Beranda blog Halaman 67

Komunikasi Siswa dalam Pembelajaran Perspektif Q.S. Albaqarah: 31

0
Komunikasi Siswa dalam Pembelajaran Perspektif Q.S. Albaqarah: 31
Komunikasi Siswa dalam Pembelajaran Perspektif Q.S. Albaqarah: 31 (Sumber: Unsplash).

Perkembangan abad 21 menghendaki adanya perubahan dalam pembelajaran. Proses pembelajaran mengarah pada beragam kompetensi yang harus dimiliki peserta didik. Pemahaman yang mendalam dalam konteks materi tidak menjadi satu-satunya keberhasilan proses pembelajaran. Ragam kemampuan untuk saat ini telah dirumuskan oleh para ahli pendidikan. Setidaknya, terdapat empat ragam kompetensi yang disebut dengan 4’Cs, yaitu Communication, Collaboration, Critical Thinking and Problem Solving, dan Creativity and Innovation.  

Berdasarkan penelusuran terhadap beragam sumber, konsep ini tertera dalam 21 Century Partnership Learning Framework. Dikutip dari https://education-reimagined.org/ disebutkan bahwa kerangka ini tidak hanya mencakup hasil pembelajar tetapi juga dukungan yang diperlukan untuk mengembangkannya. Selama beberapa dekade terakhir, kerangka ini telah menjadi panduan pemberdayaan bagi pendidik dan lingkungan belajar di seluruh bangsa dan dunia untuk mengubah lingkungan mereka guna memenuhi kebutuhan abad ke-21.

Salah satu kompetensi yang ditekankan adalah komunikasi. Kemampuan ini berkaitan dengan transfer informasi, baik lisan maupun tulisan. Dalam konteks pembelajaran, komunikasi menjadi kompetensi untuk menampilkan materi atau produk yang dikembangkan oleh siswa kepada yang lainnya. Dalam Kompetensi Dasar mata pelajaran tertentu sering ditemukan redaksi “menyajikan” atau dalam indikator pencapaian kompetensi dengan “mempresentasikan” dan “menampilkan”. Beberapa kata ini menunjukkan keterampilan komunikasi setelah siswa menguasai materi atau menyusun produk tertentu.

Baca juga: Prinsip Komunikasi dalam Islam (Bag. 1)

Alquran merupakan petunjuk dan pedoman dalam proses pendidikan. Di dalamnya terdapat isyarat tentang komunikasi pembelajaran ini. Bagaimana Alquran mengisyaratkan hal ini? Salah satunya ditemukan pada peristiwa Adam a.s. ketika diajari nama-nama dan menceritakan hal itu kepada para malaikat, seperti pada Q.S. Albaqarah: 31.

Pada ayat ini disebutkan, “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya, kemudian Dia memperlihatkannya kepada para malaikat, seraya berfirman, “Sebutkan kepada-Ku nama-nama (benda) ini jika kamu benar!” Terjemah ini dikutip dari Alquran Kemenag (2022).

Kata “memperlihatkan kepada para malaikat” (عَرَضَهُمْ) mewakili isyarat komunikasi.  Komunikasi menghendaki menampilkan sesuatu pada orang lain atau pun dengan menyebutkannya kepada pihak lain. Proses menampilkan dan menyebutkan pasti dilakukan setelah seseorang memiliki pengetahuan tentang sesuatu.

Baca juga: Ajaran Alquran tentang Etika Komunikasi

Dalam aspek kebahasaan, selain diterjemahkan “memperlihatkan”, kata a’radha (عَرَضَ) bila diberi artikel lam-sebagaimana dalam ayat ini-bermakna meninjau ulang, menguji, meneliti, mempertimbangkan, mendiskusikan, mempelajari, memperlakukan, dan menghadapi. Bisa jadi arti ini benar pula, sebab menguji atau meneliti-misalnya-tidak terjadi apabila seseorang tidak memiliki pengetahuan sebelumnya.

Begitu pun kata ‘ardhun (dalam bentuk isim عَرْض) dimaknai lebar, presentasi, demonstrasi, pertunjukan, pameran, penyajian, penawaran, usul, proposal, dan proposisi. Beberapa arti ini salah satunya dikutip dari Kamus al-Ma’any (2022). Senada dengan ayat ini, arti yang cocok adalah presentasi, pertunjukan, penyajian, atau demonstrasi.

Sesuai konteks ayat, Adam a.s. memperlihatkan pengetahuannya kepada malaikat setelah nama-nama itu diketahui. Alur pikirnya adalah Adam tidak akan memperlihatkan pengetahuan kalau ia tidak diberi pengetahuan sebelumnya. Komunikasi dilakukan setelah pengetahuan diperoleh, sehingga ia dapat menyajikannya pada pihak lain. Sehingga kata “memperlihatkan” dimaknai bahwa subyek mengartikulasikan ide dan pikirannya secara efektif pada pihak lain.

Baca juga: Maqashid Alquran dari Ayat-Ayat Perang [2]: Mengembangkan Kemampuan Akal dalam Berkomunikasi

Ketika Adam a.s. diajarkan nama-nama lalu atas perintah Allah, ia memperlihatkannya kepada para malaikat. Isyaratnya adalah siswa menyajikan pengetahuan kepada temannya ketika diperintah oleh guru atau dalam setting pembelajaran tertentu.

Masih dalam ayat ini, kata ‘aradha disebut setelah konjungsi tsumma (ثُمَّ). Kata ini diterjemahkan “kemudian”. Secara maknawi, kata tsumma memiliki arti urutan perbuatan atau peristiwa dengan selang waktu tertentu (al-tartib fi infishal). Makna ini berbeda dengan huruf fa yang diartikan urutan perbuatan yang langsung berlanjut (li ta’qib) atau al-tartib fi ittishal. Makna ini populer dalam tata bahasa Arab, yang salah satunya disebut oleh Ibn Malik dalam Alfiyah Ibn Malik.

Perbuatan “memperlihatkan” merupakan rangkaian dari “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya”. Namun, keberlanjutannya perbuatan tidak langsung karena pembubuhan tsumma. Hal ini menunjukkan bahwa Adam memperlihatkan kemampuan untuk menyebutkan nama-nama kepada para malaikat berlangsung bukan secara langsung setelah diajarkan. Di dalamnya terdapat proses pengolahan informasi atau pengetahuan. Adam menjadi tahu setelah Allah ajarkan padanya. Adam memproses pengetahuannya kemudian memperlihatkannya kepada para malaikat.

Baca juga: Meninjau Keindahan Alquran dengan Studi Fonologi

Komunikasi siswa dalam pembelajaran-merujuk pada ayat ini-hampir dipastikan dilakukan setelah penguasaan pengetahuan. Siswa mempresentasikan hasil kajian atau produk tertentu setelah mereka memiliki pengetahuan. Artinya, komunikasi hendaknya dilakukan setelah dipastikan siswa dalam ranah pengetahuan menguasai materi tertentu. Apabila tidak menguasai materi, bisa jadi komunikasi siswa dalam pengetahuan tidak akan sesuai harapan.

Peristiwa Adam a.s. menampilkan nama-nama yang telah diajarkan menjadi bukti isyarat tentang hal ini. Alquran sebagai pedoman hidup yang memiliki isyarat ilmiah terbukti telah mengisyaratkan hal tertentu yang terjadi hari ini meskipun ayat terkait turun lebih dari seribu tahun lalu. Tema ini berada dalam kajian tafsir tarbawi yang sedapat mungkin dapat dikaitkan dengan isyarat ilmiah dalam pendidikan. Apabila penjelasan teori komunikasi siswa dalam 4C’s ini ditemukan sekarang secara rinci. Sejatinya, isyaratnya telah tampak nyata pada ayat ini. Wallahu a’lam.

Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia

0
Praktik Poligami
Praktik Poligami dalam Surah An-Nisa Ayat 3

Meskipun kecenderungan masyarakat Indonesia melakukan praktik monogami, namun seiring meningkatnya kelas menengah muslim dan arus penyebaran informasi semakin cepat, sebagian kecil masyarakat menganggap bahwa praktik poligami adalah sunnah Nabi Saw. Poligami dianggap menjadi jalan surga bagi para istri yang mau dimadu. Munculnya kelas poligami di beberapa kota pada beberapa waktu belakangan dengan materi-materi semisal “cara dapat istri empat dalam perspektif Islam” dan “mengacu praktik poligami Rasulullah dan Ummahatul mukminin” semakin memperkuat anggapan ini.

