Beranda blog Halaman 65

Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil Bagian II: Kebodohan akan Kitab Suci Mereka Sendiri

0
Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan
Ilustrasi Bani Israil

Performa membaca murid di Indonesia disebut oleh Programme for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2018 berada di peringkat 71 dari 76 negara yang mereka survey, padahal UNESCO menyebut pada tahun yang sama yakni 2018 tingkat literasi atau melek aksara di Indonesia adalah 96%. Melalui dua data ini kita dapat melihat bahwa kemampuan membaca tidak berbanding lurus dengan kualitas pemahaman bacaan masyarakat Indonesia.

Fenomena minat atau pemahaman terhadap literasi yang rendah sangat berpotensi menjadi aspek yang dapat merugikan peradaban kebangsaan, terlebih jika dibarengi dengan kalangan intelektual yang dapat memanfaatkan keadaan ini secara bengis. Keadaan yang memperihatinkan ini sebelumnya telah dialami oleh bangsa Bani Israil ketika mayoritas mereka, meskipun dapat membaca dan mendengarkan kitab suci namun tidak mengerti akannya. Hal ini diterangkan dalam surah al-Baqarah ayat 78.

‌وَمِنْهُمْ ‌أُمِّيُّونَ لا يَعْلَمُونَ الْكِتابَ إِلَاّ أَمانِيَّ وَإِنْ هُمْ إِلَاّ يَظُنُّونَ

“Dan sebagian dari mereka buta huruf tidak mengetahui Kitab kecuali hanya angan-angan dan tidaklah mereka (mengetahui) kecuali mereka hanya mengira-ngira”.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Al-Razi dan Ibn Asyur sepakat bahwa golongan ini adalah bagian lain dari Bani Israil di luar kalangan ilmuwan yang sesat menyesatkan. Ibn Asyur menyebut golongan ini sebagai al-jahl al-murokkab atau kebodohan yang bertumpuk-tumpuk karena disinyalir mereka tidak mengetahui bahwa mereka tidak tahu.

Ibn Asyur menyatakan bahwa ayat ini adalah kelanjutan dari ayat 75 yang telah kami catat pada artikel sebelumnya tentang para ilmuwan yang tendensius, sehingga ayat ini adalah sisi lain dari penyebab perpecahan dan kemunduran yang dialami oleh kaum Bani Israil.

Para mufasir dalam memahami ayat ini menyoroti tiga kata signifikan yang akan membantu kita untuk mengerti konteks Bani Israil lebih jauh. Tiga kata tersebut adalah ummiyy, amaniyy, dan dzann.

  1. Keterbatasan dalam Keluasan

Bani Israil yang juga disebut sebagai ahli kitab semestinya menguasai kitab suci karena di antara mereka juga lahir beberapa Nabi. Karena kebiasaan ini al-Razi menyebut bahwa kata ummy pada ayat di atas bukanlah secara mutlak buta huruf akan tetapi taraf pemahaman akan bacaan yang tidak baik.

Bagaimana mungkin umat dengan banyak Nabi yang menerangkan kitab suci justru tidak mengerti akan kandungan kitab suci itu? Melalui sumber yang seharusnya tidak terbatas, karena langsung dapat bertanya kepada Nabi mereka, semestinya bacaan akan kitab suci justru semakin baik dan luas pemahamannya.

Kebodohan mereka tersebut disinyalir dalam Alquran bahwa kedatangan para Rasul tersebut tidak sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka. Oleh karenanya mereka mendustakan para Rasul tersebut di samping sebagian lagi dibunuh. Hal ini tercantum dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 87.

وَلَقَدْ آتَيْنا مُوسَى الْكِتابَ وَقَفَّيْنا مِنْ بَعْدِهِ بِالرُّسُلِ وَآتَيْنا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّناتِ وَأَيَّدْناهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ أَفَكُلَّما جاءَكُمْ رَسُولٌ بِما لا تَهْوى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقاً كَذَّبْتُمْ ‌وَفَرِيقاً ‌تَقْتُلُونَ

“Dan sungguh telah kami berikan kepada Musa al-Kitab dan kami susulkan setelahnya dengan Rasul-Rasul, dan kami berikan kepada Isa bin Maryam penjelasan-penjelasan dan kami menguatkannya dengan ruh al-Qudus. Apakah setiap kami datangkan kepada kalian utusan yang tidak sesuai dengan kemauan nafsu kalian maka kalian menyombongkan diri sehingga sebagian kalian dustakan dan sebagiannya lagi kalian bunuh?”

Menurut Ibn Asyur, Bani Israil memiliki sifat sombong atau merasa lebih tinggi untuk mengikuti para Rasul tersebut. Mereka heran bagaimana mungkin keadaan mereka yang lebih mulia mesti menjadi pengikut para Rasul itu. Oleh kerenanya sebagian mereka dustakan dan sebagian lagi dibunuh seperti halnya Nabi Zakariya dan Yahya as.

Kedatangan seorang Rasul semestinya menjadi berkah bagi suatu kaum, karena seorang Rasul adalah penyampai risalah Ilahi, pengajar kitab suci dan kebijaksanaan yang sebelumnya tidak diketahui. Seperti yang telah disebutkan dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 151.

Perasaan lebih mulia dari seorang Rasul dapat dipicu dari modal sosial dan materil yang dimiliki oleh para pendusta agama tersebut. Sayangnya provokasi dari para pemilik modal tersebut menjadikan kaum yang disebut Alquran ummy ini terjerumus dalam dosa mengeliminasi para Rasul yang mengajarkan kebaikan dan kebenaran.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

2. Mengkhayalkan Keyakinan

Kaum dengan bacaan yang tidak berkualitas akan dengan mudah terprovokasi hal yang bersifat materil. Oknum dengan kepentingan tertentu bersatu dengan para ilmuwan yang dapat dibeli dengan materi juga menjadikan satu rangkaian setan yang membahayakan. Pada akhirnya narasi ilusif dengan berdasar pada hal materil menjadi satu-satunya wacana keyakinan. Amaniyy menjadi diksi yang tepat untuk menggambarkan keadaan mereka.

Kata amanyy memiliki banyak makna menurut al-Razi. Pertama adalah khayalan seseorang di mana ia menempatkan dirinya di posisi imajinatif itu seakan keadaannya demikian. Beliau mengutip surah al-Nisa ayat 120

يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَما يَعِدُهُمُ الشَّيْطانُ إِلَّا غُرُوراً

“Dia menjanjikan mereka dan menjadikan mereka berangan-angan dan tidaklah yang dijanjikan setan kepada mereka kecuali tipuan.”

Dengan menggunakan term khayalan untuk memaknai amaniyy ini menurut al-Razi dapat dikatakan bahwa mereka berkhayal jika Allah tidak akan menghukum mereka karena kesalahan yang mereka perbuat dan moyang mereka yang merupakan Nabi akan memberi syafaat kepada mereka. Kemudian para rahib mereka menghembuskan narasi fiktif bahwa neraka tidak akan menyentuh mereka kecuali beberapa saat saja. Hal ini menurut beliau berdasarkan surah al-Baqarah ayat 111, al-Nisa ayat 123, dan al-Jatsiyah ayat 24.

Makna kedua dari amaniyy adalah kebohongan. Berbagai kebohongan yang mereka dengar dari rahib diterima begitu saja karena tidak ingin susah untuk membaca dan berpikir.

Adapun makna ketiga dari amaniyy adalah tilawah atau membaca. Seakan dapat dimaknai bahwa mereka tidak mengetahui Kitab kecuali hanya yang dibacakan dan diperdengarkan kepada mereka untuk kemudian begitu saja diterima tanpa mendalami dan menelitinya. Pendapat ini juga dipilih oleh al-Qurtubi berdasarkan surat al-Hajj ayat 52.

Amaniyy menjadi diksi yang tepat untuk menggambarkan kondisi mereka yakni yang hanya membaca tanpa pengertian dan pendalaman, tertipu oleh kebohongan, dan terciptanya khayalan akan dunia materi yang membahagiakan. Sementara janji Allah melalui para Rasul-Nya mereka abaikan begitu saja.

Baca Juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

3. Meyakini Kebohongan

Demikian keyakinan mereka bersumber dari amaniyy yang telah dijelaskan di atas maka kualitas keimanan hanya sampai pada level dzann atau sangkaan. Menurut al-Qurtubi hal ini karena mereka tidak mengetahui kebenaran dari apa yang dibaca. Pun mereka hanya mengikuti rahib yang membacakan kitab secara semena-mena.

Mengutip Abu Bakar al-Anbari, al-Qurtubi menjelaskan bahwa kaum Arab menyebut dzann dalam tiga pemaknaan yakni ilmu, keraguan, dan kebohongan. Jika bukti keilmuan tegak lebih banyak daripada bukti keraguan maka dzann di sini adalah keyakinan. Hal ini dapat didasarkan pada surah al-Baqarah ayat 46.

الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ ‌مُلاقُوا ‌رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ راجِعُونَ

“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa kepada-Nyalah mereka kembali”.

Kata dzann pada ayat di atas dimaknai dengan keyakinan karena pertemuan dengan Tuhan membutuhkan banyak ilmu seraya mengeliminir keraguan. Oleh karenanya pada ayat ini kata dzann tidak dapat dimaknai lain kecuali keyakinan.

Kedua, jika bukti keyakinan sama posisinya dengan bukti keraguan maka dzann di sini adalah keraguan. Adapun yang ketiga jika bukti keraguan lebih banyak daripada keyakinan maka dzann adalah kebohongan. Menurut al-Qurtubi maksud dzann yang disebutkan pada ayat 78 di atas adalah kebohongan.

Hal ini menurut beliau karena ayat setelahnya menegaskan perihal perilaku para rahib mereka. Ketika mereka memperlajari suatu perkara sementara para rahib memiliki pandangan yang buruk, lebih menerima bagian harta dan hanya mengharapkannya, sehingga mereka mencari hal yang dapat menjadikan mereka populer. Satu-satunya hal yang mereka lakukan kemudian adalah mengklaim bahwa pendapat mereka berasal dari Allah.

Melalui jalan ini yang diuntungkan adalah para pemimpin mereka yang memiliki modal sosial dan material yang tidak sepakat dengan nilai-nilai keagamaan. Melalui pembodohan ini mereka mendapatkan apa yang mereka tuju yakni keuntungan dunia dan keluasannya.

Kemampuan kita untuk membaca semestinya tidak disia-siakan begitu saja, terlebih terkait kitab suci sudah semestinya kita memperdalam pemahaman akannya. Hal ini mesti dilakukan agar kita tidak tertipu dengan bujukan tertentu yang mengatasnamakan agama namun justru yang dituju hanyalah keuntungan pribadi semata.

