Beranda blog Halaman 64

Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

0
Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan
Ilustrasi Bani Israil

Kebanyakan orang mungkin meyakini bahwa perbaikan pendidikan dan keilmuan akan berimbas pada kemajuan peradaban. Adapun faktanya tidak selalu demikian. Pesatnya keilmuan justru dapat menuntun pada dekadensi moral jika para ilmuwannya presistens untuk mendapatkan keuntungan semata. Hal ini dibuktikan dengan sejarah Bani Israil yang disebutkan dalam Alquran.

Dahulu pada masanya, Bani Israil pernah menjadi umat paling unggul. Alquran menyebut hal tersebut saat mereka diberi kitab suci, kebijaksanaan, dan kenabian, di samping anugerah akan materi yang baik. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama ketika muncul ‘serangan’ dari para ilmuwan yang memiliki tendensi meraup keuntungan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Dalam surah Aljatsiyah [45]:16 disebutkan.

 وَلَقَدْ آتَيْنا بَنِي إِسْرائِيلَ الْكِتابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَفَضَّلْناهُمْ عَلَى الْعالَمِينَ

Dan sungguh kami telah memberikan kepada Bani Israil Kitab suci, kebijaksanaan, kenabian, rezeki dari berbagai kebaikan, dan kami unggulkan mereka atas seluruh manusia.

Baca Juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

Pada artikel sebelumnya telah disebutkan mengenai keterangan akan sifat kitab suci yang  meniscayakan adanya implementasi. Konteks ayat ini menyebutkan bahwa Bani Israil pada masanya pernah menjalankan kandungan kitab yang turun kepada Nabi Musa as dengan baik. Oleh karenanya, pada ayat ini kata Taurat tidak disebutkan, kecuali hanya sifatnya yakni al-kitab. Pada masa tersebut pula, diturunkan bagi mereka berbagai keberkahan, bahkan dalam bentuk keutamaan yang melebihi umat lain.

Al-Razi menyebut bahwa saat diberikan kepada mereka kenikmatan agama dan dunia, maka disebutkan akan keunggulan mereka atas seluruh manusia, dengan derajat dan posisi yang melebihi umat lain pada zamannya. Al-Razi menegaskan bahwa para mufasir memaknai kalimat terkahir pada ayat ini dengan keutamaan mereka atas seluruh bangsa yakni pada masa itu.

Penegasan al-Razi tersebut penting, karena pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa kaum Bani Israil mengalami perpecahan dan perselisihan justru setelah datangnya ilmu kepada mereka. Dalam surah Aljatsiyah [45]: 17 disebutkan;

وَآتَيْناهُمْ بَيِّناتٍ مِنَ الْأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلَاّ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ فِيما كانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Dan kami berikan kepada mereka penjelasan tentang perkara (agama) maka tidaklah mereka berselisih melainkan setelah datang ilmu kepada mereka karena kebencian di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan pada hari kiamat.

Terdapat tiga opsi pemaknaan terkait redaksi bayyinat min al-amri pada ayat di atas menurut al-Razi. Pertama, yakni petunjuk akan perkara duniawi. Kedua, yakni penjelasan terkait Nabi Muhammad saw yang hijrah dari Makkah menuju Madinah. Ketiga adalah mukjizat Nabi Musa as.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Adapun terkait redaksi, mereka berselisih ketika ilmu telah datang kepada mereka, menurut al-Razi adalah satu hal yang mengherankan. Hal ini karena menurutnya pencapaian akan ilmu akan menghilangkan perbedaan, sementara pada konteks mereka tersebut justru datangnya ilmu mendatangkan perpecahan.

Masalah tersebut dapat terjadi, menurut al-Razi, karena mereka mencari ilmu bukan karena ilmu itu sendiri. Pencarian mereka akan ilmu dimaksudkan untuk mencari kekuasaan dan dominasi. Sehingga, dalam konteks ayat ini ketika mereka telah berilmu maka mereka melawan. Dapat juga, ilmu di ayat ini dimaknai sebagai pentunjuk, yang jika dipikirkan akan mengantarkan pada hakikat kebenaran. Akan tetapi, dalam konteks hasad dan pertentangan maka mereka berselisih sehingga perseteruan pun muncul.

Keterangan terkait perseteruan mereka juga tercatat dalam surah Ali’imran [3]: 19. “Dan tidaklah para ahli kitab berselisih kecuali setelah datang ilmu kepada mereka”. Ibn Asyur menyebutkan bahwa perpecahan Bani Israil bersamaan dengan berkembangnya keilmuan. Hal ini dapat terjadi menurut beliau karena buruknya pemahaman agama mereka.

Perpecahan Bani Israil sepeninggal Nabi Musa as terjadi tidak hanya sekali. Setelah Nabi Sulaiman as perpecahan mereka mengerucut pada dua kerajaan besar yakni kerajaan Israil dan Yahuda. Kerajaan Israil menjalankan agama yang berbeda dengan agama kerajaan Yahuda, demikian dikatakan Ibn Asyur, sementara keduanya berasal dari sumber yang sama.

Konteks tentang dekandensi Bani Israil di tengah tingginya tingkat keilmuan mereka akan semakin kita pahami dengan merujuk surah Albaqarah [2]: 75.

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ ما عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Apakah kalian menginginkan mereka percaya kepada kalian sementara sungguh sebagian dari mereka mendengarkan kalam Allah kemudian mereka mengubahnya setelah memahaminya dan mereka mengetahui.

Melalui ayat di atas, dapat diketahui siapakah yang menjadi penyebab kemunduran Bani Israil. Ibn Asyur menyebutkan bahwa maksud dari mendengarkan kalam Allah pada ayat di atas adalah mendengar firman-Nya melalui Rasul, bagi mereka yang berada pada zaman Nabi Musa as. Adapun bagi mereka yang datang setelahnya maka pendengaran didapatkan dengan cara menukil. Oleh karenanya, golongan ini menurut Ibn Asyur  adalah dari kalangan ulama mereka, bukan dari kalangan umum.

Adapun tahrif menurut Ibn Asyur yakni menyimpangkan wahyu atau syariah dari tujuannya melalui penggantian, penyembunyian, penghapusan, dan juga penafsiran yang jauh. Hal yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan terdidik yang familiar dengan narasi sosial dan politik praktis.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Pendapat Ibn Asyur bahwa yang melakukan tahrif adalah kalangan ulama mereka sama dengan yang dikatakan oleh al-Razi. Menurut beliau, hal ini karena mereka mengetahui kebenaran kitab dan kerusakan pendapat tersebut, namun tetap menyengaja untuk menghancurkan tujuan yang telah dijelaskan oleh Allah. Pendapat Al-Razi dikuatkan dengan surat Ali’imran [3]: 187, ‘dan mereka menjualnya (ayat-ayat suci) dengan harga yang murah’.

Terkait redaksi setelah memahaminya dan mereka mengetahui hal ini bukanlah pengulangan yang tanpa faedah menurut al-Razi. Mengutip al-Qaffal, setelah dipahami maksud dari kalam Allah selanjutnya, mereka akan menarasikan tafsir yang rusak meskipun diketahui bahwa itu bukanlah maksud dari kalam Allah. Pengetahuan akan rusaknya narasi tersebut dan risiko akan menanggung dosa dan siksa dari Allah tidak membuat mereka berhenti untuk melakukan tahrif karena kerasnya hati yang dimiliki.

Demikian tingginya pengetahuan justru dapat mengantarkan pada kemunduran dan perpecahan, jika tidak diiringi dengan kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan narasi kebenaran. Kesakralan kitab suci dapat memudar di tangan oknum yang mencari keuntungan untuk diri dan golongannya saja.

Wallahu a’lam

Tafsir Al-Muin, Tafsir Berbahasa Bugis Prakarsa Abdul Muin Yusuf

0
Tafsir Al-Muin karya Abdul Muin Yusuf

Tafsir Al-Muin merupakan sebuah karya monumental yang selesai ditulis lengkap dan sempurna tiga puluh juz yang diprakarsai Abdul Muin Yusuf. Kitab tafsir ini merupakan generasi kedua yang sebelumnya telah dipelopori oleh AG. Daud Ismail dengan kitab tafsirnya al-Munir.

Abdul Muin Yusuf yang akrab dipanggil Kali Sidenreng, merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam, khususnya Sulawesi selatan. Beliau adalah seorang mufasir, faqih, da’i, dan aktivis. Kiprahnya dalam perkembangan khazanah tafsir ikut berkontribusi menambah daftar literatur kitab tafsir di Nusantara.

Baca Juga: Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

Biografi dan Jejak Intelektual Abdul Muin Yusuf

Nama lengkap beliau adalah Abdul Muin Yusuf, juga akrab disapa dengan Pung Tommeng, namun lebih masyhur dengan Kali Sidenrang (Sebuah gelar yang diberikan oleh raja kepada tokoh yang mampu memberikan pandangan keagamaan kepada masyarakat). Beliau dilahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan 21 Mei 1920. Ayahnya Bernama Muhammad Yusuf dan Ibunya Bernama Siti Khadijah.

