Beranda blog Halaman 65

Polemik Batas Usia Perkawinan Anak (Bagian 1)

0
Polemik Batas Usia Perkawinan Anak
Polemik Batas Usia Perkawinan Anak

Polemik ‘nikah muda’ kembali menguat pasca diselenggarakannya Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024. Pasalnya, dalam acara yang digelar di JCC, Selasa, 16 Mei 2023 tersebut, KH. Ma’ruf Amin menghimbau kepada generasi muda untuk tidak menunda perkawinan. Hal ini disampaikan menyusul tren angka kelahiran yang cenderung menurun.

Himbauan tersebut lantas direspon ‘negatif’ oleh narasinewsroom dengan menyajikan data Komnas Perempuan yang menyebutkan bahwa hingga tahun 2021 jumlah dispensasi nikah anak telah mencapai 59.709 kasus dengan 80% penyebabnya adalah hamil di luar nikah. Selain itu, merujuk data Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, perkawinan anak di Indonesia menempati peringkat 2 di ASEAN dan peringkat 8 di dunia.

Usia perkawinan memang menjadi masalah yang cukup serius. Tingginya angka perceraian dan rendahnya kualitas generasi yang dilahirkan merupakan sedikit dari dampak negatif yang diakibatkan. Kurangnya kesiapan psikologis, sosial, dan finansial disinyalir menjadi penyebab utamanya. Tak pelak, penentuan usia menjadi salah satu faktor penting yang harus diselesaikan.

Baca Juga: Pemikiran Musdah Mulia tentang Pernikahan Anak

Alquran tidak memberikan ketentuan secara eksplisit terkait dengan usia perkawinan. Selain itu, fikih munakahat, dalam hal ini, juga tidak menjadikan usia sebagai syarat utama bagi calon pengantin (catin) laki-laki maupun perempuan. Tidak ada satu pun klausul yang menyingung masalah usia. Fikih hanya mensyaratkan ketiadaan hubungan mahram dan paksaan, kejelasan sosok (ta‘yin) dan status baik laki-laki maupun perempuan, dan beberapa syarat lain.

Namun demikian, menarik, karena dalam Surah An-Nisa’ [4] ayat 6, diksi nikah (al-nikah) justru dijadikan standar waktu penentu bagi seseorang (anak-anak yatim) telah dianggap mampu mengatur hartanya sendiri.

وَابْتَلُوا الْيَتٰمٰى حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَۚ فَاِنْ اٰنَسْتُمْ مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوْٓا اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ ۚ وَلَا تَأْكُلُوْهَآ اِسْرَافًا وَّبِدَارًا اَنْ يَّكْبَرُوْا ۗ وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۚ وَمَنْ كَانَ فَقِيْرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوْفِ ۗ فَاِذَا دَفَعْتُمْ اِلَيْهِمْ اَمْوَالَهُمْ فَاَشْهِدُوْا عَلَيْهِمْ ۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ حَسِيْبًا

“Ujilah anak-anak yatim itu (dalam hal mengatur harta) sampai ketika mereka cukup umur untuk menikah. Lalu, jika menurut penilaianmu, mereka telah pandai (mengatur harta), serahkanlah kepada mereka hartanya. Janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menghabiskannya) sebelum mereka dewasa. Siapa saja (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan siapa saja yang fakir, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang baik. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Cukuplah Allah sebagai pengawas.” (QS. An-Nisa’ [4]: 6)

Qur’an Kemenag sendiri pada ayat ini memberikan terjemah dengan umur untuk menikah, yang menunjukkan batasan usia tertentu untuk menikah. Pertanyaannya, berapakah usia menikah tersebut, jika dalam hal ini dikaitkan kemampuan mengelola harta?

Wahbah al-Zuhailiy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-nikah ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau sempurnanya usia 15 tahun. Penjelasan ini beliau nukil dari Imam Al-Syafi’i dan Ahmad. Selain itu, dalam tafsirnya terhadap Surah Al-An‘am [6] ayat 152, ia juga memberikan kriteria lain atas usia nikah, yakni kemampuan dan kecakapan fisik dan mental (quwwah al-badan) serta  pengetahuan (quwwah al-ma‘rifah).

وَقَدْ فُسِّرَ بُلُوْغُ الْأَشَدِّ أي القُوَّةَ وَهِيَ قُوَّةُ الْبَدَنِ وَالْمَعْرِفَةُ بِاَيَةٍ أُخْرَى فِيْ سُوْرَةِ النِّسَاءِ وَهِيَ وَابْتَلُوا الْيَتامى حَتّى إِذا بَلَغُوا النِّكاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْداً فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوالَهُمْ. فَجُمِعَ بَيْنَ قُوَّةِ الْبَدَنِ وَهُوَ بُلُوْغُ النِّكَاحِ، وَبَيْنَ قُوَّةِ الْمَعْرِفَةِ وَهُوَ إِيْنَاسُ الرُّشْدِ.

“Frasa bulugh al-asyadd ditafsirkan dengan quwwah (kemampuan dan kecakapan), yakni kecakapan badan dan pengetahuan, dengan ayat yang lain (Surah An-Nisa’ [4]:6). Sehingga antara kecakapan badan yang menjadi arti sampainya usia nikah dengan kecakapan pengetahuan yang menjadi arti dari kepandaian.”

Menurutnya, dua kriteria ini merupakan kombinasi dari bulugh al-nikah dan inas al-rusyd sebagaimana disebutkan dalam Surah An-Nisa’ [4] ayat 6 di atas.

Unsur usia yang dinukil Al-Zuhailiy dari Al-Syafi’i dan Ahmad ini yang agaknya menjadi penjelas bagi usia perkawinan, yang dalam kajian normatif fikih lazim disebut dengan baligh, yakni mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan atau sempurnanya usia 15 tahun bagi keduanya. Padahal sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fikih munakahat tidak menyebut usia ini sebagai prasyarat pernikahan.

Baca Juga: Telaah Dalil Poligami: Poligami Boleh Saja, Tapi Afdhal-nya Tetap Monogami

Sementara itu, Nimatul Maula dalam tulisannya berjudul Telaah Q.S. Annisa: 6 tentang Usia Minimal Pernikahan menyebutkan bahwa mimpi basah dan menstruasi ‘hanyalah’ tanda bahwa baik laki-laki maupun perempuan telah memiliki kesiapan kemampuan reproduksi. Dan reproduksi ini lah yang menjadi salah satu tujuan dilangsungkannya pernikahan, pemenuhan kebutuhan biologis dan memperoleh keturunan.

Namun apakah kemampuan reproduksi tersebut menjadi faktor yang menentukan batas usia pernikahan, mengingat dalam fikih munakahat juga ditemukan kasus nikah bagi shabiy atau thifl (anak kecil)? Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Doa Nabi Isa a.s. dalam Alquran

0
Doa Nabi Isa dalam Alquran
Doa Nabi Isa dalam Alquran

Ketika Alquran mengisahkan tentang Nabi Isa a.s., ada bagian dalam kisah tersebut yang menyebutkan redaksi doa yang diucapkan oleh Nabi Isa a.s. Bagian ini ada dalam rangkaian kisah Nabi Isa di surah Al-Maidah ayat 112 hingga 118. Dalam tujuh ayat itu, spesifik lafad doa Nabi Isa terdapat di ayat ke 114.

Tujuh ayat tersebut mengisahkan tentang perkataan pengikut Nabi Isa yang menanyakan kesediaan Allah untuk menurunkan hidangan dari langit agar mereka bisa menikmatinya dan memantapkan keimanannya. Menanggapi permintaan kaumnya, Nabi Isa menasihati mereka untuk senantiasa bertakwa dan tidak meminta sesuatu yang ‘aneh’.

Ketika itu, Nabi Isa a.s. berdoa,

قَالَ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ

Isa putra Maryam berdoa, “Ya Allah Tuhan kami, turunkanlah kepada kami hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami, yaitu bagi orang-orang yang sekarang bersama kami maupun yang datang setelah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan-Mu. Berilah kami rezeki. Engkaulah sebaik-baik pemberi rezeki.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 114)

Baca Juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

Para mufasir memberi penekanan yang berbeda-beda mengenai doa ini. Al-Tabari misalnya, ketika menafsirkan ayat doa Nabi Isa ini, beliau lebih menitikberatkan pada bahasan tentang jenis makanan yang diturunkan dari langit dan sedikit menyinggung tentang ‘id (hari raya) yang disinggung dalam ayat. Banyak riwayat tentang jenis makanan yang dikutip oleh mufasir klasik tersebut. Makanan yang diturunkan itu antara lain berupa daging, roti, buah-buahan dan lainnya.

Hampir sama dengan seniornya, Al-Qurtubi juga juga menyinggung tentang jenis makanan yang dimaksud dalam ayat ketika menafsirkan doa Nabi Isa tersebut, meskipun demikian, bahasan tentang ‘id (hari raya) dalam penafsiran Al-Qurtubi mempunyai porsi yang lebih banyak. Dalam penafsirannya, dijelaskan bahwa ‘id itu menunjukkan waktu makanan tersebut diturunkan, yaitu pada hari ahad pagi dan siang. Selain hari ahad, Al-Qurtubi juga mengutip pendapat yang mengatakan bahwa ‘id yang dimaksud dalam ayat ini adalah idul fitri dan idul adha, karena dua momen ini adalah dua waktu yang biasa dirayakan oleh orang-orang di rumah.