Menyadari bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini identik dengan kondisi Bani Israil di masa lalu, semoga tulisan sederhana ini dapat menjadikan kita lebih mawas diri menghindari provokasi yang berbalut agama, namun di dalamnya hanya tendensi politik semata. Semoga persatuan kebangsaan tidak terpecah karena kebodohan akan esensi kitab suci. Wallahu a’lam

Zainab al-Ghazali: Tokoh Feminis Modern Berkebangsaan Mesir

0
Zainab al-Ghazali: Tokoh Feminis Modern Berkebangsaan Mesir
Zainab al-Ghazali: Tokoh Feminis Modern Berkebangsaan Mesir

Membincang isu gender dan feminisme, sama halnya dengan membincang kekerasan dan penindasan terhadap kaum perempuan dalam konteks realita sosial. Fenomena ini bisa dilihat dari banyaknya negara Muslim seperti Arab Saudi, Iraq, Syiria, Sudan, dan Mesir sebagai negara yang memiliki tingkat kekerasan terhadap perempuan tertinggi di Timur Tengah.

Isu feminisme di Mesir misalnya, awalnya hanya berbentuk gagasan normatif saja, yang secara sporadis didengungkan oleh beberapa kalangan. Barulah pada masa selanjutnya, benih-benih feminisme di Mesir semakin mencuat dan mulai memasuki forum-forum serta berbagai kegiatan sosial sehingga lahir beberapa komunitas perempuan Mesir.

Baca Juga: Zainab al-Ghazali: Mufassir Perempuan Pertama Abad ke-20

Membaca Kembali Gerakan Feminisme di Mesir

Jika ditelisik historisitasnya, sebenarnya akal kultural dan label otentitas gerakan feminisme Mesir bukanlah fenomena baru, karena pada masa sebelumnya sudah muncul sederet tokoh seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang telah mengilhami perbincangan mengenai emansipasi perempuan. Saat itu, isu feminisme saling bersinggungan secara kompetitif dengan diskursus nasionalisme (Najde Al-Ali, Secularism, Gender, and The State in The Middle East: The Egyptian Women Movement, 58).

Wacana otentitas budaya yang mengemuka saat itu, membuat isu feminisme mendapatkan tantangannya karena dicap sebagai budaya Barat. Pada gilirannya, isu feminisme dan nasionalisme menjadi akur karena memiliki kepentingan yang sama, relasi antara keduanya menjadi kolaboratif-integratif ketika revolusi 1919 mencuat. Pada masa revolusi, berbagai elemen bergerak dan menuntut untuk kemerdekaan Mesir dan Inggris.

Para aktivis perempuan dari berbagai negara bersatu dengan ribuan perempuan Mesir untuk menggelar aksi demonstrasi besar-besaran. Mereka terlihat sangat vokal dalam gerakan anti Inggris. Dari sinilah momentum gagasan dan gerakan feminisme serta nasionalisme menjadi bersatu. Terjadinya disorientasi visi gerakan feminisme dari anti patriarki berubah menjadi anti koloni (Thomas Phillip, Feminism and Nationalist Politics in Egypt, 278).

Pada periode selanjutnya, muncul sederet tokoh feminis Mesir lainnya seperti Qasim Amin, Malak Hafni Nashif, Huda Sya’rawi, Munirah Tsabit Musa, Nawal al-Sadawi, Margot Badran, Rawiyah ‘Athiyyah, Aminah Syukri, Hikamah Abu Zayd, dan Zainab al-Ghazali.

Baca Juga: Amina Wadud dan Hermeneutika Feminisme

Zainab Al-Ghazali dan Ikhwanul Muslimin: Menelisik Gagasan “Jam’iyyah Muslimah”

Ketika membahas tentang pemikiran feminisme ala Zainab al-Ghazali, maka tak ayal pembahasan akan mengarah pada sebuah oraganisasi besar dan tumbuh subur di Mesir, yaitu Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini memiliki karakter dakwah yang komprehensif dan universal dalam memberikan ketertarikan terhadap umat Islam.

Di sisi lain, gerakan ini juga mementingkan nasib kaum perempuan yang mendapatkan diskriminasi dalam ranah domestik dan publik. Bak gayung disambut dengan pemikiran Zainab al-Ghazali yang memiliki perhatian khusus dalam usaha membangkitkan gerakan perempuan dengan kecakapan dan kepintarannya, menjadikan dirinya sebagai aktivis perempuan sejak berusia 24 tahun.

Zainab yang didasari ideologi Ikhwanul Muslimin sedari remaja, menilai bahwa feminisme sudah melewati batas kodrat perempuan. Oleh karenanya, ia menentang gerakan tersebut dengan membuat gerakan feminisme baru yang kerap disebut dengan terminologi “Jam’iyyah Muslimah” dengan tujuan yang sama, yakni menghapus budaya-budaya patriarki dan diskriminasi yang berlandaskan pada Alquran dan sunah.

Baca Juga: Fatimah Mernissi dan Inspirasi Bergelut di Bidang Tafsir Feminis, Ada Kisah Memilukan

Poligami dan Peran Perempuan dalam Ranah Publik Perspektif Zainab Al-Ghazali

Salah satu ayat yang kerap digugat oleh kaum feminis, adalah persoalan poligami (QS. Alnisa’ [4]: 3). Dalam ayat tersebut, Zainab menafsirkan “Ali menceritakan kepada kami, Hasan bin Ibrahim mendengar dari Yunus bin Yazid dari Zuhri berkata: Urwah bin Zubair menceritakan kepadaku bahwasannya ia telah bertanya kepada Aisyah (istri Rasulullah) tentang maksud ayat wa in khiftum an la tuqsitu fi al-yatama…. Maka Aisyah menjawab: “Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan walinya, si wali tertarik pada harta dan pada kecantikan anak itu. Maka ia berniat untuk menikahinya dengan memberi mahar yang paling rendah, kemudian ia menggaulinya dengan cara yang tidak baik. Maka ayat ini melarang untuk menikahinya kecuali si wali mampu berlaku adil terhadap perempuan-perempuan tersebut dengan menyempurnakan maharnya dan apabila si wali tidak mampu berlaku adil, maka ia diperintahkan agar menikah dengan selain perempuan yang ada dalam asuhan walinya.” (Zainab al-Ghazali, Nadzarat fi Kitabillah, 282).

Dari pengutipan hadis di atas, Zainab berpendapat bahwa QS. Alnisa’ [4]: 3 berkaitan dengan konteks anak yatim. Dalam penafsiran selanjutnya, ia menjelaskan jika sekiranya laki-laki (suami) takut tidak mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, maka monogami dalam sebuah pernikahan adalah sebuah keharusan dan anjuran (QS. Alnisa’ [4]: 129).

Selanjutnya, perihal peran perempuan dalam ranah publik. Feminisme menginginkan hak-hak perempuan setara dengan laki-laki, salah satunya dalam peranan publik seperti bekerja, berpolitik, dan menjadi pemimpin. Zainab dalam hal ini menafsirkan QS. Alahzab [33]: 33, bahwa perempuan (istri) seyogianya mengurus domestik terlebih dahulu, baru kemudian melakukan kegiatan atau berperan aktif dalam ranah publik, sesuai kepentingan dan hajatnya (Zainab Al-Ghazali, Min Khawatir Zainab Al-Ghazali, 17).

Penutup

Zainab al-Ghazali adalah tokoh feminis sekaligus mufasir berkebangsaan Mesir. Ia menjawab Isu-isu gender yang sedang berkembang di masyarakat Mesir modern dengan perspektif Alquran. Zainab menerjemahkan kesetaraan gender dalam feminisme dalam pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan secara proposional dengan catatan saling menghormati dan menghargai antara laki-laki dan perempuan.

Wallahu a’lam.

Hukum Minum Obat Penunda Haid demi Haji Lancar

0
Hukum Minum Obat Penunda Haid Demi Haji Lancar
Ilustrasi obat penunda haid.

Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima dan hukumnya wajib dikerjakan bagi muslim yang mampu. Termasuk dari tujuh rukun haji adalah tawaf ifadah atau aktifitas mengelilingi Ka’bah yang terdapat di dalam Masjidilharam.

Pelaksanaan tawaf ini dilakukan sebanyak tujuh kali putaran dimulai dari hajar Aswad. Sedangkan syarat untuk melakukan tawaf adalah suci dari hadas kecil dan hadas besar. Ini menjadi kekhawatiran bagi wanita yang hendak berhaji apabila nantinya ia mengalami haid di masa-masa sedang mengerjakan ibadah haji. Ia tidak akan leluasa melaksanakan rentetan amalan-amalan haji baik yang wajib maupun yang sunah, termasuk tawaf ini.

Seiring berkembangnya dunia medis dan melaui proses riset yang telah dilakukan oleh para ilmuan, akhirnya ditemukan obat atau pil yang digunakan untuk menunda haid seperti obat Primolut N. Obat ini merupakan obat perangsang yang diberikan kepada pasien yang mempunyai gangguan terhadap haid dan juga digunakan dalam rangka kepentingan-kepentingan tertentu seperti haji, puasa, dan lain sebagainya. Lantas bagaimana hukumnya meminum obat penunda haid demi agar ibadah hajinya lancar?

Tinjauan secara fikih dan medis

Dikutip dari  sidang  fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Hukum Mengonsumsi Obat Penunda Haid pada 12 Januari tahun 1979. Dalam fatwa ini, MUI menjelaskan bahwa mengonsumsi obat penunda haid untuk bisa lancar melakukan ibadah haji hukumnya mubah (boleh). Hal ini karena ibadah haji adalah kewajiban sekali seumur hidup yang memiliki syarat-syarat tertentu. Salah satunya adalah suci dari haid.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Membaca Alquran Ketika Haid, Bolehkah?

Dalam tinjauan usul fikih, terdapat kaidah yang menjelaskan mengenai kemudahan dalam melaksanakan ibadah ketika dihadapkan dalam kesulitan:

المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Adanya kesulitan akan memunculkan kemudahan.

Dapat dipahami dari kaidah di atas, bahwa wanita yang sedang haid tentu akan mengalami kesusahan ketika beribadah haji, maka hukum dari mengkonsumsi obat penunda haid dapat dibenarkan (mubah). Hal ini juga berdasarkan fiman allah dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185.

 يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Tuntunan Alquran Memperlakukan Perempuan Haid

Menurut Muhammad Sulaiman Al-Asyqar dalam Zubdatut Tafsir min Fathil Qadir, diksi “kemudahan” (اليسر) bermakna kemudahan dan tanpa adanya kesusahan pada dalam segala urusan agama. Rasulullah juga senantiasa mengarahkan kepada umatnya untuk memberi kemudahan dan melarang memberi kesulitan, sebagaimana sabda beliau:

«يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا»

Permudahlah dan jangan mempersulit. Berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari.