Muhsin Mahfudz dalam tulisannya memaparkan bahwa ketika Muin Yusuf kecil beranjak usia 10 tahun, mulailah dia memperoleh Pendidikan dasar di Insladsche school dan di Madrasah Ainur Rafie di bawah pimpinan Syekh Ali Mathar. (Mahfudz, 2010, p. 36)

Beliau juga sempat mengenyam Pendidikan di Madrasah Arabiyah Islamiyah di bawah asuhan AG. Muhammad As’ad (seorang tokoh sentral induk jaringan inteketual) di Sulawesi Selatan saat itu. Kemudian, beliau melanjutkan studi ke Normal Islam Majene, Sulawesi Barat, kemudian pindah ke Pinrang mengikuti perpindahan Normal Islam menjadi Muallimat Ulya sampai menyelesaikan studinya.

Setelah mengalami liku-liku dalam pengembaraan keilmuan, dia kembali ke kampung halamannya membina Sekolah Ibtidaiyah. Dalam usia yang relatif muda (sekitar 22 tahun), dia sudah diserahi amanah sebagai qadhi atau kali. Namun tidak berlangsung lama, Muin Yusuf memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai qadhi karena ingin berangkat ke Tanah Suci. Saat disana dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menuntut ilmu di Darul Falah Mekah. Berselang dua tahun kemudian, dia merampungkan studinya pada jurusan perbandingan mazhab dan kembali ke Tanah Air.

Melihat semangatnya untuk menimba ilmu yang tak pernah berhenti dengan kondisi yang tidak dapat dikatakan mudah saat itu, telah menunjukkah langkah yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan zaman. Baik sebagai qadhi dan membina pendidikan, beliau juga terlibat dalam organisasi yaitu Nahdlatul Ulama (NU), dan beliaulah tokoh yang membuka NU di Sidrap tahun 1946. Bahkan, beliau sempat mewakili NU duduk sebagai anggota DPRD selama dua periode pasca terbentuknya Kabupaten Sidrap. (Bazith, 2020, p. 19)

Semasa hidupnya, Anregurutta Kali Sidenreng dikenal sebagai sosok ulama yang ramah dan sangat sederhana. Kesehariannya hanya dipenuhi dengan pengabdian kepada bangsa dan agama. Abdul Muin Yusuf menghembuskan nafas terakhirnya di Rappang, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 2004.

Baca Juga: Muhammad As’ad Al-Bugisy dan Jaringan Penafsir Keturunan Bugis

Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Muin: Kitab Tafsir 30 Juz Berbahasa Bugis

Kala itu, Anregurutta (sebutan untuk orang yang telah mempunyai kapasitas keilmuan yang luas) Abdul Muin Yusuf menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi atas kesadarannya sebagai seorang ulama semestinya mampu mengemban amanat untuk menjelaskan dan menyebarkan makna yang terkandung dalam Alquran.

Alquran yang diturunkan dengan berbahasa Arab tentunya tidak mudah dipahami masyarakat awam yang asing dengan bahasa Arab.  Maka beliau berusaha mengartikulasikan dengan memvernakulasi Alquran ke bahasa Bugis sebagai usaha untuk memudahkan masyarakat memahami makna-makna yang tersirat dalam Alquran.

Akhmad Bazith dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam penyusunan Tafsir, Anregurutta termotivasi dari Q.S al-Hajj [22]: 40. Sebagaimana yang tersebut dalam pengantar tafsir tersebut.

وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Ayat inilah sebagai pendorong dirinya untuk melakukan kegiatan penafsiran. Ayat ini dijadikan dasar ideologi untuk melakukan pekerjaan yang sulit, yaitu kegiatan tafsir al-Qur’an (Bazith, 2020, p. 22). Disebutkan juga dalam pendahuluannya, Anregurutta mengungkapkan bahwa bagaimanapun susah dan sulitnya (Tafsir Bahasa Bugis), kita tidak boleh menghindarinya karena itu merupakan perintah Allah Swt. kepada Nabi untuk menjelaskan dan menyebarkan kandungan Alquran yang berbahasa Arab itu, sementara masyarakat muslim Bugis tidak memahaminya jika tidak ditafsirkan ke dalam Bahasa Bugis.

Akhirnya, dibentuklah tim penulis yang melibatkan beberapa ulama di Sulawesi Selatan dalam penyusunan kitab tafsir tersebut. Namun, dalam perjalannya tim ini kurang produktif, sehingga untuk penulisan selanjutnya, Anregurutta sendiri yang meneruskan dan merampungkannya.

Baca Juga: Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Peralihan Nama Kitab

Kitab Tafsir Al-Muin ini sebelumnya berjudul Tafsere Akorang Mabbahasa Ogi. Karena Sejatinya, kitab Tafesere Akorang Mabbasa Ogi ini merupakan proyek MUI Sulawesi Selatan pada masa kepemimpinan Abdul Muin Yusuf dengan beranggotakan lima tim khusus lainnya yakni Ma’mur Ali, Hamzah Manguluang, Muhammad Junaid Sulaiman, Andi Syamsul Bahri, dan Mukhtar Badawi. (Maulina, n.d., p. 79)

Menurut lacakan Mursalim melalui wawancara dengan Sekretaris MUI Sulawesi Selatan pada saat itu, yakni Rusly Wolman, menyatakan bahwa tafsir ini mulanya disusun oleh tim yang ditunjuk oleh MUI Sulawesi Selatan, akan tetapi dalam tidak berjalan secara efektif sehingga tim khusus tersebut hanya dapat merampungkan sampai dua jilid pertama saja. Jilid selanjutnya dilanjutkan oleh Abdul Muin Yusuf hingga rampung. (Mursalim, 2014, p. 59).

Akibat dari itu, terjadi peralihan mana dan beberapa perubahan yang lain. Di antaranya adalah hampir seluruh penulisan tafsir ditulis oleh Anregurutta Muin Yusuf, sehingga  tim penulis yang lain tidak merasa keberatan atau pun mengajukan protes atas perubahan nama kitab tersebut. Mereka yakin bahwa pemberian nama tersebut layak diberikan kepada Anregurutta Abdul Muin Yusuf mengingat perjuangan beliau yang paling mendominasi dalam penyusunan tafsir tersebut.

Baca Juga: Empat Kitab Tafsir dalam Tradisi Geneologis Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan

Karakteristik Tafsir

Kitab tafsir ini dari segi sistematikanya, tergolong dalam kategori mushafi, yaitu sesuai dengan urutan surah dan ayat yang ada dalam mushaf Alquran. Yang penafsirannya dimulai dari dari surah Alfatihah, hingga surah Annas. Ditinjau dari segi tata letaknya, tafsir ini ditulis dengan cara mengelompokkan ayat-ayat yang sesuai dengan tema-tema yang dibicarakan dalam ayat tersebut, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Bugis dan selanjutnya ditafsirkan.

Kemudian terkait sumber penafsiran Abdul Muin Yusuf mengakui bahwa penyusunan Tafsir Berbahasa Bugis ini mengambil referensi dari 10 kitab Tafsir. Empat kitab tafsir sebagai referensi primer di antaranya Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim dan Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, sementara enam kitab tafsir sebagai referensi sekunder, yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Al-Tafsir al-Wadhih, Shafwat al-Tafasir, Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, dan Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. (Mahfudz, 2010, p. 38)

Adapun dalam aspek metoodologis, para peneliti silang pendapat dalam menentukannya, menurut hasil kerja penelitian Abd Kadir M, menyatakan bahwa tafsir ini adalah metode gabungan antara tahlili dan ijmali. Berbeda dengan hasil penelitian Muhammad Yusuf, yang menyimpulkan bahwa tafsir ini memakai metode ijmali. Karena beliau menilai dari sistematika dan bentuk penyajiannya, tidak dapat dikatakan tafsir yang menerapkan metode tahlili, sebab tidak mengkaji ayat-ayat dari segi dan maknanya, ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan sistematika atau urutan dalam mushaf ‘Usmani. Menurutnya, jika dilihat dari segi sistematika penyajiannya, tafsir ini memang cukup runtut, tetapi hanya pada urutan ayat bukan pada teknik keluasan analisisnya. Wallah a’lam

Karakteristik dan Keunikan Juz Amma

0
Karakteristik dan keunikan juz amma
Karakteristik dan keunikan juz amma

Juz Amma adalah sebutan untuk juz terakhir dalam mushaf Alquran standar Usmani. Ia disebut demikian, menurut sebagian besar pendapat, karena dimulai dari surah ‘amma yatasa’alun, walaupun nama surah ini dikenal dengan surah an-Naba’. Juz amma ini terdiri dari surah an-Naba’ [78] sampai surah an-Nas [114]. Di dalamnya terdapat tiga puluh tujuh surah.

Dalam mukadimah Tafsir Juz Amma (hal. 19), Syekh asy-Sya’rawi menjelaskan bahwa juz terakhir Alquran ini terdiri dari surah-surah yang sebagian besar turun di Makkah, yakni sebelum Nabi Muhammad saw. hijrah ke Madinah. Surah-surah tersebut kebanyakan menceritakan tentang keesaan Allah swt. dan bukti kekuasaanNya.