Sementara itu, penekanan penafsiran yang berbeda ditunjukkan oleh Syekh Nawawi al-Bantani dalam tafsirnya, Marah Labid. Mufasir asal Indonesia ini memahami ayat doa Nabi Isa itu setidaknya mengandung tiga informasi. Pertama, gambaran sikap pengikut Nabi Isa yang ‘tidak wajar’ dan ‘lancang’. Kedua, ayat tersebut memuat informasi tentang salah satu mu’jizat Nabi Isa. Ketiga, keadaan Nabi Isa ketika berdoa

Beliau menarasikan bahwa ketika Nabi Isa menganggap bahwa permintaan pengikutnya itu bertujuan baik, yakni agar mereka lebih mantap keimanannya, kemudian Nabi Isa berdiri, bersuci dan alat dua rakaat, setelah itu beliau menundukkan kepala dan pandangannya seraya melafalkan doa tersebut. Tidak lama setelah itu, turunlah berbagai macam makanan kepada beliau yang disaksikan oleh para pengikutnya. Diceritakan bahwa sepanjang makanan dari lagit itu turun, Nabi Isa terus berdoa (dengan doa lain), berwudu, salat dan menangis. Penafsiran lengkapnya bisa langsung dibaca di Tafsir Marah Labid.

Baca Juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Mufasir lain yang juga memahami keadaan Nabi Isa ketika berdoa adalah M. Quraish Shihab, namun beliau menjadikan redaksi ayat sebagai pertimbangan analisanya. Menurut penulis Tafsir Al-Misbah ini, redaksi ayat doa Nabi Isa menunjukkan empat hal penting.

Pertama, terbaca dari redaksi awal doa, allahumma rabbana (menggabungkan dua bentuk ungkapan permohonan yang tidak pernah terbaca dalam redaksi doa Nabi-Nabi yang lain). Ini menunjukkan betapa Nabi Isa ingin meluruskan redaksi permintaan pengikutnya yang terkesan ‘lancang’. Di saat yang sama, ungkapan awal doa Nabi Isa ini menunjukkan ekspresi pengagungan terhadap Allah, Zat yang diminta serta merendahkan dirinya sebagai peminta.

Kedua, Nabi Isa memulai doanya dengan menyebut tujuan-tujuan keagamaan dan spiritual, baru kemudian menyebut hal-hal yang bersifat materi, yakni makanan dan hal yang lebih umum dan lebih sopan, yakni rezeki. Ketiga, tidak berhenti di penyebutan rezeki, tetapi melanjutkan dengan mengingat dan memuji Allah sebagai pemberi rezeki yang terbaik.

Keempat, dari redaksi ayat doa itu, terbaca bahwa Nabi Isa tidak hanya menyebut pengikutnya, tapi juga menyebut kebaikan bagi umat terdahulu dan umat yang akan datang, agar permohonannya menjadi kebaikan yang terus berkesinambungan, serta kiranya dapat menjadi bukti kebenaran dan kuasaNya.

Baca Juga: Inilah Empat Makna Doa Nabi Ibrahim Kepada Allah SWT

Penekanan penafsiran yang beragam dari beberapa mufasir tersebut bisa dimaklumi, karena mereka memahaminya dari sisi yang berbeda. Al-Tabari dan Al-Qurtubi membaca ayat 114 surah Al-Maidah itu sebagai ayat yang menginformasikan suatu tradisi yang terjadi pada masa Nabi Isa dan kaumnya. Demikian juga dengan penafsiran Al-Bantani, meski di dalam penafsirannya juga didapati penjelasan tentang kondisi dan keadaan Nabi Isa lebih detail.

Sementara itu, M. Quraish Shihab dalam bukunya, Doa dalam Al-Quran dan Sunnah memahami ayat ini lebih cenderung sebagai tuntunan dan adab ketika berdoa sesuai dengan gaya redaksi ayatnya. Namun hal ini belum tentu sama dengan penjelasannya dalam Tafsir Al-Misbah.

Terlepas dari beragam penafsiran, satu hal yang secara tidak langsung disuratkan oleh beberapa mufasir adalah ayat-ayat doa dalam Alquran, terutama ayat-ayat doa para Nabi tidak hanya menginformasikan tentang materi permohonan mereka saja, tetapi lebih luas dan filosofis lagi, yaitu mengandung informasi tentang ajaran para Nabi, interaksi seorang Nabi dengan kaumnya, dan tentu adab dan tuntunan cara berdoa. Wallahu a’lam.

Sejarah Kalimat ‘Hasbalah’: Peneguh Semangat Orang Islam

0
sejarah kalimat hasbalah
sejarah kalimat hasbalah

Dalam tradisi Islam, ada satu ungkapan zikir yang dikenal dengan istilah kalimat hasbalah. Bunyi lengkap kalimat tersebut yaitu hasbunallah wa ni’ma al-wakil. Jika ditelusuri asal kalimat ini dalam Alquran, kita bisa menemukannya dalam surah Ali Imran ayat 173. Artikel ini mengulas bagaimana sejarah kalimat hasbalah melalui ayat tersebut dan keterangan para mufasir.

الَّذِينَ قالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزادَهُمْ إِيماناً وَقالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ ‌وَنِعْمَ ‌الْوَكِيلُ

“Orang-orang yang berkata kepada mereka manusia bahwa sesungguhnya segolongan orang (Quraisy)  telah mengumpulkan pasukan untuk kalian oleh karenanya takutlah kepada mereka, maka bertambahlah iman mereka dan mereka katakan cukuplah Allah bagi kami dan Dialah al-Wakil yang terbaik.” (Q.S. Ali Imran [3]: 173)

Baca Juga: Kalimat Thayyibah itu Menebarkan Energi Positif, Tafsir Surat Ibrahim Ayat 24-26

Al-Tabari menyebut bahwa terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli takwil terkait kapan kalimat hasbalah, hasbunallah wa ni’ma al-Wakil, dalam ayat di atas diturunkan. Pendapat pertama menyebut bahwa ayat di atas turun setelah perang Uhud ketika Nabi dan para sahabat yang telah mengalami kekalahan justru masih berusaha mengejar Abu Sufyan.

Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibn Abbas dan Qatadah. Mengetahui hal tersebut Abu Sufyan mengutus seorang untuk mengabarkan bahwa ia telah mengumpulkan pasukan jika Nabi datang, namun beliau beserta para sahabat tidak gentar sedikitpun akan peringatan tersebut dengan mengatakan hasbunallah wa ni’ma al-Wakil.

Pendapat kedua menyebut bahwa ayat di atas terkait dengan kejadian di Badar al-Sughra, tempat di mana perdagangan lintas daerah berkumpul di situ. Kaum Musyrikin Makkah mewanti-wanti kaum Muslim agar tidak turut keluar dalam perdagangan tersebut karena mereka telah mengumpulkan pasukan. Akan tetapi kaum Muslim pada saat itu tetap berani dan dengan aman menjalankan perdagangan.

Pendapat kedua ini dikuatkan dengan ayat setelahnya yang menyebut bahwa kaum Muslim kembali dengan nikmat dari Allah dan keutamaan tidak terkena marabahaya. Kalimat yang kemudian dimaknai oleh sebagian mufasir, termasuk al-Razi, bahwa mereka kembali dengan keuntungan perdagangan dari Badar al-Sughra.

Adapun al-Tabari lebih condong pada pendapat pertama. Menurut beliau pendapat pertama lebih kuat karena pada ayat sebelumnya diterangkan bahwa orang-orang yang menyatakan hasbunallah wa ni’ma al-Wakil adalah mereka yang telah ditimpa luka. Keterangan dalam ayat tersebut menurut beliau adalah kabar perihal kondisi kaum Muslim pasca kalah di Uhud. Beliau katakan bahwa ayat ini tidak terkait dengan peristiwa Badar al-Sughra karena dalam peristiwa tersebut kaum Muslim sama sekali tidak mendapatkan serangan apalagi terluka.

Terlepas dari kapan tepatnya pasukan Muslim mengucapkan kalimat hasbalah tersebut yang pasti mereka tidak mungkin mengucapkannya secara spontan tanpa pengajaran dari Nabi Muhammad saw. Dalam salah satu riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya terdapat keterangan cara Nabi Muhammad saw mengajarkan kalimat hasbalah.

كَيْفَ أَنْعَمُ وَقَدِ الْتَقَمَ صَاحِبُ الْقَرْنِ الْقَرْنَ، وَحَنَى جَبْهَتَهُ، وَأَصْغَى سَمْعَهُ يَنْظُرُ  مَتَى يُؤْمَرُ ” قَالَ الْمُسْلِمُونَ: يَا رَسُولَ اللهِ، فَمَا نَقُولُ؟ قَالَ: ” قُولُوا: ‌حَسْبُنَا ‌اللهُ ‌وَنِعْمَ ‌الْوَكِيلُ عَلَى اللهِ تَوَكَّلْنَا

Bagaimana bisa aku bersenang-senang sementara pemegang sangkakala telah menempelkan mulut pada sangkakalanya, dahinya telah menunduk, telinganya mendengarkan kapanpun ia diperintahkan. Kaum Muslim bertanya, “wahai Rasulullah lalu apa yang mesti kami ucapkan?” Beliau bersabda, “katakanlah, ‘cukuplah Allah bagi kami dan Dialah sebaik-baik al-Wakil, kepada Allah kami bertwakkal.” 