Mengkonsumsi obat penunda haid untuk keperluan berhaji juga dibenarkan oleh Yusuf Qardhawi. Dalam kitab Fatawa alMua’shirah, ia berpendapat bahwa dalam Alquran belum ada ayat yang menjelaskan masalah penunda haid ini secara khusus. Berdasarkan kandungan Q.S. Al-Baqarah ayat 185, Yusuf al-Qardawi membolehkan perempuan mengkonsumsi obat penunda haid.

Tetap harus memperhatikan arahan ahli medis

Akan tetapi, hukum kebolehan mengkonsumsi obat penunda haid tentu harus memenuhi syarat tidak boleh sampai membahayakan diri dan harus mendapatkan izin dari dokter. Ini mengingat obat penunda haid termasuk obat yang tidak disarankan oleh dokter untuk dikonsumsi ketika tanpa ada alasan yang kuat sebagaimana dikutip dari Alodokter.com.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 222: Benarkah Makna Haid itu Kotoran?

Hal ini karena jenis obat penunda haid tersebut dapat menimbulkan beragam efek samping, seperti mual dan muntah, sakit kepala, nyeri payudara, perubahan suasana hati, peningkatan berat badan. Oleh karenanya, tidak semua wanita diperbolehkan menggunakan obat-obatan ini, terutama ibu menyusui atau yang sedang menderita kondisi medis tertentu, seperti kanker payudara, perdarahan pada vagina, stroke, gangguan jantung, gangguan pembekuan darah, dan  gangguan ginjal.

Hal ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 195:

وَلَا تُلْقُوا۟ بِأَيْدِيكُمْ إِلَى ٱلتَّهْلُكَةِ

Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.

Apabila ditinjau dari kaidah fikih, ayat di atas sejalan dengan kaidah:

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain.

Baca juga: Revolusi Ibadah Haji: Dari Paganis Menuju Islamis

Dapat diambil kesimpulan dari uraian di atas bahwa mengkonsumsi obat penunda haid untuk tujuan beribadah haji diperbolehkan dengan syarat tidak membahayakan diri sendiri.

Kriteria tidak membahayakan diri sendiri tentu bisa diketahui dengan konsultasi kepada dokter untuk memastikan kondisi kesehatan. Tidak boleh hanya memperkirakan berdasarkan vonis sendiri, sehingga diharapkan ibadah tetap aman dan lancar dan yang terpenting tidak membahayakan kesehatan. Dengan bekal kesehatan tentunya seseorang akan lebih mudah dan semangat dalam melaksanakan ibadah. Wallahua’lam.

Keindahan Konsep Sinonim dan Antonim dalam Alquran

0
Keindahan Konsep Sinonim dan Antonim dalam Alquran
Keindahan konsep sinonim dan antonim dalam Alquran.

Setiap kata pasti memiliki sifat yang sama maupun berlawanan. Hal inilah yang disebut dengan sinonim dan antonim. Di dalam Alquran, banyak dimuat ayat yang mengandung dua hal tersebut. Hal ini termasuk keindahan bahasa Alquran.

Untuk mengetahui keindahan konsep sinonim dan antonim dalam Alquran, dapat ditelusuri melalui ilmu balaghah qur’an, yaitu suatu ilmu yang mempelajari tentang cara pengungkapan bahasa yang indah dalam Alquran. Dengan mempelajari ilmu tersebut, dapat diketahui keindahan-keindahan bahasa yang terkandung dalam Alquran.

Dalam ilmu balaghah qur’an, terdapat cabang ilmu yang secara khusus mempelajari tentang keindahan bahasa, baik dari segi lafaz maupun makna. Ilmu tersebut diistilahkan dengan ilmu badi’. Ilmu badi’ adalah suatu ilmu yang dapat diketahui darinya gambaran keindahan suatu kalam.

Baca juga: Pandangan Ulama Tentang Konsep Sinonimitas dalam Alquran

Ilmu ini dibedakan menjadi dua macam, yaitu muhassinat lafdzi dan muhassinat maknawi. Muhassinat lafdzi merupakan keindahan suatu kalam dilihat dari segi lafaznya. Sementara muhassinat maknawi merupakan keindahan suatu kalam dilihat dari segi maknanya.

Muhassinat lafdzi terdiri dari beberapa cabang ilmu, salah satunya adalah ilmu jinas. Muhassinat maknawi juga terdiri dari beberapa cabang ilmu, salah satunya adalah ilmu thibaq. Dengan ilmu jinas dan thibaq inilah, maka dapat diketahui sinonim dan antonim kata yang terkandung dalam Alquran (Rumadani Sagala, Balaghah, 148).

Disebutkan dalam kitab al-Balaghah al-Wadhihah, pengertian jinas menurut ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin adalah dua kata yang sama dalam pengucapan tetapi berbeda dalam pemaknaan.

Baca juga: Mengenal Sinonim dan Homonim dalam Alquran, Konsep Kebahasaan yang Mesti Diketahui Mufassir

Keindahan jinas terletak pada lafaznya yang memiliki kesamaan atau kemiripan redaksi. Perlu dipahami bahwa, kesamaan tersebut bukan berarti mengandung makna yang sama. Akan tetapi, ia mengandung makna yang berbeda.

Hal ini dapat dilihat pada pembagian jinas yang dibedakan menjadi dua, yaitu jinas tam dan jinas ghairu tam. Jinas tam (jinas sempurna) adalah dua kata yang sama pengucapannya dalam empat hal, yaitu: jenis huruf, harakat huruf, jumlah huruf, dan urutan huruf.

Contoh dari jinas ini dapat dilihat pada firman Allah Q.S. Arrum [30]: 55 berikut,

وَيَوْمَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُوْنَ ەۙ مَا لَبِثُوْا غَيْرَ سَاعَةٍ ۗ كَذٰلِكَ كَانُوْا يُؤْفَكُوْنَ

“Pada hari (ketika) terjadi kiamat, para pendurhaka (kafir) bersumpah bahwa mereka berdiam (dalam kubur) hanya sesaat (saja). Begitulah dahulu mereka dipalingkan (dari kebenaran).”

Pada ayat di atas, kata sa‘ah yang pertama dan kedua memiliki kesamaan dalam pengucapannya, tetapi berbeda dalam maknanya. Sa‘ah yang pertama bermakna ‘hari kiamat’, sementara sa‘ah yang kedua bermakna ‘waktu yang sesaat’.

Baca juga: Perbedaan Sinonim Kata Sanah dan ‘Am dalam Alquran

Sementara jinas ghairu tam (jinas tidak sempurna) adalah dua kata yang mirip pengucapannya, tetapi tidak sama pada salah satu dari empat hal tersebut. Contoh dari jinas ini dapat dilihat pada firman Allah Q.S. Addhuha [93]: 9-10 berikut,

فَاَمَّا الْيَتِيْمَ فَلَا تَقْهَرْۗ  وَاَمَّا السَّاۤىِٕلَ فَلَا تَنْهَرْ

“Terhadap anak yatim, janganlah engkau berlaku sewenang-wenang. Terhadap orang yang meminta-minta, janganlah engkau menghardik.”

Pada ayat di atas, kata taqhar dengan kata tanhar hampir sama dalam pengucapannya. Perbedannya terletak pada jenis hurufnya. Pada huruf yang kedua, kata taqhar menggunakan huruf qaf, sementara kata tanhar menggunakan huruf nun. Makna di antara keduanya pun juga berbeda. Kata taqhar bermakna ‘sewenang-wenang’ dan kata tanhar bermakna ‘menghardik’ (‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, 281).

Baca juga: Deskripsi dan Kritik atas Penafsiran Bint al-Syathi’

Setelah memahami ilmu jinas, perlu juga untuk memahami ilmu thibaq agar dapat mengetahui kata antonim dalam Alquran. Dalam kitabnya, ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin mendefinisikan thibaq dengan berkumpulnya suatu perkara dengan lawannya dalam satu kalimat. Contoh dari thibaq ini dapat dilihat pada firman Allah Q.S. Addhuha [18]: 18 berikut,

وَتَحْسَبُهُمْ اَيْقَاظًا وَّهُمْ رُقُوْدٌ ۖ

“Engkau mengira mereka terjaga, padahal mereka tidur.”

Pada ayat di atas, kata aiqadhan berlawanan makna dengan kata ruqud. Kata aiqadhan memiliki makna ‘bangun’ (terjaga) dan kata ruqud memiliki makna ‘tidur’. Kata ‘bangun’ dan ‘tidur’ bersifat berlawanan (‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, 298).

Disamping ilmu thibaq, ada juga ilmu yang hampir mirip dengannya, yaitu muqabalah. ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin juga mendefinisikan muqabalah dalam kitabnya dengan pengertian mengemukakan dua makna yang sesuai atau lebih dan kemudian mengemukakan perbandingannya dengan tertib. Contoh dari muqabalah dapat dilihat pada firman Allah Q.S. Attaubah [9]: 82 berikut,

فَلْيَضْحَكُوْا قَلِيْلًا وَّلْيَبْكُوْا كَثِيْرًاۚ

“Maka, biarkanlah mereka tertawa sedikit (di dunia) dan menangis yang banyak (di akhirat)”

Pada ayat di atas, kata yadhaku yang bermakna ‘tertawa’ berlawanan dengan kata yabku yang bermakna ‘menangis’. Dan kata qalilan yang bermakna ‘sedikit’ berlawanan dengan kata katsiran yang bermakna ‘banyak’. (‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, al-Balaghah al-Wadhihah, 303).

Baca juga: Tafsir Surah Al-Ikhlas: Mengenal Tuhan Via Negativa (Bag. 1)

Perlu diketahui bahwa ilmu thibaq dan muqabalah memiliki kemiripan. Perbedaan yang menonjol antara keduanya terletak pada posisi lawannya dan juga jumlah pasangan katanya. Posisi lawan thibaq berada di dalam satu kalimat dan hanya berjumlah sepasang kata. Sementara posisi lawan muqabalah berada di lain kalimat dan berjumlah dua pasang kata atau lebih.

Demikian sedikit ulasan dari konsep sinonim dan antonim dalam Alquran. Ini sekali lagi menunjukkan betapa indahnya bahasa Alquran. Bagaimana tidak, bukankah Alquran hadir sebagai mukjizat untuk menandingi bangsa Arab yang dahulu dikenal akan syair-syair indahnya? Wallahu a’lam bish shawab.