Baca Juga: Mengenal Lebih Dekat Tafsir Juz ‘Amma Karya Kh. Masruhan

Juz amma: yang terakhir, tapi tetap yang inti

Menurut hasil renungan mufasir asal Mesir ini, Allah swt. menutup Alquran dengan juz amma, melalui surah-surah dan ayat-ayatnya yang pendek yang sering kali dibaca setelah surah al-Fatihah saat salat, karena seakan Allah swt. menginginkan bacaan yang terakhir dibaca oleh kita dari kalam-kalamNya adalah sesuatu yang mengingatkan kita tentang pokok-pokok agama (ushul ad-din), beserta kaidah-kaidah dan puncak agama. (Tafsir Juz Amma, hal. 19)

Selaras dengan pendapat M. Quraish Shihab tentang kandungan surah-surah dalam juz amma. Menurut beliau, uraian ayat dalam Juz amma banyak sekali berkaitan dengan keniscayaan hari akhir, gambaran tentang kejadian-kejadian saat hari kiamat; surga dan kenikmatannya, serta neraka dan aneka siksanya. Bahasan ini adalah bagian dari ajaran pokok agama. Topik ini disampaikan berulang-ulang diuraikan dari surah ke surah, bagaikan membangunkan orang yang tidur nyenyak, yang tak sadarkan diri menghadapi bahaya yang mengancam.

Syekh Asy-Sya’rawi menambahkan penjelasan bahwa walaupun pendek, surah-surah dalam Juz amma memiliki tingkat kesulitan yang lumayan tinggi untuk dihafalkan, karena redaksinya yang mirip di antara surah dan ayat-ayatnya. Namun demikian, ini yang kemudian menjadi pertimbangan bahwa anak usia dini sangat layak dan bagus untuk menghafalkan surah-surah tersebut, karena selain terlihat lebih pendek -dari pada surat-surat yang berada dalam juz-juz lainnya- surah-surah tersebut juga akan melatih pembentukan sel-sel otak anak dengan ketelitian penghafalan.

Disisi lain, masih menurut Asy-Sya’rawi, mengkaji juz 30 (juz amma) itu sama dengan mengkaji seperempat surah dari keseluruhan surah dalam Alquran. Sebagaimana disebut di awal, hal ini terjadi karena secara tidak langsung berarti bahwa seseorang telah mengkaji tiga puluh tujuh surah dari total 114 surah dalam Alquran.

Satu lagi rahasia penempatan Juz amma adalah walaupun juz tersebut terletak di bagian akhir Alquran, tetap saja ia menjadi inti dari kitab suci Alquran, karena akan terasa seperti rangkuman tentang semua bahasan yang dijelaskan sebelumnya. Orang yang cerdas biasanya mempunyai tips sederhana untuk menilai buku bagus, yaitu ‘baca buku tersebut di bagian penutupnya’, karena di situ lah semua kesimpulan dirangkum. (Tafsir Juz Amma, hal. 19)

Baca Juga: Mengenal Mushaf Juz ‘Amma Kementerian Agama

Karakteristik dan keunikan juz amma yang lain juga disampaikan oleh mufasir asal Indonesia, M. Quraish Shihab. Dalam Tafsir al-Lubab, (hal. 3), beliau mencirikan surah-surah dalam Juz amma itu singkat-singkat, bahasanya indah mempesona, menyentuh hati atau bahkan menghardiknya, disertai argumentasi-argumentasi rasional yang mampu meyakinkan nalar yang belum dikeruhkan oleh karancuan berpikir atau subjektifitas pandangan.

Begitulah keunikan juz amma, juz terakhir dalam Alquran yang mulia ini. Ia bagaikan kesimpulan dari semua isi dari Alquran, yang telah diberi pengantar oleh surah Al-Fatihah.  Walaupun semua isi Alquran berisikan ‘daging’, sehingga dibaca dari halaman manapun tetap menarik dan memiliki pesan dan kesan tersendiri, akan tetapi juz amma adalah bagian dari kesimpulan unik yang sangat tidak arif untuk dilewatkan bagi mereka yang telah menghafal untuk kemudian melangkah kepada pemahaman. Wallah a’lam.

Bolehkah Melakukan Mubahalah?

0
hukum mubahalah
hukum mubahalah

Mubahalah merupakan doa kepada Allah dengan sungguh-sungguh yang dilakukan oleh dua pihak yang berselisih, dengan tujuan sekiranya Allah Swt menjatuhkan laknat kepada pihak yang berbohong atau berdusta. (A. Rofi’ Usmani, Jejak-Jejak Islam, 248) Dalam surah Ali ‘Imran [3]: 61, mubahalah ini adalah cara untuk menepis keraguan orang non-muslim tentang kebenaran risalah Nabi Muhammad saw. Dalam tafsir ayat tersebut, dikisahkan bahwa mubahalah memiliki dampak yang luar biasa. Lalu, bolehkan melakukan mubahalah di luar konteks yang dijelaskan dalam ayat?

Makna dari Mubahalah

Mubahalah merupakan derivasi dari kata bahala (بَهَلَ), yang artinya sesuatu yang tidak diperhatikan atau dilalaikan. Namun, jika kata اَلْبَهْلُ atau اَلْلإبْتِهَالُ di sandingkan dalam sebuah doa, maka ia bermakna pembebasan dari kekangan (dunia) dan menampakan ketundukan dan kerendahan di hadapan Allah Swt.

Dalam Alquran, hanya ada satu ayat yang menyinggung terkait persoalan mubahalah, yaitu dalam surah Ali ‘Imran [3]: 61.

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَتَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka katakanlah (kepadanya): “Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri kami dan isteri-isteri kamu, diri kami dan diri kamu; kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta”.

Menurut al-Ashfahani, اَلْلإبْتِهَالُ dalam ayat di atas bisa bermakna saling melaknat “اَلْمُبَاهَلَةُ”, sebab pembebasan yang dimaksud adalah untuk saling melaknat. (Ar-Raghib al-Ashfahani, Kamus Alquran, Jilid 1, 259-260)

Baca Juga: Trend Mubahalah Perlukah? Menelisik Kisah Mubahalah Rasulullah dalam Al-Quran

Sabab Nuzul Ayat

Ayat 61 dalam surah Ali ‘Imran tersebut memiliki munasabah dengan ayat ke 59 sampai 63. Kelima ayat tersebut berlatar belakang dengan sabab nuzul yang menceritakan tentang kisah Nabi ‘Isa a.s dan Ibunya, Maryam. Dalam penuturan Wahbah Zuhaili, ayat ini menyinggung kelompok yang tidak kufur kepada Nabi ‘Isa a.s, namun juga tidak beriman dengan keimanan yang benar.

Mereka “terjebak” dengan keadaan Nabi ‘Isa a.s yang dilahirkan tanpa seorang ayah. Sehingga, mereka memiliki pemahaman yang keliru terkait makna Kalimatullah dan Ruhullah. Menurut mereka, Ruhullah berarti Allah Swt masuk dan menyatu dalam tubuh Maryam, sedangkan Kalimatullah adalah Allah Swt menjelma dalam tubuh Nabi ‘Isa a.s. Dengan demikian, Nabi ‘Isa a.s mempunyai dua sisi, yakni sebagai manusia biasa dan di sisi lain sebagai Tuhan. (Tafsir al-Munir, Jilid 2, 284-285)

Maka dari itu, dengan turunnya ayat ini, Allah swt. hendak menegaskan dan meyakinkan kepada Nabi Muhammad saw. bahwasannya kisah Nabi Isa a.s dan ibunya, Maryam, adalah benar adanya, sehingga jika ada kelompok-kelompok yang meragukan atau membantah akan kisah tersebut, Allah swt. menyuruh Nabi Muhammad Saw untuk melakukan mubahalah dengan mereka.

Baca Juga: Toleransi Menjelang Natal: Refleksi Surah Ali Imran Ayat 61 dan 64

Apakah Bermubahalah Diperbolehkan?

Bertolak dari sambungan cerita di atas, dalam penjelasan M. Quraish Shihab, ketika kelompok Kristen Najran yang berjumlah 60 orang tersebut diajak untuk bermubahalah dengan Nabi saw, ternyata mereka membatalkan niatnya, sebab mereka takut laknat tersebut menimpa kepada kelompoknya sendiri.

Padahal, pada waktu yang telah disepakati, antara Nabi Saw dan orang Kristen Najran, Nabi saw. membawa serta Fatimah, Ali bin Abi Thalib r.a, Hasan dan Husein untuk ikut bermubahalah. Ini menandakan bahwa Nabi Saw tidak ada keraguan sedikitpun atas apa yang diyakininya, hingga Nabi saw. melibatkan orang-orang yang begitu dicintainya. (Tafsir al-Misbah, Jilid 2, 112).

Sedangkan dalam salah satu hadis yang dicantumkan oleh Buya Hamka, sedari awal memang kelompok Kristen tersebut tidak berani saat Nabi saw. menantangnya untuk bermubahalah, karena dalam hati mereka ada kekhawatiran, jikalau Muhammad saw. benar-benar seorang utusan Allah swt, maka malapetaka dan bencananya justru akan menimpa pada diri mereka sendiri. (Tafsir al-Azhar, Jilid 2, 793)

Maka dari pemaparan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa sumpah mubahalah adalah salah satu cara untuk mempertahakan keyakinan seseorang. Namun demikian, keyakinan itu tidaklah serta merta, akan tetapi didasarkan pada wahyu Ilahi, sebagaimana pada surah Ali ‘Imran [3]: 62, Sesungguhnya ini adalah kisah yang benar. Sehingga tidak ada keraguan sedikitpun untuk mempertahankan saat ada yang mengusik atau menantang akan kebenaran tersebut.

