Beranda blog Halaman 66

Tadabur Alquran: dari Adab ke Metode

0
tadabur Alquran
tadabur Alquran

Tadabur yang semula menjadi adab dalam berinteraksi dengan Alquran kini menjadi sebuah metode dalam menginternalisasi nilai qur’ani dalam diri pembaca. Sebagai sebuah adab, konsepsi tadabur Alquran dapat ditemukan dalam dua kitab induk Ulumul Qur’an: Al-Burhān dan Al-Itqān pada bab adab membaca Alquran. Sementara sebagai sebuah metode memahami, kecenderungan ini pertama kali ditemukan pada kitab Qawā’id Tadabur karya Abdurrahman Habannakah.

Melalui kitab ini Habannakah kemudian mengaplikasikan kaidah tadabur dalam proses tafsir yang kemudian disebut sebagai tafsīr tadaburī. Hasilnya adalah kitab tafsir yang disusun secara kronologis yang berjudul Ma’ārij at-Tafakkur wa Daqā’iq at-Tadabur.

Karya Habannakah disinyalir menjadi titik balik revitalisasi tadabur Alquran di era kontemporer. Hal ini dapat ditunjukkan dari dua poin: pertama, harapan Habannakah di penutup karya kaidah tadabur. Kedua, kitab ini menjadi rujukan para pengkaji tadabur di era setelahnya.

Harapan Habannakah tercantum dalam akhir karyanya, dia berkata: “Semoga kaidah tadabur ini dapat memandu para pelaku tadabur sekaligus menjadi pembuka bagi fondasi dari bangunan disiplin “ilmu tadabur”. Adapun yang kedua, definisi Habannakah tentang tadabur banyak dikutip oleh penulis kitab tadabur seperti, Abdul Muhsin Al-Mutiri (Mabādi’ Tadabur Alquran) dan Khalid Ustman Tsabat (Khulāsah fi Tadabur Alquran). Ulasan kitab tadabur kontemporer akan dijelaskan dalam artikel saya yang lain, insyaallah.

Baca Juga: Tadabur Alquran pun Ada Kaidahnya

Revitalisasi tadabur didukung oleh hadirnya empat ayat yang menunjukkan kedudukan yang tinggi dari aktivitas tadabur Alquran. Artikel ini mengurai empat ayat dan konteks yang berkaitan dengan tadabur dalam Alquran.

Tadabur Sebagai Tujuan Alquran

Ayat pertama termaktub dalam QS. Sad [38]: 29 berbicara tentang tadabur sebagai tujuan dari diturunkannya Alquran:

كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ مُبٰرَكٌ لِّيَدَّبَّرُوْٓا اٰيٰتِهٖ وَلِيَتَذَكَّرَ اُولُوا الْاَلْبَابِ

Artinya: “(Alquran ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) yang penuh berkah supaya mereka menadaburi ayat-ayatnya dan orang-orang yang berakal sehat mendapat pelajaran.” (Terjemahan Kemenag 2019)

Ayat ini menjadi dalil Habannakah dalam “mewajibkan” tadabur Alquran. Diturunkan di Mekkah melalui Nabi Muhammad untuk kemudian ditadaburi oleh umat manusia. Artinya tujuan Allah menurunkan Alquran tidak lain hanya untuk menjadi objek tadabur. Bagi Habannakah tadabur bukan hanya pemahaman konseptual semata, melainkan butuh perenungan, pengingat dan pelajaran dalam beramal. (Qawā’id Tadabur)

Tadabur secara bahasa berdekatan dengan tafakur. Lebih detail, kata tadabur berarti akhir atau punjak dari sesuatu. Definisi khas tadabur oleh Habannakah adalah tafakur yang menyeluruh dan membawa pelakunya memahami makna kalimat dan kedalamannya.

Tadabur Sebagai Perintah Alquran

Tiga ayat selanjutnya berisi perintah melakukan tadabur dalam QS. Al-Mukminun [23]: 68, QS. An-Nisa [4]: 82, QS. Muhammad [47]: 24. Perintah tadabur dalam ayat ini dalam konteks pendengarnya adalah orang mukmin dan orang munafik.

اَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ اَمْ جَاۤءَهُمْ مَّا لَمْ يَأْتِ اٰبَاۤءَهُمُ الْاَوَّلِيْنَ ۖ

Artinya: “Maka, tidakkah mereka menadaburi firman (Allah) atau adakah telah datang kepada mereka apa yang tidak pernah datang kepada nenek moyang mereka terdahulu?”

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ ۗ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللّٰهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلَافًا كَثِيْرًا

Artinya: “Tidakkah mereka menadaburi Alquran? Seandainya (Alquran) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.”

اَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْاٰنَ اَمْ عَلٰى قُلُوْبٍ اَقْفَالُهَا

Artinya: “Tidakkah mereka menadaburi Alquran ataukah hati mereka sudah terkunci?

Tiga ayat di atas berisi pertanyaan sindiran (istifhām inkarī) kepada para mukmin dan munafik di masa Nabi yang bertujuan sebagai perintah untuk melakukan tadabur. Bentuk perintah dengan menggunakan negasi tidakkah menunjukkan penegasan atas perintah. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah)

Pada QS. An-Nisa [4]: 82 ayat turun di Madinah kepada mereka yang pura-pura beriman. Mereka adalah yang mengumumkan keimanan dan keislaman; menghadiri majlis Rasulullah akan tetapi hati mereka abai dan menolak. Dengan kondisi mereka yang seperti inilah sindiran ini melesat kepada hati mereka untuk menghayati Alquran. Karena Alquran merupakan satu kesatuan yang tak akan bertentangan satu sama lain.

Sementara pada QS. Muhammad [47]: 24, juga dengan redaksi yang sama, menunjukkan bahwa mereka mengabaikan tadabur Alquran. Satu faktor yang membuat mereka meninggalkan tadabur adalah hati yang terkunci. Karena Alquran adalah suci dan mulia, maka hati yang terkunci dan kotor tak akan mampu menjangkaunya. Kunci utama untuk membukanya adalah dengan membersihkan diri dari segala sifat rendah dan akhlak tercela. (Makarim Syirazi, Tafsir Al-Amtsal)

Baca Juga: Anjuran Menghayati Bacaan Alquran hingga Menangis

Catatan Reflektif

Perkembangan tadabur dari adab menjadi metode internalisasi Alquran menjadi momen penting. Mengingat, kebutuhan akan internalisasi akhlak Alquran lebih dibutuhkan ketimbang sekadar pemahaman di kepala. Momen ini menjadi titik balik menghidupkan Alquran di dalam diri pembaca. Jika Nabi Muhammad disebut sebagai Alquran yang berjalan karena akhlaknya serasi dengan kandungan Alquran, maka dengan tadabur para pembaca dapat menyicil serpihan akhlak untuk disusun dalam dirinya menjadi bangunan akhklak yang utuh.

Keempat ayat tadabur memperkuat pentingnya tadabur bagi para pembaca Alquran. Melalui tadabur pembaca menaikkan level bacaannya dari sekadar membaca untuk memahami, menghayati dan mengamalkan nilai qur’ani dalam kehidupannya.

Menadaburi Alquran sejalan dengan tujuan agung diturunkannya Alquran dengan syarat mempersiapkan kesucian diri untuk membuka hati yang tertutup dan kotor. Semoga tulisan ini dapat membawa kebermanfaatan serta kesadaran untuk mengamalkan nilai qur’ani dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud menjalankan perintah tadabur.

Beragam Pendapat Mufasir tentang Asal Usul Ka’bah

0
Asal Usul Ka'bah
Asal Usul Ka'bah

Ka’bah merupakan bangunan suci yang menjadi kiblat umat Islam di seluruh dunia. Selain salat yang diharuskan menghadap Ka’bah, umat Islam juga diperintahkan untuk melakanakan ibadah haji yang salah satu rangkaianya adalah tawaf di Baitullah, Ka’bah.