Maqasid al-Qur’an Perspektif ‘Abd al-Karim Hamidi

0
Maqasid al-Qur'an karya Abdul Karim Hamidi
Maqasid al-Qur'an karya Abdul Karim Hamidi

Maqasid al-Qur’an merupakan kajian lama yang hingga kini masih menjadi perhatian penting bagi ulama kontemporer. Banyak ulama yang menjadikan maqasid al-Qur’an sebagai kajian yang tidak terpisah dari maqasid al-shari’ah. Tentunya, dua kajian ini memiliki konsep yang berbeda.
Definisi maqasid al-Qur’an adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dengan diturunkannya Alquran untuk mencapai kemaslahatan dan menolak kerusakan. Sedangkan maqasid al-shari’ah adalah tujuan-tujuan yang ingin diwujudkan dari ditetapkannya syariat untuk kemaslahatan manusia. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa maqasid al-shari’ah merupakan kajian tentang hukum yang sumber utamanya adalah Alquran, sedangkan maqasid al-Qur’an merupakan kajian yang lebih umum dari maqasid al-shari’ah yang membahas tentang tempat kembalinya hukum Islam. Sehingga, dapat dikatakan bahwa maqasid al-Qur’an merupakan dasar dari maqasid al-shari’ah, dan semua maqasid al-shari’ah kembalinya pada maqasid al-Qur’an.
Dua kajian ini kemudian memunculkan tren baru dalam studi Alquran yang disebut dengan tafsir maqasidi. Pada umumnya, tafsir ini berusaha membaca isu-isu yang terjadi di era kontemporer dan memposisikan Alquran sebagai kitab suci umat Islam, yang salih li kulli zaman wa makan. Sehingga, umat Islam dituntut untuk senantiasa mengembangkan pikirannya agar dapat memahami dan menafsirkan ayat Alquran secara kreatif dengan menyesuaikan konteks yang terjadi sekarang.

Baca juga: Ḥannân Laḥḥâm: Aktivis Perempuan, Pegiat Tafsir Virtual, dan Pengarang Kitab Maqâṣid al-Qur’ân al-Karîm 

Para ulama telah berusaha merumuskan definisi dan pembagian dari maqasid al-Qur’an yang tertulis dalam karya-karyanya. Tentu, terdapat perbedaan pendapat dalam perumusan tersebut. Namun dari perbedaan itu, definisi yang ditawarkan oleh ulama tetap bermuara pada satu hal yang sama yakni maqasid al-Qur’an merupakan inti atau pokok dari ajaran Alquran yang abadi. (Ulya Fikriyati, Maqāsid Al-Qur’ān: Genealogi dan Peta Perkembangannya Dalam Khazanah Keislaman, ‘Anil Islam: Jurnal Kebudayaan dan Ilmu Keislaman, Vol. 12 No. 2, 2019, 211)

Biografi ‘Abd al-Karim Hamidi

Setelah kitab Maqāṣid al-Qur’ān al-Karīm, karya Ḥannān Laḥḥām yang membahas tentang maqasid al-Qur’an berdasarkan katalogisasi tema ayat al-Qur’an terbit, muncul tokoh lain yang memberikan kontribusi dalam merumuskan teori maqasid al-Qur’an. Beliau adalah ‘Abd al-Karim Muhammad al-Tahir Hamidi, atau yang lebih dikenal dengan Abd al-Karim Hamidi, yang lahir di Setif, Aljazair pada tahun 1958 M.
Sebagai peletak dasar teori maqasid al-Qur’an, Hamidi berhasil menuangkan pemikirannya dalam dua karya monumental yakni al-Madkhal ila Maqasid al-Qur’an dan Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam. Berdasarkan riwayat pendidikannya, ulama yang lahir di Aljazair ini menuntaskan pendidikan doktoral pada bidang fikih dan ushul fikih di Universitas al-Amir ‘Abdul Qadir, Qusnathunah. Sehingga tak heran apabila beliau menulis banyak karya dari berbagai disiplin ilmu seperti dalam bidang fikih, Alquran, dan lain sebagainya.
Adapun karya tulis lain yang tidak kalah menarik dari dua karya sebelumnya yaitu seperti, Manhaj al-Qur’an fi Tashri’i al-Ahkam, Maqasid al-Qur’an fi Tahqiqi Silahi al-Insan, al-Ba’du al-Ijtima’i fi al-Khitabi al-Qur’ani, Dawabit fi Fahmi al-Nas, dan lain-lain. (‘Abd al-Karim Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 685-686)

Konsep Maqasid al-Qur’an Menurut ‘Abd al-Karim Hamidi

Kata maqasid berasal dari kata kerja قَصَدَ – يَقْصُدُ – قَصَدًا – وَمَقْصَدًا yang memiliki arti maksud atau tujuan. Sedangkan kata قَصَدَ dalam Alquran menurut Hamidi dapat ditemukan pada beberapa tempat yang kebanyakan mengandung makna al-istiqamah, al-tawassuth, dan al-i’tidal. Seperti pada lafaz aqsid dalam surat Luqman ayat 19 yang bermakna tawassuth yang berarti seimbang antara cepat dan lambat. Pada lafaz qasdu yang terdapat dalam surat al-Nahl ayat 9, yang bermakna istiqamah di jalan Allah, serta pada lafaz muqtasid dalam surat Luqman ayat 32 yang bermakna adil dalam janji.
Sedangkan makna maqasid secara istilah menurut Hamidi adalah al-Ghayah wa al-Hadf yang berasal dari kamus bahasa ahli hukum, yang berarti maksud dan tujuan. Dalam hal ini beliau mengaitkannya dengan maksud dan tujuan yang diinginkan syari’ (Allah) dari diberlakukannya hukum syariat yang telah ditetapkan.
Berdasarkan definisi di atas, Hamidi menyimpulkan maqasid al-Qur’an adalah tujuan yang diturunkan Alquran untuk tercapainya kemaslahatan manusia. Definisi yang disampaikan Hamidi ini tampak sederhana dan global serta lebih mengarah pada maqasid al-shari’ah. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 18-22)

Pembagian Maqasid al-Qur’an Menurut ‘Abd al-Karim Hamidi

Dalam kitabnya, Hamidi membagi maqasid al-Qur’an menjadi 3, yakni maqasid ammah, maqasid khassah, dan maqasid juz’iyyah. Pembahasan dalam maqasid ammah mencakup seputar makna dan hikmah dari keseluruhan Alquran yang terdiri dari al-salahu al-fardi (kemaslahatan individual), al-salahu al-ijtima’iyy (kemaslahatan sosial kemasyarakatan), dan al-silahu al-‘alamiyy (kemaslahatan universal).
Maksud dari al-silahu al-fardi adalah terwujudnya kemaslahatan bagi individu. Adanya kebaikan dunia tergantung pada kebaikan masyarakatnya atau individu didalamnya. Oleh sebab itu, tujuan Alquran untuk mencapai kebaikan individu adalah dengan adanya pemeliharaan terhadap akal, jiwa, dan pemeliharaan terhadap tubuh. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 53-54)
Adapun maksud dari al-silahu al-ijtima’i>yy adalah terwujudnya kebaikan bersama atau masyarakat. Terjadinya interaksi dalam masyarakat memungkinkan terjadinya perselisihan antar sesama. Oleh karena itu, mengatur hubungan ini secara baik merupakan hal yang penting untuk kelangsungan hubungan masyarakat. Untuk itu, Alquran datang dengan syariat yang bertujuan untuk mencapai maslahat. Pada maqasid ini Hamidi membaginya menjadi 3, yakni tujuan perbaikan keluarga, harta, dan sanksi atau hukum. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 253-254)

Baca juga: Mengenal 8 Maqasid Al Quran  Versi Ibnu ‘Asyur
Sedangkan maksud dari al-silahu al-‘alamiyy adalah tercapainya kebaikan universal. Dasar dari pembentukan dunia adalah masyarakat yakni manusia yang ada di dunia itu, apabila masyarakat diperbaiki, maka sudah pasti akan menimbulkan dampak baik pada dunia atau alam semesta. Dalam hal ini, Hamidi membaginya menjadi 2, yakni tujuan memperbaiki syariat dan tujuan memperbaiki politik. (Hamidi, Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam, 511-512)
Selanjutnya untuk pembahasan maqasid khassah, mencakup seputar makna dan hikmah yang berkaitan dengan ditetapkannya syariat, seperti perbaikan akal, jiwa, raga, keluarga, harta, hukuman atau sanksi, politik, dan hukum. Adapun maqasid al-juz’iyyah mencakup makna dan hikmah yang berkaitan dengan hukum yang ditujukan pada orang-orang tertentu dan berhubungan dengan hukum individu, seperti tujuan dari wudhu, tayamum, menghadap kiblat, salat, dan lainnya. (Hamidi, Maqasid al-Qur’n min Tashri’i al-Akam, 47-50)
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam kitab al-Madkhal ila Maqasid al-Qur’an dan Maqasid al-Qur’an min Tashri’i al-Ahkam karya Hamidi menjelaskan bahwa maqasid al-Qur’an adalah tujuan penurunan Alquran untuk tercapainya kemaslahatan manusia. Hamidi membaginya ke dalam 3 bentu, yakni maqasid ammah, khassah, dan juz’iyyah.
Dalam kaitannya dengan maqasid al-shari’ah, Hamidi menyebutkan ada hubungan di antara keduanya. Menurutnya, Alquran memuat banyak asul-usul maqasid dan pelengkapnya, seperti maqasid al-shari’ah ammah, khassah, dan juz’iyyah. Oleh sebab itu, Hamidi dalam mendefinisikan maqasid al-Qur’an mirip dengan konsep maqasid al-shari’ah. Wallahu a’lam[]

Membincang Islam dan Evolusi, “Gak Bahaya Tah?”

0
Islam dan Evolusi
Islam dan Evolusi

Tentang hubungan antara Islam dan evolusi, kita tidak terlalu asing mendengar atau pun membaca beberapa karya yang relevan. Tapi tengok “anak judul” buku itu: Ghazali dan Paradigma Evolusi Modern. Bagi yang akrab dengan sosok dan pemikiran Imam al-Ghazali, tidak mustahil akan bertanya-tanya: “Apa urusan Imam al-Ghazali dengan evolusi?” Shoaib Ahmed Malik, Penulis buku ini, menyadari kemungkinan munculnya pertanyaan seperti itu. Tapi dia bergegas menyatakan: “Penelitian (buku) ini bekerja dengan dasar pemikiran bahwa sejarah intelektual Islam merupakan gudang ilmu yang bisa digunakan untuk menelaah isu-isu terkini.” Jadi, kita ikuti saja bagaimana Shoaib menggunakan teologi Asy’ariyah lewat salah satu tokoh terkemukanya, yakni Imam al-Ghazali, untuk menelaah salah satu isu terkini yaitu evolusi.

Namun, sebelum ke Imam al-Ghazali dengan teologi Asy’ariyah-nya, kita dudukkan dulu beberapa perkara: apa itu teori evolusi, serta bagaimana pola relasi antara Islam dan evolusi yang terekam sebelum buku karya Shoaib ini ada. Saya sendiri, ingatan atau pengetahuan pertama tentang evolusi itu adalah penyataan ini: “Manusia berasal dari kera.” Pernyataan itu ternyata merupakan pandangan populer. Pada perkembangannya, evolusi acap dianggap sama dengan ateisme, naturalisme, marxisme, komunisme, nihilisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, sekularisme, saintisme, dan serupa itu. Sederet isme yang mengiringinya itu, yang belum tentu ada hubungannya, menjadikan evolusi yang merupakan teori saintifik murni kerap dihindari untuk dibahas secara mendalam dan serius.