Riwayat di atas disebutkan berasal dari Abu Sa’id al-Khudry dan Ibn Abbas ketika beliau memaknai ayat 7 surat al-Muddassir. Oleh karenanya Muhammad Izzat Darwazah juga mengutip riwayat di atas saat menafsirkan al-Muddassir, surat yang menurut beliau dalam tartib nuzuli adalah surat keempat yang turun setelah al-Muzammil dan sebelum al-Fatihah.

Lantas apakah dapat disimpulkan bahwa kalimat hasbalah telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw sejak beliau masih di Makkah, di awal dakwah beliau? Tentu tidak sesederhana itu, hal ini karena Abu Sa’id al-Khudry merupakan sahabat dari kalangan Anshor sementara Ibn Abbas baru lahir tiga tahun sebelum Hijrah. Jadi kecil kemungkinannya kalimat hasbalah ada di awal dakwah Nabi Muhammad saw. jika dilihat dari sumber periwayatnya.

Jika dilihat dari periwayatnya kemungkinan besar kalimat hasbalah ini ada ketika periode Madinah. Kemudian kalimat ini menjadi wasilah bagi kaum Muslim untuk tetap teguh menghadapi kaum yang telah menindas mereka. Bahkan dalam keadaan terluka setelah perang, ketika musuh jauh lebih banyak dan kuat, kalimat ini menjadi peneguh hati bagi kaum Mukmin.

Baca Juga: Bismillāhirrahmānirrahīm, Belajar Cinta dan Kasih dari Basmalah

Makna al-Wakil

Bagaimana kalimat sederhana dapat menjadi peneguh untuk perjuangan yang mempertaruhkan nyawa. Hal ini tentu tidak lepas dari makna yang terkandung dalam kata al-Wakil yang merupakan salah satu dari asma al-husna.

Al-Tabari menyebutkan bahwa menurut kalam Arab kata al-Wakil ialah sosok yang menjadi sandaran untuk melaksanakan segala urusan. Ketika kaum Muslim mendapati bahwa al-wakil juga termasuk asma al-husna, mereka pun menyandarkan dan menyerahkan urusan mereka, bertawakkal kepada-Nya.

Tidak jauh dari al-Tabari, Al-Wakil menurut Ibn Asyur adalah yang melaksanakan urusan dari yang mewakilkan. Menurut beliau pelaksanaan urusan tersebut juga dapat berbeda dalam berbagai konteks. Misalkan untuk menghilangkan ancaman dan marabahaya maka al-wakil adalah penolong. Adapun dalam urusan dunia maka al-wakil adalah yang menanggung dan memenuhi, demikian juga dalam urusan harta. Oleh karenanya Ibn Asyur menyimpulkan bahwa al-Wakil adalah isim yang terkumpul di dalamnya makna Pengawal dan Penjaga dalam berbagai hal yang dibutuhkan manusia. Kata ini mengikat sekaligus umum dalam berbagai konteks yang dibutuhkan.

Al-Zamakhsyari menyebut dalam tafsir surah al-An’am bahwa al-Wakil Dialah Raja Pemilik segala sesuatu, baik anugerah maupun waktu dan yang mengawal segala amal. Al-Raghib al-Ashfihani menyebut bahwa wakil dapat dimaknai sebagai wali dapat pula dimaknai sebagai yang disandari.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Fatihah Ayat 2: Mengulik Makna Hamdalah dan Mengamalkannya

Dari sini kesadaran dan zikir bahwa Allah adalah al-Wakil dapat menjadi wasilah akan datangnya ketenangan dan keteguhan dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Seperti para sahabat yang dapat menghadapi peperangan yang timpang jumlah pasukannya dengan tekad dan keyakinan dari kalimat tersebut. Begitu juga kita dan perang dalam diri yang kita hadapi setiap hari, semoga Allah memberi jalan. Wallahu’ a’lam.

Surah Alkafirun dan Upaya Win-Win Solution Kaum Kafir Quraisy

0
Surah Alkafirun dan Upaya Win-Win Solution Kaum Kafir Quraisy
Surah Alkafirun dan Upaya Win-Win Solution Kaum Kafir Quraisy

Menurut M. Quraish Shihab, dalam Tafsir al-Misbah, surah Alkafirun adalah surah yang tema utamanya adalah penolakan upaya win-win solution kaum kafir Quraisy untuk penyatuan ajaran agama dalam rangka mencapai kompromi, sambil mengajak agar masing-masing melaksanakan ajaran agama dan kepercayaannya tanpa saling mengganggu.

Potret Kaum Kafir Quraisy Sebelum Datangnya Islam

Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma (hal. 627), surah Alkafirun berisi tentang inti dari ketauhidan. Kaum Arab pada masa Nabi Saw. memang tidaklah meniadakan ketuhanan Allah, akan tetapi mereka tidak mengenal hakikat Allah yang disifati-Nya sebagai Tuhan tempat meminta. Oleh karena itu, mereka melakukan kekafiran dan tidak menyembah Allah sebagaimana layaknya Tuhan untuk disembah.

Lebih jauh lagi, menurut beliau, mereka menyekutukan Allah Swt. dengan patung dan berhala yang merupakan lambang dari para orang berjasa dan pemimpin, atau lambang dari para malaikat yang membantu kelangsungan hidup mereka.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Kafirun Ayat 1-6

Mereka menduga bahwa malaikat adalah anak gadis Allah, atau antara Tuhan dengan jin ada hubungan, atau mereka melupakan lambang ini dan menjadikannya sebagai Tuhan. Dalam kondisi itu atau pun, mereka menjadikan patung atau berhala sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Hal tersebutlah, menurut Asy-Syarawy, yang dituangkan oleh Allah Swt. dalam Alquran saat mengisahkan tentang kekafiran Quraisy:

مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ

 “Kami tidak menyembah mereka kecuali sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.” (Q.S Alzumar [39]: 3) (Tafsir Juz ‘Amma, 627)

Mereka Sebenarnya Sudah Mengenal Allah

Lebih jauh, menurut Syekh Asy-Sya’rawy, Alquran juga mengisahkan bahwa kaum kafir sebenarnya mengakui bahwa alam ini telah diciptakan oleh Allah, Dia pencipta langit, bumi dan menundukkan matahari dan bulan, menurunkan hujan dari langit. Hal ini terbukti dengan firman-Nya,

وَلَىِٕنْ سَاَلْتَهُمْ مَّنْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللّٰهُ ۗ

Ketika mereka ditanya siapa yang menciptakan langit dan bumi, menundukkan matahari dan bulan? Niscaya mereka akan berkata: “Allah”. (Q.S Al’ankabut [29]: 61) Lihat juga ayat 63 dari surat yang sama.

Baca Juga: Orang Kafir Makkah Ternyata Percaya Allah

Lebih dari itu, dalam sumpah bangsa Arab selalu menyebutkan: “Demi Allah”, atau “dengan nama Allah”. Begitu juga dalam doa mereka selalu dimulai dengan “Allahumma” atau Ya  Allah. Tapi, walaupun mereka beriman kepada Allah sebagai Tuhan, tetap saja kemusyrikan yang mereka lakukan merusak ibadah mereka.

Upaya Win-Win Solution Kaum Kafir Quraisy Terhadap Dakwah Nabi Muhammad Saw

Masih dalam kitab yang sama, Syekh asy-Sya’rawy juga mengisahkan bahwa saat Nabi Muhammad Saw. berkata kepada kaum kafir Quraisy, bahwa Islam adalah penerus agama Ibrahim, kaum kafir Quraisy malah berkata, “Kami berada di jalan agama Ibrahim.” Jadi menurut mereka, tidak ada alasan untuk mereka meninggalkan agama nenek moyangnya dan mengikuti Muhammad Saw. dengan agama barunya.

Dalam waktu yang lain, mereka mencari win-win solution yang membuat Nabi Muhammad Saw. senang dan mereka juga bahagia. Mereka menawarkan agar Nabi Muhammad Saw. dan pengikutnya mau sujud di hadapan Tuhan berhala mereka, dengan balasan mereka juga akan sujud kepada Allah. Dengan catatan, jangan menghina Tuhan mereka, dan Nabi Muhammad Saw. juga diberi kesempatan untuk bernegoisasi atas apa yang dikehendakinya.

Ini terjadi kerena kesalahan mindset mereka. Pengakuan mereka terhadap Allah Swt. dengan menyembah berhala itulah puncak kesalahan. Dengan dugaan, bahwa jarak antara mereka dengan Muhammad Saw. itu dekat, hingga dapat dirapatkan, atau dibagi negeri ini menjadi dua bagian untuk bertemu di tengah jalan dengan tarik ulur di antara keduanya. (Tafsir Juz ‘Amma, 628-629).

Menurut Syekh Asy-Sya’rawy, dalam Tafsir Juz ‘Amma (hal. 629) untuk memutuskan apa yang mereka pikirkan dari mindset yang salah itu, turunlah surat Alkafirun ini untuk menjelaskan manhaj (metode) yang harus ditempuh.