Benarkah praktik poligami itu sunnah Nabi? Darimana dasar hukumnya poligami? Pertanyaan-pertanyaan ini akan coba penulis urai dalam artikel singkat ini.

Di dalam al-Quran ayat tentang poligami hanya dapat ditemukan dalam Q.S An-Nisa ayat 3. Allah SWT berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Terjemah dari Kementerian Agama:

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Pertanyaan selanjutnya adalah benarkah ayat ini menjadi landasan syariat bagi pelaksanaan praktik poligami? Bagaimana para mufasir Indonesia memahami ayat ini?

Ayat di atas tidak dapat dilepaskan dalam konteks pemenuhan hak anak yatim yang berkaitan dengan ayat sebelumnya. Menurut riwayat al-Bukhari dari ‘Urwah bin az-Zubair, ia menuturkan: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah tentang firman Allah, “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),” ia menjawab, ‘Wahai keponakanku, anak perempuan yatim ini berada dalam pemeliharaan walinya, sedangkan harta perempuan yatim ini bercampur dengan harta walinya.

Rupanya, harta dan kecantikannya mengagumkan walinya, sehingga walinya berhasrat untuk menikahinya dengan tanpa berlaku adil dalam memberikan mahar kepadanya sebagaimana yang diberikan kepada selainnya. Karena itu, mereka dilarang menikahi perempuan yatim itu, kecuali bila berlaku adil kepada mereka dan memberikan kepada mereka mahar yang layak, serta mereka diperintahkan supaya menikahi wanita-wanita yang mereka senangi selain mereka (wanita-wanita yatim yang berada dalam perwaliannya).’”

Sesuai dengan riwayat hadis di atas, para mufassir klasik seperti al-Thabari, al-Qusyairi, al-Zamakhsyari, dan Ibnu Katsir menekankan bahwa poligami adalah jalan lain yang dianggap lebih baik ketimbang melakukan kezaliman terhadap anak perempuan yatim. Laki-laki tidak boleh menikahi seorang perempuan atas dasar kezaliman, karena ingin menguasai harta ataupun kecantikannya saja.

Penjelasan Buya Hamka

Dalam bukuya Tafsir Al-Azhar ketika menguraikan tentang ayat ini Hamka bercerita mengenai dialog dia dengan gurunya yang mempraktikkan poligami, ia menarasikan bagaimana guru itu menasehati dirinya:

“Cukuplah isterimu satu saja wahai Abdulmalik! Aku telah beristeri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi. Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua, karena kesalahan mereka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Tetapi aku siang-malam menderita batin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati. Bagi orang lain hal ini mudah saja. Kalau tidak senang kepada salah satu, cari saja sebab yang kecil, lalu lepaskan, maka terlepaslah diri dari beban berat.”

“Kalau terjadi demikian, kita telah meremuk-redamkan hati seorang ibu yang ditelantarkan. Janganlah beristeri lebih dari satu hanya dijadikan semacam percobaan, sebab kita berhadapan dengan seorang manusia. Hal ini menjadi sulit bagiku, karena aku adalah aku, karena aku adalah gurumu dan guru orang banyak. Aku lemah dalam hal ini, wahai Abdulmalik. Aku ingin engkau bahagia! Aku ingin engkau jangan membuat kesulitan bagimu. Peganglah ayat Allah: ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (Yang demikian iatu lebih dekat supaya kamu tidak berlaku aniaya).”

Baca Juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau

Atas nasihat ini, Hamka berujar, “Nasehat beliau ini alhamdulillah dapat aku pegang hingga sekarang.”

Apa yang diucapkan Hamka memang sesuai dengan fakta. Sepanjang hayatnya ia tidak pernah poligami. Hamka adalah sosok laki-laki yang setia terhadap istrinya, Siti Rahma yang kemudian wafat di tahun 1972. Baru Setelah ditinggal wafat istri tercinta, Buya Hamka menikah lagi dengan Siti Khadijah hingga maut memisahkan keduanya.

Yang menarik Hamka kemudian mengutip Freud untuk mengatakan bahwa hasrat seksual “libido” manusia sangat kuat pengaruhnya terhadap diri manusia. Hamka menjelaskan bahwa untuk mengakomodir ini agama membolehkan nikah walau sampai empat. Ia menambahkan, tetapi karena manusia memiliki akal, maka manusia wajib memakai akalnya. Orang yang berpikir akan mengedepankan akal dibanding dengan syahwatnya, ujar Hamka.

Dari penjelasan  ini secara eksplisit Hamka hendak menngatakan bahwa syahwat dan akal akan diuji dalam keputusan untuk melakukan poligami. Orang yang hanya mengikuti syahwatnya saja, akan menikah lagi dengan perempuan cantik yang lebih muda, sedang yang berakal pasti akan berpikir berulang-ulang untuk menikah lagi, sehingga ia tidak akan pernah melakukannya.

Penjelasan M. Quraish Shihab

Berbeda dengan Hamka yang tidak secara eksplisit menolak poligami dalam kategori sunnah, M. Quraish Shihab lewat Tafsir Al-Misbah mengatakan bahwa ayat ini tidak sedang membuat peraturan tentang poligami. Menurut Quraish praktik poligami telah dikenal dan dilaksanakan jauh sebelum turun ayat ini. Quraish menerangkan ayat ini tidak sedang mewajibkan maupun menganjurkan poligami, ia hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun hanya jalan yang sangat kecil, dibutuhkan dalam keadaan tertentu dan dengan syarat yang sangat ketat.

Quraish menegaskan bahwa meskipun Rasul menikahi lebih dari satu istri, akan tetapi ini tidak bisa dijadikan dalil bahwa poligami sebagai anjuran apalagi bagian dari syariat. Menurutnya, tidak semua yang dilakukan Nabi perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang bagi Nabi, juga wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Sebagaimana Nabi haram menerima zakat, tidak batal wudhu ketika Nabi tertidur, bagi Nabi wajib untuk melakukan shalat malam dan lain-lain.

Baca Juga: Proyek Tafsir Al-Mishbah: Menggapai Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ala M. Quraish Shihab

Merujuk pada pemaparan di atas penulis dapat mengambil benang merah bahwa Hamka dan Quraish Shihab sama-sama memahami ayat poligami sebagai kebolehan saja, bukan bentuk anjuran apalagi kewajiban. Selain dua mufassir ini, beberapa ulama lain yang belakangan semisal Husain Muhammad, Nasaruddin Umar, dan Faqih Abdul Qadir juga sependapat mengenai poligami.

Dalam ayat di atas sebenarnya juga disinggung mengenai kebolehan untuk menikahi budak perempuan, namun penulis tidak akan mengulasnya karena pada saat ini praktik perbudakan sudah dihapuskan. Sama seperti praktik poligami, al-Quran mendorong penghapusan praktik perbudakan dan sama sekali tidak menganjurkannya. Namun karena pada masa turunnya al-Quran konteks sosial masyarakat masih sangat kental dengan kedua praktik tersebut, maka al-Quran meresponnya sebagai jalan keluar yang solutif pada masa itu. Wallahu A’lam.

Abdul Hayy Al-Farmawi: Pencetus Metode Tematik dalam Tafsir

0
Abdul Hayy al-Farmawi_metode tematik dalam tafsir
Abdul Hayy al-Farmawi_metode tematik dalam tafsir

Tafsir Maudhui atau tafsir tematik menjadi metode tafsir yang banyak diminati oleh kalangan mufassir modern karena dianggap sebagai salah satu metode yang memberikan solusi atas permasalahan masyarakat di masa kontemporer ini sebab kemenyeluhurahnnya (wholeness). Metode ini sangat penting untuk dipelajari. Abdul Hayy al-Farmawi dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan metode tafsir ini.

Baca Juga: Inilah Delapan Metode Tafsir Tematik ala Hassan Hanafi

Pencetus Keberadaan Tafsir Tematik

Metode ini muncul pada abad ke-20. Salah satu tokoh yang mencetuskan keberadaan tafsir tematik secara metodologis adalah Abdul Hayy Al-Famawi dalam kitabnya, Al-Bidayah fi Tafsir al-maudhui. Dia dilahirkan di Manovia, Mesir pada Januari 1942. Beliau Menyelesaikan hafalan Al-Qur’an pada saat menjadi siswa al-Ta’lim al-Ibtida’i Ma’had Al-Ahmadi di Tonto, Mesir.