Baca juga: Hakikat Penciptaan Manusia dalam Surah al-Dzariyat ayat 56

Lalu, apa sebenarnya teori evolusi itu? Evolusi adalah teori biologi yang menyatakan bahwa semua kehidupan saling terhubung melalui bio-historis dan menempatkan kita semua dalam “pohon kehidupan”. Artinya, entitas biologi yang lebih baru merupakan derivasi dari entitas biologi sebelumnya. Mutasi acak dan seleksi alam adalah sebab yang menghasilkan proses evolusi. Dari beragam bukti ilmiah yang sudah ditemukan, evolusi menyatakan bahwa manusia tidak dikecualikan dalam proses ini. Dengan kata lain, manusia tidak tiba-tiba muncul seketika. Manusia ikut mengalir dalam alur dunia biologis lainnya. Teori evolusi antara lain menyatakan bahwa manusia lahir dari proses seleksi alam dan memiliki leluhur yang sama (common ancestor) dengan spesies lain seperti simpanse.
Lantas seperti apa posisi pemikir Muslim terkait teori evolusi? Tercatat ada empat: Pertama, kreasionisme. Ia sepenuhnya menolak teori evolusi. Kata kelompok ini, segala sesuatu, mulai dari makhluk tidak hidup hingga makhluk hidup seperti manusia, diciptakan oleh Tuhan dari ketiadaan. Tokoh Muslim penyokong posisi ini antara lain adalah Sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, Mazaffar Iqbal, dan Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Kedua, eksepsionalisme manusia. Menurut posisi ini, evolusi itu berlaku untuk semua organisme kecuali manusia. Manusia tidak lahir dari proses evolusi, tetapi dari penciptaan Tuhan sebagaimana yang dinarasikan oleh Alquran. Tokoh yang mengajukan pandangan ini antara lain Yasir Qadhi dan Nazir Khan.

Ketiga, eksepsionalisme Adam. Posisi ini menerima teori evolusi dalam porsi yang lebih besar dari posisi sebelumnya. Menurut posisi ini, prinsip-prinsip evolusi seperti leluhur borsama, seleksi alam, dan mutasi genetik juga berlaku untuk manusia, kecuali Adam. Alquran menjelaskan secara gamblang penciptaan Adam sehingga seorang Muslim tidak mungkin mengingkarinya. Namun, di saat yang sama, Alquran tidak momberikan penegasan atau pun penolakan terhadap ide bahwa sudah ada manusia di muka bumi sebelum Adam diturunkan dari surga. David Solomon Jalajel, penyokong pandangan ini, menyebut Alquran memiliki sikap abstain (tawaqquf) terhadap keberadaan manusia sebelum Adam. Sikap abstain Alquran ini memberi ruang bagi teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia memiliki hubungan kekerabatan dengan seluruh organisme yang ada atau pun pernah ada di dunia—yang mendahulai keberadaan Adam.

Keempat, tanpa pengecualian. Posisi ini menerima secara total teori evolusi: ia berlaku untuk semua organisme tanpa kecuali. Organisme non-manusia, manusia, bahkan Adam sendiri adalah bagian dari rangkaian besar proses evolusi. Narasi Alquran tentang penciptaan Adam tidak dapat dipahami secara harfiah, tetapi perlu ditafsir secara metaforis karena bertentangan dengan teori ilmiah yang memiliki bukti empiris. Tokoh Muslim yang mengajukan pandangan ini antara lain Rana Dajani, Mohamad Iqbal, dan Nidhal Guessoum.

Baca juga: Tradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia

Lalu di mana posisi Shoaib? Dia lebih mendukung posisi eksepsionalisme Adam. Bagi Shoaib, posisi ini secara hermeneutika paling dapat dipertanggungjawabkan dalam usaha mendekatkan Islam dengan teori evolusi. Tapi ada yang lebih menarik dari posisi Shoaib terhadap teori evolusi. Yaitu kerangka teologi dan hermeneutika yang dikembangkan oleh Shoaib dalam membangun posisi itu. Ia menggunakan frame (teologi) Asy’ariyah melalui salah satu tokoh utamanya, yakni Imam al-Ghazali. Apa yang di awal dikatakan sebagai pertanyaan bernada kebingungan: “Apa urusan teologi Asy’ariyah dengan teori evolusi?”, justru di saat sama merupakan daya tarik utama buku ini.
Ada beberapa prinsip yang berkaitan dengan evolusi: naturalisme, peluang, inefisiensi, desainer intelegen, kejahatan dan penderitaan, serta moralitas objektif. Maksudnya, teori evolusi “melahirkan” prinsip-prinsip turunan tersebut. Kita ambil satu sebagai contoh, yaitu naturalisme, lalu bagaimana Shoaib menyikapi prinsip tersebut menggunakan teologi Asy’ariyah di tangan al-Ghazali. Kompatibelkah ajaran teologis Asy’ariyah dalam “racikan” Imam al-Ghazali dengan prinsip naturalisme?
Secara ontologis, naturalisme merupakan pandangan bahwa yang nyata hanyalah alam ini sendiri. Tidak ada apa pun di luar alam ini. Secara epistemologis, naturalisme adalah pandangan yang menganggap bahwa segala hal ihwal dapat dijelaskan dengan merujuk pada proses-proses alamiah semata, tidak dibutuhkan satu pun keterlibatan supranatural dalam hal tersebut. Seperti terbaca, naturalisme bertabrakan dengan keyakinan agama apa pun tentang semesta. Jika demikian, bagaimana teologi Asy’ariyah di tangan al-Ghazali bisa sejalan dengan prinsip naturalisme?

Shoaib mendudukkan persoalan ini. Sangat penting, menurut Shoaib, untuk membedakan antara dua tipe naturalisme. Naturalisme filosofis, metafisis, atau ontologis memang berimplikasi pada penolakan terhadap keberadaan entitas supernatural. Naturalisme filosofis menolak keberadaan Sang Pencipta, malaikat, kehidupan setelah kematian, dan seterusnya. Yang ada hanya alam di bumi, alam yang terbatas dimensi ruang dan waktu. Tidak mungkin mencari jawaban lain. Sementara itu, naturalisme metodologis mengatakan bahwa para ilmuwan hanya fokus pada fenomena alam. Mereka tidak berupaya mengaitkannya dengan supernatural. Dalam ungkapan lain, dalam payung naturalisme metodologis, sains secara ketat terbatas pada ranah metodologi saja ketika meneliti tentang alam dan meninggalkan pertanyaan terkait entitas supernatural.

Baca juga: Tafsir Kemanusiaan Syekh Abdul Latif Syakur

Maka itu, naturalisme metodologis adalah sebuah epistemologi atau sebuah posisi metodologis. Sehingga dengannya seseorang bisa percaya Tuhan dan menjadi ilmuwan sekaligus—hal yang tidak bisa terjadi dalam ranah naturalisme filosofis. Dipandang melalui prisma naturalisme metodologis, Tuhan tidak harus dikesampingkan dari alam sehingga memungkinkan penafsiran ramah teistik mengenai evolusi seperti intelligent design atau evolusi teistik. Sampai di sini dapat disimpulkan pula bahwa prinsip naturalisme yang tidak berbenturan dengan teologi Asy’ariyah adalah naturalisme metodologis, bukan naturalisme filosofis.
Lalu bagaimana Shoaib mendamaikan teologi Asy’ariyah lewat tangan Imam al-Ghazali dengan prinsip-prinsip turunan teori evolusi lainnya seperti prinsip peluang, inefisiensi, desainer intelegen, kejahatan dan penderitaan dan moralitas objektif? Silakan dibaca sendiri bukunya.Di sini saya hanya ingin menyebut dua poin: Pertama, seperti telah disebutkan, Shoaib dengan pisau teologis-hermeneutis Asy’ariyah-nya mendukung posisi eksepsionalisme Adam. Artinya, bagi Shoaib, semuanya diciptakan melalui proses evolusi, kecuali Adam (dan Hawa). Sebetulnya, pemikiran metafisis (teologis) Asy’ariyah yang dikembangkan Imam al-Ghazali kompatibel dengan empat posisi terkait evolusi, yaitu: kreasionisme, pengecualian manusia, pengecualian Adam, dan bahkan tanpa pengecualian. Hanya saja secara hermeneutis teologi Asy’ariyah-nya Imam al-Ghazali tidak menerima posisi keempat (tanpa pengecualian). Dari pemetaan secara metafisis dan hermeneutis itu, Shoaib sepemikiran dengan David Solomon Jalajel, yakni mengambil posisi pengecualian Adam. Artinya, khusus untuk Adam berlaku posisi kreasionisme.

Kedua, lalu seperti apa formula yang dikembangkan Shoaib sehingga sampai pada posisi “pengecualian Adam”? Posisi ini, seperti telah disinggung, dibangun lewat mekanisme hermeneutika, sebab secara metafisika (teologis), Asy’ariyah-nya Imam al-Ghazali pun kompatibel dengan posisi “tanpa pengecualian” (semua ‘lahir’ melaui evolusi). Begini formula hermeneutikanya: Posisi ini, sebagaimana telah disinggung di awal, menerima teori evolusi dalam porsi lebih besar dari posisi sebelumnva. Dalam posisi ini, prinsip-prinsip evolusi seperti leluhur bersama, seleksi alam, dan mutasi genetik juga berlaku untuk manusia, kecuali Adam. Kenapa Adam dikecualikan? Karena Alquran menjelaskan secara gamblang penciptaan Adam sehingga seorang Muslim tidak mungkin mengingkarinya. Namun, di saat sama, Alquran tidak memberikan penegasan atau pun penolakan terhadap ide bahwa sudah ada manusia di muka bumi sebelum Adam diturunkan dari surga. Menurut pandangan ini, Alquran tidak memiliki sikap terhadap keberadaan manusia sebelum Adam. Sikap abstain Alquran ini memberi ruang bagi teori evolusi yang menyatakan bahwa manusia memiliki hubungan kekerabatan dengan seluruh organisme yang ada atau pun pernah ada di dunia—yang mendahului keberadaan Adam.
Terakhir. Di luar apresiasi atas usaha mendialogkan atau mengintegrasikan agama dan sains yang dilakukan Shoaib ini, saya sepemikiran dengan Taufiqurrahman, dosen Fakultas Filsafat UGM dan Direktur Antinomi Institute for Science, Philosophy and Religion, dalam “Pengantar Ahli” untuk buku Islam dan Evolusi ini, bahwa sejatinya teori evolusi merupakan teori ilmiah, ia bersifat tentatif. Upaya integrasi agama dan sains bisa berbahaya bagi agama itu sendiri. Jika doktrin agama dipaksa kompatibel dengan teori ilmiah, doktrin agama mau tidak mau harus direvisi jika teori ilmiah itu mengalami perubahan. Jika demikian, membincang Islam dan evolusi, meminjam bahasa orang-orang sekarang yang lagi ngetren, “Apa gak bahaya tah?”