Sekalipun demikian, sumpah mubahalah tidak bisa sembarangan untuk dilakukan. Sebagaimana kisah di atas, kelompok Kristen Najran saja mundur dari tantangan Nabi Saw dan memilih untuk berdamai demi menjaga keselamatan diri masing-masing. Hal ini dikarenakan sumpah mubahalah mempunyai dampak negatif yang luar biasa, tidak hanya pada dirinya sendiri, tapi juga kepada orang-orang yang diikutsertakan dalam bermubahalah. Wallahu a’lam.

Empat Makna Israf dalam Alquran

0
Empat Makna Israf dalam Alquran
Empat Makna Israf dalam Alquran

Salah satu dari beberapa penyakit rohani yang disebutkan dalam Alquran  adalah israf (berlebih-lebihan dalam segala sesuatu). Sifat israf sangat dibenci dan dilarang dalam Islam, karena menimbulkan mudarat dan sia-sia. Dalam Alquran , Allah swt menegaskan, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (Q.S al-A’raf [7]: 31).  Untuk itu, pada kesempatan ini penulis berupaya mengklasifikasi dan mengulas tafsir terhadap ayat-ayat israf dalam Alquran  sebagai objek pembahasan.

Dalam Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, kata israf diulang sebanyak 23 kali yang tersebar di 17 surah. Kata israf (اسراف) adalah derivasi dari kata sarafa (سرف) yang dalam kamus al-Munawwir (1997: 628) memiliki makna melalaikan, melewati dan melampaui batas. Ibnu Mandzur (t.th: 148) dalam Lisan al-Arab menjelaskan bahwa Israf memiliki makna mujawazatul qasdi yakni melebihi atau melampaui batas. Dalam Tafsir al-Munir, Wahbah Zuhaili (1418 H: 187) menyatakan bahwa israf adalah melampaui batas dalam segala sesuatu, seperti berlebihan dalam mengkonsumsi makanan, cara berpakaian, menginfakkan harta dan lain sebagainya.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din memberikan gambaran yang lebih kompleks bahwa kata israf  terkadang digunakan untuk mentasarrufkan harta pada suatu hal yang tidak baik dan mungkar. Juga, dapat digunakan ketika mentasarrufkan sesuatu untuk hal-hal yang mubah, namun berlebihan. Seperti seseorang yang memiliki harta 100 dinar dan ia memiliki keluarga, kemudian ia menyedekahkan semuanya (100 dinar), sementara keluarganya sendiri tidak memiliki harta sama sekali. Maka, hal ini masuk kategori israf  dan wajib untuk dicegah.

Dalam Alquran , terdapat beberapa ayat yang berbincang tentang israf  dalam konteks yang berbeda. Untuk itu, penulis mengkalsifikasi israf  dalam empat macam, sebagaimana berikut:

Baca Juga: Perilaku Konsumtif Masyarakat Jahiliah

Israf dalam hal melampaui batas fitrah manusia (Q.S Ala’raf [7]: 81)

إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81)

Sungguh, kamu telah melampiaskan syahwatmu kepada sesama lelaki bukan kepada perempuan. Kamu benar-benar kaum yang melampaui batas.” (Q.S Ala’raf [7]: 81)

Diksi al-ityan menurut al-Maraghi (1946: 204) pada ayat ini adalah bersenang-senang (jima’) yang dilakukan oleh pasutri sebagai fitrah manusia yang didorong oleh syahwat dengan tujuan untuk memiliki keturunan. Sementara dalam ayat di atas kaum Luth hanya ingin memuaskan nafsunya saja, melakukan hubungan intim dengan sesama jenis tanpa menjaga dan menginginkan keturunan.

Pada bagian ini, orang yang melakukan perbuatan yang sangat keji dan menjijikkan yaitu praktik homoseksual, termasuk dalam kategori israf, sebab, melampaui batas fitrah manusia. Al-Maraghi menyebut kelompok ini dengan paling buruknya hewan. Bahkan hewan sekalipun seperti burung dan hewan lainnya, hidup dengan berpasangan, kemudian bertelur dan beranak. Sedangkan orang-orang yang disebutkan dalam ayat tersebut tidak memiliki tujuan kecuali hanya untuk memuaskan hawa nafsunya saja.

Baca Juga: Surah Ala‘raf (189): Berpasangan dan Memiliki Keturunan adalah Fitrah

Israf bermakna kemusyrikan (Q.S Yunus [10]: 83)

فَمَا آمَنَ لِمُوسَى إِلَّا ذُرِّيَّةٌ مِنْ قَوْمِهِ عَلَى خَوْفٍ مِنْ فِرْعَوْنَ وَمَلَئِهِمْ أَنْ يَفْتِنَهُمْ وَإِنَّ فِرْعَوْنَ لَعَالٍ فِي الْأَرْضِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الْمُسْرِفِينَ (83)

Maka tidak ada yang beriman kepada Musa selain keturunan dari kaumnya dalam keadaan takut bahwa Fir’aun dan para pemuka kaumnya akan menyiksa mereka. Dan sungguh Fir’aun itu benar-benar telah berbuat sewenang-wenang di Bumi dan benar-benar termasuk orang yang melampaui batas” (Q.S Yunus [10]: 83)

Melalui ayat ini, Allah Swt. mengisahkan tentang kaum Nabi Musa a.s yang hanya sedikit mengikuti ajarannya, yakni hanya kaum al-syabab yang setia kepada Nabi Musa, sementara yang lain ingkar kepadanya. Banyak dari kaum Nabi Musa yang tidak mau mengikuti ajarannya karena takut pada Fir’aun dan para pengikutnya. Fir’aun sendiri adalah pemimpin yang bengis dan durhaka, sebagaimana dijelaskan Wahbah Zuhaili (1418 H: 244) dalam tafsirnya al-Munir.

Fir’aun dikatakan musrif (orang yang berlebihan), karena melakukan kesewenangan dan kesombongan, serta melampaui batas dalam kezaliman dan kerusakan. Bahkan, mengaku dirinya sebagai Tuhan. Sehingga, konteks israf pada ayat ini adalah berlebihan dalam kekuasaan hingga bermuara pada kemusyrikan.

Israf bermakna durhaka dan melanggar hukum Allah (Q.S Althaha [20]: 127)

وَكَذَلِكَ نَجْزِي مَنْ أَسْرَفَ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِآيَاتِ رَبِّهِ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَشَدُّ وَأَبْقَى (127)

Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Sungguh, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.” (Q.S Althaha [20]: 127)

Ayat ini menjelaskan tentang orang-orang yang melanggar dan durhaka kepada Allah Swt. Menurut al-Thabari (2000: 397), mereka yang ketika di dunia tidak percaya kepada kebenaran yakni percaya kepada Rasul dan Alquran , maka Allah akan membalas mereka dengan menjadikan kehidupan yang menderita, melarat dan sempit di alam barzah. Sementara azab di akhirat lebih pedih daripada di alam kubur.

Menurut Al-Sa’di (2000: 516) maksud dari man asrafa adalah orang-orang yang melampaui batas, melakukan keharaman dan berlebihan melakukan sesuatu yang dihalalkan. Mereka disiksa oleh Allah karena penyakit israf dan tidak memiliki keimanan kepada Allah. Sebagaimana ayat sebelumnya, “Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu mengabaikannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diabaikan.” (Q.S Althaha [20]: 126). Sehingga, di akhirat Allah juga abaikan mereka dengan menjadikannya buta, tuli dan bisu. Konteks israf pada ayat ini adalah melanggar hukum Allah setelah datang suatu kebenaran.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan

Israf bermakna berlebihan dalam harta (Q.S Alan’am [6]: 141)

وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلَا تُسْرِفوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (141)

Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanaman yang beraneka ragam rasanya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak serupa (rasanya). Makanlah buahnya apa-bila ia berbuah dan berikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya, tapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan,” (Q.S Alan’am [6]: 141)

Menurut al-Thabari, ayat ini merupakan informasi dari Allah tentang segala nikmat yang Allah berikan, didikan tentang apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan serta bagian tentang harta yang harus diberikan kepada yang berhak. Dalam ayat ini, nikmat tersebut berupa tanaman-tanaman yang ma’rusyat yaitu tanaman-tanaman yang dibuat dan ditumbuhkan oleh manusia dan ghairu ma’rusyat (tanaman-tanaman yang ditumbuhkan oleh Allah swt tanpa campur tangan manusia).

Selanjutnya, Allah perintahkan untuk memakan tanaman-tanaman yang sudah berbuah tersebut lalu, Allah perintahkan – setelah kebutuhannya terpenuhi – untuk menyedekahkan sebagiannya kepada yang membutuhkan. Terdapat perbedaan penafsiran pada ayat wa atu haqqahu sebagian riwayat mengatakan sedekah wajib (zakat). Sebagian ulama mengatakan bukan zakat, tetapi harta yang harus disedekahkan untuk orang yang tidak mampu, seperti yang telah dijelaskan oleh al-Thabari

Perintah selanjutnya adalah wa la tusrifu yakni berlebihan dalam menggunakan harta. Al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib menyebutkan terdapat empat penafsiran yang berbeda tentang israf pada ayat ini; pertama, israf dalam hal menyedekahkan semua harta kepada orang lain, sementara keluarganya kekurangan. Kedua, israf dalam hal mencegah diri untuk bersedekah atau berzakat. Ketiga, israf berupa menyekutukan Allah dengan berhala dalam hal menanam dan berternak. Keempat, menginfakkan hartanya untuk kemaksiatan, juga termasuk kategori israf fi al-mal. Keempat macam israf ini tidak disukai oleh Allah Swt.