Pada tahun 1955, beliau melanjutkan pendidikannya di Universitas Al-Azhar jurusan Tafsir hadis. Karir al-Farmawi dimulai sejak masa perkuliahannya pada tahun 1969, dan dia diangkat menjadi dosen tidak tetap. Lalu dia melanjutkan studi S2 dan lulus pada tahun 1972, kemudian dia melanjutkan kembali studi doktoral hinga akhirnya lulus pada tahun 1975. Pada tahun 1985, Al-Farmawy diangkat menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar mesir. (Badruzzaman M. Yunus dkk, Studi Komparatif Pemikiran Al-Farmawi, Baqir Shadr dan Abdussatar tentang Tafsir Maudhui, Jurnal Iman dan Spiritualitas, 289).

Abd Al-Hayy Al-Farmawi dikenal sebagai ulama kontemporer yang memunculkan metode tematik yang dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai orang yang pertama kali menyusunnya secara sistematis dan metodologis. Dalam muqaddimah atau pengantar bukunya, dia menjelaskan bahwa tujuan kajian tafsir Al-Qur’an mutlak dibutuhkan untuk mengetahui perintah dan larangan serta memahami petunjuk Allah. (Al-Farmawy, Al-Bidayah fi Tafsir Maudhui, 14).

Dalam muqaddimah atau pengantar bukunya dijelaskan bahwa tujuan kajian tafsir Al-Qur’an mutlak dibutuhkan untuk mengetahui perintah dan larangan dari Allah serta memahami petunjuk-Nya. Kitab tafsir yang telah ada dengan metode pembahasan yng beranekaragam dirasa belum banyak membantu para pelajar untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

Oleh karenanya, kitab ini sengaja ditulis dan disajikan dengan penekanan pada pembahasan metodologis. Terdapat dua macam bentuk kajian tafsir tematik menurut Abdul Hayy al-Farmawi. Pertama, pembahasan mengenai satu surat secara menyeluruh dan utuh. Kedua, menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang membicarakan satu masalah tertentu, ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan dibawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara tematik. (al-Farmawy, Al-Bidayah fi Tafsir Maudhui, 61).

Pada zaman dahulu belum terdapat metode tematik, karena para penafsir terdahulu belum merasakan penting untuk melakukan kajian terhadap topik-topik tertentu yang terdapat di dalam Alquran. Mereka telah menghafal Alquran dan menguasai berbagai disiplin ilmu, baik ilmu keislaman maupun keilmuan umum.

Para pengkaji atau pelajar tafsir pada zaman sekarang cenderung mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan jika hanya melalui metode kajian tahlily, karena: Pertama, pada zaman ini sudah terbiasa dengan model kajian tematik dalam upaya memahami sebuah masalah. Kedua, metode tahlily tidak membantu dalam mengatasi masalah-masalah Al-Qur’an yang dimaksud. Ketiga, mereka tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang ilmu keislaman, yang akhirnya mengalami kesulitan dalam melakukan kajian. ( Laila Muyasaroh, Metode Tafsir Maudhui Perspektif Komparatif, Jurnal Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an dan Hadist, 26).

Baca Juga: Metode Maudhu’i Sebagai Pendekatan Tafsir Era Modern

Al-Farmawy merumuskan pembahasannya melalui langkah-langkah berikut: 1) memilih atau menetapkan masalah pada Alquran yang akan dikaji secara tematik, 2) menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan (Makkiyah dan Madaniyah), 3) menyusun ayat secara runtut menurut kronologi sebab-sebab turunnya. 4) mengetahui korelasi ayat pada masing-masing suratnya, dan 5) melengkapi pembahasan dengan hadis sehingga pembahasan semakin jelas.

Urgensi dalam pembahasan tafsir tematik adalah: 1) dapat menghimpun berbagai ayat yang berkaitan dengan satu topik masalah, 2) menjelaskan sebagian ayat dengan ayat lainnya, 3) hal ini bertujuan untuk menjauhi kesalahan dan mendekati kebenaran. Dengan menghimpun beberapa ayat, seorang mufassir akan mengetahui adanya keteraturan dan keserasian, serta korelasi antar ayat-ayat tersebut.

Penutup

Abdul Hayy Al-Farmawi telah melahirkan metodologi keilmuan yang luar biasa penting dalam ranah keilmuan ilmu tafsir Alquran. Dia mewariskan khazanah keilmuan tafsir, melengkapi metide tafsir sebelumnya. Meskipun demikian, catatan yang perlu diperhatikan oleh penafsir tematik adalah bahwa dengan menggunakan metode tafsir ini tidak berarti telah menafsirkan semua ayat-ayat Al-Qur’an karena metode tafsir tematik hanya membahas satu topik dengan tuntas atau setidaknya mendekati tuntas.

Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam

0
Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam
Konsep Kepemilikan Harta dalam Islam

Dalam kajian ekonomi, dikenal dua sistem ekonomi yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu kapitalisme dan sosialisme. Di saat kaum kapitalis menganut konsep kepemilikan individual atau personal, kelompok sosialis justru mencanangkan konsep kepemilikan sosial. Tidak seperti kapitalis yang beranggapan bahwa manusia berhak sebebas-bebasnya memiliki harta, kaum sosialis justru sangat membatasi bahkan menegasikan hak milik personal. Menurut kelompok sosialis, kepemilikan atas suatu harta sepenuhnya adalah milik sosial yang kepentingannya diwakili oleh negara.

Dalam hal kepemilikan, Islam memiliki pandangan yang berbeda dari kedua sistem ekonomi ekstrem di atas. Di satu sisi, Islam mengakui kepemilikan individu sebagaimana kaum kapitalis, tetapi juga tidak mengabaikan kepemilikan umum atau sosial sebagaimana yang digaungkan oleh kalengan sosialis.

Baca Juga: Tafsir Surah Al Isra Ayat 29: Etika Menggunakan Harta

Bentuk pengakuan Islam terhadap hak milik pribadi bahwa Islam, misalnya, tidak melarang umatnya memiliki harta, asalkan diperoleh dengan cara yang legal. Sedangkan, pengakuan Islam terhadap hak milik sosial misalnya terejawantah dalam syariat zakat. Melalui zakat (atau jenis infak lainnya), Islam ingin menegaskan bahwa dalam setiap harta milik masing-masing orang (terutama harta yang lebih dari kebutuhan), ada hak orang miskin dan kaum papa di dalamnya. Dengan adanya perpaduan seperti ini, maka tak heran konsep kepemilikan dalam Islam diistilahkan dengan al-milkiyah al-muzdawajah (konsep kepemilikan ganda). (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, 4980).

Tidak seperti sistem ekonomi konvensional yang notabene bersifat materialistik, sistem ekonomi Islam didasari oleh pijakan teologis-etis dalam setiap prinsip-prinsipnya, termasuk dalam hal kepemilikan. Dalam Islam, yang menjadi pemilik sejati dari harta bahkan segala yang ada di alam adalah Allah swt. Hal ini sebagaimana tertera dalam Q.S. Albaqarah [2]: 284;

لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ

Milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. 

Selain dalam surat Albaqarah, ayat dengan redaksi serupa juga terdapat dalam beberapa tempat di surat yang berbeda. Di antaranya seperti Q.S Ali‘imran [3]: 109, Q.S. Alnisa’ [4]: 126, Q.S. Yunus [10]: 55, Q.S. Luqman [31]: 26, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Hasyr ayat 7: Perintah Untuk Mendistribusikan Harta Kekayaan

Sayyid al-Thanthawi mengatakan bahwa pemilik sejati adalah Allah Swt., sedangkan apa yang dimiliki manusia sekarang sejatinya hanyalah titipan. Maka dari itu, segala usaha yang dilakukan guna memperoleh harta haruslah dilakukan dengan cara yang halal. Setelah itu, ketika harta sudah diperoleh, hendaklah dialokasikan untuk hal-hal yang baik dan bermanfaat. Sebab ia merupakan titipan dan amanah dari Tuhan. (Tafsir al-Wasit li al-Thantawi, Juz 1, 656)

Menurut Syaikh Wahbah al-Zuhaili, pemilik hakiki adalah Allah Swt. Sedangkan manusia sebagai hamba Allah Swt. hanya diberikan amanah dan kepercayaan untuk memiliki dan mengelola harta dan kekayaan Allah Swt. di bumi. Kepemilikan manusia terhadap harta bendanya, oleh Wahbah al-Zuhaili, diistilahkan dengan hak milik majazi. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, 4978)

Status manusia kaitannya dengan harta benda hanyalah sebagai seorang wakil atau penanggung jawab. Ia diangkat oleh Allah Swt. menjadi khalifah untuk menglola dan memanfaatkan harta benda dalam rangka memakmurkan dunia. Dalam Q.S. Alhadid [57]: 7, Allah Swt. berfirman:

آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka, orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.