Memahami Koherensi Pesan Alquran

0
Memahami Koherensi Pesan Alquran
Memahami koherensi pesan Alquran.

Salah satu karakter yang dimiliki Alquran adalah koherensi. Setiap narasi di dalam Alquran selalu memiliki hubungan logis dan selaras antarbagiannya. Koherensi di sini lebih dimaksudkan pada aspek isi atau pesan yang hendak disampaikan, bukan aspek bentuk dari sebuah karya sastra. Koherensi ini yang jamak diisyaratkan oleh Gus Baha’ dalam beberapa kali kesempatan pengajiannya.

Salah satu contoh dari koherensi pesan Alquran ini terdapat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 159-160,

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ ما أَنْزَلْنا مِنَ الْبَيِّناتِ وَالْهُدى مِنْ بَعْدِ ما بَيَّنّاهُ لِلنّاسِ فِي الْكِتابِ أُولئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاّعِنُونَ. إِلاَّ الَّذِينَ تابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوّابُ الرَّحِيمُ

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Alquran), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat. Kecuali orang-orang yang telah bertobat, mengadakan perbaikan, dan menjelaskan(-nya). Mereka itulah yang Aku terima tobatnya. Akulah Yang Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.”

Mahal al-syahid dari koherensi Alquran dalam dua ayat ini terletak pada redaksi tabyin (bayyanu) dalam ayat 160 yang menjadi hubungan logis dan keselarasan dari redaksi katm (yaktumuna).

Dalam pengajiannya, Gus Baha’ menjelaskan bahwa seseorang yang hendak bertobat haruslah melakukan kebalikan dari perbuatan buruk yang telah ia lakukan. Dalam dua ayat ini, tobat mereka yang telah menyembunyikan keterangan dan petunjuk dari Allah adalah dengan memberikan penjelasan atas apa yang telah mereka sembunyikan.

Baca juga: Mengenal Macam-Macam Pembagian Munasabah Alquran

Selain dalam konteks hubungan vertikal manusia dengan Tuhannya, koherensi pesan Alquran juga berlaku dalam hubungan horizontal antarsesama umat manusia. Dalam konteks sosial bermasyarakat, koherensi itu muncul dalam rangka menjaga keharmonisan di antara sesama. Di antara ayat Alquran yang berisi pesan tersebut adalah surah An-Nisa’ [4] ayat 114,

لا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ نَجْواهُمْ إِلاّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاحٍ بَيْنَ النّاسِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ اِبْتِغاءَ مَرْضاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً

“Tidak ada kebaikan pada banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali (pada pembicaraan rahasia) orang yang menyuruh bersedekah, (berbuat) kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Siapa yang berbuat demikian karena mencari rida Allah kelak Kami anugerahkan kepadanya pahala yang sangat besar.”

Konteks sosial dalam ayat tersebut dapat dipahami dari kata al-najwa yang secara harfiah berarti pembicaraan rahasia sebagaimana diterjemahkan Qur’an Kemenag. Dalam sebagian bahasa pemaknaan pesantren Jawa, kata najwa diartikan sebagai bebisik atau pembicaraan lirih yang umumnya terjadi antara dua pihak saja.

Baca juga: Mengenal Tafsir Nidzam Alquran karya Hamiduddin Farahi

Namun demikian, Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir-nya menyebutkan bahwa kata najwa dapat dipahami sebagai aktivitas pembicaraan umum, bukan rahasia, seperti dalam majelis bersama. Sehingga kata najwa diartikan dengan makna kata al-tahadduts dan al-kalam.

Penyebutan kata najwa secara eksplisit sendiri disebabkan lekatnya unsur kemaksiatan dan keburukan yang terjadi tatkala berbincang secara sirr atau rahasia. Dan umumnya, najwa adalah perbicangan yang berkaitan dengan sosial kemasyarakatan yang seringkali berisi pembicaraan atas keburukan orang lain.

Nilai keselarasan dan hubungan logis dalam ayat 114 tersebut dapat dilihat dari dua aspek: 1) rangkaian istitsna’ yang menjadi jawaban atas klausul pertama yang disebutkan dalam ayat (ketiadaan kebaikan), dan 2) bagian akhir ayat yang berisi pesan sekaligus konklusi ayat.

Baca juga: Kajian Korelasi ayat Alquran Persepektif Neal Robinson dan Raymond Farrin

Untuk aspek yang pertama, koherensi ayatnya dalam dilihat dari penjelasan berikut, bahwa sebuah perbincangan, entah itu dilakukan secara sirr atau terbuka berjamaah, tidak akan memiliki nilai kebaikan kecuali di dalamnya berisi perintah bersedekah, kebaikan, dan pembicaraan yang mengarah pada perdamaian di antara manusia.

Ketiga perintah ini merupakan alternatif aktivitas sosial yang seharusnya dapat menjadi kontra narasi dari kelaziman najwa. Sedekah dimaksudkan sebagai pengentasan kemiskinan dan peningkatan strata sosial. Perintah kebaikan yang diredaksikan dengan ma‘ruf merujuk pada ‘urf yang berarti adat dan kebiasaan yang dianggap baik dan legal secara syariat. Sedangkan ishlah menjadi counter langsung dari kelaziman najwa.

Jika rangkaian istitsna’ ini hanya untuk menghindarkan dari keharaman, mestinya dapat berisi hal-hal lain, seperti membicarakan urusan bisnis dan pekerjaan. Namun nyatanya tidak demikian.

Baca juga: Penafsiran Strukturalis Semiotik Surah Al-Kahfi: 5 Model Manusia

Sedangkan aspek kedua, koherensi ayat dapat terlihat dari pesan dan konklusi ayat, dimaksudkan sebagai basis landasan teologis yang jika ditelisik lebih jauh juga berkaitan dengan ranah sosial. Bahwa alternatif-alterntaif yang disebutkan sebelumnya sangat mungkin dilakukan dengan niatan yang tidak tulus, melainkan sebatas pencitraan semata yang diharapkan manfaatnya akan kembali kepada pelaku. Tidak demikian.

Alternatif-alternatif tersebut hendaknya dilakukan dengan tetap berlandaskan pada nilai-nilai teologis, yang secara sosial dapat diukur melalui tingkat ketulusan sehingga memperoleh pahala yang sangat besar. Dalam konteks sosial, pahala di sini dapat diartikan sebagai keharmonisan hubungan yang terjalin di antara sesama.

Dari sini dapat dipahami bahwa salah satu karakter pembelajaran Alquran adalah dengan menitikberatkan unsur koherensi, terutama koherensi pesan Alquran. Hal ini yang agaknya menjadi salah satu bentuk i‘jaz lughawiy (mukjizat kebahasaan) dari Alquran karena unsur keselarasan dan keserasian (tanasuq) yang dimiliki. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Surah Al-Anbiya Ayat 107: Misi Nabi Muhammad saw Menebar Rahmat

0
Surah Al-Anbiya Ayat 107
Surah Al-Anbiya Ayat 107

Misi utama ajaran Nabi Muhammad saw adalah menebarkan rahmat bagi alam semesta. Hal ini sebagaimana tercatat dalam Surah Al-Anbiya Ayat 107. Artikel ini akan menguraikan lebih jauh bagaimana kita selaku umat Muslim perlu memahami dan menjalankannya. Terutama pemahaman dalam konteks keberagaman dan iklim pluralitas yang ada di Indonesia.

Dalam Ayat tersebut Allah Swt berfirman:

وما أرْسَلْناكَ إلّا رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”

Ayat ini merupakan bagian Surah Al-Anbiya, Surah yang menurut para ulama keseluruhan ayatnya turun sebelum Nabi Muhammad saw hijrah. Artinya ayat ini termasuk dalam ayat yang turun di Mekah. Sebagai ayat yang turun di Mekah, kita bisa membayangkan lingkungan kota Mekah yang kosmopolit, plural, dan tempat berkumpul bagi beragam suku dan kepercayaan.

Pernyataan bagi seluruh alam dalam ayat ini menjadi sangat penting karena ditujukan tidak hanya bagi orang-orang yang beriman kepada Nabi saw saja, tetapi juga bagi orang-orang yang tidak beriman. Menurut Imam Al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran, meskipun terdapat perdebatan soal apakah hanya bagi orang beriman ataukah juga bagi yang tidak beriman, pendapat yang paling tepat adalah yang mengacu pada riwayat Ibn ‘Abbas: “Bahwasanya Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad saw sebagai rahmat bagi seluruh alam, baik orang beriman maupun yang ingkar.”

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari

Apa yang diungkapkan Imam Al-Thabari di atas juga disepakati oleh para mufasir setelahnya. Al-Qurthubi misalnya dalam al-Jami’ li Ahkam al-Quran juga mengutip riwayat dari Ibn ‘Abbas:

كَانَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحْمَةً لِجَمِيعِ النَّاسِ فَمَنْ آمَنَ بِهِ وَصَدَّقَ بِهِ سَعِدَ، وَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِهِ سَلِمَ مِمَّا لَحِقَ الْأُمَمَ مِنَ الْخَسْفِ وَالْغَرَقِ

“Nabi Muhammad saw adalah rahmat bagi seluruh manusia. Maka siapa yang beriman dan membenarkannya akan selamat dan siapa yang tidak beriman juga akan selamat dari apa yang telah menimpa umat-umat terdahulu yang terbenam dan tenggelam.”

Berbeda dengan penafsiran-penafsiran di atas, para mufasir Indonesia yang telah hidup di abad modern agaknya lebih dekat pemaknaannya dengan kehidupan kita saat ini. Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar dengan tegas menyatakan bahwa ayat ini menjadi bukti bahwa pokok ajaran Islam ialah rahmat bagi kemanusiaan. Menurutnya, Islam mempersamakan hak manusia tanpa melihat kelas sosial dan warna kulit.

Hamka menambahkan bahwa ajaran seperti ini pada abad ke-7 dianggap sangat ganjil, bukan hanya di Mekah tempat ayat ini turun, akan tetapi di seluruh penjuru Dunia. Pada waktu itu, orang-orang sulit untuk menerima.

Ajaran ini, kata Hamka, kemudian diterapkan di abad modern ketika Revolusi Perancis meletus dengan semboyan “Liberté, égalité, fraternité” atau kemerdekaan, kesetaraan, dan persaudaraan. Namun, kata Hamka, menurut orang Perancis semboyan ini tidak berlaku bagi orang non-Perancis, karena mereka masih menjajah negara lain pasca revolusi.