Menurut beberapa mufasir, asal usul Ka’bah berkaitan erat dengan riwayat hidup Nabi Ibrahim a.s. dan putranya, Nabi Ismail a.s., akan tetapi, sebagian mufasir yang lain juga mengatakan bahwa Ka’bah telah ada jauh sebelum era Nabi Ibrahim a.s., bahkan ada pula yang berpendapat bahwa Ka’bah telah ada sebelum bumi diciptakan.

Baca Juga: Keistimewaan Ka’bah dalam Al-Quran dan Pahala Memandangnya

Beragam pendapat ini salah satunya berdasar pada perbedaan penafsiran terhadap surah Ali Imran ayat 96.

إِنَّ أَوَّلَ بَيْتٍ وُضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِي بِبَكَّةَ مُبَارَكًا وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ

Sesungguhnya rumah (ibadah) pertama yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. (Q.S. Ali Imran [03]: 96).

Dalam kitab tafsirnya, Imam al-Wahidi menyebutkan bahwa ayat tersebut turun saat terjadi perdebatan antara kelompok Yahudi dan umat Islam. Orang-orang Yahudi mengklaim Baitul Maqdis lebih utama daripada Ka’bah karena ia merupakan tempat hijrah para nabi serta lokasinya pun ada di tanah yang diberkati.

Umat Islam tidak terima akan klaim tersebut, dan mengatakan bahwa Ka’bah-lah yang lebih utama. Akhirnya, hal tersebut sampai kepada Rasulullah saw. kemudian turunlah Q.S. Ali Imran ayat 96. Ini untuk mengcounter jawaban orang-orang Yahudi. [Al-Tafsir al-Wasith, juz 1, hlm 479].

Dari sini dapat dipahami bahwa tujuan utama diturunkannya ayat 96 surah Ali Imran adalah untuk menjelaskan kemuliaan Ka’bah atas Baitul Maqdis. Adapun dari aspek historis, Ka’bah tentu lebih dulu ada daripada Baitul Maqdis. Ka’bah dibangun di masa Nabi Ibrahim a.s. sedangkan Baitul Maqdis dibangun pada masa Nabi Sulaiman a.s.. [Mafatih al-Ghaib, juz 8, hlm. 297]

Satu lagi perbedaan pendapat terkait asal usul Ka’bah, yaitu apakah Ka’bah merupakan bangunan pertama yang pernah dibangun di muka bumi? Untuk pertanyaan ini, setidaknya terdapat dua kelompok jawaban yang berbeda. Sebagian ulama berpendapat bahwa Ka’bah bukan bangunan pertama di muka bumi, sebagian yang lain berpendapat bahwa Ka’bah memang merupakan bangunan pertama di bumi.

Di antara ulama yang mengatakan bahwa Ka’bah telah ada sebelum Nabi Ibrahim as. adalah Imam Mujahid, al-Wahidi, al-Sudiy dan ulama lainnya, akan tetapi terdapat dua riwayat yang berbeda mengenai siapa yang pertama kali membangun kiblat salat tersebut.

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa Ka’bah telah ada seribu tahun sebelum bumi diciptakan. Ada riwayat lain yang mengatakan bahwa Ka’bah pertama kali dibangun oleh malaikat atas perintah Allah swt. Bangunan yang konon dinamai sebagai al-Dharah tersebut dibuat menyerupai Baitul Makmur, kiblat para malaikat di langit. Ia diproyeksikan sebagai kiblat serta pusat kegiatan tawaf penduduk bumi. (Tafsir al-Khazin, juz 1, hlm. 271)

Baca Juga: Kewajiban Berhaji itu Hanya Sekali Seumur Hidup

Pendapat yang lain mengatakan bahwa Ka’bah dibangun pertama kali oleh Nabi Adam as. Konon, tatkala diturunkan ke dunia, beliau mengadu kepada Allah swt. lantaran merasa kesepian. Kemudian Allah swt. memerintahkannya untuk membuat sebuah bangunan dan tawaf disana. Bangunan ini terus eksis sampai era Nabi Nuh a.s.. Kemudian, ketika banjir bandang melanda sebagian besar kawasan di bumi, Allah swt. mengangkat bangunan Ka’bah ke langit ketujuh yang kemudian menjadi tempat ibadahnya para malaikat.

Barulah pada masa Nabi Ibrahim a.s., Allah swt. memerintahkannya mencari pondasi ka’bah yang dahulu dilanda banjir pada masa Nabi Nuh untuk dibangun kembali. Dengan bimbingan dari Malaikat Jibril a.s. Nabi Ibrahim a.s. dibantu putranya kemudian membangun kembali bangunan Ka’bah di tempat semula. [Mafatih al-Ghaib, juz 8, hlm. 296]

Mereka yang mengatakan bahwa Ka’bah bukan bangunan pertama di muka bumi beralasan bahwa tidak ada dalil yang cukup kuat terkait hal itu. Sementara untuk ayat 96 surah Ali Imran di atas sejatinya tidak menunjukkan bahwa Ka’bah merupakan bangunan pertama di bumi.

Menurut mereka, ayat tersebut tidak mengindikasikan bahwa Ka’bah merupakan bangunan pertama di bumi, tapi menjelaskan bahwa Ka’bah merupakan bangunan pertama yang dibangun sebagai pusat ibadah seluruh umat manusia. Ia merupakan banguanan pertama yang diliputi berkah dan petunjuk bagi manusia. Sebelumnya banyak bangunan-bangunan tempat ibadah tapi hanya dimiliki oleh individu secara personal. Sedangkan ka’bah dibangun sebagai tempat ibadah bagi semua orang. Pendapat ini dibenarkan oleh sejumlah tokoh tafsir termasuk Imam al-Thabari. [Tafsir al-Thabari, juz 5, hlm. 592]

Pendapat  ini juga diamini oleh Ali Husni al-Kharbithli, seorag guru besar Sejarah Islam di ‘Ain Syams University Kairo, Mesir. Dengan latar belakang sejarah yang digelutinya, Ali Husni mengatakan bahwa Ka’bah telah ada jauh sebelum era Nabi Ibrahim a.s. meski berasal dari sumber yang kurang valid dan bahkan kontradiktif antara satu dengan yang lain. [Sejarah Ka’bah, hlm 19]

Demikianlah penjelasan singkat seputar perbedaan pandangan ulama tentang asal usul Ka’bah. Ka’bah yang kita kenal sekarang pertama kali dibangun oleh Nabi Ibrahim as. merupakan fakta yang tak terbantahkan, karena didasarkan atas dalil-dalil dan bukti sejarah yang valid. Namun, apakah Ka’bah memang telah ada sejak zaman Nabi Adam as. Atau bahkan sudah ada sebelum bumi diciptakan, itu masih diperselisihkan. Wallahu a’lam.

Gelar dari Allah Swt Kepada Nabi Musa as: Kalimullah

0
Gelar dari Allah Swt Kepada Nabi Musa as: Kalimullah
Gelar dari Allah Swt Kepada Nabi Musa as: Kalimullah

Dalam Alquran terdapat banyak ayat yang mengisahkan Nabi Musa as. Dari berbagai fase kisah beliau salah satu bagian yang menarik untuk dibahas adalah kisah Nabi Musa as yang mendapatkan gelar kalimullah.

وَرُسُلاً قَدْ قَصَصْناهُمْ عَلَيْكَ مِنْ قَبْلُ وَرُسُلاً لَمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ وَكَلَّمَ اللَّهُ مُوسى ‌تَكْلِيماً

Dan rasul-rasul yang telah kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya dan Rasul-rasul yang tidak kami ceritakan kepadamu, dan Allah berkalam kepada Musa secara langsung. (Q.S Alnisa’ [4]: 164)

Pada surah Alnisa’ [4]: 164 di atas, telah jelas bahwa Allah berkalam kepada Nabi Musa as secara langsung. Pada ayat 164 tersebut, Imam al-Qurthubi mengutip riwayat dari Wahb bin Munabbih yang mengisahkan awal mula Allah memberi gelar kalima(n) kepada Nabi Musa as atau lebih sering kita sebut dengan kalimullah, yang berkalam atau berbicara dengan Allah. Disebutkan bahwa untuk dapat mengamalkan hal yang diridai Allah, Nabi Musa as bertanya, “Rabbi mengapa Engkau menjadikanku sebagai kalima(n)?”