Terkait ayat di atas, Imam al-Razi mengatakan bahwa semua harta benda yang dimiliki oleh manusia sekarang merupakan milik dan ciptaan Allah Swt. Allah Swt. titipkan harta-harta terebut kepada manusia supaya dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Akan tetapi, pemanfaatan harta tersebut harus sejalan dengan syariat. Karena status manusia hanya sebagai wakil Allah Swt. dan penerima titipan, maka semestinya manusia tidak berat tangan untuk menginfakkan dan mengalokasikan harta tersebut di jalan Allah Swt. (Mafatih al-Ghaib, Juz 29, 450)

Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 2: Cara Mengelola Harta Anak Yatim

Sebagai wakil Allah Swt., manusia tentu harus tunduk dan patuh kepada perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Tak terkecuali dalam masalah memperoleh dan mendistribusikan harta, juga harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan Allah Swt. sebagai pemilik sejati. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Juz 7, 4978)

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep kepemilikan dalam Islam memadukan antara kepemilikan personal dan kepemilikan komunal atau sosial. Jika mau disimplifikasikan, sistem ekonomi Islam (sebagai sebuah sistem) merupakan sintesis dari kapitalime dan sosialisme, tetapi tetap berpijak pada landasan teologis-etis.

Wallahu a’lam bish shawab.

Kontekstualisasi Makna Iman dan Takwa sebagai Kunci Hidup Berkah

0
Kontekstualisasi Makna Iman dan Takwa sebagai Kunci Hidup Berkah
Kontekstualisasi Makna Iman dan Takwa sebagai Kunci Hidup Berkah

Alquran memuat prinsip-prinsip pokok yang senantiasa berlaku sepanjang zaman. Prinsip-prinsip pokok tersebut diimplementasikan kembali dengan pemaknaan baru menyesuaikan dengan konteks zamannya agar relevansi Alquran dapat benar-benar dirasakan.

Dalam kurun waktu puluhan tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan konteks dari masyarakat petani ke masyarakat industri. Perubahan konteks tersebut tentunya meniscayakan kontekstualisasi prinsip-prinsip pokok Alquran, salah satunya mengenai pemaknaan iman dan takwa yang berhubungan dengan keberkahan dan kemakmuran suatu kelompok masyarakat sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-A’râf [7]: 96.

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 3-4: Lima Karakter Orang Bertakwa

Pemaknaan Q.S. al-A’râf [7]: 96 dalam karya-karya tafsir yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, seperti Tafsir Al-Azhar, Tafsir An-Nuur, Tafsir Al-Mishbah, dan Marah Labid berkisar pada dua macam kecenderungan.

Pertama, implikasi dari keimanan dan ketakwaan dalam kehidupan masyarakat sebagaimana bunyi lafaz ayat tersebut. Keimanan dan ketakwaan melahirkan sikap bekerja sama dalam kebaikan dan saling tolong-menolong dalam upaya pengelolaan dan menikmati kekayaan bumi.

Keberkahan berjalan beriringan dengan ketakwaan dan keimanan. Jika kepribadian masyarakat sudah tidak lagi beriman dan bertakwa,  maka hilang pula keberkahan atas masyarakat tersebut. Salah satu dampak dari hilangnya keberkahan dapat dirasakan ketika hujan yang turun tidak lagi membawa kesuburan bagi tanah dan tanaman, melainkan mendatangkan banjir yang meluluhlantahkan semua tanaman.

Baca juga: Bertakwalah, Maka Allah Akan Mengajarimu!

Kedua, penjelasan lebih lanjut mengenai makna “berkah dari langit dan bumi” sebagai ganjaran yang diberikan atas beriman dan bertakwanya sebuah masyarakat. Kecenderungan seperti ini dapat dilihat dari penjelasan mengenai klasifikasi berkah menjadi dua macam, yaitu yang sifatnya hakiki dan yang sifatnya maknawi.

Berkah hakiki bisa berupa hujan yang membawa kesuburan bumi sehingga tumbuhan dan segala hasil bumi, seperti emas, perak, dan hasil bumi lainnya dapat dikelola dan dinikmati dengan baik. Berkah maknawi adalah petujuk dari Allah Swt. kepada hamba-Nya, baik berupa wahyu yang disampaikan rasul-Nya kepada umat manusia ataupun ilham yang dianugerahkan kepada orang-orang terpilih.

Kesalehan personal dan kolektif

Di era sekarang, mewujudkan masyarakat yang beriman dan bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam Q.S. al-A’râf [7]: 96, merupakan hal yang sulit jika hanya mengandalkan akhlak perorangan sebagaimana yang berlaku pada masyarakat tradisional ketika agama diperankan secara personal oleh Nabi saw. ataupun kiai. Ini karena di era sekarang, peran agama kemudian diambil alih secara institusional melalui lembaga-lembaga profesional (Komaruddin Hidayat, Iman yang Menyejarah: 141).

Kiranya berangkat dari fenomena inilah, Kuntowijoyo melihat bahwa institusi memegang peranan penting dalam keimanan dan ketakwaan suatu masyarakat karena di dalamnya terdapat akhlak dalam bentuk kolektif. Institusi yang tidak saleh akan melahirkan masyarakat yang penuh dengan kemungkaran, meskipun iman dan takwa masyarakatnya terlihat secara individual atau orang perorangan.

Baca juga: Tafsir Surah Al-Ma’un Ayat 1-3: Ingat, Tidak Saleh Sosial Juga Pendusta Agama!

Oleh karena itu, Kuntowijoyo mengajukan semacam pembaharuan pemaknaan agar hubungan iman dan takwa dengan keberkahan yang disebutkan dalam Q.S. al-A’râf [7]: 96 tidak hanya dibaca secara individual, tetapi juga harus dibaca secara institusional (Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid: 13). Keimanan dan ketakwaan secara institusional ini pulalah yang mencegah adanya sekularisasi agama dalam kehidupan bermasyakat dan bernegara.

Minimnya atau bahkan ketiadaan pembahasan mengenai hal tersebut dalam literatur-literatur tafsir seharusnya tidak dipahami dengan konservatif bahwa Islam memang sedari awal tidak berbicara apa-apa mengenai hal itu. Justru kekosongan pembahasan mengenai hal itu semakin menguatkan bahwa ada perubahan konteks sosial sehingga memerlukan pemaknaan baru untuk mengisi kekosongan tersebut. Seyogianya hal tersebut harus disambut positif agar relevansi Alquran senantiasa dapat dirasakan, khususnya di era sekarang. Wallâhu a’lam.

Bantahan al-Razi terhadap Kisah “Miring” Nabi Dawud (Bag. 2)

0
Bantahan Imam al-Razi terhadap Kisah “Miring” Nabi Dawud (Bag. 2)
Bantahan Imam al-Razi terhadap kisah “miring” Nabi Dawud a.s.

Pada tulisan sebelumnya, telah dipaparkan ada tiga pandangan dan penafsiran ulama mengenai latar belakang dari kisah Nabi Dawud a.s. dalam Q.S. Shad ayat 21-25. Hal ini juga telah dipertegas oleh Imam al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib. Beliau mengatakan bahwa setidaknya ada tiga pendapat yang beredar di kalangan umat muslim terkait kisah Nabi Dawud a.s. tersebut.

وَأَقُولُ لِلنَّاسِ فِي هَذِهِ الْقِصَّةِ ثَلَاثَةَ أَقْوَالٍ أَحَدُهَا: ذَكَرَ هَذِهِ الْقِصَّةَ عَلَى وَجْهٍ يَدُلُّ عَلَى صُدُورِ الْكَبِيرَةِ عَنْهُ وَثَانِيهَا: دَلَالَتُهَا عَلَى الصَّغِيرَةِ وَثَالِثُهَا: بِحَيْثُ لَا تَدُلُّ عَلَى الْكَبِيرَةِ وَلَا عَلَى الصَّغِيرَةِ

Saya katakan terkait kisah ini (perihal Nabi Dawud a.s.), orang-orang terbagi menjadi tiga pendapat. Pertama, menceritakan kisah tersebut melalui cara yang mengindikasikan bahwa Nabi Dawud a.s. melakukan dosa besar. Kedua, menceritakan kisah tersebut dengan kisah yang mengindikasikan bahwa beliau melakukan dosa kecil. Ketiga, menceritakan kisah dengan tanpa disertai indikasi apapun bahwa Nabi Dawud a.s. melakukan dosa, baik dosa besar maupun dosa kecil. [Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm.173].