Dengan keputusan ini, maka berakhirlah negoisasi tanpa win-win solution. Nabi Muhammad Saw. tetap dalam pendirian bahwa Islam tidak sama dengan kemusyrikan; tauhid yang diajaknya berbeda sekali dengan kemusyrikan. Ketetapan ini telah memutus harapan persamaan dan tiada ruang damai di dalam akidah. Islam tetap sebagai agama yang benar, dan Allah adalah Tuhan Yang Esa. (Tafsir Juz ‘Amma, 629)

Baca Juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (hal. 573-574) ditemukan beberapa riwayat tentang sabab nuzul ayat surah ini, antara lain adalah bahwa beberapa tokoh kaum musyrikin di Mekah di antaranya al-Walid Ibn al-Mughirah, Aswad Ibn ‘Abdul Muththalib, Umayyah Ibn Khalaf, datang kepada Rasul Saw. menawarkan win-win solution yang menyangkut pelaksanaan tuntunan agama (kepercayaan). Usul mereka adalah agar Nabi bersama umatnya mengikuti kepercayaan mereka, dan mereka pun akan mengikuti ajaran Islam.

Menurut beliau, upaya win-win solution kaum kafir Quraisy itu ditolak oleh Rasulullah Saw., karena tidak mungkin dan tidak logis pula terjadi penyatuan agama-agama. Setiap agama berbeda dengan agama yang lain, demikian pula dalam ajaran pokok dan perinciannya. Karena itu, tidak mungkin perbedaan-perbedaan itu digabungkan dalam jiwa seorang yang tulus terhadap agama dan keyakinannya.

Masing-masing penganut agama -tulis beliau lebih jauh- harus yakin sepenuhnya dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Dan selama mereka telah yakin, mustahil mereka akan membenarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran agama dan kepercayaannya. Sikap Nabi Muhammad Saw. Yang menolak ajakan atau win-win solution kaum kafir Quraisy itu diperkuat oleh Allah Swt. dengan turunnya surah ini. (Tafsir al-Misbah, Jilid 15, 573-574)

Wallahu a’lam.

Tafsir Analisis Matematis ala Muhammad Syahrur

0
Tafsir Analisis Matematis Ala Muhammad Syahrur
Muhammad Syahrurز

Alquran memiliki diktum sebagai kitab yang sālīhun likulli zamānin wa makānin (senantiasa relevan di setiap masa dan tempat). Akan tetapi pada kenyataannya, teks Alquran kerap kali dipahami secara parsial dan ideologis, menyebabkan ia seolah menjadi teks mati dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Inilah yang mendorong Muhammad Syahrur, salah seorang tokoh modern-kontemporer asal Syiria, mencoba menawarkan teori batas (hudūd) sebagai metode baru dalam menafsirkan Alquran.

Biografi Muhammad Syahrur

Muhammad Ibn. Da’ib Syahrur, lahir 11 Maret 1938 di Saliḥiyyah, Damaskus (Syiria). Ayahnya bernama Da’ib Ibn Da’ib Syahrur sedangkan ibunya bernama Siddīqah bint Ṣāliḥ Falyūn.

Pada tahun 1945-1957, Syahrur menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di lembaga pendidikan ‘Abd al-Rahmān al-Kawākibī di al-Midan, Damaskus. Pada usia ke-19 tahun, Syahrur melanjutkan studi sarjananya dalam bidang teknik sipil di Moscow Institute of Engineering di Saratow dengan beasiswa pemerintah, Maret 1959-1964.

Syahrur juga melanjutkan studi program Magister hingga memperoleh gelar Doktor di The National University of Ireland (NUI), Dublin, Irlandia mulai tahun 1968-1972 di bidang Teknik Pondasi dan Mekanika Tanah.

Baca juga: Muhammad Syahrur, Salafisme dan Hakikat al-Qur’an Shalih li Kulli Zaman wa Makan

Tahun 1972, Syahrur diangkat secara resmi sebagai dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dan mengampu mata kuliah Mekanika Pertahanan dan Geologi pada tahun 1982-1983. Selain itu, Syahrur bersama rekan-rekannya membuka biro konsultan teknik Dar al-Istisharah al-Handasiyah di Damaskus.

Selama masa studinya di Irlandia, ketertarikan Syahrur pada studi Islam dimulai karena pengaruh temannya, Doktor Ja’far Dakk al-Bab. Ia adalah seorang guru besar bidang ilmu bahasa. Syahrur dapat belajar banyak tentang ilmu bahasa dengan beberapa teori linguistik. Di Irlandia, Syahrur juga memiliki kesempatan menekuni bidang filsafat sehingga berkenalan dengan banyak pemikir yang membentuk pandangannya di kemudian hari (Epistemologi Tafsir Kontemporer, 129-104).

Konstruksi Logis Teori Batas

Teori batas (the theory of limits) adalah sebuah teori sains dalam matematika yang oleh Syahrur dimasukkan ke dalam metode penafsiran Alquran. Ia menjabarkannya dalam karyanya, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Muʽāṣirah. Teori tersebut dibangun atas asumsi risalah Islam yang dibawa Nabi ﷺ bersifat mendunia dan dinamis, sehingga relevan sepanjang zaman (Shaḥrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān, 26).

Syahrur membagi teori batas ke dalam dua bagian. Pertama, batasan-batasan berkaitan ibadah ritual murni (al-hudūd fī al-ʽibādah). Dalam bagian ini tidak ada medan ijtihad, seperti bahwa tata cara salat saat ini sama seperti pada zaman Nabi ﷺ dulu. Ijtihad dalam hal ini justru dianggap bid’ah.

Kedua, batas-batas dalam hukum (al-hudūd fī al-aḥkām). Dalam aplikasinya, teori batas yang ditawarkan Syahrur menggunakan pendekatan analisis matematis (al-tahlil al-riyādli) (Shaḥrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān, 27).

Baca juga: Inilah Tiga Model Pendekatan Hermeneutika dalam Menafsirkan Al-Quran

Secara genealogis, teori ini dikembangkan oleh seorang ilmuwan bernama Issac Newton, terutama mengenai persamaan fungsi yang dirumuskan dengan Y=F(X), jika hanya mempunyai satu variabel dan Y+F(X,Z), jika mempunyai dua variabel atau lebih.

Memahami persamaan fungsi ini merupakan keniscayaan bagi seseorang untuk memahami ajaran Islam yang memiliki dua sisi berlawanan, tetapi saling berkaitan (interwined), yaitu al-istiqāmah yang bergerak konstan dan al-hanifiyyah yang bergerak dinamis. Hubungan ini digambarkan seperti kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.

Kaitannya dengan metode ijtihad, wilayah ijtihad sesungguhnya berada pada kurva tersebut. Sumbu X menggambarkan zaman konteks waktu dan sejarah, sedang sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan Allah ﷺ. Dengan kata lain, dinamika ijtihad sesungguhnya berada dalam wilayah kurva (hanīfiyyah). Ia bergerak sejalan dengan sumbu X. Hanya saja gerak dinamis itu tetap dibatasi dengan hudūdullāh, yakni sumbu Y (kurva istiqāmah).

Baca juga: Mengenal Tafsir Maqashidi: Penafsiran Berbasis Pendekatan Maqashid Syariah

Aplikasi persamaan fungsi itu memiliki alternatif jawaban yang bervariasi, tetapi dapat disimpulkan menjadi enam prinsip batas, sebagai berikut (Mustaqim, “Teori Hudūd Muhammad Shaḥrūr”, Jurnal AL-QUDS, Vol. 1, No. 1, 2017, 13-22):

  1. Halāt hadd al-aʽlā, daerah hasil (range) dari persamaan fungsi Y=F(x) berbentuk garis lengkung yang menghadap ke bawah (kurva tertutup). Hanya memiliki satu titik balik maksimum, berhimpit dengan garis lurus, sejajar dengan sumbu X.
  2. Hālah Hadd al-Adnā, posisi batas minimal. Daerah hasil posisi ini mempunyai daerah hasil berbentuk kurva terbuka (parabola), memiliki satu titik balik minimum, berhimpit dengan garis sejajar sumbu X.
  3. Hālah hadd al-ʽalā wa al-adnā maʽan, posisi batas maksimal dan minimal ada secara bersamaan, daerah hasilnya berupa kurva gelombang yang memiliki sebuah titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut berhimpit pada garis lurus sejajar dengan sumbu X.
  4. Hālah al-Mustaqīm. Daerah hasil posisi ini berupa garis lurus yang sejajar dengan sumbu X. Pada grafik ini nilai Y= f(X) adalah konstan untuk semua nilai X. Dengan kata lain, nilai maksimal dan nilai minimal tidak ada, karena nilai minimal, nilai maksimal dan nilai Y yang lain adalah sama.

Dengan demikian, didapati persamaan Y=N1 dengan bentuk grafik garis lurus mendatar. Pada kondisi ini, ayat hudūd tidak punya batas minimal maupun maksimal, sehingga tidak ada alternatif hasil dari penerapan hukumannya selain yang disebutkan dalam ayat tersebut. Dengan kata lain, hukum tidak berubah meskipun zaman berubah.