Sedikit berbeda dengan Hamka, Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah lebih menekankan pada sosok Rasulullah saw yang dituju dalam ayat. Shihab mengatakan bahwa Rasulullah saw adalah rahmat, bukan hanya kehadirannya sebagai pembawa ajaran, tetapi sosok dan kepribadiannya itu sendiri merupakan rahmat dan anugerah Allah Swt.

Quraish Shihab menerangkan bahwa sosok Nabi Muhammad saw adalah rahmatun muhdah sebagaimana hadis yang diriwayatkan Thahir al-Maqdasi melalui Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw adalah rahmat yang dihadiahkan oleh Allah Swt kepada seluruh alam.

Ajaran Islam dan Nabi Muhammad saw sebagai panutan bagaikan dua sisi koin, satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Penulis ingin mengelaborasi beberapa hal dari keteladanan Nabi saw dilihat dari kiprah beliau selama masa hidupnya yang patut kita jadikan teladan. Kita bisa memahami lebih dalam maksud dari Surah Al-Anbiya Ayat 107 di atas dengan meneladani kehidupan Nabi saw.

Pertama, Nabi saw sebagai problem solver. Kepribadian Nabi saw yang satu ini bahkan telah dirasakan masyarakat Mekah jauh sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Ketika para kabilah bertikai soal siapa yang berhak meletakkan hajar aswad, Muhammad saw muda hadir untuk menyelesaikan masalah itu. Ia membentangkan surbannya dan mempersilahkan para kepala suku untuk memegang sisi-sisi surban hingga semuanya mengangkat hajar aswad. Bukan hanya masalahnya selesai, akan tetapi semua orang merasa senang dengan keputusan beliau.

Kedua, Nabi saw adalah pejuang kemanusiaan dan keadilan. Segera setelah diangkat menjadi Rasul, Muhammad saw membela orang-orang lemah dan menentang ketidakadilan yang ada di kota Mekah. Ajaran tauhid yang dibawanya meniscayakan kesetaraan manusia di hadapan Allah Swt, tidak memandang ras, warna kulit, dan kelas sosial.

Baca Juga: Tiga Sarana Utama Untuk Mendapatkan Rahmat Allah SWT

Ketiga, Rasulullah saw merupakan juru damai. Ketika Nabi saw hijrah ke Madinah, Ia berhasil mendamaikan konflik berkepanjangan antara suku Aus dan Khazraj. Bahkan beliau berhasil melahirkan piagam madinah yang menghimpun orang-orang dengan latar belakang berbeda untuk hidup berdampingan di Madinah.

Demikianlah uraian singkat mengenai Surah Al-Anbiya Ayat 107 tentang Islam sebagai rahmat bagi semesta. Wallahu A’lam.

Perpecahan dan Kemunduran Bani Israil: Presistensi Ilmuwan yang Tendensius

0
Bani Israil dan Ujian Kenikmatan yang Melalaikan
Ilustrasi Bani Israil

Kebanyakan orang mungkin meyakini bahwa perbaikan pendidikan dan keilmuan akan berimbas pada kemajuan peradaban. Adapun faktanya tidak selalu demikian. Pesatnya keilmuan justru dapat menuntun pada dekadensi moral jika para ilmuwannya presistens untuk mendapatkan keuntungan semata. Hal ini dibuktikan dengan sejarah Bani Israil yang disebutkan dalam Alquran.

Dahulu pada masanya, Bani Israil pernah menjadi umat paling unggul. Alquran menyebut hal tersebut saat mereka diberi kitab suci, kebijaksanaan, dan kenabian, di samping anugerah akan materi yang baik. Namun, hal tersebut tidak bertahan lama ketika muncul ‘serangan’ dari para ilmuwan yang memiliki tendensi meraup keuntungan untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Dalam surah Aljatsiyah [45]:16 disebutkan.

 وَلَقَدْ آتَيْنا بَنِي إِسْرائِيلَ الْكِتابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ وَرَزَقْناهُمْ مِنَ الطَّيِّباتِ وَفَضَّلْناهُمْ عَلَى الْعالَمِينَ

Dan sungguh kami telah memberikan kepada Bani Israil Kitab suci, kebijaksanaan, kenabian, rezeki dari berbagai kebaikan, dan kami unggulkan mereka atas seluruh manusia.

Baca Juga: Kitab Taurat dalam Alquran: Diturunkan kepada Nabi Musa dan Dipisahkan darinya

Pada artikel sebelumnya telah disebutkan mengenai keterangan akan sifat kitab suci yang  meniscayakan adanya implementasi. Konteks ayat ini menyebutkan bahwa Bani Israil pada masanya pernah menjalankan kandungan kitab yang turun kepada Nabi Musa as dengan baik. Oleh karenanya, pada ayat ini kata Taurat tidak disebutkan, kecuali hanya sifatnya yakni al-kitab. Pada masa tersebut pula, diturunkan bagi mereka berbagai keberkahan, bahkan dalam bentuk keutamaan yang melebihi umat lain.

Al-Razi menyebut bahwa saat diberikan kepada mereka kenikmatan agama dan dunia, maka disebutkan akan keunggulan mereka atas seluruh manusia, dengan derajat dan posisi yang melebihi umat lain pada zamannya. Al-Razi menegaskan bahwa para mufasir memaknai kalimat terkahir pada ayat ini dengan keutamaan mereka atas seluruh bangsa yakni pada masa itu.

Penegasan al-Razi tersebut penting, karena pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa kaum Bani Israil mengalami perpecahan dan perselisihan justru setelah datangnya ilmu kepada mereka. Dalam surah Aljatsiyah [45]: 17 disebutkan;

وَآتَيْناهُمْ بَيِّناتٍ مِنَ الْأَمْرِ فَمَا اخْتَلَفُوا إِلَاّ مِنْ بَعْدِ مَا جاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ إِنَّ رَبَّكَ يَقْضِي بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ فِيما كانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

Dan kami berikan kepada mereka penjelasan tentang perkara (agama) maka tidaklah mereka berselisih melainkan setelah datang ilmu kepada mereka karena kebencian di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan pada hari kiamat.

Terdapat tiga opsi pemaknaan terkait redaksi bayyinat min al-amri pada ayat di atas menurut al-Razi. Pertama, yakni petunjuk akan perkara duniawi. Kedua, yakni penjelasan terkait Nabi Muhammad saw yang hijrah dari Makkah menuju Madinah. Ketiga adalah mukjizat Nabi Musa as.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Pasca Kehancuran Firaun dan Bala Tentaranya dalam Al-Quran

Adapun terkait redaksi, mereka berselisih ketika ilmu telah datang kepada mereka, menurut al-Razi adalah satu hal yang mengherankan. Hal ini karena menurutnya pencapaian akan ilmu akan menghilangkan perbedaan, sementara pada konteks mereka tersebut justru datangnya ilmu mendatangkan perpecahan.

Masalah tersebut dapat terjadi, menurut al-Razi, karena mereka mencari ilmu bukan karena ilmu itu sendiri. Pencarian mereka akan ilmu dimaksudkan untuk mencari kekuasaan dan dominasi. Sehingga, dalam konteks ayat ini ketika mereka telah berilmu maka mereka melawan. Dapat juga, ilmu di ayat ini dimaknai sebagai pentunjuk, yang jika dipikirkan akan mengantarkan pada hakikat kebenaran. Akan tetapi, dalam konteks hasad dan pertentangan maka mereka berselisih sehingga perseteruan pun muncul.

Keterangan terkait perseteruan mereka juga tercatat dalam surah Ali’imran [3]: 19. “Dan tidaklah para ahli kitab berselisih kecuali setelah datang ilmu kepada mereka”. Ibn Asyur menyebutkan bahwa perpecahan Bani Israil bersamaan dengan berkembangnya keilmuan. Hal ini dapat terjadi menurut beliau karena buruknya pemahaman agama mereka.

Perpecahan Bani Israil sepeninggal Nabi Musa as terjadi tidak hanya sekali. Setelah Nabi Sulaiman as perpecahan mereka mengerucut pada dua kerajaan besar yakni kerajaan Israil dan Yahuda. Kerajaan Israil menjalankan agama yang berbeda dengan agama kerajaan Yahuda, demikian dikatakan Ibn Asyur, sementara keduanya berasal dari sumber yang sama.

Konteks tentang dekandensi Bani Israil di tengah tingginya tingkat keilmuan mereka akan semakin kita pahami dengan merujuk surah Albaqarah [2]: 75.

أَفَتَطْمَعُونَ أَنْ يُؤْمِنُوا لَكُمْ وَقَدْ كانَ فَرِيقٌ مِنْهُمْ يَسْمَعُونَ كَلامَ اللَّهِ ثُمَّ يُحَرِّفُونَهُ مِنْ بَعْدِ ما عَقَلُوهُ وَهُمْ يَعْلَمُونَ

Apakah kalian menginginkan mereka percaya kepada kalian sementara sungguh sebagian dari mereka mendengarkan kalam Allah kemudian mereka mengubahnya setelah memahaminya dan mereka mengetahui.

Melalui ayat di atas, dapat diketahui siapakah yang menjadi penyebab kemunduran Bani Israil. Ibn Asyur menyebutkan bahwa maksud dari mendengarkan kalam Allah pada ayat di atas adalah mendengar firman-Nya melalui Rasul, bagi mereka yang berada pada zaman Nabi Musa as. Adapun bagi mereka yang datang setelahnya maka pendengaran didapatkan dengan cara menukil. Oleh karenanya, golongan ini menurut Ibn Asyur  adalah dari kalangan ulama mereka, bukan dari kalangan umum.

Adapun tahrif menurut Ibn Asyur yakni menyimpangkan wahyu atau syariah dari tujuannya melalui penggantian, penyembunyian, penghapusan, dan juga penafsiran yang jauh. Hal yang hanya dapat dilakukan oleh kalangan terdidik yang familiar dengan narasi sosial dan politik praktis.

Baca Juga: Kisah Bani Israil Dalam Al-Quran dan Hidangan Dari Langit

Pendapat Ibn Asyur bahwa yang melakukan tahrif adalah kalangan ulama mereka sama dengan yang dikatakan oleh al-Razi. Menurut beliau, hal ini karena mereka mengetahui kebenaran kitab dan kerusakan pendapat tersebut, namun tetap menyengaja untuk menghancurkan tujuan yang telah dijelaskan oleh Allah. Pendapat Al-Razi dikuatkan dengan surat Ali’imran [3]: 187, ‘dan mereka menjualnya (ayat-ayat suci) dengan harga yang murah’.

Terkait redaksi setelah memahaminya dan mereka mengetahui hal ini bukanlah pengulangan yang tanpa faedah menurut al-Razi. Mengutip al-Qaffal, setelah dipahami maksud dari kalam Allah selanjutnya, mereka akan menarasikan tafsir yang rusak meskipun diketahui bahwa itu bukanlah maksud dari kalam Allah. Pengetahuan akan rusaknya narasi tersebut dan risiko akan menanggung dosa dan siksa dari Allah tidak membuat mereka berhenti untuk melakukan tahrif karena kerasnya hati yang dimiliki.