Pada tulisan kali ini, akan dibahas sanggahan Imam al-Razi terkait kisah “miring” yang dinisbatkan kepada Nabi Dawud a.s. Penulis secara spesifik memilih perspektif Imam al-Razi karena sebagaimana penulis dapati bahwa dalam kitab Mafatih al-Ghaib beliau memaparkan berbagai sanggahan-sanggahan argumentatif yang dikaji secara panjang lebar dan komprehensif.

Perlu diketahui bahwa Imam al-Razi lebih condong kepada riwayat ketiga. Akan tetapi, ulama yang berafiliasi dengan riwayat ketiga ini pun memiliki versi yang beragam terkait kisah yang terjadi sebenarnya. Terlepas dari perbedaan versi tersebut, secara umum mereka meyakini bahwa kisah yang sebenarnya terjadi adalah Nabi Dawud a.s. diuji oleh Allah Swt., tetapi beliau tidak melakukan perbuatan dosa dalam hal ini.

Baca juga: Pandangan Ulama Seputar Kisah Nabi Daud a.s. (Bagian 1)

Secara panjang lebar, Imam al-Razi membantah riwayat pertama yang mengatakan bahwa Nabi Dawud a.s. berniat membunuh suami seorang perempuan agar dapat menikahinya. Dalam hal ini penulis mencoba mensimplifikasi argumentasi Imam al-Razi dalam kitab Mafatih al-Ghaib dan merumuskannya menjadi tiga poin utama [Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 163-167].

Pertama, kisah tersebut mengandung unsur-unsur yang mendiskreditkan seorang nabi. Pasalnya, ada dua tindakan dosa yang jangankan seorang nabi, orang salih yang bukan nabi saja tidak akan melakukannya hal tersebut. Tindakan dosa yang dimaksud adalah berusaha membunuh orang dengan tujuan menikahi istrinya. Hal ini berdasarkan Q.S. Al-Nisa’ ayat 93:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, balasannya ialah neraka Jahanam. Dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (Q.S. An-Nisa’ [04]: 93).

Selain itu, Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ أَعَانَ عَلَى قَتْلِ مُؤْمِنٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ، لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مَكْتُوبٌ بَيْنَ عَيْنَيْهِ: آيِسٌ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ

“Barang siapa yang punya kontribusi dalam membunuh orang mukmin meski hanya dengan satu kalimat, ia akan menemui Allah Swt. (kelak di hari kiamat) dalam keadaan tertulis di antara kedua matanya, ‘orang yang putus asa dari rahmat Allah” (H.R. Ibnu Majah).

Baca juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Dalam hadis lain, Beliau saw. bersabda:

المُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ

“Orang muslim (sejati) adalah ketika kaum muslim lain selamat dari ucapan dan tindakannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Kedua, secara struktur susunan ayat, akan terjadi disharmoni antara ayat 21-25 dari Q.S. Shad tersebut dengan ayat sebelum dan sesudahnya manakala ayat tersebut dimaknai sebagai teguran atas tindakan “miris” yang dilakukan Nabi Dawud a.s.

Hal ini karena ayat sebelum dan sesudah lima ayat tersebut membicarakan perihal karakter-karakter terpuji yang dimiliki Nabi Dawud a.s. sehingga beliau mendapat pujian dan kedudukan istimewa di hadapan Allah Swt. Menafsiri kisah dalam lima ayat tersebut sebagai teguran Allah Swt. atas perbuatan dosa yag dilakukan Nabi Dawud a.s. akan menimbulkan kontradiksi dan disharmoni dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

Baca juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Ketiga, jika diasumsikan bahwa cerita tersebut merupakan fakta, hal itu tidak lantas mengharuskan orang-orang untuk menyebarkan kisah tersebut ke ruang publik. Sebab Allah Swt. melarang menyebarluaskan cerita buruk pada diri orang muslim. Allah Swt. Berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ يُحِبُّونَ أَنْ تَشِيعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِينَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (Q.S. An-Nur [24]: 19).

Di samping itu, Imam al-Razi juga mengatakan bahwa menyebarluaskan kisah tersebut (andai memang benar) tidak akan mendatangkan faedah dan manfaat. Alih-alih mendapat manfaat, ia justru menyebabkan pelakunya mendapatkan dosa karena menyebarkan keburukan orang lain.

Baca juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Menurut Imam al-Razi, di akhirat kelak Allah Swt. juga tidak akan meminta pertanggungjawaban perihal mengapa seseorang tidak menyebarluaskan kisah tersebut. Justru, orang tersebut akan mendapat azab yang pedih jika kisah tersebut ternyata tidak benar [Mafatih al-Ghaib, juz 26, hlm. 176].

Maka dari itu, sebagai langkah antisipasi, sebaiknya seorang muslim tidak sembarangan menyebarluaskan kisah-kisah yang masih belum dapat dibuktikan validitasnya. Dalam membaca kitab-kitab tafsir atau kisah umat terdahulu, ia harus selalu melakukan check dan recheck sebab banyak kisah israiliyat yang belum terbukti kebenarannya, termasuk dalam penafsiran Q.S. Shad ayat 21-25 tersebut.

Oleh karenanya, Imam Ibnu Katsir mengatakan bahwa yang lebih utama adalah menafsiri dan memahami ayat kisah tersebut sesuai dengan makna leterlek-nya, sedangkan kebenarannya diserahkan kepada Allah Swt. semata [Tafsir Ibnu Katsir, juz 7, hlm. 60].

Pandangan Ulama Seputar Kisah Nabi Daud As. (Bagian 1)

0
Pandangan Ulama Seputar Kisah Nabi Daud As.
Pandangan Ulama Seputar Kisah Nabi Daud As.

Selain berisi aturan hukum, etika-moral dan keyakinan-teologis, Alquran banyak mengandung kisah-kisah nabi dan umat terdahulu. Misalnya kisah Nabi Adam as., Nabi Nuh as., Nabi Ibrahim as., Nabi Musa as. dan nabi-nabi yang lain. Di antara kisah yang diceritakan Alquran adalah sebuah peristiwa yang terjadi pada Nabi Daud as.

Dalam Q.S. Shad [38]: 21-25, Allah Swt. mengisahkan dua orang yang berperkara dan meminta penyelesaian dari Nabi Daud as. Namun, ulama tafsir memiliki pandangan yang bervariasi mengenai maksud dari kisah yang termaktub dalam ayat tersebut. Sebelum lebih jauh membahas penafsiran dari para ulama, berikut redaksi Q.S. Shad [38]: 21-25 beserta artinya:

وَهَلْ أَتَاكَ نَبَأُ الْخَصْمِ إِذْ تَسَوَّرُوا الْمِحْرَابَ (21) إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُودَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ (22) إِنَّ هَذَا أَخِي لَهُ تِسْعٌ وَتِسْعُونَ نَعْجَةً وَلِيَ نَعْجَةٌ وَاحِدَةٌ فَقَالَ أَكْفِلْنِيهَا وَعَزَّنِي فِي الْخِطَابِ (23) قَالَ لَقَدْ ظَلَمَكَ بِسُؤَالِ نَعْجَتِكَ إِلَى نِعَاجِهِ وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَا هُمْ وَظَنَّ دَاوُودُ أَنَّمَا فَتَنَّاهُ فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ (24) فَغَفَرْنَا لَهُ ذَلِكَ وَإِنَّ لَهُ عِنْدَنَا لَزُلْفَى وَحُسْنَ مَآبٍ (25)

  1. Dan apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab?
  2. Ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zhalim kepada yang lain; maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus.
  3. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja, lalu dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.”
  4. Dia (Dawud) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zhalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zhalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat.
  5. Lalu Kami mengampuni (kesalahannya) itu. Dan sungguh, dia mempunyai kedudukan yang benar-benar dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik. Q.S. Shad [38]: 21-25.