Baca juga: Mengenal Rashad Khalifa, Pelopor Teori Keajaiban Angka 19 dalam Alquran

  1. Hālah al-Hadd al-Aʽlā dūna al-Mamas bi al-Hadd al-Adnā abadan, posisi batas maksimal tanpa menyentuh garis batas minimal. Daerah hasil posisi ini berupa kurva terbuka dengan titik akhir cenderung mendekati sumbu Y, bertemu daerah yang tak terhingga (‘alā lā nihāyah). Sedangkan titik pangkalnya terletak pada daerah tak terhingga akan berhimpit sumbu X.
  2. Hālah al-Hadd al-A’lā Mūjab Mughlaq lāyajūz Tajāwuzuhu wa al-Hadd al-Adnā Sālib yajūz tajāwzuhu. Posisi batas maksimal positif, tidak boleh dilampaui, dan batas minimal negatif yang boleh dilampauinya. Daerah hasil posisi ini kurva gelombang dengan titik balik maksimum berada di daerah positip dan titik balik minimum berada di daerah negatif. Keduanya berhimpit garis lurus sejajar dengan sumbu X.

Demikian sedikit gambaran rumusan analisis matematis terhadap Alquran yang dikembangkan oleh Muhammad Syahrur. Terobosan baru dalam khazanah penafsiran ini tentulah masih sangat memerlukan tinjauan dari para pakar untuk menimbang relevansinya. Namun, setidaknya hal ini perlu diapresiasi sebagai usaha umat Islam dalam memahami kitab sucinya berbekal latar belakang keilmuan masing-masing.

Tradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia

0
Tradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia
Tradisi Tingkeban sebagai Resepsi Ayat-Ayat Penciptaan Manusia.

Sebuah hadis dla‘if dalam riwayat Al-Tirmidzi yang didukung cerita-cerita israiliyat menyebutkan bahwa iblis pernah memberikan ‘wahyu’ kepada Hawa untuk menamakan putranya dengan ‘Abd al-Harits. Al-Harits sendiri merupakan panggilan populer dari para malaikat untuk iblis sehingga secara harfiah, ‘abd al-harits berarti ‘seorang hamba iblis’.

Hawa pun menerima ‘wahyu’ iblis tersebut dan menamakan putranya dengan ‘Abd al-Harits. Diceritakan bahwa, sebelumnya, Hawa telah beberapa kali mengandung tetapi tak satu pun dari kandungan tersebut yang lahir dan hidup hingga kelahiran ‘Abd al-Harits, yang namanya di-‘wahyu’-kan oleh iblis.

Baca juga: Israiliyat dalam Tafsir, Validkah? Berikut Pandangan Ibnu Khaldun

Menurut Wahbah al-Zuhailiy dalam Al-Tafsir al-Munir, kendati berstatus dla‘if, riwayat ini dijadikan pegangan (i‘timad) oleh beberapa mufasir Alquran terdahulu, termasuk Al-Suyuthiy, penulis Tafsir al-Jalalain. Al-Zuhailiy sendiri menukil penjelasan ini dalam tafsir rangkaian surah Al-A‘raf [7] ayat 189-193 yang menerangkan penciptaan manusia.

Sekilas, hal ini seolah menunjukkan bahwa Adam dan Hawa telah berlaku syirik dengan mengiyakan ‘wahyu’ iblis. Namun menurut Hasan al-Bashriy, redaksi ja’l (ja’alaa) pada ayat 190 yang merujuk pada Adam dan Hawa sebagai subjek dimaksudkan pada keturunan keduanya yang berlaku syirik, yakni Yahudi dan Nasrani. Tafsir ini didukung oleh Ibn Katsir dengan berpegang pada isyarat redaksi isyrak (yusyrikun) di akhir ayat yang menggunakan shigah al-jam‘.

Terlepas dari ke-dla‘if-an riwayat dan pro-kontra di atas, rangkaian ayat ini memiliki posisi yang cukup penting bagi masyarakat Indonesia sebagai pijakan amaliah menghadapi kehamilan dan kelahiran, yang notabene bagian dari siklus ‘krisis’ kehidupan manusia. Bagi masyarakat Jawa secara khusus, amaliah tersebut dinamakan tingkeban.

Tradisi tingkeban dan filosofinya

Clifford Geertz dalam Agama Jawa menjelaskan bahwa tingkeban merupakan selametan (acara keagamaan yang bersifat komunal) utama yang diselenggarakan pada bulan ketujuh masa kehamilan. Tingkeban menjadi salah satu dari ragam bentuk selametan yang digelar sepanjang masa kehamilan hingga kelahiran. Bentuk selametan lainnya seperti babaran atau brokohan untuk kelahiran itu sendiri, pasaran untuk lima hari pascakelahiran, dan telonan untuk bulan ketiga di masa kehamilan.

Bagi masyarakat Jawa lain, tradisi tingkeban juga dikenal dengan istilah mitoni yang praktiknya tidak hanya diselenggarakan bagi kehamilan anak pertama, tetapi umum pada setiap kehamilan bulan ketujuh. Selain itu juga dikenal istilah ngapati untuk selametan bulan keempat masa kehamilan, yang merujuk pada riwayat peniupan ruh dalam tahapan penciptaan manusia.

أنَّ خَلْقَ أحَدِكُمْ يُجْمَعُ في بَطْنِ أُمِّهِ أرْبَعِينَ يَوْمًا أوْ أرْبَعِينَ لَيْلَةً، ثُمَّ يَكونُ عَلَقَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يَكونُ مُضْغَةً مِثْلَهُ، ثُمَّ يُبْعَثُ إلَيْهِ المَلَكُ فيُؤْذَنُ بأَرْبَعِ كَلِماتٍ، فَيَكْتُبُ: رِزْقَهُ، وأَجَلَهُ، وعَمَلَهُ، وشَقِيٌّ أمْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يَنْفُخُ فيه الرُّوحَ

“Penciptaan salah seorang di antara kalian dihimpun dalam perut ibunya selama 40 hari atau 40 malam, kemudian menjadi segumpal darah 40 hari berikutnya, kemudian menjadi segumpal daging 40 hari berikutnya. Kemudian Allah mengutus malaikat kepadanya dan memerintahkan untuk menetapkan empat hal; rejekinya, ajalnya, amalnya, sengsara ataukah bahagia, kemudian Allah meniupkan ruh kepadanya.” (HR. Bukhari)

Baca juga: Membaca Surah-Surah Pilihan: Antara Amalan, Tradisi dan Doa

Ayat yang menjadi mahal al-syahid (titik fokus) dari rangkaian surah Al-A‘raf di atas adalah ayat ke 189,

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْها زَوْجَها لِيَسْكُنَ إِلَيْها فَلَمّا تَغَشّاها حَمَلَتْ حَمْلاً خَفِيفاً فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمّا أَثْقَلَتْ دَعَوَا اللهَ رَبَّهُما لَئِنْ آتَيْتَنا صالِحاً لَنَكُونَنَّ مِنَ الشّاكِرِينَ.

“Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan darinya Dia menjadikan pasangannya agar dia cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Kemudian, setelah ia mencampurinya, dia (istrinya) mengandung dengan ringan. Maka, ia pun melewatinya dengan mudah. Kemudian, ketika dia merasa berat, keduanya (suami istri) memohon kepada Allah, Tuhan mereka, “Sungguh, jika Engkau memberi kami anak yang saleh, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.”

Di ayat ini, disebutkan bahwa setelah Hawa mengandung (hamalat) dan kandungan tersebut berangsur-angsur membesar (atsqalat), maka Adam dan Hawa pun berdoa (da‘awaa) demi keselamatan (shalihan) bayi yang akan dilahirkan.

Bagi masyarakat Jawa, diksi tsiqal yang secara harfiah berarti berat dipahami sebagai tuanya usia dan besarnya kandungan yang dimiliki, yang kemudian diterjemahkan sebagai tujuh bulan. Kemudian diksi do‘a yang berarti panggilan atau doa merupakan permohonan yang lantas terimplementasi dalam wujud tradisi tingkeban.

Ayat yang dibaca dan resepsinya

Pada praktik penyelenggaraan tradisi tingkeban atau selametan kehamilan, terdapat sejumlah ayat dan atau surah dari Alquran yang dibaca selama prosesi selametan. Di suatu daerah misalnya, dibacakan surah Al-Fatihah [1], Al-Syarh [94], Al-Qadr [97], dan ayat kursi (surah Al-Baqarah [2] ayat 255) sebanyak tujuh atau sebelas kali. Sementara di daerah lain, dibacakan surah Al-Mu’minun [23] ayat 12-14, Al-Ahqaf [46] ayat 15, Yusuf [12] ayat 4-5, Maryam [19] ayat 30-35, ‘Ali ‘Imran [3] ayat 37-38, dan Ar-Rahman [55].

Dari perspektif ilmu sastra, dalam pembacaan ayat dan surah ini terdapat berbagai macam bentuk resepsi (penerimaan) atas segala aspek Alquran. Surah Al-Fatihah dan Al-Syarh misalnya diresepsi secara leksikal dari penamaan surah. Arti literal dari kata tersebut merupakan pembuka dan pelapang yang diharapkan dapat mempermudah proses kelahiran bayi kelak. Surah Al-Qadr yang di dalamnya menyebutkan diksi inzal yang secara literal berarti menurunkan juga diresepsi secara sama.

Baca juga: Hikmah Membaca Surah Maryam bagi Ibu Hamil

Sedangkan pada surah Al-Mu’minun, Al-Ahqaf, Yusuf, Maryam, ‘Ali ‘Imran, dan Ar-Rahman, resepsi yang dilakukan lebih kepada aspek hermeneutis terhadap arti dan maksud kandungan ayat, satu per satu. Kesemuanya dimaksudkan sebagai doa terhadap bayi yang kelak akan dilahirkan dapat memiliki nilai-nilai positif sebagaimana disebutkan dalam ayat.

