah keraguan. Adapun yang ketiga jika bukti keraguan lebih banyak daripada keyakinan maka dzann adalah kebohongan. Menurut al-Qurtubi maksud dzann yang disebutkan pada ayat 78 di atas adalah kebohongan.

Hal ini menurut beliau karena ayat setelahnya menegaskan perihal perilaku para rahib mereka. Ketika mereka memperlajari suatu perkara sementara para rahib memiliki pandangan yang buruk, lebih menerima bagian harta dan hanya mengharapkannya, sehingga mereka mencari hal yang dapat menjadikan mereka populer. Satu-satunya hal yang mereka lakukan kemudian adalah mengklaim bahwa pendapat mereka berasal dari Allah.

Melalui jalan ini yang diuntungkan adalah para pemimpin mereka yang memiliki modal sosial dan material yang tidak sepakat dengan nilai-nilai keagamaan. Melalui pembodohan ini mereka mendapatkan apa yang mereka tuju yakni keuntungan dunia dan keluasannya.

Kemampuan kita untuk membaca semestinya tidak disia-siakan begitu saja, terlebih terkait kitab suci sudah semestinya kita memperdalam pemahaman akannya. Hal ini mesti dilakukan agar kita tidak tertipu dengan bujukan tertentu yang mengatasnamakan agama namun justru yang dituju hanyalah keuntungan pribadi semata.

Menyadari bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini identik dengan kondisi Bani Israil di masa lalu, semoga tulisan sederhana ini dapat menjadikan kita lebih mawas diri menghindari provokasi yang berbalut agama, namun di dalamnya hanya tendensi politik semata. Semoga persatuan kebangsaan tidak terpecah karena kebodohan akan esensi kitab suci. Wallahu a’lam