Baca Juga: Ibrah Kisah Nabi Daud: dari Taubat hingga Manajemen Ibadah

Menafsiri kisah di atas, setidaknya ada tiga versi mengenai maksud dari kisah yang diceritakan.

Pertama, sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa kisah di atas sebenarnya berisi teguran kepada Nabi Dawud as. atas tindakan yang beliau lakukan. Dalam Kitab Bahr al-‘Ulum dikisahkan, pada suatu hari Nabi Dawud as. bersabda di hadapan Bani Israil, “Adakah di antara kalian yang mampu beribadah kepada Allah Swt. seharian penuh tanpa sedikitpun tergoda oleh tipu daya setan?” Mereka menjawab, “Kami tidak mampu.” Pada saat itulah, terbesit dalam hati Nabi Dawud as. bahwa beliau mampu melakukan hal tersebut.

Beliau kemudian memasuki mihrab dan menguncinya agar tidak mendapat gangguan apapun ketika beribadah. Beberapa saat kemudian, ada burung yang sangat indah hinggap di tempat ibadah beliau. Singkat cerita, beliau mengejar burung tersebut sampai keluar, namun tiba-tiba beliau mendapati seorang wanita yang sedang mandi. Karena kebetulan dibelakang mihrabnya ada telaga yang biasa dijadikan tempat mandi para perempuan.

Akhirnya, fokusnya untuk menjalankan ibadah pun tidak terlaksana, gara-gara bertemu dengan perempuan cantik yang sedang mandi di telaga tadi. Diam-diam, Nabi Daud as. menaruh perasaan terhadap perempuan tersebut. Ia kemudian menanyakan perihal status perkawinannya. Perempuan tadi mengatakan bahwa ia sudah menikah, tetapi suaminya sekarang sedang ada dalam medan perang.

Mengetahui hal tersebut, Nabi Daud as. secara diam-diam mengirim surat kepada komandan perang dimana suami perempuan tadi ikut berperang. Dalam suratnya, Nabi Daud as. memerintahkan komandan perangnya agar menempatkan suami perempuan tadi di garda depan dengan harapan agar ia gugur di medan perang dan setelah itu akan menikahi istrinya.

Guna memberikan sindiran kepada Nabi Daud as. atas tindakannya tersebut, Allah mengutus dua malaikat yang menyamar menjadi dua orang yang sedang berperkara masuk ke dalam mihrab Nabi Daud as. sebagaimana diceritakan dalam ayat tersebut. (Bahr al-‘Ulum, Juz 3, 162-163)

Baca Juga: Ketika Allah Mengajarkan Nabi Daud tentang Kepemimpinan

Kedua, dalam Tafsir al-Bahr al-Madid dan beberapa kitab tafsir lain diceritakan bahwa di zaman Nabi Daud as. ada seorang laki-laki bernama Uriya. Ia memiliki istri yang sangat cantik. Karena kecantikannya itu, Nabi Dawud as. kemudian ingin menikahinya dan meminta kepada Uriya agar menceraikan istrinya supaya bisa dinikahi oleh Nabi Daud as.

Namun, perlu dipahami bahwa tradisi ini lumrah terjadi dan bukan merupakan suatu yang tabu pada masa itu. Hal ini sama seperti yang terjadi pada sahabat Muhajirin dan Anshar ketika dipersaudarakan oleh Nabi Muhammad Saw. ketika baru hijrah ke Madinah. Sahabat Anshar dengan suka cita menceraikan salah satu istrinya untuk diberikan kepada sahabat Muhajirin yang tidak memiliki istri.

Tindakan Nabi Daud as. ini kemudian mendapat teguran dari Allah Swt., sebab hal itu hanya dilandaskan pada nafsu semata. Padahal saat itu, Nabi Daud as. telah memiliki 99 orang istri, sementara istri Uriya hanya memiliki seorang perempuan tadi. Maka Allah swt. mengutus dua malaikat yang menjelma menjadi sosok manusia yang sedang berperkara masuk ke dalam mihrab Nabi Daud as., sebagaimana diceritakan dalam ayat diatas. (al-Bahr al-Madid, Juz 5, 16)

Ketiga, berbeda dengan dua kisah di atas, versi ini sedikitpun tidak mengandung kisah yang terkesan mendiskreditkan Nabi Daud as. Menurut versi ketiga ini, ayat di atas mengisahkan perihal dua orang yang sedang berperkara melompati tembok pagar guna menemui Nabi Daud as. yang sedang beribadah. Mengetahui kedatangan dua orang tersebut, Nabi Daud as. kaget bahkan sempat menduga bahwa mereka ingin mencelakainya. Tapi ternyata, mereka berdua tidak punya niat jahat dan memang benar-benar ingin minta putusan dari Nabi Daud as. terkait masalah yang sedang mereka perselisihkan. Karena prasangka Nabi Daud as. Tadi, akhirnya beliau pun sujud memohon ampun kepada Allah Swt. (Tafsir al-Maraghi, Juz 23, 108-109)

Menurut Imam al-Razi, tiga versi di atas memang populer dan beredar di berbagai kitab tafsir. Akan tetapi, harus diyakini bahwa nabi dan rasul adalah manusia yang terpelihara dari perbuatan dosa. Karena ituah, banyak para ahli tafsir dari kalangan muhaqqiqin yang menolak dua versi pertama, lebih-lebih versi pertama.

Wallahu a’lam bish shawab.

Kriteria ‘Ulul Albab’ dalam Alquran

0
kriteria ulul albab dalam Alquran
kriteria ulul albab dalam Alquran

Konsep kecerdasan dalam Islam sedikit berbeda dengan definisi cerdas secara umum. Orang–orang yang terpilih karena kecerdasannya oleh Al-Quran disebut sebagai golongan ulul albab (terjemahan kemenag: orang-orang yang berakal). Mereka inilah yang menjadi standariasi kecerdasan di dalam Islam.

Dilihat dari sisi kebahasaan, kata Ulul sendiri merupakan piranti kepemilikan dalam bahasa Arab. Sedangkan kata Albab merupakan bentuk jamak dari kata Lubb, menurut Imam Al-Ghazali Lubb merupakan intisari dari hati manusia. Jadi pada dasarnya, konsep kecerdasan dalam Islam tidak sepenuhnya berhubungan dengan kejeniusan akal, namun juga hal-hal yang berhubungan dengan hati.

Baca Juga: Konsep Kepribadian Ulul Albab dalam Surat Ali ‘Imran Ayat 190-191

Surah Ali Imran ayat 190-191 menunjukkan kepada orang-orang yang beriman tentang standar menjadi ulul albab. Dalam dua ayat ini, predikat ulul albab bukan sekadar untuk orang-orang yang cerdas secara intelektual saja, tetapi juga cerdas secara emosional dan lainnya.

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًاج سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal (190) (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka”. (Q.S. Ali ‘Imrān/3: 191).

Merenungi ayat-ayat qauliyah dan kauniyah

Menurut ayat di atas, kecerdasan orang yang berpredikat Ulul Albab sudah sampai pada level pemikiran kritis. Tidak hanya mampu menggunakan akal, namun juga mampu mengeksplorasi akalnya. Standarnya, dengan apa yang sudah dihadirkan Allah di dunia ini, dia mampu berpikir tentang konsep ketuhanan. Hal ini seperti kekritisan Nabi Ibrahim saat mempertanyakan konsep ketuhanan.

Dalam Kitab Asbabun Nuzul di sebutkan, bahwa ayat ini turun saat orang-orang Quraisy meminta Rasulullah saw. berdoa agar bukit Shafa dijadikan emas sebagai bukti kenabiannya. Kemudian ayat ini turun, sebagai bentuk sindiran kepada bangsa Arab Quraisy yang tak mampu menggunakan akalnya dengan baik. Hal ini dikarenakan beberapa hal.

Pertama, Standar Tuhan menurut Kafir Quraisy diukur menggunakan benda yang bersifat kuantitatif, mereka hanya memedulikan harta, berhala-berhala yang mereka sembah terbuat dari logam-logam mulia. Kedua, permintaan orang-orang kafir tersebut tidak terlihat sebagai tuntutan pembuktian yang berbobot, karena seharusnya dengan kecerdasan mereka, mereka mampu mengajukan pembuktian yang lebih masuk akal. Hal ini mencederai citra masyarakat Arab yang terkenal cerdas dalam bertutur kata.