Oleh karenanya, memanjatkan doa dan permohonan keselamatan bagi bayi dalam kandungan pada dasarnya merupakan ajaran leluhur yang telah dimulai bahkan sejak manusia pertama kali dilahirkan. Yang membedakan adalah praktik pelaksanaannya yang sangat mungkin dipengaruhi oleh kebudayaan yang melingkupinya. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Hukum Mengidolakan Artis Nonmuslim

0
Hukum mengidolakan artis nonmuslim
Hukum mengidolakan artis nonmuslim

Akhir-akhir ini, ramai diperbincangkan mengenai konser Coldplay. Grup musik rock asal Inggris tersebut dikabarkan akan mengadakan konser November mendatang di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta.

Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait diselenggarakannya konser tersebut, sudah barang tentu tidak sedikit masyarakat Indonesia yang mengidolakan mereka. Lantas muncul pertanyaan bagaimana hukumnya mengidolakan artis-artis nonmuslim?

Baca juga: Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

Dalam Alquran, ada banyak ayat yang menjelaskan larangan menjalin hubungan dekat (muwalât) dengan orang kafir. Salah satunya tercantum dalam Q.S. Ali Imran [02]: 28 yang berbunyi:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

“Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman.” Q.S. Ali Imran [02]: 28.

Ulama memiliki pandangan berbeda terkait apa latar belakang turunnya ayat tersebut. Imam al-Razi menyebutkan setidaknya ada tiga pendapat ulama terkait sebab penurunan ayat di atas.

Salah satunya adalah pendapat dari imam Muqatil bin Sulaiman bahwasanya ayat tersebut turun terkait Hathib bi Abi Balta’ah dan kawan-kawannya yang menjalin ikatan khusus dengan sekelompok orang Yahudi. Dari hubungan dekat itulah orang-orang yahudi memeroleh banyak informasi mengenai Rasulullah dan umat Islam untuk kemudian digunakan sebagai acuan dalam mengatur strategi melawan umat Islam. [Mafatih al-Ghaib, juz 8, hal. 192]

Baca juga: Tafsir Kebangsaan dan Etika terhadap Kitab Suci Agama Lain

Selain ayat diatas, ada sejumlah ayat lain yang mengandung larangan menjalin ikatan khusus dengan nonmuslim, baik sebagai kawan dekat, pengayom dan semisalnya.

Akan tetapi, tidak semua interaksi dan ikatan dengan nonmuslim dilarang. Menafsiri ayat di atas, Imam Siraj al-Din Umar bin Ali al-Dimasyqi menjelaskan sebagaimana berikut:

موالاة الكافر تنقسم ثلاثة أقسامٍ. الأول: أن يَرْضَى بكفره، ويُصَوِّبَه، ويواليَه لأجْلِه، فهذا كافر؛ لأنه راضٍ بالكفر ومُصَوِّبٌ له. الثاني: المعاشرةُ الجميلةُ بحَسَب الظاهر، وذلك غير ممنوع منه. الثالث: الموالاة، بمعنى الركون إليهم، والمعونة، والنُّصْرة، إما بسبب القرابة، وإما بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينَه باطل – فهذا منهيٌّ عنه، ولا يوجب الكفر؛ لأنه – بهذا المعنى – قد يجره إلى استحسان طريقِه، والرِّضَى بدينه، وذلك يخرجه عن الإسلام،

“Berkawan dengan orang kafir (baik sebagai teman dekat, pemimpin, atau pengayom) terbagi menjadi tiga bagian:

Pertama, rela dan membenarkan kekafirannya bahkan berteman karena kekafirannya tersebut. orang seperti ini dihukumi kafir karena ia meridhoi dan membenarkan kekafiran.

Kedua, interaksi yang baik secara lahiriah saja. Hal semacam ini tidak dilarang.

Ketiga, berkawan dengan mereka dalam arti bergantung kepada mereka, membantu dan menolong. (hal ini) adakalanya karena faktor kekerabatan atau cinta/simpati. Namun ia tetap meyakini bahwa keyakinan mereka salah. Maka hubungan seperti ini dilarang dalam islam meski tidak berakibat kekufuran karena hal tersebut dapat mengantarkan pada rasa simpati atas jalan hidupnya dan rido dengan agamanya. Inilah yang dapat mengeluarkan seseorang dari islam.” [al-Lubab fi ‘Ulum al-Kitab, juz 5, hal.143]

Perlu diketahui bahwa berkawan dekat dengan nonmuslim dilarang karena berpotensi membahayakan kepentingan umat Islam secara umum. Sehingga berkawan dan berinteraksi dengan nonmuslim boleh-boleh saja selama tidak berpotensi buruk dan tentunya tidak menyangkut masalah keyakinan. [Tafsir al-Thanthawi, juz 2, hal. 75]

Hal ini dikuatkan dengan ayat lain yang memberikan legalitas untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap nonmuslim dalam kondisi damai. Dalam Q.S. Almumtahanah [60] ayat 08, Allah Swt. berfirman:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu.”

Berdasarkan dua ayat diatas, dapat dipahami bahwa larangan menjadikan nonmuslim sebagai kawan dekat berlaku ketika dalam konteks perang atau permusuhan. Sedangkan ketika situasi damai, tidak ada larangan untuk berbuat baik kepada mereka. Bukankah banyak riwayat yang menjelaskan akhlak Ralsulullah saw. Ketika berinteraksi dan bermuamalah dengn nonmuslim?

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa mengidolakan figur nonmuslim boleh-boleh saja selama masih dalam batas kewajaran dan menyangkut masalah duniawi saja. Misalnya mengidolakan karena parasnya yang rupawan, keahlianya dalam berakting, suaranya yang indah dan lain sebagainya. Wallahu a’lam.

Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

0
Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim
Hukum Menyantap Jamuan Nonmuslim

Bagi seorang muslim, hidup di tengah masyarakat majemuk terkadang menimbulkan sejumlah dilema, antara lain saat diundang pesta oleh nonmuslim. Jika tidak datang, bisa-bisa dianggap tidak peduli dan eksklusif. Sementara, jika pun datang, bisa jadi was-was dengan hukum kebolehan menyantap hidangan mereka.

Pada dasarnya, Islam menyerukan toleransi terhadap nonmuslim. Syekh Ramadan al-Buthi dalam Fiqh Sirah menceritakan bahwa saat di Madinah, Nabi saw. berinteraksi baik dengan kaum Yahudi dan Nasrani. Saban ada waktu luang, beliau bersilaturahmi pada tetangganya yang nonmuslim dan menjenguknya ketika sakit. Lalu, bagaimana sejatinya Islam mengatur ketentuan memakan jamuan nonmuslim?

Dalil nas dan ragam pendapat ulama

Dalil yang menjelaskan tentang status halal pada makanan jamuan nonmuslim terdapat pada surah Almaidah ayat 5. Ayat tersebut berada dalam formasi ayat yang turun pasca peristiwa Fathu Makkah.

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبٰتُۗ وَطَعَامُ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّكُمْ ۖوَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ

“Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) ahli kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka.”

Ayat ini menegaskan kehalalan mengonsumsi makanan ahlulkitab. Diksi al-thayyibat berarti makanan yang mengandung kebaikan. Menurut jumhur ulama, makanan yang dimaksud dalam ayat ini terbatas pada hewan sembelihan. Pendapat ini berdiri atas argumen bahwa kehalalan hewan bergantung pada syarat dan rukun penyembelihan. Sedangkan, makanan yang halal tanpa proses penyembelihan tidak termasuk di dalamnya, seperti buah-buahan, roti, dan lain sebagainya. Sehingga, dapat dipastikan boleh mengonsumsi makanan tersebut dari nonmuslim. Sebaliknya, dilarang mengonsumsi hewan jamuan nonmuslim yang tidak disembelih secara islami. (Ali al-Shabuni, Rawa’il al-Bayan, jilid 1, 535 & al-Sharbini, Siraj al-Munir, jilid 1, 356)

Baca juga: Bagaimana Sikap Kita terhadap Ajaran dalam Kitab Taurat dan Injil?

Ada pula yang mengarahkan makanan tersebut pada makanan ahlulkitab yang dalam proses pengolahannya berkaitan dengan aturan syariat, seperti penyembelihan. Sedangkan, makanan yang tidak melalui proses pengolahan, atau melalui proses pengolahan tetapi tidak berhubungan dengan syariat, bukan termasuk khitab ayat. Maka, tentu tidak ada keharaman saat muslim mengonsumsi semisal roti, buah-buahan, atau biji-bijian dari jamuan nonmuslim. Pendapat ini bersumber dari Ibnu ‘Athiyyah.

الطعام الذي لا محاولة فيه كالبر والفاكهة ونحوهما لا يغيره تملك أحد له والطعام الذي تقع فيه محاولة صنعته لا تعلق للدين بها كخبز الدقيق وعصر الزيت .والتذكية هي المحتاجة الى الدين والنية فلما كان القياس أن لا تجوز ذبائحهم رخص الله فيها على هذه الأمة وأخرجها عن القياس

“Makanan yang tidak butuh pengolahan (dimasak/disembelih) seperti biji-bijian, buah-buahan, dan semisalnya, tidak berubah kehalalannya. Begitu pula makanan yang diolah tetapi tidak berhubungan dengan ketentuan syariat, seperti roti dan perasan minyak. Sementara itu, diperbolehkannya mengonsumsi sembelihan ahlulkitab merupakan sebentuk rukhshah.”