Baca Juga: Meski di Bawah Pimpinan Firaun, Allah Tak Perintahkan Nabi Musa Untuk Berontak

“Ingatkah engkau,” kata Allah kepada Nabi Musa as, “Di saat satu anak kambingmu menyimpang dari gerombolan. Kau mengikutinya seharian hingga ia melelahkanmu. Lalu kau menangkap, mencium, dan merangkulnya di pelukanmu. Kau katakan padanya, ‘Kau melelahkanku dan melelahkan dirimu.’ Tidak sedikitpun kau marah atasnya, karena itulah Aku menjadikanmu kalima(n) (yang berkalam)”.

Al-Qurtubi tidak menjelaskan lebih lanjut maksud kisah tersebut. Setidaknya kisah tersebut dapat dipahami jika dikaitkan dengan surah Alnisa’ [4]: 27.

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَواتِ أَنْ تَمِيلُوا ‌مَيْلاً عَظِيماً

Dan Allah menghendaki taubat atas kalian dan orang-orang yang mengikuti syahwat-syahwat menginginkan kalian berpaling sejauh-jauhnya.

Nabi Musa tetap bersikap lembut dan pemaaf kepada anak kambing tersebut, meskipun ia menyimpang jauh dari jalannya. Hal ini karena sejatinya yang diinginkan Nabi Musa as adalah kembalinya gembala kecil itu. Meskipun ia sama sekali tidak memerhatikan Nabi Musa as yang senantiasa mengikutinya, hal ini tidak menjadi soal bagi beliau.

Sikap pengampun dan lembut Nabi Musa as di atas seakan menjadi gambaran dari surah Alisra’ [17]: 44. Ayat ini menyinggung bagaimana manusia tidak memahami bahwa alam raya bertasbih kepada-Nya. Sementara dalam banyak kesempatan, manusia bukan hanya tidak bertasbih, tetapi juga terlena dan lupa akan perhatian-Nya.

تُسَبِّحُ ‌لَهُ السَّماواتُ السَّبْعُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَاّ يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كانَ حَلِيماً غَفُوراً

Tujuh langit dan bumi beserta yang berada di dalamnya bertasbih kepada-Nya, tiadalah segala sesuatu kecuali ia bertasbih dengan memuji-Nya akan tetapi kalian tidak mengerti akan tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Menahan amarah Maha Pengampun. (Q.S Alisra’ [17]: 44)

Baca Juga: Kisah Nabi Musa dan Doa-Doa yang Dipanjatkannya dalam Surat al-Qashash

Al-hilm menurut al-Raghib al-Ashfihani adalah kemampuan untuk menahan diri dari gejolak amarah. Di titik ini, kisah Nabi Musa as di atas dapat dikaitkan dengan surah Alisra’ [17]: 44. Bahwa Allah adalah Maha Menahan amarah dan Maha Pengampun, meskipun para hamba-Nya sering lalai dalam mengingatnya, bahkan melakukan hal yang tidak diridai-Nya, Dia senantiasa membuka pintu untuk manusia kembali bertaubat.

Dari sini, dapat dimengerti bahwa kalam langsung itu sendiri tidak meniscayakan adanya pertemuan langsung secara hakikat. Seperti dikatakan oleh Ibn Asyur dalam al-Tahrir wa al-Tanwir bahwa makna berkalam tersebut tidak dimaksudkan untuk menjadi gambaran akan hulul-nya Nabi Musa as.

Menurut Ibn Asyur, kalam dalam konteks ini bukanlah ucapan dengan lafaz seperti definisi kalam pada umumnya. Hal ini karena mustahil Allah demikian, karena ucapan berlafaz seperti manusia pada umumnya adalah hal yang ‘baru’, sementara Allah memiliki sifat qadim.

Oleh karenanya, makna kalam di sini dimaknai Ibn Asyur sebagai majaz. Yakni, kalam tersebut adalah penunjuk atas maksud Allah dengan bahasa yang dipahami oleh penerima kalam dan diyakini bahwa hal tersebut adalah bagian dari kuasa Allah yang telah menganugerahkan ilmu untuk memahami pesan tersebut. Pernyataan Ibn Asyur di atas dapat ditemui dalam tafsir beliau atas surah Ala’raf [7]: 144.

قالَ يَا مُوسى إِنِّي اصْطَفَيْتُكَ عَلَى النَّاسِ بِرِسالاتِي ‌وَبِكَلامِي فَخُذْ مَا آتَيْتُكَ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

Dia berfirman wahai Musa Aku telah memilihmu atas manusia dengan risalah-risalah-Ku dan kalam-Ku maka ambillah apa yang Kuberikan padamu dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersyukur.

Baca Juga: Etika Kritik Terhadap Penguasa Ala Nabi Musa

Imam al-Razi menyebut bahwa ayat ini adalah tasliyah atau hiburan bagi Nabi Musa as yang tidak diizinkan untuk melihat Allah secara langsung, sebagaimana termaktub dalam ayat 143. Al-Razi juga  menambahi bahwa meskipun tidak dapat melihat Allah, Nabi Musa as dianjurkan untuk tetap menyukuri nikmat Allah yang telah diberikan kepadanya berupa pengkhususan akan risalah dan kalam.

Melalui penjelasan para ulama tafsir di atas, dalam beberapa ayat menjadi jelas bahwa gelar kalimullah Nabi Musa as didapatkan beliau karena ilmu dan pengamalan yang bersumber dari Allah. Bahwa tidak kuasanya beliau untuk melihat Allah tidak menjadi penghalang untuk tetap berkomunikasi dengan-Nya.

Gelar kalimullah Nabi Musa as dapat menjadi ibrah bagi manusia untuk menyukuri setiap makna Alquran yang sampai kepada kita. Bisa jadi, makna tersebut adalah karunia khusus dari Allah kepada kita dan bentuk komunikasi dan perhatian dari-Nya.

Wallahu a’lam.

Rahasia Keajaiban Salat Tahajud Perspektif Sains

0
Rahasia Keajaiban Salat Tahajud Perspektif Sains
Rahasia keajaiban salat tahajud perspektif sains (gambar: Pixabay).

Salat adalah munajat terbaik kepada Allah karena di dalamnya terjadi hubungan rohani antara makhluk dan Khaliqnya. Dan malam hari merupakan saat yang paling tepat untuk seseorang berdoa, sebab Allah yang secara langsung dalam Alquran memerintahkan ini kepada hamba-Nya. Terdapat banyak rahasia llahi yang tersimpan dalam salat tahajud, yang berupa hikmah dan manfaat bagi pengamalnya. Allah berfirman:

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَّكَ عَسَىٰ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَّحْمُودًا

“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (Q.S. Al-Isra [7]: 79).

Baca juga: Keutamaan Salat Tahajud, Tafsir Surah Al-Isra Ayat 79

Dikutip dari Tafsir al-Misbah (jilid VII h. 166), kata tahajjad dipahami oleh al-Biqa’i memiliki makna tinggalkan tidur untuk melakukan salat. Salat ini dikerjakan saat malam hari di waktu yang sama dengan waktu tidur.

Ada juga yang memahami kata tersebut berarti bangun dan sadar sesudah tidur. Sebagaimana al-Qurtubi mengungkapkan bahwa tahajud adalah bangun setelah tidur di malam hari. Maka salat tahajud baru memenuhi syarat jika dilaksanakan setelah yang bersangkutan telah tidur. Demikian juga pengertian yang dijelaskan oleh mayoritas ulama fikih.

Rahasia Tahajud, Doa, dan Gelombang Otak Manusia

Sudah tidak diragukan lagi bahwa banyak manfaat yang dapat didapat dari salat tahajud. Di samping mempunyai makna normatif, salat tahajud sebagai ibadah tambahan membawa dampak positif secara praktis baik spiritual, materi, atau yang lainnya.