Demikian tingginya pengetahuan justru dapat mengantarkan pada kemunduran dan perpecahan, jika tidak diiringi dengan kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab untuk menegakkan narasi kebenaran. Kesakralan kitab suci dapat memudar di tangan oknum yang mencari keuntungan untuk diri dan golongannya saja.

Wallahu a’lam

Tafsir Al-Muin, Tafsir Berbahasa Bugis Prakarsa Abdul Muin Yusuf

0
Tafsir Al-Muin karya Abdul Muin Yusuf

Tafsir Al-Muin merupakan sebuah karya monumental yang selesai ditulis lengkap dan sempurna tiga puluh juz yang diprakarsai Abdul Muin Yusuf. Kitab tafsir ini merupakan generasi kedua yang sebelumnya telah dipelopori oleh AG. Daud Ismail dengan kitab tafsirnya al-Munir.

Abdul Muin Yusuf yang akrab dipanggil Kali Sidenreng, merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Islam, khususnya Sulawesi selatan. Beliau adalah seorang mufasir, faqih, da’i, dan aktivis. Kiprahnya dalam perkembangan khazanah tafsir ikut berkontribusi menambah daftar literatur kitab tafsir di Nusantara.

Baca Juga: Mengenal AG.H. Daud Ismail: Mufasir Bugis dengan Kitab Tafsir Pertama Lengkap 30 Juz

Biografi dan Jejak Intelektual Abdul Muin Yusuf

Nama lengkap beliau adalah Abdul Muin Yusuf, juga akrab disapa dengan Pung Tommeng, namun lebih masyhur dengan Kali Sidenrang (Sebuah gelar yang diberikan oleh raja kepada tokoh yang mampu memberikan pandangan keagamaan kepada masyarakat). Beliau dilahirkan di Rappang, Sidrap, Sulawesi Selatan 21 Mei 1920. Ayahnya Bernama Muhammad Yusuf dan Ibunya Bernama Siti Khadijah.

Muhsin Mahfudz dalam tulisannya memaparkan bahwa ketika Muin Yusuf kecil beranjak usia 10 tahun, mulailah dia memperoleh Pendidikan dasar di Insladsche school dan di Madrasah Ainur Rafie di bawah pimpinan Syekh Ali Mathar. (Mahfudz, 2010, p. 36)

Beliau juga sempat mengenyam Pendidikan di Madrasah Arabiyah Islamiyah di bawah asuhan AG. Muhammad As’ad (seorang tokoh sentral induk jaringan inteketual) di Sulawesi Selatan saat itu. Kemudian, beliau melanjutkan studi ke Normal Islam Majene, Sulawesi Barat, kemudian pindah ke Pinrang mengikuti perpindahan Normal Islam menjadi Muallimat Ulya sampai menyelesaikan studinya.

Setelah mengalami liku-liku dalam pengembaraan keilmuan, dia kembali ke kampung halamannya membina Sekolah Ibtidaiyah. Dalam usia yang relatif muda (sekitar 22 tahun), dia sudah diserahi amanah sebagai qadhi atau kali. Namun tidak berlangsung lama, Muin Yusuf memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai qadhi karena ingin berangkat ke Tanah Suci. Saat disana dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk menuntut ilmu di Darul Falah Mekah. Berselang dua tahun kemudian, dia merampungkan studinya pada jurusan perbandingan mazhab dan kembali ke Tanah Air.

Melihat semangatnya untuk menimba ilmu yang tak pernah berhenti dengan kondisi yang tidak dapat dikatakan mudah saat itu, telah menunjukkah langkah yang dinamis dan responsif terhadap tuntutan zaman. Baik sebagai qadhi dan membina pendidikan, beliau juga terlibat dalam organisasi yaitu Nahdlatul Ulama (NU), dan beliaulah tokoh yang membuka NU di Sidrap tahun 1946. Bahkan, beliau sempat mewakili NU duduk sebagai anggota DPRD selama dua periode pasca terbentuknya Kabupaten Sidrap. (Bazith, 2020, p. 19)

Semasa hidupnya, Anregurutta Kali Sidenreng dikenal sebagai sosok ulama yang ramah dan sangat sederhana. Kesehariannya hanya dipenuhi dengan pengabdian kepada bangsa dan agama. Abdul Muin Yusuf menghembuskan nafas terakhirnya di Rappang, Sulawesi Selatan pada 23 Juni 2004.

Baca Juga: Muhammad As’ad Al-Bugisy dan Jaringan Penafsir Keturunan Bugis

Latar Belakang Penulisan Tafsir al-Muin: Kitab Tafsir 30 Juz Berbahasa Bugis

Kala itu, Anregurutta (sebutan untuk orang yang telah mempunyai kapasitas keilmuan yang luas) Abdul Muin Yusuf menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan. Hal itu terjadi atas kesadarannya sebagai seorang ulama semestinya mampu mengemban amanat untuk menjelaskan dan menyebarkan makna yang terkandung dalam Alquran.

Alquran yang diturunkan dengan berbahasa Arab tentunya tidak mudah dipahami masyarakat awam yang asing dengan bahasa Arab.  Maka beliau berusaha mengartikulasikan dengan memvernakulasi Alquran ke bahasa Bugis sebagai usaha untuk memudahkan masyarakat memahami makna-makna yang tersirat dalam Alquran.

Akhmad Bazith dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam penyusunan Tafsir, Anregurutta termotivasi dari Q.S al-Hajj [22]: 40. Sebagaimana yang tersebut dalam pengantar tafsir tersebut.

وَلَيَنْصُرَنَّ اللّٰهُ مَنْ يَّنْصُرُهٗۗ اِنَّ اللّٰهَ لَقَوِيٌّ عَزِيْزٌ

Sungguh, Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Ayat inilah sebagai pendorong dirinya untuk melakukan kegiatan penafsiran. Ayat ini dijadikan dasar ideologi untuk melakukan pekerjaan yang sulit, yaitu kegiatan tafsir al-Qur’an (Bazith, 2020, p. 22). Disebutkan juga dalam pendahuluannya, Anregurutta mengungkapkan bahwa bagaimanapun susah dan sulitnya (Tafsir Bahasa Bugis), kita tidak boleh menghindarinya karena itu merupakan perintah Allah Swt. kepada Nabi untuk menjelaskan dan menyebarkan kandungan Alquran yang berbahasa Arab itu, sementara masyarakat muslim Bugis tidak memahaminya jika tidak ditafsirkan ke dalam Bahasa Bugis.

Akhirnya, dibentuklah tim penulis yang melibatkan beberapa ulama di Sulawesi Selatan dalam penyusunan kitab tafsir tersebut. Namun, dalam perjalannya tim ini kurang produktif, sehingga untuk penulisan selanjutnya, Anregurutta sendiri yang meneruskan dan merampungkannya.

Baca Juga: Mengenal Vernakularisasi Tafsir Al-Quran di Bugis

Peralihan Nama Kitab

Kitab Tafsir Al-Muin ini sebelumnya berjudul Tafsere Akorang Mabbahasa Ogi. Karena Sejatinya, kitab Tafesere Akorang Mabbasa Ogi ini merupakan proyek MUI Sulawesi Selatan pada masa kepemimpinan Abdul Muin Yusuf dengan beranggotakan lima tim khusus lainnya yakni Ma’mur Ali, Hamzah Manguluang, Muhammad Junaid Sulaiman, Andi Syamsul Bahri, dan Mukhtar Badawi. (Maulina, n.d., p. 79)

Menurut lacakan Mursalim melalui wawancara dengan Sekretaris MUI Sulawesi Selatan pada saat itu, yakni Rusly Wolman, menyatakan bahwa tafsir ini mulanya disusun oleh tim yang ditunjuk oleh MUI Sulawesi Selatan, akan tetapi dalam tidak berjalan secara efektif sehingga tim khusus tersebut hanya dapat merampungkan sampai dua jilid pertama saja. Jilid selanjutnya dilanjutkan oleh Abdul Muin Yusuf hingga rampung. (Mursalim, 2014, p. 59).

Akibat dari itu, terjadi peralihan mana dan beberapa perubahan yang lain. Di antaranya adalah hampir seluruh penulisan tafsir ditulis oleh Anregurutta Muin Yusuf, sehingga  tim penulis yang lain tidak merasa keberatan atau pun mengajukan protes atas perubahan nama kitab tersebut. Mereka yakin bahwa pemberian nama tersebut layak diberikan kepada Anregurutta Abdul Muin Yusuf mengingat perjuangan beliau yang paling mendominasi dalam penyusunan tafsir tersebut.

Baca Juga: Empat Kitab Tafsir dalam Tradisi Geneologis Pesantren As’adiyah di Sulawesi Selatan

Karakteristik Tafsir

Kitab tafsir ini dari segi sistematikanya, tergolong dalam kategori mushafi, yaitu sesuai dengan urutan surah dan ayat yang ada dalam mushaf Alquran. Yang penafsirannya dimulai dari dari surah Alfatihah, hingga surah Annas. Ditinjau dari segi tata letaknya, tafsir ini ditulis dengan cara mengelompokkan ayat-ayat yang sesuai dengan tema-tema yang dibicarakan dalam ayat tersebut, kemudian diterjemahkan dalam bahasa Bugis dan selanjutnya ditafsirkan.

Kemudian terkait sumber penafsiran Abdul Muin Yusuf mengakui bahwa penyusunan Tafsir Berbahasa Bugis ini mengambil referensi dari 10 kitab Tafsir. Empat kitab tafsir sebagai referensi primer di antaranya Tafsir al-Maraghi, Tafsir al-Qasimi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim dan Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, sementara enam kitab tafsir sebagai referensi sekunder, yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Tafsir al-Jami li Ahkam al-Qur’an, Al-Tafsir al-Wadhih, Shafwat al-Tafasir, Al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir al-Ma’tsur, dan Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim. (Mahfudz, 2010, p. 38)

Adapun dalam aspek metoodologis, para peneliti silang pendapat dalam menentukannya, menurut hasil kerja penelitian Abd Kadir M, menyatakan bahwa tafsir ini adalah metode gabungan antara tahlili dan ijmali. Berbeda dengan hasil penelitian Muhammad Yusuf, yang menyimpulkan bahwa tafsir ini memakai metode ijmali. Karena beliau menilai dari sistematika dan bentuk penyajiannya, tidak dapat dikatakan tafsir yang menerapkan metode tahlili, sebab tidak mengkaji ayat-ayat dari segi dan maknanya, ayat demi ayat, surah demi surah sesuai dengan sistematika atau urutan dalam mushaf ‘Usmani. Menurutnya, jika dilihat dari segi sistematika penyajiannya, tafsir ini memang cukup runtut, tetapi hanya pada urutan ayat bukan pada teknik keluasan analisisnya. Wallah a’lam