Dari kutipan tersebut dapat dipahami bahwa sejatinya, memakan sembelihan nonmuslim adalah haram menurut kias. Hal ini karena, hewan sembelihan ahlulkitab memiliki kesamaan dengan tata cara beragama ahlulkitab dalam hal memiliki perbedaan dengan hewan sembelihan dan tata cara beribadah muslim. Akan tetapi, karena banyak muslim yang hidup berdampingan dengan ahlulkitab, Islam memberi kompensasi berupa kehalalan memakan sembelihan ahlulkitab. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir jilid 6, 119)

Baca juga: Etika Bergaul dengan Nonmuslim dalam Pandangan Alquran

Ada pula pendapat yang menyatakan bahwa ayat tersebut berlaku umum. Artinya, makanan yang ‘diduga kuat’ diproses sebagaimana ketentuan syariat–disembelih ataupun dimasak-maka halal dikonsumsi. Begitupun sebaliknya, jika diduga kuat tidak diproses secara syar’i maka dilarang untuk dikonsumsi. Pendapat ini direkomendasikan oleh Ibnu ‘Asyur atas pertimbangan banyaknya muslim yang hidup di tengah masyarakat plural. (Ibnu ‘Asyur, al-Tahrir wa al-Tanwir jilid 6, 120)

Pendapat terakhir ini bisa menjadi alternatif saat berada di daerah mayoritas muslim. Sedangkan, di daerah muslim minoritas sebisa mungkin untuk memastikan kehalalan makanan yang hendak dikonsumsi. Hal ini dapat dikategorikan sebagai sad al-zari’ah (pemblokiran sarana), karena daerah muslim minoritas beredar banyak makanan nonhalal.

Makna ahlulkitab

Terdapat perbedaan pendapat tentang siapa yang dimaksud ahlulkitab. Menurut jumhur mufasir, ahlulkitab pada ayat tersebut mencakup Yahudi dan Nasrani. Bahkan, Imam Syafi’i dan jumhur Syafi’iyyah, seperti Khatib al-Sharbini dan al-Shabuni hanya memasukkan kaum Yahudi dan Nasrani yang hidup sebelum Nabi saw. diutus. Sementara, yang hidup setelah diutusnya Nabi saw. tidak termasuk ahlulkitab jika diketahui bahwa leluhurnya memeluk agama yang sama. Ibnu Asyur dan ulama Malikiyyah juga berpendapat demikian. Dengan pendapat ini, sembelihan nonmuslim saat ini tidak boleh dimakan, sekalipun dia penganut agama Kristen atau seorang Yahudi ketika diketahui bahwa leluhur mereka menganut agama tersebut.

Adapun penyembah berhala dan api tidak termasuk ahlulkitab berdasarkan hadis Nabi dan ijmak. (Siraj al-Munir, Rawa’i al-Bayan, al-Tahrir wa al-Tanwir)

Pendapat tandingan mengenai kategori ahlulkitab terdapat pada mazhab Hanbali. Menurut pendapat ini, ahlulkitab ialah penganut agama Yahudi dan Nasrani secara umum, tanpa mensyaratkan data sejarah yang mengonfirmasi bahwa nenek moyang mereka juga menganut agama tersebut. (Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah, jilid 21, 185)

Baca juga: Jangan Menghina dan Pilih Kasih Terhadap Non Muslim! Ini dalil Larangannya

Pendapat ini didukung oleh Syekh Ali Jum’ah, ulama kenamaan al-Azhar. Dalam al-Musawah al-Insaniyyah, beliau lebih memilih istilah ghair muslim (nonmuslim) ketimbang ahlulkitab dalam bab ijabah da’wah ghair muslim ila al-tha’am (memenuhi undangan nonmuslim untuk makan). (Ali Jum’ah, al-Musawah al-Insaniyyah fi al-Islam, 169-170)

Pada konteks Indonesia yang plural, mazhab Imam Hanbali dan pendapat Ali Jum’ah akan lebih luwes untuk dipraktikkan dalam kasus ini. Nonmuslim yang menganut Kristen atau Yahudi dapat disebut ahlulkitab dan jamuan atau makanan dari mereka dapat dimakan selama diproses sesuai kriteria syariat Islam. Meski demikian, sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, penting untuk mempertimbangkan apakah penduduk suatu daerah itu mayoritas muslim atau tidak.

Menjadi negara dengan mayoritas pemeluknya muslim, tidak lantas menutup kemungkinan bagi seorang muslim di Indonesia untuk berelasi dengan nonmuslim. Terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang muslim menjadi penduduk minoritas. Karena itu, pedoman tentang makanan halal dan hubungannya pada aspek sosial perlu diperhatikan. Tidak hanya dalam rangka berhati-hati, melainkan juga agar tetap dapat berlaku saleh kepada nonmuslim. Wallahu a’lam[]

Amina Wadud dan Hermeneutika Feminisme

0
Amina Wadud dan Hermeneutika Feminisme

Di tengah arus perubahan sosial, kajian mengenai gender dan feminisme selalu relevan terhadap ruang dan waktu. Konstruksi gender dalam lintas kesejarahannya dipengaruhi oleh ragam faktor seperti kultural, sosial, ekonomi, politik, dan tafsiran pada teks-teks keagamaan. Realitas sosial antara relasi laki-laki dan perempuan yang diskriminatif serta asimetris pada gilirannya memantik sederet kaum feminis dengan menyebutnya sebagai ketidakadilan gender (Husein Muhammad, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, 6).

Persoalan ketidakadilan gender adalah persoalan besar bagi gerakan feminisme. Pemikiran yang relatif baru yang dilakukan oleh kalangan feminis, berdasarkan pada kepedulian yang begitu kuat dalam menciptakan formulasi metodologi dengan konsisten, menjunjung tinggi nilai-nilai universal dan prinsip ideal Alquran, serta menghasilkan suatu penafsiran Alquran yang rasional dan peka pada konteks historis dan kultural.

Baca Juga: Amina Wadud dan Hermeunitika Tauhid dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Amina Wadud: Tokoh Feminis Pertama Pada Awal Abad Ke-20

Amina Wadud merupakan sarjana muslimah asal Amerika Serikat. Namanya muncul ke permukaan luas dikarenakan sangat vokal menyuarakan isu gender dan feminisme. Gerakan dan pemikiran feminisme yang digagas oleh Amina, dilatarbelakangi oleh kegelisahan intelektual perihal fenomena patriarki pada masyarakat Muslim dan penafsiran Alquran yang bias gender sesuai dengan yang dijalankan para mufasir klasik-konservatif (Amina Wadud, Inside the Gender Jihad: Womens Reform in Islam Inside the Gender Jihad, 4).

Kegelisahan Amina pada akhirnya termanifestasikan dalam gagasan intelektual berupa karya-karya monumental seperti Inside the Gender Jihad: Women’s Reform in Islam dan Qur’an and Women. Sebagai aktivis gender yang juga produktif dengan karya yang fokus kepada kajian tafsir Alquran, menjadikan Amina sebagai tokoh feminis-reformis sekaligus mufasir perempuan pada abad modern-kontemporer.

Hermeneutika Feminisme: Metode Tafsir Berbasis Feminis

Hermeneutika feminisme ialah metode penafsiran Alquran berbasis feminis, yang pada prinsipnya menganut azas kesetaraan dan keadilan gender. Bahwa kemudian dapat dikatakan sebagai sebuah metode penafsiran Alquran dengan memberikan pertimbangan pada unsur realitas yang kekinian serta memiliki usaha dalam pemenuhan metode ilmiah dari permasalahan yang ditafsirkan dengan tujuan melakukan perwujudan kesetaraan gender dari ayat yang dinilai bias gender (Mardety Mardiansyah, Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam, 3).

Dalam penerapan metodenya tersebut, Amina menerapkan beberapa langkah penting untuk melakukan tafsir ayat bias gender, adalah; Pertama, analisis asbab al-nuzul (konteks saat Alquran diturunkan). Kedua, analisis linguistik (gramatikal teks). Ketiga, analisis welstanchaung (pandangan dunia Alquran). Metode ini pada kesimpulannya memungkinkan adanya depatriarkisasi tafsir Alquran dan dehumanisasi perempuan dalam tafsir Alquran (Amina Wadud, Qur’an Menurut Perempuan: Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semangat Keadilan, 19).

Baca Juga: Hermeneutika Filosofis-Dekonstruktif dalam Menalar Tafsir Gender

Selanjutnya, paradigma tafsir Alquran berbasis feminis ini bermula dari suatu asumsi, bahwasannya prinsip dasar Alquran pada relasi laki-laki dan perempuan ialah kesetaraan, keadilan, musyawarah dan kepantasan. Pendekatan hermeneutik berbasis tafsir tematik pada gilirannya menjadi relevan untuk melakukan kajian ayat-ayat gender. Karena dari metodologi seperti itu, harapannya penafsiran Alquran yang lebih intersubyektif, kritis, dan konstruktif.