Ulul Albab tidak hanya membaca ayat-ayat Allah yang bersifat Qauliyah (ucapan), tetapi juga mampu mempelajari dan mentadabburi ayat-ayat Allah yang bersifat Kauniyah (alam ciptaan Tuhan). Mereka yang cerdas dalam menangkap pesan dan nilai yang terkadung di alam semesta inilah yang disebut ulul albab.

Dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib disebutkan, bahwa Rasulullah pernah bersabda bahwa “Sungguh celaka orang yang hanya membaca ayat ini, namun tidak mau memikirkannya lebih jauh”.

Baca Juga: Konsep Makna Uli An-Nuha dalam Tafsir Surah Thaha Ayat 49-55

Cerdas intelektual dan emosional

Tidak hanya mempelajari dan memahami tanda-tanda kekuasaan Allah, ulul albab juga melibatkan Allah dalam segala gerak geriknya, dalam keadaan Qiyam (berdiri), Qu’ud (duduk), dan Junub (berbaring). Al-Qurthubi menafsirkan kata-kata tersebut sebagai ‘setiap waktu’, karena manusia pasti melakukan ketiga hal tersebut setiap harinya. Sedangkan ‘Ala’uddin Al-Baghdadi menyebutkan bahwa yang dimaksud ketiga kata di atas, adalah setiap kondisi manusia, karena ketiganya berhubungan dengan shalat. Saat seseorang bisa shalat sambil berdiri (Qiyam), atau sambil duduk (Qu’ud), maupun berbaring (Junub), mereka tak melupakan Allah.

Saat sehat, mereka ingat Allah sebagai Sang Maha Pemberi, termasuk kesehatan. Sedangkan di saat sakit dan terpuruk, mereka juga ingat bahwa Allah adalah Sang Maha Penolong, yang akan membantu mereka kembali berdiri. Bagian ini mungkin yang mengarah pada maksud bahwa ulul albab tidak hanya berhubungan dengan kecerdasan intelektual, melainkan juga kecerdasan emosional.

Termasuk bagian dari cerdas secara emosi yaitu menjaga diri untuk tidak bersikap su’ dzan kepada Allah, karena para ulul albab ini mereka yakin bahwa tidak pernah ada ciptaan Allah yang sia-sia (Maa Khalaqta Hadza Bathila). Semua memiliki maksud dan tujuannya masing-masing. Dengan demikian, ulul albab ini akan pandai mengelola setiap keadaan dan peluang untuk menjadikannya sesuatu yang bermanfaat. ِ

Sebagaimana bunyi sebait syair,

إِذَا الْمَرْءُ كَانَتْ لَهُ فكْرَةٌ … فِفِي كُلِّ شَيْءٍ لَهُ عبرَة

“Selama seseorang masih punya akal … ada pelajaran di balik segala permasalahan”

Ulul Albab merupakan orang-orang proporsional yang mampu menciptakan keseimbangan antara akal dan hati, antara logika dan iman. Wallah a’lam

Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran

0
Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran
Kriteria Memilih Pemimpin Perspektif Alquran

Pemimpin merupakan suatu hal yang harus ada dalam aktivitas kehidupan sosial masyarakat, yang nantinya akan sangat berperan penting dalam menentukan arah tujuan. Dalam Islam, segala sesuatunya telah diatur secara sempurna dan menyeluruh, termasuk di dalamnya kriteria dalam memilih seorang pemimpin. Oleh karena itu, untuk menjadi pemimpin di masa depan mesti mempersiapkan diri, karena tanggung jawab dari seorang pemimpin sangat besar.

Definisi Pemimpin

Pemimpin dalam KBBI berarti: 1) orang yang memimpin. 2) petunjuk, sedangkan memimpin artinya: 1) mengetahui atau mengepalai, 2) memenangkan paling banyak, 3) membimbing, 4) memandu, 5) melatih, mendidik dan mengajari. Dari pembagian makna di atas, bisa dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pemimpin ialah orang yang mengetahui atau mengepalai suatu bagian lembaga maupun organisasi yang berpengaruh dalam kelancaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan bagi para pengikutnya.

Secara penamaan pemimpin di Indonesia dari level kepala desa hingga presiden, dapat disebut dengan ulil amri. Menurut Bahasa, ulil amri artinya menyuruh, lawan dari kata melarang, kemudian secara istilah yaitu orang yang memerintah dan dapat diajak untuk bermusyarawah.

Dalam Islam, pemimpin dapat dipahami juga sebagai umara yang sering disebut dengan ulil amri. (QS. An-Nisa ayat 59) “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu”.

M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah (Jilid 2), menjelaskan bahwa kata ulil amri adalah orang-orang yang berwenang mengurus kaum muslimin. Mereka adalah orang yang dapat diandalkan dalam menangani persoalan-persoalan kemasyarakatan. Bisa saja mereka adalah para penguasa/pemerintah, ulama, ataupun yang mewakili masyarakat dalam berbagai kelompok dan profesinya. Dan perintah taat kepada ulil amri tidak disertai dengan kata taatilah. Karena mereka tidak memiliki hak untuk ditaati, bila ketaatan kepada mereka bertentangan dengan ketaatan kepada Allah Swt. atau Rasulullah Saw.

Baca Juga: Tiga Karakter Kepemimpinan Rasulullah yang Patut Dicontoh

Kriteria seorang Pemimpin

Sosok siapa yang akan teringat ketika mendengar kata “pemimpin”? Secara umum, akan diingat kepada baginda Nabi Muhammad Saw, Muhammad Al-Fatih, Ir. Sukarno, Jendral Sudirman, Erdogan atau bahkan Presiden Republik Indonesia. (Dalam Jurnal Forum Manajemen Vol. 15 No. 2) Pemimpin yang benar-benar pemimpin setidaknya terdapat beberapa kriteria, yaitu:

Memiliki pengikut

Pengikut merupakan sebuah kemutlakan bagi pemimpin. Seseorang tidak akan dikatakan pemimpin jika tidak memiliki pengikut, karena keberadaan pengikut ini menjadi salah satu bukti eksisnya suatu proses kepemimpinan.

Memiliki kekuasaan

Kekuasaan itu kekuatan, otoritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu. Seseorang pemimpin umumnya diikuti oleh orang lain karena dia memiliki kekuasaan yang membuat orang lain menghargai keberadaannya.

Memiliki kemampuan

Kemampuan merupakan segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau keterampilan teknis dan sosial, yang dianggap melebihi anggota biasa.

Dalam Alquran  dapat dijumpai beberapa ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat pokok yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, di antaranya:

Memiliki Kesabaran dan Ketabahan

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ

“Dan Kami jadikan mereka pemimpin ketika mereka sabar/tabah”. (Alsajdah [32]: 24)

Kesabaran dan ketabahan dijadikan pertimbangan dalam mengangkat seorang pemimpin. Sifat ini merupakan syarat pokok yang harus ada dalam diri seorang pemimpin. Sedangkan sifat yang lain adalah sifat-sifat yang lahir akibat adanya sifat pokok (kesabaran) tersebut.

Mampu menjadi contoh

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (Alanbiya [21]: 73)

Seorang pemimpin, dituntut tidak hanya mampu menunjukkan, tetapi juga mengantarkan rakyat ke pintu gerbang kebahagiaan. Atau dengan kata lain, tidak hanya sekadar mengucapkan dan memberikan saran, tetapi hendaknya mampu mempraktekkan pada diri sendiri terlebih dahulu, kemudian menyosialisasikannya di tengah masyarakat.

Baca Juga: Surah Alnisa’ [4]: 59: Beragam Pendapat Ulama Tentang Makna Ulil Amri

Memiliki Kekuatan

Pemimpin yang kuat merupakan pemimpin yang mampu menegakkan tugas dan menanggung beban amanahnya. Pemimpin yang memiliki kriteria kuat dan amanah sekaligus ini tentunya sangat jarang ditemukan. Akan tetapi, jika kriteria yang dimiliki dari seorang calon pemimpin hanya salah satu di antara kedua kriteria ini, maka prioritas utama ditentukan menurut kebutuhan dari wilayah yang dipimpinnya. Jika wilayahnya dalam keadaan tidak aman, pemimpin yang kuat dan berani lebih bermanfaat daripada pemimpin yang jujur namun lemah.

Imam al-Mawardi dalam buku Ahkam Sulthaniyah (15) menjelaskan apabila terdapat dua orang yang memenuhi syarat untuk diangkat menjadi pemimpin, jika salah satu dari keduanya lebih pandai, sementara yang satunya lebih berani, maka yang layak dipilih adalah sosok yang lebih dibutuhkan pada periode itu.