Sehingga, dari klasifikasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa israf (berlebihan) adalah sifat dan perbuatan yang sia-sia, menimbulkan mudarat dan tercela. Hal ini tentu perlu diperhatikan terutama oleh orang-orang modern yang cenderung sekuler, yang cenderung mengukur sesuatu dengan kebendaan semata dan mengabaikan akhirat. Tidak jarang terjadi di masyarakat, perilaku konsumtif, misalnya, ketika seseorang cemburu dengan orang yang memiliki mobil, kemudian ia membelinya juga dengan kredit, padahal keluarga yang ada di rumahnya serba kekurangan.

Wallahu a’lam bish shawab.

Jual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim

0
Jual Beli Emisi Karbon, Upaya Pencegahan Kerusakan Iklim
Jual beli emisi karbon sebagai upaya pencegahan kerusakan iklim.

Kerusakan iklim akibat efek pemanasan global yang semakin masif membuat beberapa perusahaan penghasil emisi karbon di Indonesia melakukan perjanjian perdagangan emisi karbon dengan perusahaan pengurai limbah emisi karbon (selanjutnya disebut emisi) yang dihasilkan akibat proses kegiatan industri.

Perdagangan emisi merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit). Di sini pihak penghasil emisi membeli udara bersih kepada perusahaan yang bisa mengolah emisi menjadi udara yang bersih. Sejatinya jual beli emisi adalah upaya untuk menurunkan emisi atau pencemaran udara antara perusahaan penghasil emisi sebagai pihak yang menghasilkan emisi dan perusahaan pengurai emisi.

Praktik jual beli emisi sebenarnya tidak berbeda dengan transaksi jual beli pada umumnya, hanya saja “barang” yang diperjualbelikan adalah sesuatu hal yang tak lazim, yaitu emisi atau karbondioksida.

Baca juga: Tafsir Ekologi: Mengenal Ayat-Ayat Lingkungan dalam Alquran

K.H. Afifuddin Muhajir saat mengisi kegiatan Bahtsul Masail Nasional bertajuk Pajak dan Perdagangan Karbon yang digelar secara daring, Kamis (9/9/2021) menjelaskan, “Perdagangan karbon tidak ada masalah dalam syariat Islam. Karena bentuknya kompensasi dari pihak yang telah melakukan kerusakan alam, atau sebagai transaksi jual beli antara kedua belah pihak.”

Dalam tinjauan kaidah fikih, sebenarnya jual beli karbon adalah sah bahkan cenderung dianjurkan mengingat hal ini sebagai kompensasi atas udara kotor yang dihasilkan akibat proses industri. Ini berdasarkan kaidah fikih:

ﺍَﻟﻀَّﺮَﺭُ ﻳُﺰَﺍﻝُ

Kemudaratan itu harus dihilangkan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Pengertian dari kaidah di atas adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan harus dihilangkan. Dengan kata lain kaidah ini menunjukkan bahwa berbuat kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Dalam hal ini kerusakan yang dihasilkan atas emisi sejatinya harus dihilangkan dengan cara diolah kembali menjadi udara bersih.

Senada dengan uraian di atas, dalam Alquran dijelaskan tentang perintah menjaga lingkungan sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Al-A’raf ayat 56.

وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَٰحِهَا وَٱدْعُوهُ خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ ٱلْمُحْسِنِينَ

Artinya: Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.

Baca juga: Term Fasad dan Pemaknaannya dalam Alquran, dari Penyimpangan sampai Kerusakan Lingkungan

Meskipun beberapa mufasir seperti Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dan Wahbah az-Zuhaili menafsirkan ayat وَلَا تُفْسِدُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ dengan makna khusus, yaitu “Janganlah kalian berbuat kerusakan di bumi dengan berbuat syirik dan maksiat”. Akan tetapi, ayat di atas  juga boleh dipahami dengan keumuman redaksi ayat berdasarkan kaidah:

العِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللَّفْظِ لَا بِخُصُوْصِ السَّبَبِ

“Yang dijadikan pegangan ialah keumuman lafal, bukan kekhususan sebab”

Mengutip sumber lain, yakni Al-Tafsir al-Kabir/Mafatih al-Ghaib, dijelaskan maksud dari ayat di atas sebagai berikut.

Firman Allah Swt. “Dan janganlah kalian membuat kerusakan” adalah larangan membuat kerusakan apapun dalam barang yang wujud, dan larangan dalam barang yang wujud berarti larangan pula dalam segala macam dan jenisnya. Sehingga, larangan tersebut mencakup larangan membuat kerusakan pada lima perkara ini (jiwa, harta, nasab, agama dan akal). Sedangkan firman Allah Swt. “(Sesudah (Allah Swt.) memperbaikinya” bisa berarti yang dimaksud adalah setelah Allah Swt. membuat baik bentuk semulanya pada bentuk yang cocok bagi kepentingan makhluk dan sesuai dengan kemaslahatan para mukallaf.

Baca juga: Reformasi Lingkungan Perspektif Yusuf al-Qaradhawi: Membentuk Manusia Ber-mindset Eko-Teologis

Dapat dipahami wujud implementasi ayat di atas adalah larangan untuk membuat kerusakan di muka bumi dengan maksiat dan mencemari lingkungan. Salah satu bentuk pencemaran lingkungan yakni menghasilkan emisi yang berlebihan. Berdasarkan ayat di atas pula maka mencemari lingkungan juga termasuk dalam kategori maksiat. Apabila dikaitkan dengan jual beli emisi maka pihak yang menghasilkan emisi mempunyai kewajiban untuk mengembalikan kualitas udara yang tercemar agar tidak merusak lingkungan.

Dengan demikian, diharapkan regulasi jual beli emisi karbon segera terbit sehingga menjadi suatu keniscayaan bagi perusahaan atau industri yang menghasilkan udara kotor untuk membayar kompensasi demi terjaganya kualitas udara yang baik dan demi mengurangi pencemaran iklim. Wallahu a’lam.

Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

0
Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya
Kitab Taurat dalam Alquran: diturunkan kepada Nabi Musa dan dipisahkan darinya.

Secara garis besar barangkali kita mengerti definisi bahwa Taurat adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Bagaimana Taurat digambarkan dalam Alquran tentu akan menjadi topik yang menarik. Ini karena dalam Alquran ketika menyebut perihal Nabi Musa a.s. yang menerima kitab maka kitab di ayat itu adalah sifat dari Taurat seperti al-furqan. Nabi Musa a.s. dan kata Taurat tidak disandingkan di satu ayat yang sama dalam Alquran.

Kata Taurat sendiri disebut sebanyak enam belas kali dalam Alquran. Lima kali di surah Ali Imran, enam kali di surah al-Maidah, sekali di surah al-A’raf, at-Taubah, al-Fath, as-Shaf, dan al-Jumu’ah. Penyebutan kata Taurat justru membahas tentang Alquran dan Nabi Isa a.s. atau Injil yang turun setelah kitab tersebut untuk membenarkannya, selain juga bani Israil yang lalai darinya, sama sekali disandingkan dengan kisah Nabi Musa a.s.

نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقاً لِما بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْراةَ وَالْإِنْجِيلَ

Dia menurunkan Kitab (Alquran) kepadamu (Muhammad) dengan hak yang membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan Dia menurunkan Taurat dan Injil.

Al-Qurtubi menyebutkan bahwa kata Taurat bermakna sinar dan cahaya. Ibn Asyur Menyebutkan bahwa Taurat adalah isim dari bahasa Ibrani Thura yang bermakna petunjuk. Imam al-Razi menyebut bahwa jika kata Taurat ini berasal dari bahasa Ibrani ia tidak perlu di-tasrif dengan gramatikal Arab.

Baca juga: Bagaimana Sikap Kita terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Adapun Al-Qurtubi menyatakan demikian berdasarkan ayat 48 surah al-Anbiya’

وَلَقَدْ ‌آتَيْنا ‌مُوسى ‌وَهارُونَ ‌الْفُرْقانَ وَضِياءً وَذِكْراً لِلْمُتَّقِينَ

Dan sungguh telah kami berikan kepada Musa dan Harun sebagai al-Furqan, sinar, dan pengingat bagi orang-orang yang bertakwa.

Meski berdalil dengan ayat Alquran, dapat dikatakan pendapat Al-Qurtubi tersebut kurang kuat. Hal ini karena yang disebut dalam ayat tersebut adalah al-furqan yang merupakan sifat dari Taurat begitu juga dhiya atau cahaya, bukan kata Taurat itu sendiri.

Mayoritas mufasir mulai dari al-Tabari hingga al-Qurtubi sendiri mengutip Ibn Zaid bahwa yang dimaksud al-furqan yakni al-nashr atau pertolongan dari musuh. Hal ini berdasarkan ayat

وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ

Dan apa yang kami turunkan kepada hamba kami pada hari al-furqan

Mayoritas mufasir memaknai hari al-furqan pada ayat tersebut adalah perang Badar ketika Allah memberi pertolongan kepada Nabi Muhammad saw. dan kaum Muslimin. Sehingga menurut al-Tsa’labi makna al-Anbiya’ ayat 48 di atas yakni sungguh kami telah memberikan kepada Musa dan Harun pertolongan dan Taurat yang merupakan cahaya dan peringatan bagi orang-orang yang bertakwa.