Salat tahajud juga merupakan ibadah yang memberikan kepastian doa seorang hamba dikabulkan. Dalam sebuah hadis dikatakan tiap sepertiga malam terakhir Allah menyeru: “Barang siapa yang berdoa terhadap-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barang siapa yang memohon terhadap-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barang siapa yang menginginkan ampunan-Ku, niscaya Aku ampuni.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Baca juga: Keutamaan Istighfar di Waktu Sahur

Hal ini juga berkaitan mengapa Allah mengharuskan tahajud dilaksanakan setelah bangun tidur pada malam hari. Sebuah penelitian ilmiah tentang brainwave mengungkapkan bahwa manusia pada saat bangun tidur, di malam hari utamanya, gelombang otak atau pikirannya masuk pada gelombang alpha dan theta.

Pada saat ini seseorang dalam kondisi trans, yaitu saat gelombang otak merasa sangat rileks, khusyuk, santai, fokus, dan super learning; ataupun masuk pada gelombang theta, yakni ia merasa sangat khusyuk, deep meditation, nurani di bawah sadar dan hening. Kondisi ini lah yang memicu kata-kata yang sering dan konsisten diucapkan melalui doa terekam jelas di alam bawah sadarnya sehingga menyebabkan subjek selalu mengingat, terarah pada maksud dari doa yang diucapkan tanpa ia sadari dan menjadikan doa sebagai self reminder. (Kate Loewenthal, Religion, Culture, and Mental Health, h. 67).

Rahasia Tahajud dan Kesehatan Tubuh

Disebutkan dalam hadis lain, “Tahajud menghapus dosa, mendatangkan ketenangan, serta menghindarkan dari penyakit.” (H.R Tirmidzi). Sabda Rasulullah tersebut memberikan sebuah peluang untuk menelaah lebih jauh mengenai hubungan praktik ibadah mahdah dengan alur logika dan pembuktian sains.

Dalam dunia kedokteran, salat tahajud dapat mendatangkan ketenangan yang meningkatkan ketahanan tubuh imunologik, menghilangkan stres yang memicu risiko terkena penyakit fisik seperti kolestrol, jantung, bahkan kanker.

Baca juga: Tips Mendapat Malam Lailatulqadar Ala M. Quraish Shihab

Hal ini dipengaruhi oleh hormon kortisol (hormon yang terlibat dalam merespons stres dan meningkatkan tekanan darah dan kadar gula darah) yang seharusnya menurun pada malam hari. Namun, karena malam hari melakukan salat tahajud, maka sekresi kortisol tetap tinggi, sehingga dapat meningkatkan respons biologis imun dan menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imonologi) khususnya pada imonoglobin M, G, A dan limfosit-nya yang berupa persepsi dan motivasi positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk coping masalah. (Moh. Sholeh, Terapi Shalat Tahajud Menyembuhkan Berbagai Penyakit, h. 18).

Selain hal tersebut, seorang peneliti juga menyebutkan bahwa menyedot oksigen di atmosfer bumi sekitar jam tiga pagi hingga terbit matahari dan menggerakkan otot-otot di dalam badan akan menyegarkan badan dan melancarkan aliran darah di tubuh. Kedua hal tersebut, yaitu oksigen dan gerakan otot sangat penting bagi kesehatan tubuh manusia. Oksigen akan hilang dari atmosfer bumi selepas matahari terbit dan tidak datang lagi sampai besok pagi. Hanya manusia yang bangun pada waktu ini yang dapat menikmati oksigen tersebut.

Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa tahajud akan memberikan dampak positif dari berbagai aspek, baik dari sudut pandang religius, spiritualitas, materi, maupun kesehatan. Wallahu a’lam. []

Unsur Teologis dalam Keindahan Surah Asy-Syams

0
Unsur Teologis dalam Keindahan Surah Asy-Syams
Surah Asy-Syams.

Surah Asy-Syams merupakan surah ke-91 dalam urutan mushaf Alquran. Surah ini terdiri dari 15 ayat dan tergolong ke dalam bagian surah-surah makkiyyah. Secara umum, ada dua topik yang terkandung di dalamnya. Pertama adalah hawa nafsu yang dibicarakan dalam sepuluh ayat pertama. Kedua adalah kisah pendustaan kaum Samud pada lima ayat sisanya.

Salah satu unsur yang menarik dari surah Asy-Syams adalah bahwa Allah Swt. menggunakan sumpah (qasam) yang berlapis dalam rangkaian penyebutan nafs (nafsu), yakni pada ayat pertama hingga ayat ketujuh, sebelum memberikan penjelasan yang menyeluruh.

وَالشَّمْسِ وَضُحاها. وَالْقَمَرِ إِذا تَلاها. وَالنَّهارِ إِذا جَلاّها. وَاللَّيْلِ إِذا يَغْشاها. وَالسَّماءِ وَما بَناها. وَالْأَرْضِ وَما طَحاها. وَنَفْسٍ وَما سَوّاها. فَأَلْهَمَها فُجُورَها وَتَقْواها. قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكّاها. وَقَدْ خابَ مَنْ دَسّاها.

“Demi matahari dan sinarnya pada waktu duha. Demi bulan saat mengiringinya. Demi siang saat menampakkannya. Demi malam saat menutupinya. Demi langit serta pembuatannya. Demi bumi serta penghamparannya. Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya. lalu Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu) dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (Q.S. Asy-Syams [91]: 1-10)

Baca juga: Keindahan Bahasa Alquran dan Kemunculan Metode Tafsir Sastrawi

Bagi sebagian kalangan, penggunaan qasam berlapis ini dapat dipahami sebagai pentingnya nafsu bagi kehidupan manusia (basyar). Hal ini sebagaimana jamak diketahui dari berbagai penjelasan ulama. Di antara maqalah yang sering kali dirujuk dalam masalah ini seperti,

رَجَعْنَا مِنَ الجِهَادِ الأَصْغَرِ إِلى الْجِهَادِ الأَكْبَرِ

“Kita telah kembali dari jihad yang kecil (perang fisik) menuju jihad yang lebih besar (perang hawa nafsu)”

Di luar itu, ada penjelasan yang cukup menarik berkaitan dengan penggunaan qasam berlapis pada rangkaian penyebutan nafsu dalam surah Asy-Syams. Penjelasan tersebut seperti yang diberikan Wahbah al-Zuhailaiy dalam Al-Tafsir al-Munir-nya setelah melakukan analisis terhadap unsur balaghah yang digunakan dalam rangkaian qasam tersebut.

Al-Zuhailiy menyebutkan bahwa rangkaian qasam dalam surah Asy-Syams menggunakan pola tabaddul atau taghayyur (pergantian; perpindahan). Objek-objek yang digunakan di dalamnya saling berpasangan dan silih berganti bermunculan: matahari dan bulan dengan masing-masing pancaran sinarnya, serta siang dan malam berikut pergantiannya.

Baca juga: Balaghah Alquran: Keindahan Penggunaan Huruf Athaf Tsumma

Pola semacam ini, menurut Al-Zuhailiy, memiliki isyarat teologis yang menentang kepercayaan kaum musyrik yang mempertuhankan bintang-bintang serta kelompok lain yang percaya bahwa alam semesta dikendalikan oleh dua kekuatan (Tuhan) besar, cahaya dan kegelapan. Dengan pola tabaddul ini, Allah melalui surah Asy-Syams hendak menegasikan ketuhanan dan kekuatan objek tersebut karena ketidakkekalan yang mereka miliki.

Isyarat ini agaknya mirip dengan kisah spiritual Nabi Ibrahim yang tengah mencoba menanamkan akidah tauhid kepada kaumnya melalui pengamatan terhadap fenomena alam yang terjadi,

وَكَذلِكَ نُرِي إِبْراهِيمَ مَلَكُوتَ السَّماواتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ. فَلَمّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأى كَوْكَباً قالَ هذا رَبِّي فَلَمّا أَفَلَ قالَ لا أُحِبُّ الْآفِلِينَ. فَلَمّا رَأَى الْقَمَرَ بازِغاً قالَ هذا رَبِّي فَلَمّا أَفَلَ قالَ لَئِنْ لَمْ يَهْدِنِي رَبِّي لَأَكُونَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضّالِّينَ. فَلَمّا رَأَى الشَّمْسَ بازِغَةً قالَ هذا رَبِّي هذا أَكْبَرُ فَلَمّا أَفَلَتْ قالَ يا قَوْمِ إِنِّي بَرِيءٌ مِمّا تُشْرِكُونَ. إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّماواتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفاً وَما أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ .

“Demikianlah Kami memperlihatkan kepada Ibrahim kekuasaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka, ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” Kemudian, ketiak dia melihat bulan terbit dia berkata (kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk kaum yang sesat.” Kemudian, ketika dia melihat matahari terbit dia berkata (lagi kepada kaumnya), “Inilah Tuhanku. Ini lebih besar.” Akan tetapi, ketika matahari terbenam dia berkata, “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (hanya) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan (mengikuti) agama yang lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.” (Q.S. Al-An‘am [6]: 75-79)

Baca juga: Meninjau Keindahan Alquran dengan Studi Fonologi

Keterbenaman objek-objek yang disebutkan dalam kisah Nabi Ibrahim; bintang, bulan, dan matahari, merupakan maksud dari isyarat pola tabaddul yang digunakan dalam surah Asy-Syams. Keterbenaman (afl-ufuul-afuul) merupakan bagian dari ketidakkekalan, yang karenanya meniscayakan Zat Maha Tidak Terbenam yang kekal di balik seluruh fenomena terbenam tersebut, Zat yang dikatakan Nabi Ibrahim sebagai Yang menciptakan langit dan bumi. Wallahu a‘lam bi al-shawab. []

Makna al-‘Ashr Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy

0
Makna al-‘Ashr Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy
Makna al-‘Ashr Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy

Menurut Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi, dalam Tafsir Juz ‘Amma (hal. 520), sumpah-Nya adalah al-‘ashr, dan muqsam ‘alaih/jawab al-qasam-nya adalah manusia merugi kecuali beriman dan beramal saleh serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran.

Dalam surah Al’ashr [103]: 1-2, yang berbunyi,

وَالْعَصْرِۙ  اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ

Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian.

Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan العصر  pada ayat tersebut?

Makna al-‘Ashr Menurut Syekh Asy-Sya’rawy

Kata “ashr” itu sendiri, menurut Syekh asy-Sya’rawi, dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma (hlm. 520-521) bila diucapkan secara umum, maka maknanya adalah waktu salat asar. Inilah yang tergambar di benak manusia saat disebutkan kata ashar.

Makna ashar terkadang berpindah dari makna khusus, yaitu waktu antara zuhur dan magrib saja, menjadi makna “waktu” yang berlangsung sehari semalam yang tidak lepas dari kewajiban salat di dalamnya, yakni “salat asar”. Karena waktu yang berlangsung tersebut dalam bahasa Arab disebut juga dengan istilah ashar.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Ashr: Waktu yang Hilang Tidak Akan Kembali Lagi

Selain itu, kata ashar juga dapat berpindah pada makna yang lebih luas dari dua makna yang telah disebutkan di atas. Ia dapat bermakna “suatu waktu yang meliputi siang secara menyeluruh atau waktu yang meliputi malam secara menyeluruh”.

Ada juga makna lainnya yang mengartikan bahwa ashar lebih luas dari pada yang telah disebutkan di atas, yakni waktu siang dan malam yang meliputi bilangan minggu, dan bilangan bulan, yang di dalamnya memiliki karakter tersendiri, seperti masa kebodohan, masa kedatangan (kejayaan) Islam, masa Bani Umayyah, masa Bani Abbasiyah, dan masa kemajuan yang membentuk zaman modern.

Dengan demikian,  ashar dapat diartikan dengan “salat” pada waktu tersebut (salat asar), atau ashar adalah “waktu” untuk melaksanakan salat asar tersebut (waktu asar), atau “masa” yang terdiri dari siang dan malam, atau terdiri dari beberapa minggu, beberapa bulan, tapi waktu itu erat kaitannya dengan sebuah peristiwa tertentu, berikut dengan peradabannya. Semisal saat menyebutkan ashr/masa jahiliyyah, atau masa kebodohan, masa kebangkitan, masa Umawiyyah, masa peradaban. (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 521).

Jadi, menurut Syekh asy-Sya’rawi, kata ashar dapat dipahami dengan tiga makna di atas.

Argumen dari Masing-masing Pendapat Makna Al-‘Ashr

Setelah memaparkan perbedaan makna ashar, Syekh asy-Sya’rawi melanjutkan dengan sebuah pertanyaan, dengan makna ashar yang manakah Allah Swt. bersumpah? Selanjutnya, beliau memaparkan masing-masing argumen dari masing-masing pendapat mengenai makna ashar di atas. Berikut adalah paparan secara detailnya.

Salat Asar

Bila dipahami dengan makna yang pertama, yaitu salat asar, maka ulama memahaminya dengan pentingnya salat asar berdasarkan firman Allah Swt. dalam Q.S. Albaqarah [2]: 238, yang berbunyi:

حَٰفِظُوا۟ عَلَى ٱلصَّلَوَٰتِ وَٱلصَّلَوٰةِ ٱلْوُسْطَىٰ

Peliharalah semua salat dan salat wustha.

(Tafsir Juz ‘Amma, 521-524).

Sedangkan menurut Imam Muqatil, sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Alusy dalam kitab tafsirnya yang berjudul Ruh al-Ma’any, bahwa Allah Swt. bersumpah dengan “salat asar”, karena keutamaan yang terkandung di dalam salat tersebut. Hal ini, menurut beliau karena salat asar adalah yang dimaksud oleh Allah dengan salat wustha dalam Q.S. Albaqarah [2]: 238, menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama. (Tafsir Ruh al-Ma’any, Juz. 15, 457).

Baca Juga: 3 Kriteria Keberuntungan Seseorang dalam Surat Al-Ashr Ayat 1-3

Waktu Asar

Pemahaman kedua dari makna ashr yaitu waktu asar atau sore. Kenapa waktu asar atau sore begitu penting bagi Allah hingga dijadikan sebagai sarana sumpah?

Jawabannya, menurut Syekh asy-Sya’rawi, masih dalam kitab Tafsir Juz ‘Amma, karena waktu asar tiba di ujung hari, dimana kebanyakan manusia sedang tersibukkan oleh pekerjaannya, yang menjadikan mereka terkalahkan oleh waktu mereka sendiri, sehingga Allah Swt. lebih menekankan waktu tersebut dengan sumpah-Nya, “والعصر”.

Selain dari pada itu, menurut beliau, waktu asar merupakan waktu dimana manusia mengevaluasi hasil kerja/amal perbuatan hariannya dari pagi hingga sore. Apakah kerja/amal perbuatannya sudah maksimal dan mendatangkan manfaat? Atau, hanya membuang-buang waktu dengan melakukan hal-hal yang tidak berguna!?

Oleh karena itu, hal ini selaras dengan sumpah dalam firman-Nya, “والعصر”. Maksudnya, “demi waktu asar”, yakni waktu dimana manusia dapat mengintrospeksi/mengevaluasi hasil kerja/amal perbuatan yang telah kalian perbuat. Maka, tentu berbahagia bagi mereka yang telah meraih manfaat dari waktu yang telah berlalu. Dan sebaliknya, bagi mereka yang selalu membuang-buang waktu, maka tentu akan bersedih dan menyesal. (Tafsir Juz ‘Amma, 524).

Sedangkan menurut Imam Qatadah, sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Alusy dalam Ruh al-Ma’any, bahwa Allah Swt. bersumpah dengan “waktu asar” karena Nabi Adam as. diciptakan pada waktu tersebut di hari Jumat. (Tafsir Ruh al-Ma’any, Juz. 15, 457).