Jika kondisinya lebih membutuhkan sifat keberani lantaran merebaknya usaha untuk melakukan pemisahan antar wilayah dan maraknya pemberontakan, sosok pemimpin yang lebih layak dipilih tentunya yang lebih memiliki keberanian. Akan tetapi juga, kondisinya lebih membutuhkan keilmuan lantaran meratanya sikap hidup yang jumud dan menyebarnya paham-paham yang bertentangan dengan ideologi negara dan agama, pemimpin yang layak dipilih adalah yang lebih memiliki ilmu/cendekiawan.

Baca Juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah

Menunaikan Amanah dan Adil

إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُم بِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ سَمِيعًۢا بَصِيرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Alnisa’ [3]: 58)

Ayat ini merangkum dua kriteria penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin yaitu anjuran menunaikan amanah dan berlaku adil dalam segala urusan. Dalam ayat ini ketika memerintahkan agar menetapkan hukum dengan adil, ini berarti perintah berlaku adil ditujukan kepada manusia secara keseluruhan. Dengan demikian baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan, atau ras.

Dari hal ini tentu dapat diketahui bagaimana pentingnya sebuah pengetahuan dalam memilih pemimpin ataupun menyempurnakan keilmuan untuk menjadi seorang pemimpin. Melalui bekal tersebut, semoga pemimpin kedepannya Insya Allah dapat menjalankan roda kepemimpinannya untuk kesejahteraan rakyat dan negara.

Wallahu a’lam bish shawab.

Hubungan antara Doa dan Puasa

0
Makna doa dalam kajian semantik
Makna doa dalam kajian semantik

Pada sela sela ayat tentang puasa, Q.S. Al-Baqarah 183-187, terdapat ayat tentang berdoa kepada Allah. Informasi ini berada di Q.S. Al-Baqarah 186. Ayat ini mengabarkan bahwa Allah itu dekat dan akan menjawab permohonan hamba; “Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Q.S. Al-Baqarah: 186)

Ayat ini menginformasikan secara pasti bahwa Allah, selain dekat, Dia pasti akan mengabulkan permohonan hamba. Syaratnya adalah ia berdoa. Seandainya si hamba tidak meminta, Dia tidak akan mengabulkan. Seolah pengabulan itu akan terwujud apabila hamba berdoa atau meminta. Selain itu, ayat ini mengemukakan bahwa apabila doa ingin dikabulkan, maka hamba harus senantiasa memenuhi perintah-Nya dan tetap beriman.

Dari rangkaian ayat yang berkaitan dengan puasa, seolah tidak ada hubungan langsung antara puasa dengan doa. Namun, dalam kenyataannya, ayat ini terselip di antara ayat sebelum dan setelahnya yang berkaitan dengan puasa. Lalu, bagaimana hubungan antara keduanya?

Baca juga: Makna Doa dalam Kajian Semantik Alquran

Kiranya, implementasi teori munasabah ayat Alquran dapat dijadikan dasar. Munasabah menjadi salah satu disiplin ilmu Alquran yang membahas tentang hubungan ayat atau surah dalam Alquran. Al-Suyuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum Alquran (1997) menyebutkan bahwa munasabah merupakan ‘keterkaitan ayat-ayat Alquran antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.

Munasabah menampilkan keserasian dan kerapian susunan ayat Alquran yang satu sama lain akan menggambarkan keterkaitannya. Para ulama ahli ilmu Alquran telah banyak membahas secara jelas tentang munasabah ini.

Sehubungan dengan puasa dan doa, boleh dikatakan keduanya berada dalam satu surah dengan jenis munasabah antarayat. Istilah yang dikenal adalah munasabah al-ayat fi surah wahidah, sebagaimana pernah diungkap oleh Rosihon Anwar dalam Samudera Alquran (2006). Hubungan ayat dan makna pada jenis ini terdapat pada rangkaian ayat dalam surah yang sama.

Baca juga: Mengenal Macam-Macam Pembagian Munasabah Alquran

Doa dan puasa berada pada satu keterkaitan makna. Hal ini dapat dikuatkan oleh beberapa argumentasi.

Pertama, doa dan puasa, mengutip pendapat al-Shabuni dalam Rawa’i al-Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam berada dalam rangkain ayat tentang syariat puasa. Secara lebih rinci, kewajiban puasa disebutkan pada Q.S. Al-Baqarah: 183. Lama berpuasa dan keringanan bagi orang yang tidak berpuasa tersebut pada Q.S. Al-Baqarah: 184.

Alquran diturunkan untuk petunjuk bagi manusia, keringanan bagi orang yang tidak sanggup berpuasa, permulaan puasa dengan menyaksikan datangnya bulan, Allah mempermudah urusan hambar, melakukan penggenapan hitungan puasa, serta mengagungkan Allah, termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 185. Sesuatu yang dibolehkan untuk dilaksanakan pada siang bulan Ramadan serta melakukan iktikaf sebagai kegiatan untuk mendekatkan diri pada Allah Swt., termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah: 187.

Di sela ayat 185 dan 187 itulah terdapat ayat tentang berdoa. Dari satu tema itu, dapat diasumsikan bahwa pada rangkaian ayat tersebut, doa dan puasa memiliki hubungan.

Baca juga: Doa Nabi Muhammad saw. dalam Alquran

Kedua, doa dan puasa sama sama bentuk ibadah. Puasa pada ayat 183 bertujuan meraih ketakwaan. Berdoa pada ayat 186 berujung pada harapan mendapatkan petunjuk. Ketakwaan dan meraih petunjuk, keduanya menampilkan tujuan kebaikan dalam meraih kedekatan kepada Allah.

Di sini, dapat dikatakan terdapat hubungan antara redaksi la’allakum tattaquna  (agar kamu bertakwa) dengan la’allahum yarsyuduna (agar mereka mendapatkan petunjuk). Keduanya menggunakan kata la’alla yang bermakna pengharapan (li tarajji) dari hamba, dan sementara ulama memandang kata ini bermakna pasti bagi Allah.

Yang berbeda adalah pada ayat 183 berada pada subjek kedua (kamu) sementara pada ayat 186 berada pada subjek ketiga jamak (mereka). Dalam kata lain, untuk menjadi takwa, salah satunya adalah seseorang dapat meraihnya dengan mendapatkan petunjuk.

Ketiga, dalam berpuasa, seseorang meraih ketakwaan dengan cara menyadari bahwa puasa itu adalah kewajiban. Beban taklif puasa pada dirinya mendekatkan kesadaran pada ketundukan akan aturan yang diberikan oleh Allah. Redaksi diwajibkan atas kamu berpuasa menegaskan bahwa ketika ingin meraih ketakwaan, kewajiban harus dilaksanakan sesuai aturan.

Begitu pun dalam berdoa, seseorang meyakini bahwa Allah itu dekat. Ia pun meneguhkan sepenuh hati bahwa Dia akan mengabulkan segala permintaan hamba ketika hamba meminta. Dalam keterangan lain, berdoa adalah ibadah. Sebab, doa adalah inti ibadah.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Hukum Berdoa Meminta Kematian

Dalam berpuasa, seorang muslim dianjurkan untuk banyak memohon kepada Allah. Puasa pun adalah kewajiban dan ciri seseorang beriman. Ketika sedang berpuasa dan berdoa, seseorang sedang meneguhkan bahwa Allah itu dekat dan memantapkan hati bahwa puasa adalah bentuk pengabdian kepada Allah melalui pelaksanaan kewajiban dari-Nya.

Keempat, puasa tidak sekadar menahan lapar, haus, dan dorongan seksual di siang hari. Puasa mengarahkan diri untuk mengendalikan hawa nafsu. Puasa pun menjadi proses untuk menyucikan diri dengan menjalankan ketakwaan. Perlu diingat pula, dalam berdoa kepada Allah, seseorang harus menyucikan diri sehingga ia mampu untuk berdekatan dengan Yang Maha Suci.

Doa dan puasa, keduanya adalah proses untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri seorang hamba dapat diupayakan dengan menjalankan kewajiban sebagai bentuk ketakwaan dan menyadari sepenuh hati bahwa Allah itu dekat. Pun demikian, ketika hamba meminta, Allah akan mengabulkannya. Wallahu a’lam.