Baca juga: Kaidah ‘an-Nadhar asy-Syumuli’ (Pandangan Holistik) dalam Memahami Alquran

Imam al-Razi menjelaskan lebih jauh mengapa al-nasr atau pertolongan dapat dikatakan sebagai al-furqan atau pemisah-pembeda. Hal ini tidak lain karena sebelum al-nasr datang terdapat dua golongan yang berselisih antara yang mengusai dan yang dikuasai. Ketika al-nasr tiba maka menjadi jelas yang menang dari yang kalah, dapat dibedakan antara kehendak yang benar dan kehendak salah nan bengis.

Selain al-nasr, menurut imam al-Razi terdapat dua opsi makna lain dari al-furqan. Pertama, ia dapat pula dimaknai sebagai mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa berupa tangan yang bersinar dan tongkat yang dapat memisah antara kebenaran dan kebatilan. Kedua, al-Razi mengutip Qutrub yang menyatakan bahwa al-furqan adalah pemisahan laut oleh Nabi Musa a.s.

Selain itu menurut Ibn Asyur, al-furqan dapat juga dimaknai sebagai syariat atau hukum. Hal ini berdasarkan surah al-Maidah ayat 44,

إِنَّا ‌أَنْزَلْنَا ‌التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلمُوا

Sesungguhnya kami menurunkan Taurat. Di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya yang dengannya para nabi yang selamat berhukum dengannya.

Sifat lain dari kitab Taurat selain al-furqan adalah al-kitab al-mustabin yang disebut dalam surah al-Shaffat ayat 117,

وَآتَيْناهُمَا الْكِتابَ الْمُسْتَبِينَ

Dan kami berikan kepada keduanya al-kitab al-mustabin

Baca juga: Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

Al-Zamakhsyari menyebut al-mustabin pada ayat ini sebagai al-baligh fi bayanih atau yang sangat bagus penjelasannya. Al-Razi memaknai al-mustabin di sini yakni sebagai kitab yang memuat gabungan ilmu untuk kemaslahatan dunia dan agama.

Penyebutan kata al-kitab pada al-Shaffat ayat 117 di atas secara gramatikal cukup berbeda dengan yang tertulis pada surah al-Baqarah ayat 53

وَإِذْ ‌آتَيْنا ‌مُوسَى ‌الْكِتابَ وَالْفُرْقانَ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Dan ingatlah ketika kami berikan kepada Musa al-Kitab dan al-Furqan agar kalian mendapatkan petunjuk.

Pada al-Shaffat ayat 117 kata al-kitab al-mustabin tidak dipisahkan oleh huruf wawu, sehingga jelas bahwa kata al-mustabin adalah sifat dari al-kitab. Sementara sebelum kata al-furqan terdapat huruf wawu yang memisahkannya dengan kata al-kitab sehingga al-furqan tidak dapat secara langsung disebut sebagai sifat dari al-kitab karena sifat tidak dapat mengikuti mausufnya dengan athaf.

Baca juga: Gelar dari Allah Swt. kepada Nabi Musa: Kalimullah

Ibn Asyur menyebut bahwa al-furqan merupakan sifat yang athaf kepada sifat lain Taurat yakni al-kitab. Dengan kata lain, al-furqan pada ayat di atas tidak dapat disebut sebagai athaf-nya sifat kepada mausuf karena al-kitab bukanlah mausuf melainkan termasuk sifat dari Taurat itu sendiri.

Sampai di sini dapat dipahami bahwa kata al-kitab yang diberikan kepada Nabi Musa a.s. adalah sifat dari Taurat. Adapun setiap ayat yang mengisahkan Nabi Musa a.s. yang menerima kitab tidak sama sekali menyebutkan Taurat, meskipun para mufasir memaknainya sebagai Taurat.

Mubham atau tidak disebutkannya kata Taurat saat Alquran menyebut Nabi Musa a.s. dapat dimaknai sebagai perbedaan Taurat yang dulu dengan yang sekarang. Hal ini dikuatkan dengan surah al-Baqarah ayat 79.

فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ ‌الْكِتابَ ‌بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَناً قَلِيلاً

Maka celakalah orang-orang yang menulis Kitab dengan tangan mereka kemudian mereka mengatakan ini dari sisi Allah untuk mereka dapat menjualnyanya dengan harga murah.

Ibn Asyur mengisahkan bahwa Taurat yang diperintahkan oleh Nabi Musa a.s. untuk disimpan di dalam Tabut dan hanya perlu dikeluarkan setiap tujuh tahun sekali untuk menjaganya dari kerusakan. Nabi Sulaiman a.s. meletakkan Tabut dalam Haikal atau tempat ibadah mereka.

Baca juga: Laknat Isa kepada Yahudi Perspektif Alquran dan Injil

Ketika terjadi serangan yang dilakukan oleh Bukhtanasshar atau Nebukadnezar pada masa sebelum Nabi Isa a.s., Raja tersebut membakar kota dan Haikal tempat disimpannya Tabut yang berisi Taurat. Sejarah ini menurut Ibn Asyur menjadi dasar para ulama untuk manyatakan bahwa di dalam Taurat telah terjadi perubahan, penambahan, dan penghapusan.

Makna lain dari tidak disebutnya kata Taurat saat sifat kitab ini diterangkan bersama dengan Nabi Musa a.s. yakni bahwa implementasi akan kitab suci akan menghadirkan sifatnya yang mulia. Oleh karenanya ketika disebutkan sifat dari kitab Taurat maka makna dari sifat tersebut tidak lepas dari Taurat itu sendiri.

Sementara ketika disebut Taurat, tetapi pembacanya nihil implementasi akannya, maka sifat kitab tersebut tidak akan pernah muncul. Tanpa pengamalan dan penghayatan, Taurat hanya jadi kitab yang tidak digubris, dipunggungi, dan tidak terpakai. Seperti yang termkatub dalam al-Baqarah ayat 101 dan al-Jumu’ah ayat 5.

Semoga keterangan terkait kitab Taurat ini menjadi ibrah bagi kita untuk senantiasa memegang semangat Alquran. Jika belum bisa sepenuhnya jangan sampai kita membelakangi dan sama sekali tidak menggubrisnya. Hasbalah, semoga Allah memberi kekuatan untuk segenap kaum Mukmin. Wallahu a’lam.

Landasan Sadd al-Dzariah dalam Alquran dan Hadis

0
Landasan sadd al-dzariah dalam Alquran dan hadis
Landasan sadd al-dzariah dalam Alquran dan hadis

Dalam kajian ushul fikih, salah satu dalil hukum yang digunakan ulama dalam proses istinbath al-ahkam adalah sadd al-dzariah. Secara bahasa, Sadd berarti menutup, sedangkan al-dzariah berarti perantara. Abdul Karim Namlah mendefinisikanya sebagai media yang berpotensi mengantarkan kepada kerusakan. [Al-Muhadzzab fi ‘Ilm Ushul Fiqh al- Muqarin, juz 3, hal. 1016]

Dengan demikian, sadd al-dzariah adalah usaha untuk menutup media-media atau perantara-perantara yang berpotensi menimbulkan kerusakan atau tindakan yang dilarang. Ia merupakan upaya preventif yang dilakukan untuk mencegah akibat yang timbul dari suatu perkara.

Baca juga: Mengenal Tiga Kitab Nazam Ulumul Quran dan Ushul Tafsir

Dalam kajian fikih misalnya ada larangan menjual senjata tajam kepada pencuri yang diyakini akan digunakan untuk kejahatan. Contoh lain misalnya menggali sumur dibelakang pintu rumah. Pasalnya pada waktu malam, itu berpotensi menyebabkan setiap orang yang keluar dari rumah tersebut terjatuh ke dalam lubang. Sebenarnya penggalian lubang diperbolehkan, akan tetapi penggalian yang dilakukan pada kondisi tersebut akan mendatangkan mafsadah.

Ulama ushul fikih mengkategorikan sadd al-dzariah sebagai al-adillah al-mukhtalaf fiha (dalil-dalil yang eksistensinya masih diperselisihkan). Kalangan yang mengakui eksistensi sadd al-dzariah sebagai dalil hukum adalah kalangan Malikiah dan Hanabilah. Walau demikian, ulama yang tidak mengakui formalitas dari konsep ini tetap mengakui dan bahkan mengaplikasikan spirit sadd al-dzariah dalam beberapa keputusan hukumnya.

Landasan Konsep Sadd al-Dzariah

Diantara Argumentasi yang digunakan untuk melegitimasi sadd al-dzariah sebagai salah satu dalil hukum atau pertimbangan hukum adalah firman Allah Swt. Q.S. Alan’am: 108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan tanpa batas tanpa pengetahuan…” Q.S. Alan’am [6]: 108.

Dalam ayat ini, Allah Swt. melarang umat Islam menghina dan mencaci maki sesembahan kaum musyrik Arab pada waktu itu. Hal ini dilarang sebab dapat dipastikan bahwa mereka akan mencela Allah Swt. sebagai balasan atas tindakan umat Islam tersebut. Akibatnya, mereka akan semakin ingkar dan memusuhi agama Islam, yang justru mengandung mafsadah lebih besar.