Baca Juga: Mutawalli As-Sya’rawi: Mufasir Kontemporer dari Mesir

Masa atau Waktu

Pemahaman terakhir dari ashr adalah masa dari kehidupan manusia. Masa kehidupan manusia itu bersifat pasang surut. Ada masa permulaan dan ada pula masa kepunahan. Satu peradaban bangkit, berkembang, maju dan berjaya, kemudian hancur dan punah. Tegaknya satu peradaban mengisyaratkan bahwa dia memiliki sendi-sendi kehidupan. Kemudian kepunahan dan kehancurannya mencerminkan bahwa ia memiliki unsur-unsur kepunahan. Kalaulah peradaban itu berdiri dan terus berkembang, tentu dia tidak akan pernah berakhir. (Tafsir Juz ‘Amma, 524).

Sedangkan menurut Ibnu Abbas ra., sebagaimana dikutip oleh Syekh al-Alusy, bahwa Allah bersumpah dengan “masa”, karena di dalamnya terdapat berbagai macam keajaiban. Sehingga menurut beliau, seakan Allah bersumpah dengan “masa” untuk mengingatkan manusia akan berbagai nikmat maupun siksa yang diberikan oleh-Nya, sehingga ia akan bersiap-siap untuk mendapatkan kerugian ataupun keberuntungan. (Tafsir Ruh al-Ma’any, Juz. 15, 458).

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai manakah yang dimaksud dengan makna al-‘ashr di atas, Syekh asy-Sya’rawy, kemudian memberikan sebuah kesimpulan, bahwasannya dengan tiga pemahaman makna ‘ashr di atas (salat asar, waktu asar, atau masa), maka Allah telah menempatkan alasan-alasan yang logis dalam pentingnya ‘ashr itu. Seakan-akan Dia berkata, “Tunjukkan pemahaman ‘ashr mana pun, pasti semuanya menopang empat prinsip yang menyebabkan manusia sukses dan berjaya, sebagaimana yang akan Aku paparkan berikut ini.” (Tafsir Juz ‘Amma, 524-525).

Wallahu a’lamu bish shawab.

Politisasi Ayat dan Hadis dalam Sejarah Islam

0
Politisasi ayat dan hadis dalam sejarah Islam
Politisasi ayat dan hadis dalam sejarah Islam

Dalam buku Tafsir Al-Quran di Medsos, Nadirsyah Hosen menjelaskan tentang historisitas politisasi ayat dan hadis di dunia Islam. Data yang beliau peroleh menyatakan bahwa fenomena ini sudah berlangsung sejak lama, setidaknya sejak masa kekuasaan Dinasti Umayyah. Tradisi buruk ini sempat terhenti pada masa kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz, namun kemudian masih berlanjut kembali di masa Dinasti Abbasiyah, khususnya di masa khalifah Al-Mu’tadid.

Gus Nadir, sapaan akrab Nadirsyah Hosen mengutip dan mengambil data-data yang terdapat dalam sebuah dokumen yang ditampilkan oleh At-Thabari dalam kitabnya, Tarikh at-Thabari yang berisi tanggapan al-Mu’tadid tentang Bani Umayyah. Dokumen tersebut ditandatangani oleh Menteri Utama (Wazir) pada masa pemerintahan al-Mu’tadid (salah satu khalifah Bani Abbasiyah), yakni Abul Qasim Ubaidillah bin Sulayman. Gus Nadir menyoroti setidaknya dua ayat sebagai sampel dari adanya politisasi ayat dalam dokumen tersebut.

Baca Juga: Menyoal Politisasi Tamkin oleh Ikhwanul Muslimin Perspektif Al-Quran (1): Klarifikasi Makna

Pertama, potongan surah al-Isra’ [17] ayat 60,

…..وَالشَّجَرَةَ الْمَلْعُونَةَ فِي الْقُرْآنِ وَنُخَوِّفُهُمْ فَمَا يَزِيدُهُمْ إِلَّا طُغْيَانًا كَبِيرًا

“…..dan (begitu pula) pohon yang terkutuk dalam Al-Qur’an. Kami menakut-nakuti mereka, tetapi yang demikian itu hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (terjemah quran kemenag)

Dalam dokumen yang ditampilkan oleh At-Tabari, yang dimaksud ‘pohon yang terkutuk’ dalam ayat ini adalah Bani Umayyah. Ini tidak lain sebagai ungkapan kebencian Al-Mu’tadid terhadap mereka.

Seandainya tafsiran atas ‘pohon yang terkutuk’ itu benar adalah Bani Umayyah, kemungkinan besar At-Tabari akan mengangkutnya ke kitab tafsir beliau, Tafsir At-Tabari, ketika menafsirkan ayat 60 surah Al-Isra’, namun ketika dicek di kitab tafsirnya, At-Tabari tidak mencantumkan penafsiran tersebut. ‘Pohon yang terkutuk’ dalam ayat tersebut beliau tafsiri dengan pohon Zaqqum.

Demikian pula dengan penafsiran potongan lain di surah dan ayat yang sama,

…وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ….

“…Kami tidak menjadikan ru’yā yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia….” (terjemah quran kemenag)

Sebagian mufasir memahami ru’yā pada ayat ini berkaitan dengan peristiwa isra’ mi’raj. Sebagian yang lain memahaminya dengan mimpi Rasulullah saw. sebelum perang Badar. Berbeda dengan penafsiran beberapa mufasir yang sudah populer, dalam dokumen yang dicantumkan At-Tabari, ru’yā yang dimaksud pada ayat ini adalah mimpi yang membuat Rasulullah saw. cemberut, yakni mimpi yang berkaitan dengan sekelompok orang dari Bani Umayyah yang naik ke mimbar Rasulullah saw.

Baca Juga: Begini Pemaknaan Al-Quran tentang Politik Identitas

Kedua, surah Al-Qadr ayat 2,

لَيْلَةُ الْقَدْرِ ەۙ خَيْرٌ مِّنْ اَلْفِ شَهْرٍۗ

“Lailatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan.” (terjemah quran kemenag)

Menurut dokumen yang ditampilkan oleh At-Tabari, lalilatulqadar itu lebih baik daripada seribu bulan kekuasaan Bani Umayyah. Kebetulan memang masa 90 tahun kekuasaan Bani Umayyah sama dengan hitungan seribu bulan. Gus Nadir menangkap pesan terselubung dalam isi dokumen ini yaitu pesan bahwa umat jangan silau dengan lamanya kekuasaan Bani Umayyah, karena masih ada yang lebih baik dari itu, yakni lailatulqadar. Sungguh penafsiran yang terlihat amat jelas keluar dari konteks surah al-Qadr.

Untuk lebih meyakinkan umat (khususnya pada masa itu) penafsiran dalam dokumen itu didukung juga dengan kutipan hadis-hadis yang sudah tentu melenceng dari konteksnya. Jadilah penafsiran para pendukung al-Mu’tadid semakin terlihat meyakinkan.

Dalam dokumen itu tidak dicantumkan mengenai latar belakang pemilihan ayat. Jika memperhatikan alur dokumen tersebut, nampaknya setiap ada kesempatan yang pas untuk memasukkan cacian dan ekspresi kebencian terhadap Bani Umayyah dalam penafsiran suatu ayat, mereka, para pendukung al-Mu’tadid akan segera menyelipkannya. Di bagian inilah, terbukti bahwa wajah Alquran itu tergantung kepada seseorang yang membawanya, membaca dan menafsirkannya.

Mengetahui bahwa politisasi ayat sudah pernah terjadi di masa tertentu, juga pernah terhenti dan kemudian berlanjut lagi. Berdasarkan data sejarah ini, tidak menutup kemungkinan bahwa kejadian yang sama akan terulang kembali di masa sekarang dan masa yang akan datang. Na’udzu billah min dzalik.

Tafsir Surah Ali Imran Ayat 97: ‘Istito’ah’ Sebagai Syarat Wajib Haji

0
istito'ah sebagai syarat wajib haji
istito'ah sebagai syarat wajib haji

Tidak lama lagi, umat Islam di seluruh dunia akan berkumpul di Haramain (Makkah dan Madinah) guna melaksanakan rukun Islam yang kelima, yakni ibadah haji. Tidak seperti ibadah lain, pelaksanaan ibadah haji dengan segala rangkaiannya memerlukan stamina ekstra, baik dari aspek fisik (badaniah), finansial (maliah) maupun mental. Untuk melaksanakannya pun ada beberapa syarat wajib haji yang harus dipenuhi terlebih dahulu.