Tafsir Bias Gender Atas QS. Alnisa’ [4]: 34

Salah satu isu gender adalah pembahasan tentang kepemimpinan dalam berumah tangga, superioritas laki-laki atas perempuan (QS. Alnisa’ [4]: 34). Yang menarik pada ayat tersebut adalah terdapat kata qawwâm, yang diartikan oleh al-Zamakhsyari sebagai keunggulan pada akal, ketegasan, semangat, dan ketangkasan. Oleh karenanya, kenabian dan kepemimpinan dalam ranah publik diserahkan untuk kaum laki-laki (Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, 523).

Mufasir tersohor sekaligus sebagai pemikir muslim Sunni, Fakhruddin al-Razi, juga turut melegitimasi tindakan superioritas laki-laki atas perempuan pada ayat tersebut. Menurutnya, laki-laki lebih unggul dalam hal ilmu pengetahuan dan kemampuan. Pengetahuan dan akal laki-laki lebih luas dan kemampuannya dalam bekerja keras untuk menafkahi keluarga lebih prima daripada perempuan (al-Razi, al-Tafsir al-Kabir, 88).

Dari uraian kedua ahli tafsir diatas, sebetulnya tidak begitu menjadi permasalahan yang cukup serius sepanjang diposisikan dengan adil dan tidak bersifat diskriminatif. Namun, pada umumnya para ahli tafsir misalnya al-Zamakhsyari dan al-Razi berpendapat bahwa superioritas laki-laki dalam ayat tersebut bersifat mutlak dan merupakan ciptaan Tuhan yang tidak pernah dirubah dari zaman ke zaman.

Kendati demikian, contoh penafsiran tradisional di atas, tanpa disadari, merupakan bentuk legitimasi untuk budaya patriarki. Budaya ini begitu membedakan eksistensi laki-laki dan perempuan. Seorang laki-laki dinilai unggul daripada perempuan pada semua aspek, baik pada ruang domestik maupun publik. Oleh karenanya, tidak heran jika seorang Amina Wadud turut mengkritisi penafsiran-penafsiran tradisional yang cenderung bias gender.

Baca Juga: Bagaimana Relasi Gender dalam Keluarga Dibangun: Perspektif Tafsir Feminis

Menuju Tafsir Alquran Berkeadilan Gender

Berbeda dengan pandangan para mufasir sebelumnya (baca: al-Zamakhsyari dan al-Razi), kata qawwam (QS. Alnisa’ [4]: 34) dalam pandangan Amina Wadud lebih cenderung pada sebuah konsep fungsionalis. Adalah untuk menerjemahkan relasi fungsional dari laki-laki dan perempuan pada bingkai sosial-kemasyarakatan. Keduanya memiliki beban tanggungjawab yang berbeda-beda.

Untuk membentuk suatu masyarakat misalnya, tanggungjawab perempuan yaitu untuk membentuk generasi penerus bangsa. Tanggungjawab ini membutuhkan kekuatan fisik, komitmen, dan kecerdasan. Oleh sebab itu, laki-laki juga dituntut untuk mempunyai tanggungjawab yang sama seperti memberikan perlindungan, material, spiritual, intelektual, dan moral. Jika laki-laki tidak bisa memberikan pemenuhan tanggung jawabnya, maka ia tidak pantas dianggap pemimpin dalam rumah tangga (Qur’an and Women, 72-74).

Penutup

Poin utama yang bisa dipetik berdasarkan pemikiran feminis asal Amerika ini ialah suatu upaya menciptakan sebuah tafsir Alquran berkeadilan gender dari merebaknya penafsiran-penafsiran bias patriarki. Upaya Amina dalam gagasan hermeneutika feminisme adalah dengan melakukan rekonstruksi metodologi tafsir yang diharapkan dapat berimplikasi bagi rekonstruksi teologi dan sosial.

Ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat sangat tidak mencerminkan spirit Alquran. Maka, kaitannya pada hal teks-teks keagamaan, yang seharusnya dijadikan dasar penafsiran yaitu prinsip ideal Islam seperti kesetaraan, keadilan, kebebasan, kerahmatan, dan kemaslahatan bagi semua, tanpa adanya batasan dari perbedaan jenis kelamin, baik laki-laki atau perempuan.

Wallahu a’lam.

Ulama Versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab

0
Ulama Versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab
Ulama Versi Bahasa Indonesia dan Bahasa Arab

Selain menulis tafsir Alquran lengkap tiga puluh juz, M. Quraish Shihab juga menulis satu karya khusus yang mengkaji tentang kosakata keagamaan dengan judul Kosakata Keagamaan, Makna dan Penggunaannya. Tidak kurang dari seratus kosakata keagamaan yang populer digunakan oleh masyarakat Indonesia beliau bahas dalam bukunya tersebut. Dari seratus lebih kosakata itu, ada beberapa yang tertera dalam Alquran, ada pula yang ditemukan di hadis dan perkataan para ulama. Salah satunya yaitu istilah ulama.

Untuk kata ulama, alumni Al-Azhar itu mengupas kata dan istilah tersebut dari dua aspek. Pertama, dari aspek kebahasaan. Kedua, yaitu dari aspek penggunaan istilah. Berdasarkan asalnya, kata ulama adalah serapan dari bahasa Arab yang merupakan bentuk jamak atau plural dari kata ‘alim yang biasa diterjemahkan dengan ‘orang yang berpengetahuan’.

Adapun dari sisi penggunaan istilah, mufasir asal Rappang, Sulawesi Selatan ini membedakan penggunaan istilah ‘ulama’ dalam bahasa dan masyarakat Indonesia dengan istilah ‘ulama’ dalam bahasa Arab dan yang tertera dalam Alquran. Kata ‘ulama’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan ‘orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam’. Sementara itu, dalam bahasa Arab, ulama’ adalah kata yang berbentuk jamak atau plural, yang itu berarti tidak bermakna hanya satu orang, tapi banyak orang.

Tidak hanya dari segi bentuk asalnya (dalam bahasa Arab), M. Quraish Shihab membedakan istilah ‘ulama’ versi bahasa Indonesia dan bahasa Arab juga berdasar pada pertimbangan ayat Alquran yang di dalamnya tertera istilah ‘ulama’. Ada dua ayat yang menyebut kata ‘ulama’, yaitu surah Fatir [35]: 27-28 dan surah Asy-Syuara’ [26]: 197.

Baca Juga: Mengenal Dua Kosakata Sakit dalam Alquran: Marid dan Saqim

Dalam konteks kedua surah ini, kata ‘ulama’ tidak hanya berbicara tentang orang-orang Islam dan ilmu-ilmu keislaman. Di surah Fatir ayat 27-28 misalnya, dua ayat tersebut menguraikan tentang keragaman fenomena alam, buah-buahan, gunung, manusia, binatang, dan kemudian dinyatakan bahwa yang takut dan kagum kepada Allah hanyalah para ulama. Sedangkan dalam surah Asy-Syuara ayat 197, penyebutan ulama’ diikuti dengan Bani Israil, yakni dari kalangan orang-orang Yahudi. Oleh sebab itu, pengarang Tafsir Al-Misbah ini menyimpulkan bahwa istilah ulama itu tidak hanya untuk para ahli di bidang ilmu agama, pun tidak terbatas pada orang Islam. Ulama dalam definisi yang terakhir ini, berarti sama dengan pengertian istilah ilmuwan dalam bahasa Indonesia.

Sampai di sini, dapat dipahami bahwa kata atau istilah keagamaan, serapan dari bahasa Arab yang sudah mengindonesia tidak secara otomatis membawa maksud yang sama persis dengan asal suatu kata atau suatu istilah diambil. Ini tidak lain karena pengaruh dari kultur dan kebiasaan masyarakat setempat. Berdasar pada hal tersebut, maka kata atau istilah keagamaan Islam di Indonesia perlu dikaji ulang makna dan penggunaannya.

Baca Juga: Empat Kosakata Makan dan Makanan dalam Alquran

Antara ulama’ dan ‘alimun

Satu lagi hal yang menarik dari bahasan istilah ulama, yaitu perbedaan antara ulama’ dan ‘alimun. Redaksi ‘alimun dalam Alquran terdapat dalam dua ayat, yaitu surah al-Anbiya’ [21] ayat 51 (….Kami Maha Mengetahui menyangkut dia -tentang Nabi Ibrahim) dan surah al-Ankabut [29] ayat 43 (…Tidak ada yang mengetahuinya -perumpamaan-perumpamaan dalam Alquran kecuali oleh al-‘alimun). Keduanya sama-sama bentuk jamak dari kata ‘alim, namun keduanya mempunyai kandungan maksud yang berbeda.

Berdasar pada dua ayat ‘alimun tadi, M. Quraish Shihab memahami bahwa istilah ini untuk menyebut orang-orang yang memiliki tingkat pengetahuan yang dalam. Di kesempatan lain, secara langsung beliau menambahkan penjelasan bahwa tingkat keahlian ulama’ itu tidak lebih dalam daripada ‘alimun.

Demikian ‘keunikan’ istilah ulama yang mungkin memang perlu dipahami dengan baik makna asal dan penggunaannya oleh masyarakat Indonesia, agar tidak terjadi kerancuan dalam memaknai dan menggunakannya. Pada penjelasan ini pula dapat diketahui bahwa setiap kata yang digunakan dalam suatu ayat Alquran, mempunyai penekanan maksud yang tidak selalu sama meski berasal dari kata dasar yang sama. Wallah a’lam.