Imam al-Qurthubi dari kalangan Malikiah menjelaskan bahwa ayat ini merupakan landasan berlakunya konsep sadd al-dzariah. [Tafsir al-Qurthubi, juz, 7, hal. 61]

Baca juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah

Mencela sesembahan orang kafir sejatinya tidak masalah dalam syariat. Akan tetapi, karena ia berpotensi menimbulkan aksi pembalasan dari mereka yang mengandung mafsadat yang lebih besar maka mencela sesembahan mereka tidak boleh.

Selain ayat Alquran, terdapat beberapa hadis Nabi saw. yang dapat dijadikan dasar keabsahan sadd al-dzariah, diantaranya adalah hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim mengenai larangan tentang mencaci orang tua orang lain khawatir orang tersebut membalas cacian terhadap orang tuanya. Beliau saw. bersabda:

إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ؟ قَالَ: يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ، فَيَسُبُّ أَبَاهُ، وَيَسُبُّ أُمَّهُ

“Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknak kedua orang tuanya. Lalu Rasulullah ditanya orang, wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang melaknat kedua ibu bapaknya? Rasulullah menjawab: seseorang mencaci maki ayah orang lain, maka ayahnya juga dicaci maki orang itu, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain, maka ibunya juga akan dicaci maki oleh orang itu.” (H. R. Bukhari, Muslim dan Abu Dawud).

Dalam kasus lain, Rasulullah saw. melarang membunuh orang munafik. Meskipun terdapat maslahat, mafsadah yang ditimbulkan justru lebih besar. Diantaranya akan tercorengnya agama Islam dengan anggapan bahwa Rasulullah saw. membunuh sahabatnya. Lebih dari itu, ia akan berimplikasi menimbulkan phobia terhadap orang-orang yang belum masuk Islam.

Baca juga: Muhammad Abu Zahrah: Pakar Fikih Penulis Kitab Zahrah al-Tafasir

Dengan spirit sadd al-dzariah ini, kita diharapkan mampu bersikap bijak dan mempertimbangkan segala hal yang kemungkinan akan dialami. Terkadang kita harus rela melepaskan hak yang semestinya kita peroleh manakala berpotensi buruk terhadap diri sendiri, orang lain dan agama. Dalam Tafsir al-Munir, Syaikh Wahbah al-Zuhaili bahkan menjelaskan bahwa suatu ketaatan atau kebaikan harus dikesampingkan manakala menimbulkan bahaya yang lebih besar ketika dilakukan. [Tafsir al-Munir, juz 7, hal. 325]

Dari paparan di atas, sadd al-dzariah merupakan satu dari sekian dalil-dalil hukum yang eksistensinya masih diperdebatkan oleh ulama. Namun, spirit dari konsep sadd al-dzariah kerap kali diaplikasikan oleh mayoritas ulama karena ia memiliki landasan berupa Alquran dan hadis. sekian.

Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 2)

0
Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 2)
Polemik Batas Usia Perkawinan Anak.

Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika masing-masing pihak laki-laki dan perempuan telah berusia 19 dan 16 tahun. Aturan ini kemudian diubah melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 yang menyamakan usia laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun.

Perubahan ini dilakukan untuk menghindari adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam masalah yang berdampak pada menghalangi pemenuhan hak-hak dasar atau hak konstitusional warga negara sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22IPUU-XV/2017.

Penetapan 19 tahun sebagai ambang batas usia perkawinan juga didasarkan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di sini, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.

Baca juga: Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)

Dalam aturan-aturan ini, agaknya memang tidak ditemukan batasan khusus mengenai usia perkawinan. Penentuan angka-angka tersebut dilakukan bertujuan menjaga kelanggengan perkawinan dan pembentukan generasi berkualitas di masa mendatang. Hal ini sejalan dengan apa yang tertuang dalam Pasal 15 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menyebut kemaslahatan keluarga dan rumah tangga sebagai dasar penentuan usia perkawinan.

Jika demikian, maka pertimbangan kemampuan reproduksi dalam usia baligh-sebagaimana disebutkan Nimatul Maula pada bagian 1 yang lalu-yang ditandai dengan mimpi basah, menstruasi, atau umur 15 tahun boleh jadi dianggap tidak cukup. Karena dalam perkawinan, reproduksi bukan satu-satunya tujuan yang diharapkan, tetapi juga tentang kualitas reproduksinya serta harmonisasi hubungannya (mawaddah dan rahmah).

Dan karenanya, memahami ayat ke-6 dari surah An-Nisa’ [4] sebagaimana juga telah disebutkan pada bagian 1 sebelumnya, adalah dengan menggabungkan pemahaman ayat ke-9 berikutnya dari surah yang sama,

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعافاً خافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً

“Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. Maka, bertakwalah kepada Allah dan berbicaralah dengan tutur kata yang benar (dalam hal menjaga hak-hak keturunannya).”

Baca juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak

Konteks rangkaian ayat ini, kendati membicarakan pengelolaan harta anak yatim bagi para wali, tetapi mengajarkan satu nilai universal tentang bagaimana mencetak generasi masa depan yang unggul. Bagi para wali hendaknya dapat membayangkan masa depan anak-anak yatim yang berada dalam perwalian mereka ketika tidak diberikan perlakuan yang baik sebagaimana diri mereka sendiri ingin diperlakukan.

Urgensi mencetak generasi masa depan yang unggul juga sebagaimana telah dijelaskan oleh Muhammad Bachrul Ulum dalam tulisannya berjudul Perintah Mencetak Generasi Tangguh: Tafsir Surah An-Nisa’ Ayat 9 dan Abdullah Rafi dalam Merencanakan Generasi Terbaik dengan Membatasi Kelahiran Anak. Salah satu implementasinya misalkan dengan menerapkan program Keluarga Berencana (KB).

Namun demikian, penggunaan “usia anak” (18 tahun) sebagai parameter penentu usia perkawinan ternyata bukanlah satu-satunya. Dalam aturan yang lain ditemukan penggunaan “usia remaja” sebagai parameter lain dalam menentukan usia perkawinan. Tujuannya sama, yakni mencegah perceraian dan mempersiapkan generasi berkualitas.

Baca juga: Adakah Masa Iddah Perempuan yang Bercerai dalam Pernikahan Dini?

Usia remaja sendiri merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Kategorisasi usia remaja berbeda-beda antara satu lembaga dengan yang lainnya. WHO (World Health Organization), misalnya, menyebut batas usia remaja antara 10-19 tahun. Berbeda dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 25 Tahun 2014 yang menyebutkan angka 10-18 tahun dan BKKBN yang menyebut 10-24 tahun.

Dari range usia tersebut, usia 21 tahun dipilih sebagai batas usia perkawinan bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki. Hal ini sebagaimana disebutkan buku saku Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) terbitan Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Jawa Tengah.

Pilihan ini didukung dengan hasil analisis fisiologis dan psikologis yang menunjukkan bahwa di usia 21 tahun seseorang telah sampai pada puncak pertumbuhan fisik, perkembangan kognitif, maupun stabilitas emosional dan identitas sosial.

Baca juga: Digiseksual dan Kecaman Alquran bagi Pelakunya

Hal ini berarti bahwa tidak ditemukan satu kesepakatan terkait dengan batas minimal usia perkawinan. Terlebih jika unsur pertimbangan yang digunakan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Belum lagi jika melihat fakta bahwa setiap individu manusia diciptakan secara unik, tidak ada persamaan dengan yang lain.

Mungkin ini yang menyebabkan Alquran tidak menyebutkan satu angka tertentu berkaitan dengan usia perkawinan. Alquran hanya memberikan satu kriteria yang berlaku secara universal, seperti menyebutkan diksi al-nikah dalam surah An-Nisa’ [4] ayat 6 dan bulugh al-asyadd dalam surah Al-An‘am [6] ayat 152. Dalam pembacaan tematis (maudlu’iy) Wahbah al-Zuhailiy, kedua ayat tersebut berarti bahwa seseorang dianggap layak untuk menikah adalah ketika telah mencapai kematangan fisik dan mental (quwwah al-badan) serta pengetahuan (quwwah al-ma‘rifah).

Dan bukan berarti bahwa seluruh aturan dan kajian kelembagaan yang telah disebutkan menjadi tidak berguna. Paling tidak diketahui bahwa untuk mendapat reward perkawinan yang dijanjikan, berupa sakinah, mawaddah, dan rahmah, butuh pemenuhan berbagai macam unsur, seperti fisik, mental, psikologi, finansial, intelektual, dan lain sebagainya, sehingga tidak menimbulkan prahara di kemudian hari. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Analisis Akidah asy-Syaukani  dalam Karya Tafsirnya

0
Analisis Akidah asy-Syaukani dalam Karya Tafsirnya
Analisis Akidah asy-Syaukani dalam Karya Tafsirnya

Asy-Syaukani  adalah seorang mufasir awal kontemporer pada abad 12, ia juga merupakan seorang ulama besar yang mulia, beliau seorang mujtahid yang menguasai beragam disiplin keilmuan. Asy-Syaukani  memiliki berbagai spesialisasi keilmuan sehingga dijuluki sebagai ensiklopedia pengetahuan. Ia menciptakan banyak karya yang sangat cemerlang, salah satunya yang cukup popular adalah tafsir Fath al-Qadir.