Jika ditelusuri dari aspek historisnya, ibadah haji juga merupakan bagian dari syariat umat-umat terdahulu, akan tetapi, rangkaian ibadah haji sesuai dengan yang kita kenal sekarang merupakan syariat khusus umat Nabi Muhammad saw. yang disyariatkan pada tahun ke-9 Hijriah [Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz 5, hlm. 2056]. Landasan kewajiban haji tersebut tercantum dalam surah Ali Imran ayat 97,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Q.S. Ali Imran [03]: 97.

Baca Juga: Kewajiban Berhaji itu Hanya Sekali Seumur Hidup

Dengan kapasitasnya sebagai seorang ahli fikih, Imam al-Baghawi menjelaskan panjang lebar terkait ketentuan ibadah haji tatkala menafsiri ayat di atas. Beliau menjelaskan bahwa syarat wajib haji adalah Islam, baligh, berakal, merdeka dan istito’ah. [Tafsir al-Baghawi, juz 2, hlm. 72]

Berdasarkan ayat di atas, ulama sepakat bahwa kewajiban haji tidak berlaku bagi semua orang. Ia hanya dibebankan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat wajib haji sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. Termasuk syarat yang bisa dikatakan khusus dan berbeda dengan ibadah lainnya adalah ‘mampu’. Kemampuan tersebut dalam terminologi fikih disebut sebagai istito’ah.

Istito’ah dimaknai oleh ulama sebagai ‘kemampuan untuk sampai ke Tanah Suci’. [al-Fiqh al-Islami, juz 3, hlm. 2082]. Namun, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait batasan atau kriteria istito’ah bagi seseorang.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa yang menjadi kriteria dalam istito’ah adalah mampu dari aspek finansial. Artinya, seseorang dibebankan kewajiban melaksanakan ibadah haji manakala dia sudah memiliki cukup biaya untuk melakukan perjalanan haji. Hai ini sebagaimana sabda Rasulullah saw.:

عن جابر بن عبد الله قال: «لما نزلت هذه الآية وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قام رجل فقال: يا رسول الله ما السبيل؟ قال: الزاد والراحلة (رواه الدارقطني)

Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw bersabda “tatkala turunnya ayat ini وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا , ada seseorang berdiri seraya bertanya “wahai Rasulullah apakah yang dimaksud dengan jalan itu? Rasulullah menjawab ialah bekal dan kendaraan.”(HR. Imam ad Daruqutni)

Selain itu, istito’ah dalam Mazhab Syafi’i terbagi menjadi dua bagian, yakni istito’ah bi al-nafsi dan istito’ah bi al-ghairi. Istito’ah bi al-nafsi artinya orang tersebut mampu melaksanakan ibadah haji secara langsung oleh dirinya sendiri, baik secara fisik maupun finansial.

Sedangkan istito’ah bi al-ghairi adalah kemampuan untuk melaksanakan ibadah haji hanya dari segi finansial saja. Artinya, secara fisik dia tidak mampu melakukan perjalanan ke Tanah Suci lantaran sakit atau faktor lain, namun secara finansial dia memiliki harta yang cukup untuk membiayai seluruh biaya pelaksanaan ibadah haji. Untuk kasus seperti ini, dalam Mazhab Syafi’i, orang tersebut tetap dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji dengan cara menyewa jasa badal haji. [Tafsir al-Imam al-Syafi’i, juz 1, hlm. 482]

Di sinilah letak distingsi antara Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi. Meskipun keduanya sama-sama menafsiri istito’ah dalam ayat tersebut sebagai bekal dan kendaraan, tetapi Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sehat secara fisik juga menjadi syarat untuk dianggap istito’ah, sehingga orang yang secara fisik tidak mampu melakukan perjalanan ke Tanah Suci karena cacat atau sakit misalnya, tidak dikenai kewajiban melaksanakan ibadah haji. [Badai’i al-Shanai’, juz 2, hlm. 121]

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Pro Kontra Dasar Kewajiban Haji

Sejatinya masih banyak pendapat ulama terkait kriteria dan problem seputar istito’ah. Namun, terlepas dari perdebatan tersebut, secara umum bisa diambil bnang merah bahwa syarat seseorang dianggap istito’ah adalah (1) memiliki bekal dan kendaraan (2) sehat secara fisik (3) jalur yang dilalui aman (4) masih sempat melakukan perjalanan dan (5) didampingi mahram untuk perempuan. [al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, juz 17, hlm. 28].

Seiring dengan perkembangan zaman, perlu ada kajian ulang terkait kriteria istito’ah terutama dengan adanya fenomena waiting list. Tidak semua orang yang mampu secara fisik dan finansial berkesempatan untuk melakukan ibadah haji, mereka masih menunggu antrian yang relatif lama, sehingga fenomena waiting list ini bisa dimasukkan untuk menjadi pertimbangan dalam menentukan kriteria istito’ah.

Akhir kata, ada banyak pandangan ulama seputar kriteria istito’ah, akan tetapi secara umum, dapat disimpulkan bahwa istito’ah adalah mampu secara fisik dan finansial untuk pergi ke Tanah Suci melaksanakan ibadah haji, sehingga dapat dikatakan bahwa orang yang dibebankan melaksanakan ibadah haji adalah mereka yang mampu secara fisik dan finansial, serta tidak terikat dengan waiting list untuk konteks jamaah Indonesia. Wallahu a’lam.

Makna dan Hikmah Salat Wustha Menurut Syekh Asy-Sya’rawi

0
Makna dan Hikmah Salat Wustha Menurut Syekh Asy-Sya’rawi
Makna dan Hikmah Salat Wustha Menurut Syekh Asy-Sya’rawi

Dalam agama Islam, salat merupakan ibadah yang menjadi salah satu dari rukun Islam yang lima. Saking pentingnya ibadah salat tersebut, sampai Allah Swt. berfirman,

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ والصَّلاَةِ الوُسْطَى

“Peliharalah semua salat(mu), dan (periharalah) salat wustha. Berdirilah untuk Allah Swt (dalam salatmu) dengan khusyuk”. (QS. al-Baqarah [2]: 238).

Dalam ayat tersebut, selain memerintahkan memelihara salat, Allah Swt. juga memerintahkan manusia untuk memelihara atau menjaga ‘salat wustha’. Lalu, salat mana yang sebenarnya dimaksud dengan salat wustha tersebut?

Baca Juga: Urgensi Salat dan Beda Pendapat tentang Makna Salat Wustha

 Makna dari salat wustha

Dalam karya tafsirnya, Tafsir Juz ‘Amma (hal. 521-524), Syekh Mutawalli asy-Sya’rawi memaparkan bahwa ternyata ulama berbeda pendapat tentang makna salat wustha pada ayat tersebut. Apakah ia adalah salat asar, magrib, isya, subuh ataukah zuhur?

Pembahasan mengenai hal tersebut, menurut Syekh asy-Sya’rawi, merupakan pembahasan yang mendalam, dimana makna dari salat wustha dapat dimungkinkan pada seluruh salat yang lima waktu itu. Hal tersebut -menurut beliau- terjadi karena sesuatu apapun tidak dapat disebut sebagai wustha (di tengah), kecuali bila ia berada pada dua posisi yang berseberangan.

Apabila ditinjau dari awal mula pensyariatan ibadah salat, yakni salat zuhur, maka salat yang berada di tengah (wustha) adalah salat magrib. Selain itu, alasan lain yang mendukung alasan tersebut adalah karena salat magrib berjumlah tiga rakaat. Ia adalah bilangan pertengahan antara dua (salat subuh) dengan empat (shalat zuhur, asar, dan isya).

Adapun pendapat yang memahami salat wustha adalah salat isya, mereka beralasan karena salat isya berada di antara dua salat yang tidak boleh di qashr (salat magrib dan subuh).

Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat subuh beralasan karena salat subuh berada di tengah antara dua salat malam (salat magrib dan isya) dengan dua salat siang (salat zuhur dan asar).