Biografi asy-Syaukani

Asy-Syaukani  bernama lengkap Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdullah asy-Syaukani  sampai kepada al-Shan‘ani. Ia dilahirkan pada siang hari, Senin tanggal 28 bulan Dzulqa’dah atau bertepatan dengan tahun 1173 H di kota Hijratu Syaukan. dan ia meninggal pada malam Rabu tanggal 27 Jumadil Akhir tahun 1250 H saat menjadi hakim di Shan’a, ketika beliau berumur 77 tahun dan dimakamkan di Shan’a. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad asy-Syaukani, Fath al-Qadir; al-Jami‘ Baina Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir, Jilid 1, 5 dan 10)

Asy-Syaukani  belajar Alquran kepada sejumlah ulama dan menyelesaikan bacaan al-Qur’an pada seorang faqih, yang bernama Hasan bin ‘Abd Allah al-Habl. Asy-Syaukani juga belajar ilmu agama kepada ayahnya. Ia menghafal beberapa kitab seperti al-Azhar karya Imam Mahdi, al-Tahdhib karya al-Taftazani, Mukhtasar al-Faraid karya al-Asifari, al-Tahlis fi ‘Ulum al-Balaghah karya al-Qazwani dan masih banyak lagi. (Muhammad Ihsan, Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani Dalam Kitab Fath al-Qadir: Kajian Terhadap Surah al-Fatihah, 6)

Cara belajar asy-Syaukani yakni setiap hari ia mencapai kurang lebih tiga belas pelajaran yang didapat pada siang hari dari gurunya, kemudian ia sampaikan kepada muridnya di malam hari. Hidupnya semata-mata hanya digunakan untuk menuntut ilmu saja. Muridnya setiap hari belajar kepadanya lebih dari sepuluh mata pelajaran, seperti nahwu, sharaf, manthiq, balaghah, ushul fiqh dan lainnya. (Asy-Syaukani, al-Fawaid al-Majmu‘ah fi Ahadits al-Maudhu’ah, 13)

Baca Juga: Na’ilah Hashim Sabri, Perempuan Pertama Penulis Lengkap Tafsir Alquran

Akidah asy-Syaukani

Asy-Syaukani  dibesarkan di lingkungan keluarganya yang bermazhab Zaidiyyah yang dinisbatkan kepada pendirinya yaitu Zaid Ibn Ali Ibn Zainul Abidin. Mazhab Zaidi ialah salah satu cabang dari paham Syi’ah atau mazhab Syi’ah Zaidiyyah. Sewaktu kecil ia telah menguasai ilmu fikih dari mazhab Zaidiyah, seperti kitab al-Azhar.

Pemahaman mazhab Zaidiyah ini lebih dekat dengan pemahaman Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, terutama dalam masalah keadilan para sahabat Nabi Saw. Mereka tidak memandang bahwa para imam sepadan dengan para nabi. Namun, dalam beberapa masalah ilmu kalam, mazhab Zaidiyah ini lebih dekat dengan pemahamn Mu’tazilah.

Pemahaman kalam menurut Mu’tazilah ini pastinya sudah difahami oleh asy-Syaukani yang telah dipelajari dari pendahulunya, khususnya kitab tafsir al-Kashshaf  karya al-Zamakhsyari. Ia telah mendalaminya, mendiskusikannya, bahkan mengkritisinya melalui tokoh-tokoh ulama Yaman yang hidup pada zamannya. (Mukarramah Achmad, Fath Al-Qadir Karya Asy-Syaukani  (Suatu Kajian Metodologi), 78-79)

Kecintaannya pada ilmu tidak menutup kesempatan dirinya dengan hanya mengkaji mazhab Zaidiyah. Pada saat itu, asy-Syaukani didukung oleh lingkungan di Yaman  sehingga ia bisa mempelajari karangan imam-imam besar, seperti Imam al-Syafi’i, Ibn Taimiyah juga Ibn Hazm. Pemikiran yang terbuka seperti inilah yang menjadikan asy-Syaukani  menentukan langkah mana yang tepat dijadikan panutan. (Rosa Lestari, Ayat-ayat Mutasyabihat dalam Tafsir Fathul Qadir Karya Imam asy-Syaukani, 38)

Baca Juga: al-Mubṣir li Nûr al-Qur’ân, Tafsir yang Ditulis atas Isyarat Nabi

Pandangan asy-Syaukani dalam bidang teologi cenderung pada paham aliran salaf. Hal ini dapat dilihat dari penafsirannya pada surah Ala’raf [7]: 54.

قوله: {ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ} قد اختلف العلماء في معنى هذا على أربعة عشر قولاً، وأحقها وأولاها بالصواب مذهب السلف الصالح أنه: استوى سبحانه عليه بلا كيف، بل على الوجه الذي يليق به مع تنزهه عما لا يجوز عليه، والاستواء في لغة العرب هو العلوّ والاستقرار

Firman-Nya: (Dia bersemayam di atas ‘Arsy). Para ulama berbeda pendapat mengenai menjadi empat belas pendapat. Pendapat yang paling utama dan paling benar adalah madzhab para al-salaf al-salih yaitu bahwa Allah Swt. ber-istiwa’ tanpa “bagaimana”, akan tetapi dengan cara yang sesuai dengan-Nya disertai dengan menyucikan-Nya dari apa-apa yang tidak boleh disandangkan kepada-Nya. Menurut bahasanya orang-orang Arab, al-istiwa’ adalah al-‘uluw wa al-istiqrar (tinggal dan menetap). (Asy-Syaukani , Fath al-Qadir, Jilid 4, 100)

Apabila terdapat masalah fiqhiyah saat menafsirkan ayat ahkam, ia menjelaskan mazhab-mazhab para fuqaha’, lalu mengungkapkan perselisihan dan alasan mereka. Serta, memperkuat sebagian pendapatnya, menarjihnya, menelaskan, kemudian mengistinbatkan hukum yang terkandung dalam ayat tersebut. (Muhammad Zaini, Studi tentang sistem penafsiran tafsir Fathul Qadir asy Syaukany, 149)

Dengan demikian, dapat disimpulkan mazhab fikih asy-Syaukani adalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah yang jauh dari sikap taklid yang diharamkan. Hal ini dapat dilihat penafsirannya pada surah Almaidah [5]: 6.

قوله: {فٱغْسِلُواْ وُجُوهَكُمْ } الوجه في اللغة مأخوذ من المواجهة، وهو عضو مشتمل على أعضاء، وله طول وعرض، فحده في الطول: من مبتدأ سطح الجبهة إلى منتهى اللحيين، وفي العرض، من الأذن إلى الأذن، وقد ورد الدليل بتخليل اللحية. واختلف العلماء في غسل ما استرسل، والكلام في ذلك مبسوط في مواطنه. وقد اختلف أهل العلم أيضاً: هل يعتبر في الغسل الدلك باليد أم يكفي إمرار الماء؟ والخلاف في ذلك معروف، والمرجع اللغة العربية، فإن ثبت فيها أن الدلك داخل في مسمى الغسل، كان معتبراً وإلا فلا. قال في شمس العلوم: غسل الشيء غسلاً إذا أجرى عليه الماء ودلكه انتهى

Firman-Nya: (Maka basuhlah mukamu). Secara bahasa, al-wajh diambil dari kata al-muwajahah, yaitu bagian tubuh yang mencakup beberapa anggota yang mempunyai panjang dan lebar. Batasan panjangnya adalah dari permulaan dahi hingga ujung pangkal jenggot, sedangkan lebarnya dari telinga sampai telinga. Ada juga dalil yang menunjukan untuk menyela-nyela jenggot, dan para ulama berbeda pendapat mengenai keharusan membasuh jenggot yang terurai. Pembahasan tentang ini telah dipaparkan pada bidangnya tersendiri. Para ulama juga berbeda pendapat, apakah menggosok dengan tangan termasuk membasuh (mencuci)? Atau cukup dengan membasuhkan air? Perbedaan pendapat mengenai ini cukup dikenal, dan sandarannya adalah bahasa Arab. Jika menurut bahasa menggosok termasuk membasuh (mencuci), maka menggosok dianggap bagian darinya. Sedangkan jika menurut bahasa menggosok tidak termasuk membasuh (mencuci), maka menggosok tidak dianggap bagian darinya. Disebutkan dalarn Syams al-‘UIum, bahwa dikatakan ghasala ghaslan apabila membasuhkan air dan menggosoknya. (Asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Jilid 3, 279)

Baca Juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

Kesimpulan

Maka dapat disimpulkan, bahwa asy-Syaukani  adalah seorang yang berakidah salaf. Memang sangat aneh jika seorang yang berasal dari Yaman memiliki akidah salaf, karena dia hidup di lingkungan yang bermazhab Zaidiyah sejak kecil. Namun, keanehan ini tertepis dikarenakan ia memiliki kelebihan dalam pemikiran yang bebas.

Dalam bidang teologinya, walaupun kebanyakan pengikut mazhab Zaidiyah mengikuti paham Mu’tazilah, namun asy-Syaukani tidak mengikutinya. Justru ia cenderung mengikuti aliran mazhab salaf. Dan dalam bidang fikih, ia juga lebih condong pada Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Wallahu a’lam bish shawab.