Pendapat yang memahami salat wustha adalah salat zuhur, mereka beralasan karena waktu siang adalah puncak dari kerja manusia, sedangkan salat zuhur adalah lambang dari pertengahan hari (siang hari).

Sedangkan pendapat yang memahami salat wustha adalah salat ashar, mereka berlandaskan pada hadis Nabi Muhammad Saw. saat Perang Khandaq, yang berbunyi:

حَبَسُوْنَا عَنْ صَلاَةِ الوُسْطَى حَتَّى غَابَتْ الشَّمْشُ، مَلأَ اللّهُ قُبُوْرَهُمْ وَبُيُوْتَهُمْ -أَوْ أَجْوَافَهُمْ- نَارًا

“Mereka telah memblokir kita hingga kita tidak dapat melaksanakan salat wustha hingga matahari tenggelam. Kita doakan semoga Allah Swt. memenuhi kuburan atau rumah, atau perut mereka dengan api”. (HR. Bukhari: 4169).

Selain itu, alasan lain yang mendukung hadis tersebut adalah karena salat asar adalah pertengahan antara salat subuh dan zuhur dengan magrib dan isya. (Tafsir Juz ‘Amma, 521-524).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Beda Pendapat tentang Salat Fardu yang Paling Utama

Hikmah dirahasiakannya makna dari salat wustha

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai manakah yang dimaksud dengan salat wustha di atas, Syekh Mutawalli asy-Sya’rawy, masih dalam kitab yang sama, kemudian memberi sebuah kesimpulan bahwasannya Allah Swt. menyamarkan suatu istilah tertentu demi terwujudnya suatu faedah.

Hal ini karena dengan penyamaran tersebut, manusia akan lebih semangat untuk meraih faedah pada setiap waktu salat, beserta dengan praduganya bahwa salat yang dilaksanakannya (kelima waktu salat) adalah waktu salat wustha yang dikehendaki dalam firman-Nya tersebut.

Sehingga, seakan-akan selagi perbedaan pendapat mengenai manakah yang dikehendaki dari salat wustha tersebut masih berkutat dan perintah salat tersebut di ulang dua kali, pertama, secara umum; yakni pada firman-Nya:

حَافِظُوْا عَلَى الصَّلَوَاتِ

Kedua, secara khusus; yakni pada firman-Nya:

والصَّلاَةِ الوُسْطَى

Maka, peliharalah semua salat mu, pada setiap waktu salat.

Baca Juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

Lebih jauh, beliau juga memaparkan bahwa ketika Allah Swt. menyamarkan kapan masa lailatulqadar pada saat sepuluh akhir bulan Ramadan. Tujuannya adalah agar setiap muslim bersemangat untuk melakukan salat malam sepanjang malam-malam tersebut. Pun juga Allah Swt. menyamarkan masa dikabulkannya doa pada hari Jumat, agar seorang mukmin bersemangat untuk menjaga setiap detik di hari Jumat, yakni mengisinya dengan berbagai bentuk ibadah. (Tafsir Juz ‘Amma, 521-524).

Dari ketiga contoh tersebut, semakin jelas bahwa disamarkannya masa atau istilah suatu syariat dalam Islam adalah demi suatu faedah yang mulia dan agung.

Wallahu a’alm bish shawab.

Islah Gusmian dan Tafsir Al-Qur’an Berbahasa Jawa

0
Pengukuhan Islah Gusmian sebagai Guru Besar Ilmu Tafsir
Pengukuhan Islah Gusmian sebagai Guru Besar Ilmu Tafsir

Islah Gusmian, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah UIN Raden Mas Said Surakarta, dikukuhkan sebagai guru besar Ilmu Tafsir (16/5). Bertempat di Graha UIN Surakarta dia menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul “Tafsir Al-Qur’an dan Lanskap Kejawaan: Resepsi, Transmisi dan Strategi Budaya”. Islah Gusmian menjadi profesor ke-16 UIN Raden Mas Said Surakarta.

Baca Juga: Belajar dari Islah Gusmian, Peneliti Khazanah Al-Qur’an dan Manuskrip Nusantara

Dalam pidatonya, Islah menceritakan minat dan ketertarikannya akan naskah-naskah tafsir Al-Qur’an berbahasa Jawa sejak dia menjadi dosen di UIN Surakarta. Hubungan antara Al-Qur’an dan tafsir dengan ruang batin Jawa yang terabaikan di tradisi akademik menjadi kegelisahan Islah. Dia pun mendirikan Pusat Kajian Naskah dan Khazanah Islam Nusantara di kampusnya. Islah lantas mengumpulkan satu persatu naskah keagamaan hingga mencapai ribuan untuk dia dokumentasi, digitalisasi dan teliti.

Salah satu hasil dari ketekunannya adalah disertasi yang terbit tahun 2014 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta tentang dialektika tafsir Al-Qur’an dan praktik politik rezim Orde Baru (1968-1998). “Dalam riset itu saya menunjukkan bahwa sebagai produk ilmu pengetahuan, penafsiran Al-Qur’an dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya adalah faktor genealogi pengetahun penafsir, audiens, konteks sosial politik ketika tafsir ditulis dan dipublikasikan. Ada pengaruh latar belakang, peran sosial, budaya, dan politik penafsir,” Demikian keterangan Islah.

Selanjutnya, Islah mengisahkan perhatiannya pada karya-karya mufasir yang mempublikasikan tafsir Al-Qur’an dengan sejumlah perangkat kebudayaan (bahasa) Jawa. Dia menyebut sejumlah nama: Kiai Salih bin Umar al-Samarani (1820-1903), Kiai Imam Ghozali Solo (1887-1969), ST. Cahyati, Raden Muhammad Qamar/Tafsir Anom V (1854-1927), Raden Muhammad Adnan (1889-1969), Bagus Ngarpah, Munawar Chalil (1908-1961), Kiai Bisri Mustafa (1916-1994), Kiai Mujab Mahalli (1958-2003), Bakri Syahid (1918-1994) hingga Kiai Shodiq Hamzah.

Karya para mufasir itu, menurut Islah, luput dari perhatian peneliti Barat. Padahal karya mereka memiliki kedalaman dan kekhasan. Bagaimana Al-Qur’an dipahami pesan-pesanya, bagaimana pergumulan yang terjadi, sejauh mana nilai dan tradisi Jawa berperan dalam membangun dan menghasilkan suatu tafsir serta bagaimana nilai-nilai Jawa dibawa dan Al-Qur’an diresapi, menjadi hal-hal yang menarik dikaji.

“Al-Qur’an dan Islam diresepsi, diadopsi, diadaptasi  dan ditransformasikan para ulama di Jawa secara dinamis dan kreatif dalam ruang batin dan kesadaran masyarakat. Jowo digowo, Arab digarap, Barat diruwat mencerminkan praktik tersebut. Jowo digowo mengandung pesan jangan pernah meninggalkan nilai dan tradisi baik yang telah hidup dalam kesadaran mayarakat Jawa. Arab digarap artinya segala yang datang dari Arab sebaiknya dipelajari, dimengerti dan dipahami terlebih dahulu dengan baik. Sedangkan Barat diruwat artinya segala hal yang mengalir dari Barat selaiknya dipilah dan dipilih yang sesuai nilai kehidupan masyarakat. Dan para penulis tafsir Al-Qur’an Jawa telah membuktikannya secara elegan dalam beragam tafsir Al-Qur’an yang mereka tulis,” pungkas Islah.

Islah Gusmian menempuh pendidikan di MI Tarbiyatul Athfal Bulumanis Lor, MTs Salafiyah Kajen Pati, dan MA Salafiyah Kajen Pati. Adapun pendidikan S1 hingga S3 ia selesaikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Semasa mahasiswa, Islah dikenal sebagai editor buku dan kolumnis di sejumlah media massa lokal dan nasional.

“Riset-riset Islah Gusmian penting karena memotret Islam dan lokalitas. Kita butuh kajian-kajian keagamaan yang adaptif. Universitas Islam punya kontribusi besar agar Islam tetap relevan di segala masa dan di mana saja,” papar Mudofir, Rektor UIN Raden Mas Said Surakarta dalam sambutannya.